Anda di halaman 1dari 209

Universitas Sumatera Utara

Repositori Institusi USU http://repositori.usu.ac.id


Departemen Sejarah Skripsi Sarjana

2013

Peran Lekra dalam Membentuk


Kehidupan Budaya di Medan (1950 -1966)

Mehaga, Arenda
Universitas Sumatera Utara

https://repositori.usu.ac.id/handle/123456789/9670
Downloaded from Repositori Institusi USU, Univsersitas Sumatera Utara
PERAN LEKRA DALAM MEMBENTUK KEHIDUPAN BUDAYA DI MEDAN

(1950 -1966)

SKRIPSI SARJANA

Dikerjakan

NAMA : ARENDA MEHAGA

N.I.M : 080706039

DEPARTEMEN SEJARAH

FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2013

Universitas Sumatera Utara


Lembaran Pengesahan Pembimbing Skripsi

PERAN LEKRA DALAM MEMBENTUK KEHIDUPAN BUDAYA DI MEDAN


(1950 -1966)

SKRIPSI SARJANA
Dikerjakan

O
L
E
H

NAMA : ARENDA MEHAGA


N.I.M : 080706039

Diketahui Oleh :
Pembimbing

Drs. Wara Sinuhaji, M.Hum.


N.I.P : 195707161985031003

Skripsi ini diajukan kepada panitia ujian Fakultas Ilmu Budaya USU Medan untuk
melengkapi salah satu syarat ujian Sarjana Sastra dalam bidang Ilmu Sejarah.

DEPARTEMEN SEJARAH
FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2013

Universitas Sumatera Utara


Lembaran Persetujuan Ujian Skripsi

PERAN LEKRA DALAM MEMBENTUK KEHIDUPAN BUDAYA DI MEDAN


(1950 -1966)

Dikerjakan Oleh :

NAMA : ARENDA MEHAGA


N.I.M : 080706039

Telah disetujui untuk diujikan dalam ujian skripsi oleh :

Pembimbing

Drs. Wara Sinuhaji, M.Hum Tanggal, 28 Juni 2013


N.I.P : 195707161985031003

Ketua Departemen Sejarah

Drs. Edi Sumarno, M.Hum Tanggal, 29 Juni 2013


N.I.P : 196409221989031001

DEPARTEMEN SEJARAH
FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2013

Universitas Sumatera Utara


LEMBAR PENGESAHAN KETUA DEPARTEMEN

Disetujui Oleh :

FAKULTAS ILMU BUDAYA


UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2013

Departemen Sejarah
Ketua Departemen,

Drs. Edi Sumarno, M.Hum


N.I.P : 196409221989031001

Universitas Sumatera Utara


Lembar Pengesahan Skripsi oleh Dekan dan Panitia Ujian

Diterima Oleh:

Panitia Ujian Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara

Untuk Melengkapi Salah Satu Syarat Ujian Sarjana Sastra

Dalam Ilmu Sejarah Pada Fakultas Ilmu Budaya USU Medan

Pada
Tanggal : 16 Juli 2013
Hari : Selasa

Fakultas Ilmu Budaya USU

Dekan

Dr. Syahron Lubis, M.A


Nip. 19511031976031001

Panitia Ujian,

No. Nama Tanda Tangan

1. Dra. Pennina Simanjuntak, M.S. …………………

2. Dra. S.P. Dewi Murni, M.A. …………………

3. Drs. Wara Sinuhaji, M.Hum. …………………

4. Drs. Edi Sumarno, M.Hum. …………………

5. Dra. Nurhabsyah, M.Si. …………………

Universitas Sumatera Utara


UCAPAN TERIMA KASIH

Puji dan syukur penulis haturkan atas kehadirat dan kebaikan Tuhan Yang Maha

Esa, yang telah berkenan memberikan berkat, penyertaan, kesempatan, dan kasih sayang-

Nya kepada penulis sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.

Dalam kesempatan ini dengan penuh kerendahan hati dan rasa hormat penulis juga

ingin mengucapkan terima kasih atas segala bantuan yang telah diberikan berupa tenaga,

motivasi, bimbingan, serta sumbangan pemikiran dari berbagai pihak untuk mensukseskan

pekerjaan skripsi ini:

1. Kepada kedua orang tua penulis, Bapak Sahat Sembiring dan Ibunda Jumpanaria

Barus yang telah melahirkan dan membesarkan penulis dengan penuh cinta dan

kasih sayang yang tak ternilai harganya, kiranya kasih karunia Tuhan selalu

berlimpah kepada mereka. Juga kepada abang penulis, Aldion Agung Sembiring

yang selalu mendoakan yang terbaik bagi penulis.

2. Bapak Dr. Syahron Lubis, M.A. selaku Dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas

Sumatera Utara Medan, beserta Pembantu Dekan I Dr. M. Husnan Lubis, M.A,

Pembantu Dekan II Drs. Samsul Tarigan, dan Pembantu Dekan III Drs. Yudi

Adrian Muliadi, M.A, berkat bantuan dan fasilitas yang penulis peroleh di Fakultas

Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Medan, maka penulis dapat

menyelesaikan studinya.

3. Bapak Drs. Edi Sumarno M.Hum. sebagai Ketua Departemen Sejarah Fakultas

Ilmu Budaya USU yang telah banyak memberikan dorongan, nasihat dan motivasi
i

Universitas Sumatera Utara


kepada penulis baik selama kuliah maupun pada saat mengerjakan penulisan skripsi

ini. Juga kepada Ibu Dra. Nurhabsyah, Msi, sebagai Sekretaris Departemen Sejarah

Fakultas Ilmu Budaya USU.

4. Terkhusus untuk Bapak Drs. Sentosa Tarigan, MSp sebagai dosen Penasehat

Akademik penulis yang telah sangat sabar dan tanpa henti-hentinya memberi

wejangan dan nasehat bagi penulis walaupun penulis belum bisa menjadi anak

didik yang baik.

5. Terimakasih banyak juga penulis hanturkan kepada Bapak Drs. Wara Sinuhaji,

M.Hum selaku pembimbing skripsi penulis, terimakasih atas segala arahan,

bimbingan dan bantuannya dalam penulisan skripsi ini. Saran dan kritik Bapak

sangat berperan besar menuntun penulis dalam mengerjakan skripsi ini.

6. Terimakasih banyak juga penulis haturkan kepada seluruh Bapak/Ibu dosen penulis

khususnya di Departemen Sejarah, semoga ilmu yang diberikan dapat penulis

amalkan, juga kepada bang Amperawira selaku Tata Usaha Departemen Sejarah.

7. Terimakasih juga penulis haturkan kepada seluruh narasumber dalam penulisan

skripsi ini yang telah berkenan membantu penulis menyelesaikan skripsi ini.

8. Seluruh kawan-kawan Mahasiswa Sejarah Universitas Sumatera Utara, terkhusus

stambuk/angkatan tahun 2008, Yogi, Artono, Marco, Jansarman, Jakob, Eko, Resti,

Eri, Royandi, Hotman, Putri, Fahmi, Dewi, Edyta, Cahaya, Kuasa, Azis, Frider,

Suranta, Glorika, Mangihut, Novita, Yuni, Riana dan kawan-kawan 2008 yang

lainnya. Terimakasih atas pengalaman luar biasa yang telah kita lewati bersama.

ii

Universitas Sumatera Utara


9. Seluruh abang dan kakak senior dan adik-adik junior yang telah membuat

kehidupanku di kampus semakin berwarna.

10. Kepada rekan-rekan segerakan di GMKI FIB USU, Fredrick, Michael, Haradongan,

Supriadi, Lida, Krisman, Nida, Roy, Mangiring, Ira, Bob, Debora, Rico, Rayking,

Rommel, Marton, Surento, Evelin, Novita, Fajar, Jopi, Joy, Bintang, Jhonli, dan

lain-lainnya yang tidak bisa penulis sebutkan satu per satu.

11. Kepada kawan-kawan di Tim Popeye Football Club yang telah memberikan doa

dan semangat untuk penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

Akhirnya dengan rasa suka dan cita penulis mengucapkan terima kasih banyak atas

segala kontribusi yang telah diberikan dari semua pihak baik yang sudah disebutkan

maupun yang belum tak sempat tersebutkan karena adanya keterbatasan. Semoga kebaikan

saudara-saudariku yang telah penulis terima sampai saat ini dapat terbalaskan oleh Tuhan

Yang Maha Esa. Doa penulis selalu menyertai kalian semua. Amin.

Medan, Juni 2013


Penulis,

Arenda Mehaga

iii

Universitas Sumatera Utara


KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kita ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah

memberikan rahmat serta hidayah-Nya kepada kita. Skripsi ini merupakan merupakan

salah satu syarat untuk menyelesaikan program sarjana. Skripsi ini telah dipertahankan

dalam sidang skripsi di hadapan para penguji Departemen Sejarah Fakultas Ilmu Budaya

Universitas Sumatera Utara untuk memperoleh gelar Sarjana Sastra (S.S).

Skripsi ini berjudul, PERAN LEKRA DALAM MEMBENTUK KEHIDUPAN

BUDAYA DI MEDAN (1950-1966), yang mengkaji tentang seluk-beluk kehidupan

budaya di Medan pada saat Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) berkembang di sana

(1950-1965). Skripsi ini terdiri dari lima (V) Bab, fokus utama yang ingin dipaparkan

adalah peristiwa-peristiwa kebudayaan yang berkembang di Medan dan eksistensi Lekra di

dalamnya.

Fokus pembahasan skripsi ini terletak pada Bab II – IV, yang berusaha menjelaskan

kronologis dari lahirnya Lekra sebagai suatu organisasi kebudayaan hingga lenyapnya

Lekra. Dalam Bab II lebih banyak dipaparkan tentang kondisi kebudayaan dan perpolitikan

bangsa Indonesia di awal tahun 1950 hingga tahun 1959. Pada bab ini juga dijelaskan

secara rinci kronologis berdirinya Lekra pada 17 Agustus 1950 hingga dilaksanakannya

Kongres Nasional Lekra yang pertama pada tahun 1959.

Pada Bab III pembahasan lebih difokuskan kepada perkembangan kehidupan

kebudayaan di Medan beserta peran Lekra di dalamnya. Lekra mulai merambah daerah

Sumatera Utara pada sekitaran tahun 1954, lalu mulai masuk dan membuka cabang di

iv

Universitas Sumatera Utara


Medan sejak tahun 1955. Di Medan Lekra sangat aktif dalam menyebarkan paham

kebudayaan revolusionernya dengan cara yang kreatif. Dalam Bab III ini juga dijelaskan

bagaimana kehidupan para anggota Lekra Cabang Medan sejak kepemimpinan pertama

oleh Bakri Siregar sampai kepada keperiodean terakhir yang dipimpin oleh Buyung.

Fokus pembahasan yang terakhir terletak pada Bab IV, di mana Lekra mulai goyah

kedudukannya di ranah kebudayaan nasional dengan hadirnya Manifes Kebudayaan yang

dibuat atas kerjasama Angkatan Darat. Perseteruan pun tercipta di antara kedua kubu

tersebut sejak tahun 1963-1965. Perdebatan yang sengit di antara keduanya tidak pernah

menemukan titik perdamaian. Manifes Kebudayaan akhirnya harus rela dibubarkan oleh

Soekarno setelah dianggap sebagai tandingan dari Manifes Politik. Akan tetapi keadaan

berubah pada pertengahan tahun 1965, tragedi pemberontakan terjadi pada tanggal 30

September, lebih dikenal dengan sebutan G30S, yang berujung pada pengkudetaan tampuk

kepemimpinan di Indonesia. Lekra yang sedang menikmati masa-masa jayanya di saat

Manifes Kebudayaan tak lagi bisa berkembang, malah ikut menjadi korban dari

pemberontakan tersebut. Lekra ikut menjadi korba tragedi ini karena kedekatannya dengan

organisasi Partai Komunis Indonesia. Bersama dengan Soekarno dan PKI, Lekra

dilenyapkan oleh rezim yang kemudian muncul setelah terjadinya tragedi G30S itu, yaitu

Orde Baru.

Di Bab V pada skripsi ini penulis berusaha membuat kesimpulan atau benang

merah dari keseluruhan isi buku ini. Kesimpulan tersebut dibuat untuk memudahkan para

pembaca dalam memahami pengaruh-pengaruh apa saja yang telah ditanamkan oleh Lekra

dalam kehidupan kebudayaan di Indonesia pada umumnya dan di Medan khususnya.

Universitas Sumatera Utara


Akhir kata, penulis menyadari skripsi ini masih jauh dari kata sempurna dan

bahkan masih banyak didapati kesalahan-kesalahan, namun semuanya itu tentu merupakan

sebuah konsekuensi dari kelemahan dan keterbatasan yang ada pada diri penulis. Penulis

sendiri sangat mengharapkan adanya masukan berupa kritik dan saran dari para pembaca

untuk penyempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi yang dituliskan ini dapat bermanfaat

bagi para pembaca sekalian yang penulis hormati. Sekian dan terima kasih.

Medan, Juni 2013

Penulis,

Arenda Mehaga

vi

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR ISI

Halaman

LEMBAR JUDUL

LEMBAR PENGESAHAN DOSEN PEMBIMBING

LEMBAR PENGESAHAN KETUA DEPARTEMEN

LEMBAR PENGESAHAN DOSEN PENGUJI

UCAPAN TERIMA KASIH……………………………………………………..I


KATA PENGANTAR…………………………………………………………....IV
DAFTAR ISI……………………………………………………………………..VII
ABSTRAK………………………………………………………………………..IX

BAB I PENDAHULUAN………………………………………………...1

1.1 Latar Belakang ……………………………………………………1


1.2 Rumusan Masalah ………………………………………………...5
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian……………………………………5
1.4 Tinjauan Pustaka ………………………………………………….7
1.5 Metode Penelitian ………………………………………………....9

BAB II LEKRA MENGISI KEBUDAYAAN INDONESIA……………13


2.1 Pencarian Identitas Kebudayaan Bangsa………………………….13
2.2 Mukadimah Lekra………………………………………………....22
2.3 Kongres Nasional I dan Revisi Mukadimah Lekra………………..30
2.3.1 Struktur Lekra……………………………………………..31
2.3.2 Kombinasi 1-5-1…………………………………………..34
2.4 Lekra dan Hubungannya dengan PKI……………………………..46
2.5 Lekra dan Lawan Politiknya………………………………………53

vii

Universitas Sumatera Utara


BAB III PENGARUH LEKRA TERHADAP PERKEMBANGAN
KEHIDUPAN BUDAYA DI
MEDAN……………………………………………………………..58
3.1 Kondisi Sosial Budaya dan Kesenian di Medan tahun 1950-1965.....58
3.2 Budaya ‘Pop’ di Medan……………………………………………...60
3.3 Lekra hadir di Medan………………………………………………..68
3.3.1 Lekra Cabang Medan………………………………………..70
3.3.2 Lekra Dalam Perkembangan Seni Drama/Teater di Medan...75
3.3.3 Lekra Dalam Perkembangan Ansambel di Medan………….80
3.3.4 Film Turang………………………………………………....84
3.3.5 Perdebatan Tentang Identitas Budaya………………………89
3.3.6 Soal Plagiat Karya Sastra Hamka…………………………...90
3.4 Konferensi Nasional I Lestra di Medan……………………………..92
3.5 Situasi di Medan setelah munculnya Manikebu di Jakarta………….95

BAB IV LENYAPNYA GAUNG KEBUDAYAAN LEKRA………………99


4.1 Peristiwa Gerakan 30 September 1965……………………………...103
4.2 Stigmatisasi yang Membunuh………………………………………108
4.3 Lekra Menuju Ajalnya………………………………………………112

BAB V KESIMPULAN……………………………………………………..117

DAFTAR PUSTAKA……………………………………………….122

DAFTAR WAWANCARA
DAFTAR INFORMAN
LAMPIRAN 1-10
GAMBAR

viii

Universitas Sumatera Utara


ABSTRAK

Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) merupakan sebuah organisasi kebudayaan


yang bersifat revolusioner dan berpihak kepada rakyat. Lekra didirikan dengan semangat
kebudayaan revolusioner dan seni untuk rakyat. Dalam perkembangannya Lekra berperan
besar dalam membentuk identitas kebudayaan nasional, sehingga Indonesia tidak perlu
banyak mengambil unsur kebudayaan asing, melainkan mempunyai identitasnya sendiri.
Hadirnya Lekra dalam kebudayaan Indonesia ternyata berdampak juga terhadap situasi
perpolitikan Indonesia. Dengan azas “politik sebagai panglima” yang dimiliki Lekra, lantas
membuat Lekra harus terjun ke dalam putaran arus perpolitikan bangsa.
Campur tangan Lekra ke dalam perpolitikan Indonesia menimbulkan penolakan
dari para seniman dan pekerja kebudayaan yang memandang tabu unsur seni dicampur-
adukkan dengan unsur politik. Mereka yang menolak ini kemudian membentuk sebuah
perkumpulan para seniman yang tidak berpolitik untuk menandingi eksistensi Lekra, yang
kemudian dinamakan Manifesto Kebudayaan (Manikebu) dan lahir pada tahun 1963.
Meski kemudian terjadi perdebatan-perdebatan sengit antara Lekra dengan
Manikebu sampai awal tahun 1964, Lekra tetap berhasil mendominasi ruang kebudayaan
Indonesia dan menggeser Manikebu dari ruang kebudayaan tersebut. Hal ini dinyatakan
dengan pembubaran Manikebu oleh Soekarno pada Mei 1964.
Di Medan sendiri, Lekra menjadi salah satu faktor penting yang menghidupi
suasana kebudayaan di daerah beragam suku dan komunitas ini. Berbagai aktivitas
dilakukan Lekra sebagai bentuk kepeduliannya terhadap kebudayaan Indonesia. Masuknya
Lekra ke Sumatera Utara, terkhusus di Medan membuat peta kebudayaan daerah ini
berubah, dari yang sebelumnya bergenre Melayu dan budaya ‘pop’ menjadi sebuah
kebudayaan yang revolusioner. Hal ini dibuktikan oleh Lekra dengan peran sentralnya
dalam mengangkat kesenian drama dan seni musik, tak ketinggalan juga seni film di
Medan ke kancah nasional bahkan internasional. Kehadiran dan perkembangan Lekra di
Medan memberikan banyak kontribusi nyata bagi perkembangan seni di daerah ini, hingga
menjadikan Medan sebagai salah satu kota yang paling aktif dalam kegiatan seni dan
budayanya selain Jakarta, Surabaya dan Yogyakarta.
Pada sekitaran tahun 1965-1966 menjadi masa-masa menjelang akhir dari
eksistensi Lekra di Indonesia. Berawal pada tahun 1965 yang ternyata menjadi titik balik
perkembangan Lekra yang sebelumnya seakan tidak terbendung eksistensinya menjadi
harus dikubur pergerakannya hingga benar-benar tak bisa bangkit kembali. Kebrutalan
rezim otoriter Orde Baru mengharuskan para pekerja seni Lekra mendekam di dalam bui
bahkan tak sedikit yang hilang dan tewas di tangan rezim tersebut.
Metode yang digunakan dalam meneliti peran Lekra di Medan (1950-1966) yaitu
dengan metode sejarah analitis dan deskriptif. Untuk mendapatkan sumber-sumber sejarah
penulis menggunakan studi kepustakaan dan studi lapangan. Dari sumber yang diperoleh,
maka disimpulkan dan menghasilkan penulisan deskriptif kualitatif. Tujuan penelitian tentang
peranan Lekra di Kota Medan ini (1950-1966) adalah untuk mengetahui apa saja dinamika-
dinamika yang terjadi saat Lekra mulai berusaha menanamkan pengaruhnya terhadap
kehidupan kebudayaan di Medan.

ix

Universitas Sumatera Utara


BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Tahun-tahun dalam periode sekitar 1950-an merupakan sebuah periode yang sangat

identik dengan pertarungan ideologi di antara bangsa-bangsa seluruh penjuru dunia.

Ideologi pada masa itu diyakini bukan lagi dipandang sebagai sebuah refleksi belaka

seperti situasi awal lahirnya konsep ideologi, akan tetapi dia juga sudah menjadi sebuah

‘kebudayaan’ 1 . Pertarungan ideologi ini semakin terasa sengit ketika masa dimana

kebebasan untuk hidup mandiri (tidak diurus oleh kepentingan bangsa asing) telah mulai

diperkenalkan kepada bangsa-bangsa yang baru memerdekakan diri, termasuk Indonesia.

Partai-partai politik mulai diperkenalkan dan dibentuk dengan ideologi-ideologi masing-

masing. Pancasila yang menjadi ideologi dasar negara Indonesia seakan menjadi rebutan

bagi ideologi-ideologi lain untuk dapat bersanding dengan-nya (Pancasila) sebagai sebuah

nilai yang juga ingin dipandang selayaknya Pancasila itu sendiri.

Tahun-tahun sekitar 1950-an dan awal 1960-an juga merupakan suatu masa ketika

hubungan-hubungan Indonesia dengan dunia dan dengan kebangsaannya sedang

dinegosiasikan dengan penuh semangat. Tak pelak kurun waktu tersebut menjadi sebuah

zaman yang penuh gairah dengan pembentukan identitas bangsa. Kebudayaan berada

sebagai dasar dari hubungan antar personal, yang masing-masing mendasari sebuah

pembentukan bangsa (nation building). Para seniman dan intelektual di dalam republik

yang masih belia itu sibuk memikirkan, berpartisipasi dan bereksperimen, serta berdebat

1
David Mc Lelland, Ideologi Tanpa Akhir. Kreasi Wacana, Yogyakarta, 2005. hlm. 157

Universitas Sumatera Utara


secara semangat mengenai apa yang dapat menghubungkan dan memisahkan mereka,

serta apa yang membuat mereka menjadi bagian dari ‘Rakyat Indonesia’. Kesalingtautan

antar lintas budaya Indonesia dengan luar negeri dan perkembangan-perkembangan di

dalam negeri selama periode 1950-1965 menjadi perhatian masalah yang rupanya

menentukan nasib bangsa Indonesia dalam hal mengisi kemerdekaan bangsa.

Pada 18 Februari 1950 – kurang dari dua bulan setelah pengakuan Belanda

terhadap kemerdekaan Indonesia 2 – sehimpunan seniman melansir Surat Kepercayaan

Gelanggang. 3 Surat pernyataan itu dibuka dengan kalimat yang sangat mengesankan:

‘Kami adalah ahli waris jang sah dari kebudajaan dunia dan kebudajaan ini kami
teruskan dengan cara kami sendiri’. 4

Persoalan setelah munculnya Surat Kepercayaan Gelanggang menjadi kian rumit

karena para seniman dan intelektual Indonesia mulai mengenal berbagai pola modernitas,

baik itu melalui hubungan dengan jaringan luar negeri maupun lewat hubungan satu sama

lain di dalam negeri. Ideologi sosialisme dan kapitalisme - yang baru muncul pada awal

abad 19 semakin menunjukkan eksistensinya pada masa Perang Dingin - menawarkan dua

pola yang secara diametris sangat berlawanan mengenai pencapaian kemakmuran dan

kesejahteraan suatu bangsa.

Sejak awal tahun 1963 situasi bangsa mulai berubah drastis. Kelompok kiri sedang

sangat gencarnya menanamkan pengaruh di Indonesia. Para seniman dan budayawan

mencari ikatan (perlindungan) dengan kelompok-kelompok politik. Debat-debat yang

2
Sebagaimana diketahui bahwa pengakuan kemerdekaan Republik Indonesia dari Belanda baru
didapat pada Desember 1949 di ranah Konferensi Meja Bundar (KMB).
3
Nama ‘Gelanggang’ diambil dari suplemen kebudayaan di dalam media cetak mingguan Siasat
4
Untuk salinan lengkap dari Surat Kepercayaan Gelanggang lihat Bab II di halaman 18 pada buku
ini.

Universitas Sumatera Utara


sering terjadi pada saat itu tidak lagi perdebatan secara intelektual antara pemuda-pemuda

yang masih membentuk kesadaran nasionalismenya, melainkan cenderung menjadi

serangan sengit yang bersifat pribadi. Tegangan dan konflik juga tidak hanya antar ‘kubu’

ideologi secara luas, tetapi juga konflik internal mulai memecah belah masing-masing

kelompok politik.

Bias ilmiah dari konflik-konflik ideologi tersebut terhadap kebudayaan

menyebabkan potret kehidupan intelektual dan budaya pada periode awal dari Republik

Indonesia sebagai suatu konflik penuh polarisasi antara kelompok kiri dengan kelompok

kanan. Konflik kebudayaan yang tersengit mencapai klimaksnya pada tahun 1963 antara

pekerja budaya Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) yang berafiliasi dengan Partai

Komunis Indonesia bersama kawan-kawan se-ideologinya dengan para penandatangan


5
Manifesto Kebudayaan. Persaingan memperebutkan posisi yang strategis dalam

kebudayaan ini lantas diusung sebagai simbol dari konflik kebudayaan yang pernah terjadi

di Indonesia, dan juga digambarkan sebagai sebuah pertarungan ideologi antara “seni

untuk rakyat” (l’art pour engage) diperhadapkan dengan “seni untuk seni” (l’art pour

l’art).

Terutama kepada Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) yang menjadi main actor

atau tokoh utama dalam proses dinamika kebudayaan pada tahun 1950-1965, merupakan

suatu wadah yang paling ofensif dibanding gerakan-gerakan kebudayaan lainnya. Terlebih

dalam hal memprovokasi rakyat Indonesia untuk mengikutsertakan rakyat sebagai tulang

punggung revolusi yang masih harus dilanjutkan terutama dalam membentuk ‘identitas

5
Jennifer Lindsay, Ahli Waris Budaya Dunia 1950-1965; Sebuah Pengantar, KITLV-Jakarta,
Jakarta, hlm. 6.

Universitas Sumatera Utara


kebudayaan’ Indonesia. Dalam hal ini Lekra tentunya senada dengan Bung Karno yang

juga menuntut hadirnya kaum-kaum revolusioner sejati untuk menjaga keutuhan Bangsa

Indonesia.

Kota Medan pada masa-masa itu menjadi salah satu kota yang paling aktif

berpartisipasi dalam memunculkan pertarungan antara ideologi Humanisme Universal

kepunyaan Manifesto Kebudayaan (Manikebu) dengan ideologi Realisme Sosialis-nya

Lekra. Para pekerja kebudayaan dari kedua kubu tersebut saling melancarkan strategi

masing-masing untuk berebut menjadikan Medan sebagai sebuah basis salah satu dari

mereka. Hal ini tentunya berdampak terhadap perkembangan kebudayaan dan kesusastraan

yang ada di Medan, misalnya karya-karya sastra seperti cerpen, puisi, novel, dll. yang

ditulis oleh sastrawan-sastrawan Medan. Begitu pun halnya dengan perkembangan seni

drama atau teater, lukis, tari, dan aplikasi-aplikasi kebudayaan lainnya yang terjadi di

medan selama kurun waktu 1950-1965.

Atas dasar inilah tentunya sangat menarik apabila dapat dikaji lebih dalam dan rinci

lagi tentang apa saja pergerakan-pergerakan yang dilakukan Lekra di Kota Medan selama

kurun waktu 1950-an hingga pada tumbangnya masa demokrasi terpimpinnya Soekarno –

atau bisa juga disebut awal berdirinya zaman Orde Baru – yaitu tahun 1965, dalam

membentuk suatu identitas kebudayaan di Medan hingga terwujudnya karakter kebudayaan

Kota Medan seperti yang dikenal dengan julukan kota “Roman Picisan”. 6

6
M.I. Rangkuti, Dinamika Seni dan Budaya Sumatera Utara. Medan, 1981. hlm. 198

Universitas Sumatera Utara


1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka dibuatlah suatu perumusan mengenai

masalah yang hendak diteliti sebagai landasan utama dalam penelitian sekaligus menjaga

singkronisasi dalam uraian penelitian. Untuk mempermudah penulisan dalam upaya

menghasilkan penelitian yang objektif, maka pembahasannya dirumuskan terhadap

masalah-masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana awal berdiri dan berkembangnya Lekra sebagai gerakan

kebudayaan yang tetap eksis sampai tahun 1966 di Indonesia pada umumnya

dan di Medan pada khususnya.

2. Bagaimana peran Lekra dalam membentuk wacana serta kegiatan-kegiatan

kebudayaan dan seni yang terdapat di Medan pada sekitaran tahun 1950-

1966.

3. Bagaimana dinamika-dinamika pergulatan kebudayaan yang dialami Lekra

selama kurun waktu 1950-1966 di Medan.

I.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian

Setelah memperhatikan apa yang menjadi permasalahan yang akan dikaji oleh

penulis, maka yang menjadi permasalahan selanjutnya adalah permasalahan mengenai

yang menjadi tujuan peneliti dalam penelitian ini serta manfaat yang didapatkan dari hasil

penelitian.

Universitas Sumatera Utara


• Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk:

1. Menjelaskan bagaimana awal berdiri dan berkembangnya Lekra hingga

menjadi gerakan kebudayaan yang tetap eksis sampai tahun 1966 di

Indonesia pada umumnya dan di Medan pada khususnya.

2. Memberikan pemahaman tentang peranan Lekra dalam kegiatan-

kegiatan kebudayaan dan seni yang terdapat di Medan pada sekitaran

tahun 1950-1966.

3. Memberikan wacana tentang dinamika-dinamika pergulatan kebudayaan

yang dialami Lekra selama kurun waktu 1950-1966 di Medan.

• Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Memberi informasi bagi peneliti dan para pembaca mengenai latar

belakang perkembangan kebudayaan Indonesia dan perkembangan

Lekra pada kurun waktu 1950-1966.

2. Bertambahnya referensi bagi para pembaca tentang keberadaan Lekra di

Medan selama rentang waktu 1950-1966.

3. Memperjelas sebuah sebuah perjalanan sejarah kebudayaan di Indonesia

pada sekitaran tahun 1950-1966 yang selama ini cenderung masih

dituliskan dengan penuh kontroversi, terutama kesubjektifan yang

terdapat pada organisasi-organisasi yang bersifat kekiri-kirian seperti

Lekra.

Universitas Sumatera Utara


I.4 Tinjauan Pustaka

Penelitian merupakan masalah yang harus dipahami sehingga diperlukan beberapa

referensi yang dapat dijadikan panduan penulisan nantinya dalam bentuk tinjauan pustaka.

Bagian ini berisi sistematis tentang hasil-hasil penelitian terdahulu dan yang ada

hubungannya dengan penelitian yang akan dilakukan dan harus di-review terlebih dahulu. 7

Di dalam penelitian ini penulis menggunakan beberapa buku sebagai bahan referensi yang

menimbulkan gagasan, konsep, teori, dan mengarah pada pembentukan hipotesa, dan

sumber informasi atau pendukung tulisan yang akan dibuat.

Berikut ini adalah tiga jenis buku yang menjadi literatur primer dalam penulisan skripsi ini:

1. Lekra Tak Membakar Buku (Rhoma Dwi Aria dan Muhidin M Dahlan, 2008)

Buku ini bisa dapat dianggap sebagai buku yang paling komprehensif mengenai

Lekra yang disusun secara sistematis dalam sepuluh bab plus daftar singkatan /akronim,

lampiran, dan indeks. Dimulai dari bab Mukadimah yang mencatat situasi menjelang

Kongres I Lekra (1959) ketika seluruh aspek kehidupan masyarakat Indonesia harus

segaris dengan Manifes Politik (Manipol)-nya Soekarno. Demikian pula dengan sikap

berkebudayaan yang arahnya sudah jelas : “Seni untuk Rakyat” dan “politik adalah

panglima kebudayaan”. Pada intinya buku ini memang mengupas habis kerja-kerja kreatif

yang dihasilkan Lekra selama 15 tahun (1950-1965) di bidang kebudayaan sebelum

lembaga ini dibekukan dan seluruh kegiatannya dihapus dari memori dan sejarah bangsa

Indonesia. Namun demikian ada yang mengkritik buku ini karena hanya bersumber dari

guntingan-guntingan artikel lembar kebudayaan Harian Rakjat tanpa mencari sumber lain

7
Dudung Abdurahman, Metode Penelitian Sejarah, Logus Wacana Ilmu, Jakarta, 1999, hlm. 51

Universitas Sumatera Utara


berupa wawancara terhadap pelaku sejarah yang masih hidup atau sumber-sumber

kepustakaan lain.

2. Prahara Budaya (D.S. Moeljanto dan Taufik Ismail, 1995)

Buku ini hampir keseluruhannya berisikan tulisan tentang citra buruk Lekra

terhadap pengaruhnya dalam kebudayaan Indonesia masa demokrasi terpimpinnya

Soekarno. Siapa pun yang pernah membaca buku “Prahara Budaya” tanpa mengkritisi

isinya akan terjerat oleh kesan betapa ganas, bahaya, dan biadabnya Lekra. Propaganda

Orde Baru tentang komunisme sebagai makhluk jahat seperti satu partitur dengan buku
8
ini . Tidaklah berlebihan jika dapat dikatakan bahwa buku ini disusun dengan

mengandalkan semangat propaganda, bukan dengan semangat ilmiah untuk mencari dan

menemukan kebenaran sejarah. Buku ini banyak berisi tentang lampiran-lampiran yang

bermuatan tulisan-tulisan dari para pelaku sejarah pada masa itu, akan tetapi teknik

penyuntingan yang tidak begitu jelas teknik dan metodenya menyebabkan banyak

pernyataan-pernyataan di dalam buku ini kurang bisa dibuktikan kebenaran dan

realitasnya. Namun begitu pun, terlepas dari ke-subjektivan yang terlalu dalam pada

Prahara Budaya, buku ini tetap dirasa pantas menjadi sebuah bahan rujukan karena dapat

menjadi bahan pembanding juga untuk memperoleh kejelasan fakta dari situasi konflik

kebudayaan yang terjadi pada masa 1955-1965, terutama pertentangan antara Lekra

dengan Manifesto Kebudayaan (Manikebu).

8
Hal ini mengingat bahwa sang penulis buku, terutama Doktor Honoris Causa Dokter Hewan,
Taufik Ismail, adalah sekutu dari penguasa pada rezim pemerintahan Orde Baru.

Universitas Sumatera Utara


3. Realisme Sosialis dan Sastra Indonesia (Pramoedya Ananta Toer. 2003)

Buku ini menjelaskan tentang faham atau filsafat dari ideologi Realisme Sosialis

yang lahir dari kondisi revolusi di Uni Soviet (sekarang Rusia). Realisme
9
Sosialis dianggap sebagai filsafat yang menyempurnakan pemikiran dialektik, bagi

realisme sosialis, setiap realitas dan setiap fakta, hanyalah sebagian dari kebenaran, bukan

kebenaran itu sendiri. Realisme Sosialis dapat dikatakan sebagai embrio dari lahirnya

gerakan Lekra di Indonesia. ‘Seni untuk Rakyat’, ‘seniman harus mengabdi kepada

Rakyat’, dll adalah bentuk muatan-muatan yang digali dalam ideologi Realisme-Sosialis.

Untuk dapat lebih dalam mengerti tentang Lekra harus terlebih dahulu mempelajari makna

tentang realism sosialis, karena dialah ‘jiwa’ Lekra. Oleh karena itu buku Realisme

Sosialis dan Sastra Indonesia yang ditulis oleh Pramoedya Ananta Toer ini sangatlah

penting untuk dijadikan rujukan utama dalam hal menulis tentang pergerakan Lembaga

Kebudayaan Rakyat (Lekra).

I.5 Metode Penelitian

Metode penelitian adalah suatu hal penting yang tidak terpisahkan dari suatu

petunjuk teknis. Metode penelitian sejarah lazim juga disebut metode sejarah. Metode

sejarah adalah suatu proses yang benar berupa aturan – aturan yang dirancang untuk

membantu dengan efektif dalam mendapatkan kebenaran suatu sejarah. 10

Penulisan sejarah yang deskriptif-analitis haruslah melalui tahapan demi tahapan.

Ada empat tahap metode dalam penelitian sejarah: satu, heuristik (pengumpulan sumber);

9
Kata ‘Realisme Sosialis’ diyakini dipelopori oleh pujangga besar Soviet, Maxim Gorki.
10
Louis Gottschalk, Mengerti Sejarah, (Terj.) Nugroho Notosusanto, hal. 143

Universitas Sumatera Utara


dua, verifikasi (kritik sejarah, keabsahan sumber); tiga, interpretasi (analisis dan sintesis);

dan empat, historiografi (penulisan).

Langkah pertama yang penulis kerjakan yaitu heuristik yang berarti pengumpulan

sumber – sumber atau data-data yang terkait dengan objek penelitian penulis dari berbagai

sumber dalam hal ini penulis menggunakan metode library research (penelitian

kepustakaan) dan field research (penelitian lapangan), sumber tersebut merupakan sumber

primer dan sumber sekunder. Sebenarnya garis demarkasi perbedaan antara sumber

pertama dan sumber kedua tidak begitu jelas atau sering dikaburkan karena setiap

sejarawan mempunyai pendapat masing-masing. 11 Sumber primer dapat dibagi dua yang

pertama, berupa dokumen dan arsip -arsip atau laporan pemerintah dan yang kedua yaitu

sumber lisan berupa wawancara yang langsung dilakukan dengan pelaku atau saksi mata

peristwa sejarah. 12

Langkah kedua yaitu kritik sumber (verifikasi), setelah sumber sejarah yang

dibutuhkan semua terkumpul maka dilanjutkan dengan tahapan kritik sumber, hal ini

dilakukan untuk memperoleh keabsahan atau keaslian sumber atau data yang di dapat.

Penulis dalam melakukan kritik sumber atau penyeleksian yang dilakukan terhadap

sumber-sumber semestinya melalui dua pendekatan yaitu pendekatan intern dan ekstern.

Dimana dalam pendekatan intern yang harus dilakukan yakni menelaah dan memverifikasi

kebenaran dari “dalam” yaitu isi dari sumber atau fakta sumber baik yang bersifat tulisan

(buku, artikel, laporan, dan arsip) maupun sumber lisan (wawancara atau kesaksian).

11
Helius Sjamsuddin, Metodologi Sejarah, Ombak, Yogyakarta, 2007. hal. 107
12
Dudung Abdurahman, 1999, op.cit. hal. 56

10

Universitas Sumatera Utara


Demikian selanjutnya adalah dengan melakukan kritik ekstern. Kritik ekstern

dilakukan dengan cara memverifikasi atau pengujian terhadap aspek-aspek “luar” dari

sumber sejarah. Hal ini dilaksanakan agar penulis dapat menghasilkan suatu tulisan yang

menjurus ke arah objektif yang berasal dari data-data yang terjaga keasliannya dan

keobjektifannya tanpa ada unsur subjektifitas yang berlebihan dalam mempengaruhi hasil

penulisan.

Langkah ketiga yang dilakukan yaitu interpretasi, setelah data tesebut melewati

kritik sumber maka penulis melakukan tahapan yang ketiga yaitu penafsiran atau

penganalisisan terhadap hasil dari kritik sumber. Di dalam proses interpretasi ini bertujuan

untuk menghilangkan kesubjektifitasan sumber walaupun kita ketahui ini tidak akan dapat

dihilangkan sepenuhnya. Interpretasi ini dapat dikatakan data sementara sebelum penulis

membuatkan hasil keseluruhan dalam suatu penulisan.

Langkah selanjutnya dan yang terakhir yaitu Historiografi, tahapan ini berisi

tentang penulisan, pemaparan, atau pelaporan dari hasil rekonstruksi data-data terhadap

penelitian sejarah yang telah dilakukan. Metode yang dipakai dalam penulisan ini adalah

deskriptif-analitis. Yaitu dengan menganalisis setiap data dan fakta untuk mendapatkan

penulisan sejarah yang kritis dan ilmiah. Historiografi juga merupakan klimaks dari sebuah

metode sejarah. 13 Layaknya penelitian ilmiah, penulisan hasil penelitian sejarah hendaknya

dapat memberikan gambaran yang jelas mengenai proses penelitian, sejak dari awal

(heuristik) sampai dengan akhir yaitu penarikan kesimpulan sehingga dapat dikatakan

penulisan tersebut bersifat kronologis atau sistematis.

13
Sartono Kartodirjo, Pemikiran dan Perkembangan Historiografi Indonesia, Gramedia, Jakarta,
hal. 58

11

Universitas Sumatera Utara


Ketika menganalisis berbagai peristiwa atau fenomena masa lalu, sejarawan

menggunakan konsep-konsep dari berbagai ilmu sosial tertentu yang relevan hanya pokok

kajian. Ini dikenal dengan pendekatan interdisiplin atau multidimensional yang

memberikan karakteristik ilmiah kepada sejarah. Empat tahapan di atas akan saling

berkaitan antara satu dengan yang lain. 14 Berdasarkan penulisan sejarah itu pula akan dapat

dinilai apakah penelitiannya berlangsung sesuai dengan prosedur yang digunakannya tepat

atau tidak, apakah sumber dan data yang mendukung penarikan kesimpulannya memiliki

validitas yang memadai atau tidak, jadi dengan penulisan sejarah itu akan dapat ditentukan

mutu penelitian dan penulisan sejarah itu sendiri. 15

14
Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah, Bentang Budaya, Yogyakarta, 1995, hlm. 95.
15
Dudung Abdurahman, 1999, op.cit. hlm. 67.

12

Universitas Sumatera Utara


BAB II
LEKRA MENGISI KEBUDAYAAN INDONESIA

2.1 Pencarian Identitas Kebudayaan Bangsa

Pada masa awal kemerdekaan bangsa Indonesia, persoalan identitas kebudayaan

menjadi sebuah topik masalah yang cukup serius dibicarakan oleh khalayak umum.

Momentum kemerdekaan menjadi tolak ukur terciptanya sebuah keharusan untuk

menciptakan identitas dari sebuah kebudayaan yang mandiri, kebudayaan yang bisa

merangkul seluruh wilayah bangsa dan dapat menggantikan identitas budaya lama yang

sudah puluhan abad menghiasi sendi-sendi kehidupan rakyat banyak.

Permasalahan dalam pencarian identitas kebudayaan ini pada awalnya ialah

berusaha untuk menghapus sisa-sisa kolonialisme dan imperialisme yang masih berada di

Indonesia yang baru menikmati kemerdekaan. Pada tahun 1945-1949, para seniman dan

pujangga-pujangga berusaha menciptakan beberapa karya seni untuk menenggelamkan

karya-karya seni asing yang dahulu sangat popular di mata masyarakat. Sekaligus juga

membuktikan kepada rakyat Indonesia bahwa karya-karya seni inlanders (pribumi) juga

ada dan tak kalah berkualitas dengan karya-karya seni barat.

Pujangga-pujangga besar seperti Chairil Anwar 16, Sutan Takdir Alisyahbana, Asrul

Sani 17, Rivai Apin, M.Balfas, Henk Ngantung, Nyoto dll. adalah para tokoh dalam bidang

kebudayaan yang menjadi inspirasi bagi rakyat Indonesia pada masa awal kemerdekaan.

16
Chairil Anwar, lahir di Medan pada 22 Juni 1922. Ia mulai masuk ke dalam dunia sastra sejak
masa pendudukan Jepang. Sajak-sajak yang dibuatnya semasa itu sangat merefleksikan semangat
patriotiknya, diantaranya ‘Diponegoro’, ‘Persetujuan dengan Bung Karno’, ‘Siap Sedia’ dan sebagainya.
17
Asrul Sani lahir di Rao (Sumatera) 10 Juni 1926. Ia juga berperan sebagai pendahulu Angkatan
’45. Asrul kemudian mendirikan Akademi Teater Nasional Indonesia dan menjadi ketua Lembaga Seniman
Budayawan, organ budaya Nahdatul Ulama (NU).

13

Universitas Sumatera Utara


Nama-nama besar ini memang banyak melahirkan karya-karya besar yang sangat

menginspirasi seniman-seniman dan budayawan-budayawan yang lain.

Seni yang sangat berkembang pesat pada tahun 1945-1950 ini ialah seni sastra.

Mereka yang berkecimpung di bidang ini disebut sebagai sastrawan pada periode

Angkatan 45, dikenal aliran sastra realisme, naturalisme dan gaya ekspresionisme. Aliran

dan gaya tersebut sesungguhnya sudah dikenal sejak periode Pujangga Baru, tetapi belum

diterapkan sepenuhnya dalam karya-karya sastra para sastrawan waktu itu. Salah satu

novel yang sangat identik dengan angkatan ini yaitu Salah Asuhan dan Belenggu. Akan

tetapi, gaya kedua novel tersebut masih bercorak romantik.

Aliran sastra realisme dan naturalisme kemudian diterapkan pula dalam kritik 18

sastra yang bercorak orientasi mimetik. 19 Kritik sastra bertipe mimetik ini pertama kali

tampak dalam kritik sastra HB.Jassin, meskipun juga bercampur dengan tipe yang lain,

baik itu tipe pragmatik, ekspresif, maupun objektif.

Di samping aliran realisme dan naturalisme, dalam periode Angkatan 45’ juga

muncul paham individualismee dan humanisme universal 20 . Kedua paham itu memberi

corak ataupun ciri kesusastraan Angkatan 45. Dalam kritik sastra kedua paham itu

18
Kata ‘kritik’ berasal dari bahasa Yunani krite’s yang berarti ‘seorang hakim’, krinein yang berarti
‘menghakimi’, criterion berarti ‘dasar penghakiman. Untuk istilah ‘kritik sastra’ sendiri mulai meluas pada
abad ke-17. Istilah kritik sastra pada masa itu diterjemahkan sebagai sebuah bidang studi sastra untuk
“menghakimi” karya sastra dan untuk memberikan penilaian serta keputusan mengenai bermutu atau
tidaknya suatu karya sastra. Rachmat Djoko Pradopo, Beberapa Gagasan dalam Bidang Kritik Sastra
Indonesia Modern, Dwi Dharma, Klaten, 1967, hlm. 9-10.
19
Rachmat Djoko Pradopo, Kritik Sastra Indonesia Modern, Gama Media, Yogyakarta, 2002, hlm.
41. Sastra ‘mimetik’ merupakan sebuah pendekatan dalam hubungan karya sastra dengan ‘universe’
(semesta) atau lingkungan sosial-budaya yang melatar belakangi lahirnya suatu karya sastra. Sastra jenis ini
menitikberatkan kajiannya terhadap hubungan antara karya sastra dengan kenyataan di luar karya sastra.
Sastra mimetik juga sering disebut dengan sastra imitasi atau realitas.
20
Istilah ‘Humanisme Universal’ pertama kali diungkapkan di Indonesia oleh H.B. Jassin pada
sebuah esainya yang menggambarkan filsafat estetika sastra Angkatan 45 (H.B. Jassin, Kesusastraan
Indonesia modern dalam kritik dan esei II, Jakarta: Gunung Agung, 1967).

14

Universitas Sumatera Utara


bersangkut-paut dengan kriteria penilaian, yaitu kriteria ekstra estetik, dikenakan kepada

“bahan” karya sastra yang bersangkut-paut dengan keagungan atau kesubliman karya

sastra.

Paham individualisme sesungguhnya sudah ada sejak angkatan Pujangga Baru 21.

Akan tetapi, paham ini baru menjadi sangat menonjol pada Angkatan 45. Pada periode

pujangga baru, individualitas atau kepribadian itu tampak pada hal pemilihan bentuk

(sajak) yang sangat bervariasi, di samping berupa curahan perasaan pribadi dan gerakan

sukma sesuai dengan ciri-ciri romantisme yang mengutamakan perasaan dan pikiran

sastrawan. Akan tetapi, aku sebagai kedirian manusia perseorangan dalam periode

Pujangga Baru belum ditonjolkan atau dikedepankan dengan sengaja. Dengan demikian,

paham individualisme yang sesungguhnya baru kelihatan dalam karya-karya sastrawan

Angkatan ‘45. Sebagai lambang individualisme Angkatan 45 adalah sajak “Aku” karya

Chairil Anwar.

Paham atau aliran seni yang kemudian masuk ke dalam Angkatan ’45 pada akhir

tahun empat puluhan adalah ‘humanisme universal’. Paham ini mengutamakan penonjolan

penggambaran manusia yang umum dalam karya sastra. Dalam arti, dalam karya sastra

dikemukakan masalah-masalah kemanusiaan yang dapat atau mungkin dialami oleh

manusia di seluruh dunia, misalnya masalah tidak adanya perikemanusiaan dalam perang,

saling berbunuhan antara manusia, manusia di seluruh dunia itu menghendaki

kemerdekaan, kesejahteraan lahir batin, menghendaki keadilan dan sebagainya.

21
Nama Pujangga Baru, selain menjadi nama majalah yang terbit sejak 1933, juga dipakai sebagai
nama angkatan yang menggambarkan gaya khas sastra yang juga merupakan ciri khas dari majalah tersebut.
Sering dihubungkan dengan perjuangan kaum intelektual nasionalis Indonesia dalam usahanya menjelaskan
“Indonesia” sebagai kesatuan budaya, juga harus disebut sebagai bentuk perlawanan terhadap institusi
kebudayaan bentukan kolonial Belanda: Balai Pustaka. (Keith Foulcher, Pujangga Baru: Kesusasteraan dan
Nasionalisme di Indonesia 1933-1942, Jakarta, Girimukti Pasaka. 1991, hlm. 57).

15

Universitas Sumatera Utara


Penggabungan antara individualisme dengan humanisme universal inilah yang akhirnya

menjadi identitas dari sastrawan Angkatan ’45.

Pada 19 November 1946, di Jakarta, dengan usaha dari Asrul Sani, Sitor

Situmorang 22, Rivai Apin, Chairil Anwar, Henk Ngantung, dan M.Balfas, lahirlah sebuah

wadah perkumpulan para seniman yang dinamakan “Gelanggang Seniman Merdeka” atau

yang lebih dikenal dengan sebutan “Gelanggang”. Perkumpulan inilah yang nantinya

menjadi cikal-bakal lahirnya generasi-generasi seniman kebudayaan selanjutnya di

Indonesia sampai pada tahun 1965. Lebih lengkapnya, berikut statemen yang

melatarbelakangi berdirinya “Gelanggang” sebagai perkumpulan seniman kebudayaan:

“Gelanggang terlahir dari pergolakan ruh dan pikiran kita, yang sedang
menciptakan manusa Indonesia yang hidup. Generasi yang harus bertaggung
jawab dengan sesungguhnya penjadian diri bangsa kita. bahwa kita hendak
melepaskan diri kita dari susunan lama yang telah mengakibatkan masyarakat
yang lapuk, dan berani menentang pandangan, sifat dan anasir ini untuk
menyalakan bara kekuatan baru.” 23
Preambul pernyataan lahirnya “Gelanggang” di atas, tentu dengan sangat jelas

mengisyaratkan suatu tujuan awal dibentuknya perkumpulan ini, yang juga menjadi sikap

dari para seniman yang tergabung di dalamnya (a) mempertanggungjawabkan penjadian

bangsa Indonesia; (b) mempertahankan dan mempersubur cita-cita yang lahir dari

pergolakan pikiran dan ruh rakyat Indonesia; (c) memasukkan cita-cita ke dalam segala

kegiatan para seniman bangsa.

22
Sitor Situmorang lahir 2 Oktober 1923 di Harianboho, Tapanuli Utara. Mulai menulis pada akhir
tahun empat puluhan, namun ia lebih populer pada tahun 1950-an setelah ia kembali dari Eropa. Karya-
karyanya tidak hanya terdapat pada bidang sastra, tetapi juga pintar menulis lakon teater. Sitor juga aktif
dalam kegiatan politik dengan pernah menjadi anggota Partai Nasional Indonesia (PNI) dan mendirikan
Lembaga Kebudayaan Nasional (LKN), yang menjadi alat kebudayaan partainya sendiri. Ia ditangkap da
dipenjara selama delapan tahun dalam kurun waktu 1968-1976.
23
D.S. Moelyanto dan Taufik Ismail, Prahara Budaya: Kilas-balik ofensif Lekra/PKI dkk, Mizan,
Bandung, 1995, hlm. 31.

16

Universitas Sumatera Utara


Hadirnya perkumpulan Gelanggang membuat situasi pergolakan kebudayaan

berubah. Jika sebelumnya para seniman kebudayaan hanya disatukan oleh lembaga yang

juga berlandaskan kebudayaan, namun buatan pihak kolonial Belanda, “Balai Pustaka” 24,

kini mereka mempunyai wadah untuk mempersatukan kaum-kaum seniman kebudayaan

tersebut, terlebih lagi buatan anak bangsa sendiri. Akan tetapi, perkumpulan gelanggang ini

tentu tidak dapat merangkul semua seniman di Indonesia yang baru merdeka pada waktu

itu, jangankan merangkul, publikasi mengenai terbentuknya perkumpulan gelanggang ini

belum terlalu banyak diketahui oleh para seniman pribumi di luar pulau Jawa.

Pada 18 Februari 1950, tepatnya empat tahun setelah perkumpulan gelanggang

terbentuk, sehimpunan seniman yang juga tergabung dalam majalah mingguan Siasat,

melansir suatu pernyataan sikap ke dalam sebuah teks yang dinamakan ‘surat kepercayaan

gelanggang’. Berikut adalah isi dari surat kepercayaan gelanggang tersebut:

Surat Kepercayaan Gelanggang 25


Kami adalah ahli waris yang sah dari kebudayaan dunia dan kebudayaan ini kami
teruskan dengan cara kami sendiri. Kami lahir dari kalangan orang banyak dan
pengertian rakyat bagi kami adalah kumpulan campur-baur dari mana dunia-dunia
baru yang sehat dapat dilahirkan.
Keindonesiaan kami tidak semata-mata karena kulit kami yang sawo matang,
rambut kami yang hitam atau tulang pelipis kami yang menjorok ke depan, tetapi
lebih banyak oleh apa yang diutarakan oleh wujud pernyataan hati dan pikiran
kami.
Kami tidak akan memberikan suatu kata-ikatan untuk kebudayaan Indonesia. Kalau
kami berbicara tentang kebudayaan Indonesia, kami tidak ingat kepada melap-lap
hasil kebudayaan lama sampai berkilat dan untuk dibanggakan, tetapi kami
memikirka suatu penghidupan kebudayaan baru yang sehat. Kebudayaan Indonesia

24
Balai Pustaka/Commissie voor de Volkslectuur mempunyai aturan-aturan tersendiri untuk
menerbitkan sebuah buku, yaitu ‘isi tulisan harus bersikap netral terhadap agama’, ‘memenuhi syarat-syarat
budi pekerti yang baik’, ‘menjaga ketertiban’, dan ‘tidak boleh berpolitik (melawan pemerintah kolonial
Belanda)’. Setelah Republik Indonesia merdeka, Balai Pustaka beralih ke tangan pemerintah Indonesia. H.B.
Jassin, Surat-surat 1943-1983, Gramedia, Jakarta, 1984, hlm. 24.
25
Ibid, hlm: 421 .

17

Universitas Sumatera Utara


ditetapkan oleh kesatuan berbagai-bagai rangsang suara yang disebabkan suara-
suara yang dilontarkan dari segala sudut dunia yang kemudian dilontarkan kembali
dalam bentuk suara sendiri. Kami akan menentang segala usaha –usaha yang
mempersempit dan menghalangi tidak betulnya pemeriksaan ukuran-nilai.
Revolusi bagi kami ialah penempatan nilai-nilai baru atas nilai-nilai using yang
harus dihancurkan. Demikian kami berpendapat, bahwa revolus di tanah air kami
sendiri belum selesai.
Dalam penemuan kami, kami mungkin tidak selalu asli; yang pokok ditemui itu
ialah manusia. Dalam cara kami mencari, membahas dan menelaah kami membawa
sifat sendiri.
Penghargaan kami terhadap keadaan keliling (masyarakat) adalah penghargaan
orang-orang yang mengetahui adanya saling pengaruh antara masyarakat dan
seniman.
Jakarta, 18 februari 1950

Surat Kepercayaan Gelanggang, atau yang lebih sering disingkat dengan “SKG” ini

adalah sebuah manifesto tentang bidang kebudayaan yang pertama kali muncul di

Indonesia. Akan tetapi, SKG tidaklah dihasilkan oleh sebuah organisasi kebudayaan

seperti yang banyak terjadi di periode-periode setelah SKG ini muncul. Surat Kepercayaan

Gelanggang semata-mata adalah seruan dari sekelompok orang tanpa ikatan kerja bersama

yang kongkrit, yang di kemudian hari didefinisikan oleh khalayak sebagai konsep

pandangan dunia yang mewakili para seniman Angkatan 45. Meski dicetuskan pertama

kali pada Februari 1950, pernyataan SKG sendiri baru pertama kali muncul dalam rubrik

Cahier Seni dan Sastra yang juga bernama “Gelanggang” yang merupakan salah satu

rubrik dari Majalah Siasat, 26 pada edisi Oktober 1950. Sebelum termuat di media,

sebenarnya pernyataan Surat Kepercayaan Gelanggang ini pernah dibacakan dalam sebuah

26
Siasat merupakan sebuah majalah mingguan politik dan kebudayaan yang diasuh oleh kalangan
budayawan dan intelektual yang kemudian hari sangat dekat dengan Partai Sosialis Indonesia (PSI),
diantaranya seperti Soedjatmoko, Rosihan Anwar, Gadis Rasjid dan Soedarpo Sastrosatomo. Terbit pertama
kali pada Januari 1947, sedangkan ruang (rubrik) kebudayaan ‘Gelanggang’-nya baru muncul pada awal
1948 atas inisiatif dari sekelompok seniman dalam “Gelanggang Seniman Merdeka” yang kemudian oleh
HB. Jassin dikategorikan sebagai Angkatan 45 dalam sejarah seni Indonesia.

18

Universitas Sumatera Utara


pertemuan antara budayawan dan intelektual Indonesia di Paviliun Hotel Indes Jakarta

pada Juni 1950.

Manifes yang dibuat dalam Surat Kepercayaan Gelanggang cenderung

berlandaskan bahwa seni dan kebudayaan pada umumnya adalah bersifat universal.

Pernyataan bahwa mereka (para pembuat SKG) adalah “ahli waris yang sah dari

kebudayaan dunia” pada bagian pertama, sesungguhnya adalah suatu sikap kultural yang

kosmopolitan, yang maksudnya meniadakan secara konseptual suatu peniruan, adaptasi,

akulturasi dan sejenisnya terhadap sebuah kebudayaan.

