Anda di halaman 1dari 17

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Ulkus Diabetikum

2.1.1 Definisi

Ulkus diabetikum pada kaki merupakan komplikasi dari diabetes melitus.

Terbentuknya ulkus diawali dari hasil trauma yang ditunjukkan dengan penyakit

neuropati atau gangguan pada pembuluh darah perifer dengan infeksi sekunder

yang diikuti dengan hambatan pada lapisan epidermis (Ali et al., 2021).

Secara umum, ulkus diabetikum pada kaki adalah komponen penghancur

progresif dari diabetes yang menyebabkan hilangnya kontrol gula darah, gangguan

saraf perifer, gangguan pembuluh darah perifer, dan immunosupressant (Aumiller

and Dollahite, 2015).

2.1.2 Etiologi dan Patofisiologi

Ulkus diabetikum seringkali mempunyai hubungan dengan riwayat penyakit

diabetes. Penyakit diabetes mempunyai karakteristik hiperglikemia dengan

peningkatan mediator inflamasi, memicu respon inflamasi, dan menyebabkan

inflamasi yang bersifat kronis. Proses inflamasi dan neovaskularisasi sangat penting

pada proses penyembuhan luka. Pada diabetes melitus terutama pada respon

inflamasi bersifat akut sangat rendah dan proses angiogenesis terganggu sehingga

menyebabkan hambatan pada proses penyembuhan luka (Rosyid, 2017).

Patofisiologi terjadinya ulkus diabetikum pada kaki meliputi gangguan

neuropati, gangguan vaskular, dan gangguan sistem imun yang berhubungan

dengan keadaan hiperglikemia pada diabetes. Hiperglikemia membuat respon stres

6
7

oksidatif terhadap sel saraf dan menyebabkan gangguan neuropati. Gangguan saraf

tersebut berasal dari proses yang disebut glycosylation pada protein sel saraf yang

menyebabkan iskemia. Dampak dari sel saraf yang mengalami iskemia yaitu dapat

bermanifestasi pada saraf motorik, otonom, dan sensoris pada ulkus diabetikum.

Kerusakan saraf sensorik pada kaki dapat menginduksi ketidakseimbangan otot

fleksor dan ekstensor, mempunyai deformitas pada kaki, dan menginduksi ulkus

pada kulit. Kerusakan yang terjadi pada saraf otonom dapat membuat gangguan

fungsi pada kelenjar keringat dan menyebabkan kerusakan lapisan epidermis dan

kulit pada kaki (Aumiller and Dollahite, 2015).

Perubahan vaskular yang menginduksi ulkus diabetikum pada kaki yang

berhubungan dengan hiperglikemia yang dapat menginduksi perubahan pembuluh

darah arteri perifer pada kaki. Gangguan sel endotel menyebabkan kadar

thromboxane A2 meningkat sehingga terjadi penyempitan pembuluh darah dan

pembekuan plasma secara berlebihan pada pembuluh darah arteri perifer yang

menyebabkan terjadinya iskemia dan meningkatnya resiko terjadinya ulkus pada

kaki (Aumiller and Dollahite, 2015).

Perubahan sistem imun yang terjadi pada ulkus diabetikum tidak hanya dari

aktivitas sitokin proinflamasi yang berlebihan tetapi terjadi defisit aktivitas sitokin

anti inflamasi seperti TNF-β (tumor necrosis factor-β) dan IL-10 (interleukin 10).

Pada keadaan sistemik dalam diabetes terjadi kondisi aktivitas proinflamasi yang

ditandai dengan peningkatan kadar IL-1 (interleukin 1), TNF-α (tumor necrosis

factor α), dan IL-6 (interlekukin 6). Kondisi dengan tingginya aktivitas proinflamasi

juga berada pada jaringan tubuh manusia. Tingginya aktivitas proinflamasi akan
8

memengaruhi rendahnya resistensi insulin pada pasien diabetes. Sel T yang

mempunyai peran terhadap sistem imun yang adaptif akan merespon sel-sel yang

berinteraksi dengan sitokin (Moura et al., 2017).

