Anda di halaman 1dari 12

BAB II

LANDASAN TEORI TENTANG PERKAWINAN

“Manusia pertama-tama ada, berjumpa dengan dirinya, muncul di dunia dan setelah itu
menentukan dirinya. “ (Jean-Paul Sartre)

A. MANUSIA DAN KESADARAN DIRI

Sebagian besar dari kita mengandaikan begitu saja bahwa kita mengetahui
hal-hal dan bahwa kita dapat mengetahui mereka. Tetapi, apa itu mengetahui dan
1
bagaimana kita dapat yakin bahwa apa yang kita ketahui itu benar ? Inilah ke-
khasan dari manusia , ia (baca: Manusia) mengetahui bahwa ia mengetahui.2 Dan
kekhasan manusia sebagai makhluk yang mengetahui selalu disertai dengan
3
kemampuan refleksif mengenai tindakan berpikir. Jadi, dalam sebuah upaya
mengetahui (sebagai tindakan berpikir) sesuatu dalam dirinya, manusia perlu
melakukan refleksi-diri. Seperti adanya sebuah kesadaran bahwa dirinya tidak hidup
sendirian. Ada realitas lain diluar dirinya yang perlu mendapat perhatian. Ada
realitas ilahi dan insani yang selalu hadir dan bersinggungan dalam kenyataan diri.
Seperti pendapat Scheler bahwa kejasmanian dan kerohanian manusia itu tidak
terpisah.4 Kesadaran inilah yang pada akhirnya dapat memberikan sentuhan makna,
nilai dan arti dalam kehidupan manusia.

B. KESADARAN DIRI SEBAGAI MAKHLUK SOSIAL

Kesadaran bahwa manusia adalah makhluk sosial yang tidak bisa hidup
sendirian, memunculkan sebuah tanggung jawab untuk membangun hubungan /
relasi dengan yang lain. Inilah yang dinamakan kesadaran sosial. Kesadaran sebagai
makhluk sosial yang tidak bisa hidup sendiri tanpa orang lain. Sehingga ia
memerlukan yang lain dalam menjalani dan menikmati hidupnya.

1
Linda Smith dan William Raeper , Ide-Ide : Filsafat Dan Agama Dulu dan Sekarang (Yogyakarta:
Penerbit Kanisius, 2000), 15
2
M.Sastrapratedja, Filsafat Manusia (Jakarta:Pusat Kajian Filsafat Dan Pancasila, 2010), 15
3
Ibid, 16
4
Ibid, 26

8
Dalam pandangan sosiologi , kesadaran hidup bersama merupakan sebuah
kemestian. Dan kemestian ini menyebabkan manusia dalam menjalankan keseharian
tidak hanya secara personal (pribadi) saja, ia membutuhkan the other (yang lain).
Secara pesonal manusia adalah individu yang memiliki banyak kepentingan dan ia
cenderung mengejar kepentingannya sendiri . Seperti Marx pernah mengatakan
dalam teorinya tentang manusia bahwa manusia pada hakikatnya mengejar
kepentingannya sendiri.5 Dan tanpa disadari kepentingan diri berjumpa dan
bersinggungan dengan berbagai kepentingan yang berbeda diluar dirinya. Menurut
Durkheim , perbedaan – perbedaan yang ada ini adalah bagian hidup sadar para
individu yang dimiliki berkenaan dengan kehidupan bersama mereka. 6

C. KESADARAN DIRI DALAM PERJUMPAAN DENGAN KEHIDUPAN BERSAMA

Seperti pendapat Titaley dan Hidayat yang saya kutip di bab sebelumnya
bahwa perjumpaan diri dengan yang lain (baca: kehidupan bersama) merupakan
kenyataan yang tidak bisa dihindari. Oleh karenanya dalam perjumpaan dan interaksi
antara satu dengan yang lain, dengan segala perbedaan-perbedaan yang ada harus
diberi ruang yang sama. Dan di dalam ruang yang sama ini, masing-masing memiliki
hak yang sama, hak untuk menjalani kehidupan dan mempertahankan
kehidupannya.

Demikian pula kaitannya dengan hak seseorang untuk menjalani hidup


bersama (baca: perkawinan) dengan sesamanya. Apapun latar belakangnya,
perjumpaan diri dengan yang lain dalam membangun kebersamaan yang lebih intim,
utuh , menyeluruh dan paling lengkap ini tetap diberi ruang yang sama.

D. KEHIDUPAN BERSAMA DALAM BINGKAI PERKAWINAN

Berangkat dari pemahaman diatas, eksistensi (keberadaan) manusia


ditengah-tengah manusia yang lain adalah sebuah realitas diri dan merupakan
perwujudan hakekat kemanusiaannya, dimana satu dengan yang lain saling terikat

5
Tom Campbell, Tujuh Teori Sosial ( Yogyakarta: Kanisius, 1994), 143
6
Ibid, 180

9
dan terkait. Keterikatan dan keterkaitan antara satu dengan yang lain itu berada
dalam sebuah bingkai yang dinamakan perkawinan.

