Anda di halaman 1dari 7

KOMITE PIMPINAN PUSAT

SERIKAT MAHASISWA INDONESIA


Indonesian Student Union
SK MENKUMHAM No.AHU-0014339.AH.01.07.Tahun 2017
Alamat : Jl.Rawa Kuning Gg.H.Rikin Rt.07, RW 07
Kec. Pulo Gebang, Cakung– Jakarta Timur Indonesia
Email : serikat_mahasiswa@yahoo.com Site : serikatmahasiswa.org

SMI mobile phone : 081289668068 - 082343336316


Jenis Tulisan : Materi Non Silabus
Perihal : Materi Pelatihan M3OG
Dikeluarkan : November 2017, KPP SMI

Pengantar Agitasi dan Propaganda


1. Pengertian Dan Arti Penting Agitasi Dan Propaganda
Dalam keseharian kita mewujudkan Pembebasan Nasional Melawan Imperialisme
kita selalu mendengar dan bahkan melakukan aktifitas agitasi dan propaganda. Namun
menjadi kebingungan ketika kita mendiskusikan makna dari agitasi-propaganda dan alasan
kita mempelajarinya, terlebih dalam keputusan Konferensi Nasional SMI ke V di
Yogyakarta menyepakati membentuk Departemen Propaganda tersendiri yang terpisah dari
Departemen Pendidikan.
Agitasi dan propagada merupakan satu kesatuan sebagai ujung tombak
pengorganisiran massa yang secara tidak sadar seringkali kita lakukan dalam kehidupan kita
sehari-hari. Dalam perspektif gerakan, Agitasi dapat didefinisikan sebagai suatu tindakan
pembongkaran atau pemblejetan permasalahan yang dialami oleh rakyat secara ilmiah
dengan mengedepankan realitas atau material yang terjadi, berbanding terbalik dengan ilusi
yang dilakukan oleh rezim lewat berbagai perangkatnya (media massa) yang menutupi
penderitaan rakyat dan menganggap semua baik-baik saja. Menurut kamus Oxford,
mengagitasi berarti “membangkitkan perhatian (to excite) atau mendorong (stir it up)”. Jadi
Agitasi bertujuan untuk mendorong kesadaran seseorang atau kelompok tentang suatu
permasalahan sehingga mempunyai semangat untuk merubah ketimpangan yang terjadi di
sekitarnya.
Kata Propaganda berasal dari bahasa latin propagare, artinya cara tukang kebun
menyemaikan tunas suatu tanaman kesebuah lahan untuk memproduksi tanaman baru yang
kelak akan tumbuh sendiri. Jadi propaganda dapat didefiniskan sebagai “sebuah usaha yang
terencana/tersistimatis untuk penyebarluasan suatu keyakinan atau doktrin.”
Propaganda bersifat arahan atau solusi, ia biasanya mengandung 2 (dua) hal,
pertama: penyebab pokok permasalahan-permasalahan yang terjadi dimasyarakat, kedua:
bagaimana permasalahan harusnya diselesaikan. Propoganda tidak dapat dipisahkan dari
capaian politik, karena propoganda seringkali dilakukan melalui pendekatan persuasif.
Beberapa cara melakukan persuasi politik tersebut dapat melalui retorika atau pidato politik.
Jacques Ellul, seorang filosof dan sosiolog prancis mengemukakan pengertian
propaganda adalah komunikasi yang digunakan oleh suatu kelompok terorganisasi yang
ingin ingin menciptakan partisipasi aktif atau pasif dalam tindakan massa yang terdiri atas
individu dan dipersatukan secara psikologis melalui manipulasinya dan digabungkan dalam
suatu organisasi (Nimmo, 1989) yang berarti memiliki tujuan politik tertentu
Pengertian lainnya, propaganda adalah kegiatan persuasif untuk mempengaruhi
seseorang atau orang banyak dalam bentuk individu atau kelompok, dalam kehidupan
masyarakat atau negara dengan dasar-dasar psikologis agar menerima ide, gagasan ideologi,
hasil penemuan baru, konsep-konsep politik atau suatu hal yang belum diterima dan belum
dianggap bermanfaat untuk kemudian bertingkah laku sesuai dengan apa yang diharapkan
oleh propagandis (Sumarno, 1989). Pengertian lainnya disampaikan lebih jauh lagi oleh
James E. Combs dan Dan Nimmo (1994:23) sebagai berikut:

ARSIP Dept Pendidikan SMI Pusat 2017


1. “Usaha yang disengaja dan sistematis...untuk mencapai respon yang lebih jauh
lagi merupakan tujuan yang diinginkan”
2. “Sebuah usaha untuk mempengaruhi opini dan tingkah laku”
3. “Situasi propaganda yang tipikal adalah A, melalui suatu metode atau metode lain
yang berhubungan dengan B sehingga cenderung mempengaruhi tingkah laku B”
4. “Semua usaha yang membujuk setiap orang untuk kepercayaan atau untuk suatu
bentuk tindakan”
5. “Usaha untuk mempengaruhi personalitas dan mengontrol tingkah laku individual
menuju tujuan akhir yang dianggap tidak ilmiah atau nilainya meragukan dalam
masyarakat pada waktu yang ditentukan”
Propaganda sendiri berarti suatu rencana sistematis atau gerakan bersama untuk
penyebarluasan suatu gagasan. Dan dalam kegiatan propaganda selalui disertai penjelasan
gagasan-gagasan tersebut secara terperinci dan sistematis. Seorang Rusia, Georgi Plekhanov
menambahkan pembedaan antara agitasi dan propaganda dalam pelaksanaannya, “Seorang
propagandis menyajikan banyak gagasan ke satu atau sedikit orang; seorang agitator
menyajikan hanya satu atau sedikit gagasan, tetapi menyajikannya ke sejumlah besar orang.”
Dalam bergerak menuju suatu perubahan yang dicita-citakan organisasi gerakan
memerlukan dukungan seluas-luasnya dari mayoritas rakyat, ini menjadikan Agitasi dan
Propaganda alat yang sangat penting (kalau bukan yang terpenting) dari organisasi itu sendiri.
Agitasi saja tanpa suatu arahan Propaganda hanya akan memperpanjang jalan cita-cita
pembebasan nasional. Jadi sangat penting bagi kita untuk dapat merumuskan arahan tersebut.

2. Sejarah Propaganda/Penguasaan Ruang Publik


Propaganda dikenal dari kata CONGREGATIO DE PROPAGANDA FIDE pada tahun
1622 ketika Paus Gregorius XV mendirikan organisasi yang bertujuan mengembangkan dan
memekarkan agama kahtholik Roma baik di Italia maupun di Negara-negara lain. (R. A.
Santoso, 1983:16). Dari kata propagare inilah yang kemudian digunakan oleh Gereja Katolik
Roma yang diadopsi secara sosiologis yang berarti penyebaran ide-ide atau doktrin agama
Kristen ke dalam masyarakat secara terstruktur dan terencana.
Banyak referensi sejarah mengenai agitasi, propaganda atau komunikasi massa
lainnya yang bertujuan mempengaruhi pemikiran publik. Untuk memahami lebih dalam, kita
bisa mengutip pemaparan Habermas, J. (1989). The Structural Transformation of the Public
Sphere. Habermas (1989) membagi ruang publik ke dalam dua jenis; (1) ruang publik politik,
dan (2) ruang publik sastra. Ruang publik politik bukan hanya memperlihatkan keterbukaan
ruang yang dapat diakses, tetapi memperlihatkan pula bagaimana struktur sosial masyarakat
yang berubah.
Kelas-kelas sosial yang terbentuk dari sistem feodal lambat laun tidak dapat
dipertahankan lagi. Sementara itu dalam ruang publik sastra, kesadaran literasi masyarakat
mulai meningkat sejalan dengan kemunculan penerbitan-penerbitan, diskusi masyarakat
mengenai seni, estetika, maupun sastra tersebar di penjuru Eropa.
Sekitar abad 18, di Eropa mulai berkembang ruang publik yang mampu menampung
seluruh lapisan masyarakat dalam sebuah diskusi kritis. Ruang publik itu diwarnai dengan
wacana-wacana kritis di dunia politik dan sastra yang datang dari berbagai kelompok, baik itu
Tischgesellschaften (himpunan masyarakat) maupun Sparchgesselschaften (himpunan
masyarakat sastra). Kedai-kedai kopi yang menjadi tempat pilihan mereka bukan hanya
berfungsi sebagai ruang diskusi, tetapi berfungsi pula sebagai “tempat oposisi” dari ruang-
ruang yang tidak bisa diakses oleh masyarakat umum seperti halnya istana, gedung parlemen,
maupun teater musik kaum ningrat.
Tahun 1680 hingga 1730 misalnya, di Inggris berkembang kedai kopi yang pada
awalnya sebagai kritik di dunia sastra namun di kemudian hari merambah ke wilayah politik.
Hal ini tidak lepas dari peranan kelompok terdidik yang mulai muncul sebagai “borjuis
baru” diantara aristokrat dan intelektual borjuis (Habermas, 1989:32). Kelas-kelas yang
tadinya tidak diperhitungkan peranannya dalam masyarakat mulai mendapatkan tempat yang
bebas untuk berdialektika dalam berbagai wacana. Berbagai kelompok pembaca yang

