Anda di halaman 1dari 28

I.

Pendahuluan
Berdasarkan data oleh WHO (World Health Organization) pada tahun 2010, sepsis
adalah penyebab kematian utama di ruang perawatan intensif pada negara maju, dan
insidensinya mengalami kenaikan. Setiap tahunnya terjadi 750.000 kasus sepsis di Amerika
Serikat. Hal seperti ini juga terjadi di negara berkembang, dimana sebagian besar populasi
dunia bermukim. Kondisi seperti standar hidup dan higienis yang rendah, malnutrisi, infeksi
kuman akan meningkatkan angka kejadian sepsis. Sepsis dan syok septik adalah salah satu
penyebab utama mortalitas pada pasien dengan kondisi kritis. Pada tahun 2004, WHO
menerbitkan laporan mengenai beban penyakit global, dan didapatkan bahwa penyakit infeksi
merupakan penyebab tersering dari kematian pada negara berpendapatan rendah. Berdasarkan
hasil dari Riskesdas 2013 yang diterbitkan oleh Kemenkes, penyakit infeksi utama yang ada
di Indonesia meliputi ISPA, pneumonia, tuberkulosis, hepatitis, diare, malaria. Dimana infeksi
saluran pernafasan dan tuberkulosis termasuk 5 besar penyebab kematian di Indonesia.
Kondisi serupa juga terjadi di negara Mongolia, dimana penyakit infeksi merupakan 10
penyebab kematian tertinggi di negara tersebut.
Seseorang dikatakan syok bila terdapat ketidakcukupan perfusi oksigen dan zat gizi ke
sel- sel tubuh. Kegagalan memperbaiki perfusi menyebabkan kematian sel yang progressif,
gangguan fungsi organ dan akhirnya kematian penderita (Boswick John. A, 1997, hal 44).
Syok sulit didefinisikan, hal ini berhubungan dengan sindrom klinik yang dinamis yang
ditandai dengan perubahan sirkulasi volume darah yang menyebabkan ketidaksadaran dan
memyebabkan kematian (Skeet, Muriel, 1995, hal 203). Shock tidak terjadi dalam waktu lebih
lama dengan tanda klinis penurunan tekanan darah, dingin, kulit pucat, penurunan cardiac
output , ini semua tergantung dari penyebab shock itu sendiri. Shock septic tanda yang dapat
terjadi cardiac output meningkat tidak normal, dan kulit pasien hangat dan dingin (Guthrie
Mary. M, 1982, hal 1).
Mempertahankan perfusi darah yang memadai pada organ-organ vital merupakan
tindakan yang penting untuk menyelamatkan jiwa penderita. Perfusi organ tergantung tekanan
perfusi yang tepat, kemudian curah jantung dan resistensi vakuler sistemik. Pasien bisa
menderita lebih dari satu jenis syok secara bersamaan.(Isselbacher, dkk, 1999, hal 218-219).
Syok anafilaktik memerlukan tindakan cepat sebab penderita berada pada keadaan gawat.
obat-obat emergensi dan alat bantu resusitasi gawat darurat serta dilakukan secepat mungkin.
Hal ini diperlukan karena kita berpacu dengan waktu yang singkat agar tidak terjadi kematian
atau cacat organ tubuh menetap. (Haupt MT and Carlson RW 1989, hal 993)

II. Pengertian

Sindrom gangguan pathofisiologi berat yang berhubungan dengan metabolisme


selluler yang abnormal, kegagalan sirkulasi. Syok atau renjatan dapat diartikan sebagai
keadaan terdapatya pengurangan yang sangat besar dan tersebar luas pada kemampuan
pengangkutan oksigen serta unsur- unsur gizi lainnya secara efektif ke berbagai jaringan
sehingga timbul cidera seluler yang mula- mula reversible dan kemudian bila keadaan syok
berlangsung lama menjadi irreversible.(Isselbacher, dkk, 1999, hal 218).

III. Klasifikasi Syok

Klasifikasi syok yang dibuat berdasarkan penyebabnya menurut Isselbacher, dkk, (1999, hal
219) :
1. Syok Hipovolemik atau oligemik
Perdarahan dan kehilangan cairan yang banyak akibat sekunder dari muntah, diare, luka
bakar, atau dehidrasi menyebabkan pengisian ventrikel tidak adekuat, seperti penurunan
preload berat, direfleksikan pada penurunan volume, dan tekanan end diastolic ventrikel
kanan dan kiri. Perubahan ini yang menyebabkan syok dengan menimbulkan isi
sekuncup (stroke volume) dan curah jantung yang tidak adekuat.
2. Syok Kardiogenik
Syok kardiogenik ini akibat depresi berat kerja jantung sistolik. Tekanan arteri sistolik <
80 mmHg, indeks jantung berkurang di bawah 1,8 L/menit/ m2, dan tekanan pengisian
ventrikel kiri meningkat. Pasien sering tampak tidak berdaya, pengeluaran urin kurang
dari 20 ml/ jam, ekstremitas dingin dan sianotik Penyebab paling sering adalah 40%
lebih karena miokard infark ventrikel kiri, yang menyebabkan penurunan kontraktilitas
ventrikel kiri yang berat, dan kegagalan pompa ventrikel kiri. Penyebab lainnya
miokarditis akut dan depresi kontraktilitas miokard setelah henti jantung dan
pembedahan jantung yang lama. Bentuk lain bisa karena gangguan mekanis ventrikel.
Regurgitasi aorta atau mitral akut, biasanya disebabkan oleh infark miokard akut, dapat
menyebabkan penurunan yang berat pada curah jantung forward (aliran darah keluar
melalui katub aorta ke dalam sirkulasi arteri sistemik) dan karenanya menyebabkan syok
kardiogenik.
3. Syok Obstruktif Ekstra Kardiak
Syok ini merupakan ketidakmampuan ventrikel untuk mengisi selama diastole, sehingga
secara nyata menurunkan volume sekuncup (Stroke Volume) dan berakhirnya curah
jantung. Penyebab lain bisa karena emboli paru masif.
4. Syok Distributif
Bentuk syok septic, syok neurogenik, syok anafilaktik yang menyebabkan penurunan
tajam pada resistensi vaskuler perifer. Patogenesis syok septic merupakan gangguan
kedua system vaskuler perifer dan jantung.

