Anda di halaman 1dari 2

Kajian Kepresidenan: Sistem Pemerintahan Semi-Presidensial.

Maurice Duverger adalah seorang ilmuwan politik asal Prancis yang dikenal sebagai tokoh
penting dalam pengembangan teori-teori politik, termasuk teori tentang sistem pemerintahan.
Menurut Duverger (1980), sistem pemerintahan semi-presidensil adalah suatu bentuk sistem
pemerintahan di mana kekuasaan eksekutif dibagi antara presiden dan perdana menteri, dengan
presiden memegang peran yang lebih besar dalam sistem kekuasaan. Menurut Duverger, dalam
sistem pemerintahan semi-presidensil, presiden memiliki kekuasaan yang lebih besar
dibandingkan dengan perdana menteri, yang merupakan perbedaan utama dengan sistem
pemerintahan parlementer. Hal ini terutama terjadi karena presiden memiliki kekuasaan untuk
membubarkan parlemen dan memanggil pemilihan umum, yang memberinya kendali yang
lebih besar atas jalannya pemerintahan.

Namun, Duverger juga mengakui bahwa sistem pemerintahan semi-presidensil memiliki


kekurangan, seperti ketidakstabilan politik dan ketidakjelasan dalam pembagian kekuasaan
antara presiden dan perdana menteri. Oleh karena itu, menurut Duverger, kesuksesan sistem
pemerintahan semi-presidensil tergantung pada faktor-faktor seperti adanya konsensus politik
yang kuat dan kekuatan lembaga-lembaga demokratis yang berfungsi dengan baik.

Semi-presidensil telah lekat dengan tipe rezim demokratis sejak pertama kali diungkapkan oleh
Duverger. Sistem pemerintahan ini dapat diidentifikasi melalui tiga karakeristik, yaitu (a)
presiden terpilih didasarkan pada hasil pemilihan populer, (b) besarnya kewenangan
komstitusional presiden, dan (c) terdapat PM dan kabinet yang tunduk pada mayoritas majelis
(Shugart, 2005:324). Karakteristik tersebut mengindikasikan adanya peran eksekutif ganda
dimana tidak adanya kejelasan otoritas politik yang dipegang oleh presiden akibat dari
keterlibatan perdana menteri yang tidak absolut secara posisi sebagai bawahan presiden
(Blondel, 1984). Relasi yang terbangun di antara presiden dan perdana menteri juga sangat
variatif, tergantung pada rezim yang berjalan pada negara semi-presisensial.
Semi-presidensial menaruh presiden terpilih sejajar dengan kabinet yang bertanggung jawab
terhadap parlemen. Esensi sistem pemerintahan ini adalah dihadirkannya bentuk oposisi
parlementer yang dapat mengambil alih jalannya pemerintahan (Redslob, 1918 di dalam
Shugart, 2005) dan memberikan hak otonomi dalam hal legitimasi kekuasaan kepada masing-
masing presiden dan perdana menteri (Stirk, 2002) tanpa menghilangkan kewajiban tanggung
jawab kabinet terhadap parlemen. Hubungan antara eksekutif dan legislatif dalam sistem semi-
presidensial digambarkan oleh Rod Hague dan Martin Harrop pada bukunya Comparative
Government and Politics: An Introduction (2004) sebagai berikut,

REFERENSI:

Blondel, J (1984) ‘Dual leadership in the contemporary world: a step towards regime
stability?’, in Dennis Kavanagh and Gillian Peele (eds.) Comparative Government and
Politics: Essays in Honor of S.E. Finer, Boulder, Col.: Westview Press.
Hague, Rod & Martin Harrop (2004) ’Comparative Government and Politics: an Introduction’
(6 ed). New York: Plagrave.
Shugart, M. Semi-Presidential Systems: Dual Executive And Mixed Authority Patterns. Fr
Polit 3, 323–351 (2005). https://doi.org/10.1057/palgrave.fp.8200087
Stirk, P. (2002) ‘Hugo Preuss, German Political Thought and The Weimar Constitution’,
History of Political Thought 23(3): 497–516.

Anda mungkin juga menyukai