Anda di halaman 1dari 45

NAMA : AFIFUL HAQ

NPP : 32.0180
KELAS / NO ABSEN : H-1 / 09
MATA KULIAH : DESENTRALISASI DAN OTONOMI
DAERAH

Orde Lama
4.2 UU Nomor 22 tahun 1948 Tentang Penetapan Aturan-Aturan
Pokok Mengenai Pemerintahan Sendiri Di Daerah-Daerah Yang
Berhak Mengatur Dan Mengurus Rumah Tangganya Sendiri
4.2.1. Filosofi Yang Digunakan
UU Nomor 22 Tahun 1948 hadir untuk menyempurnakan desentralisasi
yang berlaku saat masa penjajahan oleh Hindia Belanda dan Jepang. Melalui
undang-undang ini, pemerintah berusaha mengatur semua jenis dan tingkatan
daerah dalam satu hukum, menciptakan pengaturan tunggal di seluruh
Indonesia. Hal ini bertujuan untuk mempromosikan persatuan dan kesatuan di
antara daerah otonom sambil mengurangi semangat federasi yang muncul pada
awal kemerdekaan sebagai akibat dari politik divide et impera.
4.2.2. Paradigma yang Digunakan
Undang-undang ini lebih fokus pada aspek politik ketimbang aspek lain
seperti administrasi dan keuangan, terutama terlihat pada regulasi awal yang
mengatur DPRD. DPRD memiliki dua peran, yaitu sebagai eksekutif dan
legislatif di daerah, sehingga peran kepala daerah sebagai eksekutif menjadi
sangat terbatas, dengan DPRD yang mengendalikan pemerintahan.
1) Model Transfer Kewenangan
Model transfer kewenangan dapat bersifat penuh atau tidak penuh.
Transfer penuh berarti seluruh tugas diberikan kepada daerah untuk dijalankan
sesuai dengan prinsipnya masing-masing. Sedangkan transfer tidak penuh
(medebewind) mencakup pemberian tugas oleh pemerintah kepada daerah dan
sebaliknya, dengan pelibatan dewan atau pemerintah daerah di bawahnya.
2) Model Perimbangan Keuangan
Dalam model perimbangan keuangan, konsep "autonomy means auto
money" diterapkan untuk memberikan daerah otonomi keuangan dengan
sumber pendapatan seperti pajak dan retribusi daerah. Dalam UU ini,
pemerintah menggunakan sistem keuangan yang dikenal sebagai "sistem
sluitpost," yang berarti mengatasi defisit anggaran melalui bantuan subsidi.

1
Ketika daerah menghadapi pengeluaran luar biasa yang melampaui
kemampuannya, pemerintah memberikan bantuan keuangan.
3) Model Pemerintah Daerah
Dalam model pemerintahan ini, trias politika tidak diterapkan karena
fokus pusat kekuasaan ada pada DPRD. Eksekutif daerah banyak dijalankan
oleh DPRD, sedangkan kepala daerah berperan lebih sebagai pengawas. Kepala
daerah juga menjabat sebagai ketua DPRD dan anggota dewan pemda dalam
model kolaboratif yang melibatkan DPRD dan DPD. Tujuannya adalah
mencapai keseimbangan antara lembaga legislatif dan eksekutif di tingkat lokal.
Peran baru kepala daerah adalah sebagai pengawas DPRD dan DPD, serta
sebagai pemimpin dan anggota pemerintah daerah (organ pemda). Mereka
bertanggung jawab untuk pengawasan preventif dan represif. Preventif berarti
memberi persetujuan terhadap keputusan daerah sebelum dilaksanakan,
sementara represif mencakup penundaan atau pembatalan keputusan daerah
yang dianggap bertentangan dengan kepentingan umum. Pemerintah daerah,
dalam peran sebagai ketua dan anggota dewan pemda, menjalankan urusan
pemerintahan sehari-hari dan memberikan laporan yang diminta oleh DPRD.
4) Model Pengisian Jabatan Kepala Daerah
Kepala daerah diajukan oleh DPRD dengan jumlah antara dua hingga
empat calon, dan pemilihan dilakukan oleh pejabat berwenang, seperti Presiden
untuk tingkat provinsi, Menteri Dalam Negeri untuk kabupaten/kota besar, dan
kepala daerah provinsi untuk kota kecil. Ini adalah tanda otonomi yang
bertingkat. Kepala daerah bertindak sebagai perwakilan pemerintah pusat,
sehingga DPRD harus dengan cermat memilih dan mengawasi mereka. Model
ini bertujuan untuk mencapai keseimbangan antara kepala daerah dan lembaga
eksekutif.
5) Model Lembaga Perwakilan
DPRD memiliki syarat usia minimal dua puluh tahun, mengakui
seseorang sebagai dewasa dengan pandangan yang matang untuk menjalankan
tugasnya. Selain itu, anggota DPRD harus tinggal di daerah setidaknya selama
enam bulan terakhir sebelum pemilihan untuk memahami kondisi daerah dan
mewakili aspirasi konstituen dengan baik. DPRD juga terbuka untuk mereka
yang tidak sedang menjalani hukuman penjara atas tindakan kriminal seperti
pencurian atau penggelapan, tetapi anggota DPRD harus diambil dari berbagai
latar belakang. Jumlah anggota DPRD dalam setiap daerah otonom disesuaikan
dengan jumlah penduduk yang ada di daerah tersebut.
6) Model Organisasi Pemerintahan Daerah
Sekretaris DPRD juga menjabat sebagai sekretaris DPD, tetapi tidak ada
rujukan terhadap keberadaan sekretaris dalam fungsi lini. Dalam struktur
organisasi pemerintahan daerah, terdapat kepala daerah yang dibantu oleh
wakil kepala daerah yang merupakan anggota DPD. Model organisasi yang

2
digunakan adalah kombinasi line and staff, di mana staf garis bertanggung
jawab secara langsung, sementara staf staff memberikan dukungan tanpa
tanggung jawab langsung.
7) Model Pertanggungjawaban
Tergantung pada mekanisme pengisian jabatan, prinsipnya adalah
bahwa individu yang terpilih bertanggung jawab kepada pemilihnya, sementara
yang diangkat bertanggung jawab kepada yang mengangkatnya. DPRD memiliki
tanggung jawab kepada rakyat yang memilih mereka dengan memperjuangkan
aspirasi daerahnya dan memberikan penjelasan tentang tindakan yang telah
diambil.
DPD, sebagai lembaga yang menjalankan pemerintahan daerah sehari-
hari, bertanggung jawab kepada DPRD. DPD menjalankan tugasnya baik secara
kolektif atau individual dan wajib memberikan informasi yang diminta oleh
DPRD. Jika informasi tersebut tidak diberikan, DPRD memiliki kewenangan
untuk memberhentikannya sebagai anggota DPD, kecuali ketua.
Kepala daerah bertanggung jawab kepada pemilihnya dan juga kepada
pihak yang mengangkatnya, seperti gubernur yang bertanggung jawab kepada
presiden.
8) Model Hubungan Dengan Masyarakat
Sebagai sebuah entitas masyarakat, kita memiliki peran yang signifikan
dalam menentukan pelaksanaan otonomi daerah, yang merupakan salah satu
ukuran keberhasilan dari desentralisasi politik. Ini termasuk mengurangi
jumlah lapisan pemerintahan dari 5 menjadi 3 tingkatan dan memberikan
pengakuan kepada desa, negeri, marga, dan sejenisnya sebagai daerah otonom
terendah.
Penting untuk memahami bahwa pemerintah harus dimulai dari bawah,
dan itulah sebabnya penting bagi desa untuk menjadi subyek dan objek
pembangunan. DPRD juga memiliki peran yang sangat krusial karena mereka
mewakili rakyat dalam pemilihan kepala daerah sebelum mereka diangkat. Hal
ini memberikan masyarakat kesempatan tidak langsung untuk menentukan
calon pemimpin mereka.
4.3 UU Nomor 1 tahun 1957 tentang pokok-pokok pemerintahan
daerah
4.3.1. Filosofi yang digunakan
Dasar filosofi yg diusung dalam undang" ini lebih dekat kepada hakekat
menyelesaikan setiap persoalan yang menyangkut urusan kepentingan
umum,memberikan ruang bagi pemerintahan yang diharapkan mampu
menemukan solusi atas setiap persoalan kehidupan masyarakat di daerah.
4.3.2. Paradigma yang Digunakan

3
UU ini masi menggunakan paradigma yang lama membagi daerah
otonom dalam pendekatan ukuran daerah besar dan kecil serta membagi
daerah ke dalam tiga tingkatan.UU ini menggunakan dominasi
legislative.perubahan pengisian jabatan kepala daerah dari semula diangkat
oleh pejabat pemerintah pusat berdasarkan calon yang diusulkan DPRD
kemudian berubah menjadi dipilih langsung oleh rakyat .
1) Model Transfer Kewenangan
Model yg digunakan pada uu ini ialah total football yang tidak
mempersoalkan posisi tertentu tetapi lebih kepada pencapaian tujuan yang
diharapkan yaitu menyelesaikan persoalan yang ada dalam masyarakat dan
memenuhi kebutuhan hidupnya,keuntungannya apabila tidak mampu diurus
daerah bawahan maka akan diambil alih oleh daerah atasan maupun
pemerintah pusat,apabila daerah atasan hanya mau ambil urusan yang tidak
mampu dikerjakan oleh daerah tetapi dianggap potensial,maka urusan yang
tidak potensial akan ditinggalkan.
2) Model Perimbangan Keuangan
Untuk melaksanakan otonomi seluas luasnya maka perlu didukung
dengan kemampuan uang yang memadai,sumber-sumber keuangan itu ialah
pajak daerah,retribusi daerah serta penghasilan lainnya,kepada daerah dapat
diberikan subsidi untuk membiayai keperluan luar biasa,maupun diberikan
sumbangan bagi daerah yang tidak mampu membiayai urusan rumah tanggajya
yang biasa,pengaturan perimbngan keuangan pusat dan daerah harus
memperhatikam dua aspek yaitu perekonomian indonesia secara umum dan
keadaan keuangan negara.
3) Model Pemerintah Daerah
Wilayah republik Indonesia dibagi dalam daerah besar dan kecil,terdapat
3 tingkatan menutut uu ini yaitu,daerah tingkat I (kotapraja jakarta
raya),daerah tingkat II (kota praja),daerah tingkat 3,kedudukan kepala daerah
hanya sebagai organ,berrti kepala daerah tidak memiliki wewenang untuk
menahan dan mengintervensi keputusan termasuk membatalkan keputusan
dprd dan dpd,uu ini wujudnya masi dipertahankan pemerintahan collegiaal
antara DPRD dan DPD sebagai organ penting,perbedaannya dibanding UU
sebelumnya kedudukan kepala daerah tidak lagi diberi peran sebagai pengawas
dan wakil pemerintah pusat tapi hanya sebagai organ daerah yang
melaksanakan urusan daerah otonom.
4) Model Pengisian Jabatan Kepala Daerah
DPRD diberikan peran yang sangat besar menentukan terpilihnya
seseorang menjadi kepala daerah,peran pemerintah pusat hanya mengesahkan
kepala daerah terpilih melalui penelitian persyaratan,sedangkan peran
masyarakat belum dilibatkan,meskipun semangat masyarakat menentukan
sendiri secara langsung pemimpinnya.

4
5) Model Lembaga Perwakilan
DPRD memiliki peran yang sangat besar dalam menjalankan kekuasaan
pemerintahan daerah.DPRD pada masa ini menjalankan dwifungsi yaitu fungsi
eksekutif dan fungsi legislatif,pola ini dipengaruhi oleh sistem pemerintahan
parlementer yang sedang berkembang dieropa.
6) Model Organisasi
Pegawai daerah dan pegawai negara yang diperbantukan di daerah
sangat berbeda,pegawai daerah membantu DPD dalam menjalankan urusan
rumah tangga daerah,sedangkan tugas pegawai negara atau pamong praja
menyelenggarakan tugas perbantuan di daerah.
7) Model Pertanggungjawaban
Tanggung jawab DPRD terhadap pelaksanaan tugas yang diserahkan
dilakukan kepada yang memberi tugas,bagi dprd tingkat I pertanggungjawaban
dilakukan kepada pemerintah pusat mengenai urusan rumah urusan rumah
tangga daerah dan tugas perbantuan,bagi DPRD tingkat II dan DPRD tingkat
III pertanggungjawaban dilakukan kepada pemerintah pusat mengenai urusan
rumah tangga daerah,sedangkan mengenai tugas pembantuan
pertanggungjawaban dilakukan kepada daerah atasan yang memberikan tugas.
8) Model Hubungan Dengan Masyarakat
Para elit politik ditingkat nasional masih fokus pada persolan eksistensi
bangsa,sehingga kurang memberi perhatian pada mekanisme hubungan dengan
Masyarakat,padahal secara konstitusi kedaulatan berada di tangan rakyat.

4.4 Penetapan Presiden Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 1959


Tentang Pemerintah Daerah

4.4.1. Filosofi yang Digunakan


Sebagai tindak lanjut dari Dekrit Presiden 5 Juli 1959 serta mengatasi
situasi politik nasional yang tidak stabil, mencerminkan filosofi desentralisasi
yang menggabungkan dua elemen kunci: pemberian wewenang kepada daerah
untuk mengatur urusan pemerintahan dan tetap memperhatikan prinsip
kesatuan negara. Filosofi ini mencerminkan komitmen pemerintah Indonesia
untuk mempromosikan pemerintahan yang lebih inklusif dan partisipatif di
tingkat daerah. Dengan memberikan wewenang kepada pemerintah daerah
untuk mengatur urusan mereka sendiri, penetapan ini mengakui pentingnya
otonomi lokal dalam mengatasi masalah yang lebih dekat dengan masyarakat

5
setempat. Ini juga dapat mengarah pada pengembangan ekonomi yang lebih
berkelanjutan dan pertumbuhan lokal yang lebih baik.

4.5.2. Paradigma yang digunakan


Paradigma desentralisasi yang mendasari penetapan ini menegaskan
bahwa meskipun daerah memiliki kewenangan yang lebih besar, mereka tetap
terikat pada kesatuan negara yang kokoh. Ini memastikan bahwa keputusan di
tingkat daerah tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip kesatuan negara
Indonesia.
1) Model Transfer Kewenangan
Model transfer kewenangan menurut UU ini lebih memperkuat peran
kepala daerah sebagai alat pemerintah pusat.Asas dekonsentrasi secara insentif
mulai memasuki area pemerintahan daerah.Transfer kewenangan yang lebih
dominan adalah transfer kewenangan kepada kepala daerah dan bukan kepada
daerah otonom yang terdapat entitas lainnya.
2) Model Perimbangan Keuangan
Pada penpres ini tidak banyak perubahan mengenai perimbangan keuangan
ini,dasar hukumnya masi UU Nomor 32 Tahun 1956.Penegasan besarnya
penerimaan negara yang harus diserahkan ke daerah secara formal dinyatakan
akan ditetapkan setiap tahun oleh pemerintah.
3) Model Pemerintah Daerah
Pada penpres ini memperkuat kedudukan kepala daerah sebagai alat
kekuasaan pemerintah pusat,meskipun yang bersangkutan juga sebagai alat
pemerintah daerah tetapi perannya sangat kecil.Apabila pada UU Nomor 22
tahun 1948,DPRD menjalankan dua fungsi(eksekutif dan legislative),maka pada
penpres ini peran ganda tersebut berada di tangan kepala daerah.Untuk
mendukung keberhasilan kepala daerah dalam menjalankan tugas maka
dibentuk sebuah Badan Pemerintah Harian,dengan dibentuknya BPH maka
keberadaan DPD dilikuidasi,hubungan antara kepala daerah dengan anggota
BPH seperti hubungan presiden dengan para Menteri dalam suatu
kabinet,hubungan kepala daerah dengan DPD seperti perdana Menteri dengan
Menteri dalam sistem pemerintahan parlementer.
4) Model Pengisian Jabatan Kepala Daerah
Pengisian jabatan kepala daerah dilakukan melalui pengangkatan oleh
pejabat pemerintah pusat yang berwenang,bukan melalui pemilihan,konsep ini

6
merupakan bagian dari penyesuaian dengan semangat Dekrit Presiden tanggal
5 Juli 1959 yang melaksanakan sistem demokrasi terpimpin.