ARSIP Dept Pendidikan SMI Pusat 2017


berkumpul di kedai kopi, himpunan masyarakat pada dasarnya memiliki hak dan kebebasan
yang sama.
Pemandangan ruang publik di Eropa ini menurut Habermas (1989:36-37) memiliki
tiga kriteria sebagai ruang publik masyarakat. Pertama, mereka mengesampingkan perbedaan
status sosial dan memunculkan prinsip-prinsip kebersamaan dan kesetaraan sebagai semangat
setiap pertemuan-pertemuan diantara mereka. Stratifikasi sosial yang menempatkan kalangan
pedagang sebagai masyarakat kelas menengah (borjuis) mulai berubah. Pengunjung yang
datang ke kedai-kedai kopi tidak hanya datang dari kalangan borjuis saja, namun para
pegawai, pemilik toko, serta kaum profesional dan masyarakat lainnya pun ikut berkumpul.
Istilah borjuis kemudian meluas tidak hanya sebatas saudagar. Strata baru masyarakat borjuis
lahir dan segera menempati posisi sentral di dalam publik (Habermas, 1989:23). Setiap
individu yang datang ke ruang publik tersebut diberikan kesempatan berpendapat mengenai
persoalan-persoalan yang menyangkut wilayah privat maupun wilayah publik. Dalam kondisi
ini, ruang publik memiliki peranan utama sebagai pendorong bagi kemampuan komunikasi
setiap lapisan masyarakat. Oleh karena itu, ruang publik politik dan ruang publik sastra yang
diadakan di kedai-kedai kopi ini mejadi tempat komunikasi pertama yang bebas dari tekanan
kekuasaan. Disini borjuasi mulai melakukan agitasi untuk memblejeti sistem yang sedang
menindas pada masa itu (Feodalisme). Kedua, ruang publik membuka wacana-wacana yang
belum pernah dipersoalkan, seperti monopoli negara dan gereja atas interpretasi kebenaran
dalam teks. Kekuatan-kekuatan sosial baru dalam masyarakat mulai membawa ruang publik
sastra ke dalam wilayah politis. Karya-karya seperti puisi, novel, cerpen, musik, maupun
teater mulai dijadikan alat bagi perlawanan atas otoritas negara yang absolut. Begitu pula
jurnal-jurnal yang dihasilkan dari ruang publik sastra mulai gencar melakukan kritik.
Menurut Habermas (1989:41), jurnal-jurnal kritik seni dan budaya merupakan karya yang
mengesankan di abad ke-18 sebagai instrumen-instrumen yang menyangkut wilayah privat
maupun wilayah public yang melembagakan kritik sastra. Bahkan dalam ruang publik politis,
penghapusan lembaga sensor di Inggris sekitar tahun 1694-1659 dianggap sebagai kemajuan
perkembangan ruang publik.
Perkembangan jurnal, pamflet, maupun pers pada ruang publik politik mulai
menunjukan prospeknya sebagai lembaga mandiri. Sebut saja Diskurse der Mahlern, sebuah
jurnal mingguan yang diterbitkan oleh Bodmer dan Breitinger di Zurich pada 1721 yang
muncul dari hasil-hasil pertemuan di kedai-kedai kopi. Dengan semakin meningkatnya
komunikasi dan daya kritis masyarakat, Pemerintah tidak dapat menghadapi masyarakat
secara otoriter. Pemerintah Inggris misalnya, mulai membuat terbitan tandingan. Beberapa
media pemerintah seperti London Gazette (1704), Examiner (1711), atau London Journal
(1722) diterbitkan untuk menghadapai pers oposan seperti Gulliver, Dunciad, Fables, dan
Gentleman’s Magazine (Habermas, 1989:60).
Perdebatan kritis di wilayah politik (pemerintah dengan masyarakat) menempatkan
pers-pers oposisi sebagai “kekuatan keempat” dalam rangka mengemban tugas sebagai
otoritas publik. Istilah “kekuatan keempat” atau “the fourth estate” di dalam setiap literatur
jurnalisme, kini diartikan sebagai kekuatan penyeimbang dari tiga kekuatan lain, yakni;
eksekutif, legislatif, dan yudikatif.
Namun menurut Wiryawan (2007:69), istilah the fourth estate yang dikemukakan
seorang negarawan Inggris Edmund Burke pada abad ke-18 di Parlemen Inggris, merujuk
sistem kekuasaan zaman feodal di mana terdapat tiga kekuatan, yaitu lords spiritual
(pendeta), lord temporal (bangsawan) dan the commons (kelasmenengah-borjuis). Edmund
Burke menyebut para wartawan di sebuah lorong gedung parlemen sebagai kekuatan
keempat. Ketiga, pertemuan individu di dalam ruang publik sastra telah mengubah
kebudayaan menjadi komoditas. Kebudayaan yang dimaksud Habermas adalah budaya tulis
(jurnal maupun pamflet), budaya musik dan teater. Musik dan teater pada abad ke-18 masih
dianggap sebagai sesuatu yang elit, glamor, dan hanya bisa dinikmati oleh golongan
bangsawan.
Bagi Habermas (1989:39) apa yang sekarang kita sebut musik klasik, dahulu memiliki
fungsi sosial, baik sebagai kesakralan dan martabat penyembahan maupun semarak

