Anda di halaman 1dari 11

Subscribe to DeepL Pro to translate larger documents.

Visit www.DeepL.com/pro for more information.

Seri Konferensi IOP: Ilmu Pengetahuan Bumi dan Lingkungan

KERTAS - AKSES TERBUKA Anda mungkin juga menyukai

Implikasi perubahan iklim terhadap kesejahteraan


- Analisis Pengaruh Beberapa Jenis
Naungan Terhadap Produktivitas Kopi
Robusta
petani kopi di Indonesia K Khusnul, Suratno, N. I Asyiah et al.

- Pupuk organik dari kulit kopi dengan


formula starter PUMAKKAL untuk
Untuk mengutip artikel ini: T Sujatmiko dan H Ihsaniyati 2018 IOP Conf. Ser: Earth Environ. Sci. 200 budidaya perkebunan berkelanjutan
Eva Yenani, Handoko Santoso, Agus
012054 Sutanto et al.

- Keputusan penjualan petani dan


keberlanjutan rantai pasok kopi di
Indonesia
Lihat artikel online untuk pembaruan dan penyempurnaan. N Rosiana dan Feryanto
Konten ini diunduh dari alamat IP 103.208.95.124 pada tanggal 20/10/2023 pukul 10:18
Konferensi Internasional tentang Perubahan Iklim Penerbitan IOP
Konferensi IOP. Series: Ilmu Pengetahuan Bumi dan Lingkungan 200 doi:10.1088/1755-1315/200/1/012054
(2018) 012054

Implikasi perubahan iklim terhadap kesejahteraan petani kopi


di Indonesia

T Sujatmiko dan H Ihsaniyati


Jurusan Penyuluhan dan Komunikasi Pertanian, Universitas Sebelas Maret, Jl. Sutami
36 A, Kentingan, Surakarta,57126, Indonesia.

Penulis korespondensi: hanifah.ihsaniyati1103@gmail.com

Abstrak. Kopi telah menjadi komoditas unggulan di beberapa negara termasuk Indonesia.
Indonesia merupakan negara penghasil kopi terbesar keempat di dunia setelah Kolombia, Brazil
dan Vietnam, dimana 96% perkebunan kopi di Indonesia merupakan perkebunan rakyat,
dengan rata-rata kepemilikan lahan sebesar 0,6 hektar per petani. Namun, dalam beberapa
tahun terakhir volume produksi kopi mengalami penurunan akibat perubahan iklim. Perubahan
iklim di Indonesia memunculkan fenomena El Nino dan La Nina yang menyebabkan curah
hujan tidak menentu. Hal ini berdampak pada produksi kopi dan kesejahteraan petani. Tujuan
d a r i tulisan ini adalah untuk mendeskripsikan pengaruh perubahan iklim terhadap
kesejahteraan petani kopi di Indonesia. Tulisan ini merupakan kompilasi dari beberapa artikel,
jurnal, dan buku yang ditulis oleh para ahli mengenai kopi, perubahan iklim, dan kesejahteraan
petani kopi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perubahan iklim sangat berpengaruh
terhadap volume produksi kopi dan kualitas pascapanen. Permasalahan produksi dan
pascapanen yang diakibatkan oleh perubahan iklim berdampak pada kualitas kopi yang
menurun, yang selanjutnya berpengaruh pada pendapatan dan kesejahteraan petani kopi di
Indonesia.

