Anda di halaman 1dari 47

YAYASAN KLUB BUKU PETRA X KOMUNITAS KAHE

BUKU PROGRAM
FLORES WRITERS FESTIVAL 2023

SADANG BUI
Sadang Bui
Sadang e wulan
Sadang e leron
Waten bui megu mai

Sadang Bui
Sadang Bui e
Apu piru
Megu e waten
Na’i reta dala poi tena ‘au

(In Memoriam, Albert Gerson Finit)


Kolofon

Disusun dan diterbitkan secara difgital oleh Flores Writers Festival


Hak Cipta spenuhnya adalah milik Flores Writers Festival
Tahun Prouksi: 2023

Ukuran Buku
14,8 x 21 cm, 44, halaman

Penyusun
Eka Putra Nggalu, Maria Pankratia dan Tim Kurator

Tata Letak
Eka Putra Nggalu

Ilustrasi dan Foto


Aprico Logho

Tim Festival

Direktur Festival Manager Produksi


Armin Bell Maria Apriani Kartika Solapung

Tim Kurator Asisten Manager Produksi


Abu Nabil Wibisana Aldo Fernandez, Marcel Jansen
Erlyn Lazar
Valentino Luis Staf Produksi
Adang Adrian, Jane, Johnson Robinson,
Produser Mario Dwisaktris, Micel, Om Dodot
Eka Putra Nggalu Rinto Djaga, Yulia Aron

Manager Program Desain Komunikasi Visual


Maria Pankratia Aprico Logho

Asisten Manager Program Dokumentsi dan Publikasi


Marianus Nuwa, Lolik Apung Arieston FX, Bernard Lazar

Manager Finansial Flores Writers Festival


Margareta Nobilio P. Janu Perpustakaan Klub Buku Petra, Lantai II Apotek Wae Laku,
Karot, Ruteng, Nusa Tenggara Timur, Indonesia, 86511
Asisten Manager Finansial Email: floreswritersfestival@gmail.com
Carlin Karmadina Sosial Media: Flores Writers Feswtival
KATA PENGANTAR

Flores Writers Festival 2023 yang terselenggara di Maumere pada 8 – 10 November 2023 hendak
merefleksikan hidup yang penuh kelindan, saling kait, dan saling silang ini melalui tema “Sadang
Bui.”

Manusia selalu ingin pergi, keluar, bergerak, mengeksplorasi yang ada di sekitarnya, menemukan
tempat-tempat baru, melampai batasan-batasan yang mengekang dirinya, berpindah dari
keluasan yang satu menuju keluasan yang lain dengan rupa-rupa alasan. Namun, sewaktu-
waktu, kerinduan untuk ‘pulang’ bisa datang menyergap. Pulang bisa berarti kembali ke kampung
halaman, atau sekedar meyusuri jalan yang pernah dilalui, atau berteduh di atap teras menikmati
kopi dan jagung titi, atau bisa lebih dalam dan filosofis: kembali ke dalam rahim tanah, ke tempat
dari mana dirinya berasal.

“Sadang Bui” yang secara harafiah berarti tempat bersandar dan menanti, yang pernah menjadi
satu nama pelabuhan di Maumere, kurang lebih merekam dua hasrat purba manusia ini: mengem-
bara dan menetap. “Sadang Bui” dengan demikian adalah perihal kedatangan dan kepergian,
perihal hulu-hilir, perihal pertemuan-perpisahan, perihal keterhubungan-keterputusan.

Selaku penyelenggara festival, Yayasan Klub Buku Petra dan Komunitas KAHE ingin mengucapkan
terima kasih kepada para partisipan undang, penulis, seniman, aktivis, akademisi, pekerja kreatif,
para tetangga, teman-teman sejawat dan sahabat yang telah mendukung terselenggaranya festi-
val ini. Kami juga berterima kasih kepada instutusi/lembaga yang telah berkenan menjadi sposor
dan partener kerja, antara lain Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi
Republik Indonesia, secara khusus kepada Pusat Pengembangan dan Pelindungan Bahasa,
Pemerintah Daerah Kabupaten Sikka, Institut Filsafat dan Teknologi Kreatif Ledalero, Universitas
Nusa Nipa Maumere, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, VOICE, dan seluruh pihak
yang dengan hati penuh telah turut serta mewujudkan Flores Writers Festival di tahun ketiga ini.

Mari bersama-sama menjadi tempat melarung dan berlabuh bagi satu sama lain.

Maria Pankratia
Manager Program Flores Writers Festival
DAFTAR ISI

i-vi
In Memoriam Black Finit
Kolofon
Kata Pengantar
Daftar Isi
Imung Deung FWF 2023

CATATAN KURATORIAL
1-2
3-14 SESI HARI 1
RABU, 8 DESEMBER 2023

SESI HARI 2
KAMIS, 9 DESEMBER 2023
17-28
29-33 SESI HARI 3
JUMAT, 10 DESEMBER 2023

RUNDOWN
FLORES WRITERS FESTIVAL 2023
35-38
IMUNG DEUNG - SADANG BUI

Ade Awaludin Firman - Afrizal Malna - Afryantho Keyn


Ama Gaspar - AN Wibisana - Anitha Silvia
Armin Bell - Arif Furqan - BEM IFTK Ledalero
Carlin Karmadina - Cru Father Said - Dian Purnomo
Dominico Ariyantho Djaga - Dr. Otto Gusti Madung
Eka Costa - Eka Putra Nggalu - Erich Langobelan
Erlyn Lasar - Fatris MF - Fatwa Pertiwi Djalal
Fernando Ximenes - Festival Sastra Banggai
Festival Sastra Santarang - Flavio Martins Mali Kay
Forum Giat Literasi Ende - Forum Sudut Pandang
H. Y. Ferdy - Hening Bayati - Hilmar Farid
Jemmy Piran - Julia F. Gerhani Arungan - Kaka Dea
Kartika Solapung
FLORES WRITERS FESTIVAL 2023

Klub Buku Petra - Knife & The Sunflower


Kolektif Videoge - Komunitas Esperansa
Komunitas KAHE - Kristiani Ragat - Leisplang
Mahfud Ikhwan - Makassar International Writers Festival
Maria Pankratia - Marianus Nuwa - Mariati Atkah
Mario Gesiradja - Moodbreaker - Nyong Franco
Papua Pius Kraeng - Postman - Qikan Nong Goa
Rachmat Hidayat Mustamin - Rahmadiyah Tria Gayathri
Retha Janu - Rini Kartini - Rizal Huku Lejap
Rockatenda - Rocketqueen - Rumpi Nuhalolon
Timoteus Yuanuario Jonta - Valentino Luis
Who’s that Girl - Yohanes Mataubana
Yoseph Maria Florisan
Pengantar Kuratorial Festival
SADANG BUI

Kata Kunci:
Dermaga, Rantau-Migrasi, Laut, Sejarah Kosmopolitanisme (Overseas), Pertemuan

Sadang Bui (bahasa Krowe) secara harfiah berarti ‘bersandar’ dan ‘menanti’. Nama ini merujuk
pada sebuah pelabuhan di pesisir utara kota Maumere, tempat bersandarnya kapal-kapal dagang
dari berbagai daerah yang datang ke regang Alok Wolokoli (sebutan untuk pasar yang men-
cakup wilayah kota Maumere saat ini). Sadang Bui menjadi pintu masuk dan gerbang interaksi
orang Maumere pada masa lalu dengan ragam manusia, budaya, gagasan, sistem nilai dan
rasa-merasa. Sadang Bui mengawali banyak sekali perjumpaan.

Dalam perjalanan waktu, Sadang Bui juga menjadi tempat orang-orang Maumere memulai mimp-
inya. Meninggalkan kampung halaman, mengawali pengembaraan untuk mencari hidup (melarat)
dengan aneka motif: sekolah, bekerja, atau sekedar bertualang. Dengan demikian, Sadang Bui
juga adalah tempat berpisah. Tempat menanti dengan renjana anggota keluarga yang lain pulang,
membawa sejuta harap dan angan.

Sadang Bui, nama yang romantis, yang ditemukan dan dirawat warga lewat berbagai syair dan lagu
ini kemudian diubah menjadi Pelabuhan Lorens Say, yang diresmikan pada 9 Agustus 2010 oleh
menteri perhubungan saat itu, Freddy Numberi. Penggantian nama ini, sempat diprotes keras oleh
warga karena ia menghapus memori kolektif dan identitas yang sudah telanjur melekat pada ruang
sosial-budaya itu. Meski protes tak usai, pembangunan tetap tak bisa dihentikan. Sadang Bui yang
sudah diganti penandanya menjadi Lorens Say kini adalah sebuah pelabuhan komersil yang ditata
dan diproyeksikan terutama untuk kepentingan pasar. Ia adalah situs modern baru dengan logika
yang sama sekali berbeda dengan bagaimana ia dinamai sebelumnya.

