2013
Mehaga, Arenda
Universitas Sumatera Utara
https://repositori.usu.ac.id/handle/123456789/9670
Downloaded from Repositori Institusi USU, Univsersitas Sumatera Utara
PERAN LEKRA DALAM MEMBENTUK KEHIDUPAN BUDAYA DI MEDAN
(1950 -1966)
SKRIPSI SARJANA
Dikerjakan
N.I.M : 080706039
DEPARTEMEN SEJARAH
MEDAN
2013
SKRIPSI SARJANA
Dikerjakan
O
L
E
H
Diketahui Oleh :
Pembimbing
Skripsi ini diajukan kepada panitia ujian Fakultas Ilmu Budaya USU Medan untuk
melengkapi salah satu syarat ujian Sarjana Sastra dalam bidang Ilmu Sejarah.
DEPARTEMEN SEJARAH
FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2013
Dikerjakan Oleh :
Pembimbing
DEPARTEMEN SEJARAH
FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2013
Disetujui Oleh :
Departemen Sejarah
Ketua Departemen,
Diterima Oleh:
Pada
Tanggal : 16 Juli 2013
Hari : Selasa
Dekan
Panitia Ujian,
Puji dan syukur penulis haturkan atas kehadirat dan kebaikan Tuhan Yang Maha
Esa, yang telah berkenan memberikan berkat, penyertaan, kesempatan, dan kasih sayang-
Dalam kesempatan ini dengan penuh kerendahan hati dan rasa hormat penulis juga
ingin mengucapkan terima kasih atas segala bantuan yang telah diberikan berupa tenaga,
motivasi, bimbingan, serta sumbangan pemikiran dari berbagai pihak untuk mensukseskan
1. Kepada kedua orang tua penulis, Bapak Sahat Sembiring dan Ibunda Jumpanaria
Barus yang telah melahirkan dan membesarkan penulis dengan penuh cinta dan
kasih sayang yang tak ternilai harganya, kiranya kasih karunia Tuhan selalu
berlimpah kepada mereka. Juga kepada abang penulis, Aldion Agung Sembiring
2. Bapak Dr. Syahron Lubis, M.A. selaku Dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas
Sumatera Utara Medan, beserta Pembantu Dekan I Dr. M. Husnan Lubis, M.A,
Pembantu Dekan II Drs. Samsul Tarigan, dan Pembantu Dekan III Drs. Yudi
Adrian Muliadi, M.A, berkat bantuan dan fasilitas yang penulis peroleh di Fakultas
menyelesaikan studinya.
3. Bapak Drs. Edi Sumarno M.Hum. sebagai Ketua Departemen Sejarah Fakultas
Ilmu Budaya USU yang telah banyak memberikan dorongan, nasihat dan motivasi
i
ini. Juga kepada Ibu Dra. Nurhabsyah, Msi, sebagai Sekretaris Departemen Sejarah
4. Terkhusus untuk Bapak Drs. Sentosa Tarigan, MSp sebagai dosen Penasehat
Akademik penulis yang telah sangat sabar dan tanpa henti-hentinya memberi
wejangan dan nasehat bagi penulis walaupun penulis belum bisa menjadi anak
5. Terimakasih banyak juga penulis hanturkan kepada Bapak Drs. Wara Sinuhaji,
bimbingan dan bantuannya dalam penulisan skripsi ini. Saran dan kritik Bapak
6. Terimakasih banyak juga penulis haturkan kepada seluruh Bapak/Ibu dosen penulis
amalkan, juga kepada bang Amperawira selaku Tata Usaha Departemen Sejarah.
skripsi ini yang telah berkenan membantu penulis menyelesaikan skripsi ini.
stambuk/angkatan tahun 2008, Yogi, Artono, Marco, Jansarman, Jakob, Eko, Resti,
Eri, Royandi, Hotman, Putri, Fahmi, Dewi, Edyta, Cahaya, Kuasa, Azis, Frider,
Suranta, Glorika, Mangihut, Novita, Yuni, Riana dan kawan-kawan 2008 yang
lainnya. Terimakasih atas pengalaman luar biasa yang telah kita lewati bersama.
ii
10. Kepada rekan-rekan segerakan di GMKI FIB USU, Fredrick, Michael, Haradongan,
Supriadi, Lida, Krisman, Nida, Roy, Mangiring, Ira, Bob, Debora, Rico, Rayking,
Rommel, Marton, Surento, Evelin, Novita, Fajar, Jopi, Joy, Bintang, Jhonli, dan
11. Kepada kawan-kawan di Tim Popeye Football Club yang telah memberikan doa
Akhirnya dengan rasa suka dan cita penulis mengucapkan terima kasih banyak atas
segala kontribusi yang telah diberikan dari semua pihak baik yang sudah disebutkan
maupun yang belum tak sempat tersebutkan karena adanya keterbatasan. Semoga kebaikan
saudara-saudariku yang telah penulis terima sampai saat ini dapat terbalaskan oleh Tuhan
Yang Maha Esa. Doa penulis selalu menyertai kalian semua. Amin.
Arenda Mehaga
iii
Puji dan syukur kita ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah
memberikan rahmat serta hidayah-Nya kepada kita. Skripsi ini merupakan merupakan
salah satu syarat untuk menyelesaikan program sarjana. Skripsi ini telah dipertahankan
dalam sidang skripsi di hadapan para penguji Departemen Sejarah Fakultas Ilmu Budaya
budaya di Medan pada saat Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) berkembang di sana
(1950-1965). Skripsi ini terdiri dari lima (V) Bab, fokus utama yang ingin dipaparkan
dalamnya.
Fokus pembahasan skripsi ini terletak pada Bab II – IV, yang berusaha menjelaskan
kronologis dari lahirnya Lekra sebagai suatu organisasi kebudayaan hingga lenyapnya
Lekra. Dalam Bab II lebih banyak dipaparkan tentang kondisi kebudayaan dan perpolitikan
bangsa Indonesia di awal tahun 1950 hingga tahun 1959. Pada bab ini juga dijelaskan
secara rinci kronologis berdirinya Lekra pada 17 Agustus 1950 hingga dilaksanakannya
kebudayaan di Medan beserta peran Lekra di dalamnya. Lekra mulai merambah daerah
Sumatera Utara pada sekitaran tahun 1954, lalu mulai masuk dan membuka cabang di
iv
kebudayaan revolusionernya dengan cara yang kreatif. Dalam Bab III ini juga dijelaskan
bagaimana kehidupan para anggota Lekra Cabang Medan sejak kepemimpinan pertama
oleh Bakri Siregar sampai kepada keperiodean terakhir yang dipimpin oleh Buyung.
Fokus pembahasan yang terakhir terletak pada Bab IV, di mana Lekra mulai goyah
dibuat atas kerjasama Angkatan Darat. Perseteruan pun tercipta di antara kedua kubu
tersebut sejak tahun 1963-1965. Perdebatan yang sengit di antara keduanya tidak pernah
menemukan titik perdamaian. Manifes Kebudayaan akhirnya harus rela dibubarkan oleh
Soekarno setelah dianggap sebagai tandingan dari Manifes Politik. Akan tetapi keadaan
berubah pada pertengahan tahun 1965, tragedi pemberontakan terjadi pada tanggal 30
September, lebih dikenal dengan sebutan G30S, yang berujung pada pengkudetaan tampuk
Manifes Kebudayaan tak lagi bisa berkembang, malah ikut menjadi korban dari
pemberontakan tersebut. Lekra ikut menjadi korba tragedi ini karena kedekatannya dengan
organisasi Partai Komunis Indonesia. Bersama dengan Soekarno dan PKI, Lekra
dilenyapkan oleh rezim yang kemudian muncul setelah terjadinya tragedi G30S itu, yaitu
Orde Baru.
Di Bab V pada skripsi ini penulis berusaha membuat kesimpulan atau benang
merah dari keseluruhan isi buku ini. Kesimpulan tersebut dibuat untuk memudahkan para
pembaca dalam memahami pengaruh-pengaruh apa saja yang telah ditanamkan oleh Lekra
bahkan masih banyak didapati kesalahan-kesalahan, namun semuanya itu tentu merupakan
sebuah konsekuensi dari kelemahan dan keterbatasan yang ada pada diri penulis. Penulis
sendiri sangat mengharapkan adanya masukan berupa kritik dan saran dari para pembaca
untuk penyempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi yang dituliskan ini dapat bermanfaat
bagi para pembaca sekalian yang penulis hormati. Sekian dan terima kasih.
Penulis,
Arenda Mehaga
vi
Halaman
LEMBAR JUDUL
BAB I PENDAHULUAN………………………………………………...1
vii
BAB V KESIMPULAN……………………………………………………..117
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………….122
DAFTAR WAWANCARA
DAFTAR INFORMAN
LAMPIRAN 1-10
GAMBAR
viii
ix
Tahun-tahun dalam periode sekitar 1950-an merupakan sebuah periode yang sangat
Ideologi pada masa itu diyakini bukan lagi dipandang sebagai sebuah refleksi belaka
seperti situasi awal lahirnya konsep ideologi, akan tetapi dia juga sudah menjadi sebuah
‘kebudayaan’ 1 . Pertarungan ideologi ini semakin terasa sengit ketika masa dimana
kebebasan untuk hidup mandiri (tidak diurus oleh kepentingan bangsa asing) telah mulai
masing. Pancasila yang menjadi ideologi dasar negara Indonesia seakan menjadi rebutan
bagi ideologi-ideologi lain untuk dapat bersanding dengan-nya (Pancasila) sebagai sebuah
Tahun-tahun sekitar 1950-an dan awal 1960-an juga merupakan suatu masa ketika
dinegosiasikan dengan penuh semangat. Tak pelak kurun waktu tersebut menjadi sebuah
zaman yang penuh gairah dengan pembentukan identitas bangsa. Kebudayaan berada
sebagai dasar dari hubungan antar personal, yang masing-masing mendasari sebuah
pembentukan bangsa (nation building). Para seniman dan intelektual di dalam republik
yang masih belia itu sibuk memikirkan, berpartisipasi dan bereksperimen, serta berdebat
1
David Mc Lelland, Ideologi Tanpa Akhir. Kreasi Wacana, Yogyakarta, 2005. hlm. 157
serta apa yang membuat mereka menjadi bagian dari ‘Rakyat Indonesia’. Kesalingtautan
dalam negeri selama periode 1950-1965 menjadi perhatian masalah yang rupanya
Pada 18 Februari 1950 – kurang dari dua bulan setelah pengakuan Belanda
Gelanggang. 3 Surat pernyataan itu dibuka dengan kalimat yang sangat mengesankan:
‘Kami adalah ahli waris jang sah dari kebudajaan dunia dan kebudajaan ini kami
teruskan dengan cara kami sendiri’. 4
karena para seniman dan intelektual Indonesia mulai mengenal berbagai pola modernitas,
baik itu melalui hubungan dengan jaringan luar negeri maupun lewat hubungan satu sama
lain di dalam negeri. Ideologi sosialisme dan kapitalisme - yang baru muncul pada awal
abad 19 semakin menunjukkan eksistensinya pada masa Perang Dingin - menawarkan dua
pola yang secara diametris sangat berlawanan mengenai pencapaian kemakmuran dan
Sejak awal tahun 1963 situasi bangsa mulai berubah drastis. Kelompok kiri sedang
2
Sebagaimana diketahui bahwa pengakuan kemerdekaan Republik Indonesia dari Belanda baru
didapat pada Desember 1949 di ranah Konferensi Meja Bundar (KMB).
3
Nama ‘Gelanggang’ diambil dari suplemen kebudayaan di dalam media cetak mingguan Siasat
4
Untuk salinan lengkap dari Surat Kepercayaan Gelanggang lihat Bab II di halaman 18 pada buku
ini.
serangan sengit yang bersifat pribadi. Tegangan dan konflik juga tidak hanya antar ‘kubu’
ideologi secara luas, tetapi juga konflik internal mulai memecah belah masing-masing
kelompok politik.
menyebabkan potret kehidupan intelektual dan budaya pada periode awal dari Republik
Indonesia sebagai suatu konflik penuh polarisasi antara kelompok kiri dengan kelompok
kanan. Konflik kebudayaan yang tersengit mencapai klimaksnya pada tahun 1963 antara
pekerja budaya Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) yang berafiliasi dengan Partai
kebudayaan ini lantas diusung sebagai simbol dari konflik kebudayaan yang pernah terjadi
di Indonesia, dan juga digambarkan sebagai sebuah pertarungan ideologi antara “seni
untuk rakyat” (l’art pour engage) diperhadapkan dengan “seni untuk seni” (l’art pour
l’art).
Terutama kepada Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) yang menjadi main actor
atau tokoh utama dalam proses dinamika kebudayaan pada tahun 1950-1965, merupakan
suatu wadah yang paling ofensif dibanding gerakan-gerakan kebudayaan lainnya. Terlebih
dalam hal memprovokasi rakyat Indonesia untuk mengikutsertakan rakyat sebagai tulang
punggung revolusi yang masih harus dilanjutkan terutama dalam membentuk ‘identitas
5
Jennifer Lindsay, Ahli Waris Budaya Dunia 1950-1965; Sebuah Pengantar, KITLV-Jakarta,
Jakarta, hlm. 6.
juga menuntut hadirnya kaum-kaum revolusioner sejati untuk menjaga keutuhan Bangsa
Indonesia.
Kota Medan pada masa-masa itu menjadi salah satu kota yang paling aktif
Lekra. Para pekerja kebudayaan dari kedua kubu tersebut saling melancarkan strategi
masing-masing untuk berebut menjadikan Medan sebagai sebuah basis salah satu dari
mereka. Hal ini tentunya berdampak terhadap perkembangan kebudayaan dan kesusastraan
yang ada di Medan, misalnya karya-karya sastra seperti cerpen, puisi, novel, dll. yang
ditulis oleh sastrawan-sastrawan Medan. Begitu pun halnya dengan perkembangan seni
drama atau teater, lukis, tari, dan aplikasi-aplikasi kebudayaan lainnya yang terjadi di
Atas dasar inilah tentunya sangat menarik apabila dapat dikaji lebih dalam dan rinci
lagi tentang apa saja pergerakan-pergerakan yang dilakukan Lekra di Kota Medan selama
kurun waktu 1950-an hingga pada tumbangnya masa demokrasi terpimpinnya Soekarno –
atau bisa juga disebut awal berdirinya zaman Orde Baru – yaitu tahun 1965, dalam
Kota Medan seperti yang dikenal dengan julukan kota “Roman Picisan”. 6
6
M.I. Rangkuti, Dinamika Seni dan Budaya Sumatera Utara. Medan, 1981. hlm. 198
masalah yang hendak diteliti sebagai landasan utama dalam penelitian sekaligus menjaga
kebudayaan yang tetap eksis sampai tahun 1966 di Indonesia pada umumnya
kebudayaan dan seni yang terdapat di Medan pada sekitaran tahun 1950-
1966.
Setelah memperhatikan apa yang menjadi permasalahan yang akan dikaji oleh
yang menjadi tujuan peneliti dalam penelitian ini serta manfaat yang didapatkan dari hasil
penelitian.
tahun 1950-1966.
• Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
Lekra.
referensi yang dapat dijadikan panduan penulisan nantinya dalam bentuk tinjauan pustaka.
Bagian ini berisi sistematis tentang hasil-hasil penelitian terdahulu dan yang ada
hubungannya dengan penelitian yang akan dilakukan dan harus di-review terlebih dahulu. 7
Di dalam penelitian ini penulis menggunakan beberapa buku sebagai bahan referensi yang
menimbulkan gagasan, konsep, teori, dan mengarah pada pembentukan hipotesa, dan
Berikut ini adalah tiga jenis buku yang menjadi literatur primer dalam penulisan skripsi ini:
1. Lekra Tak Membakar Buku (Rhoma Dwi Aria dan Muhidin M Dahlan, 2008)
Buku ini bisa dapat dianggap sebagai buku yang paling komprehensif mengenai
Lekra yang disusun secara sistematis dalam sepuluh bab plus daftar singkatan /akronim,
lampiran, dan indeks. Dimulai dari bab Mukadimah yang mencatat situasi menjelang
Kongres I Lekra (1959) ketika seluruh aspek kehidupan masyarakat Indonesia harus
segaris dengan Manifes Politik (Manipol)-nya Soekarno. Demikian pula dengan sikap
berkebudayaan yang arahnya sudah jelas : “Seni untuk Rakyat” dan “politik adalah
panglima kebudayaan”. Pada intinya buku ini memang mengupas habis kerja-kerja kreatif
lembaga ini dibekukan dan seluruh kegiatannya dihapus dari memori dan sejarah bangsa
Indonesia. Namun demikian ada yang mengkritik buku ini karena hanya bersumber dari
guntingan-guntingan artikel lembar kebudayaan Harian Rakjat tanpa mencari sumber lain
7
Dudung Abdurahman, Metode Penelitian Sejarah, Logus Wacana Ilmu, Jakarta, 1999, hlm. 51
kepustakaan lain.
Buku ini hampir keseluruhannya berisikan tulisan tentang citra buruk Lekra
Soekarno. Siapa pun yang pernah membaca buku “Prahara Budaya” tanpa mengkritisi
isinya akan terjerat oleh kesan betapa ganas, bahaya, dan biadabnya Lekra. Propaganda
Orde Baru tentang komunisme sebagai makhluk jahat seperti satu partitur dengan buku
8
ini . Tidaklah berlebihan jika dapat dikatakan bahwa buku ini disusun dengan
mengandalkan semangat propaganda, bukan dengan semangat ilmiah untuk mencari dan
menemukan kebenaran sejarah. Buku ini banyak berisi tentang lampiran-lampiran yang
bermuatan tulisan-tulisan dari para pelaku sejarah pada masa itu, akan tetapi teknik
penyuntingan yang tidak begitu jelas teknik dan metodenya menyebabkan banyak
realitasnya. Namun begitu pun, terlepas dari ke-subjektivan yang terlalu dalam pada
Prahara Budaya, buku ini tetap dirasa pantas menjadi sebuah bahan rujukan karena dapat
menjadi bahan pembanding juga untuk memperoleh kejelasan fakta dari situasi konflik
kebudayaan yang terjadi pada masa 1955-1965, terutama pertentangan antara Lekra
8
Hal ini mengingat bahwa sang penulis buku, terutama Doktor Honoris Causa Dokter Hewan,
Taufik Ismail, adalah sekutu dari penguasa pada rezim pemerintahan Orde Baru.
Buku ini menjelaskan tentang faham atau filsafat dari ideologi Realisme Sosialis
yang lahir dari kondisi revolusi di Uni Soviet (sekarang Rusia). Realisme
9
Sosialis dianggap sebagai filsafat yang menyempurnakan pemikiran dialektik, bagi
realisme sosialis, setiap realitas dan setiap fakta, hanyalah sebagian dari kebenaran, bukan
kebenaran itu sendiri. Realisme Sosialis dapat dikatakan sebagai embrio dari lahirnya
gerakan Lekra di Indonesia. ‘Seni untuk Rakyat’, ‘seniman harus mengabdi kepada
Rakyat’, dll adalah bentuk muatan-muatan yang digali dalam ideologi Realisme-Sosialis.
Untuk dapat lebih dalam mengerti tentang Lekra harus terlebih dahulu mempelajari makna
tentang realism sosialis, karena dialah ‘jiwa’ Lekra. Oleh karena itu buku Realisme
Sosialis dan Sastra Indonesia yang ditulis oleh Pramoedya Ananta Toer ini sangatlah
penting untuk dijadikan rujukan utama dalam hal menulis tentang pergerakan Lembaga
Metode penelitian adalah suatu hal penting yang tidak terpisahkan dari suatu
petunjuk teknis. Metode penelitian sejarah lazim juga disebut metode sejarah. Metode
sejarah adalah suatu proses yang benar berupa aturan – aturan yang dirancang untuk
Ada empat tahap metode dalam penelitian sejarah: satu, heuristik (pengumpulan sumber);
9
Kata ‘Realisme Sosialis’ diyakini dipelopori oleh pujangga besar Soviet, Maxim Gorki.
10
Louis Gottschalk, Mengerti Sejarah, (Terj.) Nugroho Notosusanto, hal. 143
Langkah pertama yang penulis kerjakan yaitu heuristik yang berarti pengumpulan
sumber – sumber atau data-data yang terkait dengan objek penelitian penulis dari berbagai
sumber dalam hal ini penulis menggunakan metode library research (penelitian
kepustakaan) dan field research (penelitian lapangan), sumber tersebut merupakan sumber
primer dan sumber sekunder. Sebenarnya garis demarkasi perbedaan antara sumber
pertama dan sumber kedua tidak begitu jelas atau sering dikaburkan karena setiap
sejarawan mempunyai pendapat masing-masing. 11 Sumber primer dapat dibagi dua yang
pertama, berupa dokumen dan arsip -arsip atau laporan pemerintah dan yang kedua yaitu
sumber lisan berupa wawancara yang langsung dilakukan dengan pelaku atau saksi mata
peristwa sejarah. 12
Langkah kedua yaitu kritik sumber (verifikasi), setelah sumber sejarah yang
dibutuhkan semua terkumpul maka dilanjutkan dengan tahapan kritik sumber, hal ini
dilakukan untuk memperoleh keabsahan atau keaslian sumber atau data yang di dapat.
Penulis dalam melakukan kritik sumber atau penyeleksian yang dilakukan terhadap
sumber-sumber semestinya melalui dua pendekatan yaitu pendekatan intern dan ekstern.
Dimana dalam pendekatan intern yang harus dilakukan yakni menelaah dan memverifikasi
kebenaran dari “dalam” yaitu isi dari sumber atau fakta sumber baik yang bersifat tulisan
(buku, artikel, laporan, dan arsip) maupun sumber lisan (wawancara atau kesaksian).
11
Helius Sjamsuddin, Metodologi Sejarah, Ombak, Yogyakarta, 2007. hal. 107
12
Dudung Abdurahman, 1999, op.cit. hal. 56
10
dilakukan dengan cara memverifikasi atau pengujian terhadap aspek-aspek “luar” dari
sumber sejarah. Hal ini dilaksanakan agar penulis dapat menghasilkan suatu tulisan yang
menjurus ke arah objektif yang berasal dari data-data yang terjaga keasliannya dan
keobjektifannya tanpa ada unsur subjektifitas yang berlebihan dalam mempengaruhi hasil
penulisan.
Langkah ketiga yang dilakukan yaitu interpretasi, setelah data tesebut melewati
kritik sumber maka penulis melakukan tahapan yang ketiga yaitu penafsiran atau
penganalisisan terhadap hasil dari kritik sumber. Di dalam proses interpretasi ini bertujuan
untuk menghilangkan kesubjektifitasan sumber walaupun kita ketahui ini tidak akan dapat
dihilangkan sepenuhnya. Interpretasi ini dapat dikatakan data sementara sebelum penulis
Langkah selanjutnya dan yang terakhir yaitu Historiografi, tahapan ini berisi
tentang penulisan, pemaparan, atau pelaporan dari hasil rekonstruksi data-data terhadap
penelitian sejarah yang telah dilakukan. Metode yang dipakai dalam penulisan ini adalah
deskriptif-analitis. Yaitu dengan menganalisis setiap data dan fakta untuk mendapatkan
penulisan sejarah yang kritis dan ilmiah. Historiografi juga merupakan klimaks dari sebuah
metode sejarah. 13 Layaknya penelitian ilmiah, penulisan hasil penelitian sejarah hendaknya
dapat memberikan gambaran yang jelas mengenai proses penelitian, sejak dari awal
(heuristik) sampai dengan akhir yaitu penarikan kesimpulan sehingga dapat dikatakan
13
Sartono Kartodirjo, Pemikiran dan Perkembangan Historiografi Indonesia, Gramedia, Jakarta,
hal. 58
11
menggunakan konsep-konsep dari berbagai ilmu sosial tertentu yang relevan hanya pokok
memberikan karakteristik ilmiah kepada sejarah. Empat tahapan di atas akan saling
berkaitan antara satu dengan yang lain. 14 Berdasarkan penulisan sejarah itu pula akan dapat
dinilai apakah penelitiannya berlangsung sesuai dengan prosedur yang digunakannya tepat
atau tidak, apakah sumber dan data yang mendukung penarikan kesimpulannya memiliki
validitas yang memadai atau tidak, jadi dengan penulisan sejarah itu akan dapat ditentukan
14
Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah, Bentang Budaya, Yogyakarta, 1995, hlm. 95.
15
Dudung Abdurahman, 1999, op.cit. hlm. 67.
12
menjadi sebuah topik masalah yang cukup serius dibicarakan oleh khalayak umum.
menciptakan identitas dari sebuah kebudayaan yang mandiri, kebudayaan yang bisa
merangkul seluruh wilayah bangsa dan dapat menggantikan identitas budaya lama yang
berusaha untuk menghapus sisa-sisa kolonialisme dan imperialisme yang masih berada di
Indonesia yang baru menikmati kemerdekaan. Pada tahun 1945-1949, para seniman dan
karya-karya seni asing yang dahulu sangat popular di mata masyarakat. Sekaligus juga
membuktikan kepada rakyat Indonesia bahwa karya-karya seni inlanders (pribumi) juga
Pujangga-pujangga besar seperti Chairil Anwar 16, Sutan Takdir Alisyahbana, Asrul
Sani 17, Rivai Apin, M.Balfas, Henk Ngantung, Nyoto dll. adalah para tokoh dalam bidang
kebudayaan yang menjadi inspirasi bagi rakyat Indonesia pada masa awal kemerdekaan.
16
Chairil Anwar, lahir di Medan pada 22 Juni 1922. Ia mulai masuk ke dalam dunia sastra sejak
masa pendudukan Jepang. Sajak-sajak yang dibuatnya semasa itu sangat merefleksikan semangat
patriotiknya, diantaranya ‘Diponegoro’, ‘Persetujuan dengan Bung Karno’, ‘Siap Sedia’ dan sebagainya.
17
Asrul Sani lahir di Rao (Sumatera) 10 Juni 1926. Ia juga berperan sebagai pendahulu Angkatan
’45. Asrul kemudian mendirikan Akademi Teater Nasional Indonesia dan menjadi ketua Lembaga Seniman
Budayawan, organ budaya Nahdatul Ulama (NU).
13
Seni yang sangat berkembang pesat pada tahun 1945-1950 ini ialah seni sastra.
Mereka yang berkecimpung di bidang ini disebut sebagai sastrawan pada periode
Angkatan 45, dikenal aliran sastra realisme, naturalisme dan gaya ekspresionisme. Aliran
dan gaya tersebut sesungguhnya sudah dikenal sejak periode Pujangga Baru, tetapi belum
diterapkan sepenuhnya dalam karya-karya sastra para sastrawan waktu itu. Salah satu
novel yang sangat identik dengan angkatan ini yaitu Salah Asuhan dan Belenggu. Akan
Aliran sastra realisme dan naturalisme kemudian diterapkan pula dalam kritik 18
sastra yang bercorak orientasi mimetik. 19 Kritik sastra bertipe mimetik ini pertama kali
tampak dalam kritik sastra HB.Jassin, meskipun juga bercampur dengan tipe yang lain,
Di samping aliran realisme dan naturalisme, dalam periode Angkatan 45’ juga
muncul paham individualismee dan humanisme universal 20 . Kedua paham itu memberi
corak ataupun ciri kesusastraan Angkatan 45. Dalam kritik sastra kedua paham itu
18
Kata ‘kritik’ berasal dari bahasa Yunani krite’s yang berarti ‘seorang hakim’, krinein yang berarti
‘menghakimi’, criterion berarti ‘dasar penghakiman. Untuk istilah ‘kritik sastra’ sendiri mulai meluas pada
abad ke-17. Istilah kritik sastra pada masa itu diterjemahkan sebagai sebuah bidang studi sastra untuk
“menghakimi” karya sastra dan untuk memberikan penilaian serta keputusan mengenai bermutu atau
tidaknya suatu karya sastra. Rachmat Djoko Pradopo, Beberapa Gagasan dalam Bidang Kritik Sastra
Indonesia Modern, Dwi Dharma, Klaten, 1967, hlm. 9-10.
19
Rachmat Djoko Pradopo, Kritik Sastra Indonesia Modern, Gama Media, Yogyakarta, 2002, hlm.
41. Sastra ‘mimetik’ merupakan sebuah pendekatan dalam hubungan karya sastra dengan ‘universe’
(semesta) atau lingkungan sosial-budaya yang melatar belakangi lahirnya suatu karya sastra. Sastra jenis ini
menitikberatkan kajiannya terhadap hubungan antara karya sastra dengan kenyataan di luar karya sastra.