Aktivitas sel neutrofil pada diabetes mempunyai komponen peningkatan NET

(neutrophil extracellular trapping). Pada kondisi diabetes terjadi peningkatan NET.

Peningkatan NET akan menurunkan PDGF (Platelet derived growth factor) dan

TGF-β (transforming growth factor β). Selain itu akibat peningkatan NET,

komponen NET akan mendegradasikan dan membuat komponen ECM

(extracelluler matrix) menjadi tidak aktif, terjadi peningkatan TIMPS (tissue

inhibitor of metalloproteinase). Akibat ketidakseimbangan ECM dan TIMPS akan

mengakibatkan proses penghancuran ECM dimana ECM berperan sebagai

menghancurkan aktivitas respon inflamasi. Pada pasien dengan ulkus diabetikum

tidak dapat melewati proses tersebut. (Wijaya, Budiyanto and Astuti, 2019).

2.1.3 Proses penyembuhan luka

Proses penyembuhan luka meliputi hemostasis, inflamasi, proliferasi, dan

remodelling. Salah satu sel yang berperan adalah selain neutrofil adalah limfosit.

Sel limfosit merupakan respon imun yang adaptif yang mempunyai peran penting

terhadap sistem imun. Sel ini berperan terhadap proses penyembuhan dengan

memproduksi sitokin dan growth factor (Arya et al., 2013).

Fase pertama dari penyembuhan luka adalah proses hemostasis. Fase pertama

dari proses penyembuhan luka pada ulkus diabetikum adalah dengan melibatkan

proses aktivasi dari sel trombosit, agregasi, dan adhesi ke endotel yang rusak untuk

mempertahankan hemostasis. Proses hemostasis dari fibrinogen yang akan menjadi


9

fibrin kemudian membentuk suatu trombus dan matriks ekstraseluler. Sel-sel yang

berperan seperti trombosit akan teraktivasi kemudian sel neutrofil dan monosit

berperan melepaskan beberapa protein dan berbagai faktor pertumbuhan seperti

PDGF dan TGF-β (Perez-Favila et al., 2019).

Proses inflamasi terjadi pada jaringan yang terluka. Sel neutrofil, makrofag, dan

sel mast memproduksi sitokin inflamasi seperti IL-1, IL-6, TNF-α, IFN-γ

(interferon γ), serta beberapa faktor pertumbuhan seperti PDGF, EGF (epidermal

growth factor), dan IGF-1 (insulin like growth factor 1) yang terlibat dalam proses

perbaikan luka. Pada pasien diabetes melitus, terdapat ketidakseimbangan sitokin

tersebut yang berperan dalam proses penyembuhan luka. Hal itu telah ditunjukkan

dari laporan yang menyebutkan bahwa sel neutrofil menunjukkan perubahan pola

pelepasan sitokin dan berkurangnya fungsi dari sel neutrofil yang melindungi dari

infeksi (Perez-Favila et al., 2019). Selain itu, waktu yang diperlukan dalam proses

inflamasi sekitar 48-72 jam. (Spampinato et al., 2020).

Ketika proses inflamasi telah berkurang, beberapa proses seperti angiogenesis

akan terjadi yang berperan untuk mengembalikan suplai oksigen dan bentuk protein

extracelluler matrix seperti kolagen, fibronectin, dan vitronectin untuk pergerakan

sel. Semua proses tersebut diperlukan untuk pemulihan jaringan. Pada orang

diabetes melitus dengan kondisi hiperglikemi dimana proses migrasi fibroblas dan

keratinosit akan berkurang. Sel-sel abnormal menyebabkan defisiensi proses

reepitelialisasi pada luka diabetes. Selain itu, pada pasien diabetes melitus terjadi

penurunan angiogenesis sehingga terjadi penurunan aliran darah pada luka (Perez-

Favila et al., 2019).


10

Fase remodelling terjadi setelah penyembuhan luka. Pada proses ini, sintesis

kolagen lebih besar dan menggantikan exstraseluler matrix yang dibentuk oleh

fibrin dan fibronectin. Jaringan yang mengalami granulasi akan menjadi jaringan

parut yang matur dimana mempunyai fungsi daya tahan terhadap luka disertai

pembentukan bekas luka. Pada pasien diabetes mellitus dimana fibroblas yang

berfungsi proses penutupan luka akan mengalami perubahan fungsi. Perubahan

fungsi dari fibroblas diduga akibat tidak berespon terhadap TGF-β (Perez-Favila et

al., 2019).