Sedangkan untuk paragraf kedua, ketiga, dan keempat adalah penegasan ulang

bahwa identitas mereka sebagai orang Indonesia bukanlah dari tampilan fisik, melainkan

dari apa yang mereka hasilkan sebagai insan pencipta budaya, terlebih lagi dengan diikuti

penolakan terhadap segala “pemeriksaan ukuran nilai” dalam kebudayaan yang tak

menentu sikap dan identitasnya atau sewenang-wenang. Lebih ekstrim lagi ialah

pernyataan tidak mau “melap-lap hasil kebudayaan lama” namun akan menciptakan sendiri

kebudayaan yang baru yang didapat dari sebuah interaksi para seniman dan budayawan

dengan realitas dunia. Komitmen ini berarti mereka sepakat dengan konsep revolusi nilai,

yang berarti meletakkan nilai-nilai baru atas nilai-nilai usang yang sudah tidak layak dan

harus dihancurkan.

Yang cukup menarik dari manifes SKG ini adalah semangat

“internasionalismenya” 27 dengan meletakkan tanggung jawab penuh dari integritas para

27
Semangat internasionalisme ini menurut beberapa pengamat sejarah kesusasteraan Indonesia
modern dipopulerkan oleh Chairi Anwar yang dia sendiri mengambilnya dari identifikasi dengan estetika
modern eropa. Lihat pada Keith Foulcher, Angkatan 45; Sastra, Politik Kebudayaan dan Revolusi Indonesia,
Jaringan Kerja Budaya, Jakarta ,1994, hlm 23.

19

Universitas Sumatera Utara


seniman secara individual sebagai pembangun budaya. Para pencetus SKG ini berpikiran

bahwa seni sangat mempunyai peran dalam proses pembangunan bangsa apabila seniman

tetap setia pada cita-cita untuk melakukan pengujian pada dirinya sendiri dan melakukan

penggalian untuk menemukan jati diri dari keaslian –keaslian pencapaian budaya.

Karena sifatnya yang ‘internasionalisme’ dan ‘universal’ itu, banyak kalangan pada

masa itu yang menilai bahwa Surat Kepercayaan Gelanggang adalah ibu kandung dari

Manifes Kebudayaan (Manikebu) yang lahir pada 1963. Bukan hanya itu, SKG juga

didengung-dengungkan berlainan arah atau berlawanan dengan Lekra atau penganut

paham Realisme Sosalis. Padahal dari kalangan Lekra sendiri mereka melihat bahwa Surat

Kepercayaan Gelanggang tidaklah bertentangan dengan Mukadimah Lekra, karena

keduanya pada kenyataannya mempunyai sikap yang sama terhadap revolusi, kebebasan

kreatif dan demokrasi. 28

Surat Kepercayaan Gelanggang (SKG) ini ternyata tak luput kontroversi di

dalamnya, terutama pada latar belakang kelahirannya. Salah satunya ialah dalang atau

konseptor dibalik lahirnya SKG ini sendiri. Dalam kebanyakan literatur-literatur tentang

sejarah kesusasteraan Indonesia Modern, Chairil Anwar lah yang diyakini menjadi

konseptor atas terbentuknya Surat Kepercayaan Gelanggang tersebut, akan tetapi tak

sedikit juga kalangan yang menganggap bahwa Asrul Sani yang sebenarnya memainkan

peran utama untuk mencetuskan SKG. 29

28
Joebaar Ajoeb, Sebuah Mocopat Kebudayaan Indonesia, Teplok Press, Jakarta, 2004, hlm. 25.
29
Ajip Rosidi sebagai penyunting buku Asrul Sani 70 tahun, menyatakan bahwa sang konseptor dari
Surat Kepercayaan Gelanggang adalah Asrul Sani. Ajip menolak pandangan umum selama ini yang
menganggap bahwa Chairil Anwar-lah konseptornya. Sebab, menurut Ajip Rosidi, ketika surat itu
diumumkan Chairil Anwar sudah setahun sebelumnya meninggal dunia (April 1949). Argumen Ajip ini

20

Universitas Sumatera Utara


Selain itu, kontroversi seputar SKG ini juga terdapat pada situasi sosial politik yang

melatar belakangi lahirnya manifest SKG. Situasi sosial politik Indonesia di tahun 1950-an

sangat diwarnai dengan hiruk-pikuk aktivitas partai-partai, yang cenderung membuat

stabilitas negara hanya diprioritaskan pada politik semata dan pada akhirnya menimbulkan

kejenuhan pada kaum seniman, budayawan, dan para intelektual. Akan keadaan yang

seperti itu tentu dengan mudah timbul rasa sinisme terhadap kondisi politik di tahun 1950-

an. Sinisme tersebut tampak sangat jelas dalam tulisan Asrul Sani yang berjudul “Fragmen

Keadaan”, yang dimuat pada rubrik Gelanggang selama tiga edisi berturut-turut. Tulisan

tersebut menjelaska latar belakang mengapa sampai dicetuskannya SKG. Pada bagian

pertama Asrul menulis:

“Kita lihat orang-orang mudah di tanah air kita sendiri berbaris-baris masuk partai
politik! Ya, tidak ada lagi yang bisa dilakukan yang lebih mudah dari ini. Di sana
orang mudah menjadi alat, dan perkataan “aku” dapat disembunyikan di balik
perkataan “kami”. Semboyan-semboyan yang dulu dilupakan di segala dinding
kakus dan kamar mandi dan yang demikian tidak dapat dipenuhi, diganti dengan
disiplin partai untuk menutupi kelemahan mencari sendiri…” 30
Asrul Sani, yang mewakili sikap kalangan seniman dan budayawan yang bergabung dalam

“Gelanggang Seniman Merdeka”, menyatakan kejenuhannya atas dominasi politik

terhadap setiap sektor kehidupan, yang termanifestasi dalam kehidupan partai-partai

politik.

“Orang tidak lagi bisa melihat sajak sebagai sajak, tetapi harus dilihat sebagai
manifes politik. Dengan di-anak-emaskannya politik, kebudayaan diperlakukan
sebagai orang yang memperlakukan bangkai binatang dalam ruang anatomi,
disuntik dengan formalin sehingga kaku sama sekali.” 31

sesungguhnya sejalan dengan logika umum, namun bisa saja konsep surat tersebut sudah disusun pada jauh
hari sebelumnya, ketika Chairil Anwar masih hidup. Atau malah sangat mungkin suraat itu mereka susun
bersama.
30
Asrul Sani, “Fragmen Keadaan I”, Siasat, Minggu 22 Oktober 1950, hlm 6.
31
Asrul Sani, “Fragmen Keadaan II”, Siasat, Minggu 29 Oktober 1950, hlm 4

21

Universitas Sumatera Utara


Berbicara tentang periode tahun 1950-an di Indonesia, tentu sangat identik dengan

konstalasi politik yang sedang menggebu-gebunya di seluruh daerah di Indonesia. Hampir

setiap (kalau tak bisa dikatakan seluruh) sektor kehidupan di Indonesia selalu dihiasi

dengan intrik politik di dalamnya, tak terkecuali pada bidang budaya dan seni. Masuknya

unsur politik ke dalam bidang kehidupan budaya dan seni pada akhirnya mengubah makna

esensi dari seni itu sendiri.

2.2 Mukadimah Lekra

Tahun 1950-an merupakan tahun-tahun yang dipenuhi oleh gejolak harapan atau

mimpi-mimpi tentang kebebasan Indonesia dari neraka kolonialisme. Di dalam lapangan

kebudayaan, tahun 1950-an sering juga disebut dengan ‘zaman romantik’ 32. Akan tetapi,

seni pada masa itu menjadi barang yang mahal harganya. Pada masa itu seni hanya bisa

dinikmati oleh kalangan tertentu saja. Kalangan tertentu itu tentu saja adalah kalangan atau

golongan elite bangsa, sedangkan rakyat biasa atau golongan bawah tak bisa menikmati

dan merasakan keindahan seni pada waktu itu.

Setelah Surat Kepercayaan Gelanggang hadir di pentas kebudayaan Indonesia, pada

tahun yang sama lahirlah suatu organisasi kebudayaan modern bernama Lembaga

Kebudayaan Rakyat (Lekra). Meskipun belakangan lahir, bukan berarti embrio kelahiran

Lekra disebabkan oleh tercetusnya SKG pada Februari 1950. Berdirinya Lekra sebagai

sebuah organisasi kebudayaan tidak terlalu banyak sangkut-pautnya dengan kehadiran dari

manifes Surat Kepercayaan Gelanggang. Lekra terbentuk pada 17 Agustus 1950, di Jakarta

32
Istilah romantik di sini mengacu pada era romantisisme yang muncul di Eropa pada akhir abad ke-
18. Sebuah gelombang reaksi dari zaman penceraha yang dianggap terlalu memberi tekanan pada rasio atau
akal sehingga menjadi kering, dingain dan kaku. Romantisisme berupaya mengedepankan hal-hal yang lebih
emosional, keunikan individu, hasrat akan kebebasan.

22

Universitas Sumatera Utara


yang disahkan berdasar naskah Mukadimah Lekra. Naskah inilah yang nantinya menjadi

batu landasan dari seluruh kerja-kerja kebudayaan Lekra.

Lekra didirikan oleh sekitar 15 orang yang menyebut dirinya sebagai peminat dan

pekerja kebudayaan. Pengurus awal yang kemudian menjadi anggota sekretariat pusat

Lekra ialah A.S. Dharta, M.S. Ashar dan Herman Arjuna sebagai sekretaris I, II dan III.

Dengan anggota: Henk Ngantung, Nyoto dan Joebaar Ajoeb. Perkembangan awal Lekra

tidak dapat lepas dari andil Nyoto, salah satu dari pemimpin besar PKI pada masa itu

selain D.N. Aidit dan Lukman. Tahun 1950, Nyoto bertemu dengan para pelukis dan

penulis yang beraliran kiri. Mereka mendiskusikan tentang peranan seni dalam perjuangan

kelas. Nyoto menganjurkan perpaduan antara tradisi besar realisme kritis dan romantisme

untuk membuat kesenian yang menampilkan kenyataan menuju proses perubahan yang

revolusioner. Nyoto memang mempunyai daya tarik tersendiri bagi kalangan kaum

intelektual dan seniman. Affandi, Soedjono, Rivai Apin dan Pramoedya Ananta Toer,

adalah beberapa dari mereka yang mengagumi Nyoto.

Mukadimah Lekra sebagai proklamasi berdirinya Lekra dalam arus pusaran

kebudayaan dan politik bangsa Indonesia, mempunyai dalil yang sangat penting terhadap

kegiatan-kegiatan yang nantinya dilakukan oleh pekerja-pekerja kebudayaan Lekra dalam

mewujudkan cita-cita atau visi organisasi. Dalam hal ini Mukadimah Lekra tentu berbeda

dengan manifes Surat Kepercayaan Gelanggang, karena Mukadimah Lekra

diproklamasikan oleh sebuah organisasi bernama Lembaga Kebudayaan Rakyat, yang

23

Universitas Sumatera Utara


bersamaan waktu berdirinya organisasi dan proklamasi manifes tersebut. Sedangkan Surat

Kepercayaan Gelanggang bukanlah dibuat berdasarkan usaha organisasi apapun. 33

Isi dari Mukadimah Lekra 1950 dengan terang-terangan menyatakan bahwa

“Revolusi Agustus 1945 telah gagal!” 34 pernyataan dari mukadimah tersebut dicetuskan

bukan tanpa alasan, para pekerja kebudayaan Rakyat Lekra menganggap bahwa

pemerintah telah melecehkan perjuangan revolusi yang telah di emban selama ini oleh

Rakyat Indonesia yang telah mengorbankan segalanya untuk mencapai kemerdekaan

bangsa. Perjuangan Rakyat dalam menuntaskan revolusi, diputus, dihambat, dan diganti

dengan apa yang disebut dengan “perjuangan diplomasi”. Hal ini tak pelak dipandang

sebagai langkah mundur jauh ke belakang oleh Rakyat. Saat dikumandangkannya kalimat-

kalimat sakral Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, tidak ada terucap atau tertulis merdeka

atas perundingan dengan Belanda, yang artinya kemerdekaan tersebut mutlak direbut atau

dikerjakan oleh Rakyat Indonesia dan harus dipertahankan tanpa syarat.

Alasan-alasan inilah yang membuat para seniman Rakyat ingin mengembalikan

revolusi ke jalannya yang benar, bersedia menggabungkan diri ke dalam organisasi

kebudayaan Lekra. Dalam mukadimah yang telah dibuat pada 1950, para seniman Lekra

sepakat bahwa perundingan-perundingan yang ditempuh oleh pemerintah Indonesia dalam

“perjuangan diplomasi” adalah salah langkah yang justru hanya memberi ruang bagi

Belanda untuk menuntut konsesi-konsesi, atas dasar rasa tidak ikhlas mereka melepas

Indonesia sebagai bangsa yang merdeka.

33
Joebaar Ajoeb, 2004, loc.cit.
34
Naskah lengkap lihat Lampiran I.

24

Universitas Sumatera Utara


Perundingan-perundingan tersebut dimulai dengan Maklumat 1 November 1945

yang hasil di antaranya mengharuskan Indonesia menanggung semua hutang yang telah

dibuat Belanda sejak sebelum masuknya Jepang ke Tanah Air. Selain itu, Indonesia juga

wajib mengembalikan seluruh perusahaan asing yang ada kepada pemiliknya di masing-

masing negara dan menyediakan sumber-sumber kekayaan alam untuk dieksploitasi oleh

negara lain, khususnya Belanda dan Amerika Serikat.

Setelah Maklumat 1 November 1945, muncul kemudian perundingan lain, yang

dikenal dengan Perundingan Linggarjati, 25 Maret 1947. Perundingan Linggarjati ini

sesungguhya menjadi rencana tindak lanjut dari Maklumat 1 November 1945 dengan

memaksa Indonesia hanya mengakui Jawa, Madura dan Sumatera sebagai wilayah yang

resmi dimiliki oleh Indonesia. Walaupun telah diadakan berbagai perundingan, Belanda

tetap saja menginvasi Indonesia lewat Agresi Militer 35 yang mereka lancarkan hingga dua

kali (Juli 1947 dan Desember 1948).

Terakhir, sekaligus puncak dari pada kejengkelan kaum kiri akan hancurya

perjuangan revolusi kemerdekaan Indonesia adalah dengan diadakannya perundingan

Konferensi Meja Bundar (KMB) pada tanggal 2 November 1949. KMB ini tak pelak

dianggap menjatuhkan harga diri dan martabat rakyat Indonesia yang telah berjuang mati-

matian untuk melepaskan diri dari belenggu kolonialisme dan imperialisme bangsa asing.

Persetujuan KMB ini membuat bangsa Indonesia harus menerima bentuk sebagai negara

federal.

35
Agresi Militer yang terjadi pada tahun 1947 dan 1948 dilihat dari sudut pandang pemerintah
Belanda disebut Politionele Actie (Aksi Polisionil). Lisbeth Dolk, A Entangled Affair; STICUSA and
Indonesia 1948-1956, KITLV Press, Leiden, 2012, hlm. 3.

25

Universitas Sumatera Utara


Perjanjian KMB tersebut juga membawa dampak kemunduran dalam bidang

kebudayaan. Belanda pasca penandatanganan KMB, berusaha dengan giat untuk

mempertahankan gengsi dan politik kolonialnya, karena KMB merupakan salah satu jalan

untuk mengembalikan kolonialisme ke dalam bentuk baru 36. Pekerja kebudayaan Indonesia

kehilangan jiwa dan semangat nasionalismenya karena proses penciptaan kesenian

mematok kebudayaan barat sebagai kiblat. Akibatnya, unsur emosi dan estetika yang

cenderung subjektif, menjadi dominan dalam proses penciptaan seni budaya.

Kegiatan-kegiatan diplomatik ini lantas dipandang Lekra sebagai suatu

‘pengkhianatan’ terhadap darah para pahlawan bangsa yang telah dengan cuma-cuma

dicucurkan dan dipersembahkan untuk kemerdekaan Indonesia. Jalan diplomasi dirasakan

juga menghambat perjuangan rakyat dalam menuntaskan revolusi dengan mengambil alih

kepemimpinan dan membawanya ke meja perundingan. Atas dasar itulah, Revolusi

Agustus 1945 yang dianggap gagal oleh para pendiri Lekra, menjadi acuan mereka untuk

membentuk sebuah organisasi kebudayaan bewatak revolusioner yang bisa menjadi

instrumen atau alat untuk menghimpun kekuatan yang masih taat dan teguh mendukung

jalannya dan terselesaikannya revolusi Tanah Air dengan keyakinan bahwa kekalahan

revolusi yang terjadi akibat jalan diplomasi dan perundingan hanyalah kekalahan

sementara

36
Ibid. Usaha Belanda untuk mengembalikan Indonesia sebagai jajahannya juga terdapat pada
bidang kebudayaan, diantaranya adalah dengan mendirikan lembaga kebudayaan bernama STICUSA
(Stichting Cultureel Samenwerking) yang didirikan di Belanda pada Februari 1948, sedangkan STICUSA
membuka cabangnya di Jakarta pada Januari 1949 dengan mengirimkan utusannya yang bernama Oscar
Mohr. Tujuan didirikannya STICUSA ini oleh Belanda yaitu sebagai upaya ‘pengembangan yang harmonis
di keempat wilayah (Indonesia, Suriname, Kepulauan Antiles, beserta Belanda) itu dalam suasana yang
demokratis.’ (‘om met een beroep op het gehele vermogen van Nederland en op basis van waderkerigheid te
komen tot een harmonische ontwikkeling in democratische zin tussen de vier gebieden’).salah satu upaya atau
cara yang dilakukan oleh STICUSA dengan memberikan beasiswa bagi seniman Indonesia untuk belajar ke
Belanda.

26

Universitas Sumatera Utara


“Demikianlah, Lekra didirikan tepat 5 tahun sesudah Revolusi Agustus pecah, di
saat revolusi tertahan oleh rintangan hebat yang berujud persetujuan KMB, jadi di
saat garis revolusi sedang menurun. Lekra didirikan untuk turut mencegah
kemerosotan lebih lanjut garis revolusi, karena kita sadar, karena tugas ini bukan
hanya tugas politisi, tetapi juga tugas pekerja-pekerja kebudayaan. Lekra didirikan
untuk menghimpun kekuatan yang taat dan teguh mendukung revolusi” 37

Isi dari Mukadimah Lekra tahun 1950 ini mengisyaratkan bahwa hancurnya

kolonialisme di dunia bukan berarti ancaman penjajahan sudah tidak ada lagi,termasuk di

Indonesia sendiri. Bahkan Mukadimah Lekra mendefinisikan kalau status masyarakat

Indonesia pada saat itu sebagai masyarakat ‘setengah jajahan’, walau secara politis

kemerdekaan telah diproklamasikan. Kondisi masyarakat setengah jajahan inilah yang

terus ingin dipertahankan oleh golongan elit kelas penguasa yang telah merasakan

kenikmatan dan kemewahan di masa kolonial, dengan terus memlihara feodalismenya dan

menciptakan pintu masuk bagi datangnya kembali imperialisme yang baru (neo-

imperialisme) ke Indonesia.

Maka dari itu, untuk menghancurkan kebudayaan feodal dan imperialis yang terus

menggerogoti persatuan dan kesatuan bangsa, para perumus Mukadimah Lekra 1950

menganjurkan supaya dibentuk sebuah gerakan kebudayaan rakyat yang demokratis.

Dalam mempertahankan dan membangun kebudayaan rakyat ini, Lekra merumuskan

sebuah strategi, yaitu “Konsepsi Kebudayaan Rakyat” 38. Konsepsi yang dirumuskan dalam

Mukadimah Lekra 1950 ini terbagi menjadi enam bagian, yang terdiri dari penjelasan

tentang arti pentingnya ‘Rakyat’ sebagai pemilik kebudayaan, sebab-sebab yang

merugikan perkembangan kebudayaan rakyat, sampai kepada langkah-langkah strategis

Lekra dalam mewujudkan visinya. Mukadimah inilah yang menjadi landasan dari seluruh

37
Joebaar Ajoeb, Perkembangan Kebudayaan Indonesia Sejak Agustus 1945 dan Tempat Serta
Peranan Lekra di Dalamnya, Dokumen Kongres Nasional I Lekra, Bagian Penerbitan Lekra, 1959b. hlm. 15.
38
Lihat pada Lampiran 1.

27

Universitas Sumatera Utara


gerak organisasi dan juga menjadi inspirasi dari setiap individu yang tergabung di dalam

Lekra pada awalnya.

Sastrawan yang tergabung dalam lembaga kebudayaan rakyat (Lekra) yang

didirikan pada 17 Agustus 1950, tegas berpihak pada rakyat dan mengabdi kepada rakyat,

dengan demikian, atas dasar “seni untuk rakyat” seperti yang dinyatakan dalam

“Mukadimah Lekra” (1950) – menolak aliran “seni untuk seni” yang dianut oleh kelompok

Manifesto Kebudayaan (Manikebu).

Gambaran kritis tentang kelahiran Lekra berhasil digambarkan oleh Joebaar Ajoeb

dalam “Laporan Umum”-nya pada Kongres Nasional I Lekra:

“Lekra didirikan tepat 5 tahun sesudah Revolusi Agustus pecah, di saat revolusi
tertahan oleh rintangan hebat yang berwujud persetujuan KMB, jadi, disaat garis
revolusi sedang menurun. Ketika itu perang-perang kebudayaan jang tadinya
seolah-olah satu kepalan tangan yang tegak di pihak revolusi, menjadi tergolong-
golong, mereka jang tidak setia menyeberang. Yang lemah dan ragu seakan putus
asa karena tak tahu jalan. Yang taat dan teguh meneruskan pekerjaannya dengan
keyakinan bahwa kekalahan revolusi hanyalah kekalahan sementara. 39
Menyadari bahwa rakyat adalah satu-satunya pencipta kebudayaan, dan bahwa
pembangunan kebudayaan Indonesia-baru hanya dapat dilakukan oleh Rakyat,
maka pada hari 17 Agustus 1950 didirikanlah Lembaga Kebudayaan Rakyat, yang
kemudian disingkat Lekra. 40
Lekra kemudian menggiatkan aktivitasnya disegala bidang kebudayaan. Sebagai

sebuah organisasi yang tidak hanya bergerak di ranah kultural, namun juga politik, Lekra

kemudian mengalami perkembangan yang cukup pesat. Lekra melakukan rekruitmen

anggota sebanyak-banyaknya dari kalangan seniman, sastrawan, budayawan, cendekiawan.

Gerakan ini terbukti berhasil di mana pada tahun 1954, Lekra tercatat telah mempunyai

39
Joebaar Ajoeb, Laporan Umum PP Lekra kepada Kongres Nasional I Lekra, dalam Dokumen
Kongres Nasional I Lekra, Bagian Penerbitan Lekra, Jakarta, 1959a.
40
Paragrap pertama Mukadimah Lekra 1950

28

Universitas Sumatera Utara


cabang di berbagai daerah. Lekra pusat memiliki karakter gabungan atara Lekra di cabang-

cabang lainnya.

Cabang-cabang Lekra di masing-masing daerah memiliki berbagai karakter

masing-masing. Lekra Jawa Barat misalnya mempunyai identitas sebagai penyokong

kebudayaan daerah sunda, Lekra Klaten memiliki ciri khas pada basis pedalangan, Lekra

Surakarta mempunyai kekhasan dari seni tari dan seni musik, dan begitu pula dengan

cabang-cabang di wilayah dengan masing-masing ciri khas kebudayaannya. Karakter

identitas ragam budaya Indonesia inilah yang tergabung ke dalam Lekra nasional. Sebagai

bukti, dalam setiap kongres Lekra selalu diadakan pameran hasil budaya-budaya dari tiap

daerah dalam berbagai bentuknya.

Di setiap pekan Lekra menerbitkan lembaran kebudayaan lewat majalah Zaman

Baru 41 yang terbit di Surabaya. Lembaran itu dikelola oleh Nyoto, dengan nama pena

Iramani, AS Dharta alias Klara Akustia, dan MS Ashar. Berkat lembaran itu, popularitas

Lekra menanjak dengan cepat. Hanya setahun setelah berdiri, Lekra memiliki cabang di

dua puluh kota. Pada 1951, Nyoto bersama dengan Mula Naibaho dan Supeno, memimpin

surat kabar Harian Rakjat. 42 Dengan gelar andalan Iramani, Nyoto rutin menulis editorial,

pojok, tajuk rencana atau kolom catatan seorang publisis.

Lekra tercatat juga memiliki kantor sekretariat yang bertempat di Jalan Tjidurian

(Cidurian) Nomor 19, Jakarta Pusat. Kantor ini adalah rumah kediaman dari keluarga Oey

41
Zaman Baru merupakan majalah bulanan yang mulai terbit pada tahun 1950 dengan nama awal
Madjalah Djaman Baru. Pada Juni 1956, majalah itu lahir kembali dengan nama Zaman Baru setelah sempat
tidak pernah muncul selama satu tahun.
42
Harian Rakyat/Rakjat adalah Koran bentukan PKI, yang menjadi terompet bagi setiap pemikiran
dan hal-hal yang dilakukan oleh PKI, Koran ini pertama kali terbit pada 31 Januari 1951 yang pada awalnya
masih bernama Suara Rakjat.

29

Universitas Sumatera Utara


Hay Djoen beserta isterinya Mia Bustam yang menjadi anggota Lekra pada 1955. Rumah

itu mereka berikan sebagai kantor sekretariat untuk mempermudah kerja-kerja dan

penyimpanan dokumentasi-dokumentasi milik Lekra.

2.3 Kongres Nasional I dan Revisi Mukadimah Lekra

Lekra sebagai organisasi kebudayaan modern di tahun 1950-an akhirnya

menyelenggarakan Kongres Nasional mereka untuk yang pertama kalinya (dan akan

menjadi yang terakhir kalinya) pada 27 Januari 1959 di kota Solo, Jawa Tengah.

Terciptanya Kongres ini juga atas kontribusi para seniman-seniman di Jawa Tengah dan

sekitarnya yang bersedia menjadi Panitia Pelaksana Kongres. 43 Kongres ini dirasa perlu

dilaksanakan oleh para petinggi Lekra oleh karena situasi yang sangat mungkin bagi Lekra

untuk memperlebar sayap perjuangan mereka di tengah-tengah pergolakan yang terjadi

pada bangsa Indonesia beserta Rakyatnya.

Dalam Kongres Nasional I ini terdapat suatu simbol atau lebih tepatnya logo, yang

dimuat di surat kabar Harian Rakyat dan diyakini adalah logo/lambang resmi dari Lekra.

Lambang itu sendiri bergambarkan seekor burung merpati putih yang sedang terbang.

Merpati putih tersebut tergambar sedang menjepit sekuntum bunga yang juga berwarna

putih dengan paruhnya, sedangkan di bagian kaki sang merpati tersusun sebuah kalimat

yang bertuliskan: “Seni kita untuk…”, 44 dan dipaling bawahnya lagi terdapat gambar

beberapa adegan tari tradisional. Simbol ini menunjukkan bahwa Lekra memproklamirkan

diri bahwa mereka adalah sebuah lembaga atau organisasi yang membawa misi

perdamaian (burung merpati sering dijadikan identitas perdamaian). Dan bagi Lekra,
43
Untuk mengetahui nama-nama Panitia Kongres Nasional I Lekra lihat Lampiran 7.
44
Rhoma Dwi Aria dan Muhidin M Dahlan, Lekra Tak Membakar Buku, Merakesumba,
Yogyakarta, 2008, hlm. 33

30

Universitas Sumatera Utara


perdamaian sejati hanya bisa diperoleh bila sebuah negeri bedaulat penuh atas tanah dan

bangsanya.

2.3.1. Struktur Lekra

Dalam Kongres Nasional ini juga dipilih dan ditetapkan struktur pengurus di pusat.

Saat awal terbentuknya, Lekra tidak memiliki pemimpin yang hierarkis dan hanya

mengandalkan lembaga-lembaga seni dan budaya yang terbentuk di beberapa tempat di

Indonesia. Secara struktur organisasi, dikenal beberapa struktur kepengurusan dalam

Lekra. Sekretariat Pusat, dikoordinasi oleh sekretaris umum bermakas di Jakarta. Pengurus

Daerah, berkedudukan di masing-masing wilayah setingkat propinsi. Kepengurusan

Cabang, berkedudukan di tingkat Kabupaten yang mengkoordinasi pengurus Ranting.

Pengurus Ranting, berkedudukan di tingkat kecamatan.

Pada perumusan struktur atau hierarki dalam Kongres Nasional ini, pembagian

wilayah berdasarkan provinsi, kota dan desa ini tetap dipertahankan. Namun Lekra pada

wilayah-wilayah tersebut sudah memiliki garis komando, yaitu komando terhadap

Pengurus Pusat, yang bertempat di Jakarta. Dibentuknya struktur seperti demikian dirasa

perlu oleh para stakeholder Lekra, agar semua daerah yang di mana terdapat Lekra dapat

lebih mudah menyatukan aspirasi dari berbagai masing-masing wilayah. Akan tetapi

banyak kalangan, terutama lawan ideologi Lekra beranggapan bahwa cara satu komando

yang diusung dengan menciptakan pengurus pusat Lekra terhadap sektor-sektor

wilayahnya dinilai mengekangi kreativitas kebudayaan kader-kader Lekra di berbagai

wilayah tersebut.

31

Universitas Sumatera Utara


Orang-orang yang masuk ke dalam struktur Pengurus Pusat Lekra sebanyak 42

anggota, dengan tetap menghadirkan muka-muka lama para founding father Lekra di

dalam struktur seperti Nyoto, Joebaar Ajoeb, M.S. Ashar, Rivai Apin, dan Henk

Ngantung. 45 Dalam susunan Pengurus Sekretariat Pusat yang dibentuk pada Kongres

Nasoinal 1959, Joebaar Ajoeb diembankan tugas menjadi Sekretaris Umum 46 Lekra dan

didampingi oleh Henk Ngantung beserta Sudharnoto masing-masing sebagai Wakil

Sekretaris Umum I dan II. Sedangkan untuk yang lainnya sebagai anggota sekretariat.

Selain dibentuknya Pengurus Sekretariat Pusat, Kongres Nasional Lekra 1959 juga

menciptakan lembaga-lembaga kreatifnya yang bersifat otonom. 47 Lembaga-lembaga

kreatif tersebut dibagi menjadi empat macam bidang kreativitas. 48 Pertama adalah

Lembaga Seni Rupa Indonesia (Lesrupa) yang diketuai oleh Henk Ngantung, kedua

Lembaga Film Indonesia dengan ketuanya Bachtiar Siagian, ketiga ada Lembaga Sastra

Indonesia (Lestra) yang dipimpin oleh Bakri Siregar dan yang terakhir adalah Lembaga

Seni Drama Indonesia (LSDI/Lesdra) yang diketuai oleh Rivai Apin. Untuk lembaga

kreatif lainnya, yaitu Lembaga Musik Indonesia, Lembaga Senitari Indonesia, dan

Lembaga Ilmu Indonesia, dibentuk setelah sidang pleno Lekra Agustus 1960. 49

45
Untuk lebih lengkapnya lihat Lampiran 6.
46
Jabatan Sekretaris Umum/Jendral adalah jabatan yang tertinggi di dalam Lekra. Dalam Lekra
tidak ada jabatan Ketua, kecuali pada lembaga-lembaga kreatif yang memang bersifat otonom. Tidak
dipakainya “Ketua” dalam Lekra dinilai mengikuti aturan main yang ada di PKI, jabatan “Ketua” dalam PKI
hanya ditujukan kepada pemimpin di Soviet, bahkan D.N. Aidit sendiri sesungguhnya bukanlah Ketua PKI
tapi Pemimpin Besar PKI. (Interview dengan Abdul Kohar Ibrahim melalui e-mail).
47
Ibid, hlm. 35-38. Hanya disebutkan bahwa Lekra memiliki 6 lembaga kreatif tanpa menyebutkan
Lembaga Ilmu Indonesia. Mengenai Lembaga Ilmu Indonesia belum ditemukan informasi lebih lanjut.
48
Lihat Lampiran 6.
49
Tidak diketahui pasti kapan LMI ini didirikan. Dalam Kongres I LEKRA di Solo tahun 1959,
lembaga itu disebut bersamaan dengan Lembaga Tari sebagai “Lembaga Musik Indonesia dan Lembaga Tari
Indonesia” lihat ‘Laporan Kebudajaan Rakjat II, diterbitkan oleh bagian Penerbitan Lembaga Kebudajaan

32

Universitas Sumatera Utara


Selain membentuk Pengurus Pusat dan Lembaga-Lembaga Kreatif, Kongres

Nasional Lekra 1959 di Solo ini juga melakukan revisi terhadap Mukadimah yang

sebelumnya dibuat pada tahun 1950. Revisi Mukadimah ini sebenarnya sudah

direncanakan matang-matang sejak Konferensi Nasional Pertama Lekra pada Juli 1955,

namun untuk meloloskannya sebagai Mukadimah yang baru akhirnya terealisasi dalam

Kongres Nasional ini. Mukadimah 1950 sepakat untuk direvisi dalam jajak pendapat saat

Kongres Nasional berlangsung, Mukadimah 1950 dianggap sudah tidak lagi relevan untuk

kondisi sosial politik yang tercipta di tahun 1955-1959.

Pokok-pokok pikiran dan permasalahan-permasalahan yang tertuang dalam

Konsepsi Kebudayaan Rakyat yang diamanatkan pada Mukadimah Lekra 1950 dianggap

sudah bisa diatasi dan diwujudnyatakan. Artinya, Lekra sudah satu langkah berhasil

membangun dan megembangkan sebuah wacana “revolusi belum selesai” kepada rakyat

dan berhasil diterima oleh rakyat. Wacana yang dibangun Lekra pada revisi Mukadimah

tahun 1959 ini tidak lagi mengingatkan atau mempersalahkan siapa pun dibalik gagalnya

Revolusi Agustus 1945. Melainkan Lekra mulai mengajak para pekerja kebudayaan

beserta rakyat untuk focus ‘memperbaiki’ kegagalan Revolusi Agustus 1945 itu. Gerakan

kebudayaan dinilai mesti ikut ambil peran dalam kepemimpinan revolusi nasional, sebab

para kader-kader Lekra melihat bahwa revolusi nasional haruslah merupakan revolusi di

lapangan kebudayaan. Alhasil, perjuangan rakyat pun harus putar haluan menjadi;

Rakjat’, h. 165. LMI Djogja baru didirikan kemudian pada 15 April 1963, lihat Harian Rakjat 2 Januari
1964, hlm. 3

33

Universitas Sumatera Utara


“…dari hanya yang bersifat materiil dan hanya memakai alat-alat yang materiil

atau fisik, ia berubah menjadi juga bersifat kulturil dan juga memakai alat-alat

kulturil.” 50

Revisi Mukadimah Lekra 1959 juga merubah definisi tentang “rakyat”. Jikalau

pada Mukadimah tahun 1950 konsep rakyat bagi Lekra ialah sebagai buruh dan tani dalam

konteks perjuangan kelas, lain halnya dengan konsep rakyat dalam Mukadimah 1959

diperluas menjadi “semua golongan dalam masyarakat yang menentang penjajahan”.

Perubahan konsep ini menyiratkan bahwa solusi untuk pembangunan kebudayaan Rakyat

secara keseluruhan bukan hanya dari kelas buruh dan tani.

2.3.2 Kombinasi 1-5-1

Dalam Kongres Nasional Lekra I di Solo, selain revisi Mukadimah dan pembuatan

struktur Pengurus Pusat, Kongres Nasional tersebut berhasil menciptakan rumusan-

rumusan yang akan menjadi panduan bagi para pekerja-pekerja kebudayaan Lekra dalam

menghasilkan karya-karya seni mereka. Panduan atau metode untuk kerja-kerja

kebudayaan Lekra itu disebut dengan “kombinasi 1-5-1”. Kombinasi 1-5-1 ini adalah

simbol dari sikap berkesenian yang dikembangkan Lekra sesuai dengan Mukadimah 1959

yang menempatkan “Rakyat adalah satu-satunya pencipta kebudayaan”. 51

Metode 1-5-1 yang pertama adalah penanaman ideologi “politik sebagai

panglima” terhadap kader-kader Lekra. Adalah Nyoto yang kerap menciptakan ide

“politik sebagai panglima” ini untuk dijadikan landasan dasar atau azas bagi kerja-kerja

kebudayaan Lekra nantinya. Nyoto menolak pemikiran kolot yang menganggap bahwa

50
Joebaar Ajoeb, 1959b, op.cit. hlm. 25.
51
Rhoma Dwi Aria, 2008, op.cit, hlm. 25

34

Universitas Sumatera Utara


kebudayaan harus bersih dari politik, bahwa seniman dan para pekerja kebudayaan tidak

boleh iktu berpolitik karena hanya akan menurunkan mutu artistik dari karya-karya seninya

sendiri. Menurut Nyoto, politik dan keudayaan tidak dapat dipisahkan dan belum ada

bukti yang dapat dijadikan dasar bahwa seniman yang berpolitik akan melahirkan karya

seni yang buruk. Lebih tegasnya Nyoto menyatakan:

“politik tanpa kebudayaan masih bisa jalan, tetapi kebudayaan tanpa politik tidak…
Sekali lagi kawan, politik itu penting sekali. Jika kita menghindarinya, kita akan
digilas mati olehnya. Karena itu dalam hal apa pun dan kapan sajapun, politik harus
menuntun segala kegiatan kita: Politik adalah Panglima.” 52

Tidak hanya sampai disitu, Nyoto sebagai pencetus ide tersebut juga mengibaratkan

hubungan antara seni dan politik dengan metafor seorang yang menuntut ilmu sambil

berolahraga:

“perkenankanlah saya mengemukakan: orang yang berkata ‘hai, jangan kamu


berpolitik, karya senimu akan merosot’, dia itu bisa kita samakan denggan seorang
guru yang berkata ‘hai, jangan kamu olahraga, kau nanti bodoh’. Menurut yang
empunya cerita, tak lama kemudian guru itu mati dan dikubur hanya karena dia tak
pernah berolahraga…” 53
Benih-benih lahirnya azas seniman harus berpolitik ini juga sudah dikumandangkan

oleh seniman-seniman Pujangga Baru, mereka menganggap adalah keliru besar

mempersilakan kebudayaan yang berjalan sendiri, polos dan tanpa bimbingan politik.

Lebih lanjutnya Amir Pasaribu 54 mengatakan:

52
Nyoto, Revolusi adalah Api Kembang, 1959, hlm. 56-57.
53
Rhoma Dwi Aria, 2008, op.cit, hlm. 26.
54
Amir Pasaribu lahir di Siborong-borong, Sumatera Utara pada tahun 1915 dan meninggal di
Medan pada tahun 2010. Ia adalah seorang seniman yang ahli dalam bidang musik klasik. Ia juga pendiri
Liga Komponis dan Ikatan Musik Indonesia (1950). Mengenai sejauh mana kedekatannya dengan Lekra
masih belum jelas karena tidak adanya data yang komprehensif atara hubungan Amir Pasaribu dengan
seniman-seniman yang ada di Lekra. Amir Pasaribu juga termasuk golongan kiri pada waktu itu, ia pun
lantas dikejar-kejar oleh rezim pemerintahan Orde Baru. Alhasil ia lebih memilih pindah dan menetap di

35

Universitas Sumatera Utara


“seniman tidak berpolitik, itu benar, tidak berpolitik gerakan subversif. 1001 kali
seniman tidak berpolitik, 1001 kali pula politik akan mencampuri seni dan seniman.
Seniman itu peserta. Ia pal di tengah-tengah kehidupan bangsa dan masyarakat. Ia
bukanlah penonton, spectateur…ia pemikir. Tiap masalah yang dihadapi harus
dijawabnya. Dengan sungguh-sungguh. Dengan jujur. Memikirkan nasib kemajuan
bangsanya dalam pemikiran semua segi hidupnya. Dan ia bergiat untuk
menyelamatkan bangsanya dari kerugian.” 55

Begitu pun, keputusan untuk menjadikan “politik sebagai panglima” menjadi azas

gerakan Lekra, tetap menimbulkan kontroversi antara pihak pro dan pihak kontra terhadap

slogan azas tersebut. Banyak kalangan, terutama dari pihak penganut paham humanism

universal yang menganggap azas tersebut menundukkan kesenian dan kebudayaan pada

umumnya di bawah kendali politik, mengotori supremasi seni dengan membawanya

kepada urusan tikung menelikung dalam dunia perpolitikan.

Selanjutnya, setelah proses penciptaan landasan azas “politik sebagai panglima”

dirumuskan oleh Lekra metode “Lima Kombinasi”. Kombinasi pertama yaitu “meluas dan

meninggi”. Arti ‘meluas’ di sini ialah popularisasi, yang diimplementasikan dengan

perekrutan anggota-anggota baru, ekspresi seni yang lebih popular dan partisipasi massa

yang lebih besar. Sebagaimana termaktub dalam “Laporan Umum” Kongres Nasional I,

meluas diartikan sebagai

“…kondisi atas kenyataan karya cipta Rakyat yang beragam, kaya dan luas di

berbagai daerah di antara suku bangsa yang ribuan jumlahnya itu”. 56

Sedangkan meninggi yang dimaksud Lekra ialah mengadakan pelatihan atau

pendidikan seni dan kebudayaan yang revolusioner kepada tenaga-tenaga atau generasi

Suriname dan baru pulang ke Indonesia pada tahun 1995. Lebih lengkapnya lihat
http://id.wikipedia.org/wiki/Amir Pasaribu.
55
Rhoma Dwi Aria, loc.cit.
56
Lihat pada Lampiran 9.

36

Universitas Sumatera Utara


muda yang belum cukup mumpuni. Selain itu ‘meninggi’ juga diartikan sebagai langkah

maju bagi para seniman untuk senatiasa menciptakan karya-karya yang berkualitas dan

berani menduduki tempat-tempat yang strategis dalam hubungannya antara kebudayaan

dan politik.

Rumusan penggabungan antara garis meluas dan meninggi ini diungkapkan secara

gambling pada “Laporan Umum” Lekra; “Kegiatan meluas sebagai landasan bagi yang

meninggi, dan kegiatan meninggi sebagai pengangkat kegiatan yang meluas”.

Kombinasi yang kedua adalah “tinggi mutu ideologi dan artistik”. Dalam

pandangan Lekra seni dan ilmu haruslah berpihak, dan dalam hal ini berpihak kepada

“Rakyat yang tertindas”. Seni mesti berpihak, karena seni lahir dari kehidupan yang nyata

dan tidak ada seni yang mengabdi untuk seni itu sendiri. Keberpihakan Lekra terhadap

Rakyat, lantas menciptakan ideologi kerakyatan yang harus dinyatakan dalam setiap karya

cipta para seniman Lekra. Ideologi Rakyat inilah yang menjadi tumpuan bagi aktivitas

proses berkebudayaan Lekra untuk melihat seberapa besar dan seberapa tinggi mutu suatu

ideologi di dalam karya-karya seni mereka.

Menurut Banda Harahap, politik yang tinggi harus didukung oleh artistik yang

tinggi juga, barulah karya seni yang demikian memenuhi alat perjuangan yang ampuh.

“Tanpa ideologi yang tinggi tidak mungkin dicapai arsitek yang tinggi. Kemudian
kita harus terus menerus membacakan masalah estetika, mendiskusikannya,
menyeminarkannya, membikinnya menjadi soal dalam kerja kreasi kita sehari-hari.
Bahwa politik sudah menjadi soal tidak dipersoalkan lagi. Sekarang masalah-
masalah artistik harus dijadikan soal mulai dari penguasaan kemahiran teknik
sampai kepada penguasaan masalah-masalah teori estetika Marxis”. 57

57
Ibid, hlm. 28.

37

Universitas Sumatera Utara


Kombinasi yang ketiga adalah “tradisi baik dan kekinian revolusioner. Dalam

konsep ‘tradisi baik’, Lekra mengembangkan lebih lanjut makna ‘baik’ pada tradisi baik

itu dengan proses mencipta yang kemudian diberi nama “Tiga Baik”: (1) bekerja baik; (2)

belajar baik; dan (3) bermoral baik.

Bekerja baik mempunyai makna bahwa proses penciptaan harus ditempuh dengan

pekerjaan-pekerjaan sesuai dengan prosedur-prosedur atau riset ilmiah, bukan dari “bualan

kosong di kamar sambil ongkang-ongkang kaki menenggak alkohol atau sambil menghisap

cerutu”. 58 Belajar baik berarti adanya selalu rasa penasaran, ingin tahu tentang realitas-

realitas kehidupan dalam hal mencari kebenaran dan menguji hal-hal baru secara kritis atau

diuji secara intensif (terus-menerus). Hasil dari belajar dan bekerja baik itu belumlah

cukup untuk menghasilkan sebuah karya cipta yang baik kalau dalam karya tersebut tidak

bisa memberi teladan untuk paling tidak memupuk moral yang baik kepada Rakyat.

Karya cipta yang tidak menggunakan Tiga Baik akan menghasilkan karya-karya

yang penuh dengan fantasi-fantasi vulgar yang tak senonoh, tak bertanggung jawab dan

hanya akan merusak moralitas rakyat.

“Kesenian indonesia mesti punya moral, mesti mengandung tugas…dalam


hubungan ini, moral bukan berarti hubungan kelamin antara pria dan wanita tok,
sebagaimana orang lazim mengartikannya, tetapi adalah perasaan bertanggung
jawab…Seni mempunyai pertanggung jawaban dan tugas dalam pembentukan
kejiwaan bangsa kita”. 59

Konsep “Tiga Baik” dalam “Tradisi Baik” inilah yang menjadi modal Lekra untuk

menciptakan suatu karya seni.

58
Harian Rakyat, “Merah Kesumba”, 25 April 1961.
59
Rhoma Dwi Aria, op.cit, hlm. 29.

38

Universitas Sumatera Utara


Kader-kader Lekra dituntut untuk selalu tanggap atau peka dengan arus

perkembangan zaman atau kekinian. Kepekaan tersebut harus dibekali dengan daya kritis

agar tidak mudah terikut arus zaman yang dapat menghilangkan idealismenya. Daya kritis

yang dimaksudkan oleh Lekra yaitu mampu menangkap akar permasalahan suatu realita

dengan memakai sudut pandang revolusioner. Sedangkan, sudut pandang revolusioner itu

sendiri adalah cara memandang kenyataan yang didasarkan pada bekerjanya dialektika dan

ketegangan dalam masyarakat. 60

Kombinasi selanjutnya yaitu “kreativitas individu dan kearifan massa”.

Kombinasi inilah yang jelas-jelas menampik anggapan bahwa dalam Lekra, individu

sangat dikekang sehingga tidak dapat berkreatifitas dengan bebas. Kenyataan yang

sebenarnya adalah setiap individu Lekra berhak berkreasi se-kreatif mungkin dalam

menciptakan karya seni mereka. Tapi seni yang berkualitas menurut Lekra ialah bagaimana

kreatifitas individu bisa berkorelasi dengan kearifan massa. Pengertian yang dimaksud

dalam hal ini adalah bagaimana membuat karya seni yang dapat dipahami oleh Rakyat,

bukan hanya sampai pada tahap memahami tapi juga dapat menginspirasi Rakyat.

“Seniman memang tidak bisa diatur ataupun disetir oleh kepentingan-kepentingan


politik tertentu. Politik yang diyakini Lekra adalah semangat dalam revolusi
kebudayaan untuk terus menyokong revolusi 1945, sedangkan tekanan ataupun
ajakan untuk berpolitik praktis bagi Lekra bukanlah sebuah kewajiban. Seniman
memerlukan independensinya agar dapat menghasilkan karya yang matang. Prinsip
yang demikianlah yang juga dianut oleh seniman Lekra”. 61

“bahkan seniman Lekra yang satu memiliki pandangan dan pemikiran yang berbeda
dengan seniman Lekra yang lain. Pemahaman ini juga berlaku pada perbedaan
pemahaman pandangan mengenai karya seni antara seniman Lekra sebagai individu

60
Rhoma Dwi Aria, 2008, loc.cit.
61
Pernyataan Oey Hay Djoen, Pengurus Pusat Lekra dan anggota PKI, dalam film documenter
Tjidurian 19. Lebih lengkapnya lihat film documenter Tjidurian 19: Rumah Budaya Yang Dirampas. Institut
Sejarah Sosial Indonesia dan Lembaga Kreativitas Kemanusiaan, 2009.

39

Universitas Sumatera Utara


dengan Lekra secara organisasi. Seniman Lekra tidak menganggap ada teori satu
bebek, artinya apa yang diperintahkan dari atas, akan selalu diamini oleh mereka
yang ada di bawah. Dalam frame (bingkai berpikir Lekra, masing-masing seniman
memiliki hak untuk bebas menentukan arah karyanya atau pemahaman
pemikirannya”. 62

Untuk bisa menghasilkan karya seni yag sesuai dengan kearifan massa harus

mengenal aturan main massa itu terlebih dahulu. Tahapan inilah yang membuat banyak

karya-karya seni Lekra bersinggungan dengan permasalahan-permasalahan yang terjadi

pada rakyat, terkhusus kaum buruh dan tani. Lebih lanjut Astaman Hasibuan mengatakan;

“sambil buang air kecil juga banyak yang bisa membuat sajak, tetapi untuk

membuat karya seni bisa seturut dengan kearifan massa, itu yang paling sulit.” 63

Kombinasi yang terakhir adalah realisme sosialis dan romantik revolusioner.

Kombinasi ini dapat dikatakan unik karena kedua istilah tersebut terambil dari istilah

Soviet. Menurut Keith Foulcher kombinasi antara realisme sosialis dengan romantik

revolusioner ini pertama kali dikemukakan oleh Mao Tse Tung, yang kemudian

dipopulerkan oleh Chou Yang dalam tulisannya Red Flag, edisi Juni 1958. 64

Istilah romantik sebenarnya selalu identik dengan era romantisisme yang muncul di

Eropa pada akhir abad ke-18. Era ini muncul sebagai akibat terbentuknya gelombang

reaksi dari era sebelumnya, zaman pencerahan, yang dianggap terlalu memberi tekanan

pada rasional, sehingga situasi kehidupan berpolitik dan berkebudayaan saat itu terasa

kering, dingin dan kaku. Maka itu Romantisisme muncul dengan upaya mengedepankan

hal-hal yang lebih emosional, keunikan individu, hasrat akan kebebasan.

62
Keterangan Amrus Natalsya dalam film dokumenter Tjidurian 19.
63
Pernyataan Astaman Hasibuan saat diwawancarai pada Maret 2013.
64
Keith Foulcher, Social Commitment in Literature and the Arts: the Indonesian “Institute of
People’s Culture”, Monash University Press, Victoria, 1986, hlm. 111.

40

Universitas Sumatera Utara


Bakri Siregar, salah satu pengurus pusat Lekra yang aktif di bidang sastra,

menganggap bahwa Realisme Sosialis adalah sebuah metode kerja yang mutlak perlu

digunakan oleh para seniman kebudayaan yang revolusioner;

“Pertama-tama, ini berarti bahwa kita harus mengenal hidup untuk bisa
melukiskannya dengan sebenarnya dalam suatu kerja seni, tidak dengan cara
sekolahan yang kering. Tidak hanya melukiskan “kenyataan obyektif saja”, tapi
melukiskan kenyataan dalam pertumbuhan revolusionernya.

Dalam pada itu kenyataan dan watak historik yang konkret dari lukisan artistik
mesti dihubungkan dengan tugas pembentukan ideologis dan pendidikan pekerja-
pekerja dalam semangat sosialisme. Metode kerja sastra dan kritik sastra ini kita
namakan metode Realisme Sosialis”. 65

Dalam pernyataan di atas metode Realisme Sosialis yang dianjurkan oleh Bakri Siregar

lebih merujuk kepada metode dalam kreativitas sastra. Maka tak heran realisme sosialis

lebih identik kepada sastra dibandingkan dengan bidang film, seni rupa, musik, dll. Akan

tetapi, Lekra dalam hal ini tidak memakai Realisme Sosialis hanya pada bidang sastranya

saja, melainkan semua bidang kebudayaannya.

Realisme sosialis menurut pandangan Pramoedya Ananta Toer layak dijadikan

suatu metode untuk diterapkan pada bidang kebudayaan selain sastra, dikarenakan

Realisme Sosialis memiliki watak yang jelas. Pertama, realisme sosialis memiliki watak

militansi yang tak kenal kompromi dengan lawan. Kedua, Realisme Sosialis segaris

dengan perjuangan politik sosialis, sehingga dia terus-menerus melakukan effensi atas

musuh-musuhnya dan pembangunan yang cepat di kalangan barisan sendiri. 66 Sedangkan

makna revolusioner bagi Nyoto yaitu;

65
Andre Hardjana, “Metode Realisme Sosialis dalam Sastra Indonesia” dalam Kewaspadaan
Nasional dan Bahaya Laten Komunis, Penerbit Intermasa, Jakarta, 1997, hal. 34.
66
Pramoedya Ananta Toer, Realisme Sosialis dan Sastra Indonesia, Lentera Dipantara, Jakarta,
2003, hal. 29.

41

Universitas Sumatera Utara


“tidak patah hati dalam menjumpa rintangan, menjumpai kesukaran, mengalami

kemunduran dan kekalahan sementara sekali pun. Dan kita tidak puas diri dalam

mengalami kemajuan, dalam menerima kemenangan sekalipun.” 67

Romantik revolusioner adalah sebagian integral dalam realisme sosialis. Pada tahap

ini, sang seniman mesti menguasai realitas kehidupan sosial tanah-airnya sendiri, setelah

dapat menguasai realitas kehidupan, seniman harus berjuang untuk mengubah realitas yang

didapatinya itu sesuai dengan perkembangan dan arah yang dipilih untuk memenangkan

sosialisme. Bukan hanya mengubah, terlebih menciptakan suatu pola-pola yang baru untuk

kesejahteraan rakyat. Hal ini dengan sendirinya akan mewujudkan juga obyektivisme

dalam karya seni di lapangan politik rakyat. 68

Unsur realisme sosialis dan romantik revolusioner ini sebenarnya sudah sering

diimplementasikan pada sastrawan-sastrawan Indonesia di masa kolonialisme. Marco

Kartodikromo atau yang sering dipanggil dengan “Mas Marco” sampai harus keluar masuk

penjara karena karya-karya sastranya yang cenderung mengandung realisme sosialis dan

romantik revolusioner. Mas Marco tidak hanya berkutat dengan pena dan secarik kertas

yang menampung segala inspirasi revolusionernya, dia langsung menghampiri realitas

yang menyebabkan terjadinya kesenjangan sosial pada rakyat, dengan mengikuti

pemberontakan tahun 1926. Pengorbanan pribadi dianggap sebagai salah satu bagian dari

fondamen bagi kebahagiaan proletariat dan inilah konsekuensi yang harus diambil oleh

seorang seniman revolusioner. 69

67
Harian Rakyat. 7 Februari 1959.
68
Pramoedya Ananta Toer, 2003, op.cit. hal. 70.
69
Ibid. hal. 72.

42

Universitas Sumatera Utara


Satu tahapan yang terakhir dalam lima kombinasi di atas agar dapat tercapai dengan

baik hasilnya wajib menggunakan metode kerja yang sesuai dengan perjuangan Lekra

terhadap Rakyat. Tahap terakhir dalam konsep 1-5-1 tersebut ialah “Turun ke Bawah” atau

yang biasa disingkat menjadi “Turba”. Turba diperuntukkan agar seniman-seniman dan

buah karyanya mampu langsung menyentuh masa atau rakyat pekerja. Para seniman Lekra

harus masuk ke perkampungan-perkampungan buruh, ke desa-desa kaum tani untuk hidup

dan bekerja bersama mereka sambil menyebarkan gagasan-gagasan kebudayaan rakyat.

Metode Turba ini diusulkan dalam Kongres Nasional I juga oleh Nyoto. Ia

menginginkan agar para seniman harus mendapatkan “pemahaman yang tepat” dan

“mempelajari kebenaran yang hakiki” sebelum menghasilkan karya “seni untuk rakyat”.

Sangat mustahil karya-karya seni yang berguna bagi rakyat didapatkan dari hayalan-

hayalan individu dan didapatkan dari tumpukan-tumpukan buku dan lamunan. 70

Setiap kader-kader Lekra, baik dari Pengurus Pusat sampai ke Pengurus Ranting

diwajibkan untuk melakukan Turba ke daerah yang telah ditentukan oleh para

pengurusnya. Untuk memudahkan pelaksanaan Turba ini para pimpinan Lekra

menciptakan suatu rumusan sebagai indikator untuk pelaksanaan Turba itu. Rumusan itu

lantas disebut dengan “tiga sama”: bekerja bersama, makan bersama, dan tidur bersama.

Jadi yang pertama harus dilakukan adalah bekerja dulu, baru makan, kemudian

tidur. Bekerja bersama itu tidak seperti kerja sama kuli dengan majikannya, melainkan

sama-sama mengerjakan pekerjaan yang sederajat atau sama porsinya, tidak merendahkan

ataupun meninggikan profesi kerja salah satu. Sedangkan yang didefinisikan dengan

70
Rhoma Dwi Aria, 2008, op.cit. hal. 31

43

Universitas Sumatera Utara


“makan bersama” bukan saja urusan makan bersama di satu meja makan yang sama,

karena bisa saja seorang makan daging sapi dan seorang yang lain hanya makan ceker

ayam. Satu meja atau tidak, bukan menjadi persoalan, yang terpenting kesamaan derajat

dari jenis makanan yang disantap. Seorang makan tiwul, semua juga harus makan tiwul.

Perihal tidur bersama pun juga demikian, bukan perkara tidur di satu tempat atau ruang

yang sama, tapi seorang tidur dengan kasur empuk dilapisi selimut dan seorang yang lain

tidur dengan tikar. Tidur bersama dalam hal ini sepenuhnya harus dimaknai dengan tidur di

atas tempat tidur dengan adat tidur yang sama seperti si empunya rumah yang di turun-

bawahi.

