Anda di halaman 1dari 22

KAJIAN YURIDIS BPHTB HIBAH WASIAT DITINJAU DARI UU NO.

1
TAHUN 2022 TENTANG HUBUNGAN KEUNGAN ANTARA
PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAH DAERAH

Disusun
Untuk Memenuhi Tugas Hukum Pajak
Program Magister Kenotariatan

Oleh :
EKA ADITYA JAYA
NPM. 2120020026

PROGRAM PASCASARJANA

MAGISTER KENOTARIATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SUMATERA UTARA

2023
BAB I
PENDAHUDULUAN
A. LATAR BELAKANG
Tanah merupakan sumber daya alam dapat dipandang sebagai tempat,

artinya titik pertemuan bagi kepentingan manusia dalam aktifitasnya sehari-hari,

berfungsi sebagai tempat tinggal, tempat berusaha, dan kegiatan lainnya. Hal ini

sesuai dengan pendapat Djarem Saragih (1986: 74) yang mengemukakan bahwa:

"Tanah adalah tempat dari mana manusia menjalani kehidupannya serta


memperoleh sumber untuk melanjutkan kehidupannya. Karena itu
sampai taraf perkembangan manusia sekarang ini mempunyai kebutuhan
terhadap tanah."
Pendapat Djarem Saragih tentang makna tanah sebagaimana

dikemukakan di atas cenderung melihat fungsi tanah sebagai bagian yang sangat

bermanfaat bagi manusia dalam menjalani aktifitas hidupnya sehari-hari.

Pentingnya tanah sebagai bagian dari alam bumi, maka sudah menjadi kewajiban

bagi umat manusia untuk memelihara guna memanfaatkan untuk kepentingan

makhluk hidup khususnya manusia menuju tercapainya kebutuhan sandang,

pangan, dan papan manusia. Tanah juga merupakan komoditas dan faktor

produksi yang dicari oleh manusia, sekaligus merupakan simbol status yang

penting untuk menunjukkan "keberadaan" seseorang. Sebagai simbol status orang

selalu menginginkan memiliki tanah yang luas, bidang tanah yang banyak, dan

terletak pada posisi yang strategis. Tanah sebagai simbol status merupakan salah

satu motif yang mendorong orang untuk menguasai tanah. Karena tanah begitu

berharga dan mempunyai peranan yang sangat strategis untuk kehidupan manusia,

maka manusia berusaha memiliki dan menguasainya.


Selain tanah, bangunan juga merupakan benda yang penting bagi

manusia. Tanah sebagai media sedangkan bangunan adalah hasil produksi

manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, dengan upaya yang ditempuh

berkaitan dengan keterbatasan tanah sehingga pembangunan dilakukan secara

vertikal ditandai dengan banyaknya bangunan berlantai banyak. Pemanfaatan

tanah bukan sebatas di permukaan saja melainkan juga pada bagian bawah tanah

atau dalam tubuh bumi untuk mengoptimalkan fungsi tanah.

Sebagai benda yang penting bagi manusia, tanah dan bangunan menjadi

lebih bernilai karena dapat beralih dan dialihkan haknya oleh pemilik kepada

pihak lain yang menginginkannya. Peralihan pemilikan terjadi melalui perbuatan

hukum tertentu antara lain jual beli, tukar menukar, hibah, wasiat, dan Iain-Iain.

Peralihan hak atas tanah dan bangunan melibatkan pihak yang mengalihkan dan

pihak yang menerima peralihan hak. Masing-masing mempunyai konsekuensi

berupa kewajiban dan hak berkaitan dengan peralihan hak tersebut. Pihak yang

memperoleh hak atas tanah dan bangunan dapat berupa orang pribadi atau badan

yang sesuai peraturan perundang-undangan boleh memiliki suatu hak atas tanah

atau bangunan. Kewajiban yang hams dipenuhi berkaitan dengan perolehan hak

atas tanah dan bangunan ini adalah menyerahkan sebagian nilai ekonomi yang

diperolehnya kepada negara melalui pembayaran pajak.

Pasal 2 PP No. 113 Tahun 2000 menyebutkan sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 1, besarnya NPOPTKP ditetapkan oleh Menteri Keuangan untuk

setiap Kabupaten/Kota dengan memperhatikan usulan Pemerintah Daerah.

Sehubungan adanya Otonomi Daerah yang memberikan kewenangan kepada


daerah untuk mengatur sendiri rumah tangganya. Usulan Pemerintah Daerah ini

tentunya dengan mempertimbangkan tingkat perekonomian masyarakat,

perkembangan ekonomi dan perkembangan harga umum tanah dan atau

bangunan. Dengan demikian tiap Kabupaten/Kota memiliki ketetapan yang

berbeda, sesuai dengan perekonomian regional masing-masing.

