Anda di halaman 1dari 61

TINJAUAN YURIDIS PENERAPAN VALIDASI BPHTB MENGGUNAKAN

NJOP TERBARU TERHADAP TRANSAKSI PADA AKTA JUAL BELI


TANAH YANG DIBUAT PPAT/PPATS DENGAN DASAR
TRANSAKSI DAN NJOP LAMA DIHUBUNGKAN
DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28
TAHUN 2009 JUNTO PERBUP 8
TAHUN 2015

Usulan Penelitian Skripsi

Diajukan untuk memenuhi syarat


guna mencapai gelar Sarjana Hukum

Oleh:
Mochamad Andre Prayudi
NPM :194301097
Program Studi : Ilmu Hukum
Program Kekhususan : Hukum Keperdataan

Pembimbing:
Dr.Hj.Ina Budhiarti Supyan, S.H., M.Kn.

SEKOLAH TINGGI HUKUM BANDUNG


2023
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ............................................................................................................... i

BAB I PENDAHULUAN...........................................................................................1

A. Latar Belakang Masalah ....................................................................... 1

B. Identifikasi Masalah ............................................................................. 5

C. Tujuan Penelitian ................................................................................. 5

D. Kegunaan Penelitian ............................................................................ 6

E. Kerangka Pemikiran ............................................................................. 6

F. Metode Penelitian .............................................................................. 15

G. Sistematika Penulisan ........................................................................ 17

BAB II TINJAUAN YURIDIS BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH


DAN BANGUNAN (BPHTB) .................................................................. 19

A. Tinjauan BPHTB ............................................................................... 19

B. Pengertian Jual Beli Tanah Sebelum dan Setelah Keluarnya UUPA ... 23

C. Pengertian Pejabat Pembuat Akta Tanah serta Tugas dan


Kewenangannya ................................................................................. 29

BAB III KASUS POSISI ......................................................................................... 38

A. Pengurusan Pajak BPHTB oleh staff PPAT ........................................ 38

B. Permasalahan validasi pajak BPHTB ................................................. 39

BAB IV TINJAUAN YURIDIS PENERAPAN VALIDASI BPHTB


MENGGUNAKAN NJOP TERBARU TERHADAP TRANSAKSI
PADA AKTA JUAL BELI TANAH YANG DI BUAT PPAT/PPATS
DENGAN DASAR TRANSAKSI DAN NJOP LAMA
BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN 2009
JUNTO PERBUP 8 TAHUN 2015 .......................................................... 42

i
A. Menerapkan validasi BPHTB menggunakan NJOP terbaru terhadap
transaksi pada akta jual beli tanah yang dibuat PPAT/PPATS dengan
dasar transaksi dan NJOP lama .......................................................... 42

B. Menetapkan pajak BPHTB dengan Transaksi dan NJOP lama


Berdasarkan undang-undang nomor 28 tahun 2009 junto peraturan bupati
nomor 8 tahun 2015 .......................................................................... 50

BAB V PENUTUP .................................................................................................... 54

A. Kesimpulan ........................................................................................ 54

B. Saran- Saran....................................................................................... 55

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................... 57

ii
1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Tanah merupakan suatu hal yang dibutuhkan oleh manusia untuk memenuhi
kebutuhan hidup. Manusia hidup dan melakukan aktifitas setiap saat diatas tanah,
maka dari itu dapat dikatakan manusia selalu berhubungan dengan tanah baik secara
langsung maupun secara tidak langsung. Tanah merupakan kebutuhan dasar yang
harus dipenuhi oleh manusia selain makanan dan pakaian. Begitu berharganya
tanah, sehingga manusia akan selalu berupaya untuk mendapatkan tanah, dari upaya
membeli dari pemilik tanah, melakukan tukar menukar, dan membuka hutan atau
ladang. Perbuatan-perbuatan di atas mengakibatkan pemilikan dan hak penguasaan
tanah beralih dari satu pihak ke pihak yang lain. 1 Peralihan hak atas tanah dan
bangunan berkaitan erat dengan kepastian hukum dan ditandai oleh adanya bukti
atas peralihan hak tersebut. Untuk memberikan kekuatan dan kepastian hukum
pemilikan tanah dan bangunan setiap peralihan hak atas tanah dan atau bangunan
harus dilakukan secara tertulis dengan akta yang dibuat oleh pejabat yang
berwenang, serta wajib didaftarkan pada instansi yang berwenang, yaitu Kantor
Pertanahan Kabupaten/Kota setempat. Dengan demikian, hak atas tanah dan
bangunan secara sah ada pada pihak yang memperoleh hak tersebut dan dapat
dipertahankan terhadap semua pihak.
Maka dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 menentukan,
“bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh
negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Pasal 1 ayat (2)
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok
Agraria menyatakan bahwa seluruh bumi, air dan ruang angkasa, termasuk
kekayaan alam yang terkandung didalamnya dalam wilayah Republik Indonesia
sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa adalah bumi, air dan ruang angkasa bangsa

1
Marihot Pahala Siahaan, Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, (Jakarta: Raja
Grafindo Persada,2003), hlm. 5.
Indonesia dan merupakan kekayaan nasional. 2 Maka dari itu, peralihan hak atas
tanah dan bangunan menimbulkan adanya hak dan kewajiban bagi pihak yang
mengalihkan maupun pihak yang menerima peralihan hak. Kewajiban tersebut
dimana setiap orang pribadi atau badan yang memperoleh hak atas tanah dan
bangunan wajib menyerahkan sebagian nilai ekonomis yang diperolehnya kepada
negara melalui pembayaran pajak.
Pajak sebagai sumber penerimaan negara harus menjadi penerimaan utama
karena sumber-sumber penerimaan yang lain, selain seperti pajak, pendapatan
pengelolaan sumber alam sangat terbatas, bisa berkurang bahkan habis. Oleh karena
itu, kesadaran rakyat membayar pajak harus ditumbuhkembangkan secara terus
menerus agar pajak nantinya sebagai sumber utama untuk membiayai
pembangunan. 3
Bea Perolehan Hak Atas Tanah (Selanjutnya disebut: BPHTB) memiliki
sejumlah permasalahan yang aktual dan menarik untuk diperhatikan sehubungan
aktifitas pemerintah dalam mengadministrasikan perolehan hak atas tanah dan/atau
bangunan yang tidak lain adalah peristiwa hukum yang mengakibatkan
diperolehnya hak atas tanah dan/atau bangunan oleh orang pribadi atau badan
setelah melaksanakan kewajiban membayar BPHTB. Kewajiban membayar
BPHTB, merupakan wewenang negara yang bersumber dari Pasal 33 ayat (3) yang
menyatakan “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.”
Kemudian oleh ayat (5) UUD 1945 menyatakan ketentuan lebih lanjut
pelaksanaannya diatur dalam Undang-Undang. ternyata secara implementatif
penerapan kewajiban pajak BPHTB minim informasi yang diberikan kepada publik
dengan masyarakat minim pemahaman dan pengetahuan tentang BPHTB. Di dalam
masyarakat terdapat ketidaktahuan siapa yang menjadi subjek wajib bayar BPHTB,
walaupun istilah “perolehan” menunjukkan bagi yang memperoleh dan untuk jual
beli penjual menjadi subjek wajib pajak penghasilan, tetapi ditengah masyarakat

2
Ibid
3
Setu Setiawan, Perpajakan Indonesia Edisi 2009, (Malang: Universitas Muhammadiyah
Malang Press, 2009), hlm.1.

2
masih terjadi antara penjual dan pembeli saling berkeras melimpahkan kewajiban
dan kerap membayar secara urunan dimana pembeli menambah pembayaran
dan/atau penjual mengurangkan nilai pembayaran. penyamaan persepsi BPHTB
sama dengan Pajak Bumi dan Bangunan, dan merasa terpaksa atas besaran nilai
pajak yang harus dibayar. Dalam persoalan demikian, masyarakat acapkali
melimpahkan penyelesaiannya kepada Notaris/PPAT dengan meminta adanya
penurunan nilai pajak yang mesti dibayar. Pemungutan BPHTB dilakukan
berdasarkan sistem Self Assessment. Dalam sistem ini wajib pajak diberi wewenang
dan kepercayaan untuk menghitung sendiri, membayar serta melaporkan pajak
yang terutang atau yang harus dibayar. Dengan sistem ini diharapkan masyarakat
bisa dengan mudah memenuhi kewajiban pajaknya dan meningkatkan kesadaran
pajak masyarakat, terutama pajak yang timbul pada saat terjadinya perolehan hak
atas tanah dan bangunan. Dalam sistem self assessment wajib pajak merupakan
subyek atau para pelaku perpajakan, sehingga memiliki nilai positif dalam
mencerdaskan wajib pajak. Namun disisi lain sistem ini mempunyai kelemahan,
yaitu tidak semua wajib pajak mengerti dengan prosedur membayar pajak yang baik
dan benar. Kurangnya pemahaman seperti ini yang mengakibatkan wajib pajak
kesulitan dalam menghitung, memperhitungkan, melaporkan, dan membayar pajak
terhutang kepada negara.4Dalam pengenaan dan pemungutan pajak, satu hal
mendasar yang harus diketahui adalah dasar pengenaan pajak. Sesuai dengan Pasal
87 ayat (1) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009, yang menjadi dasar pengenaan
pajak pada BPHTB adalah Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP). NPOP adalah
besaran nilai/ harga objek pajak yang dipergunakan sebagai dasar pengenaan pajak.
Karena pada dasarnya ada 15 jenis perolehan hak atas tanah dan bangunan yang
menjadi objek pajak, maka atas setiap jenis peralihan hak tersebut harus ditentukan
NPOPnya. Pasal 87 ayat (2) menentukan apa yang menjadi NPOP sebagai dasar
pengenaan pajak pada masing-masing jenis perolehan hak, sebagai berikut :
1. Jual beli, yang menjadi NPOP adalah harga transaksi
2. Tukar menukar, yang menjadi NPOP adalah nilai pasar

4
Marihot Pahala Siahaan I. Op.Cit, hlm.6.

3
3. Hibah, yang menjadi NPOP adalah nilai pasar
4. Hibah wasiat, yang menjadi NPOP adalah nilai pasar
5. Waris, yang menjadi NPOP adalah nilai pasar
6. Pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya, yang menjadi
NPOP adalah nilai pasar
7. Pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan, yang menjadi NPOP
adalah nilai pasar
8. Peralihan hak sebagai pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai
kekuatan hukum tetap, yang menjadi NPOP aladah nilai pasar
9. Pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak,
yang menjadi NPOP adalah nilai pasar
10. Pemberian hak baru atas tanah di luar pelepasan hak, yang menjadi
NPOP ada- lah nilai pasar
11. Penggabungan usaha, yang menjadi NPOP adalah nilai pasar
12. Peleburan usaha, yang menjadi NPOP adalah nilai pasar
13. Pemekaran usaha, yang menjadi NPOP adalah nilai pasar
14. Hadiah, yang menjadi NPOP adalah nilai pasar
15. Penunjukan pembeli dalam lelang, yang menjadi NPOP adalah harga
transaksi yang tercantum dalam risalah lelang.
Jika Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP) sebagai mana yang dimaksud di
atas tidak diketahui atau lebih rendah daripada NJOP yang digunakan dalam
pengenaan PBB pada tahun terjadi perolehan, dasar pengenaan yang dipakai adalah
NJOP PBB. Hal ini menunjukkan adanya kaitan antara BPHTB dengan PBB, di
mana NJOP yang ada pada dasarnya merupakan dasar pengenaan pajak pada PBB
juga dijadikan sebagai dasar dalam menentukan dasar pengenaan pajak pada
BPHTB. Penggunaan NJOP sebagai pembanding terhadap harga transaksi atau nilai
pasar sebenarnya wajar karena pada dasarnya NJOP mencerminkan nilai pasar dari
objek pajak yang diperoleh. Pengertian dari NJOP sendiri yaitu, harga rata-rata
yang diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi secara wajar, dan bilamana tidak
terdapat transaksi jual beli, NJOP ditentukan melalui perbandingan harga dengan
objek lain yang sejenis, atau nilai perolehan baru, atau NJOP pengganti.

4
Dalam praktiknya ditemukan bahwa validasi pajak khususnya Bea
Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) ditentukan oleh nilai pasar
terbaru yang ditentukan oleh pegawai Badan Pendapatan Daerah (BAPENDA)
khususnya dalam kasus posisi saya berada di kabupaten Bandung, dengan alasan
mengikuti aturan terbaru dan aplikasi baru. Masalah yang muncul adalah transaksi
lama pada akta jual beli diterapkan aturan tersebut diatas, yang membuat
terhambatnya proses validasi dan mengharuskan membayar pajak BPHTB sesuai
nilai pasar. Berdasarkan timbulnya permasalahan tersebut maka menarik untuk
diangkat sebagai skripsi dengan judul “TINJAUAN YURIDIS PENERAPAN
VALIDASI BPHTB MENGGUNAKAN NJOP TERBARU TERHADAP
TRANSAKSI PADA AKTA JUAL BELI TANAH YANG DIBUAT
PPAT/PPATS DENGAN DASAR TRANSAKSI DAN NJOP LAMA
BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN 2009 JUNTO
PERBUP 8 TAHUN 2015”.

B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan apa yang telah diuraikan diatas, maka beberapa pokok
permasalahan yang akan diteliti antara lain:
1. Apakah sah menerapkan validasi BPHTB menggunakan NJOP terbaru
terhadap transaksi pada akta jual beli tanah yang dibuat PPAT/PPATS
dengan dasar transaksi dan NJOP lama?
2. Bagaimanakah menetapkan pajak BPHTB dengan Transaksi dan NJOP
lama Berdasarkan undang-undang nomor 28 tahun 2009 junto peraturan
bupati nomor 8 tahun 2015?

C. Tujuan Penelitian
Bertitik tolak pada permasalahan yang telah diuraikan di atas, maka
penelitian ini bertujuan untuk :
1. Untuk mengetahui sah tidaknya menerapkan validasi BPHTB
menggunakan NJOP terbaru terhadap transaksi pada akta jual beli tanah
yang dibuat PPAT/PPATS dengan dasar transaksi dan NJOP lama.

5
2. Untuk mengetahui cara menetapkan biaya pajak BPHTB Dengan
Transaksi Dan Njop Lama Berdasarkan undang-undang nomor 28 tahun
2009 junto peraturan bupati nomor 8 tahun 2015.

D. Kegunaan Penelitian
Tujuan penelitian sebagaimana tersebut di atas, maka hasil penelitian ini
diharapkan mempunyai manfaat ganda, baik manfaat praktis maupun manfaat
teoritis sebagai berikut:
1. Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi pengembangan
ilmu hukum khususnya hukum kepailitan yang berkaitan dengan
pengaturan tentang cara perhitungan, urutan-urutan dan pembagian harta
pailit dalam proses pemberesan harta pailit.
2. Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan suatu
pengetahuan bagi masyarakat, untuk dapat mengetahui bagaimana proses
penyelesaian pemberesan harta pailit sebagai pelunasan atas utang yang
terdapat pada debitur pailit untuk selanjutnya dibagikan kepada para
kreditur yang memiliki hak yang berbeda-beda.

