Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH PERPAJAKAN INTERNASIONAL

KASUS PERMASALAHAN TRANSFER PRICING


PADA PT HOTEL INDONESIA NATOUR (HIN)

Dosen Pengampu:
Dwi Fionasari, SE., M.Ak

DISUSUN OLEH :

RAHMAD FAYYADH WISESA

190301195

PROGRAM STUDI AKUNTANSI


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH RIAU
PEKANBARU
2023
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI...................................................................................................................................2

BAB I...............................................................................................................................................2

PENDAHULUAN...........................................................................................................................2

1.1 Latar Belakang..................................................................................................................2

1.2 Rumusan Masalah.............................................................................................................3

1.3 Tujuan...............................................................................................................................3

BAB II.............................................................................................................................................4

PEMBAHASAN..............................................................................................................................4

3.1 Build, Operate & Transfer (BOT).....................................................................................4

3.2 Permasalah Kasus PT HIM...............................................................................................5

BAB III............................................................................................................................................9

PENUTUP.......................................................................................................................................9

3.1 Kesimpulan.......................................................................................................................9

DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................................10
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Latar belakang diadakannya perjanjian ini adalah kondisi Hotel Indonesia yang meskipun
berada di tempat strategis, yakni di jalan M.H. Thamrin, namun pengelolanya tidak dapat
dapat dengan mudah meraih keuntungan. Usia bangunan yang lebih dari lima dekade, serta
minimnya perbaikan bangunan, membuat HI kesulitan menghadapi persaingan bisnis hotel di
Jakarta. Peremajaan gedung tersebut bukan hal mudah. Dibutuhkan dana besar dan mitra
yang dapat diandalkan untuk merevitalisasi aset nasional tersebut.

Isu keberadaan dua gedung tinggi di proyek BOT Hotel Indonesia akhir - akhir ini
memang tengah mencuat. Parahnya lagi, kedua bangunan tersebut disinyalir tidak terdapat
dalam perjanjian yang ditandatangani pada 11 Mei 2004 oleh PT Hotel Indonesia Natour
(HIN) selaku wakil pemerintah cq. Kementerian BUMN dengan PT Cipta Karya Bersama
Indonesia (CKBI) yang kemudian mendelegasikan hak BOT miliknya kepada PT Grand
Indonesia (GI).

Sejumlah kejanggalan ditemukan dalam kontrak yang baru akan berakhir pada 2054 itu.
Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI), Boyamin Saiman kepada Law-
justice.co mengatakan penunjukan anak usaha Group Djarum PT CKBI sebagai mitra
strategis PT HIN, patut dipertanyakan. “Saya yakin dugaan penyimpangan itu ada
karena beauty contest-nya dulu bagaimana, tiba-tiba HIN kerjasama dengan PT CKBI itu.”
Menurutnya, negara menderita kerugian karena sejak awal penentuan harga kerjasama
berbentuk BOT itu terlalu murah.

Pada Bulan Februari 2003, pemerintah mengumumkan rencana pengembangan HIN


melalui Harian Bisnis Indonesia, Jakarta Post, dan Sinar Harapan. Pada waktu itu ada sekitar
52 calon mitra strategis yang diundang, tapi hanya 8 yang berminat dan hanya 4 yang
mengajukan penawaran. Dari 4 calon investor, PT CKBI/PT GI menjadi penawar tertinggi
dengan nilai Rp 1,26 Triliun. Akhirnya, dimulailah proses negosiasi kerjasama BOT dari
bulan Juni 2003 sampai Februari 2004. Dalam proses itu, ada beberapa kali revisi proposal.
Setelah dicapai kesepakatan BOT, lalu keluarlah persetujuan dari Meneg BUMN Laksamana
Sukardi via surat S-247/MBU/2004 tanggal 11 Mei 2004. Dua hari kemudian
ditandatanganilah kontrak kerjasama Build, Operate, Transfer antara kedua belah pihak
tertanggal 13 Mei 2004.

Sekadar informasi, perkara ini sudah masuk dalam tahap penyidikan Kejagung.
Sayangnya, hingga saat ini Kejagung belum menetapkan tersangka sedangkan, untuk nilai
kerugian negara yang ditimbulkan sebesar Rp 1,2 triliun.