Flores Writers Festival 2023 memakai Sadang Bui sebagai memori sekaligus metafora untuk
memasuki beberapa hal yang hari-hari ini rasanya penting untuk dibahas.

1) Sejarah kosmopolitanisme yang sudah lama berlangsung di Flores, yang di dalamnya meman-
dang pertemuan pelbagai konteks (manusia, budaya, gagasan, sistem nilai dan rasa merasa) se-
bagai sesuatu yang niscaya. Kesadaran atas sejarah yang demikian sudah seharusnya ditempatkan
sebagai etos untuk menghidupi dan merayakan keberagaman, melampaui sekat-sekat identitas
yang akhir-akhir ini menguat serta menjadi sangat sensitif karena dipakai sebagai alat politik
golongan tertentu.

2) Kenyataan keterhubungan antar lokalitas yang bisa menjadi basis refleksi bagi perkembangan
dan pertumbuhan satu sama lain. Kenyataan keterhubungan ini bisa diupayakan sebagai jalan bagi
konteks lokal di Flores untuk menawarkan pandangan dan gagasannya sehingga bisa dibicarakan

1
secara translokalitas, di berbagai konteks yang lebih global dan beragam. Modal ini juga membuka
peluang untuk membangun gerakan solidaritas yang lebih besar dan kuat dalam berbagai aspek
dan bidang kehidupan lainnya.

3) Isu-isu relevan seperti perdagangan manusia, investasi kapitalisme yang tidak berpijak pada
komunitas lokal, developmentalisme yang abai terhadap kerusakan lingkungan adalah bentuk-
bentuk kolonialisme baru yang menghancurkan relasi kosmopolitanisme organik pra-penjajahan
Eropa, yang belakangan dialami sebagai kenyataan Flores hari ini. Isu-isu di atas bisa jadi dapat
direspons dan dibicarakan dengan pendekatan seni dan budaya yang idealnya dapat lebih cair dan
berpotensi memasuki ruang-ruang percakapan yang plural dan inklusif.

2
HARI 1 - RABU, 8 NOVEMBER 2023

3
Seminar Budaya
MEREFLEKSIKAN JEJAK KETERHUBUNGAN
SERTA INTERAKSI TRANSLOKALITAS DI
FLORES, INDONESIA, DAN DUNIA

Rabu, 8 November 2023


Pukul 09.00 – 12.30 WITA
Aula St. Thomas Aquinas, Kampus 1 IFTK Ledalero

Pembicara:
Dr. Hilmar Farid, Dirjen Kebudayaan Republik Indonesia
Valentino Luis, Kurator Flores Writers Festival - Maumere
Anita Silvia, Peneliti Independen dan Aktivis di C20 Library - Surabaya
Dr. Otto Gusti Madung, Rektor IFTK Ledalero - Maumere
Fernando Ximenes, Comite Orientador 25 - Dili

Moderator:
Erlyn Lasar, Dosen IFTK Ledalero, Kurator Flores Writers Festival - Maumere

Selain berkomunikasi secara lisan maupun tulisan/gambar, hasrat yang begitu purba dari manusia
adalah mengembara. Malah, sebelum berevolusi secara utuh sebagai Homo Sapiens, manusia
purba Erectus sudah melakukan perjalanan keluar dari Benua Afrika sejak 150.000 tahun lampau.
Yuval Noah Harari dalam buku Sapiens, menulis bahwa dalam rentang masa antara revolusi kognitif
dan revolusi pertanian, manusia mengarungi samudera dan mengembara sampai ke dataran
Australia dan Amerika. Hingga kini kita terus mengembara.

Ditegaskan pula dalam buku Move: The Forces Uprooting Us karya Parag Khana, memang ciri yang
berulang dalam peradaban manusia adalah mengembara, sebagai upaya terus- menerus manu-
sia untuk mencari sumber daya dan stabilitas. Peristiwa seismik global— perang dan genosida,
revolusi dan pandemi—hanya mempercepat proses tersebut. Demikianpun hadirnya bermacam
infrastruktur, seperti jalan, jaringan kabel serta internet, telah memungkinkan pergerakan manusia,
barang, jasa, modal, informasi dan teknologi menjadi lebih gampang dan masif.

Pengembaraan, yang berpadanan dengan perjalanan – perantauan – avontur - maupun migrasi,


baik secara singkat maupun lama, dengan didorong oleh aneka alasan serta motivasi, senantiasa
membawa pulang dinamika. Sebagaimana diartikan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI),
dinamika adalah hal-hal yang menggerakkan, atau yang menyebabkan perubahan, maka tatkala
pengembaraan dilakukan, hal-hal yang dilihat, dipelajari, dialami dan dirasakan di tempat-tempat
lain akan berpengaruh dan mengubah tata hidup pribadi hingga masyarakat yang bersangkutan.
4
Nilai-nilai sosial pun mengalami alterasi, seperti kehidupan bermasyarakat, agama, ekonomi, kelu-
arga, pendidikan, budaya, pergaulan, kesehatan, hingga pekerjaaan.

Orang-orang muda dari masa ke masa biasanya memiliki dorongan sangat kuat untuk bermigrasi,
dan mereka juga yang paling cepat memprakarsai hadirnya dinamika baru dalam lingkungann-
ya. Pelaku-pelaku sejarah, pionir, dan tokoh revolusioner di masa lampau umumnya berasal dari
golongan muda. Tidak terkecuali orang-orang Flores, yang pergi meninggalkan tanah dan hala-
mannya lalu kembali dengan konsep dan visi teranyar beserta segala dampak positif- negatifnya.

Dalam seminar ini, perihal keterhubungan dan interaksi translokal di kawasan Flores menjadi fokus
pembahasan. Sebagai sebuah kawasan, Flores adalah tempat pertemuan suku bangsa austronesia
dan melanesia. Ia juga menjadi irisan kolonial Belanda dan Portugis. Maumere sebagai pelabuhan
besar menjadi tempat berlabuhnya pedagang suku Bugis, Bajo, Makassar yang berinteraksi
dengan warga-warga lokal.

Apa yang bisa direfleksikan dari kenyataan keterhubungan di masa lalu ini dengan proyeksi relasi
sosial-budaya di masa yang akan datang? Apa saja kendala, manfaat, peluang dan tantangannya?

Valentino Luis, Kurator Flores Writers Festival


Valentino Luis akan membahas Kronik Avontur Kosmopolitanisme Flores. Fokus utama dalam ba-
hasan ini adalah bagaimana pengaruh dinamika pergerakan trans-lokalitas berlangsung di Flores,
secara lebih khusus Maumere? Bagaimana pengaruh katolik-portugis terhadap peralihan keper-
cayaan lokal dan asimilasinya menjadi fondasi modernisasi di Flores? Apa dampak kolonialisme
portugis terhadap pembentukan identitas? Bagaimana peran dan dinamika figur-figur pionir yang
mengubah sistem dari tradisional ke modern sebagai efek dari perjalanan/merantau? Bagaimana
refleksinya terhadap konteks Maumere dan Flores hari ini?

Dr. Otto Gusti Madung, Rektor IFTK Ledalero


Dr. Otto Gusti Madung membahas tentang apa modus dan motif dari aksi ‘merantau’ yang ber-
langsung hari ini? Bagaimana perubahan sistem sosial-budaya dan ekonomi politik terutama
sistem demokrasi modern dan politik ekonomi neoliberal yang didalangi oleh korporasi dan oli-
garki transnasional turut mempengaruhi modus dan motif orang merantau, termasuk di dalamnya
isu-isu imigran dalam berbagai bentuk dan isu? Dalam konteks Flores, bagaimana modus dan
motif perantauan ini berkait-kelindan dengan kasus-kasus perdagangan manusia? Adakah upaya
kultural yang bisa dilakukan untuk bernegosiasi dengan fenomena rantau dan perdagangan ma-
nusia? Bagaimana peran dan keterlibatan negara dalam dinamika penanganan masalah-masalah
human trafficking?