Sastra mimetik juga sering disebut dengan sastra imitasi atau realitas.
20
Istilah ‘Humanisme Universal’ pertama kali diungkapkan di Indonesia oleh H.B. Jassin pada
sebuah esainya yang menggambarkan filsafat estetika sastra Angkatan 45 (H.B. Jassin, Kesusastraan
Indonesia modern dalam kritik dan esei II, Jakarta: Gunung Agung, 1967).
14
“bahan” karya sastra yang bersangkut-paut dengan keagungan atau kesubliman karya
sastra.
Paham individualisme sesungguhnya sudah ada sejak angkatan Pujangga Baru 21.
Akan tetapi, paham ini baru menjadi sangat menonjol pada Angkatan 45. Pada periode
pujangga baru, individualitas atau kepribadian itu tampak pada hal pemilihan bentuk
(sajak) yang sangat bervariasi, di samping berupa curahan perasaan pribadi dan gerakan
sukma sesuai dengan ciri-ciri romantisme yang mengutamakan perasaan dan pikiran
sastrawan. Akan tetapi, aku sebagai kedirian manusia perseorangan dalam periode
Pujangga Baru belum ditonjolkan atau dikedepankan dengan sengaja. Dengan demikian,
Angkatan ‘45. Sebagai lambang individualisme Angkatan 45 adalah sajak “Aku” karya
Chairil Anwar.
Paham atau aliran seni yang kemudian masuk ke dalam Angkatan ’45 pada akhir
tahun empat puluhan adalah ‘humanisme universal’. Paham ini mengutamakan penonjolan
penggambaran manusia yang umum dalam karya sastra. Dalam arti, dalam karya sastra
manusia di seluruh dunia, misalnya masalah tidak adanya perikemanusiaan dalam perang,
21
Nama Pujangga Baru, selain menjadi nama majalah yang terbit sejak 1933, juga dipakai sebagai
nama angkatan yang menggambarkan gaya khas sastra yang juga merupakan ciri khas dari majalah tersebut.
Sering dihubungkan dengan perjuangan kaum intelektual nasionalis Indonesia dalam usahanya menjelaskan
“Indonesia” sebagai kesatuan budaya, juga harus disebut sebagai bentuk perlawanan terhadap institusi
kebudayaan bentukan kolonial Belanda: Balai Pustaka. (Keith Foulcher, Pujangga Baru: Kesusasteraan dan
Nasionalisme di Indonesia 1933-1942, Jakarta, Girimukti Pasaka. 1991, hlm. 57).
15
Pada 19 November 1946, di Jakarta, dengan usaha dari Asrul Sani, Sitor
Situmorang 22, Rivai Apin, Chairil Anwar, Henk Ngantung, dan M.Balfas, lahirlah sebuah
wadah perkumpulan para seniman yang dinamakan “Gelanggang Seniman Merdeka” atau
yang lebih dikenal dengan sebutan “Gelanggang”. Perkumpulan inilah yang nantinya
Indonesia sampai pada tahun 1965. Lebih lengkapnya, berikut statemen yang
“Gelanggang terlahir dari pergolakan ruh dan pikiran kita, yang sedang
menciptakan manusa Indonesia yang hidup. Generasi yang harus bertaggung
jawab dengan sesungguhnya penjadian diri bangsa kita. bahwa kita hendak
melepaskan diri kita dari susunan lama yang telah mengakibatkan masyarakat
yang lapuk, dan berani menentang pandangan, sifat dan anasir ini untuk
menyalakan bara kekuatan baru.” 23
Preambul pernyataan lahirnya “Gelanggang” di atas, tentu dengan sangat jelas
mengisyaratkan suatu tujuan awal dibentuknya perkumpulan ini, yang juga menjadi sikap
bangsa Indonesia; (b) mempertahankan dan mempersubur cita-cita yang lahir dari
pergolakan pikiran dan ruh rakyat Indonesia; (c) memasukkan cita-cita ke dalam segala
22
Sitor Situmorang lahir 2 Oktober 1923 di Harianboho, Tapanuli Utara. Mulai menulis pada akhir
tahun empat puluhan, namun ia lebih populer pada tahun 1950-an setelah ia kembali dari Eropa. Karya-
karyanya tidak hanya terdapat pada bidang sastra, tetapi juga pintar menulis lakon teater. Sitor juga aktif
dalam kegiatan politik dengan pernah menjadi anggota Partai Nasional Indonesia (PNI) dan mendirikan
Lembaga Kebudayaan Nasional (LKN), yang menjadi alat kebudayaan partainya sendiri. Ia ditangkap da
dipenjara selama delapan tahun dalam kurun waktu 1968-1976.
23
D.S. Moelyanto dan Taufik Ismail, Prahara Budaya: Kilas-balik ofensif Lekra/PKI dkk, Mizan,
Bandung, 1995, hlm. 31.
16
berubah. Jika sebelumnya para seniman kebudayaan hanya disatukan oleh lembaga yang
juga berlandaskan kebudayaan, namun buatan pihak kolonial Belanda, “Balai Pustaka” 24,
tersebut, terlebih lagi buatan anak bangsa sendiri. Akan tetapi, perkumpulan gelanggang ini
tentu tidak dapat merangkul semua seniman di Indonesia yang baru merdeka pada waktu
belum terlalu banyak diketahui oleh para seniman pribumi di luar pulau Jawa.
terbentuk, sehimpunan seniman yang juga tergabung dalam majalah mingguan Siasat,
melansir suatu pernyataan sikap ke dalam sebuah teks yang dinamakan ‘surat kepercayaan
24
Balai Pustaka/Commissie voor de Volkslectuur mempunyai aturan-aturan tersendiri untuk
menerbitkan sebuah buku, yaitu ‘isi tulisan harus bersikap netral terhadap agama’, ‘memenuhi syarat-syarat
budi pekerti yang baik’, ‘menjaga ketertiban’, dan ‘tidak boleh berpolitik (melawan pemerintah kolonial
Belanda)’. Setelah Republik Indonesia merdeka, Balai Pustaka beralih ke tangan pemerintah Indonesia. H.B.
Jassin, Surat-surat 1943-1983, Gramedia, Jakarta, 1984, hlm. 24.
25
Ibid, hlm: 421 .
17
Surat Kepercayaan Gelanggang, atau yang lebih sering disingkat dengan “SKG” ini
adalah sebuah manifesto tentang bidang kebudayaan yang pertama kali muncul di
Indonesia. Akan tetapi, SKG tidaklah dihasilkan oleh sebuah organisasi kebudayaan
seperti yang banyak terjadi di periode-periode setelah SKG ini muncul. Surat Kepercayaan
Gelanggang semata-mata adalah seruan dari sekelompok orang tanpa ikatan kerja bersama
yang kongkrit, yang di kemudian hari didefinisikan oleh khalayak sebagai konsep
pandangan dunia yang mewakili para seniman Angkatan 45. Meski dicetuskan pertama
kali pada Februari 1950, pernyataan SKG sendiri baru pertama kali muncul dalam rubrik
Cahier Seni dan Sastra yang juga bernama “Gelanggang” yang merupakan salah satu
rubrik dari Majalah Siasat, 26 pada edisi Oktober 1950. Sebelum termuat di media,
sebenarnya pernyataan Surat Kepercayaan Gelanggang ini pernah dibacakan dalam sebuah
26
Siasat merupakan sebuah majalah mingguan politik dan kebudayaan yang diasuh oleh kalangan
budayawan dan intelektual yang kemudian hari sangat dekat dengan Partai Sosialis Indonesia (PSI),
diantaranya seperti Soedjatmoko, Rosihan Anwar, Gadis Rasjid dan Soedarpo Sastrosatomo. Terbit pertama
kali pada Januari 1947, sedangkan ruang (rubrik) kebudayaan ‘Gelanggang’-nya baru muncul pada awal
1948 atas inisiatif dari sekelompok seniman dalam “Gelanggang Seniman Merdeka” yang kemudian oleh
HB. Jassin dikategorikan sebagai Angkatan 45 dalam sejarah seni Indonesia.
18
berlandaskan bahwa seni dan kebudayaan pada umumnya adalah bersifat universal.
Pernyataan bahwa mereka (para pembuat SKG) adalah “ahli waris yang sah dari
kebudayaan dunia” pada bagian pertama, sesungguhnya adalah suatu sikap kultural yang
Sedangkan untuk paragraf kedua, ketiga, dan keempat adalah penegasan ulang
bahwa identitas mereka sebagai orang Indonesia bukanlah dari tampilan fisik, melainkan
dari apa yang mereka hasilkan sebagai insan pencipta budaya, terlebih lagi dengan diikuti
penolakan terhadap segala “pemeriksaan ukuran nilai” dalam kebudayaan yang tak
menentu sikap dan identitasnya atau sewenang-wenang. Lebih ekstrim lagi ialah
pernyataan tidak mau “melap-lap hasil kebudayaan lama” namun akan menciptakan sendiri
kebudayaan yang baru yang didapat dari sebuah interaksi para seniman dan budayawan
dengan realitas dunia. Komitmen ini berarti mereka sepakat dengan konsep revolusi nilai,
yang berarti meletakkan nilai-nilai baru atas nilai-nilai usang yang sudah tidak layak dan
harus dihancurkan.
27
Semangat internasionalisme ini menurut beberapa pengamat sejarah kesusasteraan Indonesia
modern dipopulerkan oleh Chairi Anwar yang dia sendiri mengambilnya dari identifikasi dengan estetika
modern eropa. Lihat pada Keith Foulcher, Angkatan 45; Sastra, Politik Kebudayaan dan Revolusi Indonesia,
Jaringan Kerja Budaya, Jakarta ,1994, hlm 23.
19
bahwa seni sangat mempunyai peran dalam proses pembangunan bangsa apabila seniman
tetap setia pada cita-cita untuk melakukan pengujian pada dirinya sendiri dan melakukan
penggalian untuk menemukan jati diri dari keaslian –keaslian pencapaian budaya.
Karena sifatnya yang ‘internasionalisme’ dan ‘universal’ itu, banyak kalangan pada
masa itu yang menilai bahwa Surat Kepercayaan Gelanggang adalah ibu kandung dari
Manifes Kebudayaan (Manikebu) yang lahir pada 1963. Bukan hanya itu, SKG juga
paham Realisme Sosalis. Padahal dari kalangan Lekra sendiri mereka melihat bahwa Surat
keduanya pada kenyataannya mempunyai sikap yang sama terhadap revolusi, kebebasan
dalamnya, terutama pada latar belakang kelahirannya. Salah satunya ialah dalang atau
konseptor dibalik lahirnya SKG ini sendiri. Dalam kebanyakan literatur-literatur tentang
sejarah kesusasteraan Indonesia Modern, Chairil Anwar lah yang diyakini menjadi
konseptor atas terbentuknya Surat Kepercayaan Gelanggang tersebut, akan tetapi tak
sedikit juga kalangan yang menganggap bahwa Asrul Sani yang sebenarnya memainkan
28
Joebaar Ajoeb, Sebuah Mocopat Kebudayaan Indonesia, Teplok Press, Jakarta, 2004, hlm. 25.
29
Ajip Rosidi sebagai penyunting buku Asrul Sani 70 tahun, menyatakan bahwa sang konseptor dari
Surat Kepercayaan Gelanggang adalah Asrul Sani. Ajip menolak pandangan umum selama ini yang
menganggap bahwa Chairil Anwar-lah konseptornya. Sebab, menurut Ajip Rosidi, ketika surat itu
diumumkan Chairil Anwar sudah setahun sebelumnya meninggal dunia (April 1949). Argumen Ajip ini
20
melatar belakangi lahirnya manifest SKG. Situasi sosial politik Indonesia di tahun 1950-an
stabilitas negara hanya diprioritaskan pada politik semata dan pada akhirnya menimbulkan
kejenuhan pada kaum seniman, budayawan, dan para intelektual. Akan keadaan yang
seperti itu tentu dengan mudah timbul rasa sinisme terhadap kondisi politik di tahun 1950-
an. Sinisme tersebut tampak sangat jelas dalam tulisan Asrul Sani yang berjudul “Fragmen
Keadaan”, yang dimuat pada rubrik Gelanggang selama tiga edisi berturut-turut. Tulisan
tersebut menjelaska latar belakang mengapa sampai dicetuskannya SKG. Pada bagian
“Kita lihat orang-orang mudah di tanah air kita sendiri berbaris-baris masuk partai
politik! Ya, tidak ada lagi yang bisa dilakukan yang lebih mudah dari ini. Di sana
orang mudah menjadi alat, dan perkataan “aku” dapat disembunyikan di balik
perkataan “kami”. Semboyan-semboyan yang dulu dilupakan di segala dinding
kakus dan kamar mandi dan yang demikian tidak dapat dipenuhi, diganti dengan
disiplin partai untuk menutupi kelemahan mencari sendiri…” 30
Asrul Sani, yang mewakili sikap kalangan seniman dan budayawan yang bergabung dalam
politik.
“Orang tidak lagi bisa melihat sajak sebagai sajak, tetapi harus dilihat sebagai
manifes politik. Dengan di-anak-emaskannya politik, kebudayaan diperlakukan
sebagai orang yang memperlakukan bangkai binatang dalam ruang anatomi,
disuntik dengan formalin sehingga kaku sama sekali.” 31
sesungguhnya sejalan dengan logika umum, namun bisa saja konsep surat tersebut sudah disusun pada jauh
hari sebelumnya, ketika Chairil Anwar masih hidup. Atau malah sangat mungkin suraat itu mereka susun
bersama.
30
Asrul Sani, “Fragmen Keadaan I”, Siasat, Minggu 22 Oktober 1950, hlm 6.
31
Asrul Sani, “Fragmen Keadaan II”, Siasat, Minggu 29 Oktober 1950, hlm 4
21
setiap (kalau tak bisa dikatakan seluruh) sektor kehidupan di Indonesia selalu dihiasi
dengan intrik politik di dalamnya, tak terkecuali pada bidang budaya dan seni. Masuknya
unsur politik ke dalam bidang kehidupan budaya dan seni pada akhirnya mengubah makna
Tahun 1950-an merupakan tahun-tahun yang dipenuhi oleh gejolak harapan atau
kebudayaan, tahun 1950-an sering juga disebut dengan ‘zaman romantik’ 32. Akan tetapi,
seni pada masa itu menjadi barang yang mahal harganya. Pada masa itu seni hanya bisa
dinikmati oleh kalangan tertentu saja. Kalangan tertentu itu tentu saja adalah kalangan atau
golongan elite bangsa, sedangkan rakyat biasa atau golongan bawah tak bisa menikmati
tahun yang sama lahirlah suatu organisasi kebudayaan modern bernama Lembaga
Kebudayaan Rakyat (Lekra). Meskipun belakangan lahir, bukan berarti embrio kelahiran
Lekra disebabkan oleh tercetusnya SKG pada Februari 1950. Berdirinya Lekra sebagai
sebuah organisasi kebudayaan tidak terlalu banyak sangkut-pautnya dengan kehadiran dari
manifes Surat Kepercayaan Gelanggang. Lekra terbentuk pada 17 Agustus 1950, di Jakarta
32
Istilah romantik di sini mengacu pada era romantisisme yang muncul di Eropa pada akhir abad ke-
18. Sebuah gelombang reaksi dari zaman penceraha yang dianggap terlalu memberi tekanan pada rasio atau
akal sehingga menjadi kering, dingain dan kaku. Romantisisme berupaya mengedepankan hal-hal yang lebih
emosional, keunikan individu, hasrat akan kebebasan.
22
Lekra didirikan oleh sekitar 15 orang yang menyebut dirinya sebagai peminat dan
pekerja kebudayaan. Pengurus awal yang kemudian menjadi anggota sekretariat pusat
Lekra ialah A.S. Dharta, M.S. Ashar dan Herman Arjuna sebagai sekretaris I, II dan III.
Dengan anggota: Henk Ngantung, Nyoto dan Joebaar Ajoeb. Perkembangan awal Lekra
tidak dapat lepas dari andil Nyoto, salah satu dari pemimpin besar PKI pada masa itu
selain D.N. Aidit dan Lukman. Tahun 1950, Nyoto bertemu dengan para pelukis dan
penulis yang beraliran kiri. Mereka mendiskusikan tentang peranan seni dalam perjuangan
kelas. Nyoto menganjurkan perpaduan antara tradisi besar realisme kritis dan romantisme
untuk membuat kesenian yang menampilkan kenyataan menuju proses perubahan yang
revolusioner. Nyoto memang mempunyai daya tarik tersendiri bagi kalangan kaum
intelektual dan seniman. Affandi, Soedjono, Rivai Apin dan Pramoedya Ananta Toer,
kebudayaan dan politik bangsa Indonesia, mempunyai dalil yang sangat penting terhadap
mewujudkan cita-cita atau visi organisasi. Dalam hal ini Mukadimah Lekra tentu berbeda
23
“Revolusi Agustus 1945 telah gagal!” 34 pernyataan dari mukadimah tersebut dicetuskan
bukan tanpa alasan, para pekerja kebudayaan Rakyat Lekra menganggap bahwa
pemerintah telah melecehkan perjuangan revolusi yang telah di emban selama ini oleh
bangsa. Perjuangan Rakyat dalam menuntaskan revolusi, diputus, dihambat, dan diganti
dengan apa yang disebut dengan “perjuangan diplomasi”. Hal ini tak pelak dipandang
sebagai langkah mundur jauh ke belakang oleh Rakyat. Saat dikumandangkannya kalimat-
kalimat sakral Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, tidak ada terucap atau tertulis merdeka
atas perundingan dengan Belanda, yang artinya kemerdekaan tersebut mutlak direbut atau
kebudayaan Lekra. Dalam mukadimah yang telah dibuat pada 1950, para seniman Lekra
“perjuangan diplomasi” adalah salah langkah yang justru hanya memberi ruang bagi
Belanda untuk menuntut konsesi-konsesi, atas dasar rasa tidak ikhlas mereka melepas
33
Joebaar Ajoeb, 2004, loc.cit.
34
Naskah lengkap lihat Lampiran I.
24
yang hasil di antaranya mengharuskan Indonesia menanggung semua hutang yang telah
dibuat Belanda sejak sebelum masuknya Jepang ke Tanah Air. Selain itu, Indonesia juga
wajib mengembalikan seluruh perusahaan asing yang ada kepada pemiliknya di masing-
masing negara dan menyediakan sumber-sumber kekayaan alam untuk dieksploitasi oleh
sesungguhya menjadi rencana tindak lanjut dari Maklumat 1 November 1945 dengan
memaksa Indonesia hanya mengakui Jawa, Madura dan Sumatera sebagai wilayah yang
resmi dimiliki oleh Indonesia. Walaupun telah diadakan berbagai perundingan, Belanda
tetap saja menginvasi Indonesia lewat Agresi Militer 35 yang mereka lancarkan hingga dua
Terakhir, sekaligus puncak dari pada kejengkelan kaum kiri akan hancurya
Konferensi Meja Bundar (KMB) pada tanggal 2 November 1949. KMB ini tak pelak
dianggap menjatuhkan harga diri dan martabat rakyat Indonesia yang telah berjuang mati-
matian untuk melepaskan diri dari belenggu kolonialisme dan imperialisme bangsa asing.
Persetujuan KMB ini membuat bangsa Indonesia harus menerima bentuk sebagai negara
federal.
35
Agresi Militer yang terjadi pada tahun 1947 dan 1948 dilihat dari sudut pandang pemerintah
Belanda disebut Politionele Actie (Aksi Polisionil). Lisbeth Dolk, A Entangled Affair; STICUSA and
Indonesia 1948-1956, KITLV Press, Leiden, 2012, hlm. 3.
25
mempertahankan gengsi dan politik kolonialnya, karena KMB merupakan salah satu jalan
untuk mengembalikan kolonialisme ke dalam bentuk baru 36. Pekerja kebudayaan Indonesia
mematok kebudayaan barat sebagai kiblat. Akibatnya, unsur emosi dan estetika yang
‘pengkhianatan’ terhadap darah para pahlawan bangsa yang telah dengan cuma-cuma
juga menghambat perjuangan rakyat dalam menuntaskan revolusi dengan mengambil alih
Agustus 1945 yang dianggap gagal oleh para pendiri Lekra, menjadi acuan mereka untuk
instrumen atau alat untuk menghimpun kekuatan yang masih taat dan teguh mendukung
jalannya dan terselesaikannya revolusi Tanah Air dengan keyakinan bahwa kekalahan
revolusi yang terjadi akibat jalan diplomasi dan perundingan hanyalah kekalahan
sementara
36
Ibid. Usaha Belanda untuk mengembalikan Indonesia sebagai jajahannya juga terdapat pada
bidang kebudayaan, diantaranya adalah dengan mendirikan lembaga kebudayaan bernama STICUSA
(Stichting Cultureel Samenwerking) yang didirikan di Belanda pada Februari 1948, sedangkan STICUSA
membuka cabangnya di Jakarta pada Januari 1949 dengan mengirimkan utusannya yang bernama Oscar
Mohr. Tujuan didirikannya STICUSA ini oleh Belanda yaitu sebagai upaya ‘pengembangan yang harmonis
di keempat wilayah (Indonesia, Suriname, Kepulauan Antiles, beserta Belanda) itu dalam suasana yang
demokratis.’ (‘om met een beroep op het gehele vermogen van Nederland en op basis van waderkerigheid te
komen tot een harmonische ontwikkeling in democratische zin tussen de vier gebieden’).salah satu upaya atau
cara yang dilakukan oleh STICUSA dengan memberikan beasiswa bagi seniman Indonesia untuk belajar ke
Belanda.
26
Isi dari Mukadimah Lekra tahun 1950 ini mengisyaratkan bahwa hancurnya
kolonialisme di dunia bukan berarti ancaman penjajahan sudah tidak ada lagi,termasuk di
Indonesia pada saat itu sebagai masyarakat ‘setengah jajahan’, walau secara politis
terus ingin dipertahankan oleh golongan elit kelas penguasa yang telah merasakan
kenikmatan dan kemewahan di masa kolonial, dengan terus memlihara feodalismenya dan
menciptakan pintu masuk bagi datangnya kembali imperialisme yang baru (neo-
imperialisme) ke Indonesia.
Maka dari itu, untuk menghancurkan kebudayaan feodal dan imperialis yang terus
menggerogoti persatuan dan kesatuan bangsa, para perumus Mukadimah Lekra 1950
sebuah strategi, yaitu “Konsepsi Kebudayaan Rakyat” 38. Konsepsi yang dirumuskan dalam
Mukadimah Lekra 1950 ini terbagi menjadi enam bagian, yang terdiri dari penjelasan
Lekra dalam mewujudkan visinya. Mukadimah inilah yang menjadi landasan dari seluruh
37
Joebaar Ajoeb, Perkembangan Kebudayaan Indonesia Sejak Agustus 1945 dan Tempat Serta
Peranan Lekra di Dalamnya, Dokumen Kongres Nasional I Lekra, Bagian Penerbitan Lekra, 1959b. hlm. 15.
38
Lihat pada Lampiran 1.
27
didirikan pada 17 Agustus 1950, tegas berpihak pada rakyat dan mengabdi kepada rakyat,
dengan demikian, atas dasar “seni untuk rakyat” seperti yang dinyatakan dalam
“Mukadimah Lekra” (1950) – menolak aliran “seni untuk seni” yang dianut oleh kelompok
Gambaran kritis tentang kelahiran Lekra berhasil digambarkan oleh Joebaar Ajoeb
“Lekra didirikan tepat 5 tahun sesudah Revolusi Agustus pecah, di saat revolusi
tertahan oleh rintangan hebat yang berwujud persetujuan KMB, jadi, disaat garis
revolusi sedang menurun. Ketika itu perang-perang kebudayaan jang tadinya
seolah-olah satu kepalan tangan yang tegak di pihak revolusi, menjadi tergolong-
golong, mereka jang tidak setia menyeberang. Yang lemah dan ragu seakan putus
asa karena tak tahu jalan. Yang taat dan teguh meneruskan pekerjaannya dengan
keyakinan bahwa kekalahan revolusi hanyalah kekalahan sementara. 39
Menyadari bahwa rakyat adalah satu-satunya pencipta kebudayaan, dan bahwa
pembangunan kebudayaan Indonesia-baru hanya dapat dilakukan oleh Rakyat,
maka pada hari 17 Agustus 1950 didirikanlah Lembaga Kebudayaan Rakyat, yang
kemudian disingkat Lekra. 40
Lekra kemudian menggiatkan aktivitasnya disegala bidang kebudayaan. Sebagai
sebuah organisasi yang tidak hanya bergerak di ranah kultural, namun juga politik, Lekra
Gerakan ini terbukti berhasil di mana pada tahun 1954, Lekra tercatat telah mempunyai
39
Joebaar Ajoeb, Laporan Umum PP Lekra kepada Kongres Nasional I Lekra, dalam Dokumen
Kongres Nasional I Lekra, Bagian Penerbitan Lekra, Jakarta, 1959a.
40
Paragrap pertama Mukadimah Lekra 1950
28
cabang lainnya.
kebudayaan daerah sunda, Lekra Klaten memiliki ciri khas pada basis pedalangan, Lekra
Surakarta mempunyai kekhasan dari seni tari dan seni musik, dan begitu pula dengan
identitas ragam budaya Indonesia inilah yang tergabung ke dalam Lekra nasional. Sebagai
bukti, dalam setiap kongres Lekra selalu diadakan pameran hasil budaya-budaya dari tiap
Baru 41 yang terbit di Surabaya. Lembaran itu dikelola oleh Nyoto, dengan nama pena
Iramani, AS Dharta alias Klara Akustia, dan MS Ashar. Berkat lembaran itu, popularitas
Lekra menanjak dengan cepat. Hanya setahun setelah berdiri, Lekra memiliki cabang di
dua puluh kota. Pada 1951, Nyoto bersama dengan Mula Naibaho dan Supeno, memimpin
surat kabar Harian Rakjat. 42 Dengan gelar andalan Iramani, Nyoto rutin menulis editorial,
Lekra tercatat juga memiliki kantor sekretariat yang bertempat di Jalan Tjidurian
(Cidurian) Nomor 19, Jakarta Pusat. Kantor ini adalah rumah kediaman dari keluarga Oey
41
Zaman Baru merupakan majalah bulanan yang mulai terbit pada tahun 1950 dengan nama awal
Madjalah Djaman Baru. Pada Juni 1956, majalah itu lahir kembali dengan nama Zaman Baru setelah sempat
tidak pernah muncul selama satu tahun.
42
Harian Rakyat/Rakjat adalah Koran bentukan PKI, yang menjadi terompet bagi setiap pemikiran
dan hal-hal yang dilakukan oleh PKI, Koran ini pertama kali terbit pada 31 Januari 1951 yang pada awalnya
masih bernama Suara Rakjat.
29
itu mereka berikan sebagai kantor sekretariat untuk mempermudah kerja-kerja dan
menyelenggarakan Kongres Nasional mereka untuk yang pertama kalinya (dan akan
menjadi yang terakhir kalinya) pada 27 Januari 1959 di kota Solo, Jawa Tengah.
Terciptanya Kongres ini juga atas kontribusi para seniman-seniman di Jawa Tengah dan
sekitarnya yang bersedia menjadi Panitia Pelaksana Kongres. 43 Kongres ini dirasa perlu
dilaksanakan oleh para petinggi Lekra oleh karena situasi yang sangat mungkin bagi Lekra
Dalam Kongres Nasional I ini terdapat suatu simbol atau lebih tepatnya logo, yang
dimuat di surat kabar Harian Rakyat dan diyakini adalah logo/lambang resmi dari Lekra.
Lambang itu sendiri bergambarkan seekor burung merpati putih yang sedang terbang.
Merpati putih tersebut tergambar sedang menjepit sekuntum bunga yang juga berwarna
putih dengan paruhnya, sedangkan di bagian kaki sang merpati tersusun sebuah kalimat
yang bertuliskan: “Seni kita untuk…”, 44 dan dipaling bawahnya lagi terdapat gambar
beberapa adegan tari tradisional. Simbol ini menunjukkan bahwa Lekra memproklamirkan
diri bahwa mereka adalah sebuah lembaga atau organisasi yang membawa misi
perdamaian (burung merpati sering dijadikan identitas perdamaian). Dan bagi Lekra,
43
Untuk mengetahui nama-nama Panitia Kongres Nasional I Lekra lihat Lampiran 7.
44
Rhoma Dwi Aria dan Muhidin M Dahlan, Lekra Tak Membakar Buku, Merakesumba,
Yogyakarta, 2008, hlm. 33
30
bangsanya.
