JAKARTA, KOMPAS.TV- Urusan narkoba tidak pernah tuntas sejak dulu. Selalu
saja ada penangkapan baru. Salah seorang sosok gembong narkoba yang
pernah menghiasa media adalah Freddy Budiman.
Dia divonis mati oleh Pengadilan Negeri Jakarta Barat pada 15 Juli 2013 atas
kasus kepemilikan 1,4 juta pil ekstasi yang diselundupkan dari China pada Mei
2012.
Freddy memang tak pernah jera. sebelumnya, dia pernah divonis 3 tahun 4
bulan setelah tertangkap memiliki 500 gram sabu-sabu pada 2009.
Freddy kembali berurusan dengan polisi dan divonis 18 tahun penjara setelah
terbukti memiliki 300 gram heroin, 27 gram sabu, dan 450 gram bahan pembuat
ekstasi.
Salah satu kehebatan sang bandar ini adalah kemampuannya mengendalikan
peredaran dan transaksi dari dalam penjara.
Tentu saja fasilitas itu tidak gratis. Freddy rela merogoh uang agar bisa
menggunakan fasilitas tersebut. "(pakai wartel) bayar, tergantung dari
penggunaan kita ya," tambahnya.
Freddy dapat menggunakan wartel di lapas selama yang ia inginkan. "(tidak ada
batasan waktu). Bebas. Cuma bukanya di pagi hari, jam 09.00-11.00 WIB,"
jelasnya.
Dari wartel itulah dia merekrut anak buah, mengendalikan peredaran hingga
transaksi. Dari sana juga dia dapat melakukan komunikasi dengan para anak
buahnya yang mendekam di berbagai lapas seperti di LP Cipinang dan
Salemba. Dia bahkan bisa menghubungi jaringannya di Belanda. "Saya
komunikasi seperlunya saja dengan pekerja saya, sama yang di Belanda aja,"
ucap Freddy. "(Hubungi anak buah di lapas) pakai wartel. Bisa kok," lanjutnya.
Kasus penyalahgunaan narkoba dan pengedaran narkoba adalah kasus yang sering sekali dijumpai di
Indonesia. Sejak 2009 hingga 2021, BNN telah menangani 6,894 kasus. Peredaran narkoba semakin
luas karena semakin majunya teknologi komunikasi dan transportasi. Salah satu bandar narkoba
terbesar di Indonesia adalah Freddy Budiman, yang kasusnya telah dibahas diatas.
Menurut saya, Freddy Budiman pantas mendapatkan hukuman mati karena beberapa alasan dan
pertimbangan sbb:
1. Freddy Budiman telah melanggar pasal 114 ayat 2 pasal 132 ayat 1 UU No 35 tahun 2009
tentang narkotika.
2. Freddy otak penyelundupan 1,4 juta Pil Ekstasi.
Meski dipenjara di LP Cipinang, Freddy masih bisa mengendalikan bisnis narkobanya hingga
ke luar negeri. Di dalam penjara, Freddy melakukan musyawarah jahat dengan Chandra
Halim untuk mengimpor 1,4 juta pil ekstasi dari Hong Kong
3. Mengubah penjara jadi pabrik narkoba
Setelah digerebek, terungkap Freddy membuat pil ekstasi di dalam kamarnya. Berbagai
perkakas dan bahan baku sabu ia dapatkan dari luar dengan menyuap para sipir penjara
4. Menjalakan bisnis narkoba daro Nusakambangan
Setela kasus itu terbongkar, Freddy dipindahkan ke Pulau Nusakambangan. Tapi lagi-lagi
Freddy tidak kapok dan terus mengendalikan bisnis narkobanya. Bermodal BlackBerry,
Freddy mengoperasikan jaringannya dengan aset mencapai miliaran rupiah
5. Mengimpor 50 ribu butir pil ekstasi Belanda-Indonesia
Freddy mengaku mengimpor 50 ribu butir pil ekstasi dari Belanda ke Indonesia lewat Jerman.
Paket itu dimasukkan ke kardus dengan tujuan akhir Kantor Pos Cikarang. Freddy menyuruh
anak buahnya, Suyanto untuk mengurus paket tersebut.
Freddy sudah tau bahwa perilakunya yaitu mengedarkan narkoba melanggar UU RI dan jika
kedapatan, Freddy akan mendapatkan hukuman sesuai yang tertera di pasal. Yang berarti Freddy
secara tau dan mau akan mendapatkan konsekuesi dari perilakunya tsb. Sebenarnya freddy masih
bisa diringankan hukumannya apabila saat menjalani masa percobaan atau masa penantian Freddy
menyesal dengan perbuatannya dan ada harapan untuk memperbaiki diri. Tapi yang dilakukan
Freddy malah memperberat hukumannya. Seharusnya masa 10 tahunnya digunakan dan
dimanfaatkan sebaik mungkin tapi fredy malah melakukan penyelundupan, mengubah penjara jadi
pabrik narkoba dan mengimpor pil bersama rekannya yang berada diluar. Hal itu berarti tidak
terdapat rasa penyesalan dan keinginan untuk berubah yang ada pada diri Freddy dan Freddy
kembali secara tau dan mau menginginkan hukuman mati tsb. Untuk apa memberikan keringanan
hukuman kepada terdakwa jika terdakwa sendiri tidak menginginkannya, jika pemerintah
memberikan keringanan pada terdakwa maka peluang terdakwa untuk melakukan kejahatan serupa
akan bertambah. Hal tersebut tidak akan adil dan akan membuat para pelaku kejahatan serupa tidak
akan pernah jera dengan hukum yang ada dan hukum yang berlaku di Indonesia percuma atau sia-sia
alias tidak memberikan efek apapun bagi pelaku. Apalagi melihat bahwa kasus narkotika merupakan
salah satu kasus terbesar di Indonesia, sehingga hukuman yang diberikan tidak boleh main-main.
Kasus Bunuh Diri
Penduduk Desa Terong, dusun dua, dikejutkan dengan penemuan jenazah yang
bernama Emanuel Alfred Palihama (32) Tahun, Desa Watoone Kec.Witihama,
Kab. Flotim. (32).
Keterangan disampaikan oleh Kapolsek Adonara Timur IPTU Kristo Harut Ritan
bahwa Emanuel Alfred Palihama warga asli Watoone yang ditemukan gantung
diri di sebuah pohon dengan tali nilon oleh warga pada hari Jumat,7/04/2023
Lebih lanjut Kristo Harut mengatakan sekitar pukul 07.30 Wita Korban berangkat
dari Rumah menuju pasar Mirek Desa Watoone Kec. Witihama.
Dikatakan oleh IPTU Kristo, Sekitar jam 10.00 Wita Saudara SAKIRA (saksi) yang
hendak pergi mandi di pantai Dua Desa Terong Kec. Adotim Kab Flotim
Seketika sampai di pantai tiba- tiba saksi melihat korban ( mayat ) sedang
tergantung dipohon dengan menggunakan Tali Nilon.
Melihat kondisi tersebut saksi berlari dan memanggil FARIL ( saksi) dan
selanjutnya mereka berdua ke jalan raya dan melaporkan kepada saudara UCOK
( Saksi) bahwa ada mayat. Terang Iptu Kristo Harut Ritan. Selang berapa lama
datanglah orang – orang untuk melihat korban namun satu orangpun tidak
mengenal korban, sehingga para saksi memanggil Bapak Kepala Desa Terong
dan langsung menginformasikan ke pihak kepolisian lewat telpon genggam.