Persoalan yang terdapat dalam penerapan Turba ini adalah timbulnya multitafsir di

antara kalangan Lekra sendiri dalam memahami Turba ini. Hersri Setiawan 71 , mantan

pengurus Lekra Jawa Tengah menafsirkan Turba dengan cara mengalami atau menghayati

atau ikut serta merasakan apa yang dialami oleh rakyat yang pada akhirnya menujurus ke

metode riset ilmiah atau sesuai dengan motto “beleven” dan meeleven”. 72

Begitu pun dengan penyair yang juga anggota Lekra, Kusni Sulang yang

mengartikan Turba sebagai pekerjaan seni untuk menyatu dengan rakyat secara terencana

dan sebagai urusan bersama, maka itu tidak dilakukan secara individual dan spontan. Turba

bukan lagi sekedar metode kerja penciptaan saja, tetapi sudah menjadi metode kerja

71
Hersri Setiawan adalah seorang sastrawan yang berasal dari Jawa Tengah. Dia juga mantan
Pengurus Lekra Jawa Tengah pada tahun 1960-an. Dia pernah dipenjarakan oleh rezim Orde Baru pada thun
1973 di Pulau Buru. Karya sastranya yang terkenal “Memoar di Pulau Buru” (2004) ditulisnya ketika ia
masih dipenjara di Pulau Buru.
72
Hersri Setiawan, Aku eks Tapol, Galang Offset, Yogyakarta, 2003, hal. 365.

44

Universitas Sumatera Utara


pengembangan dan pengenalan ideologi Lekra secara kongkret ke dalam kehidupan seni

dan budaya rakyat di bawah. 73

Oey Hay Djoen menafsirkan Turba sebagai garis massa, yakni belajar mendengar

dan menimba dari kehidupan rakyat. Yang juga artinya;

“berarti kita berguru kepada massa ataukah kita yang menggurui massa. Kita

melancarkan gerakan turun ke bawah tidak dan tidak pernah untuk menggurui

massa. Kita malahan tidak hanya berguru kepada massa- kita berguru kepada massa

sebagai murid kecil”. 74

Amrus Natalsya 75 , Pelukis Lekra yang juga memimpin Sanggar Bumi Tarung

menganggap Turba sebagai ilmu.

“Bukan ilmu melukis, tetapi dengan Turba, maka lukisan itu bisa memberikan ilmu

kepada penonton atau penikmatnya. Ilmu bahwa petani dan buruh itu harus dibela,

bahwa feodalisme beserta dengan sanak-saudaranya adalah buruk, dengan

pemahaman seperti itu sebuah lukisan tidak lagi hanya menjadi penghibur bagi

sebagian kalangan”. 76

Lebih tajam lagi adalah penafisran dari Basuki Resobowo yang juga seorang

Pelukis Lekra. Basuki menerapkan cara dia melaksanakan Turba dengan motto la via est la

misere: hidup adalah sengsara. Bagi Basuki, kursi rotan yang tidak reot dan kasur yang

73
Kusni Sulang, Di Tengah Pergolakan; Turba LEKRA di Klaten, Penerbit Ombak, Yogyakarta,
2005, hlm. 50.
74
Harian Rakyat, 12 Maret 1962.
75
Amrus adalah seorang Pelukis Rakyat, yang juga mantan anggota Lekra, ia kemudian mendirikan
Sanggar Bumi Tarung yang tetap eksis sampai sekarang.
76
Wawancara via email dengan Amrus Natalsya.

45

Universitas Sumatera Utara


empuk adalah penghalang bagi kerja penciptaan. Karena itu ia lebih memilih untuk tinggal

di gubuk yang kecil dan sederhana demi penciptaan karya seni yang dapat diterima oleh

rakyat bawah, meskipun tentu saja dia mampu untuk tinggal di rumah yang lebih baik. 77

2.4 Lekra dan Hubungannya dengan PKI

Dalam konteks politik, media seni budaya dapat menjadi salah satu mesin

propaganda kebijakan pemerintah yang sangat efektif. Hal ini berlaku juga pada masa

Demokrasi Terpimpin, banyak lembaga-lembaga nasional, baik politik dan budaya yang

saling berlomba untuk mendapatkan simpati atau perhatian dari pemimpin pemerintahan

(dalam hal ini ialah Presiden Soekarno). Lekra pun demikian, agar bisa masuk dan selalu

eksis di ranah perpolitikan bangsa, Lekra berusaha untuk bisa sedekat mungkin dengan

Soekarno. Dukungan-dukungan dengan penuh semangat terus dinyatakan Lekra terhadap

semua ide-ide yang dilahirkan oleh Soekarno pada masa Demokrasi Terpimpin. Ide-ide

dan ajaran Soekarno seperti Manipol, Usdek, Nasakom, Berdikari, Ganefo, dan sebagainya

selalu dijadikan sebagai acuan dalam setiap kegiatan, baik kegiatan politik maupun

kesenian Lekra.

Fenomena yang dialami oleh Lekra tersebut menunjukkan bahwa seni budaya telah

dimanfaatkan secara ekstensif juga sebagai tindakan politik. Para seniman melalui daya

kreativitasnya seringkali mendahului perkembangan masyarakat, dan kemudian

mematangkan untuk perkembangannya itu. Maka itu seniman dianggap dapat menjadi

agent of change bagi masyarakat di sekitarnya. 78

77
Antariksa, Tuan Tanah Kawin Muda, Yogyakarta, 2005, hlm. 51.
78
Ahmad Norma, Seni, Politik dan Pemberontakan, Bentang Budaya, Yorgyakarta, 1998, hlm. 67.

46

Universitas Sumatera Utara


Ternyata dengan hadirnya era Demokrasi Terpimpin, situasi politik Indonesia

menjadi penuh dengan intrik perpolitikan yang sangat kental dengan politik praktis. Pada

era ini bukan hanya pemerintah saja yang menjadi sasaran afiliasi setiap organisasi maupun

lembaga, namun partai-partai juga ikut dijadikan sasaran sebagai ‘kawan’ politik. Tak

pelak kondisi ini membuat banyak lembaga-lembaga seni budaya yang sebelumnya

independen terpaksa memutarkan haluannya untuk setia kepada amanat partai.

Belakangan Lekra divonis sebagai onderbouw PKI oleh lawan-lawannya. Terutama

menjelang tahun 1960-an banyak pada saat itu partai-partai yang juga membentuk sebuah

lembaga kebudayaannya. Sebut saja di antaranya LKN (PNI), Lesbi (Partindo), Lesbumi
79
(NU) , Laksmi (PSII), Lekrindo (Parkindo), LKKI (partai Katolik) dan ISBM

(Muhamadiyah), bahkan Angkatan Darat juga mempunyai lembaga kebudayaannya yang

kelak diberi nama Manifesto Kebudayaan. Brita Maklai dalam tulisannya mengatakan

bahwa kecenderungan partai untuk membentuk sayap di bidang kebudayaan ini ternyata

bak gayung bersambut dengan kecenderungan seniman untuk mencari afiliasi kepada

partai. 80 Para seniman dan pekerja kebudayaan di zaman itu dituntut agar bersikap loyal

dan harus berpihak kepada salah satu partai, hal ini agar seniman bisa lebih dihargai karya-

karyanya. Dengan tolak ukur ini kemudian Lekra dicap sebagai tangan kanan PKI dalam

ranah kebudayaan.

79
Lesbumi dibentuk pada 28 Maret 1962 di bawah naungan partai Nahdatul Ulama (NU).
Pendiriannya dipelopori oleh Djamaludin Malik, Usmar Ismail dan Asrul Sani. Pada prinsipnya Lesbumi
mengambil sikap ‘jalan tengah’ dan dilandasi pada azas moderasi (at-tawazun), menjaga keseimbangan (at-
ta’adu), dan toleran (at-tasamuh) yang kesemuanya itu merupakan manifestasi dari paham alussunnah wal-
jama’ah. Oleh karena mangambil prinsip ‘jalan tengah’ ini, Lesbumi tidak memihak kepada Lekra atau
Manifesto Kebudayaan. Dalam musyawarah besarnya yang pertama kali pada tanggal 25-28 Juli 1962,
Lesbumi berhasil merumuskan tiga hal pokok yang menjadi pedoman bagi seluruh senimannya, yang
ditafsirkan menjadi ‘kebudayaan Islam’, ‘seni Islam’, dan ‘seniman dan budayawan Islam’.
80
Brital Maklai, Menguak Luka Masyarakat: Beberapa Aspek Seni Rupa Indonesia sejak 1966,
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1998, hlm. 22.

47

Universitas Sumatera Utara


Kedekatan Lekra dengan PKI alhasil membuat seakan-akan Lekra menjadi sebuah

corong politik-nya PKI untuk menarik simpati rakyat. Hal ini tak lepas dari kesamaan

prinsip organisasi tersebut yang mengutamakan Rakyat sebagai tujuan utamanya. Maka

dari itu, dengan kesamaan prinsip dan juga ideologi, tak bisa dipungkiri, kedekatan Lekra

dan PKI ini pada akhirnya memang sudah terjalin, bahkan begitu dekat. Dan hal ini

sebenarnya membuat kedua organisasi dan lembaga tersebut saling diuntungkan satu sama

lain. 81

Akan tetapi, para elit Lekra langsung membantah anggapan seperti itu. Menurut

mereka kedekatan antara Lekra dengan PKI bukanlah seperti hubungan pemimpin dan

bawahannya atau sebaliknya. Hubungan yang terbentuk antara Lekra dan PKI hanyalah

sebatas ‘kawan ideologi’. Ideologi ‘seni tak hanya untuk seni, tapi seni untuk rakyat’ 82

yang dimiliki Lekra memang banyak terinspirasi dari semangat kerakyatan PKI. Walau

adanya persamaan persepsi tersebut, bukan berarti seni harus selalu mengabdikan diri

kepada partai politik tertentu, melainkan mengabdikan diri kepada arah revolusioner. 83

Tentang kedekatan antara Lekra dan PKI ini, terutama tentang hal onderbouw atau

tidak onderboum-nya Lekra terhadap PKI menuai banyak perbedaan pandangan. Menurut

81
Keuntungan dari pihak Lekra, yaitu memudahkan mereka untuk melebarkan sayapnya, akibat
kedekatannya dengan PKI, banyak Rakyat dari kalangan bawah yang tertarik atau berminat untuk menjadi
anggota atau simpatisan Lekra. Bukan hanya itu, koran milik PKI, Harian Rakyat dan Bintang Timur juga
menjadi media yang setia menampung berbagai karya sastra para aktivis dan organisatoris Lekra. Sedangkan
keuntungan yang bisa diambil dari pihak PKI yaitu memudahkan mereka untuk memobilisasi massa terutama
kaum seniman yang progresif-revolusioner. Contoh saling menguntungkan antara dua kubu ini bisa dilihat
dari kesuksesan PKI pada Pemilihan Umum I tahun 1955.
82
Eka Kurniawan, Pramoedya Ananta Toer dan Sastra Realisme Sosialis, Jendela, Yogyakarta,
2002, hlm 90-91.
83
Soedarsono, Seni Pertunjukan dari Perspektif Politik, Sosial, dan Ekonomi,. Gadjah Mada
University Press, Yogyakarta, 2003, hlm 216-217.

48

Universitas Sumatera Utara


Keith Foulcher 84 dalam bukunya “Social Comittment in Literature and The Arts”

mengatakan bahwa:

“…actually more inclined Lekra a left nationalist cultural institutions of the communist
cultural institutions”. 85

(“…sebenarnya Lekra lebih condong merupakan lembaga kebudayaan nasionalis kiri


daripada lembaga kebudayaan komunis”).

Foulcher mengatakan demikian setelah melihat bahwa dalam proses melakukan perekrutan

anggota baru, Lekra hanya didasarkan atas rasa kesuka-relaan, bukan dengan memasukkan

dengan paksa doktrin-doktrin Marxis atau Stalin. 86

Dalam situasi demikian, Keith Foulcher juga sejalan dengan pandangan Kusni

Sulang dalam menilai hubungan Lekra dengan PKI. Menurut Kusni, Lekra tidak meminta

syarat apa-apa bagi orang yang tertarik ingin bergabung bersama Lekra;

“keanggotaan lekra terbuka untuk siapapun tanpa ada syarat-syarat yang


merumitkan. Salah satu garis yang menghubungkan keanggotaan adalah kecintaan
pada seni dan budaya, serta kecintaan pada rakyat itu sendiri. Meskipun demikian
gerak lekra yang mengusung seni adalah politik tidak berpengaruh besar terhadap
anggotanya. Kebanyakan anggota lekra bergabung karena kecintaan mereka
terhadap seni dan budaya. Bagi mereka yang menyukai tari, maka dapat bergabung
dengan tari. Bagi mereka yang menyukai keroncong (musik) bisa bergabung
dengan keroncong. Keanggotaan ini tidak memiliki kartu identitas. Sehingga klaim
anggota Lekra berjumlah banyak bukanlah isapan jempol. Masyarakat umum, dari
berbagai ras, suku, kebangsaan dan agama dapat bergabung dengan Lekra. Asalkan
mereka memiliki visi dan misi yang sejalan dengan organisasi budaya ini”. 87

84
Keith Foulcher adalah seorang intelektual dari Australia yang berminat pada kajian-kajian budaya
di Indonesia. Dia mendapatkan Honorary Associate dari almamaternya Universitas Sydney.
85
Keith Foulcher, 1986, op.cit, hlm.24-25.
86
Untuk mengetahui doktrin-doktrin Marxis dan Stalin menurut pemikiran Lekra baca buku Nyoto,
“Marxisme Ilmu dan Amalnya”.
87
Kusni Sulang, 2005, op.cit, hlm. 34.

49

Universitas Sumatera Utara


Anggapan bahwa Lekra adalah Lembaga Kebudayaan bentukan PKI dapat

dikatakan hanya sebagai manuver lawan-lawan Lekra untuk menghentikan eksistensi

Lekra baik di bidang kebudayaan atau pun bidang perpolitikan Indonesia. Hal ini juga

berkaitan dengan mulai melemahnya sosok Soekarno di mata rakyat pada pertengahan

tahun 1960 dan ditambah semakin eksisnya Angkatan Darat. Puncaknya yaitu pada zaman

orde baru yang secara umum memberikan stigma dengan mengaitkan Lekra sebagai kaki-

tangannya PKI dan akhirnya menenggelamkan Lekra pada peta kebudayaan Indonesia.

Dampak epilognya terjadi pada peristiwa Gestapu yang lantas menyeret juga Lekra ke

dalam keganasan pembantaian kroni-kroni PKI oleh rezim Orde Baru yang

mengatasnamakan Pancasila semu.

Oey Hay Djoen perihal hubungan antara Lekra dengan PKI juga pernah

mangatakan demikian;

“Jangan menganggap lekra lahir dari PKI…idenya bukan hanya dari Nyoto, Aidit,
dan sebagainya. Ada juga M.S. Ashar dari Merdeka di sana, ada A.S. Dharta, dan
sebagainya. Tidak semuanya orag komunis. Tapi yang lebih penting, sebelum
Lekra berdiri sudah banyak organisasi kebudayaan, yaitu kelompok-kelompok yang
berakar di masyarakat”. 88

Meskipun tokoh-tokoh Lekra sangat dekat dengan PKI, dan sebagian menjadi

anggota bahkan pengurus dalam PKI, namun Lekra tidak bisa serta merta divonis menjadi

onderbouw partai komunis terbesar di Asia Tenggara tersebut. Aidit sendiri pada awal

dibentuknya Lekra, sedang menjalani masa hukuman selama dua minggu percobaan enam

bulan bersama Lukman. Keduanya dijatuhi hukuman karena melanggar Pasal 472 Undang-

Undang Hukum Pidana mengenai persoalan penumpang gelap. Seperti diketahui, bahwa

Aidit dan Lukman menumpang kapal dari Hongkong tanpa menggunakan tiket dan surat-

88
Antariksa, 2005, op.cit. hal. 36.

50

Universitas Sumatera Utara


surat resmi. Singapura pada saat itu sedang aktif melakukan pembersihan terhadap tokoh-

tokoh kiri, sehingga Aidit dan Lukman yang sedang berada di sana segera kembali ke

tanah air meskipun kehabisan uang. Keduanya sampai ke Tanjung Periok dengan kapal

Tjitjalengka pada 23 Juli 1950. 89

Sejak berkembang pesatnya Lekra dari tahun 1955, PKI memang sangat gencar

mendekati para aktivis Lekra. Dalam setiap acara PKI, selalu terdapat undangan tamu bagi

organisasi Lekra. Hal ini kemudian dipandang oleh kalangan intelektual pada waktu itu

sebagai sebuah strategi PKI untuk mengintegrasikan Lekra dengan PKI. Meski berulang

kali Lekra menyatakan komitmennya untuk tidak mengikuti garis komando partai

manapun, usaha PKI untuk “memerahkan” Lekra tetap berlanjut sampai puncaknya ialah

pada tahun 1964. Diselenggarakannya KSSR (Konfernas Sastra dan Seni Revolusioner) 90

pada 27 Agustus 1964 merupakan bukti masih adanya suatu usaha untuk menekan Lekra

agar menerima kepemiminan PKI di dalam seni dan budaya.

Sejumlah rumor bahkan menyatakan bahwa PKI telah memplot S.W. Kuntjahjo,

seorang penyair dan pelukis drama yang juga menjadi Ketua KSSR, untuk menggantikan

Joebaar Ajoeb sebagai Sekretaris Umum Lekra andaikata Lekra bersedia menyatakan

dirinya sebagai sebuah organisasi komunis. Tidak hanya itu, Amarzan Ismail Hamid,

delegasi dari seniman Sumatera Utara, juga berpendapat bahwa ada isu dari Sekretariat

89
Antara, 13 Agustus 1950
90
Gagasan penyelenggaraan KSSR ini lahir dari Sidang Pleno ke-II CC PKI pada akhir tahun 1963.
Rhoma Dwi Aria, 2008, op.cit. hlm. 58.

51

Universitas Sumatera Utara


Umum Lekra untuk membubarkan Lekra apabila PKI tetap ngotot memaksa Lekra menjadi

onderbouw PKI. 91

Usaha yang ditempuh PKI melalui KSSR ini lantas tetap juga gagal untuk

membujuk Lekra. Seperti yang dijelaskan oleh Oey Hay Djoen, sewaktu berlangsungnya

KSSR banyak terjadi perlawanan oleh anggota-anggota Lekra yang menolak gagasan Aidit

untuk “memerahkan” Lekra;

“Nah, kita berkali-kali memang diajak diskusi oleh Partai, oleh PKI, untuk
mengubah Lekra itu menjadi pronounced onderbouw. Kami menolak. Bagian besar
dari kami menolak. Saya juga termasuk yang menolak. Saya memang berpendapat,
tidak bisa, seniman itu direger begitu. Jadi kita menolak.” 92

Penolakan para aktivis Lekra dalam KSSR tersebut memang berlandaskan kepada

alasan bahwa seniman semestinya tidak menempatkan diri mereka di bawah komando

langsung partai. Mereka juga memandang bahwa seniman dan karya-karyanya merupakan

suatu yang inheren di luar wilayah kontrol politik pragmatis, walaupun seniman-seniman

tertentu memiliki perhatian pada suatu partai beserta intrik-intrik yang menyertainya.

Alhasil dari semua perjuangan yang telah dilakukan PKI untuk memerahkan total

Lekra berujung pada kegagalan. Dengan kegagalan PKI beserta KSSR nya untuk

memerahkan Lekra, PKI seakan ‘membanting setir’ dengan menjadikan KSSR itu sendiri

sebagai lembaga resmi kebudayaannya. 93 KSSR pun sempat merayakan hari jadinya yang

91
Keterangan Martin Aleida saat dimintai pendapat tentang keikutsertaan Lekra dalam KSSR, via e-
mail.
92
Michael Bodden, Teater Nasional Modern Lekra 1959-1965; Dinamika dan Ketegangan, KITLV-
Jakarta, Jakarta, 2012, hlm. 23.
93
Rhoma Dwi Aria, 2008, op.cit. hlm. 62.

52

Universitas Sumatera Utara


pertama pada Agustus 1965, tepat satu bulan sebelum meletusnya peristiwa Gerakan 30

September.

Walaupun Lekra dengan ketegasan sikapnya menolak untuk dibawahi oleh PKI,

namun bukan berarti Lekra lantas menjadi musuh atau lawan PKI. Dari kalangan Lekra

sendiri tidak ada yang menolak dengan diadakannya KSSR oleh PKI, mereka tetap hadir

dalam acara tersebut dan acara-acara PKI yang lain. Lekra juga tidak pernah

mempermasalahkan pendirian KSSR sebagai lembaga budaya resmi PKI, hadirnya KSSR

malah dianggap semakin memberikan warna terhadap perkembangan kebudayaan

revolusioner di Indonesia. 94

2.5 Lekra dan Lawan Politiknya

Pada sekitaran tahun 1963, keberadaan Lekra yang di tahun-tahun sebelumnya

sangat mendominasi ranah kebudayaan Indonesia, mulai terancam dengan kehadiran

Manifesto Kebudayaan (Manikebu). Akronim “Manikebu” sendiri diciptakan oleh Lekra

dan organisasi-organisasi yang tidak setuju dengan pembentukan Manifesto Kebudayaan,

yang ditujukan untuk memperolok kubu tersebut. Berbeda dengan Manifesto Kebudayaan

yang menjadikan kemanusiaan dan kebebasan sebagai nilai tertinggi kesenian, kelompok

Lekra menjadikan “politik sebagai panglima”. Maxim Gorki yang sering kali dikutip

(diilhami oleh pandangan Marxisme dan Leninisme) menandaskan bahwa seni tak pernah

lepas dari politik. Ini berangkat dari pandangan bahwa sebuah kehidupan terbangun dari

perjuangan kelas, tak seorang pun dapat mengelak dari pergulatan politik yang ada di

dalamnya.

94
Komentar dari Abdul Kohar Ibrahim perihal tentang kehadiran KSSR. (interview via e-mail
dengan Abdul kohar Ibrahim)

53

Universitas Sumatera Utara


Maksud dari kata “manikebu” sendiri terdiri dari unsur kata ‘mani’ yang berarti air

kencing dan ‘kebo’ yang berarti binatang kerbau. Kata “manikebu” ini sering kali

dituliskan atau disebutkan oleh kelompok-kelompok seniman progresif, termasuk Lekra.

Sedangkan kaum Manifesto Kebudayaan menyebut Lekra dan ‘kawan-kawan se-

ideologinya’ dengan sebutan “Kaum Reaksioner”, yang dimaksudkan bagi ‘mereka yang

bereaksi terlalu berlebihan terhadap Manifes Kebudayaan”. 95

Bagi Lekra, berdirinya Manikebu tanggal 17 Agustus 1963 di Jakarta, adalah

sebuah degradasi yang muncul dalam pembangunan kebudayaan yang revolusioner.

Jikalau Lekra berafiliasi bersama dengan PKI dan PNI, lain halnya Manifesto Kebudayaan

yang lebih memilih berafiliasi dengan militer atau Angkatan Darat (AD). Kerjasama antara

Manikebu dengan Angkatan Darat / militer sangatlah jelas. Manikebu menjadi provokasi

politik militer dalam bidang kebudayaan, malahan banyak kalangan meyakini bahwa

Manifesto Kebudayaan dibentuk oleh Wiratmoe Soekito bersama dengan pihak Angkatan

Darat.

Mereka-mereka yang berada dalam kubu Manifes Kebudayaan adalah seniman-

seniman yang memusuhi komunis dan anti-Lekra. Keith Foulcher memandang

kemunculan “Manikebu” ini sebagai sebuah bentuk;

“pameran kekuatan dari suatu kelompok yang mewakili kepentingan kebudayaan


anti komunis, yang mendapat dukungan dari militer” 96

Langkah tindak lanjut Manikebu bersama dengan”militer” untuk memperkuat

eksistensi mereka ialah dengan menyelenggaraakan Konferensi Karyawan Pengarang Se-

95
D.S. Moeljanto dan Taufik Ismail, 1995, op.cit. hal. 11.
96
Keith Foulcher, 1986, op.cit. hlm. 124.

54

Universitas Sumatera Utara


Indonesia (KK-PSI), tanggal 1-7 Maret 1964. Kegiatan ini dijadikan sebagai pelembagaan

awal dari kegiatan-kegiatan mereka selanjutnya dan memberi wadah bagi para anti Lekra

untuk menyatakan dukungannya terhadap “Manikebu”. Ketua Presidium/ Penasehat pada

konferensi ini diambil alih oleh pihak AD, yaitu Brigadir Jendral Soedjono. 97

Berdirinya Manikebu yang diwataki oleh militer ini juga menghadirkan

pertentangan di internal Angkatan Darat sendiri. Ikatan Kekeluargaan Anggota Tentara

(IKAT) daerah Surakarta yang dipimpin oleh Peltu Sujono mengungkapkan bahwa

“Humanisme-Universal seperti yang dimaksud dalam Manikebu itu tidak dapat diterapkan

ke dalam jiwa kehidupan TNI yang sejatinya merupakan Tentara Rakyat dan Tentara

Revolusioner, dan hal ini jika dilanjutkan akan melumpuhkan semangat TNI sebagai

patriot nasional.” 98

Bahkan Kepala Staf Angkatan Bersenjata Indonesia, A.H. Nasution sewaktu

memberikan kata sambutannya dalam pembukaan KK-PSI menegaskan

ketidaksetujuannya terhadap pendirian Manifesto Kebudayaan yang menolak azas ‘politik


99
sebagai panglima’ dan ia juga menyarankan agar membuat manifes yang baru.

Pertentangan di kubu militer ini sendiri menunjukkan bagaimana Manikebu masih belum

mendapat tempat yang layak dalam arena politik dan budaya Indonesia.

Dalam perseteruannya dengan Manikebu, Lekra sesungguhnya sudah di atas angin.

Perlakuan Soekarno yang buruk kepada Manikebu membuat kelompok ini tidak bisa

terlalu leluasa untuk beraktivitas. Lekra dan LKN pada waktu itu merupakan organisasi

97
D.S. Moeljanto,1995, op.cit. hlm. 441
98
Ibid, hlm. 304
99
Ibid. hlm.267.

55

Universitas Sumatera Utara


kebudayaan yang sedang berada di puncak kekuasaannya. Tentu hal ini makin mempersulit

Manikebu untuk ‘minimal’ dapat mempertahankan eksistensinya di ranah kebudayaan

Indonesia. Ternyata apa yang diharapkan oleh Manikebu itu tidak terwujud, mereka

akhirnya “dilarang” keberadaannya oleh pemerintah Indonesia , yang langsung dinyatakan

sendiri oleh Presiden Soekarno pada 8 Mei 1964;

“Kami, Presiden Republik indonesia, Panglima Tertinggi Angkatan Perang, Pemimpin


Besar Revolusi, dengan ini menyatakan bahwa demi keutuhan dan kelurusan jalannya
Revolusi dan demi kesempurnaan ketahanan Bangsa, apa yang disebut ‘Manifesto
Kebudayaan’ yang disingkat menjadi Manikebu dilarang.

Sebab-sebab larangan itu ialah karena Manifesto Politik Republik Indonesia sebagai
pancaran Pancasila telah menjadi garis haluan negara dan tidak mungkin didampingi
dengan manifesto lain, apalagi kalau manifesto lain itu menunjukkan sikap ragu-ragu
terhadap Revolusi dan memberi kesan berdiri di sampingnya, padahal demi suksesnya
Revolusi, maka segala usaha kita, juga dalam lapangan kebudayaan, harus kita
jalankan di atas rel Revolusi menurut petunjuk-petunjuk Manipol dan bahan
indoktrinasi lainnya”.
Antara, 9 Mei
100
1964

Dalam menikmati masa-masa puncak kejayaan kaum revolusioner kiri, tiba-tiba

angin perpolitikan Indonesia mengalami perubahan drastis di pertengahan sampai

penghujung tahun 1965. Kudeta besar-besaran terjadi pada September-Oktober 1965 dan

menghempaskan PKI beserta kroni-kroninya dari arus perpolitikan bangsa. Tak

ketinggalan juga Lekra. Dianggap sehaluan dengan PKI, Lekra pun akhirnya ikut terkena

imbas dari angin perubahan yang sedang terjadi itu. Pada akhirnya setelah Peristiwa

Gestapu tersebut berakhir, Lekra benar-benar telah hancur, dan tak pernah hidup lagi.

Kelompok Manikebu dengan Angkatan Darat lah yang pada akhirnya memenangkan

pertarungan perebutan pengaruh ideologi di Indonesia.


100
Ibid, hlm. 355.

56

Universitas Sumatera Utara


Meski pada akhirnya Manifes Kebudayaan beserta Angkatan Darat yang berhasil

keluar sebagai pemenang dalam pertandingan memperebutkan ruang kebudayaan dan

politik di Indonesia sejak terjadinya peristiwa Gerakan 30 September (penjelasan lebih

lanjut tentang bagaimana jatuhnya Lekra ada pada Bab IV dalam buku ini), Lekra telah

berhasil menanamkan dan membentuk sebuah kebudayaan yang baru dan modern di

Indonesia dalam kurun waktu 1950-1965.

Kebudayaan modern yang dihasilkan Lekra selama lima belas tahun itu pun bukan

dari tangan-tangan kebudayaan asing, melainkan dari tangan Rakyat Indonesia sendiri. Hal

seperti ini tentu tidak mudah dilakukan oleh organisasi kebudayaan manapun, bahkan

kelompok Manifes Kebudayaan hanya mampu eksis sampai tahun 1970-an tanpa

menanamkan pengaruh yang berarti dan setelah tahun tersebut mereka hanya berjalan

sendiri-sendiri saja sebagai individu yang berkesenian Humanisme Universal tanpa

membawa embel-embel Manifesto Kebudayaan yang mereka banggakan dahulu.

57

Universitas Sumatera Utara


BAB III
PENGARUH LEKRA TERHADAP PERKEMBANGAN KEHIDUPAN BUDAYA
DI MEDAN

3.1 Kondisi Sosial Budaya dan Kesenian di Medan Tahun 1950-1965

Medan pada masa pasca kemerdekaan Indonesia memiliki pengaruh yang sangat

penting di dalam aspek kehidupan berkebudayaan dan berkesenian rakyat Indonesia.

Kebudayaan di Medan mengalami proses pembauran yang jarang terjadi pada daerah-

daerah lain di Indonesia, hadirnya beragam suku bangsa (Melayu, Toba, Karo, Mandailing,

Simalungun, Jawa, dll.) menjadikan perkembangan kebudayaan dan kesenian di Medan

sangat beragam.

Pembauran yang beragam serta perpaduan dalam berkebudayaan tersebut dapat

dilihat dari salah satu contoh kesenian Ronggeng Melayu yang sangat populer di Medan. 101

Adanya perpaduan budaya tersebut terjadi karena adanya hubungan antau kontak budaya

secara langsung dari beberapa kelompok etnik yang menetap di Medan. Karena itu juga,

Medan yang dulunya identik sebagai kota perkebunan yang bertaraf internasional berubah

menjadi kota melting poot atau tempat pembauran budaya dari beberapa kelompok etnik

yang ada di dalamnya. 102

101
Dalam kesenian Ronggeng Melayu di Medan ini terlihat begitu banyak terdapat unsur-unsur
kebudayaan yang terintegrasi. Misalnya, tari-tarian dalam Ronggeng Melayu banyak menyerap unsure-unsur
tarian dari etnik Jawa, Sunda, Karo, Banjar dan Toba. Unsur seni musik Patam-Patam (Karo), lagu Sitalasari
(Simalungun), Sipengge Supir dan Raja Doli (Toba), Es Lilin (Sunda), Kembang Barem (Jawa), Oh My
Kasih (India) juga terintegrasi dalam kesenian Ronggeng Melayu. Untuk lebih lengkapnya lihat buku “Danil
Ahmad. (dkk), Proses Perkembangan Upacara Adat Mengantar Haluan Dalam Masyarakat Melayu di
Sumatera Utara, Laporan Penelitian USU, Medan, 1988/1989.
102
Artikel, Suprayitno, Medan Sebagai Kota Pembauran Sosio Kultur di Sumatera Utara Pada
Masa Kolonial Belanda, Historime Edisi No.21/Tahun X/Agustus 2005, hlm. 5.

58

Universitas Sumatera Utara


Kegiatan kebudayaan dan kesenian yang muncul di Medan malah menjadikan

cerminan ciri khas Medan sebagai kota tempat lahirnya para seniman dan bentuk-bentuk

kesenian seperti teater. Kota Medan juga dikenal sebagai kota teater ketiga setelah Jakarta

dan Surabaya. Predikat sebagai kota teater ketiga terbesar ini dapat dimaklumi karena pada

tahun 1940-an di Medan memang banyak sekali bermunculan kelompok teater yang

melahirkan banyak tokoh-tokoh teater modern yang cukup terkenal, di antaranya Bahrum

Rangkuti, Menak Jingga dan Saleh Umar (Surapati). Medan juga menjadi tempat yang

paling sering dikunjungi oleh kelompok-kelompok teater dari Malaysa, sperti Dean’s
103
Opera, Miss Tijah, dan Moonlight Crystal Follies . Hingga masa menjelang

kemerdekaan Indonesia, dapat disebut sebagai masa gemilangnya kehidupan teater di

Medan. 104

Medan menjadi salah satu daerah di luar pulau Jawa yang paling menonjol aktivitas

senimannya. Tidak hanya karya-karya seni yang berkualitas dihasilkan para seniman

Medan, namun juga seniman Medan telah banyak menginsipirasi seniman-seniman lainnya

di Tanah Air. Hal inilah yang membuat Medan menjadi kawasan yang paling banyak

melahirkan seniman-seniman yang berbakat dan populer. Sebut saja Sutan Takdir

Alisyahbana 105 , generasi seniman sastra tahun 1945 atau sering disebut juga angkatan

“Pujangga Baru”. Karya-karya STA sudah sangat mendunia, bahkan menjadi tokoh besar

dunia yang banyak meng-influence para seniman dan sastrawan di Malaysia dan

Singapura.

103
Muhammad TWH, Sejarah Teater dan Film di Sumatera Utara, Yayasan Pelestarian Perjuangan
Kemerdekaan RI, Medan, 1992, hlm. 57-61.
104
Suprayitno, loc.cit.
105
Sutan Takdir Alisyahbana (STA) lahir di Mandailing Natal, Sumatera Utara pada 11 Februari
1908. Dia termasuk salah satu tokoh sastrawan masa Pujangga Baru yang memiliki pola pikir yang ke barat-
baratan. Abdul Karim Mashad (ed), Sang Pujangga; 70 Tahun Polemik Kebudayaan Menyongsong Satu
Abad S. Takdir Alisjahbana, Pustaka Pelajar, 2006.

59

Universitas Sumatera Utara


Pada generasi berikutnya, Medan kembali melahirkan banyak seniman-seniman

yang tak kalah populernya dengan Sutan Takdir Alisyahbana. Nama-nama seperti Hamka,

H.B. Jassin, Mochtar Lubis, Umar Kayam, Bokor Hutasuhut, Bakri Siregar, Bachtiar

Siagian, Bandaharo (Banda Harahap), F.L. Risakotta, Teungku Iskandar AS, Amarzan

Ismail Hamid, Amrus Natalsya, Martin Aleida, dan masih banyak yang lainnya adalah

seniman-seniman nasional yang menimba ilmu seni atau mengawali karirnya sebagai

seniman di Medan.

Atas hal tersebut muncul sebuah interpretasi bahwa Medan ialah ranah awal para

seniman membekali dirinya sebelum terjun ke pentas yang lebih besar. Di antara

banyaknya seniman yang telah cukup membekali dirinya dengan ilmu kemudian hijrah ke

kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, dan Yogyakarta. Hal ini dilakukan mereka

dengan berbagai alasan dan tujuan. Martin Aleida misalnya, meninggalkan kota Medan

dan memilih ikut tinggal bersama saudaranya di Jakarta akibat konflik internal keluarga. 106

Lain lagi dengan Amarzan yang berani hijrah ke Jakarta setelah tulisannya sering dimuat di

salah satu koran nasional. Demikian juga Bakri Siregar yang menetap di Jakarta setelah

ditawari menjadi Pengurus Pusat Lekra.

3.2 Budaya “Pop” di Medan

Meskipun – atau mungkin justru karena – prospek ekonomi suram 107 , Medan

memiliki kehidupan budaya yang menggairahkan. Kebudayaan yang menjadi identik

106
Film Tjidurian 19
107
Marije Plomp, The Capital of Pulp Fiction and Other Capital Cultural Life in Medan, 1950-
1958, KITLV, Leiden, 2012, hlm. 7. Hal ini disebabkan oleh berbagai faktor, seperti laju urbanisasi yang
pesat semenjak usai Perang Dunia II, membanjirnya kaum tani miskin, sangat minimnya fasilitas pendidikan,
tingginya angka buta huruf. Kondisi inilah yang membuat Kota Medan tidak mempunyai prospek ekonomi
yang bagus.

60

Universitas Sumatera Utara


dengan Medan pada 1950-1965 adalah budaya pop. Baik produksi maupun konsumsinya,

budaya pop lah yang paling laris, dibandingkan dengan berbagai wujud budaya Indonesia

modern yang lebih serius lainnya. Bentuk-bentuk visual budaya pop misalnya, seperti film

dan kartun – keduanya relatif merupakan budaya baru – menarik konsumsi khalayak luas,

setidak-tidaknya karena tingkat buta huruf yang tinggi di Medan. Dalam hal ini situasi

yang dialami Kota Medan amatlah mirip dengan kota-kota utama yang berada di

Semenanjung Malaya di mana ‘selera rakyat’ menentukan aktivitas pasar dan khalayak

dalam hal ini jauh lebih menyukai film Melayu yang sentimentil atau film Hollywood

ketimbang sebuah film sejarah ataupun film-film dokumenter yang radikal sekalipun. 108

Tidak hanya film, pada pertengahan tahun 1950-an di Medan, karya-karya sastra

seperti cerita pendek (cerpen) dan novel hampir semuanya bergenre pop, yang rata-rata

berisikan cerita tentang kisah cinta remaja, perselingkuhan, pembunuhan, perampokan,

bahkan seks. Nyaris tidak ada tempat untuk memasarkan karya-karya sastra Indonesia

modern yang ‘serius’. Buku sastra yang sulit dimengerti atau tidak bisa

dimengerti tidak akan terasa keindahannya bagi pembaca modern dan akan

dianggap sebagai buku-buku ilmiah atau karya filsafat yang peminatnya tentu lebih

terbatas. Karenanya “sastra pop” atau “novel pop” lebih banyak peminatnya dan

lebih banyak ditulis di Indonesia terlebih di Medan, karena sastra jenis demikian

mempunyai dua ciri yaitu enak dibaca dan mudah dimengerti.

Tapi masih ada satu masalah yaitu tentang norma-norma dan nilai-nilai

dalam kaidah karya sastra atau bagaimana jenis tulisan yang punya nilai sastra.

Sastra Indonesia dari peralihan zaman kolonial sampai kepada tahun 1950-an belum

108
Marije Plomp, 2012, loc.cit.

61

Universitas Sumatera Utara


mempunyai norma umum atau kriteria yang bisa atau diterima sebagian besar orang

apa itu nilai sastra. Satu-satunya patokan adalah bahwa sebuah karya sastra harus

bagus bahasanya, tinggi mutu pengungkapannya dan sebagai tambahan bagi

segolongan intelektual sastra harus agak sukar dimengerti hingga betul-betul sulit

dimengerti karena keanehan-keanehan dalam pengungkapan belitan jalan cerita

yang tak mudah ditangkap orang awam atau dengan kata lain intelektualisme dalam

sastra sebagai jawaban awamisme di bidang sastra. Biasanya awamisme dalam sastra

lebih banyak terdapat di sekitar kerumunan sastra golongan kiri. Mereka sering

bertindak atau berlaku seperti polisi sastra agar sastra kiri dan revolusioner lebih ke

kiri lagi bahkan lebih revolusioner lagi hingga sampai kepada penolakan terhadap

fiksi dalam sastra, menolak fantasi, menolak imajinasi dan harus hanya menuliskan

kebenaran dan kenyataan hidup sebagaimana adanya dan contoh yang mereka

andalkan adalah semua bentuk karya otobiografi atau biografi yang harus ditulis

secara jujur, tidak “bohong”, tidak mengada-ada atau dengan istilah yang lebih sinis

lagi yang mereka sebut sebagai “ngibul”.

Jenis sastra pop yang disebut “ngibul” inilah yang mau diperangi

eksistensinya oleh sastrawan-sastrawan kiri Lekra, namun juga dengan kesadaran

agar karya-karya sastra revolusioner mereka diubah menjadi tidak lagi sulit

dimengerti oleh masyarakat. Munculnya tulisan-tulisan populer dan revolusioner di

Medan juga pada akhirnya menenggelamkan eksistensi para pengarang Melayu yang

sangat subur melahirkan sastra-sastra di masa pemerintahan kolonial.

Namun begitu tak bisa dipungkiri, karya-karya sastra pop lah yang paling laris

dicari dan diinginkan oleh masyarakat Medan. Selera masyarakat Medan terhadap karya

62

Universitas Sumatera Utara


sastra pop ini dilihat sebagai peluang yang sangat menguntungkan bagi para pembuat

usaha di bidang sastra atau tulis menulis. Maka tak heran, banyak percetakan dan

penerbitan swasta di Indonesia mengawali usahanya di Medan. Malahan sekitar separuh

semua terbitan buku di seluruh Indonesia pada tahun 1950-an dicetak di Medan. 109

Gejala merebaknya sastra genre pop di Medan ini lantas banyak dikritisi dan dinilai

negatif oleh seniman-seniman di berbagai daerah di luar Medan. Cerita-cerita pop tersebut,

menurut Sutradara film Usmar Ismail sangatlah tidak mendidik dan tidak menawarkan

apapun kepada pembaca selain emosi dangkal, sentimen murahan, dan merusak moral. 110

Menurut para sastrawan Indonesia karya-karya sastra di Medan tidaklah berbobot dan

menjurus kearah “cabul” 111 dan hanya mementingkan kuantitas dibandingkan kualitas

tulisan. Dengan kuatnya unsur selera rakyat untuk genre pop pada karya sastra, Medan

menjadi terkenal dengan sebutan kota “Roman Picisan”.

Tokoh yang sangat populer dengan genre sastra pop atau Roman Picisan di Medan

adalah Hamka. 112 Karya-karyanya seperti Kenang-kenangan hidup (1951), Di Lembah

Sungai Nil (1952), Empat Bulan di Amerika (1954), Ayahku (1958), dan karyanya yang

paling terkenal Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk (1940) selalu laris manis di pasaran

percetakan Medan. Meskipun dicap terlibat dalam perkembangan roman picisan,

sesungguhnya karya-karya Hamka 113 memberikan kontribusi atau sumbangan yang cukup

besar bagi pengembangan bahasa nasional. Banyak unsur-unsur baru di dalam penerapan

109
Barus Siregar, Penerbit-penerbit Medan, 1953, hal. 20-26.
110
Barus Siregar, loc.cit.
111
M.Nasution, ‘Apa yang dibatja Medan’, Buku Kita, 1955, hal. 261.
112
Selain Hamka, terdapat juga dua nama dari penulis serba-bisa di Medan, Joesoef Sou’yb dan
Narmin Suti. Suprayitno, loc.cit.
113
Hamka lahir di Sumatera Barat, namun dia besar dan lama berdomisili di Medan selama sepuluh
tahun sebelum akhirnya dia pindah ke Jakarta untuk bekerja sebagai editor pada Mimbar Umum.

63

Universitas Sumatera Utara


gaya bahasa pada karya-karya Hamka yang menjadi standar nasional bahasa Indonesia

hingga sekarang.

Seperti yang sudah diutarakan di atas, Medan merupakan salah satu daerah yang

giat memproduksi atau melahirkan seniman-seniman berbakat. Para seniman itu lantas

merasa perlu mempromosikan buah karyanya ke khalayak banyak sekaligus meniti karir ke

tingkat yang lebih baik, maka dari itu banyak seniman di Medan yang memutuskan untuk

pergi merantau ke luar kota, dalam hal ini kota Jakarta yang paling sering disinggahi atau

menjadi tempat persinggahan selanjutnya bagi seniman-seniman Medan. Tidak bisa

dipungkiri memang, sebagai ibukota dan pusat segala bentuk administrasi dan perpolitikan

Indonesia berada di Jakarta, bahkan tak sedikit juga yang menganggap Jakarta sebagai

pusat kebudayaan nasional atau “kiblat” kebudayaan nasional.

Soal status kota Jakarta sebagai pusat kebudayaan nasional ini banyak mendapat

kritikan dari budayawan di beberapa daerah, termasuk salah satunya Hamka. Dia

mempertanyakan status Jakarta sebagai “pusat” karena di masa yang lalu atau pada masa

kolonial Belanda, Jakarta tidak pernah menyandang status pusat kebudayaan, yang pernah

disandangnya hanyalah pusat administrasi negara. Tidak hanya sampai di situ, Hamka

lantas juga mengecam ikon-ikon kebudayaan di Jakarta yang sangat kental dengan sifat

arogansinya 114 . Sifat arogansi tersebut ditunjukkan oleh Hamka dalam pertentangannya

terhadap Sutan Takdir Alisyahbana soal merevisi bahasa Indonesia;

“When, for instance, Sutan Takdir Alisyahbana in Jakarta revised spelling and
grammar rules without consulting Malay language specialists from outside Java,
Hamka exspressed his strong disapproval. He felt that the Malays, as native speakers

114
Bahkan seniman terkenal seperti Aoh Karta Hadimadja mengatakan kalau budaya Sumatera tak
ada yang bernilai untuk disumbangkan pada kebudayaan nasional.

64

Universitas Sumatera Utara


of the Malay language, were the true custodians of the national languages, Bahasa
Indonesia, and should be allotted a role in the development of that language”. 115

“(Ketika Sutan Takdir Alisyahbana di Jakarta merevisi aturan ejaan dan tata bahasa
tanpa berkonsultasi dengan para ahli bahasa Melayu dari luar Jawa, Hamka
menunjukkan ketidaksetujuan yang mendalam. Ia merasa bahwa orang Melayu, adalah
penjaga sejati bahasa nasional, bahasa Indonesia, dan seharusnya diberi peran dalam
pengembangan bahasa tersebut).”

Situasi di Jakarta saat itu juga sudah lebih maju berkembang dibandingkan dengan

daerah-daerah lain di Indonesia, termasuk Medan. Hal inilah yang juga menarik kalangan

seniman Medan untuk merantau dan meniti karir di Jakarta. Terlebih lagi peran media

nasional yang selalu mempromosikan kelebihan-kelebihan hidup di Jakarta menjadi

magnet tersendiri untuk mengajak para seniman Medan pindah ke Jakarta.

Dengan banyaknya seniman-seniman Medan yang hijrah ke Jakarta dengan

sendirinya menghasilkan pertukaran gagasan dan hasil-hasil karya seni yang

berkesinambungan antara Medan dan Jakarta. Sekitar tahun 1955-an telah banyak orang

yang berasal dari Jakarta di antaranya para pengarang, penyair dan aktor-aktor drama

berkunjung ke Medan sembari melakukan pentas kesenian atau melakukan ceramah

terhadap hasil-hasil karya mereka.

Selain Jakarta, Singapura juga termasuk salah satu tempat yang penting dalam

hubungannya dengan perkembangan kebudayaan dan kesenian di Medan. Karena faktor

kedekatan geografis Medan dan Singapura yang hanya dipisahkan dengan Semenanjung

Melayu, Singapura diyakini berperan penting sebagai bagian dari jejaring pertukaran lintas

batas antar daerah perkotaan di dunia Melayu yang berlangsung secara intensif. Para

penyanyi, aktor, dan komponis dari Medan yang merantau ke Singapura untuk bekerja

115
Marije Plomp, 2012, op.cit. hlm. 19.

65

Universitas Sumatera Utara


dalam industri film, sebaliknya musik dan film yang dibuat di Singapura oleh seniman

Medan itu diimpor kepada sutradara film dan toko-toko musik di Medan. Tokoh utama

yang berperan membentuk relasi antara Medan dan Singapura adalah para seniman Melayu

nasionalis (terutama para pengarang atau sastrawannya) dengan “saudara tua” mereka,

sesama seniman Melayu di Medan.

Rata-rata orang Medan yang merantau ke Singapura berasal dari suku Melayu atau

masih ada hubungannya dengan keturunan Melayu. Di Singapura para seniman Medan

yang merantau tersebut bertemu dengan para seniman nasionalis Malaya yang terpaksa

hengkang dari daerahnya di Semenanjung Malaya untuk melarikan diri dari Undang-

Undang Keadaan Darurat Inggris. 116

Terjadinya Revolusi Sosial 117 di Sumatera Utara juga menjadi salah satu faktor

terciptanya hubungan dengan Singapura. Seorang ahli seni teater atau drama, Achmad

CB 118 , sangat giat melakukan berbagai aktivitas politik. Selain mendirikan kelompok

teater Asmara Dhana, Achmad CB juga sangat aktif menjadi anggota GERINDO (Gerakan

Indonesia Raya). 119 Karena sangat aktif di GERINDO dan sering mementaskan drama-

drama yang antikolonial- terutama karya-karya Muhammad Saleh Umar- dia terus menerus

diikuti oleh dinas Intelejen Belanda. Hal inilah yang membuat dia untuk hengkang ke

Singapura. Bersamaan dengan itu Achmad CB juga mengubah nama kelompok teater yang

didirikannya dari Asmara Dhana menjadi Rayuan Asmara. Di sana ia banyak menulis lagu-

116
Budiawan, Ketegangan dan negosiasi dua saudara ‘sekandung’; Orientasi dan jaringan para
pengarang-aktivis Melayu di Malaya pada Indonesia, KITLV-Jakarta, Jakarta, 2012, hlm 5-6.
117
Revolusi Sosial terjadi di Sumatera Utara (Sumatera Timur) pada tahun 1947-1950. Lebih
lengkap tentang Peristiwa Revolusi Sosial lihat buku Suprayitno, “Mencoba Lagi Menjadi Indonesia”.
118
Achmad Awab Azib lahihr di Medan pada tahun 1915 yang berasal dari keluarga Arab-Melayu.
Nama Achmad C(as) B(ara) didapat dari kawan-kawannya yang menganggap dirinya mempunyai semangat
yang berapi-api.
119
Muhammad TWH, 1992, op.cit. hlm. 21.

66

Universitas Sumatera Utara


lagu nasionalis dan lagu ciptaannya yang paling terkenal ialah 31 Ogos 1957 yang diambil

dari tanggal kemerdekaan Malaya/Malaysia. Lagu-lagu Melayu milik Achmad CB pada

waktu itu juga sering mengudara di RRI (Radio Republik Indonesia).

Yang unik dari kebudayaan dan kesenian di Medan adalah masuknya penulisan

komik yang ter-influence dari Amerika. Seni komik sebenarnya telah hadir semenjak Pra

Perang Dunia II melalui majalah-majalah berbahasa Belanda di Hindia Belanda. Namun

komik menjadi sangat popular pada pertengahan tahun 1950-an. Komik-komik Amerika

seperti Flash Gordon, Rip Kirby, Phantom, dan Tarzan mulai merajai industri komik

Indonesia. Di Medan, komik yang pertama kali terbit adalah komik versi Indonesia dari

karya Jules Verne, A Journey to the Center of the Earth, yang ditulis oleh M. Ali’s, Daeng

Topo Pendekar Bugis karya Sigajo, dan Indra manusia adjaib, juga karya Sigajo.

Namun begitu komikus yang lebih terkenal di Medan adalah Taguan Harjo. Taguan

lahir di Suriname pada tahun 1935. Ia lebih memilih mengikuti ayahnya ke Sumatera Barat

daripada ikut ibunya kembali ke Belanda. Tak lama kemudian ia meninggalkan ayahnya

dan memutuskan untuk merantau ke Medan. Di sinilah ia mengawali karirnya sebagai

komikus atau seniman komik. Taguan Harjo terkenal dengan gaya lukisnya menggunakan

teknik arsir yang canggih. Dalam pembuatan komiknya ia sering mengetengahkan seting,

dan plot cerita berlatar belakang Melayu Deli.

Karya-karya komiknya yang paling terkenal yaitu Keulana (1950-an) Kapten Yani

(1950-an), Perompak Lautan Hindia (1950-an), Abu Nawas (1958 dan 1960), Batas

Firdaus (1960) dan karya terbesarnya berjudul Hikayat Musang Berjanggut yang pernah

67

Universitas Sumatera Utara


diterbitkan secara bersambung dalam koran Harian Waspada 120, Medan pada tahun 1960-

an. Usaha penerbitan di Medan, seperti yang telah diterangkan pada halaman-halaman

sebelumnya, sangat sangat berkembang, tak terkecuali usaha penerbitan buku komik.

Penerbit komik yang paling terkemuka di Medan pada tahun 1950-1965 yaitu Toko Harris,

Toko Semesta dan Toko Casso.

3.3 Lekra Hadir di Medan

Lembaga Kebudayaan Rakyat yang terbentuk pada tahun 1950 mulai menjajaki

wilayah Sumatera Utara pada selang waktu 4 (empat) tahun setelahnya. Tokoh-tokoh yang

berperan membawa masuk Lekra ke Sumatera Utara adalah Bakri Siregar dan H.R.

Bandaharo. Akan tetapi keduanya tidak serta merta masuk ke dalam kepengurusan Lekra

Sumatera Utara. Mereka malah mengangkat Azis Akbar dan Syarifuddin Anjasmara (Sy

Anjasmara) masing-masing sebagai Sekretaris dan Wakil Sekretaris Lekra Sumatera Utara.

Bakri Siregar dan Bandaharo hanya menjadi anggota biasa. Demikianlah Lekra Sumatera

Utara terbentuk pada awal tahun 1954. 121

Setelah terbentuknya kepengurusan Lekra Sumatera Utara, pada sekitaran tahun

1955-1960-an, kader-kader Lekra Sumatera Utara berusaha untuk meluaskan pengaruh

mereka ke berbagai daerah-daerah yang strategis di Sumatera Utara. Tahun 1955 Lekra

berhasil membentuk cabang baru yang bertempat di Medan. Nyoto, Joebaar Ajoeb dan

Agam Wispi langsung datang ke Medan untuk meresmikan pembentukan Lekra cabang

Medan. Bakri Siregar ditunjuk langsung sebagai Sekretaris Cabang dengan anggota-

120
Harian Waspada merupakan sebuah koran harian yang terbitdi Medan sejak 11 Januari 1947.
Harian ini berdiri atas prakarsa Mohammad Said dan Ani Idrus.
121
Menurut penuturan dari Martin Aleida bahwa Medan adalah daerah di Sumatera Utara yang
pertama kali dibentuk cabangnya. Wawancara via email pada bulan Januari 2013.

68

Universitas Sumatera Utara


anggotanya Zubir AA, Chalik Hamid, Z.Afif, Peria Hotty, Kondar Sibarani, Gordon

Tobing, dan Taguan Harjo. 122 Setelah Medan berturut-turut berdiri Lekra Asahan pada

tahun 1957, Lekra Tanjung Balai tahun 1958, dan Lekra Siantar di tahun 1959. Ketiga

cabang ini, bersama dengan Lekra Cabang Medan adalah cabang-cabang Lekra di

Sumatera Utara yang paling aktif melancarkan kegiatan keseniannya di Sumatera Utara

bahkan sampai ke daerah-daerah di luar Sumatera Utara.

Lekra Tanjung Balai sewaktu berdirinya dipelopori oleh Amarzan Ismail Hamid,

seorang penyair dan Emha, seorang pengarang lagu. Dalam kesaksiannya Lekra Tanjung

Balai berdiri bersamaan dengan dilaksanakannya Konferensi Lekra Sumatera Utara I yang

bertempat di Tanjung Balai;

“Pada Konferensi Lekra Sumatera Utara yang pertama itu di Tanjung Balai. Ya,

saya hadir sebab akan ada seniman-seniman dari Medan. Tiba-tiba konferensi itu

memutuskan saya menjadi anggota Pengurus Lekra Cabang Tanjung Balai.” 123

Di Cabang Siantar tokoh yang paling berperan penting berasal dari para sastrawan,

di antara para sastrawan itu terdapat nama-nama seperti Abdullah Nasution, Toga

Tambunan dan Astaman Hasibuan. Karya-karya sastra Lekra Siantar banyak dimuat

diberbagai media cetak di Medan, di antaranya Harian Harapan dan Waspada. Dengan

seringnya tulisan-tulisan kader-kader Lekra Siantar menghiasi surat-surat kabar di Medan,

tidak sedikit di antara penulis-penulis Lekra Siantar tersebut yang dipekerjakan sebagai

reporter, juru tulis, bahkan menjadi pimpinan. Seperti salah satu kader Lekra Siantar,

122
Belum ada kejelasan apakah Taguan Hardjo ikut menjadi anggota Lekra Medan atau hanya
sebagai simpatisan saja, namun menurut Sekar Agung dia mengambil peran bersama Lekra dalam bidang
seni lukis. Interview dengan Sekar Agung pada Maret 2013.
123
Pernyataan dari Amarzan Ismail Hamid dalam film Tjidurian 19.

69

Universitas Sumatera Utara


Abdullah Nasution (Bang Dul) 124 , yang menjabat sebagai Pimpinan Redaksi Harian

Harapan di tahun 1964.

Lekra Asahan banyak didominasi oleh orang-orang dari seni musik dan tari. Daerah

Asahan ternyata menjadi daerah tujuan yang paling banyak dipilih oleh anggota-anggota

Lekra cabang Medan untuk melaksanakan metode Turun ke Bawah (Turba), tidak hanya

cabang Medan Pengurus Pusat Lekra juga terdapat pernah melakukan Turba ke daerah ini,

di antaranya Basuki Resobowo dan Sudharnoto. Asahan dijadikan tempat tujuan Turba

karena kawasan ini masih sangat terbelakang dalam hal pendidikan dan kesejahteraan para

buruh dan taninya.

3.3.1. Lekra Cabang Medan

Lain halnya dengan Lekra di cabang-cabang lainnya, Lekra Medan sangat

menonjol aktivitas seninya dalam bidang seni sastra, seni drama/teater dan seni musik. Jadi

dapat dikatakan bahwa spesialisasi di ketiga bidang tersebut hampir merata pada Lekra

cabang Medan. Kesimpulan ini terbukti dengan mayoritas anggota dan pengurus Lekra

Medan yang menguasai ketiga spesialisasi tersebut. Atas dasar itu pula Lekra Medan hanya

membentuk tiga lembaga kreatif, yaitu Lembaga Sastra Indonesia (Lestra), Lembaga

Drama Indonesia (Lesdra/LSDI) dan Lembaga Musik dan Tari Indonesia (LMI).