5) Model Lembaga Perwakilan


Pada penpres ini model Lembaga perwakilan tidak mengalami banyak
perubahan disbanding UU sebelumnya,perbedaan terletak pada anggota DPRD
yang duduk didalamnya merupakan hasil pemiliu,mengingat masa jabatan
DPRD ialah 5 tahun,maka seharusnya pada tahun 1960 telah diadakan pemilu
yang kedua tapi sampai 1965/1966,tidak pernah diadakan pemilihan umum
lagi,jabatan anggota DPRD tidak menentu,untuk mengatasi keadaan yang tidak
menentu,pada tanggal 23 september 1960,presiden telah menerbitkan
penetapan presiden Nomor 5 tahun 1960 tentang DPRD Gotong Royong dan
Sekda,kekuasaan di daerah telah beralih dari tangan DPRD ke tangan kepala
daerah ,ketentuan pertanggung kepala daerah kepada DPRD diganti menjadi
kepada pemerintah pusat.
Konsep pemilihan badan legislatif yang awalnya menggunakan
pemilihan diganti dengan pengangkatan,kekuatan partai dilemahkan dengan
memasukkan unsur kekaryaan,kepemimpinan legislatif dirangkap oleh
eksekutif,pengambilan keputusan secara voting ditiadakan dan diganti dengan
musyawarah
Kepala daerah memimpin segala kegiatan mulai dari penyaringan sampai
pengusulan dan penetapan,ini berarti kepala daerah memiliki peran besar
mengintervensi segala fungsi DPRD-GR dan membatalkan keputusan
DPRD.Cara voting dihapuskan karena tidak cocok dengan jiwa demokrasi
terpimpin.
6) Model Organisasi
Dalam penpres ini telah menetapkan pemisahan antara fungsi eksekusi
dengan fungsi legislasi di daerah meskipun tidak sepenuhnya,fungsi eksekusi
dijalankan oleh kepala daerah dibantu BPH,sedangkan fungsi legislasi daerah
dijalankan oleh DPRD,untuk menjalankan administrasi pemerintahan daerah
dibentuklah Sekretariat Daerah yang dikepalai Sekretaris Daerah,Sekda dipilih
dan diangkat DPR-GR atas usulan Kepala Daerah,peran sekda sebagai
penghubung antara DPRD-GR dan Kepala Daerah.Dengan demikian sekda
menguasai birokrasi daerah dan sekda berada dalam posisi yang kuat dalam
organisasi pemerintah daerah.Model organisasi yang digunakan pada penpres
ini ialah organisasi staf
7) Model Pertanggungjawaban
Menurut penpres ini pertanggung jawaban bersifat vertical yakni
bertanggung jawab kepada pejabat yang berwenang mengangkatnya,artinya
kepala daerah tingkat 1 kepada presiden,kepala daerah tingkat 2 kepada

7
Menteri Dalam Negeri,dalam menjalankan tugasnya kepala daerah dibantu oleh
BPH(Badan Pelaksana Harian).
8) Model Hubungan Dengan Masyarakat
Dengan ditepkannya Penpres ini maka pemerintahan daerah yang
semula didominasi oleh DPRD bergeser ke tangan pejabat pusat yang ada
didaerah.Kebijakan Sentralisasi seperti ini mengurangi peran Masyarakat
berpartisipasi dalam penyelenggaraan pemerintah daerah.

4.5 UU NO 18 TAHUN 1965 tentang pokok pokok Pemerintahan


Daerah

4.5.1. Filosofi yang Digunakan

UU ini merujuk pada Pasal 1 ayat (1), Pasal 5 ayat(1), Pasal 18 dan Pasal
20 ayat (1) UUD 1945. Hal ini sesuai dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959, NKRI
telah kembali menggunakan UUD 1945 menggantikan UUDS 1950 karena
Konstituante dianggap gagal menyusun konstitusi baru.
UU ini disebut sebagai UU Pokok dengan tujuan agar dapat dijadikan
penjuru oleh UU organik lainnya yang berkaitan dengan pemerintah daerah,
termasuk UU yang mengatur urusan pemerintahan yang dijalankan oleh intansi
pemerintah pusat (urusan sektoral). Dalam pandangan pemerintah pusat
mengenai pemerintahan daerah dianggap sangat penting karena
mempengaruhi sendi kehidupan bangsa. Dengan dijadikannya sebagai UU
pokok secara hierarki sedikit lebih tinggi dibandingkan UU organik lainnya.
Filosofi yang digunakan dalam undang-undang ini adalah
mengembalikan ketentuan-ketentuan perundangan tentang Pokok-pokok
rintahan Daerah sesuai dengan UUD 1945. Untuk itu perlu diperbarui dengan
ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara No.II/MPRS/1960.
Sehubungan dengan Dekrit Presiden Republik Indonesia tanggal 5 Juli 1959
yang menyatakan berlakunya kembali UUD 1945, maka Undang-undang ini
disusun untuk melaksanakan Pasal 18 Undang-undang Dasar dengan
berpedoman kepada manifesto Politik Republik Indonesia sebagai Garis-garis
Besar Haluan Negara yang dipidatokan Presiden pada tanggal 17 Agustus 1959.
Pada bagian lain, kehadiran Undang-undang tentang Pokok
Pemerintahan Daerah ini, diharapkan mengakhiri kesimpangsiuran di bidang
hukum yang menjadi landasan bagi pembentukan dan penyusunan
Pemerintahan Daerah. Selanjutnya dapat diakhiri pula segala kelemahan
demokrasi liberal, sehingga akan terwujudlah Pemerintahan Daerah yang
memenuhi sifat-sifat dan syarat-syarat yang dikehendaki oleh Ketetapan
Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara No. II/MPRS/1960 yaitu stabil
dan berkewibawaan mencerminkan kehendak rakyat, revolusioner dan gotong
royong, serta terjaminnya keutuhan Negara, Kesatuan Republik Indonesia.

8
Paradigma penting lainnya yang diusung dalam Undang-undang ini
berkehendak membagi habis seluruh Negara Republik Indonesia dalam tiga
tingkatan Daerah yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya
sendiri (Otonomi). Dijelaskan bahwa dengan terbaginya seluruh wilayah Negara
Republik Indonesia dalam Daerah-daerah yang berhak mengatur dan mengurus
rumah tangganya sendiri itu, maka tidak seharusnya ada lagi Daerah lain
selainnya hanya wilayah administratif saja. Daerah tingkat III akan
menggatikan kesatuan-kesatuan masyarakat hukum, sesuai dengan pedoman
pelaksanaan Ketetapan M.P.R.S. No. II/MPRS/1960, dengan atau tanpa melalui
Desapraja sebagai masa peralihan. Undang-undang ini berupaya lebih
menjamin cita negara kesatuan yang kuat, harus merata dan mendalam dengan
mengakomodasi pembentukan Pembentukan Daerah-Daerah yang
mengandung bentuk-bentuk kekhususan yang baik. Karena itu dirumuskan
jaminan jaminan esensialia sebagaimana tertuang dalam penjelasan umum
angka I sebagai berikut:

a) Pemusatan pimpinan pada Kepala Daerah yang juga diharapkan menjadi


sesepuh Daerah dibantu secara aktif oleh Wakil Kepala Daerah dan Badan
Pemerintah Harian
b) Adanya Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, yang susunannya mencerminkan
kegotong-royongan nasional revolusioner dipimpin oleh ketuanya sendiri
bersama-sama dengan Wakil-wakil Ketua yang berporoskan Nasakom, yang
menjalankan tugas kewajibannya Menurut demokrasi terpimpin atas dasar
hikmah kebijaksanaan musyawarah mencapai kata mufakat dengan
mempertanggung-jawabkan tugas kewajibannya kepada Kepala Daerah
c) Menjunjung tinggi Kepribadian Bangsa Indonesia dengan memusatkan
pimpinan pada Sesepuh dimaksud di atas, yang memiliki kecakapan dan anaan
untuk menjalankan pemerintahan, berbudi berkewibawaan serta
berpengalaman yang cukup untuk kedudukannyabsebagai tampuk pimpinan
Daerahnya
d) Pimpinan yang mendapat kepercayaan rakyat sebagai Kepala Daerah, yang
membimbing semua instansi-instansi dan lembaga-lembaga pemerintahan yang
bekerja di Daerahnya dengan kegiatan mereka dalam bidang pemerintahan dan
yang menghubungkan serta membimbing aktivitas itu dengan daya kerja yang
tumbuh atau dapat ditumbuhkan dalam masyarakat, yang mengayomi dan
menjalankan tugas kewajiban memelihara kepentingan, keamanan serta
ketertiban umum dan memajukan kesejahteraan rakyat dengan menerima
kepercayaan dari Presiden
e) Pemerintahan yang stabil, berkewibawaan, mencerminkan kehendak rakyat,
revolusioner dan bergotong-royong, yang mendapat kepercayaan dan amanat
dari Pemerintah Pusat
f) Pengawasan yang efektif dan effisien
g) Berlandaskan prinsip berdaulat dalam bidang politik, berdiri diatas kaki sendiri
dalam bidang ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan
4.5.2. Paradigma yang Digunakan

9
UU Nomor 18 Tahun 1965 masih menggunakan paradigma pembagian
daerah otonom menurut ukuran (size approach) dan pendekatan tingkatan dan
hierarkhi (level and hierarchical approach). Setelah gagasan untuk membentuk
tiga tingkatan daerah otonom pada UU Nomor 22 Tahun 1948 dan UU No 1
Tahun 1957 digugurkan oleh Penpres Nomor 6 Tahun 1959 yang hanya
membentuk dua tingkatan daerah otonom, maka pada UU Nomor 18 Tahun
1965 gagasan tiga tingkatan daerah otonom muncul kembali. Hal tersebut
nampak padabbunyi Pasal 2 ayat (1) UU Nomor 18 Tahun 1965 yang berbunyi :
"Wilayah Negara Republik Indonesia terbagi habis dalam Daerah-daerah yang
berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri dan tersusun dalam
tiga tingkatan sebagai berikut :
a. Provinsi dan/atau Kotapraja sebagai Daerah Tingkat I;
b. Kabupaten dan/atau Kotamadya sebagai daerah Tingkat II;
c. Kecamatan dan/atau Kotapraja sebagai Daerah Tingkat III.
Perbedaan dengan berbagai UU sebelumnya, pada UU ini diperkenalkan
istilah baru yakni "kotamadya" untuk kota-kota otonom ukuran sedang yang
kedududukannya setara dengan kabupaten sebagai Daerah Tingkat II. Selain itu
Pembentukan daerah tingkat IIInya tidak mengambil pada basis desa atau
nama lain yang sejenis seperti yang diperintahkan oleh Penjelasan Pasal 18
UUD 1945 (sebelum amandemen), melainkan menggunakan basis kecamatan.
Tidak ada argumentasi yang lengkap mengapa kebijakan ini diambil, hanya
penjelasan Pasal 2 UU ini menjelaskan bahwa :“ Tingkat Il diadakan pada
Daerah Kecamatan atau Daerah kesatuan masyarakat hukum yang cukup besar,
atau dari gabungan beberapa desa.
Daerah tingkat IlI pada akhirnya harus menggantikan kesatuan-kesatuan
masyarakat hukum terendah". Pada bagian lain Penjelasan Pasal 2 UU ini
dikemukakan bahwa : Menurut Undang-undang ini dalam Pasal 4 ayat (2),
sesuatu gabungan desa atau Daerah yang setingkat dengan desa atau
kecamatan, dengan mengingat keadaan kehidupan masyarakat dan kemajuan
perkembangan sosial ekonominya serta dengan memperhatikan peraturan-
perturan hukum adat yang masih berlaku, dapat dibentuk sebagai Daerah
tingkat III dengan nama Kecamatan atau Kotapraja. UU Nomor 18 Tahun 1965
masih melanjutkan paradigma pemerintahan yang digunakan pada masa
Penpres Nomor 6 Tahun 1959 yakni menggunakan dominasi cksekutif supaya
sejalan dengan sistem pemerintahan presidensil yang digunakan di tingkat
nasional. Peran sentral pemerintahan daerah yang semula berada di tangan
DPRD sebagai wakil rakyat, berpindah ke tangan Kepala Daerah yang
menjalankan multifungsi.
1) Model Transfer Kewenangan
Melanjutkan politik yang demikian ini berarti melanjutkan segala usaha
penyerahan c.q. pemberian hak-hak kepada Daerah dan kepada Pemerintah

10
Pusat di Daerah. Akibatnya ialah, bahwa urusan-urusan yang kini masih ada
dalam kekuasaan atau termasuk kewenangan Pemerintah Pusat secara
berangsur-angsur harus dialihkan menjadi tugas dan kewenangan Daerah
(disentralisir). Sudah barang tentu Tindakan penyerahan tugas wewenang
kepada Daerah itu harus diimbangi dengan keuangan yang diperlukan.
Undang-undang No. 6 tahun 1959 tetap akan merupakan pedoman Dan
dasar untuk menuju kearah realisasi politik desentralisasi. Dengan demikian
urusan-urusan yang kini termasuk tugas wewenang Pemerintah Pusat semakin
lama akan semakin banyak beralih menjadi tugas wewenang Daerah.

Implikasi dari penerapan konsep ini adalah daerah akan mendapatkan


wewenang yang besar sebagai peralihan dari tugas dan wewenang pemerintah
pusat. Pada bagian lain, pemerintah menyadari bahwa rumusan pembagian
tugas wewenang Pemerintah Daerah untuk mengatur dan mengurus rumah
tangga daerahnya sebagaimana termuat dalam Pasal 39, Pasal 41, Pasal 42, dan
Pasal 43 Undang-Undang ini, memiliki banyak sekali kesulitan untuk
diimplementasikan. Dalam penjelasan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965
dipaparkan identifikasi sebab timbulnya kesulitan yang dapat diringkas kembali
sebagai berikut :

1) Daerah-daerah otonom bukan merupakan badan-badan kesatuan pemerintahan


yang diwarisi dari zaman lampau, tetapi badan-badan pemerintahan yang
dibentuk dengan Undang-undang setelah berdirinya Negara Republik
Indonesia.
2) Terdapat daerah-daerah yang kedudukannya bertingkatan sehingga daerah
yang tingkatan lebih rendah, wilayahnya merupakan bagian dari Daerah yang
lebih tinggi tingkatannya.
3) Selanjutnya ditegaskan bahwa wilayah Daerah itu merupakan juga bagian
wilayah negara.

2) Model Perimbangan Kekuasaan


Melihat isi yang terkandung didalam pengaturan mengenai keuangan daerah,
maka dapat dikatakan bahwa UU ini telah mengalami kemajuan dibanding
dengan UU maupun regulasi sejenis yang mengatur pemerintahan daerah.
Adapun penetapan sumber-sumber keuangan daerah dan sumber-sumber
lainnya yang diserahkan pemerintah pusat kepada daerah, dapat dirinci sebagai
berikut :
1) Hasil perusahaan Daerah dan sebagian hasil perusahaan Negara
2) Pajak Daerah termasuk pajak Negara yang diserahkan kepada Daerahdan
retribusi daerah
3) Penerimaan dari sebagian pendapatan pajak Negara, bea masuk, bea keluar ,
dan cukai serta

11
penerimaan dari pada Pemerintah Pusat yang berupa ganjaran, subsidi atau
sumbangan
4) Penerimaan Daerah sendiri, antara lain yang penting ialah pajak, retribusi dan
Perusahaan daerah dan bersifat menaikkan pendapatan nasional
5) Lain-lain hasil usaha Daerah yang sesuai dengan kepribadian nasional. Yang
dimaksud dengan lain-lain hasil usaha Daerah ialah pencaharian dari Daerah,
yang diperolehnya misalnya dari perjanjian jual beli , sewa-menyewa atau pacht
hak dan milik Daerah. upah karena telah memberikan jasa-jasa baik kepada dan
atas permintaan pihak ketiga , upah pemeriksaan sesuatu yang harus
dilakukannya serta izin-izin yang diberikan olehnya.

3) Model Pemerintahan Daerah


Dalam rangka membagi habis seluruh wilayah Indonesia dalam daerah
daerah besar dan kecil, Undang-undang ini menentukan hanya ada tiga
tingkatan Daerah, yaitu tingkat I, tingkat II dan tingkat III yang semuanya
mempunyai bentuk-bentuk susunan pemerintahan berdasarkan Undang-
undang ini. Oleh karena tingkat III yang terendah itu nantinya akan
menggantikan semua kesatuan masyarakat hukum, maka sejak semula dalam
pembentukan Daerah tingkat IIl itu sudah harus diperhitungkan unsur-unsur
keaslian yang terdapat dibagian-bagian wilayah Indonesia dalam kehidupan
kegotong-royongan dalam pemerintahan maupun dalam bidang kebudayaan,
sehingga dapat diperkembangkan untuk menyempurnakan kepribadian
nasional dari Negara Kesatuan Republik Indonesia sesuai dengan Manifesto
Politik Republik Indonesia berlandaskan Undang-undang Dasar, Sosialisme
Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin dan Kepribadian
Nasional.
Sistem pemerintahan daerah dan alat-alat perlengkapan daerah yang
diatur dalam UU Nomor 18 Tahun 1965 ini memiliki kesamaan dengan alat-alat
perlengkapan sebagaimana yang diatur dalam Penetapan Presiden Nomor 6
Tahun 1959 (Disempurnakan). Ditegaskan bahwa pemerintahan daerah terdiri
dari Kepala Daerah dan DPRD. Dalam menjalankan pemerintahan Sehari-hari
kepala Daerah dibantu oleh Wakil Kepala Daerah dan BPH (Badan Pemerintah
Harian). Bentuk pemerintahan semacam itu mirip dengan Penpres 6 Tahun
1959 (Disempurnakan). Perbedaannya terletak pada tambahan ketentuan
mengenai adanya Wakil Kepala Daerah sebagai unsur pembantu kepala daerah
bersama BPH. Pada pengaturan sebelumnya keberadaan wakil kepala daerah
hanya dimungkinkan pada daerah istimewa.
4) Model Pengisian Jabatan Kepala Daerah
Pada UU Nomor 18 Tahun 1965, pengisian jabatan kepala daerahnya
dilakukan melalui pengangkatan. Paradigma yang diusung undang-undang ini
sama dengan Penpres Nomor 6 Tahun 1959. Namun pengaturan tentang

12
mekanisme dan tata cara pengangkatannya dibuat lebih rinci dan lengkap.
DPRD diberikan peran dalam pencalonan kepala daerah.
Model pengisian jabatan kepala daerah menurut undang-undang ini
menempatkan dominasi peran Pemerintah Pusat yang semakin besar . Artinya
telah terjadi resentralisasi dalam pengaturan tentang pemerintahan daerah.
Peran DPRD hanya mengajukan calon sedangkan rakyat tidak dilibatkan.
Upaya ini dilakukan untuk memperbaharui regulasi Pemerintahan Daerah
sesuai dengan Manifesto Politik Republik Indonesia sebagai Garis-garis Besar
dari pada Haluan Negara dan pedman-pedoman pelaksanaannya.

5) Model Lembaga Perwakilan


Beberapa hal yang diatur dalam UU Nomor 18 Tahun 1965 mengenai
kedudukan lembaga perwakilan daerah yang menjadi bagian penting dalam
analisis paradigma politik desentralisasi Orde Lama. Hal-hal yang dimaksud
adalah mengenai jumlah maksimum dan jumlah minimum anggota bagi
masing-masing daerah, masa jabatan anggota DPRD, syarat keanggotaan
DPRD, larangan bagi anggota DPRD, ketentuan rangkap jabatan DPRD,
pemberhentian anggota DPRD, penghasilan DPRD, dan pelaksanaan sidang
DPRD serta kekuasaan tugas dan kewajiban DPRD. Mengenai pemilihan,
pengangkatan dan pergantian DPRD diatur dengan undang-undang tersendiri.
Pola semacam itu kemudian digunakan pada UU yang mengatur tentang
pemerintahan daerah pada era selanjutnya.
6) Model Organisasi
Dibandingkan dengan berbagai UU tentang pemerintahan daerah yang
terbit sebelumnya, pengaturan mengenai organisasi pemerintah daerah pada
UU Nomor 18 Tahun 1965 relatif lebih lengkap meskipun masih menggunakan
berbagai pola yang sama. Pasal 6 menegaskan bahwa dalam menjalankan
pemerintahan sehari-hari Kepala Daerah dibantu oleh Wakil Kepala Daerah dan
Badan Pemerintah Harian. Apabila dikaitkan dengan bunyia Pasal 44 ayat (3)
yang menyatakan bahwa " Sebagai alat Pemerintah Daerah, Kepala Daerah
memimpin pelaksanaan kekuasaan eksekutif Pemerintah Daerah baik dibidang
urusan rumah tangga Daerah maupun dibidang tugas pembantuan", diperoleh
pemahaman bahwa Kepala Daerah adalah kepala eksekutif pemerintahan
daerah.
7) Model Pertanggungjawaban
Pertanggungjawaban juga berkaitan dengan kedudukan dan fungsinya.
Kepala Daerah menurut UU ini memiliki kedudukan ganda (dual position) dan
fungsi ganda (dual function) yakni sebagai alat pemerintah pusat dan alat
daerah. Konsekuensi logisnya, Kepala Daerah juga memiliki mekanisme

13
pertanggungjawaban ganda. Dalam Pasal 5 ayat (2) UU ini disebutk bahwa :
Kepala Daerah melaksanakan politik Pemerintah dan bertanggung jawab
kepada presiden melalui Menteri Dalam Negeri menurut hierarchi yang ada".
Sedangkan Pasal 45 ayat (1) diatur pertanggungan-jawab Kepala Daerah
dibidang urusan otonomi maupun dibidang tugas pembantuan kepada DPRD
sekurang-kurangnya setahun sekali atau apabila diminta dan dipandang perlu
oleh DPRD.
Pertanggungan jawab Kepala Daerah kepada DPRD bersifat informatif,
karena tidak memiliki implikasi politik untuk menilai dan menjatuhkan Kepala
Daerah sebelum masa jabatannya berakhir. Sebab, posisi Kepala Daerah secara
implisit lebih kuat dibanding DPRD karena DPRD mempertanggung jawwabkan
kegiatannya kepada Kepala Daerah. Dalam UU ini dibedakan antara kata
pertanggungjawaban dan pertanggungan-jawab. Pertanggungjawaban bersifat
hierarkhis vertical sedangkan pertanggungan-jawab bersifat informatif ke
samping.
8) Model Hubungan Dengan Masyarakat
Hubungan antara masyarakat dengan pemerintahan daerah maupun
pemerintah pusat tidak mengalami perubahan yang berarti. Proses pembuatan
kebijakan publik masih bersifat elitis, karena tidak ada mekanisme bagi warga
negara untuk menyampaikan keluhan atau ketidaksetujuan terhadap kebijakan
yang dibuat oleh pemerintah. Terlebih lagi dengan model demokrasi terpimpin
yang dikembangkan oleh Presiden Sukarno yang mengarah pada bentuk
pemerintahan otoritarian, semua kebijakan dipusatkan pada diri presiden yang
memiliki berbagai julukan. Lembaga-lembaga perwakilan rakyat juga tidak
dapat berfungsi secara optimal.
Dapat dikatakan bahwa peran masyarakat sangat kecil sedangkan
dominasi peran pemerintah daerah sangat tinggi. Belum adanya ruang
partisipasi dan pemberdayaan terhadap masyarakat dalam tata kelola daerah
yang lebih baik dimasa itu. Dinamika politik desentralisasi masih dalam
pertarungan antar sesama elit lokal maupun dengan elit pusat seiring dengan
Upaya mempertahankan kepentingannya.

14
4.6. UU NO 19 TAHUN 1965 Tentang Desapraja
4.6.1. Filosofi Yang Digunakan
Filosofi yang digunakan dalam kebijakan pengaturan desapraja adalah
mengganti segala peraturan perundangan tata perdesaan umumnya, yang
masih mengandung unsur-unsur dan sifat-sifat kolonial feodal dengan satu
undang Nasional kedesaan yang berlaku untuk seluruh wilayah Republik
Indonesia. Undang-undang Nasional tersebut harus menjamin tata perdesaan
yang lebih dinamis dan penuh daya guna dalam rangka menyelesaikan Revolusi
Nasional yang Demokratis dan Pembangunan Nasional Semesta, sesuai dengan
isi dan jiwa Manifesto Politik sebagai Garis-garis Besar Haluan Negara dan
pedoman-pedoman pelaksanaannya yang telah diperkuat dengan Ketetapan
Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Nomor I/MPRS/1960 dan Nomor
II/MPRS?1960 tentang Garis-garis Besar Pola Pembangunan Nasional Semesta
Berencana Tahapan Pertama 1961-1969. Selanjutnya ditegaskan bahwa undang
undang nasional haruslah menjamin bahwa semua kesatuan masyarakat
hukum yang ada sekarang dapat selekas mungkin dijadikan atau ditingkatkan
menjadi Daerah tingkat Ill, dengan atau tanpa melalui bentuk peralihan
Desapraja.
Nuansa pembentukan undang-undang ini masih dipengaruhi iran
Undang-undang tentang Pokok-Pokok Pemerintah Daerah Nomor 18 Tahun
1965. Sebagai Pangkal tolak dari isi dan jiwa undang-undang ini masih mengacu
pada Pasal 18 UUD 1945 (sebelum amandemen), yang menentukan wilayah
Indonesia dibagi atas daerah besar dan kecil dengan mengingati hak-hak asal-
usul atas daerah-daerah yang bersifat istimewa. Melihat Kembali ketentuan
Undang-undang tentang pokok-pokok Pemerintah Daerah telah menetapkan
akan membagi habis seluruh wilayah Indonesia dalam tiga tingkatan daerah
besar dan kecil, yaitu Daerah tingkat I, II dan III. Dengan terbaginya wilayah
Indonesia dalam Daerah- daerah otonom itu, maka berarti juga bahwa dibawah
Daerah tingkat III tidak seharusnya ada lagi daerah lain selain dari
hanyadaerah administrasi saja. Karena itu maka Desapraja menurut Undang-
undang ini tidaklah berada di dalam dan tidak menjadi bawahan Daerah tingkat
III, tetapi adalah sebagai bentuk peralihan untuk mempercepat terwujudnya
Daerah tingkat I di seluruh wilayah Republik Indonesia
4.6.2. Paradigma yang Digunakan
Ada beberapa paradigma yang digunakan dalam UU Nomor 19 Tahun
1965 antara lain penghapusan dualisme pengaturan tentang Desa antata pulau
jawa dan Madura yang diatur melalui IGO (Inlandsche Gemeente Ordonantie
Java en Madoera Stbld 1906 No. 83) maupun untuk luar Pula Jawa dan Madura
yang diatur melalui IGOB (Inlandsche Gemeente Ordonantie Buitengewestwn
1938 No.490 jo 681), maupun berbagai peraturan lainnya yang mengatur
tentang Desa. Ada 8 buah peraturan perundang-undangan yang dicabut dengan
UU ini.

15
Perubahan paradigma tersebut akan menimbulkan konsekuensi logis
antra lain penambahan jumlah pegawai negeri yang sangat banyak,
penyeragaman pengelolaan desa dengan model birokrasi modern Weberian.
Padahal menurut pandangan van Vollen Hoven, di Indonesia terdapat 19
lingkaran hukum adat yang terbagi lagi menjadi 64 sublingkaran hukum adat.
Variasi hukum adat tersebut dipaksa untuk hilang karena penyeragaman, hal ini
sama artinya menghilangkan roh kehidupan masyarakat desa yang sebagian
masih tradisional.
1) Model Transfer Kewenangan
Sehubungan dengan pembentukan Daerah-daerah tingkat III yang harus
segera terlaksana, maka Undang-undang ini mengatur kesatuan-kesatuan
masyarakat hukum yang masih belum mungkin ditingkatkan menjadi Daerah
tingkat III, akan menjadi Desapraja. Selanjutnya penyelenggaraan kesatuan-
kesatuan masyarakat hukum tersebut berdasar Undang-undang ini harus
merupakan tindakan memimpin dan mendorong perkembangannya dan
kemajuannya secara politis-paedagogis dalam rangka rangkaian Pemerintah
Daerah menurut pasal 18 Undang-undang Dasar, sehingga pada akhirnya dapat
ditingkatkan semuanya menjadi Daerah tingkat III, dengan atau tidak dengan
menggabungkannya lebih dulu, mengingat dan memperhatikan besar-kecilnya.
Konsep pemikirannya adalah bahwa kesatuan-kesatuan masyarakat
hukum sesungguhnya mempunyai hak mengurus rumah-tangganya sendiri
sebagai pembawaan sejarah pertumbuhannya. Oleh karena Daerah tingkat III
hanya akan ada daerah administrasi belaka, maka kesatuan-kesatuan
masyarakat hukum tersebut harus ditingkatkan menjadi Daerah tingkat III,
sehingga pada akhirnya Daerah tingkat III inilah yang menggantikan kesatuan-
kesatuan masyarakat hukum tersebut
Berdasarkan ulasan pemahaman di atas maka mekanisme penyerahan
kewenangan yang diatur dalam undang-undang ini lebih kepada penegasan
mengenai hak dan kewajiban bagi desapraja dalam mengatur dan mengurus
rumah tangga daerahnya dan kewenangan menyelenggarakan tugas-tugas
pembantuan yang diserahkan oleh pemerintah daerah atasannya maupun
instansi pemerintah pusat. Prinsip ini masih berhubungan erat dengan
pengaturan pemerintahan daerah dalam UU Nomor 18 Tahun 1965 sebagai UU
pokoknya. Selengkapnya hal ini tertuang dalam Pasal 34, Pasal 35 dan Pasal 36
UU Nomor 19 Tahun 1965 sebagai berikut:
a) Desapraja berhak dan berkewajiban mengatur dan mengurus rumah tangga
daerahnya.
b) Penegasan berikutnya bahwa segala tugas kewenangan yang telah ada
berdasarkan hukum adat atau peraturan-perundangan dan yang ditetapkan
dengan peraturan-peraturan Daerah atasan yang masih berlaku tetap menjadi
tugas kewenangan Desapraja sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-
undang ini.

16
c) Daerah tingkat II dapat memisahkan sebagian atau seluruhnya urusan
tertentu dari urusan rumah tangganya untuk diurus sendiri oleh Desapraja
melalui Penetapan dalam Peraturan Daerah, yang disertai dengan dengan alat-
alat dan sumber keuangan yang diperlukan.
d) Selain melaksanakan urusan rumah tangga daerahnya, Desapraja diwajibkan
melaksanakan tugas pembantuan dari instansi-instansi Pemerintah atasannya
dan memberikan pertanggungjawaban atas tugas pembantuan tersebut kepada
instansi yang berwenang.
2) Model Perimbangan Keuangan
Desapraja bukanlah satuan pemerintahan yang menerima otonomi dari
negara, melainkan komunitas yang memiliki otonomi berdasarkan pengakuan
negara, dan diberi tugas-tugas berkaitan dengan urusan pemerintahan. Oleh
UU ini Desapraja diberikan sumber-sumber penghasilan berupa hasil dari
perusahaan Desapraja atau bagian hasil dari perusahaan Daerah atasan. Selain
itu, Desapraja juga diberikan kewenangan memungut pajak dan retribusi,
meskipun tidak disebut secara rinci jenis-jenis pajak dan retribusinya. Pada
bagian lain dalam UU ini juga disebutkan bahwa kepada Desapraja dapat
diberikan sebagian dari hasil pungutan pajak daerah, serta bantuan lain dari
instansi atasan dalam bentuk apapun.
3) Model Badan Hukum Desapraja
Model pengaturan Desapraja nampaknya mengikuti pola yang digunakan
di tanah Jawa, sehingga bersifat Java centris. Hal tersebut dapat dilihat dari
model badan hukumnya maupun nomenklatur dan titelaturnya. Desapraja
sebagai badan hukum terdiri dari Kepala Desapraja dan alat kelengkapan
lainnya seperti Badan Musyawarah Desapraja, Pamong Desapraja, Panitera
Desapraja, Petugas Desapraja, dan Badan Pertimbangan Desapraja.
Menurut ketentuan Pasal 8 ayat (1) Kepala Desapraja memiliki
kedudukan ganda yakni sebagai penyelenggara utama urusan rumah tangga
Desapraja dan sebagai alat Pemerintah Pusat. Tetapi di dalam penjelasan Pasal
tersebut tidak ada keterangan apakah dalam kedudukannya sebagai alat
Pemerintah Pusat, Kepala Desa berkedudukan sebagai pejabat negeri atau
pejabat negara. Sebab pada dasarnya Desa adalah kesatuan masyarakat hukum,
bukan suatu organisasi pemerintah yang bersifat formal.
Badan Musyawarah Desapraja adalah perwakilan dari Masyarakat
Desapraja, yang anggota-anggotnya dipilih secara langsung oleh
pendudukDesapraja. Jumlah anggota BMD sedikit-dikitnya 10 orang dan
sebanyak-banyaknya 25 orang tidak termasuk Ketua. Meskipun dipilih oleh
penduduk Desapraja, tetapi BMD bukanlah "Dewan Perwakilan Rakyat
Desapraja," sertabukan pula lembaga politik karena tidak dipilih melalui
mekanisme oleh partai politik.

17
4) Model Pengisian Jabatan Kepala Desapraja
Menurut ketentuan Pasal 9 ayat (1) UU ini bahwa "Kepala Desapraja
dipilih langsung oleh penduduk Desapraja yang sudah berumur 18 tahun atau
sudah (pernah) kawin dan menurut adat-kebiasaan setempat sudah menjadi
warga Desapraja yang bersangkutan". Di dalam Penjelasan Umum butir 11
dikemukakan bahwa: “Salah satu hak asal-usul dari kesatuan-kesatuan
masyarakat hukum adalah hak untuk memilih sendiri pemimpin-pemimpinya”
Hak asal-usul tersebut secara konstitusional perlu dihormati oleh Negara
Kepala Desapja yang dipilih oleh penduduk Desapraja jumlahnya paling
sedikit dua atau sebanyak-banyaknya tiga orang calon. Salah satu calon Kepala
Desapraja terpilih kemudian diangkat oleh Kepala Daerah Tingkat I, tanpa
terikat pada jumlah suara yang diperoleh dalam pemilihan, karena
pengangkatannya merupakan hak prerogatif Kepala Daerah Tingkat I.
5) Model Lembaga Perwakilan Desapraja
Pada Desapraja terdapat dua jenis lembaga perwakilan, yakni BMD
(Badan Musyawarah Desapraja) dan BPD (Badan Pertimbangan Desapraja).
BMD merupakan forum pertemuan perwakilan warga Desapraja dalam rangka
menjalankan sila Keempat Pancasila, yakni musyawarah mengenai hal ikhwal
Desapraja dalam semua aspek untuk dicapai kesepakatannya. Hasil
kesepakatan itulah yang kemudian dijalankan oleh Kepala Desapraja dengan
jajarannya.
BPD menjalankan fungsi konsultasi. Lembaga semacam ini biasa ada
pada masyarakat adat guna menghargai sesepuh dan orang-orang yang
dihormati pada komunitasnya. Keputusan BPD memang secara administratif
tidak mengikat, tetapi secara moral sosial perlu diperhitungkan secara sungguh-
sungguh oleh Kepala Desapraja, agar kewibawaan yang bersangkutan tidak
mengalami erosi karena ketidakpercayaan warga Desapraja yang dimulai dari
tokoh-tokohnya. Dasar utama sebuah komunitas sebagai kesatuan masyarakat
hukum adalah rasa saling percaya.
6) Model Organisasi
Menurut ketentuan Pasal 7 UU ini, alat-alat kelengkapan Desapraja terdiri
dari Kepala Desapraja, Badan Musyawarah Desapraja, Pamong Desapraja,
Panitera Desapraja, Petugas Desapraja, dan Badan Pertimbangan Desapraja.
Alat kelengkapan desapraja dapat berbentuk unit dapat pula berupa orang yang
menjalankan fungsi tertentu atau bertanggung jawab atas wilayah kerja
tertentu.
Petugas Desapraja adalah pejabat fungsional yang menjalankan fungsi-
fungsi tertentu seperti keamanan, urusan agama, pengairan dan lain sebagainya
sesuai adat-kebiasaan setempat. Mereka merupakan pembantu Kepala

18
Desapraja dan Pamong Desapraja. Nama-nama petugas tersebut antara lain
Penghulu, Chatib, Modin, Jogoboyo, Kebayan, Ulu-ulu dan nama lain yang
sejenis. Nama-nama ini diambil dari Desa-desa yang ada di Pulau Jawa. Petugas
Desapraja diangkat dan diberhentikan oleh Kepala Desapraja dengan
persetujuan IMD
Model organisasinya berbentuk lini dan staf (line and staff organization).
Hal tersebut dapat dilihat adanya unsur lini yang terdiri dari Pamong Desapa
sebagai pembantu Kepala Desapraja yang mengepalai satu dukuh. Pamong
Desapraja adalah pejabat lini-fungsional yang bertanggungjawab terhadap
wilayah kerja yang dinamakan pedukuhan. Sedangkan unsur stafnya terdiri dan
Panitera Desapraja dan Pegawai Desapraja yang memimpin tata-usaha
Desapraja dan tata-usaha Kepala Desapraja. "Masing-masing unsur lini dan staf
dibantu oleh petugas Desapraja yang dapat memegang suatu fungsi tertentu
dan/atau bertanggungjawab pada bagian wilayah kerja dari suatu pedukuhan.
7) Model Pertanggungjawaban Kepala Desapraja
Dalam UU ini tidak ada ketentuan yang secara khusus mengatur
mekanisme pertanggungjawaban Kepala Desapraja. Tetapi setiap pejabat publik
maupun pimpinan komunitas yang menjalankan sebagian urusan
pemerintahan wajib mempertanggungjawabkan tugas dan wewenang yang
dijalankannya. Sesuai prinsip yang telah dikemukakan pada uraian sebelumnya,
bahwa mereka yang dipilih bertanggung jawab kepada yang memilihnya, dan
mereka yang diangkat bertanggung jawab kepada yang mengangkatnya.
Dalam kasus Kepala Desapraja, terdapat dua mekanisme yakni pemilihan
oleh penduduk Desapraja dan pengangkatan oleh Pejabat yang berwenang.
Tetapi bobotnya lebih besar pada mekanisme pengangkatan, sehingga
mekanisme pertanggungjawabannya juga lebih berat ke atas. Sedangkan ke
samping bersifat pemberian informasi sebagai bahan pengawasan.
8) Model Hubungan Dengan Masyarakat
Penjelasan mengenai hubungan Desapraja dengan masyarakatnya masih
meminjam konsep dari Arnstein yang berbicara mengenai tipologi partisipasi,
yang disebut "tangga partisipasi warganegara” (the ladder of citizen
participation). Jarak psikologis maupun jarak fisik antara masyarakat dengan
Desapraja sebagai kesatuan masyarakat hukum sangatlah dekat. Tingkatannya
adah sampai ketujuh yakni delegated power. Hal ini dapat dilihat dari beberapa
kategori yakni:
1. masyarakat Desapraja mempunyai hak untuk memilih secara langsung
Kepala Desapraja, meskipun keputusan finalnya ada di tangan pejabat yang
berwenang
2. adanya wakil-wakil sesepuh dan tokoh masyarakat yang duduk menjadi
penasehat bagi Kepala Desapraja

19
3. Adanya lembaga perwakilan masyarakat yang dipilih langsung oleh
masyarakat atas namanya sendiri, tidak melalui partai politik, sehingga ikatan
emosionalnya dengan masyarakat Desapraja lebih kuat
4. lembaga masyarakat dapat diberi tugas pembantuan.
Model partisipasi warga Desapraja yang diatur dalam UU ini sebenarnya
merupakan modal dasar untuk pengembangan demokrasi di Indonesia yang
berakar dari nilai budaya masyarakat setempat.

5.2. UU Nomor 5 Tahun 1974 Tentang Pokok Pokok Pemerintahan di


Daerah
5.2.1 Dasar Filosofi yang digunakan
Penelusuran dasar filosofi dan paradigma dalam penyelenggara politik
desentralisasi masa Orde Baru dimulai dengan melihat Pasal 18 UUD 1945
(sebelum amandemen) yang menentukan tentang pembagian wilayah NKRI.
Pasal tersebut berbunyi:"Pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan
kecil susunan pemerintahannya ditetapkan dengan Undang-undang.
Pemerintah yang sedang berkuasa berpandangan bahwa isi dan jiwa 1945
beserta penjelasannya menekankan bahwa pemerintah diwajibkan
melaksanakan politik desentralisasi dan dekonsentrasi dibidanag
ketatanegaraan. Konsekuensi dari prinsip tersebut adalah adanya daerah
otonom yang selanjutnya disebut “daerah” yang dikenal adanya Daerah Tingkat
I dan Daerah Tingkat II. Sedangkan Wilayah yang dibentuk berdasar asas
dekonsentrasi disebut Wilayah Administratif yang selanjutnya disebut
"Wilayah". Wilayah-wilayah disusun secara vertikal dan merupakan lingkungan
kerja perangkat Pemerintah Pusat yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan umum di daerah. Pembentukan wilayah-wilayah dalam susunan
vertical adalah untuk meningkatkan pengendalian dalam rangka menjamin
kelancaran penyelenggaraan pemerintahan.
Dengan penggunaan istilah Daerah Tingkat I dan Daerah Tingkat II
menunjukkan bahwa UU ini masih menggunakan pendekatan tingkatan dan
behierarki (level dan hierarchical approach) dalam membagi daerah otonom
sekaligus menggunakan pendekatan besaran (size approach), karena ada daerah
besar berupa DT I dan daerah kecil berupa Dt II. Pendekatan yang digunakan
sebenarnya masih sama dengan pendekatan yang digunakan beberapa UU
sebelumnya .
Penelusuran berikutnya terhadap filosofi dan paradigma implementasi
desentralisasi masa Orde Baru adalah dengan melihat UU Nomor 6 Tahun 1969
Tentang Pernyataan Tidak Berlakunya Berbagai Undang-Undang Dan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang. Kehadiran undang-undang
ini menjadi titik pijak untuk memformulasikan kembali kebijakan baru
termasuk tentang pemerintahan daerah. Adapun pertimbangan lahirnya

20
undang-undang ini adalah sebagai upaya meninjau kembali UU dan peraturan
setara lainnya yang materinyabertentangan dengan UUD 1945. Dengan
demikian beberapa undang-undang danperaturan setara lainnya yang
diterbitkan selama masa Orde Lama dinyatakan tidak berlaku.

5.2.2. Paradigma yang Digunakan


Pada masa UU Nomor 5 Tahun 1974 yang merujuk pada UUD 1945
(sebelum diamandemen), dibangun konstruksi pemerintahan yang hirerakis
vertikal ke atas. Presiden sebagai satu-satunya mandataris MPR kemudian
membuat jaringan pemerintah pusat di daerah yang dinamakan Kepala Wilayah
yang berkedudukan sebagai PENGUASA TUNGGAL DI BIDANG
PEMERINTAHAN. Penyelenggaraan pemerintahan seperti ini dapat disebutkan
sebagai model " mengendalikan negara dari istana". 305 Dilihat dari
kepentingan pemerintah pusat, sistem ini sangat efektif. Negara-negara seperti
China, Korea Utara, Kuba, ataupun negara lainnya yang menggunakan sistem
pemerintahan totaliter-represif menggunakan sistem ini, dengan hasil ada yang
efektif untuk membangun negara (seperti China), tetapi sebagian besar gagal
(Indonesia, Korea Utara, Kuba).
Sedangkan dilihat dari sudut pandang pemerintah daerah, sistem ini
sangat merugikan karena membuat daerah tidak berkembang dan sangat
tergantung pada pemerintah pusat dalam segala hal. Kreativitas dan daya
inovasi daerah berada pada titik nadir. Kebijakan pemerintah pusat dibuat
sangat rinci disertai petunjuk pelaksanaan (Juklak) Petunjuk teknis (Juknis)
yang memudahkan perangkat pemerintah daerah menjalankannya, tetapi
kemudian mereka tidak berani melakukan terobosan yang menyimpang dari
Juklak dan Juknis meskipun kondisi di lapangan membutuhkan penyesuaian.
1) Model Transfer Kewenangan
Pada prinsipnya semangat UU Nomor 5 Tahun 1974 dalam pemberian
otonomi kepada Daerah adalah memungkinkan Daerah yang bersangkutan
mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Hal ini bertujuan untuk
meningkatkan dayaguna dan hasilguna penyelenggaraan pemerintahan dalam
rangka pelayanan terhadap masyarakat dan pelaksanaan pembangunan. Untuk
mencapai tujuan tersebut maka kepada Daerah perlu diberikan wewenang
untuk melaksanakan berbagai urusan pemerintahan sebagai Model penyerahan
urusan pemerintahan kepada Daerah yang diatur dalam Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1974 dilakukan secara bertahap disesuaikan dengan keadaan
dan kemampuan Daerah yang bersangkutan.
Hal ini berdampak pada isi otonomi yang berbeda antara Daerah yang satu
dengan lainnya. Undang- undang ini menegaskan meskipun berbagai urusan
telah diserahkan kepada Daerah sebagai pelaksanaan asas desentralisasi tetapi
tanggungjawab terakhir terhadap urusan tersebut tetap berada di tangan

21
Pemerintah. Dalam melaksanakan urusan pemerintahan daerah harus
mempertanggung-jawabkannya kepada pemerintah pusat. Artinya berbagai
urusan yang telah diserahkan menjadi rumah tangga Daerah suatu saat dapat
ditarik kembali menjadi urusan Pemerintah manakala urusan tersebut dianggap
telah berkembang sehingga demi kepentingan yang lebih luas dan lebih tepat
apabila diurus langsung oleh Pemerintah atau Daerah tingkat atasnya.
2) Model Perimbangan Keuangan
Menganalisis model perimbangan keuangan masa Orde Baru tidak dapat
dilepaskan dari paradigma dan semangat yang cenderung bergerak ke kutub
sentralisasi. Kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah yang dirancang oleh
Orde Baru lebih difungsikan sebagai alat untuk memperlancar pelaksanaan
pembangunan ekonomi di daerah. Landasan konseptual kebijakan saat itu
sangat berorientasi pada pencapaian pertumbuhan ekonomi, sehingga tidak
dapat dipungkiri, memang lebih menghendaki adanya sentralisasi daripada
desentralisasi.
UU Nomor 5 Tahun 1974 menegaskan bahwa agar supaya daerah dapat
mengurus rumah tangganya sendiri dengan sebaik-baiknya, maka kepadanya
perlu diberikan sumber-sumber pembiayaan yang cukup. Tetapi mengingat
bahwa tidak semua sumber pembiayaan dapat diberikan kepada Daerah maka
kepada daerah diwajibkan untuk menggali segala sumber-sumber keuangannya
sendiri berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.344
Pemerintah telah menyadari bahwa keberhasilan pelaksanaan desentralisasi
dan otonomi daerah harus didukung dengan pembiayaan yang cukup. Oleh
karena itu daerah harus diberikan penegasan sumber-sumber pembiayaan yang
menjadi haknya, sebagai i modal menjalankan urusan rumah tangganya.
3) Model Pemerintahan Daerah
Analisis model pemerintahan daerah masa Orde Baru berdasarkan
ketentuan UU Nomor 5 Tahun 1974 dapat dilihat dalam dua bentuk. Pertama,
melihat pemerintahan daerah dalam konstruksi sebagai daerah otonom, dan
yang kedua, melihat konstruksi sebagai wilayah administratif. Pemerintah oleh
UU diwajibkan melaksanakan politik desentralisasi dan dekonsentrasi di bidang
ketatanegaraan. Sebagai konsekuensi dari prinsip tersebut maka ada daerah
otonom dan wilayah administratif. Daerah yang dibentuk berdasarkan asas
desentralisasi disebut daerah otonom yang selanjutnya disebut "Daerah", yang
meliputi Daerah Tingkat I dan Daerah Tingkat II.
Sedang wilayah yang dibentuk berdasar asas dekonsentrasi disebut wilayah
administratif selanjutnya disebut "Wilayah". Wilayah-wilayah disusun secara
vertikal dan merupakan lingkungan kerja perangkat pemerintah yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan umum di daerah. Pembentukan
wilayah-wilayah dalam susunan vertikal adalah untuk meningkatkan
pengendalian penyelenggaraan pemerintahan dalam rangka menjamin
kelancaran penyelenggaraan pemerintahan.

