Anda di halaman 1dari 81

UPACARA KEMATIAN DI TANA TORAJA : RAMBU SOLO

Dikerjakan
O
L
E
H
Rotua Tresna Nurhayati Manurung
NIM 062204098

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


FAKULTAS SASTRA
PROGRAM NON GELAR D3 PARIWISATA
BIDANG KEAHLIAN USAHA WISATA
MEDAN
2009

Rotua Tresna Nurhayati Manurung : Upacara Kematian Di Tana Toraja : Rambu Solo, 2009.
USU Repository 2009

UPACARA KEMATIAN DI TANA TORAJA : RAMBU SOLO


KERTAS KARYA
Dikerjakan
O
L
E
H
Rotua Tresna Nurhayati Manurung
NIM 062204098
PEMBIMBING

Dr. Asmyta Surbakti, M.Si.


NIP. 131571760
Kertas karya ini diajukan kepada Panitia Ujian
Program Pendidikan Non Gelar Fakultas Sastra USU Medan
untuk melengkapi salah satu syarat Ujian Diploma III
dalam Program Studi Pariwisata

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


FAKULTAS SASTRA
PROGRAM NON GELAR D3 PARIWISATA
Rotua Tresna Nurhayati Manurung : Upacara Kematian Di Tana Toraja : Rambu Solo, 2009.
USU Repository 2009

BIDANG KEAHLIAN USAHA WISATA


MEDAN
2009
PENGESAHAN
Diterima Oleh :
Panitia Ujian Program pendidikan Non Gelar Sastra dan Budaya
Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara Medan untuk Melengkapi
Salah Satu Syarat Diploma III Dalam Bidang Studi Pariwisata
Pada

Hari

Tanggal

Fakultas Sastra USU Medan


Dekan,

Drs. SYAIFUDDIN, MA. Ph.D.


NIP 131098531

Panitia

Ujian

No.

Nama

Tanda Tangan

1.
2.
3.
4.

Dr. Asmyta Surbakti, M.Si.


( Pembimbing)
(
Drs. Parlaungan Ritonga, M.Hum. ( Pembaca )
(
Drs. Ridwan Azhar, M.Hum.
(Ketua Program)
(
Drs.Mukhtar Madjid, S.Sos,SE,Par,MA(Sekretaris Program)(

Rotua Tresna Nurhayati Manurung : Upacara Kematian Di Tana Toraja : Rambu Solo, 2009.
USU Repository 2009

)
)
)
)

Disetujui Oleh:
PROGRAM STUDI D-III PARIWISATA
FAKULTAS SASTRA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN

PROGRAM STUDI PARIWISATA


KETUA

Drs. Ridwan Azhar, M.Hum.


NIP. 131 124 058

Rotua Tresna Nurhayati Manurung : Upacara Kematian Di Tana Toraja : Rambu Solo, 2009.
USU Repository 2009

KATA PENGANTAR
Segala puji, hormat dan syukur hanya bagi Tuhan Yesus Kristus karena
telah menolong dan memberikan hikmat pada penulis sehingga penulis bisa
menyelesaikan kertas karya yang berjudul UPACARA KEMATIAN DI TANA
TORAJA : RAMBU SOLO. Hanya karena rahmat dan berkat-Nyalah maka
penulisan kertas karya ini akhirnya rampung.
Dalam menyelesaikan kertas karya ini penulis banyak mengalami suka
dan duka. Namun karena dukungan, bantuan, dorongan, dan motivasi dari banyak
pihak maka penulis kuat menghadapi hambatan dan kendala tersebut. Oleh
karena itu, dengan segala kerendahan hati penulis menyampaikan ucapan terima
kasih yang sebesar- besarnya kepada:
1.

Bapak Drs. Syaifuddin, MA., Ph.D., selaku Dekan Fakultas Sastra


Universitas Sumatera Utara.

2.

Bapak Drs. Ridwan Azhar, M.Hum, selaku Ketua Program Studi


Pariwisata Universitas Sumatera Utara.

3.

Bapak Drs. Mukhtar Madjid, S.Sos, SE,Par,MA selaku Sekretaris


Program Studi Diploma III Pariwisata Universitas Sumatera Utara.

4.

Bapak Drs. Solahudin Nasution selaku Dosen Koordinator Praktek


Jurusan Pariwisata Program Studi Usaha Wisata Fakultas Sastra
Universitas Sumatera Utara.

5.

Ibu Dr. Asmyta Surbakti, M.Si., selaku dosen pembimbing yang banyak
sekali memberi masukan dan arahan pada penulis hingga dapat
menyelesaikan kertas karya ini.

6.

Bapak Drs. Parlaungan Ritonga, M.Hum., selaku dosen pembaca, yang


rela meluangkan waktunya untuk membaca kertas karya ini sehingga
menjadi lebih baik.

7.

Dosen dan staf pengajar pariwisata, yang selama ini telah memberi
banyak ilmu pada penulis, khususnya buat almarhum Hazed Djoeli,
panutan dalam hatiku, I really love you, Sir.

Rotua Tresna Nurhayati Manurung : Upacara Kematian Di Tana Toraja : Rambu Solo, 2009.
USU Repository 2009

8.

Bapak tercinta, J. Manurung dan Mamak terkasih, H. E. Marpaung yang


sudah begitu sabar menunggu ananda pulang membawa ijazah. Maafkan
kegagalanku di masa lalu. Tuhan Yesus mengasihi kalian.

9.

Adik- adikku, Amelia, Naomi dan Dona, terimakasih buat sokongan


morilnya ya. God blezz you all sweetheart.

10.

Anak- anakku, Plo, UJ, Uci, Once, Lindung, Ok3, dan Pipis .

11.

Teman- teman di Pariwisata khususnya stambuk 06 .

12.

Yogi, Fiqi, Rico, Tipen, Budi, Faisal, Uci, Pipis, Nova, Arum, Dinda,
(team ekspedisi ke Pusuk Buhit ).

13.

Orang- orang yang tak bisa penulis sebutkan namanya satu per satu.
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan yang terdapat dalam

kertas karya ini, baik dari segi isi maupun penulisan. Harapan penulis, semoga
kertas karya ini menjadi suatu langkah awal dalam meningkatkan ilmu pariwisata
di masa mendatang.

Medan, 18 Maret 2009


Penulis

Rotua Tresna Nurhayati Manurung


Nim 062204098

Rotua Tresna Nurhayati Manurung : Upacara Kematian Di Tana Toraja : Rambu Solo, 2009.
USU Repository 2009

ABSTRAK
Dewasa ini kegiatan kepariwisataan sudah dianggap sebagai salah satu
aktivitas ekonomi dan alternatif dalam mengatasi pendapatan atau devisa negara,
bahkan ada satu negara di dunia ini menomorsatukan atau memprioritraskan
sector pariwisata misalnya Swiss yang pendapatan negaranya didominasi oleh
sektor pariwisata.
Di Indonesia pengembangan pariwisata menempati posisi ketiga setelah
sektor industri dan pertanian. Pengembangan pariwisata harusnya lebih giat
digalakkan sebab mengingat sumber daya alam yang melimpah serta pesona alam
kita yang indah dan didukung oleh kebudayaan yang beragam dan tentunya
memiliki keunikan tersendiri membuat kegiatan kepariwisataan berkesempatan
untuk mengatasi keadaan ekonomi kita yang semakin hari semakin terpuruk.
Wisata budaya mungkin salah satu menjadi solusinya disebabkan kita
memiliki keunikan budaya di setiap daerah yang didukung oleh keindahan alam.
Kita bisa berkaca pada sektor pariwisata di Bali yang wisata alam dan wisata
budayanya sama- sama maju akibatnya penduduk yang ada di sana hampir 99%
memilih terjun ke dalam sektor pariwisata. Bayangkan saja dengan satu paket
busana tradisional Bali seorang putri Bali memperoleh ratusan ribu rupiah per
harinya, dengan cara foto bersama wisatawan kemudian dengan sedikit keahlian
seni fotografi hasil dari foto tersebut dijual lagi pada wisatawan.
Tana Toraja dikenal dengan kegiatan pemakamannya yang tidak lazim
,yaitu dikubur dalam dinding gua. Hal ini bisa menjadi paket wisata yang
menarik bagi wisatawan domestik maupun mancanegara. Mengingat adanya
konsep dalam dunia pariwisata bahwa semakin besar perbedaan antara wisatawan
yang berkunjung dengan daerah yang dikunjungi, maka semakin besar daya
tariknya, karena semakin besar kemungkinan perubahan kebudayaan yang dituju.

Keywords : Pariwisata, kebudayaan, Tana Toraja

Rotua Tresna Nurhayati Manurung : Upacara Kematian Di Tana Toraja : Rambu Solo, 2009.
USU Repository 2009

DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ... i
ABSTRAK
. iii
DAFTAR ISI . iv
DAFTAR GAMBAR . vi
DAFTAR TABEL .. vii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
.....

1.2 Alasan Pemilihan Judul .

1.3 Pembatasan Masalah .....

1.4 Metode Penelitian ....

1.5 Tujuan Penulisan .....

1.6 Sistematika Penulisan ...

BAB II URAIAN TEORITIS TENTANG KEPARIWISATAAN


13.1 Apakah Pariwisata Itu ...
13.2 Pengertian Wisatawan

...

10

13.3 Klasifikasi Motif Wisata ..

13

13.4 Objek dan Atraksi Wisata .

15

13.5 Pengaruh Pariwisata Terhadap Kebudayaan ....

17

BAB III GAMBARAN UMUM TENTANG TANA TORAJA


3.1 Kabupaten Tana Toraja

19

3.2 Keadaan Umum Tana Toraja.

27

3.3 Topografi, Suku, Bahasa, Kondisi


Sosial Tana Toraja ......

29

3.3.1 Topografi Tana Toraja ..

29

3.3.2 Suku Toraja ....

34

3.3.3 Bahasa Toraja...

35

3.3.4 Kondisi Sosial Tana Toraja .

37

Rotua Tresna Nurhayati Manurung : Upacara Kematian Di Tana Toraja : Rambu Solo, 2009.
USU Repository 2009

3.4 Perjalanan ke Tana Toraja

37

BAB IV UPACARA ADAT RAMBU SOLO


4.1
4.2
4.3
4.4
4.5

Mitos .
Aluk .
Kesatuan Adat
Upacara Adat Rambu Solo ....................
Pemakaman ..
4.5.1 Tingkatan upacara Rambu Solo
4.5.2 Upacara tertinggi
4.6 Nilai Tradisi vs Keagamaan
4.7 Tempat Upacara Pemakaman Adat
4.7.1 Rante .
4.7.2 Lemo ..
4.7.3 Tampang Allo .
4.7.4 To'Doyan .
4.7.5 Patane Pong Massangka ..
4.7.6 Ta'pan Langkan
4.7.7 Sipore' .
4.8 Tau- Tau .

45
45
47
48
50
53
54
54
55
55
56

56
57
57
57
58
58

BAB V PENUTUP
5.1 Kesimpulan ..

59

5.2 Saran ..

60

DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
LAMPIRAN

Rotua Tresna Nurhayati Manurung : Upacara Kematian Di Tana Toraja : Rambu Solo, 2009.
USU Repository 2009

DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 2.1 : Sistem Pariwisata .

Gambar 2.2 : Struktur wisatawan menurut opini WTO

12

Gambar 2.3 : Sumber- sumber atraksi wisata

16

Gambar 3.1 : Logo Kabupaten Tana Toraja..

19

Gambar 3. 2: Peta Sulawesi Selatan

20

Gambar 3.3 Ibukota Kab.Tana Toraja..

23

Gambar 3.4 Tongkonan 1

..

24

Gambar 3.5 Tongkonan 2

..

24

Gambar 3.6 Tongkonan 3

..

25

Gambar 3.7 Tongkonan 4

25

Gambar 3.8 Kota kabupaten Tana Toraja

39

Gambar 3.9 Ketekesu .........................................................

41

Gambar 3.10 Bori

43

Gambar 3.11 Batutumonga

44

Gambar 4.1 Upacara Rambu Solo


Gambar 4. 2 Rante

Rotua Tresna Nurhayati Manurung : Upacara Kematian Di Tana Toraja : Rambu Solo, 2009.
USU Repository 2009

49
56

DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 3.1 Status Daerah, Letak
Geografis dan Topografi Desa ..

Rotua Tresna Nurhayati Manurung : Upacara Kematian Di Tana Toraja : Rambu Solo, 2009.
USU Repository 2009

30

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Budaya merupakan identitas dan komunitas suatu daerah yang dibangun
dari kesepakatan - kesepakatan sosial dalam kelompok masyarakat tertentu.
Budaya dapat menggambarkan kepribadian suatu bangsa sehingga budaya dapat
menjadikan ukuran bagi majunya suatu peradaban manusia. Menurut Drs. Joko
Tri Prasetya dalam bukunya Ilmu Budaya Dasar, kebudayaan = cultuur ( bahasa
Belanda) = culture ( bahasa Inggris) = tsaqafah (bahasa Arab), berasal dari
perkataan Latin colere, yang artinya mengolah, mengerjakan, menyuburkan, dan
mengembangkan, terutama mengolah tanah atau bertani. Dari segi arti ini
berkembanglah arti culture sebagai segala daya dan aktivitas manusia untuk
mengolah dan mengubah alam. Ditinjau dari sudut bahasa Indonesia,
kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta buddayah, yaitu bentuk jamak dari
buddhi yang berarti budi atau akal. Adapun ahli antropologi yang merumuskan
defenisi tentang kebudayaan secara sistematis dan ilmiah adalah E.B.Taylor,
yang menulis dalam bukunya yang terkenal Primitive Culture, bahwa
kebudayaan adalah keseluruhan yang kompleks, yang di dalamnya terkandung
ilmu pengetahuan , kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat dan
kemampuan yang lain, serta kebiasaan yang didapat oleh manusia sebagai
anggota masyarakat.
Defenisi lain dikemukakan oleh R. Linton dalam buku The Cultural
Background of Personality, bahwa kebudayaan adalah konfigurasi dari tingkah
Rotua Tresna Nurhayati Manurung : Upacara Kematian Di Tana Toraja : Rambu Solo, 2009.
USU Repository 2009

laku yang dipelajari dan hasil tingkah laku , yang unsur- unsur pembentukannya
didukung dan diteruskan oleh anggota dari masyarakat tertentu. Dalam tiap
masyarakat, baik yang kompleks maupun yang sederhana, ada sejumlah nilai
budaya yang satu dengan lain berkaitan hingga merupakan suatu sistem, dan
sistem itu sebagai pedoman dari konsep- konsep ideal dalam kebudayaan
memberi pendorong yang kuat terhadap arah kebudayaan masyarakatnya.
Bangsa Indonesia dengan keberagaman budayanya juga memiliki tradisi
terkait proses pemakaman anggota dari suatu kelompok pendukung kebudayaan
tertentu. Tiap daerah punya tradisi menghormati kematian. Dalam buku Agama
dan Upacara (2002 : 70- 107), beberapa diantaranya yaitu ngaben, merupakan
upacara pembakaran mayat di Bali; Sarimatua, upacara besar untuk menghormati
orang yang meninggal di Sumatera Utara; Fanoro, suatu upacara untuk
mengantar roh ke alam baka di Nias; Entas- entas, suatu upacara yang
berlangsung selama tiga hari untuk membantu roh orang mati kembali ke surga,
dilaksanakan oleh orang Tengger (orang Jawa Hindu); Tiwah, upacara
pemakaman bagi masyarakat Dayak di Kalimantan; Wetu Telu, upacara
mengantar jiwa ke alam baka, dilaksanakan oleh orang Sasak di Pulau Lombok;
Jipae, pesta yang diadakan beberapa tahun setelah orang tersebut mati, dan
berlangsung selama berbulan- bulan, dilaksanakan oleh suku Asmat di Irian;
Tutus, tempat duduk untuk upacara pemakaman terakhir orang- orang yang
dihormati, dilaksanakan oleh orang Rote di Pulau Timor; dan Rambu Solo, di
Tana Toraja, adalah sebuah upacara pemakaman secara adat yang mewajibkan
Rotua Tresna Nurhayati Manurung : Upacara Kematian Di Tana Toraja : Rambu Solo, 2009.
USU Repository 2009