Anitha Silvia, Peneliti Independen dan Aktivis di C20 Library


Anita Silvia akan berbagi mengenai temuan-temuan perjalanannya ke wilayah-wilayah perbatasan.
Menarik juga untuk melihat metode produksi pengetahuan yang digunakan oleh Anita, yang tidak
melulu berbasis pada metodologi akademis dan subjek-subjek konvensional (narasi besar), tetapi
juga pada pertemuan informal dan praktik-praktik sosial kontekstual yang berlangsung di ranah
domestik.

5
Fernando Ximenes, Comite Orientador 25, Timor Leste
Fernando Ximenes membahas tentang bagaimana keterkaitan budaya di Timor menjadi salah satu
alternatif pintu masuk untuk menelusuri jejak keterhubungan antara Timor Leste dan Indonesia,
terutama daerah-daerah di kepulauan Nusa Tenggara Timur. Dalam konteks Timor Leste, perkem-
bangan modern nation state, kerap mempertegas imajinasi tentang batas yang berakibat pada dan
semakin lemahnya interaksi kultural antar komunitas-komunitas (suku) tradisional di Timor. Hal lain
yang turut mempertegas garis demarkasi antara Timor Leste dan Indonesia adalah narasi histo-
riografi kedua negara yang didominasi oleh sudut pandang militer dan cenderung kontraproduktif
untuk masing-masing. Bagaimana penelusuran kembali jejak kultural dan interaksi translokal bisa
jadi tawaran untuk membangun sejarah populer dari pinggiran dan menciptakan imajinasi kawasan
alternatif (alternative regionalism) yang lebih berbasis pada interaksi translokal (kultural) yang ber-
langsung organik oleh warga dan gerakan sipil daripada yang bersifat transnasional (legal-formal)
oleh negara?

6
Bincang Tematik I
ARTIFICIAL INTELLIGENCE DALAM PROSES
KREATIF; SEBUAH DILEMA?

Rabu, 8 November 2023


Pukul 14.30 – 16.30 WITA
Aula Clemens, Kampus 1 Institut Filsafat dan Teknologi Kreatif Ledalero

Pembicara:
Tia Ragat, Penulis, Komunitas Sastra Dusun Flobamora - Kupang
Rachmat Hidayat Mustamin, Penulis, Seniman Pertunjukan - Makassar
Afrizal Malna, Penulis, Seniman - Sidoarjo
Erlyn Lasar, Dosen IFTK Ledalero, Kurator Flores Writers Festival - Maumere

Moderator: AN Wibisana, Penulis, Kurator Flores Writers Festival - Tangerang

Kecerdasan buatan atau Artificial Intelligence seolah tiba-tiba menohok kita akhir-akhir ini. Se-
menjak pandemi Covid-19 melanda, dunia seperti menggeliat mencari berbagai cara untuk ‘be-
radaptasi’ dengan situasi pandemi yang menghimpit. Ketika manusia tidak diperkenankan ber-
interaksi langsung, di sanalah celah baru terbuka. Manusia jadi begitu membutuhkan perantara,
yang efektif dan efisien, untuk memperlancar berbagai urusan. Dari kacamata praksis, kehadiran
AI yang seolah tiba-tiba baru disadari peradaban ini bisa jadi salah satu dari cara yang sedang
diuji coba dunia dalam adaptasi tersebut. Meski kita tahu kata uji coba tidak lagi pas dipakai untuk
konteks perkembangan teknologi mutakhir seperti AI. Kecanggihan dan kemutakhiran AI yang
‘menyerang’ berbagai lini sudah bukan coba-coba lagi. Adalah sebuah kepastian bahwa teknologi
sangat mungkin mampu menggeser peran manusia dalam beraktivitas.

Kecemasan akan kehadiran dan peran progresif AI mulai bermunculan. Bidang seni dan dunia
cipta kreatif pun tak luput. Eileen Isagon Skyers, seorang media art curator, mengklasifikasi pan-
dangan umum tentang kehadiran AI dalam proses penciptaan kreatif seorang seniman menjadi
dua kelompok. Kelompok pertama memandang secara pesimis bahwa AI mengancam kreativitas
seseorang. Sementara kelompok kedua memandang secara optimis bahwa AI merupakan alat
yang bisa menunjang kreativitas seseorang. Dia menyebutnya dengan istilah AI as an extension of
one’s creativity. Dan bahkan dia menganjurkan manusia untuk mulai menerima dan membiasakan
diri bekerja sama dengan AI (co-creating with AI).

7
Namun demikian, kemudahan yang dihadirkan AI tidak semata mengancam orisinalitas karya,
tetapi yang lebih substantif dari itu, adalah sejauh mana seseorang bersikap jujur dalam melibat-
kan AI ketika dia berproses dalam penciptaan kreatifnya. Sejauh mana seseorang memelihara
integritas dalam dirinya untuk bisa dengan gamblang mengatakan apakah karyanya sungguh
orisinil ada campur tangan mesin.

Dari sisi pedagogis, posisi yang dilematis ini perlu diangkat ke ruang diskusi yang kritis. Sebab di
satu sisi manusia sudah tidak bisa menghindar dari kehadiran teknologi yang berkembang sema-
kin pesat. Di saat yang sama juga manusia perlu menjaga marwahnya sebagai individu yang manu-
siawi, tercermin dari karya seni yang diciptakannya. Dalam karya seni, karya yang humanis, kuat sisi
manusiawinya adalah satu-satunya pembeda paling mendasar antara manusia dengan mesin.

Generasi hari ini perlu diajak bertanya lebih jauh daripada sekedar “bagaimana cara memanfaat-
kan AI dalam menunjang proses kreatif?”. Generasi hari ini perlu diajak untuk terus menerus juga
bertanya, sejauh mana kita izinkan teknologi mengambil alih dan memudahkan pekerjaan manusia
dan bagaimana kreativitas itu sendiri terus diasah dan distimulasi agar karya cipta manusia tidak
hanya tetap orisinil tetapi juga jujur dan berintegritas, sekalipun kita berkarya dengan bantuan
mesin.

8
Bincang Tematik II
MENULIS “YANG LAIN”: FIKSI DI ANTARA
KEBEBASAN KREATIF DAN APROPRIASI BUDAYA

Rabu, 8 November 2023


Pukul 14.30 – 16.30 WITA
Aula Thomas Aquinas, Kampus 1 Institut Filsafat dan Teknologi Kreatif Ledalero

Pembicara:
Mahfud Ikhwan, Penulis - Lamongan
Armin Bell, Penulis, Pemred bacapetra.co - Ruteng
Dian Purnomo, Penulis - Jakarta

Moderator:
Mariati Atkah, Penulis - Ternate

Serupa pelabuhan yang berfungsi sebagai pintu keluar-masuk, karya sastra merupakan medium
untuk meneroka lokus interaksi ragam manusia, budaya, dan gagasan. Pembaca menoleh pada
karya sastra, salah satunya, untuk keluar-masuk dan mengalami identitas yang lain—dalam
kategori ras, etnisitas, kelas, gender, seksualitas, atau bahkan kemampuan fisik dan mental.
Namun, representasi atas liyan bisa problematis karena ketidakcakapan teknis atau posisio-
nalitas penulis. Soal yang pertama, solusinya jelas. Soal yang kedua, acapkali memunculkan per-
tanyaan-pertanyaan lanjutan yang tak kalah pelik. Pertanyaan seperti siapa yang berhak menulis
tentang siapa dan dengan cara bagaimana, misalnya, lahir dari gugatan kritis atas praktek apro-
priasi budaya dalam penulisan karya sastra. Di sisi lain, apropriasi adalah satu dari sekian fondasi
karya sastra.

Penulis kerap keluar dari sekat pengalaman dan identitas pribadi untuk menciptakan semesta fiksi
yang berisi karakter-karakter atau suara-suara dengan atribut yang bukan “miliknya”. Jika kebe-
basan kreatif dibatasi, penulis hanya diizinkan menulis sebatas ras, etnisitas, kelas, gender,
seksualitas, atau atribut miliknya sendiri, apakah karya sastra mungkin dituliskan? Apakah, seba-
liknya, penulis bebas-bebas saja menulis tentang siapa dan apa pun yang mereka inginkan, dan
mereka hanya dituntut oleh satu prasyarat: menulis karya yang bagus?