Dalam Kongres Nasional ini juga dipilih dan ditetapkan struktur pengurus di pusat.
Saat awal terbentuknya, Lekra tidak memiliki pemimpin yang hierarkis dan hanya
Lekra. Sekretariat Pusat, dikoordinasi oleh sekretaris umum bermakas di Jakarta. Pengurus
Pada perumusan struktur atau hierarki dalam Kongres Nasional ini, pembagian
wilayah berdasarkan provinsi, kota dan desa ini tetap dipertahankan. Namun Lekra pada
Pengurus Pusat, yang bertempat di Jakarta. Dibentuknya struktur seperti demikian dirasa
perlu oleh para stakeholder Lekra, agar semua daerah yang di mana terdapat Lekra dapat
lebih mudah menyatukan aspirasi dari berbagai masing-masing wilayah. Akan tetapi
banyak kalangan, terutama lawan ideologi Lekra beranggapan bahwa cara satu komando
wilayah tersebut.
31
anggota, dengan tetap menghadirkan muka-muka lama para founding father Lekra di
dalam struktur seperti Nyoto, Joebaar Ajoeb, M.S. Ashar, Rivai Apin, dan Henk
Ngantung. 45 Dalam susunan Pengurus Sekretariat Pusat yang dibentuk pada Kongres
Nasoinal 1959, Joebaar Ajoeb diembankan tugas menjadi Sekretaris Umum 46 Lekra dan
Sekretaris Umum I dan II. Sedangkan untuk yang lainnya sebagai anggota sekretariat.
Selain dibentuknya Pengurus Sekretariat Pusat, Kongres Nasional Lekra 1959 juga
kreatif tersebut dibagi menjadi empat macam bidang kreativitas. 48 Pertama adalah
Lembaga Seni Rupa Indonesia (Lesrupa) yang diketuai oleh Henk Ngantung, kedua
Lembaga Film Indonesia dengan ketuanya Bachtiar Siagian, ketiga ada Lembaga Sastra
Indonesia (Lestra) yang dipimpin oleh Bakri Siregar dan yang terakhir adalah Lembaga
Seni Drama Indonesia (LSDI/Lesdra) yang diketuai oleh Rivai Apin. Untuk lembaga
kreatif lainnya, yaitu Lembaga Musik Indonesia, Lembaga Senitari Indonesia, dan
Lembaga Ilmu Indonesia, dibentuk setelah sidang pleno Lekra Agustus 1960. 49
45
Untuk lebih lengkapnya lihat Lampiran 6.
46
Jabatan Sekretaris Umum/Jendral adalah jabatan yang tertinggi di dalam Lekra. Dalam Lekra
tidak ada jabatan Ketua, kecuali pada lembaga-lembaga kreatif yang memang bersifat otonom. Tidak
dipakainya “Ketua” dalam Lekra dinilai mengikuti aturan main yang ada di PKI, jabatan “Ketua” dalam PKI
hanya ditujukan kepada pemimpin di Soviet, bahkan D.N. Aidit sendiri sesungguhnya bukanlah Ketua PKI
tapi Pemimpin Besar PKI. (Interview dengan Abdul Kohar Ibrahim melalui e-mail).
47
Ibid, hlm. 35-38. Hanya disebutkan bahwa Lekra memiliki 6 lembaga kreatif tanpa menyebutkan
Lembaga Ilmu Indonesia. Mengenai Lembaga Ilmu Indonesia belum ditemukan informasi lebih lanjut.
48
Lihat Lampiran 6.
49
Tidak diketahui pasti kapan LMI ini didirikan. Dalam Kongres I LEKRA di Solo tahun 1959,
lembaga itu disebut bersamaan dengan Lembaga Tari sebagai “Lembaga Musik Indonesia dan Lembaga Tari
Indonesia” lihat ‘Laporan Kebudajaan Rakjat II, diterbitkan oleh bagian Penerbitan Lembaga Kebudajaan
32
Nasional Lekra 1959 di Solo ini juga melakukan revisi terhadap Mukadimah yang
sebelumnya dibuat pada tahun 1950. Revisi Mukadimah ini sebenarnya sudah
direncanakan matang-matang sejak Konferensi Nasional Pertama Lekra pada Juli 1955,
namun untuk meloloskannya sebagai Mukadimah yang baru akhirnya terealisasi dalam
Kongres Nasional ini. Mukadimah 1950 sepakat untuk direvisi dalam jajak pendapat saat
Kongres Nasional berlangsung, Mukadimah 1950 dianggap sudah tidak lagi relevan untuk
Konsepsi Kebudayaan Rakyat yang diamanatkan pada Mukadimah Lekra 1950 dianggap
sudah bisa diatasi dan diwujudnyatakan. Artinya, Lekra sudah satu langkah berhasil
membangun dan megembangkan sebuah wacana “revolusi belum selesai” kepada rakyat
dan berhasil diterima oleh rakyat. Wacana yang dibangun Lekra pada revisi Mukadimah
tahun 1959 ini tidak lagi mengingatkan atau mempersalahkan siapa pun dibalik gagalnya
Revolusi Agustus 1945. Melainkan Lekra mulai mengajak para pekerja kebudayaan
beserta rakyat untuk focus ‘memperbaiki’ kegagalan Revolusi Agustus 1945 itu. Gerakan
kebudayaan dinilai mesti ikut ambil peran dalam kepemimpinan revolusi nasional, sebab
para kader-kader Lekra melihat bahwa revolusi nasional haruslah merupakan revolusi di
lapangan kebudayaan. Alhasil, perjuangan rakyat pun harus putar haluan menjadi;
Rakjat’, h. 165. LMI Djogja baru didirikan kemudian pada 15 April 1963, lihat Harian Rakjat 2 Januari
1964, hlm. 3
33
atau fisik, ia berubah menjadi juga bersifat kulturil dan juga memakai alat-alat
kulturil.” 50
Revisi Mukadimah Lekra 1959 juga merubah definisi tentang “rakyat”. Jikalau
pada Mukadimah tahun 1950 konsep rakyat bagi Lekra ialah sebagai buruh dan tani dalam
konteks perjuangan kelas, lain halnya dengan konsep rakyat dalam Mukadimah 1959
Perubahan konsep ini menyiratkan bahwa solusi untuk pembangunan kebudayaan Rakyat
Dalam Kongres Nasional Lekra I di Solo, selain revisi Mukadimah dan pembuatan
rumusan yang akan menjadi panduan bagi para pekerja-pekerja kebudayaan Lekra dalam
kebudayaan Lekra itu disebut dengan “kombinasi 1-5-1”. Kombinasi 1-5-1 ini adalah
simbol dari sikap berkesenian yang dikembangkan Lekra sesuai dengan Mukadimah 1959
panglima” terhadap kader-kader Lekra. Adalah Nyoto yang kerap menciptakan ide
“politik sebagai panglima” ini untuk dijadikan landasan dasar atau azas bagi kerja-kerja
kebudayaan Lekra nantinya. Nyoto menolak pemikiran kolot yang menganggap bahwa
50
Joebaar Ajoeb, 1959b, op.cit. hlm. 25.
51
Rhoma Dwi Aria, 2008, op.cit, hlm. 25
34
boleh iktu berpolitik karena hanya akan menurunkan mutu artistik dari karya-karya seninya
sendiri. Menurut Nyoto, politik dan keudayaan tidak dapat dipisahkan dan belum ada
bukti yang dapat dijadikan dasar bahwa seniman yang berpolitik akan melahirkan karya
“politik tanpa kebudayaan masih bisa jalan, tetapi kebudayaan tanpa politik tidak…
Sekali lagi kawan, politik itu penting sekali. Jika kita menghindarinya, kita akan
digilas mati olehnya. Karena itu dalam hal apa pun dan kapan sajapun, politik harus
menuntun segala kegiatan kita: Politik adalah Panglima.” 52
Tidak hanya sampai disitu, Nyoto sebagai pencetus ide tersebut juga mengibaratkan
hubungan antara seni dan politik dengan metafor seorang yang menuntut ilmu sambil
berolahraga:
mempersilakan kebudayaan yang berjalan sendiri, polos dan tanpa bimbingan politik.
52
Nyoto, Revolusi adalah Api Kembang, 1959, hlm. 56-57.
53
Rhoma Dwi Aria, 2008, op.cit, hlm. 26.
54
Amir Pasaribu lahir di Siborong-borong, Sumatera Utara pada tahun 1915 dan meninggal di
Medan pada tahun 2010. Ia adalah seorang seniman yang ahli dalam bidang musik klasik. Ia juga pendiri
Liga Komponis dan Ikatan Musik Indonesia (1950). Mengenai sejauh mana kedekatannya dengan Lekra
masih belum jelas karena tidak adanya data yang komprehensif atara hubungan Amir Pasaribu dengan
seniman-seniman yang ada di Lekra. Amir Pasaribu juga termasuk golongan kiri pada waktu itu, ia pun
lantas dikejar-kejar oleh rezim pemerintahan Orde Baru. Alhasil ia lebih memilih pindah dan menetap di
35
Begitu pun, keputusan untuk menjadikan “politik sebagai panglima” menjadi azas
gerakan Lekra, tetap menimbulkan kontroversi antara pihak pro dan pihak kontra terhadap
slogan azas tersebut. Banyak kalangan, terutama dari pihak penganut paham humanism
universal yang menganggap azas tersebut menundukkan kesenian dan kebudayaan pada
dirumuskan oleh Lekra metode “Lima Kombinasi”. Kombinasi pertama yaitu “meluas dan
perekrutan anggota-anggota baru, ekspresi seni yang lebih popular dan partisipasi massa
yang lebih besar. Sebagaimana termaktub dalam “Laporan Umum” Kongres Nasional I,
“…kondisi atas kenyataan karya cipta Rakyat yang beragam, kaya dan luas di
pendidikan seni dan kebudayaan yang revolusioner kepada tenaga-tenaga atau generasi
Suriname dan baru pulang ke Indonesia pada tahun 1995. Lebih lengkapnya lihat
http://id.wikipedia.org/wiki/Amir Pasaribu.
55
Rhoma Dwi Aria, loc.cit.
56
Lihat pada Lampiran 9.
36
maju bagi para seniman untuk senatiasa menciptakan karya-karya yang berkualitas dan
dan politik.
Rumusan penggabungan antara garis meluas dan meninggi ini diungkapkan secara
gambling pada “Laporan Umum” Lekra; “Kegiatan meluas sebagai landasan bagi yang
Kombinasi yang kedua adalah “tinggi mutu ideologi dan artistik”. Dalam
pandangan Lekra seni dan ilmu haruslah berpihak, dan dalam hal ini berpihak kepada
“Rakyat yang tertindas”. Seni mesti berpihak, karena seni lahir dari kehidupan yang nyata
dan tidak ada seni yang mengabdi untuk seni itu sendiri. Keberpihakan Lekra terhadap
Rakyat, lantas menciptakan ideologi kerakyatan yang harus dinyatakan dalam setiap karya
cipta para seniman Lekra. Ideologi Rakyat inilah yang menjadi tumpuan bagi aktivitas
proses berkebudayaan Lekra untuk melihat seberapa besar dan seberapa tinggi mutu suatu
Menurut Banda Harahap, politik yang tinggi harus didukung oleh artistik yang
tinggi juga, barulah karya seni yang demikian memenuhi alat perjuangan yang ampuh.
“Tanpa ideologi yang tinggi tidak mungkin dicapai arsitek yang tinggi. Kemudian
kita harus terus menerus membacakan masalah estetika, mendiskusikannya,
menyeminarkannya, membikinnya menjadi soal dalam kerja kreasi kita sehari-hari.
Bahwa politik sudah menjadi soal tidak dipersoalkan lagi. Sekarang masalah-
masalah artistik harus dijadikan soal mulai dari penguasaan kemahiran teknik
sampai kepada penguasaan masalah-masalah teori estetika Marxis”. 57
57
Ibid, hlm. 28.
37
konsep ‘tradisi baik’, Lekra mengembangkan lebih lanjut makna ‘baik’ pada tradisi baik
itu dengan proses mencipta yang kemudian diberi nama “Tiga Baik”: (1) bekerja baik; (2)
Bekerja baik mempunyai makna bahwa proses penciptaan harus ditempuh dengan
pekerjaan-pekerjaan sesuai dengan prosedur-prosedur atau riset ilmiah, bukan dari “bualan
kosong di kamar sambil ongkang-ongkang kaki menenggak alkohol atau sambil menghisap
cerutu”. 58 Belajar baik berarti adanya selalu rasa penasaran, ingin tahu tentang realitas-
realitas kehidupan dalam hal mencari kebenaran dan menguji hal-hal baru secara kritis atau
diuji secara intensif (terus-menerus). Hasil dari belajar dan bekerja baik itu belumlah
cukup untuk menghasilkan sebuah karya cipta yang baik kalau dalam karya tersebut tidak
bisa memberi teladan untuk paling tidak memupuk moral yang baik kepada Rakyat.
Karya cipta yang tidak menggunakan Tiga Baik akan menghasilkan karya-karya
yang penuh dengan fantasi-fantasi vulgar yang tak senonoh, tak bertanggung jawab dan
Konsep “Tiga Baik” dalam “Tradisi Baik” inilah yang menjadi modal Lekra untuk
58
Harian Rakyat, “Merah Kesumba”, 25 April 1961.
59
Rhoma Dwi Aria, op.cit, hlm. 29.
38
perkembangan zaman atau kekinian. Kepekaan tersebut harus dibekali dengan daya kritis
agar tidak mudah terikut arus zaman yang dapat menghilangkan idealismenya. Daya kritis
yang dimaksudkan oleh Lekra yaitu mampu menangkap akar permasalahan suatu realita
dengan memakai sudut pandang revolusioner. Sedangkan, sudut pandang revolusioner itu
sendiri adalah cara memandang kenyataan yang didasarkan pada bekerjanya dialektika dan
Kombinasi inilah yang jelas-jelas menampik anggapan bahwa dalam Lekra, individu
sangat dikekang sehingga tidak dapat berkreatifitas dengan bebas. Kenyataan yang
sebenarnya adalah setiap individu Lekra berhak berkreasi se-kreatif mungkin dalam
menciptakan karya seni mereka. Tapi seni yang berkualitas menurut Lekra ialah bagaimana
kreatifitas individu bisa berkorelasi dengan kearifan massa. Pengertian yang dimaksud
dalam hal ini adalah bagaimana membuat karya seni yang dapat dipahami oleh Rakyat,
bukan hanya sampai pada tahap memahami tapi juga dapat menginspirasi Rakyat.
“bahkan seniman Lekra yang satu memiliki pandangan dan pemikiran yang berbeda
dengan seniman Lekra yang lain. Pemahaman ini juga berlaku pada perbedaan
pemahaman pandangan mengenai karya seni antara seniman Lekra sebagai individu
60
Rhoma Dwi Aria, 2008, loc.cit.
61
Pernyataan Oey Hay Djoen, Pengurus Pusat Lekra dan anggota PKI, dalam film documenter
Tjidurian 19. Lebih lengkapnya lihat film documenter Tjidurian 19: Rumah Budaya Yang Dirampas. Institut
Sejarah Sosial Indonesia dan Lembaga Kreativitas Kemanusiaan, 2009.
39
Untuk bisa menghasilkan karya seni yag sesuai dengan kearifan massa harus
mengenal aturan main massa itu terlebih dahulu. Tahapan inilah yang membuat banyak
pada rakyat, terkhusus kaum buruh dan tani. Lebih lanjut Astaman Hasibuan mengatakan;
“sambil buang air kecil juga banyak yang bisa membuat sajak, tetapi untuk
membuat karya seni bisa seturut dengan kearifan massa, itu yang paling sulit.” 63
Kombinasi ini dapat dikatakan unik karena kedua istilah tersebut terambil dari istilah
Soviet. Menurut Keith Foulcher kombinasi antara realisme sosialis dengan romantik
revolusioner ini pertama kali dikemukakan oleh Mao Tse Tung, yang kemudian
dipopulerkan oleh Chou Yang dalam tulisannya Red Flag, edisi Juni 1958. 64
Istilah romantik sebenarnya selalu identik dengan era romantisisme yang muncul di
Eropa pada akhir abad ke-18. Era ini muncul sebagai akibat terbentuknya gelombang
reaksi dari era sebelumnya, zaman pencerahan, yang dianggap terlalu memberi tekanan
pada rasional, sehingga situasi kehidupan berpolitik dan berkebudayaan saat itu terasa
kering, dingin dan kaku. Maka itu Romantisisme muncul dengan upaya mengedepankan
62
Keterangan Amrus Natalsya dalam film dokumenter Tjidurian 19.
63
Pernyataan Astaman Hasibuan saat diwawancarai pada Maret 2013.
64
Keith Foulcher, Social Commitment in Literature and the Arts: the Indonesian “Institute of
People’s Culture”, Monash University Press, Victoria, 1986, hlm. 111.
40
menganggap bahwa Realisme Sosialis adalah sebuah metode kerja yang mutlak perlu
“Pertama-tama, ini berarti bahwa kita harus mengenal hidup untuk bisa
melukiskannya dengan sebenarnya dalam suatu kerja seni, tidak dengan cara
sekolahan yang kering. Tidak hanya melukiskan “kenyataan obyektif saja”, tapi
melukiskan kenyataan dalam pertumbuhan revolusionernya.
Dalam pada itu kenyataan dan watak historik yang konkret dari lukisan artistik
mesti dihubungkan dengan tugas pembentukan ideologis dan pendidikan pekerja-
pekerja dalam semangat sosialisme. Metode kerja sastra dan kritik sastra ini kita
namakan metode Realisme Sosialis”. 65
Dalam pernyataan di atas metode Realisme Sosialis yang dianjurkan oleh Bakri Siregar
lebih merujuk kepada metode dalam kreativitas sastra. Maka tak heran realisme sosialis
lebih identik kepada sastra dibandingkan dengan bidang film, seni rupa, musik, dll. Akan
tetapi, Lekra dalam hal ini tidak memakai Realisme Sosialis hanya pada bidang sastranya
suatu metode untuk diterapkan pada bidang kebudayaan selain sastra, dikarenakan
Realisme Sosialis memiliki watak yang jelas. Pertama, realisme sosialis memiliki watak
militansi yang tak kenal kompromi dengan lawan. Kedua, Realisme Sosialis segaris
dengan perjuangan politik sosialis, sehingga dia terus-menerus melakukan effensi atas
65
Andre Hardjana, “Metode Realisme Sosialis dalam Sastra Indonesia” dalam Kewaspadaan
Nasional dan Bahaya Laten Komunis, Penerbit Intermasa, Jakarta, 1997, hal. 34.
66
Pramoedya Ananta Toer, Realisme Sosialis dan Sastra Indonesia, Lentera Dipantara, Jakarta,
2003, hal. 29.
41
kemunduran dan kekalahan sementara sekali pun. Dan kita tidak puas diri dalam
Romantik revolusioner adalah sebagian integral dalam realisme sosialis. Pada tahap
ini, sang seniman mesti menguasai realitas kehidupan sosial tanah-airnya sendiri, setelah
dapat menguasai realitas kehidupan, seniman harus berjuang untuk mengubah realitas yang
didapatinya itu sesuai dengan perkembangan dan arah yang dipilih untuk memenangkan
sosialisme. Bukan hanya mengubah, terlebih menciptakan suatu pola-pola yang baru untuk
kesejahteraan rakyat. Hal ini dengan sendirinya akan mewujudkan juga obyektivisme
Unsur realisme sosialis dan romantik revolusioner ini sebenarnya sudah sering
Kartodikromo atau yang sering dipanggil dengan “Mas Marco” sampai harus keluar masuk
penjara karena karya-karya sastranya yang cenderung mengandung realisme sosialis dan
romantik revolusioner. Mas Marco tidak hanya berkutat dengan pena dan secarik kertas
pemberontakan tahun 1926. Pengorbanan pribadi dianggap sebagai salah satu bagian dari
fondamen bagi kebahagiaan proletariat dan inilah konsekuensi yang harus diambil oleh
67
Harian Rakyat. 7 Februari 1959.
68
Pramoedya Ananta Toer, 2003, op.cit. hal. 70.
69
Ibid. hal. 72.
42
baik hasilnya wajib menggunakan metode kerja yang sesuai dengan perjuangan Lekra
terhadap Rakyat. Tahap terakhir dalam konsep 1-5-1 tersebut ialah “Turun ke Bawah” atau
yang biasa disingkat menjadi “Turba”. Turba diperuntukkan agar seniman-seniman dan
buah karyanya mampu langsung menyentuh masa atau rakyat pekerja. Para seniman Lekra
Metode Turba ini diusulkan dalam Kongres Nasional I juga oleh Nyoto. Ia
menginginkan agar para seniman harus mendapatkan “pemahaman yang tepat” dan
“mempelajari kebenaran yang hakiki” sebelum menghasilkan karya “seni untuk rakyat”.
Sangat mustahil karya-karya seni yang berguna bagi rakyat didapatkan dari hayalan-
Setiap kader-kader Lekra, baik dari Pengurus Pusat sampai ke Pengurus Ranting
diwajibkan untuk melakukan Turba ke daerah yang telah ditentukan oleh para
menciptakan suatu rumusan sebagai indikator untuk pelaksanaan Turba itu. Rumusan itu
lantas disebut dengan “tiga sama”: bekerja bersama, makan bersama, dan tidur bersama.
Jadi yang pertama harus dilakukan adalah bekerja dulu, baru makan, kemudian
tidur. Bekerja bersama itu tidak seperti kerja sama kuli dengan majikannya, melainkan
sama-sama mengerjakan pekerjaan yang sederajat atau sama porsinya, tidak merendahkan
ataupun meninggikan profesi kerja salah satu. Sedangkan yang didefinisikan dengan
70
Rhoma Dwi Aria, 2008, op.cit. hal. 31
43
karena bisa saja seorang makan daging sapi dan seorang yang lain hanya makan ceker
ayam. Satu meja atau tidak, bukan menjadi persoalan, yang terpenting kesamaan derajat
dari jenis makanan yang disantap. Seorang makan tiwul, semua juga harus makan tiwul.
Perihal tidur bersama pun juga demikian, bukan perkara tidur di satu tempat atau ruang
yang sama, tapi seorang tidur dengan kasur empuk dilapisi selimut dan seorang yang lain
tidur dengan tikar. Tidur bersama dalam hal ini sepenuhnya harus dimaknai dengan tidur di
atas tempat tidur dengan adat tidur yang sama seperti si empunya rumah yang di turun-
bawahi.
Persoalan yang terdapat dalam penerapan Turba ini adalah timbulnya multitafsir di
antara kalangan Lekra sendiri dalam memahami Turba ini. Hersri Setiawan 71 , mantan
pengurus Lekra Jawa Tengah menafsirkan Turba dengan cara mengalami atau menghayati
atau ikut serta merasakan apa yang dialami oleh rakyat yang pada akhirnya menujurus ke
metode riset ilmiah atau sesuai dengan motto “beleven” dan meeleven”. 72
Begitu pun dengan penyair yang juga anggota Lekra, Kusni Sulang yang
mengartikan Turba sebagai pekerjaan seni untuk menyatu dengan rakyat secara terencana
dan sebagai urusan bersama, maka itu tidak dilakukan secara individual dan spontan. Turba
bukan lagi sekedar metode kerja penciptaan saja, tetapi sudah menjadi metode kerja
71
Hersri Setiawan adalah seorang sastrawan yang berasal dari Jawa Tengah. Dia juga mantan
Pengurus Lekra Jawa Tengah pada tahun 1960-an. Dia pernah dipenjarakan oleh rezim Orde Baru pada thun
1973 di Pulau Buru. Karya sastranya yang terkenal “Memoar di Pulau Buru” (2004) ditulisnya ketika ia
masih dipenjara di Pulau Buru.
72
Hersri Setiawan, Aku eks Tapol, Galang Offset, Yogyakarta, 2003, hal. 365.
44
Oey Hay Djoen menafsirkan Turba sebagai garis massa, yakni belajar mendengar
“berarti kita berguru kepada massa ataukah kita yang menggurui massa. Kita
melancarkan gerakan turun ke bawah tidak dan tidak pernah untuk menggurui
massa. Kita malahan tidak hanya berguru kepada massa- kita berguru kepada massa
Amrus Natalsya 75 , Pelukis Lekra yang juga memimpin Sanggar Bumi Tarung
“Bukan ilmu melukis, tetapi dengan Turba, maka lukisan itu bisa memberikan ilmu
kepada penonton atau penikmatnya. Ilmu bahwa petani dan buruh itu harus dibela,
pemahaman seperti itu sebuah lukisan tidak lagi hanya menjadi penghibur bagi
sebagian kalangan”. 76
Lebih tajam lagi adalah penafisran dari Basuki Resobowo yang juga seorang
Pelukis Lekra. Basuki menerapkan cara dia melaksanakan Turba dengan motto la via est la
misere: hidup adalah sengsara. Bagi Basuki, kursi rotan yang tidak reot dan kasur yang
73
Kusni Sulang, Di Tengah Pergolakan; Turba LEKRA di Klaten, Penerbit Ombak, Yogyakarta,
2005, hlm. 50.
74
Harian Rakyat, 12 Maret 1962.
75
Amrus adalah seorang Pelukis Rakyat, yang juga mantan anggota Lekra, ia kemudian mendirikan
Sanggar Bumi Tarung yang tetap eksis sampai sekarang.
76
Wawancara via email dengan Amrus Natalsya.
45
di gubuk yang kecil dan sederhana demi penciptaan karya seni yang dapat diterima oleh
rakyat bawah, meskipun tentu saja dia mampu untuk tinggal di rumah yang lebih baik. 77
Dalam konteks politik, media seni budaya dapat menjadi salah satu mesin
propaganda kebijakan pemerintah yang sangat efektif. Hal ini berlaku juga pada masa
Demokrasi Terpimpin, banyak lembaga-lembaga nasional, baik politik dan budaya yang
saling berlomba untuk mendapatkan simpati atau perhatian dari pemimpin pemerintahan
(dalam hal ini ialah Presiden Soekarno). Lekra pun demikian, agar bisa masuk dan selalu
eksis di ranah perpolitikan bangsa, Lekra berusaha untuk bisa sedekat mungkin dengan
semua ide-ide yang dilahirkan oleh Soekarno pada masa Demokrasi Terpimpin. Ide-ide
dan ajaran Soekarno seperti Manipol, Usdek, Nasakom, Berdikari, Ganefo, dan sebagainya
selalu dijadikan sebagai acuan dalam setiap kegiatan, baik kegiatan politik maupun
kesenian Lekra.
Fenomena yang dialami oleh Lekra tersebut menunjukkan bahwa seni budaya telah
dimanfaatkan secara ekstensif juga sebagai tindakan politik. Para seniman melalui daya
mematangkan untuk perkembangannya itu. Maka itu seniman dianggap dapat menjadi
77
Antariksa, Tuan Tanah Kawin Muda, Yogyakarta, 2005, hlm. 51.
78
Ahmad Norma, Seni, Politik dan Pemberontakan, Bentang Budaya, Yorgyakarta, 1998, hlm. 67.
46
menjadi penuh dengan intrik perpolitikan yang sangat kental dengan politik praktis. Pada
era ini bukan hanya pemerintah saja yang menjadi sasaran afiliasi setiap organisasi maupun
lembaga, namun partai-partai juga ikut dijadikan sasaran sebagai ‘kawan’ politik. Tak
pelak kondisi ini membuat banyak lembaga-lembaga seni budaya yang sebelumnya
menjelang tahun 1960-an banyak pada saat itu partai-partai yang juga membentuk sebuah
lembaga kebudayaannya. Sebut saja di antaranya LKN (PNI), Lesbi (Partindo), Lesbumi
79
(NU) , Laksmi (PSII), Lekrindo (Parkindo), LKKI (partai Katolik) dan ISBM
kelak diberi nama Manifesto Kebudayaan. Brita Maklai dalam tulisannya mengatakan
bahwa kecenderungan partai untuk membentuk sayap di bidang kebudayaan ini ternyata
bak gayung bersambut dengan kecenderungan seniman untuk mencari afiliasi kepada
partai. 80 Para seniman dan pekerja kebudayaan di zaman itu dituntut agar bersikap loyal
dan harus berpihak kepada salah satu partai, hal ini agar seniman bisa lebih dihargai karya-
karyanya. Dengan tolak ukur ini kemudian Lekra dicap sebagai tangan kanan PKI dalam
ranah kebudayaan.
79
Lesbumi dibentuk pada 28 Maret 1962 di bawah naungan partai Nahdatul Ulama (NU).
