Anda di halaman 1dari 13

PENGUKURAN SIKAP

Makalah

Dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah Psikologi Sosial

Dosen Pengampu :

Elisa Kurniadewi, S.Ag,. M.Si Psikolog

Disusun Oleh Kelompok 3 :

Muhammad Luthfi (11200541000077)


Muhammad Ibnu (11200541000096)
Nabila Rahmadevany (11200541000104)
Salwa Nadila Putri (11200541000112)
Chanez Vierly Mahendy (11200541000124)

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA


FAKULTAS DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI
PROGRAM STUDI KESEJAHTERAAN SOSIAL KELAS 3C
2021
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Manusia adalah makhluk yang unik karena memilki perbedaan dengan individu
lainnya. Sikap (attitude) merupakan konsep paling penting dalam psikologi sosial yang
membahas unsur sikap baik sebagai individu maupun kelompok. Banyak kajian
dilakukan untuk merumuskan pengertian sikap, proses terbentuknya sikap, maupun
perubahan. Banyak pula penelitian telah dilakukan terhadap sikap kaitannya dengan efek
dan perannya dalam pembentukan karakter dan sistem hubungan antarkelompok.
Sikap merupakan komponen penting dalam jiwa manusia yang akan mempengaruhi
perilaku seseorang. Sikap mempengaruhi segala keputusan yang kita ambil maupun yang
kita pilih. Sikap kita akan mempengaruhi siapa teman hidup yang kita pilih, baju kita
sukai, hobi yang akan kita tekuni. Singkatnya, sikap mempengaruhi kehidupan kita
sehari-hari. Pengaruh sikap yang kuat dalam kehidupan sehari-hari manusia mendorong
banyak peneliti dan praktisi dalam pendidikan dan ilmu sosial meneliti tentang sikap,
baik pembentukan dan perubahannya maupun pengaruh sikap terhadap perilaku manusia.
Pengukuran sikap seseorang tentu berbeda dengan pengukuran tekanan darah, di mana
pengukuran tekanan darah dapat secara obyektif diukur dan mudah dilakukan.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pengertian sikap dan komponen sikap?
2. Apa faktor-faktor yang mempengaruhi sikap?
3. Bagaimana fungsi sikap dan mengetahui hubungan sikap dengan perilaku?
4. Bagaimana cara mengukur sikap?

C. Tujuan Pembuatan Makalah


1. Menjelaskan pengertian sikap dan komponen sikap.
2. Menguraikan faktor-faktor yang mempengaruhi sikap.
3. Menjelaskan fungsi sikap dan mengetahui hubungan sikap dengan perilaku.
4. Menjelaskan cara mengukur sikap.

1
PEMBAHASAN

1. A. Pengertian Sikap
Seorang individu sangat erat hubunganya dengan sikapnya masing-masing
sebagai ciri pribadinya. Sikap pada umumnya sering diartikan sebagai suatu tindakan
yang dilakukan individu untuk memberikan tanggapan pada suatu hal. Pengertian
sikap dijelaskan oleh Saifudin Azwar (2010: 3) sikap diartikan sebagai suatu reaksi
atau respon yang muncul dari sseorang individu terhadap objek yang kemudian
memunculkan perilaku individu terhadap objek tersebut dengan cara-cara tertentu.
1
Gerungan (2004: 160) juga menguraikan pengertian sikap atau attitude sebagai suatu
reaksi pandangan atau perasaan seorang individu terhadap objek tertentu. Walaupun
objeknya sama, namun tidak semua individu mempunyai sikap yang sama, hal itu
dapat dipengaruhi oleh keadaan individu, pengalaman, informasi dan kebutuhan
masing- masing individu berbeda. Sikap seseorang terhadap objek akan membentuk
perilaku individu terhadap objek. Pengertian mengenai sikap juga disampaikan oleh
Sarlito dan Eko (2009: 151). Sikap adalah suatu proses penilaian yang dilakukan oleh
seorang individu terhadap suatu objek.2 Objek yang disikapi individu dapat berupa
benda, manusia atau informasi. Proses penilaian seorang terhadap suatu objek dapat
berupa penilaian positif dan negatif. Pengertian sikap juga diuraikan oleh Slameto
(1995: 191), sikap merupakan sesuatu yang dipelajari dan menentukan bagaimana
individu bereaksi terhadap situasi serta menentukan apa yang dicari oleh individu
dalam hidupnya.3