ARSIP Dept Pendidikan SMI Pusat 2017


perjamuan. Oleh karena itu tidak ada akses bagi masyarakat terhadap musik dan teater.
Namun akibat dari kemajuan ruang publik sastra, lambat laun akses semakin terbuka, bahkan
masyarakat menciptakan musik dan teater secara mandiri. Pada tahun 1766 misalnya, di
Jerman didirikan Deutsches Nationaltheater (Teater Nasional Jerman) yang dapat diakses
oleh penonton umum, begitu pula Collegia Musica muncul sebagai “musik publik” pertama
di Jerman, dimana karcis masuk yang harus dibayar mengubah performa musik menjadi
komoditas (Habermas, 1989:39).
Perubahan musik dan teater ke arah komoditas menunjukan kritik masyarakat atas
seni yang selama masa itu didominasi kelompok-kelompok tertentu. Lebih jauh lagi,
perubahan ke arah komoditas ini menunjukan kesadaran masyarakat akan kesamaan hak yang
mampu menempatkan musik dan teater sebagai milik publik dan bukan sebagai alat
stratifikasi sosial. Perubahan budaya tulis menjadi komoditas di sisi lain menunjukan watak
yang berbeda. Jika musik dan teater berkembang ke arah komoditas sebagai bentuk
perlawanan kelas atas hak dan kebebasan, budaya tulis sendiri menjadi komoditas karena
murni kepentingan kapitalis. Pengelola pers pada saat itu mulai menyadari bahwa mereka
memiliki publik yang sangat banyak, dan fungsi pers sebagai ruang komunikasi pun
diarahkan pada pembentukan tema-tema diskusi yang dapat diikuti oleh seluruh kalangan.
Akhirnya pembentukan tema-tema ini menjadi potensi pasar yang sangat besar.
Sejarah singkat tersebut bisa kita memahami bahwa ruang publik menjadi sesuatu
yang bebas nilai sehingga kelas-kelas yang saling bertentangan memanfaatkannya sesuai
kepentingan dan tujuannya masing-masing. Bagi kelas penguasa komunikasi massa diarahkan
untuk mempertahankan sistem yang ada dan memperkuat posisinya dalam masyarakat.
Sedangkan bagi kelas tertindas yang selalu dirugikan dalam sistem yang sedang berlaku
melakukan perlawanan dengan membongkar dan memblejeti situasi yang ada dengan harapan
dapat merubahnya ke arah yang lebih baik atau upaya menciptakan kemerdekaan 100%.