Pendiriannya dipelopori oleh Djamaludin Malik, Usmar Ismail dan Asrul Sani. Pada prinsipnya Lesbumi
mengambil sikap ‘jalan tengah’ dan dilandasi pada azas moderasi (at-tawazun), menjaga keseimbangan (at-
ta’adu), dan toleran (at-tasamuh) yang kesemuanya itu merupakan manifestasi dari paham alussunnah wal-
jama’ah. Oleh karena mangambil prinsip ‘jalan tengah’ ini, Lesbumi tidak memihak kepada Lekra atau
Manifesto Kebudayaan. Dalam musyawarah besarnya yang pertama kali pada tanggal 25-28 Juli 1962,
Lesbumi berhasil merumuskan tiga hal pokok yang menjadi pedoman bagi seluruh senimannya, yang
ditafsirkan menjadi ‘kebudayaan Islam’, ‘seni Islam’, dan ‘seniman dan budayawan Islam’.
80
Brital Maklai, Menguak Luka Masyarakat: Beberapa Aspek Seni Rupa Indonesia sejak 1966,
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1998, hlm. 22.
47
corong politik-nya PKI untuk menarik simpati rakyat. Hal ini tak lepas dari kesamaan
prinsip organisasi tersebut yang mengutamakan Rakyat sebagai tujuan utamanya. Maka
dari itu, dengan kesamaan prinsip dan juga ideologi, tak bisa dipungkiri, kedekatan Lekra
dan PKI ini pada akhirnya memang sudah terjalin, bahkan begitu dekat. Dan hal ini
sebenarnya membuat kedua organisasi dan lembaga tersebut saling diuntungkan satu sama
lain. 81
Akan tetapi, para elit Lekra langsung membantah anggapan seperti itu. Menurut
mereka kedekatan antara Lekra dengan PKI bukanlah seperti hubungan pemimpin dan
bawahannya atau sebaliknya. Hubungan yang terbentuk antara Lekra dan PKI hanyalah
sebatas ‘kawan ideologi’. Ideologi ‘seni tak hanya untuk seni, tapi seni untuk rakyat’ 82
yang dimiliki Lekra memang banyak terinspirasi dari semangat kerakyatan PKI. Walau
adanya persamaan persepsi tersebut, bukan berarti seni harus selalu mengabdikan diri
kepada partai politik tertentu, melainkan mengabdikan diri kepada arah revolusioner. 83
Tentang kedekatan antara Lekra dan PKI ini, terutama tentang hal onderbouw atau
tidak onderboum-nya Lekra terhadap PKI menuai banyak perbedaan pandangan. Menurut
81
Keuntungan dari pihak Lekra, yaitu memudahkan mereka untuk melebarkan sayapnya, akibat
kedekatannya dengan PKI, banyak Rakyat dari kalangan bawah yang tertarik atau berminat untuk menjadi
anggota atau simpatisan Lekra. Bukan hanya itu, koran milik PKI, Harian Rakyat dan Bintang Timur juga
menjadi media yang setia menampung berbagai karya sastra para aktivis dan organisatoris Lekra. Sedangkan
keuntungan yang bisa diambil dari pihak PKI yaitu memudahkan mereka untuk memobilisasi massa terutama
kaum seniman yang progresif-revolusioner. Contoh saling menguntungkan antara dua kubu ini bisa dilihat
dari kesuksesan PKI pada Pemilihan Umum I tahun 1955.
82
Eka Kurniawan, Pramoedya Ananta Toer dan Sastra Realisme Sosialis, Jendela, Yogyakarta,
2002, hlm 90-91.
83
Soedarsono, Seni Pertunjukan dari Perspektif Politik, Sosial, dan Ekonomi,. Gadjah Mada
University Press, Yogyakarta, 2003, hlm 216-217.
48
mengatakan bahwa:
“…actually more inclined Lekra a left nationalist cultural institutions of the communist
cultural institutions”. 85
Foulcher mengatakan demikian setelah melihat bahwa dalam proses melakukan perekrutan
anggota baru, Lekra hanya didasarkan atas rasa kesuka-relaan, bukan dengan memasukkan
Dalam situasi demikian, Keith Foulcher juga sejalan dengan pandangan Kusni
Sulang dalam menilai hubungan Lekra dengan PKI. Menurut Kusni, Lekra tidak meminta
syarat apa-apa bagi orang yang tertarik ingin bergabung bersama Lekra;
84
Keith Foulcher adalah seorang intelektual dari Australia yang berminat pada kajian-kajian budaya
di Indonesia. Dia mendapatkan Honorary Associate dari almamaternya Universitas Sydney.
85
Keith Foulcher, 1986, op.cit, hlm.24-25.
86
Untuk mengetahui doktrin-doktrin Marxis dan Stalin menurut pemikiran Lekra baca buku Nyoto,
“Marxisme Ilmu dan Amalnya”.
87
Kusni Sulang, 2005, op.cit, hlm. 34.
49
Lekra baik di bidang kebudayaan atau pun bidang perpolitikan Indonesia. Hal ini juga
berkaitan dengan mulai melemahnya sosok Soekarno di mata rakyat pada pertengahan
tahun 1960 dan ditambah semakin eksisnya Angkatan Darat. Puncaknya yaitu pada zaman
orde baru yang secara umum memberikan stigma dengan mengaitkan Lekra sebagai kaki-
tangannya PKI dan akhirnya menenggelamkan Lekra pada peta kebudayaan Indonesia.
Dampak epilognya terjadi pada peristiwa Gestapu yang lantas menyeret juga Lekra ke
dalam keganasan pembantaian kroni-kroni PKI oleh rezim Orde Baru yang
Oey Hay Djoen perihal hubungan antara Lekra dengan PKI juga pernah
mangatakan demikian;
“Jangan menganggap lekra lahir dari PKI…idenya bukan hanya dari Nyoto, Aidit,
dan sebagainya. Ada juga M.S. Ashar dari Merdeka di sana, ada A.S. Dharta, dan
sebagainya. Tidak semuanya orag komunis. Tapi yang lebih penting, sebelum
Lekra berdiri sudah banyak organisasi kebudayaan, yaitu kelompok-kelompok yang
berakar di masyarakat”. 88
Meskipun tokoh-tokoh Lekra sangat dekat dengan PKI, dan sebagian menjadi
anggota bahkan pengurus dalam PKI, namun Lekra tidak bisa serta merta divonis menjadi
onderbouw partai komunis terbesar di Asia Tenggara tersebut. Aidit sendiri pada awal
dibentuknya Lekra, sedang menjalani masa hukuman selama dua minggu percobaan enam
bulan bersama Lukman. Keduanya dijatuhi hukuman karena melanggar Pasal 472 Undang-
Undang Hukum Pidana mengenai persoalan penumpang gelap. Seperti diketahui, bahwa
Aidit dan Lukman menumpang kapal dari Hongkong tanpa menggunakan tiket dan surat-
88
Antariksa, 2005, op.cit. hal. 36.
50
tokoh kiri, sehingga Aidit dan Lukman yang sedang berada di sana segera kembali ke
tanah air meskipun kehabisan uang. Keduanya sampai ke Tanjung Periok dengan kapal
Sejak berkembang pesatnya Lekra dari tahun 1955, PKI memang sangat gencar
mendekati para aktivis Lekra. Dalam setiap acara PKI, selalu terdapat undangan tamu bagi
organisasi Lekra. Hal ini kemudian dipandang oleh kalangan intelektual pada waktu itu
sebagai sebuah strategi PKI untuk mengintegrasikan Lekra dengan PKI. Meski berulang
kali Lekra menyatakan komitmennya untuk tidak mengikuti garis komando partai
manapun, usaha PKI untuk “memerahkan” Lekra tetap berlanjut sampai puncaknya ialah
pada tahun 1964. Diselenggarakannya KSSR (Konfernas Sastra dan Seni Revolusioner) 90
pada 27 Agustus 1964 merupakan bukti masih adanya suatu usaha untuk menekan Lekra
Sejumlah rumor bahkan menyatakan bahwa PKI telah memplot S.W. Kuntjahjo,
seorang penyair dan pelukis drama yang juga menjadi Ketua KSSR, untuk menggantikan
Joebaar Ajoeb sebagai Sekretaris Umum Lekra andaikata Lekra bersedia menyatakan
dirinya sebagai sebuah organisasi komunis. Tidak hanya itu, Amarzan Ismail Hamid,
delegasi dari seniman Sumatera Utara, juga berpendapat bahwa ada isu dari Sekretariat
89
Antara, 13 Agustus 1950
90
Gagasan penyelenggaraan KSSR ini lahir dari Sidang Pleno ke-II CC PKI pada akhir tahun 1963.
Rhoma Dwi Aria, 2008, op.cit. hlm. 58.
51
onderbouw PKI. 91
Usaha yang ditempuh PKI melalui KSSR ini lantas tetap juga gagal untuk
membujuk Lekra. Seperti yang dijelaskan oleh Oey Hay Djoen, sewaktu berlangsungnya
KSSR banyak terjadi perlawanan oleh anggota-anggota Lekra yang menolak gagasan Aidit
“Nah, kita berkali-kali memang diajak diskusi oleh Partai, oleh PKI, untuk
mengubah Lekra itu menjadi pronounced onderbouw. Kami menolak. Bagian besar
dari kami menolak. Saya juga termasuk yang menolak. Saya memang berpendapat,
tidak bisa, seniman itu direger begitu. Jadi kita menolak.” 92
Penolakan para aktivis Lekra dalam KSSR tersebut memang berlandaskan kepada
alasan bahwa seniman semestinya tidak menempatkan diri mereka di bawah komando
langsung partai. Mereka juga memandang bahwa seniman dan karya-karyanya merupakan
suatu yang inheren di luar wilayah kontrol politik pragmatis, walaupun seniman-seniman
tertentu memiliki perhatian pada suatu partai beserta intrik-intrik yang menyertainya.
Alhasil dari semua perjuangan yang telah dilakukan PKI untuk memerahkan total
Lekra berujung pada kegagalan. Dengan kegagalan PKI beserta KSSR nya untuk
memerahkan Lekra, PKI seakan ‘membanting setir’ dengan menjadikan KSSR itu sendiri
sebagai lembaga resmi kebudayaannya. 93 KSSR pun sempat merayakan hari jadinya yang
91
Keterangan Martin Aleida saat dimintai pendapat tentang keikutsertaan Lekra dalam KSSR, via e-
mail.
92
Michael Bodden, Teater Nasional Modern Lekra 1959-1965; Dinamika dan Ketegangan, KITLV-
Jakarta, Jakarta, 2012, hlm. 23.
93
Rhoma Dwi Aria, 2008, op.cit. hlm. 62.
52
September.
Walaupun Lekra dengan ketegasan sikapnya menolak untuk dibawahi oleh PKI,
namun bukan berarti Lekra lantas menjadi musuh atau lawan PKI. Dari kalangan Lekra
sendiri tidak ada yang menolak dengan diadakannya KSSR oleh PKI, mereka tetap hadir
dalam acara tersebut dan acara-acara PKI yang lain. Lekra juga tidak pernah
mempermasalahkan pendirian KSSR sebagai lembaga budaya resmi PKI, hadirnya KSSR
revolusioner di Indonesia. 94
yang ditujukan untuk memperolok kubu tersebut. Berbeda dengan Manifesto Kebudayaan
yang menjadikan kemanusiaan dan kebebasan sebagai nilai tertinggi kesenian, kelompok
Lekra menjadikan “politik sebagai panglima”. Maxim Gorki yang sering kali dikutip
(diilhami oleh pandangan Marxisme dan Leninisme) menandaskan bahwa seni tak pernah
lepas dari politik. Ini berangkat dari pandangan bahwa sebuah kehidupan terbangun dari
perjuangan kelas, tak seorang pun dapat mengelak dari pergulatan politik yang ada di
dalamnya.
94
Komentar dari Abdul Kohar Ibrahim perihal tentang kehadiran KSSR. (interview via e-mail
dengan Abdul kohar Ibrahim)
53
kencing dan ‘kebo’ yang berarti binatang kerbau. Kata “manikebu” ini sering kali
ideologinya’ dengan sebutan “Kaum Reaksioner”, yang dimaksudkan bagi ‘mereka yang
Jikalau Lekra berafiliasi bersama dengan PKI dan PNI, lain halnya Manifesto Kebudayaan
yang lebih memilih berafiliasi dengan militer atau Angkatan Darat (AD). Kerjasama antara
Manikebu dengan Angkatan Darat / militer sangatlah jelas. Manikebu menjadi provokasi
politik militer dalam bidang kebudayaan, malahan banyak kalangan meyakini bahwa
Manifesto Kebudayaan dibentuk oleh Wiratmoe Soekito bersama dengan pihak Angkatan
Darat.
95
D.S. Moeljanto dan Taufik Ismail, 1995, op.cit. hal. 11.
96
Keith Foulcher, 1986, op.cit. hlm. 124.
54
awal dari kegiatan-kegiatan mereka selanjutnya dan memberi wadah bagi para anti Lekra
konferensi ini diambil alih oleh pihak AD, yaitu Brigadir Jendral Soedjono. 97
(IKAT) daerah Surakarta yang dipimpin oleh Peltu Sujono mengungkapkan bahwa
“Humanisme-Universal seperti yang dimaksud dalam Manikebu itu tidak dapat diterapkan
ke dalam jiwa kehidupan TNI yang sejatinya merupakan Tentara Rakyat dan Tentara
Revolusioner, dan hal ini jika dilanjutkan akan melumpuhkan semangat TNI sebagai
patriot nasional.” 98
Pertentangan di kubu militer ini sendiri menunjukkan bagaimana Manikebu masih belum
mendapat tempat yang layak dalam arena politik dan budaya Indonesia.
Perlakuan Soekarno yang buruk kepada Manikebu membuat kelompok ini tidak bisa
terlalu leluasa untuk beraktivitas. Lekra dan LKN pada waktu itu merupakan organisasi
97
D.S. Moeljanto,1995, op.cit. hlm. 441
98
Ibid, hlm. 304
99
Ibid. hlm.267.
55
Indonesia. Ternyata apa yang diharapkan oleh Manikebu itu tidak terwujud, mereka
Sebab-sebab larangan itu ialah karena Manifesto Politik Republik Indonesia sebagai
pancaran Pancasila telah menjadi garis haluan negara dan tidak mungkin didampingi
dengan manifesto lain, apalagi kalau manifesto lain itu menunjukkan sikap ragu-ragu
terhadap Revolusi dan memberi kesan berdiri di sampingnya, padahal demi suksesnya
Revolusi, maka segala usaha kita, juga dalam lapangan kebudayaan, harus kita
jalankan di atas rel Revolusi menurut petunjuk-petunjuk Manipol dan bahan
indoktrinasi lainnya”.
Antara, 9 Mei
100
1964
penghujung tahun 1965. Kudeta besar-besaran terjadi pada September-Oktober 1965 dan
ketinggalan juga Lekra. Dianggap sehaluan dengan PKI, Lekra pun akhirnya ikut terkena
imbas dari angin perubahan yang sedang terjadi itu. Pada akhirnya setelah Peristiwa
Gestapu tersebut berakhir, Lekra benar-benar telah hancur, dan tak pernah hidup lagi.
Kelompok Manikebu dengan Angkatan Darat lah yang pada akhirnya memenangkan
56
lanjut tentang bagaimana jatuhnya Lekra ada pada Bab IV dalam buku ini), Lekra telah
berhasil menanamkan dan membentuk sebuah kebudayaan yang baru dan modern di
Kebudayaan modern yang dihasilkan Lekra selama lima belas tahun itu pun bukan
dari tangan-tangan kebudayaan asing, melainkan dari tangan Rakyat Indonesia sendiri. Hal
seperti ini tentu tidak mudah dilakukan oleh organisasi kebudayaan manapun, bahkan
kelompok Manifes Kebudayaan hanya mampu eksis sampai tahun 1970-an tanpa
menanamkan pengaruh yang berarti dan setelah tahun tersebut mereka hanya berjalan
57
Medan pada masa pasca kemerdekaan Indonesia memiliki pengaruh yang sangat
Kebudayaan di Medan mengalami proses pembauran yang jarang terjadi pada daerah-
daerah lain di Indonesia, hadirnya beragam suku bangsa (Melayu, Toba, Karo, Mandailing,
sangat beragam.
dilihat dari salah satu contoh kesenian Ronggeng Melayu yang sangat populer di Medan. 101
Adanya perpaduan budaya tersebut terjadi karena adanya hubungan antau kontak budaya
secara langsung dari beberapa kelompok etnik yang menetap di Medan. Karena itu juga,
Medan yang dulunya identik sebagai kota perkebunan yang bertaraf internasional berubah
menjadi kota melting poot atau tempat pembauran budaya dari beberapa kelompok etnik
101
Dalam kesenian Ronggeng Melayu di Medan ini terlihat begitu banyak terdapat unsur-unsur
kebudayaan yang terintegrasi. Misalnya, tari-tarian dalam Ronggeng Melayu banyak menyerap unsure-unsur
tarian dari etnik Jawa, Sunda, Karo, Banjar dan Toba. Unsur seni musik Patam-Patam (Karo), lagu Sitalasari
(Simalungun), Sipengge Supir dan Raja Doli (Toba), Es Lilin (Sunda), Kembang Barem (Jawa), Oh My
Kasih (India) juga terintegrasi dalam kesenian Ronggeng Melayu. Untuk lebih lengkapnya lihat buku “Danil
Ahmad. (dkk), Proses Perkembangan Upacara Adat Mengantar Haluan Dalam Masyarakat Melayu di
Sumatera Utara, Laporan Penelitian USU, Medan, 1988/1989.
102
Artikel, Suprayitno, Medan Sebagai Kota Pembauran Sosio Kultur di Sumatera Utara Pada
Masa Kolonial Belanda, Historime Edisi No.21/Tahun X/Agustus 2005, hlm. 5.
58
cerminan ciri khas Medan sebagai kota tempat lahirnya para seniman dan bentuk-bentuk
kesenian seperti teater. Kota Medan juga dikenal sebagai kota teater ketiga setelah Jakarta
dan Surabaya. Predikat sebagai kota teater ketiga terbesar ini dapat dimaklumi karena pada
tahun 1940-an di Medan memang banyak sekali bermunculan kelompok teater yang
melahirkan banyak tokoh-tokoh teater modern yang cukup terkenal, di antaranya Bahrum
Rangkuti, Menak Jingga dan Saleh Umar (Surapati). Medan juga menjadi tempat yang
paling sering dikunjungi oleh kelompok-kelompok teater dari Malaysa, sperti Dean’s
103
Opera, Miss Tijah, dan Moonlight Crystal Follies . Hingga masa menjelang
Medan. 104
Medan menjadi salah satu daerah di luar pulau Jawa yang paling menonjol aktivitas
senimannya. Tidak hanya karya-karya seni yang berkualitas dihasilkan para seniman
Medan, namun juga seniman Medan telah banyak menginsipirasi seniman-seniman lainnya
di Tanah Air. Hal inilah yang membuat Medan menjadi kawasan yang paling banyak
melahirkan seniman-seniman yang berbakat dan populer. Sebut saja Sutan Takdir
Alisyahbana 105 , generasi seniman sastra tahun 1945 atau sering disebut juga angkatan
“Pujangga Baru”. Karya-karya STA sudah sangat mendunia, bahkan menjadi tokoh besar
dunia yang banyak meng-influence para seniman dan sastrawan di Malaysia dan
Singapura.
103
Muhammad TWH, Sejarah Teater dan Film di Sumatera Utara, Yayasan Pelestarian Perjuangan
Kemerdekaan RI, Medan, 1992, hlm. 57-61.
104
Suprayitno, loc.cit.
105
Sutan Takdir Alisyahbana (STA) lahir di Mandailing Natal, Sumatera Utara pada 11 Februari
1908. Dia termasuk salah satu tokoh sastrawan masa Pujangga Baru yang memiliki pola pikir yang ke barat-
baratan. Abdul Karim Mashad (ed), Sang Pujangga; 70 Tahun Polemik Kebudayaan Menyongsong Satu
Abad S. Takdir Alisjahbana, Pustaka Pelajar, 2006.
59
yang tak kalah populernya dengan Sutan Takdir Alisyahbana. Nama-nama seperti Hamka,
H.B. Jassin, Mochtar Lubis, Umar Kayam, Bokor Hutasuhut, Bakri Siregar, Bachtiar
Siagian, Bandaharo (Banda Harahap), F.L. Risakotta, Teungku Iskandar AS, Amarzan
Ismail Hamid, Amrus Natalsya, Martin Aleida, dan masih banyak yang lainnya adalah
seniman-seniman nasional yang menimba ilmu seni atau mengawali karirnya sebagai
seniman di Medan.
Atas hal tersebut muncul sebuah interpretasi bahwa Medan ialah ranah awal para
seniman membekali dirinya sebelum terjun ke pentas yang lebih besar. Di antara
banyaknya seniman yang telah cukup membekali dirinya dengan ilmu kemudian hijrah ke
kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, dan Yogyakarta. Hal ini dilakukan mereka
dengan berbagai alasan dan tujuan. Martin Aleida misalnya, meninggalkan kota Medan
dan memilih ikut tinggal bersama saudaranya di Jakarta akibat konflik internal keluarga. 106
Lain lagi dengan Amarzan yang berani hijrah ke Jakarta setelah tulisannya sering dimuat di
salah satu koran nasional. Demikian juga Bakri Siregar yang menetap di Jakarta setelah
Meskipun – atau mungkin justru karena – prospek ekonomi suram 107 , Medan
106
Film Tjidurian 19
107
Marije Plomp, The Capital of Pulp Fiction and Other Capital Cultural Life in Medan, 1950-
1958, KITLV, Leiden, 2012, hlm. 7. Hal ini disebabkan oleh berbagai faktor, seperti laju urbanisasi yang
pesat semenjak usai Perang Dunia II, membanjirnya kaum tani miskin, sangat minimnya fasilitas pendidikan,
tingginya angka buta huruf. Kondisi inilah yang membuat Kota Medan tidak mempunyai prospek ekonomi
yang bagus.
60
budaya pop lah yang paling laris, dibandingkan dengan berbagai wujud budaya Indonesia
modern yang lebih serius lainnya. Bentuk-bentuk visual budaya pop misalnya, seperti film
dan kartun – keduanya relatif merupakan budaya baru – menarik konsumsi khalayak luas,
setidak-tidaknya karena tingkat buta huruf yang tinggi di Medan. Dalam hal ini situasi
yang dialami Kota Medan amatlah mirip dengan kota-kota utama yang berada di
Semenanjung Malaya di mana ‘selera rakyat’ menentukan aktivitas pasar dan khalayak
dalam hal ini jauh lebih menyukai film Melayu yang sentimentil atau film Hollywood
ketimbang sebuah film sejarah ataupun film-film dokumenter yang radikal sekalipun. 108
Tidak hanya film, pada pertengahan tahun 1950-an di Medan, karya-karya sastra
seperti cerita pendek (cerpen) dan novel hampir semuanya bergenre pop, yang rata-rata
bahkan seks. Nyaris tidak ada tempat untuk memasarkan karya-karya sastra Indonesia
modern yang ‘serius’. Buku sastra yang sulit dimengerti atau tidak bisa
dimengerti tidak akan terasa keindahannya bagi pembaca modern dan akan
dianggap sebagai buku-buku ilmiah atau karya filsafat yang peminatnya tentu lebih
terbatas. Karenanya “sastra pop” atau “novel pop” lebih banyak peminatnya dan
lebih banyak ditulis di Indonesia terlebih di Medan, karena sastra jenis demikian
Tapi masih ada satu masalah yaitu tentang norma-norma dan nilai-nilai
dalam kaidah karya sastra atau bagaimana jenis tulisan yang punya nilai sastra.
Sastra Indonesia dari peralihan zaman kolonial sampai kepada tahun 1950-an belum
108
Marije Plomp, 2012, loc.cit.
61
apa itu nilai sastra. Satu-satunya patokan adalah bahwa sebuah karya sastra harus
segolongan intelektual sastra harus agak sukar dimengerti hingga betul-betul sulit
yang tak mudah ditangkap orang awam atau dengan kata lain intelektualisme dalam
sastra sebagai jawaban awamisme di bidang sastra. Biasanya awamisme dalam sastra
lebih banyak terdapat di sekitar kerumunan sastra golongan kiri. Mereka sering
bertindak atau berlaku seperti polisi sastra agar sastra kiri dan revolusioner lebih ke
kiri lagi bahkan lebih revolusioner lagi hingga sampai kepada penolakan terhadap
fiksi dalam sastra, menolak fantasi, menolak imajinasi dan harus hanya menuliskan
kebenaran dan kenyataan hidup sebagaimana adanya dan contoh yang mereka
andalkan adalah semua bentuk karya otobiografi atau biografi yang harus ditulis
secara jujur, tidak “bohong”, tidak mengada-ada atau dengan istilah yang lebih sinis
Jenis sastra pop yang disebut “ngibul” inilah yang mau diperangi
agar karya-karya sastra revolusioner mereka diubah menjadi tidak lagi sulit
Medan juga pada akhirnya menenggelamkan eksistensi para pengarang Melayu yang
Namun begitu tak bisa dipungkiri, karya-karya sastra pop lah yang paling laris
dicari dan diinginkan oleh masyarakat Medan. Selera masyarakat Medan terhadap karya
62
usaha di bidang sastra atau tulis menulis. Maka tak heran, banyak percetakan dan
semua terbitan buku di seluruh Indonesia pada tahun 1950-an dicetak di Medan. 109
Gejala merebaknya sastra genre pop di Medan ini lantas banyak dikritisi dan dinilai
negatif oleh seniman-seniman di berbagai daerah di luar Medan. Cerita-cerita pop tersebut,
menurut Sutradara film Usmar Ismail sangatlah tidak mendidik dan tidak menawarkan
apapun kepada pembaca selain emosi dangkal, sentimen murahan, dan merusak moral. 110
Menurut para sastrawan Indonesia karya-karya sastra di Medan tidaklah berbobot dan
menjurus kearah “cabul” 111 dan hanya mementingkan kuantitas dibandingkan kualitas
tulisan. Dengan kuatnya unsur selera rakyat untuk genre pop pada karya sastra, Medan
Tokoh yang sangat populer dengan genre sastra pop atau Roman Picisan di Medan
Sungai Nil (1952), Empat Bulan di Amerika (1954), Ayahku (1958), dan karyanya yang
paling terkenal Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk (1940) selalu laris manis di pasaran
sesungguhnya karya-karya Hamka 113 memberikan kontribusi atau sumbangan yang cukup
besar bagi pengembangan bahasa nasional. Banyak unsur-unsur baru di dalam penerapan
109
Barus Siregar, Penerbit-penerbit Medan, 1953, hal. 20-26.
110
Barus Siregar, loc.cit.
111
M.Nasution, ‘Apa yang dibatja Medan’, Buku Kita, 1955, hal. 261.
112
Selain Hamka, terdapat juga dua nama dari penulis serba-bisa di Medan, Joesoef Sou’yb dan
Narmin Suti. Suprayitno, loc.cit.
113
Hamka lahir di Sumatera Barat, namun dia besar dan lama berdomisili di Medan selama sepuluh
tahun sebelum akhirnya dia pindah ke Jakarta untuk bekerja sebagai editor pada Mimbar Umum.
63
hingga sekarang.
Seperti yang sudah diutarakan di atas, Medan merupakan salah satu daerah yang
giat memproduksi atau melahirkan seniman-seniman berbakat. Para seniman itu lantas
merasa perlu mempromosikan buah karyanya ke khalayak banyak sekaligus meniti karir ke
tingkat yang lebih baik, maka dari itu banyak seniman di Medan yang memutuskan untuk
pergi merantau ke luar kota, dalam hal ini kota Jakarta yang paling sering disinggahi atau
dipungkiri memang, sebagai ibukota dan pusat segala bentuk administrasi dan perpolitikan
Indonesia berada di Jakarta, bahkan tak sedikit juga yang menganggap Jakarta sebagai
Soal status kota Jakarta sebagai pusat kebudayaan nasional ini banyak mendapat
kritikan dari budayawan di beberapa daerah, termasuk salah satunya Hamka. Dia
mempertanyakan status Jakarta sebagai “pusat” karena di masa yang lalu atau pada masa
kolonial Belanda, Jakarta tidak pernah menyandang status pusat kebudayaan, yang pernah
disandangnya hanyalah pusat administrasi negara. Tidak hanya sampai di situ, Hamka
lantas juga mengecam ikon-ikon kebudayaan di Jakarta yang sangat kental dengan sifat
arogansinya 114 . Sifat arogansi tersebut ditunjukkan oleh Hamka dalam pertentangannya
“When, for instance, Sutan Takdir Alisyahbana in Jakarta revised spelling and
grammar rules without consulting Malay language specialists from outside Java,
Hamka exspressed his strong disapproval. He felt that the Malays, as native speakers
114
Bahkan seniman terkenal seperti Aoh Karta Hadimadja mengatakan kalau budaya Sumatera tak
ada yang bernilai untuk disumbangkan pada kebudayaan nasional.