22
4) Model Pengisian Jabatan Kepala Daerah
Pengisian jabatan kepala daerah pada masa Orde Baru menurut UU Nomor
5 Tahun 1974 dilakukan melalui dua tahap yakni melalui pemilihan secara tidak
langsung oleh DPRD, dan pengangkatan oleh pejabat yang berwenang.
Dikatakan pemilihan secara tidak langsung karena prosesnya dimulai dengan
pencalonan oleh fraksi di DPRD. Pada tahap ini DPRD berperan sebagi wakil
rakyat daerah untuk memilih calon pemimpin daerahnya.
Konsep memberikan pemahaman bahwa ada upaya menyeimbangkan
posisi kepala daerah yang menjalankan dua fungsi sebagai kepala daerah dan
juga kepala wilayah. Basis pertimbangannya bahwa sebagai kepala wilayah, ia
harus mempunyai kecakapan di bidang pemerintahan dan dipercaya
sepenuhnya oleh Pemerintah Pusat. Oleh karena itu dianggap wajar apabila
Pemerintah Pusat berperan dalam mengangkat kepala daerah sesuai
pertimbangannyaSedangkan sebagai kepala daerah otonom, maka kepala
daerah perlu mendapat dukungan dari rakyat yang dipimpinnya. Hal inilah
yang melibatkan peran DPRD untuk mengajukan calon kemudian memilih
calon sesuai persyaratan.
5) Model Lembaga Perwakilan Daerah
Paradigma lembaga perwakilan daerah pada masa Orde Baru sesungguhnya
lebih menegaskan kedudukannya sebagai penyelenggara pemerintahan daerah
dalam bidang legislatif atau aspek mengatur. Prinsipnya sama dengan yang
digunakan pada UU Nomor 18 Tahun 1965, dalam arti DPRD tidak lagi terlibat
dalam bidang eksekutif. DPRD diarahkan lebih fokus pada perannya bersama-
sama kepala daerah menyusun anggaran pendapatan dan belanja daerah dan
peraturan-peraturan daerah serta memperhatikan aspirasi dan memajukan
tingkat kehidupan rakyat dengan berpegang pada program Pembangunan
pemerintah.
6) Model Organisasi Perangkat Daerah
Pada masa Orde Baru, keberadaan organisasi perangkat daerah ditegaskan
eksplisit melalui undang-undang pemerintahan daerahHal ini tentu berbeda
dengan pengaturan pemerintahan daerah pada masa Orde Lamasecara
Ketentuan Pasal 13 ayat (2) UU Nomor 5 Tahun 1974 menegaskan bahwa dalam
menyelenggarakan pemerintahan daerah dibentuk sekretariat daerah dan
dinas- dinas daerahKeberadaan sekretariat daerah adalah unsur staf, yang
menyelenggarakan tugas-tugas umum staf sedangkan dinas-dinas daerah
adalah r pelaksana pemerintah daerah yang dibentuk untuk melaksanakan
urusan- unsur urusan pemerintahan yang telah menjadi urusan rumah tangga
daerahArtinya UU ini dalam mengatur organisasi pemerintahan daerahnya
menggunakan model organisasi lini dan staf (line and staff organization).

23
Sebagai tindaklanjut dari UU Nomor 5 Tahun 1974, Pemerintah Pusat
mengeluarkan beberapa regulasi yang berkaitan dengan organisasi perangkat
daerah yang dapat dirinci sebagai berikut:
1) Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 68 Tahun 1973 tentang Pedoman
Susunan Organisasi Dan Tata Kerja Sekretariat Daerah Tingkat II;
2) Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 69 Tahun 1973 tentang Pedoman
Susunan Organisasi Dan Tata Kerja Wilayah Kecamatan;
3) Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 30 Tahun 1976 tentang Pedoman
Susunan Organisasi Dan Tata Kerja Sekretariat Wilayah/Daerah Tingkat I Dan
Sekretariat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Tingkat I;
4) Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 362 Tahun 1977 tentang Pola
Organisasi Pemerintahan Daerah dan Wilayah;
5) Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 363 Tahun 1977 tentang Pedoman
Pembentukan, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Dinas Daerah;
6) Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 1978 tentang Pedoman
Susunan Organisasi Bupati/Walikotamadya. Tata Kantor Pembantu
Bupati/Walikotamadya
7) Model Pertanggungjawaban
Pertanggungjawaban terhadap penyelenggaraan pemerintahan daerah
pada masa Orde Baru dikonstruksi mengikuti paradigma pengisian kepala
daerahnya. Hal ini juga dipengaruhi oleh kedudukan kepala daerah dalam
menjalankan dua fungsi yaitu sebagai kepala daerah otonom dan kepala
wilayah. Sejalan dengan pengisian kepala daerah yang lebih dominan
ditentukan melalui mekanisme pengangkatan maka konstruksi
pertanggungjawabannya juga dilaksanakan secara hierarkis kepada Presiden
melalui Menteri Dalam Negeri. Hal ini mengingat kedudukan Presiden sebagai
penanggungjawab tertinggi dalam penyelenggaraan pemerintahan di seluruh
wilayah negara.
Prinsip seperti ini meninggalkan mekanisme pemberian
pertanggungjawaban kepala daerah kepada DPRD. Menurut UU Nomor 5
Tahun 1974, kepala daerah berkewajiban memberikan keterangan
pertanggungjawaban kepada DPRD mengenai pelaksanaan pemerintahan
daerah yang dipimpinnya. Mekanisme ini dilakukan supaya DPRD sebagai
salah satu unsur pemerintah daerah dapat selalu mengikuti dan mengawasi
jalannya pemerintahan daerah. Keterangan pertanggungjawaban bersifat
bersifat informatif, bukan bersifat responsibilitatif.
8) Model Hubungan Dengan Masyarakat
Pola hubungan antara pemerintah daerah dengan masyarakat pada masa
Orde Baru sebagaimana yang dimaksud dalam jiwa dan semangat UU Nomor 5

24
Tahun 1974, dapat dikatakan bersifat searah. Konsep ini menempatkan masa
pemerintah sebagai subyek atau pelaku utama sedangkan masyarakat hanya
sebagai obyek. Keterlibatan masyarakat dalam penyelenggaraan pemerintahan
dan pembangunan secara langsung maupun tidak langsung hampir tidak ada.
Ruang partisipasi aktif masyarakat dalam menentukan arah pembangunan di
daerah sangat kecil. Masyarakat hanya menjadi sasaran pembangunan,
sehingga proses pembangunan di daerah mulai dari perencanaan sampai pada
evaluasi dan pertanggungjawaban semuanya bersifat top-down.
Dalam konteks partisipasi masyarakat yang dapat dilihat pada saat itu
adalah keikutsertaannya dalam memberikan suaranya untuk memilih wakil
rakyat yang akan duduk di parlemen. Dapat dikatakan inilah partisipasi
masyarakat yang ada saat itu dan merupakan partisipasi terendahPemerintah
mengambil alih peran seutuhnya dalam segala tataran kehidupan termasuk
penyelenggaraan pemerintahan di daerah.
Prinsip hubungan yang dibangun antara pemerintah dengan masyarakat
seperti pola ini menampilkan ketergantungan yang tinggi terhadap pemerintah.
Masyarakat hidup dalam kondisi menunggu dan mengharapkan bantuan
pemerintah sehingga tidak berdaya dan mandiri. Pada sisi lain pemerintah
menjadi sangat superior dalam menentukan kehidupan sosial masyarakat.
Seluruh kebijakan yang diambil pemerintah bukan berdasarkan aspirasi atau
tujuan kebutuhan masyarakat tetapi atas kepentingan maha-tahu pemerintah
pusat.
6.2. UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan
6.2.1. Dasar Filosofi
Sistem pemerintahan sentralistik represif dengan menggunakan
manajemen militer pada awal pemerintahan Orde Baru, dipuja-puja karena
dianggap membawa bangsa Indonesia ke arah kemajuan. Tidak ada yang salah
dengan sistem semacam itu seandainya dapat terus membawa kesejahteraan
bagi seluruh warga negara. Tetapi ceritanya menjadi berubah manakala sistem
tersebut pada ujungnya membawa kejurang kebangkrutan negara karena
tertimbun hutang dan korupsi yang merajalela. Rakyat yang dipelopori oleh
mahasiswa melakukan gerakan untuk mereformasi sistem politik dan
pemerintahan secara mendasar.
Kerusakan dibalik kesuksesan sistem berbangsa, bernegara, dan
berpemerintahan di bawah pimpinan Soeharto menyebabkan semua yang
bernuansa Orde Baru dianggap jelek dan harus ditinggalkan. Termasuk
didalamnya sistem desentralisasi dan otonomi daerah. UU Nomor 22 Tahun
1999 merupakan salah satu produk era reformasi yang sangat penting dalam
mengubah perjalanan bangsa. Dikatakan demikian, karena UU ini merupakan
kontra-konsep dari UU yang digantikannya, yakni UU Nomor 5 Tahun 1974
yang sudah digunakan selama seperempat abad (1974-1999). Semua paradigma

25
digunakan pada UU lama diganti dengan paradigma baru, yang ternyata lebih
bernuansa federalistik dan menimbulkan kontroversi.
Jika ditelusuri secara komprehensif, diperoleh pemahaman bahwa
filosofi yang digunakan dalam UU Nomor 22 Tahun 1999 adalah
keanekaragaman dalam kesatuan, yang merupakan kontra konsep dari filosofi
"kesatuan dalam keanekaragaman" yang digunakan UU Nomor 5 Tahun 1974.
Prinsip keanekaragaman dalam kesatuan sesungguhnya mengembalikan
pada karakter dan kondisi bangsa Indonesia yang beraneka ragam dan sejalan
dengan sesanti "Bhinneka Tunggal Ika". Konsekuensi logisnya adalah adanya isi
dan bentuk otonomi yang berbeda antara satu daerah dengan daerah lainnya.
Pola otonomi yang digunakan juga berubah dari simetris menjadi a-simetris.
Prinsip ini membuka peluang adanya sebagian daerah otonom di Indonesia
yang diatur secara khusus dan istimewa menyangkut bentuk dan isi otonomi
yang dilaksanakan. Contoh konkritnya adalah lahirnya Undang-Undang Nomor
21 tahun 2000 tentang Otonomi Khusus Papua, yang isi otonominya jauh
berbeda dengan isi otonomi daerah lainnya di Indonesia. Demikian pula dengan
UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh juga memiliki isi yang
berbeda dengan pengaturan desentralisasi dan otonomi daerah lainnya.
Filosofi keanekaragaman dalam kesatuan kemudian juga tercermin
melalui pemberian kebebasan untuk memberi nama desa (sebagai nama
generik) dengan nama lain yang sejenis sesuai kenyataan sosial yang ada di
daerah masing- masing. Selain itu juga adanya kebebasan untuk pemberian
nama kecamatan (sebagai nama generik) sesuai kesepakatan masyarakat
setempat. Demikian pula bentuk, susunan, serta nama organisasi pemerintah
daerah yang dapat berbeda antara satu daerah dengan daerah lainnya. Prinsip
kesatuan dalam keanekaragaman yang digunakan oleh Rezim Soeharto
sebenarnya merupakan lanjutan dari model yang sama pada masapenjajahan
Hindia Belanda. Apabila pada masa lalu prinsip tersebut digunakandengan
alasan untuk mencegah terjadinya pemberontakan, pada rezim Soeharto prinsip
tersebut digunakan dengan alasan untuk melanggengkan kekuasaan.Dengan
alasan menjaga persatuan dan kesatuan bangsa, perbedaan pandangan
diharamkan. Bahkan menulis puisi saja dapat menyebabkan sescorang
kehilangan nyawa. Dilihat dari sudut pandang daerah, prinsip keanekaragaman
dalam kesatuan merupakan sebuah wujud nyata otonomi daerah yang
bermakna kebebasan untuk mengatur dan mengurus rumah tangga daerahnya
sendiri

6.2.2. Paradigma yang digunakan

26
Pada saat UU Nomor 22 Tahun 1999 disusun, belum ada ketentuan
bahwa setiap UU diharuskan menggunakan naskah akademis. Oleh karena itu
untuk mengetahui paradigma yang digunakan, dilakukan analisis terhadap
alasan
pertimbangannya. Konsiderans UU Nomor 22 Tahun 1999 memuat enam butir
angan. Ada empat konsiderans yang memberikan landasan filos
sebagai berikut :
a. Paradigma pemberian keleluasaan kepada Daerah untuk menyelenggarakan
Otonomi Daerah;
b. Paradigma demokratisasi, pemberian peran-serta masyarakat yang lebih luas,
pemerataan dan keadilan, serta memperhatikan potensi dan keanekaragaman
Daerah
c. Paradigma menghadapi kompetisi global, dengan memberikan kewenangan
yang luas, nyata, dan bertanggung jawab kepada daerah secara proporsional;
d. Paradigma pemisahan pengaturan tentang Desa.
Penjelasan masing-masing paradigma dikemukakan pada uraian berikut ini.
1) Model Transfer Kewenangan
Pada masa UU Nomor 22 Tahun 1999, dipakai paradigma pengakuan
kewenangan pemerintahan. Pertimbangan utamanya adalah bahwa otonom
sesungguhnya secara konstitusional telah memiliki kewenangan, negara tinggal
mengakuinya di dalam undang-undang (prinsip rekognisi). Pengakuan
kewenangan tersebut secara teknis dan rinci ditindaklanjuti dengan peraturan
perundang-undangan yang lebih rendah tingkatannya. Paradigma ini.
menegaskan seolah kewenangan daerah bukanlah berasal dari pemerintah
pusat namun sudah ada sejak berdirinya negara. Apabila ditelusuri lebih jauh,
konsep ini memiliki kemiripan dengan pola pada negara yang menganut sistem
federasi. Dengan paradigma pengakuan kewenangan pemerintahan ada
perasaan bahwa kedudukan daerah otonom sejajar dengan kedudukan negara,
karena sama-sama memperoleh kewenangan dari konstitusi. Akibatnya banyak
kepala daerah yang mengabaikan kebijakan dari pemerintah pusat ataupun
melanggar peraturan perundang-undangan dengan membuat peraturan daerah
menurut seleranya sendiri. Perda-perda tersebut terutama berkaitan dengan
pajak, retribusi, ijin pertambangan, ijin pengelolaan hutan, pengelolaan
pelabuhan dan lain sebagainya. Akibatnya, banyak kepala daerah terjerat
masalah hukum akibat euphoria pengelolaan kewenangan yang berlebihan.
Data dari berbagai buku menunjukkan adanya pergeseran titik pusat korupsi,
dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah.