keluarga almarhum membuat sebuah pesta sebagai tanda penghormatan terakhir


pada mendiang yang telah pergi.
Masyarakat Toraja sejak dahulu dikenal sebagai masyarakat religius dan
memiliki integritas yang tinggi dalam menjunjung tinggi budayanya. Menurut
Suhamihardja dalam bukunya Adat Istiadat dan Kepercayaan Sulawesi Selatan,
(1977: 29), suku bangsa Toraja terkenal sebagai suku bangsa yang masih teguh
memegang adat. Setiap pekerjaan mesti dilaksanakan menurut adat, karena
melanggar adat adalah suatu pantangan dan masyarakat memandang rendah
terhadap perlakuan yang memandang rendah adat itu. Apalagi dalam kelahiran,
perkawinan, kematian, upacara adat tidak boleh ditinggalkan. Pada umumnya
upacara adat itu dilakukan dengan besar- besaran, sehingga orang luar akan
menaruh kesan sebagai pemborosan kekayaan, sedangkan bagi masyarakat
Toraja sendiri hal itu sudah seharusnya. Karena anggapan mereka apabila
upacara itu diadakan semakin meriah, semakin banyak harta dikorbankan untuk
itu, semakin baik. Dan gengsi sosial bagi orang yang bersangkutan akan semakin
tinggi, status naik dan terpuji dalam pandangan masyarakat. Kebanyakan yang
melakukan hal itu adalah golongan orang- orang bangsawan.
Waktu untuk melakukan upacara memang sangat lama. Namun, upacara
kematian yang juga merupakan suatu paket wisata ini tetap banyak diminati
wisatawan padahal biaya untuk masuk lokasi ini saja tidak sedikit. Wisatawan
domestik maupun mancanegara tertarik untuk melihat pola kehidupan masyarakat
Tana Toraja terutama dalam hal upacara kematian. Bagaimana tidak, biasanya
orang mati dikuburkan di tanah. Tetapi, secara mengagumkan kebudayaan Tana
Rotua Tresna Nurhayati Manurung : Upacara Kematian Di Tana Toraja : Rambu Solo, 2009.
USU Repository 2009

Toraja malah menguburkan mayat di atas bukit. Rambu Solo memang layak
diperkenalkan pada wisatawan di luar Tana Toraja.

Karena itulah penulis

mengangkat judul UPACARA KEMATIAN DI TANA TORAJA : RAMBU


SOLO
1.2 Alasan Pemilihan Judul
Adapun alasan penulis dalam memilih judul kertas karya ini adalah :
1.

Sebagai seorang mahasiswa Program Studi Pariwisata Jurusan Usaha


Wisata Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara merasa tertarik untuk
mengangkat topik ini.

2.

Topik ini belum pernah dibahas secara mendetail selama penulis


mengikuti perkuliahan.

3.

Sebagai sumbangsih penulis pada dunia kepariwisataan Sulawesi Selatan


khususnya dan pariwisata nasional pada umumnya.

4.

Untuk menumbuhkan rasa cinta terhadap budaya Toraja yang unik yang
pada hakekatnya banyak mengandung nilai-nilai seni dan religius yang
tinggi.

1.3 Pembatasan Masalah


Pada umumnya setiap karya tulis perlu dibuat pembatasan masalah supaya
tujuan pembahasan tetap terarah dan tidak meyimpang dari target yang
dibicarakan. Pembatasan masalah sangat berguna mengingat budaya di Tana
Toraja memilki aspek yang begitu luas.

Rotua Tresna Nurhayati Manurung : Upacara Kematian Di Tana Toraja : Rambu Solo, 2009.
USU Repository 2009

Untuk menghindari kekeliruan dalam penulisan kertas karya ini, maka


penulis memfokuskan kertas karya ini pada budaya Rambu Solo yang berpotensi
untuk dikembangkan sebagai objek wisata budaya .
1.4 Metode Penelitian
Dalam menyelesaikan kertas karya ini, penulis hanya

menggunakan

metode penelitian perpustakaan ( Library Research) yaitu pengumpulan data


dengan memanfaatkan buku- buku perpustakaan, diktat, dan majalah yang ada
hubungannya dengan kertas karya ini. Selain itu penulis juga menggunakan
media internet sebagai tambahan materi pada kertas karya ini. Penulis tidak bisa
melakukan observasi langsung ke Tana Toraja mengingat jarak yang jauh. Di
samping itu penulis tinggal di daerah yang tidak terdapat suku tersebut.
1.5 Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan kertas karya ini adalah :
1.

Sebagai salah satu syarat dalam meyelesaikan perkuliahan pada Program


Studi Diploma III Pariwisata, Fakultas Sastra, Universitas Sumatera
Utara.

2.

Menjelaskan beberapa peninggalan sejarah suku Tana Toraja kepada para


pembaca.

3.

Untuk mengetahui sejauh mana peran penduduk setempat dalam menjaga


dan melestarikan kebudayaan tersebut.

4.

Untuk mengetahui asal- usul serta aktivitas penduduk Tana Toraja pada
zaman dahulu.

Rotua Tresna Nurhayati Manurung : Upacara Kematian Di Tana Toraja : Rambu Solo, 2009.
USU Repository 2009

5.

Sebagai perbandingan antara teori yang diperoleh selama mengikuti


perkuliahan selama 5 semester di program studi pariwisata dan
pengalaman di lapangan.

6.

Memperkaya wawasan pembaca akan kebudayaan suku di Indonesia.

1.6 Sistematika Penulisan


Untuk memudahkan penulisan kertas karya ini, penulis merasa perlu
membuat sistematika penulisan yang merupakan dasar penguraian selanjutnya.
Adapun sistematika tersebut adalah sebagai berikut:
BAB I

: PENDAHULUAN
Pada bab ini penulis menguraikan tentang latar belakang, alasan
pemilihan judul, pembatasan masalah, metode penelitian, tujuan
penulisan, dan sistematika penulisan.

BAB II

: URAIAN TEORITIS KEPARIWISATAAN


Pada bab ini penulis menguraikan tentang apakah pariwisata itu,
pengertian wisatawan, klasifikasi motif wisata, objek dan atraksi
wisata, dan pengaruh pariwisata terhadap kebudayaan.

BAB III

: GAMBARAN UMUM TENTANG TANA TORAJA


Pada bab ini penulis menguraikan tentang

Kabupaten Tana

Toraja, keadaan umum Tana Toraja, Topografi, suku, bahasa,


kondisi sosial Tana Toraja, dan perjalanan ke Tana Toraja.

Rotua Tresna Nurhayati Manurung : Upacara Kematian Di Tana Toraja : Rambu Solo, 2009.
USU Repository 2009

BAB IV

: UPACARA ADAT RAMBU SOLO


Pada bab ini penulis menguraikan tentang mitos, aluk, kesatuan
adat, upacara adat Rambu Solo, pemakaman,

nilai tradisi vs

keagamaan, tempat upacara pemakaman adat, dan tau- tau.


BAB V

: PENUTUP
Pada bab ini penulis menguraikan tentang kesimpulan dan saran.

Rotua Tresna Nurhayati Manurung : Upacara Kematian Di Tana Toraja : Rambu Solo, 2009.
USU Repository 2009

BAB II
URAIAN TEORITIS TENTANG KEPARIWISATAAN
2.1 Apakah Pariwisata Itu
Istilah pariwisata konon untuk pertama kali digunakan oleh mendiang
Presiden Soekarno dalam suatu percakapan sebagai padanan dari istilah asing
tourism (sumber: Soekadijo, Anatomi Pariwisata, 1997: 1) . Sementara itu apa yang
dimaksud dengan pariwisata itu harus disimpulkan dari cara orang menggunakan

istilah itu.
Selain defenisi di atas, Marpaung dalam bukunya Pengetahuan
Kepariwisataan (2002: 13) mengatakan bahwa pariwisata ialah perpindahan
sementara yang dilakukan manusia dengan tujuan keluar dari pekerjaanpekerjaan rutin, keluar dari tempat kediamannya. Aktivitas dilakukan selama
mereka tinggal di tempat yang dituju dan fasilitas dibuat untuk memenuhi
kebutuhan mereka. perjalanan pariwisata ialah perjalanan untuk keluar dari
keadaan biasanya dan ini dipengaruhi oleh keberadaan ekonomi, fisik dan
kesejahteraan sosial wisatawan yang akan melakukan kegiatan wisata. Harapan
dan penyesuaian dibuat oleh penduduk yang menerima mereka dan terdapat peran
pengantara dan instansi pengelola perjalanan wisata menjadi penengah antara
wisatawan dan penduduk di daerah tujuan wisata.
Masih menurut Marpaung, pengelolaan kegiatan pariwisata sangat
diperlukan dalam rangka menahan wisatawan untuk tinggal lebih lama di daerah
Rotua Tresna Nurhayati Manurung : Upacara Kematian Di Tana Toraja : Rambu Solo, 2009.
USU Repository 2009

tujuan wisata dan bagaimana agar wisatawan membelanjakan uang sebanyakbanyaknya selama melakukan perjalanan wisata. Makin lama wisatawan berada
di suatu tempat sudah pasti pengeluaran mereka ssemakin banyak.
Untuk mengamati lebih lanjut, maka perlu dikenali sistem yang terjadi
dalam penyelenggaraan kepariwisataan yang memperlihatkan proses pergerakan
wisatawan dari daerah aslinya menuju daerah tujuan wisata, seperti gambar di
bawah ini:

Gambar 2.1 : Sistem Pariwisata

Lingkungan
( fisik, sosbud, pol)
Kunjungan
wisatawan

Daerah Asal
Daerah
Wisata Asal
Wisata

Kembalinya
Wisatawan

Industri yang melayani:

Jasa Perantara

Tiket
Pemandu Wisata
Pemasaran & promosi

Transportasi
Komunikasi

Daerah
Tujuan
Wisata

Industri yang melayani:


Akomodasi
Transportasi
Makan minum
Hiburan

Sumber: Lepier dalam Marpaung, 2002.


Sistem kepariwisataan yang kompleks ini menurut pengelola usaha
pariwisata

mampu

mengontrol perubahan-

perubahan

yang

terjadi

di

lingkungannya, mengelola sumber daya manusia yang mampu menjaga mutu


produk, dan menjaga karakterisitik pariwisata yang akan datang ke daerahnya.

Rotua Tresna Nurhayati Manurung : Upacara Kematian Di Tana Toraja : Rambu Solo, 2009.
USU Repository 2009

Dari model yang sederhana di atas, dapat dilihat bahwa kepariwisataan


dapat dipandang sebagai suatu jajaran dari seluruh individu, perusahaan,
organisasi, dan pengantar dari suatu kegiatan wisata. Kepariwisataan merupakan
suatu pemahaman dan pendekatan multidimensi dengan aktivitas- aktivitas yang
melibatkan kehidupan dan kegiatan- kegiatan ekonomi yang berbeda, sehingga
tidaklah berlebihan apabila pendefenisian kepariwisatan sulit untuk dibakukan.
2.2 Pengertian Wisatawan
Menurut Oxford English Dictionary (1933: 190) defenisi dari wisatawan
(tourist) adalah orang yang melakukan perjalanan , terutama yang melakukannya
untuk rekreasi ; orang yang melakukan perjalanan untuk kesenangan dan
kebudayaan, orang yang mengunjungi sejumlah tempat untuk melihat- lihat
objek- objek wisata dengan pemandangan yang menarik atau hal- hal lain dengan
tujuan yang sama.
Defenisi Liga Bangsa- Bangsa dalam buku Anatomi Pariwisata (1997:
14) menyebutkan bahwa orang yang termasuk wisatawan ialah orang yang
mengadakan perjalanan untuk bersenang- senang (pleasure), karena alasan
keluarga, kesehatan dan sebagainya, orang yang mengadakan perjalanan untuk
mengunjungi pertemuan- pertemuan atau sebagai utusan (ilmiah, administratif,
diplomatik, keagamaan, atletik dan sebagainya), orang yang mengadakan
perjalanan bisnis, dan orang yang datang dalam rangka pelayaran pesiar (sea
cruise), juga kalau ia tinggal kurang dari 24 jam.

Rotua Tresna Nurhayati Manurung : Upacara Kematian Di Tana Toraja : Rambu Solo, 2009.
USU Repository 2009

Menurut Soekadijo dalam buku Anatomi Pariwisata (1997: 17) dicatat


bahwa dalam instruksi Presiden RI No. 9 tahun 1969, tertulis dalam Bab 1 pasal
1, wisatawan (tourist) adalah setiap orang yang bepergian dari tempat tinggalnya
untuk berkunjung ke tempat lain untuk menikmati perjalanan dalam kunjungan
itu. Defenisi ini telah mencakup wisatawan dalam dan luar negeri namun tidak
memberi batas waktu kunjungannya. Untuk tujuan praktisnya, Departemen
Pariwisata, seperti yang tercatat dalam buku Pengetahuan Kepariwisataan (2002
:37) menggunakan defenisi wisatawan sebagai berikut Wisatawan bisa saja
adalah setiap orang yang melakukan perjalanan dan menetap untuk sementara
waktu di tempat lain selain tempat tinggalnya, untuk salah satu atau beberapa
alasan, selain mencari pekerjaan.
WTO dalam buku Pengetahuan Kepariwisataan (2002 : 36) memberi
defenisi tentang wisatawan yaitu: pengunjung ialah setiap orang yang
berkunjung ke suatu negara lain dimana ia mempunyai tempat kediaman, dengan
alasan melakukan perjalanan yang diberikan oleh negara yang dikunjunginya
dan wisatawan ialah setiap orang yang bertempat tinggal di suatu negara tanpa
memandang kewarganegaraannya, berkunjung ke suatu tempat pada negara yang
sama untuk jangka waktu lebih dari 24 jam yang tujuan perjalanannya dapat
diklasifikasikan yaitu memanfaatkan waktu luang untuk berekreasi, liburan,
kesehatan,pendidikan, keagamaan dan olahraga; bisnis atau mengunjugi kaum
keluarga.

Rotua Tresna Nurhayati Manurung : Upacara Kematian Di Tana Toraja : Rambu Solo, 2009.
USU Repository 2009

Gambar 2.2 : Struktur wisatawan menurut opini WTO

LIBUR
AN

PEJALAN
WISATA
TIDAK
TERMASUK
DALAM
STATISTIK

BISNIS

BELA
JAR

MASUK
DALAM
DAFTAR
STATISTIK

MISI
DIPLO
MATIK

PENGUN
JUNG

KUNJU
NGAN
KE
WAR
GANE
GA
RAAN

MAKSUD
KUNJUNGAN

PENGUNGSI

IMIGRASI

8.ANGGOTA TENTARA

NOMAD (TDK PUNYA


TEMPAT TINGGAL)

7. PENUMPANG
TRANSIT

PEKERJA PENDAPAT
AN

Rotua Tresna Nurhayati Manurung : Upacara Kematian Di Tana Toraja : Rambu Solo, 2009.
USU Repository 2009

6.KRU

LAINLAIN

5.PENGUNJUNG

2. KRU/
ANGG
O TA

4.PENUMPANG

BANGSA
ASING

NON
RESIDEN

OLAHRA
GA

3.EKS
KURSI

1.WISATA
WAN

Keterangan:
1.

Pengunjung yang diam kurang lebih satu malam di negara tempat


berkunjung.