64
“(Ketika Sutan Takdir Alisyahbana di Jakarta merevisi aturan ejaan dan tata bahasa
tanpa berkonsultasi dengan para ahli bahasa Melayu dari luar Jawa, Hamka
menunjukkan ketidaksetujuan yang mendalam. Ia merasa bahwa orang Melayu, adalah
penjaga sejati bahasa nasional, bahasa Indonesia, dan seharusnya diberi peran dalam
pengembangan bahasa tersebut).”
Situasi di Jakarta saat itu juga sudah lebih maju berkembang dibandingkan dengan
daerah-daerah lain di Indonesia, termasuk Medan. Hal inilah yang juga menarik kalangan
seniman Medan untuk merantau dan meniti karir di Jakarta. Terlebih lagi peran media
berkesinambungan antara Medan dan Jakarta. Sekitar tahun 1955-an telah banyak orang
yang berasal dari Jakarta di antaranya para pengarang, penyair dan aktor-aktor drama
Selain Jakarta, Singapura juga termasuk salah satu tempat yang penting dalam
kedekatan geografis Medan dan Singapura yang hanya dipisahkan dengan Semenanjung
Melayu, Singapura diyakini berperan penting sebagai bagian dari jejaring pertukaran lintas
batas antar daerah perkotaan di dunia Melayu yang berlangsung secara intensif. Para
penyanyi, aktor, dan komponis dari Medan yang merantau ke Singapura untuk bekerja
115
Marije Plomp, 2012, op.cit. hlm. 19.
65
Medan itu diimpor kepada sutradara film dan toko-toko musik di Medan. Tokoh utama
yang berperan membentuk relasi antara Medan dan Singapura adalah para seniman Melayu
nasionalis (terutama para pengarang atau sastrawannya) dengan “saudara tua” mereka,
Rata-rata orang Medan yang merantau ke Singapura berasal dari suku Melayu atau
masih ada hubungannya dengan keturunan Melayu. Di Singapura para seniman Medan
yang merantau tersebut bertemu dengan para seniman nasionalis Malaya yang terpaksa
hengkang dari daerahnya di Semenanjung Malaya untuk melarikan diri dari Undang-
Terjadinya Revolusi Sosial 117 di Sumatera Utara juga menjadi salah satu faktor
terciptanya hubungan dengan Singapura. Seorang ahli seni teater atau drama, Achmad
CB 118 , sangat giat melakukan berbagai aktivitas politik. Selain mendirikan kelompok
teater Asmara Dhana, Achmad CB juga sangat aktif menjadi anggota GERINDO (Gerakan
Indonesia Raya). 119 Karena sangat aktif di GERINDO dan sering mementaskan drama-
drama yang antikolonial- terutama karya-karya Muhammad Saleh Umar- dia terus menerus
diikuti oleh dinas Intelejen Belanda. Hal inilah yang membuat dia untuk hengkang ke
Singapura. Bersamaan dengan itu Achmad CB juga mengubah nama kelompok teater yang
didirikannya dari Asmara Dhana menjadi Rayuan Asmara. Di sana ia banyak menulis lagu-
116
Budiawan, Ketegangan dan negosiasi dua saudara ‘sekandung’; Orientasi dan jaringan para
pengarang-aktivis Melayu di Malaya pada Indonesia, KITLV-Jakarta, Jakarta, 2012, hlm 5-6.
117
Revolusi Sosial terjadi di Sumatera Utara (Sumatera Timur) pada tahun 1947-1950. Lebih
lengkap tentang Peristiwa Revolusi Sosial lihat buku Suprayitno, “Mencoba Lagi Menjadi Indonesia”.
118
Achmad Awab Azib lahihr di Medan pada tahun 1915 yang berasal dari keluarga Arab-Melayu.
Nama Achmad C(as) B(ara) didapat dari kawan-kawannya yang menganggap dirinya mempunyai semangat
yang berapi-api.
119
Muhammad TWH, 1992, op.cit. hlm. 21.
66
Yang unik dari kebudayaan dan kesenian di Medan adalah masuknya penulisan
komik yang ter-influence dari Amerika. Seni komik sebenarnya telah hadir semenjak Pra
komik menjadi sangat popular pada pertengahan tahun 1950-an. Komik-komik Amerika
seperti Flash Gordon, Rip Kirby, Phantom, dan Tarzan mulai merajai industri komik
Indonesia. Di Medan, komik yang pertama kali terbit adalah komik versi Indonesia dari
karya Jules Verne, A Journey to the Center of the Earth, yang ditulis oleh M. Ali’s, Daeng
Topo Pendekar Bugis karya Sigajo, dan Indra manusia adjaib, juga karya Sigajo.
Namun begitu komikus yang lebih terkenal di Medan adalah Taguan Harjo. Taguan
lahir di Suriname pada tahun 1935. Ia lebih memilih mengikuti ayahnya ke Sumatera Barat
daripada ikut ibunya kembali ke Belanda. Tak lama kemudian ia meninggalkan ayahnya
komikus atau seniman komik. Taguan Harjo terkenal dengan gaya lukisnya menggunakan
teknik arsir yang canggih. Dalam pembuatan komiknya ia sering mengetengahkan seting,
Karya-karya komiknya yang paling terkenal yaitu Keulana (1950-an) Kapten Yani
(1950-an), Perompak Lautan Hindia (1950-an), Abu Nawas (1958 dan 1960), Batas
Firdaus (1960) dan karya terbesarnya berjudul Hikayat Musang Berjanggut yang pernah
67
an. Usaha penerbitan di Medan, seperti yang telah diterangkan pada halaman-halaman
sebelumnya, sangat sangat berkembang, tak terkecuali usaha penerbitan buku komik.
Penerbit komik yang paling terkemuka di Medan pada tahun 1950-1965 yaitu Toko Harris,
Lembaga Kebudayaan Rakyat yang terbentuk pada tahun 1950 mulai menjajaki
wilayah Sumatera Utara pada selang waktu 4 (empat) tahun setelahnya. Tokoh-tokoh yang
berperan membawa masuk Lekra ke Sumatera Utara adalah Bakri Siregar dan H.R.
Bandaharo. Akan tetapi keduanya tidak serta merta masuk ke dalam kepengurusan Lekra
Sumatera Utara. Mereka malah mengangkat Azis Akbar dan Syarifuddin Anjasmara (Sy
Anjasmara) masing-masing sebagai Sekretaris dan Wakil Sekretaris Lekra Sumatera Utara.
Bakri Siregar dan Bandaharo hanya menjadi anggota biasa. Demikianlah Lekra Sumatera
mereka ke berbagai daerah-daerah yang strategis di Sumatera Utara. Tahun 1955 Lekra
berhasil membentuk cabang baru yang bertempat di Medan. Nyoto, Joebaar Ajoeb dan
Agam Wispi langsung datang ke Medan untuk meresmikan pembentukan Lekra cabang
Medan. Bakri Siregar ditunjuk langsung sebagai Sekretaris Cabang dengan anggota-
120
Harian Waspada merupakan sebuah koran harian yang terbitdi Medan sejak 11 Januari 1947.
Harian ini berdiri atas prakarsa Mohammad Said dan Ani Idrus.
121
Menurut penuturan dari Martin Aleida bahwa Medan adalah daerah di Sumatera Utara yang
pertama kali dibentuk cabangnya. Wawancara via email pada bulan Januari 2013.
68
Tobing, dan Taguan Harjo. 122 Setelah Medan berturut-turut berdiri Lekra Asahan pada
tahun 1957, Lekra Tanjung Balai tahun 1958, dan Lekra Siantar di tahun 1959. Ketiga
cabang ini, bersama dengan Lekra Cabang Medan adalah cabang-cabang Lekra di
Sumatera Utara yang paling aktif melancarkan kegiatan keseniannya di Sumatera Utara
Lekra Tanjung Balai sewaktu berdirinya dipelopori oleh Amarzan Ismail Hamid,
seorang penyair dan Emha, seorang pengarang lagu. Dalam kesaksiannya Lekra Tanjung
Balai berdiri bersamaan dengan dilaksanakannya Konferensi Lekra Sumatera Utara I yang
“Pada Konferensi Lekra Sumatera Utara yang pertama itu di Tanjung Balai. Ya,
saya hadir sebab akan ada seniman-seniman dari Medan. Tiba-tiba konferensi itu
memutuskan saya menjadi anggota Pengurus Lekra Cabang Tanjung Balai.” 123
Di Cabang Siantar tokoh yang paling berperan penting berasal dari para sastrawan,
di antara para sastrawan itu terdapat nama-nama seperti Abdullah Nasution, Toga
Tambunan dan Astaman Hasibuan. Karya-karya sastra Lekra Siantar banyak dimuat
diberbagai media cetak di Medan, di antaranya Harian Harapan dan Waspada. Dengan
tidak sedikit di antara penulis-penulis Lekra Siantar tersebut yang dipekerjakan sebagai
reporter, juru tulis, bahkan menjadi pimpinan. Seperti salah satu kader Lekra Siantar,
122
Belum ada kejelasan apakah Taguan Hardjo ikut menjadi anggota Lekra Medan atau hanya
sebagai simpatisan saja, namun menurut Sekar Agung dia mengambil peran bersama Lekra dalam bidang
seni lukis. Interview dengan Sekar Agung pada Maret 2013.
123
Pernyataan dari Amarzan Ismail Hamid dalam film Tjidurian 19.
69
Lekra Asahan banyak didominasi oleh orang-orang dari seni musik dan tari. Daerah
Asahan ternyata menjadi daerah tujuan yang paling banyak dipilih oleh anggota-anggota
Lekra cabang Medan untuk melaksanakan metode Turun ke Bawah (Turba), tidak hanya
cabang Medan Pengurus Pusat Lekra juga terdapat pernah melakukan Turba ke daerah ini,
di antaranya Basuki Resobowo dan Sudharnoto. Asahan dijadikan tempat tujuan Turba
karena kawasan ini masih sangat terbelakang dalam hal pendidikan dan kesejahteraan para
menonjol aktivitas seninya dalam bidang seni sastra, seni drama/teater dan seni musik. Jadi
dapat dikatakan bahwa spesialisasi di ketiga bidang tersebut hampir merata pada Lekra
cabang Medan. Kesimpulan ini terbukti dengan mayoritas anggota dan pengurus Lekra
Medan yang menguasai ketiga spesialisasi tersebut. Atas dasar itu pula Lekra Medan hanya
membentuk tiga lembaga kreatif, yaitu Lembaga Sastra Indonesia (Lestra), Lembaga
Drama Indonesia (Lesdra/LSDI) dan Lembaga Musik dan Tari Indonesia (LMI).
Semasa keperiodean awal Lekra Medan di masa kepemimpinan Bakri Siregar 125,
Lekra Medan masih terfokus kepada perekrutan anggota. Pada tahun 1955 inilah PKI
124
Abdullah Nasution menjadi orang yang cukup disegani pada saat itu. Panggilan ‘Bang’ yang
melekat padanya membuktikan banyak orang hormat kepadanya, karena pada masa itu panggilan ‘Bung’
lebih lazim digunakan untuk memanggil rekan-rekan seperjuangan dibandingkan ‘Bang’. (interview dengan
Astaman Hasibuan).
125
Marije Plomp, 2012, op.cit. hlm. 20.
70
PKI, kesenian dan kebudayaan rakyat dirasa sangat perlu dikembangkan untuk
meningkatkan kecerdasan dan nasionalisme pada rakyat. Maka itu PKI membujuk agar
para seniman kiri agar memilih PKI dalam pemilu tahun 1955;
“…bagi kaum intelegensia, memilih PKI berarti kesempatan dan syarat kerja yang
cukup untuk memajukan ilmu guna kebahagiaan manusia…bagi seniman, memilih
PKI berarti kebebasan mencipta dan syarat kerja yang cukup.” 126
Memang PKI sukses menjadi salah satu kontestan pemilu 1955 yang masuk ke
dalam empat besar. Namun, di Medan ternyata Partai Masyumi yang memenangkan suara
mutlak pemilihan umum 1955, sedangkan PKI sendiri tidak masuk ke dalam empat besar
Bersama dengan Bandaharo, Kordon Sibarani dan juga Gordon Tobing, Bakri
Siregar berhasil membentuk sebuah ansambel nyanyi dan tari pada awal tahun 1959 yang
kemudian mereka namakan “Maju Tak Gentar”. Ansambel “Maju Tak Gentar” menjadi
berkat keunggulan performa kekompakan suara yang bagus dan enak didengar.
Bakri Siregar memimpin arak-arakan Lekra cabang Medan sampai tahun 1959, di
mana pada tahun ini ia direkomendasikan untuk masuk ke dalam kepengurusan Lekra
Pusat yang diputuskan dalam Kongres Nasonal I di Solo bersama dengan Agam Wispi,
H.R. Bandaharo, dkk. Setelah Bakri Siregar, sekretaris cabang Medan selanjutnya adalah
Zubir AA seorang cerpenis yang sudah mempunyai banyak pengalaman dalam penulisan
126
Bintang Merah, “Kongres Nasional ke-V Partai Komunis Indonesia”, Pembaruan, Jakarta, Tahun
ke-IX, Februari-Maret 1954, hlm. 98-99.
71
masuk ke dalam kumpulan cerpen dan puisi ‘Api 26’ 127 yang diterbitkan oleh Yayasan
Pembaruan di Jakarta dan diterbitkan ulang oleh Abdul Kamir. Setelah menjabat menjadi
Sekretaris Lekra Medan selama 4 tahun dia pindah ke Jakarta menjadi wartawan pada
Harian Rakyat. Zubir juga memiliki sajak berjudul “Lagu Subuh”, yang pernah dimainkan
Sekretaris cabang yang kemudian menggantikan Zubir AA pada awal tahun 1963
yaitu CH. Habidi. Ia adalah seorang penyair yang lahir dan berkembang di Medan. Saat
menjabat menjadi sekretaris cabang ia terbilang masihlah sangat muda, masih berusia 28
tahun. Ia menjadi Sekretaris Cabang Lekra Medan setelah sebelumnya bekerja menjadi
wartawan pada Harian Harapan. Ketertarikannya pada Lekra membuat Habidi rela untuk
melepas pekerjaannya yang dianggap menjanjikan hidup yang lebih baik. Namun belum
genap selama satu tahun masa kerjanya di Lekra Medan, ia dipaksa orang tuanya untuk
melanjutkan sekolah ke Yayasan Aisyah di Jakarta, kemudian dari sana ia pindah ke luar
negeri, tepatnya ke Albania. Di Albania, Habidi tetap rajin menulis dan tak jarang tulisan
Dengan adanya kekosongan pada jabatan sekretaris cabang pada awal tahun 1963,
akibat CH. Habidi yang mengundurkan diri setelah belum genap satu tahun menjadi
sekretaris cabang medan, maka saat itu juga Lekra Medan langsung menunjuk Buyung
sebagai pengganti Habidi. Nama Buyung sendiri hanyalah nama pena yang diberitahukan
oleh Astaman Hasibuan. Astaman saat di interview tidak mau menyebutkan nama asli dari
127
Api 26 adalah buku yang berisi kumpulan-kumpulan cerpen terpilih dari seluruh cerpenis di
Indonesia. Selain cerpen Zubir AA yang terpilih dalam kumpulan di buku Api 26, terdapat juga karya-karya
dari nama-nama antara lain Agam Wispi, Sugiarti Siswadi, S. Anantaguna, T. Iskandar A.S., A. Kembara,
Alifdal, Chalik Hamid, Anantya, Nurdiana, Mahyuddin, Mawie Ananta Jonie, M.D. Ani dan Z. Afif
72
keterangan Astaman Hasibuan sendiri dalam tulisan suratnya kepada Martin Aleida,
“…tapi aku dipanggil ke Teperda, itulah sebabnya ukiran Maria Sang Perawan
terpaksa tertunda. Kemarin, sepulang seorang kawan dari panggilan Teperda
memintaku untuk menjadi saksinya. Memintaku agar aku memberikan kesaksian
bahwa dia memang benar anggota Lembaga Tari Indonesia (Lekra). Idham
namanya (sudah pasti nama ini bukan nama sebenarnya, dia masih hidup sekarang
ini). Idham anggota Ansambel Tari dan Nyanyi Maju Tak Gentar, piawai menari
Melayu.” 128
Nama ‘Idham’, seperti keterangan di atas nampaknya juga bukan nama asli. Tapi
ada kecenderungan nama asli yang dimaksud Astaman adalah ‘Mahdi’, kebalikan dari kata
‘Idham’, yang bernama pena ‘Buyung’. Jikalau memang benar demikian berarti pada akhir
tahun 1963 sampai dengan 1965 Lekra Cabang Medan dipimpin oleh seorang seniman dari
seni tari dan musik, hal yang baru setelah periode sebelumnya Lekra Medan selalu
memiliki sekretaris cabang dari unsur sastrawan atau seni tulis. Namun ada juga
kecenderungan kalau Buyung itu bukanlah ‘Mahdi’ atau ‘Idham’ sekalipun, karena
Buyung sendiri adalah ‘nama pena’. Nama pena sendiri diciptakan untuk seorang
Pada masa keperiodean Buyung, Lekra Medan mempunyai tiga pengurus cabang.
Buyung sendiri menjadi sekretaris cabang, diikuti oleh masing-masing Astaman Hasibuan
selaku wakil sekretaris cabang bidang organisasi dan Onan Gusri sebagai wakil sekretaris
cabang bidang pendidikan. Buyung, Astaman dan Onan Gusri sebelumnya menjadi
anggota biasa pada keperiodean Habidi dan setengah keperiodean Zubir AA. Bersama
dengan itu juga terdapat sebagai anggota ialah Samirin, Darsiah, dan Arswandi, yang
73
Siantar, tapi di tahun 1963 dia memutuskan pindah untuk menetap di Medan. Astaman
terbilang sangatlah muda saat aktif menjadi anggota Lekra Medan, saat itu ia masih
berumur 23 tahun. Ia mengaku Lekra sangat berperan besar dalam membentuk wataknya
dan keahlian menulisnya. Sebelum menjadi anggota Lekra Siantar dia masih belum
mengenal perihal tentang seni tulis-menulis, meskipun sejak kecil dia sudah diajarkan
pengetahuan-pengetahuan yang radikal ketika berkiprah di Pemuda Rakyat (PR) dan IPPI
(Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia). Astaman juga merupakan anak dari Soemarno
Hasibuan, salah seorang tokoh PKI yang sangat berpengaruh di Sumatera Utara. 129
Tercatat Soemarno Hasibuan merupakan salah satu pengurus PKI di Sumatera Utara pada
tahun 1957-1960. Di Lekra Medan, Astaman juga bertindak sebagai ketua Lestra Medan.
Onan Gusri adalah seorang seniman teater. Dia bersama dengan Sulardjo membuat
Lekra Medan masih tetap eksis menampilkan seni peran drama sampai tahun 1965. Selain
menjabat sebagai wakil sekretaris, ia juga dipilih sebagai ketua Lesdra Medan. Selain aktif
di Lekra Medan, Gusri – begitu nama panggilannya disebut – juga bekerja sebagai
wartawan pada harian Gotong-Royong di Medan. Pada masanya, seni teater di Medan
sangat dikagumi, hal ini terbukti dengan banyaknya karya-karya para sastrawan baik itu
berupa sajak (puisi), cerpen, dan sebagainya yang dimainkan menjadi drama/teater.
Pada masa keperiodean Buyung ini Lekra Medan banyak memenangkan berbagai
perlombaan atau festival, baik itu ditingkatan lokal maupun nasional, di bidang sastra,
drama, dan musik. Lekra Medan sendiri mempunyai Kantor Sekretariat yang terletak di
129
Meskipun ayahnya adalah tokoh PKI yang sangat populer di Sumatera Utara, Astaman tetap
menahbiskan kalau dirinya bukanlah komunis walau tidak juga anti terhadap ajaran komunis.
74
ditempati Lekra Medan sejak tahun 1960 dengan biaya sewa 50 (lima puluh) rupiah per
tahunnya. Diketahui kemudian Kantor Sekretariat Lekra Medan ini juga sering disinggahi
oleh pengurus-pengurus Lekra Sumatera Utara, bahkan sempat dibuat ruang khusus untuk
kantor Lekra Sumatera Utara, dikarenakan tempat tersebut lumayan luas dan masih banyak
Salah satu aktivitas seni yang juga menonjol atau memiliki nilai plus dari para
seniman di Medan yaitu seni drama. Seni teater atau drama pada sekitaran tahun 1960-an
Medan adalah cabang yang paling banyak mementaskan seni drama. Bahkan peneliti
“kalau bicara tentang drama pada masa itu, maka Lekra Sumatera Utara-lah yang
paling banyak mementaskan drama, "mengalahkan" provinsi dan kota-kota lainnya
di Indonesia. Saya kemukakan sebagai contoh bahwa Lekra kota Medan pada
tahun-tahun tsb pernah mentaskan "Gerbong" Agam Wispi, "Lagu Subuh" Zubir
AA, "Batu Merah Lembah Merapi" Bachtiar Siagian, "Si Kabayan" Utuy Tatang
Sontani, "Siti Jamilah" Yoebaar Ayub, "Buih dan Kasih" Bachtiar Siagian, "Si
Nandang" Emha, "Awal dan Mira" Utuy Tatang Sontani, "Orang-orang baru dari
130
Sesuai penuturan Darsiah dan Astaman Hasibuan dalam interview pada Februari 2013.
131
Artikel, Chalik Hamid, Prof. Michael Bodden Meneliti Drama-Drama Lekra, Amsterdan, 2007,
hlm. 4.
75
Pada waktu itu drama-drama yang dipentaskan banyak diambil dari karya-karya tulisan
Lesdra Medan mulai sering memainkan teater sejak tahun 1960. Pengurus dari
Lembaga Seni Drama Indonesia pada waktu itu adalah Chalik Hamid, Onan Gusri dan
Darsiah. Tak lama setelah berdirinya Lembaga Seni Drama di Medan, Lesdra segera
mementaskan drama “Lagu Subuh” karya Zubir AA. Kemudian disusul dengan
pementasan drama “Gerbong” karya Agam Wispi, yang mendapat sambutan hangat dari
publik kota Medan dan dua kota lainnya :Belawan dan Binjai. Kemudian disusul pula
dengan dua drama lainnya “Saijah dan Adinda” yang diadaptasi oleh Bakri Siregar atas
sebuah tulisan karya Multatuli atau Max Havelaar 133 dan “Wanita Berambut Putih” yang
Selain karya-karya di atas, masih banyak lagi karya-karya para seniman nasional
yang pernah dimainkan menjadi drama di Medan. Sebut saja sajak-sajak milik Utuy Tatang
Sontani, “Si Kabayan”, “Si Kampeng”, “Bunga Rumah Makan”. Karya Emha pengurus
Lekra Tanjung Balai, yang berjudul “Sinandang”. Sajak-sajak Bachtiar Siagian seperti
“sangkar madu”, “batu merah di lembah merapi”, “buih dan kasih”, yang notabene adalah
seorang sutradara film juga pernah dimainkan. Pementasan-pementasan seni drama ini
132
Chalik Hamid, Ibid. hlm. 3.
133
Michael Bodden, 2012, op.cit. hlm. 25.
76
tema perjuangan rakyat kecil seperti buruh, tani, dan juga tentara. Drama-drama tersebut
juga harus merakyat, sederhana dan mudah dipahami oleh rakyat. Tidak hanya itu, drama
dalam ketentuan Lekra juga tidak mesti atau bahkan ‘dilarang’ menggunakan perlengkapan
Sebuah SMA (Sekolah Menengah Atas) “Pembaruan” 135 yang berada di bawah
naungan Lekra pada tahun 1960 berhasil memenangkan hadiah juara ke II dalam Festival
Drama Pelajar se kota Medan. Sekolah ini menampilkan drama “Dosa dan Hukuman”
(Krime and Punishment) karya Dostoyevsky yang disadur oleh Bakri Siregar. Para aktor
utama yang membawakan drama itu adalah Chalik Hamid, Z.Afif dan Peria Hotty,
sedangkan para siswa dari SMA Pembaruan hanya bertugas sebagai pemeran pembantu.
Para siswa-siswa inilah yang terus diboboti oleh Lekra Medan agar kelak menjadi
Tahun berikutnya tepatnya di tahun 1961, di kota Medan diadakan Festival Drama
se-Sumatera Utara yang diikuti oleh Lekra se-Sumatera Utara dan berbagai organisasi dan
lembaga seni di luar Lekra, seperti LKN (Lembaga Kebudayaan Nasional) di bawah
naungan Partai Nasional Indonesia (PNI), Lesbi (Lembaga Seni Budaya Indonesia) di
bawah naungan Partindo, Lesbumi (Lembaga Seni Budaya Muslim Indonesia) di bawah
naungan Nahdatul Ulama (NU) dan kelompok-kelompok drama lainnya. Pada festival
tersebut Lekra kota Tanjung Balai yang menampilkan drama ‘’Sinandang’’ karangan Emha
134
Pernyataan dari Darsiah sewaktu diinterview pada bulan Maret 2012.
135
Pada saat itu Yayasan Pembaruan, sebuah lembaga penerbitan buku kepunyaan PKI di Jakarta,
sudah mendirikan sekolah-sekolah di berbagai daerah, termasuk di Medan.
77
drama berjudul “Batu Merah Lembah Merapi” yang berkisah tentang kamp konsentrasi di
Situjuh, Sumatera Barat, yang dikuasai oleh PRRI. Ketika itu Dewan Banteng dibawah
pemerintah pusat, dan kemudian pada tanggal 15 Februari 1958 ia berhasil melahirkan
Indonesia. Drama ini sangat terkenal dan berkembang di seluruh Sumatera Utara. Ia
dipentaskan di kota-kota besar seperti Medan, Tanjung Balai, Pematang Siantar, Kisaran,
Binjai, Rantau Prapat dan kota-kota lainnya. Di samping kaum intelektual, para
penontonnya sebagian besar terdiri dari kaum buruh dan kaum tani di masing-masing
daerah di atas.
Sebuah drama yang pernah dipentaskan Lesdra di alam terbuka adalah “Buih dan
Kasih” juga karya Bachtiar Siagian. Drama ini dipentaskan di Pantai Cermin, Kabupaten
Deli Serdang, di hamparan pasir putih dengan latar belakang laut lepas di bawah bunyi
ombak berdesir. Dari simpang Perbaungan hingga ke Pantai Cermin yang berjarak sekitar
4 Km, jalan raya macat total sebagai akibat besarnya minat dan keinginan untuk
menyaksikan pertunjukan tersebut. Para pemain pendukung drama ini adalah Nismah,
Sutradara-sutradara drama Lekra yang terkenal di Medan pada waktu itu antara lain
Prof. Bakri Siregar, H.R. Bandaharo, Emha, Sy.Anjasmara dan Aziz Akbar. Sedangkan
pemeran utama dalam berbagai drama itu, mencakup seluruh Sumatera Utara, di antaranya
78
Chalik Hamid, Z.Afif Masrian Else, Nurdimal, Onan Gusri, Duryani Siregar, Sudarsiah,
sangat sulit. Bukan hanya masalah dalam memperoleh dana, tetapi juga dalam masalah
lainnya seperti dekorasi panggung, ilustrasi musik, teknik lampu (pengaturan cahaya) 136,
tata panggung, pembisik (supelir), sistim pengeras suara (mikrofon) 137, cara-cara latihan
disodorkan kepada pengusaha-pengusaha kecil, dan Lekra memperoleh bantuan uang dari
para pengusaha tersebut. Uang inilah yang akhirnya dipergunakan untuk menyewa gedung
para pemain drama ketika diadakan latihan maupun ketika diadakan pertunjukan.
136
“Dalam pengaturan cahaya lampu, dengan keterbatasan dana Lekra tidak memiliki alat yang
memadai. Untuk mengatur pertukaran cahaya dari malam menjadi siang misalnya, Lekra menggunakan alat
sederhana. Sebuah ember diisi dengan air, ujung kabel positif (+) dan ujung kabel negatif (-) dimasukkan ke
dalam air tersebut, dengan menarik menjauhkan dan mendekatkankabel tsb, maka terjadilah cahaya terang
dan cahaya gelap, yang berarti perbuahan dari malam menjadi siang. Ini tentu saja sangat berbahaya, karena
air tersebut mengandung aliran listrik. Namun itulah yang kami lakukan. Adegan demikian kami jumpai
sewaktu mementaskan drama “Siti Jamilah” karya Joebaar Ajoeb dan ‘’Batu MerahLembah Merapi’’ karya
Bachtiar Siagian. (wawancara dengan Darsiah).