9
Di hadapan sejarah panjang diskriminasi, ketimpangan struktural, dan bentuk-bentuk eksklusi
lainnya, sejauh mana keberatan pada apropriasi budaya valid untuk disuarakan? Dalam tegangan
demikian, bagaimana kita mendefinisikan apropriasi budaya secara memuaskan? Dapatkah kita
memetakan apropriasi budaya, mana praktek yang berterima, mana praktek yang nyata-nyata
menyinggung dan eksploitatif? Bagaimana penulis bersiasat, mengayun kebebasan kreatif di
antara titian licin apresiasi dan apropriasi budaya? Dalam satu kalimat: di era political corectness,
bagaimana penulis bisa melintas batas (transgress) tanpa kelewat batas (transgressing)?

10
Bincang Buku
BUKU DAN SPEKTRUM PENCIPTAAN
KARYA KREATIF

Rabu, 8 November 2023


Pukul 17.00-18.30
Pendopo Perpustakaan, Kampus 1 Institut Filsafat dan Teknologi Kreatif Ledalero

Pembicara:
Erich Langobelen, Penulis Buku Celengan dan Perasaan-perasaan Yang Menyusun Dirinya Sendi-
ri - Lewoleba
Rachmat Hidayat Mustamin, Penulis Buku Indeks Penghabisan Manusia (FYP: For Your Poetry) -
Makassar
Eka Putra Nggalu dan Dea, Editor dan Penulis Buku Aku dan Salonku - Maumere

Penanggap: Afrizal Malna, Sidoarjo

Moderator:
Julia Fitri Gerhani Arungan, Penulis - Mataram

Tiga buku yang akan dibincangkan ini membentangkan spektrum yang luas dan menarik untuk
didalami, terutama berkaitan dengan gagasan, teknik bercerita dan wacana yang ingin dilem-
parkan ke tengah-tengah pembaca. Celengan dan Perasaan-perasaan Yang Menyusun Dirinya
Sendiri adalah tipikal antologi puisi yang konvensional secara bentuk dan gagasan. Ia memuat
ragam puisi cinta yang menjadi pengalaman banyak orang. Meski begitu, teknik penulisan yang
bersumber dari pengalaman personal dan tradisi Katolik menawarkan gaya yang segar dari segi
artikulasi. Sementara itu, Aku dan Salonko adalah sebuah buku foto yang merekam kehidupan
waria di Maumere lewat potret dan wawancara mengenai salon. Dalam buku ini, salon tidak semata
ditempatkan sebagai situs ekonomi-domestik, tetapi juga situs sosial politik. Selanjutnya, buku
Indeks Penghabisan Manusia (FYP: For Your Poetry) memunculkan eksperimentasi yang menarik
dan berkarakter lintas disiplin, antara puisi, esai, berita, kutipan, seni visual, dan performance art.

11
Ruang Baca
BERLABUH DI SADANG BUI

Rabu, 8 Oktober 2023


Pukul 17.00-18.30
Kantin, Kampus I IFTK Ledalero

Pembicara:
Peserta Sayembara Pembaca

Moderator:
Maria Pankratia, Manager Program Flores Writers Festival - Ruteng

Di mana kita akan berlabuh pada lima belas atau dua puluh tahun yang akan datang? Itu pertanyaan
pertama. Kedua, akan seperti apa wajah pelabuhan itu? Untuk yang pertama, ada dua jawaban: 1) di
tempat kita ‘tinggal’ sekarang; 2) di tempat yang lain (jika kita tidak pernah kembali—meski itu agak
tidak mungkin). Sedangkan untuk yang kedua, jawabannya pasti: tidak lagi sama—kita juga tidak
akan sama lagi. Penyebabnya jelas, kita bergerak atau digerakkan atau terpapar; nasib kita
berubah.

Sejauh mana kita/tempat tinggal kita berubah, umumnya selaras dengan sejauh apa kita pergi. Di
Manggarai, terdapat ungkapan do lako do ita, do ita do baè, do baè do pandè (semakin jauh kita
pergi semakin banyak yang kita lihat, kita jadi lebih banyak tahu, dan lantas melakukan lebih
banyak hal).

Pertanyaan selanjutnya, apakah perjalanan akan membuat seseorang semakin jauh dari dirinya
sendiri atau akar budayanya? Jika itu yang terjadi maka bukan tidak mungkin kita akan ‘hilang’ atau
menjadi the others (liyan), sesuatu yang membuat kita kehilangan makna utama perjalanan yakni
menuju pulang yang lebih baik.

Tokoh-tokoh dalam cerita yang kita baca adalah mereka yang bergerak agar menjadi lebih baik
pada hari mereka akan pulang. TKI yang merantau ke Malaysia atau seorang perempuan mem-
berontak karena merasa terus tertindas atau seorang pria yang menanti jodohnya dikembalikan
Tuhan setelah ‘dipinjamkan sementara’ kepada orang lain atau tokoh-tokoh lain dengan
masing-masing pergumulannya.

12
Tentang apakah merantau, memberontak, menunggu, atau pergerakan lainnya benar-benar mem-
bawa mereka sampai ke ‘pulang yang lebih baik’ tentu saja adalah persoalan yang berbeda. Yang
pasti, setelah mengalami pergerakan, setiap tokoh akan melihat dunianya tidak lagi sama. Dan, kita
sebagai pembaca juga akan mengalaminya: sebab sekali kau mendengar cerita, duniamu tak lagi
sama.

Lalu seperti apa wajah pelabuhan yang baru itu: kita?

13
Pertunjukan Pembuka
SADANG BUI: BERSANDAR DAN MENANTI

Rabu, 8 Oktober 2023


Pukul 20.00-22 WITA
Halaman Depan Kapel Agung Ledalero

Penampilan:
BEM IFTK Ledalero
Knife & The Sunflower
Rocket Queen
Rockatenda
Moodbreaker

Pembacaan Karya:
Ama Gaspar
Tia Ragat
Mariati Atkah
Rio Nuwa
Rinto Djaga
Erich Langobelen
Rahmadiyah Tria Gayathri

14
15
16
HARI 2 - KAMIS, 9 NOVEMBER 2023

17
Bincang Tematik III
RANTAU: ULID MENGISI PELURU TANAH

Kamis, 9 November 2023


Pukul 10.00-12.30 WITA
Aula Nawacita Universitas Nusa Nipa Maumere

Pembicara:
Mahfud Ikhwan, Penulis - Lamongan
Julia F. Gerhani Arungan, Penulis - Mataram
Jemmy Piran, Penulis - Larantuka

Moderator:
Ama Gaspar, Penulis - Luwuk (Banggai)

Bagi sebagian kaum, merantau atau tidak merantau barangkali merupakan dilema budaya, perkara
struktural, atau bahkan problem eksistensial. Ada banyak alasan mengapa seseorang merantau.
Ada banyak cara seseorang mencapai tanah rantau. Ada banyak kemungkinan nasib seseorang
pasca merantau. Dan, tentu saja, ada banyak cerita tentang rantau. Dalam konteks Flores, migrasi
tradisional telah berlangsung lintas generasi selama puluhan tahun. Sebentuk translokalitas, orang
Flores Timur berbincang tentang Sabah di meja makan selayaknya kampung kedua. Belakangan,
setelah campur tangan negara, dibukalah jalur migrasi prosedural. Negara hadir, tapi masalah
seputar rantau tak otomatis berakhir. Atau negara, sebagai penjamin kesejahteraan sosial bagi
seluruh masyarakat, adalah bagian terbesar dari masalah itu sendiri?

Dari berbagai tempat di Indonesia, orang-orang muda pun merantau, bergerak antarwilayah dan
antarnegara dengan jalar-jalur migrasi yang kian dinamis. Prefiks trans- dalam translokalitas me-
nekankan makna antar—alih-alih, atau lebih dari sekadar, di antara dua titik—dan menyarankan
gagasan tentang fluiditas dan transformasi dari satu kondisi ke kondisi lain, serta mengisyaratkan
berbagai tegangan akibat hubungan, keterkaitan, dan kesalingtergantungan spasial.

Lantas, apa yang bisa kita pelajari dari fenomena rantau tersebut? Bagaimana karya sastra, sebagai
satu dokumen alternatif atas situasi sosial-budaya masyarakat, merespons tema rantau?

18
Dalam khazanah sastra Indonesia kontemporer, dari sekian banyak tawaran kisah yang memper-
soalkan tema rantau—termasuk yang bersinggungan dengan wacana migrasi, diaspora, hibriditas,
translokalitas, atau isu perdagangan orang—kita bisa mencermati karya Makhfud Ikhwan (Ulid),
Julia F. Gerhani Arungan (Ibuku Mengajari Bagaimana Mengisi Peluru), dan Jemmy Piran (Dalam
Pelukan Rahim Tanah).