2.

Kru pesawat udara yang berlabuh lebih dari satu malam dan memakai
akomodasi di negara tempat berkunjung.

3.

Pengunjung yang tidak tinggal lebih dari satu malam , meski dapat
berkunjung lebih dari satu malam dan kembali ke kapalnya untuk
menginap.

4.

Ekskursi

5.

Pengunjung yang tinggal diam dan pergi pada hari yang sama.

6.

Kru yang tinggal sehari semalam

7.

Pekerja

8.

Transit

9.

Pengunjung sebagaimana yang didefenisikan dengan konfrensi Roma.

2.3 Klasifikasi Motif Wisata

Rotua Tresna Nurhayati Manurung : Upacara Kematian Di Tana Toraja : Rambu Solo, 2009.
USU Repository 2009

IMIGRASI PERMANEN

9.DIPLOMAT

9.PERWAKILAN

Sumber: Marpaung , 2002.

Untuk mengadakan klasifikasi motif wisata harus diketahui semua atau


setidak- tidaknya semua jenis motif wisata . Akan tetapi tidak ada kepastian
apakah semua jenis motif wisata telah atau dapat diketahui. Tidak ada kepastian
bahwa apa yang dapat diduga telah menjadi motif wisata atau telah terungkap
dalam penelitian- penelitian motivasi wisata (motivation research) itu sudah
meliputi semua kemungkinan motif perjalanan wisata. Dalam buku Tourism,
Principles, Practises, Philosophies, (1972 : 52), McIntosh menyatakan bahwa
pada hakikatnya motif orang untuk mengadakan perjalanan wisata itu tidak
terbatas dan tidak dapat dibatasi. Beliau mengklasifikasikan motif- motif wisata
yang dapat diduga itu menjadi empat kelompok, yaitu:
1.

Motif fisik, yaitu motif- motif yang berhubungan dengan kebutuhan


badaniah, seperti olahraga, istirahat, kesehatan, dan sebagainya.

2.

Motif budaya, yang harus diperhatikan disini adalah yang bersifat budaya
itu motif wisatawan, bukan atraksinya. Atraksinya dapat berupa
pemandangan alam, flora dan fauna, meskipun wisatawan dengan motif
budaya itu sering datang di tempat tujuan wisata untuk mempelajari atau
sekedar mengenal dan memahami tata cara dan kebudayaan bangsa atau
daerah lain: kebiasaannya, kehidupannya sehari- hari, kebudayaannya
yang berupa bangunan, musik, tarian dan sebagainya.

3.

Motif interpersonal, yang berhubungan dengan keinginan untuk bertemu


dengan keluarga, teman, tetangga, atau berkenalan dengan orang- orang
tertentu atau berjumpa, atau sekedar dapat melihat tokoh- tokoh terkenal,
penyanyi, penari, bintang film, tokoh- tokoh politik dan sebagainya.

Rotua Tresna Nurhayati Manurung : Upacara Kematian Di Tana Toraja : Rambu Solo, 2009.
USU Repository 2009

4.

Motif status atau motif prestise. Banyak orang beranggapan bahwa orang
yang pernah mengunjungi tempat- tempat lain itu dengan sendirinya
melebihi sesamanya yang tidak pernah bepergian. Orang yang pernah
bepergian ke daerah lain dianggap atau dengan sendirinya naik gengsinya,
naik statusnya. Dalam wisata aktif, motif prestise ini sangat penting untuk
negara- negara berkembang atau negara bekas jajahan.
Klasifikasi McIntosh tersebut sudah tentu dapat disubklasifikasikan

menjadi kelompok- kelompok motif yang lebih kecil. Motif- motif yang lebih
kecil itu oleh WTO digunakan untuk menentukan tipe perjalanan wisata.
Misalnya tipe wisata rekreasi, wisata olahraga, wisata ziarah, wisata kesehatan.
Disamping cara itu juga ada kebiasaan untuk menentukan perjalanan wisata
berdasarkan modal atraksi wisata misalnya wisata alam, wisata bahari dan
sebagainya.
2.4 Objek dan Atraksi Wisata
Objek wisata adalah suatu bentukan dan atau aktivitas maupun fasilitas
yang berhubungan dan dapat menarik wisatawan atau pengunjung untuk datang
ke daerah tertentu. Daya tarik yang tidak atau belum dikembangkan semata- mata
hanya merupakan sumber daya potensial dan belum dapat disebut sebagai daya
tarik wisata, sampai adanya suatu

jenis

pengembangan tertentu dari

kunjungannya.Objek dan daya tarik wisata merupakan dasar bagi kepariwisataan.


Pariwisata biasanya akan dapat lebih berkembang jika mempunyai lebih dari satu
jenis objek wisata.
Rotua Tresna Nurhayati Manurung : Upacara Kematian Di Tana Toraja : Rambu Solo, 2009.
USU Repository 2009

Dalam buku Pengetahuan Kepariwisataan (2002:80) dijelaskan bahwa


objek wisata dapat dibagi dalam dua kategori yaitu objek wisata alam dan objek
wisata sosial budaya. Objek wisata alam adalah daerah tujuan wisata yang berasal
dari Sang Pencipta. Objek wisata alam meliputi pantai, wisata tirta/ bahari,
pegunungan, daerah liar dan terpencil, taman dan daerah konservasi, dan health
resort.
Sedangkan yang termasuk objek wisata sosial budaya meliputi
peninggalan sejarah kepurbakalaan dan monumen seperti penelitian bawah air,
industri arkeologi, dan taman- taman bersejarah; museum dan fasilitas budaya
seperti museum sejarah, etnologi, sejarah alam, seni dan kerajinan, ilmu
pengetahuan, ilmu dan teknologi atau tema khusus lainnya.
Atraksi wisata akan dijelaskan melalui gambar berikut ini:
Gambar 2.3 : Sumber- sumber atraksi wisata
Attractions

Cultural
Attractio

Natural
Attraction

Historica
l sites

Landscape

Event

Recreation

Mega- events

Sightseeing

Entertainment
Attaction

Theme Parks

Park
Swimming
Community

Architecture

Mountains

Golf

Festivals

Amusement
Casinos
Parks

Tennis
Cuisine

Flora

Religious Events

Rotua Tresna Nurhayati Manurung : Upacara Kematian Di Tana Toraja : Rambu Solo, 2009.
USU Repository 2009

Cinemas

Monuments

Hiking

Fauna

Shopping
Facilities

Sports Events
Museums

Biking

Coasts
Ethnic

Trade Shows
Islands
Snow Sports

Sumber: Marpaung, 2002.

2.5. Pengaruh Pariwisata terhadap Kebudayaan


Kebudayaan manusia antara lain terdiri dari kepercayaan, nilai, sikap dan
kelakuan, semua itu bagian dari masyarakat yang dilewati dari satu generasi ke
generasi lain. Kebudayaan diwujudkan dengan cara yang berbeda seperti dalam
pekerjaan, pakaian, arsitektur, kerajinan, sejarah, budaya, bahasa, pendidikan,
tradisi, kegiatan mengisi waktu luang, kesenian, musik dan kesukaran lainnya.
Proses pengembangan kebudayaan dan terpengaruhnya kebudayaan asli
akan membuat kebudayaan tersebut utama beradaptasi dengan perubahan zaman.
Proses ini dalam kepariwisataan diakibatkan karena terjadi kontak antara dua
pendukung kebudayaan yang mempunyai kebudayaan yang berbeda pula. Dalam
proses, kedua masyarakat ini mulai berubah.
Pengunjung yang datang ke sebuah daerah dapat menikmati makanan
tradisional dari daerah tersebut dan ketika kembali ke tempat asal mereka
Rotua Tresna Nurhayati Manurung : Upacara Kematian Di Tana Toraja : Rambu Solo, 2009.
USU Repository 2009

kadang- kadang membuat makanan yang sama seperti yang telah mereka makan
selama liburan. Masyarakat setempat juga sering mempunyai keinginan untuk
meniru pakaian turis yang datang, yang pernah mereka lihat. Proses kebudayaan
saling meminjam atau saling mempengaruhi tersebut melahirkan suatu produk
budaya baru.
Biasanya penerimaan ini terjadi ketika kebudayaan yang mempengaruhi
lebih kuat dari kebudayaan lokal yang dipengaruhi. Namun, ada pula kalanya
ketika kebudayaan lokal yang lebih kuat mempengaruhi budaya impor. Pengaruh
pariwisata terhadap kebudayaan ini dapat dilihat secara kasat mata di Bali,
khususnya di sekitar pantai diseputar pulau dewata itu.
Menurut Koentjaraningrat dalam bukunya Ilmu Antropologi (1980 : 254),
dalam kebudayaan kita dikenal proses difusi, akulturasi dan asimilasi. Proses
difusi adalah persebaran manusia. Ilmu paleoantropologi telah memperkirakan
bahwa makhluk manusia terjadi di suatu daerah tertentu di muka bumi , yaitu
daerah sabana tropikal di Afrika Timur, sedangkan sekarang makhluk itu
menduduki hampir seluruh muka bumi ini dalam segala macam lingkungan iklim.
Selain itu juga ada akulturasi, yaitu proses sosial yang timbul bila suatu
kelompok manusia dengan satu kebudayaan tertentu dihadapkan dengan unsurunsur kebudayaan asing dengan sedemikian rupa, sehingga unsur- unsur
kebudayaan asing itu lambat laun diterima dan diolah ke dalam kebudayaan
sendiri tanpa menyebabkan hilangnya kepribadian kebudayaan itu sendiri.

Rotua Tresna Nurhayati Manurung : Upacara Kematian Di Tana Toraja : Rambu Solo, 2009.
USU Repository 2009

Sedangkan asimilasi adalah proses sosial yang timbul bila ada golongangolongan manusia dengan latar kebudayaan yang berbeda- beda, saling bergaul
langsung secara intensif untuk waktu yang lama sehingga kebudayaan golongangolongan tadi masing- masing berubah sifatnya yang khas, dan juga unsurunsurnya masing- masing berubah wujudnya menjadi unsur- unsur kebudayaan
campuran.

BAB III
GAMBARAN UMUM TENTANG TANA TORAJA
3.1 Kabupaten Tana Toraja
Kabupaten Tana Toraja adalah kabupaten di Provinsi Sulawesi Selatan,
Indonesia. . Jumlah penduduk pada tahun 2001 berjumlah 404.689 jiwa, terdiri
dari 209.900 jiwa laki-laki dan 199.789 jiwa perempuan dengan kepadatan ratarata penduduk 126 jiwa/km dan laju pertumbuhan penduduk rata-rata berkisar
2,68% pertahun (sumber: http://navigasi.net/goart.php?tab=a&a=butatorj). Ibu
kota kabupaten ini adalah Makale. Kabupaten ini memiliki luas wilayah 1.990
km.
Rotua Tresna Nurhayati Manurung : Upacara Kematian Di Tana Toraja : Rambu Solo, 2009.
USU Repository 2009

Gambar 3.1 : Logo Kabupaten Tana Toraja


Kabupaten Tana Toraja adalah sebuah nama daerah dengan status Daerah
Tingkat II di kawasan Prov. Sulawesi Selatan, terbentang mulai dari Km.280 s/d
Km.355 dari sebelah utara ibukota Provinsi Sulawesi Selatan (Makassar.)
Tepatnya pada 2 - 3 LS dan 199 - 120 BT, dengan luas sekitar 3.205,77 Km2
atau sekitar 5% dari luas Prop. Sulawesi Selatan. Provinsi Sulawesi Selatan
terletak di 012' - 8 Lintang Selatan dan 11648' - 12236' Bujur Timur. Luas
wilayahnya 62.482,54 km.

Rotua Tresna Nurhayati Manurung : Upacara Kematian Di Tana Toraja : Rambu Solo, 2009.
USU Repository 2009

Gambar3. 2: Peta Sulawesi Selatan


Batas- batas wilayah Provinsi Sulawesi Selatan tersebut dapat dilihat di
sebelah utara berbatasan dengan wilayah Sulawesi Tengah dan Sulawesi Barat,
sebelah timur berbatasan dengan wilayah Sulawesi Tenggara dan Teluk Bone,
sebelah barat berbatasan dengan Selat Makassar, dan sebelah selatan berbatasan
dengan Laut Flores.
Suku bangsa yang menghuni Sulawesi Selatan adalah suku bangsa Bugis,
Mandar, Makassar, dan Toraja (Sumber: Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, Upacara Tradisional Daerah Sulawesi Selatan, 1981-1982: 7).
Menurut sejarah suku- suku bangsa yang menghuni Sulawesi Selatan ini berasal
Rotua Tresna Nurhayati Manurung : Upacara Kematian Di Tana Toraja : Rambu Solo, 2009.
USU Repository 2009

dari Hindia belakang yang perpindahannya ke wilayah nusantara termasuk


Sulawesi Selatan terjadi dua kali yaitu migrasi pertama pada sekitar 3000
tahun sebelum Masehi lazim dikenal dengan nama Protomelayu ( Melayu
pertama) yang hampir dapat dipastikan bahwa suku Toraja adalah merupakan
wakil dari Protomelayu di Sulawesi Selatan. Kemudian disusul dengan migrasi
kedua yang diperkirakan terjadi pada sekitar 2000 tahun sebelum Masehi yang
kemudian dikenal dengan nama Deutromelayu ( Melayu kedua). Suku Makassar,
suku Bugis, suku Mandar dapat diidentifikasikan sebagai wakil dari pendatang
kedua ini.
Tiap suku bangsa tersebut di atas, jika dilihat dari segi fisiknya, tidak
dapat dibedakan secara tajam. Hampir dapat dikatakan bahwa tanda fisik itu sama
kecuali bila akan disebutkan beberapa ciri- ciri khusus. Menurut Hamid (19791980: 65), suku bangsa Makassar pada umumnya bentuk tubuh lebih langsing,
suku Bugis bentuk tubuh sedang dengan tinggi badan rata- rata 1.55 m, warna
kulit sawo matang, sedangkan orang Toraja bentuk tubuh rata- rata lebih kecil
daripada orang Bugis, tinggi badan rata- rata lebih pendek, tengkorak berbentuk
bundar, bentuk hidung rata- rata lebih pesek. Suku Mandar sama dengan suku
Bugis, bentuk tubuh lebih pendek, tengkorak lebih bundar daripada suku Bugis,
dan rahang sedikit menonjol.
Di masa lampau Tana Toraja dikenal dengan nama Tondok Lepongan
Bulan, Tanah Matarik Allo kemudian menjadi Tana Toraja. Menurut Departemen

Rotua Tresna Nurhayati Manurung : Upacara Kematian Di Tana Toraja : Rambu Solo, 2009.
USU Repository 2009

Pendidikan dan Kebudayaan dalam buku Upacara Tradisional Daerah Sulawesi


SElatan (1981-1982 : 60), penamaan Toraja sendiri ada beberapa pendapat:
a.

Kata Toraja berasal dari kata To- riaja, To orang, Riaja Utara.
Penamaan bagi orang yang bertempat tinggal di Selatan Tondok Lepongan
Bulan.

b.

Kata Toraja berasal dari kata To- Rajang, To= Tau orang, Rajang
Barat. Penamaan ini berasal dari orang- orang Luwu menunjuk Tana
Toraja di sebelah barat.

c.

Kata Toraja berasal dari kata To Raya, To = Tau = orang, Raya Timur.
Penamaan ini berasal dari penamaan orang- orang Makassar yang
menunjuk Tana Toraja di sebelah timur.

d.