137
Masalah sistim pengeras suara pada waktu itu merupakan masalah yang dirasa perlu dipikirkan
dan diatasi. Panggung drama pada saat itu sangat berbeda dengan sekarang ini. Mikrofon pada waktu
itumerupakan mikrofon terhubung langsung dengan versteker dan loudspeker, masih sangat kuno, berbeda
dengan yang sekarang sudah digunakan mikrofon lepas yang bisa dibawa ke mana-mana oleh para pemain.
Pada jaman dulu mikrofon itu terpaksa disembunyikan di belakang layar, tergantung atau diletakkan di
tempat-tempat tersembunyi lainnya. Untuk melayani kebutuhan penonton, para pemain drama harus berteriak
dan mengeluarkan suara dengan keras.
79
yang pada tahun 1964 mengadakan pentas drama di Asahan bersama dengan kawan-
kawannya dalam Teater “Merak Jingga” sebagai perwujudan “Turba” mereka. Drama-
drama yang ditampilkan harus menggunakan bahasa setempat, karena bahasa Indonesia
masih sangat sedikit dikuasai oleh rakyat kaum tani dan buruh di sana. 138
Medan, maka perkembangan drama-drama tersebut juga dapat menjamah hingga ke desa-
desa di Sumatera Utara. Pada tahun 50-an itu, berawal dari aktivitas seni drama yang
dipentaskan oleh kader-kader Lekra Medan di luar kota Medan, Lekra dapat meluaskan
Pada tahun 1959 sampai awal 1965 Lekra banyak memunculkan seni ansambel di
berbagai daerah dengan inisiatif dan keinginan yang beragam. Bagi Lekra, peran ansambel
Umum Kongres I Lekra (1959), Joebaar Ajoeb menyimpulkan bahwa tugas dari ansambel-
ansambel adalah untuk menghidupkan kembali kesenian rakyat dan lepas dari penindasan
terhadap kesenian yang dilakukan oleh feodalisme (dari dalam) dan imperialisme (dari
luar). 139
138
Keterangan dari Darsiah dari pengalamannya melakukan pentas drama di Asahan.
139
Rhoma Dwi Aria, Lekra and ensembles; Tracing the Indonesian musical stage, KITLV Press,
Leiden, 2012, hlm. 8
80
kembali’ bukan hanya asal kesenian rakyat tidak mati, namun lebih kepada pengertian
yang positif yaitu memberi bentuk dan isi yang baru terhadap kesenian tersebut, tentu
“He explained that what he meant by ‘revive’ was ‘not in a negative sense of simply
preventing people’s art from dying out, but rather to revive it in a positive sense,
especially by ‘giving it new content that matches the character and aims of the August
Revolution’. 140
Tak hanya sampai disitu, Lekra juga meminta agar fungsi ansambel ditingkatkan
lagi sebagai salah satu senjata menghalau musik-musik Barat (musik pop). Ansambel juga
meninggi dan mampu mengalahkan pengaruh buruk musik-musik asing yang busuk. 141
Ansambel Angin Timur 142, di Yogyakarta ada Ansambel Tari-Nyanyi Bhinneka 143, dan di
140
Ibid. hlm. 21. Penegasan lebih lanjut Joebaar Ajoeb tentang tugas dari ansambel ini juga tertulis
pada ‘Laporan Umum Pengurus Pusat Lekra’, lihat pada Lampiran 9.
141
Contoh dari musik-musik asing yang dipandang buruk oleh orang-orang kiri pada waktu itu
adalah music ‘ngak-ngik-ngok’, rock ‘n roll, twist, The Beatles, serta lagu-lagu India yang dianggap
romatisme cengeng. Untuk referensi yang lebih lengkap tentang music-musik ini lihat pada buku “Steven
Farram, 2007, wage war against Beatle music! Censorship and music in Soekarno’s Indonesia, Review of
Indonesian and Malaysian Affairs.
142
Nama ‘Angin Timur’ dianalogikan dengan angin dari Timur yang berusaha menghalau pengaruh
kebudayaan yang sedang dekaden. Ansambel Angin Timur juga pernah turut serta menghibur (menghibur
yang dimaksud adalah menampilkan tari-tarian dan paduan suara) prajuit-prajurit Indonesia di garis depan
sewaktu terjadinya konfrontasi dengan Malaysia, juga sering menghibur para sukarelawan di Pontianak
(Roeslan, Angin Timur kumandang lagu-lagu revolusioner. Harian Rakyat, 11 Oktober 1964).
143
Ansambel Bhinneka lahir pada Desember 1963, yang hampir keseluruhan anggotanya berasal
dari warga keturunan Tionghoa. Dalam tulisannya Kusni Sulang mengatakan, asas perjuangan pendirian
Ansambel Bhhinneka adalah memperjuangkan seni untuk rakyat dan langkah kongkretnya turut serta
mengganyang musik ngak-ngik-ngok, twist, dan sebangsanya (Kusni Sulang, Ansambel Bhinneka tegak
dengan Garis-Politik yang tepat. Harian Rakyat, 2 Januari 1964).
81
ansambel yang tak kalah populernya 145 dengan ansambel yang disebut sebelumnya.
Kelompok ansambel itu lantas diberi nama Ansambel Nyanyi dan Tari “Maju Tak Gentar”
(MTG). Maju Tak Gentar didirikan pada akhir 1959 di Medan, ansambel ini lahir berkat
inisiatif dari Banda Harahap, yang pada pertengahan tahun 1959 sedang melakukan
lawatan persahabatan ke RRC, Korea, dan Republik Demokratik Vietnam sebagai delegasi
dari Misi Kesenian Sumatera yang pada waktu itu diketuai oleh dirinya sendiri. Dikisahkan
pematangan ide untuk membuat sebuah ansambel di Medan dilakukan di atas kapal
Dibawah pimpinan Kondar Sibarani 146 dan Udin (Ui Tien) 147 ansambel ini
mengadakan lawatan ke tiga negara; Tiongkok, Korea dan Vietnam dengan mendapat
sambutan hangat, terutama dalam menjalin lebih erat hubungan persahabatan antara
Indonesia dan ke tiga negara tersebut. Setelah sukses memimpin Ansambel Maju Tak
Gentar, ia ditarik oleh Lekra Pusat untuk menjadi dirigen pada Ansambel Gembira. Kondar
144
Gembira didirikan oleh Lekra di Jakarta pada 3 Februari 1952 atas prakarsa para pemuda Lekra
yang diutus untuk mengikuti World Festival of Youth and Students (Festival Pemuda Pelajar se-Dunia). Para
pemuda/i yang turut memprakarsai berdirinya Gembira adalah Bintang Suradi (Van de Ster), Sudharnoto
(mahasiswa kedokteran Universitas Indonesia), dan Titik Kamariah. Gembira pada awalnya merupakan
sebuah kelompok koor (paduan suara) dan berganti pada tahun 1955 menjadi Ansambel Nyanyi da Tari
Gembira.
145
Salah satu indikator popularitas pada waktu itu adalah ansambel tersebut sering melakukan
pentas tidak hanya sebatas dikalangan kaum kiri.
146
Kondar Sibarani berasal dari Tapanuli Utara, Sumatera Utara. Kondar Sibarani semula tampil
dalam sebuah grup nyanyi bersama dengan Fernando Hutabarat, Amir Siregar, Rahman Nasution, Maringan
Sibarani dll. Ketika itu sesudah Gordon
Tobing, Kondar Sibaranilah yang paling sukses menyanyikan lagu “Sing Sing So”.
Grup yang berada dalam asuhan Lekra Medan ini akhirnya tergabung dalam sebuah
ansambel tari dan nyanyi bernama “Maju Tak Gentar”.
147
Dalam kepemimpinannya bersama Kondar Sibarani, Udin terkenal sangat ekspresif, menarik dan
sangat terampil meskipun ia memiliki postur tubuh yang kecil dan pendek. Interview dengan Toga
Tambunan via email.
82
ciptaannya yang sangat terkenal adalah Solidaritas Asia Afrika dan Ganyang Malaysia.
(Sebait dari lirik lagu Solidaritas Asia Afrika, ciptaan Kondar Sibarani) 148
bersama dengan Udin yang tetap setia mengawal perjalanan Ansambel MTG. Syarat untuk
masuk menjadi anggota Ansambel Maju Tak Gentar sendiri hampir sama dengan
ansambel-ansambel lainnya, yaitu cukup tertarik dengan musik dan mengikuti sedikit tes
yang mencakup suara dan sedikit teori musik. 149 MTG menjadi ansambel yang paling
kenegaraan, seperti upacara kemerdekaan 17 Agustus 1945, Ulang Tahun Soekarno dan
politik, terutama PKI, juga sering mengundang Ansambel MTG untuk mengisi acara-acara
partai. Hal ini terlihat pada keikutsertaan Maju Tak Gentar dalam mengisi acara pada
Konferensi Seni dan Sastra Revolusioner (KSSR) yang berlangsung tanggal 27 Agustus –
2 September 1964 dan juga keikutsertaannya bersama Ansambel Gembira dalam rangka
148
Harian Rakyat, 11 April 1964.
149
Interview dengan Darsiah
83
Ansambel MTG tetap dipertahankan bersama dengan Ansambel Gembira. Namun MTG
harus berganti nama menjadi Ansambel “Bukit Barisan”. Menurut keterangan Astaman
Hasibuan, dipertahankannya Ansambel MTG dan Gembira ini oleh pemerintah Orde Baru
karena Soekarno sendiri yang langsung memintanya kepada Soeharto, selaku pemimpin
Dengan sangat eksisnya Ansambel MTG dikancah seni musik dan tari nasional
bahkan internasional, Lekra Medan juga membentuk ansambel lainnya untuk mengikuti
kesuksesan dari MTG. Maka didirikanlah Ansambel “Tak Seorang Pun Berniat Pulang”
pada akhir tahun 1963 yang diprakarsai oleh Astaman dan Syafii. Sangat disayangkan
ansambel ini tidak bisa berkembang lebih jauh karena terlebih dulu dibubarkan oleh rezim
Kota Medan pada sekitaran tahun 1954-an menjadi salah satu kota yang
perkembangan industri filmnya sangat pesat. Bea atau pajak pemutaran film dari bioskop-
bioskop di Medan pada tahun 1954 mencapai tidak kurang dari sepertiga total anggaran
pendapatan pemerintah kota praja Medan. Sekurang-kurangnya ada sekitar enam belas
Pada tahun 1958, Bachtiar Siagian, Ketua Lembaga Film Indonesia (LFI) salah satu
Lembaga Kreatif Lekra, berhasil membuat film tentang perjuangan Rakyat di Tanah Karo,
Sumatera Utara untuk melawan kolonialisme Belanda, di samping kisah percintaan tragis
150
Buku Tahunan Kota Besar Medan Tahun 1954, Djawatan Penerangan Kota Besar Medan, 1955,
hlm. 219
84
“Turang”. Film ini sendiri diproduksi oleh RAFIC (Retjong Film Corporation), Jajasan
Gedung Pemuda Medan ditahun 1957-1958, dengan lokasi syuting di Seberaya, Tiga
Nderket, Kabanjahe, dan daerah lainnya di Kabupaten Karo, dan juga di Medan. 151
Film ini diangkat dari sebuah drama 3 babak yang sebelumnya tampil dan cukup
populer dipentaskan di Medan perjuangan. Sebelumnya juga telah ada syair dan lagu “Oh,
turang” karya Sersan Mayor Hasjim Ngalimun, yang beliau dedikasikan untuk mengenang
korban serangan tentara Belanda di Tanah Alas, di mana pada 26 Mei 1949 tentara pejuang
Belanda yang diperkuat enam buah pesawat tempur Mustang Hagers yang memborbardir
Tanah Alas, sehingga menimbulkan korban dari pihak laskar pejuang, yakni: Letnan
Kerani Tarigan dan Kopral M. Zain. Lagu Oh, Turang ini sendiri kemudian menjadi
Film ini menceritakan sebuah kisah tentang perjuangan masyarakat Karo di masa
penjajahan kolonial Belanda, khususnya di Kuta Seberaya (salah satu tempat lokasi
shooting). Kuta Seberaya ini juga pernah menjadi pusat komando tentara Resimen IV di
bawah pimpinan Djamin Ginting sewaktu terjadinya revolusi sosial di Sumatera Timur.
Diceritakan dalam film ini awal kisah Wakil Komandan Rusli (diperankan oleh: Oemar
Bach) terluka parah saat pertempuran, sehingga harus dirawat, dan perawatannya
diserahkan kepada Tipi (Nizmah) yang merupakan adik dari Tuah (Tuahta Peranginangin)
yang juga seorang anggota laskar pejuang. Pada saat masa-masa perawatan tersebut
tumbuh rasa cinta antara Rusli dan Tipi, namun situasi pada saat itu sangatlah genting,
151
Krishna Sen, Indonesian Cinema: Framing the New Order, Zed Books, London, 1994, hlm. 157.
85
harus tertahan. Serangan yang gencar dilakukan tentara Belanda membuat keberadaan
laskar pejuang harus berpindah-pindah tempat dan bergerilya, karena keberadaan laskar
selalu dapat dibaca oleh Belanda atas informasi dari Dendam (diperankan oleh Hadisjam
Film ‘Turang’ banyak diminati oleh khalayak masyarakat Indonesia pada waktu itu,
bahkan pemutaran perdana film ini dilangsungkan di Istana Merdeka dan ikut disaksikan
langsung oleh Prersiden Soekarno. Selain pernah diputarkan di Istana Merdeka, film
Turang juga pernah menembus bioskop Broadway, New York. 152 Akan kesuksesannya
film Turang ini sampai menembus pasar film di luar negeri, pada tahun 1960 Film Turang
dan Bachtiar Siagian selaku sutradara film tersebut dianugerahi Piala Citra oleh Festival
Film Indonesia (FFI). Selain itu film ini juga mendapat penghargaan dari kategori pemeran
pendukung terbaik yang diraih oleh Achmad Hamid, serta tata artistik terbaik. Jadi, dalam
FFI pada tahun 1960 itu, film Turang berhasil meraih penghargaan dalam empat kategori.
Film ini juga pernah diikutsertakan menjadi salah satu nominasi dalam Festival Film Asia,
152
Ibid. hlm. 216.
86
Terlepas dari prestasi dan kesuksesan yang dimiliki film ini, ternyata film Turang
tetap tidak terhindar dari pemusnahan semua yang berbau komunis pada masa orde baru.
Keterlibatan Bachtiar Siagian dalam PKI, yang merupakan sutradara dari film ini membuat
semua karya-karya beliau dimusnahkan 153 , dan tak terkecuali film Turang, juga ikut
dimusnahkan.
terhadap film Turang ini bukan semata-mata karena keterlibatan Bachtiar Siagian dalam
PKI, akan tetapi banyak yang berpendapat bahwa ini merupakan buntut dari keberpihakan
masyarakat dan tokoh-tokoh Karo terhadap Soekarno. 154 Kita ketahui kalau masyarakat
Karo dan tokoh-tokoh Karo berjiwa Marhein dan merupakan Soekarnois sejati. Selain itu,
153
Katinka van Heeren, Contemporary Indonesian Film, KITLV Press, Leiden, 2012, hlm. 52.
154
Keterangan dari Sjahrial Sandan sewaktu diinterview pada Februari 2013.
87
memiliki perselisihan dan kebencian terhadap salah seorang perwira Sumatera berdarah
Karo Mayjen Djamin Ginting (anumerta Letnan Jendral), di mana kabarnya beliau
memberi dukungan penuh (juga dalam pendanaan) dalam proses produksi film ini. 155
Hal ini tentu terkait juga dengan usaha-usaha penggulingan Soekarno oleh
Soeharto. Mayjen Djamin Ginting adalah petinggi militer dalam Front Nasional pendukung
setia Soekarno dalam kelompok Kubu Tengah AD Indonesia pimpinan Letjen. A. Yani
yang dalam beberapa situasi sering berbeda paham dengan Kubu Kiri (PKI), serta Kubu
Film Turang yang disutradarai Bachtiar Siagian (terlibat PKI), bernuansa dan
berlatar Karo (Soekarnois sejati), dan didukung penuh oleh Djamin Ginting (loyal kepada
Soekarno dan A. Yani, serta kelompok Kubu Tengah AD-RI yang berselisih paham
dengan Kubu Kanan AD-RI) menjadikan film yang amat berkualitas ini harus dibredel
155
Krishna Sen, 2004, Ibid. hlm. 221
88
Perdebatan tentang budaya mana yang akan menjadi identitas kebudayaan bangsa
antara Sumatera dengan Jawa ternyata tidak berhenti pada perdebatan antara Hamka
dengan Sutan Takdir Alisyahbana atau dengan Aoh Kartamadja. Perdebatan yang sejenis
rupanya juga terjadi di masa-masa setelahnya, kali ini yang menjadi tokoh utama yaitu
antara H. Dharsono 156 dengan Bakri Siregar, selaku seniman Lekra. Isu perdebatan yang
diangkat sebenarnya hanya masalah sepele, namun menjadi besar karena ulah media yang
terang-terangan menyerang Bakri Siregar, artikel yang bertanggal ‘Medan, 7 Maret 1959’
tersebut muncul bersama dengan terbitnya Konfrontasi edisi No. 30, Mei-Juni 1959 157
Dharsono sangat tidak sepakat dengan perkataan Bakri Siregar sewaktu berpidato
di depan Kongres Nasional Lekra di Solo pada Februari 1959. Saat ditugaskan untuk
“orang di Sumatera Utara tidak mungkin melakukan suatu kerja budaya yang
berarti, tanpa memperhitungkan faktor Lekra” . 158
Dharsono, penulis dari Medan, sangat tidak terima atas perlakuan Bakri yang
Sumatera Utara. Situasi setelah munculnya statement yang dilontarkan oleh Bakri ini sama
156
Dharsono terkenal sebagai penulis artikel yang melakukan kerja tulis-menulisnya di Medan. Ia
juga sering menulis dengan nama pena Harun Arrasyhid dan sering juga menerbitkan artikel-artikelnya ke
koran atau jurnal nasional.
157
Tercatat baru pada edisi inilah majalah Konfrontasi berani menerbitkan artikel yang langsung
menyerang pribadi seorang. Sebelumnya Konfrontasi hanya mencantumkan berita-berita yang netral dan
tidak berisikan provokasi atau ‘serang-serangan’.
158
Konfrontasi, edisi 30: hal 3.
89
Klaim Bakri atas faktor Lekra di Sumatera Utara dianggap Dharsono hanyalah
sebagai unjuk kekuatan dan eksistensi Lekra atau untuk membesar-besarkan nama Lekra di
Sumatera Utara. Selain melakukan manuver dengan membuat artikel “Pidato Bakri
Siregar yang amis di Solo”, Dharsono juga sampai membuat daftar berbagai sumbangan
Utara.
Tensi dari suasana politik kultural Indonesia, tidak terkecuali di Sumatera Utara
ataupun Medan, yang terjadi pada tahun 1959 sudah sangat memanas. Ini dikarenakan
ranah budaya telah dianggap memiliki peran sebagai bagian dari perjuangan besar untuk
160
menentukan watak dan arah Indonesia. Atas dasar itulah mengapa pernyataan-
pernyataan yang bersinggungan tentang pertentangan budaya daerah mana yang akan ikut
menjadi identitas kebudayaan nasional menjadi suatu kepentingan bagi beberapa kubu.
melontarkan tuduhan plagiat terhadap tulisan roman Hamka yang berjudul Tenggelamnya
Kapal van der Wijk (1939). Hal ini lantas mengundang kemarahan para pengagum karya-
159
Dalam kritiknya tentang kebudayaan Sumatera, Aoh menyimpulkan bahwa budaya Sumatera –
daerah Sumatera, yang dimaksud Aoh mungkin lebih kepada Sumatera Utara karena dia pernah bekerja di
Medan selama setahun – tak ada yang bernilai untuk disumbangkan. Marije Plomp, 2012, loc.cit.
160
Keith Foulcher, 1986, op.cit. hlm 56.
90
Pram melainkan oleh Abdullah S.P. Tuduhan Abdullah kepada Hamka ini dimuat dalam
surat kabar Bintang Timur 161 , tertanggal 7 September 1962 dan 17 September 1962.
Pram lantas mendukung tuduhan plagiat oleh Abdullah, dan bersama mereka
berdua membuat sebuah idea script 162 untuk meyakinkan kepada rakyat bahwa buku
Tenggelamnya Kapal van der Wijk karya Hamka adalah plagiat. Hasil dari idea script
tersebut membuktikan beberapa fakta tentang banyaknya kesamaan, seperti tema, isi, dan
Meskipun berulang kali tetap mengelak bahwa karyanya itu bukanlah hasil plagiat
atau jiplakan, tetap saja nama Hamka sudah terlanjur rusak dengan adanya kasus tersebut.
Hal ini terbukti dari karya-karya Hamka yang dibuat setelahnya, tidak begitu banyak dicari
oleh para peminat sastra lagi atau tidak terlalu laku di pasaran. 163
sekarang menjadi Universitas Negeri Medan (Unimed) – pada tahun 1963, Pram juga
menyinggung soal karya plagiat Hamka. Mahasiswa dan staf pengajar yang hadir pada saat
161
Surat kabar Bintang Timur diterbitkan pertama kali pada tahun 1926 dan berhenti terbit sejak
tahun 1965. Bintang Timur memiliki halaman lampiran kebudayaan bernama Lentera yang muncul pada
edisi hari Minggu saja dan pemunculannya baru dimulai sejak 16 Maret 1962.
162
Idea Script merupakan suatu teknik dalam kritik sastra untuk membuktikan ke-orisinalitas-an
sebuah karya sastra dengan cara menghimpun tiga buah buku (buku asli, jiplakan, dan telaah) menjadi satu
buku saja. Junus Amir Hamzah (ed), Tenggelamnya Kapal van der Wijk dalam Polemik, Megabookstore,
Jakarta, 1973, hal. 50.
163
Pernyataan dari Sjahrial Sandan.
91
dengan statement Pram terhadap Hamka yang demikian. 164 Sosok Hamka sangat dihargai
identitas sastra Medan dan mengangkat sastra Medan masuk ke dalam jenis karya sastra
yang diperhitungkan.
Lembaga Sastra Indonesia (Lestra) yang merupakan lembaga kreatif milik Lekra
yang bersifat otonom, akhirnya mengadakan Konferensi Nasionalnya untuk kali pertama.
Konferensi ini diselenggarakan selama tiga hari berturut-turut, dari tanggal 22-25 Maret
1963. Konferensi ini berlangsung dengan Lekra Sumatera Utara selaku panitia pelaksana,
Azis Akbar dan Sy. Anjasmara yang pada saat itu sudah tidak menjabat sebagai pengurus
lagi di Lekra Sumatera, bertindak sebagai ketua dan sekretaris pelaksana untuk Konfernas
tersebut.
Konfernas Lestra ini. Peserta pada Konfernas ini adalah sastrawan-sastrawan Lekra dari
berbagai cabang pada masing-masing daerah di Indonesia. Dalam Konfernas ini juga hadir
beberapa tamu undangan dan tamu kehormatan. Ulung Sitepu, selaku Gubernur Sumatera
Utara beserta P.R. Telaumbanua, selaku Walikota Medan pada saat itu, berkesempatan
menjadi tamu kehormatan dan juga bertugas membuka Konfernas ini. Sebagai tamu
undangan, hadir orang-orang dari unsur partai semisal PKI dan PNI, begitupun dari
berbagai organisasi kebudayaan seperti LKN, LKI, Lesbi, Okra, Orsenim, Pelsedra, KMM
164
Marije Plomp, 2012, op.cit. hal. 25.
92
sastra yang melimpah ruah di Medan, kota ini juga memiliki banyak tempat
Agam Wispi, Martin Aleida, dan Amrus Natalsya merupakan beberapa nama
Konfernas Lestra di Medan yang berlangsung selama tiga hari ini juga memiliki
beberapa agenda acara, salah satunya adalah perlombaan kontes berbagai karya sastra, di
antaranya cerpen, sajak, esai dan novel. Juga tak ketinggalan acara seminar sastra
Indonesia modern dan pertunjukkan sastra tradisional dari masing-masing daerah menjadi
93
Lestra sejak dibentuk pada tahun 1960. Laporan Umum disampaikan oleh Ketua Lestra,
Prof Bakri Siregar, Laporan Pengajaran Sastra oleh Pramoedya Ananta Toer selaku
Sekretaris Lestra, Laporan Organisasi dan Pendidikan Ideologi oleh S. Anantaguna. Selain
persiapan tentang masalah-masalah apa saja yang akan dibawa dan dibahas dalam
Konfernas ini nantinya. Poin-poin permasalahan yang akan dibahas tersebut antara lain;
yang diambil Lestra ini tampak pada keputusan-keputusan dan tuntutan-tuntutan seperti
“mengutuk teror berdarah yang dilakukan oleh rezim Salim Arif terhadap Rakyat Irak”,
94
Nasakom”. 165
Konfernas Lestra ke-II. Waktu yang ditetapkan untuk Konfernas ke-II ini yaitu pada bulan
Desember 1965 dan bertempat di Yogyakarta. 166 Sayang, Konfernas Lestra ke-II ini tidak
pernah terwujud karena munculnya aksi kudeta dan pembunuhan massal yang terjadi pada
1963 tak lepas dari kontroversi yang terjadi atara pihak pro dengan pihak yang kontra
Kebudayaan ini para seniman dan pekerja kebudayaan yang tidak setuju dengan
Medan, dengan agenda rapat mengambil sikap terhadap Manikebu. Mereka yang
tergabung dalam rapat ini yaitu dari organisasi Lekra, LKN, Lesbumi, OKRA, dan Actor’s
Studio Medan.
165
Untuk lebih lengkap tentang hasil-hasil dari Konfernas Lestra I di Medan ini lihat “Komunike”
pada Lampiran 4.
166
Astaman Hasibuan mengatakan bahwa Yogyakarta dipilih menjadi tuan rumah yang berikutnya
bagi Konfernas Lestra ke-II berdasarkan rekomendasi dari Lestra Jawa Tengah yang akhirnya disetujui
semua pihak.
95
kehadiran atau pun eksistensi Manifesto Kebudayaan dalam ranah kebudayaan Nasional
terciptanya Manikebu tersebut dari Kelembagaan Negara, baik itu jawatan di pusat maupun
di daerah, seperti H.B. Jassin selaku dosen Universitas Indonesia, Wiratmoe Soekitoe
selaku pegawai RRI Jakarta dan lain sebagainya. Juga menuntut pemerintah agar mencabut
surat izin terbit majalah Sastra yang dianggap sebagai corong atau terompet penyebaran
Manifesto Kebudayaan.
Sikap ini tentu diambil oleh aliansi kebudayaan Front Nasional dengan
Pancasila sebagai alat mempersatu malah berusaha diselewengkan dari makna yang
sebenarnya. Dalam riset yang dilakukan oleh kelompok-kelompok seniman yang kontra
terdapat beberapa butir rumusan tentang mengapa Manifesto Kebudayaan harus ditolak;
96
Lebih ekstrem kemudian ialah pernyataan tegas yang ducapkan oleh aliansi
kebudayaan Front Nasional di Medan yaitu “Ganyang Manikebu”. Kebetulan pada saat itu
Demikian akhirnya disepakati sebuah sikap dan tindakan yang dinyatakan oleh
aliansi kebudayaan Front Nasional dan ditandatangani oleh Sy. Anjasmara (Lekra), Kims
Gangga (LKN), Darwis A.R. (Lesbumi), Azis S. (OKRA), Dick Havinto (Lesbi), Mahmud
saat itu belumlah banyak, maka itu belum terlalu mengganggu keberadaan Lekra di Medan.