(Thiruvoth et al., 2015)


Gambar 2.1
Proses Penyembuhan Luka
11

2.1.4 Diagnosis ulkus diabetikum

Diagnosis pada ulkus diabetikum terbagi menjadi 3 kelompok meliputi keadaan

umum penderita, terdapat luka pada ekstremitas terutama bagian kaki dan luka yang

terinfeksi (Hutagalung et al., 2019).

Diagnosis klinis dapat ditegakkan dengan minimal 2 tanda inflamasi yaitu tanda

kemerahan, teraba hangat, nyeri, edema, dan sekret purulent. Tanda lain yang

menunjukkan infeksi sekunder meliputi adanya jaringan nekrosis, terdapat

granulasi, sekret nonpurulen, dan tercium bau busuk. Luka tersebut dapat dilakukan

dengan inspeksi, palpasi, dan pemeriksaan penunjang (Hutagalung et al., 2019).

Pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan laboratorium dapat ditemukan

peningkatan kadar laju endap darah yang tinggi berkisar > 70mm/jam. Peningkatan

jumlah leukosit dapat menunjukkan tingkatan infeksi sistemik (Hutagalung et al.,

2019).

Pada pemeriksaan radiologi, dapat menilai tingkatan infeksi ulkus diabetik.

Pemeriksaan ini meliputi MRI (Magneting Resonance Imaging) untuk

menyingkirkan diagnosis banding dari ulkus diabetikum (Hutagalung et al., 2019).

Pemeriksaan mikrobiologi bertujuan untuk mengidentifikasi bakteri penyebab

infeksi pada ulkus diabetikum dan menentukan terapi antibiotik definitif. Bahan

pemeriksaan tersebut meliputi aspirasi sekret atau spesimen pada jaringan luka

(Hutagalung et al., 2019).

2.1.5 Tatalaksana ulkus diabetikum

Prinsip penatalaksanaan pada ulkus diabetikum dengan menghilangkan tekanan

serta memberikan perlindungan pada ulkus, pemulihan perfusi jaringan, mengobati


12

infeksi, mengontrol serta mengobati penyakit penyerta, perawatan lokal pada ulkus,

dan memberikan edukasi kepada pasien (Jakosz, 2019).

Pada penatalaksanaan ulkus diabetikum dengan menghilangkan tekanan dan

memberikan perlindungan pada ulkus yaitu dengan pemakaian gips pada kaki

yangterkena ulkus diabetikum. Ketika terjadi infeksi, maka pembongkaran gips

harus dilakukan dengan hati-hati (Jakosz, 2019).

Penatalaksanaan pada pemulihan perfusi jaringan, jika tekanan pada kaki pada

pergelangan kaki sebesar < 50mmHg dan ulkus tidak sembuh dalam waktu 6

minggu, pertimbangkan dengan melakukan revaskularisasi yang bertujuan

mengembalikan aliran langsung ke salah satu arteri pada kaki (Jakosz, 2019).

Jika ditemukan infeksi sekunder pada ulkus yaitu dengan melakukan

pembersihan dan debridement semua jaringan yang telah nekrosis. Kemudian

berikan antibiotik secara empiris peroral dengan target bakteri Staphylococcus

aureus dan Streptococcus. Jika ada yang berpotensi menimbulkan komplikasi pada

anggota tubuh yang lain, maka pertimbangkan evaluasi intervensi bedah termasuk

mengangkat jaringan yang rusak atau bersihkan abses dan pemberian antibiotik

paraenteral secara empiris dengan spektrum yang luas (Jakosz, 2019).

Jika terdapat penyakit penyerta atau komorbid, maka kontrol gula darah dengan

pemberian insulin dan atasi jika terdapat edema atau malnutrisi (Jakosz, 2019).