Kata Toraja berasal dari kata Toraja, To = Tau orang, Raja Timur.
Dalam hal ini adanya pengakuan Raja- raja Sulawesi Selatan yang
mengakui leluhurnya berasal dari Tondok Lepongan Bulan Tana Matarik
Allo.
Kabupaten Tana Toraja mempunyai batasan- batasan wilayah di sebelah

utara kabupaten Mamuju dan Kabupaten Luwu Utara, sebelah timur kota Palopo,
sebelah selatan Kabupaten Enrekang dan Kabupaten Pinrang, dan sebelah barat
Kabupaten Mamasa.
Secara administratif, daerah ini terbagi menjadi 29 kecamatan dan 268
kelurahan. Tana Toraja dikenal sebagai tanah para raja ini juga terkenal dengan
adat istiadat yang masih sangat kental, Tana Toraja memiliki alam dan budaya
yang mempesona. Tidak heran, kabupaten di Sulawesi Selatan itu banyak
Rotua Tresna Nurhayati Manurung : Upacara Kematian Di Tana Toraja : Rambu Solo, 2009.
USU Repository 2009

dikunjungi wisatawan. Turis datang ke Sulawesi Selatan biasanya hanya akan


pergi ke Tana Toraja (Tator), bahkan tempat lainnya diseluruh Sulawesi Selatan
masih kalah pamor dibandingkan Tator.

Gambar 3.3: Ibukota Kab.Tana Toraja


Perjalanan panjang menuju utara melalui jalan raya poros Sulawesi
seakan menemui imbalan berharga dengan pemandangan alam dan budaya yang
unik di Tator, really worth to see. Dan memang betul, Tator amat berbeda dengan
suku Bugis dan Makasar. Selain panorama gunung dan persawahan, seni ukir
yang menghias rumah-rumah adat menjadi tontonan yang menawan yang terkenal
dengan sebutan rumah tongkonan. Atapnya terbuat dari daun nipa atau kelapa
dan mampu bertahan sampai 50 tahun.

Rotua Tresna Nurhayati Manurung : Upacara Kematian Di Tana Toraja : Rambu Solo, 2009.
USU Repository 2009

Gambar 3.4: Tongkonan 1


Tongkonan

juga

memiliki

strata

sesuai

derajat

kebangsawanan

masyarakat, seperti strata emas, perunggu, besi, dan kuningan. Saking


melekatnya imej Tana Toraja dengan bangunan rumah adat ini, sebagai bentuk
promosi pariwisata dan untuk menggaet turis Jepang ke daerah ini, maka rumah
adat pun dibangun di negeri matahari terbit itu. Bangunannya dikerjakan oleh
orang Toraja sendiri. Sekarang di Jepang sudah ada dua tongkonan yang sangat
mirip dengan tongkonan asli. Perbedaannya dengan yang ada di Tana Toraja
hanya terletak pada atapnya yang menggunakan daun sagu (Sumber:
http://navigasi.net/goart.php?tab=a&a=butatorj).

Gambar 3. 5 : Tongkonan 2

Rotua Tresna Nurhayati Manurung : Upacara Kematian Di Tana Toraja : Rambu Solo, 2009.
USU Repository 2009

Gambar 3.6: Tongkonan 3

Gambar 3.7 : Tongkonan 4


Kabupaten Tana Toraja ini memiliki potensi yang besar untuk
dikembangkan antara lain di sektor perkebunan hasil komoditi utamanya berupa
kopi Arabika (5.614 ton), kakao (3.078 ton), dan kopi robusta (1.505 ton). Kopi
Arabika dari Tana Toraja sudah sejak lama dikenal sebagai salah satu yang
terbaik di dunia. Di sektor pertaniannya, hasil pertanian utama yang dihasilkan di
daerah ini berupa bahan tanaman pangan meliputi: padi, jagung, ubi kayu, kacang
Rotua Tresna Nurhayati Manurung : Upacara Kematian Di Tana Toraja : Rambu Solo, 2009.
USU Repository 2009

tanah, kacang kedele, kacang hijau, sayur-sayuran, tanaman holtikultura, dan


palawija.
Pendapatan terbesar daerah ini berasal dari sektor pariwisata. Tana Toraja
termasuk tujuan wisata yang paling populer di Indonesia setelah Bali. Toraja
dengan kebudayaannya yang unik, dengan julukan Land of the Heavenly Kings
yang mungkin tidak ditemukan di tempat lain di dunia dan masih hidup hingga
sekarang, haruslah tetap dijaga dan dilestarikan. Begitu banyak situs tua yang
bisa dikunjungi, termasuk pekuburan leluhur, seperti situs makam pahat di Lemo,
makam goa purba di Londa, menhir di Rante Karassik, perkampungan Kete Kesu
yang begitu populer di kalangan turis karena di sana ada tongkonan, lumbung
padi dan megalit di antara persawahan, serta makam aristokrat.
Dearah ini juga memiliki berbagai sarana dan prasarana pendukung
diantaranya jalan darat, Bandara Pongtiku yang terletak di Tana Toraja ini
mempermudah arus transportasi dari dalam maupun luar negeri yang akan
berkunjung di daerah ini, serta terdapat dukungan sarana pembangkit tenaga
listrik, air besih, gas, dan jaringan telekomunikasi.
Masih banyak lagi daya tarik Tana Toraja selain upacara adat rambu solo
(pemakaman) yang sudah tersohor selama ini. Sebutlah kuburan bayi di atas
pohon tarra di Kampung Kambira, Kecamatan Sangalla, sekitar 20 km dari
Rantepao, yang disiapkan bagi jenazah bayi berusia 0-7 tahun. Meski mengubur
bayi di atas pohon tarra itu sudah tidak dilaksanakan lagi sejak puluhan tahun
terakhir, pohon tempat menyimpan mayat bayi itu masih tetap tegak dan
banyak dikunjungi wisatawan. Di atas pohon tarra - yang buahnya mirip buah
Rotua Tresna Nurhayati Manurung : Upacara Kematian Di Tana Toraja : Rambu Solo, 2009.
USU Repository 2009

sukun - dengan lingkaran batang pohon sekitar 3,5 meter, tersimpan puluhan
jenazah bayi.
Sebelum jenazah dimasukkan di batang pohon, terlebih dahulu batang
pohon itu dilubangi. Mayat bayi diletakkan ke dalam, lalu ditutupi dengan serat
pohon kelapa berwarna hitam. Setelah puluhan tahun, jenazah bayi itu akan
menyatu dengan pohon tersebut. Ini suatu daya tarik bagi para pelancong dan
untuk masyarakat Tana Toraja tetap menganggap tempat tersebut suci seperti
anak yang baru lahir.
Penempatan jenazah bayi di pohon ini, disesuaikan dengan strata sosial
masyarakat. Makin tinggi derajat sosial keluarga itu maka makin tinggi letak bayi
yang dikuburkan di batang pohon tarra. Selain itu, bayi yang meninggal dunia
diletakkan sesuai arah tempat tinggal keluarga yang berduka. Kalau rumahnya
ada di bagian barat pohon, maka jenazah anak akan diletakkan di sebelah barat
(sumber:

http://www.resep.web.id/traveling/tana-toraja-sulsel-wisata-budaya-

penuh-pesona.htm).
3.2 Keadaan Umum Tana Toraja
Panorama indah gunung-gunung, hutan dan sungai yang bersumber dari
mata air pegunungan membasahi persawahan menandakan Kabupaten Tana
Toraja merupakan daerah agraris yang sebagian besar penduduknya mempunyai
mata pencarian di sektor perkebunan dan pertanian, yang didukung oleh kondisi
tanah yang subur untuk tanaman musiman seperti buah-buahan dan sayur-mayur
serta jenis tanaman keras seperti cengkeh, coklat, vanili, lada dan kopi.
Rotua Tresna Nurhayati Manurung : Upacara Kematian Di Tana Toraja : Rambu Solo, 2009.
USU Repository 2009

Hutan di Tana Toraja yang membentang hijau mulai dari utara sampai ke
selatan berfungsi sebagai pelindung mata air, pencegah erosi dan banjir ataupun
sebagai hidrologi tercatat seluas 156.906 ha terdiri dari hutan lindung 138.101 ha
dan hutan produksi 18,805 ha. Sektor kehutanan ini sangat memungkinkan untuk
pengembangan menjadi hutan wisata sebagai salah satu paket ekowisata/
ekotourisme.
Menurut klasifikasi fungsi hutan, maka di Tana Toraja terdapat beberapa
kawasan hutan yang sangat memungkinkan untuk dikembangkan menjadi
kawasan hutan wisata, yaitu: kawasan hutan wisata Nanggala di bagian utara/
timur, kawasan hutan wisata Mapongka di selatan, kawasan hutan wisata Messila
di barat serta kawasan hutan rakyat yang tersebar di seantero kabupaten Tana
Toraja yang belum digunakan secara maksimal hingga saat ini. Prospek hutan ini
sangat menjanjikan untuk dijadikan kawasan wisata alam, seperti trekking,
kemping

(bumi

perkemahan),

maupun

ekowisata,

sehingga

dalam

pengembangannya tidak perlu merusak lingkungan/ ekosistem yang ada bahkan


bisa ditingkatkan sebagai kawasan wisata pendidikan lingkungan hidup.
Disamping hutan, ada juga sungai. Keberadaan sungai di Tana Toraja
sangat potensial untuk dikembangkan bagi kepentingan pariwisata tirta dan alam.
Selain airnya yang jernih juga memiliki alur sungai yang sangat menarik dan
menantang, sehingga sungai di Tana Toraja sangat berpotensi untuk
dikembangkan sebagai sarana wisata tirta/ alam dan rafting (arung jeram). Sungai
yang teridentifikasi potensi wisata adalah sungai Sa'dan, sungai Mai'ting, sungai
Saluputti, sungai Maulu, sungai Toriu, dan sungai Sarambu.
Rotua Tresna Nurhayati Manurung : Upacara Kematian Di Tana Toraja : Rambu Solo, 2009.
USU Repository 2009

Ada juga flora dan fauna. Jenis flora yang ada di Kabupaten Tana Toraja
adalah flora endemik dan flora hasil budidaya. Flora endemik antara lain uru,
nato buangin, enau dan berbagai jenis bambu, kopi arabika dan terung Toraja.
Sedangkan flora yang dibudidayakan antara lain cemara, padi, ubi kayu, markisa,
kentang, tomat, bawang, kubis, cengkeh, kakao, dan lain-lain. Kedua jenis flora
yang ada tersebut sangat berpotensi serta memiliki prospek cerah untuk
dikembangkan, misalnya: kopi jenis arabika, bambu dan buah markisa. Adapun
faunanya yang dapat ditemui antara lain musang, anoa, babi hutan, rusa, kerbau,
berbagai jenis burung seperti burung hantu, gagak, ranggong, bangau, dan lainlain. (Sumber: http://ilovetoraja.blogspot.com/2008_04_01_archive.html).
3.3

Topografi, Suku, Bahasa, Kondisi Sosial Tana Toraja

3.3.1 Topografi Tana Toraja


Kondisi topografi daerah Tana Toraja berada di daerah pegunungan,
berbukit dan berlembah; terdiri dari 40% pegunungan dengan memiliki
ketinggian antara 150 m s.d. 3.083 m di atas permukaan laut (dataran tinggi 20%,
dataran rendah 38%, rawa rawa dan sungai 2%), dengan perincian sebagai berikut
(Sumber: http://ilovetoraja.blogspot.com/2008_04_01_archive.html): 18.425 Ha
pada ketinggian 150 - 500 M = 5,80 % ; 143.314 Ha pada ketinggian 501 - 1000
M = 44,70 % ; 118.330 Ha pada ketinggian 1000 - 2000 M = 36,90 % ; 40.508
Ha ketinggian lebih dari 2000 M = 12,60 %.
Bagian terendah Kabupaten Tana Toraja berada di Kecamatan
Bonggakaradeng, sedangkan bagian tertinggi berada di Kecamatan Rindinggallo,
dengan temperatur suhu rata-rata berkisar antara 15 C - 28 C dengan
Rotua Tresna Nurhayati Manurung : Upacara Kematian Di Tana Toraja : Rambu Solo, 2009.
USU Repository 2009

kelembaban udara antara 82-86%. Curah hujan : 1500 mm/tahun s.d. lebih dari
3500 mm/tahun.
Berikut ini penulis lampirkan topografi di salah satu kecamatan di Tana
Toraja, tepatnya di Kecamatan Sesean.

Tabel 3.1:
Status Daerah, Letak Geografis dan Topografi Desa
Tahun 2000
Sumber: Sumber : BPS, Podes 2000

Prov. : SULAWESI SELATAN


Kab. : TANA TORAJA
Kec. : SESEAN
Desa
Status

Letak Geografis

Topografi

Lereng/Punggung

Berbukit

Daerah
SESEAN EMBATAU

Pedesaan

Bukit
SESEAN

Pedesaan

BUNTULOBO
P. SITINGAYO

Lereng/Punggung

Berbukit

Bukit
Pedesaan

Lereng/Punggung

Berbukit

Bukit
BORI PARINDING

Pedesaan

Lereng/Punggung

Berbukit

Bukit
BORI LOMBONGAN

Pedesaan

Lereng/Punggung

Rotua Tresna Nurhayati Manurung : Upacara Kematian Di Tana Toraja : Rambu Solo, 2009.
USU Repository 2009

Berbukit

Bukit
PANGLI PALAWA

Pedesaan

Lereng/Punggung

Berbukit

Bukit
PALANGI

Pedesaan

Lereng/Punggung

Berbukit

Bukit
KARUA

Pedesaan

Lereng/Punggung

Berbukit

Bukit
LILIKIRA AO'GADING

Pedesaan

Lereng/Punggung

Berbukit

Bukit
LILIKIRA

Pedesaan

Lereng/Punggung

Berbukit

Bukit
B. BANGUN LIPU

Pedesaan

Lereng/Punggung

Berbukit

Bukit
BALUSU

Pedesaan

Lereng/Punggung

Berbukit

Bukit
TAGARI

Pedesaan

Lereng/Punggung

Berbukit

Bukit
PALAWA'

Pedesaan

Lembah/DAS

Berbukit

TAMPAN BONGA

Pedesaan

Lereng/Punggung

Berbukit

Bukit
BORI RANTATELOK

Pedesaan

Lereng/Punggung
Bukit

Rotua Tresna Nurhayati Manurung : Upacara Kematian Di Tana Toraja : Rambu Solo, 2009.
USU Repository 2009

Berbukit

DERI PARINDING

Pedesaan

Lereng/Punggung

Berbukit

Bukit
BUNTULOBO'

Pedesaan

SANGBUA
SESEAN MATALLO

Lereng/Punggung

Berbukit

Bukit
Pedesaan

Lereng/Punggung

Berbukit

Bukit
SESEAN SULOARA

Pedesaan

Lereng/Punggung

Berbukit

Bukit
BENIENG KADO

Pedesaan

Lereng/Punggung

Berbukit

Bukit
LANDORUNDUN

Pedesaan

Lereng/Punggung

Berbukit

Bukit
PANGDEN

Pedesaan

Lereng/Punggung

Berbukit

Bukit
TOYASA AKUNG

Pedesaan

Lereng/Punggung

Berbukit

Bukit
BATU LIMBONG

Pedesaan

Lereng/Punggung

Berbukit

Bukit
SANGAKUNGAN

Pedesaan

Lereng/Punggung

Berbukit

Bukit
SA'DAN PEBULIAN

Pedesaan

Lereng/Punggung
Bukit

Rotua Tresna Nurhayati Manurung : Upacara Kematian Di Tana Toraja : Rambu Solo, 2009.
USU Repository 2009

Berbukit

SADAN MALIMBONG

Pedesaan

Lereng/Punggung

Berbukit

Bukit
SA'DAN ANDULAN

Pedesaan

Lereng/Punggung

Berbukit

Bukit
SA'DAN TIROAN

Pedesaan

Lereng/Punggung

Berbukit

Bukit
SA'DAN MATALO

Pedesaan

Lereng/Punggung

Berbukit

Bukit
SANGKAROPI

Pedesaan

Lereng/Punggung

Berbukit

Bukit
SADAN ULUSALU

Pedesaan

Lereng/Punggung

Berbukit

Bukit
SA'DAN LIKU LAMBE

Pedesaan

Lereng/Punggung

Berbukit

Bukit
SDN. PESONDONGAN

Pedesaan

Lereng/Punggung

Berbukit

Bukit
SADAN BALLO
PASANGE

Pedesaan

Lereng/Punggung
Bukit

Rotua Tresna Nurhayati Manurung : Upacara Kematian Di Tana Toraja : Rambu Solo, 2009.
USU Repository 2009

Berbukit

3.3.2 Suku Toraja


Konon, leluhur orang Toraja adalah manusia yang berasal dari nirwana
(Sumber: http://ilovetoraja.blogspot.com/2008_04_01_archive.html), mitos yang
tetap melegenda turun temurun hingga kini secara lisan di kalangan masyarakat
Toraja. Hal ini menceritakan bahwa nenek moyang masyarakat Toraja yang
pertama menggunakan "tangga dari langit" untuk turun dari nirwana, yang
kemudian berfungsi sebagai media komunikasi dengan Puang Matua (Tuhan
Yang Maha Kuasa).
Suku Toraja adalah suku yang menetap di pegunungan bagian utara
Sulawesi Selatan. Mereka juga menetap di sebagian dataran Luwu dan Sulawesi
Barat. Suku Toraja yang mendiami daerah pegunungan dan mempertahankan
gaya hidup yang khas dan masih menunjukkan gaya hidup Austronesia yang asli
dan mirip dengan budaya Nias.
Lain lubuk-lain ilalang, begitu pula Tana Toraja yang mempunyai satu
kepercayaan Aluk Todolo, setelah melalui proses akulturasi maupun asimilasi
budaya, di Tana Toraja dapat dijumpai agama Kristen Protestan, Katolik, Islam
dan Hindu Toraja, dan penduduk mayoritas adalah Kristen Protestan (Sumber:
http://ilovetoraja.blogspot.com/2008_04_01_archive.html). Wilayah Tana Toraja
juga digelar Tondok Lili'na Lapongan Bulan Tana Matari'allo arti harfiahnya

Rotua Tresna Nurhayati Manurung : Upacara Kematian Di Tana Toraja : Rambu Solo, 2009.
USU Repository 2009

adalah "negri yang bulat seperti bulan dan matahari". Wilayah ini dihuni oleh
satu etnis (etnis Toraja).

3.3.3 Bahasa Toraja


Sebagai bagian dari Nusantara Indonesia, bahasa Indonesia merupakan
salah satu bahasa yang digunakan sebagai bahasa pengantar dalam pergaulan.
Namun demikian bahasa daerah yakni bahasa Toraja (Sa'dan) tentunya menjadi
bahasa yang paling dominan dalam percakapan antara warga masyarakat, bahkan
menjadi salah satu mata pelajaran muatan lokal yang diajarkan di sekolah dasar.
Dalam hal kepercayaan penduduk Sulawesi Selatan telah percaya kepada
satu Dewa yang tunggal. Dewa yang tunggal itu disebut dengan istilah Dewata
SeuwaE (dewa yang tunggal). Terkadang pula disebut oleh orang Bugis dengan
istilah PatotoE (dewa yang menentukan nasib). Orang Makassar sering
menyebutnya dengan Turei Arana (kehendak yang tinggi). Orang Mandar Puang
Mase (yang maha kedendak) dan orang Toraja menyebutnya Puang Matua
(Tuhan yang maha mulia).
Mereka juga mempercayai adanya dewa yang bertahta di tempat-tempat
tertentu. Seperti kepercayaan mereka tentang dewa yang berdiam di Gunung
Latimojong. Dewa tersebut mereka sebut dengan nama Dewata Mattanrue.
Dihikayatkan bahwa dewa tersebut kawin dengan Enyilitimo kemudian
melahirkan PatotoE. Dewa PatotoE kemudian kawin dengan Palingo dan
melahirkan Batara Guru.
Rotua Tresna Nurhayati Manurung : Upacara Kematian Di Tana Toraja : Rambu Solo, 2009.
USU Repository 2009

Batara Guru dipercaya oleh sebagian masyarakat Sulawesi Selatan


sebagai dewa penjajah. Ia telah menjelajahi seluruh kawasan Asia dan bermarkas
di puncak Himalaya. Kira-kira satu abad sebelum Masehi, Batara Guru menuju
ke Cerekang Malili dan membawa empat kasta. Keempat kasta tersebut adalah
kasta Puang, kasta Pampawa Opu, kasta Attana Lang, dan kasta orang
kebanyakan.
Selain itu Batara Guru juga dipercaya membawa enam macam bahasa.
Keenam bahasa tersebut dipergunakan di daerah-daerah jajahannya. Keenam
bahasa itu adalah:
a. Bahasa TaE atau Toda. Bahasa ini dipergunakan masyarakat yang bermukim
di wilayah Tana Toraja , Massenrengpulu dan sekitarnya. Mereka dibekali
dengan kesenian yang bernama Gellu.
b. Bahasa BareE. Bahasa ini dipergunakan oleh masyarakat yang bermukim di
wilayah Poso Sulawesi Tengah. Mereka dibekali dengan kesenian yang
disebutnya Menari.
c. Bahasa Mengkokak, bahasa ini dipergunakan oleh masyarakat yang bermukim
di wilayah Kolaka dan Kendari Sulawesi Tenggara. Mereka pula dibekali dengan
kesenian, yang namanya Lulo.
d. Bahasa Bugisi. Bahasa ini dipergunakan oleh masyarakat yang bermukim di
Wajo seluruh daerah disekitarnya dan dibekali dengan kesenian Pajjaga.
e. Bahasa Mandar. Bahasa ini dipergunakakan oleh masyarakat yang berdiam di
wilayah Mandar dan sekitarnya. Mereka dibekali dengan kesenian Pattundu.
Rotua Tresna Nurhayati Manurung : Upacara Kematian Di Tana Toraja : Rambu Solo, 2009.
USU Repository 2009

f. Bahasa Tona. Bahasa ini dipergunakan oleh masyarakat yang bermukim di


wilayah Makassar dan sekitarnya. Mereka dibekali dengan kesenian Pakkarena.
Keturunan Batara Guru tersebar ke mana-mana. Keturunannya terbagi-bagi pada
seluruh wilayah jelajahnya yang meliputi wilayah bahasa tersebut di atas. Mereka
menduduki tempat-tempat yang strategis seperti puncak-puncak gunung.
3.3.4 Kondisi Sosial Tana Toraja
Wilayah Tana Toraja juga digelar Tondok Lili'na Lapongan Bulan tana
Matari'allo. Wilayah ini dihuni oleh satu etnis (Etnis Toraja). Dengan jumlah
penduduk kurang lebih 458.000 jiwa. Kurang lebih 650.000 jiwa yang hidup
merantau dan bekerja di luar wilayah Tana Toraja. Suku Toraja juga memiliki
satu bahasa lokal yaitu Bahasa Toraja. Namun untuk pergaulan secara umum
mereka menggunakan Bahasa Indonesia; di samping itu sebagian juga dapat
berbahasa Inggris, Belanda, Jerman, Jepang dan Mandarin. Mereka yang masuk
kategori ini adalah putra-putra Toraja yang bertugas sebagai guide-guide untuk
tourist.
Sampai saat ini budaya luar tidak cukup kuat mempengaruhi cara hidup
sehari-hari orang Toraja yang begitu ramah, hidup rukun, damai dan harmonis
serta dengan tangan terbuka menyapa tamu-tamunya untuk datang menyatu di
dalam pesta-pesta adat Toraja baik pesta Rambu Tuka maupun pesta Rambu
Solo.
3.4

Perjalanan ke Tana Toraja

Rotua Tresna Nurhayati Manurung : Upacara Kematian Di Tana Toraja : Rambu Solo, 2009.
USU Repository 2009

Perjalanan dari Makasar atau Ujung Pandang ke Toraja dengan melewati


jalur pesisir sepanjang 130 km mendaki pegunungan. Setelah memasuki Tana
Toraja, Anda mulai memasuki pemandangan alam yang penuh dengan keagungan
(Sumber: :http://www.my-indonesia.info/page.php?ic=1197&id=1704).
Batu grafit dan batuan lainnya, serta birunya pegunungan di kejauhan
setelah melewati pasar Desa Mebali akan terlihat masyarakat yang sedang
beternak domba sehingga pemandangan terlihat kontras dengan padang rumput
yang hijau subur, limpahan makanan di tanah tropis yang indah. Ini adalah Tana
Toraja, salah satu tempat wisata terbaik di Indonesia.
Sementara itu, untuk sampai di Tana Toraja yang mengagumkan ini ada
jalur penerbangan domestik Makassar-Tana Toraja. Penerbangan ini hanya sekali
dalam seminggu dan memakai pesawat kecil berpenumpang delapan orang.
Namun, waktu yang dibutuhkan cukup singkat, hanya 45 menit dari Bandara
Hasanuddin Makassar. Dan jika lewat darat, perjalanan yang cukup melelahkan
membutuhkan waktu tujuh jam.
Selain itu juga ada perjalanan darat dengan bus dari Rantepao ke Ujung
Pandang tiap harinya memakan waktu perjalanan selama kurang lebih 8 jam
termasuk istirahat untuk makan. Tiket harus dibeli di kota, tapi berangkat dari
terminal bus Panaikan 20 menit keluar dari kota dengan menggunakan bemo. Bus
ini biasanya pergi pada pukul 7 pagi, 1 siang dan 7 malam. Beberapa
perkumpulan di Rantepao kembali ke Ujung Pandang lagi. Biasanya bus yang
berangkat disesuaikan dengan jumlah penumpang.
Rotua Tresna Nurhayati Manurung : Upacara Kematian Di Tana Toraja : Rambu Solo, 2009.
USU Repository 2009

Mengenai tempat tinggal, wisatawan yang ingin tinggal di tengah kota


memiliki banyak pilihan hotel. Tapi jika memiliki jiwa petualang, Anda bisa tidur
di desa bersama masyarakat sekitar. Bila wisatawan ingin mengunjungi tempat
lain, bemo, bus kecil, atau jeep, adalah kendaraan terbaik untuk mengetahui
daerah sekitar.

Gambar 3.8: kota kabupaten Tana Toraja

Beberapa hal yang dapat dilakukan di Tana Toraja adalah menjelajahi


pasar. Di sini kita akan menemukan biji kopi khas Toraja (seperti Robusta dan
Rotua Tresna Nurhayati Manurung : Upacara Kematian Di Tana Toraja : Rambu Solo, 2009.
USU Repository 2009

Arabica) dan beberapa barang khas lainnya seperti buah-buahan (Tamarella atau
terong Belanda dan ikan mas); mengunjungi batu Tomonga artinya adalah batu
yang mengarah ke awan. Dari tempat ini kita bisa melihat banyaknya batuan
vulkanik yang bermunculan dari hamparan sawah. Dan beberapa batu raksasa
yang menjadi Goa. Benar-benar pemandangan yang indah dan menjadikan Tana
Toraja terlihat subur dan hijau ; mengunjungi Palawa. Palawa adalah tempat
yang bagus untuk dikunjungi. Di sana ada sebuah Tongkonan atau kawasan
penguburan tempat untuk melakukan upacara dan festival; melakukan perjalanan
dari Rantepao ke Kete, desa tradisional dengan kerajinan tangan yang bagus. Di
belakang desa di bagian bukit ada goa yang ukuranya sudah lebih tua dari ukuran
orang hidup.
Bila ingin menyantap kuliner wilayah ini, kebanyakan kita dapat
menemukan warung makan dilokasi ini, di sepanjang jalan. Kita juga dapat
membawa makanan sendiri. Bila ingin belanja untuk oleh- oleh, disana ada toko
cinderamata dimana kita dapat membeli segala sesuatu yang khas dari Tana
Toraja, ada pakaian, tas, dompet, dan kerajinan tangan lainnya.
Pengunjung diperbolehkan mengunakan pakaian adat setempat dan akan
diberikan hadiah seperti rokok atau kopi kapan pun memasuki Tongkonan. Bila
ingin berjalan- jalan hati- hatilah karena jalanan tidak selalu aspal. Sering
dilewati Jeep dan lainnya, walaupun cuaca bagus. Bila ingin memasuki kawasan
tongkonan, berhati- hatilah.

3.5 Objek Wisata di Tana Toraja


Rotua Tresna Nurhayati Manurung : Upacara Kematian Di Tana Toraja : Rambu Solo, 2009.
USU Repository 2009

1.

Ketekesu
Ke'te' Kesu' adalah obyek wisata yang sudah populer diantara turis

domestik dan asing sejak tahun 1979 terletak di kampung Bonoran yang berjarak
empat km dari Kota Rantepao, telah ditetapkan sebagai salah satu Cagar Budaya
dengan nomor registrasi 290 yang perlu dilestarikan / dilindungi. Obyek wisata
ini sangat menarik, oleh karena memiliki suatu kompleks perumahan adat Toraja
yang masih asli, yang terdiri dari beberapa Tongkonan, lengkap dengan alang
sura' (lumbung padinya). Tongkonan tersebut dari leluhur Puang ri Kesu' di
fungsikan sebagai tempat bermusyawarah, mengelolah, menetapkan dan
melaksanakan aturan-aturan adat, baik aluk maupun pemali yang digunakan
sebagai aturan hidup dan bermasyarakat di daerah Kesu', dan juga di seluruh
Tana Toraja, yang disebut aluk Sanda Pitunna (7777). Obyek wisata ini
dilengkapi pula dengan areal; upacara pemakaman (rante), kuburan (liang) purba
dan makam-makam modern, namun tetap berbentuk motif khas Toraja,
pemukiman, perkebunan dan persawahan yang cantik dan menyejukkan hati.
Sekaligus para pengunjung dapat menyaksikan seni ukir Toraja di lokasi ini.

Rotua Tresna Nurhayati Manurung : Upacara Kematian Di Tana Toraja : Rambu Solo, 2009.
USU Repository 2009

Gambar 3.9: Ketekesu

2.

Bori
Obyek wisata utama adalah rante dalam bahasa Toraja disebut simbuang

batu (tempat upacara pemakaman secara adat yang dilengkapi dengan buah
menhir / megalit), 102 batu menhir yang berdiri dengan megah terdiri dari 24
buah ukuran besar, 24 buah ukuran sedang dan 54 buah ukuran kecil. Ukuran
menhir ini mempunyai nilai adat yang sama. Penyebab perbedaan adalah situasi
dan kondisi pada saat pembuatan / pengambilan batu, misalnya; masalah waktu,
kemampuan biaya dan situasi pada masa kemasyarakatan. Megalit / simbuang
batu hanya diadakan bila seorang pemuka masyarakat yang meninggal dunia dan
upacaranya dilaksanakan dalam tingkat Rapasan Sapurandanan (kerbau yang
dipotong sekurang-kurangnya 24 ekor). Pada tahun 1657 Rante Kalimbuang
mulai digunakan pada upacara Pemakaman Ne'Ramba' (100 ekor kerbau
dikorbankan) dan didirikan dua simbuang batu.
Selanjutnya pada tahun 1807 pada acara pemakaman Tonapa Ne'Padda'
didirikan 5 buah simbuang batu, sedang kerbau yang dikorbankan sebanyak 200
ekor. Ne'Lunde yang pada upacaranya dikorbankan lebih dari 100 ekor kerbau
didirikan 3 buah simbuang batu. Selanjutnya berturut-turut sejak tahun 1907,
Rotua Tresna Nurhayati Manurung : Upacara Kematian Di Tana Toraja : Rambu Solo, 2009.
USU Repository 2009

banyak simbuang batu didirikan dalam ukuran besar, sedang, kecil dan secara
khusus pada pemakaman almarhumah Lai Datu (Ne' Kase') pada tahun 1935
didirikan satu buah simbuang batu yang terbesar dan tertinggi. Simbuang batu
yang terakhir adalah pada upacara pemakaman Almarhum Sa'pang (Ne'Lai) pada
tahun 1962.
Dalam kompleks Rante Kalimbuang tersebut terdapat juga hal-hal yang
berkaitan dengan upacara pemakaman antara lain lakkian yaitu persemayaman
jenazah selama upacara dilaksanakan di Rante; balakkayan yaitu panggung
tempat membagi daging secara adat; Sarigan yaitu usungan jenazah; langi' yaitu
bangunan induk menaungi sarigan; liang pa' ( kuburan batu yang dipahat).

Gambar 3.10 : Bori


Rotua Tresna Nurhayati Manurung : Upacara Kematian Di Tana Toraja : Rambu Solo, 2009.
USU Repository 2009

3.

Batutumonga
Berlokasi di daerah Sesean yang beriklim dingin, sekitar 1300 meter di

atas permukaan laut. Di daerah ini terdapat 56 menhir batu dalam sebuah
lingkaran dengan lima pohon kayu di tengahnya. Kebanyakan dari batu menhir
itu berukuran dua sampai tiga meter tingginya. Pemandangan yang sangat
mempesona di atas Rantepao dan lembah di sekitarnya, dapat dilihat dari tempat
ini sangat menarik untuk dikunjungi.

Rotua Tresna Nurhayati Manurung : Upacara Kematian Di Tana Toraja : Rambu Solo, 2009.
USU Repository 2009

Gambar 3.11: Batutumonga

BAB IV
UPACARA ADAT RAMBU SOLO
4.1 Mitos
Menurut mitos, leluhur orang Toraja adalah manusia yang berasal dari
nirwana (Sumber: http://ilovetoraja.blogspot.com/2008_04_01_archive.html),
mitos yang tetap melegenda turun temurun hingga kini secara lisan dikalangan
masyarakat Toraja ini menceritakan bahwa nenek moyang masyarakat Toraja
yang pertama menggunakan "tangga dari langit" untuk turun dari nirwana, yang
kemudian berfungsi sebagai media komunikasi dengan Puang Matua (Tuhan
Yang Maha Kuasa - dalam bahasa Toraja).
Lain lagi versi dari Dr. C. Cyrut seorang antropolog (Sumber:
http://torajakoeblogspot.com/2006/12/sejarah-tana-toraja.html),

dalam

penelitiannya menuturkan bahwa masyarakat Tana Toraja merupakan hasil dari


proses akulturasi antara penduduk lokal yang mendiami daratan Sulawesi Selatan
dengan pendatang yang notabene adalah imigran dari Teluk Tongkin (daratan
Tiongkok). Proses akulturasi antara kedua masyarakat tersebut, berawal dari
berlabuhnya imigran Indochina dengan jumlah yang cukup banyak di sekitar hulu
Rotua Tresna Nurhayati Manurung : Upacara Kematian Di Tana Toraja : Rambu Solo, 2009.
USU Repository 2009

sungai yang diperkirakan lokasinya di daerah Enrekang, kemudian para imigran


ini, membangun pemukimannya di daerah tersebut.
4.2 Aluk
Aluk adalah merupakan budaya/aturan hidup yang dibawa oleh kaum
imigran dari dataran Indocina pada sekitar 3000 tahun sampai 500 tahun
sebelum masehi. Konon manusia yang turun ke bumi telah dibekali dengan
aturan keagamaan yang disebut aluk. Aluk merupakan aturan keagamaan yang
menjadi sumber dari budaya dan pandangan hidup leluhur suku Toraja yang
mengandung nilai-nilai religius yang mengarahkan pola-pola tingkah laku hidup
dan ritual suku Toraja untuk mengabdi kepada Puang Matua (Sumber :
http://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Toraja).
Cerita tentang perkembangan dan penyebaran Aluk terjadi dalam dua
tahap, yakni: Tipamulanna Aluk ditampa dao langi' yakni permulaan penciptaan
Aluk diatas langit, Mendemme' di kapadanganna yakni Aluk diturunkan kebumi
oleh Puang Buru Langi' dirura. Kedua tahapan ini lebih merupakan mitos. Dalam
penelitian pada hakekatnya aluk merupakan budaya/ aturan hidup yang dibawa
kaum imigran dari dataran Indocina pada sekitar 3000 tahun sampai 500 tahun
sebelum masehi.
Aluk ada 2 macam yaitu: Aluk Sanda Saratu. Tokoh penting dalam
penyebaran aluk ini adalah

Tomanurun Tamboro Langi' yang merupakan

pembawa aluk Sanda Saratu yang mengikat penganutnya dalam daerah terbatas
yakni wilayah Tallu Lembangna; Aluk Sanda Pitunna. Tokoh penting dalam
Rotua Tresna Nurhayati Manurung : Upacara Kematian Di Tana Toraja : Rambu Solo, 2009.
USU Repository 2009

penyebaran aluk ini di wilayah barat Tana Toraja adalah Pongkapadang bersama
Burake Tattiu' yang menyebarkan ke daerah Bonggakaradeng, sebagian Saluputti,
Simbuang sampai pada Pitu Ulunna Salu Karua Ba'bana Minanga, dengan
memperkenalkan kepada masyarakat setempat suatu pranata sosial yang disebut
dalam bahasa Toraja "to unnirui' suke pa'pa, to ungkandei kandian saratu yakni
pranata sosial yang tidak mengenal strata.

Di wilayah timur Tana Toraja, Pasontik bersama Burake Tambolang


menyebarkannya ke daerah Pitung Pananaian, Rantebua, Tangdu, Ranteballa,
Ta'bi, Tabang, Maindo sampai ke Luwu Selatan dan Utara dengan
memperkenalkan pranata sosial yang disebut dalam bahasa Toraja : "To Unnirui'
suke dibonga, To unkandei kandean pindan", yaitu pranata sosial yang menyusun
tata kehidupan masyarakat dalam tiga strata sosial. Tangdilino bersama Burake
Tangngana menyebarkan aluk ke wilayah tengah Tana Toraja dengan membawa
pranata sosial "To unniru'i suke dibonga, To ungkandei kandean pindan".

4.3 Kesatuan Adat


Seluruh Tondok Lepongan Bulan Tana Matari' Allo ( wilayah Tana
Toraja) diikat oleh salah satu aturan yang dikenal dengan nama Tondok Lepongan
Bulan Tana Matari' Allo yang secara harafiahnya berarti "negri yang bulat seperti
bulan dan Matahari". Nama ini mempunyai latar belakang yang bermakna,
persekutuan negeri sebagai satu kesatuan yang bulat dari berbagai daerah adat. Ini
dikarenakan Tana Toraja tidak pernah diperintah oleh seorang penguasa tunggal,
Rotua Tresna Nurhayati Manurung : Upacara Kematian Di Tana Toraja : Rambu Solo, 2009.
USU Repository 2009

tetapi wilayah daerahnya terdiri dari kelompok adat yang diperintah oleh masingmasing pemangku adat dan ada sekitar 32 pemangku adat di Toraja.
Karena perserikatan dan kesatuan kelompok adat tersebut, maka diberilah
nama perserikatan bundar atau bulat yang terikat dalam satu pandangan hidup
dan keyakinan sebagai pengikat seluruh daerah dan kelompok adat tersebut
( Sumber: http://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Toraja).

4.4 Upacara Adat Rambu Solo


Rambu Solo adalah sebuah upacara pemakaman secara adat yang
mewajibkan keluarga yang almarhum membuat sebuah pesta sebagai tanda
penghormatan terakhir pada mendiang yang telah pergi. Adat istiadat yang telah
diwarisi oleh masyarakat Toraja secara turun temurun ini, mewajibkan keluarga
yang ditinggal membuat sebuah pesta sebagai tanda hormat terakhir pada
mendiang yang telah pergi.

Upacara ini bagi masing-masing golongan

masyarakat tentunya berbeda-beda. Bila bangsawan yang meninggal dunia, maka


jumlah kerbau yang akan dipotong untuk keperluan acara jauh lebih banyak
dibanding untuk mereka yang bukan bangsawan. Untuk keluarga bangsawan,
jumlah kerbau bisa berkisar dari 24 sampai dengan 100 ekor kerbau. Sedangkan
warga golongan menengah diharuskan menyembelih 8 ekor kerbau ditambah
dengan 50 ekor babi, dan lama upacara sekitar 3 hari. Tapi, sebelum jumlah itu
mencukupi, jenazah tidak boleh dikuburkan di tebing atau di tempat tinggi.
Rotua Tresna Nurhayati Manurung : Upacara Kematian Di Tana Toraja : Rambu Solo, 2009.
USU Repository 2009

Makanya, tak jarang jenazah disimpan selama bertahun-tahun di tongkonan


sampai akhirnya keluarga almarhum/ almarhumah dapat menyiapkan hewan
kurban. Namun bagi penganut agama Nasrani dan Islam kini, jenazah dapat
dikuburkan dulu di tanah, lalu digali kembali setelah pihak keluarganya siap
untuk melaksanakan upacara ini.
Rambu Solo merupakan acara tradisi yang sangat meriah di Tana Toraja,
karena memakan waktu berhari-hari untuk merayakannya. Upacara ini biasanya
dilaksanakan pada siang hari, saat matahari mulai condong ke barat dan biasanya
membutuhkan waktu 2-3 hari. Bahkan bisa sampai dua minggu untuk kalangan
bangsawan. Kuburannya sendiri dibuat di bagian atas tebing di ketinggian bukit
batu. Menurut kepercayaan Aluk To Dolo (kepercayaan masyarakat Tana Toraja
dulu, sebelum masuknya agama Nasrani dan Islam) di kalangan orang Tana
Toraja, semakin tinggi tempat jenazah tersebut diletakkan, maka semakin cepat
pula rohnya sampai ke nirwana. Kepercayaan pada Aluk Todolo pada hakikatnya
berintikan pada dua hal, yaitu pandangan terhadap kosmos dan kesetiaan pada
leluhur. Masing-masing memiliki fungsi dan pengaturannya dalam kehidupan
bermasyarakat. Jika terjadi kesalahan dalam pelaksanaannya, sebutlah seperti
dalam hal "mengurus dan merawat" arwah para leluhur, bencana pun tak dapat
dihindari.

Rotua Tresna Nurhayati Manurung : Upacara Kematian Di Tana Toraja : Rambu Solo, 2009.
USU Repository 2009

Gambar 4.1 : Upacara Rambu Solo

Bagi masyarakat Tana Toraja, orang yang sudah meninggal tidak dengan
sendirinya mendapat gelar orang mati. Bagi mereka sebelum terjadinya upacara
Rambu Solo maka orang yang meninggal itu dianggap sebagai orang sakit.
Karena statusnya masih sakit, maka orang yang sudah meninggal tadi harus
dirawat dan diperlakukan layaknya orang yang

masih hidup, seperti

menemaninya, menyediakan makanan, minuman dan rokok atau sirih. Hal-hal


yang biasanya dilakukan oleh arwah, harus terus dijalankan seperti biasanya.
4.5

Pemakaman
Suasana perkabungan memang terasa dengan banyaknya orang berbaju

hitam. Namun, suasana itu berubah seketika saat kebaktian yang dipimpin oleh
pemuka agama selesai. Teriakan angkami itu seperti menjadi titik balik suasana.
Jenazah dipindahkan dari rumah duka menuju tongkonan pertama
(tongkonan tammuon), yaitu tongkonan dimana ia berasal. Di sana dilakukan
penyembelihan 1 ekor kerbau sebagai kurban atau dalam bahasa Torajanya
Matinggoro Tedong, yaitu cara penyembelihan khas orang Toraja, menebas
kerbau dengan parang dengan satu kali tebasan saja. Kerbau yang akan
Rotua Tresna Nurhayati Manurung : Upacara Kematian Di Tana Toraja : Rambu Solo, 2009.
USU Repository 2009

disembelih ditambatkan pada sebuah batu yang diberi nama Simbuang Batu.
Setelah itu, kerbau tadi dipotong-potong dan dagingnya dibagi-bagikan kepada
mereka yang hadir.
Jenazah berada di tongkonan pertama (tongkonan tammuon) hanya sehari,
lalu keesokan harinya jenazah akan dipindahkan lagi ke tongkonan yang berada
agak ke atas lagi, yaitu tongkonan barebatu, dan di sini pun prosesinya sama
dengan di tongkonan yang pertama, yaitu penyembelihan kerbau dan dagingnya
akan dibagi-bagikan kepada orang-orang yang berada di sekitar tongkonan
tersebut.
Jenazah diusung menggunakan duba-duba (keranda khas Toraja). Di
depan duba-duba terdapat lamba-lamba (kain merah yang panjang, biasanya
terletak di depan keranda jenazah, dan dalam prosesi pengarakan, kain tersebut
ditarik oleh para wanita dalam keluarga itu). Prosesi pengarakan jenazah dari
tongkonan barebatu menuju rante dilakukan setelah kebaktian dan makan siang.
Barulah keluarga dekat arwah ikut mengusung keranda tersebut. Para laki-laki
yang mengangkat keranda tersebut, sedangkan wanita yang menarik lambalamba. Dalam pengarakan terdapat urut-urutan yang harus dilaksanakan, pada
urutan pertama kita akan lihat orang yang membawa gong yang sangat besar, lalu
diikuti dengan tompi saratu atau yang biasa kita kenal dengan umbul-umbul lalu
tepat di belakang tompi saratu ada barisan tedong (kerbau) diikuti dengan lambalamba dan yang terakhir barulah duba-duba.
Jenazah tersebut akan disemayamkan di rante (lapangan khusus tempat
prosesi berlangsung), di sana sudah berdiri lantang (rumah sementara yang
Rotua Tresna Nurhayati Manurung : Upacara Kematian Di Tana Toraja : Rambu Solo, 2009.
USU Repository 2009

terbuat dari bambu dan kayu) yang sudah diberi nomor. Lantang itu sendiri
berfungsi sebagai tempat tinggal para sanak keluarga yang datang nanti. Karena
selama acara berlangsung mereka semua tidak kembali ke rumah masing-masing
tetapi menginap di lantang yang telah disediakan oleh keluarga yang sedang
berduka.
Iring-iringan jenazah akhirnya sampai di rante yang nantinya akan
diletakkan di lakkien (menara tempat disemayamkannya jenazah selama prosesi
berlangsung). Menara itu merupakan bangunan yang paling tinggi di antara
lantang-lantang yang ada di rante. Lakkien sendiri terbuat dari pohon bambu
dengan bentuk rumah adat Toraja. Jenazah dibaringkan di atas lakkien sebelum
nantinya akan dikubur. Di rante sudah siap dua ekor kerbau yang akan ditebas.
Setelah jenazah sampai di lakkien, acara selanjutnya adalah penerimaan
tamu, yaitu sanak saudara yang datang dari penjuru tanah air. Pada sore hari
setelah prosesi penerimaan tamu selesai, dilanjutkan dengan hiburan bagi para
keluarga dan para tamu undangan yang datang, dengan mempertontonkan
mapasilaga tedong (adu kerbau). Bukan main ramainya para penonton, karena
selama upacara Rambu Solo, adu hewan pemamah biak ini merupakan acara
yang ditunggu-tunggu.
Selama beberapa hari ke depan penerimaan tamu dan adu kerbau
merupakan agenda acara berikutnya, penerimaan tamu terus dilaksanakan sampai
semua tamu-tamunya berada di tempat yang telah disediakan yaitu lantang yang
berada di rante. Sore harinya selalu diadakan adu kerbau, hal ini merupakan
hiburan yang digemari oleh orang-orang Tana Toraja hingga sampai pada hari
Rotua Tresna Nurhayati Manurung : Upacara Kematian Di Tana Toraja : Rambu Solo, 2009.
USU Repository 2009

penguburan. Baik itu yang dikuburkan di tebing maupun yang di patane


(kuburan dari kayu berbentuk rumah adat).

Semakin sempurna upacara pemakaman seseorang, maka semakin


sempurnalah hidupnya di dunia keabadian yang mereka sebut puyo .
To na indanriki lino
To na pake sangattu
Kunbai lau ri puyo
Pa Tondokkan marendeng
Kita ini hanyalah pinjaman dunia yang dipakai untuk sesaat. Sebab, di puyo-lah
negeri kita yang kekal. Di sana pula akhir dari perjalanan hidup yang
sesungguhnya.
Bisa dimaklumi bila dalam setiap upacara kematian di Tana Toraja pihak
keluarga dan kerabat almarhum berusaha untuk memberikan yang terbaik.
Caranya adalah dengan membekali jiwa yang akan bepergian itu dengan
pemotongan hewan-biasanya berupa kerbau dan babi sebanyak mungkin. Para
penganut kepercayaan Aluk Todolo percaya bahwa roh binatang yang ikut
dikorbankan dalam upacara kematian tersebut akan mengikuti arwah orang yang
meninggal dunia tadi menuju ke puyo (dunia arwah, tempat berkumpulnya semua
roh).
(Sumber: http://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Toraja).

Rotua Tresna Nurhayati Manurung : Upacara Kematian Di Tana Toraja : Rambu Solo, 2009.
USU Repository 2009

4.5.1 Tingkatan upacara Rambu Solo


Upacara Rambu Solo terbagi dalam beberapa tingkatan yang mengacu
pada strata sosial masyarakat Toraja, yaitu Dipasang Bongi merupakan upacara
pemakaman yang hanya dilaksanakan dalam satu malam saja; Dipatallung Bongi
merupakan upacara pemakaman yang berlangsung selama tiga malam dan
dilaksanakan

dirumah

almarhum

serta

dilakukan

pemotongan

hewan;

Dipalimang Bongi merupakan upacara pemakaman yang berlangsung selama


lima malam dan dilaksanakan disekitar rumah almarhum serta dilakukan
pemotongan hewan; Dipapitung Bongi merupakan upacara pemakaman yang
berlangsung selama tujuh malam yang pada setiap harinya dilakukan pemotongan
hewan.

4.5.2 Upacara tertinggi


Biasanya upacara tertinggi dilaksanakan dua kali dengan rentang waktu
sekurang kurangnya setahun, upacara yang pertama disebut aluk pia biasanya
dalam pelaksanaannya bertempat disekitar tongkonan keluarga yang berduka,
sedangkan upacara kedua yakni upacara Rante biasanya dilaksanakan disebuah
lapangan khusus karena upacara yang menjadi puncak dari prosesi pemakaman
ini biasanya ditemui berbagai ritual adat yang harus dijalani, seperti : Ma'tundan,
Ma'balun (membungkus jenazah), Ma'roto (membubuhkan ornamen dari benang
emas dan perak pada peti jenazah), Ma'Parokko Alang (menurunkan jenazah
kelumbung untuk disemayamkan), dan yang terkahir Ma'Palao (yakni
mengusung jenazah ketempat peristirahatan yang terakhir).
Rotua Tresna Nurhayati Manurung : Upacara Kematian Di Tana Toraja : Rambu Solo, 2009.
USU Repository 2009

4.6 Nilai Tradisi Vs Keagamaan


Dalam kepercayaan asli masyarakat Tana Toraja yang disebut Aluk
Todolo, kesadaran bahwa manusia hidup di bumi ini hanya untuk sementara,
begitu kuat. Prinsipnya, selama tidak ada orang yang bisa menahan matahari
terbenam di ufuk barat, kematian pun tak mungkin bisa ditunda. Sesuai mitos
yang hidup di kalangan pemeluk kepercayaan Aluk Todolo, seseorang yang telah
meninggal dunia pada akhirnya akan menuju ke suatu tempat yang disebut puyo.
Letaknya di bagian selatan tempat tinggal manusia. Hanya saja tidak setiap
arwah atau roh orang yang meninggal itu dengan sendirinya bisa langsung
masuk ke puyo. Untuk sampai ke sana perlu didahului upacara penguburan
sesuai status sosial semasa ia hidup. Jika tidak diupacarakan atau upacara yang
dilangsungkan tidak sempurna sesuai aluk maka yang bersangkutan tidak dapat
mencapai puyo. Jiwanya akan tersesat.
Selama orang yang meninggal dunia itu belum diupacarakan, ia akan
menjadi arwah dalam wujud setengah dewa. Roh yang merupakan penjelmaan
dari jiwa manusia yang telah meninggal dunia ini mereka sebut tomebali puang.
Sambil menunggu korban persembahan untuknya dari keluarga dan kerabatnya
lewat upacara pemakaman, arwah tadi dipercaya tetap akan memperhatikan dari
dekat kehidupan keturunannya.
4.7 Tempat Upacara Pemakaman Adat
Masyarakat

Tana

Toraja

mempunyai

beberapa

tempat

pemakaman adat, diantaranya:


4.7.1 Rante
Rotua Tresna Nurhayati Manurung : Upacara Kematian Di Tana Toraja : Rambu Solo, 2009.
USU Repository 2009

upacara

Yaitu tempat upacara pemakaman secara adat yang dilengkapi dengan


100 buah menhir/megalit yang dalam bahasa toraja disebut Simbuang Batu. 102
bilah batu menhir yang berdiri dengan megah terdiri dari 24 buah ukuran besar,
24 buah ukuran sedang dan 54 buah ukuran kecil. Ukuran menhir ini mempunyai
nilai adat yang sama, perbedaan tersebut hanyalah faktor perbedaan situasi.

Gambar 4.2 : Rante


4.7.2 Lemo

Adalah salah satu kuburan leluhur Toraja, yang merupakan kuburan alam
yang dipahat pada abad XVI atau setempat disebut dengan Liang Paa'. Jumlah
liang batu kuno ada 75 buah dan tau-tau yang tegak berdiri sejumlah 40 buah
sebagai lambang-lambang prestise, status, peran dan kedudukan para bangsawan
di Desa Lemo. Diberi nama Lemo oleh karena model liang batu ini ada yang
menyerupai jeruk bundar dan berbintik-bintik. Di dalamnya terdapat gua dengan
banyak tengkorak kepala manusia. Gua yang tergantung itu, menyimpan misteri
yakni erong, puluhan banyaknya, dan penuh berisikan tulang dan tengkorak para
leluhur, tau-tau.
4.7.3 Tampang Allo
Rotua Tresna Nurhayati Manurung : Upacara Kematian Di Tana Toraja : Rambu Solo, 2009.
USU Repository 2009

Yang merupakan sebuah kuburan goa alam yang terletak di Kelurahan


Sangalla' dan berisikan puluhan erong, puluhan tau-tau dan ratusan tengkorak
serta tulang belulang manusia. Pada sekitar abad XVI oleh penguasa Sangalla'
dalam hal ini Sang Puang Manturino bersama istrinya Rangga Bualaan memilih
goa Tampang Allo sebagai tempat pemakamannya kelak jika mereka meninggal
dunia, sebagai perwujudan dari janji dan sumpah suami istri yakni "sehidup
semati satu kubur kita berdua". Goa Tampang Alllo berjarak 19 km dari
Rantepao dan 12 km dari Makale.

4.7.4 To'Doyan
Adalah pohon besar yang digunakan sebagai makam bayi (anak yang
belum tumbuh giginya). Pohon ini secara alamiah memberi akar-akar tunggang
yang secara teratur tumbuh membentuk rongga-rongga. Rongga inilah yang
digunakan sebagai tempat menyimpan mayat bayi.
4.7.5 Patane Pong Massangka
Kuburan dari kayu berbentuk rumah Toraja yang dibangun pada tahun
1930 untuk seorang janda bernama Palindatu yang meninggal dunia pada tahun
1920 dan diupacarakan secara adat Toraja tertinggi yang disebut Rapasan Sapu
Randanan. Pong Massangka diberi gelar Ne'Babu' disemayamkan dalam Patane
ini. Tau-taunya yang terbuat dari batu yang dipahat .
Rotua Tresna Nurhayati Manurung : Upacara Kematian Di Tana Toraja : Rambu Solo, 2009.
USU Repository 2009

4.7.6 Ta'pan Langkan


Yang berarti istana burung elang. Dalam abad XVII Ta'pan Langkan
digunakan sebagai makam oleh lima rumpun suku Toraja antara lain Pasang dan
Belolangi'. Makam purbakala ini terletak di desa Rinding Batu dan memiliki
sekian banyak tau-tau sebagai lambang prestise dan kejayaan masa lalu para
bangsawan Toraja di Desa Rinding Batut. Dalam adat masyarakat Toraja, setiap
rumpun mempunyai dua jenis tongkonan tang merambu untuk manusia yang
telah meninggal. Ta'pan Langkan termasuk kategori tongkonan tang merambu
yang jaraknya 1,5 km dari poros jalan Makale-Rantepao dan juga dilengkapi
dengan panorama alam yang mempesona.

4.7.7 Sipore'
Yang artinya "bertemu" adalah salah satu tempat pekuburan yang
merupakan situs purbakala, dimana masyarakat membuat liang kubur dengan
cara digantung pada tebing atau batu cadas. Lokasinya 2 km dari poros jalan
Makale-Rantepao (sumber: http://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Toraja).
4.8 Tau- Tau
Tau-tau adalah pertanda bahwa telah sekian banyak putra-putra Toraja
terbaik telah dimakamkan melalui upacara adat tertinggi di wilayah Tallulolo.
Gua-gua alam ini penuh dengan panorama yang menakjubkan 1.000 m jauh
kedalam, dapat dinikmati dengan petunjuk guide yang sudah terlatih dan
profesional. Tau-tau adalah patung yang menggambarkan almarhum. Tau-tau
Rotua Tresna Nurhayati Manurung : Upacara Kematian Di Tana Toraja : Rambu Solo, 2009.
USU Repository 2009

dibuat dari kayu nangka yang kuat dan pada saat penebangannya dilakukan
secara adat. Mata dari tau-tau terbuat dari tulang dan tanduk kerbau. Pada jaman
dahulu kala, tau-tau dipahat tidak persis menggambarkan roman muka almarhum
namun akhir-akhir ini keahlian pengrajin pahat semakin berkembang hingga
mampu membuat persis roman muka almarhum.
(Sumber : http://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Toraja).

BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Kita

mungkin sudah sering mendengar mengenai Tana Toraja yang

dalam bahasa Inggris-nya, bisa kita plesetkan land (tana) to-(untuk) king-(raja).
Jadi terjemahan bebas sebebas-bebasnya adalah tanah untuk para raja. Tana
Toraja memiliki potensi alam yang besar dan potensi budaya yang maha
dahsyat.Tana Toraja yang kita dengar baik dalam konteks budaya/pariwisata
maupun sekedar mendengar namanya adalah sebuah nama yang unik dan wilayah
yang penuh eksotika alam dan budaya. Baru-baru ini salah satu stasiun televisi
Rotua Tresna Nurhayati Manurung : Upacara Kematian Di Tana Toraja : Rambu Solo, 2009.
USU Repository 2009

Indonesia menyiarkan mengenai pesta budaya kematian/pemakaman (Rambu


Solo). Dari sisi pariwisata, Toraja memang masih menjanjikan eksotika alam,
kultur/budaya, sosial kemasyarakatan, bahkan arsitekturalnya, khususnya rumah
adat Toraja.
Alam dan budaya memang merupakan dua hal yang tak dapat dipisahkan.
Dari segi alam, Tana Toraja memiliki hutan yang luas, pemandangan, sungai dan
gunung yang indah. Alam yang demikian indah juga didukung dengan wisata
budaya yang menarik. Tidak hanya upacara adat Rambu Solo, tapi Tana Toraja
juga memiliki budaya lainnya yang tidak kalah unik. Tidak salah bila Tana Toraja
menjadi andalan wisata kedua di Indonesia setelah Bali.

5.2 Saran
Penulis menyorot masalah pariwisata Tana Toraja dari dua aspek, yaitu
wisata alam dan budaya. Dari segi alam, Tana Toraja memang bergununggunung. Tapi bukan tidak mungkin keadaan alam yang demikian disukai oleh
wisatawan yang berasal dari dataran rendah. Sementara masalah akses kesana
yang sulit telah coba dipecahkan oleh pemerintah setempat dengan mengubah
kemudi prioritas pembangunan. Dalam tiga tahun terakhir, sektor transportasi,
khususnya transportasi darat, akhirnya jadi prioritas utama pembangunan.

Rotua Tresna Nurhayati Manurung : Upacara Kematian Di Tana Toraja : Rambu Solo, 2009.
USU Repository 2009

Sementara, dari aspek wisata budaya, penulis merasa takjub luar biasa
terhadap kebudayaan Tana Toraja. Penulis berharap agar masyarakat Tana Toraja
menghidupkan terus budaya tersebut. Sama seperti masyarakat Bali yang terus
menghidupkan budaya mereka sehingga menarik hati wisatawan yang memang
pada dasarnya memiliki kebudayaan yang jauh berbeda.
Bagi pemerintah setempat kiranya memperhatikan kondisi Tana Toraja
dan lebih tanggap untuk melakukan perubahan yang diperlukan. Bagaimanapun,
akses yang mudah ke DTW akan lebih banyak diminati wisatawan. Pemerintah
setempat kiranya bekerjasama dengan pihak swasta untuk memajukan pariwisata
di daerah Tana Toraja. Dan bagi insan pariwisata seperti pemilik hotel, art shop,
para pedagang, orang- orang di dinas pariwisata, tour guide, agar lebih
melakukan yang terbaik demi kemajuan pariwisata Tana Toraja pada khususnya
dan pariwisata Indonesia pada umumnya.

DAFTAR PUSTAKA
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan . 1981-1982 . Upacara Tradisional
Daerah Sulawesi Selatan
Fox, James . 2002 . Agama dan Upacara . Jakarta . Buku Antar Bangsa

http://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Toraja diakses 14 Januari 2009

http://students.ukdw.ac.id/~23050034/kebudayaan.htm diakses 14 Januari 2009

Rotua Tresna Nurhayati Manurung : Upacara Kematian Di Tana Toraja : Rambu Solo, 2009.
USU Repository 2009

http://batusura.de/index.htm diakses 14 Januari 2009

http://www.sinarharapan.co.id/berita/0508/20/sh05.html diakses 20 Januari 2009


Keesing, Roger, 1992 . Antropologi Budaya . Surabaya, Erlangga
Koentjaraningrat . 1979 . Antropologi Budaya . Jakarta . Aksara Baru

Majalah Travel Club, Edisi 174/ Juli, 2006

Majalah Travel Club, Edisi 172/ Mei, 2006


Marpaung, Happy . 2000. Pengetahuan Kepariwisataan, Bandung, Alfabeta

Prasetya, Joko . 1991 . Ilmu Budaya Dasar, Bandung . Rineka Cipta

Soekadijo, R.G. 1997 . Anatomi Pariwisata, Jakarta , Gramedia Pustaka


Utama,
Suhamihardja, Suhandi . 1977 . Adat Istiadat dan Kepercayaan Sulawesi Selatan,
Bandung . Litera

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama

Rotua Tresna Nurhayati Manurung

Tempat/Tgl lahir

Tg.Leidong/ 19 September 1984

Alamat

Jalan Beringin no 23 Padang Bulan Medan

Jenis Kelamin

Perempuan

Agama

Protestan

Nama Orangtua
Rotua Tresna Nurhayati Manurung : Upacara Kematian Di Tana Toraja : Rambu Solo, 2009.
USU Repository 2009

a. Bapak

J. Manurung

b. Ibu

H. E. Marpaung

Alamat

Jalan Pasar Baru Pajak Juke no 48 Tg. Leidong

Pendidikan:
1996

Lulus dari SD D.I. Panjaitan Tg.Leidong

1999

Lulus dari SLTP Puteri Tunggal Tg.Balai

2002

Lulus dari SMU Cahaya Medan

2002-2006

Fakultas Teknik Jurusan Teknik Elektro USU (Mutasi)

2006-2009

Fakultas Sastra Jurusan DIII Pariwisata USU Medan

Hormat Saya

(Rotua Tresna Nurhayati Manurung)

LAMPIRAN

Tana Toraja, Sulsel; Wisata Budaya Penuh Pesona


Tana Toraja merupakan objek wisata yang terkenal dengan kekayaan budayanya.
Kabupaten yang terletak sekitar 350 km sebelah utara Makassar itu sangat terkenal
dengan bentuk bangunan rumah adatnya. Rumah adat ini bernama Tongkonan.