Sutarno melihat bahwa kehidupan bersama dalam sebuah perkawinan itu


merupakan bentuk ikatan dan wadah kebersamaan antar manusia yang mempunyai
makna mendalam, paling lengkap dan paling tuntas. Kalau kebersamaan manusia
dengan sesamanya diluar perkawinan itu sifatnya terbatas dan hanya menyangkut
hal-hal atau kepentingan-kepentingan tertentu saja maka di dalam perkawinan,
kebersamaan laki – laki dan perempuan itu sifatnya total.7

Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia istilah perkawinan dimaknai sebagai


peristiwa maupun hasil dari suatu peristiwa. Peristiwa dimana dua orang mengikat
janji untuk hidup bersama. Dalam perspektif sosiologis, perkawinan yang
merupakan ikatan lahir dan batin antara seorang laki-laki dengan seorang
perempuan dalam suatu hubungan suami isteri ini diberikan kekuatan sanksi sosial. 8
Mengapa mereka diberikan sanksi sosial ? karena kedua orang (baca: yang telah
menikah) telah menjadi bagian dari masyarakat dan penyatuan hubungan mereka
dalam sebuah perkawinan telah disetujui secara sosial.

Sebagai lembaga Sosial, perkawinan adalah bagian integral dari masyarakat.


Dan di dalam masyarakat tentunya memiliki berbagai aturan. Salah satunya aturan-
aturan yang mengatur tentang perkawinan yang semuanya memiliki tujuan supaya
perkawinan yang merupakan bagian dari masyarakat itu dapat berperan , ber-
kontribusi aktif dalam menciptakan suasana nyaman, kondusif dalam sebuah
kebersamaan hidup secara sosial.

E. Teori Struktural Fungsional

Perkawinan sebagai sebuah realitas sosial tentunya selalu terintegrasi dengan


kehidupan masyarakatnya. Dalam Teori strukrural fungsional Parsons, dijelaskan
bahwa masyarakat terintegrasi atas dasar kesepakatan dari para anggotanya akan
nilai-nilai kemasyarakatan tertentu yang memiliki kemampuan mengatasi
perbedaan-perbedaan sehingga masyarakat tersebut dipandang sebagai suatu

7
Sutarno , Makalah Perkawinan “ Pandangan Kekristenan Tentang Pernikahan” 2005, 1
8
Indriyani, Sri Sutanti, Sosiologi Suatu Kajian Hidup Bermasyarakat (Sukoharjo: Ghalia Indonesia, 2007), 44

10
sistem yang secara fungsional terintegrasi dalam suatu keseimbangan. Dengan
demikian masyarakat adalah merupakan kumpulan sistem-sistem sosial yang satu
sama lain berhubungan dan saling memiliki ketergantungan. Agar sebuah sistem
dapat bertahan, Parsons kemudian mengembangkan apa yang disebut imperatif-
imperatif fungsional, yang dikenal sebagai skema AGIL. Agar tetap bertahan
(survive), suatu sistem harus memiliki empat fungsi yaitu:9

1. Adaptation: fungsi yang amat penting disini dimana sistem harus dapat
beradaptasi dengan cara menanggulangi situasi eksternal yang gawat,
dan sistem harus bisa menyesuaikan diri dengan lingkungan juga dapat
menyesuaikan lingkungan untuk kebutuhannya.
2. Goal Attainment: pencapaian tujuan sangat penting., dimana sistem
harus bisa mendefiniskan dan mencapai tujuan.
3. Integration : artinya sebuah sistem harus mampu mengatur dan menjaga
antar hubungan bagian-bagian yang menjadi komponennya (termasuk
aktor-aktornya), selain itu mengatur dan mengelola ketiga fungsi (AGIL) .
4. Latency: laten berarti sistem harus mampu berfungsi sebagai pemelihara
pola, sebuah sistem harus memelihara dan memperbaiki motivasi pola-
pola individu dan cultural.

F. Perkawinan Dalam Perspektif Teori Struktural Fungsional


Parsons secara khusus tidak menyoroti tentang perkawinan. Akan tetapi perlu
dipahami bahwa perkawinan merupakan sebuah realitas sosial. Dan realitas sosial
(baca: masyarakat) merupakan suatu sistem sosial.

