Anda di halaman 1dari 5

Nama : Hasanuddin

NPM : 2020001039

KASUS FEMISIDA (PEMBUNUHAN DISERTAI KEKERASAN) TERHADAP


SEORANG WANITA

A. Kasus

Seorang wanita (Dini Sea Afianti) tewas ditangan pacarnya (Ronald), akibat
kekerasan yang dilakukan secara berkepanjangan (femisida).

Dini Sea Afanti meninggal disebuah apartemen kawasan Pakuwon Mall, Jalan
Puncak Indah Lontar, Surabaya pada Rabu, 04 Otober 2023 dini hari. Dia diduga
meninggal dunia setelah dianiaya pacarnya. Sebelum meninggal, mereka menghadiri
pesta bersama teman-temannya untuk minum-minum di diskotek. Setelah keluar dari
diskotek tersebut, Dini dan Ronald sempat bertengkar dan memutuskan untuk pergi ke
apartemen Dini. Jelang masuk ke apartemen kondisi korban sudah tidak berdaya, hingga
terduga pelaku membawa pacarnya itu ke rumah sakit tapi tidak tertolong dan meninggal
dunia.

B. Analisis

Femisida terjadi karena sikap kasar laki-laki yang harus dituruti kemauannya atau
budaya kekerasan yang sudah ditradisikan sejak kecil. Ketika kemauannya tidak dituruti
ia merasa bisa melakukan kekerasan terhadap perempuan bahkan hingga membunuhnya.

Menurut Organisai kesehatan dunia (WHO), sebagian besar kasus pembunuhan


wanita dilakukan oleh pasangan atau mantan pasangan, dan menyebabkan pelecehan
terus menerus di rumah, intimidasi dan ancaman.

Komnas Perempuan memilah femisida berdasar niat pembunuhan kedalam dua


jenis: (1) femisida langsung, (2) femisida tidak langsung. Femisida langsung merujuk
pada pembunuhan didasari niat membunuh sejak awal. Sementara, femisida tidak
langsung merupakan pembunuhan yang diakibatkan tindak kekerasan yang tidak
diniatkan untuk membunuh sejak awal.

Dalam kasus diatas menurut analisa termasuk kedalam femisida tidak langsung
yaitu pelaku tidak memiliki niat untuk membunuh sejak awal dan juga termasuk
femisida intim, merupakan pembunuhan yang dilakukan oleh suami/mantan suami atau
pacar/mantan pacar. Hal ini dapat dilihat dari kronologi kejadian, Ronald yang
merupakan pelaku sempat membawa korban ke rumah sakit untuk mendapatkan
pertolongan.

Femisida tidak akan terjadi apabila perempuan bisa menyadari bahwa kekerasan
bisa terjadi, bahkan saat perempuan tersebut belum menjalin hubungan serius atau belum
menjadi suami istri. Dan anak perempuan perlu memahami bahwa kekerasan bisa
dimulai ketika berpacaran. Jika masih terus dilanjutkan maka lingkaran kekerasan
tersebut akan berlanjut hingga ketika berumah tangga.

Peristiwa ini bisa dicegah jika perempuan menghindari lelaki abusive atau
berperilaku keras sehingga menimbulkan kerugian terhadap orang lain. Termasuk juga
orang tua dan lingkungan harus turut mendidik anak lelaki tidak punya perilaku kasar.

C. Upaya Hukum Preventif dan Represif dari Pemerintah

Upaya Preventif adalah segala yang diupayakan untuk mencegah suatu hal yang
terjadi. Dalam konteks hukum, upaya preventif adalah upaya yang dilakukan untuk
mencegah adanya pelanggaran hukum (pencegahan sebelum terjadinya tindak
kejahatan). Sedangkan upaya represif adalah upaya yang dilakukan setelah terjadi tindak
pidana atau kejahatan. Jadi bisa dikatakan preventif adalah upaya pencegahan sedangkan
represif adalah penanggulangannya
Dengan adanya upaya preventif dan respresif akan mampu mencegah dan mengatasi
kasus femisida terhadap perempuan dan diharapkan kasus tersebut tidak akan terulang
kembali. Dibawah ini berbagai upaya preventif dan represif dari pemerintah terhadap
kasus femisida yang terjadi di Indonesia:

a. Upaya preventif

Upaya preventif pemerintah terhadap kasus femisida dapat dilihat pada


kerangka hukum nasional yang walaupun masih belum sepenuhnya mengintegrasikan
baik definisi maupun sanksi pidana kasus femisida yang terjadi di Indonesia.
Akibanya, kasus-kasus pembunuhan yang seharusnya masuk ke ranah femisida,
tumpang tindih dengan kejahatan lainnya.