1
Azwar, S. 1988. Sikap Manusia: Teori dan Pengukurannya. Liberty, Yogyakarta, h.24.

2
Faturochman. 2002. Keadilan: Perpektif Psikologi. UPF Psikologi UGM & Pustaka Pelajar,
Yogyakarta, h. 109.

3
Sarwono, Sarlito W., & Meinarno, Eko A. (2011). Psikologi Sosial. Jakarta: Salemba
Humanika, h. 37.

2
Berdasarkan beberapa pendapat ahli mengenai sikap, maka dapat disimpulkan
bahwa sikap adalah suatu reaksi atau respon berupa penilaian yang muncul dari
seorang individu terhadap suatu objek. Sikap juga dapat dikatakan sebagai suatu
perwujudan adanya kesadaran terhadap lingkunganya. Proses yang mengawali
terbentuknya sikap adalah adanya objek disekitar individu memberikan stimulus yang
kemudian mengenai alat indra individu, informasi yang yang ditangkap mengenai
objek kemudian diproses di dalam otak dan memunculkan suatu reaksi. Penilaian
yang muncul, positif atau negatif dipengaruhi oleh informasi sebelumnya, atau
pengalaman pribadi individu.
B. Komponen Sikap
Sikap yang ditunjukan seorang individu terhadap objek, mempunyai struktur yang
terdiri dari beberapa komponen. Saifudin Azwar (2010: 23-28) menjelaskan komponen
dalam struktur sikap yaitu:
a. Komponen kognitif
Merupakan representasi apa yang dipercayai oleh individu pemilik sikap, komponen
kognitif berisi kepercayaan stereotipe yang dimiliki individu mengenai sesuatu dapat
disamakan penanganan (opini) terutama apabila menyangkut masalah isu atau yang
kontroversial. 4
b. Komponen afektif
Merupakan perasaan yang menyangkut aspek emosional. Aspek emosional inilah
yang biasanya berakar paling dalam sebagai komponen sikap dan merupakan aspek
yang paling bertahan terhadap pengaruh-pengaruh yang mungkin adalah mengubah
sikap seseorang komponen afektif disamakan dengan perasaan yang dimiliki
seseorang terhadap sesuatu. 5
c. Komponen konatif
Merupakan aspek kecenderungan berperilaku tertentu sesuai sikap yang dimiliki oleh
seseorang. Aspek ini berisi tendensi atau kecenderungan untuk bertindak atau
bereaksi terhadap sesuatu dengan cara-cara tertentu.
4
Faturochman. 2002. Keadilan: Perpektif Psikologi. UPF Psikologi UGM & Pustaka Pelajar,
Yogyakarta, h. 111.

5
Azwar, S. 1988. Sikap Manusia: Teori dan Pengukurannya. Liberty, Yogyakarta, h. 36.

3
Sikap individu perlu diketahui arahnya, negatif atau positif. Untuk mengetahui arah
sikap manusia dapat dilihat dari komponen-komponen sikap yang muncul dari seorang
individu. Sarlito dan Eko (2009: 154) juga menjelaskan bahwa sikap adalah konsep yang
dibentuk oleh tiga komponen yaitu kognitif, afektif dan konatif. Komponen kognitif
berisi pemikiran dan ide-ide yang berkenaan dengan objek sikap, misalnya meliputi
penilaian, keyakinan, kesan, atribusi, dan tanggapan mengenai objek sikap. Komponen
afektif merupakan komponen yang meliputi perasaan atau emosi seseorang terhadap
objek sikap. Komponen afektif pada sikap seseorang dapat dilihat dari perasaan suka,
tidak suka, senang atau tidak senang terhadap objek sikap. Sedangkan komponen konatif,
dapat dilihat melalui respon subjek yang berupa tindakan atau perbuatan yang dapat
diamati.