Semasa keperiodean awal Lekra Medan di masa kepemimpinan Bakri Siregar 125,

Lekra Medan masih terfokus kepada perekrutan anggota. Pada tahun 1955 inilah PKI

124
Abdullah Nasution menjadi orang yang cukup disegani pada saat itu. Panggilan ‘Bang’ yang
melekat padanya membuktikan banyak orang hormat kepadanya, karena pada masa itu panggilan ‘Bung’
lebih lazim digunakan untuk memanggil rekan-rekan seperjuangan dibandingkan ‘Bang’. (interview dengan
Astaman Hasibuan).
125
Marije Plomp, 2012, op.cit. hlm. 20.

70

Universitas Sumatera Utara


mulai mendekatkan diri kepada Lekra dan menganggapnya sebagai aliansi mereka. Oleh

PKI, kesenian dan kebudayaan rakyat dirasa sangat perlu dikembangkan untuk

meningkatkan kecerdasan dan nasionalisme pada rakyat. Maka itu PKI membujuk agar

para seniman kiri agar memilih PKI dalam pemilu tahun 1955;

“…bagi kaum intelegensia, memilih PKI berarti kesempatan dan syarat kerja yang
cukup untuk memajukan ilmu guna kebahagiaan manusia…bagi seniman, memilih
PKI berarti kebebasan mencipta dan syarat kerja yang cukup.” 126

Memang PKI sukses menjadi salah satu kontestan pemilu 1955 yang masuk ke

dalam empat besar. Namun, di Medan ternyata Partai Masyumi yang memenangkan suara

mutlak pemilihan umum 1955, sedangkan PKI sendiri tidak masuk ke dalam empat besar

partai pemenang pemilu.

Bersama dengan Bandaharo, Kordon Sibarani dan juga Gordon Tobing, Bakri

Siregar berhasil membentuk sebuah ansambel nyanyi dan tari pada awal tahun 1959 yang

kemudian mereka namakan “Maju Tak Gentar”. Ansambel “Maju Tak Gentar” menjadi

suatu kelompok musik yang sangat membanggakan Indonesia di kancah internasional

berkat keunggulan performa kekompakan suara yang bagus dan enak didengar.

Bakri Siregar memimpin arak-arakan Lekra cabang Medan sampai tahun 1959, di

mana pada tahun ini ia direkomendasikan untuk masuk ke dalam kepengurusan Lekra

Pusat yang diputuskan dalam Kongres Nasonal I di Solo bersama dengan Agam Wispi,

H.R. Bandaharo, dkk. Setelah Bakri Siregar, sekretaris cabang Medan selanjutnya adalah

Zubir AA seorang cerpenis yang sudah mempunyai banyak pengalaman dalam penulisan

126
Bintang Merah, “Kongres Nasional ke-V Partai Komunis Indonesia”, Pembaruan, Jakarta, Tahun
ke-IX, Februari-Maret 1954, hlm. 98-99.

71

Universitas Sumatera Utara


cerpen di Indonesia. Salah satu cerpennya yang berjudul “Berpacu Matahari” pernah

masuk ke dalam kumpulan cerpen dan puisi ‘Api 26’ 127 yang diterbitkan oleh Yayasan

Pembaruan di Jakarta dan diterbitkan ulang oleh Abdul Kamir. Setelah menjabat menjadi

Sekretaris Lekra Medan selama 4 tahun dia pindah ke Jakarta menjadi wartawan pada

Harian Rakyat. Zubir juga memiliki sajak berjudul “Lagu Subuh”, yang pernah dimainkan

oleh grup teater Lekra Medan.

Sekretaris cabang yang kemudian menggantikan Zubir AA pada awal tahun 1963

yaitu CH. Habidi. Ia adalah seorang penyair yang lahir dan berkembang di Medan. Saat

menjabat menjadi sekretaris cabang ia terbilang masihlah sangat muda, masih berusia 28

tahun. Ia menjadi Sekretaris Cabang Lekra Medan setelah sebelumnya bekerja menjadi

wartawan pada Harian Harapan. Ketertarikannya pada Lekra membuat Habidi rela untuk

melepas pekerjaannya yang dianggap menjanjikan hidup yang lebih baik. Namun belum

genap selama satu tahun masa kerjanya di Lekra Medan, ia dipaksa orang tuanya untuk

melanjutkan sekolah ke Yayasan Aisyah di Jakarta, kemudian dari sana ia pindah ke luar

negeri, tepatnya ke Albania. Di Albania, Habidi tetap rajin menulis dan tak jarang tulisan

syair-syairnya dimuat ke dalam Harian Harapan dan Harian Rakyat.

Dengan adanya kekosongan pada jabatan sekretaris cabang pada awal tahun 1963,

akibat CH. Habidi yang mengundurkan diri setelah belum genap satu tahun menjadi

sekretaris cabang medan, maka saat itu juga Lekra Medan langsung menunjuk Buyung

sebagai pengganti Habidi. Nama Buyung sendiri hanyalah nama pena yang diberitahukan

oleh Astaman Hasibuan. Astaman saat di interview tidak mau menyebutkan nama asli dari
127
Api 26 adalah buku yang berisi kumpulan-kumpulan cerpen terpilih dari seluruh cerpenis di
Indonesia. Selain cerpen Zubir AA yang terpilih dalam kumpulan di buku Api 26, terdapat juga karya-karya
dari nama-nama antara lain Agam Wispi, Sugiarti Siswadi, S. Anantaguna, T. Iskandar A.S., A. Kembara,
Alifdal, Chalik Hamid, Anantya, Nurdiana, Mahyuddin, Mawie Ananta Jonie, M.D. Ani dan Z. Afif

72

Universitas Sumatera Utara


si Buyung, namun ada kemungkinan nama asli Buyung ialah ‘Mahdi’. Hal ini didapat dari

keterangan Astaman Hasibuan sendiri dalam tulisan suratnya kepada Martin Aleida,

“…tapi aku dipanggil ke Teperda, itulah sebabnya ukiran Maria Sang Perawan
terpaksa tertunda. Kemarin, sepulang seorang kawan dari panggilan Teperda
memintaku untuk menjadi saksinya. Memintaku agar aku memberikan kesaksian
bahwa dia memang benar anggota Lembaga Tari Indonesia (Lekra). Idham
namanya (sudah pasti nama ini bukan nama sebenarnya, dia masih hidup sekarang
ini). Idham anggota Ansambel Tari dan Nyanyi Maju Tak Gentar, piawai menari
Melayu.” 128
Nama ‘Idham’, seperti keterangan di atas nampaknya juga bukan nama asli. Tapi

ada kecenderungan nama asli yang dimaksud Astaman adalah ‘Mahdi’, kebalikan dari kata

‘Idham’, yang bernama pena ‘Buyung’. Jikalau memang benar demikian berarti pada akhir

tahun 1963 sampai dengan 1965 Lekra Cabang Medan dipimpin oleh seorang seniman dari

seni tari dan musik, hal yang baru setelah periode sebelumnya Lekra Medan selalu

memiliki sekretaris cabang dari unsur sastrawan atau seni tulis. Namun ada juga

kecenderungan kalau Buyung itu bukanlah ‘Mahdi’ atau ‘Idham’ sekalipun, karena

Buyung sendiri adalah ‘nama pena’. Nama pena sendiri diciptakan untuk seorang

sastrawan, bukan seniman lainnya.

Pada masa keperiodean Buyung, Lekra Medan mempunyai tiga pengurus cabang.

Buyung sendiri menjadi sekretaris cabang, diikuti oleh masing-masing Astaman Hasibuan

selaku wakil sekretaris cabang bidang organisasi dan Onan Gusri sebagai wakil sekretaris

cabang bidang pendidikan. Buyung, Astaman dan Onan Gusri sebelumnya menjadi

anggota biasa pada keperiodean Habidi dan setengah keperiodean Zubir AA. Bersama

dengan itu juga terdapat sebagai anggota ialah Samirin, Darsiah, dan Arswandi, yang

melengkapi keanggotaan Lekra Cabang Medan masa Buyung.


128
Surat dari Astaman Hasibuan kepada Martin Aleida dalam menanggapi buku karya Martin
Aleida yang berjudul “Langit Pertama, Langit Kedua”, Februari 2013.

73

Universitas Sumatera Utara


Nama Astaman Hasibuan sebelumnya terdapat pada keanggotaan Lekra Cabang

Siantar, tapi di tahun 1963 dia memutuskan pindah untuk menetap di Medan. Astaman

terbilang sangatlah muda saat aktif menjadi anggota Lekra Medan, saat itu ia masih

berumur 23 tahun. Ia mengaku Lekra sangat berperan besar dalam membentuk wataknya

dan keahlian menulisnya. Sebelum menjadi anggota Lekra Siantar dia masih belum

mengenal perihal tentang seni tulis-menulis, meskipun sejak kecil dia sudah diajarkan

pengetahuan-pengetahuan yang radikal ketika berkiprah di Pemuda Rakyat (PR) dan IPPI

(Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia). Astaman juga merupakan anak dari Soemarno

Hasibuan, salah seorang tokoh PKI yang sangat berpengaruh di Sumatera Utara. 129

Tercatat Soemarno Hasibuan merupakan salah satu pengurus PKI di Sumatera Utara pada

tahun 1957-1960. Di Lekra Medan, Astaman juga bertindak sebagai ketua Lestra Medan.

Onan Gusri adalah seorang seniman teater. Dia bersama dengan Sulardjo membuat

Lekra Medan masih tetap eksis menampilkan seni peran drama sampai tahun 1965. Selain

menjabat sebagai wakil sekretaris, ia juga dipilih sebagai ketua Lesdra Medan. Selain aktif

di Lekra Medan, Gusri – begitu nama panggilannya disebut – juga bekerja sebagai

wartawan pada harian Gotong-Royong di Medan. Pada masanya, seni teater di Medan

sangat dikagumi, hal ini terbukti dengan banyaknya karya-karya para sastrawan baik itu

berupa sajak (puisi), cerpen, dan sebagainya yang dimainkan menjadi drama/teater.

Pada masa keperiodean Buyung ini Lekra Medan banyak memenangkan berbagai

perlombaan atau festival, baik itu ditingkatan lokal maupun nasional, di bidang sastra,

drama, dan musik. Lekra Medan sendiri mempunyai Kantor Sekretariat yang terletak di

129
Meskipun ayahnya adalah tokoh PKI yang sangat populer di Sumatera Utara, Astaman tetap
menahbiskan kalau dirinya bukanlah komunis walau tidak juga anti terhadap ajaran komunis.

74

Universitas Sumatera Utara


Jalan Jend. Ahmad Yani No. 62, Kesawan (sekarang sudah menjadi Toko Asli). Kantor ini

ditempati Lekra Medan sejak tahun 1960 dengan biaya sewa 50 (lima puluh) rupiah per

tahunnya. Diketahui kemudian Kantor Sekretariat Lekra Medan ini juga sering disinggahi

oleh pengurus-pengurus Lekra Sumatera Utara, bahkan sempat dibuat ruang khusus untuk

kantor Lekra Sumatera Utara, dikarenakan tempat tersebut lumayan luas dan masih banyak

tempat yang kosong di rumah tersebut. 130

3.3.2. Lekra dalam Perkembangan Seni Drama/Teater di Medan

Salah satu aktivitas seni yang juga menonjol atau memiliki nilai plus dari para

seniman di Medan yaitu seni drama. Seni teater atau drama pada sekitaran tahun 1960-an

memang sedang sangat digemari rakyat, terkhusus kalangan remaja;

“demikian gemarnya masyarakat akan drama, sampai-sampai hasil dari penjualan


karcis bisa digunakan untuk membangun asrama mahasiswa Belitung di
Yogyakarta.” 131

Jika dibandingkan dengan Lekra di cabang-cabang lainnya, maka Lekra cabang

Medan adalah cabang yang paling banyak mementaskan seni drama. Bahkan peneliti

drama Indonesia Prof. Michael Bodden pernah mengatakan;

“kalau bicara tentang drama pada masa itu, maka Lekra Sumatera Utara-lah yang
paling banyak mementaskan drama, "mengalahkan" provinsi dan kota-kota lainnya
di Indonesia. Saya kemukakan sebagai contoh bahwa Lekra kota Medan pada
tahun-tahun tsb pernah mentaskan "Gerbong" Agam Wispi, "Lagu Subuh" Zubir
AA, "Batu Merah Lembah Merapi" Bachtiar Siagian, "Si Kabayan" Utuy Tatang
Sontani, "Siti Jamilah" Yoebaar Ayub, "Buih dan Kasih" Bachtiar Siagian, "Si
Nandang" Emha, "Awal dan Mira" Utuy Tatang Sontani, "Orang-orang baru dari

130
Sesuai penuturan Darsiah dan Astaman Hasibuan dalam interview pada Februari 2013.
131
Artikel, Chalik Hamid, Prof. Michael Bodden Meneliti Drama-Drama Lekra, Amsterdan, 2007,
hlm. 4.

75

Universitas Sumatera Utara


Banten" Pramoedya Ananta Toer, drama-drama saduran seperti "Wanita Berambut
Putih" dari pengarang Tiongkok, "Dosa dan Hukuman" ("Krime and Punishment"
karya Dostoyesvky), "Saijah dan Adinda" Multatuli, dan banyak lagi.” 132

Pada waktu itu drama-drama yang dipentaskan banyak diambil dari karya-karya tulisan

para sastrawan, misalnya sajak/puisi, syair, cerpen, bahkan novel.

Lesdra Medan mulai sering memainkan teater sejak tahun 1960. Pengurus dari

Lembaga Seni Drama Indonesia pada waktu itu adalah Chalik Hamid, Onan Gusri dan

Darsiah. Tak lama setelah berdirinya Lembaga Seni Drama di Medan, Lesdra segera

mementaskan drama “Lagu Subuh” karya Zubir AA. Kemudian disusul dengan

pementasan drama “Gerbong” karya Agam Wispi, yang mendapat sambutan hangat dari

publik kota Medan dan dua kota lainnya :Belawan dan Binjai. Kemudian disusul pula

dengan dua drama lainnya “Saijah dan Adinda” yang diadaptasi oleh Bakri Siregar atas

sebuah tulisan karya Multatuli atau Max Havelaar 133 dan “Wanita Berambut Putih” yang

juga merupakan saduran Bakri Siregar dari drama terkenal di Tiongkok.

Selain karya-karya di atas, masih banyak lagi karya-karya para seniman nasional

yang pernah dimainkan menjadi drama di Medan. Sebut saja sajak-sajak milik Utuy Tatang

Sontani, “Si Kabayan”, “Si Kampeng”, “Bunga Rumah Makan”. Karya Emha pengurus

Lekra Tanjung Balai, yang berjudul “Sinandang”. Sajak-sajak Bachtiar Siagian seperti

“sangkar madu”, “batu merah di lembah merapi”, “buih dan kasih”, yang notabene adalah

seorang sutradara film juga pernah dimainkan. Pementasan-pementasan seni drama ini

dilakukan tak kurang lebih dari satu kali dalam sebulan.

132
Chalik Hamid, Ibid. hlm. 3.
133
Michael Bodden, 2012, op.cit. hlm. 25.

76

Universitas Sumatera Utara


Drama-drama yang dipentaskan menurut ketentuan Lekra harus mengangkat tema-

tema perjuangan rakyat kecil seperti buruh, tani, dan juga tentara. Drama-drama tersebut

juga harus merakyat, sederhana dan mudah dipahami oleh rakyat. Tidak hanya itu, drama

dalam ketentuan Lekra juga tidak mesti atau bahkan ‘dilarang’ menggunakan perlengkapan

dan properti teater yang mahal dan ribet. 134

Sebuah SMA (Sekolah Menengah Atas) “Pembaruan” 135 yang berada di bawah

naungan Lekra pada tahun 1960 berhasil memenangkan hadiah juara ke II dalam Festival

Drama Pelajar se kota Medan. Sekolah ini menampilkan drama “Dosa dan Hukuman”

(Krime and Punishment) karya Dostoyevsky yang disadur oleh Bakri Siregar. Para aktor

utama yang membawakan drama itu adalah Chalik Hamid, Z.Afif dan Peria Hotty,

sedangkan para siswa dari SMA Pembaruan hanya bertugas sebagai pemeran pembantu.

Para siswa-siswa inilah yang terus diboboti oleh Lekra Medan agar kelak menjadi

seniman-seniman yang revolusioner.

Tahun berikutnya tepatnya di tahun 1961, di kota Medan diadakan Festival Drama

se-Sumatera Utara yang diikuti oleh Lekra se-Sumatera Utara dan berbagai organisasi dan

lembaga seni di luar Lekra, seperti LKN (Lembaga Kebudayaan Nasional) di bawah

naungan Partai Nasional Indonesia (PNI), Lesbi (Lembaga Seni Budaya Indonesia) di

bawah naungan Partindo, Lesbumi (Lembaga Seni Budaya Muslim Indonesia) di bawah

naungan Nahdatul Ulama (NU) dan kelompok-kelompok drama lainnya. Pada festival

tersebut Lekra kota Tanjung Balai yang menampilkan drama ‘’Sinandang’’ karangan Emha

berhasil memperoleh juara pertama.

134
Pernyataan dari Darsiah sewaktu diinterview pada bulan Maret 2012.
135
Pada saat itu Yayasan Pembaruan, sebuah lembaga penerbitan buku kepunyaan PKI di Jakarta,
sudah mendirikan sekolah-sekolah di berbagai daerah, termasuk di Medan.

77

Universitas Sumatera Utara


Pada akhir tahun 1958, Bachtiar Siagian berhasil menciptakan sebuah naskah

drama berjudul “Batu Merah Lembah Merapi” yang berkisah tentang kamp konsentrasi di

Situjuh, Sumatera Barat, yang dikuasai oleh PRRI. Ketika itu Dewan Banteng dibawah

Kolonel Ahmad Husein mengadakan pemberontakan di Sumatera Barat melawan

pemerintah pusat, dan kemudian pada tanggal 15 Februari 1958 ia berhasil melahirkan

Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI). Di sana didirikan beberapa Kamp

Konsentrasi untuk memenjarakan orang-orang Komunis dan kaum revolusioner sejati

Indonesia. Drama ini sangat terkenal dan berkembang di seluruh Sumatera Utara. Ia

dipentaskan di kota-kota besar seperti Medan, Tanjung Balai, Pematang Siantar, Kisaran,

Binjai, Rantau Prapat dan kota-kota lainnya. Di samping kaum intelektual, para

penontonnya sebagian besar terdiri dari kaum buruh dan kaum tani di masing-masing

daerah di atas.

Sebuah drama yang pernah dipentaskan Lesdra di alam terbuka adalah “Buih dan

Kasih” juga karya Bachtiar Siagian. Drama ini dipentaskan di Pantai Cermin, Kabupaten

Deli Serdang, di hamparan pasir putih dengan latar belakang laut lepas di bawah bunyi

ombak berdesir. Dari simpang Perbaungan hingga ke Pantai Cermin yang berjarak sekitar

4 Km, jalan raya macat total sebagai akibat besarnya minat dan keinginan untuk

menyaksikan pertunjukan tersebut. Para pemain pendukung drama ini adalah Nismah,

Achmadi Hamid dan Rindu Tanjung.

Sutradara-sutradara drama Lekra yang terkenal di Medan pada waktu itu antara lain

Prof. Bakri Siregar, H.R. Bandaharo, Emha, Sy.Anjasmara dan Aziz Akbar. Sedangkan

pemeran utama dalam berbagai drama itu, mencakup seluruh Sumatera Utara, di antaranya

78

Universitas Sumatera Utara


Kamaludin Rangkuty, Sy.Anjasmara, Achmadi Hamid, Mariadi Ridwan, Mulkan AS,

Chalik Hamid, Z.Afif Masrian Else, Nurdimal, Onan Gusri, Duryani Siregar, Sudarsiah,

Farida Rani, Nismah, Penah Pelawi, Peria Hotty, dan lain-lain.

Pementasan drama dalam periode 1950-1965 di Medan merupakan periode yang

sangat sulit. Bukan hanya masalah dalam memperoleh dana, tetapi juga dalam masalah

lainnya seperti dekorasi panggung, ilustrasi musik, teknik lampu (pengaturan cahaya) 136,

tata panggung, pembisik (supelir), sistim pengeras suara (mikrofon) 137, cara-cara latihan

sebelum pementasan dan lain-lain.

Untuk memperoleh dana misalnya, anggota-anggota Lekra harus mencetak

undangan sehubungan dengan pertunjukan drama yang bersangkutan. Undangan ini

disodorkan kepada pengusaha-pengusaha kecil, dan Lekra memperoleh bantuan uang dari

para pengusaha tersebut. Uang inilah yang akhirnya dipergunakan untuk menyewa gedung

pertunjukan, melengkapi dekorasi panggung dan untuk dana transportasi pengangkutan

para pemain drama ketika diadakan latihan maupun ketika diadakan pertunjukan.

136
“Dalam pengaturan cahaya lampu, dengan keterbatasan dana Lekra tidak memiliki alat yang
memadai. Untuk mengatur pertukaran cahaya dari malam menjadi siang misalnya, Lekra menggunakan alat
sederhana. Sebuah ember diisi dengan air, ujung kabel positif (+) dan ujung kabel negatif (-) dimasukkan ke
dalam air tersebut, dengan menarik menjauhkan dan mendekatkankabel tsb, maka terjadilah cahaya terang
dan cahaya gelap, yang berarti perbuahan dari malam menjadi siang. Ini tentu saja sangat berbahaya, karena
air tersebut mengandung aliran listrik. Namun itulah yang kami lakukan. Adegan demikian kami jumpai
sewaktu mementaskan drama “Siti Jamilah” karya Joebaar Ajoeb dan ‘’Batu MerahLembah Merapi’’ karya
Bachtiar Siagian. (wawancara dengan Darsiah).
137
Masalah sistim pengeras suara pada waktu itu merupakan masalah yang dirasa perlu dipikirkan
dan diatasi. Panggung drama pada saat itu sangat berbeda dengan sekarang ini. Mikrofon pada waktu
itumerupakan mikrofon terhubung langsung dengan versteker dan loudspeker, masih sangat kuno, berbeda
dengan yang sekarang sudah digunakan mikrofon lepas yang bisa dibawa ke mana-mana oleh para pemain.
Pada jaman dulu mikrofon itu terpaksa disembunyikan di belakang layar, tergantung atau diletakkan di
tempat-tempat tersembunyi lainnya. Untuk melayani kebutuhan penonton, para pemain drama harus berteriak
dan mengeluarkan suara dengan keras.

79

Universitas Sumatera Utara


Permasalahan dalam mengadakan pentas teater ini juga dirasakan oleh Darsiah

yang pada tahun 1964 mengadakan pentas drama di Asahan bersama dengan kawan-

kawannya dalam Teater “Merak Jingga” sebagai perwujudan “Turba” mereka. Drama-

drama yang ditampilkan harus menggunakan bahasa setempat, karena bahasa Indonesia

masih sangat sedikit dikuasai oleh rakyat kaum tani dan buruh di sana. 138

Dengan meluasnya aktivitas seni drama Lekra sampai ke tempat-tempat pelosok di

Medan, maka perkembangan drama-drama tersebut juga dapat menjamah hingga ke desa-

desa di Sumatera Utara. Pada tahun 50-an itu, berawal dari aktivitas seni drama yang

dipentaskan oleh kader-kader Lekra Medan di luar kota Medan, Lekra dapat meluaskan

pengaruhnya ke kota-kota lainnya seperti Pematang Siantar, Tebing Tinggi,Tanjung Balai,

Rantau Perapat, Berastagi, Kabanjahe, Binjai, Belawan, dan lain-lain.

3.3.3. Lekra dalam Perkembangan Ansambel di Medan

Pada tahun 1959 sampai awal 1965 Lekra banyak memunculkan seni ansambel di

berbagai daerah dengan inisiatif dan keinginan yang beragam. Bagi Lekra, peran ansambel

sangatlah penting dalam mensukseskan revolusi kebudayaan Indonesia. Dalam Laporan

Umum Kongres I Lekra (1959), Joebaar Ajoeb menyimpulkan bahwa tugas dari ansambel-

ansambel adalah untuk menghidupkan kembali kesenian rakyat dan lepas dari penindasan

terhadap kesenian yang dilakukan oleh feodalisme (dari dalam) dan imperialisme (dari

luar). 139

138
Keterangan dari Darsiah dari pengalamannya melakukan pentas drama di Asahan.
139
Rhoma Dwi Aria, Lekra and ensembles; Tracing the Indonesian musical stage, KITLV Press,
Leiden, 2012, hlm. 8

80

Universitas Sumatera Utara


Lebih lanjut Joebaar juga menjelaskan bahwa maksud dari kalimat ‘menghidupkan

kembali’ bukan hanya asal kesenian rakyat tidak mati, namun lebih kepada pengertian

yang positif yaitu memberi bentuk dan isi yang baru terhadap kesenian tersebut, tentu

dengan isi watak yang sejalan dengan tujuan revolusi.

“He explained that what he meant by ‘revive’ was ‘not in a negative sense of simply
preventing people’s art from dying out, but rather to revive it in a positive sense,
especially by ‘giving it new content that matches the character and aims of the August
Revolution’. 140

Tak hanya sampai disitu, Lekra juga meminta agar fungsi ansambel ditingkatkan

lagi sebagai salah satu senjata menghalau musik-musik Barat (musik pop). Ansambel juga

mesti diluaskan, dimassalkan, sehingga menemukan basis perkembangannya untuk

meninggi dan mampu mengalahkan pengaruh buruk musik-musik asing yang busuk. 141

Usaha memperluas pembentukan ansambel itu langsung dimaknai dengan serius

oleh Lekra di masing-masing cabangnya. Di Pontianak Lekra mendirikan kelompok

Ansambel Angin Timur 142, di Yogyakarta ada Ansambel Tari-Nyanyi Bhinneka 143, dan di

140
Ibid. hlm. 21. Penegasan lebih lanjut Joebaar Ajoeb tentang tugas dari ansambel ini juga tertulis
pada ‘Laporan Umum Pengurus Pusat Lekra’, lihat pada Lampiran 9.
141
Contoh dari musik-musik asing yang dipandang buruk oleh orang-orang kiri pada waktu itu
adalah music ‘ngak-ngik-ngok’, rock ‘n roll, twist, The Beatles, serta lagu-lagu India yang dianggap
romatisme cengeng. Untuk referensi yang lebih lengkap tentang music-musik ini lihat pada buku “Steven
Farram, 2007, wage war against Beatle music! Censorship and music in Soekarno’s Indonesia, Review of
Indonesian and Malaysian Affairs.
142
Nama ‘Angin Timur’ dianalogikan dengan angin dari Timur yang berusaha menghalau pengaruh
kebudayaan yang sedang dekaden. Ansambel Angin Timur juga pernah turut serta menghibur (menghibur
yang dimaksud adalah menampilkan tari-tarian dan paduan suara) prajuit-prajurit Indonesia di garis depan
sewaktu terjadinya konfrontasi dengan Malaysia, juga sering menghibur para sukarelawan di Pontianak
(Roeslan, Angin Timur kumandang lagu-lagu revolusioner. Harian Rakyat, 11 Oktober 1964).
143
Ansambel Bhinneka lahir pada Desember 1963, yang hampir keseluruhan anggotanya berasal
dari warga keturunan Tionghoa. Dalam tulisannya Kusni Sulang mengatakan, asas perjuangan pendirian
Ansambel Bhhinneka adalah memperjuangkan seni untuk rakyat dan langkah kongkretnya turut serta
mengganyang musik ngak-ngik-ngok, twist, dan sebangsanya (Kusni Sulang, Ansambel Bhinneka tegak
dengan Garis-Politik yang tepat. Harian Rakyat, 2 Januari 1964).

81

Universitas Sumatera Utara


Lekra Pusat berdiri Ansambel Gembira 144, di Medan Lekra juga mempunyai kelompok

ansambel yang tak kalah populernya 145 dengan ansambel yang disebut sebelumnya.

Kelompok ansambel itu lantas diberi nama Ansambel Nyanyi dan Tari “Maju Tak Gentar”

(MTG). Maju Tak Gentar didirikan pada akhir 1959 di Medan, ansambel ini lahir berkat

inisiatif dari Banda Harahap, yang pada pertengahan tahun 1959 sedang melakukan

lawatan persahabatan ke RRC, Korea, dan Republik Demokratik Vietnam sebagai delegasi

dari Misi Kesenian Sumatera yang pada waktu itu diketuai oleh dirinya sendiri. Dikisahkan

pematangan ide untuk membuat sebuah ansambel di Medan dilakukan di atas kapal

Tjiwangi (Ciwangi) dalam perjalanan pulang ke Indonesia.

Dibawah pimpinan Kondar Sibarani 146 dan Udin (Ui Tien) 147 ansambel ini

mengadakan lawatan ke tiga negara; Tiongkok, Korea dan Vietnam dengan mendapat

sambutan hangat, terutama dalam menjalin lebih erat hubungan persahabatan antara

Indonesia dan ke tiga negara tersebut. Setelah sukses memimpin Ansambel Maju Tak

Gentar, ia ditarik oleh Lekra Pusat untuk menjadi dirigen pada Ansambel Gembira. Kondar

144
Gembira didirikan oleh Lekra di Jakarta pada 3 Februari 1952 atas prakarsa para pemuda Lekra
yang diutus untuk mengikuti World Festival of Youth and Students (Festival Pemuda Pelajar se-Dunia). Para
pemuda/i yang turut memprakarsai berdirinya Gembira adalah Bintang Suradi (Van de Ster), Sudharnoto
(mahasiswa kedokteran Universitas Indonesia), dan Titik Kamariah. Gembira pada awalnya merupakan
sebuah kelompok koor (paduan suara) dan berganti pada tahun 1955 menjadi Ansambel Nyanyi da Tari
Gembira.
145
Salah satu indikator popularitas pada waktu itu adalah ansambel tersebut sering melakukan
pentas tidak hanya sebatas dikalangan kaum kiri.
146
Kondar Sibarani berasal dari Tapanuli Utara, Sumatera Utara. Kondar Sibarani semula tampil
dalam sebuah grup nyanyi bersama dengan Fernando Hutabarat, Amir Siregar, Rahman Nasution, Maringan
Sibarani dll. Ketika itu sesudah Gordon
Tobing, Kondar Sibaranilah yang paling sukses menyanyikan lagu “Sing Sing So”.
Grup yang berada dalam asuhan Lekra Medan ini akhirnya tergabung dalam sebuah
ansambel tari dan nyanyi bernama “Maju Tak Gentar”.
147
Dalam kepemimpinannya bersama Kondar Sibarani, Udin terkenal sangat ekspresif, menarik dan
sangat terampil meskipun ia memiliki postur tubuh yang kecil dan pendek. Interview dengan Toga
Tambunan via email.

82

Universitas Sumatera Utara


adalah seorang komposer sekaligus juga pencipta lagu yang revolusioner, salah satu lagu

ciptaannya yang sangat terkenal adalah Solidaritas Asia Afrika dan Ganyang Malaysia.

Satu hati satu pikiran


Rakyat Asia dan Afrika
Kita lawan, kita kikis penindas dan penjajahan
Kita bangkitkan semangat berlawan untuk kemerdekaan
Hidup abadi
Setia kawan Asia dan Afrika

(Sebait dari lirik lagu Solidaritas Asia Afrika, ciptaan Kondar Sibarani) 148

Setelah Kondar Sibarani pindah ke Gembira, Samirin menjadi penggantinya,

bersama dengan Udin yang tetap setia mengawal perjalanan Ansambel MTG. Syarat untuk

masuk menjadi anggota Ansambel Maju Tak Gentar sendiri hampir sama dengan

ansambel-ansambel lainnya, yaitu cukup tertarik dengan musik dan mengikuti sedikit tes

yang mencakup suara dan sedikit teori musik. 149 MTG menjadi ansambel yang paling

sering diundang pemerintah, selain Ansambel Gembira, untuk mengisi acara-acara

kenegaraan, seperti upacara kemerdekaan 17 Agustus 1945, Ulang Tahun Soekarno dan

upacara menyambut tamu-tamu negara. Tak hanya institusi pemerintahan, partai-partai

politik, terutama PKI, juga sering mengundang Ansambel MTG untuk mengisi acara-acara

partai. Hal ini terlihat pada keikutsertaan Maju Tak Gentar dalam mengisi acara pada

Konferensi Seni dan Sastra Revolusioner (KSSR) yang berlangsung tanggal 27 Agustus –

2 September 1964 dan juga keikutsertaannya bersama Ansambel Gembira dalam rangka

memeriahkan hari ulang tahun ke-45 PKI di Istora Senayan.

148
Harian Rakyat, 11 April 1964.
149
Interview dengan Darsiah

83

Universitas Sumatera Utara


Pada masa pemerintahan Orde Baru yang dimulai sejak akhir tahun 1965,

Ansambel MTG tetap dipertahankan bersama dengan Ansambel Gembira. Namun MTG

harus berganti nama menjadi Ansambel “Bukit Barisan”. Menurut keterangan Astaman

Hasibuan, dipertahankannya Ansambel MTG dan Gembira ini oleh pemerintah Orde Baru

karena Soekarno sendiri yang langsung memintanya kepada Soeharto, selaku pemimpin

rezim pada saat itu.

Dengan sangat eksisnya Ansambel MTG dikancah seni musik dan tari nasional

bahkan internasional, Lekra Medan juga membentuk ansambel lainnya untuk mengikuti

kesuksesan dari MTG. Maka didirikanlah Ansambel “Tak Seorang Pun Berniat Pulang”

pada akhir tahun 1963 yang diprakarsai oleh Astaman dan Syafii. Sangat disayangkan

ansambel ini tidak bisa berkembang lebih jauh karena terlebih dulu dibubarkan oleh rezim

Orde Baru tahun 1965.

3.3.4. Film Turang

Kota Medan pada sekitaran tahun 1954-an menjadi salah satu kota yang

perkembangan industri filmnya sangat pesat. Bea atau pajak pemutaran film dari bioskop-

bioskop di Medan pada tahun 1954 mencapai tidak kurang dari sepertiga total anggaran

pendapatan pemerintah kota praja Medan. Sekurang-kurangnya ada sekitar enam belas

bioskop yang memutar film-film Hollywood, India dan Melayu. 150

Pada tahun 1958, Bachtiar Siagian, Ketua Lembaga Film Indonesia (LFI) salah satu

Lembaga Kreatif Lekra, berhasil membuat film tentang perjuangan Rakyat di Tanah Karo,

Sumatera Utara untuk melawan kolonialisme Belanda, di samping kisah percintaan tragis
150
Buku Tahunan Kota Besar Medan Tahun 1954, Djawatan Penerangan Kota Besar Medan, 1955,
hlm. 219

84

Universitas Sumatera Utara


dalam film tersebut. Film yang disutradarai langsung oleh Bachtiar Siagian ini diberi judul

“Turang”. Film ini sendiri diproduksi oleh RAFIC (Retjong Film Corporation), Jajasan

Gedung Pemuda Medan ditahun 1957-1958, dengan lokasi syuting di Seberaya, Tiga

Nderket, Kabanjahe, dan daerah lainnya di Kabupaten Karo, dan juga di Medan. 151

Film ini diangkat dari sebuah drama 3 babak yang sebelumnya tampil dan cukup

populer dipentaskan di Medan perjuangan. Sebelumnya juga telah ada syair dan lagu “Oh,

turang” karya Sersan Mayor Hasjim Ngalimun, yang beliau dedikasikan untuk mengenang

korban serangan tentara Belanda di Tanah Alas, di mana pada 26 Mei 1949 tentara pejuang

Resimen IV di bawah komando Djamin Ginting berjuang melawan gempuran pasukan

Belanda yang diperkuat enam buah pesawat tempur Mustang Hagers yang memborbardir

Tanah Alas, sehingga menimbulkan korban dari pihak laskar pejuang, yakni: Letnan

Kerani Tarigan dan Kopral M. Zain. Lagu Oh, Turang ini sendiri kemudian menjadi

soundtrack dari film Turang yang dilantunkan oleh Tuti Daulay.

Film ini menceritakan sebuah kisah tentang perjuangan masyarakat Karo di masa

penjajahan kolonial Belanda, khususnya di Kuta Seberaya (salah satu tempat lokasi

shooting). Kuta Seberaya ini juga pernah menjadi pusat komando tentara Resimen IV di

bawah pimpinan Djamin Ginting sewaktu terjadinya revolusi sosial di Sumatera Timur.

Diceritakan dalam film ini awal kisah Wakil Komandan Rusli (diperankan oleh: Oemar

Bach) terluka parah saat pertempuran, sehingga harus dirawat, dan perawatannya

diserahkan kepada Tipi (Nizmah) yang merupakan adik dari Tuah (Tuahta Peranginangin)

yang juga seorang anggota laskar pejuang. Pada saat masa-masa perawatan tersebut

tumbuh rasa cinta antara Rusli dan Tipi, namun situasi pada saat itu sangatlah genting,

151
Krishna Sen, Indonesian Cinema: Framing the New Order, Zed Books, London, 1994, hlm. 157.

85

Universitas Sumatera Utara


mengingat masih berlangsungnya perang, oleh karenanya membuat jalinan asmara itu

harus tertahan. Serangan yang gencar dilakukan tentara Belanda membuat keberadaan

laskar pejuang harus berpindah-pindah tempat dan bergerilya, karena keberadaan laskar

selalu dapat dibaca oleh Belanda atas informasi dari Dendam (diperankan oleh Hadisjam

Tahax) yang menjadi pengkhianat dan mata-mata untuk pihak Belanda.

Film ‘Turang’ banyak diminati oleh khalayak masyarakat Indonesia pada waktu itu,

bahkan pemutaran perdana film ini dilangsungkan di Istana Merdeka dan ikut disaksikan

langsung oleh Prersiden Soekarno. Selain pernah diputarkan di Istana Merdeka, film

Turang juga pernah menembus bioskop Broadway, New York. 152 Akan kesuksesannya

film Turang ini sampai menembus pasar film di luar negeri, pada tahun 1960 Film Turang

dan Bachtiar Siagian selaku sutradara film tersebut dianugerahi Piala Citra oleh Festival

Film Indonesia (FFI). Selain itu film ini juga mendapat penghargaan dari kategori pemeran

pendukung terbaik yang diraih oleh Achmad Hamid, serta tata artistik terbaik. Jadi, dalam

FFI pada tahun 1960 itu, film Turang berhasil meraih penghargaan dalam empat kategori.

Film ini juga pernah diikutsertakan menjadi salah satu nominasi dalam Festival Film Asia,

walau pada akhirnya tidak mendapat penghargaan satu pun.

152
Ibid. hlm. 216.

86

Universitas Sumatera Utara


Titles : TURANG : Hadisjam Tahax

Main Director : BACHTIAR SIAGIAN : Zubier Lelo

Year : 1957 Director : BACHTIAR SIAGIAN

Length : - Photography : Akin

Countries : INDONESIA Composer : -

Actors : Nizmah Author : -

: Omar Bach Companie : Rentjong Film Corp.

: Ahmadi Hamid : Jajasan Gedung


Pemuda
: Tuahta Peranginangin Medan

Terlepas dari prestasi dan kesuksesan yang dimiliki film ini, ternyata film Turang

tetap tidak terhindar dari pemusnahan semua yang berbau komunis pada masa orde baru.

Keterlibatan Bachtiar Siagian dalam PKI, yang merupakan sutradara dari film ini membuat

semua karya-karya beliau dimusnahkan 153 , dan tak terkecuali film Turang, juga ikut

dimusnahkan.

Namun, ada beberapa pendapat yang muncul, kalau pemusnahan permanen

terhadap film Turang ini bukan semata-mata karena keterlibatan Bachtiar Siagian dalam

PKI, akan tetapi banyak yang berpendapat bahwa ini merupakan buntut dari keberpihakan

masyarakat dan tokoh-tokoh Karo terhadap Soekarno. 154 Kita ketahui kalau masyarakat

Karo dan tokoh-tokoh Karo berjiwa Marhein dan merupakan Soekarnois sejati. Selain itu,

153
Katinka van Heeren, Contemporary Indonesian Film, KITLV Press, Leiden, 2012, hlm. 52.
154
Keterangan dari Sjahrial Sandan sewaktu diinterview pada Februari 2013.

87

Universitas Sumatera Utara


beberapa kali terlontar pernyataan kalau Soeharto yang notabene-nya penguasa Orde Baru

memiliki perselisihan dan kebencian terhadap salah seorang perwira Sumatera berdarah

Karo Mayjen Djamin Ginting (anumerta Letnan Jendral), di mana kabarnya beliau

memberi dukungan penuh (juga dalam pendanaan) dalam proses produksi film ini. 155

Hal ini tentu terkait juga dengan usaha-usaha penggulingan Soekarno oleh

Soeharto. Mayjen Djamin Ginting adalah petinggi militer dalam Front Nasional pendukung

setia Soekarno dalam kelompok Kubu Tengah AD Indonesia pimpinan Letjen. A. Yani

yang dalam beberapa situasi sering berbeda paham dengan Kubu Kiri (PKI), serta Kubu

Kanan AD Indonesia yang dipinpin oleh A. H. Nasution dan Soeharto.

Film Turang yang disutradarai Bachtiar Siagian (terlibat PKI), bernuansa dan

berlatar Karo (Soekarnois sejati), dan didukung penuh oleh Djamin Ginting (loyal kepada

Soekarno dan A. Yani, serta kelompok Kubu Tengah AD-RI yang berselisih paham

dengan Kubu Kanan AD-RI) menjadikan film yang amat berkualitas ini harus dibredel

pada masa orde baru.

155
Krishna Sen, 2004, Ibid. hlm. 221

88

Universitas Sumatera Utara


3.3.5 Perdebatan tentang Identitas Budaya

Perdebatan tentang budaya mana yang akan menjadi identitas kebudayaan bangsa

antara Sumatera dengan Jawa ternyata tidak berhenti pada perdebatan antara Hamka

dengan Sutan Takdir Alisyahbana atau dengan Aoh Kartamadja. Perdebatan yang sejenis

rupanya juga terjadi di masa-masa setelahnya, kali ini yang menjadi tokoh utama yaitu

antara H. Dharsono 156 dengan Bakri Siregar, selaku seniman Lekra. Isu perdebatan yang

diangkat sebenarnya hanya masalah sepele, namun menjadi besar karena ulah media yang

membesar-besarkannya. Majalah Konfrontasi, tercatat memasukkan artikel Dharsono yang

terang-terangan menyerang Bakri Siregar, artikel yang bertanggal ‘Medan, 7 Maret 1959’

tersebut muncul bersama dengan terbitnya Konfrontasi edisi No. 30, Mei-Juni 1959 157

dengan judul “Pidato Bakri Siregar yang amis di Solo”.

Dharsono sangat tidak sepakat dengan perkataan Bakri Siregar sewaktu berpidato

di depan Kongres Nasional Lekra di Solo pada Februari 1959. Saat ditugaskan untuk

melaporkan kegiatan Lekra di Sumatera Utara, Bakri mangatakan bahwa

“orang di Sumatera Utara tidak mungkin melakukan suatu kerja budaya yang
berarti, tanpa memperhitungkan faktor Lekra” . 158

Dharsono, penulis dari Medan, sangat tidak terima atas perlakuan Bakri yang

dinilai sangat merendahkan martabat seniman-seniman – terutama seniman non Lekra - di

Sumatera Utara. Situasi setelah munculnya statement yang dilontarkan oleh Bakri ini sama

156
Dharsono terkenal sebagai penulis artikel yang melakukan kerja tulis-menulisnya di Medan. Ia
juga sering menulis dengan nama pena Harun Arrasyhid dan sering juga menerbitkan artikel-artikelnya ke
koran atau jurnal nasional.
157
Tercatat baru pada edisi inilah majalah Konfrontasi berani menerbitkan artikel yang langsung
menyerang pribadi seorang. Sebelumnya Konfrontasi hanya mencantumkan berita-berita yang netral dan
tidak berisikan provokasi atau ‘serang-serangan’.
158
Konfrontasi, edisi 30: hal 3.

89

Universitas Sumatera Utara


persis dengan apa yang terjadi saat Hamka berdebat dengan Sutan Takdir Alisyahbana dan

Aoh Kartahadimaja. 159

Klaim Bakri atas faktor Lekra di Sumatera Utara dianggap Dharsono hanyalah

sebagai unjuk kekuatan dan eksistensi Lekra atau untuk membesar-besarkan nama Lekra di

Sumatera Utara. Selain melakukan manuver dengan membuat artikel “Pidato Bakri

Siregar yang amis di Solo”, Dharsono juga sampai membuat daftar berbagai sumbangan

kebudayaan yang diberikan oleh organisasi-organisasi budaya non Lekra di Sumatera

Utara.

Tensi dari suasana politik kultural Indonesia, tidak terkecuali di Sumatera Utara

ataupun Medan, yang terjadi pada tahun 1959 sudah sangat memanas. Ini dikarenakan

ranah budaya telah dianggap memiliki peran sebagai bagian dari perjuangan besar untuk
160
menentukan watak dan arah Indonesia. Atas dasar itulah mengapa pernyataan-

pernyataan yang bersinggungan tentang pertentangan budaya daerah mana yang akan ikut

menjadi identitas kebudayaan nasional menjadi suatu kepentingan bagi beberapa kubu.

3.3.6 Soal Plagiat Karya Sastra Hamka

Perdebatan terjadi antara Pramoedya Ananta Toer dengan Hamka. Pram

melontarkan tuduhan plagiat terhadap tulisan roman Hamka yang berjudul Tenggelamnya

Kapal van der Wijk (1939). Hal ini lantas mengundang kemarahan para pengagum karya-

karya Hamka yang mayoritas berada di Medan.

159
Dalam kritiknya tentang kebudayaan Sumatera, Aoh menyimpulkan bahwa budaya Sumatera –
daerah Sumatera, yang dimaksud Aoh mungkin lebih kepada Sumatera Utara karena dia pernah bekerja di
Medan selama setahun – tak ada yang bernilai untuk disumbangkan. Marije Plomp, 2012, loc.cit.
160
Keith Foulcher, 1986, op.cit. hlm 56.

90

Universitas Sumatera Utara


Sebenarnya tuduhan plagiat kepada Hamka dilontarkan pertama kali bukan oleh

Pram melainkan oleh Abdullah S.P. Tuduhan Abdullah kepada Hamka ini dimuat dalam

surat kabar Bintang Timur 161 , tertanggal 7 September 1962 dan 17 September 1962.

Abdullah menuduh Hamka menjiplak bertindak sewenang-wenang menjiplak dengan

mentah-mentah buku Magdalaine karya pujangga Mesir, Manfaluthi, yang merupakan

terjemahan karya Aphonse Care, seorang pujangga Prancis.

Pram lantas mendukung tuduhan plagiat oleh Abdullah, dan bersama mereka

berdua membuat sebuah idea script 162 untuk meyakinkan kepada rakyat bahwa buku

Tenggelamnya Kapal van der Wijk karya Hamka adalah plagiat. Hasil dari idea script

tersebut membuktikan beberapa fakta tentang banyaknya kesamaan, seperti tema, isi, dan

alur ceritanya hanya tokoh-tokoh dan tempat kejadian yang berbeda.

Meskipun berulang kali tetap mengelak bahwa karyanya itu bukanlah hasil plagiat

atau jiplakan, tetap saja nama Hamka sudah terlanjur rusak dengan adanya kasus tersebut.

Hal ini terbukti dari karya-karya Hamka yang dibuat setelahnya, tidak begitu banyak dicari

oleh para peminat sastra lagi atau tidak terlalu laku di pasaran. 163

Sewaktu hadir untuk berceramah di Institut Keguruan Ilmu Pendidikan (IKIP) –

sekarang menjadi Universitas Negeri Medan (Unimed) – pada tahun 1963, Pram juga

menyinggung soal karya plagiat Hamka. Mahasiswa dan staf pengajar yang hadir pada saat

161
Surat kabar Bintang Timur diterbitkan pertama kali pada tahun 1926 dan berhenti terbit sejak
tahun 1965. Bintang Timur memiliki halaman lampiran kebudayaan bernama Lentera yang muncul pada
edisi hari Minggu saja dan pemunculannya baru dimulai sejak 16 Maret 1962.
162
Idea Script merupakan suatu teknik dalam kritik sastra untuk membuktikan ke-orisinalitas-an
sebuah karya sastra dengan cara menghimpun tiga buah buku (buku asli, jiplakan, dan telaah) menjadi satu
buku saja. Junus Amir Hamzah (ed), Tenggelamnya Kapal van der Wijk dalam Polemik, Megabookstore,
Jakarta, 1973, hal. 50.
163
Pernyataan dari Sjahrial Sandan.

91

Universitas Sumatera Utara


itu sebagai peserta ceramah yang juga mayoritas anti komunis tersebut tentu tidak senang

dengan statement Pram terhadap Hamka yang demikian. 164 Sosok Hamka sangat dihargai

oleh masyarakat di Medan. Ia dinilai mempunyai kontribusi besar dalam membentuk

identitas sastra Medan dan mengangkat sastra Medan masuk ke dalam jenis karya sastra

yang diperhitungkan.

3.4 Konferensi Nasional I Lembaga Sastra Indonesia (Lestra) di Medan.

Lembaga Sastra Indonesia (Lestra) yang merupakan lembaga kreatif milik Lekra

yang bersifat otonom, akhirnya mengadakan Konferensi Nasionalnya untuk kali pertama.

Konferensi ini diselenggarakan selama tiga hari berturut-turut, dari tanggal 22-25 Maret

1963. Konferensi ini berlangsung dengan Lekra Sumatera Utara selaku panitia pelaksana,

Azis Akbar dan Sy. Anjasmara yang pada saat itu sudah tidak menjabat sebagai pengurus

lagi di Lekra Sumatera, bertindak sebagai ketua dan sekretaris pelaksana untuk Konfernas

tersebut.

Gedung Pemuda Medan menjadi tempat bagi berlangsungnya acara-acara pada

Konfernas Lestra ini. Peserta pada Konfernas ini adalah sastrawan-sastrawan Lekra dari

berbagai cabang pada masing-masing daerah di Indonesia. Dalam Konfernas ini juga hadir

beberapa tamu undangan dan tamu kehormatan. Ulung Sitepu, selaku Gubernur Sumatera

Utara beserta P.R. Telaumbanua, selaku Walikota Medan pada saat itu, berkesempatan

menjadi tamu kehormatan dan juga bertugas membuka Konfernas ini. Sebagai tamu

undangan, hadir orang-orang dari unsur partai semisal PKI dan PNI, begitupun dari

berbagai organisasi kebudayaan seperti LKN, LKI, Lesbi, Okra, Orsenim, Pelsedra, KMM

164
Marije Plomp, 2012, op.cit. hal. 25.

92

Universitas Sumatera Utara


Medan sendiri dipilih oleh Lembaga Sastra Indonesia sebagai tempat

diselenggarakannya Konfernas atas beberapa pertimbangan, yaitu;

1. Kebudayaan sastra di Medan sangat berkembang pesat. Selain jenis-jenis kaya

sastra yang melimpah ruah di Medan, kota ini juga memiliki banyak tempat

penerbitan dan percetakan.

2. Banyaknya masyarakat Medan yang sangat antusias terhadap penciptaan karya

sastra. Walaupun memiliki jumlah penduduk yang tidak sebanyak penduduk di

Jakarta, Surabaya, dan Yogyakarta, rata-rata masyarakat di Medan sangat

gemar membaca karya-karya sastra, seperti cerita rakyat, sajak/puisi, novel,

cerpen, meskipun kebanyakan ber-genre “pop”.

3. Banyaknya seniman-seniman Lekra yang berasal dari Medan. Nama-nama

seperti Bakri Siregar, Bachtiar Siagian, H.R. Bandaharo (Banda Harahap),

Agam Wispi, Martin Aleida, dan Amrus Natalsya merupakan beberapa nama

dari sekian banyaknya seniman-seniman Lekra yang pernah berkecimpung di

Medan sebelum eksis di Lekra.

Konfernas Lestra di Medan yang berlangsung selama tiga hari ini juga memiliki

beberapa agenda acara, salah satunya adalah perlombaan kontes berbagai karya sastra, di

antaranya cerpen, sajak, esai dan novel. Juga tak ketinggalan acara seminar sastra

Indonesia modern dan pertunjukkan sastra tradisional dari masing-masing daerah menjadi

salah satu suguhan yang meramaikan agenda Konfernas ini.

93

Universitas Sumatera Utara


Agenda utama dalam Konfernas ini yaitu penyampaian laporan-laporan kegiatan

Lestra sejak dibentuk pada tahun 1960. Laporan Umum disampaikan oleh Ketua Lestra,

Prof Bakri Siregar, Laporan Pengajaran Sastra oleh Pramoedya Ananta Toer selaku

Sekretaris Lestra, Laporan Organisasi dan Pendidikan Ideologi oleh S. Anantaguna. Selain

itu juga disampaikan Laporan-laporan Pelengkap tentang perkembangan seni sastra

terhadap kesenian lainnya, semisal drama dan film.

Sebelum Konfernas ini berlangsung, Pengurus Lestra Pusat telah membuat

persiapan tentang masalah-masalah apa saja yang akan dibawa dan dibahas dalam

Konfernas ini nantinya. Poin-poin permasalahan yang akan dibahas tersebut antara lain;

1. Perkembangan pengajaran sastra Indonesia modern.

2. Pengembangan sastra daerah tradisional.

3. Penolakan dan perlawanan terhadap sastrawan dan karyanya yang tidak

Revolusioner, terutama terhadap sastrawan-sastrawan Balai Pustaka.

4. Mendukung dan berusaha membentuk jaringan dengan sastrawan-sastrawan

Revolusioner di Asia dan Afrika.

5. Sastra bagi anak-anak.

Akan tetapi saat berlangsungnya Konferensi tersebut, poin-poin di atas sangat

sedikit disinggung. Konfernas malah menghasilkan rumusan-rumusan gerak Lestra yang

lebih menitikberatkan pada perkembangan politik ketimbang perkembangan sastra. Sikap

yang diambil Lestra ini tampak pada keputusan-keputusan dan tuntutan-tuntutan seperti

“menyokong penuh dan membela perjuangan kemerdekaan Rakyat Kalimantan Utara”,

“mengutuk teror berdarah yang dilakukan oleh rezim Salim Arif terhadap Rakyat Irak”,

94

Universitas Sumatera Utara


atau “menuntut agar segera dibentuk Kabinet Gotong Royong yang berporoskan

Nasakom”. 165

Konfernas Lestra ini kemudian ditutup dengan menetapkan waktu penyelenggaraan

Konfernas Lestra ke-II. Waktu yang ditetapkan untuk Konfernas ke-II ini yaitu pada bulan

Desember 1965 dan bertempat di Yogyakarta. 166 Sayang, Konfernas Lestra ke-II ini tidak

pernah terwujud karena munculnya aksi kudeta dan pembunuhan massal yang terjadi pada

Oktober 1965, yang ikut membawa Lekra menjadi korban.

3.5 Situasi di Medan setelah munculnya Manifesto Kebudayaan di Jakarta

Diproklamasikannya Manifes Kebudayaan (Manikebu) di Jakarta pada 17 Agustus

1963 tak lepas dari kontroversi yang terjadi atara pihak pro dengan pihak yang kontra

terhadap Manikebu. Lembaga-lembaga dan organisasi-organisasi kebudayaan yang

tergabung dalam aliansi Front Nasional di berbagai daerah menyatakan ketidaksetujuan

mereka terhadap munculnya Manikebu dalam pusaran kebudayaan nasional Indonesia.

Begitu juga di Medan, setelah mendengar kabar pembentukan Manifesto

Kebudayaan ini para seniman dan pekerja kebudayaan yang tidak setuju dengan

kemunculan Manikebu mengadakan rapat tertutup pada 30 Januari di Balai Wartawan

Medan, dengan agenda rapat mengambil sikap terhadap Manikebu. Mereka yang

tergabung dalam rapat ini yaitu dari organisasi Lekra, LKN, Lesbumi, OKRA, dan Actor’s

Studio Medan.

165
Untuk lebih lengkap tentang hasil-hasil dari Konfernas Lestra I di Medan ini lihat “Komunike”
pada Lampiran 4.
166
Astaman Hasibuan mengatakan bahwa Yogyakarta dipilih menjadi tuan rumah yang berikutnya
bagi Konfernas Lestra ke-II berdasarkan rekomendasi dari Lestra Jawa Tengah yang akhirnya disetujui
semua pihak.

95

Universitas Sumatera Utara


Keputusan dari rapat tersebut ialah dengan tegas menyatakan sikap untuk menolak

kehadiran atau pun eksistensi Manifesto Kebudayaan dalam ranah kebudayaan Nasional

Indonesia, dikarenakan Manikebu berwatak kontra revolusi sehingga sangat berbahaya

untuk pertumbuhan kebudayaan revolusioner di tanah air Indonesia.

Tahap selanjutnya mereka juga menuntut untuk memecat tokoh-tokoh pendukung

terciptanya Manikebu tersebut dari Kelembagaan Negara, baik itu jawatan di pusat maupun

di daerah, seperti H.B. Jassin selaku dosen Universitas Indonesia, Wiratmoe Soekitoe

selaku pegawai RRI Jakarta dan lain sebagainya. Juga menuntut pemerintah agar mencabut

surat izin terbit majalah Sastra yang dianggap sebagai corong atau terompet penyebaran

Manifesto Kebudayaan.