E. Kerangka Pemikiran
Penerimaan dari sektor perpajakan merupakan tulang punggung penerimaan
APBN. Sejak awal tahun 1980-an, penerimaan perpajakan sebagai sumber utama
penerimaan negara. Penerimaan pajak merupakan gambaran partisipasi masyarakat
dalam pembiayaan penyelenggaraan pemerintah dan pembangunan di negaranya.
Apabila konstibusi penerimaan perpajakan semakin besar terhadap APBN berarti
partisipasi masyarakatnya semakin besar pula dalam pembangunan di negaranya
karena pada hakikatnya pajak berasal dari dan untuk masyarakat.
Negara melihat peluang untuk mendapatkan pemasukan kas Negara dari sektor
Pajak salah satunya dengan adanya pemungutan Bea Perolehan Hak Atas Tanah
dan bangunan (BPHTB) atas setiap perolehan hak atas tanah danbangunan.

6
BPHTB dipungut oleh pemerintah Indonesia sebagai pajak pusat berdasarkan
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000
tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2000 Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3988)
yang diberlakukan mulai tanggal 1 Januari 20015.
Pajak pada mulanya merupakan suatu upeti (pemberian secara Cuma-
Cuma). Tetapi sifatnya merupakan suatu kewajiban yang dapat dipaksakan dan
harus dilaksanakan oleh masyarakat. Namun dengan perkembangan dalam
masyarakat, maka dibuatlah suatu aturan yang lebih baik dan bersifat memaksa
berkaitan dengan sifat upeti (pemberian) tersebut dengan memperhatikan unsur
keadilan. Guna memenuhi unsur keadilan inilah maka rakyat diikut sertakan dalam
membuat berbagai aturan dalam pemungutan pajak, yang nantinya akan
dikembangkan juga hasilnya untuk kepentingan rakyat sendiri. 6
Pendapatan Asli Daerah (PAD) merupakan semua penerimaan daerah yang
berasal dari sumber ekonomi asli daerah, dan salah satu sumber PAD yang memiliki
kontribusi terbesar berasal dari Pajak Daerah. Pajak daerah merupakan salah satu
bentuk peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan otonomi daerah. Pajak
daerah merupakan sumber pendapatan daerah yang penting untuk membiayai
penyelenggaraan pemerintah dan pembangunan daerah. Selama ini, pungutan
daerah yang berupa Pajak Daerah diatur dalam Undang- Undang Nomor 18 Tahun
1997 tentang Pajak Daerah sebagaimana disempurnakan dengan Undang- Undang
Nomor 34 Tahun 2000.
Dasar pemungutan BPHTB adalah peraturan daerah yang memuat ketentuan
mengenai objek pajak, subjek pajak, wajib pajak, tarif pajak, dasar pengenaan
pajak, dan lain-lain. Namun demikian, Pengaturan dalam peraturan daerah harus
disesuaikan dengankebijakan yang termuat dalam UU atau Peraturan Pemerintah.
Sementara itu, perubahan ketentuan tersebut salah satunya sangat berdampak pada
wajib pajak BPHTB.

5
Atep Adya Barata, Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) Menghitung
Obyek dan Cara Pengajuan Keberatan Pajak, (Jakarta: Gramedia, 2003), hlm 4.
6
Wirawan B. Ilyas, Hukum Pajak, (Jakarta: Selemba Empat, 2011), hlm 1

7
Pemungutan pajak memiliki teori dan/atau asas, sebagai berikut:
1. Asas keadilan. Dalam mencari keadilan, salah satu jalan yang harus
ditempuh ialah mengusahakan agar supaya pemungutan pajak
diselenggarakan secara umum dan merata. Berkaitan dengan
pemungutan pajak, Smith (1723-1790) dalam Santoso menguraikan asas
pemungutan pajak yang lebih dikenal dengan The Four Maxims, dengan
uraian sebagai berikut:7
a. Pembagian tekanan pajak di antara Subjek Pajak masingmasing
hendaknya dilakukan seimbang dengan kemampuannya, yaitu
seimbang dengan penghasilan yang dinikmatinya masing-masing,
di bawah perlindungan pemerintah (asas pembagian/asas
kepentingan). Dalam asas “equality” ini tidak diperbolehkan suatu
negara mengadakan diskriminasi di antara sesama wajib pajak,
dalam keadaan yang sama, para Wajib Pajak harus dikenakan pajak
yang sama pula;
b. Pajak yang harus dibayar oleh seseorang harus terang (certain) dan
tidak mengenal kompromis (not arbitrary). Dalam asas “certainty”
ini, kepastian hukum yang dipentingkan adalah yang mengenai
subjek, objek, besarnya pajak, dan juga ketentuan mengenai waktu
pembayarannya;
c. “Every tax ought to be levied at the time, or in the manner, in which
it is most likely to be convenient for the contributor to pay it”. 8
Teknik pemungutan pajak yang dianjurkan ini (yang juga disebut
convenience of payment) menetapkan bahwa pajak hendaknya
dipungut pada saat yang paling baik bagi para Wajib Pajak, yaitu
saat sedekatdekatnya dengan detik diterimanya penghasilan yang
bersangkutan;

7
R. Santoso Brotodihardjo, Pengantar Ilmu Hukum Pajak ,( Bandung : PT. Refika Aditama,
Cet ke 21, 2008), hlm. 27-28.
8
Mardiasmo, Perpajakan Edisi Revisi, (Yogyakarta: CV Andy Offset, 2008), hlm. 2.

8
d. “Every tax ought to be so contrived as both to take out and to keep
out of the pockets of the people as little as possible over and above
what it brings into to public treasury of the State”. 9
Asas efisiensi ini menetapkan bahwa pemungutan pajak hendaknya
dilakukan sehemat-hematnya; jangan sekali-kali biaya pemungutan
melebihi pemasukan pajaknya. 10
2. Asas menurut falsafah hukum Di atas telah diuraikan bahwa hukum
pajak harus mengabdi kepada keadilan. Keadilan inilah yang kita
namakan “asas pemungutan pajak”. Lepas dari kenyataan bahwa pada
pelaksanaannya pembuat undangundang pajak harus selalu memegang
teguh kepada asas keadilan, seringkali juga dipersoalkan, apakah
pemungutan pajak oleh suatu negara berdasarkan pula atas keadilan.
Sejak abad ke-18 timbullah teoriteori guna memberikan dasar
menyatakan keadilan (justification) kepada hak negara untuk memungut
pajak dari rakyatnya, antara lain :
a. Teori asuransi (Verzerings theory) Teori ini menyatakan bahwa
termasuk dalam tugas negara untuk melindungi orang dan segala
kepentingannya, keselamatan dan keamanan jiwa, juga harta
bendanya.
b. Teori kepentingan (Belangen theory) Teori ini dalam ajarannya
yang semula, hanya memperhatikan pembagian beban pajak yang
harus dipungut dari penduduk seluruhnya. Pembagian beban ini
harus didasarkan atas kepentingan orang masingmasing dalam
tugas-tugas pemerintah (yang bermanfaat baginya), termasuk juga
perlindungan atas jiwa orangorang itu beserta harta bendanya.
c. Teori gaya pikul. Yang menjadi pokok pangkal teori ini pun adalah
asas keadilan, yaitu tekanan pajak itu haruslah sama beratnya untuk
setiap orang.

9
Ibid, hlm. 8.
10
Sinaga, DR. N. A, “Pemungutan Pajak Dan Permasalahannya Di Indonesia” Jurnal
Ilmiah Hukum Dirgantara-Fakultas Hukum Universitas Dirgantara Marsekal Suryadarma”, Vol 7
No.1 (September 2016), hlm 150-151, diakses 26 April 2023, https://doi.org/10.35968/jh.v7i1

9
d. Teori kewajiban pajak mutlak atau teori bakti. berlawanan dengan
ketiga teori di atas, yang tidak mengutamakan kepentingan-
kepentingan negara di atas kepentingan warganya, maka teori ini
berdasarkan atas paham Organische Staatsleer, sehingga
diajarkanlah olehnya bahwa justru karena sifat negara inilah maka
timbullah hak mutlak untuk memungut pajak.
e. Teori asas gaya beli.Teori ini mengajarkan, bahwa penyelenggaraan
kepentingan masyarakat inilah yang dapat dianggap sebagai dasar
keadilan pemungutan pajak; bukan kepentingan individu, juga
bukan kepentingan negara, melainkan kepentingan masyarakat yang
meliputi keduanya itu.11
3. Asas yuridis. Hukum pajak harus dapat memberi jaminan hukum yang
perlu untuk menyatakan keadilan yang tegas, baik untuk negara maupun
untuk warganya. Maka mengenai pajak di negara hukum segala sesuatu
harus ditetapkan pengenaan dan pemungutan pajak (termasuk bea dan
cukai) untuk keperluan negara hanya boleh terjadi berdasarkan undang-
undang. 12
4. Asas ekonomi. Selain fungsi budgeter, pajak juga dipergunakan sebagai
alat untuk menentukan politik perekonomian. Tidak mungkin suatu
negara menghendaki merosotnya kehidupan ekonomi masyarakat.13
5. Asas finansial. Sesuai dengan sistem budgeternya, bahwa sudah barang
tentu bahwa biaya-biaya untuk mengenakan dan untuk memungutnya
harus sekecilkecilnya apalagi dalam bandingan dengan
pendapatannya.14
Penarikan atau pemungutan pajak adalah suatu fungsi yang harus
dilaksanakan oleh negara sebagai suatu fungsi essensial. Salah satu usaha untuk
mewujudkan kemandirian suatu bangsa atau negara dalam pembiayaan
pembangunan, yaitu dengan cara menggali sumber dana yang berasal dari dalam

11
Ibid, hlm. 29-37
12
Ibid, hlm. 37
13
Ibid, hlm. 41-42.
14
Ibid, hlm. 42

10
negeri berupa pajak yang digunakan untuk pembiayaan pembangunan yang berguna
bagi kepentingan bersama.15
Pengertian Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) tidak sama dengan nilai pasar.
NJOP merupakan harga rata-rata suatu objek pajak yang ditetapkan dengan
mekanisme tertentu, sedangkan nilai pasar merupakan Harga Jual Objek Pajak
(HJOP) yang terjadi secara wajar di pasar. Adanya kemungkinan HJOP yang
ditentukan oleh pasar akan lebih rendah, sama, atau lebih tinggi dari NJOP yang
ditetapkan oleh pemerintah. 16 Penetapan nilai perolehan dalam jual beli tanah dan
bangunan sebagai dasar pengenaan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
(BPHTB) merupakan pokok bahasan utama lain dari penelitian ini. Menganalisis
temuan kerja lapangan berdasarkan konsep yang meliputi harga transaksi (dalam
undang-undang jual beli tanah), nilai jual objek pajak (NJOP) sebagai keputusan
tata usaha negara, dan biaya untuk mendapatkan hak atas tanah dan bangunan
(BPHTB). yang sistem perpajakannya self assessment (dalam undang-undang
perpajakan), dijelaskan lebih lanjut sebagai berikut:
1. Harga transaksi dalam jual beli tanah
Jual beli tanah merupakan suatu kesepakatan antara kedua belah
pihak yang dimaksud di sini yaitu penjual dan pembeli dalam
melakukan suatu transaksi jual beli tanah dengan pembayaran tunai,
setelah itu barulah hak atas tanah tersebut dari penjual berpindah kepada
pembeli. Sehingga unsur dalam jual beli tanah adalah bidang tanah yang
dijual belikan dan harga transaksi yang sudah disepakati yang dibayar
dalam bentuk uang.
Menurut penjelasan pasal 2 ayat (2) Peraturan Daerah Kabupaten
Bandung Nomor 70 Tahun 2016 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah
dan Bangunan, yang dimaksud dengan harga transaksi adalah harga

15
Waluyo dan Wirawan B. Ilyas, Perpajakan Indonesia, Salemba Empat, Jakarta, 1999,
hlm 1-2.
16
R. O.H. Monding dan R.J. Pusung, “Analisis Tingkat Akurasi Penetapan Nilai Jual Objek
Pajak (Njop) Bumi Dan Bangunan Di Kecamatan Paal Dua Kota Manado” Jurnal EMBA Vol.4 No.4
(Desember 2016), hlm.993, diakses 26 April 2023, https://doi.org/10.35794/emba.4.4.2016.14571

11
yang terjadi dan telah disepakati oleh pihak-pihak yang bersangkutan
(dalam hal ini penjual dan pembeli). 17
2. Nilai jual objek pajak (NJOP) sebagai keputusan tata usaha negara
NJOP atau nilai jual objek pajak merupakan salah satu tolok ukur
yang menjadi dasar acuan dasar pengenaan BPHTB, maka dari itu
eksistensi nilai jual objek pajak atau yang sering kita dengar sebagai
NJOP dalam kaitannya sebagai acuan atau dasar pengenaan pajak akan
diuraikan sebagai berikut.
Menurut pasal 40 ayat (7) Undang-Undang Nomor 1 Tahun
2022, penetapan besarnya NJOP dilakukan oleh kepala daerah. Pasal 4
ayat (2) huruf a, pajak yang dipungut oleh pemerintah kabupaten salah
satunya adalah pajak bumi dan bangunan (PBB). Pasal 5 ayat (1), jenis
pajak (yang salah satunya adalah PBB) merupakan jenis pajak yang
dipungut berdasarkan Penetapaan Kepala Daerah. Pasal 5 ayat (3),
dokumen yang digunakan sebagai dasar pemungutan jenis pajak (dalam
hal ini adalah PBB) yakni Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT).
Dari keempat pasal tersebut di atas, terlihat jelas bahwa merupakan
suatu keputusan tata usaha negara atau KTUN nilai jual objek pajak
(NJOP) yang dimuat dalam surat pemberitahuan pajak terutang pajak
bumi dan bangunan (SPPT-PBB). 18
Menurut pasal 1 angka 7 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014
tentang Administrasi Pemerintahan, keputusan penyelenggaraan
pemerintahan yang disebut juga dengan keputusan tata usaha negara
atau keputusan administrasi negara, yang selanjutnya disebut keputusan
adalah keputusan tertulis yang dikeluarkan oleh instansi atau pejabat
pemerintah dalam penyelenggaraan pemerintahan.19 Menurut pasal 1
angka 9 Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Peradilan Tata

17
Indonesia, Peraturan Daerah Kabupaten Bandung Nomor 70 Tahun 2016 tentang Bea
Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan, Pasal 2 ayat (2)
18
Indonesia. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, Pasal 40 Ayat (7).
19
Indonesia, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan,
Pasal 1 Angka 7.