2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Sikap


Faktor-faktor yang mempengaruhi sikap yaitu:
a. Pengalaman pribadi
Pengalaman pribadi dapat menjadi dasar pembentukan sikap apabila pengalaman
tersebut meninggalkan kesan yang kuat. Sikap akan lebih mudah terbentuk apabila
pengalaman pribadi tersebut terjadi dalam situasi yang melibatkan faktor emosional.
b. Pengaruh orang lain yang dianggap penting
Individu pada umumnya cenderung untuk memiliki sikap yang konformis atau searah
dengan sikap seseorang yang dianggap penting. Kecenderungan ini antara lain
dimotivasi oleh keinginan untuk berafiliasi dan untuk menghindari konflik dengan
orang yang dianggap penting tersebut.
c. Pengaruh kebudayaan
Kebudayaan dapat memberi corak pengalaman individu-individu masyarakat
asuhannya. Sebagai akibatnya, tanpa disadari kebudayaan telah menanamkan garis
pengaruh sikap kita terhadap berbagai masalah.
d. Media massa

4
Dalam pemberitaan surat kabar maupun radio atau media komunikasi lainnya, berita
yang seharusnya faktual disampaikan secara obyektif berpengaruh terhadap sikap
konsumennya.
e. Lembaga pendidikan dan lembaga agama
Konsep moral dan ajaran dari lembaga pendidikan dan lembaga agama sangat
menentukan sistem kepercayaan. Tidaklah mengherankan apabila pada gilirannya
konsep tersebut mempengaruhi sikap.
f.Faktor emosional
Suatu bentuk sikap merupakan pernyataan yang didasari emosi yang berfungsi sebagai
sebagai semacam penyaluran frustasi atau pengalihan bentuk mekanisme pertahanan
ego.

3. A. Fungsi Sikap
Katz (Luthans, 1955) menjelaskan empat fungsi sikap, keempat fungsi sikap itu
adalah fungsi penyesuaian diri, fungsi pertahanan diri, fungsi ekspresi nilai, dan
fungsi pengetahuan.
1. Fungsi penyesuaian diri
Berarti bahwa orang cenderung mengembangkan sikap yang akan membantu untuk
mencapai tujuan secara maksimal. Sebagai contoh, seseorang cenderung menyukai
partai politik yang mampu memenuhi dan mewakili aspirasi-aspirasinya. Di Negara
Inggris dan Astralia, seorang pengangguran akan cenderung memilih partai buruh
yang kemungkinan besar dapat membuka lapangan pekerjaan baru atau member
tunjangan lebih besar.
2. Fungsi pertahanan diri
Mengacu pada pengertian bahwa sikap dapat melindungi seseorang dari keharusan
untuk mengakui kenyataan tentang dirinya. Sebagai contoh fungsi ini adalah perilaku
proyeksi. Proyeksi adalah atribusi cirri-ciri yang tidak diakui oleh diri seorang dalam
dirinya kepada orang lain. Melalui proyeksi, ia seakan-akan tidak akan memiliki cirri-
ciri itu.
3. Fungsi ekspresi nilai