Perawatan lokal pada tingkat yang parah pada ulkus dengan ditandai adanya

infeksi yaitu dengan melakukan tindakan debridement pada ulkus (Jakosz, 2019).
13

2.1.6 Prognosis dan komplikasi

Hasil penelitian pada orang dengan ulkus diabetikum dengan infeksi selama 12

bulan menunjukkan bahwa mempunyai prognosis buruk. Hal ini dapat diamati dari

efek yang merugikan seperti adanya iskemia pada tungkai dan durasi ulkus yang

lebih lama (Ndosi et al., 2018). Komplikasi pada ulkus diabetikum yaitu amputasi

pada kaki dan infeksi yang dapat mengancam jiwa (Mariam et al., 2017).

2.2 Neutrofil Limfosit Ratio

2.2.1 Neutrofil

Neutrofil juga disebut sebagai sel PMN (polymorphonuclear cell) yaitu

komponen sel leukosit dengan jumlah terbanyak pada tubuh manusia. Neutrofil

diproduksi di sumsum tulang. Dalam keadaan homeostasis, neutrofil akan

memasuki sirkulasi di pembuluh darah kemudian akan bermigrasi ke jaringan dan

akan dieliminasi oleh makrofag. Sel neutrofil sangat penting dalam komponen

sistem imun (Rosales, 2018).

Fungsi sel neutrofil sebagai antimikroba mempunyai peran diantaranya

fagositosis, degranulasi, dan mengeluarkan bahan-bahan dalam bentuk NET

(Rosales, 2018).

Siklus hidup neutrofil dimulai ketika sel neutrofil memasuki pembuluh darah

sampai ke jaringan. Sebagian besar, sel neutrofil di produksi di sumsum tulang yang

berasal dari hematopoietic sel stem. Kemudian, sel tersebut berdiferensiasi menjadi

atau MPPs (multiprogenitor cell). Sel tersebut akan ditransformasikan menjadi

LMPPs (lymphoid primed multipotent progenitors) yang akan berdiferensiasi

menjadi sel progenitor granulosit atau GMPs (granulocyte monocyte progenitors)


14

Sel GMPs akan mengontrol sel G-CSF (granulocyte colony stimulating factor) lalu

regenerasi kembali ke myeloblast. Sel ini akan mengikuti proses maturasi yang

meliputi promyelocyte, myelocyte, metamyeelocyte, sel band, dan menjadi sel

neutrofil yang matur (Rosales, 2018).

(Rosales, 2018)
Gambar 2.2
Siklus Hidup Sel Neutrofil

Neutrofil merupakan sel yang pertama kali menyebabkan respon inflamasi. Sel

neutrofil akan berinteraksi secara langsung atau melalui sitokin dan kemokin

dengan sel-sel imun yang lain sehingga membentuk respon innate immunity dan

adaptif (Rosales, 2018).

Pada beberapa organ seperti hepar dan jaringan lemak, beberapa sel neutrofil

dapat terdeteksi melalui kondisi yang homeostasis. Ketika respon inflamasi terjadi

pada kondisi obesitas, jumlah sel neutrofil meningkat secara cepat dan terjadi

ketidakseimbangan metabolik. Mekanisme tersebut terjadi karena sel neutrofil

melepaskan komponen enzim elastase dari azurophilic granula. Enzim tersebut

akan merusak IRS 1 (insulin reseptor substrat 1) di jaringan adipose dan sel

hepatosit sehingga terjadi proses resistensi insulin dan lipogenesis (Rosales, 2018).
15

2.2.2 Limfosit

Limfosit merupakan komponen sel darah putih yang berperan terhadap sistem

imun dan berespon ketika terjadi infeksi mikroorganisme. Limfosit mempunyai

peranan dalam tubuh manusia seperti sebagai sistem imun spesifik dengan cara

menghancurkan mikroorganisme, lalu berperan melindungi terhadap sel tumor,

danberperan dalam proses transpalantasi. Sel limfoid beredar dalam pembuluh

darah dan limfe. Sel limfoid juga berada di organ-organ seperti timus, nodus limfe,

limfa, dan appendix (Orakpoghenor et al., 2019).