IV. DERAJAT SYOK


Berat dan ringannya syok menurut Tambunan Karmel, dkk, (1990, hal 2).

1. Syok Ringan

Penurunan perfusi hanya pada jaringan dan prgan non-vital seperti kulit, lemak, otot
rangka, dan tulang. Jaringan ini relative dapat hidup lebih lama dengan perfusi
rendah, tanpa adanya perubahan jaringan yang menetap (irreversible). Kesadaran
tidak terganggu, produksi urin normal atau anya sedikit menurun, asidosis metabolic
tidak ada atau ringan.
2. Syok Sedang
Perfusi ke organ vital selain jantung dan otak menurun (hati, usus, ginjal, dan
lainnya). Organ- organ ini tidak dapat mentoleransi hipoperfusi lebih lama seperti
lemak, kulit, dan otot. Oligouria bisa terjadi dan asidosis metabolic. Akan tetapi
kesadaran relative masih baik.

3. Syok Berat
Perfusi ke jantung dan otak tidak adekuat. Mekanisme kompensasi syok beraksi untuk
menyediakan aliran darah ke dua organ vital. Pada syok lanjut terjadi vasokonstriksi
di semua pembuluh darah lain. Terjadi oligouria dan asidosis berat, ganguan
kesadaran dan tanda- tanda hipoksia jantung (EKG Abnormal, curah jantung
menurun).

V. MANIFESTASI KLINIS

1. Syok Hipovolemik

Manifestasi klinik dari syok adalah hipotensi, pucat, berkeringat dingin,


sianosis, kencing berkurang, oligouria, ganggua kesadaran, sesak nafas.
(Tambunan Karmel, dkk, 1990, hal 6).
2. Syok Septik/ Syok Bakteremik

1 Fase Hiperdinamik/
Syok panas (warm
shock): Gejala dini:
1) Hiperventilasi

2) Tekanan vena sentral meninggi

3) Indeks jantung naik

4) Alkalosis

5) Oligouria

6) Hipotensi
7) Daerah akral hangat

8) Tekanan perifer rendah

9) Laktikasidosis

2 Fase Hipodinamik:

1) Tekanan vena sentral menurun

2) Hipotensi

3) Curah jantung berkurang

4) Vasokonstriksi perifer
5) Daerah akral dingin

6) Asam laktat meninggi

7) Keluaran urin berkurang

3. Syok Neurogenik

Tekanan darah turun, nadi tidak bertambah cepat,


bradikardi, sesudah pasien menjadi tidak sadar,
barulah nadi bertambah cepat. Pengumpulan darah
di dalam arteriol, kapiler, dan vena, maka kulit
terasa agak hangat dan cepat berwarna kemerahan.
4. Syok Kardiogenik

a. Pasien tidak sadar atau hilangnya kesadaran secara tiba- tiba.

b. Sianosis akibat dari aliran perifer berhenti

c. Dingin (Skeet Muriel.,1995, 70)

VI. LANGKAH- LANGKAH PERTAMA MENANGANI SYOK

Langkah pertolongan pertama dalam menangani


syok menurut Alexander R H, Proctor H J. Shock.,
(1993 ; 75 – 94)
1. Posisi Tubuh

a. Posisi tubuh penderita diletakkan berdasarkan


letak luka. Secara umum posisi penderita
dibaringkan telentang dengan tujuan
meningkatkan aliran darah ke organ-organ vital.
b. Apabila terdapat trauma pada leher dan tulang
belakang, penderita jangan digerakkan sampai
persiapan transportasi selesai, kecuali untuk
menghindari terjadinya luka yang lebih parah
atau untuk memberikan pertolongan pertama
seperti pertolongan untuk membebaskan jalan
napas.
c. Penderita yang mengalami luka parah pada
bagian bawah muka, atau penderita tidak sadar,
harus dibaringkan pada salah satu sisi tubuh
(berbaring miring) untuk memudahkan cairan
keluar dari rongga mulut dan untuk menghindari
sumbatan jalan nafas oleh muntah atau darah.
Penanganan yang sangat penting adalah
meyakinkan bahwa saluran nafas tetap terbuka
untuk menghindari terjadinya asfiksia.
d. Penderita dengan luka pada kepala dapat
dibaringkan telentang datar atau kepala agak
ditinggikan. Tidak dibenarkan posisi kepala
lebih rendah dari bagian tubuh lainnya.
e. Kalau masih ragu tentang posisi luka penderita,
sebaiknya penderita dibaringkan dengan posisi
telentang datar.
f. Pada penderita-penderita syok hipovolemik, baringkan penderita telentang
dengan kaki ditinggikan 30 cm sehingga aliran darah balik ke jantung lebih
besar dan tekanan darah menjadi meningkat. Tetapi bila penderita menjadi
lebih sukar bernafas atau penderita menjadi kesakitan segera turunkan kakinya
kembali.
2. Pertahankan Respirasi
a. Bebaskan jalan napas. Lakukan penghisapan, bila ada sekresi atau muntah.

b. Tengadah kepala-topang dagu, kalau perlu pasang alat bantu jalan nafas
(Gudel/oropharingeal airway).
c. Berikan oksigen 6 liter/menit

d. Bila pernapasan/ventilasi tidak adekuat, berikan oksigen dengan pompa


sungkup (Ambu bag) atau ETT.