Dari perbincangan tentang ketiga karya tersebut, dengan ragam kepengrajinan dan latar belakang
penulis yang berbeda, kita akan diajak untuk menyelami berbagai tokoh dan suara perantau, dalam
semesta kisah satiris dan brutal tetapi sekaligus menggugah rasa kemanusiaan kita.

19
Bincang Tematik IV
ZONA KONTAK: PERJALANAN, TEMPAT, DAN
SEJARAH ALTERNATIF

Kamis, 9 November 2023


Pukul 10.00 – 12.30 WITA
Universitas Nusa Nipa Maumere

Pembicara:
Fatris MF, Penulis - Padang
Mariati Atkah, Penulis - Ternate
Carlin Karmadina, Jurnalis, Penggiat Komunitas KAHE - Maumere
Komite Esperansa, Timor Leste

Moderator:
Valentino Luis, Kurator Flores Writers Festival

Dalam buku klasik Imperial Eyes: Travel Writing and Transculturation (Ed. 2, 2008), saat mengin-
vestigasi bagaimana tulisan perjalanan mengonstruksi imaji dunia di luar Eropa, Mary Louise Pratt
mencetuskan istilah zona kontak, yang merujuk pada ruang di mana orang-orang yang terpisah
secara geografis dan historis bertemu satu sama lain dan membangun hubungan yang
terus-menerus, yang biasanya melibatkan kondisi pemaksaan, ketimpangan radikal, dan konflik
yang tak kunjung usai. Alih-alih menggunakan istilah batas kolonial (colonial frontier)—yang di-
dasarkan pada perspektif ekspansionis Eropa, dan bersumber pada kisah-kisah penaklukan dan
dominasi yang diceritakan dari sudut pandang penjajah—untuk menjelaskan dinamika kuasa pada
ruang pertemuan imperium (the space of imperial encounters), ia menggunakan istilah zona kon-
tak untuk menekankan dimensi interaktif pada pertemuan itu, yakni dengan meletakkan
hubungan antara penjajah (colonizers) dan yang dijajah (colonized) atau pelancong (travelers) dan
yang dikunjungi (“travelees”) bukan dalam status keterpisahan, melainkan dalam kapasitas
kehadiran bersama (co-presence).

Di zona kontak, individu dari latar belakang yang berbeda bertemu, berinteraksi, dan terlibat dalam
transkulturasi, sebuah proses di mana budaya saling mempengaruhi dan mengubah satu sama lain.
Dengan demikian, selain menyimpan potensi kolaborasi, zona kontak juga menyimpan bibit
konflik: menjadi arena ketegangan dan penindasan karena budaya dominan sering kali menggu-
nakan kekuasaan atas budaya yang terpinggirkan.

20
Tenaga utama pendorong zona kontak—dahulu eksplorasi dan kolonisasi, kini migrasi dan
globalisasi—tampaknya berubah, tetapi logika imperium dan kontradiksi-kontradiksi yang
menyertainya telah tertanam sedemikian rupa sehingga tidak mudah dihapuskan begitu saja.
Dalam konteks tulisan perjalanan masa kini, bagaimana para penulis perjalanan memposisikan diri
mereka dalam hubungannya dengan orang-orang dan budaya yang mereka temui selama per-
jalanan? Jika Mary Louise Pratt mendefinisikan zona kontak sebagai “ruang sosial di mana budaya
bertemu, berbenturan, dan bergulat satu sama lain—sering kali dalam relasi kekuasaan yang
sangat asimetris”, sejauh mana tulisan perjalanan memperkuat atau menantang dinamika kekua-
saan di dalam zona kontak? Perjalanan kerap mendorong refleksi atas rumah dan rasa nyaman,
tetapi menimbulkan pula rasa keterasingan akibat retaknya identitas. Bagaimana penulis perjala-
nan menegosiasikan identitas dan bias budaya mereka sendiri saat berinteraksi dengan budaya
yang berbeda? Jika bisa dibuat semacam daftar, apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan penulis
perjalanan saat berinteraksi dengan budaya yang berbeda?

Selain interaksi budaya, kata kunci zona kontak adalah tempat atau lokasi. Tempat telah lama
menjadi sumber inspirasi bagi para penyair, bahkan sampai melahirkan genre puisi topografis
(topographical poetry atau topopoetry), yang berfokus pada deskripsi rinci atas lanskap atau lokasi
tertentu. Bawa para penyair ke tempat yang jauh dan asing, niscaya mereka tergerak untuk menu-
lis puisi tentang tempat-tempat yang mereka kunjungi itu. Puisi memiliki kapasitas untuk meng-
hidupkan tempat-tempat tertentu, untuk menginformasikan kepada pembaca tentang maknanya,
baik yang tampak di permukaan atau yang tersembunyi di lapisan nonfisik. Bagaimana penyair
mengekplorasi lapis-lapis sejarah dan kultural yang membentuk tempat tertentu? Zona kontak
mendorong dialog dan pemahaman antarbudaya, bagaimana puisi dapat mengundang pembaca
untuk terlibat dengan kompleksitas suatu tempat, mempertanyakan berbagai asumsi atas tempat
itu, dan menghargai keragaman dan kekayaan budaya yang berbeda? Saat menulis puisi tentang
tempat, apa kiat penyair dalam mengeksplorasi bagaimana budaya yang berbeda mempengaruhi
dan membentuk identitas lokal, dan bagaimana semua itu berkontribusi pada karakter unik tempat
tertentu?

Interaksi translokal dan zona kontak adalah konsep yang berkaitan erat. Ketika daerah atau ko-
munitas yang berbeda bertemu, baik melalui perdagangan, migrasi, atau bentuk interaksi lainnya,
sebuah zona kontak tercipta. Zona kontak ini menjadi ruang di mana perspektif, praktik, dan ga-
gasan budaya yang berbeda dapat dibagikan, dinegosiasikan, dan diubah. Dalam konteks kedeka-
tan kultural dan pola-pola interaksi yang berlangsung sejak lama di Flores, Timor, dan Timor Leste,
bagaimana spirit translokalitas dapat menantang gagasan tradisional tentang regionalisme atau
menciptakan identitas dan aliansi regional alternatif? Bagaimana imajinasi kawasan alternatif (al-
ternative regionalism) itu menantang narasi dan struktur kekuasaan yang dominan, yang tentu saja,
didukung oleh aparatus negara? Apakah upaya-upaya itu dapat membayangkan, mendorong, atau
menciptakan sebuah sejarah alternatif, yang menantang perspektif sejarah dominan dan mempro-
mosikan suara dan perspektif yang beragam? Persinggungan antara sejarah alternatif, transloka-
litas, dan zona kontak akan memberikan gambaran yang menarik dalam aspek pertukaran budaya
dan negosiasi bentuk-bentuk narasi kultural antarwilayah.

21
Bincang Tematik V:
PENGARSIPAN, MELABUHKAN JEJAK
KISAH MASA

Kamis, 9 November 2023


Pukul 14.00 – 16.00 WITA
Aula Nawacita Universitas Nusa Nipa, Maumere

Pembicara:
Arif Furqan, Seniman dan Fotografer, Unhistoried - Yogyakarta
Kartika Solapung, Seniman, Komunitas KAHE - Maumere
Nyong Franco, SikkaPedia - Maumere
Fatris MF, Penulisb - Padang

Moderator:
Eka Putra Nggalu, Komunitas KAHE - Maumere

Di samping perannya sebagai sumber informasi dan alat pengawasan yang dibutuhkan sebuah
organisasi dalam melakukan perencanaan, analisis data, pengembangan, perumusan kebijakan
hingga pengambilan keputusan, arsip juga lekat dengan dunia penulisan, baik karya sastra maupun
ilmiah. Dalam karya tulis, apabila cerita atau tema yang diangkat memiliki ketersangkutan
dengan peristiwa masa lalu/ sejarah, maka arsip menjadi penopang karya yang sangat krusial.
Seiring perkembangannya, peran-peran pengarsipan tidak lagi semata menjadi tugas dan tang-
gung jawab lembaga negara, tetapi juga masyarakat secara individual maupun kelompok. Ini kare-
na kesadaran yang kian tinggi terkait pendokumentasian jejak-jejak kisah masa sebuah daerah
atau komunitas masyarakat (memori kolektif).

