“Manusia pertama-tama ada, berjumpa dengan dirinya, muncul di dunia dan setelah itu
menentukan dirinya. “ (Jean-Paul Sartre)
Sebagian besar dari kita mengandaikan begitu saja bahwa kita mengetahui
hal-hal dan bahwa kita dapat mengetahui mereka. Tetapi, apa itu mengetahui dan
1
bagaimana kita dapat yakin bahwa apa yang kita ketahui itu benar ? Inilah ke-
khasan dari manusia , ia (baca: Manusia) mengetahui bahwa ia mengetahui.2 Dan
kekhasan manusia sebagai makhluk yang mengetahui selalu disertai dengan
3
kemampuan refleksif mengenai tindakan berpikir. Jadi, dalam sebuah upaya
mengetahui (sebagai tindakan berpikir) sesuatu dalam dirinya, manusia perlu
melakukan refleksi-diri. Seperti adanya sebuah kesadaran bahwa dirinya tidak hidup
sendirian. Ada realitas lain diluar dirinya yang perlu mendapat perhatian. Ada
realitas ilahi dan insani yang selalu hadir dan bersinggungan dalam kenyataan diri.
Seperti pendapat Scheler bahwa kejasmanian dan kerohanian manusia itu tidak
terpisah.4 Kesadaran inilah yang pada akhirnya dapat memberikan sentuhan makna,
nilai dan arti dalam kehidupan manusia.
Kesadaran bahwa manusia adalah makhluk sosial yang tidak bisa hidup
sendirian, memunculkan sebuah tanggung jawab untuk membangun hubungan /
relasi dengan yang lain. Inilah yang dinamakan kesadaran sosial. Kesadaran sebagai
makhluk sosial yang tidak bisa hidup sendiri tanpa orang lain. Sehingga ia
memerlukan yang lain dalam menjalani dan menikmati hidupnya.
1
Linda Smith dan William Raeper , Ide-Ide : Filsafat Dan Agama Dulu dan Sekarang (Yogyakarta:
Penerbit Kanisius, 2000), 15
2
M.Sastrapratedja, Filsafat Manusia (Jakarta:Pusat Kajian Filsafat Dan Pancasila, 2010), 15
3
Ibid, 16
4
Ibid, 26
8
Dalam pandangan sosiologi , kesadaran hidup bersama merupakan sebuah
kemestian. Dan kemestian ini menyebabkan manusia dalam menjalankan keseharian
tidak hanya secara personal (pribadi) saja, ia membutuhkan the other (yang lain).
Secara pesonal manusia adalah individu yang memiliki banyak kepentingan dan ia
cenderung mengejar kepentingannya sendiri . Seperti Marx pernah mengatakan
dalam teorinya tentang manusia bahwa manusia pada hakikatnya mengejar
kepentingannya sendiri.5 Dan tanpa disadari kepentingan diri berjumpa dan
bersinggungan dengan berbagai kepentingan yang berbeda diluar dirinya. Menurut
Durkheim , perbedaan – perbedaan yang ada ini adalah bagian hidup sadar para
individu yang dimiliki berkenaan dengan kehidupan bersama mereka. 6
Seperti pendapat Titaley dan Hidayat yang saya kutip di bab sebelumnya
bahwa perjumpaan diri dengan yang lain (baca: kehidupan bersama) merupakan
kenyataan yang tidak bisa dihindari. Oleh karenanya dalam perjumpaan dan interaksi
antara satu dengan yang lain, dengan segala perbedaan-perbedaan yang ada harus
diberi ruang yang sama. Dan di dalam ruang yang sama ini, masing-masing memiliki
hak yang sama, hak untuk menjalani kehidupan dan mempertahankan
kehidupannya.
5
Tom Campbell, Tujuh Teori Sosial ( Yogyakarta: Kanisius, 1994), 143
6
Ibid, 180
9
dan terkait. Keterikatan dan keterkaitan antara satu dengan yang lain itu berada
dalam sebuah bingkai yang dinamakan perkawinan.
7
Sutarno , Makalah Perkawinan “ Pandangan Kekristenan Tentang Pernikahan” 2005, 1
8
Indriyani, Sri Sutanti, Sosiologi Suatu Kajian Hidup Bermasyarakat (Sukoharjo: Ghalia Indonesia, 2007), 44
10
sistem yang secara fungsional terintegrasi dalam suatu keseimbangan. Dengan
demikian masyarakat adalah merupakan kumpulan sistem-sistem sosial yang satu
sama lain berhubungan dan saling memiliki ketergantungan. Agar sebuah sistem
dapat bertahan, Parsons kemudian mengembangkan apa yang disebut imperatif-
imperatif fungsional, yang dikenal sebagai skema AGIL. Agar tetap bertahan
(survive), suatu sistem harus memiliki empat fungsi yaitu:9
1. Adaptation: fungsi yang amat penting disini dimana sistem harus dapat
beradaptasi dengan cara menanggulangi situasi eksternal yang gawat,
dan sistem harus bisa menyesuaikan diri dengan lingkungan juga dapat
menyesuaikan lingkungan untuk kebutuhannya.
2. Goal Attainment: pencapaian tujuan sangat penting., dimana sistem
harus bisa mendefiniskan dan mencapai tujuan.
3. Integration : artinya sebuah sistem harus mampu mengatur dan menjaga
antar hubungan bagian-bagian yang menjadi komponennya (termasuk
aktor-aktornya), selain itu mengatur dan mengelola ketiga fungsi (AGIL) .
