Anda di halaman 1dari 2

Ruh Tergantung Karena Utang

Orang tua yang demikian perlu disampaikan tentang bahaya hutang, Nabi ( ‫ )ﷺ‬bersabda:
‫ضىُ َعْنُه‬ ُ‫نَ ْفسُُالْ م ْؤِم ُِنُم َعلَّ َقةُُبِ َديْنُِِهُ َح َّى‬
َ ‫ّتُي ْق‬
“Ruh seorang mukmin tergantung karena hutangnya hingga dilunasi” (HR Tirmidzi 1078)
Apa yang dimaksud dengan ruhnya tergantung? Al-Mula Ali Al-Qori menjelaskan:

ُْ ‫ُأ‬:ُُ‫الُالْعَِراقِي‬
ُُ‫َيُأ َْمرَهاُ َم ْوقوفَُُُلُ ُْي َكمُُ ََلَاُبِنَ َجاة‬ َُ َ‫ُ َوق‬،ُ‫وسةُُ َع ُْنُ َم َق ِام َهاُالْ َك ِرُِي‬
َ ‫َيُ ََْمب‬ َُ ‫فَ ِق‬
ُْ ‫ُأ‬:ُ‫يل‬
‫ضىُ َماُ َعلَْي ُِهُ ِم َُنُالدَّيْ ُِنُأ َُْمَُل؟‬
َ ‫ُأ ََه ُْلُي ْق‬،‫ّتُي ْنظََر‬
َُّ ‫َوَُلُ َه ََلكُُ َح‬
“Sebagian ulama mengatakan: Ruhnya tertahan untuk menempati tempat yang mulia. Al-Iraqi
mengatakan: Ia (di alam barzakh) dalam kondisi terkatung-katung, tidak dianggap sebagai orang yang
selamat dan tidak dianggap sebagai orang yang binasa sampai dilihat apakah masih ada hutang yang
belum lunas atau belum?” (Mirqotul Mafatih, 5/1948).
Bayangkan, sebaik apa pun orang tua kepada anak, sebertanggung-jawab apa pun orang tua kepada
anak, ia tidak akan mendapat ganjaran dan tempat yang mulia sampai hutangnya terlunasi.
Anak Tidak Wajib Membayar Orang Tuanya
Lho kan ada anak sebagai ahli waris yang akan melunasi?
Ketahuilah, anak itu “tidak berkewajiban” melunasi hutang orang tuanya. Jika orang tua mewariskan
hutang, maka ambil dari harta orang tua tersebut untuk melunasi, bahkan kalau perlu sampai tak bersisa
untuk ahli waris pun tidak masalah.
Kalaupun memang tak ada aset untuk melunasi, maka sang anak itu sifatnya hanya
dianjurkan melunasi bukan diharuskan. Ibnu Qudamah rohimahulloh mengatakan,

ُ،‫ُ َُلُْي لَْزُْمُالْ َوا ِرثُُبِ َش ْيءُُ؛ُِِلَنَّهَُُُلُيَلْ َزمهُُأ ََداءُُ َديْنُِِهُإذَاُُ َكا َُنُ َحيًّاُم ْفلِسا‬،ُُ‫فُُتَ ِرَكة‬ ْ ‫فَإِ ُْنُ َُلُْ ََيْل‬
َُ ِ‫فَ َك َذل‬
‫كُإ َذاُُ َكا َُنُ َميِتُا‬
“Jika mayit tidak meninggalkan harta waris sedikitpun, maka ahli waris tidak memiliki kewajiban apa-apa.
Karena mereka tidak wajib melunasi hutang si mayit andai ia bangkrut ketika masih hidup, maka
demikian juga, mereka tidak wajib melunasinya ketika ia sudah meninggal” (Al-Mughni 5/155).

Dosa Yang Muncul Dari Kebiasaan Berhutang


Belum lagi dosa-dosa turunan dari hutang seperti dusta dan ingkar janji, Nabi sholallohu ‘alaihi wasallam
bersabda

ُ‫ف‬
َ َ‫َخل‬
ْ ‫بُ َوَو َع َدُُفَأ‬ َُ ‫ُ َحد‬،ُ‫الرج َُلُإِ َذاُ َغ ِرَُم‬
َُ ‫َّثُفَ َك َذ‬ َّ ُ‫إِ َُّن‬
“Sesungguhnya orang yang (biasa) berhutang jika dia berbicara maka dia berdusta, jika dia berjanji maka
dia mengingkari” (HR. Bukhari 789 dan Muslim 925)
Maka berhati-hatilah Anda sebagai orang tua jika masih bermudah-mudahan dalam berhutang, isi hari-
hari Anda dengan beribadah dan qona’ah, jangan sampai di sisa umur Anda justru digelayuti kehinaan
dan kesengsaraan. Umar bin Abdul Aziz pernah berkata,

ُ‫ُُفدعوﻩُتسلم‬،ُ‫ﻭﺃﻭﺻيكمُﺃ ُﻥُلُتدﺍينوﺍُﻭلوُلبستمُﺍلعبا ُﺀُفإ ُﻥُﺍلدينُﺫﻝُُﺎﺑلنهاﺭُﻭهمُﺎﺑلليل‬


‫لكمُﺃقدﺍﺭكمُﻭﺃعرﺍﺿكمُﻭتبﻖُلكمُﺍﺤﻟرمةُﻲﻓُﺍلناﺱُماُبقيت ُم‬
“Aku wasiatkan kepada kalian agar tidak berhutang, meskipun kalian merasakan kesulitan, karena
sesungguhnya hutang adalah kehinaan di siang hari kesengsaraan di malam hari, tinggalkanlah ia,
niscaya martabat dan harga diri kalian akan selamat, dan masih tersisa kemuliaan bagi kalian di tengah-
tengah manusia selama kalian hidup” (Ma’alim Al-Ishlah wa At-Tajdid 2/71)
Sebaiknya Jangan Kita “Ganggu” Keuangan Anak
Tidak selayaknya juga seorang ayah yang masih memiliki penghasilan untuk ‘mengganggu’ keuangan
anaknya yang sebenarnya tidak lebih baik dari ayahnya.
Nasihat saya bagi yang masih suka berhutang; turunkan gaya hidup Anda & sederhanakan bahagia
Anda.
Tidak perlu anaknya sampai berhutang demi gaya hidup orang tuanya, kewajibannya adalah menasihati
dengan sopan. Diperbolehkan seorang anak sampai hutang jika hal tersebut adalah urgen atau darurat,
misal untuk biaya berobat orang tua, apalagi jika memang tidak ada aset yang bisa diuangkan.
Namun ingat, catatannya adalah jangan sampai berhutang dengan cara-cara yang tidak dibenarkan
syariat, seperti hutang di lembaga ribawi atau yang semisalnya.
Wallohu A’lam

Anda mungkin juga menyukai