12
Usaha Negara bahwa putusan tata usaha negara adalah penetapan
tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara yang
memuat perbuatan hukum tata usaha negara berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. yang bersifat konkrit, individual,
dan final yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan
hukum perdata. 20
Menurut pasal 1 angka 36 Undang-Undang Nomor 1 Tahun
2022, bahwa NJOP adalah harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi
jual beli yang terjadi secara wajar, dan bilamana tidak terdapat transaksi
jual beli, NJOP ditentukan melalui perbandingan harga dengan objek
21
lain yang sejenis, nilai perolehan baru, atau NJOP pengganti.
Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014,
wewenang adalah hak yang dimiliki oleh badan atau pejabat
pemerintahan untuk mengambil keputusan atau tindakan dalam
penyelenggaraan pemerintahan. Dalam pasal 1 angka 22, atribusi adalah
pemberian kewenangan kepada badan atau pejabat pemerintahan oleh
Undang-Undang Dasar 1945 atau undang-undang. Pasal 7 ayat (2) huruf
k, pejabat pemerintahan memiliki kewajiban melaksanakan keputusan
yang sah. 22
Dari apa yang telah disampaikan tersebut, maka telah dapat
dibuktikan bahwasannya kewenangan yang dilimpahkan kepada pejabat
tata usaha negara berdasarkan atribusi yang diberikan oleh undang-
undang yang menyatakan nilai jual objek pajak (NJOP) yang dimuat
dalam surat pemberitahuan pajak terutang pajak bumi dan bangunan
(SPPT-PBB) merupakan suatu keputusan tata usaha negara, maka dari

20
Indonesia, Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha
Negara. Pasal 1 Angka 9.
21
Indonesia. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan
antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, Pasal 1 Angka 36.
22
Indonesia, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi
Pemerintahan, Pasal 1 Angka 5.

13
itu wajib dilaksanakan oleh pejabat pemerintahan (badan atau pejabat
tata usaha negara) keputusan tata usaha negara yang sah tersebut.
Telah dapat disimpulkan, cerminan dari nilai jual yang terdapat
dipasaran atau nilai jual yang wajar untuk dilakukan pembayaran adalah
eksistensi suatu nilai jual objek pajak (NJOP). Penetapan NJOP
dilakukan setelah pendataan nilai jual-nilai jual tanah yang dijualbelikan
di area tersebut dan menentukan nilai rata-ratanya, dan juga wajib
dilaksanakan oleh para pejabat pemerintahan yang memiliki
kewenangan mengenai kedudukan NJOP tersebut yang menjadi
keputusan tata usaha negara.
Sebagai kesimpulannya, berdasarkan ketentuan-ketentuan dalam
peraturan perundang-undangan tersebut di atas, bahwa secara normatif
eksistensi suatu nilai jual objek pajak (NJOP) merupakan cerminan dari
nilai jual yang wajar, atau nilai pasar karena menurut hukum positif,
NJOP ditetapkan setelah melakukan pendataan nilai jual-nilai jual tanah
yang dijualbelikan di area tersebut dan menentukan nilai rata-ratanya,
serta NJOP dalam kedudukannya sebagai keputusan tata usaha negara
yang sah tersebut bagi pejabat pemerintahan (badan atau pejabat tata
usaha negara) wajib melaksanakannya.
3. Sistem self assessment dalam hukum pajak
materiil tentang timbulnya hutang pajak, yakni setiap Undang-
undang pajak menganut ajaran wajib pajak wajib membayar pajak yang
terutang berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan, dengan tidak menggantungkan adanya surat ketetapan
pajak. 23
Sistem pemungutan pajak yang berlaku menurut undang-undang
pajak BPHTB adalah sistem self assessment, di mana kepada wajib
pajak diberikan kepercayaan untuk menghitung, membayar, dan
melaporkan sendiri jumlah pajak yang seharusnya terutang sesuai

23
Indonesia. Undang Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata
Cara Perpajakan, Pasal 12 Ayat 1.

14
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, sehingga
penentuan penetapan besarnya pajak yang terutang berada pada wajib
pajak sendiri. 24
Dalam sistem self assessment ini sudah barang tentu diperlukan
kejujuran wajib pajak, dan tetap saja ada wajib pajak yang tidak jujur
dalam menghitung besarnya pajak melalui surat pemberitahuan. Untuk
itu aparat perpajakan (fiscus) diberi wewenang untuk melakukan
penelitian (validasi) dan pemeriksaan terhadap kebenaran dari surat
pemberitahuan dari wajib pajak yang bersangkutan.25

F. Metode Penelitian
1. Spesifikasi Penelitian
Spesifikasi di dalam penelitian ini adalah deskriptif analitis, yaitu
bertujuan untuk memperoleh gambaran yang menyeluruh, sistematis,
serta akurat melalui suatu proses analisis dengan menggunakan
peraturan hukum, dan proses penerapan validasi BPHTB menggunakan
NJOP terbaru berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009
Junto PERBUP 8 tahun 2015.
2. Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian yuridis normatif. Penelitian
yuridis normatif dilakukan melalui penelitian kepustakaan yang meneliti
data sekunder berupa bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan
bahan hukum tesier. Adapun bahan hukum yang digunakan sebagai
berikut.
a. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang
memiliki kekuatan hukum dan mengikat pada pihak-pihak
yang bersangkutan. Bahan hukum primer yang digunakan
dalam penulisan skripsi ini, antara lain:

24
Indonesia. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 tentang Bea Perolehan Hak Atas Dan
Bangunan, Pasal 10 Ayat 1.
25
Indonesia.Peraturan Menteri Keuangan Nomor 199/ PMK.03/2007 tentang Cara
Pemeriksaan Pajak, Pasal 3 Ayat 1.

15
1) KUHPerdata
2) Peraturan Daerah Kabupaten Bandung Nomor 70 Tahun
2016 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan
Bangunan.
3) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 tentang Bea
Perolehan Hak Atas Dan Bangunan.
b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan
penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti rancangan
undang- undang, hasil-hasil penlitian, atau pendapat pakar
hukum.
c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan yang memberikan
petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer
dan bahan hukum sekunder, seperti kamus (hukum),
ensiklopedia.
3. Metode Pendekatan
Pendekatan yang digunakan untuk mengkaji kasus permasalahan
dari penelitian ini adalah pendekatan perundang-undangan (statute
approach), yakni pendekatan dengan melakukan kajian terhadap
peraturan perundang-undangan yang berlaku dan peraturan lain yang
terkait dengan pokok masalah yang dibahas dan melalui pendekatan
kasus (case approach).
4. Teknik Pengumpulan Data
Studi Kepustakaan, alat yang digunakan dalam penelitian ini
adalah studi literatur yaitu dengan pengumpulan data melalui
kepustakaan seperti peraturan perundang-undangan, buku-buku,
dokumen, internet, serta makalah yang relevan dengan topik penelitian.
5. Metode Analisis Data
Metode analisi data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
metode yuridis kualitatif, yaitu dalam menganalisis tidak menggunakan
rumus matematis dan angka-angka statistik, tetapi berupa uraian
pembahasan sehingga diperoleh informasi baru dari simpulan hasil

16
penelitian dan data yang diperoleh kemudian disusun secara sistematis
untuk selanjutnya dianalisis.

G. Sistematika Penulisan
Penyusunan penulisan skripsi agar dapat menyampaikan gambaran yang
jelas, mudah dipahami bagi pembaca. Maka penulis menyusun penulisan skripsi
menjadi lima bab dan setiap bab dibagi sub-sub sesuai pembahasan yaitu:
BAB I : PENDAHULUAN
Bab ini penulis memaparkan latar belakang masalah,
identifikasi masalah, tujuan masalah, kegunaan penelitian,
kerangka pemikiran, metode penelitian dan sistematika
penulisan.
BAB II : TINJAUAN YURIDIS BEA PEROLEHAN HAK ATAS
TANAH DAN BANGUNAN (BPHTB)
Bab ini akan menjelaskan hasil kepustakaan seperti
kerangka teori mengenai hal-hal yang berkaitan dengan
topik penulisan. Tinjauan BPHTB, tinjauan umum akta jual
beli tanah, tinjauan umumPPAT/PPATS.
BAB III : KASUS POSISI
Bab ini membahas mengenai kasus posisi atau biasa dikenal
dengan urutan peristiwa yang terkait dengan perkara
beserta membahas hasil dari wawancara.
BAB IV : TINJAUAN YURIDIS PENERAPAN VALIDASI BPHTB
MENGGUNAKAN NJOP TERBARU TERHADAP
TRANSAKSI PADA AKTA JUAL BELI TANAH YANG
DI BUAT PPAT/PPATS DENGAN DASAR
TRANSAKSI DAN NJOP LAMA BERDASARKAN
UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN 2009 JUNTO
PERBUP 8 TAHUN 2015
Bab ini akan membahas tentang hasil penelitian dalam
skripsi ini yaitu Menerapkan validasi BPHTB

17
menggunakan NJOP terbaru terhadap transaksi pada akta
jual beli tanah yang dibuat PPAT/PPATS dengan dasar
transaksi dan NJOP lama, Menetapkan biaya pajak BPHTB
Dengan Transaksi Dan Njop Lama Berdasarkan undang-
undang nomor 28 tahun 2009 junto peraturan bupati nomor
8 tahun 2015.
BAB V : PENUTUP
Dalam bab ini penulis memaparkan simpulan yang
didapatkan dari keseluruhan karya tulis skripsi ini, dan
penulis akan memberikan saran mengenai permasalahan
beberapa yang terdapat dalam pembahasan karya tulis
skripsi ini.

18
19

BAB II

TINJAUAN YURIDIS BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN


BANGUNAN (BPHTB)

A. Tinjauan BPHTB
1. Pengertian dan dasar hukum BPHTB

Sesuai dengan bunyi Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar


1945 yang berbunyi sebagai berikut : “Bumi, dan air, dan kekayaan dan
yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunukun
untuk sebesar-besar kumakmuran rakyat.26”Tanah sebagai bagian dari
bumi yang merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa, di samping
memenuhi kebutuhan dasar untuk papan dan lahan usaha, juga
merupakan alat investasi yang sangat menguntungkan. Di samping itu,
bangunan juga memberi manfaat ekonomi bagi pemiliknya. Oleh
karena itu, bagi mereka yang memperoleh hak atas tanah dan bangunan,
wajar menyerahkan sebagian dari nilai ekonomi yang diperolehnya
kepada negara melalui pembayaran pajak, yang dalam hal ini adalah
Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB). Bea Perolehan
Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), adalah pajak yang dikenakan
atas perolehan hak atas tanah dan bangunan27.yang sudah dirubah
dengan UU No. 21 Tahun 1997 di samping Pajak Bumi dan Bangunan
yang diatur dalam UU No. 12 th 1985 sebagaimana telah diubah dengan
UU No 12 th 1994. Subyek Pajak dari BPHTB adalah orang pribadi
atau badan hukum yang memperoleh hak-hak atas tanah dan bangunan.
Sebelum dikeluarkan UU No. 21 Tahun 1997, ada pemungutan pajak
dengan nama Bea Balik Nama yang diatur dalam ordonansi Bea Balik
Nama

26
Mardiasmo, Perpajakan Edisi Revisi 2001, (Yogyakarta, Andi Offset, 2001), hlm. 272
27
Penjelasan Umum Undang-Undang No. 21 Tahun 1997.
Staatsblaad 1924 Nomor 291. Bea Balik Nama ini dipungut atas setiap
ada perjanjian pemindahan hak atas harta tetap yang ada di wilayah
Indonesia, termasuk peralihan harta karena hibah wasiat. Yang
dimaksud harta tetap dalam Ordonansi tersebut adalah barang-barang
tetap dan hak-hak kebendaan atas tanah, yang pemindahan haknya
dilakukan dengan pembuatan akta menurut cara yang diatur dalam
undang-undang,28
Prinsip-prinsip yang diatur dalam Undang-Undang BPHTB
adalah :29
a. Pemenuhan kewajiban BPHTB adalah berdasarkar sistem Self
Assessment
b. Besarnya tarif ditetapkan sebesar 5% dari Nilai Perolehan Objek
Pajak Kena Pajak.
c. Adanya sanksi bagi Wajib Pajak maupun pejabat-pejabat umum
yang melanggar ketentuan atau tidak melaksnakan kewajibannya
menurut Undang-undang yang berlaku.
d. Hasil Penerimaan BPHTB sebagian besar diserahkan kepada
Pemerintah Daerah, untuk meningkatkan pendapatan daerah.
e. Semua pungutan atas perolehan hak atas tanah dan atau bangunan di
luar ketentuan ini tidak diperkenankan.

2. Objek dan Subjek BPHTB


a. Obyek Pajak
Objek BPHTB adalah perolehan hak atas tanah dan atau
bangunan. Perolehan hak atas tanah dan atau bangunan meliputi : 30
1) Pemindahan hak karena :
a) Jual beli
b) Tukar menukar

28
Ibid, hlm. 31.
29
Erly Suandi, Hukum Pajak, Salemba Empat, Jakarta, 2000, hlm. 271.
30
Undang-Undang No. 28 Tahun 2009, Pasal 85.

20
c) Hibah
d) Hibah wasiat
e) Waris
f) Pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan
g) Penunjukan pembeli dalam lelang
h) Pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum
tetap
i) Penggabungan Usaha
j) Peleburan Usaha
k) Pemekaran Usaha
l) Hadiah
2) Pemberian hak baru karena
a) Kelanjutan pelepasan hak
b) Di luar pelepasan hak

b. Tidak Termasuk Objek Pajak


Objek pajak yang tidak dikenakan BPHTB adalah objek pajak
yang diperoleh. 31
1) Perwakilan diplomatik, konsulat berdasarkan asas perlakuan
timbal balik
2) Negara untuk penyelenggaraan pemerintahan dan atau
pelaksanaan pembangunan guna kepentingan umum
3) Badan atau perwakilan organisasi internasional yang ditetapkan
oleh Menteri
4) Orang pribadi atau badan karena konversi hak dan perbuatan
hukum lain dengan tidak adanya perubahan nama.
5) Karena wakaf
6) Untuk digunakan kepentingan ibadah.
c. Subjek Pajak32

31
Mardiasmo, Op. cit, hlm. 273
32
Ibid, hlm. 273.

21
Yang menjadi subjek pajak adalah orang pribadi atau badan
yang memperoleh hak atas tanah dan bangunan. Subjek pajak yang
dikenakan kewajiban membayar pajak menjadi Wajib Pajak BPHTB
3. Saat Terutangnya BPHTB dan Tempat pembayaran
a. Saat Terutangnya Pajak
Saat yang menentukan terutangnya pajak adalah :33
1) Sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta, untuk :
a) Jual beli
b) Tukar menukar
c) Hibah
d) Pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya.
e) Waris
f) Pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan
g) Hadiah
2) Sejak tanggal penunjukan pemenang lelang, untuk : lelang
3) Sejak tanggal putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan
hukum yang tetap, untuk : putusan hakim.
4) Sejak tanggal yang bersangkutan mendaftarkan peralihan haknya
ke kantor pertanahan, untuk : hibah wasiat.
5) Sejak tanggal diterbitkannya surat keputusan pemberian hak
untuk:
a) Pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari
pelepasan hak.
b) Pemberian hak baru di luar pelepasan hak
2. Tempat Pembayaran34
Pajak yang terutang dibayar ke kas negara melalui kantor pos
dan atau badan usaha milik daerah atau tempat pembayaran lain yang
ditunjuk oleh Menteri dengan surat setoran Bea Perolehan Hak atas
Tanah dan Bangunan.