Sikap ini tentu diambil oleh aliansi kebudayaan Front Nasional dengan

pertimbangan-pertimbangan yang sudah dipikirkan sebelumnya, bahkan mempelajari

terlebih dahulu seluk beluk Manikebu. Menurut mereka Manikebu mengabstrakkan

pertentangan pokok antara pendukung revolusi dengan musuh revolusi. Di dalam

menafsirkan Pancasila Manikebu sangat berlainan dengan interpretasi Bung Karno,

Pancasila sebagai alat mempersatu malah berusaha diselewengkan dari makna yang

sebenarnya. Dalam riset yang dilakukan oleh kelompok-kelompok seniman yang kontra

terdapat beberapa butir rumusan tentang mengapa Manifesto Kebudayaan harus ditolak;

1. Manifes Kebudayaan adalah kontra revolusi, karena:


a. Anti atau memusuhi Nasakom
b. Segan menggunakan kata dan konsepsi revolusioner dan rakyat
c. Merupakan reaksi atas gagasan Ganefo

96

Universitas Sumatera Utara


d. Mengumandangkan freedom to be free
e. Hendak menandingi Manifesto Politik (Manipol)
2. Manifes Kebudayaan adalah hipokrit. 167

Lebih ekstrem kemudian ialah pernyataan tegas yang ducapkan oleh aliansi

kebudayaan Front Nasional di Medan yaitu “Ganyang Manikebu”. Kebetulan pada saat itu

juga sedang marak-maraknya disuarakan statement “Ganyang Malaysia” karena

kesewenang-wenangan Malaysia terhadap Indonesia. 168

Demikian akhirnya disepakati sebuah sikap dan tindakan yang dinyatakan oleh

aliansi kebudayaan Front Nasional dan ditandatangani oleh Sy. Anjasmara (Lekra), Kims

Gangga (LKN), Darwis A.R. (Lesbumi), Azis S. (OKRA), Dick Havinto (Lesbi), Mahmud

Situmorang (LKM) dan Arif Husin Siregar (Actor’s Studio) 169

Seniman-seniman yang menganut paham Manifesto Kebudayaan di Medan pada

saat itu belumlah banyak, maka itu belum terlalu mengganggu keberadaan Lekra di Medan.

Akan tetapi yang sesungguhnya menjadi penghalang bagi eksistensi Lekra dalam

panggung budaya di Medan adalah keberadaan tentara nasional, dalam hal ini Angkatan

Darat (AD). Diketahui kemudian bahwa keberadaan Manifesto Kebudayaan sangat

didukung oleh Angkatan Darat. Setiap kegiatan yang dilakukan Manikebu dibiayai oleh

AD. Sejatinya KK-PSI yang menjadi batu loncatan Manikebu untuk meluaskan paham

kebudayaan humanisme universal juga dibiayai bahkan dipanitiai oleh AD beserta kroni-

kroninya. Sejak awal 1950-an para perwira AD di Medan sangat rajin menjadi promotor

bagi kegiatan-kegiatan kebudayaan di Medan. Merek juga selalu hadir dalam acara-acara

167
D.S Moeljanto dan Taufik Ismail, 1995, op.cit. hlm. 327
168
Presiden Soekarno memandag pembentukan Negara Malaysia adalah suatu proyek neokolonialis
bentukan Inggris, yang sebagian pasukannya masih berada di Malaysia, yang berarti sesungguhnya Malaysia
belum betul-betul merdeka. R.S. Milne and Diane K. Mauzy, Malaysia; Tradition, Modernity, and Islam,
Westview Press, London, 1986, hlm. 155.
169
Harian Harapan, 3 Februari 1964.

97

Universitas Sumatera Utara


pelantikan bahkan bersedia tampil sebagai pembicara dalam kata-kata sambutan di acara-

acara kebudayaan. 170

Lebih dari itu, dukungan finansial juga diberikan Angkatan Darat kepada kegiatan-

kegiatan kebudayaan yang dilaksanakan oleh orang-orang atau organisasi-organisasi anti-

komunis. Bahkan diantara para perwira tersebut banyak juga yang aktif sebagai pemusik,

pemain drama maupun penulis. Letnan Kolonel (Letkol) M. Nur Nasution, misalnya

mendukung dan membiayai seluruh prakarsa Bokor Hutasuhut, seniman Manikebu dari

Medan, untuk membuat pentas teater-teater modern di Medan pada tahun 1964. 171

Pemutaran film Amerika di lapangan Benteng, Medan pada awal tahun 1965 juga atas

prakarsa Angkatan Darat.

Serangan juga dilancarkan oleh media cetak yang mendukung pendirian Manikebu

kepada media-media cetak yang pro terhadap Lekra. Tahun 1964 di Medan misalnya,

kaum Manikebu menuduh Harian Harapan tidak pernah banyak memuat tentang Pancasila,

karena itu harian ini dituduh anti-Pancasila. Lekra Medan dalam perdebatan ini langsung

membantu Haria Harapan dan menjawab tuduhan itu dengan melakukan riset. Hasilnya,

kumpulan guntingan-guntingan dari koran Harian Harapan yang dikumpulkan Lekra

berhasil menemukan jumlah kata ‘Pancasila’ pada Harian Harapan yang ternyata lebih

banyak dari jumlah kata ‘Pancasila’ yang pernah dimuat oleh koran Waspada. 172

170
Marije Plomp, 2012, op.cit. hlm.21.
171
Marije Plomp, Loc.cit
172
Harian Waspada saat itu lebih condong kepada kelompok Manikebu.

98

Universitas Sumatera Utara


BAB IV

LENYAPNYA GAUNG KEBUDAYAAN LEKRA

Memasuki periode 1960-1965 merupakan pintu masuk bagi masa-masa

transisi yang sangat rumit bagi Lekra. Pada periode ini Lekra berada pada masa

kejayaannya, tetapi sekaligus saat itu juga ia menemui ajalnya. Kedua kutub yang

saling berlawanan ini muncul karena adanya ketidakseimbangan arus politik yang

terjadi dalam lima tahun terakhir masa kepemimpinan Soekarno ditambah dengan

terciptanya pergantian tongkat estafet kekuasaan yang dilakukan dengan cara-cara

repesif. Perputaran arah angin poltik pada masa itu berubah sangat drastis.

Soekarno yang sejak awal tak tergoyahkan kedudukannya sebagai Presiden Republik

Indonesia, harus merelakan kursi tersebut diduduki oleh Angkatan Darat.

Hubungan Soekarno dengan PKI di tahun 1960-an terjalin dengan sangat

baik. PKI pada saat itu seperti anak kesayangan Soekarno, hal ini terbukti dari

banyaknya kebijakan-kebijakan pemerintah yang dibuat berdasarkan usul dan

saran dari PKI. 173 Soekarno pun merasa PKI lebih bisa dipercaya ketimbang

Angkatan Darat, meskipun pada awal-awal masa kemerdekaan Indonesia hubungan

AD dengan Soekarno sangatlah harmonis. Pengalihan kepercayaan inilah yang ikut

memperuncing perseteruan antara PKI dan Angkatan Darat, yang memang sudah

terasa gejalanya sejak peristiwa Madiun 1948.

173
Kebijakan-kebijakan seperti “Ganyang Malaysia”, “New Emergenzing Force” (Nefo), “Old
Established Force” (Oldefo), dan “Undang-Undang Pokok Agraria” (UUPA) adalah beberapa contoh
kebijakan yang diprakarsai oleh Soekarno serta PKI.

99

Universitas Sumatera Utara


Angkatan Darat sangat khawatir jika nantinya PKI lah yang akan

menggantikan posisi Soekarno untuk duduk di singgasana tahta kekuasaan tertinggi

di Indonesia. Atas kekhawatiran itulah AD mulai membuat dan mengatur strategi

bagaimana mereka bisa mengambil simpati rakyat Indonesia. Strategi untuk

menarik simpati rakyat ini diterapkan oleh Angkatan Darat bukan hanya dalam

bidang politik, tapi juga masuk ke ranah kebudayaan. Maka pada 17 Agustus 1963

Angkatan Darat beserta dengan beberapa seniman yang tidak sejalan dengan paham

Lekra melahirkan sebuah manifes tandingan, yaitu Manifes Kebudayaan.

Ketertarikan militer untuk berkiprah dalam bidang kebudayaan dengan

mendukung Manikebu ini memang agak ganjil. Menurut analisis dari kalangan

banyak pada saat itu, ada dua alasan masuknya militer ke ranah kebudayaan ini.

Pertama, berimbangnya kekuatan politik, dengan massa yang terorganisir di bawah

Front Nasional Nasakom,membuat militer kesulitan menerapkan “cara-cara

militeristik” dalam tujuan mereka. Kedua, sejak pemilu 1955 mereka melihat

bagaimana peran kebudayaan dalam menggalang kekuatan massa. Dalam setiap

kampanye PKI yang didukung oleh Lekra, selalu menjadi sebuah pesta rakyat.

Mulai sejak lahirnya “Manikebu” ini situasi kebudayaan di Indonesia mulai

berubah. Perang ideologi di antara para seniman mulai sering terjadi. Prioritas para

seniman untuk menghasilkan karya-karya seni yang berkualitas mulai terganggu

dengan adanya perdebatan-perdebatan ideologi tersebut. Mereka banyak

menghabiskan waktu untuk meladeni kritik-kritik yang dilontarkan oleh lawan-

lawannya kepada dirinya. Anehnya, kritik-kritik tersebut diciptakan bukan untuk

100

Universitas Sumatera Utara


mengkritisi hasil karya-karya seni para seniman tersebut, tetapi lebih kepada

menyerang individu sang seniman itu melalui pengalaman-pengalaman pribadi atau

riwayat hidup milik seniman tersebut.

Contoh dari konflik-konflik perdebatan semacam ini misalnya terdapat pada

perseteruan antara Pram dengan Buchari. Buchari menyinggung tentang masa lalu

Pram saat ia pernah bekerja di Balai Pustaka dan pernah menggunakan jasa Sticusa

untuk bisa pergi ke Belanda. Kejadian semacam ini seringkali terjadi di tahun-tahun

1960-an 174 . Karena perseteruan-perseteruan tersebut kerap kali diprakarsai oleh

orang-orang Lekra dan Manikebu, maka masa-masa itu menjadi identik dengan

perseteruan dua kubu yang sama-sama memilii kepentingan itu. Perdebatan-

perdebatan atau kritik-kritik antara Lekra dan Manikebu pun mulai marak

bermunculan di berbagai media massa, karena adanya perseteruan tersebut media

massa pun menjadi terlalu subyektif dalam memberikan berita yang hanya

mendukung salah satu pihak tertentu saja.

Di Medan, geliat persengketaan antara pihak Lekra dengan Manikebu

hampir tidak pernah nampak. Masing-masing pihak bebas berekspresi dalam paham

masing-masing. Pemutaran film Barat oleh tentara dan manikebu di Lapangan

Benteng, Medan misalnya, tidak terdapat protes keras yang dilontarkan oleh pihak

Lekra, padahal sangat jelas kegiatan yang dilangsungkan pada awal tahun 1965 itu

bertentangan dengan paham Lekra.

174
Perseteruan seperti yang terjadi pada Pram dengan Buchari terjadi juga diantara seniman-
seniman yang lain, misalnya perseteruan antara Sitor Situmorang dengan H.B. Jassin beserta Usmar Ismail,
Pram dengan Jassin, Bastari Asnin dengan Motinggo Boesye, dan masih banyak lagi lainnya. Tentang
perseteruan-perseteruan ini banyak terdapat pada buku karya Moeljanto dan Taufik Ismail yang
berjudul”Prahara Budaya”, yang mereka kumpulkan dari guntingan-guntingan berita pers pada masa itu.

101

Universitas Sumatera Utara


Sampai di awal tahun 1965 Lekra masih memegang kendali atas situasi

kebudayaan di Indonesia. Kelompok Manifesto Kebudayaan justru harus gigit jari

ketika Soekarno mengeluarkan maklumat untuk membubarkan Manikebu pada

tanggal 8 Mei 1964. Kebijakan pelarangan Manikebu ini murni atas dasar pemikiran

Soekarno, tidak ada unsur ajakan atau paksaan dari pihak Lekra untuk membujuk

Soekarno melakukan hal demikian. Pihak Lekra sendiri tidak pernah menuntut agar

Manikebu dilenyapkan atau dibubarkan dari peredaran. Lekra hanya menyarankan

kepada rakyat Indonesia untuk dapat membedakan mana karya seni yang berguna

bagi rakyat dan mana yang tidak berguna sekaligus memberitahu bahwa paham

kebudayaan Manifes Kebudayaan tidaklah revolusioner, karena itu tidak berguna

sama sekali. 175 Aksi serangan-serangan yang dilakukan Lekra terhadap Manikebu

pun hanya sebatas serangan kata-kata atau saling silang pendapat, tidak lebih.

Namun, di zaman Orde Baru tercipta sebuah tuduhan bahwasanya kader-kader

Lekra pernah membakari buku-buku karya orang Manikebu. 176

Tidak hanya berhenti di situ, kebijakan pelarangan terhadap Manikebu yang

diumumkan Soekarno pada 18 Mei 1964, dilanjutkan dengan dikeluarkannya oleh

Menteri P & K sebuah surat edaran: tgl. 23/3-1965 No.4063/S dan tgl. 25/3-1965 No.

4255/S. untuk melarang semua buku-buku karya pengarang yang telah pindah ke

Malaysia yang dianggap sebuah pengkhianatan terhadap bangsa, dan juga

pelarangan terhada buku-buku karya orang-orang Manikebu. 177

175
Keterangan dari Martin Aleida via e-mail.
176
Rhoma Dwi Aria, 2008, op.cit. hlm. 441.
177
H.B. Jassin, 1984, op.cit. hlm. 257.

102

Universitas Sumatera Utara


Setelah Manikebu resmi dilarang oleh Presiden Soekarno, status orang-orang

yang mendukung Manikebu mulai terancam keberadaannya. Sebagai pihak yang

dianggap “penjahat revolusi” beberapa tokoh pemprakarsa Manikebu harus

berhenti dari pekerjaannya. Di antara tokoh-tokoh tersebut adalah H.B. Jassin yang

harus mengundurkan diri sebagai dosen sastra di Universitas Indonesia, Wiratmoe

Soekito yang meletakkan pekerjaannya sebagai penyiar di Radio Republik Indonesia

(RRI), dan masih banyak lagi yang lainnya.

4.1. Peristiwa Gerakan 30 September 1965.

Dengan banyaknya kebijakan-kebijakan yang sangat otoriter oleh Soekarno

ditambah dengan gaya kepemimpinannya yang dinilai sangat “megalomania” pada

tahun 1960-an itu tak pelak menjadikan citra Soekarno di hadapan publik sebagai

Pemimpin Besar Revolusi (PEMBESREV) menurun drastis. Badan Pendukung

Soekarno (BPS) yang semula dibentuk sesuai dengan namanya, untuk mendukung

Soekarno kemudian malah lebih sering menentang dan mengkritisi keputusan-

keputusan dan kebijaksanaan-kebijaksanaan yang dibuat Soekarno.

Periode masa Demokrasi Terpimpin-nya Soekarno ini juga dianggap oleh

sebagian kaum intelektual sebagai masa-masa yang kelabu, dengan maraknya

kelompok-kelompok intelektual yang bersembunyi di balik kekuasaan Soekarno

sebagai pemimpin tertinggi Republik Indonesia. Perilaku para intelektual tersebut


178
kemudian diibaratkan dengan falsafah “if you can’t beat them, you join them”.

178
S. Tasrif, “Situasi Kaum Intelektuil di Indonesia”, Budaya Jaya, 1968, hlm. 201.

103

Universitas Sumatera Utara


Iwan Simatupang juga melukiskan situasi pada saat itu sebagai faktor dari kejatuhan

masa Soekarno;

“Peristiwa ini adalah ketandesan dari corak kepemimpinannya,


kenegarawannya. Yaitu oportunisme yang berlebih-lebihan, yang ekstrem.
Netralisme yang oportun, dan secara ekstrem diwujudkan.” 179

Luapan dari kejengkelan seluruh pihak yang merasa dirugikan oleh Soekarno

ini mencapai puncaknya dengan kemunculan peristiwa pada September-Oktober

1965 atau yang lebih dikenal dengan G30S, Gestapu, atau Gestok. Peristiwa ini

bukan hanya berhasil menjatuhkan Soekarno dari tahtanya tapi juga ikut

menghancurkan PKI beserta kawan-kawan dekatnya, termasuk Lekra

Peristiwa G30S ini mengejutkan seluruh elemen negeri, terutama kelompok

Kiri. Mereka yang tergabung dalam kelompok Kiri dituduh menjadi dalang

terjadinya kudeta besar-besaran ini. Terlebih kepada PKI yang dilukiskan

membunuh ketujuh Dewan Jendral RI di Lubang Buaya, Jakarta. Orang-orang PKI

kemudian diburu dan dibasmi oleh Tentara Angkatan Darat beserta kroni-kroninya

(Pemuda Pancasila, Manikebu, dll.). Karena dianggap menjadi onderbouw dari PKI,

Lekra juga ikut terkena imbasnya.

Para anggota Lekra kemudian ikut ditangkap setelah peristiwa G30S ini.

Walaupun Lekra membela mati-matian menyangkal bahwa mereka bukanlah

organisasi bentukan ataupun onderbouw PKI. Namun bantahan hanyalah tinggal

pembelaan yang sia-sia. Mereka tetap ditangkap, diperiksa, disiksa, dipenjara tanpa

179
Frans Parera, Surat-surat Politik Iwan Simatupang 1964-1966, LP3ES, 1986, hm. 151.

104

Universitas Sumatera Utara


adanya persidangan/pengadilan, dan banyak dari mereka yang dibuang ke Pulau

Buru untuk kurun waktu yang tak menentu. Harian Warta Bhakti dan Berita Yudha

adalah dua media cetak yang selalu menyebutkan keterlibatan orang-orang Lekra

atas peristiwa G30S. Misalnya, pada artikel harian Angkatan Bersenjata edisi 9

November 1965. Pada halaman dua di harian ini disebutkan, Kantor Lekra yang

berada di kawasan Tebet, Jakarta Selatan, digunakan untuk mengatur strategi G30S.

sebelumnya juga harian Berita Yudha tertanggal 22 Oktober 1965 memunculkan

tulisan yang mengatakan telah diketemukan dokumen penting di markas Lekra di

Jalan Cidurian, Jakarta Pusat, yang berkaitan dengan peristiwa G30S.

Pada tanggal 30 Desember 1965, Menteri Bidang Teknis Pendidikan, Kolonel (Inf.)

Drs. Setiadi Kartohadikusumo, atas nama Menteri Pendidikan Dasar dan Kebudayaan (PD

& K), mengeluarkan instruksi untuk melarang penggunaan 70 buku karya sastra para

sastrawan Lekra, termasuk juga para simpatisan Lekra beserta kolumnis majalah atau surat

kabar ‘kiri’.

Operasi penghancuran Lekra ini melibatkan tindak vandalisme oleh massa anti-

komunis yang digerakkan militer, termasuk aksi pembakaran buku di kantor CC PKI,

Universitas Res Publica, dll. Pada akhir Desember 1965, Departemen P & K menyatakan:

1. Mencabut larangan peredaran buku-buku karya sastrawan penandatangan Manifes

Kebudayaan

2. Melarang 70 buku bahasa dan kesusastraan karya para pengarang Lekra

3. Melarang 87 sastrawan Lekra untuk berkarya.

105

Universitas Sumatera Utara


Aktivis-aktivis Lekra pun tak berdaya menghadapi perlakuan represif yang

sedemikian rupa. Banyak dari mereka yang ditangkapi mengakhiri hidupnya

ditangan-tangan para pengeksekusi tahanan atau mati di penjara akibat sakit dan

bunuh diri. Aktivis Lekra yang luput dari tindak kekejaman peristiwa G30S adalah

orang-orang Lekra yang tergabung ke daam ansambel Gembira (Lekra Pusat) dan

ansambel Maju Tak Gentar (Lekra Medan). Mereka diselamatkan atas instruksi

langsung dari Soekarno kepada Soeharto sebagai Panglima Tertinggi AD saat itu.

Namun, di zaman Orde Baru kelompok ansambel ini diharuskan berganti nama,

ansambel Maju Tak Gentar berganti nama menjadi ansambel Bukit Barisan.

Meskipun sudah berganti nama bukan berarti keadaan mereka sudah terjamin.

Keberadaan anggota-anggota dalam ansambel itu perlahan-lahan diganti dengan

orang-orang baru yang tentunya bukan dari kalangan Kiri.

Timbulnya peristiwa G30S ini juga berdampak di Medan, dan tetap orang-

orang Lekra di Medan juga menjadi korbannya. Mereka banyak yang dijebloskan ke

TPS (Tempat Penahanan Sementara) Sukamulia dan TPS Labuhan Deli sebagai

Tahanan Politik. Di penjara itu mereka mengakhiri hidupnya, semisal Samirin,

kader Lekra Cabang Medan meninggal di TPS Labuhan Deli akibat disiksa seharian

oleh penjaga tahanan di sana. Astaman, Darsiah, Onan Gusri, Buyung, dan Zubir

AA mendekam sebagai tahanan penjara Sukamulia, bahkan Onan Gusri meninggal

di tempat itu juga. Lain halnya dengan Chalik Hamid, yang berhasil melarikan diri

ke Amsterdam, Belanda, namun tidak bisa kembali pulang ke Indonesia.

106

Universitas Sumatera Utara


Keadaan yang berubah drastis ini lantas menimbulkan banyak pertanyaan

besar yang belum terjawab pasti hingga sekarang. Bagaimana bisa sebuah revolusi

sebesar G30S muncul tanpa diketahui siapa penciptanya dan dengan mudahnya

melunakkan dominasi Presiden Soekarno yang saat itu dinilai kekuasaannya tak

tergoyahkan atau tersentuh sedikit pun. Padahal situasi politik sebelum terjadinya

kudeta besar-besaran tahun 1965 bisa dikatakan belum ada terlihat manuver-

manuver berarti yang dilakukan oleh lawan-lawan politik Soekarno dan Lekra.

Sebelum masa menjelang terjadinya peristiwa coup di tahun 1965, Lekra masih giat

melakukan kegiatan-kegiatan budaya. Pada tanggal 27 September 1965 misalnya, Lekra

bersama dengan 500 orang delegasi yang berasal dari PKI, BTI, Pemuda Rakyat, SOBSI,

dan Gerwani, mengadakan kunjungan budaya ke Cina atas undangan dari pemerintah

Republik Rakyat Tiongkok (RRT).

Beberapa bulan menjelang terjadinya Peristiwa G30S, Lekra masih menerbitkan

untuk pertama kalinya harian bernama “Kebudayaan Baru”, yang dipimpin oleh S.

Anantaguna. Harian ini dibentuk sebagai perwujudan Lekra dengan tujuan untuk lebih

membuka ruang bagi para sastrawan yang non-Lekra untuk menyalurkan aspirasi da karya-

karya sastranya. Di Medan, pada tanggal 3 September 1965, Lekra Medan bersama

dengan PPI (Persatuan Pelajar Indonesia) Cabang Medan mengisi acara “Malam

Kesenian Tavip” dengan menampilkan drama-drama dan tari-tarian seperti Butet

dan Membangun Indonesia Baru.

107

Universitas Sumatera Utara


Aksi G30S ini sangat mengejutkan bagi kalangan Lekra. Nyoto yang saat itu

baru saja dicabut jabatannya sebagai salah satu petinggi PKI bersama dengan Aidit

dan Syam karena penolakannya untuk memerahkan Lekra, mengaku tidak tau sama

sekali tentang terjadinya peristiwa G30S saat itu. Ia pun mengira kejadian itu

hanyalah aksi demonstrasi biasa yang dilakukan oleh rakyat. 180 Demikian juga

dengan Putu Oka Sukanta dalam kesaksiannya, tidak pernah terlintas di dalam

pikirannya akan terjadi pemeberontakan dan pembunuhan besar-besaran pada 30

September 1965 itu. Saat kejadian itu berlangsung ia baru saja pulang dari mengajar

lukis para muridnya dan belakangan mengetahui peristiwa tersebut dari muridnya

sendiri. Tak lama kemudian setelah mengetahui terjadinya G30S, ia malah ditangkap

oleh orang misterius dan dibawa ke dalam gedung di Jalan Budi Kemuliaan

(sekarang menjadi kantor Indosat, Jakarta Pusat) dan disiksa bersama dengan

rekan-rekannya T.Iskandar dan Martin Aleida. 181

4.2. Stigmatisasi yang Membunuh

Setelah kejadian G30S tersebut muncul kemudian sebuah penciptaan

stigmatisasi negatif terhadap orang-orang komunis yang dibuat oleh pemerintah

Orde Baru untuk mematikan secara perlahan kaum kiri di Indonesia. Imbasnya,

para seniman Lekra juga ikut terkena stigmatisasi tersebut.

180
TEMPO, Njoto: Peniup Saksofon Di Tengah Prahara, Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta,
2010, hlm. 76.
181
Film Tjidurian 19.

108

Universitas Sumatera Utara


Tokoh Lekra yang agak sedikit beruntung adalah Martin Aleida. Ia tidak

sempat sampai dimasukkan ke dalam penjara dan disiksa lantaran aparat

pengeksekusi menemukan surat ayah Martin yang memberitahukan bahwa ia akan

berangkat naik haji. Karena surat itulah aparat menduga bahwa Martin adalah

seorang Muslim dan bukan antek-antek komunis.

Meskipun Martin selamat dari siksaan fisik, namun ia tak bisa mengelak dari

siksaan sosial yang didapatinya sebagai salah satu anggota Lekra. Siksaan sosial yang

harus diterimanya berupa pemberhentian dirinya sebagai wartawan, dikarenakan

adanya Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 1381 Tahun 1965 yang

menyatakan bahwa setiap anggota Lekra tidak diizinkan untuk bekerja di media.

Hal ini tidak berlaku pada Martin seorang. Seluruh anggota Lekra

mendapatkan perlakuan yang sama seperti Martin. Sudharnoto misalnya, pencipta

lagu kebangsaan “Garuda Pancasila” yang juga anggota Lekra ini harus mengakhiri

karirnya sebagai seorang komposer negara. Pekerjaannya sebagai seniman negara

tak lagi dianggap oleh pemerintah Orde Baru. Sudharnoto kemudian berusaha

bertahan hidup dengan bekerja sebagai pengisi musik di tempat-tempat dan acara-

acara tertentu.

Begitu juga dengan Amrus Natalsya, pelukis Lekra ini memang tidak dilarang

untuk melukis, tetapi dengan adanya stigmatisasi tersebut ia mengaku kesulitan

menjual hasil karya lukisannya. Stigmatisasi tersebut menyebabkan orang tidak mau

membeli lukisan Amrus, karena dicurigai uang hasil penjualannya akan didonorkan

untuk gerakan Komunis.

109

Universitas Sumatera Utara


Karya-karya para seniman Lekra juga kerap kali dikaitkan dengan peristiwa

G30S, di mana Lekra dituduh menjadi salah satu kelompok yang melatarbelakangi

peristiwa tersebut. Lagu Lekra “Genjer-genjer” yang berasal dari Jawa Timur

dijustifikasi menjadi lagu pengiring ketika terjadi peristiwa pembunuhan para

Jendral di Lubang Buaya.

Genjer-genjer (genjer-genjer)

Esuk-esuk pating keleler (di pagi buta berhamparan)

Dijejer (dijejer-jejerkan)

Diunting digawa ning pasar (diikat-ikat dibawa ke pasar)

(Sepenggal syair lagu “Genjer-genjer”) 182

Stigmatisasi politik memang kerap kali terjadi ketika sebuah kelompok yang

sedang berkuasa berlaku sangat dominan secara politik. Stigmatisasi ini pun dibuat untuk

menyingkirkan kelompok-kelompok yang dianggap bisa membahayakan kedudukan

kelompok yang sedang berkuasa. Akibat yang paling buruk dari proses stigmatisasi ini bisa

berupa pengeksklusian hak-hak politik, sosial dan ekonomi kepada kelompok yang

menjadi korban. Padahal, hak-hak yang disebutkan di atas semestinya dilindungi oleh

negara.

Dalam kasus stigmatisasi terhadap Lekra dan anggota-anggotanya, pemerintah

Orde Baru bukan hanya memberikan citra negatif Lekra di mata rakyat Indonesia, tetapi

sekaligus juga menghilangkan hak-hak mereka minimal sebagai seorang seniman yang

harus terus berkreasi dengan bebas. Lebih kejam dari itu, seniman-seniman Lekra yang

182
Rhoma Dwi Aria, 2008, op.cit. hlm. 413.

110

Universitas Sumatera Utara


dianggap merupakan salah satu ancaman oleh Pemerintah Orde Baru, dijebloskan ke

dalam bui atau penjara untuk dibuat mati secara perlahan, baik itu mati ideologi, raga,

maupun jiwanya.

Tindakan represif rezim Orde Baru ini lantas dianggap halal untuk dilakukan

dengan alasan semata-mata untuk melindungi Pancasila dari ideologi-ideologi radikal dan

sesat yang mampu mengancam eksistensi Pancasila itu sendiri. Pancasila akhirnya

dijadikan suatu alasan untuk rezim fasis ini bisa tetap nyaman memerintah dan berkuasa di

Indonesia. Namun sesungguhnya Pancasila yang dijadikan landasan oleh Orde Baru untuk

memerintah ini diketahui kemudian adalah sebuah Pancasila yang semu, karena dalam

Pancasila yang sesungguhnya diajarkan tentang rasa kemanusiaan yang beradab serta

keadilan sosial, dan hal ini tidak pernah sedikitpun terwujud selama rezim Orde Baru

memerintah.

Setelah keluar dari penjara atau kembali kepada lingkungan masyarakat,

mereka tidak juga dapat hidup tenang seperti semula. Mereka hidup dengan

predikat “orang komunis”, yang sangat melekat dengan kebiadaban, pengkhianat

dan penjahat bangsa, pembunuh berdarah dingin, dsb. Kartu Tanda Penduduk

mereka sebagai identitas untuk dapat hidup juga diberi label “ET” yang merupakan

singkatan dari “Eks-Tapol”. Bentuk intimidasi seperti inilah yang diusahakan oleh

Soeharto dan Orde Barunya untuk melenyapkan garis komunis dari Indonesia.

Pembunuhan karakter yang dilakukan Orde Baru terhadap Lekra dan kroni-

kroninya ini dilakukan dengan berbagai cara, namun peran terpenting dalam hal ini

dipegang oleh kontribusi media. Pemerintah Orde Baru melalui kuasa Komando

111

Universitas Sumatera Utara


Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) untuk memberikan stigma atau predikat

negatif Lekra kepada rakyat, dilakukan melalui hegemoni media massa. Media

massa dalam tahapan ini telah dikontrol oleh Soeharto, dengan membatasi

kebebasannya dan mengatur tataran pemberitaan yang akan disampaikan kepada

rakyat. 183

Lekra pada akhirnya resmi dimusnahkan oleh Orde Baru berdasarkan

Keputusan Tap. MPRS No. XXV/MPRS/tahun 1966, tentang pelarangan ajaran

Komunisme, Leninisme, dan pembubaran organisasi PKI beserta organisasi

massanya, yang diumumkan langsung oleh Soeharto pada tanggal 12 Maret 1966.

Meskipun sudah ditumpas keberadaannya, namun para penganut Manifesto

Kebudayaan masih juga khawatir akan muncul kembali Lekra-lekra yang baru ke

depannya. Bur Rasuanto sendiri pernah menyatakan kegelisahan akan munculnya

organisasi seperti Lekra di kemudian hari;

“Maka secara umum, Lekraisme itu dapat kita rumuskan sbb: secara strukturil ialah
adanya orkeb/ormas kebudayaan yang berada di bawah partai politik, menurut
fungsinya ialah pelaksanaan ideologi partai, di bidang kebudayaan yang menurut
wataknya ia mempraktekkan kehidupan liberalistik sekretaristik dari politik/partai
politik dan ia lebih merusak kehidupan kultural yang sifatnya kreatif itu daripada
membangunnya. Adalah omong kosong untuk bicara tentang mengikis habis lekraisme
itu apabila pola pengkotak-kotakan di bidang kebudayaan seperti di zaman ‘rezim

183
Rosihan Anwar, Soekarno, Tentara, PKI: Segitiga Kekuasaan sebelum Prahara Politik 1961-
1965, Jakarta, 2007, hlm. 343.

112

Universitas Sumatera Utara


Nasakom’ itu masih tetap akan dipertahankan di masa kita telah memasuki trace baru
ini, karena hal ini berarti melanjutkan lekraisme itu dan inilah pula lekraisme itu”. 184

4.3. Lekra Menuju Ajalnya.

Lekra benar-benar dibuat lenyap oleh rezim Orde Baru-nya Soeharto, tak

hanya melalui tindakan-tindakan represif seperti penahanan dengan paksa,

penyiksaan dan pembunuhan. Mereka juga menciptakan undang-undang sebagai

bentuk pelarangan dan menciptakan citra negatif di kalangan rakyat.

Walaupun di tahun 1980-an anggota-anggota Lekra yang masih bertahan

hidup dibebaskan dari masing-masing penjara, Lekra tetap tak bisa dibentuk lagi.

Selain adanya peraturan yang sangat ketat dan marjinalisasi terhadap kelompok-

kelompok kiri atau revolusioner, orang-orang Lekra tersebut juga sudah banyak

berubah, baik tingkah laku, ideologi maupun cara pemikirannya. Hal ini sangat

wajar karena selama di dalam masa tahanannya mereka selalu dicekoki oleh doktrin-

doktrin yang reaksioner dan tidak berjiwa revolusioner. Cerita-cerita agamawi

adalah yang paling banyak diajarkan kepada tahanan-tahanan pada saat itu. Alhasil,

pengajaran dan doktrin-doktrin tersebut sebagian berhasil merubah sudut pandang

dan cara berpikir para seniman Lekra dan kaum-kaum kiri yang lainnya. Namun,

ada juga yang tidak terpengaruh sama sekali dan tetap mempertahankan

kekiriannya, meskipun tidak dinampakkan dengan terang benderang melalui

perbuatan-perbuatannya.

184
D.S. Moeljanto dan Taufik Ismail, op.cit. hlm. 183.

113

Universitas Sumatera Utara


Ada kesan pada kalangan seniman kiri yang baru “bebas” dari pembuangan

dan penjara-penjara itu mengalami perubahan-perubahan tertentu di bidang

ideologi dan politik yang meskipun masih tampak sangat kabur tapi dalam banyak

hal mereka sudah bukan seperti yang lama sebelum mereka dikalahkan dan dibekuk

dalam penjara-penjara dan tempat pengasingan. H.R. Bandaharo dalam kumpulan

sajaknya ”Sepuluh Sanjak Berkisah” sesudah dia dibebaskan dari pembuangan

dalam satu sajaknya terdapat kata-kata; “Semakin hidup lama semakin sedikit

teman…Rambut sama hitam, pikiran lain-lain”. Hal ini cukup menjelaskan bahwa di

dalam hubungan antara para seniman kiri terkhusus seniman-seniman Lekra sudah

banyak terjadi perubahan yang signifikan.

Astaman Hasibuan dengan sajak-sajaknya yang ditulis sewaktu masa menjelang ia

masuk TPS Sukamulia hingga pembebasannya dari sana, sedikit menggambarkan bagaimana

situasi atau keadaan yang tengah dialami oleh hampir setiap anggota Lekra di Medan dalam

pergumulan peristiwa penangkapan dan penahanan mereka. Dalam sajaknya yang berjudul

“Mahkamah”, Astaman melukiskan bagaimana kesedihan dan keputus-asaannya ketika

menyaksikan ayahnya dijatuhi hukuman mati. Astaman yang kemudian ditahan di penjara

Sukamulia juga berusaha menggambarkan bagaimana pergumulan dirinya dalam menghadapi

hari-harinya di dalam penjara Sukamulia lewat sajak-sajak yang dibuat dari tahun 1966 sampai

akhir tahun 1975.

Dalam bui, mereka (seniman-seniman Lekra) sudah tidak punya harapan lagi untuk

dapat berkarya seperti semula. Untuk sekedar bertahan hidup saja mereka harus berjuang keras

114

Universitas Sumatera Utara


memohon untuk mendapatkan sepah-sepah sisa makanan. Seperti tertulis dalam sajak

Astaman, “Likuidator Memilih Menjadi Apa” bahwasanya keadilan yang diharap-harapkan

oleh mereka para tahanan pada waktu itu hanyalah ‘lamunan kosong’ belaka, karena keadilan

saat itu hanya milik sang pemenang pertarungan yaitu Orde Baru dan kroni-kroninya.

Mahkamah 185

Dari gedung Wisma Prajurit, arah utara lapangan Merdeka


Terdengar, pengeras suara, mengumumkan.
Bahwa, persidangan Mahkamah akan dimulai.
Semua yang hadir serentak berdiri, dan duduk kembali.
Hakim pun mengetuk palu, pertanda gelar sidang Mahkamah dibuka

Hari itu seorang sipil diadili, Mahkamah Militer Luar Biasa.


Mahkamah bagi pelanggar Undang-undang Darurat Perang.
Laki-laki itu mencoba menyeberang mendekat jalan ke arah Wisma,
letak persidangan Mahkamah.
Terhalang, puluhan pengawal bersenjata, berlaras panjang dengan sangkur terhunus.

Akhirnya dia memilih duduk dibawah rindang pohon Sena.


Membelakang.
Menyandar.
Mendengarkan gelar sidang.
Dan menyimak.

Ketika Hakim memerintahkan menghadirkan saksi.


Seseorang dipanggil dengan namanya.
Dan nama saksi itu, nama ayahnya.
Yang bertanggung jawab menghadirkan saksi, melaporkan
Saksi melarikan diri.

Laki-laki itu geleng kepala. Pembohong, kekuasaan memang duplikat kebohongan.


Dan untuk itu, yang berpangkat paling rendah pun, dipaksa berbohong.
Tiga orang kawannya pernah jumpa dengan ayahnya di Markas itu, di Markas tentara
Komando Daerah. Lumpuh, disiksa.
Tak mungkin mampu melarikan diri.
Apalagi cerita mereka, ketiga kawannya itu. Ayahnya dikurung dilantai atas, Markas tentara,
yang dijaga serdadunya. Bersenjata bedil. Dan dibulan kedua, diawal tahun itu.
Tak seorangpun lagi, yang pernah jumpa dengan ayahnya.

Dari Wisma Prajurit terdengar pembacaan putusan Hakim.

185
Kumpulan puisi/sajak oleh Astaman Hasibuan; Dia Tak Pernah Kehilangan Cintanya, Cinta Itu
Tetap Menjadi Miliknya.

115

Universitas Sumatera Utara


Hakim Mahkamah, mengetuk palu. Mati.
Ayahnya dieksekusi mati, tanpa ketukan palu.
Tanpa putusan Mahkamah.

(Astaman Hasibuan, tengah 1966, Medan.)

Dia Tak Pernah Kehilangan Cintanya 186

Empat bulan berikutnya, diapun akhirnya menyusul perempuan, kekasihnya itu.


Sesudah dua setengah tahun menjadi orang buruan.
Digenapkan sebagai penghuni kurungan.
Kurungan bagi orang-orang komunis.
Dan orang-orang yang dikomuniskan.

Empat tahun. Keduanya di gedung yang sama, dihunian yang sama.


Sesekali bersapaan tanpa melihat muka.
Hatinya cemburu, ribuan kali cemburu.
Kekasihnya pun, dibebaskan, lepas.
Tak memberitahu.
Bulan berikutnya, laki-laki itu menerima berita.
Perempuan kekasihnya, menikah dengan laki-laki yang juga dibebaskan, dihari, bulan, dan
tahun sebelumnya.

Hatinya perih.
Kekasihnya. Yang dicintainya. Dan yang pernah mengikrarkan sangat mencintainya. Sudah
kehilangan semua harapannya. Harapan, sampai kapan harus menunggu.
Itulah penyebabnya.
Pematah harapannya.

Meski begitu, laki-laki itu tak kehilangan apa-apa.


Tak pernah kehilangan cintanya.

(Astaman Hasibuan, Jalan Gandhi, Juli1972).

Likuidator Memilih Menjadi Apa? 187

Meski tatapan tak mampu menembus kabut hitam,


kabut pengkhianatan. Meski digelap sel.
Keyakinan memastikan kemana arah. Juga kemana menentukan jalan.
Keyakinan akan membedakan, siapa dia. Juga siapa mereka.

Sekarang. Dia, mereka, mencoba membentuk halimun.


Bayang-bayang jalan, yang membelah retak. Menjadi kepingan.
Dengan pongah penuh ketololan. Yang pikun berlagak bijak.

186
Ibid, hlm. 5.
187
Astaman Hasibuan, Loc.cit.

116

Universitas Sumatera Utara


Apa yang mereka sebut? Apa yang mereka tahu tentang revolusi?
Adalah komat kamit membaca mantera.
Mengkaji tahyul-tahyul tentang satria piningit,
atau datangnya sang ratu adil.
Dan membilang jimat-jimat, seperti menghitung biji tasbih.

Mencemooh kesana kemari. Seperti, tak ada kerja batu digalas.


Memberi petitih, membangun negeri bersama.
Lamunan kosong, ditenggerkan digenggaman tangan lawan.
Revolusi bukan sedekah.
Revolusi bukan didapat dari menengadah tangan.
Mohon secuil sisa-sisa sepah. Jangan harap.
Itu takkan pernah ada.

Sebab, kekuasaan, tak pernah mau melirik sedikitpun.


Kecuali, kepada anjingnya.

Para likuidator memilih menjadi apa?

(Astaman Hasibuan, Sukamulia, Februari 1973)

Kenyataan, cukup banyak dari barisan seniman kiri itu sesudah pembebasan

mereka yang bekerja pada bekas musuh mereka sesama seniman di masa lalu atau

pun berjuang sendiri-sendiri untuk sekedar menyambung hidup. Perjuangan untuk

hidup dan mempertahankan kehidupan sering kali harus memaksa untuk melakukan

hal-hal yang sebenarnya tidak diinginkankan. Tapi sekali lagi mereka harus

melakukan itu untuk bertahan hidup, karena tidak mungkin mereka bisa mengulang

kembali kisah kesuksesan mereka di masa-masa kejayaan bersama Lekra. Lekra

dengan gaung dan suara “Kebudayaan Rakyat” nya hanyalah tinggal sejarah yang

patut dikenang dan dihargai secara pantas oleh seniman-seniman generasi muda saat

ini.

117

Universitas Sumatera Utara


BAB V
KESIMPULAN

Kebudayaan mempunyai peran yang sangat vital dalam membentuk karakter suatu

bangsa. Indonesia pasca kemerdekaan berusaha untuk membentuk sebuah identitas

kebudayaan. Setelah melalui fase perebutan identitas antara kebudayaan Barat dengan

kebudayaan Timur, akhirnya pada tanggal 17 Agustus 1950 berdirilah suatu organisasi

kebudayaan yang bertujuan untuk membangun sebuah identitas kebudayaan yang akan

dipakai Indonesia, ia lahir dengan nama Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra).

Lekra dengan prinsipnya “kebudayaan dari, oleh dan untuk Rakyat” lebih

cenderung menerapkan kebudayaan Timur sebagai kiblat dari setiap kegiatan-kegiatannya

dan menolak masuknya bentuk kebudayaan Barat ke Indonesia yang dinilai merupakan

salah satu strategi dari neo-kolonialisme dan imperialisme untuk menjajah kembali

Indonesia. Maka dari itu, Lekra menuntut agar kebudayaan dan seni di Indonesia haruslah

bersifat revolusioner.

Lekra sendiri mengalami fase-fase yang tidak mudah dalam membangun identitas

kebudayaan Indonesia tersebut. Meski sudah berdiri sejak tahun 1950, Lekra masih harus

berjuang selama sembilan tahun untuk dapat menyelenggarakan Kongres Nasional-nya.

Sejak diselenggarakannya Kongres Nasional, organisasi Lekra sudah mulai nampak rapi

dan profesional dengan dibentuknya struktur-struktur pengurus tetap, baik di pusat,

provinsi, cabang kota, maupun ranting, hadirnya lembaga-lembaga kreatif yang bersifat

otonom, dan disusunnya agenda-agenda kegiatan kebudayaan dan seni Lekra. Tak hanya

itu, Lekra pasca Kongres Nasional di tahun 1959 tersebut sudah mempunyai strategi yang

akan dipakai dalam melaksanakan kegiatan-kegiatan kebudayaannya. Strategi itu bernama


118

Universitas Sumatera Utara


metode 1-5-1 yang di dalamnya terdapat kaidah-kaidah ‘Politik adalah Panglima’ sebagai

filosofi dasar dan didukung dengan kombinasi dari ‘Meluas dan Meninggi’, ‘Tinggi Mutu

Ideologi dan Artistik’, ‘Tradisi Baik dan Kekinian Revolusioner’, ‘Kreativitas Individual

dan Kearifan Massa’, ‘Realisme Sosialis dan Romantik Revolusioner’, serta didukung juga

dengan metode kerja ‘Turun ke Bawah’ sebagai praktek kerja kebudayaan tersebut

nantinya.

Periode tahun 1959-1964 adalah periode di mana Lekra tumbuh subur dan

mendapat aspirasi dari rakyat saat itu. Berbagai kegiatan kebudayaan Lekra baik itu seni

sastra, rupa, drama, musik, tari, film, dll. selalu mendapat tempat di kalangan masyarakat,

terutama masyarakat kelas menengah ke bawah yang menjadi mayoritas pada saat itu. Pada

kurun waktu ini Lekra kemudian juga mulai berani beranjak masuk ke dalam dunia

perpolitikan bangsa. Bersama dengan PKI dan kawan-kawan se-ideologinya, Lekra mulai

menunjukkan perannya sebagai tempat berkumpulnya seniman yang merasa peduli

terhadap kepentingan politik bangsa. Hal ini sesuai dengan azas Lekra yang mengharuskan

seniman untuk berpolitik atau minimal mengerti akan politik, sebab “Politik adalah

Panglima”. Kebijakan-kebijakan pemerintah di masa itu banyak didukung oleh Lekra, di

antaranya Manifesto Politik, persengketaan dengan Malaysia, Undang-undang Pokok

Agraria (UUPA) tahun 1960 dan masih banyak lagi yang lainnya. Kontribusi Lekra

terhadap perpolitikan di Indonesia ditambah kedekatannya dengan PKI dan Soekarno

membuat Lekra mendominasi ranah kebudayaan bangsa Indonesia pada kurun waktu 1959-

1964 itu.

119

Universitas Sumatera Utara


Lekra juga memiliki tempatnya pada kehidupan kebudayaan di kota Medan.

Dengan dibentuknya Lekra Cabang Medan pada akhir tahun 1955, mengisyaratkan

eksistensi Lekra bukan hanya di Pulau Jawa tetapi juga di Sumatera. Karena selama itu

Pulau Jawa, dengan kota Jakarta-nya dinilai sebagai kiblat kebudayaan Indonesia, hal ini

tentunya membuat daerah-daerah atau pulau-pulau lainnya di Indonesia tidak memiliki

peran apapun dalam membentuk identitias kebudayaan Indonesia.

Eksistensi Lekra di Medan dengan jelas menunjukkan bahwa kebudayaan

Indonesia bukan hanya milik Jakarta. Tapi memang pada akhirnya situasi ini malah

menghasilkan persaingan kebudayaan di Medan yang lebih banyak mencuat antara

regionalisme yang bersifat kosmopolitan dengan kebudayaan di Jakarta sebagai pusat

kebudayaan nasional, daripada konflik-konflik antara eksistensi Lekra versus kelompok-

kelompok kebudayaan yang non kiri. Persaingan budaya-budaya lokal yang bergelut di

dalam kesadaran baru identitas nasional lebih sering terjadi antara seniman-seniman di

Medan dengan seniman-seniman di Jakarta.

Kebudayaan di Medan semenjak hadirnya Lekra dinilai banyak terjadi perubahan

yang positif. Kebudayaan dari berbagai suku yang beragam di Medan tidak menjadi

halangan bagi Lekra untuk bisa memainkan peranannya dalam mengisi kebudayaan di

daerah ini. Ragam suku yang ada di Medan malah dijadikan sebuah kekuatan oleh Lekra

dalam melakukan aktivitas-aktivitasnya. Seni dan budaya yang ditonjolkan Lekra di

Medan lebih kepada seni sastra, drama/teater, musik, dan film.

Lekra dengan keberhasilan perkembangannya di Medan membuat daerah ini

memiliki kontribusi yang sangat besar dalam mensukseskan setiap kegiatan-kagiatan

120

Universitas Sumatera Utara


kebudayaan nasional dan internasional. Tempat lahirnya sastrawan-sastrawan besar dan

mendunia, film-film berkualitas, kelompok-kelompok ansambel yang menawan, semuanya

itu menjadi indikator dari kesuksesan-kesuksesan perkembangan budaya di Medan, di

mana Lekra memiliki peranan penting di dalamnya.

Dalam masa-masa kejayaanya pada awal tahun 1960-an, Lekra kedatangan tamu

yang tak diundang dan kemudian ternyata cukup merepotkan dan mengganggu keberadaan

Lekra sebagai pemegang peranan utama di bidang kebudayaan Indonesia. Tamu tak

diundang tersebut bernama Manifesto Kebudayaan atau yang lebih sering disingkat

“Manikebu”. Munculnya Manikebu, sebagai bentuk ketidaksepahaman berbagai kelompok

dengan ideologi cita-cita dan cara-cara kerja Lekra di bidang kebudayaan ini, menambah

suasana kebudayaan dan politik bangsa menjadi semakin rumit. Rasa kecurigaan mulai

muncul dari pihak Soekarno dan Lekra terhadap Manikebu. Pendirian Manikebu pada

Agustus 1963 ini dianggap Soekarno berusaha menandingi Manifesto Politik (Manipol)

yang ia buat sebelumnya. Lekra juga demikian, sikap Manikebu yang menerapkan paham

“Humanisme Universal” dianggap Lekra sangat kebarat-baratan dan akan melemahkan

jiwa serta semangat revolusi yang sedang dibangun oleh bangsa Indonesia.

Akan tetapi setelah munculnya peristiwa tragedi G30S 1965, Lekra menjadi

terkubur hidup-hidup dan tidak dapat lagi meneruskan eksistensinya. Meskipun begitu

dalam kurun 15 tahun (1950-1965) dapat menanamkan pengaruh yang begitu besar dalam

dunia kebudayaan Indonesia adalah sebuah pencapaian besar yang patut diberi apresiasi.

Lekra telah berusaha sangat keras untuk menghalang segala bentuk kebudayaan yang

berbau kolonialisme dan imperialisme ke Indonesia. Perjuangan Lekra ini tentu harus kita

pelajari jika ingin kebudayaaan lokal kita tetap bertahan dan bertambah meluas.

121

Universitas Sumatera Utara


Tema-tema seperti kebebasan kreatif, integritas individu pencipta budaya, peran

kebudayaan dalam menuntaskan revolusi, hubungan penciptaan karya dan perannya dalam

masyarakat,semangat internasionalisme dan pembangunan budaya yang nasional dan

kerakyatan, kepribadian kebudayaan Indonesia di tengah bangsa-bangsa di dunia, sikap

terhadap tradisi dan modernitas sampai tuntutan seni dan para pekerjanya untuk

menetapkan komitmen pada rakyat, adalah hal yang dapat dipelajari dari Lekra. Mungkin

saat ini bangsa Indonesia perlu memiliki sebuah organisasi kebudayaan seperti Lekra, agar

kebudayaan bangsa kita tidak tenggelam dibawa arus kebudayaan Barat atau asing dengan

membawakan nama Globalisasi yang mulai tak terbendung.

Walaupun telah dimakan zaman dan dikubur, Lekra tetaplah layak menjadi sebuah

kebanggaan bagi rakyat Indonesia, terkhusus para seniman dan budayawan di Indonesia.

Karena hingga kini belum ada organisasi kebudayaan manapun di Indonesia yang bisa

mencapai prestasi yang setara dengan prestasi yang dimiliki Lekra selama berkiprah untuk

mengisi ruang kebudayaan nasional Indonesia.

122

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR PUSTAKA

Abdurahman, Dudung. 1999. Metode Penelitian Sejarah. Jakarta: Logus Wacana Ilmu.

Ahmad, Danil (dkk). 1988/1989. “Proses Perkembangan Upacara Adat Mengantar


Haluan Dalam Masyarakat Melayu di Sumatera Utara”. Medan: Laporan
Penelitian USU.
Ajoeb, Joebaar. 2004. Sebuah Mocopat Kebudayaan Indonesia. Jakarta: Teplok Press.

____________. 1959a. “Laporan Umum PP Lekra kepada Kongres Nasional I Lekra,


dalam Dokumen Kongres Nasional I Lekra”. Jakarta: Bagian Penerbitan Lekra.
____________. 1959b. “Perkembangan Kebudayaan Indonesia Sejak Agustus 1945 dan
Tempat Serta Peranan Lekra di Dalamnya, Dokumen Kongres Nasional I Lekra”.
Jakarta: Bagian Penerbitan Lekra,
Amir Hamzah, Junus (ed). 1973. Tenggelamnya Kapal van der Wijk dalam Polemik.
Jakarta: Megabookstore.
Ananta Toer, Pramoedya. 2003. Realisme Sosialis dan Sastra Indonesia. Jakarta: Lentera
Dipantara.
Bintang Merah. Tahun ke-IX, Februari-Maret 1954. “Kongres Nasional ke-V Partai
Komunis Indonesia”. Jakarta: Pembaruan.
Bodden, Michael. 2012. Teater Nasional Modern Lekra 1959-1965; Dinamika dan
Ketegangan, Jakarta: KITLV-Jakarta.
Budiawan. 2012. Ketegangan dan negosiasi dua saudara ‘sekandung’; Orientasi dan
jaringan para pengarang-aktivis Melayu di Malaya pada Indonesia. Jakarta:
KITLV-Jakarta.
Buku Tahunan Kota Besar Medan Tahun 1954. 1955. Medan: Djawatan Penerangan Kota
Besar.
Djoko Pradopo, Rachmat. 1967. Beberapa Gagasan dalam Bidang Kritik Sastra Indonesia
Modern. Klaten: Dwi Dharma.
_____________________. 2002. Kritik Sastra Indonesia Modern. Yogyakarta: Gama

Media.

Dolk, Lisbeth. 2012. A Entangled Affair; STICUSA and Indonesia 1948-1956. Leiden:
KITLV Press.

123

Universitas Sumatera Utara


Dwi Aria, Rhoma dan Muhidin M Dahlan. 2008. Lekra Tak Membakar Buku. Yogyakarta:
Merakesumba.
Dwi, Aria Rhoma. 2012. Lekra and ensembles; Tracing the Indonesian musical stage.
Leiden: KITLV Press.
Farram, Steven. 2007. Wage war against Beatle music! Censorship and music in
Soekarno’s Indonesia. Review of Indonesian and Malaysian Affairs.
Foulcher, Keith. 1986. Social Commitment in Literature and the Arts: the Indonesian
“Institute of People’s Culture”. Victoria: Monash University Press.
_____________. 1991. Pujangga Baru: Kesusasteraan dan Nasionalisme di Indonesia
1933-1942, Jakarta: Girimukti Pasaka.
_____________. 1994. Angkatan 45; Sastra, Politik Kebudayaan dan Revolusi Indonesia.
Jakarta: Jaringan Kerja Budaya.
Gottschalk, Louis. 1985. Understanding History, Mengerti Sejarah. (Terj.) Nugroho
Notosusanto. Jakarta: UI Press.
Hamid, Chalik. 2007. Prof. Michael Bodden Meneliti Drama-Drama Lekra. Amsterdan.

Hardjana, Andre. 1997 “Metode Realisme Sosialis dalam Sastra Indonesia” dalam
Kewaspadaan Nasional dan Bahaya Laten Komunis. Jakarta: Penerbit Intermasa.
Heryanto, Arief. 1985. Perdebatan Sastra Kontekstual. Jakarta: CV. Rajawali.

Jassin, H.B. 1967. Kesusastraan Indonesia modern dalam kritik dan esei II. Jakarta:
Gunung Agung.
_________. 1984. Surat-surat 1943-1983. Jakarta: Gramedia.

Karim Mashad, Abdul (ed). 2006. Sang Pujangga; 70 Tahun Polemik Kebudayaan
Menyongsong Satu Abad S. Takdir Alisjahbana. Pustaka Pelajar.
Kartodirjo, Sartono. Pemikiran dan Perkembangan Historiografi Indonesia. Jakarta:
Gramedia.
Kuntowijoyo. 1995. Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta: Bentang Budaya.

Kurniawan, Eka. 2002. Pramoedya Ananta Toer dan Sastra Realisme Sosialis.
Yogyakarta: Jendela.
Lindsay, Jennifer. 2012. Ahli Waris Budaya Dunia 1950-1965; Sebuah Pengantar. Jakarta:
KITLV-Jakarta.

124

Universitas Sumatera Utara


Maklai, Brital. 1998. Menguak Luka Masyarakat: Beberapa Aspek Seni Rupa Indonesia
sejak 1966. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.Mc Lelland, David. 2005. Ideologi
tanpa akhir. Yogyakarta: Kreasi Wacana.
Milne, R.S. and Diane K. Mauzy. 1986. Malaysia; Tradition, Modernity, and Islam.
London: Westview Press.
Moelyanto, D.S. dan Taufik Ismail. 1995. Prahara Budaya: Kilas-balik ofensif Lekra/PKI
dkk. Bandung: Mizan.
Nasution, M. 1955. ‘Apa yang dibatja Medan’. Medan: Buku Kita.

Norma, Ahmad. 1998. Seni, Politik dan Pemberontakan. Yogyakarta: Bentang Budaya.

Nyoto. 1959. Revolusi adalah Api Kembang. Jakarta.

_____. 1962. Marxisme Ilmu dan Amalnya (paparan populer). Jakarta.

Plomp, Marije. 2012. The Capital of Pulp Fiction and Other Capital Cultural Life in
Medan, 1950-1958. Leiden: KITLV Press.
Rangkuti, M.I. 1981. Dinamika Seni dan Budaya Sumatera Utara. Medan.

Rosidi, Ajip, 1997. Asrul Sani 70 tahun. Jakarta: Pustaka Jaya.

Setiawan, Hersri. 2003. Aku eks Tapol. Yogyakarta: Galang Offset.

Sen, Krishna. 1994. Indonesian Cinema: Framing the New Order. London: Zed Books.

Siregar, Barus. 1953. Penerbit-penerbit Medan.

Sjamsuddin, Helius. 2007. Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Ombak.

Soedarsono. 2003. Seni Pertunjukan dari Perspektif Politik, Sosial, dan Ekonomi.
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Soemargono, Farida. 2004. Sastrawan Malioboro 1945-1960; dunia Jawa dalam
kesusastraan Indonesia. Mataram: Lengge.
Sulang, Kusni. 1964. Ansambel Bhinneka tegak dengan Garis-Politik yang tepat. Harian
Rakyat.
TEMPO. 2010. Njoto: Peniup Saksofon di tengah prahara. Jakarta: Kepustakaan Populer
Gramedia,.

125

Universitas Sumatera Utara


TWH, Muhammad. 1992. Sejarah Teater dan Film di Sumatera Utara. Medan: Yayasan
Pelestarian Perjuangan Kemerdekaan RI.
Van Heeren, Katinka. 2012. Contemporary Indonesian Film. Leiden: KITLV Press.