5
Berarti bahwa sikap membantu ekspresi positive nilai-nilai dasar seseorang,
memamerkan citra dirinya dan aktualisasi diri. Si Fithra mungkin memiliki citra diri
sebagai seorang “ Konsevative” yang hal itu akan mempengaruhi sikapnya tentang
demikrasi atau sikapnya tentang perubahan sosial.
4. Fungsi pengetahuan
Berarti bahwa sikap membantu seseoarang menetapkan standar evaluasi terhadap
sesuatu hal. Standar itu menggambarkan keteraturan, kejelasan, dan stabilitas
kerangka acu pribadi seseoarang dalam menghadapi objek atau peristiwa
disekelilingnya. Contoh fungsi pengetahuan sikap misalnya adalah pemilik sepeda
motor akan mengubah sikap positif terhadap sepeda motor seiring dengan
peningkatan status sosialnya. Ia sekarang emutuskan untuk membeli mobil karena ia
yakin bahwa mobil lebih sesuai dengan status sosialnya yang baru, yaitu sebagai
manager tingkat menengah sebuah perusahaan level menengah.

B. Hubungan Sikap dengan Perilaku


Sikap yang dilakukan oleh setiap individu sangatlah berpengaruh terhadap perilaku
individu. Pengaruh tersebut terletak pada individu sendiri terhadap respon yang ditangkap
,kecenderungan individu untuk melakukan tindakan dipengaruhi oleh berbagai faktor
bawaan dan lingkungan sehingga menimbulkan tingkah laku.
1. Pembentukan perilaku
Pembentukan perilaku dengan konsidioning atau kebiasaan, Cara ini didasarkan
atas teori belajar konsidioning yang dikemukakan oleh Pavlov, Thorndike dan Skinner.
Dengan cara membiasakan diri untuk berperilaku seperti yang diharapkan, akan
terbentuklah perilaku tersebut. Pembentukan perilaku dengan pengertian (insight).
Disamping pembentukan perilaku dengan kondisioning, pembentukan perilaku dapat
ditempuh dengan pengertian (insight). 6Cara ini berdasarkan atas teori belajar kognitif,
yaitu belajar yang disertai dengan adanya pengertian, seperti yang dikemukakan Kohler.7
Pembentukan perilaku dengan menggunakan model atau contoh. Jadi, perilaku itu
dibentuk dengan cara menggunakan model atau contoh yang kemudian perilaku dari

6
Faturochman. 1993. Prejudice and Hostility: Some Perspectives. Buletin Psikologi, No.1, 17-23.
7
Dayakisni, T., & Hudaniah. (2003). Psikologi Sosial. Malang: UMM Press, h. 45.

6
model tersebut ditiru oleh individu. Hal ini didasarkan atas teori belajar sosial (sosial
learning theory) atau observational learning theory yang dikemukakan oleh Bandura.

2. Konsistensi Sikap dan Perilaku


Sikap dan perilaku sering dikatakan berkaitan erat, dan hasil penelitian juga
memperlihatkan adanya hubungan yang kuat antara sikap dan perilaku. Salah satu teori
yang bias menjelaskan hubungan antara sikap dan perilaku yang dikemukakan oleh
Fishbein dan Ajzen. Menurut mereka, antara sikap dan perilaku terdapat satu faktor
psikologis yang harus ada agar keduanya konsisten, yaitu niat (intention). Worchel dan
Cooper (1983) menyimpulkan sikap dan perilaku bias konsisten apabila ada kondisi
sebagai berikut:
1. Spesifikasi sikap dan perilaku.
2. Relevansi sikap terhadap perilaku.
3. Tekanan normative.
4. Pengalaman.

4. Cara Mengukur Sikap


Dalam pengukuran sikap ada beberapa macam cara, yang pada garis besarnya
dibedakan secara langsung dan secara tidak langsung. Secara langsung yaitu subjek
secara langsung dimintai pendapat bagaimana sikapnya terhadap suatu masalah atau hal
yang dihadapkan kepadanya. Dalam hal ini da[at dibedakan langsung berstruktur dan
langsung tidak berstruktur. Secara langsung yang tidak berstruktur misalnya mengukur
sikap dengan wawancara bebas (free interview), dengan pengamatan langsung atau
dengan survey (misal public opinion survey). Sedangkan secara langsung berstruktur,
yaitu dengan pengukuran sikap dengan menggunakan pertanyaan-pertanyaan yang telah
disusun sedemikian rupa dalam suatu alat yang telah ditentukan, dan langsung diberikan
kepada subjek yang diteliti. Misal pengukuran sikap dengan skala Bogardus, Thurstone,
dan Likert.8
Pengukuran sikap dengan tidak langsung ialah pengukuran sikap dengan
menggunakan tes. Dalam hal ini dapat dibedakan tes proyektif dan non proyektif. Tes