33
Ibid, hlm.275.
34
Undang-Undang No. 28 Tahun 2009, Pasal 84 ayat (2)

22
B. Pengertian Jual Beli Tanah Sebelum dan Setelah Keluarnya UUPA
Sebagai pengertian geologis-agronomis, tanah ialah lapisan lepas
permukaan bumi yang paling atas. Yang dapat dimanfaatkan untuk
menanami tumbuh-tumbuhan disebut tanah garapan, tanah pekarangan,
tanah pertanian, tanah perkebunan. Sedangkan yang digunakan untuk
mendirikan bangunan disebut tanah bangunan. Di dalam tanah garapan itu
dari atas ke bawah berturut-turut terdapat sisiran garapan sedalam irisan
bajak, lapisan pembentukan humus dan lapisan dalam. 35
Sedangkan selaku fenomena yuridis,c.q. hukum positif kita, tanah itu
dikualifikasikan sebagai “permukaan bumi”, sedangkan di dalam pengertian
“bumi” itu termasuk pula “tanah dan tubuh bumi di bawahnya serta yang
berada di bawah air” (UUPA Pasal 4 ayat 1 jo Pasal 1 ayat 4). Sehubungan
dengan itu, penjelasan umum bagian II (1) menegaskan bahwa “Dalam pada
itu hanya permukaan bumi saja, yaitu yang disebut tanah, yang dapat dihaki
oleh seseorang”.36
Selanjutnya mengenai pengertian jual beli tanah menurut Harun Al
Rashid, pada hakekatnya merupakan salah satu pengalihan hak atas tanah
kepada pihak/orang lain yang berupa dari penjual kepada pembeli
tanah. 37Achmad Chulaimi berpendapat bahwa pengertian jual beli tanah
dapat dikelompokkan menjadi 2 bagian, yaitu Pengertian sebelum UUPA
dan Pengertian setelah berlakunya UUPA37
a) Pengertian Jual Beli Tanah Sebelum UUPA
Sebelum berlakunya UUPA, di negara kita masih terdapat
“dualisme” dalam hukum agraria, hal ini didasarkan pada kenyataan
bahwa masih berlaku dua macam hukum yang menjadi dasar bagi hukum
pertanahan kita, yaitu hukum adat dan hukum barat. Sehingga terdapat

35
Y.W. Sunindhia dan Ninik Widiyanti, Pembaharuan Hukum Agraria (Beberapa
Pemikiran, Jakarta, PT. Dina Aksara, 1988,) hlm.8.
36
Harun Al Rashid, Sekilas tentang Jual Beli Tanah (Berikut Peraturan-peraturannya),
(Jakarta, Ghalia Indonesia), 1987, hlm. 50.
37
Achmad Chulaimi, Hukum Agraria Perkembangan Macam-macam Hak Atas Tanah dan
Pemindahannya, (Semarang, FH-UNDIP, 1986), hlm. 87-89.

23
juga dua macam tanah yaitu tanah adat (tanah Indonesia) dan tanah barat
(tanah Eropah).38
Dalam pengertian hukum adat “jual beli” tanah adalah merupakan
suatu perbuatan hukum, yang mana pihak penjual menyerahkan tanah
yang dijualnya kepada pembeli untuk selama-lamanya, pada waktu
pembeli membayar harga (walaupun haru sebagian) tanah tersebut
kepada penjual. Sejak itu, hak atas tanah telah beralih dari penjual kepada
pembeli.
Dengan kata lain bahwa sejak saat itu pambeli telah mendapat hak
milik atas tanah tersebut. Jadi “jual beli” menurut hukum adat tidak lain
adalah suatu perbuatan pemindahan hak antara penjual kepada pembeli.
Maka biasa dikatakan bahwa “jual beli” menurut hukum adat itu bersifat
“tunai” (kontan) dan “nyata” (konkrit).39
Sehubungan dengan hal tersebut Boedi Harsono berpendapat
bahwa dalam hukum adat perbuatan pemindahan hak (jual beli,
tukarmanukar, hibah) merupakan perbuatan hukum yang bersifat tunai.
Jual beli tanah dalam hukum adat adalah perbuatan hukum pemindahan
hak atas tanah, dengan pembayaran harganya pada saat yang bersamaan
secara tunai dilakukan. Maka dengan penyerahan tanahnya kepada
pembeli dan pembayaran harganya kepada penjual pada saat jual beli
dilakukan, perbuatan jual beli itu selesai, dalam arti pembeli telah
menjadi pemegang haknya yang baru.40
Pengertian menurut hukum adat tersebut berbeda dengan sistem
yang dianut KUHPerdata (BW). Menurut sistem BW jual beli hak atas
tanah dilakukan dengan membuat akta perjanjian jual beli hak dihadapan
notaris, dimana masing-masing pihak saling berjanji untuk melakukan
suatu prestasi berkenaan dengan hak atas tanah yang menjadi abyek jual

38
A.P. Parlindungan, Berbagai Aspek Pelaksanaan UUPA, (Bandung, Alumni, 1973, hlm.
40).
39
K. Wantjik Saleh, Hak Anda Atas Tanah, (Jakarta, Ghalia Indonesia, 1973, hlm. 30).
40
Boedi Harsono, Penggunaan dan Penerapan Asas-asas Hukum Adat pada Hak Milik Atas
Tanah, Paper disampaikan pada Simposium Hak Milik Atas Tanah Menurut UUPA, (Bandung-
Jakarta, 1983).

24
beli itu, yaitu pihak penjual untuk menjual dan menyerahkan tanahnya
kepada pembeli dan pembeli membeli dan membayar harganya. 41
Perjanjian jual beli yang dianut BW tersebut bersifat obligatoir,
karena perjanjian itu belum memindahkan hak milik. Adapun hak milik
baru berpindah dengan dilakukannya levering atau penyerahan. Dengan
demikian, maka dalam sistem BW tersebut “levering” merupakan suatu
perbuatan yuridis guna memindahkan hak milik (“transfer of
ownership”).42
Sedangkan pengertian jual beli tanah yang tercantum dalam Pasal
145 KUHPerdata menyatakan bahwa jual beli tanah adalah sesuatu
perjanjian dengan mana penjual mengikatkah dirinya (artinya berjanji)
untuk menyerahkan hak atas tanah yang bersangkutan kepada pembeli
dan pembeli mengikatkan dirinya untuk membayar kepada penjual harga
yang telah disetujui. 43
Menurut pendapat Hartono Soerjopratiknjo, 44 perjanijan jual beli
adalah suatu perjanjian yang konsensuil atas mana Pasal-pasal 1320 BW
dan berikutnya berlaku. Jadi untuk adanya perianjian jual beli disyaratkan
empat hal:
1) persetujuan dari mereka yang mengikatkan diri
2) kecakapan untuk mengadakan perikatan
3) pokok yang tertentu
4) sebab yang diperkenankan
Akan tetapi untuk perjanjian jual beli maka pembuat UU
memandang perlu memberikan peraturan-peraturan khusus. Selanjutnya
Pasal 1458 BW mengatakan: “Jual beli telah terjadi antara kedua belah

41
Bachtiar Effendie, Pendaftaran Tanah di Indonesia dan Peraturan-Peraturan
pelaksanaannya, (Bandung, Alumni, 1993), hlm. 86
42
R.Subekti, Aneka Perjanjian, Cetakan ke-8. (Bandung, Citra Aditya Bakti, 1989),
hlm. 11
43
Wiryono Prodjodikoro, Hukum Perdata tentang Persetujuan-persetujuan Tertentu,
(Bandung, Sumur, 1974), hlm. 13.
44
Hartono Soerjopratiknjo, Aneka Perjanjian Jual Beli, Cetakan 1, (Yogyakarta, Seksi
Notariat FH UGM, 1982), hlm. 5.

25
pihak, seketika setelah orang-orang mencapai kata sepakat tentang benda
dan harganya, walaupun benda itu belum diserahkan dan harganya belum
dibayar.” Kemudian dikatakan oleh Pasal 1459 BW: “Hak milik atas
barang yang dijual tidaklah berpindah kepada pembeli, selama
penyerahannya belum dilakukan menurut Pasal 612, 613 dan 616".
Berkaitan dengan hal tersebut, K. Wantjik Saleh berpendapat,
bahwa jual beli menurut Hukum barat terdiri atas dua bagian yaitu:
perjanjian jual belinya dan penyerahan haknya. Yang keduanya itu
terpisah satu dengan yang lainnya, sehingga walaupun yang pertama
sudah selesai, biasanya dengan suatu akta notaris, tetapi kalau yang kedua
belum dilakukan, maka status tanah masih milik penjual, karena disini
akta notaris hanya bersifat obligatoir.45
b) Pengertian Jual Beli Tanah Setelah Keluarnya UUPA
UUPA menghendaki adanya unifikasi hukum, dan karena itu
dalam pengertian jual beli itupun tidak menggunakan kedua sistem
tersebut bersama-sama.
Apabila dilihat ketentuan dalam UUPA, tidak disebutkan secara
jelas pengertian yang mana yang dipakai dalam jual beli tersebut.46
Seperti ketentuan Pasal 26 ayat 1 UUPA, hanya manyatakan, jual beli,
penukaran, penghibahan, penberian dengan wasiat, pemberian menurut
adat dan perbuatan lain yang dimaksudkan untuk memindahkan hak milik
serta pengawasannya diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Sehubungan dengan hal tersebut, Boedi Harsono berpendapat
mengingat bahwa hukum agraria sekarang ini memakai sistem dan asas-
asas hukum adat, maka pengertian jual beli tanah sekarang harus pula
diartikan sebagai perbuatan hukum yang berupa penyerahan hak
milik/penyerahan tanah untuk selama-lamanya oleh penjual kepada
pembeli, yang pada saat itu juga menyerahkan harganya pada penjual. 47

45
K. Wantjik Saleh, Op. cit, hlm. 32.
46
Achamad Chulaemi, Op. cit, hlm. 89.
47
Boedi Harsono, UUPA, Sejarah Penyusunan, Isi, Pelaksanaan Hukum Agraria, Bagian
I dan II Jilid I,( Jakarta, Djambatan, 1972).

26
Dengan berdasarkan pada Pasal 5 UUPA, maka jual beli tanah
setelah UUPA mempergunakan sistem dan asas dalam hukum adat.
Berbeda dengan pendapat tersebut adalah pendapat Saleh Adiwinata yang
menyatakan: bilamana kita perhatikan jual beli menurut UUPA ini
dengan membandingkan caranya dengan jual beli menurut hukum adat
sebelum UUPA berlaku,
maka dari saat terjadinya persetujuan jual beli sampai kepada si
pembeli menjadi pemilik penuh adalah barbeda sekali caranya beserta
formalitas lainya adalah lebih mirip kepada jual beli eigendom dari jual
beli tanah dengan Hak Milik Indonesia.48
Selanjutnya bilamana diperhatikan konstruksi kalimat yang
dipakai Pasal 19 PP No.24/1997 yang menyebut: Perjanjian yang
bermaksud memindahkan hak atas tanah harus dibuktikan dengan akta.
Maka dapat kita simpulkan bahwa persetujuan jual beli tanah merupakan
persetujuan yang konsensuil, karena dipisahkan secara tegas antara
persetujuannya sendiri dengan penyerahannya (levering) sedangkan
dalam hukum adat konstruksi kalimat demikian adalah tidak cocok
dengan sistem hukum adat yang kontan ini. 49
Dalam jual beli tanah, obyeknya (yang diperjualbelikan)
pengertian dalam praktek adalah tanahnya, sehingga timbul istilah jual
beli tanah. Tetapi secara hukum yang benar adalah jual beli hak atas
tanah, karena obyek jual belinya adalah hak atas tanah yang akan dijual.
Memang benar bahwa tujuan membeli hak atas tanah ialah supaya
pembeli secara sah menguasai dan mempergunakan tanah. Tetapi yang
dibeli (dijual) itu bukan tanahnya, tetapi hak atas tanahnya. 50
Sesuai dengan pernyataan tersebut di atas adalah pendapat
Hartono Soerjopratiknjo, yang berpendapat bahwa obyek dari suatu
perjanjian jual beli tidak hanya barang berwujud akan tetapi juga barang

48
Saleh Adiwinata, Pengertian Hukum Adat Menurut UUPA, (Bandung, Alumni,
1976).
49
Achmad Chulaimi, Op. cit, hlm. 91.
50
Effendi Peranginangin, Praktek Hukum Agraria (Esa Study Club), hlm. 9.

27
tidak berwujud. Pada umumnya semua hak dapat dijual, akan tetapi ada
juga perkecualiannya. Perkecualian itu ada yang berdasarkan UU dan ada
yang berdasarkan sifat haknya. Yang dapat dijual adalah hak-hak
kebendaan (erfpacht, opstal dan sebagainya), hak absolut (hak
cipta, hak pengarang dan hak atas merek) dan selanjutnya hak-hak
persoonlijk (pribadi). 51
Hak atas tanah menurut Pasal 16 UUPA meliputi:
1. hak milik,
2. hak guna-usaha,
3. hak guna-usaha,
4. hak pakai,
5. hak sewa,
6. hak membuka tanah,
7. hak memungut hasil hutan,

Pengertian hak milik menurut Pasal 20 yang dihubungkan dengan


Pasal 6 UUPA merumuskan:
Hak milik adalah hak turun temurun, terkuat dan terpenuh
yangdapat dipunyai orang atas tanah dengan mengingat bahwa
hak itumempunyai fungsi sosial.

Sedangkan menurut pendapat R. Susanto, Hak milik adalah hak


untuk menguasai tanah dengan cara yang seluas-luasnya dan memungut
hasil dari tanah itu dengan sepenuhnya, dengan mengindahkan peraturan-
peraturan pemerintah dan hukum adat setempat. Unsur-unsur yang
terpenting dari hak milik adalah:
1) Menguasai tanah; artinya si pemilik tanah dapat menyewakan,
menggadaikan, meminjamkan; menukarkan, menghadiahkan, menjual
tanah menurut kehendak si pemilik.
2) Memungut hasil. 52

51
Hartono Soerjopratinjo, Op. cit, hlm. 45.
52
R. Susanto, Hukum Pertanahan (Agraris), Cetakan 1,( Jakarta, Pradnya Paramita,
1980,) hlm. 26.

28
Selanjutnya dalam Pasal 20 ayat 2 UUPA dijelaskan bahwa hak
milik bersifat “zakelijk”. Sehingga karena tak bersifat pribadi
(persoonlijk) maka hak ini dapat dialihkan dan beralih pada pihak
lain. 53
Peralihan/beralihnya hak milik atas tanah apabila dilihat dari
segi hukum dapat terjadi karena suatu tindakan hukum (istilah
lain adalah perbuatan hukum), atau karena suatu peristiwa
hukum.
Tindakan hukum (rechtshandelingen) termasuk jual beli,
hibah, pemberian dengan wasiat, penukaran, pemberian menurut adat
dan perbuatan-perbuatan hukum lainnya. Sedangkan beralihnya hak
milik karena peristiwa hukum misalnya karena pewarisan. 54
Jadi dapat dikatakan bahwa peralihan hak karena tindakan
hukum adalah peralihan hak yang dilakukan dengan sengaja supaya
hak tersebut berpindah pada pihak lain. Sedangkan karena peristiwa
hukum, terjadi apabila seseorang yang mempunyai salah satu hak
meninggal dunia, sehingga secara otomatis haknya berpindah pada
ahli warisnya.55

C. Pengertian Pejabat Pembuat Akta Tanah serta Tugas dan


Kewenangannya
1. Pengertian Pejabat Pembuat Akta Tanah
Menurut Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak
Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-benda yang Berkaitan dengan
Tanah, yang disebut Pejabat Pembuatan Akta Tanah yang biasa
disingkat PPAT adalah:
Pejabat Umum yang diberikan wewenang untuk membuat akta
pemindahan hak atas tanah, akta pembebanan hak atas tanah dan
akta pemberi kuasa pembebanan hak tanggungan menurut
peraturan perudangan-undangan yang berlaku.