Akan tetapi yang sesungguhnya menjadi penghalang bagi eksistensi Lekra dalam
panggung budaya di Medan adalah keberadaan tentara nasional, dalam hal ini Angkatan
didukung oleh Angkatan Darat. Setiap kegiatan yang dilakukan Manikebu dibiayai oleh
AD. Sejatinya KK-PSI yang menjadi batu loncatan Manikebu untuk meluaskan paham
kebudayaan humanisme universal juga dibiayai bahkan dipanitiai oleh AD beserta kroni-
kroninya. Sejak awal 1950-an para perwira AD di Medan sangat rajin menjadi promotor
bagi kegiatan-kegiatan kebudayaan di Medan. Merek juga selalu hadir dalam acara-acara
167
D.S Moeljanto dan Taufik Ismail, 1995, op.cit. hlm. 327
168
Presiden Soekarno memandag pembentukan Negara Malaysia adalah suatu proyek neokolonialis
bentukan Inggris, yang sebagian pasukannya masih berada di Malaysia, yang berarti sesungguhnya Malaysia
belum betul-betul merdeka. R.S. Milne and Diane K. Mauzy, Malaysia; Tradition, Modernity, and Islam,
Westview Press, London, 1986, hlm. 155.
169
Harian Harapan, 3 Februari 1964.
97
Lebih dari itu, dukungan finansial juga diberikan Angkatan Darat kepada kegiatan-
komunis. Bahkan diantara para perwira tersebut banyak juga yang aktif sebagai pemusik,
pemain drama maupun penulis. Letnan Kolonel (Letkol) M. Nur Nasution, misalnya
mendukung dan membiayai seluruh prakarsa Bokor Hutasuhut, seniman Manikebu dari
Medan, untuk membuat pentas teater-teater modern di Medan pada tahun 1964. 171
Pemutaran film Amerika di lapangan Benteng, Medan pada awal tahun 1965 juga atas
Serangan juga dilancarkan oleh media cetak yang mendukung pendirian Manikebu
kepada media-media cetak yang pro terhadap Lekra. Tahun 1964 di Medan misalnya,
kaum Manikebu menuduh Harian Harapan tidak pernah banyak memuat tentang Pancasila,
karena itu harian ini dituduh anti-Pancasila. Lekra Medan dalam perdebatan ini langsung
membantu Haria Harapan dan menjawab tuduhan itu dengan melakukan riset. Hasilnya,
berhasil menemukan jumlah kata ‘Pancasila’ pada Harian Harapan yang ternyata lebih
banyak dari jumlah kata ‘Pancasila’ yang pernah dimuat oleh koran Waspada. 172
170
Marije Plomp, 2012, op.cit. hlm.21.
171
Marije Plomp, Loc.cit
172
Harian Waspada saat itu lebih condong kepada kelompok Manikebu.
98
transisi yang sangat rumit bagi Lekra. Pada periode ini Lekra berada pada masa
kejayaannya, tetapi sekaligus saat itu juga ia menemui ajalnya. Kedua kutub yang
saling berlawanan ini muncul karena adanya ketidakseimbangan arus politik yang
terjadi dalam lima tahun terakhir masa kepemimpinan Soekarno ditambah dengan
repesif. Perputaran arah angin poltik pada masa itu berubah sangat drastis.
Soekarno yang sejak awal tak tergoyahkan kedudukannya sebagai Presiden Republik
baik. PKI pada saat itu seperti anak kesayangan Soekarno, hal ini terbukti dari
saran dari PKI. 173 Soekarno pun merasa PKI lebih bisa dipercaya ketimbang
memperuncing perseteruan antara PKI dan Angkatan Darat, yang memang sudah
173
Kebijakan-kebijakan seperti “Ganyang Malaysia”, “New Emergenzing Force” (Nefo), “Old
Established Force” (Oldefo), dan “Undang-Undang Pokok Agraria” (UUPA) adalah beberapa contoh
kebijakan yang diprakarsai oleh Soekarno serta PKI.
99
menarik simpati rakyat ini diterapkan oleh Angkatan Darat bukan hanya dalam
bidang politik, tapi juga masuk ke ranah kebudayaan. Maka pada 17 Agustus 1963
Angkatan Darat beserta dengan beberapa seniman yang tidak sejalan dengan paham
mendukung Manikebu ini memang agak ganjil. Menurut analisis dari kalangan
banyak pada saat itu, ada dua alasan masuknya militer ke ranah kebudayaan ini.
militeristik” dalam tujuan mereka. Kedua, sejak pemilu 1955 mereka melihat
kampanye PKI yang didukung oleh Lekra, selalu menjadi sebuah pesta rakyat.
berubah. Perang ideologi di antara para seniman mulai sering terjadi. Prioritas para
100
perseteruan antara Pram dengan Buchari. Buchari menyinggung tentang masa lalu
Pram saat ia pernah bekerja di Balai Pustaka dan pernah menggunakan jasa Sticusa
untuk bisa pergi ke Belanda. Kejadian semacam ini seringkali terjadi di tahun-tahun
orang-orang Lekra dan Manikebu, maka masa-masa itu menjadi identik dengan
perdebatan atau kritik-kritik antara Lekra dan Manikebu pun mulai marak
massa pun menjadi terlalu subyektif dalam memberikan berita yang hanya
hampir tidak pernah nampak. Masing-masing pihak bebas berekspresi dalam paham
Benteng, Medan misalnya, tidak terdapat protes keras yang dilontarkan oleh pihak
Lekra, padahal sangat jelas kegiatan yang dilangsungkan pada awal tahun 1965 itu
174
Perseteruan seperti yang terjadi pada Pram dengan Buchari terjadi juga diantara seniman-
seniman yang lain, misalnya perseteruan antara Sitor Situmorang dengan H.B. Jassin beserta Usmar Ismail,
Pram dengan Jassin, Bastari Asnin dengan Motinggo Boesye, dan masih banyak lagi lainnya. Tentang
perseteruan-perseteruan ini banyak terdapat pada buku karya Moeljanto dan Taufik Ismail yang
berjudul”Prahara Budaya”, yang mereka kumpulkan dari guntingan-guntingan berita pers pada masa itu.
101
tanggal 8 Mei 1964. Kebijakan pelarangan Manikebu ini murni atas dasar pemikiran
Soekarno, tidak ada unsur ajakan atau paksaan dari pihak Lekra untuk membujuk
Soekarno melakukan hal demikian. Pihak Lekra sendiri tidak pernah menuntut agar
kepada rakyat Indonesia untuk dapat membedakan mana karya seni yang berguna
bagi rakyat dan mana yang tidak berguna sekaligus memberitahu bahwa paham
sama sekali. 175 Aksi serangan-serangan yang dilakukan Lekra terhadap Manikebu
pun hanya sebatas serangan kata-kata atau saling silang pendapat, tidak lebih.
Menteri P & K sebuah surat edaran: tgl. 23/3-1965 No.4063/S dan tgl. 25/3-1965 No.
4255/S. untuk melarang semua buku-buku karya pengarang yang telah pindah ke
175
Keterangan dari Martin Aleida via e-mail.
176
Rhoma Dwi Aria, 2008, op.cit. hlm. 441.
177
H.B. Jassin, 1984, op.cit. hlm. 257.
102
berhenti dari pekerjaannya. Di antara tokoh-tokoh tersebut adalah H.B. Jassin yang
tahun 1960-an itu tak pelak menjadikan citra Soekarno di hadapan publik sebagai
Soekarno (BPS) yang semula dibentuk sesuai dengan namanya, untuk mendukung
178
S. Tasrif, “Situasi Kaum Intelektuil di Indonesia”, Budaya Jaya, 1968, hlm. 201.
103
masa Soekarno;
Luapan dari kejengkelan seluruh pihak yang merasa dirugikan oleh Soekarno
1965 atau yang lebih dikenal dengan G30S, Gestapu, atau Gestok. Peristiwa ini
bukan hanya berhasil menjatuhkan Soekarno dari tahtanya tapi juga ikut
Kiri. Mereka yang tergabung dalam kelompok Kiri dituduh menjadi dalang
kemudian diburu dan dibasmi oleh Tentara Angkatan Darat beserta kroni-kroninya
(Pemuda Pancasila, Manikebu, dll.). Karena dianggap menjadi onderbouw dari PKI,
Para anggota Lekra kemudian ikut ditangkap setelah peristiwa G30S ini.
pembelaan yang sia-sia. Mereka tetap ditangkap, diperiksa, disiksa, dipenjara tanpa
179
Frans Parera, Surat-surat Politik Iwan Simatupang 1964-1966, LP3ES, 1986, hm. 151.
104
Buru untuk kurun waktu yang tak menentu. Harian Warta Bhakti dan Berita Yudha
adalah dua media cetak yang selalu menyebutkan keterlibatan orang-orang Lekra
atas peristiwa G30S. Misalnya, pada artikel harian Angkatan Bersenjata edisi 9
November 1965. Pada halaman dua di harian ini disebutkan, Kantor Lekra yang
berada di kawasan Tebet, Jakarta Selatan, digunakan untuk mengatur strategi G30S.
Pada tanggal 30 Desember 1965, Menteri Bidang Teknis Pendidikan, Kolonel (Inf.)
Drs. Setiadi Kartohadikusumo, atas nama Menteri Pendidikan Dasar dan Kebudayaan (PD
& K), mengeluarkan instruksi untuk melarang penggunaan 70 buku karya sastra para
sastrawan Lekra, termasuk juga para simpatisan Lekra beserta kolumnis majalah atau surat
kabar ‘kiri’.
Operasi penghancuran Lekra ini melibatkan tindak vandalisme oleh massa anti-
komunis yang digerakkan militer, termasuk aksi pembakaran buku di kantor CC PKI,
Universitas Res Publica, dll. Pada akhir Desember 1965, Departemen P & K menyatakan:
Kebudayaan
105
ditangan-tangan para pengeksekusi tahanan atau mati di penjara akibat sakit dan
bunuh diri. Aktivis Lekra yang luput dari tindak kekejaman peristiwa G30S adalah
orang-orang Lekra yang tergabung ke daam ansambel Gembira (Lekra Pusat) dan
ansambel Maju Tak Gentar (Lekra Medan). Mereka diselamatkan atas instruksi
langsung dari Soekarno kepada Soeharto sebagai Panglima Tertinggi AD saat itu.
Namun, di zaman Orde Baru kelompok ansambel ini diharuskan berganti nama,
ansambel Maju Tak Gentar berganti nama menjadi ansambel Bukit Barisan.
Meskipun sudah berganti nama bukan berarti keadaan mereka sudah terjamin.
Timbulnya peristiwa G30S ini juga berdampak di Medan, dan tetap orang-
orang Lekra di Medan juga menjadi korbannya. Mereka banyak yang dijebloskan ke
TPS (Tempat Penahanan Sementara) Sukamulia dan TPS Labuhan Deli sebagai
kader Lekra Cabang Medan meninggal di TPS Labuhan Deli akibat disiksa seharian
oleh penjaga tahanan di sana. Astaman, Darsiah, Onan Gusri, Buyung, dan Zubir
di tempat itu juga. Lain halnya dengan Chalik Hamid, yang berhasil melarikan diri
106
besar yang belum terjawab pasti hingga sekarang. Bagaimana bisa sebuah revolusi
sebesar G30S muncul tanpa diketahui siapa penciptanya dan dengan mudahnya
melunakkan dominasi Presiden Soekarno yang saat itu dinilai kekuasaannya tak
tergoyahkan atau tersentuh sedikit pun. Padahal situasi politik sebelum terjadinya
kudeta besar-besaran tahun 1965 bisa dikatakan belum ada terlihat manuver-
manuver berarti yang dilakukan oleh lawan-lawan politik Soekarno dan Lekra.
Sebelum masa menjelang terjadinya peristiwa coup di tahun 1965, Lekra masih giat
bersama dengan 500 orang delegasi yang berasal dari PKI, BTI, Pemuda Rakyat, SOBSI,
dan Gerwani, mengadakan kunjungan budaya ke Cina atas undangan dari pemerintah
untuk pertama kalinya harian bernama “Kebudayaan Baru”, yang dipimpin oleh S.
Anantaguna. Harian ini dibentuk sebagai perwujudan Lekra dengan tujuan untuk lebih
membuka ruang bagi para sastrawan yang non-Lekra untuk menyalurkan aspirasi da karya-
karya sastranya. Di Medan, pada tanggal 3 September 1965, Lekra Medan bersama
dengan PPI (Persatuan Pelajar Indonesia) Cabang Medan mengisi acara “Malam
107
baru saja dicabut jabatannya sebagai salah satu petinggi PKI bersama dengan Aidit
dan Syam karena penolakannya untuk memerahkan Lekra, mengaku tidak tau sama
sekali tentang terjadinya peristiwa G30S saat itu. Ia pun mengira kejadian itu
hanyalah aksi demonstrasi biasa yang dilakukan oleh rakyat. 180 Demikian juga
dengan Putu Oka Sukanta dalam kesaksiannya, tidak pernah terlintas di dalam
September 1965 itu. Saat kejadian itu berlangsung ia baru saja pulang dari mengajar
lukis para muridnya dan belakangan mengetahui peristiwa tersebut dari muridnya
sendiri. Tak lama kemudian setelah mengetahui terjadinya G30S, ia malah ditangkap
oleh orang misterius dan dibawa ke dalam gedung di Jalan Budi Kemuliaan
(sekarang menjadi kantor Indosat, Jakarta Pusat) dan disiksa bersama dengan
Orde Baru untuk mematikan secara perlahan kaum kiri di Indonesia. Imbasnya,
180
TEMPO, Njoto: Peniup Saksofon Di Tengah Prahara, Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta,
2010, hlm. 76.
181
Film Tjidurian 19.
108
berangkat naik haji. Karena surat itulah aparat menduga bahwa Martin adalah
Meskipun Martin selamat dari siksaan fisik, namun ia tak bisa mengelak dari
siksaan sosial yang didapatinya sebagai salah satu anggota Lekra. Siksaan sosial yang
adanya Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 1381 Tahun 1965 yang
menyatakan bahwa setiap anggota Lekra tidak diizinkan untuk bekerja di media.
Hal ini tidak berlaku pada Martin seorang. Seluruh anggota Lekra
lagu kebangsaan “Garuda Pancasila” yang juga anggota Lekra ini harus mengakhiri
tak lagi dianggap oleh pemerintah Orde Baru. Sudharnoto kemudian berusaha
bertahan hidup dengan bekerja sebagai pengisi musik di tempat-tempat dan acara-
acara tertentu.
Begitu juga dengan Amrus Natalsya, pelukis Lekra ini memang tidak dilarang
menjual hasil karya lukisannya. Stigmatisasi tersebut menyebabkan orang tidak mau
membeli lukisan Amrus, karena dicurigai uang hasil penjualannya akan didonorkan
109
G30S, di mana Lekra dituduh menjadi salah satu kelompok yang melatarbelakangi
peristiwa tersebut. Lagu Lekra “Genjer-genjer” yang berasal dari Jawa Timur
Genjer-genjer (genjer-genjer)
Dijejer (dijejer-jejerkan)
Stigmatisasi politik memang kerap kali terjadi ketika sebuah kelompok yang
sedang berkuasa berlaku sangat dominan secara politik. Stigmatisasi ini pun dibuat untuk
kelompok yang sedang berkuasa. Akibat yang paling buruk dari proses stigmatisasi ini bisa
berupa pengeksklusian hak-hak politik, sosial dan ekonomi kepada kelompok yang
menjadi korban. Padahal, hak-hak yang disebutkan di atas semestinya dilindungi oleh
negara.
Orde Baru bukan hanya memberikan citra negatif Lekra di mata rakyat Indonesia, tetapi
sekaligus juga menghilangkan hak-hak mereka minimal sebagai seorang seniman yang
harus terus berkreasi dengan bebas. Lebih kejam dari itu, seniman-seniman Lekra yang
182
Rhoma Dwi Aria, 2008, op.cit. hlm. 413.
110
dalam bui atau penjara untuk dibuat mati secara perlahan, baik itu mati ideologi, raga,
maupun jiwanya.
Tindakan represif rezim Orde Baru ini lantas dianggap halal untuk dilakukan
dengan alasan semata-mata untuk melindungi Pancasila dari ideologi-ideologi radikal dan
sesat yang mampu mengancam eksistensi Pancasila itu sendiri. Pancasila akhirnya
dijadikan suatu alasan untuk rezim fasis ini bisa tetap nyaman memerintah dan berkuasa di
Indonesia. Namun sesungguhnya Pancasila yang dijadikan landasan oleh Orde Baru untuk
memerintah ini diketahui kemudian adalah sebuah Pancasila yang semu, karena dalam
Pancasila yang sesungguhnya diajarkan tentang rasa kemanusiaan yang beradab serta
keadilan sosial, dan hal ini tidak pernah sedikitpun terwujud selama rezim Orde Baru
memerintah.
mereka tidak juga dapat hidup tenang seperti semula. Mereka hidup dengan
dan penjahat bangsa, pembunuh berdarah dingin, dsb. Kartu Tanda Penduduk
mereka sebagai identitas untuk dapat hidup juga diberi label “ET” yang merupakan
singkatan dari “Eks-Tapol”. Bentuk intimidasi seperti inilah yang diusahakan oleh
Soeharto dan Orde Barunya untuk melenyapkan garis komunis dari Indonesia.
Pembunuhan karakter yang dilakukan Orde Baru terhadap Lekra dan kroni-
kroninya ini dilakukan dengan berbagai cara, namun peran terpenting dalam hal ini
dipegang oleh kontribusi media. Pemerintah Orde Baru melalui kuasa Komando
111
negatif Lekra kepada rakyat, dilakukan melalui hegemoni media massa. Media
massa dalam tahapan ini telah dikontrol oleh Soeharto, dengan membatasi
rakyat. 183
massanya, yang diumumkan langsung oleh Soeharto pada tanggal 12 Maret 1966.
Kebudayaan masih juga khawatir akan muncul kembali Lekra-lekra yang baru ke
“Maka secara umum, Lekraisme itu dapat kita rumuskan sbb: secara strukturil ialah
adanya orkeb/ormas kebudayaan yang berada di bawah partai politik, menurut
fungsinya ialah pelaksanaan ideologi partai, di bidang kebudayaan yang menurut
wataknya ia mempraktekkan kehidupan liberalistik sekretaristik dari politik/partai
politik dan ia lebih merusak kehidupan kultural yang sifatnya kreatif itu daripada
membangunnya. Adalah omong kosong untuk bicara tentang mengikis habis lekraisme
itu apabila pola pengkotak-kotakan di bidang kebudayaan seperti di zaman ‘rezim
183
Rosihan Anwar, Soekarno, Tentara, PKI: Segitiga Kekuasaan sebelum Prahara Politik 1961-
1965, Jakarta, 2007, hlm. 343.
112
Lekra benar-benar dibuat lenyap oleh rezim Orde Baru-nya Soeharto, tak
hidup dibebaskan dari masing-masing penjara, Lekra tetap tak bisa dibentuk lagi.
Selain adanya peraturan yang sangat ketat dan marjinalisasi terhadap kelompok-
kelompok kiri atau revolusioner, orang-orang Lekra tersebut juga sudah banyak
berubah, baik tingkah laku, ideologi maupun cara pemikirannya. Hal ini sangat
wajar karena selama di dalam masa tahanannya mereka selalu dicekoki oleh doktrin-
adalah yang paling banyak diajarkan kepada tahanan-tahanan pada saat itu. Alhasil,
dan cara berpikir para seniman Lekra dan kaum-kaum kiri yang lainnya. Namun,
ada juga yang tidak terpengaruh sama sekali dan tetap mempertahankan
perbuatan-perbuatannya.
184
D.S. Moeljanto dan Taufik Ismail, op.cit. hlm. 183.
113
ideologi dan politik yang meskipun masih tampak sangat kabur tapi dalam banyak
hal mereka sudah bukan seperti yang lama sebelum mereka dikalahkan dan dibekuk
dalam satu sajaknya terdapat kata-kata; “Semakin hidup lama semakin sedikit
teman…Rambut sama hitam, pikiran lain-lain”. Hal ini cukup menjelaskan bahwa di
dalam hubungan antara para seniman kiri terkhusus seniman-seniman Lekra sudah
masuk TPS Sukamulia hingga pembebasannya dari sana, sedikit menggambarkan bagaimana
situasi atau keadaan yang tengah dialami oleh hampir setiap anggota Lekra di Medan dalam
pergumulan peristiwa penangkapan dan penahanan mereka. Dalam sajaknya yang berjudul
menyaksikan ayahnya dijatuhi hukuman mati. Astaman yang kemudian ditahan di penjara
hari-harinya di dalam penjara Sukamulia lewat sajak-sajak yang dibuat dari tahun 1966 sampai
Dalam bui, mereka (seniman-seniman Lekra) sudah tidak punya harapan lagi untuk
dapat berkarya seperti semula. Untuk sekedar bertahan hidup saja mereka harus berjuang keras
114
oleh mereka para tahanan pada waktu itu hanyalah ‘lamunan kosong’ belaka, karena keadilan
saat itu hanya milik sang pemenang pertarungan yaitu Orde Baru dan kroni-kroninya.
Mahkamah 185
185
Kumpulan puisi/sajak oleh Astaman Hasibuan; Dia Tak Pernah Kehilangan Cintanya, Cinta Itu
Tetap Menjadi Miliknya.
115
Hatinya perih.
Kekasihnya. Yang dicintainya. Dan yang pernah mengikrarkan sangat mencintainya. Sudah
kehilangan semua harapannya. Harapan, sampai kapan harus menunggu.
Itulah penyebabnya.
Pematah harapannya.
186
Ibid, hlm. 5.
187
Astaman Hasibuan, Loc.cit.
116
Kenyataan, cukup banyak dari barisan seniman kiri itu sesudah pembebasan
mereka yang bekerja pada bekas musuh mereka sesama seniman di masa lalu atau
hidup dan mempertahankan kehidupan sering kali harus memaksa untuk melakukan
hal-hal yang sebenarnya tidak diinginkankan. Tapi sekali lagi mereka harus
melakukan itu untuk bertahan hidup, karena tidak mungkin mereka bisa mengulang
dengan gaung dan suara “Kebudayaan Rakyat” nya hanyalah tinggal sejarah yang
patut dikenang dan dihargai secara pantas oleh seniman-seniman generasi muda saat
ini.
117
Kebudayaan mempunyai peran yang sangat vital dalam membentuk karakter suatu
kebudayaan. Setelah melalui fase perebutan identitas antara kebudayaan Barat dengan
kebudayaan Timur, akhirnya pada tanggal 17 Agustus 1950 berdirilah suatu organisasi
kebudayaan yang bertujuan untuk membangun sebuah identitas kebudayaan yang akan
Lekra dengan prinsipnya “kebudayaan dari, oleh dan untuk Rakyat” lebih
dan menolak masuknya bentuk kebudayaan Barat ke Indonesia yang dinilai merupakan
salah satu strategi dari neo-kolonialisme dan imperialisme untuk menjajah kembali
Indonesia. Maka dari itu, Lekra menuntut agar kebudayaan dan seni di Indonesia haruslah
bersifat revolusioner.
Lekra sendiri mengalami fase-fase yang tidak mudah dalam membangun identitas
kebudayaan Indonesia tersebut. Meski sudah berdiri sejak tahun 1950, Lekra masih harus
Sejak diselenggarakannya Kongres Nasional, organisasi Lekra sudah mulai nampak rapi
provinsi, cabang kota, maupun ranting, hadirnya lembaga-lembaga kreatif yang bersifat
otonom, dan disusunnya agenda-agenda kegiatan kebudayaan dan seni Lekra. Tak hanya
itu, Lekra pasca Kongres Nasional di tahun 1959 tersebut sudah mempunyai strategi yang
filosofi dasar dan didukung dengan kombinasi dari ‘Meluas dan Meninggi’, ‘Tinggi Mutu
Ideologi dan Artistik’, ‘Tradisi Baik dan Kekinian Revolusioner’, ‘Kreativitas Individual
dan Kearifan Massa’, ‘Realisme Sosialis dan Romantik Revolusioner’, serta didukung juga
dengan metode kerja ‘Turun ke Bawah’ sebagai praktek kerja kebudayaan tersebut
nantinya.
Periode tahun 1959-1964 adalah periode di mana Lekra tumbuh subur dan
mendapat aspirasi dari rakyat saat itu. Berbagai kegiatan kebudayaan Lekra baik itu seni
sastra, rupa, drama, musik, tari, film, dll. selalu mendapat tempat di kalangan masyarakat,
terutama masyarakat kelas menengah ke bawah yang menjadi mayoritas pada saat itu. Pada
kurun waktu ini Lekra kemudian juga mulai berani beranjak masuk ke dalam dunia
perpolitikan bangsa. Bersama dengan PKI dan kawan-kawan se-ideologinya, Lekra mulai
terhadap kepentingan politik bangsa. Hal ini sesuai dengan azas Lekra yang mengharuskan
seniman untuk berpolitik atau minimal mengerti akan politik, sebab “Politik adalah
Agraria (UUPA) tahun 1960 dan masih banyak lagi yang lainnya. Kontribusi Lekra
membuat Lekra mendominasi ranah kebudayaan bangsa Indonesia pada kurun waktu 1959-
1964 itu.
119
Dengan dibentuknya Lekra Cabang Medan pada akhir tahun 1955, mengisyaratkan
eksistensi Lekra bukan hanya di Pulau Jawa tetapi juga di Sumatera. Karena selama itu
Pulau Jawa, dengan kota Jakarta-nya dinilai sebagai kiblat kebudayaan Indonesia, hal ini
Indonesia bukan hanya milik Jakarta. Tapi memang pada akhirnya situasi ini malah
kelompok kebudayaan yang non kiri. Persaingan budaya-budaya lokal yang bergelut di
dalam kesadaran baru identitas nasional lebih sering terjadi antara seniman-seniman di
yang positif. Kebudayaan dari berbagai suku yang beragam di Medan tidak menjadi
halangan bagi Lekra untuk bisa memainkan peranannya dalam mengisi kebudayaan di
daerah ini. Ragam suku yang ada di Medan malah dijadikan sebuah kekuatan oleh Lekra
120
Dalam masa-masa kejayaanya pada awal tahun 1960-an, Lekra kedatangan tamu
yang tak diundang dan kemudian ternyata cukup merepotkan dan mengganggu keberadaan
Lekra sebagai pemegang peranan utama di bidang kebudayaan Indonesia. Tamu tak
diundang tersebut bernama Manifesto Kebudayaan atau yang lebih sering disingkat
dengan ideologi cita-cita dan cara-cara kerja Lekra di bidang kebudayaan ini, menambah
suasana kebudayaan dan politik bangsa menjadi semakin rumit. Rasa kecurigaan mulai
muncul dari pihak Soekarno dan Lekra terhadap Manikebu. Pendirian Manikebu pada
Agustus 1963 ini dianggap Soekarno berusaha menandingi Manifesto Politik (Manipol)
yang ia buat sebelumnya. Lekra juga demikian, sikap Manikebu yang menerapkan paham
jiwa serta semangat revolusi yang sedang dibangun oleh bangsa Indonesia.
Akan tetapi setelah munculnya peristiwa tragedi G30S 1965, Lekra menjadi
terkubur hidup-hidup dan tidak dapat lagi meneruskan eksistensinya. Meskipun begitu
dalam kurun 15 tahun (1950-1965) dapat menanamkan pengaruh yang begitu besar dalam
dunia kebudayaan Indonesia adalah sebuah pencapaian besar yang patut diberi apresiasi.
Lekra telah berusaha sangat keras untuk menghalang segala bentuk kebudayaan yang
berbau kolonialisme dan imperialisme ke Indonesia. Perjuangan Lekra ini tentu harus kita
pelajari jika ingin kebudayaaan lokal kita tetap bertahan dan bertambah meluas.
121
kebudayaan dalam menuntaskan revolusi, hubungan penciptaan karya dan perannya dalam
terhadap tradisi dan modernitas sampai tuntutan seni dan para pekerjanya untuk
menetapkan komitmen pada rakyat, adalah hal yang dapat dipelajari dari Lekra. Mungkin
saat ini bangsa Indonesia perlu memiliki sebuah organisasi kebudayaan seperti Lekra, agar
kebudayaan bangsa kita tidak tenggelam dibawa arus kebudayaan Barat atau asing dengan
Walaupun telah dimakan zaman dan dikubur, Lekra tetaplah layak menjadi sebuah
kebanggaan bagi rakyat Indonesia, terkhusus para seniman dan budayawan di Indonesia.
Karena hingga kini belum ada organisasi kebudayaan manapun di Indonesia yang bisa
mencapai prestasi yang setara dengan prestasi yang dimiliki Lekra selama berkiprah untuk
122
Abdurahman, Dudung. 1999. Metode Penelitian Sejarah. Jakarta: Logus Wacana Ilmu.
Media.
Dolk, Lisbeth. 2012. A Entangled Affair; STICUSA and Indonesia 1948-1956. Leiden:
KITLV Press.
123
Hardjana, Andre. 1997 “Metode Realisme Sosialis dalam Sastra Indonesia” dalam
Kewaspadaan Nasional dan Bahaya Laten Komunis. Jakarta: Penerbit Intermasa.