Banyak penelitian baru-baru ini mengenai kearsipan komunitas berasumsi bahwa organisasi
kearsipan akar rumput yang independen lebih mampu menangani prioritas dan kebutuhan komu-
nitas lokal secara lebih langsung dibandingkan lembaga-lembaga universitas atau lembaga pe-
merintah. Arsip komunitas seringkali diposisikan sebagai tempat alternatif bagi kelompok-
kelompok yang terpinggirkan, diabaikan, atau dikucilkan dari lembaga-lembaga arus utama untuk
memanfaatkan sarana yang digunakan untuk mendokumentasikan masa lalu mereka dan terlibat
dalam representasi diri, konstruksi identitas, dan pemberdayaan.

Diskusi ini hendak mengurai tentang perjalanan pengarsipan, dan bagaimana kesadaran tersebut
‘memanggil’ kita untuk menjadi pelabuhan bagi jejak-jejak sejarah silam daerah/kota/komunitas,
dan adaptasinya dengan dunia digital.

22
Bincang Tematik VI:
PROSES KREATIF: AKURAT/SENGKARUT RISET
PENULISAN KARYA FIKSI

Kamis, 9 November 2023


Pukul 14.00 – 16.00 WITA
Aula Nawacita Universitas Nusa Nipa, Maumere

Pembicara:
Dian Purnomo, Penulis - Jakarta
Jemmy Piran, Penulis - Larantuka
Mahfud Ikhwan, Penulis - Lamongan
Afrizal Malna, Penulis - Sidoarjo

Moderator:
Erlyn Lasar, Penulis, Kurator Flores Writers Festival - Maumere

“Fiksi” umumnya dipahami sebagai karya sastra yang menyajikan peristiwa khayali. Ada keper-
cayaan tak tertulis bahwa karena fiksi didasarkan pada peristiwa atau kejadian imajiner, fiksi tidak
berhubungan dengan realitas, sehingga melakukan riset untuk sebuah novel, cerpen, atau puisi
tidaklah penting. Asumsi ini sama sekali tidak akurat. Kisah-kisah hebat cenderung berakar pada
situasi dan peristiwa aktual dan riset diperlukan untuk menangkap dan mencerap elemen-
elemen dunia nyata itu. Sejarah penulisan novel dipenuhi oleh paradoks: novel-novel paling
menarik dan menggugah berhasil menyajikan jalinan peristiwa imajiner secara realistis. Hal ini se-
bangun pula dengan definisi puisi dari penyair kenamaan Amerika Serikat, Marianne Moore: taman
khayali yang berisikan katak sungguhan. Dalam karya-karya terbaik itu, bahkan dalam fiksi fantasi
atau fiksi spekulatif, pembaca mengharapkan dan mengantisipasi realisme dalam kadar tertentu.
Bagi seorang penulis, tuntutan ini berarti riset ekstensif atas berbagai aspek penulisan fiksi, ter-
masuk konteks sosial-budaya, psikologi-perilaku karakter, dan detail historis. Pendeknya, riset
menopang karya fiksi dengan lebih banyak substansi dan realisme.

Persoalannya, barangkali, bagaimana memasukkan hasil riset ke dalam karya fiksi dengan bauran
yang pas, sehingga karya tersebut masih memantulkan kilau imajinasi dan invensi sekaligus men-
yajikan semesta kisah yang autentik dan dapat dipercaya? Bagaimana jika riset ekstensif itu justru
membangun batas-batas, mengekang kreativitas, dan menggelincirkan karya fiksi menjadi sema-
cam risalah akademik atau laporan jurnalistik? Riset memang esensial, tapi seberapa berbahaya
jika dilakukan dengan tidak bijaksana?

23
Alih-alih akurat, sengkarut hasilnya. Demikianlah, isu riset penulisan karya fiksi menarik untuk
diperbincangkan dan dielaborasi lebih jauh dengan berkaca pada pengetahuan dan pengalaman
penulis-penulis terbaik dari berbagai latar. Bagaimana mereka menyeimbangkan antara
kebutuhan riset dan kebutuhan cerita? Seberapa penting dan seberapa banyak mereka melaku-
kan riset? Jika ada, apa strategi terbaik dalam meriset? Kapan waktu terbaik menjalankan riset,
sebelum atau di tengah-tengah penulisan karya? Aspek-aspek keperajinan mana yang membu-
tuhkan riset? Bagaimana riset membantu penulis melampaui batas-batas pengalaman peribadi?
Bagaimana riset mendorong, atau justru menghambat, ide penulisan? Seberapa krusial riset dalam
menghindarkan penulis dari bias politis, stereotipe, atau misrepresentasi atas kelompok
masyarakat tertentu?

Singkatnya, mari simak saran dan peringatan tentang riset penulisan karya fiksi dari para praktisi
yang telah teruji.

24
Bincang Tematik VII:
BERLABUH KE TIMUR, VIA TUTUR PUAN

Kamis, 9 November 2023


Pukul 16.30-18.00 WITA
Halaman Depan Aula Nawacita, Universitas Nusa Nipa, Maumere

Pembicara:
Ama Gaspar, Penulis - Banggai
Mariati Atkah, Penulis - Ternate
Tia Ragat, Penulis, Komunitas Sastra Dusun Flobamora - Kupang
Julia F. Gerhani Arungan, Penulis - Mataram

Moderator:
AN Wibisana, Penulis, Kurator Flores Writers Festival - Tangerang

Publikasi puisi dan penerbitan buku para penyair perempuan dari Indonesia Timur dalam
rentang lima tahun terakhir menunjukkan perkembangan menarik. Bakat-bakat baru bermun-
culan. Visi kepenyairan yang segar sedang bertumbuh. Namun, dengan mengabaikan ketepatan
statistik—misalnya dengan membandingkan jumlah buku penyair laki-laki dan perempuan yang
terbit dalam periode tertentu atau memastikan rasio resensi atas buku penyair laki-laki dan
perempuan di media massa—cukup aman untuk mengatakan bahwa suara penyair perempuan
belum menjadi percakapan arus utama dalam khazanah puisi Indonesia mutakhir.

Tapi mengapa mesti penyair perempuan, bukankah puisi sejatinya nonbiner, tubuh majemuk, ru-
ang lapang bahasa yang tak bersekat-sekat?

Pertanyaan itu sekilas tampak logis, tapi si penanya barangkali luput membedakan antara natur
seni dan struktur produksi seni. Saat Hélène Cixous mencetuskan istilah ecriture feminine dalam
esai “The Laugh of the Medusa” (1976), ia memang mewanti-wanti bahwa penulisan
feminim bisa datang dari siapa saja, tidak eksklusif dari perempuan. Namun, Hélène pun berargu-
men bahwa perempuan selalu dalam posisi liyan dan berada di pinggiran dalam wacana falagosen-
tris. Ia berseru agar perempuan menulis, dan ecriture feminine secara tegas berupaya untuk
melawan struktur patriarki dengan memberi suara pada pengalaman dan perspektif perempuan.
Lebih penting lagi, penulisan feminim mengakui keragaman suara dan subjektivitas perempuan,
serta menentang ide tentang identitas perempuan yang tunggal-utuh.

25
Dengan kerangka pemahaman ecriture feminine, walaupun tidak ada karakteristik inheren yang
dapat disematkan pada tulisan semua perempuan, sejumlah gaya tutur dan wilayah eksplorasi
tematik tertentu dari penulis perempuan dapat dikenali, misalnya kecenderungan menolak nara-
si linear, gaya yang lebih cair dengan fragmen-fragmen asosiatif, sintaksis yang tidak biasa atau
eksplorasi tema hasrat & tubuh, hubungan & emosi, serta gender & identitas.

Lantas, bagaimana dengan gaya tutur dan orientasi tematik para penyair perempuan dari Indo-
nesia Timur? Visi kepenyairan apa yang hendak mereka tawarkan? Ruang suara seperti apa yang
hendak mereka bangun, atau rebut?

Mari bersandar sejenak ke Timur. Mari sama-sama singkap bagaimana interseksi dan konsolidasi
suara penyair perempuan dari Indonesia Timur melalui diskusi dan bincang proses kreatif bersama
Ama Gaspar, penulis buku Lagu Tidur (Gramedia Pustaka Utama, 2022), Julia F. Gerhani Arungan,
penulis buku Ibuku Mengajari Bagaimana Mengisi Peluru (Halaman Indonesia dan Akarpohon,
2021), Mariati Atkah, penulis buku Selama Laut Masih Bergelombang (Gramedia Pustaka Utama,
2020), dan Tia Ragat, penulis buku Kisah Cinta Kesekian (Gramedia Pustaka Utama, 2022).