53
Sudargo Gautama, Tafsiran UUPA,( Bandung, Alumni, 1973), hlm. 124.
54
Harun Al Rashid, Op. cit, hlm. 51.
55
K. Wantjik Saleh, Op. cit, hlm. 19.

29
Sedangkan menurut Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun
1998, yang disebut PPAT adalah :
Pejabat Umum yang diberikan kewenangan membuat akta-akta
otentik pembuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau
hak milik atas satuan rumah susun.
Dalam PP No. 37/1998 ini. Juga memuat PPAT sementara dan
PPAT khusus. PPAT sementara adalah pejabat pemerintah yang
ditunjuk karena jabatannya untuk melaksankaan tugas PPAT dan
membuat akta di daerah yang belum cukup PPAT56 dalam hal ini yang
ditunjuk adalah Camat.
PPAT khusus adalah Pejabat Badan Pertanahan Nasional yang
ditunjuk karena jabatannya untuk melaksanakan pembuatan akta PAT
sebagai bagian dari tugasnya dibidang pendaftaran tanah. Karena itu
pembuatan akta dilakukan dengan cuma-cuma. Dari pengertian PPAT
di atas, maka dapat dilihat betapa pentingnya fungsi dan peranan PPAT
dalam melayani kebutuhan masyarakat dalam hal pertahanan baik
pemindahan hak ats tanah, pemberian hak baru atau hak lainnya yang
berhubungan dengan hak Atas tanah.
Mengingat pentingnya fungsi dan tugas Pejabat Pembuat Akta
Tanah dalam kehidupan maysarakat di Indonesia sekarang ini maka
pemerintah menetapkan juga kriteria-kriteria dan syarat-syarat dari
Pejabat Pembuat Akta Tanah. Sedangkan orang yang dapat diangkat
menjadi PPAT adalah sebagai berikut :
a) Berkewarganegaraan Indonesia
b) Berusia sekurang-kurangnya 30 tahun
c) Berkelakuan baik dan dinyatakan dengan surat keterangan yang
dibuat oleh instansi Kepolisian setempat.
d) Belum pernah dihukum penjara karena melakukan kejahatan
berdasarkan keputusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap.

56
Boedi Harsono, Himpunan Peraturan-peraturan Hukum Tanah, Penerbit
Djambatan, 2000, hlm. 682.

30
e) Sehat jasmani dan rohani.
f) Lulus program pendidikan spesialis Notaris atau Program pendidikan
Khusus Pejabat Pembuat Akta Tanah diselenggarakan oleh lembaga
pendidikan tinggi.
g) Lulus ujian yang diselenggarakan Kantor Menteri Negara
Agraria/Badan Pertahanan Nasional. 57
Sedangkan untuk melayani masyarakat dalam pembuatan akta
dimana PPAT di daerah tersebut belum cukup terdapat PPAT atau untuk
melayani golongan masyarakat tertentu dalam pembuatan akta tertentu,
Menteri dapat menunjuk PPAT Semantara dan PPAT Khusus. Pejabat
yang menjadi PPAT Sementera ini adalah Camat atau Kepala Desa di
wilayah tersebut untuk melayani pembuatan akta.
Di daerah yang belum cukup PPAT-nya. Sedangkan Pejabat
yangditunjuk untuk menjadi PPAT Khusus adalah Kepala Kantor
Pertanahan.PPAT khusus ini melayani pembuatan akta PPAT yang
diperlukan dalamrangka pelaksanaan program-program pelayanan
masyarakat atau untukmelayani pembuatan akta PPAT tertentu bagi
Negara Sahabat berdasarkan asas Resiprositas sesuai dengan
pertimbangan dari Depertemen Luar Negeri.
PPAT berhenti menjabat sebagai PPAT dikarenakan hal-hal
sebagai berikut :
a) Meninggal dunia atau
b) Telah berusia 65 (enam puluh lima) tahun, atau
c) Diangkat dan mengangkat sumpah jabatan atau melaksanakan tugas
sebagai notaris dengan tempat kedudukan di
Kabupaten/Kotamadya.Daerah tingkat II yang lain daripada daerah
kerjanya sebagai Pejabat Pembuatan Akta Tanah.
d) Diberhentikan oleh Menteri. 58

57
Ibid, hlm. 678-679
58
Ibid, hlm. 679

31
Untuk PPAT Sementara dan PPAT Khusus berhenti sebagai
PPAT bila tidak lagi memegang jabatan sebagaimana dijelaskan
sebelumnya atau diberhentikan oleh Menteri. Khusus untuk PPAT yang
tidak memegang jabatannya karena menjadi Notaris di luar wilayah
kerjanya sebagai PPAT, dapat diangkat menjadi PPAT di wilayah kerja
Notaris yang baru apabila formasi Pejabat Pembuat Akta Tanah di
daerah tersebut belum tertutup.59
Pasal 10 Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1997 tentang
Peraturan Jabatan Pembuat Tanah menyebutkan untuk pemberhentian
jabatan sebagai PPAT oleh Menteri ada dua rnacam, yaitu diberhentikan
dengan hormat oleh menteri adalah sebagai berikut :
Alasan pemberhentian dengan hormat oleh Menteri adalah
sebagai berikut:
a) Permintaan sendiri
b) Tidak lagi mampu menjalankan tugasnya karena keadaan kesehatan
bandan/kesehatan jiwanya setelah dinyatakan oleh tim pemeriksa
kesehatan yang berwenang atas permintaan Menteri/Pejabat yang
ditunjuk.
c) Melakukan pelanggaran ringan terhadap larangan sebagai Pejabat
Pembuat Akta Tanah diberi kesempatan untuk mengajukan
pembelaan diri kepada Menteri.
d) Diangkat sebagai Pegawai Negeri Sipil / ABRI.

Sedangkan pemberhentian PPAT tidak hormat dikarenakan:

a) Melakukan pelanggaran berat terhadap larangan atau kewajiban


sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah.
b) Dijatuhi hukum kurungan atau penjara karena melakukan kejahatan
pembunuhan atau pidana yang diancam dengan hukuman kurungan
atau penjara selama-lamanya lima tahun atau lebih berat berdasarkan
putusan pengadilan yang sudah lebih berat berdasarkan putusan
pengadilan yang sudah memperoleh kekuatan hukum tetap.

59
Ibid, hlm. 680

32
2. Tugas, Wewenang dan Kewajiban Pejabat Pembuat Akta Tanah

Mengenai tugas Notaris sebagai PPAT sebenarnya belum ada


suatu peraturan tersendiri megenai tugas yang harus dijalankan oleh
seorang Notaris dalam pelaksanaanya sebagai PPAT. Hal ini dapat
dilihat dimana pengaturan tugas-tugas ini tdalam berbagai peraturan
yang berbeda.60
Dalam Pasal 5 Peraturan Menteri Dalam Negeri SK.59/DDA
tahun 1970 yang berbunyi “Pejabat Pembuat Akta Tanah Harus
Membuat Laporan Bulanan dari Akte-akte yang dibuat oleh pejabat
tersebut”.Laporan tersebut dibuat pada setiap awal bulan dari akte-akte
yang dibuat.61 Mengenai tugas dari PPAT adalah sebagai berikut :
a) Membuat akta mengenai perbuatan hukum yang berhubungan
dengan hak atas tanah dan hak tanggungan (akta jual beli, tukar
menukar dan lain-lainnya).
b) Membantu pihak-pihak yang melakukan perbuatan hukum untuk
mengajukan permohonan ijin pemindahan hak dan permohonan
penegasan konversi serta pendaftara.n hak atas tanah. 62

Sedangkan wewenang dari PPAT adalah :

a) Membuat akta otentik mengenai semua perbuatan hukum, mengenai:


1) Jual beli
2) Tukar menukar
3) Hibah
4) Pemasukan ke dalam perusahaan
5) Pembagian hak bersama
6) Pemberian hak guna bangunan dan hak pakai diatas tanah Hak
Milik.

60
AP, Parlindungan, Pedoman Pelaksana Undang-Undang Pokok Agraria dan Tata Cara
PPAT, Mandar Maju, (Bandung, 1999), hlm. 228.
61
Eddy Ruchiyat, Sistem Pendaftaran Tanah Sebelum dan Sesudah Berlakunya UUPA,
Amico,( bandung, 1989), hlm. 52
62
Ibid, hlm. 52.

33
7) Pemberian hak tanggungan
8) Pemberian kuasa pembebanan hak tanggungan mengenai hak
b) PPAT hanya berwenang membuat akta mengenai hak atas tanah dan
hak milik atas satuan rumah susun yang terletak di daerah kerjanya
saja.
c) Untuk akta tukar menukar, akta pemasukan ke dalam perusahaan dan
akta pembagian hak bersama mengenai beberapa hak atas tanah dan
hak milik atas satuan rumah yang kesemuanya tersebut tidak terletak
dalam wilayah kerja seseorang PPAT maka aktanya dapat dibuat oleh
PPAT yang wilayah kerjanya meliputi salah satu bidang atau rumah
susun yang haknya menjadi obyek hukum dalam akta.
d) PPAT Khusus hanya berwenang membuat akta mengenai perbuatan
hukum yang disebutkan secara khusus dalam penunjukannya.63
Untuk kewajiban dari PPAT adalah sebagai berikut :
1) Menyelenggarakan suatu daftar dari akta-akta yang dibuatnya
2) Menyimpan asli dari akta-akta yang dibuatnya
3) Mengirim laporan akta-akta dibuat setiap awal bulan dari bulan
yang sedang berjalan Kepada Direktorat Pendaftaran Tanah,
kantor seksi pendaftaran tanah dan Kepala Kantor Badan
Pertanahan Nasional Propinsi (Daerah).

Pasal 5 Peraturan Menteri Dalam Negeri SK No. 59/DDA/1970).

4) Melaksanakan segala petunjuk yang diberikan oleh Dirjen Agraria


PPAT juga wajib memperhatikan hak pengawasan yang dilakukan
oleh Dirjen Agraria. Dirjen Agraria ini berhak mencabut
penunjukkan PPAT juga terbukti kegiatan PPAT merugikan orang
lain. (Pasal 4 Peraturan Menteri Agraria No. 10/1961).64
3. Wilayah Kerja Pejabat Pembuat Akta Tanah

63
Ibid, hlm. 54
64
AP. Parlindungan. Aneka Hukum Agraria, Alumni,( Bandung, 1983), hlm. 42.

34
Berdasarkan PP No. 37/1998 maka dapat penulis jelaskan bahwa
wilayah kerja PPAT adalah satu wilayah kerja Kantor Pertanahan
Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II. Sedangkan untuk wilayah
kerja PPAT, sementara dan PPAT khusus meliputi wilayah kerjanya
sebagai Pejabat Pemerintah yang menjadi dasar penunjukannya. Apabila
sebelum berlakunya PP No. 37/1998 ini seseorang PPAT mempunyai
wilayah kerja yang tidak sesuai dengan ketentuan yang ada pada PP No.
37/1998 ini (wilayah kerjanya melebihi satu wilayah kerja Kantor
Pertanahan). Maka PPAT tersebut harus memilih salah satu dari wilayah
kerja tersebut atau setelah 1 (satu) tahun wilayah kerja PPAT tersebut
sesuai denah tempat kantor PPAT tersebut berada.
Daerah kerja PPAT telah diatur di dalam Pasal 1 ayat (1) PP No.
37/1998 tentang Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah adalah sebagai
berikut:
Pasal 12 ayat (1) Daerah kerja PPAT adalah satu wilayah kerja
Kantor Pertanahan Kabupaten/Kotamadya. Dan juga diatur pada Pasal 13
ayat (1) dan ayat (2) PP No. 37 tahun 1998 adalah sebagai berikut ini
a) Pasal 13 ayat (1) : Apabila suatu wilayah Kabupaten/Kotamadya
dipecah menjadi dua atau lebih wilayah Kabupaten/Kotamadya,maka
dalam waktu satu tahun sejak diundangkannya undang-undang tentang
Pmbentukan Kabupaten/Kotamadya sebagai daerah kerja dengan
ketentuan bahwa apabila pemilihan tersebut tidak dilakukan pada
waktunya, maka mulai 1 (satu) tahun sejak diundangkannya undang-
undang pembentukan Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II baru
tersebut daerah kerja PPAT yang bersangkutan hanya meliputi
wilayah Kabupaten/Kotamadya letak kantor PPAT yang
bersangkutan.
b) Pasal 13 ayat (2): Pemilihan Daerah Kerja sebagaimana di maksud
pada ayat (1) berlaku dengan sendirinya mulai 1 (satu) tahun sejak
diundang-undangkannya undang-undang pembentukan Kabupaten/
Kotamadya Daerah Tingkat I yang baru.

35
Serta diatur juga di dalam Pasal 14 (1) dan ayat (2) PP No 37/1998
tentang peraturan jabatan Pejabat Pembuat akta Tanah.
a) Pasal 14 ayat (1): Formasi ditetapkan oleh Menteri Agraria/Badan
Pertahanan Nasional.
b) Pasal 14 ayat (2): Apabila formasi PPAT untuk suatu daerah kerja
PAT sudah terpenuhi maka Menteri Agraria/Badan Pertanahan
Nasional menetapkan wilayah tersebut tertutup pengangkatan PPAT
Maksud dari Pasal 14 ayat (2) tersebut di atas: Dengan adanya penetapan
formasi ada suatu daerah Kabupaten/Wilayah Daerah Tingkat II akan
dapat dibatasi penempatan PPAT pada suatu daerah, sehingga daerah lain
yang masih tersedia lowongannya dapat diisi, maka tujuan penempatan
pemerataan PPAT dapat tercapai.
PPAT dalam melaksanakan tugasnya harus mengacu kepada Kode
Etik PPAT ada dalam peraturan lebih lanjut yaitu Pasal 28 ayat (2) huruf
c Perka BPNNo. 1 Tahun 2006 tentang Ketentuan Pelaksanaan PP No.
37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah.
Yang berwenang mengangkat dan memberhentikan dengan tidak hormat
dari jabatannya jika melanggar kode etik profesi adalah Kepala Badan
Pertanahan Nasional. 65 Kode Etik Profesi PPAT yang berlaku saat ini
yaitu hasil keputusan Kongres IV IPPAT 31 Agustus –1 September 2007.
Pasal 1 angka 2 Kode Etik Profesi PPAT menyebutkan: “Kode Etik
PPAT dan untuk selanjutnya akan disebut Kode Eti adalah seluruh kaidah
moral yang ditentukan oleh Perkumpulan berdasarkan keputusan kongres
dan/atau yang ditentukan oleh dan diatur dalam peraturan perundang-
undangan yang mengatur tentang hal itu dan yang berlaku bagi serta
wajib ditaati oleh setiap dan semua anggota Perkumpulan IPPAT dan
semua orang yang menjalankan tugas jabatan sebagai PPAT, termasuk
didalamnya para PPAT Pengganti.”Yang berwenang melakukan
pengawasan dan penindakan kode etik PPAT ada pada Majelis

65
Novriyadi, “Perbedaan Notaris dan PPAT.” Lamudi. 20 Juni, 2023,
https://www.lamudi.co.id/journal/perbedaan-notaris-dan-ppat/ Diakses pada tanggal 8 Juli 2023.