Heryanto, Arief. 1985. Perdebatan Sastra Kontekstual. Jakarta: CV. Rajawali.
Jassin, H.B. 1967. Kesusastraan Indonesia modern dalam kritik dan esei II. Jakarta:
Gunung Agung.
_________. 1984. Surat-surat 1943-1983. Jakarta: Gramedia.
Karim Mashad, Abdul (ed). 2006. Sang Pujangga; 70 Tahun Polemik Kebudayaan
Menyongsong Satu Abad S. Takdir Alisjahbana. Pustaka Pelajar.
Kartodirjo, Sartono. Pemikiran dan Perkembangan Historiografi Indonesia. Jakarta:
Gramedia.
Kuntowijoyo. 1995. Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta: Bentang Budaya.
Kurniawan, Eka. 2002. Pramoedya Ananta Toer dan Sastra Realisme Sosialis.
Yogyakarta: Jendela.
Lindsay, Jennifer. 2012. Ahli Waris Budaya Dunia 1950-1965; Sebuah Pengantar. Jakarta:
KITLV-Jakarta.
124
Norma, Ahmad. 1998. Seni, Politik dan Pemberontakan. Yogyakarta: Bentang Budaya.
Plomp, Marije. 2012. The Capital of Pulp Fiction and Other Capital Cultural Life in
Medan, 1950-1958. Leiden: KITLV Press.
Rangkuti, M.I. 1981. Dinamika Seni dan Budaya Sumatera Utara. Medan.
Sen, Krishna. 1994. Indonesian Cinema: Framing the New Order. London: Zed Books.
Soedarsono. 2003. Seni Pertunjukan dari Perspektif Politik, Sosial, dan Ekonomi.
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Soemargono, Farida. 2004. Sastrawan Malioboro 1945-1960; dunia Jawa dalam
kesusastraan Indonesia. Mataram: Lengge.
Sulang, Kusni. 1964. Ansambel Bhinneka tegak dengan Garis-Politik yang tepat. Harian
Rakyat.
TEMPO. 2010. Njoto: Peniup Saksofon di tengah prahara. Jakarta: Kepustakaan Populer
Gramedia,.
125
ARTIKEL/JURNAL:
Hasibuan, Astaman. Kumpulan puisi/sajak; Dia Tak Pernah Kehilangan Cintanya,Cinta Itu
Tetap Menjadi Miliknya.
Suprayitno. Edisi No.21/Tahun X/Agustus 2005. “Medan Sebagai Kota Pembauran Sosio
Kultur di Sumatera Utara Pada Masa Kolonial Belanda”. Medan: Historime.
WEBSITE:
http://id.wikipedia.org/wiki/Amir Pasaribu
http://id.wikipedia.org/wiki/Asrul Sani
http://id.wikipedia.org/wiki/Chairil Anwar
http://id.wikipedia.org/wiki/Sitor Situmorang
126
FILM:
Film dokumenter Tjidurian 19: Rumah Budaya Yang Dirampas. Institut Sejarah Sosial
Indonesia dan Lembaga Kreativitas Kemanusiaan, 2009.
127
1. Apa yang menjadi alasan direvisinya Mukadimah Lekra pada tahun 1950?
2. Mengapa “politik adalah panglima” menjadi asas dari kerja kegiatan Lekra?
Lekra?
seninya?
Lekra?
6. Bagaimana sebetulnya penerapan metode Turun ke Bawah yang baik dan benar?
Medan?
11. Siapa saja yang melatarbelakangi proses pembentukan Lekra Cabang Medan?
12. Siapa saja yang menjadi anggota dan simpatisan Lekra Cabang Medan semenjak
13. Bagaimana keadaan atau kondisi cabang-cabang Lekra yang ada di Sumatera
Utara?
14. Apa saja kegiatan-kegiatan budaya yang menjadi fokus atau prioritas Lekra Cabang
Medan?
15. Bagaimana kronologis pergantian masa keperiodean pada Lekra Cabang Medan?
17. Apa sebabnya film Turang karya Bachtiar Siagian dihilangkan dari peredaran pada
18. Apa saja syarat untuk bisa mendaftar menjadi anggota ansambel Maju Tak Gentar
19. Kenapa ansambel Gembira dan Maju Tak Gentar tidak dibubarkan pada rezim Orde
Baru?
21. Bagaimana peran serta Lekra dalam Konferensi Seni dan Sastra Revolusioner
(KSSR)?
(Manikebu)?
24. Apa saja perseteruan-perseteruan yang muncul antara Lekra dengan Manikebu,
terkhusus di Medan.
27. Bagaimana pergerakan aktivis Lekra, terkhusus Lekra di Medan setelah meletusnya
28. Mengapa proses stigmatisasi yang diciptakan oleh Orde Baru terkesan begitu
29. Mungkinkah akan ada muncul organisasi kebudayaan seperti Lekra di masa depan?
2. Nama : Darsiah
Usia : 75
Pekerjaan : tidak ada
Alamat : Deli Tua
Adalah suatu kepastian, bahwa dengan gagalnya Revolusi Agustus 1945, Rakyat
Indonesia sekali lagi terancam suatu bahaya, yang bukan saja akan memperbudak kembali
Rakyat Indonesia di lapangan politik, ekonomi dan militer, tetapi juga di lapangan
kebudayaan.
Gagalnya revolusi agustus 1945 berarti juga gagalnya perjuangan pekerja
kebudayaan untuk menghancurkan kebudayaan kolonial dan menggantinya dengan
kebudayaan yang demokratis, dengan kebudayaan Rakyat.
Gagalnya revolusi agustus 1945 berarti memberi kesempatan kepada kebudayaan-
feodal dan imperialis untuk melanjutkan usahanya, meracuni dan merusak-binasakan budi-
pekerti dan jiwa Rakyat Indonesia. Pengalaman menunjukkan, bahwa kebudayaan-feodal
dan imperialis telah membikin Rakyat Indonesia bodoh, menanamkan jiwa pengecut dan
penakut, menyebarkan watak lemah dan rasa hina-rendah tiada kemampuan untuk berbuat
dan bertindak.
Pendeknya: kebudayaan-feodal dan imperialis membikin rusak binasa batin Rakyat
Indonesia, membikin Rakyat Indonesia berjiwa dan bersemagat budak.
Masyarakat setengah-jajahan sebagaimana kita alami sekarang ini, masyarakat yang
dilahirkan oleh sesuatu politik kompromi dengan imperialisme sudah dengan sendirinya
tidak bisa lain dari dengan membuka pintu bagi kelangsungan kebudayaan-kolonial,
sebagai persenyawaan antara kebudayaan-feodal dan kebudayaan imperialis.
Masyarakat setengah jajahan memerlukan kebudayaan kolonial sebgai salah satu
senjata klas beruasa untuk menindas klas yang diperintah; kebudayaan kolonial adalah
senjata dari kelas “elit” yang telah merasakan kenikmatan dan kemewahan yang dihasilkan
oleh keringat dan darah Rakyat banyak.
Maka dengan demikian proses perkembangan kebudayaan Rakyat yaitu
kebudayaan dari Rakyat banyak yang merupakan lebih dari 90% dari jumlah seluruh
nasion (nation) Indonesia, akan tertindas dan tertekan kemajuannya. Tetapi sebaliknya
kebudayaan anti-Rakyat kebudayaan-feodal dan imperialis akan kembali merajalela lagi.
Kedudukan setengah jajahan dari tanah-air Indonesia berarti pula bahwa Indonesia
terseret ke dalam arus peperangan yang sedang disiapkan oleh negeri-negeri imperialis.
Peperangan imperialis adalah rintangan yang sebesar-besarnya bagi perkembangan
Kebudayaan Rakyat.
Maka kami yang bersedia menjadi pekerja Kebudayaan Rakyat, mempunyai
kewajiban mutlak menghalau kebudayaan-kolonial dan mempertahankan Kebudayaan
Rakyat.
LAMPIRAN 2
MUKADIMAH LEKRA 1959
Menyadari bahwa rakyat adalah satu-satunya pencipta kebudayaan, dan bahwa
pembangunan kebudayaan Indonesia-baru hanya dapat dilakukan oleh rakyat, maka pada
hari 17 Agustus 1950 didirikanlah Lembaga Kebudayaan Rakyat, disingkat Lekra.
Pendirian ini terjadi di tengah-tengah proses perkembangan kebudayaan, yang sebagai
hasil keseluruhan dayaupaya manusia secara sadar memenuhi, setinggi-tingginya
kebutuhan hidup lahir dan batin, senantiasa maju dan tiada putus-putusnya.
Revolusi Agustus 1945 membuktikan, bahwa pahlawan di dalam peristiwa
bersejarah ini, seperti halnya di dalam seluruh sejarah bagsa kita, tiada lain adalah rakyat.
Rakyat Indonesia dewasa ini adalah semua golongan di dalam masyarakat yang menentang
penjajahan. Revolusi Agustus adalah usaha pembebasan diri Rakyat Indonesia dari
penjajahan da peperangan penjajahan serta penindasan feudal. Hanya jika panggilan
sejarah Revolusi Agustus terlaksana, jika tercipta kemerdekaan dan perdamaian serta
demokrasi, kebudayaan rakyat bisa berkembang bebas. Keyakinan tentang kebenaran ini
menyebabkan Lekra bekerja membantu pergulatan untuk kemerdekaan tanah air dan untuk
perdamaian di antara bangsa-bangsa, di mana terdapat kebebasan bagi perkembangan
kepribadian berjuta Rakyat.
Lekra bekerja khusus di lapangan kebudayaan, dan untuk masa ini terutama di
lapangan kesenian dan ilmu. Lekra menghimpun tenaga dan kegiatan seniman-seniman,
sarjana-sarjana dan pekerja kebudayaan lainnya. Lekra membantah pendapat bahwa
kesenian dan ilmu bisa terlepas dari masyarakat. Lekra mengajak pekerja-pekerja
kebudayaan untuk dengan sadar mengabdikan daya cipta, bakat serta keahlian mereka guna
kemajuan Indonesia, kemerdekaan Indonesia, pembaruan Indonesia.
Kami para seniman dan cendekiawan Indonesia dengan ini mengungumkan sebuah
Manifes Kebudayaan, yang menyataka pendirian, cita-cita dan politik Kebudayaan
Nasional kami.
Bagi kami kebudayaan adalah perjuangan untuk menyempurnakan kondisi hidup manusia.
Kami tidak mengutamakan salah satu sektor kebudayaan di atas sektor kebudayaan yang
lain. Setiap sektor berjuang bersama-sama untuk kebudayaan itu sesuai dengan kodratnya.
Dalam melaksanakan kebudayaan nasional, kami berusaha menciptakan dengan sejujur-
jujurnya sebagai perjuangan untuk mempertahankan dan mengembangkan martabat diri
kami sebagai bangsa Indonesia di tengah masyarakat bangsa-bangsa.
Pancasila adalah falsafah kebudayaan kami.
Jakarta, 17 Agustus 1963
Drs. H.B. Jassin, Trisno Sumardjo, Wiratmo Soekito, Zaini, Bokor Hutasuhut, Goenawan
Mohammad, A. Bastari Asnin, Bur Rasuanto, Soe Hok Djin, D.S. Moeljanto, Ras Siregar,
Hartojo Andangdjaja, Sjahwil, Djufri Tanissan, Binsar Sitompul, Drs. Taufiq A.G. Ismail,
Gerson Pyok, M. Saribi Afn., Pernawan Tjondronagaro, Drs. Boen S. Oemarjati.
LAMPIRAN 6
ANGGOTA PIMPINAN PUSAT LEKRA
HASIL KONGRES NASIONAL 24-29 JANUARI 1959
SOLO, JAWA TENGAH
Affandi
Bachtiar Siagian
Bakri Siregar
Basuki Effendi
Basuki Resobowo
Boejoeng Saleh
Chrismanuputty
Dahlia
Hadi S
Haznam Rachman
Hendra Gunawan
Henk Ngantung
H.R. Bandaharo
Sekretaris Umum:
Joebaar Ajoeb
Wakil Sekretaris Umum I:
Henk Ngantung
Wakil Sekretaris Umum II:
Sudharnoto
Anggota Sekretariat:
Njoto, Basuki Resobowo, Rivai Apin, M.S. Ashar, Samandjaja, Basuki Effendi, Bakri
Siregar dan S. Anantaguna
Wakil Ketua:
Hendra Gunawan
Sekretaris:
Basuki Resobowo
Anggota Pengurus:
Affandi, Suromo, Martin Sagara.
Ketua:
Bachtiar Siagian
Wakil Ketua:
Kotot Sukardi
Sekretaris:
Suhardjo
Anggota Pengurus:
Basuki Effendi, Tan Sing Hwat
Ketua:
Bakri Siregar
Wakil Ketua:
Pramoedya Ananta Toer
Sekretaris:
M.S. Ashar
Anggota Pengurus:
Samandjaja, S. Rukiah Kertapati.
Ketua:
Rivai Apin
Wakil Ketua:
Dhalia
Sekretaris:
Agus Muliono
LAMPIRAN 7
Ketua Kehormatan:
Utomo Ramelan (Kepala Daerah Kotapradja Surakarta)
Ketua Kehormatan:
Mangkunegoro VIII
Ketua Umum:
Basuki Resobowo (Lekra Pusat)
Ketua I:
M.D. Hadi (Lekra Jawa Ttengh)
Ketua II:
Sangidan (Lekra Solo)
Ketua III:
Wukirlan (Lekra Solo)
Anggota:
Suwarno (Lekra Jawa Tengah)
LAMPIRAN 8
Konfernas sastra dan seni revolusioner (KSSR) yang diselenggarakan pada tanggal
27 Agustus 1964 sampai dengan 2 September 1964 di Jakarta, setelah mempelajari dan
mendiskusikan referet Kawan Ketua D.N. Aidit yang berjudul “DENGAN SASTRA DAN
SENI YANG BERKEPRIBADIAN NASIONAL MENGABDI BURUH, TANI DAN
PRAJURIT” dan setelah mendenganrkan pandangan-pandangan para peserta; memutuskan
menyetujui sepenuhnya refreat tersebut. Konfernas menginstruksikan kepada setiap
sastrawan dan seniman Komunis serta mengajak kepada sastrawan dan seniman
revolusioner lainnya untuk menjadikannya sebagai pegangan dan pedoman dalam
membina dan mengembagkan sastra da seni yang berkepribadian buruh, tani dan prajurit.
Konfernas menghujamkan keyakinannya bahwa referat itu adalah karya yang monumental
LAPORAN UMUM
PENGURUS PUSAT LEKRA
KEPADA KONGRES NASIONAL KE I LEKRA
Disampaikan oleh Joebaar Ajoeb
Sekretaris Umum Lekra
Kongres ini tentu saja penting sekali artinya bagi kehidupan dan perkembangan
lebih lanjut Lekra sendiri, tetapi apa-apa yang dibicarakan dan yang akan diputuskan oleh
kongres ini kiranya penting bukan saja bagi Lekra, tetapi bagi seluruh kehidupan
kebudayaan Tanah Air kita.
Hingga kini Lekra sudah berusia delapan setengah tahun. Organisasinya sekarang
sudah meluas kehampir seluruh negeri, sekalipun, sudah tentu di tempat yang satu lebih
maju dan di tempat yang lain kurang maju. Kegiatannya pun sudah meliputi lapangan-
lapangan kebudayaan yang berbagai-bagai, sehingga benar-benar Lekra kita merupakan
suatu lembaga kebudayaan. Orang mengatakan bahwa Lekra sekarang adalah organisasi
kebudayaan yang terbesar di Indonesia. Dengan tidak mempersengketakan hal-hal ini,
bagaimanapun Lekra telah memberikan sumbangan-sumbangan kita kepada kebudayaan
kita. kepada Rakyat kita, kepada Revolusi kita.
Sungguhpun begitu, tak ada alasan pada kita untuk merasa puas dengan
sumbangan-sumbangan yang telah kita berikan. Sebaliknya, segala alasan mengharuskan
kita untuk berketetapan memberikan sumbangan yang lebih banyak, lebih baik dan lebih
berguna lagi.
Saya berani menyatakan, bahwa pada saat kita berkongres sekarang ini, pada kita
sudah ada semua syarat yang diperlukan untuk bekerja lebih banyak, lebih baik dan lebih
berguna bagi kebudayaan, bagi Rakyat, bagi Revolusi.
Kita ini dilahirkan oleh sejarah. Tetapi kita pun akan melahirkan sejarah, setidak-
tidaknya turut melahirkan sejarah. Sedihlah mereka-mereka yang tidak menyadari hal ini,
dan berbahagialah mereka-mereka yang menyadarinya! Tetapi kesadaran, bahwa kita ini
sekaligus adalah anak dan ayah sejarah, meletakkan ke atas pundak kita tanggung jawab
yang sama sekali tidak kecil. Tetapi haruslah kita mundur menghadapi tanggung jawab
yang besar?
Kini kita berkumpul di Solo, sutu tempat yang mempunyai tradisi kebudayaan yang
terkenal, dan yang berkat pemilihan umum, dimana anggota-anggota Lekra aktif ambil
bagian. Kepala daerahnya seorang anggota Lekra pula.
Kini wakil-wakil dari seluruh Lekra berkumpul. Kawan-kawan dari Maluku-Irian
Barat, dari Sulawesi, dari Nusa Tenggara, dari Kalimantan, dari Sumatera dan dari Jawa
berhimpun untuk menilai pengalaman-pengalaman selama ini, untuk menyimpulkan
LAMPIRAN 10
II
Resolusi atas Laporan Pendidikan
I. Setelah proklamasi 17 agustus 1945 seharusnya sekaligus diletakkan dasar-
dasar pendidikan nasional yang dijiwai oleh proklamasi 17 agustus 1945;
bahwa kemerdekaan, patriotisme dan demokrasi, harus tercermin dalam segala
lapangan kehidupan, juga dalam lapangan pendidikan.
II. Pendidikan nasional adalah pendidikan yang dapat mengerahkan segenap
potensi nasional untuk menyelesaikan revolusi. Maka itu pendidikan tidaklah
berdiri sendiri terpisah dari masyarakat tetapi harus menjadi senjata Rakyat,
yakni memihak dan mengabdi kepada Rakyat, revolusi, tanah air, kemerdekaan
dan perdamaian.
III. Untuk membangaun Indonesia yang besar da maju, pendidikan memerlukan
ilmu yang mengenal kehidupan, ang menyatukan teori dan praktek dan yang
dapat menghasilkan tenaga-tenaga konstruktif.
IV. Keadaan perekonomian Indonesia yang setengah jajahan dan kurang tepatnya
sistim pendidikan selama ini, tidak memungkinkan Pemerintah menampung
III
Resolusi atas Laporan Sastra
I. Revolusi agustus 1945 sebagai kelanjutan dari perjuangan Rakyat telah
melahirkan kesusastraan yang baru, terutama dalam hal isi, yang menjadi
pendorong bagi Rakyat banyak untuk memupuk tenaga revolusioner guna
penyempurnaan kemerdekaan nasional.
II. Dalam menghadapi sastra daerah yang merupakan perbendaharaan warisan ke
setiap daerah, Lekra melakukan seleksi atas dasar nilai kreatif untuk penciptaan
yag seindah-indahnya, guna pengembangan nilai-nilai positif Rakyat setinggi-
tingginya.
III. Terhadap hasil-hasil sastra asing Lekra bersikap kritis dan mengadakan
penilaian kreatif.
IV. Untuk melancarkan garis revolusioner secara lebih intensif, segenap potens
dihimpun di dalam Lembaga Sastra Indonesia dan digunakan untuk
menghasilkan kesusastraan secara meluas dan meninggi, dengan program kerja
sebagai berikut:
1. Penyelidikan
a. Mengadakan penyelidikan da mengumpukan cerita-cerita Rakyat,
pantun-pantun Rakyat dan lain-lain serta mengadakan penafsiran
terhadapnya sesuai dengan kepentingan Rakyat. Ini berlaku pula bagi
bahasa-bahasa daerah.
V
Resolusi atas Laporan Musik dan Laporan Tari
Untuk melaksanakan tugas-tugas kebudayaan Rakyat, yang digariskan oleh
Laporan Umum dan Laporan Khusus tentang musik dan tari, serta untuk mengisi kegiatan
lembaga musik Indonesia dan lembaga tari Indonesia, Kongres Nasional I Lekra
menetapkan pedoman kerja untuk musik dan tari sebagai berikut:
1. Menyelenggarakan registrasi musik-tari Rakyat diseluruh daerah.
2. Meluaskan dan mengintensifkan pendidikan musik dan tari dengan jalan;
a. Penerbitan dan penyiaran;
b. Seminar-seminar dan lingkaran-lingkaran diskusi;
c. Perlombaan dan pertunjukkan;
3. Menggiatkan pencegahan dan pemberantasan pencabulan serta gejala-gejala
dekaden lainnya dalam musik dan tari.
4. Memperjuangkan pengintensifan pelajaran musik dan tari di sekolah-sekolah,
terutama di sekolah-sekolah guru.
VI
Resolusi atas Laporan Film dan Laporan Seni Drama
Berdasarkan situasi perkembangan kebudayaan di tanah air kita semenjak
berdirinya Lekra sebagaimana yang dinyatakan di dalam Laporan Umum dan Laporan
Khusus Film dan Seni Drama, Kongres Nasional I Lekra memutuskan:
Lembaga Film Indonesia dan Lembaga Seni Drama Indonesia berazaskan Film dan
Seni Drama untuk Rakyat dan berusaha mengabdikan diri untuk perjuangan dan
perkembangan kebudayaan Rakyat, dengan tugas:
1. Menyelidiki, menggali, meningkatkan dan mengembangkan segala macam drama
yang hidup di kalangan Rakyat.
2. Mengadakan perlawanan terhadap segala bentuk drama dan film yang tidak
mewakili kepentingan Rakyat dan segala macam usaha yang menghambat serta
merugikan kegiatan dan perkembangan drama dan film untuk Rakyat.
Untuk melaksanakan tugas-tugas ini, disusun rencana poko program kerja yang
meliputi masalah-masalah:
1. Menggiatkan adanya penyelidikan ke daerah-daerah, sebagai sumber penggalian
drama-drama Rakyat;
2. Mengusahakan pendidikan ideologi dan artistik;
3. Pertukaran hasil-hasil kegiata dalam lapangan drama antar daerah;
4. Memperjuangkan peningkatan jaminan sosial ekonomi bagi seniman-seniman
drama dan film;
5. Mengusahakan adanya jaminan-jaminan yang lebih demokratis bagi pertumbuhan
seni drama dan film nasional;
6. Mengadakan hubungan antar organisasi massa dan organisasi kebudayaan di dalam
negeri dan dengan luar negeri;
Kongres juga memutuskan:
1. Supaya Pemerintah secepat mungkin menyelesaikan undang-undag perfilman
nasiional;
2. Supaya Pemerintah menurunkan harga bahan-bahan baku yang dibutuhkan oleh
kegiatan-kegiatan seni drama dan film;
3. Menuntut dibubarkannya Dewan Film yang sekarang dan menggantinya dengan
Dewan Film yang representatif;
4. Mendesak kepada Pemerintah agar komposisi Panitia Sensor Film yang sekarag
dirobah dengan komposisi yang lebih representative;
5. Untuk memberikan kemungkinan perkembangan yang lebih baik kemajuan
perfilman nasional serta merealisasi bantuan yang lebih intensif diperlukan
VII
Resolusi atas Laporan Ilmu
1. Untuk mengumpulkan bahan-bahan keterangan, menyelidiki, mempelajari dan
mensistimatiskan segala hasil ilmu tradisonil. Kongres Nasional I Lekra
memutuskan untuk mengerahkan seluruh potensi Lembaga Ilmu Indonesia di pusat
dan di daerah-daerah guna melaksanaka tugas berat itu dengan se-baik-baiknya dan
se-seksamanya dan dengan sstematik dan maju.
2. Kongres mendesak kepada DPR agar diciptakan suatu undang-undag perguruan
tinggi yang menjamin perkembangan ilmu secara meluas dan meninggi serta
berjiwa kerakyatan, dengan berpedoman kepada kepentingan bangsa dan negara di
dalam rangka pembangunan nasional semesta untuk mencapai masyarakat adil dan
makmur.
3. Kepandaian membaca dan menulis merupakan syarat mutlak untuk menuntut ilmu,
dan oleh karena itu pemberantasan buta huruf wajib dilaksanakan dengan lebih
cepat dan lebih efektif.
4. Tes-tes psikoteknik untuk menyelimuti kurangnya kesempatan belajar pada
perguruan-perguruan tinggi merupakan tembok perintang bagi perkembangan ilmu
dan bagi timbulnya kader-kader pekerja ilmu yang baru secara luas. Untuk
mengatasi keadaan jelek sekarang dalam bidang perguruan tinggi dan perbaikan
mutu pengajaran tinggi.
5. Perlu diperjuangkan supaya pandangan ilmu yang maju yang menjalin diri dalam
kehidupan nasional yang nyata menjadi keyakinan dunia kesarjanaan Indonesia.
Ilmu yang bertujuan terus-menerus menyempurnakan hidup manusia hanya dapat
berkembang subur jia mengikutsertakan Rakyat dalam penyelidikan, penyebaran
dan penggunaannya.
6. Penyelidikan masyarakat, kebudayaan dan sejarah Indonesia haruslah berpangkal
kepada keindonesiaan dan terutama dilakukan oleh sarjana-sarjana Indonesia
sendiri.
VIII
Resolusi atas Laporan Folklor
1. Kongres Nasional I Lekra berpendirian, bahwa folklor sebagai permakluman seni
Rakyat pada bidang hiburan dan tradisi Rakyat perlu dihargai da dinilai setepat-
tepatnya dengan jalan memeliharanya, mengembangkan segi-segi positifnya dan
meniadakan segi-segi negatifnya serta mengembangkannya kepada tingkat seni
yang berderajat baik, tapi tetap berpijak pada bumi nyata kerakyatan. Folklor
sebagai seni dari, oleh dan untuk Rakyat perlu diselidiki dan dipelajari, diolah dan
disiarkan di dalam bentuknya yang sesuai dengan cita rasa seni yang maju daripada
Rakyat. Dalam pada itu pengelolaan dan penjajalanannya di dalam bentuk baru
tidaklah boleh mengingkari perwatakan dan kepribadian masing-masing ungkapan
bumi yang khas. Segala pernyataan seni dari zaman feodal menghendaki penilaian
Gambar 1.2Bachtiar Siagian, salah satu dewan juri FFAA III, sedang menonton film peserta
festival di Markas Besar Ganefo/Gelora Bung Karno. Dewan juri dalam FFAA III terdiri atas
lima belas orang: enam dari Asia, enam dari Afrika, dan tiga dari Indonesia. Bachtiar adalah
sutradara, penulis skenario, sekaligus aktor film dan drama. Ia juga menjabat ketua Lembaga Film
Indonesia, salah satu lembaga kreatif Lekra.
Gambar 1.4. Dari kiri-kanan: Bachtiar Siagian dan Basuki Resobowo sedang mengikuti salah
satu sesi penjurian. Delegasi Indonesia mengajukan dua film untuk kompetisi dan juga
memamerkan delapan judul film dalam ‘Trade Exhibition’, diantaranya "Daerah tak bertuan"
produksi Sanggabuana Film; "Generasi Baru" produksi Garuda Film; "Bintang Ketjil" produksi
Aries Film; dan "Turang" produksi bersama Rentjong Film dan Jajasan Gedung Pemuda
Sumatera Utara.
Gambar 1.6. Dari kiri ke kanan-atas: Azis Akbar (Lekra Sumut), Sj. Andjasmara (Lekra Sumut),
Senen Achmad (Lembaga Persahabatan Indonesia-Tiongkok), Sekretaris Konsulat Tiongkok
Medan, Sudjak, Soemarno Hasibuan, Jallaludin Yusuf Nasution (Sekretaris pertama CDB PKI
Sumut), Konsul Tiongkok, Pongang Pane Gangga, Rakut Sembiring, suami Rumiati, Martin Saragi
(CGMI), tidak tau, anwar djambak.
Dari kiri ke kanan-bawah: keempat dari kiri: istri Soemarno Hasibuan, kelima dari kiri istri
Jallaludin, tengah: istri konsulat, Rumiati.
Gambar 1.11. Buku kumpulan cerpen dan puisi Lekra, Api ’26 atau Gelora Api 26, kiri: cetakan
pertama kanan: cetakan kedua.
Gambar 1.15. Pramoedya Ananta Toer (sastrawan Lekra) saat berusia 30 tahun.