8
Chaplin, J.P. (2011). Kamus Lengkap Psikologi. Jakarta: Raja Grafindo Persada, h. 18

7
proyektif adalah tes dimana kepada subjek disajikan rangsangan yang relatif ambigius
(tidak jelas), dari cara subjek menanggapi rangsangan tersebut, tester dapat menduga
dan menyimpulkan motif dan emosi yang melandasi persepsinya. Misal : Tes Rho,
TAT, CAT, Grafis. Sedangkan tes non proyektif adalah tes dimana disajikan stimulus
yang cukup jelas. Tes non proyektif berbentuk skala atau inventari misalnya : EPPS, 16
PF.
4. Pengukuran Sikap Secara Langsung tak Berstruktur
Pengukuran sikap langsung tak berstruktur ini merupakan cara pengukuran sikap
yang cukup sederhana, dalam arti tidak diperlukan persiapan yang cukup mendalam
guna mengadakan pengukuran sikap tersebut bila dibandingkan dengan cara-cara yang
lain. Misal untuk mengetahui sikap sementara penduduk terhadap masalah kesehatan
dengan cara mengadakan observasi di lapangan, ataupun dengan wawancara.
Berdasarkan hasil observasi ataupun wawancara tersebut kemudian ditarik kesimpulan
tentang bagaimana sikap penduduk terhadap kesehatan.
5. Pengukuran Sikap Secara Langsung yang Berstruktur
a. Pengukuran sikap model Bogardus
Disebut juga Bogardus Social Distance, dicetuskan oleh E.S Bogardus (1925). Model
skala ini mengukur keinginan individu dalam melakukan kontak sosial pada berbagai
kedekatan dengan individu lainnya. Skala ini berupaya untuk mengukur jarak
socialantar individu (kelompok) atau sikap penerimaan terhadap individu (kelompok)
lain. Jawaban positif terhadap suatu item dengan nilai skala yang lebih tinggi
mengimplikasikan jawaban yang positif pula terhadap item-item dengan nilai skala yang
lebih rendah. Bersifat kumulatifyaitu individu yang menunjukkan sikap positif terhadap
item yang menunjukkan jarak sosial yang sempit dengan sendirinya juga akan memberi
respon positif terhadap hubungan yang menunjukkan jarak sosial yang lebih lebar.
Disusun dengan menggunakan 7 kategori, yang bergerak mulai dari yang ekstrim
menerima sampai dengan yang ekstrim menolak.Skor 1-7, dimana skor 1 menunjukkan
tidak ada jarak sosial, tidak prejudice
Contoh : Sikap terhadap individu bangsa lain :
1) Keluarga dekat melalui pernikahan (1.00)
2) Sebagai teman dekat (2.00)