3. Prinsip Dan Tujuan Propaganda


Sebagai sebuah organisasi Gerakan Revolusioner, maka harus dipertahankan dasar
kenapa kita bergerak. Agitasi-Propaganda kita haruslah Revolusioner pula artinya perubahan
yang terus-menerus kearah kemajuan bukan kemunduran, Agitasi-Propaganda kita tidak
bersifat pembodohan tetapi ia mencerdaskan, menerangi, mengobori mata dan hati Rakyat !
Maka itu haruslah kita jaga prinsip-prinsip dibawah ini:
 Ilmiah
Agitasi-Propaganda kita hendaknya Objektif, yaitu memaparkan keadaan yang
sesungguhnya benar-benar terjadi, berdasarkan bukti dan fakta yang nyata, bukan yang
dibuat-buat atau dikarang.
 Berpihak kepada Rakyat
Berpihak disini artinya bukan secara membabi-buta, tetapi sudut memandang kita
terhadap permasalahan haruslah dari sudut pandang RAKYAT, karena kita ingin
menyelesaikan permasalahan yang selalu membuat rakyat itu tertindas, vox Populi, vox
Dei (suara Rakyat adalah suara Tuhan)
 Intens / Laten
Dalam berpropaganda dan beragitasi hendaknya kita tidak mengharapkan hasil yang cepat
saja, karena intensitas dalam hal ini adalah mutlak diperlukan, kesabaran dan keuletan
kita dalam Agitasi-Propaganda akan mendapatkan hasil yang maksimum
 Tersistimatis dan Terukur
Agitasi-Propaganda yang tersistimatis artinya kita harus melakukannya sesuai material
yang ada, misalnya kita mau bilang kepada pak Tani bahwa harga pupuk naik lantaran
Globalisasi, tak mungkin kita langsung dengan gamblangnya bicara tentang Globalisasi
secara panjang-lebar dengan pak Tani tadi, untuk itu diperlukan langkah-langkah yang
bertahap dalam menjelaskan hal tersebut sehingga pak Tani mengerti.
Terukur artinya, hasil-hasil yang telah dicapai dalam tiap tahapannya harus dapat di
evaluasi sehingga dapat diambil keputusan untuk dinaikkan tingkatannya atau

ARSIP Dept Pendidikan SMI Pusat 2017


dipertahankan atau bahkan diturunkan, hal ini membutuhkan syrat bahwa kita harus
benar-benar terintegrasi dan mengakar dikalangan massa.
Agitasi dan propaganda tidak bisa dipisahkan dengan tujuan politis atau
memenangkan gagasan politik yaitu mewujudkan pembebasan nasional melawan
imperialisme karena setiap aktifitas membangun gagasan perlawanan haruslah dilakukan
secara kolektif dan tidak terpisahkan dari program Politik, Ideologi dan Organisasi. Adapun
beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam melakukan aktifitas Agitasi Propaganda adalah
sebagai berikut :
a. Garis Politik
Menyelipkan cita-cita organisasi dan garis politik dalam setiap aktifitas Agitasi dan
Propaganda adalah hal paling pokok karena yang membedakan agitasi-propaganda yang
dilakukan oleh organisasi revolusioner - progresif dengan elemen atau kelompok lain
adalah kemampuan mengorganisasikan massa dan mendorong kesadarannya untuk
berjuang bersama sesuai dengan cita-cita dan garis politik pembebasan nasional melawan
Imperialisme
b. Pilihan Issue
Ketajaman propaganda ditentukan oleh pilihan issue yang digunakan. Latar belakang
massa dan analisis SWOT digunakan untuk menentukan issue yang kemungkinan besar
akan diterima oleh massa sesuai dengan program politik yang telah ditetapkan. Semakin
issue itu mudah diterima oleh massa maka akan semakin besar peluang kita untuk
memenangkan gagasan. Hindari penggunaan bahasa yang tidak dipahami oleh massa atau
kurang populer, kalaupun ingin membuat karakter propaganda (istilah sendiri) haruslah
dimulai dengan hal yang paling dipahami massa.
c. Tujuan : membangun kesadaran dan mobilisasi massa
Tujuan propaganda bagi organisasi kita adalah untuk menyebarkan benih kesadaran
ke massa luas secara umum agar mau dan mampu bergerak dengan kesadaran atas
penindasan yang dirasakannya. Kesadaran massa pada umumnya masih mengikuti
paradigma umum yang berkembang di masyarakat yang secara umum enggan dan
berpilih-pilih dalam menyampaikan kegelisahan sosialnya. Untuk itu propaganda
memiliki tugas untuk dapat menumbuhkan semangat perlawanan terhadap ketidakadilan
dan mendorong keterlibatan massa dalam setiap isu yang disampaikan. Sehingga massa
menjadi terbuka dan peka terhadap isu-isu kerakyatan yang selama ini masih terbungkam
oleh kebudayaan bisu yang berkembang. Menjadi penting bagi kita untuk selalu
menyebarkan propaganda dimanapun kita berada. Karena setiap lingkungan adalah
panggung dan setiap kata kita adalah agitasi.