36
Kehormatan yang terdiri dari Majelis Kehormatan Daerah dan Majelis
Kehormatan Pusat. Kode etik profesi PPATdisusun oleh Organisasi
PPAT dan/atau PPAT Sementaradan ditetapkan oleh Kepala BPN yang
berlaku secara nasional (Pasal 69 Perka BPN 1/2006). Organisasi PPAT
yang dimaksud saat ini adalah Ikatan Pejabat Pembuat Akta Tanah
(IPPAT).

37
38

BAB III
KASUS POSISI

Hasil wawancara dengan staff PPAT, saya mendapatkan beberapa informasi


terkait dengan apa yang menjadi tugas seorang staff PPAT yang berhubungan
dengan pajak dan permasalahan validasi khususnya pajak BPHTB dan contoh
kasus, berikut permasalahan mengenai pajak BPHTB yang telah saya rangkum:

A. Pengurusan Pajak BPHTB oleh staff PPAT


Pertama yang harus dilakukan adalah melunasi Pajak Bumi dan Bangunan
(PBB), dalam UU Nomor 28 tahun 2009 tentang pajak daerah dan retribusi daerah
menyebutkan bahwa PBB adalah pajak atas bumi dan/atau bangunan yang dimiliki,
dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau Badan, kecuali kawasan
yang digunakan untuk kegiatan usaha perkebunan, perhutanan, dan pertambangan.
Kedua memohon proses validasi BPHTB kepada BAPENDA berdasarkan
syarat-syarat yang ditentukan. Syarat tersebut yaitu:
1. Mengisi dan menyerahkan form permohonan penelitian SSPD BPHTB
beserta berkas permohonan;
2. Meneliti form permohonan penelitian SSPD BPHTB beserta berkas
permohonan;
3. Memasukkan basis data Wajib Pajak sesuai dengan berkas permohonan
dan mencetak serta menandatangani tanda terima untuk diagendakan
dan diserahkan kepada Wajib Pajak;
4. Meneliti berkas permohonan dan memaraf SSPD BPHTB;
5. Meneliti dan memaraf SSPD BPHTB;
6. Menandatangani SSPD BPHTB;
7. Menerima dan mengarsipkan berkas permohonan serta menyampaikan
SSPD BPHTB;
8. Menerima SSPD BPHTB.
Adanya Surat Edaran Kepala BPN RI Nomor 5/SE/IV/2013 Tentang
Pendaftaran Hak Atas Tanah Atau Pendaftaran Peralihan Hak Atas Tanah Terkait
Dengan Pelaksanaan UU No. 28/2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah,
maka PPAT, Pejabat Lelang tidak perlu melakukan penelitian SSPD BPHTB pada
kantor Bapenda. Namun untuk mengantisipasi adanya pemalsuan bukti setoran
pembayaran BPHTB, Kepala BPN RI mewajibkan kepada
pemohon/kuasa/PPAT/Notaris/Pejabat Lelang untuk membuat surat pernyataan
sesuai format yang disediakan oleh Kantor BPN, yang isinya memuat keterangan
bahwa yang bersangkutan benar telah membayarkan setoran pembayaran BPHTB
ke kantor instansi yang berwenang di daerahnya. Faktanya dilapangan hasil validasi
menjadi salah satu syarat mutlak untuk peralihan hak atas tanah di Badan
Pertanahan Nasional khususnya BPN Kabupaten Bandung.
Proses validasi ada beberapa permohonan yang dikuasakan kepada pegawai
Notaris/PPAT (Narasumber) ditolak dengan berbagai alasan.Beberapa hal yang
menjadi alasan ditolaknya validasi oleh BAPENDA, antara lain sebagai berikut:
1. Kurangnya dokumen atau kesalahan dalam mengisi formulir;
2. Belum dilunasinya hutang PBB tahunan;
3. Ketidak sesuain antara transaksi dalam akta jual beli dengan nilai jual
objek pajak, dan lain sebagainya.
Kendala di atas apabila tidak segera mendapatkan penyelesaian, maka
peluang pengelolaan PBB dan BPHTB oleh Bapenda justru akan memunculkan
ketidakpastian nilai, kegelisahan masyarakat dan terhambatnya berbagai proses
yang berhubungan dengan peralihan hak atas tanah.66

B. Permasalahan validasi pajak BPHTB


Pada tanggal 9 Desember 2009 nyonya X membeli sebidang tanah dengan
luas 350 m2 dengan dasar kepemilikan adalah sebuah sertifikat hak milik
No.04XXX, desa X kecamatan X Kabupaten Bandung. Dengan nilai transaksi
sebesar 28 juta rupiah, setelah itu nyonya X mendatangi kantor pejabat pembuat

66
Bonus Aprianto Hernanda, “Problematika Validasi Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan
Bangunan Atas Temuan Hasil Verifikasi Lapangan Nilai Bangunan Tidak Sesuai Dengan Nilai Jual
Objek Pajak Dan Nilai Perolehan Objek Pajak”, Jurnal Ilmiah Mahasiswa Universitas Surabaya
Vol. 3 No. 1, 2014, hlm. 12, diakses 12 Juli 2023,
https://journal.ubaya.ac.id/index.php/jimus/article/download/1548/1266/.

39
akta tanah sementara (PPATS) untuk membuat akta-jual beli (AJB). Namun nyonya
X tidak langsung melaksanakan proses peralihan hak sertifikat ke Badan
Pertanahan Nasional (BPN).
Pada tahun 2023 nyonya X akan melakukan peralihan hak ke BPN dengan
dasar AJB No.XXX/2009 yang nyonya X buat pada tahun 2009 lalu dikarenakan
pada saat pembuatan akta jual beli nyonya X tidak melaksanakan proses
pembayaran pajak PPh dan BPHTB maka dengan itu nyonya X diharuskan terlebih
dahulu untuk membayar pajak tersebut.
Pada saat setelah melaksanakan pembayaran pajak tersebut, nyonya X
diharuskan melakukan validasi pajak yang sudah dibayarkan kepada Bapenda dan
Kpp pratama, namun pada saat dilakukan validasi BPHTB ternyata validasinya
ditolak dengan alasan NJOP tidak sesuai atau transaksi dibawah minimum NJOP
tahun 2023 sedangkan akta yang dibuat oleh nyonya X pada tahun 2009 sudah
sesuai dengan NJOP pada tahun itu. Bapenda dengan alasan aplikasi yang baru
tahun 2023 dipakai, tidak dapat memproses dan mengharuskan membayar BPHTB
sesuai dengan transaksi yang ditentukan aplikasi dan dapat dilakukan proses
validasi, Bapenda mengharuskan melakukan pembayaran dengan seolah-olah
transaksi menjadi 200 juta sesuai perhitungan aplikasi yang menurut Bapenda
merupakan NJOP terbaru atau NJOP 2023 yang ditetapkan aplikasi tersebut.
Sebenarnya tidak semua pemohon atau disini pembeli dalam Akta jual-beli
(yang memiliki kewajiban untuk membayar BPHTB), dengan intruksi Bapenda
tersebut transaksi bisa saja menjadi lebih besar dan pajak yang ditanggung baik
pembeli maupun penjual akan menjadi lebih besar. Sedangkan transaksi tersebut
telah dilakukan dalam beberapa tahun kebelakang dengan kesepakatan contohnya
100 juta, dengan adanya intruksi Bapenda tersebut dengan bertambahnya NJOP
setiap tahunnya bisa menjadi dua sampai dengan tiga kali lipat atau menjadi 200 –
300 juta. Pemohon sendiri menolak untuk membayar pajak sesuai dengan NJOP
yang baru tersebut, dikarenakan transaksi yang benar-benar terjadi sesuai dengan
nilai yang dimohonkan dalam validasi tersebut.

40
Permasalahan tersebut diatas menimbulkan proses peralihan hak menjadi
terhambat karena hasil penelitian validasi BPHTB yang dilakukan Bapenda
menjadi salah satu syarat yang mutlak.

41
42

BAB IV

TINJAUAN YURIDIS PENERAPAN VALIDASI BPHTB MENGGUNAKAN


NJOP TERBARU TERHADAP TRANSAKSI PADA AKTA JUAL BELI
TANAH YANG DI BUAT PPAT/PPATS DENGAN DASAR
TRANSAKSI DAN NJOP LAMA BERDASARKAN
UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN 2009
JUNTO PERBUP 8 TAHUN 2015

A. Menerapkan Validasi BPHTB Menggunakan NJOP Terbaru Terhadap


Transaksi Pada Akta Jual Beli Tanah yang Dibuat PPAT/PPATS
Dengan Dasar Transaksi dan NJOP Lama
Dalam proses transaksi jual beli tanah dan bangunan, NJOP merupakan hal
yang wajib dipahami terlebih dahulu. Karena, dengan mengetahui Nilai Jual Objek
Pajak, maka akan tahu berapa besar dana dan pajak yang akan ditanggung dari
transaksi tersebut. Jadi, bisa dikatakan fungsi Nilai Jual Objek Pajak sebagai
penentu harga dan pertimbangan dalam menjual tanah dan bangunan. Setelah
menentukan nilai jual tersebut maka akan diketahui Bea perolehan hak atas tanah
dan Bangunan (BPHTB), BPHTB adalah pajak atas perolehan hak atas tanah
dan/atau bangunan.
Dalam pelaksanannya untuk melakukan transaksi jual beli tanah dan
bangunan pada kantor PPAT sebelum melakukan penandatanganan akta jual beli,
PPAT akan meminta bukti pembayaran pajak penjual (PPh) dan pembeli (BPHTB)
jika belum akan dibantu untuk pembuatan formulir pembayaran yang dipakai
sebagai dasar pembayaran pajak tersebut, Wajib Pajak BPHTB harus sudah
membayar pajak yang terutang sebelum akta jual beli tersebut diterbitkan atau
ditandatangani oleh PPAT/Notaris. Akta disini sebagai bukti telah terjadi jual beli
tanah dan atau bangunan. Jika akta tersebut ditandatangani sebelum dilunasinya
pajak BPHTB yang terutang, maka PPAT/Notaris tersebut akan terkena sanksi
sesuai peraturan yang berlaku. 67
Perhitungan untuk pajak penjual (PPh) dalam PP Nomor 34 Tahun 2016
disebutkan bahwa atas penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau
badan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan atau perjanjian pengikatan
jual beli atas tanah dan/atau bangunan beserta perubahannya, terutang Pajak
Penghasilan yang bersifat final. Tarifnya ada tiga, tergantung dari jenis transaksinya
yang dikenaikan dari jumlah bruto nilai pengalihan, yaitu 2,5% untuk transaksi
pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan selain pengalihan hak atas tanah dan/
atau bangunan berupa Rumah Sederhana atau Rumah Susun Sederhana yang
dilakukan oleh wajib pajak yang usaha pokoknya melakukan pengalihan hak atas
tanah dan/atau bangunan. Contohnya jika transaksi sebesar Rp. 100.000.000,-
dikalikan 2,5% hasilnya Rp. 2.500.000,- (biaya pajak yang harus dibayarkan
penjual).
Cara menghitung BPHTB yaitu 5 persen dari harga beli dikurangi Nilai Jual
Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NJOPTKP). Misalnya harga tanah dan bangunan
sebesar Rp. 100.000.000,- dikurangi NJOPTKP wilayah kabupaten bandung yaitu
Rp 60.000.000,- lalu dikalikan 5 persen maka hasilnya Rp. 2.000.000,- yang
menjadi nilai BPHTB.
Besaran NJOPTKP di masing-masing wilayah berbeda-beda, namun
berdasarkan Undang-Undang (UU) Nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak dan
Retribusi Daerah pasal 87 ayat 4 ditetapkan besaran paling rendah sebesar Rp 60
juta untuk setiap wajib pajak. Kendati demikian, apabila perolehan hak berasal dari
waris atau hibah wasiat yang diterima orang pribadi yang masih memiliki hubungan
keluarga sedarah maka NJOPTKP ditetapkan paling rendah senilai Rp 300 juta.
Besaran pokok pajak BPHTB yang terutang dihitung dengan mengalikan tarif
dengan Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP) setelah dikurangi Nilai Perolehan

67
Adrian Sutedi, Hukum Pajak dan Retribusi Daerah, Ghalia Indonesia, (Bogor, 2008),
hlm. 13

43
Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP). Adapun NPOPTKP merupakan nilai
pengurangan NPOP sebelum dikenakan tarif BPHTB.68
Setelah proses pembayaran subjek pajak diwajibkan untuk melaporkan
(validasi), untuk PPh dilakukan di KPP (Kantor Pelayanan Pajak) pratama
diwilayah bidang tanah yang menjadi objek jual beli. Sedangkan untuk BPTHB
dilaporkan (validasi) kepada dinas pendapatan daerah (DISPENDA) setempat.
Validasi PPh maupun BPHTB dapat dilakukan sendiri oleh wajib pajak atau dibantu
oleh PPAT. Persyaratan validasi PPh dan BPHTB yaitu: 69
1. KTP para pihak dalam jual beli tanah dan bangunan tersebut;
2. NPWP para pihak dalam jual beli tanah dan bangunan tersebut;
3. Bukti pembayaran PPh dan/atau BPHTB;
4. Foto copy akta jual beli;
5. Foto copy PBB; dan,
6. Lainnya berdasarkan aturan yang berlaku.
Setelah dilakukannya pelaporan tersebut oleh dinas terkait akan memeriksa
sesuai dengan aturan yang berlaku dan jika laporan tersebut telah memenuhi maka
dinas tersebut akan mengeluarkan Surat Keterangan Penelitian Formal Bukti
Pemenuhan Kewajiban Penyetoran Pajak baik pajak PPh ataupun BPHTB. Dengan
dasar nilai transaksi ini, maka nilai dasar yang digunakan dalam perhitungan
BPHTB tergantung dari kesepakatan para pihak dalam melakukan
transaksi.Sehingga kepastian kebenaran nilai transaksi yang dianggap telah
disetujui dan menjadi dasar perhitungan BPHTB tergantung dari kejujuran para
pihak. Tidak menutup kemungkinan nilai transaksi tersebut tidak sesuai dengan
yang sebenarnya yang sengaja dilakukan dengan maksud agar pajaknya lebih
rendah dari yang sebenarnya.Hal ini tentunya tidak mudah untuk menjamin
kapastian bahwa nilai transaksi yang digunakan sebagai dasar perhitungan BPHTB
itu adalah nilai transaksi yang sebenarnya ataukah tidak. Hal demikian wajar dapat
saja terjadi penurunan harga, mengingat pada umumnya para pihak menghendaki