Selanjutnya UU No. 21 Tahun 1997 jo UU No. 20 Tahun 2000

menyebutkan dalam penjelasannya bahwa semua pungutan atas perolehan hak

atas tanah dan atau bangunan di luar ketentuan undang-undang ini tidak

diperkenankan. Artinya segala pungutan yang ada kaitannya dengan perolehan

hak, kecuali biaya resmi yang berkaitan dengan pembuatan akta dan pendaftaran

hak atas tanah dan bangunan yang telah ditetapkan sesuai dengan ketentuan yang

berlaku, tidak boleh dilakukan oleh pihak manapun. Pada dasarnya pungutan

terdiri atas pajak dan retribusi/sumbangan. Pajak yang dikenakan dalam perolehan

hak atas tanah dan bangunan adalah BPHTB dan PPh. Namun, obyek pajaknya

berbeda. Jika BPHTB seperti dijelaskan di atas obyek pajaknya adalah perolehan

hak atas tanah dan atau bangunan. Sedangkan Pajak Penghasilan berdasarkan UU

No. 17 Tahun 2000 obyek pajaknya adalah penghasilan yaitu setiap tambahan

kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak baik yang berasal

dari Indonesia maupun dari luar Indonesia yang dapat dipakai untuk konsumsi

atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan dengan nama dan

dalam bentuk apapun termasuk salah satunya berupa keuntungan karena penjualan

atau pengalihan harta. Selain pungutan berupa pajak, biasanya ada daerah yang

juga menyertakan sumbangan dalam perolehan hak atas tanah dan bangunan ini.
Sumbangan yang dimaksud berupa sumbangan kas desa yang ditetapkan oleh

Pemerintah Daerah setempat.

Peralihan hak karena jual beli agar mempunyai kekuatan hukum yang

penuh, maka hams dilakukan di hadapan PPAT dan didaftarkan pada Kantor

Pertanahan setempat. Pendaftaran peralihan hak dilakukan disamping untuk

menjamin kepastian hukum secara penuh, juga penting untuk ketertiban

administrasi pertanahan. Ketertiban administrasi pertanahan tidak dapat terwujud

tanpa kesadaran masyarakat untuk mendaftarkan hak atas tanahnya pada Kantor

Pertanahan. Namun, pengenaan BPHTB dalam peralihan hak karena jual beli

sekaligus sebagai syarat dalam pendaftaran peralihan hak, merupakan beban bagi

masyarakat sehingga berpengaruh terhadap permohonan pendaftaran peralihan

hak karena jual beli.

B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan pemaparan latar belakang diatas maka penulis membuat
rumusan masalah sebagai berikut :
1. Bagaimana ketentuan tentang penetapan besarnya NPOPTKP dalam
pengenaan BPHTB berdasarkan UU HKPP?
2. Bagaimana kepastian hukum ketentuan tentang penetapan besarnya
NPOPTKP dalam pengenaan BPHTB atas hibah wasiat tertentu
berdasarkan Pasal 46 Ayat (7) UU HKPP?
BAB II
PEMBAHASAN

A. KETENTUAN TENTANG PENETAPAN BESARNYA NPOPTKP


DALAM PENGENAAN BPHTB BERDASARKAN UU HKPP

Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak merupakan pengurangan

yang diberikan dalam perhitungan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan

(BPHTB) untuk mengurangi besaran pajak yang harus dibayarkan oleh wajib

pajak. Besaran NPOPTKP ditetapkan paling rendah sebesar Rp60.000.000,- untuk

setiap wajib pajak dan diberikan satu kali seumur hidup atas objek BPHTB

tersebut. Dalam perhitungan BPHTB, NPOPTKP dikurangkan dari Nilai

Perolehan Objek Pajak (NPOP) untuk mendapatkan Dasar Pengenaan Pajak

(DPP) yang kemudian dikalikan dengan tarif pajak 5% untuk mendapatkan

besaran pajak yang harus dibayarkan oleh wajib pajak.

Ketentuan tentang penetapan besarnya NPOPTKP dalam pengenaan

BPHTB berdasarkan UU HKPP:

1. Besaran NPOPTKP ditetapkan dengan Peraturan Daerah

2. Besarnya Nilai NPOPTKP ditetapkan sebesar Rp. 60 juta untuk setiap

wajib pajak

3. Besarnya NPOPTKP di masing-masing wilayah berbeda-beda, namun

berdasarkan Undang-Undang No. 28 tahun 2009 pasal 87 ayat 4

ditetapkan besaran.

4. Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 27 tahun 2016 tentang Petunjuk

Pelaksanaan Lelang menyebutkan bahwa Pembeli akan mendapatkan

dokumen bukti kepemilikan jika sudah menyerahkan tanda bukti


pelunasan pembayaran dan bukti setor Bea Perolehan Hak atas Tanah dan

Bangunan (BPHTB). Besaran pokok Bea Perolehan Hak atas Tanah dan

Bangunan yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif dengan

Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP) setelah dikurangi Nilai Perolehan

Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP).

Dari ketentuan di atas, dapat disimpulkan bahwa besaran NPOPTKP

ditetapkan dengan Peraturan Daerah dan berbeda-beda di setiap wilayah. Besaran

NPOPTKP di Kota Magelang, misalnya, sebesar Rp. 60 juta untuk setiap wajib

pajak. Besaran pokok BPHTB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan

tarif dengan NPOP setelah dikurangi NPOPTKP.

NJOPTKP dan NPOPTKP adalah dua hal yang berbeda dan memiliki

pengertian yang berbeda pula. Berikut adalah perbedaan antara NJOPTKP dan

NPOPTKP :

1. NJOPTKP adalah singkatan dari Nilai Jual Objek Tidak Kena Pajak.

NJOPTKP digunakan untuk menentukan besar pajak Pajak Bumi dan

Bangunan (PBB) dengan cara mengurangi Nilai Jual Objek Pajak (NJOP)

dengan NJOPTKP. NJOPTKP ditetapkan paling rendah sebesar

Rp10.000.000,- untuk setiap wajib pajak dan diberikan satu kali per

tahun pajak

2. NPOPTKP adalah singkatan dari Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak

Kena Pajak. NPOPTKP digunakan untuk mengurangi besaran pajak yang

harus dibayarkan oleh wajib pajak dalam perhitungan Bea Perolehan Hak

atas Tanah dan Bangunan (BPHTB). Besaran NPOPTKP ditetapkan


paling rendah sebesar Rp60.000.000,- untuk setiap wajib pajak dan

diberikan satu kali seumur hidup atas objek BPHTB tersebut

Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa NJOPTKP digunakan

dalam perhitungan PBB, sedangkan NPOPTKP digunakan dalam perhitungan

BPHTB. Selain itu, besaran NJOPTKP diberikan satu kali per tahun pajak,

sedangkan besaran NPOPTKP diberikan satu kali seumur hidup atas objek

BPHTB tersebut.

Objek pajak yang termasuk dalam NPOPTKP adalah objek Bea

Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) yang diberikan NPOPTKP

sebesar Rp60.000.000,- untuk setiap wajib pajak. Objek BPHTB yang diberikan

NPOPTKP sebesar satu kali seumur hidup atas objek BPHTB tersebut. Objek

BPHTB yang diberikan NPOPTKP meskipun wajib pajak memiliki beberapa

objek PBB-P2 atau melakukan transaksi yang menyebabkan peralihan hak atas

tanah dan/atau bangunan lebih dari satu kali di wilayah kabupaten/kota

bersangkutan. Objek BPHTB yang diberikan NPOPTKP dalam perhitungan

BPHTB yang dilakukan dengan rumus Tarif Pajak 5% x Dasar Pengenaan Pajak

(NPOP – NPOPTKP). Besaran NPOPTKP ditetapkan dengan Peraturan Daerah

dan berbeda-beda di setiap wilayah.

Cara mengajukan permohonan hibah wasiat :

1. Tentukan jenis hibah yang ingin Anda ajukan. Terdapat beberapa jenis

hibah, antara lain hibah mutlak, hibah amanah, dan hibah bersyarat

2. Siapkan dokumen-dokumen yang diperlukan untuk mengajukan

permohonan hibah wasiat. Dokumen yang diperlukan dapat berbeda-beda


tergantung pada jenis hibah yang Anda ajukan. Beberapa dokumen yang

mungkin diperlukan antara lain pernyataan harta yang ingin dihibahkan,

pernyataan pemberian harta yang dihibahkan, dan pelantikan wasi dan

pemegang amanah

3. Ajukan permohonan hibah wasiat ke lembaga atau instansi yang

berwenang. Di Indonesia, permohonan hibah wasiat dapat diajukan ke

notaris atau instansi pemerintah yang berwenang seperti Badan

Pertanahan Nasional (BPN) atau Kantor Pertanahan setempat

4. Ikuti proses yang ditetapkan oleh lembaga atau instansi yang Anda

ajukan. Proses pengajuan hibah wasiat dapat berbeda-beda tergantung

pada lembaga atau instansi yang Anda ajukan. Pastikan Anda mengikuti

prosedur yang ditetapkan agar permohonan hibah wasiat Anda dapat

diproses dengan baik

5. Setelah permohonan hibah wasiat disetujui, Anda dapat menerima hak

atas tanah dan/atau bangunan yang dihibahkan sesuai dengan ketentuan

yang berlaku

Berikut adalah beberapa dokumen yang dibutuhkan untuk mengajukan

permohonan hibah wasiat:

1. Borang permohonan hibah. Dokumen ini berisi informasi tentang

identitas pemberi hibah, penerima hibah, serta rincian harta yang akan

dihibahkan.
2. Pernyataan harta yang ingin dihibahkan. Dokumen ini berisi informasi

tentang jenis harta yang akan dihibahkan, nilai harta, serta kondisi harta

tersebut

3. Pernyataan pemberian harta yang dihibahkan. Dokumen ini berisi

informasi tentang penerima hibah, jumlah harta yang dihibahkan, serta

kondisi pemberian harta tersebut

4. Pelantikan wasi dan pemegang amanah. Dokumen ini berisi informasi

tentang identitas wasi dan pemegang amanah yang akan menangani hibah

wasiat tersebut

5. Dokumen pengenalan diri pemberi hibah dan penerima hibah. Dokumen

ini berisi informasi tentang identitas pemberi hibah dan penerima hibah,

seperti KTP atau paspor

6. Akta kelahiran atau akta pengangkatan bagi penerima hibah amanah yang

masih di bawah umur

B. KEPASTIAN HUKUM KETENTUAN TENTANG PENETAPAN


BESARNYA NPOPTKP DALAM PENGENAAN BPHTB ATAS HIBAH
WASIAT TERTENTU BERDASARKAN PASAL 46 AYAT (7) UU HKPP

Sejarah singkat tentang dasar hukum BPHTB sebelum dikeluarkannya

Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah

dan Bangunan (sebelum menjadi pajak daerah), ada pemungutan pajak dengan

nama Bea Balik Nama yang diatur dalam ordonansi Bea Balik Nama Staatsblaad

1924 Nomor 291. Bea Balik Nama ini dipungut setiap ada perjanjian pemindahan

hak atas harta tetap yang ada di Indonesia, termasuk peralihan harta karena hibah
wasiat. Pengertian harta tetap tersebut adalah barang-barang tetap dan hak-hak

kebendaan atas tanah, yang pemindahan haknya dilakukan dengan pembuatan

akta menurut cara yang diatur dalam undang-undang, yaitu Ordonansi Balik

Nama Staatsblaad 1834 Nomor 27. Memasuki tahun 1960, keluarlah Undang-

Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria

(selanjutnya disebut UUPA), maka hak-hak atas kebendaan sebagaimana yang

disebutkan diatas dinyatakan tidak berlaku lagi. Hak-hak kebendaan tersebut

digantikan dengan beberapa jenis hak-hak baru yang diatur secara rinci dalam

UUPA seperti hak milik, hak guna bangunan, hak guna usaha dan lain sebagainya,

sehingga bea balik nama atas harta tetap berupa hak atas tanah tidak dipungut lagi.

Untuk menggantikan bea balik nama yang sudah tidak berlaku lagi, yang

dengan terbitnya UUPA sudah tidak dipungut lagi, maka pemerintah memandang

perlu untuk melakukan pemungutan pajak atas suatu perolehan hak atas tanah

dan/atau bangunan yang kemudia disebut dengan Bea Perolehan Hak Atas Tanah

dan Bangunan (BPHTB). Untuk menindaklanjuti hal tersebut, keluarlah UU

Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan pada

tanggal 29 Mei 1997. Kemudian dilakukan perubahan terhadap UU Nomor 21

Tahun 1997 tersebut dengan UU Nomor 20 Tahun 2000. BPHTB yang diatur

dalam UU Nomor 20 Tahun 2000 merupakan pajak pusat yang dipungut langsung

oleh pemerintah pusat.

Kemudian sebagai bentuk nyata pemerintah pusat untuk menerapkan

otonomi daerah seutuhnya, dilakukanlah pengalihan beberapa jenis pajak yang

awalnya merupakan pajak pusat, dialihkan pemungutan dan pemanfaatannya bagi


pemerintah daerah. BPHTB adalah salah satu jenis pajak yang dialihkan menjadi

pajak daerah. Pengalihan beberapa jenis pajak dan retribusi yang juga dipungut

oleh pemerintah daerah ini, selanjutnya oleh pemerintah dituangkan ke dalam UU

PDRD.

Hibah wasiat adalah istilah hukum yang merujuk pada proses pemberian

harta atau aset kepada penerima hibah (pihak yang menerima) berdasarkan

ketentuan yang tercantum dalam wasiat (testament) dari pemberi hibah (pihak

yang memberi). Istilah ini umumnya digunakan dalam konteks hukum waris, di

mana seorang individu yang memiliki aset atau harta ingin mendistribusikannya

setelah meninggal dunia.

Proses hibah wasiat biasanya berjalan sebagai berikut :

1. Pembuatan Wasiat: Pemberi hibah (testator) menyusun dokumen hukum

yang disebut wasiat. Dalam wasiat, testator menyatakan bagaimana harta

atau asetnya akan didistribusikan setelah meninggal dunia.

2. Penerima Hibah: Dalam wasiat, testator menunjuk penerima hibah (ahli

waris) yang akan menerima harta atau aset tersebut.

3. Meninggal Dunia: Setelah testator meninggal dunia, wasiat akan

dievaluasi oleh pihak berwenang, seperti pengadilan atau notaris, untuk

memastikan keabsahan dan keberlakuan dokumen tersebut.

4. Pelaksanaan Wasiat: Setelah wasiat dinyatakan sah, harta atau aset yang

diwariskan akan didistribusikan kepada penerima hibah sesuai dengan

instruksi dalam wasiat.


BPHTB atau Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah pajak

yang dikenakan atas peralihan hak atas tanah dan/atau bangunan. Dalam kasus

hibah wasiat, peralihan hak atas tanah dan/atau bangunan dari pemberi hibah

(testator) kepada penerima hibah (ahli waris) menjadi objek BPHTB.

NPOPTKP atau Nilai Pengalihan Objek Pajak Terutang Kenaikan Pajak

adalah nilai batas maksimum objek hibah yang dapat dikecualikan dari kewajiban

pembayaran BPHTB. Besarnya NPOPTKP berbeda tergantung pada hubungan

keluarga antara pemberi hibah dan penerima hibah. Jika penerima hibah adalah

anak atau orang tua kandung pemberi hibah, maka besarnya NPOPTKP akan lebih

tinggi. Jika penerima hibah adalah saudara kandung atau saudara tiri pemberi

hibah, maka besarnya NPOPTKP lebih rendah dari pada penerima hibah yang

merupakan anak atau orang tua kandung.

Pemerintah Indonesia dapat mengubah besarnya NPOPTKP setiap tahun

berdasarkan ketentuan perpajakan yang berlaku. Perubahan tersebut biasanya

diumumkan melalui peraturan perundang-undangan pajak, seperti Keputusan

Menteri Keuangan atau Surat Edaran Direktorat Jenderal Pajak.

Dalam Pasal 46 Ayat (7) UU No 1 tahun 2022, hibah wasiat merujuk

pada perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan yang diterima oleh seseorang

melalui hibah yang diatur dalam wasiat. Dalam konteks ini, hibah wasiat mengacu

pada transfer kepemilikan properti yang dilakukan melalui wasiat yang ditetapkan

oleh pemberi waris sebelum meninggal dunia.

Pasal 46 Ayat (7) UU No 1 tahun 2022 menyatakan bahwa dalam hal

perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan melalui hibah wasiat tertentu,
NPOPTKP yang diberikan adalah sebesar Rp10.000.000,- untuk setiap wajib

pajak. Hal ini berarti bahwa dalam perhitungan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan

Bangunan (BPHTB) atas hibah wasiat tertentu, besaran NPOPTKP yang

digunakan adalah sebesar Rp10.000.000,-. Perlu diingat bahwa besaran

NPOPTKP dapat berbeda-beda di setiap wilayah dan ditetapkan dengan Peraturan

Daerah.

NPOPTKP (Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak) adalah nilai

yang digunakan sebagai dasar pengenaan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan

Bangunan (BPHTB) yang tidak dikenakan pajak. Dalam pengenaan BPHTB atas

hibah wasiat, NPOPTKP digunakan untuk menentukan besarnya nilai objek pajak

yang tidak dikenakan pajak. Besarnya NPOPTKP untuk hibah wasiat tertentu

ditetapkan oleh pemerintah daerah setempat dan harus memperhatikan asas-asas

keadilan, kepastian hukum, legalitas, dan kesederhanaan serta didukung oleh data

dan informasi yang akurat dan terpercaya. Besarnya NPOPTKP dapat berbeda-

beda antara satu daerah dengan daerah lainnya tergantung pada kebijakan

pemerintah daerah setempat dalam menetapkan besarnya NPOPTKP.

Ketentuan tentang penetapan besarnya NPOPTKP dalam pengenaan

BPHTB atas hibah wasiat tertentu diatur dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun

2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Berdasarkan Pasal 146 ayat (7)

UU tersebut, penetapan besarnya NPOPTKP untuk hibah wasiat tertentu

dilakukan oleh pemerintah daerah setempat.Dalam penetapan besarnya

NPOPTKP, pemerintah daerah harus memperhatikan asas-asas keadilan, kepastian

hukum, legalitas, dan kesederhanaan serta didukung oleh data dan informasi yang
akurat dan terpercaya. Dengan demikian, penetapan besarnya NPOPTKP harus

didasarkan pada data dan informasi yang akurat dan terpercaya agar dapat

memberikan kepastian hukum bagi wajib pajak.

Dalam praktiknya, penetapan besarnya NPOPTKP untuk hibah wasiat

tertentu dapat berbeda-beda antara satu daerah dengan daerah lainnya. Hal ini

tergantung pada kebijakan pemerintah daerah setempat dalam menetapkan

besarnya NPOPTKP. Oleh karena itu, wajib pajak yang akan melakukan

pengenaan BPHTB atas hibah wasiat tertentu harus memperhatikan ketentuan

yang berlaku di daerah setempat.Dalam hal terdapat perbedaan pendapat antara

wajib pajak dengan pemerintah daerah mengenai penetapan besarnya NPOPTKP,

maka dapat dilakukan upaya penyelesaian sengketa sesuai dengan ketentuan yang

berlaku.

Berikut adalah cara menghitung BPHTB atas hibah wasiat:

1. Tentukan nilai objek pajak: Nilai objek pajak adalah nilai pasar dari tanah

atau bangunan yang dihibahkan. Nilai ini dapat ditentukan berdasarkan

NJOP (Nilai Jual Objek Pajak) atau NPOP (Nilai Perolehan Objek

Pajak).

2. Kurangi NPOPTKP: NPOPTKP (Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak

Kena Pajak) adalah nilai yang digunakan sebagai dasar pengenaan

BPHTB yang tidak dikenakan pajak. Besarnya NPOPTKP untuk hibah

wasiat tertentu ditetapkan oleh pemerintah daerah setempat dan dapat

berbeda-beda antara satu daerah dengan daerah lainnya. Besarnya


NPOPTKP harus dikurangi dari nilai objek pajak untuk menentukan

besarnya nilai objek pajak yang dikenakan pajak.

3. Hitung tarif BPHTB: Tarif BPHTB adalah 5% dari nilai objek pajak yang

dikenakan pajak.

4. Hitung besarnya BPHTB: Besarnya BPHTB dapat dihitung dengan

mengalikan nilai objek pajak yang dikenakan pajak dengan tarif BPHTB.

Dengan mengetahui cara menghitung BPHTB atas hibah wasiat,

diharapkan dapat membantu wajib pajak dalam menyiapkan persyaratan BPHTB

dan memenuhi kewajiban pajak yang berlaku.

Hibah wasiat atau Legaat adalah suatu penetapan yang khusus di dalam

suatu testament, dengan mana si pemberi wasiat memberikan seorang (atau lebih)

seluruh atau sebagian dari harta kekayaannya, kalau ia meninggal dunia.18 Suatu

hibah wasiat (legaat) sangat erat kaitannya dengan surat wasiat (testament).

Menurut bentuknya terdapat 3 (tiga) macam testament, yaitu : Openbaar

Testament, Olografis Testament dan Testament Tertutup dan Rahasia.19 Penetapan

besar NPOPTKP tersebut berdasarkan perumbuhan perkekonomian Indonesia,

karena seiring perkembangan zaman perekonomian Indonesia juga semakin maju

dan bertumbuh pesat. Pada saat UU Nomor 20 Tahun 2000 tentang Perubahan atas

UU Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan

berlaku, NPOPTKP ditetapkan sebesarbesarnya Rp. 60.000.000 (enam puluh juta

rupiah) untuk setiap wajib pajak dan Rp. 300.000.000 (tiga ratus juta rupiah)

untuk penerimaan waris dan hibah wasiat. Namun setelah berlakunya UU Nomor

28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, NPOPTKP berubah
menjadi paling rendah Rp. 60.000.000 (enam puluh juta rupiah) untuk setiap

wajib pajak dan Rp. 300.000.000 (tiga ratus juta rupiah) untuk penerimaan waris

dan hibah wasiat.

Di dalam UU PDRD Pasal 87 ayat (6), disebutkan NPOPTKP ditetapkan

dengan peraturan daerah. Sebagai contoh dan perbandingan, kita akan melihat

perbedaan besar NPOPTKP untuk waris dan hibah wasiat dengan bukan waris dan

hibah wasiat antara Kota Jakarta dan Kota Medan. Di Kota Jakarta, dalam Perda

Prov. DKI Jakarta No.18 Tahun 2010 tentang BPHTB, pasal 5 ayat (7) dan (8)

disebutkan : besarnya NPOPTKP ditetapkan sebesar Rp. 80.000.000 (delapan

puluh juta rupiah) untuk setiap wajib pajak dan dalam hal perolehan hak karena

waris dan hibah wasiat yang diterima orang pribadi yang masih dalam hubungan

garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau ke bawah dengan pemberi hibah

wasiat atau waris ditetapkan NPOPTKP sebesar Rp. 350.000.000 (tiga ratus lima

puluh juta rupiah).

Berbeda dengan Kota Jakarta, NPOPTKP di Kota Medan tidak

mengalami perubahan sama sekali. Di dalam Perda Kota Medan No.1 Tahun 2011

tentang BPHTB, pasal 4 ayat (7) dan (8) disebutkan : besarnya NPOPTKP

ditetapkan sebesar Rp. 60.000.000 (enam puluh juta rupiah) untuk setiap wajib

pajak dan besarnya NPOPTKP untuk perolehan hak karena waris atau hibah

wasiat yang diterima orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah

dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu derajat ke bawah dengan

pemberi wasiat, termasuk suami/istri, ditetapkan sebesar Rp. 300.000.000 (tiga


ratus juta rupiah). Secara garis besar isi dari Perda Kota Medan mengikuti UU

PDRD.

Pandangan-pandangan Aristoteles tentang keadilan bisa kita dapatkan

dalam karyanya nichomachean ethics, politics, dan rethoric. Lebih khususnya,

dalam buku nicomachean ethics, buku itu sepenuhnya ditujukan bagi keadilan,

yang berdasarkan filsafat umum Aristoteles mesti dianggap sebagai inti dari

filsafat hukumnya karena hukum hanya bisa ditetapkan dalam kaitannya dengan

keadilan. Yang sangat penting dari pandangannya ialah pendapat bahwa keadilan

mesti dipahami dalam pengertian kesamaan. Namun Aristoteles membuat

pembedaan penting antara kesamaan numerik dan kesamaan proporsional.

Kesamaan numerik mempersamakan setiap manusia sebagai satu unit.

Inilah yang sekarang biasa kita pahami tentang kesamaan dan yang kita

maksudkan ketika kita mengatakan bahwa semua warga adalah sama di depan

hukum. Kesamaan proporsional memberi tiap orang apa yang menjadi haknya

sesuai dengan kemampuannya, prestasinya, dan sebagainya. Dari pembedaan ini

Aristoteles menghadirkan banyak kontroversi dan perdebatan seputar keadilan.

Lebih lanjut Aristoteles membedakan keadilan menjadi jenis keadilan distributif

dan keadilan korektif. Yang pertama berlaku dalam hukum publik yang kedua

dalam hukum perdata dan pidana. Keadilan distributif dan korektif sama-sama

rentan terhadap problema kesamaan atau kesetaraan dan hanya bisa dipahami

dalam kerangkanya. Dalam wilayah keadilan distributif, hal yang penting ialah

bahwa imbalan yang sama-rata diberikan atas pencapaian yang sama rata. Pada
yang kedua yang menjadi persoalan ialah bahwa ketidaksetaraan yang disebabkan

oleh, misalnya pelanggaran kesepakatan, dikoreksi dan dihilangkan.

Sebelum berlakunya UU PDRD, didalam UU BPHTB Nomor 20 Tahun

2000 tentang perubahan atas UU Nomor 21 Tahun 1997 tertulis tentang besarnya

BPHTB terutang terhadap penerima waris dan hibah wasiat serta dengan

pengurangannya. Didalam pasal 3 UU BPHTB Ayat (2) menyebutkan : objek

pajak yang diperoleh karena waris hibah wasiat dan pemberian hak pengelolaan

pengenaan pajaknya diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Peraturan Pemerintah yang dimaksud adalah Peraturan Pemerintah

Nomor 111 Tahun 2000 tentang Pengenaan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan

Bangunan. Namun, setelah diterbitkannya UU PDRD, maka ketentuan di dalam

UU BPHTB tidak berlaku lagi, dan secara otomatis Peraturan Pemerintah dan

Peraturan Menteri Keuangan yang lama tidak berlaku lagi. Pengurangan BPHTB

untuk perolehan waris dan hibah wasiat tidak diatur lagi di dalam UU, tetapi

diatur di dalam Perda masing-masing daerah. Hal tersebut di atas menimbulkan

ketidakpastian hukum, karena di setiap daerah berbeda-beda sistem dan prosedur

pengurangan BPHTB-nya.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Pemenuhan asas kepastian hukum tentang pengurangan BPHTB terutang

terhadap penerima waris dan hibah wasiat dalam hal ini tidak terpenuhi, karena

proses pemberian pengurangan BPHTB tiap daerah tersebut berbedabeda. Sebagai

contoh Kota Medan dan Jakarta. Di Jakarta, proses pengurangan BPHTB itu

adalah langsung. Setiap Wajib Pajak yang menerima waris dan hibah wasiat

langsung diberi pengurangan sebesar 50% (lima puluh persesn). Berbeda dengan

kota Medan yang proses pemberian pengurangan BPHTB tersebut harus

mengajukan SK Permohonan Pengurangan BPHTB kepada Dinas Pendapatan

Daerah kota Medan yang bisa saja diterima atau ditolak. Dalam hal ini sebaiknya

seluruh pemerintah daerah menyamakan proses proses pemberian pengurangan

BPHTB untuk waris dan hibah wasiat.

B. SARAN
Hendaknya disetiap peraturan daerah yang ada dalam memungut BPHTB

menekankan kembali besarnya nilai NPOPTKP seperti ketentuan Pasal 87 ayat (4)

dan (5) UU No.28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, agar

masyarakat lebih mengerti mengenai NPOPTKP disetiap daerah.


DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman, Muslan, Sosiologidan Metode Penelitian Hukum, Malang, UMM

Press, 2009

Bohari, Pengantar Hukum Pajak, Edisi 7, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada,

2008

Brotodihardjo, R. Santoso, Pengantar Ilmu Hukum Pajak, Bandung, PT. Eresco,

1993

Devano, Sony, Perpajakan Konsep Teori dan Isu, Jakarta, Kencana, 2006

Friedrich, Carl Joachim, Filsafat Hukum Perspektif Historis, Bandung, Nuansa

dan Nusa Media, 2004

HS, Salim, Penerapan Teori Hukum Pada Penelitian Tesis dan Disertasi, Jakarta,

PT. Raja Grafindo Persada, 2013

Ibrahim, Johny, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Surabaya,

Bayu media, 2008

Ilyas B Wirawan , Hukum Pajak, Jakarta, Salemba Empat, 2001

Mansury, R., Pajak Penghasilan Lanjutan, Jakarta, Ind-Hill Co, 1996

Marhainis Abdul Hay, Dasar-dasar Hukum Pajak, Jakarta ,Yayasan Pembinaan,

Keluarga UPN Veteran, 1984

Markus, Muda, Perpajakan Indonesia Suatu Pengantar, (Jakarta : PT. Gramedia

Pustaka Utama, 2005)


Marzuki, Peter Mahmud , Penelitian Hukum, Jakarta, Kencana, 2009

Mustaqiem, H, Pajak Daerah Dalam Transisi Otonomi Daerah, Yogyakarta, FH

UII PRESS, 2008

Rosdiana, Haula, Perpajakan Teori dan Aplikasi, Jakarta, PT. Raja grafindo

Persada, 2005

Siahaan, Marihot Pahala, Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, Jakarta, PT. Raja

Grafindo Persada, 2005

Sjarif, Surini Ahlan, Hukum Kewarisan Perdata Barat, Jakarta, Kencana, 2006

Soemitro, Ronny Hanitijo, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri,

Jakarta, Ghalia Indonesia, 1990

Soemitro, Rochmat, Asas-Asas Hukum Perpajakan, Jakarta, Badan Pembinaan

Hukum Nasional Departmen Kehakiman, 1991

Sudarsono, Hukum Waris dan Sistem Bilateral, Jakarta, Rineka Cipta, 1991

Suprayitno, Heru, Cara Menghitung PBB, BPHTB dan Bea Materai, Jakarta, PT.

Indeks, 2011

Syahrani, Riduan, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, Bandung, Citra Aditya Bakti,

1999

Tutik, Titik Triwulan, Pengantar Hukum Perdata Di Indonesia, Jakarta, Prestasi

Pustaka Publisher, 2006

Anda mungkin juga menyukai