Sebelumnya, Jaksa Agung Muda tindak Pidana Khusus Arminsyah menjelaskan bila
ditemukan dugaan korupsi dengan adanya pelanggaran perjanjian BOT yaitu pembangunan
Menara BCA dan apartemen Kempinski tidak termasuk dalam perjanjian yang sudah
disepakati.

Untuk mengungkap perkara ini, penyidik sudah memanggil lebih dari 10 orang untuk
dimintai keterangan beberapa diantaranya adalah mantan Menteri BUMN Laksamana
Sukardi, mantan Direktur Utama PT Hotel Indonesia Natour A.M Suseto.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa yang dimaksud dengan (Build Operate & Transfer)?
2. Apa permasalahan pada kasus PT HIN?
3. Apa solusi dari pemasalahan kasus PT HIN?

1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui apa itu BOT
2. Untuk mengetahui permasalahan apa yang terjadi pada kasus PT HIN
3. Untuk mengetahui solusi dari pemasalahan kasus PT HIN
BAB II
PEMBAHASAN

3.1 Build, Operate & Transfer (BOT)


Bangun guna serah (Build Operate & Transfer) adalah bentuk perusahaan kerjasama yang
dilakukan antara pemegang hak atas tanah dengan investor yang menyatakan bahwa
pemegang hak atas tanah memberi hak kepada investor untuk mendirikan bangunan selama
masa perjanjian BOT dan mengalihkan kepemilikan bangunan kepada pemegang hak atas
tanah setelah masa guna serah (BOT) berakhir.

Bangunan yang didirikan oleh insvestor dapat berupa gedung perkantoran, apartemen,
pusat perbelanjaan, rumah toko (ruko), hotel, dan bangunan lainnya. Ketentuarn pelaksanaan
perpajakan tentang BOT ini diatur dalam Keputusan Menkeu No. 248/KMK.04/1995 dan SE.
38/PJ.4/1995.

Sedangkan pembayaran PPh Final Pasal 15 atas kerjasama bentuk BOT, sesuai Peraturan
Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-24/PJ/201 tanggal 2 Jull 2013, ditetapkan
menggunakarn Kode Akun Pajak 411128 dengan kode jenis setoran No. 415.

Perlakuan Perpajakan:

a. Bagi investor
 Penghasilarn berupa penerimaan sewa/penguasaan, hotel/penerimaan lain sehubungan
dengan pengoperasiarn gedung.
 Imbalan yang diterima dari pemegang hak atas tanah apabila masa BOT diperpendek
dan periode yarng dijanjikan.
 Biaya yang boleh dikurangkan adalah biaya sebagaitmana diatur dalam Pasal 6 ayat I
dan dengan memperhatikarn Pasal 9 ayar 1UU No.1 7/2000.
 Biaya pendirian bangunan diamortis secata garis lurus sesuai periode BOT, dimulai
pacda saat bangunan digunakan lurus
 Apabila periode BOT diperpendek dari periode yang telah ditetapkan, maka sisa nilai
buku bangunan diamortisasi sekaligus pada saat berakhirnya BOT ftersebut.
b. Bagi pemeagang hak atas tanah
 Pembayaran berkala yang diterima dari investor selama masa BOT
 Bagian sewa atau keuntungan dan penghasilan lainnya sehubungan dengan perjanjian
BOT
 Dalam hal bangunan yang didirikan oleh investor sebagian diserahkan kepada
pemegang hak atas tanah, penyerahan tersebut terutang PPh sebesar 5% dari nilai
yang tertinggi antara nilai pasar dan NJOP dari bagian bangunan yang diserahkan.
Harus dilunasiolen pemegang hak atas tanah selambat-lambatnya tanggal 15 bulan
berikutnya, setelah bulan penyerahan. Pembayaran ini bagi orang pribadi bersifat
final namun bagi WP Badan tidak final.
 Bangunan yang diserahkan oleh investor pada akhir BOT, merupakan penghasilan
bagi pemegang hak atas tanah dan terutang PPh seperti pada butir 3 di atas.
 Biaya yang boleh dikurangkan oleh pemegang hak atas tanah selama periode BOT
adalah biaya sebagaimana dimaksud dalam.