3. Pertahankan Sirkulasi
Segera pasang infus intravena. Bisa lebih dari satu infus. Pantau nadi, tekanan
darah, warna kulit, isi vena, produksi urin, dan (CVP).

VII. PENATALAKSANAAN SYOK BERDASARKAN JENISNYA

1. Penatalaksanaan Syok Anafilaktik

Penatalaksanaan syok anafilaktik menurut Haupt MT and Carlson RW (1989,


hal 993-1002) adalah

Kalau terjadi komplikasi syok anafilaktik setelah kemasukan obat atau zat kimia,
baik peroral maupun parenteral, maka tindakan yang perlu dilakukan, adalah:
a. Segera baringkan penderita pada alas yang keras. Kaki diangkat lebih tinggi
dari kepala untuk meningkatkan aliran darah balik vena, dalam usaha
memperbaiki curah jantung dan menaikkan tekanan darah.
b. Penilaian A, B, C dari tahapan resusitasi jantung paru, yaitu:

1) Airway (membuka jalan napas). Jalan napas harus dijaga tetap bebas,
tidak ada sumbatan sama sekali. Untuk penderita yang tidak sadar, posisi
kepala dan leher diatur agar lidah
tidak jatuh ke belakang menutupi jalan napas, yaitu dengan melakukan
ekstensi kepala, tarik mandibula ke depan, dan buka mulut.
2) Breathing support, segera memberikan bantuan napas buatan bila tidak
ada tanda-tanda bernapas, baik melalui mulut ke mulut atau mulut ke
hidung. Pada syok anafilaktik yang disertai udem laring, dapat
mengakibatkan terjadinya obstruksi jalan napas total atau parsial.
Penderita yang mengalami sumbatan jalan napas parsial, selain ditolong
dengan obat-obatan, juga harus diberikan bantuan napas dan oksigen.
Penderita dengan sumbatan jalan napas total, harus segera ditolong
dengan lebih aktif, melalui intubasi endotrakea, krikotirotomi, atau
trakeotomi.
3) Circulation support, yaitu bila tidak teraba nadi pada arteri besar (a.
karotis, atau a. femoralis), segera lakukan kompresi jantung luar.
Penilaian A, B, C ini merupakan penilaian terhadap kebutuhan bantuan hidup
dasar yang penatalaksanaannya sesuai dengan protokol resusitasi jantung paru.
Thijs L G. (1996 ; 1 – 4)

a. Segera berikan adrenalin 0.3–0.5 mg larutan 1 : 1000 untuk penderita dewasa atau

0.01 mk/kg untuk penderita anak-anak, intramuskular. Pemberian ini dapat


diulang tiap 15 menit sampai keadaan membaik. Beberapa penulis
menganjurkan pemberian infus kontinyu adrenalin 2–4 ug/menit.
b. Dalam hal terjadi spasme bronkus di mana pemberian adrenalin kurang
memberi respons, dapat ditambahkan aminofilin 5–6 mg/kgBB intravena dosis
awal yang diteruskan 0.4–0.9 mg/kgBB/menit dalam cairan infus.
c. Dapat diberikan kortikosteroid, misalnya hidrokortison 100 mg atau
deksametason 5–10 mg intravena sebagai terapi penunjang untuk mengatasi
efek lanjut dari syok anafilaktik atau syok yang membandel.
d. Bila tekanan darah tetap rendah, diperlukan pemasangan jalur intravena untuk
koreksi hipovolemia akibat kehilangan cairan ke ruang ekstravaskular sebagai
tujuan utama dalam mengatasi syok anafilaktik. Pemberian cairan akan
meningkatkan tekanan darah dan curah jantung serta mengatasi asidosis laktat.
Pemilihan jenis cairan antara larutan kristaloid dan koloid tetap merupakan
perdebatan didasarkan atas keuntungan dan kerugian mengingat terjadinya
peningkatan permeabilitas atau kebocoran kapiler. Pada dasarnya, bila
memberikan larutan kristaloid, maka diperlukan jumlah 3–4 kali dari
perkiraan kekurangan volume plasma.
Biasanya, pada syok anafilaktik berat diperkirakan terdapat kehilangan cairan
20– 40% dari volume plasma. Sedangkan bila diberikan larutan koloid, dapat
diberikan dengan jumlah yang sama dengan perkiraan kehilangan volume
plasma. Tetapi, perlu dipikirkan juga bahwa larutan koloid plasma protein atau
dextran juga bisa melepaskan histamin.
e. Dalam keadaan gawat, sangat tidak bijaksana bila penderita syok anafilaktik
dikirim ke rumah sakit, karena dapat meninggal dalam perjalanan. Kalau
terpaksa dilakukan, maka penanganan penderita di tempat kejadian sudah
harus semaksimal mungkin sesuai dengan fasilitas yang tersedia dan
transportasi penderita harus dikawal oleh dokter. Posisi waktu dibawa harus
tetap dalam posisi telentang dengan kaki lebih tinggi dari jantung.
f. Kalau syok sudah teratasi, penderita jangan cepat-cepat dipulangkan, tetapi
harus diawasi/diobservasi dulu selama kurang lebih 4 jam. Sedangkan
penderita yang telah mendapat terapi adrenalin lebih dari 2–3 kali suntikan,
harus dirawat di rumah sakit semalam untuk observasi.
2. Penatalaksanaan Syok Hipovolemik

a. Mempertahankan Suhu Tubuh

Suhu tubuh dipertahankan dengan memakaikan selimut pada penderita


untuk mencegah kedinginan dan mencegah kehilangan panas. Jangan sekali-
kali memanaskan tubuh penderita karena akan sangat berbahaya.
b. Pemberian Cairan

1) Jangan memberikan minum kepada penderita yang tidak sadar, mual-


mual, muntah, atau kejang karena bahaya terjadinya aspirasi cairan ke dalam
paru.
2) Jangan memberi minum kepada penderita yang akan dioperasi atau dibius
dan yang mendapat trauma pada perut serta kepala (otak).
3) Penderita hanya boleh minum bila penderita sadar betul dan tidak ada
indikasi kontra. Pemberian minum harus dihentikan bila penderita menjadi
mual atau muntah.
4) Cairan intravena seperti larutan isotonik kristaloid merupakan pilihan
pertama dalam melakukan resusitasi cairan untuk mengembalikan volume
intravaskuler, volume interstitial, dan intra sel. Cairan plasma atau
pengganti plasma berguna untuk meningkatkan tekanan onkotik
intravaskuler.
5) Pada syok hipovolemik, jumlah cairan yang diberikan harus seimbang
dengan jumlah cairan yang hilang. Sedapat mungkin diberikan jenis
cairan yang sama dengan cairan yang hilang, darah pada perdarahan,
plasma pada luka bakar. Kehilangan air harus diganti dengan larutan
hipotonik. Kehilangan cairan berupa air dan elektrolit harus diganti
dengan larutan isotonik. Penggantian volume intra vaskuler dengan cairan
kristaloid memerlukan volume 3–4 kali volume perdarahan yang hilang,
sedang bila menggunakan larutan koloid memerlukan jumlah yang sama
dengan jumlah perdarahan yang hilang. Telah diketahui bahwa transfusi
eritrosit konsentrat yang dikombinasi dengan larutan ringer laktat sama
efektifnya dengan darah lengkap.
6) Pemantauan tekanan vena sentral penting untuk mencegah pemberian
cairan yang berlebihan.
7) Pada penanggulangan syok kardiogenik harus dicegah pemberian cairan
berlebihan yang akan membebani jantung. Harus diperhatikan oksigenasi
darah dan tindakan untuk menghilangkan nyeri.
8) Pemberian cairan pada syok septik harus dalam pemantauan ketat,
mengingat pada syok septik biasanya terdapat gangguan organ majemuk
(Multiple Organ Disfunction). Diperlukan pemantauan alat canggih berupa
pemasangan CVP, “Swan Ganz” kateter, dan pemeriksaan analisa gas darah.

3. Penatalaksanaan Syok Neurogenik

Konsep dasar untuk syok distributif adalah dengan pemberian vasoaktif seperti
fenilefrin dan efedrin, untuk mengurangi daerah vaskuler dengan penyempitan
sfingter prekapiler dan vena kapasitan untuk mendorong keluar darah yang
berkumpul ditempat tersebut. Penatalaksanaannya menurut Wilson R F, ed..
(1981; c:1-42) adalah

a. Baringkan pasien dengan posisi kepala lebih rendah dari kaki (posisi
Trendelenburg).
b. Pertahankan jalan nafas dengan memberikan oksigen, sebaiknya dengan
menggunakan masker. Pada pasien dengan distress respirasi dan hipotensi
yang berat, penggunaan endotracheal tube dan ventilator mekanik sangat
dianjurkan. Langkah ini untuk menghindari pemasangan endotracheal yang
darurat jika terjadi distres respirasi yang berulang. Ventilator mekanik juga
dapat menolong menstabilkan hemodinamik dengan menurunkan penggunaan
oksigen dari otot-otot respirasi.
c. Untuk keseimbangan hemodinamik, sebaiknya ditunjang dengan resusitasi
cairan. Cairan kristaloid seperti NaCl 0,9% atau Ringer Laktat sebaiknya
diberikan per infus secara cepat 250-500 cc bolus dengan pengawasan yang
cermat terhadap tekanan darah, akral, turgor kulit, dan urin output untuk
menilai respon terhadap terapi.
d. Bila tekanan darah dan perfusi perifer tidak segera pulih, berikan obat-obat
vasoaktif (adrenergik; agonis alfa yang indikasi kontra bila ada perdarahan
seperti ruptur lien) :

3 Dopamin: Merupakan obat pilihan pertama. Pada dosis > 10 mcg/kg/menit,


berefek serupa dengan norepinefrin. Jarang terjadi takikardi.
4 Norepinefrin: Efektif jika dopamin tidak adekuat dalam menaikkan tekanan
darah. Epinefrin. Efek vasokonstriksi perifer sama kuat dengan
pengaruhnya terhadap jantung Sebelum pemberian obat ini harus
diperhatikan dulu bahwa pasien tidak mengalami syok hipovolemik. Perlu
diingat obat yang dapat menyebabkan vasodilatasi perifer tidak boleh
diberikan pada pasien syok neurogenik
5 Dobutamin: Berguna jika tekanan darah rendah yang diakibatkan oleh
menurunnya cardiac output. Dobutamin dapat menurunkan tekanan darah
melalui vasodilatasi perifer.

SIMPULAN

Langkah pertama untuk bisa menanggulangi syok adalah harus bisa mengenal
gejala syok. Tidak ada tes laboratorium yang bisa mendiagnosa syok dengan segera.
Diagnosa dibuat berdasarkan pemahaman klinik tidak adekuatnya perfusi organ dan
oksigenasi jaringan.
Langkah kedua dalam menanggulangi syok adalah berusaha mengetahui
kemungkinan penyebab syok. Pada pasien trauma, pengenalan syok berhubungan
langsung dengan mekanisme terjadinya trauma. Semua jenis syok dapat terjadi pada
pasien trauma dan yang tersering adalah syok hipovolemik karena perdarahan. Syok
kardiogenik juga bisa terjadi pada pasien-pasien yang mengalami trauma di atas
diafragma dan syok neurogenik dapat disebabkan oleh trauma pada sistem saraf pusat
serta medula spinalis. Syok septik juga harus dipertimbangkan pada pasien- pasien
trauma yang datang terlambat untuk mendapatkan pertolongan
Pengertian Sepsis

Sepsis adalah adanya respon sistemik terhadap infeksi di dalam tubuh yang dapat
berkembang menjadi sepsis berat dan syok septik.5 Sepsis berat dan syok septik adalah
masalah kesehatan utama dan menyebabkan kematian terhadap jutaan orang setiap tahunnya. 7
Sepsis Berat adalah sepsis disertai dengan kondisi disfungsi organ, yang disebabkan karena
inflamasi sistemik dan respon prokoagulan terhadap infeksi. 8 Syok Septik didefinisikan
sebagai kondisi sepsis dengan hipotensi refrakter (tekanan darah sistolik <90 mmHg, mean
arterial pressure < 65 mmHg, atau penurunan >
40 mmHg dari ambang dasar tekanan darah sistolik yang tidak responsif setelah diberikan
cairan kristaloid sebesar 20 sampai 40 mL/kg). 9 Kriteria untuk diagnosis sepsis dan sepsis
berat pertama kali dibentuk pada tahun 1991 oleh American College of Chest Physician and
Society of Critical Care Medicine Consensus (Tabel 1).5

Tabel 1. Kriteria untuk SIRS, Sepsis, Sepsis Berat, Syok septik berdasarkan Konsensus
Konfrensi ACCP/SCCM 1991.5

Istilah Kriteria
2 dari 4 kriteria:

Temperatur > 38 0C atau < 36 0C

Laju Nadi > 90x/ menit


SIRS
Hiperventilasi dengan laju nafas > 20x/ menit atau CO2 arterial
kurang dari 32 mmHg
Sel darah putih > 12.000 sel/uL atau < 4000 sel/ uL

Sepsis SIRS dengan adanya infeksi (diduga atau sudah terbukti)


Sepsis Berat Sepsis dengan disfungsi organ

Syok septik Sepsis dengan hipotensi walaupun sudah diberikan resusitasi yang
adekuat

Pada tahun 2001, SCCM, ACCP dan European Society of Critical Care Medicine
(ESICM) merevisi definisi sepsis dan menambahkan tingkat dari sepsis dengan akronim PIRO
(Predisposition, Infection, Response to the infectious challenge, and Organ dysfunction).
Kemudian pada tahun
2016, SCCM dan ESCIM mengeluarkan konsensus internasional yang ketiga yang bertujuan
untuk mengidentifikasi pasien dengan waktu perawatan di ICU dan risiko kematian yang
meningkat. Konsensus ini menggunakan skor SOFA (Sequential Organ Failure Assesment)
dengan peningkatan angka sebesar 2, dan
menambahkan kriteria baru seperti adanya peningkatan kadar laktat walaupun telah diberikan
cairan resusitasi dan penggunaan vasopressor pada keadaan hipotensi.2 Istilah Sepsis menurut
konsensus terbaru adalah keadaan disfungsi organ yang mengancam jiwa yang disebabkan
karena disregulasi respon tubuh terhadap infeksi. Penggunaan kriteria SIRS untuk
mengidentifikasi sepsis dianggap sudah tidak membantu lagi. Kriteria SIRS seperti perubahan
dari kadar sel darah putih, temperatur, dan laju nadi menggambarkan adanya inflamasi (respon
tubuh terhadap infeksi atau hal lainnya). Kriteria SIRS tidak menggambarkan adanya respon
disregulasi yang mengancam jiwa. Keadaan SIRS sendiri dapat ditemukan pada pasien yang
dirawat inap tanpa ditemukan adanya infeksi.10
Disfungsi organ didiagnosis apabila peningkatan skor SOFA ≥ 2. Dan istilah sepsis berat
sudah tidak digunakan kembali. Implikasi dari definisi baru ini adalah pengenalan dari respon
tubuh yang berlebihan dalam patogenesis dari sepsis dan syok septik, peningkatan skor SOFA
≥ 2 untuk identifikasi keadaan sepsis dan penggunaan quick SOFA (qSOFA) untuk
mengidentifikasi pasien sepsis di luar ICU.2 Walaupun penggunaan qSOFA kurang
lengkap dibandingkan
penggunaan skor SOFA di ICU, qSOFA tidak membutuhkan pemeriksaan laboratorium dan
dapat dilakukan secara cepat dan berulang. Penggunaan qSOFA diharapkan dapat membantu
klinisi dalam mengenali kondisi disfungsi organ dan dapat segera memulai atau mengeskalasi
terapi.10 Dan septik syok didefinisikan sebagai keadaan sepsis dimana abnormalitas sirkulasi
dan selular/ metabolik yang terjadi dapat menyebabkan kematian secara signifikan. Kriteria
klinis untuk mengidentifikasi septik syok adalah adanya sepsis dengan hipotensi persisten
yang membutuhkan vasopressor untuk menjaga mean arterial pressure (MAP) ≥ 65 mmHg,
dengan kadar laktat ≥ 2 mmol/L walaupun telah diberikan resusitasi cairan yang adekuat. 2
Tabel 2. Skor SOFA10

Sistem 0 1 2 3 4
Respirasi
<200 (26.7) < 100 (13.3)
PaO2/FIO2, ≥400 <400
<300 (40) dengan dengan
mmHg(kPa) (53.3) (53.3)
bantuan bantuan
pernafasan pernafasan

Koagulasi
Platelet, x103/ ul ≥ 150 <150 <100 <50 <20

Liver
Bilirubin, mg/ dl <1.2 1.2-1.9 2.0-5.9 6.0-11.9 >12.0
(umol/L) (20) (20-32) (33-101) (102-204) (204)

Dopamin 5.1-15 / Dopamin >15 /


MAP MAP Dopamin < 5 / epinefrin ≤ 0,1 / epinefrin > 0,1
Kardiovaskular ≥70 <70 dobutamine norepinefrin ≤ / norepinefrin >
(ug/kg/min) 0,1 (ug/kg/min) 0,1 (ug/kg/min)
mmHg mmHg
Sistem
Saraf Pusat
Glasgow Coma
15 13-14 10-12 9-Jun <6
Score

Ginjal
1,2-1.9
Kreatinin, mg/ dl <1.2 2.0-3.4 (171-
(umol/L) (110- 3.5-4.9 (300-440) >5.0 (440)
(110) 299)
170)

Walaupun penggunaan qSOFA kurang lengkap dibandingkan penggunaan


skor SOFA di ICU, qSOFA tidak membutuhkan pemeriksaan laboratorium dan dapat
dilakukan secara
cepat dan berulang. Penggunaan qSOFA diharapkan dapat membantu klinisi dalam
mengenali kondisi disfungsi organ dan dapat segera memulai atau mengeskalasi terapi.10

Tabel 3. Kriteria qSOFA10

Laju Nafas ≥ 22x/mnt


Perubahan Status Mental

Tekanan Darah Sistolik ≤ 100 mmHg


Patofisiologi

Sepsis sekarang dipahami sebagai keadaan yang melibatkan aktivasi awal dari respon
pro-inflamasi dan anti-inflamasi tubuh.10 Bersamaan dengan kondisi ini, abnormalitas
sirkular seperti penurunan volume intravaskular, vasodilatasi pembuluh darah perifer, depresi
miokardial, dan peningkatan metabolisme akan menyebabkan ketidakseimbangan antara
penghantaran oksigen sistemik dengan kebutuhan oksigen yang akan menyebabkan hipoksia
jaringan sistemik atau syok.11 Presentasi pasien dengan syok dapat berupa penurunan
kesadaran, takikardia, penurunan kesadaran, anuria. Syok merupakan manifestasi awal dari
keadaan patologis yang mendasari. Tingkat kewaspadaan dan pemeriksaan klinis yang cermat
dibutuhkan untuk mengidentifikasi tanda awal syok dan memulai penanganan awal.12

Patofisiologi keadaan ini dimulai dari adanya reaksi terhadap infeksi. Hal ini akan
memicu respon neurohumoral dengan adanya respon proinflamasi dan antiinflamasi, dimulai
dengan aktivasi selular monosit, makrofag dan neutrofil yang berinteraksi dengan sel
endotelial. Respon tubuh selanjutnya meliputi mobilisasi dari isi plasma sebagai hasil dari
aktivasi selular dan disrupsi endotelial. Isi Plasma ini meliputi sitokin-sitokin seperti tumor
nekrosis faktor, interleukin, caspase, protease, leukotrien, kinin, reactive oxygen species,
nitrit oksida, asam arakidonat, platelet activating factor, dan eikosanoid.9 Sitokin proinflamasi
seperti tumor nekrosis faktor α, interleukin-1β, dan interleukin-6 akan mengaktifkan
rantai koagulasi dan menghambat fibrinolisis. Sedangkan Protein C yang teraktivasi (APC),
adalah modulator penting dari rantai koagulasi dan inflamasi, akan meningkatkan proses
fibrinolisis dan menghambat proses trombosis dan inflamasi.8

Aktivasi komplemen dan rantai koagulasi akan turut memperkuat proses tersebut.
Endotelium vaskular merupakan tempat interaksi yang paling dominan terjadi dan sebagai
hasilnya akan terjadi cedera mikrovaskular, trombosis, dan kebocoran kapiler. Semua hal ini
akan menyebabkan terjadinya iskemia jaringan. Gangguan endotelial ini memegang peranan
dalam terjadinya disfungsi organ dan hipoksia jaringan global. 9 (Keterangan lebih lanjut
dapat dilihat pada gambar di bawah ini)
Gambar 1.Gambar Rantai Koagulasi dengan dimulainya respon inflamasi, trombosis,
dan fibrinolisis terhadap infeksi.8
Respon tubuh terhadap infeksi yaitu inflamasi dan
prokoagulan merupakan hal yang saling terkait. Agen
penginfeksi dan sitokin inflamasi seperti tumor nekrosis
faktor α (TNF- α) dan interleukin-1 akan mengaktifasi rantai
koagulasi dengan menstimulasi pelepasan tissue factor dari
monosit dan endotelium yang akan memicu pembentukan
trombin dan fibrin clot

Sitokin inflamasi dan thrombin dapat Protein C yang teraktifasi dapat mengambil peran
menganggu proses fibrinolisis dengan pada berbagai jalur pada respon sistemik
menstimulasi pelepasan plasminogen- terhadap infeksi dengan menghasilkan efek
activator inhibitor 1 (PAI-1) dari platelet antitrombotik melalui penghambatan faktor Va
dan endotelium. PAI-1 merupakan inhibitor dan VIIIa yang akan membatasi produksi dari
poten dari tissue plasminogen activator thrombin.
yang berperan untuk menghancurkan fibrin
clot.

Prokoagulan thrombin juga Akibatnya, proses inflamasi, prokoagulan, dan respon


dapat menstimulasi berbagi antifibrinolitik yang diinduksi oleh trombin akan
macam jalur inflamasi dan menurun. Protein C yang teraktifasi akan
menekan sistem fibrinolitik menghasilkan efek antiinflamasi dengan
endogen dengan mengaktifkan menghambat produksi dari sitokin proinflamasi (TNF
thrombin-activatable fibrinolysis -α, interleukin-1, interleukin-6) oleh monosit dan
menghambat pengikatan monosit dan neutrofil
dengan selectins.
Hasil akhir dari respon tubuh terhadap infeksi adalah terjadinya kerusakan
endotelial menyeluruh, trombosis mikrovaskular, iskemia organ, disfungsi
multiorgan, dan kematian

Diagram 1.Gambar Rantai Koagulasi dengan dimulainya respon inflamasi, trombosis,


dan fibrinolisis terhadap infeksi.8
Penanganan

Tata laksana dari sepsis menggunakan protokol yang dikeluarkan oleh SCCM dan
ESICM yaitu “Surviving Sepsis Guidelines”. Surviving Sepsis Guidelines pertama kali
dipublikasi pada tahun 2004, dengan revisi pada tahun 2008 dan 2012. Pada bulan Januari
2017, revisi keempat dari Surviving Sepsis Guidelines dipresentasikan pada pertemuan
tahunan SCCM dan dipublikasikan di Critical Care Medicine dan Intensive Care Medicine
dimana didapatkan banyak perkembangan baru pada revisi yang terbaru. 13 Komponen dasar
dari penanganan sepsis dan syok septik adalah resusitasi awal, vasopressor/ inotropik,
dukungan hemodinamik, pemberian antibiotik awal, kontrol sumber infeksi, diagnosis (kultur
dan pemeriksaan radiologi), tata laksana suportif (ventilasi, dialisis, transfusi) dan pencegahan
infeksi.2

Early Goal-Directed Therapy (EGDT) yang dikembangkan oleh Rivers et al pada tahun
2001 merupakan komponen penting dalam protokol sebelumnya. 13 Rivers et al mengevaluasi
efikasi dari EGDT pada 263 pasien dengan infeksi dan hipotensi atau kadar serum laktat ≥ 4
mmol/L yang dilakukan randomisasi dan diberikan resusitasi standar atau EGDT (133 kontrol
dengan 130 EGDT) di ruang IGD sebelum dipindahkan ke ruang ICU. Selama 6 jam di ruang
IGD, pasien dengan terapi EGDT mendapatkan terapi cairan, transfusi darah, dan inotropik
lebih banyak dibandingkan grup kontrol. Kemudian, selama 6 – 72 jam di ruang ICU setelah
mendapatkan terapi EGDT,
kelompok pasien ini memiliki tingkat ScvO 2 dan pH yang lebih tinggi dengan kadar laktat
dan defisit basa yang lebih rendah. Skor disfungsi organ lebih baik secara signifikan pada
kelompok pasien EGDT. Hal ini juga berhubungan dengan masa inap rumah sakit yang
lebih singkat dan penurunan komplikasi kardiovaskular seperti henti jantung, hipotensi,
dan gagal nafas akut.9

Pada tahun 2014, protokol EGDT ini dibandingkan dengan 3 protokol lain seperti
ARISE (Australasian Resuscitation in Sepsis Evaluation), ProMISe
(Protocolized Management in Sepsis), dan ProCESS (Protocolized Care for Early Septic
Shock) dan hal ini mengubah rangkaian 6 jam dalam Surviving Sepsis Guideline dimana
pengukuran tekanan vena sentral dan saturasi oksigen vena sentral tidak dilakukan lagi. 2
Dalam protokol yang dikeluarkan pada tahun 2016, target resusitasi EGDT telah
dihilangkan, dan merekomendasikan keadaan sepsis diberikan terapi cairan kristaloid
minimal sebesar 30 ml/kgBB dalam 3 jam atau kurang. Dengan dihilangkannya target
EGDT yang statik (tekanan vena sentral), protokol ini menekankan pemeriksaan ulang
klinis sesering mungkin dan pemeriksaan kecukupan cairan secara dinamis (variasi tekanan
nadi arterial).14

Hal ini merupakan perubahan yang signifikan, karena pada protokol sebelumnya
merekomendasikan bahwa klinisi harus menentukan angka tekanan vena sentral secara
spesifik dan ternyata tekanan vena sentral memiliki manfaat terbatas untuk menentukan
respon tubuh terhadap pemberian cairan. Protokol ini
menekankan bahwa klinisi harus melakukan teknik “fluid challenge” untuk mengevaluasi
efektivitas dan keamanan dari pemberian cairan. Ketika status hemodinamik membaik dengan
pemberian cairan, pemberian cairan lebih lanjut dapat dipertimbangkan. Namun pemberian
carian harus dihentikan apabila respon terhadap pemberian cairan tidak memberikan efek
lebih lanjut. Maka dari itu, protokol ini telah berubah dari strategi resusitasi kuantitatif ke arah
terapi resusitasi yang fokus terhadap kondisi pasien tersebut dengan dipandu pemeriksaan
dinamis untuk mengevaluasi respon dari terapi tersebut. 13 Pemeriksaan lain yang dapat
digunakan seperti carotid doppler peak velocity, passive leg raising, ekokardiografi.2