Sel limfosit mempunyai tiga tipe yaitu sel T, sel B, dan sel NK. Sel T mempunyai

peranan penting terhadap sistem imun. Proses maturasi sel T berada di organ timus

yang berasal dari timosit kemudian beberapa proses maturasi sel T berada di tonsil

(Orakpoghenor et al., 2019).

Mekanisme sel T terhadap sistem imun yaitu ketika terjadi stimulasi pada

reseptor yang berada di sel T. Sel T dengan bantuan oleh MHC (Major

Histocompability Complex) kelas II dengan komponen peptida yang akan

menstimulasi molekul antigen dengan bantuan APC (Antigen Presenting Cells)

(Orakpoghenor et al., 2019).

Sel B mempunyai peranan dalam sistem imun humoral yang berespon terhadap

produksi antibodi. Sel B juga mempresentasikan antigen dan mensekresikan

sitokin. Maturasi sel B berada pada sumsum tulang. Mekanisme sel B terhadap

sistem imun yaitu dengan mengekspresikan sel B reseptor pada permukaan antigen,

kemudian mengikat pada antigen yang spesifik, dan terjadi proses pembentukan

antibodi (Orakpoghenor et al., 2019).


16

Sel NK (natural killer) merupakan komponen dari Large granular lymphocytes.

Sel NK diketahui mempunyai diferensiasi dan proses maturasi pada sumsum tulang,

nodus limfe, limfa, tonsil, dan timus. Fungsi sel NK yaitu sebagai proses apoptosis

sel, antibody-dependent cell dengan bantuan sitotoksisitas, dan sebagai sistem imun

yang adaptif dengan komponen sebagai sel memori (Orakpoghenor et al., 2019).

2.2.3 Perhitungan rasio neutrofil limfosit

Sel neutrofil dan limfosit merupakan respon inflamasi yang pertama dan sebagai

penanda area yang terluka. Sel neutrofil dan limfosit akan mengaktivasi sistem

imun sehingga menyebabkan inflamasi yang bersifat akut dan kronik (Liu et al.,

2019).

Cara menghitung sel neutrofil dan limfosit ratio adalah dengan cara

menjumlahkan sel neutrofil lalu membagi sel limfosit. Indikator tersebut dapat

digunakan sebagai prognosis dari reaksi inflamasi dan komponen darah lengkap

(Liu et al., 2019).

Rasio neutrofil limfosit dapat digunakan sebagai penanda respon inflamasi

dengan kondisi penyakit seperti infark miokard, aterosklerosis, dan COPD (chronic

obstructive pulmonary disease) (Liu et al., 2019).

2.2.4 Interpretasi rasio neutrofil limfosit secara klinis

Interpretasi rasio neutrofil limfosit tergantung pada konteks klinis dimana

rentang nilai rasio neutrofil limfosit sebagai berikut:

1) Normal jika nilai rasio didapatkan 1-2

2) Inflamasi dengan tingkatan rendah jika nilai rasio mencapai 2-3

3) Inflamasi yang bersifat ringan hingga sedang jika nilai rasio mencapai 3-7
17

4) Inflamasi yang bersifat sedang jika nilai rasio mencapai 7-11

5) Inflamasi yang bersifat berat jika nilai rasio mencapai 11-17

6) Inflamasi yang sangat parah seperti syok septik jika mencapai 17-23

7) Inflamasi dengan kondisi sistemik yang kritis jika mencapai lebih dari 23.

(Zahorec R, 2021)

(Zahorec R, 2021)
Gambar 2.3
Rasio Neutrofil Limfosit Meter

Peningkatan nilai rasio neutrofil limfosit dapat mengindikasikan tingkat

keparahan dari proses inflamasi dan secara umum mencerminkan tingkat keparahan

penyakit yang sedang berlangsung (Zahorec R, 2021).

Penggunaan rasio neutrofil limfosit secara klinis dapat digunakan dalam kondisi

mulai sepsis sampai kanker tetapi rasio neutrofil limfosit tidak dapat digunakan

sebagai goal standar dalam menegakkan diagnosis (Farkas, 2019).

Penerapan rasio neutrofil limfosit pada ulkus diabetikum yaitu peningkatan rasio

neutrofil limfosit dengan jumlah neutrofil absolut dalam darah akan meningkat.

