Skripsi - Mochamad Andre P
Skripsi - Mochamad Andre P
Oleh:
Mochamad Andre Prayudi
NPM :194301097
Program Studi : Ilmu Hukum
Program Kekhususan : Hukum Keperdataan
Pembimbing:
Dr.Hj.Ina Budhiarti Supyan, S.H., M.Kn.
DAFTAR ISI............................................................................................................i
ABSTRAK.............................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN....................................................................................1
B. Identifikasi Masalah............................................................................5
C. Tujuan Penelitian................................................................................5
D. Kegunaan Penelitian...........................................................................6
E. Kerangka Pemikiran...........................................................................6
F. Metode Penelitian.............................................................................14
G. Sistematika Penulisan.......................................................................16
A. Tinjauan BPHTB..............................................................................18
i
A. Menerapkan Validasi BPHTB Menggunakan NJOP Terbaru
Terhadap Transaksi Pada Akta Jual Beli Tanah yang Dibuat
PPAT/PPATS Dengan Dasar Transaksi dan NJOP Lama................40
BAB V PENUTUP...............................................................................................52
A. Kesimpulan.......................................................................................52
B. Saran- Saran......................................................................................53
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................54
ii
TRANSAKSI DAN NJOP LAMA DIHUBUNGKAN
DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28
AHUN 2009 JUNTO PERBUP 8
TAHUN 2015
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1
Marihot Pahala Siahaan, Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, (Jakarta: Raja
Grafindo Persada,2003), hlm. 5.
1
2
Indonesia dan merupakan kekayaan nasional.2 Maka dari itu, peralihan hak atas
tanah dan bangunan menimbulkan adanya hak dan kewajiban bagi pihak yang
mengalihkan maupun pihak yang menerima peralihan hak. Kewajiban tersebut
dimana setiap orang pribadi atau badan yang memperoleh hak atas tanah dan
bangunan wajib menyerahkan sebagian nilai ekonomis yang diperolehnya kepada
negara melalui pembayaran pajak.
Pajak sebagai sumber penerimaan negara harus menjadi penerimaan utama
karena sumber-sumber penerimaan yang lain, selain seperti pajak, pendapatan
pengelolaan sumber alam sangat terbatas, bisa berkurang bahkan habis. Oleh
karena itu, kesadaran rakyat membayar pajak harus ditumbuhkembangkan secara
terus menerus agar pajak nantinya sebagai sumber utama untuk membiayai
pembangunan.3
Bea Perolehan Hak Atas Tanah (Selanjutnya disebut: BPHTB) memiliki
sejumlah permasalahan yang aktual dan menarik untuk diperhatikan sehubungan
aktifitas pemerintah dalam mengadministrasikan perolehan hak atas tanah
dan/atau bangunan yang tidak lain adalah peristiwa hukum yang mengakibatkan
diperolehnya hak atas tanah dan/atau bangunan oleh orang pribadi atau badan
setelah melaksanakan kewajiban membayar BPHTB. Kewajiban membayar
BPHTB, merupakan wewenang negara yang bersumber dari Pasal 33 ayat (3)
yang menyatakan “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.”
Kemudian oleh ayat (5) UUD 1945 menyatakan ketentuan lebih lanjut
pelaksanaannya diatur dalam Undang-Undang. ternyata secara implementatif
penerapan kewajiban pajak BPHTB minim informasi yang diberikan kepada
publik dengan masyarakat minim pemahaman dan pengetahuan tentang BPHTB.
Di dalam masyarakat terdapat ketidaktahuan siapa yang menjadi subjek wajib
bayar BPHTB, walaupun istilah “perolehan” menunjukkan bagi yang memperoleh
dan untuk jual beli penjual menjadi subjek wajib pajak penghasilan, tetapi
ditengah masyarakat masih terjadi antara penjual dan pembeli saling berkeras
melimpahkan kewajiban dan kerap membayar secara urunan dimana pembeli
2
Ibid
3
Setu Setiawan, Perpajakan Indonesia Edisi 2009, (Malang: Universitas Muhammadiyah
Malang Press, 2009), hlm.1.
3
4
Marihot Pahala Siahaan I. Op.Cit, hlm.6.
4
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan apa yang telah diuraikan diatas, maka beberapa pokok
permasalahan yang akan diteliti antara lain:
1. Apakah sah menerapkan validasi BPHTB menggunakan NJOP terbaru
terhadap transaksi pada akta jual beli tanah yang dibuat PPAT/PPATS
dengan dasar transaksi dan NJOP lama?
2. Bagaimanakah menetapkan pajak BPHTB dengan Transaksi dan NJOP
lama Berdasarkan undang-undang nomor 28 tahun 2009 junto
peraturan bupati nomor 8 tahun 2015?
C. Tujuan Penelitian
Bertitik tolak pada permasalahan yang telah diuraikan di atas, maka
penelitian ini bertujuan untuk :
1. Untuk mengetahui sah tidaknya menerapkan validasi BPHTB
menggunakan NJOP terbaru terhadap transaksi pada akta jual beli
tanah yang dibuat PPAT/PPATS dengan dasar transaksi dan NJOP
lama.
6
D. Kegunaan Penelitian
Tujuan penelitian sebagaimana tersebut di atas, maka hasil penelitian ini
diharapkan mempunyai manfaat ganda, baik manfaat praktis maupun manfaat
teoritis sebagai berikut:
1. Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi pengembangan
ilmu hukum khususnya hukum kepailitan yang berkaitan dengan
pengaturan tentang cara perhitungan, urutan-urutan dan pembagian
harta pailit dalam proses pemberesan harta pailit.
2. Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan suatu
pengetahuan bagi masyarakat, untuk dapat mengetahui bagaimana
proses penyelesaian pemberesan harta pailit sebagai pelunasan atas
utang yang terdapat pada debitur pailit untuk selanjutnya dibagikan
kepada para kreditur yang memiliki hak yang berbeda-beda.
E. Kerangka Pemikiran
Penerimaan dari sektor perpajakan merupakan tulang punggung
penerimaan APBN. Sejak awal tahun 1980-an, penerimaan perpajakan sebagai
sumber utama penerimaan negara. Penerimaan pajak merupakan gambaran
partisipasi masyarakat dalam pembiayaan penyelenggaraan pemerintah dan
pembangunan di negaranya. Apabila konstibusi penerimaan perpajakan semakin
besar terhadap APBN berarti partisipasi masyarakatnya semakin besar pula dalam
pembangunan di negaranya karena pada hakikatnya pajak berasal dari dan untuk
masyarakat.
Negara melihat peluang untuk mendapatkan pemasukan kas Negara dari sektor
Pajak salah satunya dengan adanya pemungutan Bea Perolehan Hak Atas Tanah
dan bangunan (BPHTB) atas setiap perolehan hak atas tanah danbangunan.
7
5
Atep Adya Barata, Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) Menghitung
Obyek dan Cara Pengajuan Keberatan Pajak, (Jakarta: Gramedia, 2003), hlm 4.
6
Wirawan B. Ilyas, Hukum Pajak, (Jakarta: Selemba Empat, 2011), hlm 1
8
1. Asas keadilan. Dalam mencari keadilan, salah satu jalan yang harus
ditempuh ialah mengusahakan agar supaya pemungutan pajak
diselenggarakan secara umum dan merata. Berkaitan dengan
pemungutan pajak, Smith (1723-1790) dalam Santoso menguraikan
asas pemungutan pajak yang lebih dikenal dengan The Four Maxims,
dengan uraian sebagai berikut:7
a. Pembagian tekanan pajak di antara Subjek Pajak masingmasing
hendaknya dilakukan seimbang dengan kemampuannya, yaitu
seimbang dengan penghasilan yang dinikmatinya masing-masing,
di bawah perlindungan pemerintah (asas pembagian/asas
kepentingan). Dalam asas “equality” ini tidak diperbolehkan suatu
negara mengadakan diskriminasi di antara sesama wajib pajak,
dalam keadaan yang sama, para Wajib Pajak harus dikenakan
pajak yang sama pula;
b. Pajak yang harus dibayar oleh seseorang harus terang (certain) dan
tidak mengenal kompromis (not arbitrary). Dalam asas “certainty”
ini, kepastian hukum yang dipentingkan adalah yang mengenai
subjek, objek, besarnya pajak, dan juga ketentuan mengenai waktu
pembayarannya;
c. “Every tax ought to be levied at the time, or in the manner, in
which it is most likely to be convenient for the contributor to pay
it”. 8
Teknik pemungutan pajak yang dianjurkan ini (yang juga disebut
convenience of payment) menetapkan bahwa pajak hendaknya
dipungut pada saat yang paling baik bagi para Wajib Pajak, yaitu
saat sedekatdekatnya dengan detik diterimanya penghasilan yang
bersangkutan;
d. “Every tax ought to be so contrived as both to take out and to keep
out of the pockets of the people as little as possible over and above
what it brings into to public treasury of the State”. 9
7
R. Santoso Brotodihardjo, Pengantar Ilmu Hukum Pajak ,( Bandung : PT. Refika
Aditama, Cet ke 21, 2008), hlm. 27-28.
8
Mardiasmo, Perpajakan Edisi Revisi, (Yogyakarta: CV Andy Offset, 2008), hlm. 2.
9
Ibid, hlm. 8.
9
10
Sinaga, DR. N. A, “Pemungutan Pajak Dan Permasalahannya Di Indonesia” Jurnal
Ilmiah Hukum Dirgantara-Fakultas Hukum Universitas Dirgantara Marsekal Suryadarma”, Vol 7
No.1 (September 2016), hlm 150-151, diakses 26 April 2023, https://doi.org/10.35968/jh.v7i1
10
11
Ibid, hlm. 29-37
12
Ibid, hlm. 37
13
Ibid, hlm. 41-42.
14
Ibid, hlm. 42
15
Waluyo dan Wirawan B. Ilyas, Perpajakan Indonesia, Salemba Empat, Jakarta, 1999,
hlm 1-2.
11
Pengertian Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) tidak sama dengan nilai pasar.
NJOP merupakan harga rata-rata suatu objek pajak yang ditetapkan dengan
mekanisme tertentu, sedangkan nilai pasar merupakan Harga Jual Objek Pajak
(HJOP) yang terjadi secara wajar di pasar. Adanya kemungkinan HJOP yang
ditentukan oleh pasar akan lebih rendah, sama, atau lebih tinggi dari NJOP yang
ditetapkan oleh pemerintah.16 Penetapan nilai perolehan dalam jual beli tanah dan
bangunan sebagai dasar pengenaan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
(BPHTB) merupakan pokok bahasan utama lain dari penelitian ini. Menganalisis
temuan kerja lapangan berdasarkan konsep yang meliputi harga transaksi (dalam
undang-undang jual beli tanah), nilai jual objek pajak (NJOP) sebagai keputusan
tata usaha negara, dan biaya untuk mendapatkan hak atas tanah dan bangunan
(BPHTB). yang sistem perpajakannya self assessment (dalam undang-undang
perpajakan), dijelaskan lebih lanjut sebagai berikut:
1. Harga transaksi dalam jual beli tanah
Jual beli tanah merupakan suatu kesepakatan antara kedua belah
pihak yang dimaksud di sini yaitu penjual dan pembeli dalam
melakukan suatu transaksi jual beli tanah dengan pembayaran tunai,
setelah itu barulah hak atas tanah tersebut dari penjual berpindah
kepada pembeli. Sehingga unsur dalam jual beli tanah adalah bidang
tanah yang dijual belikan dan harga transaksi yang sudah disepakati
yang dibayar dalam bentuk uang.
Menurut penjelasan pasal 2 ayat (2) Peraturan Daerah
Kabupaten Bandung Nomor 70 Tahun 2016 tentang Bea Perolehan
Hak Atas Tanah dan Bangunan, yang dimaksud dengan harga transaksi
adalah harga yang terjadi dan telah disepakati oleh pihak-pihak yang
bersangkutan (dalam hal ini penjual dan pembeli). 17
2. Nilai jual objek pajak (NJOP) sebagai keputusan tata usaha negara
NJOP atau nilai jual objek pajak merupakan salah satu tolok
ukur yang menjadi dasar acuan dasar pengenaan BPHTB, maka dari itu
16
R. O.H. Monding dan R.J. Pusung, “Analisis Tingkat Akurasi Penetapan Nilai Jual
Objek Pajak (Njop) Bumi Dan Bangunan Di Kecamatan Paal Dua Kota Manado” Jurnal EMBA
Vol.4 No.4 (Desember 2016), hlm.993, diakses 26 April 2023,
https://doi.org/10.35794/emba.4.4.2016.14571
17
Indonesia, Peraturan Daerah Kabupaten Bandung Nomor 70 Tahun 2016 tentang Bea
Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan, Pasal 2 ayat (2)
12
eksistensi nilai jual objek pajak atau yang sering kita dengar sebagai
NJOP dalam kaitannya sebagai acuan atau dasar pengenaan pajak akan
diuraikan sebagai berikut.
Menurut pasal 40 ayat (7) Undang-Undang Nomor 1 Tahun
2022, penetapan besarnya NJOP dilakukan oleh kepala daerah. Pasal 4
ayat (2) huruf a, pajak yang dipungut oleh pemerintah kabupaten salah
satunya adalah pajak bumi dan bangunan (PBB). Pasal 5 ayat (1), jenis
pajak (yang salah satunya adalah PBB) merupakan jenis pajak yang
dipungut berdasarkan Penetapaan Kepala Daerah. Pasal 5 ayat (3),
dokumen yang digunakan sebagai dasar pemungutan jenis pajak
(dalam hal ini adalah PBB) yakni Surat Pemberitahuan Pajak Terutang
(SPPT). Dari keempat pasal tersebut di atas, terlihat jelas bahwa
merupakan suatu keputusan tata usaha negara atau KTUN nilai jual
objek pajak (NJOP) yang dimuat dalam surat pemberitahuan pajak
terutang pajak bumi dan bangunan (SPPT-PBB). 18
Menurut pasal 1 angka 7 Undang-Undang Nomor 30 Tahun
2014 tentang Administrasi Pemerintahan, keputusan penyelenggaraan
pemerintahan yang disebut juga dengan keputusan tata usaha negara
atau keputusan administrasi negara, yang selanjutnya disebut
keputusan adalah keputusan tertulis yang dikeluarkan oleh instansi
atau pejabat pemerintah dalam penyelenggaraan pemerintahan.19
Menurut pasal 1 angka 9 Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009
tentang Peradilan Tata Usaha Negara bahwa putusan tata usaha negara
adalah penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata
usaha negara yang memuat perbuatan hukum tata usaha negara
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. yang
bersifat konkrit, individual, dan final yang menimbulkan akibat hukum
bagi seseorang atau badan hukum perdata. 20
18
Indonesia. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, Pasal 40 Ayat (7).
19
Indonesia, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan,
Pasal 1 Angka 7.
20
Indonesia, Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha
Negara. Pasal 1 Angka 9.
13
21
Indonesia. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan
antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, Pasal 1 Angka 36.
22
Indonesia, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi
Pemerintahan, Pasal 1 Angka 5.
14
23
Indonesia. Undang Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata
Cara Perpajakan, Pasal 12 Ayat 1.
24
Indonesia. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 tentang Bea Perolehan Hak Atas
Dan Bangunan, Pasal 10 Ayat 1.
15
F. Metode Penelitian
1. Spesifikasi Penelitian
Spesifikasi di dalam penelitian ini adalah deskriptif analitis,
yaitu bertujuan untuk memperoleh gambaran yang menyeluruh,
sistematis, serta akurat melalui suatu proses analisis dengan
menggunakan peraturan hukum, dan proses penerapan validasi
BPHTB menggunakan NJOP terbaru berdasarkan Undang-Undang
Nomor 28 Tahun 2009 Junto PERBUP 8 tahun 2015.
2. Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian yuridis normatif. Penelitian
yuridis normatif dilakukan melalui penelitian kepustakaan yang
meneliti data sekunder berupa bahan hukum primer, bahan hukum
sekunder dan bahan hukum tesier. Adapun bahan hukum yang
digunakan sebagai berikut.
a. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang
memiliki kekuatan hukum dan mengikat pada pihak-pihak
yang bersangkutan. Bahan hukum primer yang digunakan
dalam penulisan skripsi ini, antara lain:
1) KUHPerdata
2) Peraturan Daerah Kabupaten Bandung Nomor 70
Tahun 2016 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah
dan Bangunan.
3) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 tentang Bea
Perolehan Hak Atas Dan Bangunan.
b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan
penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti
rancangan undang- undang, hasil-hasil penlitian, atau
pendapat pakar hukum.
25
Indonesia.Peraturan Menteri Keuangan Nomor 199/ PMK.03/2007 tentang Cara
Pemeriksaan Pajak, Pasal 3 Ayat 1.
16
G. Sistematika Penulisan
Penyusunan penulisan skripsi agar dapat menyampaikan gambaran yang
jelas, mudah dipahami bagi pembaca. Maka penulis menyusun penulisan skripsi
menjadi lima bab dan setiap bab dibagi sub-sub sesuai pembahasan yaitu:
BAB I : PENDAHULUAN
Bab ini penulis memaparkan latar belakang masalah,
identifikasi masalah, tujuan masalah, kegunaan penelitian,
17
A. Tinjauan BPHTB
1. Pengertian dan dasar hukum BPHTB
26
Mardiasmo, Perpajakan Edisi Revisi 2001, (Yogyakarta, Andi Offset, 2001), hlm.
272
27
Indonesia. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan atas
Tanah dan Bangunan pasal 1 ayat 1.
28
Ibid, hlm. 31.
18
19
29
Erly Suandi, Hukum Pajak, Salemba Empat, Jakarta, 2000, hlm. 271.
30
Indonesia. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah pasal 85
20
k) Pemekaran Usaha
l) Hadiah
2) Pemberian hak baru karena
a) Kelanjutan pelepasan hak
b) Di luar pelepasan hak
31
Mardiasmo, Op. cit, hlm. 273
32
Ibid, hlm. 273.
33
Ibid, hlm.275.
21
34
Undang-Undang No. 28 Tahun 2009, Pasal 84 ayat (2)
35
Y.W. Sunindhia dan Ninik Widiyanti, Pembaharuan Hukum Agraria (Beberapa
Pemikiran, Jakarta, PT. Dina Aksara, 1988,) hlm.8.
22
pengertian “bumi” itu termasuk pula “tanah dan tubuh bumi di bawahnya
serta yang berada di bawah air” (UUPA Pasal 4 ayat 1 jo Pasal 1 ayat 4).
Sehubungan dengan itu, penjelasan umum bagian II (1) menegaskan bahwa
“Dalam pada itu hanya permukaan bumi saja, yaitu yang disebut tanah,
yang dapat dihaki oleh seseorang”.36
Mengenai pengertian jual beli tanah menurut Harun Al Rashid, pada
hakekatnya merupakan salah satu pengalihan hak atas tanah kepada
pihak/orang lain yang berupa dari penjual kepada pembeli tanah.37Achmad
Chulaimi berpendapat bahwa pengertian jual beli tanah dapat
dikelompokkan menjadi 2 bagian, yaitu Pengertian sebelum UUPA dan
Pengertian setelah berlakunya UUPA.
a) Pengertian Jual Beli Tanah Sebelum UUPA
Sebelum berlakunya UUPA, di negara kita masih terdapat
“dualisme” dalam hukum agraria, hal ini didasarkan pada kenyataan
bahwa masih berlaku dua macam hukum yang menjadi dasar bagi
hukum pertanahan kita, yaitu hukum adat dan hukum barat. Sehingga
terdapat juga dua macam tanah yaitu tanah adat (tanah Indonesia) dan
tanah barat (tanah Eropah).38
Pengertian hukum adat “jual beli” tanah adalah merupakan suatu
perbuatan hukum, yang mana pihak penjual menyerahkan tanah yang
dijualnya kepada pembeli untuk selama-lamanya, pada waktu pembeli
membayar harga (walaupun haru sebagian) tanah tersebut kepada
penjual. Sejak itu, hak atas tanah telah beralih dari penjual kepada
pembeli. Dengan kata lain bahwa sejak saat itu pambeli telah mendapat
hak milik atas tanah tersebut. Jadi “jual beli” menurut hukum adat tidak
lain adalah suatu perbuatan pemindahan hak antara penjual kepada
pembeli. Maka biasa dikatakan bahwa “jual beli” menurut hukum adat
itu bersifat “tunai” (kontan) dan “nyata” (konkrit).39 Sehubungan dengan
36
Harun Al Rashid, Sekilas tentang Jual Beli Tanah (Berikut Peraturan-peraturannya),
(Jakarta, Ghalia Indonesia), 1987, hlm. 50.
37
Achmad Chulaimi, Hukum Agraria Perkembangan Macam-macam Hak Atas Tanah
dan Pemindahannya, (Semarang, FH-UNDIP, 1986), hlm. 87-89.
38
A.P. Parlindungan, Berbagai Aspek Pelaksanaan UUPA, (Bandung, Alumni, 1973,
hlm. 40).
39
K. Wantjik Saleh, Hak Anda Atas Tanah, (Jakarta, Ghalia Indonesia, 1973, hlm. 30).
23
40
Boedi Harsono, Penggunaan dan Penerapan Asas-asas Hukum Adat pada Hak Milik
Atas Tanah, Paper disampaikan pada Simposium Hak Milik Atas Tanah Menurut UUPA,
(Bandung-Jakarta, 1983).
41
Bachtiar Effendie, Pendaftaran Tanah di Indonesia dan Peraturan-Peraturan
pelaksanaannya, (Bandung, Alumni, 1993), hlm. 86
42
R.Subekti, Aneka Perjanjian, Cetakan ke-8. (Bandung, Citra Aditya Bakti, 1989),
hlm. 11
24
43
Wiryono Prodjodikoro, Hukum Perdata tentang Persetujuan-persetujuan Tertentu,
(Bandung, Sumur, 1974), hlm. 13.
44
Hartono Soerjopratiknjo, Aneka Perjanjian Jual Beli, Cetakan 1, (Yogyakarta, Seksi
Notariat FH UGM, 1982), hlm. 5.
45
K. Wantjik Saleh, Op. cit, hlm. 32.
25
49
Achmad Chulaimi, Op. cit, hlm. 91.
50
Peranginangin, Effendi. Praktek Hukum Agraria : Permohonan Hak Atas Tanah.
(Yogyakarta, ESA Study Club, 1981), hlm. 9.
27
Hak Milik adalah hak turun temurun, terkuat dan terpenuhi yang
dapat dipunyaiorang atas tanah (Pasal 20 UUPA). Ini berarti Hak milik
51
R. Susanto, Hukum Pertanahan (Agraris), Cetakan 1,( Jakarta, Pradnya Paramita,
1980,) hlm. 26.
52
Sudargo Gautama, Tafsiran UUPA,( Bandung, Alumni, 1973), hlm. 124.
53
Harun Al Rashid, Op. cit, hlm. 51.
54
K. Wantjik Saleh, Op. cit, hlm. 19.
28
tanah mempunyai fungsi sosial termasuk pula tanah yang berstatus Hak
Milik57.Luasnya kewenangan yang diberikan oleh undang-undang
kepada pemegang Hak Milik sebagaimana yang tersebut diatas, tidak
berarti pemegang Hak Milik dapat berbuat apa saja atau tanpa batas
atas penggunaan tanah tersebut. Meskipun tanah itu berstatus Hak
Milik, pemegang Hak Milik dibatasi dalam suatu koridor aturan yang
berlaku dimana pemegang hak wajib memperhatikan fungsi sosial atas
tanah sebagaimana yang diamanatkan dalam Pasal 6 Undang-Undang
Pokok Agraria yang artinya58:
a. Dalam aktivitas penggunaan atau pemanfaatan tanah tidak boleh
menimbulkan kerugian kepada orang lain.
b. Penggunaan tanah wajib disesuaikan dengan peruntukan yang telah
ditetapkan sesuai dengan rencana tata ruang.
c. Penggunaan atau pemanfaatan tanah wajib memperhatikan
kepentingan umum selain kepentingan pribadi.
d. Tanah yang digunakan atau dimanfaatkan harus dipelihara dengan
baik dan mencegah terjadinya kerusakan tanah.
e. Tanah yang digunakan tidak boleh diterlantarkan sehingga
menimbulkan kerugian atas tanah tersebut, baik dari sisi kesuburan,
penggunaan dan kemanfaatan atas tanah tersebut
Hapusnya Hak Milik atas tanah telah diatur dalam Pasal 27
UUPA59, yang menyatakan bahwa Hak Milik atas tanah hapus dan
berakibat tanahnya jatuh kepada Negara yaitu:
a. Karena pencabutan hak atas tanah berdasarkan Pasal 8.
b. Karena penyerahan dengan sukarela oleh pemiliknya.
c. Kerena ditelantarkan.
d. Karena ketentuan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 21 ayat 3,
yaitu karena subjek haknya tidak memenuhi syarat sebagai subjek
Hak Milik atas tanah dan Pasal 26 ayat 2, yaitu: karena peralihan
57
Salim HS, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW),( Sinar Grafika, Jakarta, 2005),
hlm.101
58
Irawan Soerodjo, Op.Cit, 2014, hal. 61-62.
59
Pasal 27 UUPA tentang Hapusnya Hak Milik.
30
60
Pasal 28 ayat 1, Pasal 29 UUPA dan lihat juga Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996
mengatur tentang Hak Guna Usaha (HGU).
61
Sahnan, Hukum Agraria Indonesia, Setara Press,( Malang, 2016),hlm 83-84
62
Ibid, hlm. 84
31
65
Pasal 34 UUPA tentang Hapusnya Hak Guna Usaha (HGU).
66
Pasal 35 UUPA tentang Hak Guna Bangunan (HGB).
33
73
Irawan Soerodjo, Op.Cit, 2014, hlm 66
74
Ibid, hlm. 67
36
75
Ibid, hlm. 68.
BAB III
KASUS POSISI
37
Terkait.Dengan Pelaksanaan UU No. 28/2009 Tentang Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah, maka PPAT, Pejabat Lelang tidak perlu melakukan
penelitian SSPD
38
BPHTB pada kantor Bapenda. Namun untuk mengantisipasi adanya pemalsuan
bukti setoran pembayaran BPHTB, Kepala BPN RI mewajibkan kepada
pemohon/kuasa/PPAT/Notaris/Pejabat Lelang untuk membuat surat pernyataan
sesuai format yang disediakan oleh Kantor BPN, yang isinya memuat keterangan
bahwa yang bersangkutan benar telah membayarkan setoran pembayaran BPHTB
ke kantor instansi yang berwenang di daerahnya. Faktanya dilapangan hasil
validasi menjadi salah satu syarat mutlak untuk peralihan hak atas tanah di Badan
Pertanahan Nasional khususnya BPN Kabupaten Bandung.
Proses validasi ada beberapa permohonan yang dikuasakan kepada
pegawai Notaris/PPAT (Narasumber) ditolak dengan berbagai alasan.Beberapa
hal yang menjadi alasan ditolaknya validasi oleh BAPENDA, antara lain sebagai
berikut:
1. Kurangnya dokumen atau kesalahan dalam mengisi formulir;
2. Belum dilunasinya hutang PBB tahunan;
3. Ketidak sesuain antara transaksi dalam akta jual beli dengan nilai jual
objek pajak, dan lain sebagainya.
Kendala di atas apabila tidak segera mendapatkan penyelesaian, maka
peluang pengelolaan PBB dan BPHTB oleh Bapenda justru akan memunculkan
ketidakpastian nilai, kegelisahan masyarakat dan terhambatnya berbagai proses
yang berhubungan dengan peralihan hak atas tanah.76
76
Bonus Aprianto Hernanda, “Problematika Validasi Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan
Bangunan Atas Temuan Hasil Verifikasi Lapangan Nilai Bangunan Tidak Sesuai Dengan Nilai
Jual Objek Pajak Dan Nilai Perolehan Objek Pajak”, Jurnal Ilmiah Mahasiswa Universitas
Surabaya Vol. 3 No. 1, 2014, hlm. 12, diakses 12 Juli 2023,
https://journal.ubaya.ac.id/index.php/jimus/article/download/1548/1266/.
Pada tahun 2023 nyonya X akan melakukan peralihan hak ke BPN dengan
dasar AJB No.XXX/2009 yang nyonya X buat pada tahun 2009 lalu dikarenakan
pada saat pembuatan akta jual beli nyonya X tidak melaksanakan proses
pembayaran pajak PPh dan BPHTB maka dengan itu nyonya X diharuskan
terlebih dahulu untuk membayar pajak tersebut.
Pada saat setelah melaksanakan pembayaran pajak tersebut, nyonya X
diharuskan melakukan validasi pajak yang sudah dibayarkan kepada Bapenda dan
Kpp pratama, namun pada saat dilakukan validasi BPHTB ternyata validasinya
ditolak dengan alasan NJOP tidak sesuai atau transaksi dibawah minimum NJOP
tahun 2023 sedangkan akta yang dibuat oleh nyonya X pada tahun 2009 sudah
sesuai dengan NJOP pada tahun itu. Bapenda dengan alasan aplikasi yang baru
tahun 2023 dipakai, tidak dapat memproses dan mengharuskan membayar
BPHTB sesuai dengan transaksi yang ditentukan aplikasi dan dapat dilakukan
proses validasi, Bapenda mengharuskan melakukan pembayaran dengan seolah-
olah transaksi menjadi 200 juta sesuai perhitungan aplikasi yang menurut
Bapenda merupakan NJOP terbaru atau NJOP 2023 yang ditetapkan aplikasi
tersebut.
Sebenarnya tidak semua pemohon atau disini pembeli dalam Akta jual-beli
(yang memiliki kewajiban untuk membayar BPHTB), dengan intruksi Bapenda
tersebut transaksi bisa saja menjadi lebih besar dan pajak yang ditanggung baik
pembeli maupun penjual akan menjadi lebih besar. Sedangkan transaksi tersebut
telah dilakukan dalam beberapa tahun kebelakang dengan kesepakatan contohnya
100 juta, dengan adanya intruksi Bapenda tersebut dengan bertambahnya NJOP
setiap tahunnya bisa menjadi dua sampai dengan tiga kali lipat atau menjadi 200 –
300 juta. Pemohon sendiri menolak untuk membayar pajak sesuai dengan NJOP
yang baru tersebut, dikarenakan transaksi yang benar-benar terjadi sesuai dengan
nilai yang dimohonkan dalam validasi tersebut.
Permasalahan tersebut diatas menimbulkan proses peralihan hak menjadi
terhambat karena hasil penelitian validasi BPHTB yang dilakukan Bapenda
menjadi salah satu syarat yang mutlak.
BAB IV
Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), adalah pajak
yang dikenakan atas perolehan hak atas tanah dan bangunan .yang sudah dirubah
dengan UU No. 21 Tahun 1997 di samping Pajak Bumi dan Bangunan yang
diatur dalam UU No. 12 th 1985 sebagaimana telah diubah dengan UU No 12 th
1994. Subyek Pajak dari BPHTB adalah orang pribadi atau badan hukum yang
memperoleh hak-hak atas tanah dan bangunan. Sebelum dikeluarkan UU No. 21
Tahun 1997, ada pemungutan pajak dengan nama Bea Balik Nama yang diatur
dalam ordonansi Bea Balik Nama Staatsblaad 1924 Nomor 291. Bea Balik Nama
ini dipungut atas setiap ada perjanjian pemindahan hak atas harta tetap yang ada
di wilayah Indonesia, termasuk peralihan harta karena hibah wasiat. Yang
dimaksud harta tetap dalam Ordonansi tersebut adalah barang-barang tetap dan
hak-hak kebendaan atas tanah, yang pemindahan haknya dilakukan dengan
pembuatan akta menurut cara yang diatur dalam undang-undang.
Pengertian geologis-agronomis, tanah ialah lapisan lepas permukaan
bumi yang paling atas. Yang dapat dimanfaatkan untuk menanami tumbuh-
tumbuhan disebut tanah garapan, tanah pekarangan, tanah pertanian, tanah
perkebunan. Sedangkan yang digunakan untuk mendirikan bangunan disebut
tanah bangunan. Di dalam tanah garapan itu dari atas ke bawah berturut-turut
terdapat sisiran garapan sedalam irisan bajak, lapisan pembentukan humus dan
lapisan dalam. Sedangkan selaku fenomena yuridis,c.q. hukum positif kita,
tanah itu dikualifikasikan sebagai “permukaan bumi”, sedangkan di dalam
pengertian “bumi” itu termasuk pula “tanah dan tubuh bumi di bawahnya
40
serta yang berada di bawah air” (UUPA Pasal 4 ayat 1 jo Pasal 1 ayat 4).
Sehubungan dengan
41
41
itu, penjelasan umum bagian II (1) menegaskan bahwa “Dalam pada itu hanya
permukaan bumi saja, yaitu yang disebut tanah, yang dapat dihaki oleh
seseorang”.
Pengertian jual beli tanah menurut Harun Al Rashid, pada
hakekatnya merupakan salah satu pengalihan hak atas tanah kepada
pihak/orang lain yang berupa dari penjual kepada pembeli tanah.77Achmad
Chulaimi berpendapat bahwa pengertian jual beli tanah dapat
dikelompokkan menjadi 2 bagian, yaitu Pengertian sebelum UUPA dan
Pengertian setelah berlakunya UUPA.
Proses transaksi jual beli tanah dan bangunan, NJOP merupakan hal
yang wajib dipahami terlebih dahulu. Karena, dengan mengetahui Nilai
Jual Objek Pajak, maka akan tahu berapa besar dana dan pajak yang akan
ditanggung dari transaksi tersebut. Jadi, bisa dikatakan fungsi Nilai Jual
Objek Pajak sebagai penentu harga dan pertimbangan dalam menjual tanah
dan bangunan. Setelah menentukan nilai jual tersebut maka akan diketahui
Bea perolehan hak atas tanah dan Bangunan (BPHTB), BPHTB adalah
pajak atas perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan.
Pelaksanan untuk melakukan transaksi jual beli tanah dan bangunan pada
kantor PPAT sebelum melakukan penandatanganan akta jual beli, PPAT akan
meminta bukti pembayaran pajak penjual (PPh) dan pembeli (BPHTB) jika belum
akan dibantu untuk pembuatan formulir pembayaran yang dipakai sebagai dasar
pembayaran pajak tersebut, Wajib Pajak BPHTB harus sudah membayar pajak
yang terutang sebelum akta jual beli tersebut diterbitkan atau ditandatangani oleh
PPAT/Notaris. Akta disini sebagai bukti telah terjadi jual beli tanah dan atau
bangunan. Jika akta tersebut ditandatangani sebelum dilunasinya pajak
BPHTB yang terutang, maka PPAT/Notaris tersebut akan terkena sanksi sesuai
peraturan yang berlaku.78
Perhitungan untuk pajak penjual (PPh) dalam PP Nomor 34 Tahun 2016
disebutkan bahwa atas penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi
atau badan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan atau perjanjian
77
Achmad Chulaimi, Hukum Agraria Perkembangan Macam-macam Hak Atas Tanah dan
Pemindahannya, (Semarang, FH-UNDIP, 1986), hlm. 87-89.
78
Adrian Sutedi, Hukum Pajak dan Retribusi Daerah, Ghalia Indonesia, (Bogor, 2008),
hlm. 13
42
pengikatan jual beli atas tanah dan/atau bangunan beserta perubahannya, terutang
Pajak Penghasilan yang bersifat final. Tarifnya ada tiga, tergantung dari jenis
transaksinya yang dikenaikan dari jumlah bruto nilai pengalihan, yaitu 2,5% untuk
transaksi pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan selain pengalihan hak atas
tanah dan/ atau bangunan berupa Rumah Sederhana atau Rumah Susun Sederhana
yang dilakukan oleh wajib pajak yang usaha pokoknya melakukan pengalihan hak
atas tanah dan/atau bangunan. Contohnya jika transaksi sebesar Rp. 100.000.000,-
dikalikan 2,5% hasilnya Rp. 2.500.000,- (biaya pajak yang harus dibayarkan
penjual).
Cara menghitung BPHTB yaitu 5 persen dari harga beli dikurangi Nilai
Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NJOPTKP). Misalnya harga tanah dan
bangunan sebesar Rp. 100.000.000,- dikurangi NJOPTKP wilayah kabupaten
bandung yaitu Rp 60.000.000,- lalu dikalikan 5 persen maka hasilnya Rp.
2.000.000,- yang menjadi nilai BPHTB.
Besaran NJOPTKP di masing-masing wilayah berbeda-beda, namun
berdasarkan Undang-Undang (UU) Nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak dan
Retribusi Daerah pasal 87 ayat 4 ditetapkan besaran paling rendah sebesar Rp 60
juta untuk setiap wajib pajak. Kendati demikian, apabila perolehan hak berasal
dari waris atau hibah wasiat yang diterima orang pribadi yang masih memiliki
hubungan keluarga sedarah maka NJOPTKP ditetapkan paling rendah senilai Rp
300 juta. Besaran pokok pajak BPHTB yang terutang dihitung dengan mengalikan
tarif dengan Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP) setelah dikurangi Nilai
Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP). Adapun NPOPTKP
merupakan nilai pengurangan NPOP sebelum dikenakan tarif BPHTB.79
Diwajibkan untuk melaporkan (validasi), setelah proses pembayaran
subjek pajak dilakukan, untuk PPh dilaksanakan di KPP (Kantor Pelayanan Pajak)
pratama diwilayah bidang tanah yang menjadi objek jual beli. Sedangkan untuk
BPTHB dilaporkan (validasi) kepada dinas pendapatan daerah (DISPENDA)
setempat. Validasi PPh maupun BPHTB dapat dilakukan sendiri oleh wajib pajak
atau dibantu oleh PPAT. Persyaratan validasi PPh dan BPHTB yaitu:80
79
Perkim.id. Bagaimana Rumus Menghitung Biaya BPHTB?. Perkim.id. 11 Mar, 2021.
Diakses pada 09 Juli 2023. https://perkim.id/perumahan/bagaimana-rumus-menghitung-biaya-
bphtb.
80
Diperoleh dari jawaban yang menggunakan daftar pertanyaan dari staff Notaris-PPAT
43
1. KTP para pihak dalam jual beli tanah dan bangunan tersebut;
2. NPWP para pihak dalam jual beli tanah dan bangunan tersebut;
3. Bukti pembayaran PPh dan/atau BPHTB;
4. Foto copy akta jual beli;
5. Foto copy PBB; dan,
6. Lainnya berdasarkan aturan yang berlaku.
Dinas terkait akan memeriksa sesuai dengan aturan yang berlaku jika telah
dilakukannya pelaporan tersebut dan jika laporan tersebut telah memenuhi maka
dinas tersebut akan mengeluarkan Surat Keterangan Penelitian Formal Bukti
Pemenuhan Kewajiban Penyetoran Pajak baik pajak PPh ataupun BPHTB.
Dengan dasar nilai transaksi ini, maka nilai dasar yang digunakan dalam
perhitungan BPHTB tergantung dari kesepakatan para pihak dalam melakukan
transaksi.Sehingga kepastian kebenaran nilai transaksi yang dianggap telah
disetujui dan menjadi dasar perhitungan BPHTB tergantung dari kejujuran para
pihak. Tidak menutup kemungkinan nilai transaksi tersebut tidak sesuai dengan
yang sebenarnya yang sengaja dilakukan dengan maksud agar pajaknya lebih
rendah dari yang sebenarnya.Hal ini tentunya tidak mudah untuk menjamin
kapastian bahwa nilai transaksi yang digunakan sebagai dasar perhitungan
BPHTB itu adalah nilai transaksi yang sebenarnya ataukah tidak. Hal demikian
wajar dapat saja terjadi penurunan harga, mengingat pada umumnya para pihak
menghendaki pembayaran pajak yang lebih ringan. Dalam hal ini maka diperlukan
adanya validasi untuk melakukan penelitian dan verifikasi secara cermat tentang
kebenaran nilai transaksi yang digunakan sebagai dasar perhitungan BPHTB.
Validasi maksudnya adalah penelitian/verifikasi atas bukti pembayaran
yang berupa Surat Setoran Pajak Daerah (SSPD), yang dilakukan oleh petugas
dinas yang berwenang, antara lain untuk meneliti kebenaran atas nilai yang
digunakan untuk menghitung BPHTB. Berdasarkan ketentuan undang-undang,
bahwa yang menjadi dasar perhitungan BPHTB adalah nilai transaksi.
Persoalan yang perlu dibahas adalah ketika dihadapan PPAT bisa
saja pihak-pihak mengaku bahwa nilai transaksinya tidak sesuai dengan
kenyataan, dalam arti lebih rendah dari yang sebenarnya, dengan maksud
agar pajak atau BPHTB nya ringan. Dalam hal terjadi demikian, maka
44
pada saat dilakukan validasi ini, ada kemungkinan nilai transaksinya harus
dirubah dan disesuaikan dan dengan sendirinya terjadi kurang bayar,
karena nilai yang digunakan menghitung BPHTB oleh wajib pajak tidak
sesuai menurut penilaian petugas yang berwenang meneliti. Disinilah yang
dapat menyebabkan kendala dan hambatan dalam proses lebih lanjut
pendaftaran peralihan di Kantor Pertanahan, karena harus menunggu
proses validasi selesai dengan membayar kekurangannya apabila terdapat
kurang bayar. Adanya hambatan dalam proses pendaftaran peralihan hak
atas tanah ini tidak sesuai dengan harapan masyarakat, yang umumnya
menghendaki proses yang cepat dan sederhana. Hal ini sesuai pernyataan
bahwa, merupakan harapan kita semua, bahwa pemrosesan sertifikat
setelah persyaratan lengkap dapat diselesaikan dalam jangka waktu yang
wajar.Pelayanan aparat pelaksana pendaftaran tanah yang profesional dan
transparansi dalam tata kerja serta biaya yang diperlukan, merupakan
syarat keberhasilan pelaksanaan pendaftaran tanah.81
Berkaitan dengan validasi SSPD ini pada awal pengalihan
pengelolaan dari pajak pusat oleh KPP Pratama menjadi pajak darah oleh
pemerintah daerah melalui dinas yang berwenang semula menjadi syarat
wajib dalam pendaftaran peralihan jual beli di kantor pertanahan,
disamping juga validasi atas pajak penjual (PPh) oleh KPP Pratama.
Karena terjadi hambatan pada saat pendaftaran peralihan di kantor
pertanahan inilah, menimbulkan keluhan masyarakat yang melakukan
pengurusan peralihan tanah. Karena untuk syarat pendaftaran harus
menunggu validasi SSPD yang kadang memakan waktu yang lama, di
samping harus melakukan perubahan nilai transaksi dan besarnya
pembayaran BPHTB ketika nilai yang diajukan wajib pajak tidak sesuai
menurut perhitungan dinas yang berwenang. Dengan kondisi demikian,
maka dalam perkembangannya kemudian keluar Surat Edaran Kepada
Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia nomor : 05 /SE/IV/2003
tentang Pendafataran Hak Atas Tanah atau Pendaftaran Hak atas Tanah
terkait dengan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009
81
Maria S.W. Sumardjono, Kebijakan Pertanahan Antara Regulasi & Implementasi, PT.
Kompas Media Nusantara,( Jakarta, 2002), hlm. 121-122.
45
tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, yang ditujukan kepada kepala-
kepala kantor pertanahan seluruh Indonesia, yang intinya memerintahkan
kantor pertanahan agar menerima pendaftaran peralihan tanah tanpa
menunggu validasi bukti pembayaran BPHTB. 82
Berdasarkan data dan keterangan yang diperoleh ternyata dalam
penerapan kewajiban validasi pembayaran BPHTB pasca Surat Edaran
Kepala Badan Pertanahan Nasional nomor 5 /SE/IV/2003 tentang
Pendafataran Hak Atas Tanah atau Pendaftaran Hak atas Tanah terkait
dengan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak
Daerah dan Retribusi Daerah, berbeda-beda antara wilayah Kabupaten dan
Kota yang satu dan lainnya.
Bagi kantor pertanahan dalam pendaftaran peralihan hak atas tanah
ada yang tidak mensyaratkan validasi, sementara ada yang mengambil
jalan tengah tidak mensyaratkan tetapi pada saat mengambil Sertifikat
dipersyaratkan adanya bukti pembayaran BPHTB (SSPD) yang sudah
divalidasi, juga ada yang tidak mensyaratkan tetapi ada instansi lain dalam
proses lain yaitu pada saat validasi pembayaran pajak penjual (PPh) di
KPP Pratama yang mensyaratkan validasi BPHTB. Dengan ketidak
seragaman dalam pelayanan proses pendaftaran peralihan hak atas tanah
terkait dengan persyaratan validasi BPHTB ini tentunya juga dapat
menimbulkan ketidakadilan dan tidak adanya kepastian hukum. Untuk itu
pada waktu ke depan diharapkan ada perbaikan dan pembenahan melalui
kerjasama dan koordinasi yang baik antar instansi dan pihak-pihak yang
terkait dengan proses peralihan hak atas tanah dan pembayaran BPHTB,
baik Kantor Pertanahan, Dinas pengelola BPHTB, dan PPAT-Notaris.83
Umumnya data dan keterangan yang diperoleh dari para
PPAT/Notaris, mengeluhkan adanya ketidakpastian berasnya nilai BPHTB
yang harus dibayar, sehubungan nilai transaksi yang digunakan sebagai
dasar menghitung BPHTB antara yang disepakati oleh pihak-pihak dengan
dinas sering terjadi perbedaan, dan tidak jarang harus diadakan perubahan
82
R. Murjiyanto dan Samun Ismaya Kepastian Nilai Dasar Penghitungan Bea Perolehan
Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) 490 Jurnal Hukum ius quia iustum no. 3 vol. 22 juli
2015: 489 – 509.
83
Ibid hlm.491
46
nilai transaksi sesuai penilaian dinas dan harus menambah BPHTB yang
harus dibayar. Yang menjadi persoalan adalah ketika akta jual beli sudah
resmi ditandatangani dengan nilai transaksi sesuai dengan kesepakatan
antara penjual dan pembeli, di waktu kemudian pada saat diajukan validasi
terdapat berbedaan nilai transaksi menurut perhitungan dinas dan harus
diadakan perubahan. Dalam hal ini mana nilai transaksi yang sebenarnya,
apakah nilai yang telah disepakati pihak-pihak dan dimuat di dalam akta
yang sudah ditandatangani, atau nilai yang harus diikuti menurut
perhitungan dinas84. Sedangkan penggunaan nilai dalam akta yang tidak
sesuai dengan kenyataan yang sebenarnya ada konsekuensi yuridis,
sehingga apabila terjadi sengketa dapat menjadi batal. Sedangkan
keterangan dan pendapat yang diperoleh dari narasumber dari dinas
pendapatan Kabupaten/Kota yang berwenang mengelola BPHTB
menghendaki bahwa nilai yang dipergunakan sebagai dasar perhitungan
BPHTB tetap menggunakan dasar nilai transaksi, dengan pertimbangan
bahwa nilai tanah selalu mengalami perkembangan terutama kenaikan,
sehingga tidak dapat itentukan secara tetap. Oleh karena itu juga
menghendaki tetap adanya kewajiban validasi pada setiap pembayaran
BPHTB untuk meneliti kesesuaian obyek pajak dan nilai transaksi yang
sebenarnya.
Keterangan dan pendapat yang diperoleh dari narasumber Kantor
Pertanahan, melainkan mengatakan bahwa prinsipnya berpegang pada
Surat dari Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor : 5 /SE/IV/2003
85
tentang Pendafataran Hak Atas Tanah atau Pendaftaran Hak atas Tanah
terkait dengan pelaksanaan UndangUndang Nomor 28 Tahun 2009 tentang
Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, diperoleh pendapat dan keterangan
berkaitan dengan kewajiban validasi, yaitu bahwa kewajiban validasi atas
pembayaran BPHTB berbeda-beda antara wilayah Kabupaten dan Kota.
Bagi kantor pertanahan dalam pendaftaran peralihan hak atas tanah ada
yang tidak mensyaratkan validasi, sementara ada yang mengambil jalan
tengah tidak mensyaratkan tetapi pada saat mengambil Sertifikat
84
Ibid hlm 492
85
Ibid hlm 493
47
86
R. Murjiyanto dan Samun Ismaya Op.cit hlm.501
48
87
Andrian Sutedi, Opcit hlm. 107
49
88
Padmo Wahjono, Undang-undang Perpajakan Beserta Penjelasan dan Peraturan
Pelaksanaan, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1984, hlm. 51.
50
NJOP pengganti. NJOP yang didasarkan pada Pasal 79 UU No. 28 Tahun 2009, sebagai
berikut : Dalam menetapkan NJOP diatur dalam Pasal 79 sebagaimana jangka waktu
penetapan NJOP, Pemerintah Daerah dalam hal ini adalah Kepala Daerah dilakukan
setiap 3 tahun sekali, kecuali objek pajak tertentu yang besarannya dapat ditetapkan setiap
tahun tergantung perkembangan wilayahnya. Penetapan NJOP dapat dilakukan dengan
beberapa cara, yaitu:89
1. Perbandingan harga dengan objek lain yang sejenis, adalah suatu pendekatan/metode
penentuan nilai jual suatu objek pajak dengan cara membandingkannya dengan objek
pajak lain yang sejenis yang letaknya berdekatan dan fungsinya sama dan telah
diketahui harga jualnya.
2. Nilai perolehan baru, adalah suatu pendekatan/metode penentuan nilai jual suatu
objek pajak dengan cara menghitung seluruh biaya yang dikeluarkan untuk
memperoleh objek tersebut pada saat penilaian dilakukan, yang dikurangi dengan
penyusutan berdasarkan kondisi pisik objek tersebut.
3. Nilai jual pengganti, adalah suatu pendekatan/metode penentuan nilai jual suatu objek
pajak yang berdasarkan pada hasil produksi objek pajak tersebut.
Berdasarkan Pasal 2 ayat (2) huruf k Undang-Undang Nomor 28 Tahun
2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dinyatakan bahwa salah satu
jenis pajak kabupaten/kota adalah Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
(BPHTB). Hal ini menyebabkan BPHTB yang dulunya ditangani oleh
Pemerintah Pusat yang merupakan Pajak Pusat, sekarang ditangani sendiri oleh
Pemerintah Kabupaten/Kota dan merupakan Pajak Daerah. Dengan demikian,
Kantor Pusat dalam hal ini Direktorat Jenderal Pajak (DJP) memungut BPHTB
sampai dengan 31 Desember 2010, sedangkan mulai tahun 2011, DJP tidak
berwenang memungut BPHTB lagi. Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor
28 Tahun 2009 ini, maka mengakibatkan Undang- Undang BPHTB tidak berlaku
lagi yaitu 1 (satu) tahun sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 28 Tahun
2009 tentang pajak dan retribusi daerah tersebut. 90
Wewenang untuk melakukan pemungutan BPHTB beralih dari
Pemerintah Pusat ke Pemerintah Daerah sebagaimana diamanatkan Undang-
Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang pajak dan retribusi daerah, tujuan terbesar
89
Arum Sri Pen problematika pemungutan BPHTB terhadap harga jual tanah di
kabupaten gresik Jurnal Pro Hukum: Vol . 11, No. 2, Agustus 2022, hlm 2 diakses 15 Juli 2023
https://journal.ubaya.ac.id/index.php/jimus/article/view/1549.
90
Pasal 180 ayat (6) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan
Retribusi daerah.
51
dari pengalihan tersebut tidak lain untuk meningkatkan local taxing power
Kabupaten dan Kota yang selama ini belum berjalan secara maksimal, walaupun
lokalitas objek BPHTB berlokasi di daerah Kabupaten dan Kota. Pengalihan
BPHTB dari Pusat dan Daerah tidak hanya sebatas pemungutan/penagihan
melainkan juga pada pendataan, penilaian, penetapan, pelayanan yang
menyeluruh disamping pengadministrasian yang harus dilaksanakan daerah.
Berlakunya Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang pajak dan
retribusi daerah, BPHTB menjadi Pajak Daerah, maka Kabupaten Bandung yang
merupakan salah satu daerah yang telah menerapkan kebijakan pengaturan
BHPTB di wilayahnya kemudian menerbitan Peraturan Daerah Kabupaten
Bandung Nomor 8 Tahun 2015 tentang perubahan atas peraturan bupati bandung
nomor 37 tahun 2012 tentang bentuk isi formulir, klasifikasi penetapan nilai jual
objek pajak dan ketetapan terendah pajak bumi dan bangunan perdesaan dan
perkotaan, sebagai bentuk desentralisasi pengelolaan BPHTB. Dari hasil analisa
penulis, sebagaimana yang dijelaskan dalam pasal 3 huruf L Perda Kabupaten
Bandung No. 8 Tahun 2015 tentang perubahan atas peraturan bupati bandung
nomor 37 tahun 2012 tentang bentuk isi formulir, klasifikasi penetapan nilai jual
objek pajak dan ketetapan terendah pajak bumi dan bangunan perdesaan dan
perkotaan mengatur: NJOP sebagai dasar pengenaan PBB pada SPPT ini dapat
dipergunakan sebagai dasar pengenaan Bea Perolehan Hak ata Tanah dan
Bangunan sesuai dengan ketentuan Pasal 87 ayat (3) Undang-Undang Nomor 28
Tahun 2009 dan pembayaran Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari pengalihan
Hak Atas Tanah dan/atau Bangunan sesuai dengan ketentuan Pasal 4 Peraturan
Pemerintah Nomor 48 Tahun 1994 sebagaimana telah beberapa kali diubah
terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2008.
Secara umum mekanisme pengenaan dan penetapan objek, subjek, tata
cara perhitungan dan dasar pengenaan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan
Bangunan (BPHTB) dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang
Pajak Daerah dan Retribusi Daerah sama dengan pengaturan BPHTB yang diatur
dalam Undang-Undang Nomor 21 tahun 1997 tentang BPHTB sebagaimana telah
diubah dengan UndangUndang Nomor 20 Tahun 2000. Mekanisme ini kemudian
secara sempurna di ikuti didalam substansi ketentuan Perda Kabupaten Bandung
Nomor 8 Tahun 2015. Dari hasil analisa penulis terhadap UU No. 28 tahun 2009
dan Perda Kabupaten Bandung No. 8 tahun 2015, maka mekanisme penetapan
pajak BPHTB hanya memberikan kebebasan bagi daerah dalam menentukan
52
kebijakan penetapan tarif BPHTB dalam batas maksmial dan minimal sudah
ditentukan dalam UU ini. Artinya, baik subyek maupun obyek pengenaan pajak
BPHTB yang telah diatur dalam UU No. 28 Tahun 2009 harus tetap dimasukkan
dalam regulasi masing-masing peraturan daerah yang mengatur pajak daerah dan
retribusi daerah. Amanat dari mekanisme pengenaan pajak BPHTB tersebut
kemudian dituangkan dalam pasal-pasal yang ada dalam Perda Kabupaten
Bandung Nomor 8 Tahun 2015 termasuk subyek dan obyek yang sama
sebagaimana yang diatur dalam UU No. 28 Tahun 2009 sebagai upaya dalam
peningkatan pajak di wilayah tersebut namun tetap memegang prinsip dan asas-
asas dalam pengenaan pajak itu sendiri.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Dalam proses transaksi jual beli tanah dan bangunan, NJOP merupakan hal
yang wajib dipahami karena, dengan mengetahui Nilai Jual Objek Pajak,
maka akan tahu berapa besar dana dan pajak yang akan ditanggung dari
transaksi tersebut. Jadi, bisa dikatakan fungsi Nilai Jual Objek Pajak sebagai
penentu harga dan pertimbangan dalam menjual tanah dan bangunan. Setelah
menentukan nilai jual tersebut maka akan diketahui Bea perolehan hak atas
tanah dan Bangunan BPHTB, BPHTB adalah pajak atas perolehan hak atas
tanah dan atau bangunan. Dalam pelaksanannya untuk melakukan transaksi
jual beli tanah dan bangunan pada kantor PPAT sebelum melakukan
penandatanganan akta jual beli, PPAT akan meminta bukti pembayaran pajak
penjual PPh dan pembeli BPHTB jika belum akan dibantu untuk pembuatan
formulir pembayaran yang dipakai sebagai dasar pembayaran pajak tersebut,
Wajib Pajak BPHTB harus sudah membayar pajak yang terutang sebelum
akta jual beli tersebut diterbitkan atau ditandatangani oleh PPAT Notaris.
Validasi maksudnya adalah penelitian verifikasi atas bukti
pembayaran yang berupa Surat Setoran Pajak Daerah SSPD, yang dilakukan
oleh petugas dinas yang berwenang, antara lain untuk meneliti kebenaran atas
nilai yang digunakan untuk menghitung BPHTB. Berdasarkan ketentuan
undang-undang, bahwa yang menjadi dasar perhitungan BPHTB adalah nilai
transaksi. Dalam Pasal 87 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang
pajak dan retribusi Daerah, bahwa yang menjadi dasar pengenaan Bea
Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah Nilai Perolehan Objek
Pajak. Sedang
52
53
Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang pajak dan retribusi
daerah, BPHTB menjadi Pajak Daerah, maka Kabupaten Bandung yang merupakan salah
satu daerah yang telah menerapkan kebijakan pengaturan BHPTB di wilayahnya
kemudian menerbitan Peraturan Daerah Kabupaten Bandung Nomor 8 Tahun 2015
tentang perubahan atas peraturan bupati bandung nomor 37 tahun 2012 tentang bentuk isi
formulir, klasifikasi penetapan nilai jual objek pajak dan ketetapan terendah pajak bumi
dan bangunan perdesaan dan perkotaan, sebagai bentuk desentralisasi pengelolaan
BPHTB. Dari hasil analisa penulis, sebagaimana yang dijelaskan dalam pasal 3 huruf L
Perda Kabupaten Bandung No. 8 Tahun 2015 tentang perubahan atas peraturan bupati
bandung nomor 37 tahun 2012 tentang bentuk isi formulir, klasifikasi penetapan nilai jual
objek pajak dan ketetapan terendah pajak bumi dan bangunan perdesaan dan perkotaan
mengatur NJOP sebagai dasar pengenaan PBB pada SPPT ini dapat dipergunakan sebagai
dasar pengenaan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan sesuai dengan ketentuan
Pasal 87 ayat 3 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 dan pembayaran Pajak
Penghasilan atas Penghasilan dari pengalihan Hak Atas Tanah danatau Bangunan sesuai
dengan ketentuan Pasal 4 Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 1994 sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2008.
B. Saran- Saran
1. Diharapkan Bapenda Kabupaten Bandung melakukan pelatihan tentang
perpajakan khususnya BPHTB kepada seluruh pegawai-pegawainya agar
memahami mekanisme pemungutan BPHTB, memahami ketentuan
perpajakan khususnya BPHTB dan lebih memberikan pelayanan yang
maksimal.
2. Diharapkan kepada pegawai Bapenda agar melakuklan penelitian
validasi BPHTB berdasarkan aturan yang ada, khusunya pada
penentuan perhitungan pajak BPHTB berdasarkan undang-undang
nomor 28 tahun 2009 tentang pajak dan retribusi daerah.
54
DAFTAR PUSTAKA
Harsono, Boedi. Penggunaan dan Penerapan Asas-asas Hukum Adat pada Hak
Milik Atas Tanah, Paper disampaikan pada Simposium Hak Milik Atas
Tanah Menurut UUPA. Bandung-Jakarta. 1983.
HS, Salim. Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW). Jakarta: Sinar Grafika.
2005.
55
Indonesia, Peraturan Daerah Kabupaten Bandung Nomor 70 Tahun 2016 tentang
Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan.
55
Peni, Arum Sri & Huda, M. PROBLEMATIKA PEMUNGUTAN BPHTB
TERHADAP HARGA JUAL TANAH DI KABUPATEN GRESIK. Jurnal Pro
Hukum : Jurnal Penelitian Bidang Hukum Universitas Gresik, 11(2), 2.
2022. Diakses pada 15 Juli 2023.
https://journal.unigres.ac.id/index.php/JurnalProHukum/article/view/1942
R. O.H. Monding dan R.J. Pusung. Analisis Tingkat Akurasi Penetapan Nilai Jual
Objek Pajak (Njop) Bumi Dan Bangunan Di Kecamatan Paal Dua Kota
Manado. Jurnal EMBA, 4(4), 993. 2016. Diakses 26 April 2023
https://doi.org/10.35794/emba.4.4.2016.14571.
Saleh, K.W. Hak Anda Atas Tanah. Jakarta: Ghalia Indonesia. 1973.
56
Siahaan, M.P. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan. Raja Grafindo
Persada. 2003.
Subekti, R. Aneka Perjanjian, Cetakan ke-8. Bandung: Citra Aditya Bakti. 1989.
Sutedi, Adrian. Hukum Pajak dan Retribusi Daerah. Bogor: Ghalia Indonesia.
2008.
57