3.2 Permasalah Kasus PT HIN


Sejumlah kejanggalan ditemukan dalam kontrak yang baru akan berakhir pada 2054 itu.
Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI), Boyamin Saiman kepada Law-
justice.co mengatakan penunjukan anak usaha Group Djarum PT CKBI sebagai mitra
strategis PT HIN, patut dipertanyakan. “Saya yakin dugaan penyimpangan itu ada
karena beauty contest-nya dulu bagaimana, tiba-tiba HIN kerjasama dengan PT CKBI itu.”
Menurutnya, negara menderita kerugian karena sejak awal penentuan harga kerjasama
berbentuk BOT itu terlalu murah.

Pada Bulan Februari 2003, pemerintah mengumumkan rencana pengembangan HIN


melalui Harian Bisnis Indonesia, Jakarta Post, dan Sinar Harapan. Pada waktu itu ada sekitar
52 calon mitra strategis yang diundang, tapi hanya 8 yang berminat dan hanya 4 yang
mengajukan penawaran. Dari 4 calon investor, PT CKBI/PT GI menjadi penawar tertinggi
dengan nilai Rp 1,26 Triliun. Akhirnya, dimulailah proses negosiasi kerjasama BOT dari
bulan Juni 2003 sampai Februari 2004. Dalam proses itu, ada beberapa kali revisi proposal.
Setelah dicapai kesepakatan BOT, lalu keluarlah persetujuan dari Meneg BUMN Laksamana
Sukardi via surat S-247/MBU/2004 tanggal 11 Mei 2004. Dua hari kemudian
ditandatanganilah kontrak kerjasama Build, Operate, Transfer antara kedua belah pihak
tertanggal 13 Mei 2004.
Dasar keputusan pemerintah untuk membuat perjanjian BOT dengan pihak swasta. Pada
Februari 2003, lewat media massa termasuk di Harian Bisnis Indonesia, the Jakarta Post, dan
Sinar Harapan, pemerintah mengumumkan rencana pengembangan kawasan Hotel Indonesia.
Saat itu ada sekitar 52 calon mitra strategis yang diundang, tapi hanya 8 yang berminat dan
kemudian mengerucut hanya tinggal 4 yang mengajukan penawaran. Dari 4 calon investor,
PT CKBI/PT GI menjadi penawar tertinggi dengan nilai Rp 1,26 Triliun. 

Negosiasi berjalan setahun lebih sampai akhirnya pada 13 Mei 2004 disepakati adanya
perjanjian kerjasama antara PT HIN dan PT CKBI/PT GI. Kerjasama ini berbentuk Build
Operate Transfer (BOT). Pada 2004 itu pula diterbitkanlah persetujuan dari Menteri BUMN
(saat itu) Laksamana Sukardi melalui Surat Nomor. S-247/MBU/2004 tanggal 11 Mei 2004
beserta lampirannya, perihal Persetujuan Perjanjian Kerjasama antara PT HIN dan CKBI.
Surat persetujuan inilah yang menjadi dasar bagi perjanjian BOT.

Isi Perjanjian BOT PT HIN dan PT CKBI

PT CKBI/PT GI berhasil menyingkirkan sejumlah calon mitra strategis lainnya, setelah


mereka menyatakan sanggup memenuhi persyaratan nilai investasi minimum sebesar Rp
1,262 triliun. Meski kemudian menurut pengakuan PT GI, biaya pembangunan yang
dikeluarkan jauh lebih besar dari nilai investasi yang tercantum dalam kontrak (Rp1,262
triliun). Besarnya melonjak 4,5 kali lipat menjadi Rp5,5 triliun.

Sebagaimana telah disebutkan di atas, kerjasama HIN – GI adalah kerjasama Bangun,


Guna, Serah (BOT). PT HIN selaku pemilik lahan memberikan Hak Pengelolaan Lahan
(HPL) kepada GI. Perjanjian ini bukan sistem sewa yang mengenal skema bagi hasil. Dalam
kontrak BOT dinyatakan bahwa seluruh keuntungan selama masa pengelolaan adalah hak PT
GI.