Penyebab kenaikan jumlah neutrofil adalah proses inflamasi yang berlangsung

sehingga neutrofil akan bermigrasi ke sel yang mengalami inflamasi. Dalam hal ini,

sel limfosit mengalami penurunan yang diakibatkan marginasi ke dalam sistem

limfatik (Raharjo et al., 2020).


18

2.3 Jeruk Nipis (Citrus Aurantiifolia)

2.3.1 Taksonomi dan tata nama botani

Berdasarkan nama dan taksonomi dari jeruk nipis, taksonomi jeruk nipis sebagai

berikut:

Kingdom : Plantae

Filum : Tracheopyhta

Kelas : Magnoliopsida

Ordo : Sapindales

Famili : Rutaceae

Genus : Citrus L

Spesies : Citrus x aurantiifolia

(Cabi, 2019)

(Narang and Jiraungkoorskul, 2016)


Gambar 2.4
Jeruk Nipis (Citrus aurantifolia)

2.3.2 Deskripsi morfologi jeruk nipis

Jeruk nipis mempunyai nama botani yaitu Citrus aurantiifolia yang mempunyai

bentukan pohon cemara kecil dengan ketinggian 3-5m dan mempunyai

percabangan dan permukaan yang ditutupi dengan duri (Alessandrello et al., 2021).

Citrus aurantiifolia dapat diklasifikasikan dalam famili Rutacea dan genus Citrus

L. Ranting dari jeruk nipis mempunyai bentukan segi empat dan daunnya berbentuk
19

oval dengan gerigi yang bervariasi dalam warna kuning kehijauan menjadi hijau

tua. Bunganya mempunyai warna putih kekuningan dengan terdiri dari 4 sampai 5

kelopak (Alessandrello et al., 2021).

Bentuk buah jeruk nipis mempunyai bentuk elips dengan diameter 3cm dan 5cm.

Buah jeruk nipis mempunyai warna hijau dan ketika sudah matang buah ini

berwarna kuning. Warna daging pada buahnya mempunyai warna kehijauan dan

mempunyai rasa asam (Alessandrello et al., 2021).

2.3.3 Senyawa Aktif Citrus aurantiifolia

Tabel 2.1 Senyawa Aktif Citrus aurantiifolia


Kelas Senyawa
Polisakarida Selulosa, hemiselulosa, dan pektin
Asam Asam sitrat dan malat dengan sejumlah kecil suksinat,
organic malonik, laktat, oksalat, fosfat, tartarat, adipik dan
asam isositrat
Lemak Fosfolipid (0,1%), palmitat, palmitoleat, oleat,
asam linoleat dan linolenat
Vitamin Asam askorbat, tiamin, riboflavin, niasin, pantotenat
asam, inositol, biotin, vitamin A, vitamin K, piridoksin,
asam paminobenzoat, kolin dan asam folat
Komponen Kalium dan nitrogen (80%), kalsium, besi,
anorganik fosfor, magnesium dan klorin
Flavonoid Flavanon, flavon dan antosianin
Limonoid Limonen
Komponen Limonen
volatile
Gula Glukosa, fruktosa, dan sukrosa (1 – 15 %)
(Jain, Arora and Popli, 2020)

2.3.4 Mekanisme jeruk nipis sebagai anti inflamasi dan anti diabetik

Jeruk nipis diketahui mempunyai kaya kandungan flavonoid. Salah satu

kandungan flavonoid yang mempunyai sifat anti inflamasi yaitu quercetin. Selain

itu kandungan lainnya pada jeruk nipis adalah vitamin C (Jain, Arora and Popli,

2020).
20

Quercetin merupakan salah satu kandungan flavonoid dimana bersifat zat anti

inflamasi yang tahan lama sehingga mempunyai kemampuan anti inflamasi yang

kuat. Potensi quercetin sebagai anti inflamasi dapat diekspresikan pada berbagai

jenis sel baik model hewan maupun manusia (Li et al., 2016).