68
https://perkim.id/perumahan/bagaimana-rumus-menghitung-biaya-bphtb/, diakses pada
tanggal 09 Juli 2023.
69
Diperoleh dari jawaban yang menggunakan daftar pertanyaan dari staff Notaris-PPAT

44
pembayaran pajak yang lebih ringan. Dalam hal ini maka diperlukan adanya
validasi untuk melakukan penelitian dan verifikasi secara cermat tentang kebenaran
nilai transaksi yang digunakan sebagai dasar perhitungan BPHTB.
Validasi maksudnya adalah penelitian/verifikasi atas bukti pembayaran
yang berupa Surat Setoran Pajak Daerah (SSPD), yang dilakukan oleh petugas
dinas yang berwenang, antara lain untuk meneliti kebenaran atas nilai yang
digunakan untuk menghitung BPHTB. Berdasarkan ketentuan undang-undang,
bahwa yang menjadi dasar perhitungan BPHTB adalah nilai transaksi.
Yang menjadi persoalan adalah ketika dihadapan PPAT bisa saja pihak-
pihak mengaku bahwa nilai transaksinya tidak sesuai dengan kenyataan, dalam arti
lebih rendah dari yang sebenarnya, dengan maksud agar pajak atau BPHTB nya
ringan. Dalam hal terjadi demikian, maka pada saat dilakukan validasi ini, ada
kemungkinan nilai transaksinya harus dirubah dan disesuaikan dan dengan
sendirinya terjadi kurang bayar, karena nilai yang digunakan menghitung BPHTB
oleh wajib pajak tidak sesuai menurut penilaian petugas yang berwenang meneliti.
Disinilah yang dapat menyebabkan kendala dan hambatan dalam proses lebih lanjut
pendaftaran peralihan di Kantor Pertanahan, karena harus menunggu proses
validasi selesai dengan membayar kekurangannya apabila terdapat kurang bayar.
Adanya hambatan dalam proses pendaftaran peralihan hak atas tanah ini tidak
sesuai dengan harapan masyarakat, yang umumnya menghendaki proses yang cepat
dan sederhana. Hal ini sesuai pernyataan bahwa, merupakan harapan kita semua,
bahwa pemrosesan sertifikat setelah persyaratan lengkap dapat diselesaikan dalam
jangka waktu yang wajar.Pelayanan aparat pelaksana pendaftaran tanah yang
profesional dan transparansi dalam tata kerja serta biaya yang diperlukan,
merupakan syarat keberhasilan pelaksanaan pendaftaran tanah. 70
Berkaitan dengan validasi SSPD ini pada awal pengalihan pengelolaan dari
pajak pusat oleh KPP Pratama menjadi pajak darah oleh pemerintah daerah melalui
dinas yang berwenang semula menjadi syarat wajib dalam pendaftaran peralihan
jual beli di kantor pertanahan, disamping juga validasi atas pajak penjual (PPh) oleh

70
Maria S.W. Sumardjono, Kebijakan Pertanahan Antara Regulasi & Implementasi, PT.
Kompas Media Nusantara,( Jakarta, 2002), hlm. 121-122.

45
KPP Pratama. Karena terjadi hambatan pada saat pendaftaran peralihan di kantor
pertanahan inilah, menimbulkan keluhan masyarakat yang melakukan pengurusan
peralihan tanah. Karena untuk syarat pendaftaran harus menunggu validasi SSPD
yang kadang memakan waktu yang lama, di samping harus melakukan perubahan
nilai transaksi dan besarnya pembayaran BPHTB ketika nilai yang diajukan wajib
pajak tidak sesuai menurut perhitungan dinas yang berwenang. Dengan kondisi
demikian, maka dalam perkembangannya kemudian keluar Surat Edaran Kepada
Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia nomor : 05 /SE/IV/2003 tentang
Pendafataran Hak Atas Tanah atau Pendaftaran Hak atas Tanah terkait dengan
pelaksanaan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah, yang ditujukan kepada kepala-kepala kantor pertanahan seluruh
Indonesia, yang intinya memerintahkan kantor pertanahan agar menerima
pendaftaran peralihan tanah tanpa menunggu validasi bukti pembayaran BPHTB.
71

Berdasarkan data dan keterangan yang diperoleh ternyata dalam penerapan


kewajiban validasi pembayaran BPHTB pasca Surat Edaran Kepala Badan
Pertanahan Nasional nomor 5 /SE/IV/2003 tentang Pendafataran Hak Atas Tanah
atau Pendaftaran Hak atas Tanah terkait dengan pelaksanaan Undang-Undang
Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, berbeda-beda
antara wilayah Kabupaten dan Kota yang satu dan lainnya.
Bagi kantor pertanahan dalam pendaftaran peralihan hak atas tanah ada yang
tidak mensyaratkan validasi, sementara ada yang mengambil jalan tengah tidak
mensyaratkan tetapi pada saat mengambil Sertifikat dipersyaratkan adanya bukti
pembayaran BPHTB (SSPD) yang sudah divalidasi, juga ada yang tidak
mensyaratkan tetapi ada instansi lain dalam proses lain yaitu pada saat validasi
pembayaran pajak penjual (PPh) di KPP Pratama yang mensyaratkan validasi
BPHTB. Dengan ketidak seragaman dalam pelayanan proses pendaftaran peralihan
hak atas tanah terkait dengan persyaratan validasi BPHTB ini tentunya juga dapat

71
R. Murjiyanto dan Samun Ismaya Kepastian Nilai Dasar Penghitungan Bea Perolehan
Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) 490 Jurnal Hukum ius quia iustum no. 3 vol. 22 juli 2015:
489 – 509.

46
menimbulkan ketidakadilan dan tidak adanya kepastian hukum. Untuk itu pada
waktu ke depan diharapkan ada perbaikan dan pembenahan melalui kerjasama dan
koordinasi yang baik antar instansi dan pihak-pihak yang terkait dengan proses
peralihan hak atas tanah dan pembayaran BPHTB, baik Kantor Pertanahan, Dinas
pengelola BPHTB, dan PPAT-Notaris.72
Demikian pula data dan keterangan yang diperoleh dari para PPAT/Notaris,
pada umumnya mengeluhkan adanya ketidakpastian berasnya nilai BPHTB yang
harus dibayar, sehubungan nilai transaksi yang digunakan sebagai dasar
menghitung BPHTB antara yang disepakati oleh pihak-pihak dengan dinas sering
terjadi perbedaan, dan tidak jarang harus diadakan perubahan nilai transaksi sesuai
penilaian dinas dan harus menambah BPHTB yang harus dibayar. Yang menjadi
persoalan adalah ketika akta jual beli sudah resmi ditandatangani dengan nilai
transaksi sesuai dengan kesepakatan antara penjual dan pembeli, di waktu
kemudian pada saat diajukan validasi terdapat berbedaan nilai transaksi menurut
perhitungan dinas dan harus diadakan perubahan. Dalam hal ini mana nilai transaksi
yang sebenarnya, apakah nilai yang telah disepakati pihak-pihak dan dimuat di
dalam akta yang sudah ditandatangani, atau nilai yang harus diikuti menurut
perhitungan dinas73. Sedangkan penggunaan nilai dalam akta yang tidak sesuai
dengan kenyataan yang sebenarnya ada konsekuensi yuridis, sehingga apabila
terjadi sengketa dapat menjadi batal. Sedangkan keterangan dan pendapat yang
diperoleh dari narasumber dari dinas pendapatan Kabupaten/Kota yang berwenang
mengelola BPHTB menghendaki bahwa nilai yang dipergunakan sebagai dasar
perhitungan BPHTB tetap menggunakan dasar nilai transaksi, dengan
pertimbangan bahwa nilai tanah selalu mengalami perkembangan terutama
kenaikan, sehingga tidak dapat itentukan secara tetap. Oleh karena itu juga
menghendaki tetap adanya kewajiban validasi pada setiap pembayaran BPHTB
untuk meneliti kesesuaian obyek pajak dan nilai transaksi yang sebenarnya.
Sedangkan keterangan dan pendapat yang diperoleh dari narasumber Kantor
Pertanahan, bahwa prinsipnya berpegang pada Surat dari Kepala Badan Pertanahan

72
Ibid hlm.491
73
Ibid hlm 492

47
74
Nasional Nomor : 5 /SE/IV/2003 tentang Pendafataran Hak Atas Tanah atau
Pendaftaran Hak atas Tanah terkait dengan pelaksanaan UndangUndang Nomor 28
Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, diperoleh pendapat dan
keterangan berkaitan dengan kewajiban validasi, yaitu bahwa kewajiban validasi
atas pembayaran BPHTB berbeda-beda antara wilayah Kabupaten dan Kota. Bagi
kantor pertanahan dalam pendaftaran peralihan hak atas tanah ada yang tidak
mensyaratkan validasi, sementara ada yang mengambil jalan tengah tidak
mensyaratkan tetapi pada saat mengambil Sertifikat dipersyaratkan adanya bukti
pembayaran BPHTB (SSPD) yang sudah divalidasi, juga ada yang tidak
mensyaratkan tetapi ada instansi lain yaitu pada saat validasi pembayaran pajak
penjual (PPh) di KPP Pratama mensyaratkan validasi BPHTB. Untuk itu dalam
rangka menjamin kepastian dalam pembayaran BPHTB, perlu adanya ketetapan
nilai harga tanah secara standar yang ditetapkan oleh instansi yang berwenang,
seperti halnya dalam pengenaan pajak bumi dan bangunan, dibuat Nilai Jual Obyek
Pajak (NJOP) yang dikeluarkan setiap tahun pajak oleh instansi yang berwenang
sebagai dasar menghitung pajak PBB. PBB tersebut dimuat dalam Surat
Pemberitahuan Pajak Terutang Pajak Bumi danbangunan (SPPT PBB) dan
disampaikan kepada wajib pajak setiap tahun dan ditinjau secara periodik dengan
menyesuaikan perkembangan harga tanah di wilayah yang bersangkutan. Dalam
menetapkan nilai harga yang akan digunakan sebagai dasar perhitungan BPHTB,
dapat dilakukan dengan berkoordinasi antar instansi yang berhubungan, antara lain
antara dinas pendapatan pemerintah Kabupaten/ Kota dengan Kantor Pertanahan.75
Dalam hal ini dinas pendapatan pemerintah Kabupaten/ Kota mempunyai
ketetapan nilai yang dibuat dan digunakan untuk menghitung PBB yaitu dengan
Nilai Jual Obyek Pajak Bumi dan Bangunan (NJOP PBB), sedang Kantor
Pertanahan mempunyai ketetapan nilai yang dibuat dan digunakan untuk
menghitung Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) setiap pendaftaran tanah
yang disebut Zona Nilai Tanah (ZNT), dengan mengkombinasikan antar nilai
tersebut yang paling sesuai sebagai dasar perhitungan BPHTB. Sedangkan untuk

74
Ibid hlm 493
75
R. Murjiyanto dan Samun Ismaya Op.cit hlm.501

48
nilai transaksi atas bangunan dapat didasarkan pada nilai NJOP bangunan yang
terdapat pada SPPT PBB yang bersangkutan atau diadakan perhitungan dan
penilaian tersendiri.Namun yang menjadi persoalan adalah payung hukum yang
menjadi dasar penentuan nilai tersebut. Sehingga sebagai landasan hukum dalam
menentukan nilai harga yang dapat ditetapkan oleh masing-masing pemerintah
daerah perlu diadakan perubahan Undang-Undang, yaitu Undang-Undang 28
Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah khususnya Pasal 87 yang
mengatur bahwa, dasar pengenaan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
adalah Nilai Perolehan Objek Pajak.
Sedangkan Nilai Perolehan Objek Pajak untuk jual beli adalah harga
ransaksi.Ketentuan yang menyelaskan bahwa nilai perolehan obyek pajak adalah
nilai transaksi inilah yang perlu diadakan perubahan. Usulan perubahan pasal
tersebut yaitu menjadi sebagai berikut: bahwa yang dimaksud “Nilai Perolehan
Obyek Pajak” adalah nilai yang ditetapkan oleh pemerintah daerah Kabupaten/ kota
melalui instansi yang diberi kewenangan untuk itu, dengan ketentuan apabila belum
ditetapkan nilai oleh instansi dimaksud, maka nilai perolehan obyek pajak, dengan
menggunakan Nilai Obyek Pajak pada Pajak Bumi dan Bangunan (NJOP PBB)
yang tercantum pada Surat Pemberitahuan Pajak Terutang Pajak Bumi dan
Bangunan (SPPT PBB) pada tahun yang bersangkutan. Dasar pertimbangan usulan
perubahan tersebut, agar terjamin adanya kepastian nilai yang dipergunakan untuk
menghitung BPHTB dan dengan sendirinya juga berapa BPHTB yang harus
dibayar oleh wajib pajak.Sehingga dari sejak awal wajib pajak dengan mudah dan
dapat memastikan berapa BPHTB yang harus dibayar. Dengan adanya perhitungan
yang sudah pasti tersebut, maka akan mempermudah dan memberi kepastian wajib
pajak dalam membayar BPHTB dan tidak diperlukan lagi validasi yang harus
melalui prosedur yang rumit dan memakan waktu, dan dengan sendirinya akan
mempermudah dan mempercepat proses pendaftaran tanah lebih lanjut pada Kantor
Pertanahan yang berwenang. Sesuai tujuan utama reformasi perpajakan menurut

49
Chaizi Nasucha, adalah untuk mencapai efektifitas yang tinggi, yaitu kemampuan
untuk membuat biaya administrasi penerimaan pajak sekecil-kecilnya. 76

B. Menetapkan pajak BPHTB dengan Transaksi dan NJOP lama


Berdasarkan undang-undang nomor 28 tahun 2009 junto peraturan
bupati nomor 8 tahun 2015
Sebagaimana diatur dalam Pasal 87 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009
tentang pajak dan retribusi Daerah, bahwa yang menjadi dasar pengenaan Bea
Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah Nilai Perolehan Objek Pajak.
Sedangkan yang dimaksud dengan Nilai Perolehan Objek Pajak sebagaimana
dimaksud adalah nilai transaksi untuk peralihan karena jual beli atau nilai pasar
untuk peralihan lainnya. Penggunaan nilai transaksi atau nilai pasar inilah yang
menimbulkan ketidak pastian, karena nilai transaksi atau nilai pasar terhadap
sebuah obyek itu bagi beberapa pihak sifatnya relatif, tergantung nilai itu bagi siapa,
apakah bagi pihak-pihak, bagi petugas pajak, atau lainnya, sehingga sulit akan
diperoleh nilai yang sama dan pasti. Sedangkan legalitas sebuah transaksi
diperlukan adanya kebenaran dan kepastian hukum termasuk menyangkut nilai
transaksi. Adapun tarif pengenaan BPHTB bagi pembeli atau yang memperoleh hak
terhadap semua transaksi peralihan tanah adalah sebesar 5%. Dengan perhitungan : Nilai
Perolehan dikurangi Nilai Perolehan Tidak Kena Pajak (NPTKP) untuk wilayah
Kabupaten/ Kota Bandung sebesar Rp. 60.000.000,- kali tarif 5%. Sebagai contoh sebuah
transaksi dengan nilai perolehan sebesar Rp. 200.000.000,-. BPHTB yang harus dibayar
adalah = Rp. 200.000.000,- - Rp. 60.000.000,- = Rp. 140.000.000,- x 5% = Rp 7.000.000,-
. Di samping itu, bagi penjual atau pihak yang mengalihkan dikenakan Pajak Penghasilan
atas penjualan tanah dan bangunan dengan tarif sebesar 5%, sehingga dengan nilai
perolehan Rp. 200.000.000,- maka penjual akan dikenakan PPh sebesar = 200.000.000,- x
5% = Rp. 10.000.000,-. 77
Dalam pelaksanaannya, pemungutan BPHTB melewati prosedur validasi
terhadap penentuan harga jual objek transaksi sebagai dasar pengenaan BPHTB

76
Andrian Sutedi, Opcit hlm. 107
77
Padmo Wahjono, Undang-undang Perpajakan Beserta Penjelasan dan Peraturan
Pelaksanaan, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1984, hlm. 51.