ARTIKEL/JURNAL:

Antariksa, Tuan Tanah Kawin Muda, Yogyakarta, 2005.

Hasibuan, Astaman. “Langit Pertama, Langit Kedua”. Februari 2013.

Hasibuan, Astaman. Kumpulan puisi/sajak; Dia Tak Pernah Kehilangan Cintanya,Cinta Itu
Tetap Menjadi Miliknya.

Sani, Asrul. “Fragmen Keadaan I”, Siasat, Minggu 22 Oktober 1950.

Sani, Asrul, “Fragmen Keadaan II”, Siasat, Minggu 29 Oktober 1950.

Suprayitno. Edisi No.21/Tahun X/Agustus 2005. “Medan Sebagai Kota Pembauran Sosio
Kultur di Sumatera Utara Pada Masa Kolonial Belanda”. Medan: Historime.

WEBSITE:

http://id.wikipedia.org/wiki/Amir Pasaribu

http://id.wikipedia.org/wiki/Asrul Sani

http://id.wikipedia.org/wiki/Chairil Anwar

http://id.wikipedia.org/wiki/Sitor Situmorang

Youtube: Hersri Setiawan Lekra sebagai Gerakan Kebudayaan Rakyat (part.I).

_______: Hersri Setiawan Lekra sebagai Gerakan Kebudayaan Rakyat (part.II).

_______: Mia Bustam dan Lekra.

126

Universitas Sumatera Utara


KORAN DAN MAJALAH:

Antara, 13 Agustus 1950.

Harian Harapan, 3 Februari 1964.

Harian Rakyat. 7 Februari 1959.

____________. “Merah Kesumba”, 25 April 1961.

____________. 12 Maret 1962.

____________. 11 April 1964.

____________. 11 Oktober 1964.

FILM:

Film dokumenter Tjidurian 19: Rumah Budaya Yang Dirampas. Institut Sejarah Sosial
Indonesia dan Lembaga Kreativitas Kemanusiaan, 2009.

127

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR WAWANCARA

1. Apa yang menjadi alasan direvisinya Mukadimah Lekra pada tahun 1950?

2. Mengapa “politik adalah panglima” menjadi asas dari kerja kegiatan Lekra?

3. Kenapa “kearifan massa” sangat penting bagi penciptaan karya-karya seni di

Lekra?

4. Untuk apa Lekra memasukkan unsur Realisme Sosialis ke dalam karya-karya

seninya?

5. Bagaimana paham Realisme Sosialis bekerja dalam menghasilkan karya-karya seni

Lekra?

6. Bagaimana sebetulnya penerapan metode Turun ke Bawah yang baik dan benar?

7. Apa sebabnya metode Turun ke Bawah memiliki multi tafsir?

8. Apakah Lekra onderbouw PKI atau bukan?

9. Bagaimana kondisi kehidupan budaya di Medan sebelum hadirnya Lekra di

Medan?

10. Bagaimana proses pembentukan Lekra Cabang Medan?

11. Siapa saja yang melatarbelakangi proses pembentukan Lekra Cabang Medan?

12. Siapa saja yang menjadi anggota dan simpatisan Lekra Cabang Medan semenjak

berdiri hingga dibubarkan?

13. Bagaimana keadaan atau kondisi cabang-cabang Lekra yang ada di Sumatera

Utara?

14. Apa saja kegiatan-kegiatan budaya yang menjadi fokus atau prioritas Lekra Cabang

Medan?

15. Bagaimana kronologis pergantian masa keperiodean pada Lekra Cabang Medan?

Universitas Sumatera Utara


16. Bagaimana kronologi cerita dari film Turang?

17. Apa sebabnya film Turang karya Bachtiar Siagian dihilangkan dari peredaran pada

masa Orde Baru?

18. Apa saja syarat untuk bisa mendaftar menjadi anggota ansambel Maju Tak Gentar

pada saat itu?

19. Kenapa ansambel Gembira dan Maju Tak Gentar tidak dibubarkan pada rezim Orde

Baru?

20. Mengapa Konferensi Nasional (Konfernas) I Lestra diselenggarakan di Medan?

21. Bagaimana peran serta Lekra dalam Konferensi Seni dan Sastra Revolusioner

(KSSR)?

22. Bagaimana situasi di Medan setelah munculnya Manifesto Kebudayaan

(Manikebu)?

23. Bagaimana Lekra Cabang Medan menyikapi pembentukan Manikebu di Jakarta?

24. Apa saja perseteruan-perseteruan yang muncul antara Lekra dengan Manikebu,

terkhusus di Medan.

25. Mengapa paham Humanisme Universal sangat berlawanan dengan Lekra?

26. Bagaimana pergerakan aktivis Lekra, terkhusus Lekra di Medan menjelang

meletusnya Peristiwa Gerakan 30 September 1965?

27. Bagaimana pergerakan aktivis Lekra, terkhusus Lekra di Medan setelah meletusnya

Peristiwa Gerakan 30 September 1965?

28. Mengapa proses stigmatisasi yang diciptakan oleh Orde Baru terkesan begitu

mematikan bagi para aktivis Lekra?

29. Mungkinkah akan ada muncul organisasi kebudayaan seperti Lekra di masa depan?

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR INFORMAN

1. Nama : Sekar Agung


Usia : 76
Pekerjaan : Pelukis bebas
Alamat : Jl. Polonia, Medan

2. Nama : Darsiah
Usia : 75
Pekerjaan : tidak ada
Alamat : Deli Tua

3. Nama : Astaman Hasibuan


Usia : 73
Pekerjaan : Sekretaris IKOHI (Ikatan Orang Hilang)
Alamat : Jl. Namorambe, Medan

4. Nama : Sjahrial Sandan


Usia : 73
Pekerjaan : -
Alamat : Jl. Agenda, Medan

5. Nama : Toga Tambunan


Usia : 73
Pekerjaan : -
Alamat : Medan dan Jakarta Timur

6. Nama : Amrus Natalsya


Usia : 76
Pekerjaan : Sanggar Bumi Tarung (SBT)
Alamat : Jakarta Selatan

7. Nama : Abdul Kohar Ibrahim (alm.)*


Usia : 74
Pekerjaan : tidak ada
Alamat : Jakarta Barat

8. Nama : Martin Aleida


Usia : 72
Pekerjaan : Penulis lepas
Alamat : Jakarta Selatan

NB: *Beliau wafat pada tanggal 10 Juni 2013.

Universitas Sumatera Utara


LAMPIRAN 1

MUKADIMAH LEKRA 1950

Adalah suatu kepastian, bahwa dengan gagalnya Revolusi Agustus 1945, Rakyat
Indonesia sekali lagi terancam suatu bahaya, yang bukan saja akan memperbudak kembali
Rakyat Indonesia di lapangan politik, ekonomi dan militer, tetapi juga di lapangan
kebudayaan.
Gagalnya revolusi agustus 1945 berarti juga gagalnya perjuangan pekerja
kebudayaan untuk menghancurkan kebudayaan kolonial dan menggantinya dengan
kebudayaan yang demokratis, dengan kebudayaan Rakyat.
Gagalnya revolusi agustus 1945 berarti memberi kesempatan kepada kebudayaan-
feodal dan imperialis untuk melanjutkan usahanya, meracuni dan merusak-binasakan budi-
pekerti dan jiwa Rakyat Indonesia. Pengalaman menunjukkan, bahwa kebudayaan-feodal
dan imperialis telah membikin Rakyat Indonesia bodoh, menanamkan jiwa pengecut dan
penakut, menyebarkan watak lemah dan rasa hina-rendah tiada kemampuan untuk berbuat
dan bertindak.
Pendeknya: kebudayaan-feodal dan imperialis membikin rusak binasa batin Rakyat
Indonesia, membikin Rakyat Indonesia berjiwa dan bersemagat budak.
Masyarakat setengah-jajahan sebagaimana kita alami sekarang ini, masyarakat yang
dilahirkan oleh sesuatu politik kompromi dengan imperialisme sudah dengan sendirinya
tidak bisa lain dari dengan membuka pintu bagi kelangsungan kebudayaan-kolonial,
sebagai persenyawaan antara kebudayaan-feodal dan kebudayaan imperialis.
Masyarakat setengah jajahan memerlukan kebudayaan kolonial sebgai salah satu
senjata klas beruasa untuk menindas klas yang diperintah; kebudayaan kolonial adalah
senjata dari kelas “elit” yang telah merasakan kenikmatan dan kemewahan yang dihasilkan
oleh keringat dan darah Rakyat banyak.
Maka dengan demikian proses perkembangan kebudayaan Rakyat yaitu
kebudayaan dari Rakyat banyak yang merupakan lebih dari 90% dari jumlah seluruh
nasion (nation) Indonesia, akan tertindas dan tertekan kemajuannya. Tetapi sebaliknya
kebudayaan anti-Rakyat kebudayaan-feodal dan imperialis akan kembali merajalela lagi.
Kedudukan setengah jajahan dari tanah-air Indonesia berarti pula bahwa Indonesia
terseret ke dalam arus peperangan yang sedang disiapkan oleh negeri-negeri imperialis.
Peperangan imperialis adalah rintangan yang sebesar-besarnya bagi perkembangan
Kebudayaan Rakyat.
Maka kami yang bersedia menjadi pekerja Kebudayaan Rakyat, mempunyai
kewajiban mutlak menghalau kebudayaan-kolonial dan mempertahankan Kebudayaan
Rakyat.

Universitas Sumatera Utara


Untuk ini kami yang bersedia menjadi pekerja Kebudayaan Rakyat mempersatukan
diri dn menyusun kekuatan untuk bertahan serta mengadakan perlawanan terhadap setiap
usaha yang hendak mengembalikan kebudayaan-kolonial, kebudayaan kuno, yang
reaksioner itu.
Kami pekerja kebudayaan-Rakyat akan mempertahankan dan memperkuat benteng
Kebudayaan-Rakyat (Kultur Rakyat). Untuk maksud-tujuan ini, maka kami menyusun diri
dalam lembaga KEBUDAYAAN RAKYAT berdasarkan konsepsi Kebudayaan Rakyat.
KONSEPSI KEBUDAYAAN RAKYAT
I
Kesenian, ilmu dan industri adalah dasar-dasar dari kebudayaan. Apabila kita
sungguh-sungguh mau menjadikan kebudayaan kita indah, gembira dan bahagia, maka kita
harus menguasai dan mencurahkan perhatian kita terhadap kesenian, ilmu dan industri.
Kesenian, ilmu dan industri baru bisa menjadikan kehidupan Rakyat indah,
gembira dan bahagia, apabila semuanya ini sudah menjadi kepunyaan Rakyat. Kenyataan
sekarang menunjukkan, bahwa ini belum menjadi kepunyaan Rakyat, tetapi masih menjadi
kepunyaan lapisan atas, klas “elit” yang jumlahnya sangat sedikit dari pada jumlah nasion.
Maka adalah tugas daripada Rakyat Indonesia untuk membuka segala kemungkina
supaya bisa mengecap kesenian, ilmu dan industri. Maka adalah kewajiban Rakyat
Indonesia untuk memperjuangkan agar kesenian, ilmu dan industri tidak dimonopoli oleh
segolongan kecil lapisan atas dan dipergunakan untuk kepentingan dan kenikmatan
golongan kecil itu. Rakyat Indonesia harus berjuang untuk menguasai dan memiliki
kesenian, ilmu dan industri..
II
Tujuan Rakyat Indonesia adalah mendirikan Republik Demokrasi Rakyat, di mana
terdapat kebebasan bagi perkembangan ekonomi Rakyat, di mana terdapat kebebasan bagi
perkembangan ilmu dan kesenian Rakyat. Pendeknya di mana terdapat perkembangan
Kebudayaan Rakyat yang bersifat nasional dan berdasarkan ilmu, di mana terdapat
kebebasan perkembangan pribadi (individualiti) berjuta-juta rakyat. Dengan singkat; tujuan
Rakyat Indonesia ialah Revolusi Demokrasi Rakyat. Rakyat adalah satu-satunya sumber
kekuasaan dalam Republik Rakyat. Sonder melalui revolusi ini, maka untuk menguasai
kesenian, ilmu dan industri, adalah impian belaka. Selanjutnya seluruh Rakyat Indonesia
harus menentang tiap-tiap usaha perang yang disiapkan oleh negara-negara imperialis.
III
Perjuangan Kebudayaan Rakyat adalah bagian yang tidak dapat dipisahkan dari
Perjuangan Rakyat umum. Ia merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan terutama dari
perjuangan klas Buruh dan tani, yaitu klas yang menjadi pemimpin dan tenaga terpenting
dan pokok dalam perjuangan Rakyat.

Universitas Sumatera Utara


Fungsi daripada kebudayaan Rakyat (kultur Rakyat) sekarang ialah: menjadi
senjata perjuangan untuk menghancurkan imperialisme dan feodalisme. Ia harus menjadi
stimulator (pendorong) dari Massa, menjadi sumber yang senantiasa mengalirkan
begeestering (kesegaran jiwa) dan api revolusi yang tak kunjung padam. Ia harus
menyanyikan, memuja, mencatat perjuangan kerakyatan, dan menghantam, membongkar,
menggulingkan dan mengalahkan imperialisme dan feodalisme. Kebudayaan Rakyat
berkewajiban mengajar dan mendidik Rakyat untuk menjadi pahlawan dalam
perjuangannya.
IV
Kolonialisme di masa lampau dan setengah-kolonialisme dewasa ini menimbulkan
faktor-faktor di kalangan pergerakan Rakyat umumnya dan pergerakan Buruh dan Tani
khususnya, yang merugikan perkembangan Kebudayaan Rakyat. Faktor-faktor tersebut
antara lain:
1. Tiadanya kesedaran, bahwa perjuangan Rakyat terutama perjuangan Buruh dan
Tani tak mungkin dipisahkan dengan kebudayaan.
2. Sentiment (perasaan) yang picik yang berwujud dalam prasangka (prejudice)
antipatik (tidak suka, benci) terhadap segala sesuatu yang berbau dan atau yang ada
dengan kebudayaan, sebagai akibat pandangan yang menyamaratakan Kultur
Rakyat dengan Kultur degenerasi-borjuis.
3. Tidak adanya dorongan dari Gerakan Rakyat, terutama gerakan Buruh da Tani
sendiri, kepada barisan kadernya untuk juga memperhatikan masalah Kultur
(kebudayaan).
4. Ketidak mampuan (impotensi) dari kawan-kawan seniman Rakyat sebagai pekerja
Kebudayaan Rakyat, untuk menarik garis Kultur Rakyat dengan Kultur-degenerasi-
borjuis, meskipun pergerakan Rakyat sendiri memberikan bahan-bahan yang
melimpah-limpah.
5. Impotensi dari gerakan Rakyat, terutama dari gerakan Buruh dan Tani dalam
menarik golongan intelgensia dan pemuda-pelajar yang berpikiran maju ke dalam
barisannya.
V
Sikap kebudayaan Rakyat terhadap kebudayaan asing atau luar negeri sama sekali
tidak bersikap bermusuhan. Kebudayaan asng yang progresif akan diambil sarinya
sebanyak-banyaknya untuk kemajuan perkembangan gerakan kebudayaan Rakyat
Indonesia. Tetapi dalam hal mengamil sari ini, kita tidak akan menjiplak secara
membudak.
Kebudayaan asing akan diambil sarinya dengan cara kritis atas dasar kepentingan
praktis dari Rakyat Indonesia. Demikian pula Kebudayaan Indonesia kuno tidak akan
dibuang seluruhnya, tetapi juga tidak akan ditelan mentah-mentah. Kebudayaan kuno akan
diterima dengan kritis untuk meninggikan tingkat kebudayaan Indonesia baru yaitu
Kebudayaan Demokrasi Rakyat.

Universitas Sumatera Utara


VI
Untuk mempertahankan dan mengembangkan kebudayaan Rakyat, untuk
membangun barisan kebudayaan, supaya menjadi kekuatan dalam revolusi demokrasi
Rakyat, didirikan “LEMBAGA KEBUDAYAAN RAKYAT”, yang menuju kultur Rakyat
atau Kultur Demokrasi Rakyat. Di samping bekerja untuk gerakan Massa sehari-hari,
bagaimanapun harus diusahakan oleh barisan kader Massa untuk memperhatikan,
menyelidiki masalah kultur, serta menguasainya selaku pekerja Kebudayaan Rakyat, untuk
dijadikan senjata perjuangan anti-imperialisme.
Hal demikian harus kita lakukan, justru karena imperialisme berhasil mengadakan
infiltrase di kalangan klas borjuis nasional yang tidak setia pada Revolusi Agustus 1945.
Kami mengajak kepada barisan kader gerakan Rakyat, terutama kader Buruh dan
Tani, kami mengajak kepada kaum Intelegensia dan Pemuda Pelajar yang progresif dan
patriotis untuk mendisiplin dirinya menaruh perhatia terhadap masalah Kultur Rakyat.
Kami berseru supaya untuk maksud ini menggunakan sebaik-baiknya organisasi
LEMBAGA KEBUDAYAAN RAKYAT.

LAMPIRAN 2
MUKADIMAH LEKRA 1959
Menyadari bahwa rakyat adalah satu-satunya pencipta kebudayaan, dan bahwa
pembangunan kebudayaan Indonesia-baru hanya dapat dilakukan oleh rakyat, maka pada
hari 17 Agustus 1950 didirikanlah Lembaga Kebudayaan Rakyat, disingkat Lekra.
Pendirian ini terjadi di tengah-tengah proses perkembangan kebudayaan, yang sebagai
hasil keseluruhan dayaupaya manusia secara sadar memenuhi, setinggi-tingginya
kebutuhan hidup lahir dan batin, senantiasa maju dan tiada putus-putusnya.
Revolusi Agustus 1945 membuktikan, bahwa pahlawan di dalam peristiwa
bersejarah ini, seperti halnya di dalam seluruh sejarah bagsa kita, tiada lain adalah rakyat.
Rakyat Indonesia dewasa ini adalah semua golongan di dalam masyarakat yang menentang
penjajahan. Revolusi Agustus adalah usaha pembebasan diri Rakyat Indonesia dari
penjajahan da peperangan penjajahan serta penindasan feudal. Hanya jika panggilan
sejarah Revolusi Agustus terlaksana, jika tercipta kemerdekaan dan perdamaian serta
demokrasi, kebudayaan rakyat bisa berkembang bebas. Keyakinan tentang kebenaran ini
menyebabkan Lekra bekerja membantu pergulatan untuk kemerdekaan tanah air dan untuk
perdamaian di antara bangsa-bangsa, di mana terdapat kebebasan bagi perkembangan
kepribadian berjuta Rakyat.
Lekra bekerja khusus di lapangan kebudayaan, dan untuk masa ini terutama di
lapangan kesenian dan ilmu. Lekra menghimpun tenaga dan kegiatan seniman-seniman,
sarjana-sarjana dan pekerja kebudayaan lainnya. Lekra membantah pendapat bahwa
kesenian dan ilmu bisa terlepas dari masyarakat. Lekra mengajak pekerja-pekerja
kebudayaan untuk dengan sadar mengabdikan daya cipta, bakat serta keahlian mereka guna
kemajuan Indonesia, kemerdekaan Indonesia, pembaruan Indonesia.

Universitas Sumatera Utara


Zaman kita dilahirkan oleh sejarah yang besar, dan sejarah bangsa kita telah
melahirkan putera-putera yang baik, di lapangan kesusasteraan, senibentuk, musik maupun
di lapangan-lapangan kesenian dan ilmu. Kita wajib bangga bahwa bangsa kita terdiri dari
suku-suku yang masing-masingnya mempunyai kebudayaan yang bernilai. Keragaman
bangsa kita ini menyediakan kemungkinan yang tiada terbatas untuk penciptaan yang
sekaya-kayanya serta seindah-indahnya.
Lekra tidak hanya menyambut sesuatu yang baru; lekra memberikan bantuan yang
aktif untuk memenangkan setiap yang baru dan maju. Lekra membantu katif perombakan
sisa-sisa “kebudayaan” penjajahan yang mewariskan kebodohan, rasa rendah serta watak
lemah pada sebagian bangsa kita. Lekra menerima dengan kritis peninggalan-peninggalan
nenek moyang kita, mempelajari dengan seksama segala segi peninggalan-peninggalan itu,
seperti halnya mempelajari dengan seksama pula hasil-hasil penciptaan klasik maupun
baru dari bangsa lain yang mana pun, dan dengan ini berusaha meneruskan secara kreatif
tradisi yang agung dari sejarah bangsa kita, menuju penciptaan kebudayaan baru yang
nasional dan ilmiah. Lekra menganjurkan pada anggota-anggotanya, tetapi juga pada
seniman-seniman, sarjana-sarjana dan pekerja-pekerja kebudayaan lainnya di luar Lekra,
untuk secara dalam mempelajari kenyataan, mempelajari kebenaran yang hakiki dari
kehidupan, dan untuk bersikap setia kepada kenyataan dan kebenaran.
Lekra menganjurkan untuk mempelajari dan memahami pertentangan-pertentangan
yang berlaku di dalam masyarakat maupun di dalam hati manusia, mempelajari dan
memahami gerak perkembangannya serta hari depannya. Lekra menganjurkan pemahaman
yang tepat atas kenyataan-kenyataan di dalam perkembangannya yang maju, dan
menganjurkan hak ini, baik untuk cara kerja di lapangan ilmu, maupun untuk penciptaan di
lapangan kesenian. Di lapangan kesenian Lekra mendorong inisiatif yang kreatif,
mendorong keberanian kreatif, dan Lekra menyetujui setiap bentuk, gaya, dsb. selama ia
setia pada kebenaran dan selama ia mengusahakan keindahan artistik yang setinggi-
tingginya.
Singkatnya, dengan menolak sifat anti-kemanusiaan dan ati-sosial dari kebudayaan
bukan rakyat, dan menolak perkosaan terhadap kebenaran dan terhadap nilai-nilai
keindahan, Lekra bekerja untuk membantu manusia yang memiliki segala kemampuan
untuk memajukan dirinya dalam perkembangan kepribadian yang bersegi banyak dan
harmonis.
Di dalam kegiatannya Lekra menggunakan cara saling-bantu, saling-kritik dan
diskus-diskusi persaudaraan di dalam masalah-masalah penciptaan. Lekra berpendapat
bahwa secara tegas berpihak pada rakyat dan mengabdi kepada rakyat, adalah satu-satunya
jalan bagi seniman-senima, sarjana-sarjana maupun pekerja-pekerja kebudayaan lainnya
untuk mencapai hasil tahan uji dan tahan waktu. Lekra mengulurkan tangan kepada
organisasi-organisasi kebudayaan yang lain dari aliran atau keyakinan apa pun, untuk
bekerja sama dalam pengabdian ini.

Universitas Sumatera Utara


LAMPIRAN 3
MANIFES KEBUDAYAAN

Kami para seniman dan cendekiawan Indonesia dengan ini mengungumkan sebuah
Manifes Kebudayaan, yang menyataka pendirian, cita-cita dan politik Kebudayaan
Nasional kami.
Bagi kami kebudayaan adalah perjuangan untuk menyempurnakan kondisi hidup manusia.
Kami tidak mengutamakan salah satu sektor kebudayaan di atas sektor kebudayaan yang
lain. Setiap sektor berjuang bersama-sama untuk kebudayaan itu sesuai dengan kodratnya.
Dalam melaksanakan kebudayaan nasional, kami berusaha menciptakan dengan sejujur-
jujurnya sebagai perjuangan untuk mempertahankan dan mengembangkan martabat diri
kami sebagai bangsa Indonesia di tengah masyarakat bangsa-bangsa.
Pancasila adalah falsafah kebudayaan kami.
Jakarta, 17 Agustus 1963
Drs. H.B. Jassin, Trisno Sumardjo, Wiratmo Soekito, Zaini, Bokor Hutasuhut, Goenawan
Mohammad, A. Bastari Asnin, Bur Rasuanto, Soe Hok Djin, D.S. Moeljanto, Ras Siregar,
Hartojo Andangdjaja, Sjahwil, Djufri Tanissan, Binsar Sitompul, Drs. Taufiq A.G. Ismail,
Gerson Pyok, M. Saribi Afn., Pernawan Tjondronagaro, Drs. Boen S. Oemarjati.

PENJELASAN MANIFES KEBUDAYAAN

I. Pancasila Sebagai Falsafah Kebudayaan


Dalam pengertian kami yang bersumber dalam hikmah pancasila, kebudayaan bukanlah
kondisi obyektif, apa lagi hasil sebagian barang mati.
Dalam pengertian kami kebudayaan adalah perjuangan manusia sebagai totalitas dalam
menyempurnakan kondis-kondisi hidupnya. Kebudayaan nasional bukanlah semata-mata
ditandai oleh “watak nasional”, melainkan merupakan perjuangan nasional dari suatu
bangsa sebagai totalitas dalam menyempurnakan kondisi-kondisi hidup nasionalnya.
Predikat kebudayaan adalah perjuangan dengan membawa konsekwensi-konsekwensi yang
mutlak dari sektor-sektornya.
Sepenuhnya pengertian kami tentang kebudayaan seirama dengan pancasila karena
pancasila adalah sumbernya, sebagaimana Bung Karno mengatakan:
“Maka dari itu jikalau bangsa Indonesia ingin supaya pancasila yang saya usulkan itu
menjadi suatu realiteit, yakni jika kami ingin hidup menjadi satu bangsa, satu nasionaliteit
yang merdeka, penuh dengan perikemanusaan, ingin hidup di atas dasar permusyawaratan,
ingin hidup sempurna dengan speciale rechtvaardigheit, ingin hidup sejahtera dan aman,
dengan ketuhanan yang luas dan sempurna, janganlah lupa akan syarat untuk
menyelenggarakannya, ialah perjuangan, perjuangan dan sekali lagi perjuangan”.

Universitas Sumatera Utara


Maka pengertia Kebudayaan Nasional adalah perjuangan untuk memperkembangkan dan
mempertahankan martabat kami sebagai bangsa Indonesia di tengah masyarakat bangsa-
bangsa. Jika Kepribadian Nasional merupakan implikasi dari Kebudayaan Nasional kita
adalah apa yang oleh Presiden Soekarno dirumuskan sebagai “freedom to be free”, maka
Kebudayaan Nasional kita digerakkan oleh suatu Kepribadian Nasional yang
membebaskan diri dari penguasaan (campur tangan) asing, tetapi bukan untuk
mengasingkan diri dari masyarakat bangsa-bangsa, melainkan justru untuk menyatakan
diri dengan masyarakat bangsa-bangsa itu secara bebas dan dinamis sebagai persyaratan
yang tidak ditawar bagi perkembangan yang pesat dari Kepribadiaan dan Kebudayaan
Nasional kita yang pandangan dunianya bersumber pada Pancasila.
Kami ingin membuktikan, bahwa falsafah demokrasi Pancasla menolak semboyan “The
End justifies the Means” (Tujuan menghalalkan cara), sehingga sebagai falsafah demokrasi
Pancasila adalah humanisme cultural yang pengejawantahannya harus kami perjuangkan
dalam setiap sektor kehidupan manusia. Semboyan akultural “The End justifies the
Means” tersebut yang tidak mengakui perbedaan antara tujuan dengan cara,
mengakibatkan orang menuju tujuan dengan menyisihkan pentingnya cara mencapai tujuan
itu.
Demikian umpamanya di bidang penciptaan karya-karya kesenian di mana orang lebih
mementingkan aspek propagandanya daripada aspek keseniannya adalah contoh dari
pelaksanaan semboyan “The End justifies the Means”sebagai semboyan yang bertentangan
dengan Pancasila. “The End justifies the Means” – apabila orang mengemukakan apa yang
bukan kesusasteraan sebagai kesusasteraa, apa yang bukan kesenian sebagai kesenian, apa
yang bukan ilmu pengetahuan sebagai ilmu pengetahuan, dan sebagainya.
Perkosaan seperti itu bukanlah cara insaniah, melainkan cara alamiah. Perkosaan adalah
mentah, sedang penciptaan karya mengalahkan kementahan dengan cara manusia untuk
menciptakan dunia yang damai. Kesenian sebagai penciptaan karya manusia akan abadi
hanya apabila bukan saja tujuannya adalah kemanusiaan,tetapi juga caranya kemanusiaa
dan itulah implikasi yang paling hakiki dari Pancasila sebagai falsafah demokrasi yang
kami perjuangkan secara principal.
Adapun bahaya bagi kebudayaan yang paling mengancam datangnya dari wilayahnya
sendiri, tetapi yang terang ialah bahwa sumber pokok dari bahaya tersebut terletak dalam
kecenderungan-kecenderungan fetisi sebagai kecenderungan nonkreatif. Adapun
kecenderungan tersebut manifestasinya tidak hanya dalam pendewaan, melainkan terdapat
juga dalam persetanan sebagai umpamanya kami kenal dalam wilayah kesenian.
Sebagaimana fetisi-fetisi itu bermacam-macam, demikian pulalah kesenian fetisi.
Sebagaimana terdepat fetisiisme dari jiwa pelindung di samping fetisiisme dari jiwa
pendendam, demikianlah terdapat kesenian yag mengabdi kepada jiwa pelindung dengan
memberikan sanjungan-sanjungan secara berlebih-lebihan pula. Tidak jarang terjadi bahwa
kedua macam kesenian fetisi itu mempunyai pretensi “kesenian revolusioner”, tetapi dalam
hal demikian, maka kesenian fetisi itu kita namakan kesenian dengan pengabdian palsu.
Kesenian kreatif, berlawanan dengan kesenian fetisi, tidak mencari sumbernya dalam
fetisi, melainkan dalam dirinya sendiri, sehingga dengan ini kami menolak fatalisme dalam
segala bentuk dan manifestasinya. Kesenian kreatif yang kami perjuangkan dengan

Universitas Sumatera Utara


menyokong Revolusi tidaklah bersumber dalam fetisisme dari jiwa pelindung, sebaliknya
mengkritik penyelewengan-penyelewengan dari Revolusi tidaklah pula bersumber dalam
fetisiisme jiwa pendendam. Kami tidak memperdewakan Revolusi, karena kami tidak
mempunyai pengabdian palsu, sebaliknya kami pun tidak mempersetankan Revolusi,
karena kami tidak pula mempunyai pengabdian palsu. Tetapi kami adalah revolusioner.
Kami tidak lebih daripada manusia lainnya, direncanakan namun merencanakan,
diciptakan namun menciptakan. Itu saja dan tidak mempunyai pretensi apa-apa. Kami pun
tidak akan merasa takut kepada kegagalan-kegagalan kami sendiri, karena kegagalan-
kegagalan itu bukanlah akhir perjuangan hidup kami.
II. Kepribadian dan Kebudayaan Nasional
Dalam dunia kesenian Indonesia dikenal “humanisme universal”. Tafsiran kami tentang
istilah tersebut adalah sebagai berikut:
Apabila dengan “humanisme universal” dimaksudkan pengaburan kontradiksi antagonis,
kontradiksi antara kawan dengan lawan, maka kami akan menolak “humanisme universal”
itu. Misalnya, sebagaimana yang dilakukan oleh NICA dahulu, di mana diulurkan
kerjasama kebudayaan di satu pihak, tetapi dilakukan aksi militer di pihak lain.
Sebaliknya kami menerima “humanisme universal” apabila dimaksudkan, bahwa
kebudayaan dan kesenian itu bukanlah semata-mata nasional, tetapi juga menghayati nilai-
nilai universal, bukan semata-mata temporal, tetapi juga menghayati nilai-nilai eternal.
Apabila dengan kebudayaan universal itu dimaksudkan bukan kondisi obyektif, melainkan
perjuangan manusia sebagai totalitas dalam usahanya mengakhiri pertentangan antara
manusia dan kemanusiaan, maka kami menyetujui ajakan untuk meneruskan kebudayaan
universal itu, karena dengan demikian kebudayaan universal itu merupakan “kekuatan
yang menggerakkan sejarah” dan itu sepenuh-penuhnya sama dengan pikiran kami, bahwa
kebudayaan universal itu adalah perjuangan dari budi nurani universal dalam
memerdekakan setiap manusia dari rantai-rantai belenggunya, perjuangannya yang
memperjuangkan tuntutan-tuntutan rakyat Indonesia, karena rakyat di mana-mana di
bawah kolong langit itu tidak mau ditindas oleh bangsa-bangsa lain. Tidak mau
dieksploitasi oleh golongan-golongan apa pun, meskipun golongan itu adalah bangsanya
sendiri. Mereka menuntut kebebasan dari kemiskinan dan kebebasan dari rasa takut, baik
yang karena ancaman di dalam negeri, maupun yang karena ancaman dari luar negeri.
Mereka menuntut kebebasan untuk menggerakkan secara konstruktif aktivitas sosialnya,
untuk mempertinggi kebahagiaan individu dan kebahagiaan masyarakat. Mereka menuntut
kebebasan untuk mengeluarkan pendapat, yaitu menuntut hak-hak yang lazimnya
dinamakan demokrasi.
Jadi “humanisme universal” janganlah menyebabkan orang bersifat indifferent (acuh tak
acuh) terhadap semua aliran (politik), sehingga dengan “humanisme universal” orang harus
toleran pada imperialisme dan kolonialisme. Kami tetao mencari garis pemisah secara
tegas antara musuh-musuh dan sekutu-sekutu Revolusi, musuh-musuh dan sekutu-sekutut
Kebudayaan, tetapi ini tidak berarti bahwa kami mempunyai sifat sekretaris dan chauvinis,
karena sikap yang demikian itu adalah justru mengaburkan garis pemisah tersebut.

Universitas Sumatera Utara


Musuh kami bukanlah manusia, karena kami adalah anak manusia. Musuh kami adalah
unsure-unsur yang membelenggu manusia, dan karenanya kami ingin membebaskan
manusia itu dari rantai-rantai belenggunya. Dalam perlawanan kami terhadap musuh-
musuh kami itu kami tetap berpegang teguh pada pendirian dan pengertian, bahwa sejahat-
jahatnya manusia namun ia masih tetap memancarkan sinar cahaya Ilahi, sehingga
konsekuensi kami ialah, bahwa kami harus menyelamatkan sinar cahaya Ilahi tersebut.
Maka kepercyaan yang kami kumandangkan ialah, bahwa manusa adalah makhluk yang
baik, da karena itulah maka kami bercita-cita membangun suatu masyarakat manusia yang
baik itu, sesuai dengan garis-garis sosialisme Indonesia.
Dengan begitu teranglah sudah posisi terhadap masalah “humanisme universal”. Kami
menampilkan aspirasi-aspirasi nasional, yaitu pengarahan-pengarahan kepada pembedaan
diri di tengah-tengah masyarakat bangsa-bangsa, bagi merealisasikan kehormatan,
martabat (dignitas), prestise dan pengaruh, tetapi kami ingin menjaga agar pengarahan-
pengarahan tersebut tidak menuju ke arah kesombongan nasional dan chauvinisme dalam
segala bentuk dan manifestasinya.
Adapun implikasi dari aspirasi-aspirasi nasional ini ialah, bahwa bangsa Indonesia sebagai
suatu bangsa mempunyai kebebasan untuk mengembangkan kepribadiannya, artinya
bangsa Indonesia dengan terus menerus menyesuaikan diri dengan perkembangan
sekitarnya, tetapi caranya adalah unik dan dinamis. Untuk dapat mempunyai sifat dinamis
inilah, maka bangsa Indonesia harus mempunyai kesenian sebagai sektor kehidupan
kebudayaan, yaitu kesenian yang sepenuhnya merupakan pancaran kebebasan, kesungguh-
sungguhan yang sejujur-jujurnya.
III. Politisi dan Estetisi
Dalam dunia kesenian Indonesia juga dikenal istilah “realisme sosialis”. Menurut
sejarahnya, penafsiran realisme sosialis itu ada dua macam:
Yang pertama: realisme sosialis langsung merupakan kelanjutan dari konsepsi cultural
Josef Stalin. Dalam tahun-tahun 30-an dengan berkembangnya fetisi, barang pujaan
kebudayaan yang seakan-akan mengundang suaut kekuatan gaib, maka kebudayaan Rusia
terancam dengan amat mengerikan. Dengan Stalin maka metode kritik seni adalah
deduktif, artinya konsepsinya telah ditetapkn lebih dahulu untuk “menertibkan” kehidupan
kesenian dan kebudayaan. Ciri pokok dari kesenian yang telah “ditertibkan” itu ialah
adanya konsepsi ang sama dan sekretaris tentang kritik seni. Itulah sebabnya, maka jiwa
obyektif yang berpangkal pada budi nurani universal tidak selaras dengan realisme sosialis,
sehingga kami menolak realisme sosialis dalam pengartian itu, dimana dasarnya ialah
paham politik di atas estetik.
Yang kedua: reealisme sosialis menurut kesimpulan kami dari jalan pikiran Maxim Gorki,
yang dipandag sebagai otak dari realisme sosialis itu, yakni bahwa sejarah yang
sesungguhnya dari rakyat pekerja tak dipelajari tanpa suatu pengetahuan tentang
dongengan kerakyatan yang secara terus menerus dan pasti menciptakan karya sastra yang
bermutu tinggi seperti Faust, Petualangan Baron von Munchaussen, Prometheus Disiksa

Universitas Sumatera Utara


karya Shelley, karena dorongan kerakyatan kuno purbakala itu menyertai sejarah dengan
tak lapuk-lapuknya dan dengan cara yang khas.
Di situ sebenarnya Gorki telah menggariskan politik sastra yang berbeda dengan realisme
sosialis ala Stalin, karena pada hakikatna Gorki telah menempuh politik ssastra universal.
Sesungguhnya politik sastranya itu bersumber dalam kebudayaan tidak sebagai suatu
sektor politik yang searah dengan garis Manifes ini.
Berdasarkan fenomena-fenomena sejarah, maka seorang ahli sejarah mengatakan, bahwa
kebudayaan dari suatu periode senantiasa kebudayaan dari kelas yang berkuasa. Akan
tetapi sejarah juga mengatakan, bahwa justru karena tidak termasuk dalam kelas yang
berkuasa, maka orang berhasil membentuk kekuatan baru yang terbentuk di tengah-tengah
penindasan kekuatan lama,merupakan faktor positif yang menentukan perkembangan
kebudayaan dan kesenian.
Sebagaimana terjadi di Perancis, sejarah mengajarkan, bahwa kekuatan yang dibentuk oleh
borjuasi revolusioner, adalah kekuatan yang menentukan dalam melawan penindasan
monarki mutlak. Tetapi sayang, bahwa elan kreativitas yang menyala-nyala bersama-sama
kekuatan baru itu menjadi padam setelah kekuatan borjuasi revolusioner itu menjadi
sempurna. Bahkan kekuatan politik yang sempurna itu merintangi kebudayaan dan
kesenian. Penindasan baru yang dilakukan oleh kelas baru itu di bidang kesenian dan
kesusasteraan khususnya telah menyebabkan timbulnya suatu kekuatan baru dengan
lahirnya Angkatan 1830 yang mula-mula dipelopori oleh Victor Hugo dan kemudian
dilanjutkan oleh Theophile Gautier.
Maka dapatlah kami mengambil kesimpulan, bahwa paham politik di atas estetik yang
merumuskan politik adalah primer dan estetik adalah sekunder, dilihat dari sudut
kebudayaan dan kesenian adalah suatu utopia. Sebab paham itu jikalau dilaksanakan
dengan jujur hanya akan memupuk dan menghasilkan perasaan-perasaan kekecewaan, dan
jikalau dilaksanakan dengan tidak jujur akan dapat merupakan tipu muslihat kaum politisi
yang ambisius.
Sebagai realis kami tidak mungkin menerima setiap bentuk utopia karena menyadari,
bahwa dunia ini bukan surga. Karena berpikir secara dialektik, maka kami mengakui
kenyataan-kenyataan lingkungan sosial kami senantiasa mengandung masalah-masalah,
dan setiap rintangan yang kami jawab akan menimbulkan tantangan-tantangan baru. Oleh
karena itu kami tidak pernah berpikir tentang suatu zaman, di mana tak ada masalah lagi
karena setiap pikiran yang demikian itu adalah terlalu “idealis” da karenanya tidak ilmiah.
Pekerjaan seorang seniman senantiasa harus dilakukan di tengah-tengah dunia yang penuh
dengan masalah-masalah, analog dengan pekerjaan seorang dokter yang senantiasa harus
dilakukan di tengah-tengah dunia yang penuh dengan penyakit-penyakit. Apabila dunia ini
sudah sempurna, tidak perlu lagi adanya seniman. Oleh karena itu paham yang sudah
dirumuskan, bahwa politik adalah primer dan estetik adalah sekunder tidak memahami
realisme, karena apabila kekuatan politik telah menjadi sempurna, maka tidak perlu lagi
kesusasteraan dan kesenian, tidak perlu lagi estetika. Seandainya pada suatu ketika
kekuatan politik yang dibentuk itu telah menjadi sempurna, maka masalah apakah yang
akan dibahas oleh kesenian revolusioner yang sebagai estetik murni baru mulai sesudah

Universitas Sumatera Utara


itu? Tidak lebih dan tidak kurang dari masalah yang dibahas oleh kaum estetik, yaitu
mereka yang mempunyai paham estetik di atas politik, sehingga bersifat borjuis.
Tidaklah berlebih-lebihan kiranya apabila kami mengambil kesimpulan, bahwa paham
politik di atas estetik itu tidak memberikan tempat kepada estetik sebelum pembentukan
kekuatan politik menjadi sempurna, sehingga selama jangka waktu pembentukan kekuatan
politik itu tidak ada persoalan tentang estetik, sedangkan paham estetik di atas politik
hanya dapat dilaksanakan apabila mendapat sandaran kekuatan politik yag sempurna pula.
Maka kami dapat menarik kesimpulan selanjutnya, bahwa kedua paham kesenian tersebut
mengandung kontradiksi-kontradiksi. Berbeda dengan itu adalah paham kami, yaitu paham
yang tidak mengorbankan politik bagi estetik, tetapi sebaliknya, tidak pula mengorbankan
estetik bagi politik. Karena pengorbanan tersebut tidak menunjukkan adanya dinamika, dan
di dalam hal tidak adanya dinamika, maka fungsi estetik murni adalah suatu imperialisme
estetika. Dalam kondisi ini, maka transformasi revolusioner dari negara kapitalisme ke
arah negara sosialis tidak akan mengubah secara revolusioner kondisi-kondisi kulturalnya.
Berlawanan dengan itu kami menghendaki perubahan kondisi-kondisi cultural itu secara
revolusioner menuju ke arah masyarakat sosialis-Pancasilais.
Menurut keyakinan kami, maka msyarakat sosialis-Pancasilais yang kami perjuangkan
secara kultural-revolusioner itu adalah suatu keharusan sejarah yang tidak dapat
dihindarkan oelh siapapun, tetapi terutama oleh kami sendiri.

Demikianlah Penjelasan Manifes ini diumumkan.


Jakarta, 17 Agustus 1963
Literatur Pancasila
terdiri dari
Bung Karno: “Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme”
Bung Karno: Pidato “Lahirnya Pancasila”
Dr. H. Roeslan Abdulgani: “Manipol-Usdek, Pidato Radio”
Wiratmo Soekito: “Peranan Institusi-institusi dalam Memperkembangkan Sosialisme
Kreatif”
Harian Semesta: “Rivalitas Kelas Persoalan Sosial”

Universitas Sumatera Utara


LAMPIRAN 4
KOMUNIKE
Konfernas I Lembaga Sastera Indonesia
Konferensi Nasional I Lembaga Sastra Indonesia yang berlangsung di Medan dari
tanggal 22 sampai 25 Maret 1963, dan dihadiri oleh utusan-utusan sastrawan seluruh
Indonesia, telah membincangkan secara luas dan mendalam Laporan Umum Ketua
Lembaga Sastra Indonesia, Prof Bakri Siregar, Laporan Pengajaran Sastra yang
disampaikan oleh Pramoedya Ananta Toer dan Laporan Organisasi dan Pendidikan
Ideologi yang disampaikan oleh S. Anantaguna.
Konferensi juga telah mendengar dan mendiskusikan Laporan Pelengkap mengenai
Kesusastraan Revolusioner dan Gerakan Revolusioner yang disampaikan oleh Njoto,
tentang Kritik Sastra oleh Joebaar Ajoeb, tentang Puisi oleh Hr. Bandarhro, tentang drama
oleh Rivai Apin, tentang Novel oleh Agam Wispi, tentang Hubungan Sastrawan Asia-
Afrika dengan gerakan anti-imperialis oleh Ibrahim Isa, dan tentang Penulisan Skenario
Film oleh Bachtiar Siagian serta sambutan-sambutan lainnya dari Utuy Tatang Sontani dan
Basuki Resobowo.
Konferensi telah mengambil sikap mengenai masalah-masalah yang paling urgen
yang dihadapi oleh para sastrawan Indonesia dalam menunaikan tugasnya terhadap
revolusi Indonesia dan dituangkan dalam revolusi sbb:
1. Resolusi Laporan Umum menelanjangi semboyan humanisme universal sebagai
manifestasi neo-kolonialisme dan memperttegas peralawanan terhadap
revisionisme yang memperlemah perjuangan sastra terhadap imperialisme.
2. Resolusi Pengajaran Sastra menunjukkan bahwa pengajaran sastra dewasa ini harus
diabdikan kepada pengobaran patriotisme dan pengganyangan neokolonialisme.
3. Resolusi mengenai Organisasi dan Pendidikan Ideologi menekankan bahwa front
seni dan sastra revolusioner harus tegas diperkembang dengan mengkonsolidasi
organisasi dan pendidikan ideologi.
***
Selanjutnya dalam memperbincangkan politik dalam negeri pada saat ini konferensi
nasional mengambil resolusi-resolusi antara lain:
1. Menuntut segera dibentuknya Kabinet Gotong-royong yang berporoskan Nasakom
yang merupakan satu-satunya jalan untuk terbukanya kemungkinan pelaksanaan
secara konsekuen Panca Program Front Nasional.
2. Konferensi Nasional berketetapan untuk memperkuat lebih lanjut Front Nasional
Revolusioner dengan jalan menggalang front kebudayaan revolusioner. Konferensi
nasional dengan bulat menyokong pidato Presiden Soekarno di depan Kongres
Baperki yang menandaskan bahwa soal nama, agama dan perkawinan adalah soal-
soal pribadi warga negara.
3. Menuntut dicabutnya larangan terhadap kumpulan sajak “Matinya Seorang Petani”
yang merupakan karya yang tegas-tegas mengabdi kepada Manipol.

Universitas Sumatera Utara


4. Menuntut agar politik penerbitan dari Dinas Penerbitan Balai Pustaka benar-benar
seirama dengan Manipol, setelah mengkonstasi bahwa usaha-usaha Balai Pustaka
bagi perkembangan kemajuan sastra Indonesia tak sepadan dengan derap ofensif
Manipol di bidang politik.
5. Menyerukan kepada pemerintah untuk mengatasi kesulitan kertas dan menambah
pecetakan demi peningkatan potensi sastra dan pers nasional dalam mengabdi
kepada Rakyat.
***
Mengenai soal luar negeri konferensi nasional tela mengambil resolusi-resolusi
untuk menyambut dan menyokong penuh KPAA, KWAA, FFAA dan Ganefo yang dalam
waktu dekat ini akan diselenggarakan di Indonesia.
Dengan penuh kemarahan konferensi mengutuk dan menentang gagasan Malaysia
buatan Inggris. Konferensi Nasional dengan tegas mendukung penuh politik konfrontasi
pemerintah Republik Indonesia terhadap Tengku Abdul Rachman.
Konferensi menuntut ditariknya pasukan-pasukan Inggris, Gurkha, Malaya dari
Kalimatan Utara dan mengutuk kebuasan Inggris menindas perjuangan Rakyat Kalimantan
Utara.
Konferensi nasional menyokong penuh dan membela perjuangan kemerdekaan
Rakyat Kalimantan Utara.
Mengenai Kuba telah diambil resolusi yang menyerukan kepada Rakyat-rakyat
sedunia untuk membela Kuba yang heroik dalam melawan agresi baru Amerika Serikat
dengan boneka-bonekanya di Amerika Tengah.
Dengan pedih dan geram konferensi nasional mengutuk teror berdarah yang
dilakukan oleh rezim Salim Arif terhadap Rakyat Irak dan putera-putera terbaiknya.
Konferensi telah menyusun Pengurus Pusat Lembaga Sastra Indonesia dan
plenonya yang antara lain terdiri dari Bakri Siregar, Pramoedya A. Toer, Utuy Tatang
Sontani, Agam wispi, Sobron Aidit, M.S. Ashar, S.Rukiah, Sugiarti, Hr. Bandaharo, dll.

Universitas Sumatera Utara


LAMPIRAN 5
PENGUMUMAN
SEKRETARIAT PUSAT LEKRA
Tentang Persiapan Untuk Kongres Nasional
Lekra

A. Tentang waktu kongres


1. Sekretariat pusat Lekra, sesuudah mempelajari dan mempertimbangkan semua
persiapan yang penting sebagai syarat-syarat pokok bagi penyelenggaraan
Kongres Nasional ke I Lekra yang akhirnya memutuskan:
a. Menunda waktu kongres yang semula ditetapkan pada akhir bulan
Desember 1958.
b. Menetapkan waktu kongres nasional ke I lekra menjadi tanggal 24 hingga
28 Januari 1959.
c. Menetapkan waktu pekan kebudayaan kongres nasional Lekra, menjadi
tanggal 23 hingga 29 Januari 1959.
2. Oleh karena itu, Sek. Pusat dengan ini meminta kepada segenap Lekra Cabang
dan Daerah, agar menyesuaikan persiapan serta keberangkatannya ke Kongres
dan ke Pekan Kebudayaan, dengan keputusan ini.

B. Tentang utusan dan peserta


1. Sekretariat pusat telah menetapkan bahwa yang berhak/berkewajiban
mengirimkan utusannya ke kongres, ialah cabang Lekra yang sudah disahkan
oleh Sekretariat pusat/Sekretariat Lekra Daerah.
2. Setiap cabang Lekra berhak mengirimka sebayak-banyaknya tiga orang utusan
untuk menghadiri kongres.
3. Sedangkan Lekra Daerah dapat/berhak mengirimkan lima orang utusan sebagai
peninjau di kongres.
4. Yang berhak mengirimkan seniman-seniman sebagai peserta dalam Pekan
Kebudayaan ialah Lekra Daerah. Lekra-lekra Cabang yang berniat dan mampu
mengirimkan seniman-seniman sebagai peserta Pekan Kebudayaan, hendaklah
mengaturnya dengan Lekra Daerah. Jadi, Lekra Daerah mengkoordinasi semua
seniman peserta Pekan Kebudayaan Kongres yang datang dari cabang-cabang
wilayahnya.
5. Kepada Lekra Daerah, Sek. Pusat dengan ini meminta supaya sesegera
mungkin menyampaikan jumlah/daftar utusan ke Kongres dan peserta Pekan
Kebudayaan, kepada Sek. Pusat. Sehingga, baik Kongres maupun Pekan
Kebudayaan, dapat dipersiapkan dengan teratur (berencana) dan baik.

Universitas Sumatera Utara


C. Tentang biaya utusan/peserta dan kongres
1. Setiap Lekra cabang/daerah yang mengirimkan utusan peserta ke Kongres
pekan kebudayaan, bertanggung jawab sepenuhnya atas biaya pengangkutan
pulang-pergi ke Kongres, dari para utusan dan peserta tsb.
2. Sekretariat Pusat Lekra akan memikul biaya penginapan, makan-minum serta
transport dari para utusan dan peserta, selama mereka berada di Solo untuk
berkongres (22-30 Januari 1959).
3. Sungguhpun demikian, kepada setiap utusan/peserta, Sek. Pusat dan Panitia
Kongres akan meminta bantuan sebesar Rp 50 (lima puluh rupiah), sekadar
sebagai bantuan untuk meringankan biaya kongres dan Pekan kebudayaan kita
ini.

D. Tentang Pekan Kebudayaan


1. Pekan kebudayaan kongres nasional ke I lekra, akan diselenggarakan selama
sepekan, yaitu mulai dari tanggal 23 Januari hingga tanggal 29 Januari 1959.
2. Dasar dan tujuan pekan kebudayaan ini, pada pokoknya ialah untuk menggali
dan memperkenalkan kekayaan dan tradisi yang positif daripada kebudayaan
nasional kita. pendek kata, pandangan politik kebudayaan Lekra, seperti yang
dinyatakan oleh Mukadimah, Lekra yaitu, …lekra tidak hanya menyambut
setiap yang baru; lekra juga memberikan bantuannya yang aktif untuk
memenangkan setiap yang baru dan maju dan Lekra pun wajib aktif membantu
perombakan sisa-sisa kebudayaan penjajahan yang mewariskan kebodohan,
rasa-rendah serta watak lemah dari bangsa kita, di samping lekra menerima
dengan kritis peninggalan-peninggalan nenek moyang kita, mempelajari dengan
seksama segala segi peninggalan itu, seperti halnya mempelajari dengan
seksama hasl-hasl ciptaan klasik maupun baru dari bangsa lain manapun dan
dengan begitu Lekra berusaha meneruskan secara kreatif tradisi yang agung
dari sejarah dan bangsa kita, menuju ke penciptaan kebudayaan; nasional dan
ilmiah…”, adalah menjadi dasar dalam menyusun penyelenggaraan pekan
kebudayaan nasional ke I lekra.
3. Untuk memberikan petunjuk kepada isi/dasar/tujuan pekan kebudayaan tersebut
di atas, maka dalam pekan kebudayaan itu, akan diselenggarakan:
I. Pertunjukkan musik dan tari-menari (di panggung terbuka dan tertutup).
II. Pertunjukkan bermacam bentuk seni drama (di pangggung tertutup dan
terbuka).
III. Pameran seni lukis.
IV. Pameran patung.
V. Pameran poster.
VI. Pameran penerbitan.
VII. Pameran pakaian suku-suku bangsa Indonesia.
VIII. Pameran alat-alat musik nasional.
IX. Pameran umum, yang akan menggambarkan tingkat kecerdasan dan
kemampuan kreatif bangsa kita, seperti hasil-hasil pemberantasan buta
huruf, grafik situasi pelajar dan mahasiswa dan sebagainya di lapangan
pendidikan dan pengajaran dan lain-lainnya.

Universitas Sumatera Utara


4. Kepada semua anggota Lekra, semua lekra cabang dan daerah, Sek. Pusat
dengan ini meminta bantuan-bantuanya untuk mengis pertunjukkan dan
pameran-pameran tersebut di atas. Istimewa, kami minta, supaya setiap lekra
daerah/cabang membawa ke pekan kebudayaan, bermacam-macam alat-alat
musik nasional/rakyat yang terdapat di daerah-daerah saudara-saudara untuk
dipamerkan.
5. Juga kepada semua Lekra cabang/daerah, kami serukan agar berusaha
membawa pulang sedikit satu dongengan rakyat dari daerah saudara, sehingga
dalam dan dengan kongres serta pekan kebudayaan kongres ini, terkumpulah
dongengan-dongengan rakyat kita yang kaya ini, untuk kemudian kita
terbbitkan dalam bentuk yang baik.
6. Dan kepada Lekra-Lekra daerah, kami minta supaya sesegera mungkin
menyampaikan laporan/rencana pertunjukkan/pameran dari Lekra daerahnya
untuk pekan kebudayaan kita, dengan disertai keterangan seperlunya tentang
bahan-bahan kesenian/kebudayaan yang akan dipertunjukkan/dipamerkan
nantinya (guna bahan publikasi, buku acara dan sebagainya).

LAMPIRAN 6
ANGGOTA PIMPINAN PUSAT LEKRA
HASIL KONGRES NASIONAL 24-29 JANUARI 1959
SOLO, JAWA TENGAH

Affandi
Bachtiar Siagian
Bakri Siregar
Basuki Effendi
Basuki Resobowo
Boejoeng Saleh
Chrismanuputty
Dahlia
Hadi S
Haznam Rachman
Hendra Gunawan
Henk Ngantung
H.R. Bandaharo

Universitas Sumatera Utara


Joebaar Ajoeb
Kotot Sukardi
Kurnia
K Iramanto
Martean Sagara
M.D. Hadi
M.S. Ashar
Njoto
Nurbakti
Pramoedya Ananta Toer
Rivai Apin
Rumambi
Samandjaja
Sudharnoto
Sudjadi
Sugiarti Siswadi
Suhardjo
Sunari
Sunito
S. Anantaguna
S. Rukiah Kertapati
Sutomo
Tan Sing Hwat
Tjak Bowo
Utama Ramelan
Z Trisno
Wakil Kalimantan
Wakil Sulawesi

Universitas Sumatera Utara


SUSUNAN PENGURUS SEKRETARIAT PUSAT
(Hasil Sidang Pleno I 28 Januari 1959 Solo, Jawa Tengah)

Sekretaris Umum:
Joebaar Ajoeb
Wakil Sekretaris Umum I:
Henk Ngantung
Wakil Sekretaris Umum II:
Sudharnoto

Anggota Sekretariat:
Njoto, Basuki Resobowo, Rivai Apin, M.S. Ashar, Samandjaja, Basuki Effendi, Bakri
Siregar dan S. Anantaguna

PENGURUS LEMBAGA-LEMBAGA KREATIF


LEMBAGA SENI RUPA INDONESIA (LESRUPA)
Ketua:
Henk Ngantung

Wakil Ketua:
Hendra Gunawan

Sekretaris:
Basuki Resobowo

Anggota Pengurus:
Affandi, Suromo, Martin Sagara.

Universitas Sumatera Utara


LEMBAGA FILM INDONESIA (LFI)

Ketua:
Bachtiar Siagian

Wakil Ketua:
Kotot Sukardi

Sekretaris:
Suhardjo

Anggota Pengurus:
Basuki Effendi, Tan Sing Hwat

LEMBAGA SASTERA INDONESIA (LESTRA)

Ketua:
Bakri Siregar

Wakil Ketua:
Pramoedya Ananta Toer

Sekretaris:
M.S. Ashar

Anggota Pengurus:
Samandjaja, S. Rukiah Kertapati.