Dalam perundang-undangan nasional, femisida ditempatkan sebagai


kriminalitas umumnya dan bukan kejahatan gender. Namun Undang-undang tersebut
diharapkan mampu mencegah pelaku untuk melakukan tindak kekerasam femisida.
Perundang-undangan yang digunakan sebagai dasar hukum terkait femisida di
Indonesia adalah:

1. Pembunuhan Umumnya (Pasal 338 KUHP), “Barang siapa dengan sengaja


merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan penjara
paling lama lima belas tahun”.
2. Pembunuhan Disertai atau didahului dengan Tindak Pidana lain (Pasal 339
KUHP)
3. Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) pasal 340 tentang pembunuhan
berencana.
4. Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) pasal 351 tentang penganiayaan
hingga menyebabkan korban meninggal dunia.
5. Undang-undang nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM.
6. Inpres Nomor 9 Tahun 2000 tentang pengarustamaan Gender (PUG)
7. Kepres Nomor 181 Tahun 1998 tentang Pembentukan Komisi Nasional Anak,
Kekerasan terhadap Perempuan atau Komnas Perempuan yang diubah dengan
Perpres Nomor 65 Tahun 2005.

b. Upaya Represif

1. Pemerintah dan DPR RI mengintegrasikan isu femisida dalam pembahasan hukum


pidana Indonesia.
2. Kepolisian Republik Indonesia melakukan pendokumentasian secara nasional
dengan melakukan pemilahan gender terhadap korban pembunuhan agar terpetakan
penyebab, dan pola femisida di Indonesia.
3. Organisasi pers/jurnalis menggali dan memberitakan kasus-kasus pembunuhan
terhadap perempuan dengan menggunakan perspektif gender agar dikenali bentuk-
bentuk kekerasan berbasis gender yang menyertai pembunuhan terhadap
perempuan.
4. Masyarakat sipil agar memantau dan melaporkan kasus-kasus femisida ke Komnas
Perempuan dan/atau lembaga penyedia layanan korban.
5. Penegakan hukum : Pelaku kekerasan terhadap perempuan dapt dijerat dengan
hukum dan dikenai sanksi pidana sesuai ketentuan yang berlaku.
6. Penyelidikan dan penuntutan terhadap pelaku, sehingga dapt mencegah femsida
terjadi kembali dengan memberikan efek jera bagi pelaku.
7. Kampanye dan Edukasi: selain upaya represif, penting juga dilakukan kampanye
dan edukasi untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang kekerasan femisida
terhadap perempuan. Hal ini bertujuan untuk mencegah terjadinya femisida dan
mengajak agar orangtua lebih memperhatikan anak perempuan mereka.
D. Kesimpulan

Ada beberapa faktor yang menyebabkan laki-laki melakukan kekerasan salah


satunya saat laki-laki tumbuh dalam keluarga yang tidak sehat, dimana dalam
kesehariannya mereka menyaksikan kekerasan dalam keluarganya, dimana ayah sering
memukuli ibunya saat melakukan kesalahan, atau tidak tanggap atas kehendak ayahnya,
mereka melihat ini adalah kekerasan yang dibenarkan, karena perempuan adalah
makhluk subordinat.
Riset menunjukkan laki-laki yang hidup dalam keluarga demikian cenderung
memiliki peluang besar guna menjadi pelaku. Factor lainnya adalah maskulinitas sebagi
tekanan fisik. Pemerintah mempunyai peran serta kewajiban untuk melindungi
masyarakat dan membuat kebijakan dari sebuah permasalahan yang terjadi di
masyarakat, salah satunya tentang isu femisida ini.
Banyak faktor yang mempengaruhi terjadinya masalah femisida, perlu gagasan baru
dalam pencegahan tindak kekerasan terhadap perempuan perlu segera disahkan. Selama
ini kekerasan yang menyebabkan pembunuhab pada perempuan dikenakan pasal
pembunuhan biasa dalam KUHP pidana. Namun dirasa sanksi yang dijatuhkan masih
tidak memberikan efek jera pada pelaku. Selain dengan instrument hokum khusus guna
melindungi perempua dari pelaku femisida, perlu kiranya perempuan juga mendapatkan
akses layanan pengaduan pro terhadap pengaduannya. Selama ini perempuan korban
kekerasan tidak mendapat perlindungan setelah ia melaporkan kekerasan yang dia alami,
akibatnya perempuan masih berpotensi menjadi korban selanjutnya.

Anda mungkin juga menyukai