50
yang dilaksanakan oleh pemerintah daerah melalui verifikasi lapangan. Adapun
Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) berdasarkanUndang-Undang Nomor 28 Tahun 2009
adalah harga rata-rata yang diperoleh daritransaksi jual beli yang terjadi secara
wajar, dan bilamana tidak terdapat transaksi jual beli, NJOP ditentukan melalui
perbandingan harga dengan objek lain yang sejenis, atau nilai perolehan baru,atau
NJOP pengganti. NJOP yang didasarkan pada Pasal 79 UU No. 28 Tahun 2009, sebagai
berikut : Dalam menetapkan NJOP diatur dalam Pasal 79 sebagaimana jangka waktu
penetapan NJOP, Pemerintah Daerah dalam hal ini adalah Kepala Daerah dilakukan setiap
3 tahun sekali, kecuali objek pajak tertentu yang besarannya dapat ditetapkan setiap tahun
tergantung perkembangan wilayahnya. Penetapan NJOP dapat dilakukan dengan beberapa
cara, yaitu:78
1. Perbandingan harga dengan objek lain yang sejenis, adalah suatu
pendekatan/metode penentuan nilai jual suatu objek pajak dengan cara
membandingkannya dengan objek pajak lain yang sejenis yang letaknya
berdekatan dan fungsinya sama dan telah diketahui harga jualnya.
2. Nilai perolehan baru, adalah suatu pendekatan/metode penentuan nilai jual
suatu objek pajak dengan cara menghitung seluruh biaya yang dikeluarkan
untuk memperoleh objek tersebut pada saat penilaian dilakukan, yang
dikurangi dengan penyusutan berdasarkan kondisi pisik objek tersebut.
3. Nilai jual pengganti, adalah suatu pendekatan/metode penentuan nilai jual
suatu objek pajak yang berdasarkan pada hasil produksi objek pajak tersebut.
Berdasarkan Pasal 2 ayat (2) huruf k Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009
tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dinyatakan bahwa salah satu jenis pajak
kabupaten/kota adalah Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB). Hal ini
menyebabkan BPHTB yang dulunya ditangani oleh Pemerintah Pusat yang merupakan
Pajak Pusat, sekarang ditangani sendiri oleh Pemerintah Kabupaten/Kota dan merupakan
Pajak Daerah. Dengan demikian, Kantor Pusat dalam hal ini Direktorat Jenderal Pajak
(DJP) memungut BPHTB sampai dengan 31 Desember 2010, sedangkan mulai tahun 2011,
DJP tidak berwenang memungut BPHTB lagi. Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor
28 Tahun 2009 ini, maka mengakibatkan Undang- Undang BPHTB tidak berlaku lagi yaitu

78
Arum Sri Pen problematika pemungutan BPHTB terhadap harga jual tanah di kabupaten
gresik Jurnal Pro Hukum: Vol . 11, No. 2, Agustus 2022, hlm 2 diakses 15 Juli 2023
https://journal.ubaya.ac.id/index.php/jimus/article/view/1549.

51
1 (satu) tahun sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang pajak
dan retribusi daerah tersebut.79
Wewenang untuk melakukan pemungutan BPHTB beralih dari Pemerintah Pusat
ke Pemerintah Daerah sebagaimana diamanatkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009
tentang pajak dan retribusi daerah, tujuan terbesar dari pengalihan tersebut tidak lain untuk
meningkatkan local taxing power Kabupaten dan Kota yang selama ini belum berjalan
secara maksimal, walaupun lokalitas objek BPHTB berlokasi di daerah Kabupaten dan
Kota. Pengalihan BPHTB dari Pusat dan Daerah tidak hanya sebatas
pemungutan/penagihan melainkan juga pada pendataan, penilaian, penetapan, pelayanan
yang menyeluruh disamping pengadministrasian yang harus dilaksanakan daerah.
Oleh sebab itu, dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang
pajak dan retribusi daerah, BPHTB menjadi Pajak Daerah, maka Kabupaten Bandung yang
merupakan salah satu daerah yang telah menerapkan kebijakan pengaturan BHPTB di
wilayahnya kemudian menerbitan Peraturan Daerah Kabupaten Bandung Nomor 8 Tahun
2015 tentang perubahan atas peraturan bupati bandung nomor 37 tahun 2012 tentang
bentuk isi formulir, klasifikasi penetapan nilai jual objek pajak dan ketetapan terendah
pajak bumi dan bangunan perdesaan dan perkotaan, sebagai bentuk desentralisasi
pengelolaan BPHTB. Dari hasil analisa penulis, sebagaimana yang dijelaskan dalam pasal
3 huruf L Perda Kabupaten Bandung No. 8 Tahun 2015 tentang perubahan atas peraturan
bupati bandung nomor 37 tahun 2012 tentang bentuk isi formulir, klasifikasi penetapan
nilai jual objek pajak dan ketetapan terendah pajak bumi dan bangunan perdesaan dan
perkotaan mengatur: NJOP sebagai dasar pengenaan PBB pada SPPT ini dapat
dipergunakan sebagai dasar pengenaan Bea Perolehan Hak ata Tanah dan Bangunan sesuai
dengan ketentuan Pasal 87 ayat (3) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 dan
pembayaran Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari pengalihan Hak Atas Tanah dan/atau
Bangunan sesuai dengan ketentuan Pasal 4 Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 1994
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 71
Tahun 2008.
Secara umum mekanisme pengenaan dan penetapan objek, subjek, tata cara
perhitungan dan dasar pengenaan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB)
dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah

79
Pasal 180 ayat (6) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan
Retribusi daerah.

52
sama dengan pengaturan BPHTB yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 21 tahun
1997 tentang BPHTB sebagaimana telah diubah dengan UndangUndang Nomor 20 Tahun
2000. Mekanisme ini kemudian secara sempurna di ikuti didalam substansi ketentuan Perda
Kabupaten Bandung Nomor 8 Tahun 2015. Dari hasil analisa penulis terhadap UU No. 28
tahun 2009 dan Perda Kabupaten Bandung No. 8 tahun 2015, maka mekanisme penetapan
pajak BPHTB hanya memberikan kebebasan bagi daerah dalam menentukan kebijakan
penetapan tarif BPHTB dalam batas maksmial dan minimal sudah ditentukan dalam UU
ini. Artinya, baik subyek maupun obyek pengenaan pajak BPHTB yang telah diatur dalam
UU No. 28 Tahun 2009 harus tetap dimasukkan dalam regulasi masing-masing peraturan
daerah yang mengatur pajak daerah dan retribusi daerah. Amanat dari mekanisme
pengenaan pajak BPHTB tersebut kemudian dituangkan dalam pasal-pasal yang ada dalam
Perda Kabupaten Bandung Nomor 8 Tahun 2015 termasuk subyek dan obyek yang sama
sebagaimana yang diatur dalam UU No. 28 Tahun 2009 sebagai upaya dalam peningkatan
pajak di wilayah tersebut namun tetap memegang prinsip dan asas-asas dalam pengenaan
pajak itu sendiri.

53
54

BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Dalam proses transaksi jual beli tanah dan bangunan, NJOP merupakan hal
yang wajib dipahami karena, dengan mengetahui Nilai Jual Objek Pajak, maka
akan tahu berapa besar dana dan pajak yang akan ditanggung dari transaksi
tersebut. Jadi, bisa dikatakan fungsi Nilai Jual Objek Pajak sebagai penentu
harga dan pertimbangan dalam menjual tanah dan bangunan. Setelah
menentukan nilai jual tersebut maka akan diketahui Bea perolehan hak atas
tanah dan Bangunan BPHTB, BPHTB adalah pajak atas perolehan hak atas
tanah dan atau bangunan. Dalam pelaksanannya untuk melakukan transaksi
jual beli tanah dan bangunan pada kantor PPAT sebelum melakukan
penandatanganan akta jual beli, PPAT akan meminta bukti pembayaran pajak
penjual PPh dan pembeli BPHTB jika belum akan dibantu untuk pembuatan
formulir pembayaran yang dipakai sebagai dasar pembayaran pajak tersebut,
Wajib Pajak BPHTB harus sudah membayar pajak yang terutang sebelum akta
jual beli tersebut diterbitkan atau ditandatangani oleh PPAT Notaris.
Validasi maksudnya adalah penelitian verifikasi atas bukti pembayaran
yang berupa Surat Setoran Pajak Daerah SSPD, yang dilakukan oleh petugas
dinas yang berwenang, antara lain untuk meneliti kebenaran atas nilai yang
digunakan untuk menghitung BPHTB. Berdasarkan ketentuan undang-undang,
bahwa yang menjadi dasar perhitungan BPHTB adalah nilai transaksi. Yang
menjadi persoalan adalah ketika dihadapan PPAT bisa saja pihak-pihak
mengaku bahwa nilai transaksinya tidak sesuai dengan kenyataan, dalam arti
lebih rendah dari yang sebenarnya, dengan maksud agar pajak atau BPHTB
nya ringan. Dalam hal terjadi demikian, maka pada saat dilakukan validasi ini,
ada kemungkinan nilai transaksinya harus dirubah dan disesuaikan dan dengan
sendirinya terjadi kurang bayar, karena nilai yang digunakan menghitung
BPHTB oleh wajib pajak tidak sesuai menurut penilaian petugas yang
berwenang meneliti.
2. Dalam Pasal 87 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang pajak dan
retribusi Daerah, bahwa yang menjadi dasar pengenaan Bea Perolehan Hak
atas Tanah dan Bangunan adalah Nilai Perolehan Objek Pajak. Sedangkan

54
yang dimaksud dengan Nilai Perolehan Objek Pajak sebagaimana dimaksud
adalah nilai transaksi untuk peralihan karena jual beli atau nilai pasar untuk
peralihan lainnya. Penggunaan nilai transaksi atau nilai pasar inilah yang
menimbulkan ketidak pastian, karena nilai transaksi atau nilai pasar terhadap
sebuah obyek itu bagi beberapa pihak sifatnya relatif, tergantung nilai itu bagi
siapa, apakah bagi pihak-pihak, bagi petugas pajak, atau lainnya, sehingga
sulit akan diperoleh nilai yang sama dan pasti.
Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang
pajak dan retribusi daerah, BPHTB menjadi Pajak Daerah, maka Kabupaten
Bandung yang merupakan salah satu daerah yang telah menerapkan kebijakan
pengaturan BHPTB di wilayahnya kemudian menerbitan Peraturan Daerah
Kabupaten Bandung Nomor 8 Tahun 2015 tentang perubahan atas peraturan
bupati bandung nomor 37 tahun 2012 tentang bentuk isi formulir, klasifikasi
penetapan nilai jual objek pajak dan ketetapan terendah pajak bumi dan
bangunan perdesaan dan perkotaan, sebagai bentuk desentralisasi pengelolaan
BPHTB. Dari hasil analisa penulis, sebagaimana yang dijelaskan dalam pasal
3 huruf L Perda Kabupaten Bandung No. 8 Tahun 2015 tentang perubahan atas
peraturan bupati bandung nomor 37 tahun 2012 tentang bentuk isi formulir,
klasifikasi penetapan nilai jual objek pajak dan ketetapan terendah pajak bumi
dan bangunan perdesaan dan perkotaan mengatur NJOP sebagai dasar
pengenaan PBB pada SPPT ini dapat dipergunakan sebagai dasar pengenaan
Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan sesuai dengan ketentuan Pasal
87 ayat 3 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 dan pembayaran Pajak
Penghasilan atas Penghasilan dari pengalihan Hak Atas Tanah danatau
Bangunan sesuai dengan ketentuan Pasal 4 Peraturan Pemerintah Nomor 48
Tahun 1994 sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan
Pemerintah Nomor 71 Tahun 2008.

B. Saran- Saran
1. Diharapkan Bapenda Kabupaten Bandung melakukan pelatihan tentang
perpajakan khususnya BPHTB kepada seluruh pegawai-pegawainya agar
memahami mekanisme pemungutan BPHTB, memahami ketentuan perpajakan
khususnya BPHTB dan lebih memberikan pelayanan yang maksimal.

55
2. Diharapkan kepada pegawai Bapenda agar melakuklan penelitian
validasi BPHTB berdasarkan aturan yang ada, khusunya pada penentuan
perhitungan pajak BPHTB berdasarkan undang-undang nomor 28 tahun
2009 tentang pajak dan retribusi daerah.

56
DAFTAR PUSTAKA

Barata, A. A. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) Menghitung
Obyek dan Cara Pengajuan Keberatan Pajak. Jakarta: Gramedia. 2003.

Indonesia. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 tentang Bea Perolehan Hak


Atas Dan Bangunan.

Indonesia. Undang Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan
Tata Cara Perpajakan.

Indonesia, Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha


Negara.

Indonesia. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan


antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.

Indonesia, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi


Pemerintahan.

Indonesia. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 199/ PMK.03/2007 tentang Cara


Pemeriksaan Pajak.

Indonesia, Peraturan Daerah Kabupaten Bandung Nomor 70 Tahun 2016 tentang


Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan.

Mardiasmo, Perpajakan Edisi Revisi, Yogyakarta: CV Andy Offset, 2008

R. O.H. Monding dan R.J. Pusung. Analisis Tingkat Akurasi Penetapan Nilai Jual
Objek Pajak (Njop) Bumi Dan Bangunan Di Kecamatan Paal Dua Kota
Manado. Jurnal EMBA, 4(4), 993. 2016. Diakses 26 April 2023
https://doi.org/10.35794/emba.4.4.2016.14571.

R. Santoso Brotodihardjo. Pengantar Ilmu Hukum Pajak. Bandung : PT. Refika


Aditama, 2008

57
58

Sinaga, DR. N. A. Pemungutan Pajak Dan Permasalahannya Di Indonesia. Jurnal


Ilmiah Hukum Dirgantara-Fakultas Hukum Universitas Dirgantara
Marsekal Suryadarma 7(1), 150-151. 2016. diakses 26 April 2023,
https://doi.org/10.35968/jh.v7i1

Siahaan, M.P. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan. Raja Grafindo
Persada. 2003.

Setiawan, S. Perpajakan Indonesia. Malang: Universitas Muhammadiyah Malang


Press. 2009.

Waluyo dan Wirawan, B. I. Perpajakan Indonesia. Jakarta: Salemba Empat. 1999.

Wirawan, B. I. Hukum Pajak. Jakarta: Salemba Empat. 2011.

Anda mungkin juga menyukai