27
Kerangka berpikir di atas menimbulkan beragam penilaian terhadap
situasi yang tidak sejalan dan tidak konsisten dengan sistem negara unitaris.
Pasalnya kewenangan pemerintahan yang dijalankan oleh pemerintah pusat
ternyata sangat dibatasi. Padahal dalam negara unitaris sumber kekuasaan
berada ditangan pemerintah pusat.
Dengan rekognisi kewenangan daerah otonom berasal dari konstitusi,
memberikan kesan bahwa pemerintah pusat bukanlah sumber kewenangan bagi
daerah otonom. Mekanisme transfer kewenangan dengan model ini dikenal
banyak kalangan dengan istilah desentralisasi dalam negara unitaris tetapi
bercitarasa Ada ketidakselarasan paradigma antara UUD 1945 dengan UU
Nomor 22 tahun 1999 sebagai UU organiknya. Sebab dalam negara unitaris
seperti Indonesia sumber pemencaran kewenangan yang diberikan kepada
daerah otonom sebagai kesatuan masyarakat hukum berasal dari pemerintah
pusat yang diatur dengan UU.
2) Model Perimbangan Keuangan
Penyelenggaraan desentralisasi dan otonomi daerah pada masa
reformasi boleh dikatakan cukup maju, lebih komprehensif dan telah
memperhatikab berbagai aspek kebutuhan. Pola pengaturannya tidak hanya
mengenai hal-hal apa yang harus dikerjakan oleh pusat maupun daerah tetapi
telah memikirkan dukungan sumber daya yang harus diberikan kepada daerah.
Salah satu aspek yang dianggap krusial dalam implementasi kebijakan
desentralisasi adalah mengenai dukungan keuangan. Disadari waktu itu bahwa
pembangunan daerab sebagai bagian integral dari pembangunan nasional dapat
dilaksanakan melalui otonomi daerah dan pengaturan sumber daya nasional.
Oleh karena itu pentingnya penyediaan sumber-sumber pembiayaan
berdasarkan desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan yang diatur
melalui perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah.
Konkritnya berupa sistem keuangan yang berdasarkan pembagian kewenangan,
tugas, dan tanggung jawab yang jelas antar tingkat pemerintahan. Prinsip yang
digunakan adalah "uang mengikuti urusan pemerintahan" (money follow
function). Pertimbangan di atas menjadi dasar utama dalam melahirkan
regulasi mengenai hubungan keuangan pusat dan daerah dalam satu rangkaian
paket kebijakan desentralisasi. Hubungan dimaksud menurut Devas, dkk, erat
kaitannya dengan pembagian tanggungjawab untuk melaksanakan kegiatan
tertentu dan pembagian sumber penerimaan untuk menutup pembiayaan
kegiatan sebut. Tujuan utamanya adalah mencapai perimbangan dari
pembagian yang ada dilakukan agar ada kesesuaian antara potensi dan
sumberdaya yang ada di masing-masing daerah.Fondasi utamanya adalah
pembagian kewenangan dalam pemerintahan. Sehingga relasi keuangan pusat
dan daerah mencerminkan tujuan politiknya.

28
Dasar hukum yang mengatur perimbangan keuangan yang dibangun
pada awal masa reformasi adalah UU Nomor 25 Tahun 1999 tentang
Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. UU
ini merupakan pengganti UU Nomor 32 Tahun 1956 yang dianggap sudah usang
dan tidak sesuai dengan perkembangan kebijakan desentralisasi yang baru.
Pada UU Nomor 22 Tahun 1999, diatur secara khusus mengenai
keuangan daerah yaitu BAB VIII. Dijelaskan bahwa untuk menyelenggarakan
Otonomi Daerah yang luas, nyata, dan bertanggung jawab, diperlukan
kewenangan dan kemampuan menggali sumber keuangan sendiri, yang
didukung oleh perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah
serta antara Propinsi dan Kabupaten/Kota yang merupakan prasyarat dalam
sistem Pemerintahan Daerah. Lebih lanjut dinyatakan dalam rangka
menyelenggarakan Otonomi Daerah kewenangan keuangan yang melekat pada
setiap kewenangan pemerintahan menjadi kewenangan Daerah. Pemerintah
memberikan kewenangan kepada daerah disertai dengan dukungan keuangan
agar daerah mampu menggali sumber keuangan sendiri. Harus dipahami bahwa
dana perimbangan merupakan penunjang bagi daerah dalam
menyelenggarakan kewenangannya.
Salah satu aspek yang termuat dalam pengaturan keuangan daerah
adalah mengenai sumber pendapatan daerah. Ini merupakan upaya pemerintah
memberikan kepastian kepada daerah, sehingga mengetahui hak dan kewajiban
dslam rangka mengelola potensi yang dapat memberikan kontribusi
penerimaan daerah. Adapun sumber pendapatan yang diatur tersebut terdiri
atas:
a. Pendapatan Asli Daerah, yaitu:
1. Hasil Pajak Daerah;
2. Hasil Retribusi Daerah;
3. Hasil Perusahaan Milik Daerah, Dan Hasil Pengelolaan Kekayaan
Daerah Yang Dipisahkan; dan
4. Lain-Lain Pendapatan Asli Daerah Yang Sah.
b. Dana Perimbangan;
c. Pinjaman Daerah; dan
d. Lain-Lain Pendapatan Daerah Yang Sah.
Mengenai dana perimbangan sebagai salah satu bagian dari sumber
pendapatan dirinci sebagai berikut :

29
a. Bagian daerah dari penerimaan pajak bumi dan bangunan, bea
perolehan
hak atas tanah dan bangunan, dan penerimaan dari sumber daya alam;
b) Dana alokasi umum; dan
c) Dana alokasi khusus.
Pola pengaturan keuangan daerah di atas menunjukkan adanya
lompatan konsep berpikir dalam memberikan kewenangan disertai
dukungan keuangan. Prinsip money follows function atau uang
mengikuti kewenangan mulai dicetuskan, karena keberhasilan daerah
dalam menjalankan kewenangannya apabila ada dukungan anggaran.
Dengan bahasa lain, jika kewenangan diserahkan kepada daerah maka
uang untuk mengelola kewenangan itupun harus rahkan kepada daerah.
Sebagai konsekuensi logisnya dialirkan dan besar kepada daerah. Model
ini memaksa adanya kesiapan daerah untuk menerima maupun kerelaar
pemerintah pusat untuk melepaskan sebagian hak dan kewajiban terkait
pengelolaan keuangan negara.
3) Model Pemerintahan Daerah
Deskripsi model pemerintahan daerah menurut UU Nomor 22 Tahun
1999, dapat dielaborasi dari regulasi yang terkandung dalam Bab V Bentuk Dan
Susunan Pemerintahan Daerah. Sebelumnya perlu dijelaskan bahwa pada UU
Nomor 22 Tahun 1999 telah digunakan terminologi pemerintah daerah
danpemerintahan daerah.Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan
Pemerintahan Daerah Otonom oleh Pemerintah Daerah dan DPRD menurut
asas Desentralisasi. Sedangkan Pemerintah Daerah adalah Kepala Daerah
beserta perangkat Daerah Otonom yang lain sebagai Badan Eksekutif Daerah.
Rumusan ini perlu dipahami sejak awal sehingga menjadi pegangan secara
konsisten dan tidak menimbulkan kebingungan dalam menafsirkan maksud
selanjutnya mengenai pemerintah daerah dan pemerintahan daerah.
Menurut UU ini ditegaskan bahwa Pemerintah Daerah terdiri atas Kepala
Daerah beserta perangkat Daerah lainnya. Ketentuan ini menunjukkan bahwa
pemerintah daerah hanya sebagai lembaga eksekutif di bawah kendali kepala
daerah. Prinsip tersebut searah dengan penggunaan asas pembagian kekuasaan
dalam konteks pemerintah pusat yang memisahkan antara kekuasaan eksekutif
dan kekuasaan legislatif. Apabila di pusat eksekutif ditangan presiden maka di
daerah eksekutif dibawah kendali kepala daerah. Ketentuan ini berbeda dengan
kebijakan rezim sebelumnya baik masa orde lama maupun orde baru. Kedua
rezim ini menempatkan adanya Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebagai salah
satu unsur dalam pemerintah daerah.

30
4) Model Pengisian Jabatan Kepala Daerah
Pada masa UU Nomor 22 Tahun 1999, mekanisme pengisian jabatan
kepala daerah diserahkan kepada DPRD. Peran DPRD sangat dominan dalam
rangka menentukan seseorang menjadi kepala daerah dan wakil kepala daerah.
Artinya dari mulai proses awal seleksi sampai pada penetapan seseorang
menjadi kepala daerah dan wakil kepala daerah dilakukan oleh DPRD. Kepala
daerah dan wakil kepala daerah diisi dengan satu model yaitu pemilihan oleh
DPRD. Dengan model ini kepala daerah dan wakil kepala daerah terpilih dapat
langsung diketahui pada saat perhitungan suara dan penetapan pasangan calon
yang memperoleh suara terbanyak.
Model pengisian jabatan kepala daerah sebagaimana dikemukakan di
atas berbeda dibanding dengan model pengisian jabatan yang dilakukan pada
rezim sebelumnya. Pada masa Orde Baru pengisian jabatan kepala daerah
dilakukan melalui penggabungan dua model yaitu pemilihan oleh DPRD
kemudian dilakukan pengangkatan dari calon yang terpilih oleh pejabat yang
berwenang (Presiden dan/atau Menteri Dalam Negeri). Dengan demikian
pengisian jabatan kepala daerah dan wakil kepala daerah pada masa UU ini
tidak lagi melibatkan peran pemerintah pusat. Peran pemerintah hanyalah
mengesahkan pasangan yang sudah ditetapkan oleh DPRD, yang bersifat
administratif saja.
Model pengisian jabatan kepala daerah yang diakomodasi dalam UU
Nomor 22 Tahun 1999 mirip dengan model yang diterapkan pada masa UU
Nomor 1 Tahun 1957. Hal ini menunjukkan adanya pengulangan sejarah,
meskipun dengan perbedaan gradual.
Dengan model pengisian jabatan seperti itu, maka kedudukan DPRD
lebih kuat dibanding kedudukan kepala daerah. DPRD dalam posisi superior
sedangkan kepala daerah dalam posisi inferior. DPRD dapat memberhentikan
daerah sebelum masa jabatannya berakhir karena berbagai sebab, tetapi kepala
daerah tidak dapat membubarkan DPRD.
Mekanisme pemilihan kepala daerah menurut UU Nomor 22 Tahun 1999
terlihat lebih maju dibandingkan dengan mekanisme yang diatur dengan
regulasi pada rezim sebelumnya. Selain persyaratan administratif yang harus
dipenuhi oleh bakal calon, ada juga ketentuan pemaparan visi dan misi serta
rencana kebijakan oleh bakal calon apabila terpilih menjadi kepala daerah dan
wakil kepala daerah dihadapan rapat paripurna DPRD. Dengan demikian
anggota DPRD dapat menggali kemampuan bakal calon mengenai strategi
membangun daerahnya. Hal ini menjadi bahan baku penilaian bagi para
anggota DPRD sebelum menentukan pilihannya terhadap pasangan bakal calon
yang ada. Proses pemilihan melalui tahapan seperti ini merupakan hal baru
yang dimulai Ketika masa reformasi. Tujuannya agar kepala daerah yang

31
terpilih benar-benar memiliki kapabilitas dan kompetensi yang dibutuhkan
dalam menjalankan roda pemerintahan didaerah guna mewujudkan
kesejahteraan masyarakat daerahnya.
Pemilihan kepala daerah dengan menggunakan model ini didasarkan
pada pertimbangan bahwa negara Indonesia telah memilih jalan demokrasi,
yang salah satu syaratnya adalah kehadiran partai politik yang berkualitas.
Tanpa partai politik yang mewakili kepentingan rakyat, demokrasi tidak
mungkin dapat dijalankan Model ini juga dianggap sejalan dengan Pancasila
sebagai dasar negara, khususnya Sila Keempat yang menekankan pada
demokrasi perwakilan
model pemilihan kepala daerah oleh DPRD akan berjalan dengan karena
efektif dan efisien apabila logika politik dari partai politik dan wakil-wakilnya
yang duduk di DPRD sejalan dengan Logika politik masyarakat. Apabila tidak,
maka demokrasi kerakyatannya akan dibajak menjadi demokrasinya para elit
yang mengarah pada penyimpangan demokrasi yang dinamakan plutokrasi.
Praktek pemerintahan daerah selama masa UU Nomor 22 Tahun 1999
menunjukkan bahwa kecenderungan ke arah plutokrasi mulai nampak. Untuk
menjadi calon kepala daerah, partai politik meminta "mahar politik" (political
dowry) yang jumlahnya sangat besar, sehingga hanya orang-orang kaya saja
atau orang yang didukung oleh orang kaya yang dapat maju menjadi calon
kepala daerah. Mahar politik ini berbeda maknanya dengan politik uang (money
politic), yang bertujuan langsung membeli suara dengan cara memberi uang
pada para pemilih sebelum atau menjelang pemungutan suara.
5) Model Lembaga Perwakilan
UU Nomor 22 Tahun 1999 secara tegas menempatkan DPRD sebagai
lembaga/badan legislatif daerah, sedangkan pemerintah daerah sebagai badan
eksekutif daerah. DPRD mempunyai kedudukan sejajar dan mitra bagi
pemerintah daerah. Tujuan menempatkan posisi DPRD terpisah dari
Pemerintah Daerah adalah untuk lebih memberdayakan DPRD dan
meningkatkan pertanggungjawaban Pemerintah Daerah kepada rakyat. Oleh
karena itu hak-hak DPRD yang cukup luas dan diarahkan untuk menyerap serta
menyalurkan aspirasi masyarakat untuk diubah menjadi kebijakan Daerah, dan
melakukan fungsi pengawasan terhadap kebijakan pemerintah daerah.
Penguatan kedudukan lembaga perwakilan dalam UU ini didasarkan
pada semangat untuk lebih menguatkan kedudukan rakyat sebagai pemilik
kedaulatan melalui DPRD. Penguatan tersebut mencakup baik dalam proses
rekrutmen politik lokal maupun dalam pembuatan kebijakan publik di Daerah.
Logika konseptual sebagaimana dikemukakan di atas dilatar-belakangi
oleh kenyataan bahwa pada masa pemerintahan sebelumnya, DPRD hanya

32
diposisikan sebagai pelengkap atau pemberi stempel belaka tanpa memiliki
posisi tawar yang kuat dimata pemerintah. Seiring dengan tuntutan reformasi
saat itu maka DPRD pun ditata kembali agar benar-benar menjalankan fungsi
perwakilannya.
Meskipun dalam UU Nomor 22 Tahun 1999 ditetapkan bahwa DPRD
berkedudukan sebagai mitra yang sejajar dengan pemerintah daerah tetapi
dalam praktiknya DPRD lebih dominan di daerah. Hal ini konkordan dengan
praktik di tingkat pusat. Setelah amandemen UUD 1945 kekuasaan negara
mengalami pergeseran dari executive dominance (kekuasaan eksekutif yang
terlampau kuat) beralih kepada legislative dominance (Kekuasaan legislatif
yang terlampau kuat). Sistem pemerintahan presidensil pada era reformasi
mengalami pelemahan, digantikan penguatan peran DPR. Logika konsep yang
dipraktikan di pusat ini dipararelkan secara utuh di daerah.
Dalam implementasi kekuasaan pemerintahan negara sesudah
perubahan Undang-undang Dasar 1945, kekuasaan pemerintahan oleh Presiden
telah dibatasi. Sementara itu untuk menciptakan keseimbangan antara
eksekutif dan legislatif maka peran DPR semakin diperkuat. Namun dalam
praktiknya terjadi deviasi sehingga muncul pemusatan kekuasaan di tangan
DPR. Perilaku elit di tingkat nasional kemudian menjadi contoh elit-elit di
daerah untuk melakukan hal serupa. Kepala daerah tidak lagi memiliki posisi
yang powerfull sementara itu DPRD juga tidak lagi dalam posisi yang inferior
sebagaimana ditunjuka orde Baru. Bahkan sebaliknya DPRD menjadi lembaga
yang powerfull sementara kepala daerah harus berada dalam tekanan dan
hiruk- pikuk politik DPRD.
Perubahan drastis yang terjadi dengan kekuasaan negara di pusat
mudian diikuti di daerah menimbulkan kesan adanya keinginan aupun DPRD
untuk membalas dendam atau membalikan situas dialaminya pada masa
sebelumnya. Meskipun dibungkus rapih dalam regulasi dengan istilah check
and balances, tetapi dalam penerapannya DPR dan DPRD dalam posisi yang
sangat kuat. Hal ini tampak dari beberapa ketentuan yang diubah dalam
konstitusi yang membatasi kekuasaan presiden secara penuh dan beralih
kepada pelibatan DPR. Di daerah, upaya membalikan kondisi ditandai dengan
lahirnya regulasi yang memberikan kewenangan DPRD memilih dan
memberhentikan kepala daerah. Pasalnya DPRD yang masih dengan pola pikir
nal berupaya memainkan politik sempitnya untuk menjegal ke kepala daerah
sehingga kepala daerah selalu dalam posisi pasrah mengikuti kemauan DPRD.