8
3) Sebagai tetangga (3.00)
4) Sebagai mitra kerja (4.00)
5) Sebagai Warga Negara Indonesia (5.00)
6) Sebagai pengunjung di Indonesia (6.00)
7) Ditolak masuk Indonesia (7.00)
b. Pengukuran sikap model Thurstone
Apabila kita menghendaki jenis data satu tingkat lebih tinggi atau data interval maka
kita dapat menggunakan skala Thurstone atau sering juga disebut metode equal
appearing interval. Ada beberapa langkah awal yang harus dilakukan, seperti: 1)
penetapan tujuan atau kawasan ukur, 2) melakukan pendefinisian secara konseptual, 3)
menyusun definisi operasional, 4) mengidentifikasi indikator perilaku, 5) membuat blue
print alat ukur, dan 6) penyusunan item-item per indikator yang juga disusun dengan
item favorable dan unfavorable sebanyak mungkin. Yang menjadi pembeda dalam
penyusunan skala antara Likert dan Thurstone terletak pada perlakuan setelah item jadi.
Setelah item tersusun langkah selanjutnya yang harus dilakukan adalah membuat format
untuk proses penilaian oleh Judges. Setiap item diberikan alternatif respon dengan
rentang skala 11, ke sebelas rentang skala tersebut diberikan keterangan dengan huruf A
sampai K seperti contoh di bawah ini.
Langkah selanjutnya adalah mencari penilai atau Judges minimal 30 orang untuk
memberikan penilaian item. Instruksi yang diberikan ke penilaian sebelum melakukan
penilaian adalah penilai atau Judges diminta meletakkan item pada rentang huruf
tersebut, semakin ke arah huruf A maka item tersebut menyatakan item yang
Unfavorable demikian pula sebaliknya apabila item tersebut diletakkan semakin
mendekati huruf K maka item tersebut menyatakan item yang Favorable. Proses
penilaian ini dilakukan pada semua item yang telah disusun satu per satu.
Apabila seluruh item sudah dilakukan penilaian oleh seluruh penilaian atau Judges,
maka langkah selanjutnya adalah melakukan tabulasi data seperti menghitung frekuensi,
menghitung persentase, menghitung persentase kumulatif. Selanjutnya melakukan
penghitungan nilai S (median) dan nilai Q dari penghitungan nilai percentile 25 dan
percentile 75.Untuk keperluan interpretasi, dihitung total nilai kemudian hitung mean
(rata-rata) dari nilai S yang dijawab “Ya”, selanjutnya nilai mean (rata-rata) tersebut

9
letakkan pada rentang skala 1 s/d 11. Maka di situlah posisi subyek untuk variabel yang
anda ukur.
c. Pengukuran sikap model Likert
Model skala Likert paling banyak digunakan untuk pengukuran perilaku. Skala yang
terdiri dari pernyataan dan disertai jawaban setuju-tidak setuju, sering-tidak pernah,
cepat-lambat, baik-buruk dan sebagainya. (tergantung dari tujuan pengukuran).C. Bird
menyebutnya sebagai Method of Sumated Ratings.
Skala ini biasanya digunakan untuk beberapa alasan, yaitu: 1) menggambarkan
secara kasar posisi individu dalam kelompoknya (posisi relatif), 2) ingin
membandingkan skor subyek dengan kelompok normatifnya, dan 3) Ingin menyusun
skala pengukuran yang sederhana dan mudah dibuat.
Adapun langkah–langkah penyusunan skala, yaitu: 1) menentukan dan memahami
dengan baik apa yang akan diukur, 2) menyusun Blue Printuntuk memandu penyusunan
alat ukur, 3) indikator yang secara teoritis-logis memberi kontribusi yang lebih besar
harus diberikan pernyataan yang lebih banyak, 4) pernyataan dibuat Favorable dan
Unfavorable, 5) membuat Item sesuai dengan kaidah, 6) uji coba item, 7) memilih item
yang baik, 8) menyusun item terpilih menjadi satu set alat ukur, 9) menginterpretasikan
hasil pengukuran.
Penyusunan item terpilih dalam satu set skala harus acak berdasarkan indikator
maupun item Favorable dan Unfavorable. Interpretasi skor skala Likerttidak dapat
dilakukan secara langsungdanharus dibandingkan dengan skor kelompok normatifnya.
Sedangkan penskalaan responmerupakan prosedur penempatan sejumlah alternatif
respon tiap item pada suatu kontinum kuantitatif sehingga didapatkan angka sebagai
skor masing-masing alternatif respon, data yang digunakan untuk penskalaan
merupakan data yang diperoleh dari kelompok subyek atau responden yang menjawab
item. Adapun tahapan menentukan skor respon dengan cara: 1) menghitung frekwensi
(f) jawaban subyek untuk masing-masing kategori respon, 2) menghitung proporsi (p)
masing-masing respon dengan cara membagi frekwensi di tiap respon dengan jumlah
responden keseluruhan, 3) menghitung proporsi kumulatif (pk), 4) menghitung titik
tengah proporsi kumulatif (pk-t). Tahapan yang dilakukan untuk menentukan skor