26
Maumere Cinema
DARI SOPI HINGGA WISISI, NIKMAT APA LAGI
YANG KAU DUSTAKAN?

Kamis, 9 November 2023


Pukul 20.00-22.00 WITA
Aula - Universitas Nusa Nipa Maumere

Sailum
Dokumenter, 35 Menit, 2023, 18+
Kreator
Felix K. Nesi & Moses Parlindungan
Ompusunggu
Produksi
Project Multatuli

Wisisi Nit Meke


Dokumenter, 36 Menit, 2023
Kreator
Arief Budiman, Harun Rumbarar, Bony Lany
Produksi
Project Multatuli

27
Pembicara:
H.Y. Ferdi, Petani Muda, Maumere
Rahmadiyah Tria Gayathri, Seniman Forum Sudut Pandang - Palu

Moderator:
Rini Kartini, Dosen Prodi Ilmu Komunikasi Universitas Nusa Nipa - Maumere

Dua film yang diputar dalam program Maumere CINEMA ini menampilkan dua hal penting yang
jadi modal kultural paling kuat di daerah-daerah bagian Timur Indonesia: sopi dan musik.

Lewat film Sailum, sopi ditampilkan dalam dua sisi. Di satu sisi sopi jadi salah satu sumber mata
pencaharian warga tetapi di lain sisi, sopi sering diidentikan dengan penyebab berbagai keributan
dan kekacauan sosial. Sailum, dengan narasi-narasi ironis dan polemik berusaha menggali kembali
filosofi sopi lewat sejarah personal yang secara teliti dipakai untuk membangkitkan memori kolek-
tif mengenai kisah hidup pengiris lontar.

Sementara itu, Wisisi Nit Meke merekam bagaimana musik wisisi diciptakan, tumbuh, dan kemu-
dian merambah ke skena musik populer di Papua hingga berkembang ke wilayah Indonesia Timur
dan global. Wisisi menjadi salah satu media pengarsipan ragam musik tradisi yang diciptakan
kembali dengan instrumen dan tools modern. Negosiasi tradisi dan modernitas, pengetahuan
kolektif dan daya cipta individu, modal kultural dan determinasi ekonomi menjadi spektrum yang
menarik yang dihadirkan film ini.

Forum diskusi pasca pementasan akan menggali cerapan-cerapan personal terkait pengalaman
menonton kedua film tersebut.

28
HARI 3 - JUMAT, 10 NOVEMBER 2023

29
Diskusi Kelompok Terpumpun
SUAR, SUARA SEJAWAT:
FESTIVAL SEBAGAI PLATFORM PERTUKARAN
PENGETAHUAN BERWAWASAN KAWASAN

Jumat, 10 November 2023


Pukul 09.30 – 12.00 WITA
Kantin/Museum Bikon Blewut, Kampus 1 IFTK Ledalero

Peserta Aktif:
Ama Gaspar dan Fatwa Pratiwi Djalal (Festival Sastra Banggai), Maria Pankratia dan Retha Janu
(Flores Writers Festival), Rachmat Hidayat Mustamin (Makassar International Writers Festival),
Tia Ragat dan AN Wibisana (Festival Sastra Santarang), Aden Firman (Videoge, Labuan Bajo),
Marianus Nuwa (Komunitas KAHE, Maumere)

Pengamat dan Pembaca Kritis:


Afryantho Keyn (Rumpi Nuhalolon, Solor), Mario Gesiradja (FGL, Ende), Fernando Ximenes
(Komite Esperanza, Timor Leste)

Fasilitator:
Eka Putra Nggalu (Komunitas KAHE, Maumere)
Rahmadiyah Tria Gayathri (Forum Sudut Pandang, Palu)

Dalam satu dekade terakhir, ragam komunitas, kolektif, gerakan, dan inisiatif seni budaya tumbuh
subur di kawasan Indonesia Tengah (yang kerap secara geopolitik diidentikan dengan Indonesia
Timur). Di skena sastra, salah satu riak hilir yang muncul adalah ragam festival di beberapa tempat,
sebut saja Festival Sastra Santarang di Kupang, Makassar International Writers Festival di Makas-
sar, Festival Sastra Banggai di Banggai, Flores Writers Festival di Flores, dan lainnya. Tentu saja di
permukaan, festival-festival ini menyemarakan percakapan soal sastra dengan mimpi besar mem-
bangun ekosistem yang cukup stabil menopang para pemangku kepentingannya. Namun, jarak
antara cita-cita itu dengan kenyataan yang sedang berlangsung tentu saja diisi oleh ragam modus
dan spektrum motif yang tidak seluruhnya terbaca oleh publik (atau bahkan antar pelaku festival),
lengkap dengan kekuatan, kelemahan, peluang serta tantangan di tiap-tiap konteks lokalnya.
Forum Diskusi Terpumpun ini salah satunya berusaha memetakan lebih jauh ragam modus dan
spektrum motif tersebut untuk mencari kemungkinan-kemungkinan kerjasama dan keterhubun-
gan yang lebih jauh di masa yang akan datang.

30
Lebih jauh dari pada itu, festival sebagai sebuah platform pertemuan juga memungkinkan adanya
interaksi yang lebih bersifat interseksionalitas: merangkum ragam konteks, disiplin, isu, gagasan
dan wacana. Festival dengan seni dan budaya sebagai medianya bisa juga mendorong ide tentang
alternative regionalism, sebuah imajinasi tentang kawasan yang berpijak atas dasar persamaan
sejarah budaya, praktik serta gerakan sosial-sipil, dan solidaritas akan nilai-nilai kemanusiaan yang
melampaui historiografi geopolitik yang dibangun atas dasar sejarah penjajahan (militer), serta
mendorong terciptanya rekonsiliasi-rekonsiliasi akar-rumput tanpa melalui agensi negara, baik
pemerintahan lokal maupun modern nation state sebagai fenomena global.

31
Sesi Berbagi
PENYUNTINGAN DAN PENERJEMAHAN
DI PENERBIT LEDALERO

Jumat, 10 November 2023


Pukul 09.30 – 12.00 WIT
Pendopo Penerbit Ledalero, Kampus 1 IFTK Ledalero

Pembicara:
Yosef Maria Florisan, Maumere
Afrizal Malna, Sidoarjo

Moderator: Armin Bell

Kerja-kerja penyuntingan dan penerjemahan adalah hal krusial dalam dunia penerbitan. Di tengah
situasi penerbitan konvensional yang kian pasang surut, Penerbit Ledalero masih tetap konsisten
mempublikasikan buku-buku filsafat, teologi, ilmu sosial dan budaya, tidak terkecuali buku-buku
terjemahan dari berbagai bahasa di Eropa. Kerja penyuntingan dan penerjemahan lebih jauh adalah
usaha kontekstualisasi pengetahuan lintas bahasa dan situasi sosial budaya. Kerja penyuntingan
dan penerjemahan tidak sekedar kerja teknis-disiplin tetapi lebih dari pada itu ada kuasa memberi
makna dan arah bagi diseminasi gagasan tertentu untuk komunitas pembaca dan masyarakat ter-
tentu. Dengan begitu, kerja penyuntingan dan penerjemahan memiliki daya yang kuat bagi terse-
barnya ideologi atau gagasan tertentu dalam suatu medan produksi kebudayaan.

Sesi ini menghadirkan Yosef Maria Florisan, penyunting dan penerjemah dari Penerbit Ledalero
yang akan berbagi mengenai proses kreatif, mulai dari kurasi hingga distribusi buku-buku terjema-
han di Penerbit Ledalero. Afrizal Malna akan menanggapi Yosef Maria Florisan dengan berbagi
wawasannya tentang konteks sejarah dan geopolitik penerbitan di Indonesia serta bagaimana ia
melihat relevansi kerja-kerja penyuntingan dan penerjemahan terhadap desentralisasi pengeta-
huan di Indonesia terutama bagi ekosistem baca-tulis.