1 Pendahuluan
Kopi merupakan salah satu komoditas unggulan perkebunan Indonesia yang memiliki peran penting
dalam meningkatkan ekspor non-migas Indonesia. Sebagai produsen kopi terbesar keempat di dunia,
Indonesia mampu memproduksi 660.000 ton pada tahun 2017 [1]. Perkembangan produksi kopi di
Indonesia cukup signifikan dari tahun ke tahun. Beberapa daerah di Indonesia dikenal sebagai
penghasil kopi terbaik dunia seperti provinsi Lampung yang terkenal dengan sentra kopi robusta
terbesar di Sumatera yang varietas kopinya terkenal hingga mancanegara seperti halnya kopi Gayo
Aceh, kopi Sidikalang di Sumatera Utara, dan juga kopi Mandailing, ada juga perkebunan robusta
pulau Jawa yang cukup luas di Malang, Temanggung, dan provinsi Bali. Narulita dkk. [2] menjelaskan
bahwa Indonesia memiliki iklim tropis yang sangat cocok dengan pertumbuhan tanaman kopi. Sebagai
negara kepulauan kopi, Indonesia berpotensi memiliki keanekaragaman cita rasa kopi karena bentuk
topografi di setiap daerah.
Kopi menjadi salah satu produk konsumsi yang digemari oleh masyarakat baik dari kalangan muda
maupun dewasa. Karena kopi kini bukan lagi menjadi konsumsi semata, namun sudah menjadi gaya
hidup di kalangan masyarakat yang sudah mengakar, maka permintaannya pun selalu meningkat dari
tahun ke tahun. Namun, perubahan iklim telah mempengaruhi ketidakstabilan tingkat produksi kopi di
seluruh dunia yang mengakibatkan fluktuasi harga di pasar ekspor internasional. Akibatnya, harga
kopi di Indonesia mengalami penurunan.
Perubahan iklim terjadi karena adanya perubahan tekanan udara akibat pemanasan global, yang
mengakibatkan perubahan iklim global. Hal ini juga meningkatkan frekuensi intensitas banjir dan
kekeringan serta periodisitas El-Nino [3]. Jika diabaikan, perubahan iklim akan berdampak negatif
terhadap produktivitas
Konferensi Internasional tentang Perubahan Iklim Penerbitan IOP
Konferensi IOP. Series: Ilmu Pengetahuan Bumi dan Lingkungan 200 doi:10.1088/1755-1315/200/1/012054
(2018) 012054

Konten dari karya ini dapat digunakan di bawah ketentuan lisensi Creative Commons Atribusi 3.0. Penyebaran lebih lanjut dari
karya ini harus tetap mencantumkan atribusi kepada penulis dan judul karya, kutipan jurnal, dan DOI.
Diterbitkan di bawah lisensi oleh IOP Publishing Ltd 1
Konferensi Internasional tentang Perubahan Iklim Penerbitan IOP
Konferensi IOP. Series: Ilmu Pengetahuan Bumi dan Lingkungan 200 doi:10.1088/1755-1315/200/1/012054
(2018) 012054

tanaman di Indonesia, terutama tanaman kopi yang sangat rentan terhadap suhu. Seperti yang
dijelaskan oleh Karim dkk. [4] dalam penelitiannya mengenai pengembangan kopi Arabika, komponen
iklim yang mempengaruhi pertumbuhan tanaman kopi adalah curah hujan, temperatur, dan
kelembaban.
Dilaporkan bahwa pada tahun 2017, total luas perkebunan kopi di Indonesia adalah 1.227.787
hektar. Budidaya perkebunan kopi masih didominasi oleh petani kecil yang memiliki lahan seluas
1.179.769 hektar (96,09%), sedangkan perkebunan swasta hanya seluas 25.493 hektar (2,76%) dan
22.525 hektar (1,83%) merupakan perkebunan negara. Namun, luasnya area produksi tersebut tidak
secara signifikan meningkatkan produksi kopi itu sendiri, yaitu hanya 519, 521, dan 520 kg per hektar
pada tahun 2017, 2016, dan 2015. Hal ini bisa jadi disebabkan oleh dampak dari perubahan cuaca
akhir-akhir ini, ketidakpastian curah hujan, dan kemarau yang berkepanjangan yang dapat
mempengaruhi produksi dan pembungaan kopi [5].
Rata-rata luas kebun kopi yang diusahakan oleh petani hanya berkisar antara 0,5-1 ha [5], sehingga
tidak dapat mencukupi kebutuhan hidup petani sehari-hari. Selain itu, diperparah dengan terjadinya
perubahan iklim yang mempengaruhi produktivitas dan kualitas kopi sehingga menyebabkan harga
kopi menurun karena tidak sesuai dengan grade yang ditentukan oleh pedagang. Untuk merumuskan
permasalahan produksi dan pascapanen kopi yang disebabkan oleh perubahan iklim yang
mempengaruhi kualitas kopi di Indonesia, maka perlu dilakukan kajian teori yang relevan dan strategi
untuk mengatasinya. Makalah ini bertujuan u n t u k membahas dampak perubahan iklim terhadap
kesejahteraan petani kopi di Indonesia dan bagaimana cara mengurangi dampak perubahan iklim
terhadap produksi tanaman kopi di Indonesia.