6) Model Organisasi Perangkat Daerah

Salah satu elemen penting dalam bernegara dan berdaerah yang


mengalami perubahan mendasar pada masa reformasi adalah mengenai

33
keberadaan organisasi perangkat daerah. Setelah terbitnya UU Nomor 22
Tahun 1999, organisasi perangkat daerah yang sebelumnya terdiri dari
Perangkat Daerah Otonom dan perangkat Pemerintah di daerah berdasarkan
asas dekonsentrasi yang dijalankan dengan prinsip unipersonil, ditata kembali
sehingga kelembagaan di daerah hanya terdiri dari perangkat daerah, meliputi
Sekretariat Daerah, Dinas Daerah dan lembaga teknis Daerah lainnya, sesuai
dengan kebutuhan Daerah.433 Mengingat titik berat Otonomi Daerah
diletakkan pada pada Daerah Kabupaten dan Daerah Kota, maka berbagai
instansi vertikal yang sebelumnya terbentuk di daerah kabupaten/kota diubah
statusnya menjadi organisasi pemerintah daerah. Termasuk didalamnya
menyangkut personil, pembiayaan, peralatan dan dokumen (P3D).
Berdasarkan ketentuan mengenai perangkat daerah sebagaimana diatur
dalam UU Nomor 22 Tahun 1999 yang dikuti dengan rincian dalam PP Nomor
84 Tahun 2000, nampak penggunaan model yang searah dengan konsep
Mintzberg sebagaimana dikemukakan di atas. Penjelasannya yaitu sebagai
berikut :
 The Operating Core. Dalam konteks organisasi perangkat daerah
wujudnya adalah Dinas-Dinas.
 The Strategic Apex. Sebagai manajer tingkat puncak (top
management) untuk di daerah adalah Kepala daerah dan DPRD.
 The Middle Line. Mereka yang tergolong dalam jabatan ini dalam
organisasi perangkat daerah adalah asisten.
 The Technostructure. Organisasi perangkat daerah yang ada di
daerah dan memiliki fungsi yang serupa dengan maksud ini
adalah Badan dan Kantor. The Support Staff. Kelompok yang
termasuk dalam jabatan ini di daerah dikenal dengan Sekretariat
daerah dan Sekretariat DPRD.

Pembentukan organisasi perangkat daerah pada masa UU Nomor 22


Tahun 1999 dan PP Nomor 84 Tahun 2000 pada dasarnya diserahkan kepada
masing- masing daerah, namun harus mempertimbangkan faktor-faktor
sebagai berikut :
a) Kewenangan pemerintahan yang dimiliki oleh Daerah;
b) Karakteristik, potensi, dan kebutuhan Daerah;
c) Kemampuan keuangan Daerah;
d) Ketersediaan sumber daya aparatur;
e) pengembangan pola kerjasama antar Daerah dan/atau dengan ketiga.

Faktor-faktor di atas sesungguhnya merupakan pembatas bagi daerah


dalam membentuk organisasi perangkatnya sehingga organisasi yang dibentuk
dapat benar-benar digunakan untuk menjalankan urusan pemerintahan yang
menjadi kewenangan daerah. Pada dasarnya organisasi dibentuk untuk

34
yelenggarakan kewenangan yang diserahkan, kalau tidak ada kewenang maka
tidak perlu dibentuk organisasi perangkat daerah.
Organisasi pemerintah daerah juga dibangun untuk mencapai tujuan
daerah jangka menengah yang tertuang dalam RPJMD maupun tujuan jangka
paniano yang tertuang dalam RPJPD. Tetapi PP Nomor 84 Tahun 2000 belum

7) Model Pertanggungjawaban

Mekanisme pertanggungjawaban pemerintah daerah menurut UU


Nomor 22 Tahun 1999 dapat dilihat pada ketentuan mengenai kedudukan
kepala daerah. Secara eksplisit ditegaskan bahwa kepala daerah dalam
menjalankan tugas dan kewajibannya bertanggungjawab kepada DPRD.
Pertanggungjawaban disini menyangkut kebijakan pemerintahan maupun
pertanggung-jawaban keuangan. Artinya gubernur, bupati/walikota dalam
melaksanakan tugas penyelenggaraan pemerintahan di daerah
bertanggungjawab kepada DPRD. Tetapi mengingat selain kedudukannya
sebagai kepala daerah, gubernur juga berkedudukan sebagai Wakil Pemerintah
Pusat (WPP), maka dalam posisinya sebagai WPP berada di bawah dan
bertanggung jawab kepada Presiden.
Prinsip pertanggungjawaban yang dimuat dalam UU ini sesungguhnya
searah dengan mekanisme pengisian jabatan kepala daerah sebagaimana
diuraikan sebelumnya. Dikatakan searah karena kepala daerah dipilih dan
diberhentikan oleh DPRD. Ini berarti semangatnya selaras dengan paham siapa
dipilih bertanggung jawab kepada yang memilih.
Pertanggung jawaban kepala daerah pada masa itu menjadi salah satu
instrumen penentu kedudukan kepala daerah. Pasalnya apabila
pertanggungjawabannya ditolak DPRD dapat berujung pada usulan hentian.
Ketentuan ini menjadi alasan politik bagi anggota DPRD u menjatuhkan kepala
daerah. Dalam kondisi seperti ini kepala daerah dapat diturunkan hanya karena
kesalahan-kesalahan teknis dan bukan dari kesalahan/ pelanggaran substantif.
Mekanisme pertanggungawaban kepala daerah yang diatur menurut UU
Nomor 22 Tahun 1999 yakni bahwa Kepala Daerah wajib menyampaikan
pertanggungjawaban kepada DPRD pada setiap akhir tahun anggaran.
Disamping itu Kepala Daerah wajib memberikan pertanggungjawaban kepada
DPRD untuk Politik Desentralisasi Masa Reformasi hal tertentu atas
permintaan DPRD. Selanjutnya Kepala Daerah yang ditolak
pertanggungjawabannya,baik pertanggungjawaban kebijakan pemerintaban
maupun pertanggung-jawaban keuangan, harus melengkapi dan/atau
menyempurnakannya dalam jangka waktu paling lama tiga puluh hari. Setelah
melengkapi dan/atau menyempurnakan pertanggungjawabannya maka wajib
menyampaikannya kembali kepada DPRD. Apabila pertanggungjawabannya
kembali ditolak untuk kedua kalinya, maka DPRD dapat mengusulkan
pemberhentian kepala daerah sebelum masa jabatannya berakhir kepada

35
Presiden. Itulah gambaran proses pertanggungjawaban yang menuju pada
proses pemakzulan seorang kepala daerah. Pengaturan pertanggung-jawaban
semacam ini menimbulkan ketidakstabilan pemerintahan daerah, karena nasib
kepala daerah sangat tergantung pada DPRD sebagai lembaga politik yang sarat
dengan kepentingan politik. Ukurannya bukan kinerja kepala daerah melainkan
lebih pada sentimen politik, persaingan politik, sampai kepada pemerasan
politik.
Selain mekanisme di atas, Kepala Daerah juga wajib menyampaikan
laporan atas penyelenggaraan Pemerintahan Daerah kepada Presiden. Laporan
tersebut disampaikan secara berjenjang melalui Menteri Dalam Negeri dengan
tembusan kepada Gubernur bagi Kepala Daerah Kabupaten dan Kepala Daerah
Kota. Hal ini disampaikan sekurang-kurangnya sekali dalam satu tahun, baik
atas inisiatif Kepala Daerah maupun atas permintaan oleh Presiden.
8) Model Hubungan Antar Asas
Hubungan antar-asas pada masa UU Nomor 22 Tahun 1999 berjalan
tidak seimbang. Asas desentralisasi dijalankan dengan sangat masif pada
daerah kabupaten/kota dan terbatas pada daerah provinsi. Sebaliknya asas
dekonsentrasi dijalankan terbatas sampai di tingkat provinsi, sedangkan di
daerah kabupaten/kota tidak dijalankan asas dekosentrasi kecuali oleh
kementerian yang menangani urusan absolut (pertahanan dan keamanan,
politik luar negeri, fiskal, peradilan, dan agama).
Kementerian yang menangani urusan absolut masih memiliki perwakilan
di tingkat kabupaten/kota, bahkan sampai di kecamatan. Urusan pertahanan
memiliki perangkat dekonsentrasi di tingkat kecamatan yang dinamakan
Koramil, untuk urusan keamanan di tingkat kecamatan berbentuk polisi sektor
(Polsek), urusan agama dalam bentuk KUA (Kantor Urusan Agama).
Di tingkat provinsi dan kabupaten/kota, instansi vertikal yang
menangani solut masih ada dalam bentuk Kantor Wilayah (Kanwil) da
Departemen (Kandep). Kementerian yang menangani urusan konkuren tidak
memiliki perwakilan di kabupaten/kota maupun provinsi, kecuali dalam bentuk
UPT D/K (Unit Pelaksana teknis Departemen/Kementerian) yang menangani
usan spesifik untuk skala nasional tetapi bertempat di suatu daerah te Misalnya
Kementerian Pertanian memiliki UPT Balai Besar Pengembangan Pengujian
Mutu Benih Tanaman Pangan dan Hortikultura, Kementerian Perhubungan
memiliki UPT dalam bentuk bandar udara, Kementerian Hukum dan HAM
memiliki UPT dalam bentuk Kantor Imigrasi, dan lain sebagainya.
Dibatasinya pelaksanaan asas dekonsentrasi di daerah kabupaten/kota
menyebabkan banyak kegiatan pemerintah pusat yang seharusnya dilaksanakan
eh perangkat pusat yang ada di daerah kemudian diserahkan kepada SKI atuan
Kerja Perangkat Daerah). Padahal pekerjaan semacam itu nkan melalui asas
tugas pembantuan. Pembatasan pengguna. dekonsentrasi bertujuan agar
pemerintah pusat tidak perlu campur tangan terlampau banyak urusan

36
pemerintahan yang ada di daerah. Model ini sekaligus merupakan
kontrakonsep dari model yang digunakan pada masa UU Nomor 5 Tahun 1974.
Di antara ketiga asas (desentralisasi, dekonsentrasi, serta tugas
pembantuan), tugas pembantuan merupakan asas yang paling jarang
digunakan. Padahal asas ini diadakan untuk meningkatkan efektivitas dan
efisiensi nyelenggaraan pemerintahan di daerah, sekaligus menjadi emb
pelaksanaan asas desentralisasi.
Kementerian maupun pemerintah dacrah umumnya masih sibuk
mengelola urusan pemerintahannya sendiri setelah perubahan sistem yang
dilakukan secara mendasar, sehingga belum melihat peluang adanya alternatif
asas yang dapat digunakan. Pada sisi lain, sistem keuangan negara juga menjadi
penghambat dalam pelaksanaan tugas pembantuan karena kegiatan fisik yang
dibagi menurut daerah atau desa dianggap sebagai upaya memecah-mecah
menjadi bagian lebih kecil yang dilarang dalam pengadaan barang dan jasa.
Sebagai contoh pemeliharaan gorong-gorong jalan provinsi sebenarnya lebih
efektif dan efisien apabila diserahkan pada masing-masing desa yang dilalui
jalan tersebut melalui mekanisme tugas pembantuan, tetapi cara tersebut
dianggap sebagai memecah kegiatan dalam skala kecil untuk menghindari
lelang pekerjaan. Demikian pula pemeliharaan jalan negara, jalan provinsi oleh
daerah kabupaten/kota yang dilewati jalan tersebut sebenarnya dapat
dijalankan melalui mekanisme asas tugas pembantuan.

6.3. UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan


6.3.1. Dasar Filosofi yang Digunakan
Kehadiran UU Nomor 22 Tahun 1999 sejak awal memang telah
mengundang kontroversi. UU ini baru berusia satu tahun, telah terbit
Ketetapan MPR-RI Nomor IV/MPR-RI/2000 tentang Rekomendasi Kebijakan
Dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah yang memerintahkan revisi secara
mendasar terhadap UU Nomor 22 Tahun 1999.
Muncul beraneka ragam reaksi terhadap perintah revisi secara
mendasar, ada yang mendukung, adapula yang menolak. Penolakan terutama
berasal dari para bupati/walikota karena selama ini mereka memiliki
kewenangan yang sangat luas. Salah satu sikap menolak revisi adalah dari
Syaukani, yang pada saat itu masih menjabat Bupati Kutai Kartanegara
sekaligus Ketua APKASI (Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia.
Syaukani mengatakan bahwa :" upaya revisi itu hendaknya tidak dimaksudkan
untuk mencoba menghidupkan kembali semangat sentralisasi, melainkan untuk
memantapkan agenda otonomi daerah". Elfian Effendi menulis dalam bukunya
yang mengatakan bahwa ada delapan indikasi kuat otonomi daerah terancan
gagal. Kedelapan indikasi tersebut yaitu sebagai berikut :

37
1) Konflik elit politik yang tak kunjung usai;
2) Meruncingnya perseteruan Pusat-daerah;
3) Amandemen UU 22/1999 dan UU 25/1999 hanya memperlambat proses
otonomi daerah;
4) Defisit APBN dan desentralisasi fiskal;
5) Utang luar negeri yang telah mengganggu kedaulatan bangsa
6) Perbankan brengsek, sektor ril mati suri;
7)Minusnya investasi asing dan domestik dan ketidaknyamanan berinvestasi;
8)mengandalkan bagi hasil dari sumber daya alam, padahal cadangan terbatas
6.3.2. Paradigma yang digunakan
Sama seperti analisis sebelumnya bahwa untuk mengetahui paradigma
yang dianut sebuah UU dapat dilihat dari naskah akademiknya dan atau
konsideransnya. Pada konsiderans UU Nomor 32 Tahun 2004 terdapat empat
poin alasan, tetapi yang berkaitan dengan pokok pikiran ada dua alasan yaitu
sebagai berikut :
(1) Mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan
pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta masyarakat, serta peningkatan daya
saing daerah;
(2) Meningkatkan bahwa efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan
pemerintahan daerah dengan tetap memperhatikan potensi dan
keanekaragaman daerah.
1) Model Transfer Kewenangan
Pada masa UU Nomor 5 Tahun 1974 digunakan paradigma penyerahan
urusan pemerintahan, sedangkan pada masa UU Nomor 22 Tahun 1999
digunakan paradigma pengakuan kewenangan. Perbedaan paradigma
berpengaruh terhadap hak, wewenang, kewajiban dan tanggung jawab kepala
daerah sebagai pimpinan pemerintahan dan personifikasi dari daerah.
Berbeda dengan kedua UU yang disebutkan di atas, pada masa Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2004 digunakan istilah pembagian urusan
pemerintahan,484 bukan penyerahan kewenangan seperti UU sebelumnya.
Meskipun apabila dicermati nampak bahwa UU ini sebenarnya masih
menggunakan prinsip kompetensi umum (general competence principl yang
digunakan pada UU Nomor 22 Tahun 1999. Hal tersebut dapat dilibat dari
bunyi Pasal 10 ayat (1) yang menyatakan bahwa: "Pemerintahan daerah
menyelenggaraka urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya, kecuali