32
33
Pertunjukan Penutup
SIGA LORI LOLO

Jumat, 10 Oktober 2023


Pukul 20.00-22 WITA
Pantai Utara Kota Maumere

Penampilan:
Who’s that Girl,
Cru Father Said,
Postman,
Leisplang

Pembacaan Karya:
Rachmat Hidayat Mustamin
Afrizal Malna
Rizal Huku Lejap
Jemy Piran

34
RUNDOWN FLORES WRITERS FESTIVAL 2023

WAKTU PROGRAM PEMBICARA VENUE

Selasa, 7 November 2023

06.00 – 00.00 Kedatangan

19.00 Makan Malam Bersama

09.00 – 09.40 Pembukaan Flores Writers Festival Speech: Aula Thomas Aqui-
2023 Direktur FWF, Armin Bell nas, Kampus I
Rektor IFTK Ledalero, Institut Filsafat dan
Dr. Otto Gusti Madung Teknologi Kreatif
Plt. Kadis Disparbud, Kab. Sikka Ledalero
Even Edomeko

10.00 – 12.30 SEMINAR BUDAYA: Merefleksikan Dr. Otto Gusti Madung Aula Thomas Aqui-
Jejak Keterhubungan serta Inter- Rektor Institut Filsafat dan Te- nas, Kampus I
aksi Translokalitas di Flores, knologi Kreatif Ledalero, Institut Filsafat dan
Indonesia, dan Dunia Valentino Luis Teknologi Kreatif
Kurator Flores Writers Festival Ledalero
Modertor: Erlyn Lasar Anitha Silvia, Peneliti Independen
dan Aktivis di C20 Library
Fernando Ximenes
Komite Esperansa (Timor Leste)

12.30 – 13.30 Istirahat Makan Siang Aula Thomas


Aquinas/ VIP Room
(?)
13.30 - 14.30 Tur Perpustakaan Ledalero Perpustakaan Leda-
lero

14.30 – 16.30 Bincang Tematik I: Rachmat Hidayat Mustamin, Aula Clemens, Kam-
Artificial Intelligence dalam Makassar pus I Institut Filsafat
Proses Kreatif; Sebuah Dilema (?) Erlyn Lasar, Maumere dan Teknologi Kreatif
Tia Ragat, Kupang Ledalero
Moderator: Afrizal Malna, Sidoarjo
A.N Wibisana, Tanggerang

35
14.30 – 16.30 Bincang Tematik II: Pembicara: Pendopo Perpus-
Menulis “yang lain”: Fiksi di Dian Purnomo, Jakarta takaan, Kampus I
Antara Kebebasan Kreatif dan Mahfud Ikhwan, Lamongan Institut Filsafat dan
Apropriasi Budaya Armin Bell, Ruteng Teknologi Kreatif
Ledalero
Moderator: Mariati Atkah, Ternate

17.00 – 18.30 Bincang Buku Eka Putra Nggalu dan Dea, Pendopo Perpus-
Buku dan Spektrum Penciptaan Maumere takaan, Kampus I
Karya Kreatif Erich Langobelen, Lembata Institut Filsafat dan
Rachmat Hidayat Mustamin, Teknologi Kreatif
Moderator: Julia Gerhani Arungan, Makassar Ledalero
Mataram
Penanggap:
Afrizal Malna, Sidoarjo
17.00-18.30 Ruang Baca Yohan Mataubana Pendopo Penerbit
Berlabuh di Sadang Bui Yuan Jonta Ledalero, Kampus I
Hening Bayati IFTK Ledalero
Moderator: Maria Pankratia Pius Kraeng

18.30 – 19.30 Istirahat Makan Malam Kantin dan Pendopo


sekitar Museum

20.00-22.00 Malam Pembukaan Flores Writers Knife & The Sunflower Halaman Kapela
Festival 2023 Rocket Queen Agung Ledalero
SADANG BUI - BERSANDAR DAN Rockatenda
MENANTI Moodbreaker

Pembacaan Karya
Ama Gaspar, Tia Ragat, Mariati
Atkah, Rio Nuwa, Rinto Djaga,
Erich Langobelen, Rahmadiyah
Tria Gayatri

Kamis, 9 November 2023

10.00 – 12.30 Bincang Tematik III: Mahfud Ikhwan, Lamongan Aula Nawacita
Rantau: Ulid Mengisi Peluru Tanah Julia F. Gerhani Arungan, Mataram Universitas Nusa
Jemmy Piran, Larantuka Nipa, Maumere
Moderator: Ama Gaspar, Luwuk

10.00-12.30 Bincang Tematik IV: Fatris MF, Padang Aula Nawacita


Zona Kontak: Perjalanan, Tempat, Mariati Atkah, Ternate Universitas Nusa
dan Sejarah Alternatif Carlin Karmadina, Maumere Nipa, Maumere
Fernando Ximenes/Komite Espe-
Moderator: Valentino Luis, ransa, Timor Leste
Maumere

36 35
12.30 – 13.30 Istirahat Makan Siang Aula Nawacita
Universitas Nusa
Nipa, Maumere
14.00-16.00 Bincang Tematik V: Pengarsipan; Arif Furqan, Jogjakarta Aula Nawacita
Melabuhkan Jejak Kisah Masa Fatris MF, Padang Universitas Nusa
Kartika Solapung, Maumere Nipa, Maumere
Moderator: Nyong Franco, Maumere
Eka Putra Nggalu, Maumere

14.00 – 16.00 Bincang Tematik VI: Dian Purnomo, Jakarta Aula Universitas Nusa
Proses Kreatif: Akurat/Sengkarut Jemmy Piran, Larantuka Nipa Maumere
Riset Penulisan Karya Fiksi Mahfud Ikhwan, Lamongan
Afrizal Malna, Jakarta
Moderator: Erlyn Lasar, Maumere
16.30 – 18.00 Bincang Tematik VII: Ama Gaspar, Luwuk (Banggai) Halaman Depan Aula
Berlabuh ke Timur via Tutur Puan Tia Ragat, Kupang Nawacita Universitas
Mariati Atkah, Ternate Nusa Nipa/ Gramedia
Moderator: Julia F. Gerhani Arungan, Mataram Maumere
A.N Wibisana, Tangerang

18.30 – 19.30 Istirahat Makan Malam UNIPA

20.00 – 22.00 Maumere CINEMA H.Y. Ferdi, Maumere Halaman Depan Aula
Dari Sopi Hingga Wisisi, Nikmat Rahmadiyah Tria Gayathri, Palu Nawacita Universitas
Apa Lagi yang Kau Dustakan? Nusa Nipa/ Gramedia
Maumere
Moderator: Rini Kartini, Maumere

Jumat, 10 November 2023

09.30 - 12.00 Diskusi Kelompok Terpumpun Ama Gaspar dan Fatwa Pratiwi Kantin Museum
(FGD): Suar Suara Sejawat: Djalal (Festival Sastra Banggai), Bikon Blewut, Semi-
Festival Sastra/Seni Sebagai Maria Pankratia dan Retha Janu nari Tinggi St. Paulus
Platform Pertukaran Pengetahuan (Flores Writers Festival), Rachmat Ledalero
Berwawasan Kawasan Hidayat Mustamin (Makassar
International Writers Festival), Tia
Fasilitator Ragat dan AN Wibisana (Festival
Eka Putra Nggalu Sastra Santarang), Aden Firman
Rahmadiyah Tria Gayathri (Videoge, Labuan Bajo), Marianus
Nuwa (Komunitas KAHE, Maumere)

Peserta Observer (Komunitas):


Afryantho Keyn (Rumpi Nuhalo-
lon, Solor), Mario Gesiradja (FGL,
Ende), Fernando Ximenes (Komite
Esperansa, Timor Leste)

37
09.30 - 12.00 Sesi Berbagi Yoseph Maria Florisan, Maumere Pendopo Penerbit
Penyuntingan dan Penerjemahan Afrizal Malna, Sidoarjo Ledalero, Kampus I
di Penerbit Ledalero IFTK Ledalero
Moderator: Armin Bell, Ruteng
12.00-13.00 Istirahat Makan Siang Kantin Museum
Bikon Blewut, Semi-
nari Tinggi St. Paulus
Ledalero

13.00-17.30 Tur Budaya Pemandu


Valentino Luis
Maria Pankratia

17.30-20.00 Sunset & Barbeque Sea World Beach


Makan Malam

20.00 - 23.00 Malam Penutup Flores Writers Penampilan: Sea World Beach
Festival 2023 Who’s that Girl,
SIGA LORI LOLO Cru Father Said,
Postman,
Leisplang

Pembacaan Karya:
Rachmat Hidayat Mustamin
Afrizal Malna
Rizal Huku Lejap

Sabtu, 11 November 2023

06.00 - Selesai Kepulangan - Sayonara

38
DISELENGGARAKAN OLEH

BEKERJA SAMA DENGAN

DIDUKUNG OLEH
Flores Writers Festival
Perpustakaan Klub Buku Petra, Lantai II Apotek Wae Laku,
Karot, Ruteng, Nusa Tenggara Timur, Indonesia, 86511

Email: floreswritersfestival@gmail.com
Sosial Media: Flores Writers Feswtival

Anda mungkin juga menyukai