Seperti yang dijelaskan dibagian sebelumnya, bahwa supaya sebuah sistem


sosial dapat bertahan, Parsons selain melihat sistem sosial masyarakat sebagai
kesatuan beberapa tindakan manusia, ia juga mengembangkan apa yang disebut
imperatif-imperatif fungsional, yang dikenal sebagai skema AGIL. Dalam teori AGIL
ini, Parson berusaha menggali situasi dan kondisi dari masyarakat agar tetap stabil
dan berfungi. Skema AGIL: Adaptation, Goal Attainment, Integration, Laten Patten

9
George Ritzer - Douglas J. Goodman , Teori Sosiologi Modern; edisi ke -6 ( Jakarta: Kencana
Prenada Media Group, 2005)

11
Maintanance mewakili empat (4) fungsi dasar yang harus dicapai oleh semua sitem
sosial atau organisasi sosial supaya tetap bertahan.

Dalam teori Talcott Parson, urutannya dimulai dengan munculnya


ketegangan, konflik yang merupakan kondisi ketidak sesuaian antara keadaan suatu
sistem sekarang ini dengan situasi / keadaan yang diharapkan. Dan situasi seperti ini
berpotensi menimbulkan kekacauan.
Untuk mengatasi situasi yang berpotensi menimbulkan kekacauan, maka
ketegangan / konflik merangsang perlunya sebuah penyesuaian (adaptation).
Bagaimana sebuah sistem yang ada dapat mengatasi situasi yang sedang
berlangsung. Sistem yang ada harus mampu beradaptasi / menyesuaikan diri
dengan lingkungan yang ada. Sistem yang ada harus mampu mendefinisikan dan
mencapai tujuan utamanya. Dan supaya tujuannya dapat tercapai maka sistem yang
ada ini harus mampu mengatur antarhubungan bagian-bagian yang menjadi
komponennya. Selain mengatur , sistem yang ada harus memperlengkapi dan
memperbaiki diri baik motivasi-motivasi pribadi/individual maupun pola kultural
yang sudah ada.
Dalam konteks perkawinan di Indonesia, khususnya perkawinan beda agama
di Indonesia masih berada dalam ketegangan-ketegangan. Sistem yang ada belum
begitu mampu mengatasi kebutuhan masyarakatnya. Yaitu kebutuhan pencatatan
perkawinan bagi pasangan yang berbeda agama. Padahal kenyataannya, kehidupan
masyarakat di Indonesia sangat heterogen dan bersifat pluralistik. Dengan
kenyataan seperti ini, maka seharusnya sistem sosial yang ada mampu mengatur
setiap komponen dan elemen yang ada dalam sistem tersebut untuk mampu
mencapai tujuannya. Salah satu tujuan hidup bersama dalam negara demokrasi ini
adalah seperti yang tertuang dalam Pasal 28D ayat 1 UUD 1945, yaitu:
(1) Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian
hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum. Berdasarkan pasal
ini seharusnya sistem sosial yang ada mampu mengatasi dan mengatur kebutuhan
masyarakatnya seperti kebutuhan atas penerimaan / pengakuan, kebutuhan akan
adanya jaminan perlindungan, kebutuhan akan adanya kepastian hukum yang adil
dan juga kebutuhan akan perlakuan yang sama. Tidak ada lagi perlakuan yang

12
berbeda. Baik itu dikarenankan perbedaan latar belakang suku, agama maupun
sosial. Kaitannya dengan pergumulan mengenai perkawinan bagi pasangan beda
agama. Kenyataan adanya ketegangan-ketegangan di negeri ini tentunya bukan
untuk dihindari tetapi justru dihadapi, dicarikan solusi, di temukan jawaban apakah
mereka yang berbeda agama ini dapat melaksanakan perkawinannya dihadapan
Pencatat Perkawinan pada Catatan Sipil.
Salah satu contoh yang dapat dilihat adalah persoalan permohonan dari
empat alumni Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI) bersama seorang
mahasiswa FHUI, pada tahun 2014 yang mengangkat sebuah realitas sosial yaitu
fenomena perkawinan beda agama. Sehingga mereka mengajukan hak uji materi
(judicial review) terhadap UU Perkawinan ke Mahkamah Konstitusi (MK). Menurut
mereka UU No 1/1974 dinilai tidak memberikan perlindungan bagi warga yang ingin
menikah, tetapi berbeda agama.10 Permohonan dari empat alumni Fakultas Hukum
UI di atas merupakan sebuah potret diri bahwa perkawinan bagi pasangan beda
agama di Indonesia masih belum mendapat ruang. Atau dengan kata lain masih
mengalami kesulitan untuk dilaksanakan dan dicatatkan. Sehingga yang terjadi
adalah beberapa atau banyak pasangan berbeda agama ini lantas menikah di luar
negeri agar perkawinan mereka dinyatakan sah secara agama. Dan setelah disahkan
secara agama, mereka pulang ketanah air untuk mencatatkan perkawinannya di
Dinas Kependudukan dan Pencataan Sipil Setempat.
Ketegangan-ketegangan diatas sudah diupayakan dengan dikeluarkannya
sebuah undang-undang, tetapi dalam pelaksanaan di lapangan, tetap saja
pelaksanaan pencatatan perkawinan bagi pasangan beda agama masih mengalami
kendala dengan persoalan hukum agamanya masing-masing dan persoalan
administratif di Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Setempat.
Dari sudut pandang Parsons, berdasarkan teori struktural fungsional maka
ketegangan-ketegangan dalam masyarakat tersebut merangsang penyesuaian
(adaptation), baik bagi para aktor yang ada didalamnya beserta sistem nilai, norma
hukum yang berlaku dalam masyarakat . Tahapan penyesuaian tersebut juga terus
diupayakan sampai pada tahapan integration. Dimana didalamnya ada sebuah