4. Jenis propaganda
a. White propaganda, yaitu propganda yang sumbernya dapat diidentifikasi secara jelas
dan terbuka. White propaganda juga disebut overt propaganda alias propaganda
terbuka. Dalam ajang pemilu, propganda jenis ini mudah dijumpai, juga dalam bidang
periklanan yang sering disebut propaganda komersil (commercial propaganda).
b. Black propaganda. Disebut juga covert propaganda atau propaganda terselubung,
yaitu propaganda yang seolah-olah menunjukan sumbernya, padahal bukan sumber
yang sebenarnya. Dengan kata lain, ini jenis propaganda lempar batu sembunyi
tangan. Karena sifatnya yang terselubung, sumber aslinya tidak di ketahui, sehingga
jika propaganda itu melanggar etika atau norma tertentu, maka sulit juga untuk
mengetahui kepada siapa pelanggaran itu seharusnya dialamatkan.Propaganda jenis
ini biasanya digunakan untuk melancarkan tuduhan, teror, dan sigma terhadap pihak
yang dimusuhinya. Jenis ini galibnya digunakan dalam perang opini.
c. Grey propagnda, yaitu propaganda yang seolah-olah berasal dari sumber yang netral,
padahal sebenarnya bersumber dari pihak lawan.

5. Macam Dan Bentuk Propaganda


Bentuk dari Agitasi-Propaganda dapat kita bagi menjadi tiga jenis, yaitu:

ARSIP Dept Pendidikan SMI Pusat 2017


1) Tulisan
Kelebihan dari Agitasi-Propaganda yang berbentuk tulisan adalah kita dapat
menyampaikannya secara lebih detil, kelemahannya adalah masih banyak orang
di Indonesia yang “ogah” membaca sebuah tulisan yang panjang apalagi ukuran
hurufnya (fonts) kecil-kecil. Usahakan dalam menulis kita menentukan sasaran
pembacanya, sehingga kita dapat menentukan tata-bahasa yang dipakai, bahasa
yang biasa dipakai dikalangan mahasiswa kemungkinan besar tidak dapat
dipakai di lingkungan Buruh atau KMK. Teori paling manjur adalah: “kalau
anak kecil mengerti apa yang kita mau sampaikan dalam tulisan, maka seorang
professorpun pasti juga mengerti”. Agitasi-Propaganda dalam bentuk tulisan
yang biasa dipakai adalah: Selebaran, Koran, Buletin, Buku, dll
2) Lisan
Kelebihan bentuk ini adalah kita dapat langsung terkadang secara interaktif
bertatap-muka dengan orang yang mau kita “agit”, untuk berpropaganda harus
dilakukan berkali-kali secara intensif, kelemahannya adalah tergantung
kemampuana seseorang dalam merangkai kata-kata yang tepat dan dapat
ditangkap. Agitasi-Propaganda dalam bentuk lisan antara lain: Orasi, Pidato,
siaran Radio, diskusi, obrolan person to person, dll
3) Visual
Dalam era Teknologi informasi yang menggila pada saat ini maka bentuk audio-
visual (youtube, video/film pendek) mengambil peranan yang sangat besar
dalam Agitasi-Propaganda, kelemahannya untuk media visual agar dapat
ditangkap harus dilakukan dengan intesitas yang sangat tinggi, butuh kerja otak
yang lebih kalau tanpa bantuan audio (suara), bentuknya baiasanya berupa:
lukisan, hapenning art, Graffiti, dll