Universitas Sumatera Utara


LEMBAGA SENI DRAMA INDONESIA (LSDI)

Ketua:
Rivai Apin

Wakil Ketua:
Dhalia

Sekretaris:
Agus Muliono

LAMPIRAN 7

PANITIA KONGRES LEKRA SOLO 23 JANUARI 1959

Ketua Kehormatan:
Utomo Ramelan (Kepala Daerah Kotapradja Surakarta)
Ketua Kehormatan:
Mangkunegoro VIII
Ketua Umum:
Basuki Resobowo (Lekra Pusat)
Ketua I:
M.D. Hadi (Lekra Jawa Ttengh)
Ketua II:
Sangidan (Lekra Solo)
Ketua III:
Wukirlan (Lekra Solo)
Anggota:
Suwarno (Lekra Jawa Tengah)

Universitas Sumatera Utara


Sjamsuri (Lekra Solo)
Batara Lubis (Lekra Yogyakarta)
Puspomartono (Lekra)
Suparwi) (Pengusaha nasional)
Sumantri (Lekra Solo)
Djoni Trisno (Lekra Jawa Tengah)
Utarto (Kepala Sriwedari)
Martian S. (Lekra Yogyakarta)
Sapardal (Lekra Yogyakarta)
Sumardi (anggota DPRD Kopra Surakarta)
Sudjono (SBHRT)
Daliman (SOBSI)
Bambang Warsito (Perbepsi)
Munandar (SBROS)
Sutarto (Pemuda Rakyat)

LAMPIRAN 8

RESOLUSI KONFERENSI NASIONAL SASTRA DAN SENI REVOLUSIONER


(KSSR)

Konfernas sastra dan seni revolusioner (KSSR) yang diselenggarakan pada tanggal
27 Agustus 1964 sampai dengan 2 September 1964 di Jakarta, setelah mempelajari dan
mendiskusikan referet Kawan Ketua D.N. Aidit yang berjudul “DENGAN SASTRA DAN
SENI YANG BERKEPRIBADIAN NASIONAL MENGABDI BURUH, TANI DAN
PRAJURIT” dan setelah mendenganrkan pandangan-pandangan para peserta; memutuskan
menyetujui sepenuhnya refreat tersebut. Konfernas menginstruksikan kepada setiap
sastrawan dan seniman Komunis serta mengajak kepada sastrawan dan seniman
revolusioner lainnya untuk menjadikannya sebagai pegangan dan pedoman dalam
membina dan mengembagkan sastra da seni yang berkepribadian buruh, tani dan prajurit.
Konfernas menghujamkan keyakinannya bahwa referat itu adalah karya yang monumental

Universitas Sumatera Utara


dan merupakan sumbangan proletariat Indonesia bagi pertumbuha sastra dan seni nasional
yang revolusioner dan bagi proses pendewasaan dan penyempurnaan nasion kita. Dengan
demikian KSSR mempunyai arti kebudayaan dan arti politik yang sangat besar.
Konfernas memperkuat konstatasi bahwa pengintegrasian sastra dan seni
revolusioner dengan kaum buruh, tani dan Rakyat pekerja lainnya sudah ada sejak adanya
gerakan revolusioner di negeri kita, yaitu sejak awal abad ini. Proses pengintegrasian ini
datang dari dua jurusan. Pertama: dari rombongan folklor yang karena daya-kreatif Rakyat
sendiri dan berkat pengaruh gerakan revolusioner, meningkat menjadi drama daerah yang
mengintegrasikan diri dengan revolusioner. Bersama-sama dengan berkembangnya drama
daerah berkembang pula cabang-cabang kesenian Rakyat lainnya. Kedua: dari kalangan
intelektual revolusioner yang bergerak di bidang jurnalistik, publisistik-polemik, karikatur,
esai, novel, musik dan sebagainya. Tak dapat disangkal peranan penting Mas Marco
Kartodikromo yang mempelopori sastra modern dan revolusioner serta peranan penting
W.R. Supratman sebagai pelopor kebangunan musik revolusioner.
Tradisi revolusioenr dalam sastra dan seni kita, yaitu pemaduan secara kreatif
warisan kesenian nenek moyang dengan pembaruan yang revolusioner, yang sesuai dengan
tuntutan gerakan revolusioner, sudah sejak lama tidak asing bagi Rakyat Indonesia.
Dengan demikian prinsip “kepribadian dalam kebudayaan” dan prinsip “seni untuk rakyat”
bukalah sesuatu yang asing bagi Rakyat Indonesia.
Rakyat Indonesia tidak hanya kreatif dalam menerima warisan nenek moyangnya,
tetapi juga dalam menerima yang datang dan dari luar. Rakyat Indonesia menolak
dogmatisme dalam sastra dan seni, baik dogmatism terhadap warisan nenek moyang
maupun dogmatisme yang datang dari luar. Rakyat Indonesia menjunjung tinggi
kepribadiannya sendiri, dan menolak baik konservatisme maupun nihilisme dalam sastra
dan seni.
Koknfernas menegaskan bahwa revolusi agustus 1945 telah membuka kemungkinan-
kemungkinan baru yang luas bagi perkembangan sastra dan seni revolusioner. Tetapi baru
dalam tahun 1950, sesudah revolusi menurun dan sudah banyak orang yang tadinya ambil
bagian dalam revolusi meninggalkan revolusi atau sedang siap-siap meninggalkan
revolusi, PKI tampil memberikan pimpinan pada gerakan kebudayaan Rakyat dengan
mendirikan Lekra pada tanggal 17 Agustus 1950, seiring dengan berlangsungnya
perjuangan intern yang sempit melawan oportunisme “kiri” dan kanan di dalam partai.
Berdirinya Lekra merupakan kemenangan daripada suatu azas, merupakan bukti
kesedaran dan keyakinan akan datangnya kemenangan. Sejak itu front kebudayaan
memainkan peranan yang sangat penting dalam barisan progresif. Jika sejak tahun politik
Indonesia terus menaik dan banyak sukses dicapai di bidang politik, maka peranan penting
telah ikut dimainkan oleh front kebudayaan yang dipelopori oleh Lekra.
Konfernas memperkuat penegasan Kawan Ketua, bahwa kaum komunis sekarang
sedang berjuang melaksanakan 3 prinsip, yaitu berdaulat dibidang politik, berdiri di atas
kaki sendiri di bidang ekonomi dan berkepribadian di bidang kebudayaan. Karenanya,
KSSR mendukung sepenuhnya pernyataan Presiden Sukarno dalam TAVIP agar kita
berjuang untuk “berkepribadian di bidang kebudayaan”.

Universitas Sumatera Utara


Hal ini sangat penting mengingat tindakan-tindakan kaum imperialis, mulai
Belanda, kemudian Jepang dan kini Amerika Serikat yang telah dan sedang berusaha
melalui berbagai cara dan jalan untuk mematikan kepribadian Rakyat Indonesia, dengan
bantuan kaki tangannya di dalam negeri dan kaum revisionis modern yang belakangan ini
merembes ke dalam tubuh gerakan kelas buruh internasional dan gerakan kemerdekaan
bagsa-bangsa.
Konfernas mencatat bahwa seiring dengan tindakannya menyebarkan humanisme
universal, penyebar ideologi-ideologi imperialis menyebarka kosmopolitanisme dan
nihilisme nasional yang bertentangan dengan patriotisme yang diantaranya berwujud
Manikebuisme. Dengan demikian sangat jelas bahwa kaum Manikebuis merupakan agen-
agen ideologi imperialis juga dan menyebarkan sovinisme yang berlawanan dengan
internasionalisme. Mereka pun mengobarkan provinsialisme, separatisme dan rasialisme.
Dengan tindakan-tindakannya itu kaum imperialis AS ingin menolong kedudukannya yang
sudah goyah di bidang politik dan ekonomi, ingin meneruskan penindasan dan
penghisapannya terhadap Rakyat Indonesia dengan jalan menumpukan patriotisme
revolusioner Rakyat dalam melawan imperialisme.
Seruan “pelor emas” imperialis AS tersebut tidak kalah berbahayanya
dibandingkan dengan tembakan pelor besi, malahan dalam batas-batas tertentu dan
keadaan-keadaan tertentu lebih berbahaya.
Konfernas membenarkan konstatasi tentang masih adanya orang-orang Indonesia
yang mengagumi dan mengagung-agungkan apa saja yang datang dari Barat-imperialis,
dan sebaliknya meremehkan sastra dan seni rakyatnya sendiri. Malahan belakangan ini
setelah aksi-aksi mengganyang kebudayaan imperialis AS meningkat, mereka kembali ke
“kepribadian nasional” menurut cara mereka sendiri, dengan “meng-Indonesiakan”
kebudayaan imperialis beserta segala kemerosotan dan kebejatan ideologinya yang daya
merusaknya melebihi kebudayaan imperialis yang asli. Karenanya, konfernas menyerukan
agar tindakan kaum nihilis kebudayaan tersebut dilawan dan ditelanjangi habis-habisan.
Terhadap kaum nihilis kebudayaan yang tidak sadar, yang ingin membina
kepribadian nasional tetapi salah jalan da salah pilih yaitu melalui Barat dan memilih
ampas dan bukan saripati kebudayaan Barat. Konfernas menekankan pentingnya kita
bersikap sabar dalam menyadarkan mereka dan perlunya kita tunjukkan jalan yang tepat
kepada mereka yang seharusnya mereka tempuh.
Agresi sastra dan seni serta kebudayaan imperialis hanyalah dapat kita lawan dan
kita kalahkan dengan sastra dan seni serta kebudayaan yang berkepribadian nasional, yaitu
sastra dan seni serta kebudayaan yang lahir dari tradisi patriotisme revolusioner Rakyat
Indonesia, yang mencerminkan tradisi dan adat-istiadat bangsa Indonesia, bertema nasional
dan lukiskan aspirasi-aspirasi nasional Rakyat Indonesia yang revolusioner. Ini berarti,
bahwa kita harus bersungguh-sungguh mempelajari sejarah dan geografi serta adat-istiadat
Rakyat Indonesia.
Sastra dan seni yang berkepribadian nasional memiliki kekuatan untuk lebih
berakar dan lebih tepat berada di tengah-tengah Rakyat dank arenanya lebih mudah serta
lebih mampu mengubah dan membangkitkan Rakyat untuk mencintai Tanah Air dan

Universitas Sumatera Utara


melawan musuh-musuhnya. Sebailknya, sastra dan seni yang tidak berkepribadian nasional
adalah asing bagi Rakyat, ditolak oleh Rakyat, tidak bisa berkembang dan berakar di
tengah-tengah Rakyat, da oleh karenanya, tidak memiliki kemampuan memobilisasi dan
mengorganisir massa dalam perjuangan revolusioner. Konfernas menekankan pentingnya
kegiatan-kegiatan dan usaha-usaha untuk membina kebudayaan yang berkepribadian,
sebab penekanan itu sendiri pada hakikatnya sudah merupakan suatu bentuk perlawanan
terhadap penetrasi kebudayaan imperialis.
Dalam hubungan ini, konfernas menyambut gembira usaha-usaha dari sastrawan-
sastrawan dan seniman-seniman kita yang berhasil menemukan, mengenali kembali dan
kemudian menegakkan ciri-ciri kepribadian nasional yang terkandung dalam berbagai jenis
sastra dan seni yang masih hidup dan berkembang dikalangan Rakyat, terutama kaum tani.
Konfernas berpendapat, bahwa menegakka kepribadian nasional di bidang
kebudayaan adalah mengobarkan patriotisme atau semangat banteng di bidang
kebudayaan. Karena patriotisme proletar, patriotisme sosialis atau patriotisme progresif,
yaitu patriotismee yang mencintai Tanah Air dan di atas segala-galanya mencintai Rakyat
Indonesia serta membela kepentingan-kepentingan mereka terhadap kaum penghisap,
maka sastra dan seni yang kita kehendaki adalah berwatak anti-imperialisme dan anti-
penghisapan. Oleh karenanya, sastra dan seni revolusioner dunia, tidak merugikan
sebaliknya bahkan memperkuatnya.
Di samping harus lebih menyempurnakan pengabdian kita kepada buruh dan tani
dengan lebih menanamkan pendirian dan sikap kelas yang tepat, konfernas menggaris
bawahi dijadikannya prajurit juga sebagai objek karya sastra dan seni revolusioner, sebab
ditinjau dari kelahirannya, asal-usul serta vitalitetnya, prajurit-prajurit kita pada harkatnya
adalah Rakyat pekerja yang memanggul senapan. Hal ini secara politik sudah lama tidak
menjadi soal lagi bagi kita. dijadikannya mereka sebagai sasaran karya sastra dan seni
revolusioner hanya akan lebih memperkuat aspek pro-Rakyat dalam kekuasaan politik
sekarang untuk mengalahkan dan mengusir aspek anti-Rakyat.
Konfernas menegaskan agar di samping usaha popularisasi juga dilakukan usaha
peningkatan, dan keduanya harus dikombinasikan dengan baik, sebab popularisasi tanpa
peningkatan sama dengan mandeg, dan peningkatan tanpa popularisasi berarti melayang-
layang tanpa landasan. Mengingat masih banyaknya Rakyat pekerja yang buta huruf atau
setengah buta huruf, maka kebutuhan yang mendesak bagi merek bukanlah karya-karya
yang rumit dan sulit, melainkan pertama-tama adalah karya –karya yang popular,
sederhana dan mudah mereka mengerti. Oleh karenanya, perlu diintensifkan penggarapan
jenis-jenis kesenian yang mudah mencapai massa, seperti; drama, poster, karikatur, ukiran
kayu ceritera bergambar (cergam) dan lain sebagainya. Dalam hubungan ini kita harus
berusaha mengenal dan menggarap basi-basis aktivitet sastra dan seni tiap-tiap suku
bangsa.
Karena sastra dan seni revolusioner merupakan salah satu bagian dari usaha
revolusi seluruhnya, bagian yang mutlak diperlukan seperti jantung bagi tubuh manusia,
bagian yang ikut mendorong dan menentukan usaha revolusi seluruhnya, maka sastra dan
seni harus diintegrasikan dengan tugas-tugas politik yang kongkrit. Ini berarti, bahwa
sastra dan seni revolusioner harus mengakui dan mentaati pimpinan Partai, sebab bila tidak

Universitas Sumatera Utara


demikian tidak mungkin menjadi alat revolusi yang terkoordinasi baik dengan semua
kegiatan revolusioner.
Konfernas menandaskan, bahwa menerima pimpinan Partai berarti dengan sadar
menjadikan diri sebagai sastrawan dan seniman revolusioner yang konsekuen anti-
imperialisme dan anti-feodalisme, dan lebih dari itu menyiaapkan diri untuk menempuh
segala bentuk perjuangan yang bagaimanapun dalam merebut dua benteng, baik benteng
nasional-demokratis dalam tahap pertama maupun kedua revolusi kita. Kesiap-siagaan itu
menuntut kepada setiap sastrawan dan seniman revolusioner untuk lebih-lebih lagi dan
terus-menerus mengintensifkan pembacaan diri dan pendidikan dirinya.
Konfernas berpendapat, bahwa dewasa ini dominasi kebudayaan pada hakikatnya
masih berada ditangan kaum imperialis, feudal serta kaki tangan-kaki tangannya. Tetapi
dengan makin meningkatnya aksi-aksi massa melawan imperialisme, kaum komprador,
kapitalis birokrat dan tujuh setan desa, secara berangsur-angsur musuh Rakyat makin
terdesak dan pimpinan proletariat di bidang kebudayaan makin diperkuat. Dan tugas utama
kita ialah terus mendesak kedudukan kaum imperialis dan kaum feodal serta memperkuat
pimpinan proletariat menuju dominasi rakyat sepenuhnya di bidang kebudayaan.
Memang sudah sejak agak lama timbul kesadaran pada sastrawan-sastrawan dan
seniman-seniman revolusioner, bahwa mereka telah “berhutang” kepada revolusi, karena
belum mengadakan kreasi-kreasi yang sesuai dengan tuntutan-tuntutan revolusi agustus 45,
serta tuntutan situasi sekarang ini yang makin mematang. Timbulnya kesadaran ini sangat
penting, sebab ia mendorong untuk melangkah lebih maju, dan lebih tekun menggarap
bidangnya. Dibanding dengan kemenangan-kemenangan di bidang politik, ofensif
revolusioner di lapangan sastra dan seni masih belum memadai.
Konfernas sepenuhnya menyadari, bahwa perkembangan sastra dan seni akhir-
akhir ini makin baik. Barisan sastrawan dan seniman revolusioner yang bertulang
punggung sastrawan-sastrawan dan seniman-seniman Komunis makin banyak memberika
gempuran-gempuran yang mematikan kepada kebudayaan imperialis dan feudal, serta
makin berhasil membela dan memenangkan kebudayaan Rakyat.
Konfernas menyimpulkan bahwa di bidang seni lukis, pelukis-pelukis revolusioner
menempati kedudukan di depan. Di lapangan poster, seperti misalnya seni grafik (ukiran,
sketsa, ilustrasi, karikatur dan lain-lain) sudah dicapai kemajuan-kemajuan penting. Tetapi,
dekorasi yang berpedoman “massal, baik dan murah” masih kurang meluas. Cergam-
cergam perlu diperbanyak. Di samping itu, persoalan ciri-ciri nasional perlu segera
dipecahkan. Ini perlu, untuk mencegah berjangkitnya penyakit nihilisme nasional.
Kegiatan mengubah tari akhir-akhir ini makin meluas. Aksi-aksi massa
revolusioner sudah makin banyak yang dituangkan di dalam karya-karya tari. Di samping
itu pengikisan tari-tari feudal serta pengganyangan twist, rock and roll dan sebagainya
makin gencar dilakukan. Tetapi, tari kanak-kanak dan tari pergaulan perlu mendapat
perhatian yang lebih sungguh-sungguh, mengingat bahwa lapangan ini penting sekali
artinya bagi perjuangan revolusioner. Di dalam tari masih ada kecenderungan untuk
mengabaikan peninggalan-peninggalan teknik tari tradisional, tetapi di samping itu ada

Universitas Sumatera Utara


pula kecenderungan untuk bersikap konservatif dan terjerembab dalam suasana serba
klasik. Dalam hubungan ini, penggarapan folklor perlu lebih diintensifkan.
Kegiatan mendirikan paduan suara-paduan suara sudah mulai meluas di maa-mana.
Juga sudah banyak kegiatan-kegiatan di bidang musik ini yang sudah diintegrasikan
dengan aksi-aksi massa revolusioner. Lagu-lagu revolusioner sudah banyak diciptakan. Di
bidang musik daerah dituntut keberanian melakukan aransemen-aransemen dan orkestrasi-
orkestrasi baru. Penggalian kekayaan irama dan melodi musik Rakyat perlu dipergiat.
Pembaruan musik daerah harus dikombinasikan dengan perlawanan terhadap pencarian
efek-efek murah dan efek-efek kenikmatan atau mat-matan feodal. Juga di bidang musik
masih ada dua kecenderungan seperti yang terdapat di bidang tari.
Di bidang film memang masih dirasakan benar-benar dominasi film imperialis,
terutama film-film AS, yang selama ini melalui AMPAI meliputi jumlah 75% dari seluruh
jumlah screentime. Memang aksi-aksi revolusioner mengganyang film-film imperialis AS
makin hari makin meluas dan AMPAI telah dibubarkan. Tetapi kita harus terus melawan
kegiatan kaum reaksi yang menyiapkan AMPAI “berbaju nasional”. Kekurangan film
sementara sebagai aksi konsekuensi aksi boikot, menuntut kepada kita untuk lebih banyak
lagi memproduksi film-film nasional yang revolusioner dan indah.
Demikian juga penting artinya mengembangkan bidang fotografi, terutama yang
mencerminkan aksi-aksi massa dalam perjuangannya mengganyang Malaysia, tujuh setan
desa, setan-dunia Amerika Serikat dan revisionisme modern.
Timbulnya persoalan “paceklik sastra” adalah akibat kemajuan kesadaran politik
dan tingkat kebudayaan kaum buruh, kaum tani dan Rakyat pekerja lainnya, sehingga hasil
kerja kurang memenuhi tuntutan massa yang lebih maju. Hal itu juga disebabkan karena
kurang intensifnya pembajaan dan pendidikan diri para sastrawan. Ini tidak berarti bahwa
tidak ada kegiatan di bidang sastra. Penulis-penulis muda yang dilahirkan dan dibajakan
oleh aksi-aksi buruh dan tani makin banyak. Penerbitan-penerbitan, sekalipun jumlahnya
sangat terbatas, tetapi berjalan terus. Meskipun demikian, kegiatan penulisan cerita pendek,
esai, novel dan reportase literer harus diperluas, karena bentuk prosa lebih cepat diterima
oleh massa.
Konfernas berpendapat bahwa perkembangan drama daerah cukup baik. Tetapi
perlu diperhatikan , bahwa drama-drama daerah yang merupakan perkembangan lebih
lanjut dari folklor banyak yang belum bersih dari pengaruh dan pemujaan feudal di dalam
cerita-ceritanya, drama-drama daerah sebagai kesenian kaum tani, merupakan senjata
ampuh bagi perjuangan kaum tani. Dalam rangka pembaruan drama daerah, perlu
kerjasama dengan sastrawan terutama di dalam penulisan repertoar. Adalah sudah
waktunya untuk mempunyai satu rombongan drama di setiap kota.
Menghadapi kritik sastra dan seni. Konfernas menyimpulkan bahwa bidang ini
harus mendapat penggarapan yang jelas. Kritik sastra dan seni tidak boleh terjangkit
penyakit formalism dan hanya tenggelam dalam buku-buku saja yang jumlahnya terbatas,
tetapi harus menitik beratkan pada kegiatan sastra dan seni yang menjangkau massa luas.
Dalam kritik sastra dan seni perlu memperhatikan sikap yang tepat terhadap sastrawan dan
seniman muda, juga tua jangan “menggagahi” yang muda. Juga supaya digunakan

Universitas Sumatera Utara


pedoman “saling asah, saling asih dan saling asuh”, yang berarti saling kritik dengan
perasaan saling mencintai da saling mendorong maju.
Konferensi berpendapat adanya kekhawatiran bahwa dengan pembaruan itu akan
kehilangan “pasaran” adalah tidak beralasan. Justru dengan pembaruan isi dan peningkatan
teknik atas dasar penerusan tradisi, akan membuat sastra dan seni lebih tinggi muatannya
dan lebih luas penggemarnya. Sesuatu yang lebih baik, dan apalagi jika isinya membela
kepentingan Rakyat, tidak akan ditolak oleh Rakyat dan bahkan digemari Rakyat.
Pendapat yang menganggap bahwa secara mutlak tidak mungkin ada pembaruan
yang terdapat pada bidang pewayangan perlu dikikis habis. Anggapan itu adalah tidak
dialektis, sebab wayang itu sendiri adalah hasil kreasi Rakyat Indonesia dalam meng-
Indonesia-kan Mahabrata dan Ramayana. Soalnya bukan terletak pada bisa atau tidak
diperbarui, melainkan bagaimana cara kita mengadakan pembaruan. Hanya saja perlu
ditekankan, bahwa mengadakan pembaruan segala bentuk kesenian yang popular dan
sangat disukai oleh Rakyat tidak boleh gegabah, dan perlu untuk masa yang agak panjang
bentuk lama dan bentuk hasil pembaruan dibiarkan “hidup berdampingan”.
Kita sudah mempunyai garis yang tepat di lapangan sastra dan seni, yaitu garis 1-5-
1 (satu lima satu), yang terdiri dari satu azas “politik adalah panglima”, lima metode
kombinasi: meluas dan meninggi, tinggi mutu ideologi dan tinggi mutu artistik, tradisi dan
kekinian revolusioner, kreativititas individual dan kearifan massa, realisme revolusioner
dan romantisme revolusioner, serta satu cara kerja yaitu turun ke bawah. Garis ini telah
teruji ketepatannya dalam praktek selama ini, dan telah menuntut sastra dan seni
revolusioner memperoleh sukses-sukses yang penting.
Pedoman penciptaan yang telah diletakkan dalam garis 1-5-1 harus dimiliki oleh
setiap sastrawan dan seniman secara mendarah-daging. Penghafalan rumus-rumus saja
justru akan membekukan kerja-kerja para sastrawan dan seniman.
Konfernas berpendapat bahwa perumusan “realisme sosialis dan romantisme
revolusioner” mengingat bahwa perumusan ini lebih mudah dimengerti dan diterima, lebih
tepat dan lebih langgeng sampai ke zaman Komunisme.
Konfernas sepenuhnya membenarkan penegasan Kawan Ketua bahwa bidang-
bidang sastra dan seni termasuk bidang-bidang terpenting daripada pekerjaan ideologi kita,
di maa setiap pekerjaan ideologi tanpa perkecualian, termasuk pekerjaan sastra dan seni
harus dibubur nasikan kepada kepentingan-kepentingan Rakyat Indonesia. Hal ini berarti,
terus-menerus memperkuat kedudukan sastra dan seni yang memihak dan membela Rakyat
pekerja, terus-menerus memperkuat pimpinan proletariat di bidang sastra dan seni.
Meskipun sudah nampak kemajuan-kemajuan yang telah tercapai berkat usaha
yang terus-menerus dari sastrawan dan seniman revolusioner dalam pengabdiannya kepada
Rakyat, namun ternyata masih banyak sastrawan dan seniman yang pengabdiannya belum
terlaksana secara tepat. Benar mereka sudah mulai membicarakan kaum buruh dan kaum
tani, tetapi kaum buruh dan kaum tani masih merupakan “embel-embel” dari reka-rekaan
subyektif pikiran borjuis kecil penciptanya. Ini disebabkan karena mereka belum
menyadari benar-benar “untuk siapa sastra dan seni” dan belum mempunyai pendirian dan

Universitas Sumatera Utara


sikap yang tepat. Oleh karena itu sastrawan dan seniman Komunis harus menyadari
sedalam-dalamnya bahwa sastra dan seni adalah untuk Rakyat pekerja dan satu-satunya
yang tepat adalah pendiria dan sikap proletariat.
Partai pernah menyimpulkan bahwa di kalangan kader-kader sastrawan dan senima
kita masih terdapat kawan-kawan yang kena penyakit “ngeloni ideologi borjuis kecil”.
Titik tolak mereka dalam memandag sesuatu adalah “titik tolak borjuis kecil”. Orientasi
mereka belum orientasi proletariat. Kawan-kawan yang demikian masih ada di dalam
Partai kita, karena pintu Partai kita akan terus terbuka bagi mereka yang bukan berasal dari
proletariat, termasuk sastrawan dan senimannya.
Pada umumnya, kader-kader sastrawan dan seniman kita sudah melalui fase cinta
yang dangkal, dan ini harus ditingkatkan menjadi cinta sejati, cinta yang mendalam yang
menimbulkan rindu-dendam kepada kaum buruh, tani, prajurit dan Rakyat pekerja lainnya.
Rasa cinta yang demikian ini harus terus-menerus ditanamkan dan diperjuangkan.
Semuanya ini adalah soal ideologi. Menyatukan perasaan dan pikiran dengan Rakyat
pekerja hanya mungkin jika kita mengintegrasika diri dengan mereka, yaitu jika kita
membiasakan diri turun ke bawah dan melakukan riset dengan metode “tiga sama” dan
dengan senjata Marxisme-Leninisme untuk mengungkapkan kontradiksi-kontradiksi yang
ada dalam pikiran dan perasaan massa.
Pengintegrasian pertama harus diartikan pengintegrasian dalam pikiran da
perasaan, yaitu menjatuhkan pikiran dan perasaan dengan tuntutan dan aspirasi-aspirasi
revolusioner kaum tani dalam perjuangannya untuk membebaskan diri. Pengintegrasian
pikiran dan perasaan dapat dilakukan melalui dua jalan, yaitu jalan tidak langsung melalui
kader-kader yang memimpin mereka dan yang langsung, yaitu langsung datang di tengah
massa.
Untuk mencapai hasil kerja yang hidup da indah, seniman dan sastrawan haruslah
mementingkan jalan pengintegrasian secara langsung dengan hidup di tengah-tengah
massa Rakyat pekerja dan mengambil bagian dalam proses produksi. Di samping itu,
sastrawan dan seniman revolusioner harus berusaha lebih keras untuk bergaul lebih rapat
dengan kader-kader revolusioner dari pusat sampai ke basis, sehingga lebih mengenal
sasaran pengabdiannya atas dasar lebih setia kepada massa da tetap setia kepada kesenian.
Sebaliknya, kader-kader revolusioner yang bukan seniman harus meningkatkan daya
apresiasinya sehingga lebih mudah menangkap “bahasa artistik”. Untuk itu perlu
dibangkitkan kritik sastra dan seni di kalangan massa.
Konfernas berpendapat bahwa sastrawan dan seniman harus mencari sumber
kreasinya pada massa dan terus menerus membajakan diri dan mendidik diri. Mutu
ideologi karya tidak mungkin tercapai kalau manusia yang mengkreasinya tidak menempa
ideologinya sendiri, tidak membajakan diri di dalam kehangatan perjuangan revolusioner.
Mutu artistik karya tidak akan meninggi jika sastrawan dan seniman tidak terus mendidik
diri, belajar Marxisme-Leninisme, giat belajar dan giat berlatih di lapangan artistik dan giat
praktek revolusioner untuk memperoleh penghayatan revolusioner. Hanya dengan
membajakan diri dan mendidik diri, sastrawan dan seniman revolusioner dapat
menunjukkan satunya kata-kata dan perbuatan. Bahkan sastrawan dan seniman

Universitas Sumatera Utara


revolusioner harus membuktikan bahwa ideologi dan moral pribadinya adalah lebih baik
daripada karya-karyanya.
Konfernas berpendapat bahwa pengembangan secara maksimal peranan aktif
kesadaran subjektif dalam pengabdian kepada Rakyat pekerja merupakan perkuatan usaha
pemaduan subjek sastrawan dan seniman dengan perasaan dan pikiran massa. Dari
sastrawan dan seniman Komunis dituntut supaa mereka meningkatkan individualitetnya
sebagai Komunis untuk tidak hanya puas menjadi Komunis–komunis minimum, tetapi
harus berusaha keras melalui pembelajaran diri dan pendidikan diri menjadi komunis,
menjadi Komunis-komunis maksimum sebagaimana belakangan ini telah diserukan oleh
Partai kita. Pengembangan peranan aktif kesadaran subjektif atas dasar perasaan dan
pikiran massa dan dalam rangka mengembangkan kemampuan kolektif, bukan hanya
berbeda tetapi bertentangan sama sekali dengan individualisme borjuis. Ini sepenuhnya
sesuai dengan filsafat Marxis yang menjunjung tinggi peranan aktif daripada ide.
Konfernas menggarisbawahi pernyataan Kawan Ketua bahwa pekerjaan politik
adalah otknya partai sedang sastra dan seni adalah hatinya Partai. Orang Komunis adalah
manusia yang mempunyai otak dan hati yang terbaik. Oleh karenanya, kaum Komunis
tidak menarik garis pemisah antara kerja politik dengan kerja kebudayaan. Kedua-duanya
menjadi bagian dari kehidupan dalam kehagatan perjuangan revolusoner sekarang maupun
di masa-masa yang akan datang.
Karena tanah garapan sastrawan dan seniman banyak menyangkut hati, dan bidang
sastra dan seni adalah bidang yang sangat perasa, maka sastrawan dan seniman yang
revolusioner mempunyai peranan yang penting dalam front ideologi. Oleh karena itu pula,
mereka akan menjadi sasaran pertama serangan ideologi kaum imperialis, kaum foedal dan
kaum revisionis modern. Kongres Nasional ke-VI PKI menegaskan, bahwa kaum
reaksioner makin sulit memukul PKI dari segi politik karena begitu satunya program dan
politik PKI dengan kepentingan paling vital seluruh Rakyat dan nasion Indonesia. Oleh
karena itu, mereka terus menerus mencoba menyerang PKI dari segi ideologi. Sastrawan
dan seniman revolusioner adalah prajurit ideologi dan politik yang bersenjatakan ekspresi
sepenuh hati yang artistik.
Adalah suatu kenyataan yang kita saksikan sehari-hari, bahwa banyak orang-orang
dan golongan yang sudah revolusioner atau sudah Manipolis dalam padangan politiknya
hakikatnya masih bersikap reaksioner jika ditinjau dari sikap kebudayaannya. Malahan
masih ada di antara kader-kader, aktivis dan anggota Partai kita berikut keluarganya yang
sampai sekarang secara kebudayaan masih belum memiliki sikap yang tepat. Inilah yang
sering disebut “politik kiri, kebudayaan kanan”.
Karena itu, kita masing-masing harus melaksanakan pendidika Komunis di
kalangan keluarga, terutama akan kita sebagai pelaksana dan kemudian menjadi pewaris-
pewaris dari revolusi. Dalam hitungan ini peranan sastra dan seni revolusioner adalah
sangat penting.
Konfernas menyambut dengan gairah penilaian yang tepat Kawan Ketua tentang
persoalan kader sastra dan seni revolusioner. Anggapan yang mengidentikkan sastrawan
dan seniman revolusioner dengan “liberalisme” adalah tidak tepat, karena sastrawan da

Universitas Sumatera Utara


seniman revolusioner sebagai kader secara kelas dan ideologi berbeda dengan sastrawan
dan seniman borjuis. Meskipun demikian sastrawan dan seniman revolusioner harus terus
menerus memerangi liberalism di dalam dirinya dan di kalangannya untuk menjaga agar
karya-karya sastra dan seni kita tinggi mutu ideologi dan mutu artistiknya. Demikian pula
pikiran untuk memberikan “keistimewaan” kepada sastrawan dan seniman revolusioner
sebagai kader gerakan revolusioner mempunyai hak dan kewajiban yang sama dengan
kader-kader revolusioner lainnya, karena pembentukan jiwa, semangat, kesadaran, moral
dan watak anggota-anggota Partai dan massa. Rakyat banyak tergantung pada bantuan
mereka. Inti daripada gerakan melawan penyakit puas diri adalah membela ideologi
proletariat dari pengaruh-pengaruh pikiran dan watak non-proletar. Dengan melakukan
gerakan ini, berarti kita memperbaharui dan memperkuat kesetiaan kita kepada kearifan
nenek moyang, yaitu “berakit-rakit dahulu, berenang-renang ke tepian, bersakit-sakit
dahulu, bersenang-senang kemudian”.
Situasi sekarang pada pokoknya secara relatif sudah lebih menyediakan syarat-
syarat cukup bagi sastrawan dan seniman revolusioner untuk mengabdika diri lebih baik
kepada kelas buruh, kaum tani, prajurit dan Rakyat pekerja pada umumnya. Aksi-aksi
Rakyat terutama aksi-aksi kaum buruh dan tani merupakan gudang tema yang sangat kaya
dan tiada taranya. Demikian juga tema prajurit dalam perjuangan nasional melawan
imperialisme dan kontra-revolusi. Soalnya tinggal kita harus datang mengambil dan
mengolahnya guna dijadikan senjata massa yang lebih tajam.
Para sastrawan dan seniman revolusioner menyatakan terima kasihnya yang
sebesar-besarnya atas kepercayaan yang diberikan oleh Partai dan Rakyat, dan berjanji
akan menciptakan karya yang lebih banyak dan lebih indah.
Konfernas menyerukan kepada segenap sastrawan dan seniman revolusioner untuk
menciptakan karya-karya yang seindah-indahnya, yang disukai dan dimiliki oleh massa,
sehingga menjadi kebanggaan Partai, Rakyat dan nasion.
Konfernas menyerukan kepada sastrawan dan seniman revolusioner supaya
menggunakan senjata artistiknya secara maksimum untuk memuji dan mengagungkan
kepahlawanan Rakyat di masa lampau dn meraihkan perjuangan revolusioner Rakyat
sekarang dalam mengganyang si Empat Jahat: “Malaysia”, tujuh setan desa, setan dunia
imperialisme Amerika Serikat dan revisionisme modern.
Majulah terus dengan semangat banteng merah merebut banteng nasional-
demokratis dan benteng sosialis!

Jakarta, 2 September 1964.


Konfernas Sastra dan Seni Revolusioner

Universitas Sumatera Utara


LAMPIRAN 9

LAPORAN UMUM
PENGURUS PUSAT LEKRA
KEPADA KONGRES NASIONAL KE I LEKRA
Disampaikan oleh Joebaar Ajoeb
Sekretaris Umum Lekra

Kongres ini tentu saja penting sekali artinya bagi kehidupan dan perkembangan
lebih lanjut Lekra sendiri, tetapi apa-apa yang dibicarakan dan yang akan diputuskan oleh
kongres ini kiranya penting bukan saja bagi Lekra, tetapi bagi seluruh kehidupan
kebudayaan Tanah Air kita.
Hingga kini Lekra sudah berusia delapan setengah tahun. Organisasinya sekarang
sudah meluas kehampir seluruh negeri, sekalipun, sudah tentu di tempat yang satu lebih
maju dan di tempat yang lain kurang maju. Kegiatannya pun sudah meliputi lapangan-
lapangan kebudayaan yang berbagai-bagai, sehingga benar-benar Lekra kita merupakan
suatu lembaga kebudayaan. Orang mengatakan bahwa Lekra sekarang adalah organisasi
kebudayaan yang terbesar di Indonesia. Dengan tidak mempersengketakan hal-hal ini,
bagaimanapun Lekra telah memberikan sumbangan-sumbangan kita kepada kebudayaan
kita. kepada Rakyat kita, kepada Revolusi kita.
Sungguhpun begitu, tak ada alasan pada kita untuk merasa puas dengan
sumbangan-sumbangan yang telah kita berikan. Sebaliknya, segala alasan mengharuskan
kita untuk berketetapan memberikan sumbangan yang lebih banyak, lebih baik dan lebih
berguna lagi.
Saya berani menyatakan, bahwa pada saat kita berkongres sekarang ini, pada kita
sudah ada semua syarat yang diperlukan untuk bekerja lebih banyak, lebih baik dan lebih
berguna bagi kebudayaan, bagi Rakyat, bagi Revolusi.
Kita ini dilahirkan oleh sejarah. Tetapi kita pun akan melahirkan sejarah, setidak-
tidaknya turut melahirkan sejarah. Sedihlah mereka-mereka yang tidak menyadari hal ini,
dan berbahagialah mereka-mereka yang menyadarinya! Tetapi kesadaran, bahwa kita ini
sekaligus adalah anak dan ayah sejarah, meletakkan ke atas pundak kita tanggung jawab
yang sama sekali tidak kecil. Tetapi haruslah kita mundur menghadapi tanggung jawab
yang besar?
Kini kita berkumpul di Solo, sutu tempat yang mempunyai tradisi kebudayaan yang
terkenal, dan yang berkat pemilihan umum, dimana anggota-anggota Lekra aktif ambil
bagian. Kepala daerahnya seorang anggota Lekra pula.
Kini wakil-wakil dari seluruh Lekra berkumpul. Kawan-kawan dari Maluku-Irian
Barat, dari Sulawesi, dari Nusa Tenggara, dari Kalimantan, dari Sumatera dan dari Jawa
berhimpun untuk menilai pengalaman-pengalaman selama ini, untuk menyimpulkan

Universitas Sumatera Utara


pengalaman –pengalaman itu, untuk belajar sebanyak-banyaknya daripadanya, dan untuk
menetapkan tugas-tugas untuk waktu-waktu yang mendatang.
Waktu 81/2 tahun tentu bisa kita anggap panjang, bisa juga kita anggap singkat.
Tetapi kita bandingkanlah keadaan kita sekarang dengan keadaan kita di waktu dulu.
Lekra, baru saja lahir. Ketika itu. Atas inisiatif kawan-kawan D.N. Aidit, M.S. Ashar, A.S.
Dharta dan Nyoto Lekra didirikan dan anggota-anggotanya yang pertama tidaklah lebih
daripada pengurusnya sendiri, yang ketika itu terdiri dari kawan-kawan A.S. Dharta, M.S.
Ashar, Nyoto, Henk Ngantung, Sudharnoto, Herman Arjuno dan Joebaar Ajoeb. Kita
sekarang belum tahu pasti berapa jumlah anggota kita, tetapi terang bahwa jumlahnya
sekarang tidak seperti dikatakan pepatah ”bisa dihitung dengan jari tangan sebelah”.
Kepada saya ditugaskan untuk menyampaikan Laporan Umum Pengurus Pusat
Lekra ini. Laporan Umum ini selain terdiri dari bagian Introduksi, akan terjadi dari empat
bagian lainnya yaitu:
Pertama, perkembangan kebudayaan Indonesia sejak Revolusi Agustus 1945 dan
tempat serta peranan Lekra di dalamnya.
Kedua, tugas yang sudah ditunaikan dan tugas yang dihadapi.
Ketiga, garis yang tepat dan garis yang salah.
Keempat, beberapa masalah organisasi.
Selanjutnya, karena Kongres ini tentu tak cukup membicarakan hal-hal yang umum
saja, tetapi harus juga membicarakan hal-hal khusus, seperti perkembagan sejak Revolusi
Agustus di lapangan kesusasteraan, senirupa, ilmu, dll., maka di samping Laporan Umum
ini akan disampaikan pula laporan-laporan khusus selapangan-lapangan, yang
pendiskusiannya akan dilakukan di dalam Komisi-komisi yang diusulkan dibentuk khusus
untuk lapangan-lapangan itu. Sudah tentu pembicaraan selapangan-lapangan itu akan kita
lakukan dalam sorotan Laporan Umum yang adalah garis umum kita bersama.
Inilah sekedar introduksi. Sekarang saya akan memasuki bagian pertama Laporan
Umum ini, yaitu mengenai perkembangan kebudayaan Indonesia sejak Revolusi Agustus
1945 dan tempat serta peranan Lekra di dalamnya.
II
Perkembangan Indonesia sejak revolusi agustus 1945 dan tempat serta peranan lekra
didalamnya
Lekra didirikan ditahun 1950 dari kesadaran tentang hakikat revolusi agustus 1945
dan tentang hubunganya antara revolusi itu dengan kebudayaan. Bahwa Revolusi itu besar
sekali artina bagi kebudayaan, dan bahwa sekaligus, sebaliknya, kebudayaan besar sekai
artinya bagi Revolus Agustus. Iya, tanpa Revolusi tidak mungkin kita mengimpikan
perkembangan kebudayaan kita. Tetapi sebaliknya, tanpa usaha, tanpa perjuangan
mengembangkan kebudayaan kita, Revolusi juga tidak bisa kita bayangkan
perkembangannya.
Revolusi Agustus 1945 telah meletakka dasar-dasar bagi perkembangan kesenian
dan ilmu yang mengabdi kepada Rakyat. Ia telah membangkitkan potensi kreativitas
kebudayaan Indonesia baru, dan kebudayaan Indonesia baru tidak mungkin lain daripada

Universitas Sumatera Utara


kebudayaan kerakyatan. Ini adalah suatu kebenaran dan kebenaran yang digariskan oleh
sejarah.
Seperti dinyatakan kalimat pertama di dalam “Mukadimah” kita: “Menyadari,
bahwa Rakyat adalah satu-satunya pencipta kebudayaan, dan bahwa pembangunan
kebudayaan Indonesia baru hanya dapat dilakukan oleh Rakyat, maka pada hari 17
Agustus 1950 didirikalah Lembaga Kebudayaan Rakyat”.
Apa yang berlangsung ketika revolusi bersenjata dari Revolusi Agustus, yaitu
periode atara 1945 dan 1950, bergejolak?
Periode itu, dibidang kebudayaan, ditandai oleh betapa banyaknya seniman, sarjana
dan pekerja-pekerja kebudayaan lainnya yang memihak pada, ambil bagian dalam dan
memberikan sumbangannya kepada revolusi. Pekerja-pekerja kebudayaan satu dengan
revolusi, dan karena revolusi 1945 adalah suatu revolusi kerakyatan, maka hal ini berarti,
bahwa pekerja-pekerja kebudayaan satu dengan rakyat. Tetapi, partisipasi atas kesertaan
mereka itu di dalam revolusi masih bersifat spontan. Kespontanan ini tentu tidak hanya
dilahirkan oleh intuisi, tetapi juga oleh kesadaran tertentu. Dalam hal ini kespontanan itu
baik. Tetapi ia juga membawa dalam dirinya seginya yang lain, yaitu: belum teratur, belum
terorganisasi, singkatnya, belum terpimpin, dan sebagai akibatnya, belum bersasaran yang
tepat, sehingga efek dan hasilnya belum cukup besar jadinya.
Demikianlah, Lekra didirikan tepat 5 tahun sesudah Revolusi Agustus pecah, disaat
revolusi tertahan oleh rintangan hebat yang berwujud persetujuan KMB, jadi, disaat gari
revolusi sedang menurun. Ketika itu, orang-orang kebudayaan yang tadinya seolah-olah
satu kepalan tangan yang tegak dipihak revolusi, menjadi tergolong-golong. Mereka yang
tidak setia, menyeberang. Yang lemah dan ragu-ragu seakan-akan putus asa karena tak
tahu jalan. Yang taat dan teguh meneruskan pekerjaan-pekerjaannya dengan keyakinan
bahwa kekalahan revolusi hanyalah kekalahan sementara. Lekra didirikan untuk turut
encegah kemerosotan lebih lanjut dari garis revolusi, karena kita sadar, bahwa tugas ini
bukan hanya tugas kaum politisi, tetapi juga tugas pekerja-pekerja kebudayaan. Lekra
didirikan untuk menghimpun kekuatan yang taat dan teguh mendukung revolusi.
Kebudayaan Indonesia adalah ibarat pohon, yang subur dan hijau abadi, karena
batangnya kuat, karena akar-akarnya kuat, dan karena bumi tempat tumbuhnya subur.
Imperialisme dan feodalisme tak henti-hentinya mencoba mematikan pohon ini,
memotongnya, menggundulinya, tetapi sia-sia, karena batang, akar dan bumi tempat
tumbuh pohon itu terlalu kuat. Buminya adalah Rakyat sendiri. Akar-akarnya adalah
seluruh jumlah kesenian Rakyat yang sudah hidup dari abad ke abad, disemua pulau dan
daerah, di kalangan segenap suku dan bagsa. Sedang batangnya adalah tokoh-tokoh seperti
Abdullah bin Abdulkadir Munsyi, Ronggowarsito, Raden Saleh dan pendiri-pendiri lain,
peletak-peletak batu pertama yang lain dari kebudayaan modern kita. pokok ini kemudian
bercabang-cabang, dengan aliran yang bermacam ragam, dengan gaya yang beraneka
warna. Di lapangan kesusasteraan, salah satu cabangnya dimulai oleh Mas Marco,
pengarang yang revolusioner itu. Di lapangan musik, Supratman. Di lapangan film, suami-
istri Kartolo dan Rukiah. Dan masing-masing lapangan di cabangi oleh nama-nama yang
kuat. Kemudian cabang-cabang itu pun melahirkan dahan-dahannya. Cornel Simanjuntak,
yang tegas-tegas membelakangi “nina bobok”, Chairil Anwar, yang sekalipun dengan
anarkisme, telah memberikan jawabannya kepada fasisme, dan banyak lagi lainnya. Tentu,

Universitas Sumatera Utara


tidak semua dahan dan bahka tidak semua cabang adalah dahan dan cabang yang sehat.
Ada juga di antaranya yang sakit, tetapi yang sakit itu tak kuasa menulari yang lain-lain:
dia bahkan berjatuhan. Yang sehat, yang setia pada bumi dan akhirnya terus melalui
pertumbuhan yang abadi. Inilah ohon kebudayaan kita. lekra memilih bagi dirinya sendiri
tugas yang sama sekali tidak ringan da tidak mudah, yaitu, selaku salah satu cabang utama
dari pohon ini, berusaha memelihara bukan saja kelangsungan hidup, tetapi kesuburan
hidup di pohon.
Usaha Lekra pertama-tama dan sejak semula ditujukan untuk memadukan
kebudayaan denngan gerakan Rakyat, gerakan Rakyat dengan kebudayaan. Dengan
menghimpun seniman-seniman dan pekerja-pekerja kebudayaan lain yang revolusioner,
dan dengan mendirikan organisasinya di mana-mana, Lekra menyebarkan dan membela
azas Seni untuk Rakyat dan ilmu untuk Rakyat.
Pemaduan kebudayaan dengan gerakan Rakyat berartilah, bagi pekerja-pekerja
kebudayaan, dipakukannya kesetiaan dan pengabdian kepada Rakyat dan gerakannya,
sedang bagi aktivis-aktivis gerakan Rakyat di lapangan-lapangan lain, diterimanya
kebudayaan bukan sebagai sesuatu yang asing lagi, tetapi sebagai bagian dari hidup dan
perjuangannya sendiri.
Sejak lahirnya, Lekra senantiasa menggali kekayaan kesenian Rakyat di daerah-
daerah yang diwaktu-waktu sebelumya bisa dimisalkan tambang emas yang belum
dieksplorasi, diusahakan dieksploitasi. Seandainya Lekra tidak tampil dalam penggalian
ini, emas itu tentu tidak hanya tertutup selama-lamanya oleh pasir, tetapi ia mungkin akan
hilang entah ke mana. Penggalian Lekra berarti sekaligus penyaringan, sehingga segi-segi
positifnya bisa dikembangkan dengan meniadakan segi-seginya yang negatif. Dengan tidak
melebih-lebihkan, dan dengan tidak menutup mata terhadap kekurangan-kekurangan yang
melekat pada usaha ini, usaha Lekra ini boleh dikatakan telah berhasil. Bagi Rakyat sendiri
hal ini berarti tergugahnya suatu kesadaran yang seharusnya lebih dahulu sudah harus
bangun. Dan sebagai hasilnya, berkembanglah segi-segi yang indah maju dari kekayaan
kesenian Rakyat daerah-daerah yang seolah-olah samudra yang tidak terbatas itu.
Berkembangnya segi-segi yang indah tentu saja mempunyai arti kesenian yang penting,
sedang berkembangnya segi-seginya yang maju telah membantu menanamkan dan
memperkokoh patriotisme, suatu hal yang sangat diperlukan oleh revolusi dan
pembangunan Tanah Air kita.
Dengan usaha yang meluas ini sebagai landasan, Lekra mendorong serta
menyelenggarakan kegiatan yang meninggi. Inilah yang kita sebut dengan garis “meluas
dan meninggi”. Kegiatan meluas sebagai landasan bagi kegiatan yang meninggi, dan
kegiatan meninggi sebagai pengangkut kegiatan yang meluas.
Kegiatan yang meninggi diselenggarakan dengan mendidik tenaga-tenaga muda
yang belum atau belum cukup terlatih, selama tenaga itu memiliki bakat dan kesanggupan.
Ini disatu pihak. Di pihak lain, kegiatan meninggi diselenggarakan dengan mengajak
seniman-seniman dan sarjana-sarjana yang sudah menduduki tempat yang terkemuka
untuk senantiasa mempertinggi, bagi seniman-seniman mutu artistik dan mutu ideologinya,
dan bagi sarjana-sarjana, mutu kejuruan dan mutu ideologinya.
Hal-hal yang saya terangkan di atas ini dalam Mukadimah kita dinyatakan dalam
kalimat-kalimat sebagai berikut:

Universitas Sumatera Utara


“Zaman kita dilahirkan oleh sejarah yang besar, dan sejarah bangsa kita telah
melahirkan putra yang baik, di lapangan kesusasteraan, seni bentuk, musik, maupun di
lapangan-lapangan kesenian lain dan ilmu. Kita wajib bangga bahwa kita terdiri dari suku-
suku yang masing-masingnya mempunyai kebudayaa yang bernilai. Keragaman bangsa
kita ini menyediakan kemungkinan yang tiada terbatas untuk meniptakan yang sekaya-
kayanya dan seindah-indahnya.
Kemungkinan inilah yang selama ini diusahakan digarap oleh Lekra. Kiranya
berlebih-lebihan jika kita katakan bahwa sudah sangat banyak yang telah kita lakukan,
tetapi kiranya keterlaluan jugalah jika kita katakana bahwa baru sedikit sekali yang telah
kita lakukan.
Seandainya masih terlalu sedikit yang kita lakukan, mustahil reaksi terhadap Lekra
dan terhadap kemajuan Lekra begitu heat, seperti yang pernah kita alami dan yang
sekarangpun masih kita alami.
Ada hal-hal yang oleh Rakyat disambut tidak baik, hal-hal ini oleh musuh-musuh
Rakyat disambut baik. Ada lagi hal-hal yang oleh Rakyat disambut dengan baik, hal-hal ini
oleh musuh-musuh Rakyat disambut tidak baik. Lekra memang disambut tidak baik, tetapi
oleh mereka-mereka yang memusuhi kemajuan, dan hakikatnya memusuhi Rakyat. Sticusa
dan Hollywood, dua ”pabrik kebudayaan asing”, dan di dalam negeri kaum sovinis dan
kaum kosmopolitanis, kaum separatis dan kaum reaksioner umumnya, merasa kegerahan
dengan berdirinya Lekra. Apalagi setelah bertanya bahwa Lekra bukan saja berhak hidup,
tetapi bahwa daya hidupnya ternyata besar.
Salah satu tema yang mereka sukai untuk memukul Lekra ialah bahwa Lekra
“mematikan kebebasan pribadi”. Rupanya mereka itu tak tahu bagaimana suatu simfoni
dimainkan oleh suatu orkes! Konser simfoni tidak bisa terjadi tanpa individualitas, tetapi
konser simfoni juga tidak bisa terjadi tanpa harmoni, yang hanya bisa ada karena ada
pimpinan, karena ada disiplin. Individualitas dan harmoni bukanlah hal yang harus
bertentang-tentangan, kebebasan pribadi dan disiplin bukanlah hal yang harus bertentang-
tentangan!
Rasanya cukup aneh bahwa orang-orang seperti pengurus Sticusa yang begitu
berkebudayaan dan begitu beradat, tidak tahu peranan kebebasan pribadi dan disiplin di
dalam suatu orkes simfoni. Apa sesungguhnya kehidupan kebudayaan ini jia bukan suatu
simfoni? Tetapi bagi mereka, yang penting bukan “alasan” yang mereka tunjukan terhadap
Lekra, yang penting bagi mereka adalah bahwa mereka memukul Lekra, beralasan ataupun
tidak beralasan.
Begitulah, juga “alasan-alasan” mereka yang lain sebenarnya dicari-cari saja. Yang
perlu bagi mereka ialah, bahwa tidak lebih banyak lagi seniman ataupun pekerja-pekerja
kebudayaan yang lain tertarik kepada Lekra, dan yang perlu lagi mereka jika bisa
memereteli barisan Lekra. Kenyataannya bisa dilihat sekarang: apakah Lekra ataukah
mereka yang meretel!
Mengapa Lekra mempunyai hak hidup dan mempunyai daya hidup yang besar?
Sejak fajar Agustus 1945 menyingsing, apa saja dan siapa saja yang tidak
memahami hakikat Revolusi Agustus sesungguhnya tidak mempunyai hak hidup, tidak

Universitas Sumatera Utara


mempunyai daya hidup, sekalipun mungkin pada suatu waktu tertentu tubuhnya belum
cukup tegap.
Tidak usah dijelaskan lagi, bahwa memahami hakikat Revolusi Agustus saja
tidaklah cukup, bahwa di samping itu masih ada keharusan lain, yaitu sanggup
menjalankan apinya, sanggup mendukung panji-panjinya, sanggup menyelesaikan
tuntutannya sampai ke akar-akarnya.
Mukadimah kita menyatakan:
“Revolusi Agustus adalah usaha pembebasan diri Rakyat Indonesia dari penjajahan
dan peperangan, penghisapan dan penindasan feudal. Hanya jika panggilan sejarah
Revolusi Agustus terlaksana, jika tercipta kemerdekaan dan perdamaian serta demokrasi,
kebudayaan Rakyat bisa berkembang bebas. Keyakinan tentang kebenaran ini
menyebabkan Lekra bekerja membantu pergulatan untuk kemerdekaan Tanah Air untuk
perdamaia dunia dan bangsa-bangsa, di mana terdapat kebebasan bagi perkembangan
kepribadian berjuta-juta Rakyat”.
Sesudah keadaan ini, keadaan di mana terdapat kebebasan bagi perkembangan
kepribadian berjuta-juta Rakyat tercapai sekarang ini. Keadaan kongkrit yang kita hadapi
sekarang menjawab pertanyaan ini dengan negatif: Belum! Tetapi jika ditanyakan apakah
selama ini revolusi Agustus belum menghasilkan apa-apa bagi pembebasan kepribadian
berjuta-juta Rakyat kita, jawabannya pun negatif: Tidak! Revolusi Agustus sudah
menghasilkan sesuatu dan sesuatu yang penting dalam usaha pembebasan kepribadian
berjuta-juta Rakyat, hanya kebebasannya yang sebenar-benarnya, yang penuh, belum saja
tercapai, akibat kekalahan yang diderita Revolusi. Mencapai kebebasan penuh adalah tugas
kita sekalian Rakyat Indonesia, tidak terkecuali kita pekerja-pekerja kebudayaan.
Untuk membuat sekedar neraca, inilah yang dapat kita kemukakan; pemberantasan
buta huruf selama 14 tahun ini mencapai hasil lebih banyak daripada yang dilakukan
Belanda dan Jepang selama 140 tahun bahkan 300 tahun lebih; perluasan pendidikan
demikian juga sekurang-kurangnya secara kuantitatif perkembangan sekolah-sekolah di
negeri kita sejak 1945 luar biasa pesatnya; mengenai bahasa kita bahasa Indonesia selama
30 tahun sejak Sumpah Pemuda ini, adalah pula sejak 1915 bahwa ia mengalami
kemajuannya yang sepositif-positifnya; di lapangan penerbitan, baik kuantitatif maupun
kualitatif keadaan seperti sekarang ini tak mungkin terbayang oleh kita misalnya di tahun
1938 atau 1943, begitu juga di lapangan perpustakaan, musik, seni rupa, seni tari, seni
drama dan film nasional juga baru berkembang secara berarti sesudah 1945 pekerjaan
ilmiah, baik dibidang research maupun dalam ilmu yang praktis, juga sejak Revolusi ini
tampaknya kemajuannya yang menggembirakan, seperti antara lain terbukti dari lembaran-
lembaran kerja yang disampaikan pada Kongres Ilmu Pengetahuan Nasional yang
diselenggarakan MIPI belum lama yang lalu; dan yang terpenting dari segala-galanya
adalah revolusi mental yang menguba susunan jiwa maupun sikap hidup Rakyat kita
umumnya: bahwa Rakyat kita dari merasa rendah diri menjadi merasa sederajat dengan
siapapun, bahwa Rakyat kita dari “takut sekolah” dan “takut dokter” menjadi haus sekolah
dan mencari dokter, bahwa Rakyat kita dari tidak punya menjadi punya kepercayaan akan
diri sendiri.
Inilah revolusi kulturil, dengan sebagai hasilnya yang terpenting revolusi mental,
titik balik kejiwaan, yang dilahirkan oleh Revolusi Agustus kita yang besar. Ini jugalah

Universitas Sumatera Utara


mengapa sebabnya KMB, di mata Lekra, hanyalah kekalahan sementara dari Revolusi,
karena, kekalahannya dilapangan politik da ekonomi emndapatkan kompensasinya, yaitu
kemenangan dilapangan kejiwaan: kemenangan daripada suatu kesadaran dan keyakinan.
Dengan model inilah Rakyat kita menyerbu dan memporak-porandakan kembali benteng
kontra-revolusi KMB dan setindak demi setindak mengembangkan kembali revolusi.
Demikianlah maka Sticusa dibubarkan orang, “Asia Foundation” dilarang oleh Pemerintah,
dan akhirnya KMB keseluruhan dibatalkan.
Peristiwa ini membikin khalayak ramai bisa lebih tepat menilai Lekra, menilai
kedudukannya serta peranannya. Tuntutan pembubaran Sticusa, pelarangan “Asia
Foundation” dan perbatasan KMB, yang tadinya dianggap sebagai tuntuta politik semata,
kemudian diakui kebenarannya sebagai suatu tuntutan kebudayaan juga. Hal ini, disukai
atau tidak, menggugah pengakuan akan tepatnya pendirian kita dan akan jauhnya
pandangan ke muka kita. inilah juga baragkali sebabnya, mengapa lama kelamaan
serangan-serangan terhadap Lekra makin kurang dan makin kurang, dan sebagai gantinya,
yang rupanya didorong oleh suatu kesadaran yang kasip, golongan-golongan yang
mempunyai pendirian ideologi maupun artistik yang lain daripada Lekra, mulai mendirikan
lembaga-lembaga kebudayaan sendiri.
Bagi Lekra gejala ini sama sekai tidak dianggap sebagai gejala yang bermusuhan,
selama lembaga-lembaga kebudayaan itu bekerja untuk kemajuan kebudayaan nasional
kita. Sudah di dalam Mukadimahnya Lekra menyatakan: “Lekra mengulurkan tangan
kepada organisasi-organisasi kebudayaan yang lain dari aliran atau keyakinan apa-apa,
untuk bekerjasama dalam pengabdian ini”, yaitu pengabdian kepada Rakyat.
Pada kesempatan ini saya akan menegaskan kembali sikap Lekra mengenai
kerjasama kebudayaan ini. Lekra mengundang semua lembaga kebudayaan yang patriotik
untuk berkoeksistensi dan berkompetisi secara sehat dengan Lekra, dalam iklim kerjasama
dan persahabatan di antara lembaga-lembaga kebudayaan yang sama-sama berpijak pada
kepentingan Tanah Air. Sebaliknya, adalah juga merugikan sekali jika di antara lembaga-
lembaga kebudayaan yang sama-sama patriotik itu tidak ada kerjasama. Kiranya sikap
Lekra ini jelaslah sudah.
Perkembangan terakhir di Tanah Air kita, jika ditinjau secara kulturil, sungguh
membangkitkan kegembiraan dan kebanggaan.
Ketetapan hati kaum buruh dan keberanian, kebijaksanaan serta kewaspadaan
mereka dalam mengambil alih perusahaan-perusahaan Belanda dalam rangka aksi
pembebasan Irian Barat, lahirnya Konsepsi Presiden dan sebagai titian ke arah konsepsi ini
dilantunkannya gagasan Demokrasi Terpimpin, kerjasama antara Angkatan Perang dan
menumpas pemberontakan kontra revolusioner dan dalam melawan intervensi asing,
semua ini satu persatunya adalah peristiwa kebudayaan. Peristiwa-peristiwa ini sekarang
mempunyai artinya yang besar, dan di waktu-waktu yang akan datang akan lebih-lebih lagi
terasanya betapa besar artinya itu. Peristiwa-peristiwa ini berarti menangnya suatu prinsip,
menangnya suatu cita-cita, menangnya suatu kesadaran, yaitu prinsip, cita-cita dan
kesadaran Kerakyatan.
Semua ini dapatlah kita namakan kelahiran kembali Agustus ’45. Kita semua ingat,
bahwa di hari-hari Revolusi Agustus, yang menandai sikap hidup bangsa Indonesia, tidak
terkecuali borjuasinya, adalah kesederhanaan, kegotongroyongan, dan pengabdian kepada

Universitas Sumatera Utara


cita-cita bersama: mempertahankan tegaknya Republik. Oleh KMB keadaan ini dirusak
dan dikoyak-koyak, dan sebagai gantinya bermunculanlah formalisme, birokrasi korupsi,
rombongan individualisme, terutama sudah tentu, dikalangan borjuasi dan kaum feodal.
Rakyat seakan dalam keadaan tak berdaya menghadapi semuanya itu, sampai pada satu
ketika, yaitu pada tahun 1951, pemerintah reaksioner yang terakhir terguling. Kejadian ini
4 tahun kemudian disusul oleh pemilihan umum pertama, yang bukan saja berarti
demokratisasi pertama, tetapi juga berarti kulturisasi pertama dari kehidupan sosial dan
politik, dengan menangnya partai-partai demokratis yang mengangkat seniman-seniman
anggota-aggota Lekra menjadi anggota-anggota parlemen, kemudian Konstituante dan
DPRD di provinsi-provins maupun kabupaten-kabupaten dan kotapraja-kotapraja. Gerakan
Rakyat yang sudah berpadu dengan kebudayaan ini membuktikan dirinya kekuatan yang
amat besarnya, suatu kekuatan yang tak terkalahkan. Ia membentengi kemerdekaan
nasional kita dan menjadi jaminan bagi tercapainya kemerdekaan yang penuh. Ia
membentengi hak-hak azasi Rakyat, dan menjadi jaminan bagi tercapainya demokrasi yang
sejati. Ia membentengi Indonesia, Tanah Air kita, yang suatu waktu pasti akan menjadi
bumi, dimana seperti ditegaskan oleh Mukadimah kita, “terdapat kebebasan bagi
perkembangan kepribadian berjuta-juta Rakyat”. Dengan keyakinan ini Lekra sekarang
melangkah maju, berbaris dalam semangat siap berjuang dan sedia berkorban.
Dalam cengkeraman yang tidak enteng ini, Lekra menyadari, bahwa kerjasama
internasional antara seniman-seniman internasional, antara seniman-seniman dan sarjana-
sarjana progresif yang sama-sama menganut Seni Untuk Rakyat dan Ilmu Untuk Rakyat,
adalah sesuatu yang mutlak perlu. Inilah sebabnya mengapa Lekra selalu menganggap
penting dan maka itu melangsungkan hubungan-hubungan dengan organisasi-organisasi
tokoh persoalan dari dunia seni dan ilmu di luar negeri Barat maupun Timur, dari dunia
kapitalis maupun dunia sosialis.
Kegiatan ini sesuai dengan yang dinyatakan Mukadimah kita “menerima dengan
kritis” dan “mempelajari dengan seksama” segala “hasil ciptaan klasik maupun baru dari
bangsa lain yang manapun”.