10
respon adalah: 1) mencari nilai z dari tabel deviasi normal, 2) menentukan titik nol pada
respon paling kiri/paling rendah dan, 3) prosedur ini diulang untuk setiap item.
Alat ukur dapat dinyatakan baik bila alat ukur tersebut valid dan reliabel. Validitas,
dalam pengertiannya yang paling umum, adalah ketepatan dan kecermatan skala dalam
menjalankan fungsi ukurnya. Artinya, sejauh mana alat ukur itu mampu mengukur
atribut yang ia rancang untuk mengukurnya. Alat ukur yang hanya mampu mengungkap
sebagian dari atribut yang seharusnya atau justru mengukur atribut lain, dikatakan
sebagai alat ukur yang tidak valid. Karena validitas sangat erat berkaitan dengan tujuan
ukur, maka setiap alat ukur hanya dapat menghasilkan data yang valid untuk satu tujuan
ukur pula. Validitas adalah karakteristik utama yang harus dimiliki oleh setiap alat ukur.
Apakah suatu alat ukur berguna atau tidak sangat ditentukan oleh tingkat validitasnya.
Oleh karena itu, sejak tahap awal perancangan alat ukur sampai dengan tahap
administrasi dan pemberian skornya, usaha-usaha untuk menegakkan validitas harus
selalu dilakukan. Dalam rangka itulah perancang perlu mengenali beberapa faktor yang
dapat mengancam validitas alat ukur. Suatu alat yang baik juga harus reliabel atau
andal, artinya alat tersebut harus dapat memberikan hasil pengukuran yang tetap atau
stabil. Persoalan yang menyangkut reliabilitas alat ukur adalah menyangkut persoalan
kestabilan hasil pengukuran.

KESIMPULAN
Sikap adalah keadaan diri dalam manusia yang menggerakkan untuk bertindak atau
berbuat dalam kegiatan sosial dengan perasaan tertentu didalam menanggapi obyek
situasi atau kondisi di lingkungan sekitarnya. Selain itu sikap juga memberikan kesiapan
untuk merespon yang sifatnya positif atau negatif terhadap obyek atau situasi.
Pengukuran variabel sikap dapat dilakukan dengan cara wawancara, observasi, dan
kuesioner. Penyusunan instrumen sikap sebaiknya melakukan langkah penyusunan
kuesioner. Ada pun penyusunan kuesioner sikap meliputi langkah penyusunan defenisi
operasional variabel yang akan diukur, memecah variabel menjadi beberapa sub variabel,
membedakan pernyataan sikap, serta mengulas dan meneliti pernyataan yang dibuat.

11
Setelah menyusun instrumen maka pengukuran validitas dan reliabilitas dari instrumen
yang telah dibuat perlu dilakukan.

DAFTAR PUSTAKA

Azwar, S. 1988. Sikap Manusia: Teori dan Pengukurannya. Liberty, Yogyakarta.

Chaplin, J.P. (2011). Kamus Lengkap Psikologi. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Dayakisni, T., & Hudaniah. (2003). Psikologi Sosial. Malang: UMM Press.

Faturochman. 1993. Prejudice and Hostility: Some Perspectives. Buletin Psikologi, No.1,
17-23.

Faturochman. 2002. Keadilan: Perpektif Psikologi. UPF Psikologi UGM & Pustaka
Pelajar, Yogyakarta.

Sarwono, Sarlito W., & Meinarno, Eko A. (2011). Psikologi Sosial. Jakarta: Salemba
Humanika.

12

Anda mungkin juga menyukai