2 Metodologi
Artikel ini membahas beberapa studi tentang kopi, kesejahteraan petani kopi, dan perubahan iklim
yang diperoleh dari publikasi ilmiah dan buku. Sumber data diambil dari beberapa jurnal nasional dan
internasional, buku, dan artikel di situs web yang berfokus pada kajian kopi. Langkah-langkah
pengelolaan data dimulai dari mengumpulkan artikel yang sesuai dengan konteks pembahasan,
kemudian menyaring dan menelaah data tersebut, dan terakhir menyusunnya menjadi sebuah artikel.

3 Hasil dan diskusi


3.1 Dampak perubahan iklim terhadap produksi kopi di Indonesia
Perubahan iklim sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan tanaman kopi.
Perubahan iklim m e r u p a k a n implikasi dari pemanasan global yang disebabkan oleh meningkatnya
kadar gas-gas rumah kaca terutama karbondioksida (CO2) dan metana (CH4). Armi dkk. [6] menjelaskan
bahwa peningkatan gas-gas rumah kaca di udara menyebabkan peningkatan suhu di lingkungan
sehingga akan mengakibatkan cuaca yang tidak menentu.
Läderach [7] menjelaskan dampak perubahan iklim terhadap kualitas kopi. Dilaporkan bahwa kopi
tumbuh optimal pada ketinggian antara 800 dan 1.400 m dpl, tetapi ketinggian optimal ini
kemungkinan akan meningkat pada 1.200 dan 1.600 m dpl pada tahun 2050. Hasil ini konsisten
dengan apa yang diharapkan dari studi 2,5
Tingkat pemanasan °C, dan tingkat selang adiabatik 0,65°C per 100 m. Perubahan iklim cenderung
menggeser elevasi yang menguntungkan bagi tanaman kopi dari tahun ke tahun seiring dengan proses
adaptasi. Hal ini berarti dapat disimpulkan bahwa jika petani kopi tidak meninggikan elevasi lahan,
maka produktivitas dan kualitas kopi mereka akan menurun akibat adaptasi terhadap iklim lingkungan.
Selain itu, perubahan iklim juga mempengaruhi migrasi serangga hama seperti ngengat dan
belalang. Meningkatnya suhu dapat memperpanjang masa terbang serangga dan dengan demikian
memungkinkan mereka untuk menyebar dalam jarak yang lebih jauh. Selain itu, serangga seperti
ngengat akan hidup d e n g a n baik pada suhu sedang [8], dan hal ini akan menyebabkan ledakan
populasi hama karena tingkat perkembangbiakan mereka akan meningkat pesat.
3.2 Kesejahteraan petani kopi di Indonesia
Menurut data dari Pusat Data Kesejahteraan Indonesia pada tahun 2016[9], Indonesia masih
dikategorikan sebagai negara miskin di hampir semua wilayah kecuali Bali dan Jogjakarta yang
2
Konferensi Internasional tentang Perubahan Iklim Penerbitan IOP
Konferensi IOP. Series: Ilmu Pengetahuan Bumi dan Lingkungan 200 doi:10.1088/1755-1315/200/1/012054
(2018) 012054

memiliki indeks kesejahteraan. Hal ini tentu menunjukkan gambaran umum kesejahteraan
masyarakat Indonesia yang sebagian besar kurang sejahtera.