Tugas yang sudah ditunaikan dan tugas yang belum dihadapi


Lekra didirikan tidak dimulai dengan suatu Kongres atau suatu proklamasi, tetapi
dimulai dengan kerja.
Sudah tentu pekerjaan yang mula pertama itu masih bersahaja tetapi ternyata
sekarang bahwa awal itu bersifat menentukan.
Ketika itu kegiatan Lekra bolehlah dibagi menjadi beberapa segi. Pertama,
mengenal kekayaan kesenian Rakyat diberbagai daerah dan pada berbagai suku bangsa,
“menghidupkan kesenian Rakyat itu dengan memberinya isi yang baru”.
Kedua, melawan setiap gejala “kebudayaan” imperialis dan feodal, melawan aliran
Seni Untuk Seni, dan menancapkan bendera Seni Untuk Rakyat.
Ketiga, mengadakan ruangan-ruangan kebudayaan pada surat kabar-surat kabar dan
majalah progresif.

Universitas Sumatera Utara


Keempat, menganjurkan dan mendorong sastrawan-sastrawan, pelukis-pelukis,
pematung-pematung, komponis-komponis dan lainnya untuk mengolah tema yang sangat
penting, yaitu Rakyat Pekerja, kehidupannya dan perjuangannya.
Kelima, mengadakan kontak dengan luar negeri dan menyelenggarakan tukar-
menukar kebudayaan.
Yang terasa sekali belum memadai adalah usaha kita memberantas buta huruf.
Dalam hal ini kita mencatat di sana-sini masih adanya pandangan atau sikap yang tidak
tepat, yaitu yang meremehkan atau agak meremehkan pekerjaan pemberantasan buta huruf.
Dengan tidak disadari, sikap yang demikian itu menghambat pekerjaan kebudayaan. Ada
juga yang sikapnya tidak meremehkan pekerjaan pemberantasan buta huruf tetapi tidak
cukup perhatian pada usaha kelanjutannya, yaitu memelihara mereka-mereka yang sudah
melek huruf agar tidak jadi buta huruf kembali. Jadi, diwaktu-waktu yang akan datang
pekerjaa pemberantasan buta huruf harus dipergiat dan harus dicari cara-cara yang baik
dan gampang untuk pemeliharaan, misalnya dengan mengajak lulusan kursus-kursus PBH
itu untuk menulisi Koran-koran bekas dengan semboyan-semboyan, memasang plakat-
plakat sederhana, dan sebagainya.
Dalam pekerjaan menggali dan menghidupkan kesenian Rakyat, masih saja ada
lapangan-lapangan yang belum dijamah, malahan, kadang-kadang ada kawan yang tidak
tahu kesenian Rakyat ada saja yang menjadi kekayaan daerah atau suku bangsanya.
Keadaan ini harus kita akhiri. Lapangan-lapangan yang belum digarap harus digarap,
lapangan-lapangan yang sudah digarap tetapi belum maju, harus dimajukan,, sedang
lapangan-lapangan yang sudah tergarap dan maju harus disempurnakan. Lapangan
pencak silat hendaknya jangan kita abaikan. Dalam penggarapan-penggarapan ini, usaha
pencatatan mempunyai arti yang penting sekali, seperti mencatat melodi-melodi rakyat,
puisi Rakyat, tari-tarian Rakyat, dan sebagainya. Dalam hubungan ini perlu senantiasa
diingat, bahwa yang kita maksudkan dengan “menghidupka kesenian Rakyat” bukanlah
dalam arti negatif sekedar asal dia tidak mati, melankan menghidupkan dalam artian yang
positif terutama dengan memberinya isi yang baru, yang sesuai dengan watak dan tujuan
Revolusi Agustus.
Kawan-kawan yang sudah maju pun kadang-kadang masih mengabaikan atau
meremehkan lapangan-lapangan tertentu. Demikianlah kita lihat misalnya: bahwa banyak
ditulis sajak-sajak sedikit sekali ditulis cerita pendek, banyak dibuat gambar-gambar sketsa
dan vignet-vignet, sedikit sekali dibuat cerita-cerita bergambar, mulai banyak disusun
rombongan-rombongan paduan suara, tetapi sedikit sekali dibuat lagu-lagu baru, banyak
dibicarakan soal situasi kebudayaan, tetapi sedikit sekali dibicarakan atau diresensi karya-
karya satu demi satu, banyak dibikin spanduk-spanduk, tetapi sedikit sekali
dikembangakan seni poster dan masih ada lagi kepincangan-kepincangan lainnya yang
dengan ini hanya diberikan beberapa contohnya. Kiranya jelas bahwa yang kita perlukan
bukan kepincangan, melainkan keseimbangan. Sudah tentu, dengan meletakkan titik berat
pada medium-medium yang penting efektif menyentuh pikiran dan hari massa, yang paling
efektif menggerakkan massa.
Dalam melawan “kebudayaan” imperialis terasa masih kurang ketegasan dan
kontinuitet. Kurang disadari bahwa maksudnya “kebudayaan” imperialis itu sudah bukan
lagi tingkat “infiltrasi biasa”, tetapi sudah subversi. Apa artinya kita berhasil menolak

Universitas Sumatera Utara


pendaratan pasukan-pasuka Amerika di Pekanbaru, kalau segala Elvis Presley, Pat Boone
dan malahan “hullahoop” merajalela di Pasar Baru dan tidak hanya di Pasar Baru! Apa
pula artinya kita solider dengan Rakyat Libanon, Irak dan tiongkok kalau “berita-berita”
melalui film-film “news” Amerika leluasa menggambarkan Rakyat Libanon, Irak dan
Tiongkok itu sebagai “bajingan-bajingan”. Padahal, plagiator kita dalam hal ini luas,
sampai-sampai seperti sudah saya katakana meliputi umat, khususnya organisasi-organisasi
pemuda Kristen, Katolik dan Islam. Lebih-lebih lagi sekarang, dimana “penyakit pes
kebudayaan” imperialis itu sudah menular antara lain dalam bentuk “show business”. Kita
bukan hanya harus mengambil skap terhadap semua ini, tetapi lebih aktif lagi berjuang
melawannya.
Demikian pula dalam melawan “kebudayaan” feodal, terasa sekali bahwa belum
cukup disadari arti dan peranan ilmu. Benar bahwa selama hubungan sosial yang agraris
dan tradisional itu belum dirombak, selama itu tetap ada dasar bagi keterbelakangan,
kelambanan, dan sebagainya. Sebenarnya, revolusi bersenjata dan perjuangan morilnya
sedikit banyaknya telah mengubah keadaan itu. Kaum tani yang tadinya hanya kenal
cangkul dan bajak, menjadi kenal granat dan trekbom dan logis bahwa dengan demikian
mereka menjadi lebih realis. Sekarang, syarat untuk melawan lebih lanjut keterbelakangan
pada mereka sudah menjadi jauh lebih baik, sejak bumi kita mempunyai sateli-satelit
buatan dan matahari kita pun mempunyai planet buatan berkat kerja sarjana-sarjana Soviet.
Ilmuwan harus kita sebarkan melalui cara-cara yang popular dan seluas-luas mungkin agar
dengan demikian kita dapat turut merevolusionerkan pikiran massa terutama massa yang
belum maju.
Garis yang Tepat dan Garis yang Salah
Kita melangsungkan Kongres kita sekarang ini, pada saat pertarungan peinsipil
antara dua garis kesenian dan dua garis ilmu pada pokoknya sudah terpecahkan.
Pertarungan prinsipil antara garis.
“Seni Untuk Rakyat” lawan garis “Seni Untuk Seni” pada pokoknya sudah
dimenangkan oleh garis “Seni Untuk Rakyat”. Juga pertarungan prinsipil antara garis
“Ilmu Untuk Rakyat” lawan “Ilmu Untuk Ilmu” pada pokoknya sudah dimenangkan oleh
garis “Ilmu Untuk Rakyat”. Kemenangan yang sangat besar artinya ini tidak jatuh dari
langit. Kemerdekaan ini adalah hasil dari pekerjaan berpuluh-puluh ribu aktivis Lekra yang
tak pantang melakukan pekerjaan yang sekecil-kecilnya pun dan yang tak mundur
menghadapi kesukaran-kesukaran yang sebesar-besarnya sekalipun.
Tetapi apakah dengan kemenangan yang dicapai itu berarti, bahwa perjuangan
antara dua garis itu sudah tidak laku lagi dan bahwa perjuangan antara dua garis itu sudah
tidak menjadi urusan kita lagi? Hanya orang-orang yag irriil, non realis dan puas diri yang
akan menjawab pertanyaan ini dengan mengatakan perjuangan itu “tidak akut lagi” dan
“sudah tidak menjadi urusan kita”.
Kenyataan menunjukkan, bahwa penganut-penganut aliran “Seni Untuk Seni” dan
“Ilmu Untuk Ilmu” itu sendiri tidak mau menyerah begitu saja. Kekalahan mereka di pintu
depan sering mereka coba tebus lewat pintu belakang dan di sana-sini muncullah mereka
itu kembali dalam variasi-variasi “baru” yang terkadang bisa memikat juga seniman-
seniman atau sarjana-sarjana yang belum punya sesuatu konsepsi.

Universitas Sumatera Utara


Sikap kita mengenai dua garis itu sendiri tentu saja tidak berubah dan tidak boleh
berubah: kita membela garis “Seni Untuk Rakyat” dan “Ilmu Untuk Rakyat”. Dan dalam
membela serta menjunjung tinggi garis yang tepat ini kita harus selalu melawan dua
kecenderungan. Kecenderungan pertama ialah kecenderungan yang menganggap bahwa
garis “Seni Untuk Rakyat” itu “tidak bisa atau sukar mencapai mutu artistik yang tinggi”
dan bahwa garis “Ilmu Untuk Rakyat” itu “tidak bisa atau sukar mencapai mutu kejuruan
yang tinggi”. Kecenderungan yang kedua ialah kecenderungan yang menganggap bahwa
garis “Seni Untuk Rakyat” itu “tidak bisa atau sukar mencapai mutu kejuruan yang tinggi”
dan bahwa garis “Ilmu Untuk Rakyat” itu “tidak boleh atau tidak usah mencapai mutu
kejuruan yang tinggi”.
Di sini soalnya menyinggung dua masalah lainnya, yang seringkali oleh kawan-
kawan kita bahwa “sudah selesai” atau “sudah tidak menjadi soal lagi”, tetapi yang di
dalam praktek belum selesai atau belum selesai dan masih menjadi soal. Dua masalah yang
saya maksudkan ialah “isi” dan “bentuk” dan masalah azas “meluas dan meninggi”.
Adanya kecenderungan yang beranggapan bahwa garis kita, terutama gari “Seni
Untuk Rakyat”, di satu pihak “tidak bisa atau sukar mencapai mutu artistik yang tinggi”
dan di pihak lain “tidak boleh atau tidak usah mencapai mutu artistik yang tinggi”
membuktikan bahwa sebenarnya soal “isi dan bentuk” yang dikira “sudah selesai” itu
memang belum selesai sekurang-kurangnya pada beberapa kawan. Seakan-akan bisa ada
isi tanpa bentuk atau bisa ada bentuk tanpa isi!
Kecenderungan pertama yaitu yang menganggap garis “Seni Untuk Rakyat” itu
tidak bisa atau sukar mencapai mutu artistik yang tinggi, terwujud dalam kenyataan bahwa
sementara sastrawan dan pelukis kita meninggalkan tema Rakyat pekerja dan lebih banyak
mengerjakan tema “bunga”, “cinta”, “alam”, dan sebagainya yang tidak jelas konsepsinya.
Dengan demikian sementara kawan itu boleh dikatakan melahirkan suatu “garis” baru
yaitu “bunga untuk bunga”, “cinta untuk cinta”, “alam untuk alam”.
Kecenderungan kedua, yaitu yang menganggap garis “Seni Untuk Rakyat” itu
“tidak boleh atau tidak usah mencapai mutu artistik yag tinggi”, berwujud dalam kenyataan
bahwa sementara seniman kita pandai melukiskan kehidupan perjuangan Rakyat pekerja,
tetapi tak pandai melukiskan kehidupan kehidupan “biasa” mereka; pandai
mengungkapkan pernataan-pernyataan politik Rakyat pekerja yang tentu saja sangat
penting, tetapi tak pandai misalnya melukiskan suasana alam menangkap persoalan-
persoalan secara tepat, tetapi mengabdikan pengolahan dan penuangan artistiknya, dan
sebagainya. Ini yang mengenai kawan-kawan kreatif. Yang mengenai kawan-kawan
konsumtif, wujud dari kecenderungan ini ialah suka menolak begitu saja hasil-hasil seni
dengan alasan “terlalu sukar” atau “terlalu tinggi”. Kalau hasil-hasil itu memang “terlalu
sukar” atau “terlalu tinggi”, dalam arti bahwa ia mengingkari azas kerakyatan, penolakan
itu tentu bisa dibenarkan. Tetapi tidak jarang pula penolakan itu hanya disebabka oleh
semacam kemalasan, oleh ketiadaan usaha untuk memahami sesuatu, jadi oleh sikap yang
boleh disamakan dengan sikap “sudah mundur sebelum berkelahi”.
Kedua kecenderungan ini tentu harus kita perangi, karena selama kecenderungan
ini ada dalam barisan kita sendiri, tak mungkin barisan kita kuat dan kompak menghadapi
barisan di seberang lain, yaitu barisan “Seni Untuk Seni”. Jadi, perjuangan memenangkan
garis “Seni Untuk Rakyat” dalam arti yang sesungguh-sungguhnya berarti, bahwa

Universitas Sumatera Utara


sekaligus kita harus melawan dua musuh, yaitu musuh yang berupa “Seni Untuk Seni”, dan
musuh di dalam barisan sendiri yang berupa kecenderungan-kecenderungan yang
menyeleweng dari garis kita yang tepat.
Adapun bersangkut pautnya hal-hal ini dengan masalah “meluas dan meninggi”
adalah sebagai berikut. Kalau kecenderungan yang pertama yaitu yang mengabaikan isi
dibiarkan, maka akibatnya perkembangan kesenian kita tidak akan meluas dan meninggi,
tetapi “meninggi” saja atau lebih tepat sok meninggi-ninggi, suatu hal yang sebenarnya
inkar terhadap garis “Seni Untuk Rakyat”, dan yang akan membawa kita akhirnya
bertengkar di menara gading, sekalipun menara gading yang “baru”. Sebaliknya, kalau
kecenderungan yang kedua, yaitu yang mengabaikan bentuk, dibiarkan maka akibatnya
perkembangan kesenian kita juga tidak akan meluas dan meninggi, tetapi “meluas” saja,
yang sebetulnya bukan “op de plaats mara” alias berbaris yang tak maju-maju, tetapi
bahka mundur dan merosot.
Di lapangan ilmu soalnya pada pokoknya sama. Juga di lapangan ilmu kita lihat
ada kecenderungan untuk “meninggi saja” di samping ada juga kecenderungan untuk
“meluas saja”.
Kecenderungan yang pertama mau tak mau akan menjadikan sarjana-sarjana kita
“sarjana-sarjana salon”, dan ini berarti dikhianatinya tradisi yang gemilang dari ilmu kita
di hari-hari revolusi, ketika masa sarjana-sarjana kita membuktikan jasanya antara lain
dengan membikin bengkel-bengkel senjata membikin granat, membikin sabun, kertas dan
apa aja yang dibutuhkan oleh Revolusi.
Kecenderungan yang kedua antara laintampak dalam gejala “mementingkan apa-
apa yang praktis saja”, sehingga misalnya ilmu fisika atom atau ilmu roket dianggap tidak
penting dan diabaikan saja.
Jelaslah bahwa juga dilapangan ilmu satu-satunya garis yang tepat adalah garis
“meluas dan meninggi”. Hanya dengan garis inilah kita bisa mengabdi kepada Tanah Air ,
Revolusi dan Rakyat.
Sekarang sampailah saya pada masalah yang juga sangat penting, yaitu
hubungannya kegiatan kebudayaan dengan situasi dan problem-problem politik.
Berbeda dengan mereka-mereka yang dalam pernyataan menganggap politik itu
tabu, tetapi dalam kenyataan sebenarnya menjalankan politik juga atau malahan
mempertabukan politik justru karena memainkan suatu politik yang reaksioner, kita, Lekra
menganggap politik sebagai sesuatu yang sagat pentingnya, karena omong-kosonglah
kemerdekaan jika tidak ada kemerdekaan politik.
Tradisi kita yang sejati adalah tradisi bahwa gerakan kebudayaan dan gerakan
politik itu satu. Bahkan, tidak jarang satunya gerakan kebudayaan dan gerakan politik itu
dipersonifikasikan dalam arti satu orang pula. Kita ingatlah misalnya Tjipto
Mangunkusumo, Ki Hadjar Dewantoro, Supratman, dr. Amir, Mr. Amir Sjarifuddin, Ir.
Soekarno, bukankah mereka itu sekaligus politikus dan budayawan? Kita ingat pulalah dua
di antara pengarang-pengarang kita yang terkenal Amir Hamzah dan Chairil Anwar,
bukankah mereka itu orang-orang ati-fasis? Dan kita ingatlah Cornel Simanjuntak yang
mati dengan peluru dalam badannya.

Universitas Sumatera Utara


Sebenarnya, setiap manusia yang normal mesti menghidupi kehidupan politik dan
kehidupan kulturil. Inilah sebabnya, maka bagi Lekra persoalan ini boleh dikatakan
sederhana. Lekra dengan teguh pendirian bahwa kebudayaan itu bukan monopoli sesuatu
golongan saja yang mengecualikan kaum holistik daripadanya. Sebaliknya, Lekra pun
berpendirian bahwa politik itu juga bukan monopoli sesuatu golongan saja dan yang
mengecualikan golongan kebudayaan daripadanya.
Soal ini, soal keharusan perjuangan kebudayaan itu satu dengan perjuangan politik,
bagi anggota-anggota Lekra umumnya sudah menjadi pengertian bukan saja, tetapi bahkan
sudah menjadi keyakinan. Dan keyakinan ini sudah dibacakan di dalam ujian praktek.
Sungguh pun demikian, kita tidak dapat mengatakan bahwa di dalam praktek tidak ada
kekurangan-kekurangan atau tidak terjadi kesalahan-kesalahan dalam hal ini.
Ketika konsepsi Presiden Soekarno, yang seperti sudah saya katakana juga
merupakan suatu peristiwa kebudayaan itu diumumkan, seniman-seniman Lekra
menilainya secara tepat dan segera saja mengambil berbagai inisiatif dan melakukan
aktivitas. Pelukis-pelukis kita menuliskan slogan-slogan pada dinding-dinding di tepi jalan,
mereka menggambari sebagian dari dinding-dinding itu, pengarang-pengarang kita
diilhami oleh Konsepsi Presiden itu, menulis sajak-sajak, esai dan lain-lain.
Juga di bawah teror kontra-revolusi “PRRI-Permesta”, kawan-kawan kita tak gentar
melakukan aktivitet yang sama di Sumatera Barat dan Sulawesi Utara: mereka membuat
selebaran-selebaran, menuliskan slogagn-slogan, dan sebagainya. Dan dari Jakarta
seniman-seniman progresif datang ke front depan itu untuk menghangati pejuang-pejuang
Rakyat dan Angkatan Perang di sana. Tetapi, cukuplah sudah perjuangan yang begitu
sengit dan begitu heroic itu tersenyum di dalam kesusasteraan kita, seni rupa kita, musik
kita, film kita? mana kerja-kerja yang berarti yang dijiwai oleh perjuangan besar itu dan
yang demikian, pada gilirannya, akan menjiwai perjuangan besar seluruh Rakyat
Indonesia?
Demikianlah, setiap peristiwa politik yang penting tidak luput dari perhatian kita
dan kita sebagai pekerja-pekerja kebudayaan berkewajiban menjawab, tantangan-tantangan
keadaan itu dengan cara-cara dan alat-alat kita sendiri.
Satu di antara peristiwa-peristiwa yang ikut sekarang ini adalah realisasi gagasan
Demokrasi Terpimpin. Kalau kita menyokong gagasan ini adalah karena penilaian, bahwa
di satu pihak gagasan itu ditunjukkan terhadap liberalism dengan segala mentalitas anarkis
dan nihilisnya, dan dipihak lain ditunjukkan terhadap fasisme dengan segala putus-putus,
kudeta-kudeta dan mentalitet “Kulturkamer”nya.
Penirian bahwa perjuangan kebudayaan itu harus satu dengan perjuangan politik
sama sekali tidak berarti bahwa yang satu bisa menggantikan yang lain, bahwa perjuangan
politik bisa menggantikan perjuangan kebudayaan atau bahwa perjuangan kebudayaan bisa
menggati perjuangan politik. Kedua-duanya haru isi-mengisi. Perjuangan kebudayaan bisa
juga jalan, tetapi tidak lengkap dan malahan bisa terhambat kemajuannya. Tetapi
perjuangan kebudayaan tanpa perjuangan politik adalah tidak mungkin sekali.
Inilah pedoman kita dan pedoman inilah telah, sedang dan akan terus menuntun
kegiatan-kegiatan kita.

Universitas Sumatera Utara


Mengenai saling perngaruhnya kebudayaan kita dengan kebudayaan-kebudayaan
ilmu dan teknik di abad ke XX ini tak bisa dihindarkan dan memang tidak untuk
dihindarkan. Sikap kita adalah perbedaan antara patriotisme dan internasionalisme. Kita
menolak sovinisme atau nasionalisme-sempit, bukan saja karena sovisme atau
nasionalisme-sempit membawa orang pada fasisme. Bersamaan dengan itu kita menolak
kosmopolitanisme, karena kosmopolitanisme membawa orang pada anti-patriotisme. Lekra
menerima secara kritis setiap pengaruh kebudayaan asing ke dalam kebudayaan kita,
dengan meolak unsur-unsurnya yang merugikan aspirasi-aspirasi nasional dan kepentingan
umat manusia umumnya serta menerima unsur-unsurnya yang menggantungkan aspirasi-
aspirasi nasional dan kepentingan umat manusia umumnya. Dalam hal ini saling pengaruh
antara kebudayaan Indonesia dengan kebudayaan-kebudayaan asing ini Lekra juga
berusaha memperbesar sumbangan kebudayaan Indonesia pada kebudayaan dunia. Dengan
mengkonfrontasikan dua macam garis, yang dalam keyakinan kita yang satu dan yang
lainnya salah, maka jelaslah titik tolak Lekra sampai pada cara kerja Lekra dalam
perjuangannya membangun kebudayaan Indonesia baru, kebudayaan yang anti imperialis
dan anti feudal, yaitu kebudayaan Rakyat.
Patokan kita yang terpenting ialah: Seni Untuk Rakyat dan Ilmu Untuk Rakyat.
Dalam bekerja melaksanakan patokan ini arah kegiatan kita ialah: Meluas dan
Meninggi. “Meluas” berarti setia pada garis massa dan “meninggi” berarti sekaligus mutu
ideologi dan mutu artistik bagi pekerja-pekerja kesenian dan meningkatkan terus-menerus
mutu ideologi dan mutu kejuruan bagi pekerja-pekerja ilmu.
Kita berpendirian bahwa harus ada perpaduan antara politik dan kebudayaan dan
antara patriotisme dan internasionalisme. Dan biasanya hal ini tidak terlalu gampang
terjadi. Hal yang begini, sudah tentu kurang baik bagi kegiatan organisasi.

LAMPIRAN 10

KEPUTUSAN-KEPUTUSAN KONGRES NASIONAL LEKRA I


I
Resolusi atas Laporan Umum

Setelah bersidang 5 hari lamanya dan mempertimbangkan secara mendalam dan


seksama Laporan Umum Pimpinan Pusat Lekra yang disampaikan oleh kawan Joebaar
Ajoeb, Kongres Nasional ke-I Lekra yang bersidang pada 28 Januari 1959 di Sriwedari,
Solo, dengan bulat memutuskan menyetujui dan memperkuat Laporan Umum tersebut.
Kongres menetapkan Laporan Umum tersebut, sebagai garis umum yang harus
dijadikan pedoman kegiatan Lekra dalam masa antara Kongres Nasional ke-I dan Kongres
Nasional ke-II. Kongres menginstruksikan kepada semua organisasi Lekra disemua

Universitas Sumatera Utara


tingkat, untuk mempopulerkan garis umum itu, menyiarkan dan menjelaskannya kepada
massa dan menjadikannya milik massa sendiri.
Pengalaman-pengalaman selama ini membuktikan, bahwa azas kebudayaan Rakyat
itu satu-satunya azas yang tepat, dan bahwa menjunjung tinggi azas ini mengandung
keharusan untuk senantiasa lebih hebat memerangi kebudayaan bukan-Rakyat, terutama
“kebudayaan” imperialis dan feodal.
Pengalaman mengajarkan, bahwa arah kegiatan yang satu-satunya tepat adalah
meluas dan meninggi, dan bahwa jika hal ini tidak dikerjakan secara sungguh-sungguh,
akibatnya kegiatan kita akan menyempit dan merosot.
Kongres membenarkan bahwa pekerja-pekerja kesenian Lekra harus terus-menerus
meningkatkan mutu ideologi dan mutu artistiknya, dan bahwa pekerja-pekerja ilmu Lekra
harus terus menerus meningkatkan mutu ideologi dan mutu kejuruannya.
Kongres membenarkan, bahwa politik dan kebudayaan tidak mungkin dipisahkan,
melainkan diperpadukan, dan bahwa patriotisme dan internasionalisme tidak harus
dipisahkan, melainkan diperpadukan.
Kongres memutuskan untuk melakukan segala sesuatu yang mungkin untuk
membuat kesenian dan ilmu kita mengabdi lebih banyak, lebih baik dan lebih berguna bagi
Tanah Air, Revolusi dan rakyat. Semuanya untuk penyelesaian tuntutan-tuntutan Revolusi
Agustus 1945 sampai ke akar-akarnya, untuk kebebasan, demokrasi dan perdamaian.
Agar dapat menunaikan tugas yang berat tetapi mulia ini Kongres memutuskan
untuk merubah struktur organisasi Lekra yang tadinya suatu organisasi kesatuan menjadi
suatu organisasi yang melingkupi Lembaga Sastra Indonesia, Lembaga Seni Rupa
Indonesia, Lembaga Musik Indonesia, Lembaga Tari Indonesia, Lembaga Film Indonesia,
Lembaga Film Indonesia.
Kongres lebih lanjut memutuskan hal-hal yang berikut:
1. Menuntut dihentikannya sama sekali pembuatan, penimbunan dan pemakaian
senjata-senjata atom dan nuklir, dan bersamaan waktu melakukan pelecutan
senjata dengan memulainnya dari langkah-langkah yang dekat seperti
pembentukan daerah bebas atom dan sebagainya.
2. Menuntut dijaminnya kebebasan tukar menukar kebudayaan antar-bangsa
dalam semangat keputusan-keputusan Bandung, Kairo, dan Taskent.
3. Menuntut kepada Pemerintah dan menyelenggarakan sendiri tukar-menukar
kebudayaan antar suku bangsa untuk lebih memperkokoh kesatuan nusa dan
bangsa.
4. Menuntut ikut sertanya seniman-seniman dan pekerja-pekerja ilmu di dalam
Dewan Perancang Nasional di dalam perwakilan fungsional di dalam DPR.
5. Menuntut dilaksanakannya Undang-Undang No. 1 Tahun 1957 tentang otonomi
pemerintahan daerah, sebagai syarat untuk perkembangan yang lebih baik dari
kebudayaan Rakyat.
6. Menuntut agar pemerintah membatalkan Undang-Undang penanaman modal
asing, yang nyata-nyata merupakan bahaya untuk perkembangan kebudayaan
nasional.

Universitas Sumatera Utara


7. Menilai bahasa-bahasa daerah secara positif dengan menghargai bahasa-bahasa
daerah yang ada dan masih hidup sebagai suatu organisme dengan jalan
membantu memelihara dan memajukannya. Tentang pemakaian bahasa-bahasa
daerah tersebut di sekolah, di pengadilan, dan dalam pergaulan, diserahkan
sepenuhnya kepada Rakyat masing-masing daerah untuk menentukan sikapnya
berdasarkan demokrasi. Dalam pada itu bidan administrasi negara
seyogyanyalah kita hanya menggunakan bahasa persatuan, demi kelancaran dan
efisiensi administrasi negara. Penggunaan bahasa daerah sebagai alat agitasi
politik separatis yang reaksioner dan menguntungkan imperialisme layaklah
dikutuk oleh tiap patriot Indonesia.
8. Menuntut diintensifkannya pendidikan kebudayaan di sekolah-sekolah.
9. Menuntut agar Pemerintah mendirikan gedung-gedung kebudayaan, dan taman-
taman kebudayaan serta tempat-tempat pertemuan bagi para seniman dan
pekerja-pekerja ilmu.
10. Menuntut agar Pemerintah menurunka pajak-pajak seniman dan pajak-pajak
tontonan.
11. Memperjuangkan perbaikan jaminan sosial ekonomi bagi pekerja-pekerja
kebudayaan.
12. Menuntut penurunan harga-harga alat-alat kebudayaan seperti buku-buku, alat-
alat ilmiah, cat dan kanvas, instrumen-instrumen musik dan piring hitam, dan
sebagainya.
13. Mendesak kepada Pemerintah untuk meninjau kembali dan mendemokratiskan
SPID.
14. Menuntut peraturan secara adil politik pemberian subsidi untuk organisasi-
organisasi kebudayaan tingkat daerah swatantra II.
15. Berketetapan seluruh senima dan pekerja ilmu Lekra lebih mempererat
hubungannya dengan organisasi-organisasi massa lainnya dan terus membantu
langsung perjuangan Rakyat, terutama perjuangan kaum buruh dan tani.

II
Resolusi atas Laporan Pendidikan
I. Setelah proklamasi 17 agustus 1945 seharusnya sekaligus diletakkan dasar-
dasar pendidikan nasional yang dijiwai oleh proklamasi 17 agustus 1945;
bahwa kemerdekaan, patriotisme dan demokrasi, harus tercermin dalam segala
lapangan kehidupan, juga dalam lapangan pendidikan.
II. Pendidikan nasional adalah pendidikan yang dapat mengerahkan segenap
potensi nasional untuk menyelesaikan revolusi. Maka itu pendidikan tidaklah
berdiri sendiri terpisah dari masyarakat tetapi harus menjadi senjata Rakyat,
yakni memihak dan mengabdi kepada Rakyat, revolusi, tanah air, kemerdekaan
dan perdamaian.
III. Untuk membangaun Indonesia yang besar da maju, pendidikan memerlukan
ilmu yang mengenal kehidupan, ang menyatukan teori dan praktek dan yang
dapat menghasilkan tenaga-tenaga konstruktif.
IV. Keadaan perekonomian Indonesia yang setengah jajahan dan kurang tepatnya
sistim pendidikan selama ini, tidak memungkinkan Pemerintah menampung

Universitas Sumatera Utara


hasrat belajar Rakyat yang meluap-luap dan menyediakan lapangan pekerjaan
bagi para pelajar yang telah tamat sekolah. Ini mendorong timbulnya sekolah-
sekolah partikelir dan lembaga-lembaga ilmu yang memerlukan perlindungan
dan bimbingan pemerintah.
V. Untuk merealisasi pendidikan nasional diperlukan kerjasama dengan segala
golongan (PGRI, Taman Siswa, organisasi-organisasi pelajar dan mahasiswa
dan lain-lain) dalam front pendidikan nasional.
VI. Guna memenuhi garis kerja lekra yang meluas dan meninggi Kongres Nasional
I Lekra menentukan program kerja sebagai berikut:
1. Memperjuangkan diperbanyaknya badan-badan pendidikan Rakyat sebagai
alat untuk melaksanakan secara intensif pekerjaan Lekra di lapangan
pendidikan.
2. Menggalang front pendidikan nasional guna merealisasi terlaksananya
pendidikan yang demokratis dan patriiotik.
3. Mengintensifkan pekerjaa Lekra di kalangan kaum buruh dan kaum tani
untuk meningkatkan taraf kebudayaannya.
4. Menuntut diperbesarnya Anggaran Belanja Kementerian PPK dan
diawasinya penggunaannya secara efektif.
5. Menuntut segera dikeluarkkannya undang-undang perguruan partikelir yang
disatu pihak melindungi perkembangannya dan dipihak lain menghilangkan
pengaruh-pengaruh yang merugikan pendidikan nasional.
6. Menuntut supaya Pemerintah lebih mengintensifkan pekerjaan di lapangan
PBH.

III
Resolusi atas Laporan Sastra
I. Revolusi agustus 1945 sebagai kelanjutan dari perjuangan Rakyat telah
melahirkan kesusastraan yang baru, terutama dalam hal isi, yang menjadi
pendorong bagi Rakyat banyak untuk memupuk tenaga revolusioner guna
penyempurnaan kemerdekaan nasional.
II. Dalam menghadapi sastra daerah yang merupakan perbendaharaan warisan ke
setiap daerah, Lekra melakukan seleksi atas dasar nilai kreatif untuk penciptaan
yag seindah-indahnya, guna pengembangan nilai-nilai positif Rakyat setinggi-
tingginya.
III. Terhadap hasil-hasil sastra asing Lekra bersikap kritis dan mengadakan
penilaian kreatif.
IV. Untuk melancarkan garis revolusioner secara lebih intensif, segenap potens
dihimpun di dalam Lembaga Sastra Indonesia dan digunakan untuk
menghasilkan kesusastraan secara meluas dan meninggi, dengan program kerja
sebagai berikut:
1. Penyelidikan
a. Mengadakan penyelidikan da mengumpukan cerita-cerita Rakyat,
pantun-pantun Rakyat dan lain-lain serta mengadakan penafsiran
terhadapnya sesuai dengan kepentingan Rakyat. Ini berlaku pula bagi
bahasa-bahasa daerah.

Universitas Sumatera Utara


b. Penggalian serta pengungkapan kembali semua perbendaharaan
rohaniah dan jasmaniah Rakyat Indonesia yang telah mempunyai tradisi
baik guna dikembangka, demi kemajuan, keberanian dan keindahan,
terutama dalam lapangan kesusastraan.
c. Mengadakan penyelidikan di lapangan kesusastraan utnuk penyusunan
sejarah kesusastraan Indonesia secara benar berdasarkan pandangan
kerakyatan. Ini berlaku baik untuk sastra daerah maupun pada sastra
Indonesia dalam waktu yang sesingkat-singkatnya.
2. Penerbitan
a. Menerbitkan majalah kesusastraan yang khusus.
b. Menerbitkan buku-buku kesusastraan.
c. Menyempurnaka penyelenggaraan majalah “Zaman Baru” serta
ruangan-ruangan kebudayaan surat kabar-surat kabar dan majalah-
majalah yang diasuh oleh tenaga-tenaga Lekra.
3. Penterjemahan
a. Menterjemahkan kesusastraan daerah ke dalam bahasa Indonesia.
b. Menterjemahkan kesusastraan Indonesia ke dalam bahasa daerah.
c. Menterjemahkan kesusastraan Indonesia dan kesusastraan daerah ke
dalam bahasa asing.
d. Menterjemahkan kesusastraan asing ke dalam bahasa Indonesia dan
bahasa daerah.
4. Kerjasama
a. Mengadakan tukar-menukar pengalaman antar-daerah dalam saling
memajukan kesusastraan daerah dan kesusastraan Indonesia.
b. Mengadakan tukar-menukar pengalaman dengan lembaga-lembaga dan
perseorangan di luar Lekra di dalam mewujudkan kesusastraan Rakyat.
c. Mengadakan simposion-simposion dan ceramah-ceramah kesusastraan.
d. Mengadakan kerja sama yang saling menguntungkan dengan sastrawan-
sastrawan dan lembaga-lembaga kesusastraan luar negeri.
IV.
Resolusi atas Laporan Seni rupa
Berdasarkan situasi perkembangan kebudayaan di tanah air kita semenjak
berdirinya Lekra, sebagai yang dinyatakan di dalam Laporan Umum Pimpinan Pusat
Lekra, laporan khusus tentang seni rupa dalam sidang pleno Kongres Nasional I Lekra, dan
pandangan-pandangan, pemikiran-pemikiran, saran-saran dan usul-usul yang dibahas
dalam sidang komisi senirupa, Kongres Nasional I Lekra menganggap perlu, adanya
pemusatan khusus terhadap perkembangan seni rupa secara nasional dan ilmiah, sehingga
terlaksana suatu bentuk seni rupa Indonesia yang berazaskan Seni untuk Rakyat, meluas
dan meninggi, sesuai dengan proses perkembangan demokrasi dalam kehidupan
masyarakat Indonesia.
Dan memutuskan bagi Lembaga Seni Rupa Indonesia rencaa kerja pokok, sebagai
berikut:

Universitas Sumatera Utara


1. Ruangan-ruangan pameran dan sanggar-sanggar;
2. Penerbitan-penerbitan (majalah, reproduksi-reproduksi, buku-buku pelajaran dan
sebagainya);
3. Konferensi-konferensi kerja;
4. Symposium-simposium;
5. Hubungan antar daerah melalui kunjungan-kunjungan, pameran-pameran,
demonstrasi-demonstrasi, dan sebagainya’
6. Pendidikan ideologis dan artistik;
7. Penyelidikan dan dokumentasi (research);
8. Lebih mempererat hubungan dengan gerakan massa;
9. Tukar-menukar delegasi dan kerja-kerja dengan luar negeri.
Kongres juga memutuskan:
a. Mendesak kepada Pemerintah agar mendirikan museum seni rupa dan
mendirikan gedung-gedung pameran di tiap-tiap daerah.
b. Mendesak kepada Pemerintah untuk lebih keras mengawasi gambar-gambar
dan lukisan-lukisan cabul dalam bentuk atau kegunaan apa pun (ilustrasi,
poster, dekor, ornamen, tekstil dan sebagainya).
c. Mendesak kepada Pemerintah supaya gedung-gedung kemernterian-
kemernterian dan jawatan-jawatan diisi dengan hasil seni rupa yang
mengandung perjuangan Rakyat.
d. Mendesak kepada Pemerintah agar mencantumkan pendidikan seni rupa di
sekolah-sekolah.
e. Mendesak kepada Pemerintah agar menempatkan pada tempatnya peranan
seniman dalam pembuatan tugas nasional.
f. Mengusulkan kepada Pemerintah supaya menempatkan tenaga-tenaga yang
tepat yang bisa memelihara dan mengembangkan kesenian pada bagian-
bagian kesenian dan kebudayaan pada badan-badan Pemerintah, baik yang
di dalam maupun di luar negeri.

V
Resolusi atas Laporan Musik dan Laporan Tari
Untuk melaksanakan tugas-tugas kebudayaan Rakyat, yang digariskan oleh
Laporan Umum dan Laporan Khusus tentang musik dan tari, serta untuk mengisi kegiatan
lembaga musik Indonesia dan lembaga tari Indonesia, Kongres Nasional I Lekra
menetapkan pedoman kerja untuk musik dan tari sebagai berikut:
1. Menyelenggarakan registrasi musik-tari Rakyat diseluruh daerah.
2. Meluaskan dan mengintensifkan pendidikan musik dan tari dengan jalan;
a. Penerbitan dan penyiaran;
b. Seminar-seminar dan lingkaran-lingkaran diskusi;
c. Perlombaan dan pertunjukkan;
3. Menggiatkan pencegahan dan pemberantasan pencabulan serta gejala-gejala
dekaden lainnya dalam musik dan tari.
4. Memperjuangkan pengintensifan pelajaran musik dan tari di sekolah-sekolah,
terutama di sekolah-sekolah guru.

Universitas Sumatera Utara


5. Menyelenggarakan tukar-menukar musik dan tari, baik antar daerah maupun antar
Negara.
6. Menggiatkan kerja seleksi dan kreasi di lapangan musik dan tari.
7. Mengingatkan kerja penggalian, pengembangan dan peningkatan musik dan tari
Rakyat serta alat-alatnya.

VI
Resolusi atas Laporan Film dan Laporan Seni Drama
Berdasarkan situasi perkembangan kebudayaan di tanah air kita semenjak
berdirinya Lekra sebagaimana yang dinyatakan di dalam Laporan Umum dan Laporan
Khusus Film dan Seni Drama, Kongres Nasional I Lekra memutuskan:
Lembaga Film Indonesia dan Lembaga Seni Drama Indonesia berazaskan Film dan
Seni Drama untuk Rakyat dan berusaha mengabdikan diri untuk perjuangan dan
perkembangan kebudayaan Rakyat, dengan tugas:
1. Menyelidiki, menggali, meningkatkan dan mengembangkan segala macam drama
yang hidup di kalangan Rakyat.
2. Mengadakan perlawanan terhadap segala bentuk drama dan film yang tidak
mewakili kepentingan Rakyat dan segala macam usaha yang menghambat serta
merugikan kegiatan dan perkembangan drama dan film untuk Rakyat.
Untuk melaksanakan tugas-tugas ini, disusun rencana poko program kerja yang
meliputi masalah-masalah:
1. Menggiatkan adanya penyelidikan ke daerah-daerah, sebagai sumber penggalian
drama-drama Rakyat;
2. Mengusahakan pendidikan ideologi dan artistik;
3. Pertukaran hasil-hasil kegiata dalam lapangan drama antar daerah;
4. Memperjuangkan peningkatan jaminan sosial ekonomi bagi seniman-seniman
drama dan film;
5. Mengusahakan adanya jaminan-jaminan yang lebih demokratis bagi pertumbuhan
seni drama dan film nasional;
6. Mengadakan hubungan antar organisasi massa dan organisasi kebudayaan di dalam
negeri dan dengan luar negeri;
Kongres juga memutuskan:
1. Supaya Pemerintah secepat mungkin menyelesaikan undang-undag perfilman
nasiional;
2. Supaya Pemerintah menurunkan harga bahan-bahan baku yang dibutuhkan oleh
kegiatan-kegiatan seni drama dan film;
3. Menuntut dibubarkannya Dewan Film yang sekarang dan menggantinya dengan
Dewan Film yang representatif;
4. Mendesak kepada Pemerintah agar komposisi Panitia Sensor Film yang sekarag
dirobah dengan komposisi yang lebih representative;
5. Untuk memberikan kemungkinan perkembangan yang lebih baik kemajuan
perfilman nasional serta merealisasi bantuan yang lebih intensif diperlukan

Universitas Sumatera Utara


perubahan jatah import film, sehingga tidak merugikan perfilman nasional dan
kebudayaan nasional umumnya.

VII
Resolusi atas Laporan Ilmu
1. Untuk mengumpulkan bahan-bahan keterangan, menyelidiki, mempelajari dan
mensistimatiskan segala hasil ilmu tradisonil. Kongres Nasional I Lekra
memutuskan untuk mengerahkan seluruh potensi Lembaga Ilmu Indonesia di pusat
dan di daerah-daerah guna melaksanaka tugas berat itu dengan se-baik-baiknya dan
se-seksamanya dan dengan sstematik dan maju.
2. Kongres mendesak kepada DPR agar diciptakan suatu undang-undag perguruan
tinggi yang menjamin perkembangan ilmu secara meluas dan meninggi serta
berjiwa kerakyatan, dengan berpedoman kepada kepentingan bangsa dan negara di
dalam rangka pembangunan nasional semesta untuk mencapai masyarakat adil dan
makmur.
3. Kepandaian membaca dan menulis merupakan syarat mutlak untuk menuntut ilmu,
dan oleh karena itu pemberantasan buta huruf wajib dilaksanakan dengan lebih
cepat dan lebih efektif.
4. Tes-tes psikoteknik untuk menyelimuti kurangnya kesempatan belajar pada
perguruan-perguruan tinggi merupakan tembok perintang bagi perkembangan ilmu
dan bagi timbulnya kader-kader pekerja ilmu yang baru secara luas. Untuk
mengatasi keadaan jelek sekarang dalam bidang perguruan tinggi dan perbaikan
mutu pengajaran tinggi.
5. Perlu diperjuangkan supaya pandangan ilmu yang maju yang menjalin diri dalam
kehidupan nasional yang nyata menjadi keyakinan dunia kesarjanaan Indonesia.
Ilmu yang bertujuan terus-menerus menyempurnakan hidup manusia hanya dapat
berkembang subur jia mengikutsertakan Rakyat dalam penyelidikan, penyebaran
dan penggunaannya.
6. Penyelidikan masyarakat, kebudayaan dan sejarah Indonesia haruslah berpangkal
kepada keindonesiaan dan terutama dilakukan oleh sarjana-sarjana Indonesia
sendiri.

VIII
Resolusi atas Laporan Folklor
1. Kongres Nasional I Lekra berpendirian, bahwa folklor sebagai permakluman seni
Rakyat pada bidang hiburan dan tradisi Rakyat perlu dihargai da dinilai setepat-
tepatnya dengan jalan memeliharanya, mengembangkan segi-segi positifnya dan
meniadakan segi-segi negatifnya serta mengembangkannya kepada tingkat seni
yang berderajat baik, tapi tetap berpijak pada bumi nyata kerakyatan. Folklor
sebagai seni dari, oleh dan untuk Rakyat perlu diselidiki dan dipelajari, diolah dan
disiarkan di dalam bentuknya yang sesuai dengan cita rasa seni yang maju daripada
Rakyat. Dalam pada itu pengelolaan dan penjajalanannya di dalam bentuk baru
tidaklah boleh mengingkari perwatakan dan kepribadian masing-masing ungkapan
bumi yang khas. Segala pernyataan seni dari zaman feodal menghendaki penilaian

Universitas Sumatera Utara


kembali yang tetap dengan memberi isi dan jiwa kerakyatan kepadanya. Dongeng-
dongeng Rakyat yang kerap kali berisi tamsil dan kearifan yang dalam,
menhendaki perhatian yang tersendiri. Berkenaan dengan pengaruh asing sikap
Kongres adalah menerima warisan kemasyarakatan itu dengan sikap melindungi
dan memelihara segala yang baik daripadanya dan dengan cara bijaksana dan tegas
menolak yang pada hakikatnya merugikan Rakyat.
2. Berkenaan dengan pengaruh asing sikap Kongres adalah menerima segala sesuatu
yang baik daripadanya demi kepetingan Rakyat berdasarkan sikap bersahabat
dengan Rakyat seluruh dunia dan tegas menolak segala yang merugikan
daripadanya. Apa yang kita terima dari laur seyogyanya disesuaikan dengan watak
dan wajahnya hingga menjadi milik nasional yang utuh.
3. Khusus untuk Irian Barat Kongres menganggap perlu adanya suatu”Pekan Irian
Barat” yang akan diisi dengan acara-acara yang mempertunjukkan hasil-hasil
kebudayaan Irian Barat, di samping ceramah-ceramah dan pidato-pidato politik dan
ilmiah mengenai Irian Barat.
4. Untuk mengumpulkan bahan-bahan keterangan, menyelidiki, mempelajari dan
mensistimatiskan segala hasil folklor pada Sekretariat Pimpinan Pusat Lekra akan
dibentuk suatu jurusan yang akan mengerjakan segala sesuatu yang berhubungan
dengan folklor. Seluruh potensi Lekra di daerah-daerah akan dikerahkan untuk
melaksanakan tugas yang tidak ringan ini dengan sebaik-baik dan se-seksama-
seksama mungkin dengan sistematik yang maju.

Solo, 28 Januari 1959

Universitas Sumatera Utara


Gambar 1.1. Pemutaran Film oleh STICUSA di Yogyakarta.
(STICUSA Jaarverslag 1953)

Gambar 1.2Bachtiar Siagian, salah satu dewan juri FFAA III, sedang menonton film peserta
festival di Markas Besar Ganefo/Gelora Bung Karno. Dewan juri dalam FFAA III terdiri atas
lima belas orang: enam dari Asia, enam dari Afrika, dan tiga dari Indonesia. Bachtiar adalah
sutradara, penulis skenario, sekaligus aktor film dan drama. Ia juga menjabat ketua Lembaga Film
Indonesia, salah satu lembaga kreatif Lekra.

Universitas Sumatera Utara


Gambar 1.3. Sekjen Lekra Joebaar Ajoeb (kiri) dan Njoto | A. S. Dharta (kanan)

Gambar 1.4. Dari kiri-kanan: Bachtiar Siagian dan Basuki Resobowo sedang mengikuti salah
satu sesi penjurian. Delegasi Indonesia mengajukan dua film untuk kompetisi dan juga
memamerkan delapan judul film dalam ‘Trade Exhibition’, diantaranya "Daerah tak bertuan"
produksi Sanggabuana Film; "Generasi Baru" produksi Garuda Film; "Bintang Ketjil" produksi
Aries Film; dan "Turang" produksi bersama Rentjong Film dan Jajasan Gedung Pemuda
Sumatera Utara.

Universitas Sumatera Utara


Gambar 1.5. Kondar Sibarani sewaktu menjadi konduktor bersama dengan Ansambel Gembira di
RRC.

Gambar 1.6. Dari kiri ke kanan-atas: Azis Akbar (Lekra Sumut), Sj. Andjasmara (Lekra Sumut),
Senen Achmad (Lembaga Persahabatan Indonesia-Tiongkok), Sekretaris Konsulat Tiongkok
Medan, Sudjak, Soemarno Hasibuan, Jallaludin Yusuf Nasution (Sekretaris pertama CDB PKI
Sumut), Konsul Tiongkok, Pongang Pane Gangga, Rakut Sembiring, suami Rumiati, Martin Saragi
(CGMI), tidak tau, anwar djambak.

Dari kiri ke kanan-bawah: keempat dari kiri: istri Soemarno Hasibuan, kelima dari kiri istri
Jallaludin, tengah: istri konsulat, Rumiati.

Universitas Sumatera Utara


Gambar 1.7. Samirin, Konduktor Ansambel “Tak Seorang Pun Berniat Pulang”.

Universitas Sumatera Utara


Gambar 1.8. Tokoh-tokoh PKI di Sumatera Utara yang terbunuh pada masa kekejaman rezim
Orde Baru (sumber dokumentasi oleh Astaman Hasibuan).

Universitas Sumatera Utara


Gambar 1.9. Dua sudut yang berlainan arah: Ansambel “Madju Tak Gentar” sewaktu pentas di
Jakarta tahun 1964. Konduktor/Dirigen oleh Syafii

Universitas Sumatera Utara


Gambar 1.10. Soemarno Hasibuan, tokoh dan pemimpin PKI di Sumatera Utara

Gambar 1.11. Buku kumpulan cerpen dan puisi Lekra, Api ’26 atau Gelora Api 26, kiri: cetakan
pertama kanan: cetakan kedua.

Universitas Sumatera Utara


Gambar 1.12. Koran Harian Warta Bhakti milik Angkatan Darat. Edisi 27 Juni 1962

Universitas Sumatera Utara


Gambar 1.13. Dokumen penandatanganan Manifesto Kebudayaan (Manikebu) tahun 1963

Universitas Sumatera Utara


Gambar 1.14. Delegasi dari RRC saat berlangsungnya KAA di Bandung tahun 1955.

Gambar 1.15. Pramoedya Ananta Toer (sastrawan Lekra) saat berusia 30 tahun.

Universitas Sumatera Utara


Gambar 1.16. Poster dan baliho di Medan pada tahun 1960-an yang bertemakan penolakan
terhadap masuknya modal asing ke Indonesia.

Universitas Sumatera Utara


Gambar 1.18. Koran Harian Rakyat (koran PKI) edisi Juni 1963.

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai