Anda di halaman 1dari 20

TINJAUAN YURIDIS PENERAPAN VALIDASI BPHTB

MENGGUNAKAN NJOP TERBARU TERHADAP TRANSAKSI PADA


AKTA JUAL BELI TANAH YANG DIBUAT PPAT/PPATS DENGAN
DASAR TRANSAKSI DAN NJOP LAMA BERDASARKAN UU NOMOR
28 TAHUN 2009 JUNTO PERBUP 8 TAHUN 2015

Usulan Penelitian Skripsi


Diajukan untuk memenuhi syarat
guna mencapai gelar Sarjana Hukum

Oleh:
Mochamad Andre Prayudi
NPM :194301097
Program Studi : Ilmu Hukum
Program Kekhususan : Hukum Keperdataan

Pembimbing:
Ina Budhiarti, S.H., M.Kn.

SEKOLAH TINGGI HUKUM BANDUNG


2023
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI......................................................................................................................i
BAB I PENDAHULUAN.................................................................................................1
A. Latar Belakang Masalah......................................................................................1
B. Identifikasi Masalah.............................................................................................5
C. Tujuan Penelitian.................................................................................................6
D. Kegunaan Penelitian............................................................................................6
E. Kerangka Pemikiran............................................................................................6
F. Metode Penelitian...............................................................................................12
G. Sistematika Penulisan........................................................................................14
DAFTAR PUSTAKA.....................................................................................................15

i
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Tanah merupakan suatu hal yang dibutuhkan oleh manusia untuk
memenuhi kebutuhan hidup. Manusia hidup dan melakukan aktifitas setiap
saat diatas tanah, maka dari itu dapat dikatakan manusia selalu berhubungan
dengan tanah baik secara langsung maupun secara tidak langsung. Tanah
merupakan kebutuhan dasar yang harus dipenuhi oleh manusia selain
makanan dan pakaian. Begitu berharganya tanah, sehingga manusia akan
selalu berupaya untuk mendapatkan tanah, dari upaya membeli dari pemilik
tanah, melakukan tukar menukar, dan membuka hutan atau ladang.
Perbuatan-perbuatan di atas mengakibatkan pemilikan dan hak penguasaan
tanah beralih dari satu pihak ke pihak yang lain. 1 Peralihan hak atas tanah
dan bangunan berkaitan erat dengan kepastian hukum dan ditandai oleh
adanya bukti atas peralihan hak tersebut. Untuk memberikan kekuatan dan
kepastian hukum pemilikan tanah dan bangunan setiap peralihan hak atas
tanah dan atau bangunan harus dilakukan secara tertulis dengan akta yang
dibuat oleh pejabat yang berwenang, serta wajib didaftarkan pada instansi
yang berwenang, yaitu Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota setempat.
Dengan demikian, hak atas tanah dan bangunan secara sah ada pada pihak
yang memperoleh hak tersebut dan dapat dipertahankan terhadap semua
pihak.
Maka dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945
menentukan, “bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat”. Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria menyatakan bahwa
seluruh bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang

1
Marihot Pahala Siahaan, Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, Raja
Grafindo Persada, (Selanjutnya disebut Marihot Pahala Siahaan I), 2003, hlm. 5.

1
terkandung didalamnya dalam wilayah Republik Indonesia sebagai karunia
Tuhan Yang Maha Esa adalah bumi, air dan ruang angkasa bangsa
Indonesia dan merupakan kekayaan nasional.2 Maka dari itu, peralihan hak
atas tanah dan bangunan menimbulkan adanya hak dan kewajiban bagi
pihak yang mengalihkan maupun pihak yang menerima peralihan hak.
Kewajiban tersebut dimana setiap orang pribadi atau badan yang
memperoleh hak atas tanah dan bangunan wajib menyerahkan sebagian nilai
ekonomis yang diperolehnya kepada negara melalui pembayaran pajak.
Pajak sebagai sumber penerimaan negara harus menjadi penerimaan
utama karena sumber-sumber penerimaan yang lain, selain seperti pajak,
pendapatan pengelolaan sumber alam sangat terbatas, bisa berkurang
bahkan habis. Oleh karena itu, kesadaran rakyat membayar pajak harus
ditumbuhkembangkan secara terus menerus agar pajak nantinya sebagai
sumber utama untuk membiayai pembangunan.3
Bea Perolehan Hak Atas Tanah (Selanjutnya disebut: BPHTB)
memiliki sejumlah permasalahan yang aktual dan menarik untuk
diperhatikan sehubungan aktifitas pemerintah dalam mengadministrasikan
perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan yang tidak lain adalah peristiwa
hukum yang mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah dan/atau bangunan
oleh orang pribadi atau badan setelah melaksanakan kewajiban membayar
BPHTB. Kewajiban membayar BPHTB, merupakan wewenang negara yang
bersumber dari Pasal 33 ayat (3) yang menyatakan “Bumi dan air dan
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.” Kemudian oleh
ayat (5) UUD 1945 menyatakan ketentuan lebih lanjut pelaksanaannya
diatur dalam Undang-Undang. ternyata secara implementatif penerapan
kewajiban pajak BPHTB minim informasi yang diberikan kepada publik
dengan masyarakat minim pemahaman dan pengetahuan tentang BPHTB.
Di dalam masyarakat terdapat ketidaktahuan siapa yang menjadi subjek
2
Ibid
3
Setu Setiawan, Perpajakan Indonesia Edisi 2009, Universitas Muhammadiyah
Malang Press, 2009, hlm.1.

2
wajib bayar BPHTB, walaupun istilah “perolehan” menunjukkan bagi yang
memperoleh dan untuk jual beli penjual menjadi subjek wajib pajak
penghasilan, tetapi ditengah masyarakat masih terjadi antara penjual dan
pembeli saling berkeras melimpahkan kewajiban dan kerap membayar
secara urunan dimana pembeli menambah pembayaran dan/atau penjual
mengurangkan nilai pembayaran. penyamaan persepsi BPHTB sama dengan
Pajak Bumi dan Bangunan, dan merasa terpaksa atas besaran nilai pajak
yang harus dibayar. Dalam persoalan demikian, masyarakat acapkali
melimpahkan penyelesaiannya kepada Notaris/PPAT dengan meminta
adanya penurunan nilai pajak yang mesti dibayar. Pemungutan BPHTB
dilakukan berdasarkan sistem Self Assessment. Dalam sistem ini wajib
pajak diberi wewenang dan kepercayaan untuk menghitung sendiri,
membayar serta melaporkan pajak yang terutang atau yang harus dibayar.
Dengan sistem ini diharapkan masyarakat bisa dengan mudah memenuhi
kewajiban pajaknya dan meningkatkan kesadaran pajak masyarakat,
terutama pajak yang timbul pada saat terjadinya perolehan hak atas tanah
dan bangunan. Dalam sistem self assessment wajib pajak merupakan subyek
atau para pelaku perpajakan, sehingga memiliki nilai positif dalam
mencerdaskan wajib pajak. Namun disisi lain sistem ini mempunyai
kelemahan, yaitu tidak semua wajib pajak mengerti dengan prosedur
membayar pajak yang baik dan benar. Kurangnya pemahaman seperti ini
yang mengakibatkan wajib pajak kesulitan dalam menghitung,
memperhitungkan, melaporkan, dan membayar pajak terhutang kepada
negara.4Dalam pengenaan dan pemungutan pajak, satu hal mendasar yang
harus diketahui adalah dasar pengenaan pajak. Sesuai dengan Pasal 87 ayat
(1) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009, yang menjadi dasar pengenaan
pajak pada BPHTB adalah Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP). NPOP
adalah besaran nilai/ harga objek pajak yang dipergunakan sebagai dasar
pengenaan pajak. Karena pada dasarnya ada 15 jenis perolehan hak atas
tanah dan bangunan yang menjadi objek pajak, maka atas setiap jenis

4
Marihot Pahala Siahaan I. Op.Cit, hlm.6.

3
peralihan hak tersebut harus ditentukan NPOPnya. Pasal 87 ayat (2)
menentukan apa yang menjadi NPOP sebagai dasar pengenaan pajak pada
masing-masing jenis perolehan hak, sebagai berikut :
a. Jual beli, yang menjadi NPOP adalah harga transaksi
b. Tukar menukar, yang menjadi NPOP adalah nilai pasar
c. Hibah, yang menjadi NPOP adalah nilai pasar
d. Hibah wasiat, yang menjadi NPOP adalah nilai pasar
e. Waris, yang menjadi NPOP adalah nilai pasar
f. Pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya, yang menjadi
NPOP adalah nilai pasar
g. Pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan, yang menjadi NPOP
adalah nilai pasar
h. Peralihan hak sebagai pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai
kekuatan hukum tetap, yang menjadi NPOP aladah nilai pasar
i. Pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak,
yang menjadi NPOP adalah nilai pasar
j. Pemberian hak baru atas tanah di luar pelepasan hak, yang menjadi
NPOP ada- lah nilai pasar
k. Penggabungan usaha, yang menjadi NPOP adalah nilai pasar
l. Peleburan usaha, yang menjadi NPOP adalah nilai pasar
m. Pemekaran usaha, yang menjadi NPOP adalah nilai pasar
n. Hadiah, yang menjadi NPOP adalah nilai pasar
o. Penunjukan pembeli dalam lelang, yang menjadi NPOP adalah harga
transaksi yang tercantum dalam risalah lelang.
Jika NPOP sebagai mana yang dimaksud di atas tidak diketahui atau
lebih rendah daripada NJOP yang digunakan dalam pengenaan PBB pada
tahun terjadi perolehan, dasar pengenaan yang dipakai adalah NJOP PBB.
Hal ini menunjukkan adanya kaitan antara BPHTB dengan PBB, di mana
NJOP yang ada pada dasarnya merupakan dasar pengenaan pajak pada PBB
juga dijadikan sebagai dasar dalam menentukan dasar pengenaan pajak pada
BPHTB. Penggunaan NJOP sebagai pembanding terhadap harga transaksi

4
atau nilai pasar sebenarnya wajar karena pada dasarnya NJOP
mencerminkan nilai pasar dari objek pajak yang diperoleh. Pengertian dari
NJOP sendiri yaitu, harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual beli
yang terjadi secara wajar, dan bilamana tidak terdapat transaksi jual beli,
NJOP ditentukan melalui perbandingan harga dengan objek lain yang
sejenis, atau nilai perolehan baru, atau NJOP pengganti.
Dalam sistem perpajakan Indonesia diatur adanya batasan dasar
pengenaan pajak yang tidak dikenakan pajak. Pada pajak objektif, batasan
pengenaan pajak ini didasarkan pada nilai objek pajak, dimana apabila
kurang dari batasan dimaksud maka akan dibebaskan pajaknya, sedangkan
pada pajak subjektif batasan nilai dari objek akan membuat apakah seorang
wajib pajak dikenakan pajak atau tidak. Untuk asas keadilan, maka apabila
atas suatu objek pajak memiliki nilai di atas batas tidak kena pajak yang
ditetapkan, atas objek pajak tersebut hanya akan dikenakan pajak atas selisih
dari nilai objek pajak dengan nilai batasan tidak kena pajak. Yang termasuk
batas tidak kena pajak pada pajak objektif adalah Nilai Objek Pajak Tidak
Kena Pajak (NJOPTKP) dan Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak
(NPOPTKP).
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka secara
aktual dan menarik untuk diangkat sebagai skripsi dengan judul
“TINJAUAN YURIDIS PENERAPAN VALIDASI BPHTB
MENGGUNAKAN NJOP TERBARU TERHADAP TRANSAKSI
PADA AKTA JUAL BELI TANAH YANG DIBUAT PPAT/PPATS
DENGAN DASAR TRANSAKSI DAN NJOP LAMA BERDASARKAN
UU NOMOR 28 TAHUN 2009 JUNTO PERBUP 8 TAHUN 2015”

B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan apa yang telah diuraikan diatas, maka beberapa pokok
permasalahan yang akan diteliti antara lain:

5
1. Apakah sah menerapkan validasi BPHTB menggunakan NJOP terbaru
terhadap transaksi pada akta jual beli tanah yang dibuat PPAT/PPATS
dengan dasar transaksi dan NJOP lama?
2. Bagaimanakah menetapkan biaya pajak BPHTB Dengan Transaksi Dan
Njop Lama Berdasarkan undang-undang nomor 28 tahun 2009 junto
peraturan bupati nomor 8 tahun 2015?
C. Tujuan Penelitian
Bertitik tolak pada permasalahan yang telah diuraikan di atas, maka
penelitian ini bertujuan untuk :
1. Untuk mengetahui sah tidaknya menerapkan validasi BPHTB
menggunakan NJOP terbaru terhadap transaksi pada akta jual beli tanah
yang dibuat PPAT/PPATS dengan dasar transaksi dan NJOP lama.
2. Untuk mengetahui cara menetapkan biaya pajak BPHTB Dengan
Transaksi Dan Njop Lama Berdasarkan undang-undang nomor 28 tahun
2009 junto peraturan bupati nomor 8 tahun 2015
D. Kegunaan Penelitian
Tujuan penelitian sebagaimana tersebut di atas, maka hasil penelitian
ini diharapkan mempunyai manfaat ganda, baik manfaat praktis maupun
manfaat teoritis sebagai berikut :
1. Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi pengembangan
ilmu hukum khususnya hukum pajak yang berkaitan dengan pengaturan
tentang cara perhitungan, BPHTB dan NJOP dalam proses .
2. Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan suatu
pengetahuan bagi masyarakat, untuk dapat mengetahui bagaimana proses
penyelesaian perhitungan BPHTB menggunakan NJOP terbaru.
E. Kerangka Pemikiran
Penerimaan dari sektor perpajakan merupakan tulang punggung
penerimaan APBN. Sejak awal tahun 1980-an, penerimaan perpajakan
sebagai sumber utama penerimaan negara. Penerimaan pajak merupakan

6
gambaran partisipasi masyarakat dalam pembiayaan penyelenggaraan
pemerintah dan pembangunan di negaranya. Apabila konstibusi penerimaan
perpajakan semakin besar terhadap APBN berarti partisipasi masyarakatnya
semakin besar pula dalam pembangunan di negaranya karena pada
hakikatnya pajak berasal dari dan untuk masyarakat.
Negara melihat peluang untuk mendapatkan pemasukan kas Negara
dari sektor Pajak salah satunya dengan adanya pemungutan Bea Perolehan
Hak Atas Tanah dan bangunan (BPHTB) atas setiap perolehan hak atas
tanah danbangunan. BPHTB dipungut oleh pemerintah Indonesia sebagai
pajak pusat berdasarkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 jo Undang-
Undang Nomor 20 Tahun 2000 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan
Bangunan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 130,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3988) yang diberlakukan mulai
tanggal 1 Januari 20015.
Pajak pada mulanya merupakan suatu upeti (pemberian secara Cuma-
Cuma). Tetapi sifatnya merupakan suatu kewajiban yang dapat dipaksakan
dan harus dilaksanakan oleh masyarakat. Namun dengan perkembangan
dalam masyarakat, maka dibuatlah suatu aturan yang lebih baik dan bersifat
memaksa berkaitan dengan sifat upeti (pemberian) tersebut dengan
memperhatikan unsur keadilan. Guna memenuhi unsur keadilan inilah maka
rakyat diikut sertakan dalam membuat berbagai aturan dalam pemungutan
pajak, yang nantinya akan dikembangkan juga hasilnya untuk kepentingan
rakyat sendiri.6
PAD merupakan semua penerimaan daerah yang berasal dari sumber
ekonomi asli daerah, dan salah satu sumber PAD yang memiliki kontribusi
terbesar berasal dari Pajak Daerah. Pajak daerah merupakan salah satu
bentuk peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan otonomi daerah.
Pajak daerah merupakan sumber pendapatan daerah yang penting untuk
membiayai penyelenggaraan pemerintah dan pembangunan daerah. Selama
5
Atep Adya Barata, Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB)
Menghitung Obyek dan Cara Pengajuan Keberatan Pajak, Gramedia, Jakarta, 2003, hlm 4.
6
Wirawan B. Ilyas, Hukum Pajak, Selemba Empat, Jakarta, 2011, hlm 1

7
ini, pungutan daerah yang berupa Pajak Daerah diatur dalam Undang-
Undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah sebagaimana
disempurnakan dengan Undang- Undang Nomor 34 Tahun 2000.
Dasar pemungutan BPHTB adalah peraturan daerah yang memuat
ketentuan mengenai objek pajak, subjek pajak, wajib pajak, tarif pajak,
dasar pengenaan pajak, dan lain-lain. Namun demikian, Pengaturan dalam
peraturan daerah harus disesuaikan dengankebijakan yang termuat
dalam UU atau Peraturan Pemerintah. Sementara itu, perubahan ketentuan
tersebut salah satunya sangat berdampak pada wajib pajak BPHTB.
Penarikan atau pemungutan pajak adalah suatu fungsi yang harus
dilaksanakan oleh negara sebagai suatu fungsi essensial. Salah satu usaha
untuk mewujudkan kemandirian suatu bangsa atau negara dalam
pembiayaan pembangunan, yaitu dengan cara menggali sumber dana yang
berasal dari dalam negeri berupa pajak yang digunakan untuk pembiayaan
pembangunan yang berguna bagi kepentingan bersama.7
Pengertian Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) tidak sama dengan nilai
pasar. NJOP merupakan harga rata-rata suatu objek pajak yang ditetapkan
dengan mekanisme tertentu, sedangkan nilai pasar merupakan Harga Jual
Objek Pajak (HJOP) yang terjadi secara wajar di pasar. Adanya
kemungkinan HJOP yang ditentukan oleh pasar akan lebih rendah, sama,
atau lebih tinggi dari NJOP yang ditetapkan oleh pemerintah.8 Penetapan
nilai perolehan dalam jual beli tanah dan bangunan sebagai dasar pengenaan
Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) merupakan pokok
bahasan utama lain dari penelitian ini. Menganalisis temuan kerja lapangan
berdasarkan konsep yang meliputi harga transaksi (dalam undang-undang
jual beli tanah), nilai jual objek pajak (NJOP) sebagai keputusan tata usaha

7
Waluyo dan Wirawan B. Ilyas, Perpajakan Indonesia, Salemba Empat, Jakarta,
1999, hlm 1.
8
R. O.H. Monding dan R.J. Pusung, “Analisis Tingkat Akurasi Penetapan Nilai Jual
Objek Pajak (Njop) Bumi Dan Bangunan Di Kecamatan Paal Dua Kota Manado” Jurnal
EMBA Vol.4 No.4 (Desember 2016), hlm.993, diakses 26 April 2023,
https://doi.org/10.35794/emba.4.4.2016.14571

8
negara, dan biaya untuk mendapatkan hak atas tanah dan bangunan
(BPHTB). yang sistem perpajakannya self assessment (dalam undang-
undang perpajakan), dijelaskan lebih lanjut sebagai berikut:
1. Harga transaksi dalam jual beli tanah
Jual beli tanah merupakan suatu kesepakatan antara kedua belah
pihak yang dimaksud di sini yaitu penjual dan pembeli dalam melakukan
suatu transaksi jual beli tanah dengan pembayaran tunai, setelah itu
barulah hak atas tanah tersebut dari penjual berpindah kepada pembeli.
Sehingga unsur dalam jual beli tanah adalah bidang tanah yang dijual
belikan dan harga transaksi yang sudah disepakati yang dibayar dalam
bentuk uang.
Menurut penjelasan pasal 2 ayat (2) Peraturan Daerah Kabupaten
Bandung Nomor 70 Tahun 2016 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah
dan Bangunan, yang dimaksud dengan harga transaksi adalah harga yang
terjadi dan telah disepakati oleh pihak-pihak yang bersangkutan (dalam
hal ini penjual dan pembeli). 9
2. Nilai jual objek pajak (NJOP) sebagai keputusan tata usaha negara
NJOP atau nilai jual objek pajak merupakan salah satu tolok ukur
yang menjadi dasar acuan dasar pengenaan BPHTB, maka dari itu
eksistensi nilai jual objek pajak atau yang sering kita dengar sebagai
NJOP dalam kaitannya sebagai acuan atau dasar pengenaan pajak akan
diuraikan sebagai berikut.
Menurut pasal 40 ayat (7) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022,
penetapan besarnya NJOP dilakukan oleh kepala daerah. Pasal 4 ayat (2)
huruf a, pajak yang dipungut oleh pemerintah kabupaten salah satunya
adalah pajak bumi dan bangunan (PBB). Pasal 5 ayat (1), jenis pajak
(yang salah satunya adalah PBB) merupakan jenis pajak yang dipungut
berdasarkan Penetapaan Kepala Daerah. Pasal 5 ayat (3), dokumen yang
digunakan sebagai dasar pemungutan jenis pajak (dalam hal ini adalah

9
Indonesia, Peraturan Daerah Kabupaten Bandung Nomor 70 Tahun 2016
tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan, Pasal 2 ayat (2)

9
PBB) yakni Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT). Dari keempat
pasal tersebut di atas, terlihat jelas bahwa merupakan suatu keputusan
tata usaha negara atau KTUN nilai jual objek pajak (NJOP) yang dimuat
dalam surat pemberitahuan pajak terutang pajak bumi dan bangunan
(SPPT-PBB). 10
Menurut pasal 1 angka 7 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014
tentang Administrasi Pemerintahan, keputusan penyelenggaraan
pemerintahan yang disebut juga dengan keputusan tata usaha negara atau
keputusan administrasi negara, yang selanjutnya disebut keputusan
adalah keputusan tertulis yang dikeluarkan oleh instansi atau pejabat
pemerintah dalam penyelenggaraan pemerintahan.11 Menurut pasal 1
angka 9 Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Peradilan Tata
Usaha Negara bahwa putusan tata usaha negara adalah penetapan tertulis
yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara yang memuat
perbuatan hukum tata usaha negara berdasarkan peraturan perundang-
undangan yang berlaku. yang bersifat konkrit, individual, dan final yang
menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata. 12
Menurut pasal 1 angka 36 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022,
bahwa NJOP adalah harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual beli
yang terjadi secara wajar, dan bilamana tidak terdapat transaksi jual beli,
NJOP ditentukan melalui perbandingan harga dengan objek lain yang
sejenis, nilai perolehan baru, atau NJOP pengganti. 13
Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014,
wewenang adalah hak yang dimiliki oleh badan atau pejabat
pemerintahan untuk mengambil keputusan atau tindakan dalam

10
Indonesia. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan
Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, Pasal 40 Ayat (7).
11
Indonesia, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi
Pemerintahan, Pasal 1 Angka 7.
12
Indonesia, Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Peradilan Tata
Usaha Negara. Pasal 1 Angka 9.
13
Indonesia. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan
Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, Pasal 1 Angka 36.

10
penyelenggaraan pemerintahan. Dalam pasal 1 angka 22, atribusi adalah
pemberian kewenangan kepada badan atau pejabat pemerintahan oleh
Undang-Undang Dasar 1945 atau undang-undang. Pasal 7 ayat (2) huruf
k, pejabat pemerintahan memiliki kewajiban melaksanakan keputusan
yang sah. 14
Dari apa yang telah disampaikan tersebut, maka telah dapat
dibuktikan bahwasannya kewenangan yang dilimpahkan kepada pejabat
tata usaha negara berdasarkan atribusi yang diberikan oleh undang-
undang yang menyatakan nilai jual objek pajak (NJOP) yang dimuat
dalam surat pemberitahuan pajak terutang pajak bumi dan bangunan
(SPPT-PBB) merupakan suatu keputusan tata usaha negara, maka dari itu
wajib dilaksanakan oleh pejabat pemerintahan (badan atau pejabat tata
usaha negara) keputusan tata usaha negara yang sah tersebut.
Telah dapat disimpulkan, cerminan dari nilai jual yang terdapat
dipasaran atau nilai jual yang wajar untuk dilakukan pembayaran adalah
eksistensi suatu nilai jual objek pajak (NJOP). Penetapan NJOP
dilakukan setelah pendataan nilai jual-nilai jual tanah yang dijualbelikan
di area tersebut dan menentukan nilai rata-ratanya, dan juga wajib
dilaksanakan oleh para pejabat pemerintahan yang memiliki kewenangan
mengenai kedudukan NJOP tersebut yang menjadi keputusan tata usaha
negara.
Sebagai kesimpulannya, berdasarkan ketentuan-ketentuan dalam
peraturan perundang-undangan tersebut di atas, bahwa secara normatif
eksistensi suatu nilai jual objek pajak (NJOP) merupakan cerminan dari
nilai jual yang wajar, atau nilai pasar karena menurut hukum positif,
NJOP ditetapkan setelah melakukan pendataan nilai jual-nilai jual tanah
yang dijualbelikan di area tersebut dan menentukan nilai rata-ratanya,
serta NJOP dalam kedudukannya sebagai keputusan tata usaha negara

14
Indonesia, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi
Pemerintahan, Pasal 1 Angka 5.

11
yang sah tersebut bagi pejabat pemerintahan (badan atau pejabat tata
usaha negara) wajib melaksanakannya.
3. Sistem self assessment dalam hukum pajak
materiil tentang timbulnya hutang pajak, yakni setiap Undang-
undang pajak menganut ajaran wajib pajak wajib membayar pajak yang
terutang berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan, dengan tidak menggantungkan adanya surat ketetapan
pajak.15
Sistem pemungutan pajak yang berlaku menurut undang-undang
pajak BPHTB adalah sistem self assessment, di mana kepada wajib pajak
diberikan kepercayaan untuk menghitung, membayar, dan melaporkan
sendiri jumlah pajak yang seharusnya terutang sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan, sehingga penentuan
penetapan besarnya pajak yang terutang berada pada wajib pajak
sendiri.16
Dalam sistem self assessment ini sudah barang tentu diperlukan
kejujuran wajib pajak, dan tetap saja ada wajib pajak yang tidak jujur
dalam menghitung besarnya pajak melalui surat pemberitahuan. Untuk
itu aparat perpajakan (fiscus) diberi wewenang untuk melakukan
penelitian (validasi) dan pemeriksaan terhadap kebenaran dari surat
pemberitahuan dari wajib pajak yang bersangkutan.17

F. Metode Penelitian
1. Spesifikasi Penelitian
Spesifikasi di dalam penelitian ini adalah deskriptif analitis, yaitu
bertujuan untuk memperoleh gambaran yang menyeluruh, sistematis,
serta akurat melalui suatu proses analisis dengan menggunakan peraturan

15
Indonesia. Undang Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum
dan Tata Cara Perpajakan, Pasal 12 Ayat 1.
16
Indonesia. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 tentang Bea Perolehan
Hak Atas Dan Bangunan,Pasal 10 Ayat 1.
17
Indonesia.Peraturan Menteri Keuangan Nomor 199/ PMK.03/2007 tentang
Cara Pemeriksaan Pajak,Pasal 3 Ayat 1.

12
hukum, dan proses penerapan validasi BPHTB menggunakan NJOP
terbaru berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Junto
PERBUP 8 tahun 2015.
2. Metode Pendekatan
Penulis melakukan penelitian dan penyusunan skripsi ini
menggunakan metode penelitian, yaitu metode penelitian hukum
normatif (Yuridis Normatif). Penelitian normatif disebut dengan
penelitian doktrinal, yaitu penelitian yang objek kajiannya adalah
dokumen peraturan perundang-undangan dan bahan pustaka.
3. Tahap Penelitian
Pada penulisan tugas akhir ini penulis melakukan penelitian
kepustakaan guna memperoleh data sekunder, yaitu melakukan
serangkaian penelitian terhadap bahan-bahan yang terdiri dari :
a. Bahan Hukum Primer
Adalah bahan yang didapat melalui penelitian yang dilakukan
dengan mempelajari Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang
pajak daerah dan retribusi daerah.
b. Bahan Hukum Sekunder
Bahan Hukum Sekunder ini sangat erat kaitannya dengan bahan
primer, yakni dapat membantu menganalisis bahan primer, yakni
berupa buku-buku teks, hasil karya ilmiah dari kalangan hukum yang
berhubungan dengan topik yang dibahas dalam skripsi ini, dokumen,
diktat dosen, serta penelitian lembaga pemerintah maupun non
pemerintah yang relevan dengan topik pembahasan dalam skripsi ini.

c. Bahan Hukum Tersier


Yaitu bahan-bahan yang memberikan petunjuk maupun
penjelasan terhadap data primer maupun data sekunder, yaitu kamus-
kamus tentang ilmu hukum, artikel-artikel dari internet yang terkait
dengan pembahasan di dalam skripsi ini.

13
4. Teknik Pengumpulan Data atau Bahan Hukum
Studi Kepustakaan, alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah
studi literatur yaitu dengan pengumpulan data melalui kepustakaan
seperti peraturan perundang-undangan, buku-buku, dokumen, internet,
serta makalah yang relevan dengan topik penelitian.
5. Metode Analisis Data
Metode analisi data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
metode yuridis kualitatif, yaitu dalam menganalisis tidak menggunakan
rumus matematis dan angka-angka statistik, tetapi berupa uraian
pembahasan sehingga diperoleh informasi baru dari simpulan hasil
penelitian dan data yang diperoleh kemudian disusun secara sistematis
untuk selanjutnya dianalisis.
G. Sistematika Penulisan
Penyusunan penulisan skripsi agar dapat menyampaikan gambaran
yang jelas, mudah dipahami bagi pembaca. Maka penulis menyusun
penulisan skripsi menjadi lima bab dan setiap bab dibagi sub-sub sesuai
pembahasan yaitu:
BAB I : PENDAHULUAN
Bab ini penulis memaparkan latar belakang masalah,
identifikasi masalah, tujuan masalah, kegunaan penelitian,
kerangka pemikiran, metode penelitian dan sistematika
penulisan.
BAB II : TINJAUAN YURIDIS BEA PEROLEHAN HAK ATAS
TANAH DAN BANGUNAN (BPHTB), AKTA JUAL
BELI TANAH, PPAT, PPATS, DAN NJOP
Bab ini akan menjelaskan hasil kepustakaan seperti
kerangka teori mengenai hal-hal yang berkaitan dengan
topik penulisan. Tinjauan umum BPHTB, tinjauan umum
akta jual beli tanah, tinjauan umumPPAT/PPATS, dan
tinjauan umum NJOP guna mengetahui penerapan validasi
BPHTB menggunakan NJOP terbaru trhadap transaksi

14
pada AJB tanah yang dibuat PPAT/PPATS dengan dasar
transaksi dan NJOP lama.
BAB III : KASUS POSISI
Bab ini membahas mengenai kasus posisi atau biasa
dikenal dengan urutan peristiwa yang terkait dengan
perkara beserta membahas hasil dari wawancara.
BAB IV : TINJAUAN YURIDIS PENERAPAN VALIDASI
BPHTB
MENGGUNAKAN NJOP TERBARU TERHADAP
TRANSAKSI PADA AKTA JUAL BELI TANAH
YANG
DI BUAT PPAT/PPATS DENGAN DASAR
TRANSAKSI DAN NJOP LAMA BERDASARKAN UU

NOMOR 28 TAHUN 2009 JUNTO PERBUP 8 TAHUN


2015 DIHUBUNGKAN DENGAN ASAS NON
RETROAKTIF
Bab ini akan membahas tentang hasil penelitian dalam
skripsi ini yaitu tentang sah atau tidaknya menerapkan
validasi BPHTB menggunakan NJOP terbaru terhadap
transaksi pada akta jual beli tanah yang dibuat
PPAT/PPATS dengan dasar transaksi dan NJOP lama, dan
cara bagaimana menetapkan biaya BPHTB dengan
transaksi dan NJOP lama berdasarkan UU Nomor 28
Tahun 2009.
BAB V : PENUTUP
Dalam bab ini penulis memaparkan simpulan yang
didapatkan dari keseluruhan karya tulis skripsi ini, dan
penulis akan memberikan saran mengenai permasalahan
beberapa yang terdapat dalam pembahasan karya tulis
skripsi ini.

15
16
DAFTAR PUSTAKA

Buku:
Barata, A. A. (2003). Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB)
Menghitung Obyek dan Cara Pengajuan Keberatan Pajak. Jakarta:
Gramedia.
Siahaan, M.P. (2003). Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan. Raja
Grafindo Persada.
Setiawan, S. (2009). Perpajakan Indonesia. Edisi 2009. Malang: Universitas
Muhammadiyah Malang Press.
Waluyo dan Wirawan, B. I. (1999). Perpajakan Indonesia. Jakarta: Salemba
Empat.
Wirawan, B. I. (2011). Hukum Pajak. Jakarta: Salemba Empat.

Perundang-Undangan:

Indonesia. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 tentang Bea Perolehan Hak


Atas Dan Bangunan.

Indonesia. Undang Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan
Tata Cara Perpajakan.

Indonesia.Peraturan Menteri Keuangan Nomor 199/ PMK.03/2007 tentang Cara


Pemeriksaan Pajak.

Indonesia, Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha


Negara .

17
Indonesia, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi
Pemerintahan.

Indonesia, Peraturan Daerah Kabupaten Bandung Nomor 70 Tahun 2016 tentang


Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan.

Indonesia. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan


antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.

Jurnal, Makalah, Artikel:


R. O.H. Monding dan R.J. Pusung. (2016). Analisis Tingkat Akurasi Penetapan
Nilai Jual Objek Pajak (Njop) Bumi Dan Bangunan Di Kecamatan Paal
Dua Kota Manado. Jurnal EMBA, 4(4), 993.
https://doi.org/10.35794/emba.4.4.2016.14571. Diakses 23 April 2023

18

Anda mungkin juga menyukai