3
Konferensi Internasional tentang Perubahan Iklim Penerbitan IOP
Konferensi IOP. Series: Ilmu Pengetahuan Bumi dan Lingkungan 200 doi:10.1088/1755-1315/200/1/012054
(2018) 012054

Nilai IKRAR (2016)

Sangat sejahtera (>80,01)


Sejahtera (60,01-80)
Kurang sejahtera (40,01-60)
Tidak sejahtera (20,01-40)
Sangat tidak sejahtera
(<=20)

Gambar 1. Peta indeks kesejahteraan Indonesia (Pusat Data Kesejahteraan, 2016) [9]
Petani kopi di Indonesia tidak mungkin sejahtera sebelum mereka mampu mengelola bisnis mereka
dengan baik mulai dari proses budidaya hingga pascapanen. Konsumsi kopi Indonesia masih sangat
rendah yaitu 0,8 kg per kapita per tahun, sedangkan konsumsi kopi Brazil adalah 6 kg per kapita per
tahun. Sementara itu, konsumsi kopi Norwegia adalah 10,6 kg per kapita per tahun, dan bahkan
Finlandia telah mencapai 11,4 kg per kapita per tahun [10]. Rendahnya konsumsi kopi di Indonesia
menjadi peluang untuk meningkatkan pangsa pasar domestik seiring dengan pertumbuhan ekonomi.
Namun ironisnya, kesejahteraan petani kopi di Indonesia masih dipertanyakan. Hal ini harus menjadi
perhatian karena rata-rata kepemilikan lahan petani kecil hanya 0,6 hektar dan harga kopi yang
ditawarkan tengkulak lebih rendah. Petani yang menjual secara pribadi kepada tengkulak cenderung
menerima permainan harga yang ditetapkan oleh mereka.
Dari sisi penciptaan lapangan kerja, komoditas kopi menyediakan lapangan kerja hingga 1,88 juta
keluarga d e n g a n rata-rata kepemilikan 0,6 hektar. Saat ini, tanaman kopi di Indonesia masih
didominasi oleh petani rakyat yang mencapai 96% dan hanya 4% yang diusahakan di perkebunan besar,
baik swasta maupun negara [5]. Desianti [11] mengungkapkan bahwa peluang untuk mendapatkan
keuntungan oleh petani kopi baik secara finansial maupun ekonomi di Indonesia cukup tinggi. Dengan
demikian, perkebunan kopi di Indonesia layak untuk dilanjutkan dan secara ekonomi perkebunan kopi
dapat berjalan secara efisien. Nilai untuk luas areal perkebunan kopi berkisar antara 0,35 dan 0,90,
sedangkan nilai product category rules (PCR) berkisar antara 0,52 dan 0,97.
3.3 Analisis hubungan antara perubahan iklim dan kesejahteraan petani
Perubahan iklim mempengaruhi produktivitas tanaman kopi, baik dari segi pertumbuhan maupun
perkembangbiakan. Salah satu dampak dari perubahan iklim adalah curah hujan yang tidak menentu
yang disebabkan oleh badai La Nina. Gambar 2 adalah perubahan suhu yang dikutip dari Peta Jalan
Sektoral Perubahan Iklim Indonesia Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) 2010
[12].

Gambar 2. Perubahan suhu di Indonesia untuk periode 1900-2000 (Bappenas, 2010) [12]

4
Konferensi Internasional tentang Perubahan Iklim Penerbitan IOP
Konferensi IOP. Series: Ilmu Pengetahuan Bumi dan Lingkungan 200 doi:10.1088/1755-1315/200/1/012054
(2018) 012054

Tabel 1. Produksi Kopi di Indonesia 2012 - 2016.