Berdasarkan bunyi pasal 9.9 perjanjian tersebut, pendapatan pengelolaan tanah, gedung
dan fasilitas penunjang adalah hak GI seluruhnya. Oleh karenanya GI tidak diwajibkan untuk
menyerahkan laporan pendapatan maupun laba rugi dari pengoperasian obyek gedung dan
fasilitas penunjang kepada HIN. Apalagi, BOT mensyaratkan, seluruh keuntungan dari
pengelolaan aset yang dibangun adalah hak dari PT GI, bukan PT HIN.
Sejumlah Kejanggalan

Perjanjian kerja sama antara PT HIN dengan PT CKBI/ PT GI menyisakan sejumlah


kejanggalan. Beberapa klausul yang ada dalam perjanjian model BOT tersebut dinilai berat
sebelah dan hanya menguntungkan pihak swasta. Berikut ini faktanya:

Pertama, terkait opsi perpanjangan kontrak. Dalam kontrak BOT dinyatakan bahwa PT
GI bisa melaksanakan Hak Opsi untuk memperpanjang jangka waktu kerjasama selama 20
tahun sejak tanggal ditandatanganinya Perjanjian BOT.

Awalnya, kontrak BOT akan berakhir pada 12 Oktober 2035. Namun, baru enam tahun
berjalan, tepatnya pada 2010 lalu, muncul kesepakatan baru yang menyatakan perjanjian
BOT diperpanjang hingga 20 tahun dan akan berakhir pada 12 Oktober 2055. Memang hal
ini tidak menyalahi kontrak. Dalam pasal 7.1.1 dinyatakan bahwa Hak Opsi Perpanjangan
dapat dilaksanakan sejak tanggal efektif tetapi tidak boleh lebih lambat dari 2 tahun sebelum
berakhirnya jangka waktu 30 tahun HGB atas HPL. Artinya, opsi perpanjangan memang bisa
dilakukan sewaktu-waktu.

Namun yang menarik adalah permohonan perpanjangan ini justru diajukan oleh PT HIN
kepada PT GI melalui surat No. 1103/DIRUT/HIN/11/2010 tanggal 15 November 2010.
Meski sebenarnya yang mempunyai hak perpanjangan adalah PT GI. Alasannya karena PT
HIN membutuhkan dana untuk merenovasi Hotel Inna Putri Bali dan Inna Muara Padang
yang rusak akibat gempa.

Renovasi dua hotel ini membutuhkan biaya kurang lebih Rp 1,1 triliun. Dana dari GI
kemudian cair sebesar Rp 400 milyar. Kekurangan sebesar Rp 671 miliar ditutupi pihak HIN
dengan mengajukan pinjaman ke sebuah bank BUMN.

Dalam kontrak memang disebutkan jika hak opsi perpanjangan disetujui maka GI wajib
membayar kompensasi sebesar Rp 400 miliar ATAU 25% dari Nilai Jual Objek Pajak
(NJOP) lahan yang berlaku pada saat hak opsi diajukan, tergantung mana yang lebih besar.
Baru kemudian, pihak HIN menuding kompensasi tersebut tidak fair bahkan merugikan.
Perpanjangan kerjasama lebih awal mengakibatkan negara mengalami kerugian hingga Rp
1,29 triliun. Kerugian tersebut dihitung berdasarkan selisih 25% dari NJOP tanah dan
bangunan pada tahun 2014 dengan Rp 400 miliar yang dibayar oleh GI pada tahun 2010.

Menurut Jaksa Agung M Prasetyo yang merujuk pada laporan BPK, hitung-hitungannya
seharusnya mencapai Rp 1,6 triliun. Dia pun mengatakan tidak mustahil untuk
membuat addendum perjanjian jika disara merugikan. “Yang negara jangan sampai
dirugikan,” katanya di hadapan para anggota dewan saat Rapat Kerja dengan Komisi III pada
21 April 2016 silam.

Bau konspirasi dalam perjanjian ini juga tercium dengan adanya kesepakatan nilai
kompensasi untuk PT HIN yang bersifat flat setiap tahun, sejak perjanjian diteken.  Rata rata
peningkatan nilai kompensasi hanya berkisar antara Rp 1 miliar hingga Rp 2 miliar rupiah
setiap tahun setidaknya hingga 2019 ini. Dengan perhitungan kompensasi seperti ini, jelas PT
HIN tidak mendapatkan keuntungan yang seimbang. Nilai kompensasi semestinya bisa jauh
lebih besar. Jadi terlihat disini kontrak tersebut hanya menguntungkan pihak GI.

Kejanggalan kedua, terkait pembangunan Apartemen Kempinski dan Menara BCA.

Dalam pasal 1.2 (hal 7) perjanjian kerjasama BOT disebutkan “Gedung dan fasilitas
penunjang adalah bangunan-bangunan dan segala fasilitas pendukung yang wajib dibangun
dan/atau direnovasi penerima hak BOT di atas tanah, yaitu, antara lain, pusat perbelanjaan,
hotel, dan bangunan-bangunan lainnya, berikut fasilitas parkir serta fasilitas penunjang
lainnya.”

Pasal tersebut jelas tidak mengatur secara limitatif bangunan apa saja yang boleh
dibangun Penerima Hak BOT. Artinya, GI dapat membangun apa saja di atas lahan PT HIN,
dan tidak terbatas hanya pada Hotel Bintang Lima, Pusat Perbelanjaan atau lahan parkir.
Syaratnya hanya, mereka wajib terlebih dahulu memberitahukannya kepada HIN.

Oleh sebab itu ketika PT GI membangun Menara BCA dan Apartemen


Kempinski mereka merasa tidak melanggar hukum. Audit BPK yang dirilis pada 2016
menyebut PT GI telah menyalahi kontrak BOT dengan membangun Menara BCA setinggi
230 meter dengan 56 lantai dan Apartemen Kempinski sebanyak 263 unit. Menurut BPK, hal
ini tidak sesuai dengan dokumen term of reference yang disusun bersama Kementerian
BUMN.
Namun ternyata dalam perjanjian kontrak BOT ada klausul yang menyatakan kata
“antara lain” dalam definisi gedung dan fasilitas pendukung, yang tercantum pada pasal 1.2
perjanjian BOT. Ini membuka peluang untuk diizinkannya mendirikan bangunan lainnya di
luar hotel dan pusat perbelanjaan seperti yang sudah disebutkan dalam kontrak. Karena itu,
PT GI kemudian membangun gedung perkantoran di atas tanah objek kerja sama.

Sampai disini kalau dicari siapa kambing hitamnya, tentu adalah pembuat perjanjian itu
sendiri. Siapa yang salah? Mengapa misalnya pada waktu pembuatan perjanjian tidak
disebutkan secara rigit saja jenis bangunan yang akan dibangun. Dengan mencantumkan
kata: “antara lain” maka membuka tafsir untuk pembangunan gedung diluar peruntukan yang
telah disebut dalam kontrak BOT, yakni hotel dan pusat perbelanjaan.

Keanehan lainnya, menyangkut penjaminan hak atas tanah.

Dalam pasal 9.5 perjanjian BOT dinyatakan “Untuk menghindari keraguan, Penerima
Hak BOT berhak untuk menjaminkan hak atas tanah sebagaimana diuraikan dalam sertifikat
HGB di atas HPL maupun HMASRS berikut Gedung dan Fasilitas Penunjang yang terdaftar
atas nama Penerima Hak BOT untuk mendapatkan pendanaan dari pihak ketiga ...”

Pasal itu jelas menyebut bahwa yang dapat dijaminkan hanya HGB atas nama PT GI. 
Sementara sertifikat HPL tanah yang tertera atas nama PT HIN tidak pernah dijaminkan
karena masih dipegang oleh HIN. Jadi PT GI selaku pemegang hak HGB berhak melakukan
penyewaan, penjualan atas unit bangunan dalam objek BOT. Tetapi hanya selama jangka
waktu HGB serta waktu perpanjangannya. Untuk itu PT GI wajib memberitahu para
penyewa serta pembeli unit bangunan bahwa saat berakhirnya jangka waktu HGB dan
perpanjangannya, GI wajib mengembalikan unit bangunan yang disewa atau dibeli kepada
HIN.

Untuk itu pengawasan ketat perlu dilakukan sehingga kelak proses pengalihan sewa
menyewa bangunan yang berakhir maksimal sampai 12 Oktober 2055, dapat berjalan sesuai
rencana. Jangan sampai timbul perjanjian aneh-aneh yang bisa menyebabkan kerugian
Negara. Sesuai klausul dalam perjanjian BOT, semua aset yang telah dibangun harus
dikembalikan kepada negara saat perjanjian sudah berakhir. Konsekuensi Hukum
Perjanjian BOT yang hanya menguntungkan salah satu pihak – dalam kasus ini PT GI –
menunjukkan ada indikasi penyalahgunaan wewenang. Untuk itu perlu dilakukan
penyelidikan lebih mendalam. Jika terbukti maka pelaku penyalahgunaan kewenangan dapat
dijerat hukuman maksimal penjara seumur hidup.

Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun


2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, secara tegas menyatakan: “Setiap
orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi,
menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan
atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana
dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan
paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta
rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah)”.

Apakah perjanjian BOT antara PT HIN dan PT CKBI/ PT GI mengandung unsur


penyalagunaan kewenangan oleh pejabat negara, masih perlu pengusutan lebih lanjut.
Pengusutan perlu segera dilakukan sebagai pembelajaran agar di kemudian hari para pejabata
tidak dengan mudah membuat perjanjian yang merugikan kepentingan negara. Kalau hal ini
dibiarkan akan menjadi preseden buruk yang dapat menimbulkan potensi hilangnya aset
negara.

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan yang telah dilakukan dapat ditarik kesimpulan bahwa secara kasat
mata tidak dapat dinyatakan secara mutlak pihak yang melakukan kesalahan dalam perjanjian
BOT Grand Indonesia. Hal ini dikarenakan masing – masing pihak memiliki argumentasi beserta
dasarnya sehingga sulit untuk menimbang apakah PT HIN ataukah PT GI yang telah melanggar
ketentuan BOT. Mengingat perkara ini mulai diusut oleh kejaksaan, penulis menyarankan untuk
menunggu proses penyidikan selesai dan menghormati apapun keputusan akhir yang nantinya
diambil oleh majelis hakim.

Agar kejadian semacam ini tidak kembali terulang di masa datang, setidaknya ada tiga hal yang
dapat dilakukan:

 Mempertegas klausul perjanjian dan melibatkan lebih banyak pihak dalam


penyusunannya;
 Lebih memperketat proses pelaksanaan proyek; dan
 Melaporkan sejak dini apabila ditemukan potensi pelanggaran perjanjian BOT.

Dengan ketiga saran tersebut diharapkan pengelolaan aset negara melalui metode Build, Operate,
Transfer (BOT) – disebut juga Bangun Guna Serah (BGS) menjadi lebih optimal lagi dan tidak
timbul permasalahan hukum dalam pelaksanaannya.

DAFTAR PUSTAKA

Ali Mustofa, R. H. (2019, 09 02). Menguak Modus Kolusi PT HIN di Kontrak BOT Grand
Indonesia. Dipetik januari 18, 2023, dari law-justice.co:
https://www.law-justice.co/amp/71358/menguak-modus-kolusi-pt-hin-di-kontrak-bot-
grand-indonesia/

Putera, B. A. (2016, April 18). Analisis Kasus Build, Operate, Transfer (BOT) Grand Indonesia.
Dipetik Januari 18, 2023, dari academia:
https://www.academia.edu/29953929/Analisis_Kasus_Build_Operate_Transfer_BOT_Gr
and_Indonesia

Chairil Anwar Pohan. 2013.Manajeman Perpajakan Strategi Perencanaan Pajak dan Bisnis. Edisi
REVISI. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta

Anda mungkin juga menyukai