6. Tekhnik Dan Kiat Praktis Agitasi Propaganda


Teknik agitasi biasanya lebih simpel dibandingkan propaganda karena agitasi
membangkitkan kesadaran massa dengan menjelaskan persoalan sesuai dengan situasi yang
dihadapi langsung dilapangan. Agitasi biasanya merupakan komunikasi langsung antara
agitator dengan massa melalui berbagai hal yang dianggap mampu menarik perhatian massa
terhadap persoalan yang terjadi.
 Membangun rasa penasaran
Sebaiknya propaganda dibuat dengan berkelanjutan dan menarik perhatian massa
agar mau bertindak lebih lanjut dalam aksi-aksi perlawanan terhadap sistem penindasan.
Namun bukan berarti proses penyampaian informasi harus diambigukan, namun sebisa
mungkin menumbuhkan kesadaran kepada massa agar terlibat lebih jauh dalam aktifitas
revolusioner.
 Awalan penyampaian isu
Dalam hegemoni sistem kapitalisme beberapa persoalan yang ada menjadi hal yang
“tidak nyata” bagi massa luas. Lewat berbagai perangkatnya, penguasa berusaha
memanipulasi kesadaran massa agar tunduk dan petuh terhadap sistem yang berlaku.
Dalam melakukan propaganda, kita harus jeli untuk menentukan isu yang mudah
ditangkap oleh massa berdasarkan jenis massa atau karakter massa (Baca : Materi
Pengorganisiran Massa) sehingga informasi atau pesan yang kita sampaikan akan dengan
mudah dipahami dan diikuti oleh massa.
 Memperkuat isu
Setelah isu ditangkap oleh massa, tugas kita adalah memperkuat isu tersebut dengan
melibatkan massa dengan aktifitas yang ilmiah atau bersentuhan langsung dengan situasi
atau isu yang diangkat, misalkan isu tentang pengekangan demokrasi bisa kita ajak massa
untuk menonton video/film pendek yang berkaitan dengan isu tersebut (agitasi) atau
membuat dan menyebar angket dan wawancara tentang isu pengekangan demokrasi.

ARSIP Dept Pendidikan SMI Pusat 2017


Memperkuat isu adalah mengilmiahkan dan menggiring wacana atau isu yang kita angkat
sehingga bisa diterima oleh massa luas dengan penuh kesadaran.
 Ajakan untuk merespon isu dan mengerjakan solusi
Proses akhir dari agitasi-propaganda tentunya adalah berjuang melakukan
perubahan dari situasi yang sebelumnya dianggap tidak baik menuju arah yang lebih baik.
Sebagai seorang propagandis tentunya akan mengarahkan massa untuk merubah situasi
dengan berbagai bentuk dan karikatif yang berujung pada aksi massa.

7. Simulasi dan evaluasi


Untuk memudahkan pemahaman tentang materi propaganda, peserta diberikan tugas
untuk menyusun materi agitasi dan propaganda tentang isu-isu kerakyatan (demokrasi
kampus,kapitalisasi pendidikan,transparansi anggaran,dll) dan mencoba
mempresentasikannya dengan peserta lain atau massa luas (tergantung metode workshop).
Dan lalu di evaluasi kelemahan sesuai dengan prinsip, tujuan dan jenis propaganda diatas.

Referensi :
 Buku suci terbitan dept.pendidikan dan propaganda KPP SMI 2006
 Kumpulan makalah dan pelatihan nasional propaganda
 Berry, D. (2008). Journalism, Ethics and Society. England: Ashgate Publishing
Limited.
 Dowd, D. (2000). Capitalism and its Economics: A Critical History. London: Pluto
Press.
 Cangara, Hafied, 1998, Pengantar Ilmu Komunikasi, Rajawali Press, Jakarta.
 Fulcher, J. (2004). Capitalism; Very Short Introduction. New York: Oxford
University Press Inc
 Habermas, J. (1989). The Structural Transformation of the Public Sphere. (trans)
homas Burger, Britain: Polity Press.
 Hamad I, (2004), Konstruksi Realitas Politik Dalam Media Massa, Jakarta, Granit
 Rachmadi, F. (1990.) Perbandingan Sistem Pers. Jakarta: Gramedia.
 Sudibyo Agus, (2006). Politik Media dan Pertarungan Wacana, Yogyakarta, LKIS

ARSIP Dept Pendidikan SMI Pusat 2017

Anda mungkin juga menyukai