Tahun (Hollder Kecil) (Pemerintah) Pribadi ∑
2012 661,827 13,577 15,759 691,163
2013 645,346 13,945 16,591 675,881
2014 612,877 14,293 16,687 643,857
2015 602,428 19,703 17,281 639,412
2016 602,160 19,838 17,306 639,305
Sumber: Direktorat Jenderal Bina Produksi Perkebunan, 2014[13]

Dari Gambar 2 dan Tabel 1 terlihat bahwa terjadi perubahan suhu dari tahun ke tahun, dan produksi
kopi oleh perkebunan rakyat mengalami penurunan dalam 5 tahun terakhir. Perubahan suhu
menyebabkan evapotranspirasi tanaman yang berlebihan, munculnya kebakaran hutan, serta
perkembangbiakan serangga yang lebih cepat dan luas. Menurut Surmaini dkk. [14], kenaikan suhu
rata-rata dan siklus hidrologi yang terganggu dapat menyebabkan musim kemarau yang lebih panjang
dan intensif tetapi musim hujan yang lebih pendek, meningkatkan siklus anomali musim kemarau dan
musim hujan, serta mengurangi kelembaban tanah. Hal tersebut membuat kopi tidak dapat beradaptasi
dengan baik, sehingga produktivitasnya menurun. Perubahan iklim kemungkinan akan menurunkan
hasil panen karena kekeringan yang disebabkan oleh musim kemarau yang lebih panjang.
Produktivitas tentu sangat penting bagi keekonomian perkebunan kopi. Jika produktivitasnya
rendah maka dapat dipastikan petani akan rugi, terutama petani kecil di Indonesia yang hanya
memiliki lahan kurang dari 10 ha. Oleh karena itu, hal ini akan menurunkan pendapatan petani.
3.4 Strategi penyelesaian
3.4.1 Pemilihan kanopi yang baik. Di tingkat regional, naungan perkebunan kopi berkontribusi pada
pengaturan layanan konservasi air, pengelolaan daerah aliran sungai, konservasi tanah, dan
pencegahan tanah longsor. Kopi tumbuh di seluruh wilayah tropis namun rentan terhadap perubahan
cuaca lokal [15] dengan hasil panen yang menurun di musim hujan yang rendah. Selain itu, ada juga
kisaran suhu yang sempit di mana tingkat pertumbuhan dan hasil panen kopi tinggi. Pemeliharaan
suhu dan kelembaban dapat menguntungkan produsen kopi dengan hasil panen yang lebih besar. Di
tingkat global, sistem kanopi yang teduh merupakan kontributor utama dalam penyerapan karbon dan
mitigasi perubahan iklim. Deforestasi hutan tropis dan penggunaan api di area pertanian merupakan
kontributor utama peningkatan konsentrasi CO di atmosfer [16].
3.4.2 Sertifikasi kopi. Menurut Direktorat Jenderal Pengolahan Pangan Indonesia, sertifikasi adalah
sistem jaminan mutu dan keamanan pangan dalam bentuk pemberian sertifikat kepada pelaku
usaha/petani/kelompok tani sebagai bukti pengakuan bahwa pelaku usaha/petani/kelompok tani
tersebut telah memenuhi persyaratan dalam menerapkan sistem jaminan mutu dan keamanan pangan
secara konsisten yang dikeluarkan oleh Kementerian Pertanian. Nama sertifikasi tersebut adalah
Indikasi Geografis. Tujuan dari sertifikasi ini adalah untuk memberikan jaminan mutu dan keamanan
pangan, melindungi masyarakat dan konsumen, memudahkan penelusuran kembali terhadap
kemungkinan terjadinya penyimpangan mutu dan keamanan produk, serta meningkatkan nilai tambah
dan daya saing produk.
Sertifikasi pada produk pertanian berguna untuk menentukan kualitas produk. Dengan adanya
sertifikasi, diharapkan tidak ada perubahan kualitas dan kepercayaan pasar akan meningkat dengan
adanya profesionalisasi melalui penjualan produk yang sesuai dengan grade yang ditentukan pasar.
Selain itu, sertifikasi akan meningkatkan nilai suatu produk dan kepercayaan konsumen terhadap
produk tersebut.
3.4.3 Wanatani di perkebunan kopi. Menurut Widianto dkk. [17], manfaat wanatani dari sisi
lingkungan adalah mengurangi aliran permukaan, pencucian unsur hara tanah, dan erosi tanah, karena
tajuk pepohonan menghalangi proses-proses tersebut. Dengan demikian, kandungan unsur hara di
dalam tanah akan tetap terjaga. Dengan adanya wanatani, maka akan terjadi perbaikan struktur tanah
karena adanya penambahan
5
Konferensi Internasional tentang Perubahan Iklim Penerbitan IOP
Konferensi IOP. Series: Ilmu Pengetahuan Bumi dan Lingkungan 200 doi:10.1088/1755-1315/200/1/012054
(2018) 012054

bahan organik yang terus menerus dari sampah yang membusuk. Tanah akan lebih gembur sehingga
tidak memerlukan pengolahan tanah yang berlebihan.
Selain itu, Widianto dkk. [17] menjelaskan bahwa manfaat yang diperoleh petani dari aspek sosial
dan ekonomi dari sistem wanatani adalah peningkatan dan penyediaan pertukangan, kayu bakar,
pangan, pakan ternak, dan pupuk hijau. Melalui sistem wanatani, petani dapat membudidayakan lebih
dari satu jenis tanaman sehingga apabila salah satu tanaman gagal panen atau harganya jatuh, kerugian
dapat ditutupi dari tanaman lainnya. Sistem agroforestri juga membangun dan meningkatkan
pendapatan petani karena adanya jaminan produk yang lebih banyak dan berkelanjutan. Selain itu,
petani akan memiliki lebih banyak waktu untuk bekerja di bidang lain di luar wanatani karena
sistemnya yang mudah.
3.4.4 Strategi pemasaran terpusat. Merupakan strategi pemasaran dengan memusatkan pada satu
manajemen dimana semua kegiatan pengumpulan dan pemasaran hasil pertanian dilakukan secara
kolektif atau bersama-sama. Palesangi dan Satyarini [18] menyebutkan pemasaran terpusat
(centralized marketing) adalah kegiatan pemasaran dimana perusahaan atau kelompok usaha mencari
pangsa pasar yang besar pada satu atau beberapa sub-pasar dan bukan mencari pangsa pasar yang kecil
dari pasar yang besar. Keuntungan menggunakan metode ini adalah proses operasional yang jelas dan
mudah serta harga komoditas yang stabil. Kelembagaan kolektif menciptakan kekuatan dalam
menentukan pangsa pasar dan target pasar dalam menjalankan usaha tani. Jika strategi ini dapat
diterapkan oleh petani kopi rakyat di Indonesia, maka pemasarannya akan lebih efektif dan terpusat
sehingga grading kopi akan lebih seragam dalam ukuran dan kualitas.

4 Kesimpulan
Perubahan iklim mempengaruhi kesejahteraan petani kopi di Indonesia, karena perubahan iklim
bertanggung jawab atas penurunan produksi kopi akibat cuaca ekstrem. Jika perubahan iklim terus
terjadi, maka ketinggian optimal tanaman kopi akan menurun menjadi 800-900 m dpl. Perubahan
iklim memicu curah hujan yang tinggi sehingga menyebabkan kegagalan pembungaan, serta kemarau
yang lebih panjang sehingga bunga gagal mekar. Hal ini menyebabkan produksi kopi dan juga
pendapatan petani kecil menurun. Sistem pemasaran petani yang disebabkan oleh perubahan iklim
juga menjadi masalah.

Referensi
[1] Data AEKI 2011 tentang Luas Areal dan Produksi Kopi di Indonesia URL: http://www.aeki-
aice.org/areal_dan_produksi_aeki.html
[2] Narulita S, Winandi R dan Jahroh S 2014 Analisis dayasaing dan strategi pengembangan
agribisnis kopi Indonesia Jurnal Agribisnis Indonesia 2 63-74
[3] Las I A, Pramudia E, Runtunuwu dan Setyanto 2011 Antisipasi Perubahan Iklim dalam
Mengamankan Produksi Padi Nasional. J. Pengembangan inovasi Pertanian 4 76-86
[4] Karim A, Wiradisastra U S, Sudarsono dan Yahya S 2012 Pengelolaan Lahan Berbasis Kopi
Arabika dan Hubungannya dengan Indikasi Geografis URL:
http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/index.php/MSDL/article/download/2189/2145
[5] Direktorat Jenderal Perkebunan 2015 Statistik Perkebunan Indonesia 2013-2015 kopi
(Jakarta: Direktorat Jenderal Perkebunan)
[6] Armi S, Indriani H, Mamad T dan Irma N 2008 Dampak Perubahan Iklim terhadap Ketinggian
Muka Laut Wilayah Banjarmasin Jurnal ekonomi lingkungan 12
[7] Läderach P, Ramirez-Villegas J, Navarro-Racines C, Zelaya C, Martinez-Valle A dan Jarvis A
2017 Adaptasi perubahan iklim terhadap produksi kopi dalam ruang dan waktu Jurnal
Perubahan Iklim 141 47-62
[8] Ott J ed 2008 Memantau perubahan iklim dengan capung Seri Faunistica 81 Pensoft, Sofia
[9] Pusat Data Kesejahteraan 2016 Indeks Kesejahteraan Rakyat Indonesia. Sapa Indonesia RRT.
URL: http://www.000prc.sapa.or.id/ikrar-pusat-data-kesejahteraan
[10] Kustiari R 2016 Perkembangan pasar kopi dunia dan implikasinya bagi Indonesia Forum
Penelitian Agro Ekonomi 25 43-55
[11] Desianti L C 2002 Dampak Kebijakan Pemerintah terhadap Profitabilitas dan Daya Saing Kopi
6
Konferensi Internasional tentang Perubahan Iklim Penerbitan IOP
Konferensi IOP. Series: Ilmu Pengetahuan Bumi dan Lingkungan 200 doi:10.1088/1755-1315/200/1/012054
(2018) 012054

Robusta Indonesia Tesis Magister Sains (Bogor: Institut Pertanian Bogor)

7
Konferensi Internasional tentang Perubahan Iklim Penerbitan IOP
Konferensi IOP. Series: Ilmu Pengetahuan Bumi dan Lingkungan 200 doi:10.1088/1755-1315/200/1/012054
(2018) 012054

[12] Bappenas 2010 Peta Jalan Sektoral Perubahan Iklim Indonesia - ICCSR: Dasar Saintifik:
Analisis dan Proyeksi Temperatur dan Curah Hujan (Jakarta: Bappenas)
[13] Direktorat Jenderal Bina Produksi Perkebunan 2004 Statistik Perkebunan Indonesia 1990-2004
kopi (Jakarta: Departemen Pertanian, Direktorat Jenderal Bina Produksi Perkebunan Jakarta)
[14] Surmaini E, Runtunuwu E dan Las I 2016 Upaya sektor pertanian dalam menghadapi perubahan
iklim Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian 30 1-7
[15] Carr MKV 2001 Hubungan air dan kebutuhan irigasi kopi Exp Agric 37 1-36
[16] Canadell J G dan Raupach M R 2008 Mengelola hutan untuk mitigasi perubahan iklim Ilmu
Pengetahuan
320 1456-57
IPCC 2007 Perubahan Iklim 2007: Kontribusi Dasar Ilmu Pengetahuan Fisik dari Kelompok
Kerja I pada Laporan Penilaian Keempat Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim
(Cambridge: Cambridge University Press)
[17] Widianto K H, Suharjito D, Sardjono M A 2003 Fungsi dan Peran Agroforestri (Bogor:
International Center for Research in Agroforestry (ICRAFT))
[18] Palesangi M dan Satyarini R 2012 Analisis Peluang dan Tantangan Pada Paguyuban Cahaya
Terang Sebagai UKM Pengrajin Kulit di Sukaregang Garut Laporan Penelitian (Bandung:
Universitas Katolik Parahyangan)

Anda mungkin juga menyukai