Rotua Tresna Nurhayati Manurung : Upacara Kematian Di Tana Toraja : Rambu Solo, 2009.
USU Repository 2009

Atapnya terbuat dari daun nipa atau kelapa dan mampu bertahan sampai 50 tahun.
Tongkonan juga memiliki strata sesuai derajat kebangsawanan masyarakat, seperti
strata emas, perunggu, besi, dan kuningan.
Saking melekatnya imej Tana Toraja dengan bangunan rumah adat ini, sebagai bentuk
promosi pariwisata dan untuk menggaet turis Jepang ke daerah ini, maka rumah adat
pun dibangun di negeri matahari terbit itu.
Bangunannya dikerjakan oleh orang Toraja sendiri dan diboyong pengusaha pariwisata
ke negeri sakura. Sekarang di Jepang sudah ada dua Tongkonan yang sangat mirip
dengan Tongkonan asli. Kehadiran Tongkonan selalu membuat kagum masyarakat
negeri tersebut karena bentuknya yang unik. Perbedaannya dengan yang ada di Tana
Toraja hanya terletak pada atapnya yang menggunakan daun sagu (rumbia).
Masih banyak lagi daya tarik Tana Toraja selain upacara adat rambu solo (pemakaman)
yang sudah tersohor selama ini. Sebutlah kuburan bayi di atas pohon tarra di Kampung
Kambira, Kecamatan Sangalla, sekitar 20 km dari Rantepao, yang disiapkan bagi jenazah
bayi berusia 0-7 tahun.
Meski mengubur bayi di atas pohon tarra itu sudah tidak dilaksanakan lagi sejak
puluhan tahun terakhir, pohon tempat menyimpan mayat bayi itu masih tetap tegak
dan banyak dikunjungi wisatawan.
Di atas pohon tarra - yang buahnya mirip buah sukun - dengan lingkaran batang pohon
sekitar 3,5 meter, tersimpan puluhan jenazah bayi.
Sebelum jenazah dimasukkan ke batang pohon, terlebih dahulu batang pohon itu
dilubangi. Mayat bayi diletakkan ke dalam, lalu ditutupi dengan serat pohon kelapa
berwarna hitam. Setelah puluhan tahun, jenazah bayi itu akan menyatu dengan pohon
tersebut.
Ini suatu daya tarik bagi para pelancong dan untuk masyarakat Tana Toraja tetap
menganggap tempat tersebut suci seperti anak yang baru lahir.
Penempatan jenazah bayi di pohon ini, disesuaikan dengan strata sosial masyarakat.
Makin tinggi derajat sosial keluarga itu maka makin tinggi letak bayi yang dikuburkan di
batang pohon tarra.

Selain itu, bayi yang meninggal dunia diletakkan sesuai arah tempat tinggal keluarga
yang berduka. Kalau rumahnya ada di bagian barat pohon, maka jenazah anak akan
diletakkan di sebelah barat.
Rotua Tresna Nurhayati Manurung : Upacara Kematian Di Tana Toraja : Rambu Solo, 2009.
USU Repository 2009

Sementara itu, untuk sampai di Tana Toraja yang mengagumkan ini ada jalur
penerbangan domestik Makassar-Tana Toraja. Penerbangan ini hanya sekali dalam
seminggu dan memakai pesawat kecil berpenumpang delapan orang. Namun, waktu
yang dibutuhkan cukup singkat, hanya 45 menit dari Bandara Hasanuddin Makassar.
Dan jika lewat darat, perjalanan yang cukup melelahkan membutuhkan waktu tujuh
jam.
Even yang menarik di kawasan wisata ini adalah upacara pemakaman jenazah (rambu
solo) dan pesta syukuran (rambu tuka) yang merupakan kalender tetap tiap tahun.
Selain even tersebut, para pengunjung bisa melihat dari dekat objek wisata budaya
menarik lainnya, seperti penyimpanan jenazah di penampungan mayat berbentuk
kontainer ukuran raksasa dengan lebar 3 meter dan tinggi 10 meter serta tongkonan
yang sudah berusia 600 tahun di Londa, Rantepao
Upacara Adat Rambu Solo
Rambu Solo adalah upacara adat kematian masyarakat Tana Toraja yang bertujuan
untuk menghormati dan mengantarkan arwah orang yang meninggal dunia menuju
alam roh, yaitu kembali kepada keabadian bersama para leluhur mereka di sebuah
tempat peristirahatan, disebut dengan Puya, yang terletak di bagian selatan tempat
tinggal manusia. Upacara ini sering juga disebut upacara penyempurnaan kematian.
Dikatakan demikian, karena orang yang meninggal baru dianggap benar-benar
meninggal setelah seluruh prosesi upacara ini digenapi. Jika belum, maka orang yang
meninggal tersebut hanya dianggap sebagai orang sakit atau lemah, sehingga ia
tetap diperlakukan seperti halnya orang hidup, yaitu dibaringkan di tempat tidur dan
diberi hidangan makanan dan minuman, bahkan selalu diajak berbicara.
Oleh karena itu, masyarakat setempat menganggap upacara ini sangat penting, karena
kesempurnaan upacara ini akan menentukan posisi arwah orang yang meninggal
tersebut, apakah sebagai arwah gentayangan (bombo), arwah yang mencapai tingkat
dewa (to-membali puang), atau menjadi dewa pelindung (deata). Dalam konteks ini,
upacara Rambu Solo menjadi sebuah kewajiban, sehingga dengan cara apapun
masyarakat Tana Toraja akan mengadakannnya sebagai bentuk pengabdian kepada
orang tua mereka yang meninggal dunia.
Kemeriahan upacara Rambu Solo ditentukan oleh status sosial keluarga yang
meninggal, diukur dari jumlah hewan yang dikorbankan. Semakin banyak kerbau
disembelih, semakin tinggi status sosialnya. Biasanya, untuk keluarga bangsawan,
jumlah kerbau yang disembelih berkisar antara 24-100 ekor, sedangkan warga golongan
menengah berkisar 8 ekor kerbau ditambah 50 ekor babi. Dulu, upacara ini hanya
mampu dilaksanakan oleh keluarga bangsawan. Namun seiring dengan perkembangan
Rotua Tresna Nurhayati Manurung : Upacara Kematian Di Tana Toraja : Rambu Solo, 2009.
USU Repository 2009

ekonomi, strata sosial tidak lagi berdasarkan pada keturunan atau kedudukan,
melainkan berdasarkan tingkat pendidikan dan kemampanan ekonomi. Saat ini, sudah
banyak masyarakat Toraja dari strata sosial rakyat biasa menjadi hartawan, sehingga
mampu menggelar upacara ini.
Konsep Kebudayaan
1. Pengertian Kebudayaan
Kebudayaan adalah hasil karya manusia dalam usahanya mempertahankan hidup,
mengembangkan keturunan dan meningkatkan taraf kesejahteraan dengan segala
keterbatasan kelengkapan jasmaninya serta sumber- sumber alam yang ada
disekitarnya. Kebudayaan boleh dikatakan sebagai perwujudan tanggapan manusia
terhadap tantangan-tantangan yang dihadapi dalam proses penyesuaian diri mereka
dengan lingkungan. Kebudayaan adalah keseluruhan pengetahuan manusia sebagai
makhluk sosial yang digunakannya untuk memahami dan menginterpretasi lingkungan
dan pengalamannya, serta menjadi kerangka landasan bagi mewujudkan dan
mendorong terwujudnya kelakuan. Dalam definisi ini, kebudayaan dilhat sebagai
"mekanisme kontrol" bagi kelakuan dan tindakan-tindakan manusia (Geertz, 1973a),
atau sebagai "pola-pola bagi kelakuan manusia" (Keesing & Keesing, 1971). Dengan
demikian kebudayaan merupakan serangkaian aturan-aturan, petunjuk-petunjuk,
resep-resep, rencana-rencana, dan strategi-strategi, yang terdiri atas serangkaian
model-model kognitif yang digunakan secara kolektif oleh manusia yang memilikinya
sesuai dengan lingkungan yang dihadapinya (Spradley, 1972).
Kebudayaan merupakan pengetahuan manusia yang diyakini akan kebenarannya oleh
yang bersangkutan dan yang diselimuti serta menyelimuti perasaan-perasaan dan
emosi-emosi manusia serta menjadi sumber bagi sistem penilaian sesuatu yang baik
dan yang buruk, sesuatu yang berharga atau tidak, sesuatu yang bersih atau kotor, dan
sebagainya. Hal ini bisa terjadi karena kebudayaan itu diselimuti oleh nilai-nilai moral,
yang sumber dari nilai-nilai moral tersebut adalah pada pandangan hidup dan pada etos
atau sistem etika yang dipunyai oleh setiap manusia (Geertz, 1973b).
Kebudayaan yang telah menjadi sistem pengetahuannya, secara terus menerus dan
setiap saat bila ada rangsangan, digunakan untuk dapat memahami dan
menginterpretasi berbagai gejala, peristiwa, dan benda-benda yang ada dalam
lingkungannya sehingga kebudayaan yang dipunyainya itu juga dipunyai oleh para
warga masyarakat di mana dia hidup. Karena, dalam kehidupan sosialnya dan dalam
kehidupan sosial warga masyarakat tersebut, selalu mewujudkan berbagai kelakuan
dan hasil kelakuan yang harus saling mereka pahami agar keteraturan sosial dan
kelangsungan hidup mereka sebagai makhluk sosial dapat tetap mereka pertahankan.
Rotua Tresna Nurhayati Manurung : Upacara Kematian Di Tana Toraja : Rambu Solo, 2009.
USU Repository 2009

Pemahaman ini dimungkinkan oleh adanya kesanggupan manusia untuk membaca dan
memahami serta menginterpretasi secara tepat berbagai gejala dan peristiwa yang ada
dalam lingkungan kehidupan mereka. Kesanggupan ini dimungkinkan oleh adanya
kebudayaan yang berisikan model-model kognitif yang mempunyai peranan sebagai
kerangka pegangan untuk pemahaman. Dan dengan kebudayaan ini, manusia
mempunyai kesanggupan untuk mewujudkan kelakuan tertentu sesuai dengan
rangsangan-rangsangan yang ada atau yang sedang dihadapinya.
Sebagai sebuah resep, kebudayaan menghasilkan kelakuan dan benda-benda
kebudayaan tertentu, sebagaimana yang diperlukan sesuai dengan motivasi yang
dipunyai ataupun rangsangan yang dihadapi. Resep-resep yang ada dalam setiap
kebudayaan terdiri atas serangkaian petunjuk-petunjuk untuk mengatur, menyeleksi,
dan merangkaikan simbol-simbol yang diperlukan, sehingga simbol-simbol yang telah
terseleksi itu secara bersama-sama dan diatur sedemikian rupa diwujudkan dalam
bentuk kelakuan atau benda-benda kebudayaan sebageimana diinginkan oleh
pelakunya. Di samping itu, dalam setiap kebudayaan juga terdapat resep-resep yang
antara lain berisikan pengetahuan untuk mengidentifikasi tujuan-tujuan dan cara-cara
untuk mencapai sesuatu dengan sebaik-baiknya, berbagai ukuran untuk menilai
berbagai tujuan hidup dan menentukan mana yang terlebih penting, berbagai cara
untuk mengidentifikasi adanya bahaya-bahaya yang mengancam dan asalnya, serta
bagaimana mengatasinya (Spradley, 1972).
Dalam pengalaman dan proses belajar manusia, sesungguhnya dia memperoleh
serangkaian pengetahuan mengenai simbol-simbol. Simbol adalah segala sesuatu
(benda, peristiwa, kelakuan atau tindakan manusia, ucapan) yang telah ditempeli
sesuatu arti tertentu menurut kebudayaan yang bersangkutan. Simbol adalah
komponen utama perwujudan kebudayaan karena setiap hal yang dilihat dan dialami
oleh manusia itu sebenarnya diolah menjadi serangkaian simbol-simbol yang
dimengerti oleh manusia. Sehingga Geertz (1966) menyatakan bahwa kebudayaan
sebenarnya adalah suatu sistem pengetahuan yang mengorganisasi simbol-simbol.
Dengan adanya simbol-simbol ini kebudayaan dapat dikembangkan karena sesuatu
peristiwa atau benda dapat dipahami oleh sesama warga masyarakat hanya dengan
menggunakan satu istilah saja.
Dalam setiap kebudayaan, simbol-simbol yang ada itu cenderung untuk dibuat atau
dimengerti oleh para warganya berdasarkan atas konsep-konsep yang mempunyai arti
yang tetap dalam suatu jangka waktu tertentu. Dalam menggunakan simbol-simbol,
seseorang biasanya selalu melakukannya berdasarkan aturan-aturan untuk
membentuk, mengkombinasikan bermacam-macam simbol, dan menginterpretasikan
simbol-simbol yang dihadapi atau yang merangsangnya. Kalau serangkaian simbolRotua Tresna Nurhayati Manurung : Upacara Kematian Di Tana Toraja : Rambu Solo, 2009.
USU Repository 2009

simbol itu dilihat sebagai bahasa, maka pengetahuan ini adalah tata bahasanya. Dalam
antropologi budaya, pengetahuan ini dinamakan kode kebudayaan
2. Nilai-Nilai Luhur Bangsa Indonesia
Melihat pengertian kebudayaan yang sedemikian luas dan kompleks, penulis kemudian
mencoba mengambil beberapa unsur dari kebudayaan kemudian dicoba untuk
digunakan menjawab berbagai tantangan yang tengah melanda bangsa Indonesia pada
umumnya dan tantangan mengenai kepemimpinan pada khususnya.
Seperti diketahui, bangsa Indonesia dan secara lebih khusus lagi masyarakat Jawa,
banyak memiliki konsep-konsep kepemimpinan dan konsep-konsep tersebut ternyata
mempunyai sifat yang sangat universal, dalam arti juga bisa digunakan sebagai panutan
oleh masyarakat manapun yang ada dibelahan bumi ini. Konsep-konsep kepemimpinan
ini merupakan nilai-nilai luhur yang terkandung dalam ajaran berbentuk petuah,
nasehat, wejangan, peraturan, perintah dan semacamnya yang diwariskan secara turun
temurun melalui kebiasaan ataupun adat istiadat tentang bagaimana manusia harus
hidup secara baik agar ia benar-benar menjadi manusia yang baik dan menghindari
perilaku-perilaku yang tidak baik.

Rotua Tresna Nurhayati Manurung : Upacara Kematian Di Tana Toraja : Rambu Solo, 2009.
USU Repository 2009

Rotua Tresna Nurhayati Manurung : Upacara Kematian Di Tana Toraja : Rambu Solo, 2009.
USU Repository 2009

Anda mungkin juga menyukai