Karena infeksi menyebabkan sepsis, penanganan infeksi merupakan komponen penting


dalam penanganan sepsis. Tingkat kematian akan meningkat dengan adanya penundaan
penggunaan antimikroba. Untuk meningkatkan keefektifitas penggunaan antibiotik,
penggunaan antibiotik berspektrum luas sebaiknya disertai dengan kultur dan identifikasi
sumber penularan kuman.14 Dan hal ini dilakukan sesegera mungkin. Protokol terbaru
merekomendasikan bahwa penggunaan antibiotik harus diberikan maksimal dalam waktu 1
jam. Rekomendasi ini berdasarkan berbagai penelitian yang meunjukkan bahwa penundaan
dalam penggunaan antibiotik berhubungan dengan peningkatan resiko kematian. 13 Penggunaan
vasopressor yang direkomendasikan adalah norepinefrin untuk mencapai target MAP
≥ 65 mmHg. Penggunaan cairan yang
direkomendasikan adalah cairan
kristaloid dengan dosis 30 ml/kgBB dan diberikan dengan melakukan fluid challenge
selama didapatkan peningkatan status hemodinamik berdasarkan
variabel dinamis (perubahan tekanan nadi, variasi volum sekuncup) atau statik (tekanan nadi,
laju nadi).7 Pada suatu penelitian yang dilakukan oleh Bernard et al , penggunaan drotrecogin
α (Human Activated Protein C) menurunkan tingkat kematian pada pasien dengan sepsis.
Protein C yang teraktivasi akanmenghambat pembentukan thrombin dengan
menginaktifasi factor Va, VIIIa dan akan menurunkan respon inflamasi.8

KESIMPULAN

Sepsis adalah keadaan disfungsi organ yang mengancam jiwa dikarenakan respon
tubuh terhadap infeksi yang mengalami disregulasi. Sepsis adalah masalah kesehatan utama
di dunia yang menyerang jutaan orang di dunia setiap tahunnya dan menyebabkan kematian
pada 1 dari 4 orang.7 Pengenalan dan penanganan awal untuk sepsis dan septik syok akan
meningkatkan prognosis yang baik. Pengawasan terus menerus terhadap tanda vital, saturasi
oksigen, dan jumlah urin yang dihasilkan termasuk pemeriksaan laboratorium seperti
pemeriksaaan akan adanya laktat asidosis, disfungsi ginjal dan hepar, abnormalitas koagulasi,
gagal nafas akut harus dilakukan sesegera mungkin pada pasien yang dicurigai menderita
sepsis. Pengenalan tanda dan sumber infeksi harus dilakukan secara bersamaan. Dan
pemberian antibiotik harus diberikan sesegera mungkin. 9 Perkembangan dalam dunia
kedokteran menawarkan berbagai
hal baru dalam penanganan sepsis. Berbagai penelinitian klinis menunjukkan hubungan tidak
langsung antara keseimbangan cairan positif dengan angka kematian yang meningkat pada
pasien dengan sepsis. Konsep pemberian cairan dengan pengawasan kecukupan cairan dengan
penggunaan alat-alat seperti carotid doppler peak velocity, passive leg raising, dan
ekokardiografi makin diterima. Perkembangan metode molekular untuk deteksi infeksi dan
target pengobatan (angiopentin 1, Slit2-N, sphingosine 1 phosphate, histones) mungkin
menghasilkan suatu perubahan di masa depan.2

DAFTATR PUSTAKA

1. Bataar O, Lundeg G, Tsenddorj G, Jochberger S, Grander W, Baelan I, et al.


Nationwide survey on resource availability for implementing current sepsis guidelines
in Mongolia. [Internet]. 2010 . [cited 2018 Jan 5]. Available from: URL:
http:// www.who.int/bulletin/ volumes/88/11/10-077073/en/.
2. Mehta Y, Kochar G. Sepsis and septic shock. Journal of Cardiac Critical Care TSS. 2017;
1(1): 3-5.
3. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementrian Kesehatan RI. Riset
kesehatan dasar 2013. 2013.
Hal. 65
4. World Health Organization. Indonesia: WHO statistical profile. [Internet].
2015. [cited 2018 Jan 6]. Available from: URL: http://
www.who.int/gho/countries/idn.pdf? ua=1
5. Mayr FB, Yende S, Angus DC. Epidemiology of severe sepsis.
Virulence. 2013; 5(1): 4-11
6. Vincent JL, Moreno R, Takala J, Willatts S, De Mendonca A, Bruining H, et al.The
SOFA (sepsis-related organ failure assessment) score to describe organ dysfunction/
failure. Intensive Care Med. 1996; 22: 707-
10.
7. Surviving sepsis campaign 2016
8. Bernard GR, Vincent JL, Laterre PF, LaRosa S, Dhainaut JP, Rodriguez AL, et al.
Efficacy and safety of recombinant human activated protein c for severe sepsis. N Eng J
Med. 2001; 344 (10): 699-709.
9. Nguyen BH, Rivers EP, Abrahamian FM, Moran GJ, Abraham E, Trzeciak S, et al.
Severe sepsis and septic shock: review of the literature and emergeny department
management guidelines. Annals of Emergency Medicine. 2006; 48(1): 28-50.
10. Singer M, Deutschman CS, Seymour CW, Hari MS, Annane D, Bauer M, et al. The third
international concensus definitions for sepsis and septic shock (sepsis-3). JAMA. 2016:
315 (8): 801-10.
11. Rivers, E, Nguyent B, Havstad S, Ressler J, Muzzin A, Knoblich B, et al. Early goal
directed therapy in the treatmenr of severe sepsis and septic shock. N Eng J Med. 2001;
345 (19):
1368-77.
12. Dries JD, editors. Fundamental Critical Care Support. 5nd ed. Mount Prospect: Third
Printing; 2014.
13. Backer D, Dorman T. Surviving sepsis guidelines: a continuous move toward better care
of patients with sepsis. JAMA. 2017; 317(8): 807-8.
14. Howell MD, Davis AM. Management
of sepsis and septic shock. JAMA. 2017;
317(8): 847-8.

Anda mungkin juga menyukai