Mekanisme quercetin sebagai anti inflamasi adalah dengan menghambat

lipopolisakarida yang menginduksi TNF-α di makrofag dan menghambat IL-8

(interleukin 8) di paru-paru. Quercetin menghambat produksi enzim yang bersifat

inflamasi yaitu COX (cyclooxygenase) dan LOX (lipoxygenase). Hal ini akan

mengurangi aktivitas lipopolisakarida dimana akan menghambat fosfatidil inositol-

3-Kinase (PI3K)-(p85) tirosin sehingga akan menghambat akitvitasi pensinyalan

jalur di RAW 264,7 sel. Dampak dari hambatan jalur tersebut akan menghambat

pelepasan sitokin pro inflamasi (Li et al., 2016).

Selain itu, jeruk mempunyai kandungan vitamin C. Kandungan vitamin C pada

jeruk nipis merupakan micronutrient yang dapat larut dalam air. Mekanisme

vitamin C yang bersifat sebagai anti inflamasi dimana memengaruhi kemoktasis

dari sel neutrofil sebagai respon terhadap mediator inflamasi dan meningkatkan

proses fagositosis mikroba yang dilakukan oleh neutrofil (Wong, Chin and Ima-

Nirwana, 2020).

Mekanisme lainnya pada vitamin C sebagai anti inflamasi dengan memodulasi

pelepasan sitokin inflamasi katabolik, kemotaksis sel-sel yang berperan pada sistem

imun, dan aktivasi makrofag (Yussif, Abdul Aziz and Abdel Rahman, 2016).

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Amorim et al. (2016) menunjukkan

efek anti inflamasi oleh Citrus aurantiifolia terhadap karagenan yang diinduksi
21

migrasi sel assay. Hasil penelitian tersebut bahwa dengan pemberian dosis

100mg/kg minyak essensial dari Citrus aurantiifolia menunjukkan aktivitas anti

inflamasi yang signifikan dengan ditandai pengurangan migrasi sel setelah

pemberian dosis 30 dan 100mg/kg (Chriscensia et al., 2020).

Mekanisme jeruk nipis sebagai anti diabetik dengan menghambat jalur Polyol.

Jalur ini dikatalisis oleh enzim ADR (Aldose reductase) dan SDH (Sorbitol

dehydrogenase) yang menimbulkan komplikasi diabetes. Mekanisme jeruk nipis

dalam menghambat enzim ADR dan SDH dengan cara komponen aktif dari jeruk

nipis bersaing dengan substrat normal untuk mengikat ke bagian yang aktif dari

enzim tersebut sehingga membentuk enzyme-inhibitor complex dan mecegah proses

katalisis. Dampak dari hambatan tersebut akan memperbaiki stress oksidatif, stres

osmotik, dan proses glikasi sehingga akan berdampak terhadap pencegahan

komplikasi diabetes (Kazeem et al., 2020).

2.4 Rattus Norvegicus Strain Wistar

2.4.1 Taksonomi rattus norvegicus strain wistar

Kingdom : Animal

Filum : Chordata

Kelas : Mamalia

Ordo : Rodentia

Famili : Muridiae

Genus : Rattus

Spesies : Rattus norvegicus

(Uniprot.org, 2021)
22

2.4.2 Anatomi dan fisiologi strain wistar

(Al-Hajj, N. Q. M., et al, 2016)


Gambar 2.5
Rattus norvegicus strain wistar

Tikus putih mempunyai ukuran yang lebih besar daripada mencit. Tikus ini

mempunyai deskripsi dengan kepala ukuran kecil, berwarna putih, ekor yang lebih

panjang, pertumbuhannya baik, dan mempunyai temperamennya baik (Frianto et

al., 2015).

Tikus ini harus mempunyai kondisi kandang yang sesuai agar tikus dapat

menyesuaikan lingkungan dengan baik (Frianto et al., 2015).

2.4.3 Penggunaan rattus norvegicus strain wistar dalam penelitian

Tikus putih merupakan salah satu contoh hewan coba yang sering digunakan

penelitian karena mempunyai kemampuan untuk bereproduksi yang tinggi dan

dengan biaya rendah. Selain itu, genom tikus putih dan manusia sangat mirip

meskipun secara teknis mempunyai perbedaan anatomis dan fisiologis pada

manusia (Alexandru, 2011).

Anda mungkin juga menyukai