10
Aturan Yang Tetap Hangat, Setelah 30 Tahun Lebih (Kompas, Jumat, 26 Juni 2015), 46

13
konsensus atau mufakat diantara para pemimpin dan anggota masyarakat (baca:
para aktor seperti Walikota Salatiga, Kepala Dinas Kependudukan Dan Pencatatan
Sipil Salatiga dan Pengadilan Kota Salatiga). Sedangkan Nilai, Norma Hukum yang
diberlakukan khususnya dalam konteks perkawinan khususnya pasangan beda
agama adalah Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 dan Undang-
Undang No 23 tahun 2006 Pasal 35a. Ditambah dengan peraturan perundangan
yang lain seperti Pasal 34 ayat (1) Undang-undang Nomor 23 tahun 2006 dan Pasal
67 ayat (2) Peraturan Presiden Nomor 25 Tahun 2008 yang diperjumpakan dengan
situasi/kondisi yang ada di tengah-tengah masyarakat. Semua langkah ini pada
akhirnya bermuara pada tahapan “Goal Attainment”, tahapan pencapaian tujuan.
Tujuan yang dicapai adalah terlaksananya pencatatan perkawinan bagi pasangan
yang berbeda agama.
Dalam tahapan Latency, Parson menegaskan bahwa sistem yang ada (baca:
sistim pelayanan di Pemerintahan Kota, Dinas Kependudukan Dan Pencatatan Sipil,
Pengadilan) pada akhirnya harus mampu memelihara dan memperbaiki motivasi
pola-pola individu dan pola cultural.

Gambar 1.Teori Struktural Fungsional Parsons

LATENCY INTEGRATION

ADAPTATION GOAL ATTAINMENT

14
Gambar 2. Teori Aksi dan Hukum (Modifikasi dari Teori Struktural Fungsional)

Nilai,
Norma,
Hukum

1.Cara 1
Aktor Tujuan
2.Cara 2

3. Cara 3

Situasi,
kondisi

Jadi dapat disimpulkan sementara bahwa manusia sebagai makhluk sosial


tidak bisa lepas dari realitas sosial yang mengelilinginya. Manusia selalu memiliki
kecenderungan untuk selalu berhubungan dengan lingkungannya. Sehingga selalu
terjadi interaksi diantara dirinya dengan lingkungannya. Dimana interaksi sosial yang
terjadi selalu diawali dengan sebuah komunikasi dan kontrak sosial.11 Dan di dalam
interaksi tersebut tentunya terjalin sebuah hubungan sosial yang dinamis antara
12
perorangan maupun antara kelompok. Dalam hubungan sosial tersebut akan
terjadi perjumpaan antar nilai, norma dan aturan dari masing-masing perorangan
atau kelompok.

Berkaitan dengan persoalan perkawinan , dalam kenyatannya nilai –nilai,


Norma-norma atau aturan hukum yang berlaku tidak sepenuhnya mampu
menjawab kebutuhan sosial masyarakatnya. Sehingga individu (baca: aktor ) yang
ada dalam sistem tersebut tentunya berusaha untuk mengatur dan mengatasinya
dengan berbagai alternatif untuk menghubungkan dan menyesuaikan satu bagian
dengan bagian lainnya. Apapun bentuknya dan produk-produk hukum apa saja yang

11
Susanto , Astrid S , Pengantar Sosiologi Dan Perubahan Sosial. (Bandung : Bina Cipta, 1979)
12
M.Bambang Pranowo, Steriotip etnik, asimilasi, integrasi social. (Malang: Pustaka Grafika, 1988), 112

15
digunakan sehingga pada akhirnya dapat mempengaruhi interaksi sosial yang sedang
terjadi dan melahirkan cara-cara yang efektif dan efisien demi mencapai tujuan
bersama yang diinginkan.

16
17
18
19

Anda mungkin juga menyukai