4. Latency: laten berarti sistem harus mampu berfungsi sebagai pemelihara
pola, sebuah sistem harus memelihara dan memperbaiki motivasi pola-
pola individu dan cultural.
9
George Ritzer - Douglas J. Goodman , Teori Sosiologi Modern; edisi ke -6 ( Jakarta: Kencana
Prenada Media Group, 2005)
11
Maintanance mewakili empat (4) fungsi dasar yang harus dicapai oleh semua sitem
sosial atau organisasi sosial supaya tetap bertahan.
12
berbeda. Baik itu dikarenankan perbedaan latar belakang suku, agama maupun
sosial. Kaitannya dengan pergumulan mengenai perkawinan bagi pasangan beda
agama. Kenyataan adanya ketegangan-ketegangan di negeri ini tentunya bukan
untuk dihindari tetapi justru dihadapi, dicarikan solusi, di temukan jawaban apakah
mereka yang berbeda agama ini dapat melaksanakan perkawinannya dihadapan
Pencatat Perkawinan pada Catatan Sipil.
Salah satu contoh yang dapat dilihat adalah persoalan permohonan dari
empat alumni Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI) bersama seorang
mahasiswa FHUI, pada tahun 2014 yang mengangkat sebuah realitas sosial yaitu
fenomena perkawinan beda agama. Sehingga mereka mengajukan hak uji materi
(judicial review) terhadap UU Perkawinan ke Mahkamah Konstitusi (MK). Menurut
mereka UU No 1/1974 dinilai tidak memberikan perlindungan bagi warga yang ingin
menikah, tetapi berbeda agama.10 Permohonan dari empat alumni Fakultas Hukum
UI di atas merupakan sebuah potret diri bahwa perkawinan bagi pasangan beda
agama di Indonesia masih belum mendapat ruang. Atau dengan kata lain masih
mengalami kesulitan untuk dilaksanakan dan dicatatkan. Sehingga yang terjadi
adalah beberapa atau banyak pasangan berbeda agama ini lantas menikah di luar
negeri agar perkawinan mereka dinyatakan sah secara agama. Dan setelah disahkan
secara agama, mereka pulang ketanah air untuk mencatatkan perkawinannya di
Dinas Kependudukan dan Pencataan Sipil Setempat.
Ketegangan-ketegangan diatas sudah diupayakan dengan dikeluarkannya
sebuah undang-undang, tetapi dalam pelaksanaan di lapangan, tetap saja
pelaksanaan pencatatan perkawinan bagi pasangan beda agama masih mengalami
kendala dengan persoalan hukum agamanya masing-masing dan persoalan
administratif di Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Setempat.
Dari sudut pandang Parsons, berdasarkan teori struktural fungsional maka
ketegangan-ketegangan dalam masyarakat tersebut merangsang penyesuaian
(adaptation), baik bagi para aktor yang ada didalamnya beserta sistem nilai, norma
hukum yang berlaku dalam masyarakat . Tahapan penyesuaian tersebut juga terus
diupayakan sampai pada tahapan integration. Dimana didalamnya ada sebuah
10
Aturan Yang Tetap Hangat, Setelah 30 Tahun Lebih (Kompas, Jumat, 26 Juni 2015), 46
13
konsensus atau mufakat diantara para pemimpin dan anggota masyarakat (baca:
para aktor seperti Walikota Salatiga, Kepala Dinas Kependudukan Dan Pencatatan
Sipil Salatiga dan Pengadilan Kota Salatiga). Sedangkan Nilai, Norma Hukum yang
diberlakukan khususnya dalam konteks perkawinan khususnya pasangan beda
agama adalah Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 dan Undang-
Undang No 23 tahun 2006 Pasal 35a. Ditambah dengan peraturan perundangan
yang lain seperti Pasal 34 ayat (1) Undang-undang Nomor 23 tahun 2006 dan Pasal
67 ayat (2) Peraturan Presiden Nomor 25 Tahun 2008 yang diperjumpakan dengan
situasi/kondisi yang ada di tengah-tengah masyarakat. Semua langkah ini pada
akhirnya bermuara pada tahapan “Goal Attainment”, tahapan pencapaian tujuan.
Tujuan yang dicapai adalah terlaksananya pencatatan perkawinan bagi pasangan
yang berbeda agama.
Dalam tahapan Latency, Parson menegaskan bahwa sistem yang ada (baca:
sistim pelayanan di Pemerintahan Kota, Dinas Kependudukan Dan Pencatatan Sipil,
Pengadilan) pada akhirnya harus mampu memelihara dan memperbaiki motivasi
pola-pola individu dan pola cultural.
LATENCY INTEGRATION
14
Gambar 2. Teori Aksi dan Hukum (Modifikasi dari Teori Struktural Fungsional)
Nilai,
Norma,
Hukum
1.Cara 1
Aktor Tujuan
2.Cara 2
3. Cara 3
Situasi,
kondisi
11
Susanto , Astrid S , Pengantar Sosiologi Dan Perubahan Sosial. (Bandung : Bina Cipta, 1979)
12
M.Bambang Pranowo, Steriotip etnik, asimilasi, integrasi social. (Malang: Pustaka Grafika, 1988), 112
15
digunakan sehingga pada akhirnya dapat mempengaruhi interaksi sosial yang sedang
terjadi dan melahirkan cara-cara yang efektif dan efisien demi mencapai tujuan
bersama yang diinginkan.
16
17
18
19