38
urusan pemerintah yang oleh undang-undang ini di tentukan menjadi urusan
pemerintah”. jadi undang-undang ini tidak lagi menggunakan istilah
kewenangan pemerintah, melainkan urusan pemerintahan, tetapi tidak ada
defenisi yang jelas di dalam UU nya
2) Model Perimbangan Keuangan
Pada saat disusun UU tentang pemerintahan daerah, disusun pula UU
tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dengan pemerintahan
daerah provinsi dan pemerintahan daerah kabupaten/kota, yang kemudian
dikenal bagai UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuanga
Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah. Kedua UU tersebut merupakan
wujud dari power sharing and financial sharing, seperti dua sejoli dalam
menjalankan prinsip money follows function, yang maknanya "uang
mengikuti urusan pemerintahan". Kehadiran UU Nomor 33 Tahun 2004
berdekatan dengan lahirnya UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan
Negara dan UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara,
sehingga sistem pengelolaan keuangan negara dan daerah diatur lebih
komprehensif dan sistematik.
3) Model Pemerintahan Daerah
Berdasarkan berbagai masalah yang terinventarisasi di dalam DIM,
dilakukan perubahan model pemerintahan daerah dengan mengembalikan
pada prinsip bahwa unsur penyelenggara pemerintahan daerah terdiri dari
Kepala Daerah dan DPRD yang berada dalam satu kotak. Perbedaan terletak
pada fungsinya. Kepala Daerah menjalankan fungsi mengurus yang bersifat
teknis operasional, sedangkan DPRD menjalankan fungsi mengatur yang
bersifat kebijakan. Konsekuensi logisnya, peran DPRD dalam pembuatan
peraturan daerah harus diperkuat. Hal ini sejalan dengan semangat
membangun desentralisasi berkeseimbangan dalam dimensi horisontal.
4) Model Pengisian Jabatan Kepala Daerah
berdasarkan pengalaman penyelenggaraan pemerintahan dengan
pengisian jabatan kepala daerah oleh DPRD yang penuh dengan ketidakstabilan
politik pada masa UU Nomor 22 Tahun 1999, maka UU Nomor 32 Tahun 2004
mengubah sistem pengisian jabatan kepala daerahnya dengan model pemilihan
secara langsung oleh konstituen.
5) Model Lembaga Perwakilan
Penempatan DPRD sebagai lembaga legislatif daerah yang terpisah pada
masa UU Nomor 22 Tahun 1999 dalam prakteknya telah menimbulkan
ketidakstabilan penyelenggaraan pemerintahan daerah, karena dengan mudah
kepala daerah dapat diberhentikan oleh DPRD sebelum masa jabatannya

39
berakhir. Penggunaan model tersebut sebenarnya merupakan pengulangan
karena pernah digunakan pada masa UUD Republik Indonesia Serikat serta
pada masa demokrasi parlementer tahun 1950an.
Model sebagaimana dikemukakan di atas kemudian tidak lagi digunakan
pada masa UU Nomor 32 Tahun 2004, karena UU ini menempatkan DPRD dan
Kepala Daerah dalam satu kotak dengan nama "unsur penyelenggaraan
pemerintahan daerah." DPRD dan Kepala Daerah sebagai unsur
penyelenggaraan pemerintahan daerah berkedudukan sejajar dan merupakan
mitra kerja ngsi utama yang berbeda. DPRD lebih banyak menjalankan fungsi
"mengatur” sedangkan kepala daerah lebih banyak menjalankan fungsi
"mengurus”
6) Model Organisasi Pemerintah Daerah
Untuk menindaklanjuti berbagai ketentuan mengenai organisasi
pemerintah daerah yang diatur dalam UU Nomor 32 Tahun 2004, telah
diterbitkan PP Nomor 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah
sebagai pengganti PP Nomor 8 Tahun 2003 mengenai hal yang sama, yang
dianggap belum cukup memberikan pedoman menyeluruh bagi penyusunan
dan pengendalian organisasi perangkatdaerah yang dapat menangani seluruh
urusan pemerintahan.
terdapat tiga parameter yang digunakan oleh PP Nomor 41 Tahun 2007
dalam menyusun organisasi pemerintah daerah yakni: 1) kebutuhan daerah; 2)
kemampuan keuangan daerah; dan 3) ketersediaan sumber daya aparatur yang
profesional. Kebutuhan daerah didasarkan pada dua parameter yakni visi dan
misi daerah serta obyek yang diurus, yakni masyarakat dengan segala
aktivitasnya. kemampuan keuangan daerah dapat dilihat dari besaran APBD
masing-masing daerah, terutama perbandingan antara belanja aparatur dengan
belanja publik. sebagai lembaga publik sudah seharusnya alokasi APBD yang
lebih besar belanja publik, bukan belanja aparatur. Ketersediaan aparatur yang
profesional menggambarkan adanya PNS yang memiliki kompetensi untuk
menangani urusan pemerintahan yang telah diserahkan kepada daerah, bukan
hanya PNS yang berpangkat tinggi.
7) Model Pertanggungjawaban
Mekanisme pertanggungjawaban kepala daerah kepada masyarakat telah
diatur secara rinci di dalam PP Nomor 3 Tahun 2007 tentang Laporan
Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Kepada Pemerintah, Laporan
Keterangan Pertanggungjawaban Kepala Daerah Kepada Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah, dan Informasi Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Kepada
Masyarakat.

40
Pemerintah daerah sebagai lembaga publik, yang memperoleh mandat
dari masyarakat dan menggunakan dana publik harus
mempertanggungjawabkan (responsibility) dan mempertanggunggugatkan
(accountability) seluruh aktivitasnya kepada publik sesuai peraturan
perundang-undangan. Tanggung jawab (responsibility) adalah" a duty or
obligation to satisfactorily perform or complete a task (assigned by someone, or
created by one's own promise or circumstances) that one must fulfill, and which
has a consequent penalty for Jailure. Sedangkan tanggung gugat
(accountability) adalah : The obligation of and individual or organization to
account for its activities, accept responsibility for them, and to disclose the
results in a transparent manner. It also includes the responsibility for money or
other entrusted property.
8) Model Hubungan Antar Asas
Pada masa UU Nomor 32 Tahun 2004, penggunaan asas dekonsentrasi
mulai nampak diperkuat dibanding masa UU Nomor 22 Tahun 1999. Secara
politis kebijakan tersebut bertujuan agar desentralisasi yang dijalankan oleh
daerah otonom tidak mengganggu eksistensi NKRI. Bentuk penyimpangan dari
prinsip negara unitaris dapat berupa pemberian TKD (Tunjangan Kinerja
Daerah) yang sangat besar sehingga menimbulkan kecemburuan PNS daerah
lain, pengisian jabatan dengan prioritas putra daerah tapa mempertimbangkan
kompetensinya, persyaratan agama tertentu untuk menduduki suatu jabatan
seperti di NAD, dan lain sebagainya. Tetapi pandangan semacam ini seringkali
dianggap sebagai sikap paranoid.

6.4. UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah


6.4.1 Filosofi yang Digunakan
UU Nomor 23 Tahun 2014 disusun dengan merujuk pada landasan
filosofis Pancasila, khususnya Sila ketiga, keempat, dan kelima. Sila ketiga
menekankan pada Persatuan Indonesia. Artinya, pelaksanaan desentralisasi
tidak boleh menimbulkan perpecahan bangsa atau bibit-bibit separatisme,
tetapi justru harus memperkuat rasa persatuan dan kesatuan bangsa. Secara
teoretis, melalui desentralisasi berbagai masalah politik dapat diminimalisasi,
karena berbagai kepentingan dan kebutuhan setempat dapat diatasi secara
setempat. Pada sisi lain, elit-elit di daerah juga memiliki peluang untuk naik
menjadi elit-elit di tingkat pusat.
Kenyataan sosial menunjukkan sejak revolusi desentralisasi yang dimulai pada
tahun 1999 melalui UU Nomor 22 Tahun 1999, gejolak politik di tanah air
relatif menurun. Kestabilan politik nasional juga sangat bagus. Kalaupun ada
gejolak hanya terbatas pada ketidakpuasan hasil pemilukada ataupun
demonstrasi anti korupsi. Perbedaan pandangan antara pemerintah pusat

41
dengan pemerintah daerah diatasi dengan mekanisme konsultasi maupun
gugatan ke Mahkamah Konstitusi atau ke Mahkamah Agung.
6.4.2. Paradigma yang Digunakan
Pada Konsiderans UU Nomor 23 Tahun 2014 dapat ditangkap adanya
empat paradigma sebagai berikut :
1. Paradigma peningkatan pelayanan, pemberdayaan, dan peranserta
masyarakat.
2. Paradigma daya saing daerah dengan memperhatikan prinsip demokrasi,
pemerataan, keadilan, dan kekhasan suatu daerah.
3. Paradigma peningkatan efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan
pemerintahan daerah.
4. Paradigma keserasian hubungan antara Pemerintah Pusat dengan daerah dan
antardaerah.
1) Model Transfer Kewenangan
UU Nomor 23 Tahun 2014 mash melanjutkan model transfer
kewenangan dari pemerintah pusat ke daerah yang digunakan pada masa UU
Nomor 32 Tahun 2004 yakni model pembagian urusan pemerintahan, dengan
berbagai modifikasi untuk mengatasi berbagai permasalahan yang
diinventarisasi melalui DIM (Daftar Inventarisasi Masalah).
Urusan pemerintahan tetap dibagi menjadi tiga kategori yakni urusan
pemerintahan absolut, urusan pemerintahan wajib, serta urusan pemerintahan
pilihan. Isi urusan pemerintahan absolut mash sama dengan UU sebelumnya
mencakup enam urusan yakni pertahanan, keamanan, peradilan, luar negeri,
moneter dan fiskal nasional, serta urusan agama.
2) Model Perimbangan Keuangan
Model perimbangan keuangan yang digunakan pada masa UU Nomor 23
Tahun 2016 masih sama dengan UU sebelumnya, karena UU pengganti UU
Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah
Pusat dan Pemerintah Daerah belum kunjung terbit. Perubahan minor yang
terjadi adalah perintah dari Presiden agar prinsip "money follow function"
diubah menjadi "money follow program." Tujuannya agar dalam penyusunan
anggaran setiap tahunnya, uraian kegiatannya sudah kongkret, rinci, dan
terukur agar mudah dilaksanakan dan diaudit, tidak hanya merujuk pada fungsi
atau urusan pemerintahan yang sangat umum. Tetapi program yang diusulkan
tidak dapat terlepas dari fungsi atau urusan pemerintahan yang menjadi
kewenangan masing-masing entitas pemerintahan.
3) Model Pemerintahan Daerah

42
Model. pemerintahan daerah yang digunakan pada masa UU Nomor 23
Tahun 2014 tidak jauh berbeda dengan UU sebelumnya, yakni menempatkan
unsur penyelenggara pemerintahan daerah yang terdiri dari Kepala Daeral dan
DPRD dalam kedudukan sejajar dan merupakan mitra dengan beda fungsi.
Kepala Daerah dibantu dengan perangkat daerah lebih banyak menjalankan
fungsi mengurus yang bersifat operasional (dalam arti "to execute"), sedangkan
DPRD menjalankan fungsi mengatur (dalam arti "to make regulation").
Perbedaan dengan UU sebelumnya terletak pada salah satu fungsi DPRD yang
tidak lagi menjalankan fungsi legislasi melainkan fungsi pembuatan peraturan
daerah.

4) Model Pengisian Jabatan Kepala Daerah


Dalam sejarah pemerintahan daerah di Indonesia yang sudah
berkembang sejak tahun 1903, baru pertama kali terjadi pengaturan mengenai
pengisian jabatan kepala daerahnya diatur tersendiri dalam sebuah UU.
Biasanya diatur bersama-sama dengan pengaturan tentang pemerintahan
daerah. Pemisahan pengaturan tersebut terjadi pada masa UU Nomor 23 tahun
2014, karena parapembuat kebijakan (DPR dan Pemerintah) ingin mengaturnya
secara rinci sehingga memperkecil peluang adanya sengketa. Tetapi pengaturan
pemilihan kepala daerah secara terpisah membuka peluang pengaturan ulang
tatacaranya sesuai keinginan politik yang muncul sesaat, yang sebenarnya tidak
baik bagi pendidikan politik bangsa.
5) Model Lembaga Perwakilan
Berdasarkan kesepakatan antara Pemerintah dengan DPR-RI mengenai
pemindahan pengaturan DPRD dari rezim MD3 (MPR, DPR, DPD, dan DPRD)
ke rezim Pemerintahan Daerah, telah menyebabkan pengalihan 113 Pasal UU
Nomor 27 Tahun 2009 tentang MD3 masuk ke dalam UU Nomor 23 Tahun
2014, dengan berbagai perubahan minor. Dengan dipindahkannya pasal-pasal
tersebut maka UU MD3 berubah menjadi UU MD2 (MPR,DPR, DPD), dan
seluruh pengaturan tentang DPRD masuk ke dalam UU yang mengatur
pemerintahan daerah, termasuk mekanisme pemilihannya.
Berdasarkan perubahan tersebut, direncanakan tahun 2019 akan ada
pemilihan umum nasional serentak, untuk memilih anggota DPR, DPD,
Presiden dan Wakil Presiden. Sedangkan pada tahun 2027 direncanakan akan
ada pemilihan umum daerah yang akan memilih gubernur, bupati/walikota
serentak secara nasional. Konsekuensinya DPRD Provinsi dan DPRD
Kabupaten/Kota akan dipilih pula secara serentak pada tahun tersebut.
Rencana tersebut perlu pula mengantisipasi adanya ketidakjumbuhan masa
bakti DPRD 2019-2024 atau masa bakti 2024-2029, karena perubahannya tidak
bersamaan dengan berakhirnya masa bakti DPRD.

43
6) Model Organisasi Pemerintah Daerah
Ditengah kontroversi gugatan terhadap UU Nomor 23 Tahun 2014 yang
diajukan kepada Mahkamah Konstitusi, diterbitkan PP Nomor 18 Tahun 2016
tentang Perangkat Daerah. PP ini telah menimbulkan kegalauan di kalangan
pemerintah daerah karena membuat mereka sibuk menataulang organisasi dan
penyusunan anggarannya, ditengah ketidakpastian.
PP Nomor 18 Tahun 2016 menguatkan dugaan adanya semangat
resentralisasi yang dijalankan oleh rezim pemerintah pusat. Hal tersebut
nampak dari adanya penentuan skoring, penyeragaman nomenklatur dan
titelatur yang ditetapkan secara sepihak oleh pemerintah pusat. PP ini secara
diametral bertabrakan dengan perintah Pasal 18 ayat (5) UUD 1945 yang
berbunyi : "Pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali
urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan
Pemerintahan Pusat
7) Model Pertanggungjawaban
Model pertanggungjawaban kepala daerah dalam menjalankan tugas,
wewenang, dan tanggung jawab yang digunakan pada UU Nomor 23 Tahun
2014 masih sama dengan UU Nomor 32 Tahun 2004 yakni bertanggung jawab
kepada masyarakat. Hal ini sesuai dengan prinsip "mereka yang dipilih
bertanggung jawab kepada yang memilih".Manajemen pertanggungjawaban
kepala daerah menuju ke empat arah yakni 1) menyampaikan Laporan
Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah kepada pemerintah pusat secara
berjenjang; 2)menyampaikan Laporan Keuangan Pemerintah Daerah kepada
BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) untuk diaudit; 3)menyampaikan Laporan
Keterangan Pertanggungjawaban kepada DPRD sebagai sarana untuk
menjalankan fungsi pengawasan DPRD; serta 4)menyampaikan Informasi
Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah kepada Masyarakat
8) Model Hubungan Antar asas
Hubungan antar asas pada UU Nomor 23 Tahun 2014 masih
melanjutkan model yang digunakan pada masa UU Nomor 32 Tahun 2004,
yakni menonjolnya peran asas desentralisasi dibandingkan asas dekonsentrasi
dan asas tugas pembantuan. Meskipun demikian ada juga perbedaannya, yakni
menguatnya peran pemerintah pusat dalam memberikan sanksi kepada para
penyelenggara pemerintahan daerah. Sekurang-kurangnya ada tigabelas macam
sanksi bagi kepala daerah dan atau wakil kepala daerah yang tidak menjalankan
kebijakan strategis nasional dan atau melanggar peraturan perundang-
undangan.
Merujuk pada model desentralisasi berkeseimbangan, kedudukan
gubernur sebagai Wakil Pemerintah Pusat diperkuat. Presiden sebagai kepala
pemerintahan dalam menjalankan kekuasaannya dibantu oleh kabinet yang
disusun berdasarkan asas keahlian sebagai tangan kanannya, serta dibantu oleh

44
gubernur selaku Wakil Pemerintah Pusat dalam rangka asas kedaerahan
sebagai tangan kirinya. Semua informasi mengenai daerah seharusnya berasal
dari gubernur selaku WPP, bukan dari sumber lainnya.

45

Anda mungkin juga menyukai