Anda di halaman 1dari 25

REFERAT

EKSOTROPIA

Disusun Oleh :

Tiffani Ratu 1161050260

Adipta Kurniawan 1161050262

Haryudha 1161050263

Pembimbing :

Dr. Yusuf Wijaya, Sp.M

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT MATA

PERIODE 13 JUNI – 23 JULI 2016

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA

2016
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI.........................................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN....................................................................................................................1
A. Latar Belakang...........................................................................................................................1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA...........................................................................................................4
A. Definisi......................................................................................................................................4
B. Klasifikasi..................................................................................................................................4
C. Anatomi.....................................................................................................................................5
D. Etiologi....................................................................................................................................13
E. Patofisiologi.............................................................................................................................14
F. Pemeriksaan Mata....................................................................................................................14
G. Penatalaksanaan.......................................................................................................................18
BAB III PENUTUP.............................................................................................................................22
A. Kesimpulan..............................................................................................................................22
B. Saran........................................................................................................................................22
DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................................................23

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Mata merupakan salah satu organ sensoris yang berfungsi sebagai organ

penglihatan. Agar dapat melihat, mata harus menangkap pola pencahayaan di lingkungan

sebagai “gambar/bayangan optis” di suatu lapisan sel peka sinar, retina, seperti kamera

nondigital menangkap bayangan pada film. Seperti film yang dapat diproses menjadi

salinan visual dari bayangan asli, citra tersandi di retina disalurkan melalui serangkaian

tahap pemrosesan visual yang semakin rumit hingga akhirnya secara sadar dipersepsikan

sebagai kemiripan visual dari bayangan asli.6

Mata secara keseluruhan dapat berfungsi secara optimal berkat adanya susunan

penting struktur-struktur yang membentuk bola mata. Gangguan pada salah satu struktur

penting mungkin dapat sangat berpengaruh pada fungsi utama mata sebagai organ

penglihatan dengan manifestasi yang berbeda-beda, tergantung dari struktur mana yang

terganggu. Walaupun secara anatomis letak mata terlindung di dalam suatu rongga orbita

(kecuali di bagian anteriornya yang hanya terlindung oleh kelopak), namun gangguan

yang datang dari luar tubuh tetap mungkin terjadi. Gangguan seperti infeksi dan trauma

merupakan contoh hal-hal dari luar yang dapat mengganggu fungsi dan struktur mata,

selain gangguan dari dalam seperti faktor genetik ataupun proses degenerasi dan

keganasan.

Otot bola mata merupakan penggerak dan yang mengfiksasi bola mata. Kelainan

pada otot bola mata dapat menyebabkan ketidakselarasan mata satu dengan yang lainnya

sehingga biasanya satu mata akan secara konstan atau terkadang menghadap ke sudut

dalam (esotropia) atau kesudut luar (eksotropia). Kelainan ini diikuti motilitas abnormal

1
dari satu atau kedua mata seperti penglihatan ganda, penurunan penglihatan,

ketidaknyamanan mata, sakit kepala, kelainan postur kepala. Sebenarnya tidak ada

penyebab pasti dari strabismus namun beberapa hal dikatakan dapat menjadu

penyebabnya seperti kelaianan sensorik organic, anatomi dan motorik dan penyakit saraf

lainnya.2

Pada beberapa orang, strabismus dapat membuat kehilangan fungsi penglihatan.

Pada anak kecil denga strabismus biasanya disertai amblyopia (mata malas) yang

berkembang dan gangguan stereopsis. Diagnosa dini dan penatalaksanaan yang tepat

dapat menurunkan angka pravalensi anak strabismus dengan amblyopia, sebab anak

strabismus yang disertai amblyopia mempunyai faktor risiko yang tinggi untuk

kehilangan penglihatan yang menetap dibanding anak yang strabismus tanpa amblyopia.2

Dalam hal ini kami ingin membahas eksotropia yang merupakan bagian dari

strabismus, walaupun eksotropia lebih jarang dijumpai dibanding esotropia, terutama

pada masa bayi dan anak namun insidensnya meningkat secara bertahap seiring dengan

usia. Tidak jarang bahwa suatu tendensi strabismus divergen berawal dari suatu

eksoforia yang berkembang menjadi eksotropia intermiten dan akhirnya menjadi

eksotropia yang menetap apabila tidak dilakukan terapi. Kasus-kasus lain berawal

sebagai eksotropia intermiten atau konstan dan tetap statisioner. Seperti halnya esotropia,

pada beberapa kasus mungkin terdapat unsur herediter. Eksoforia dan eksotropia (yang

dianggap sebagai sebuah entitas deviasi divergen) sering diwariskan sebagai ciri

autosomal dominan; salah satu atau kedua orangtua dari seorang anak eksotropia

mungkin memperlihatkan eksotropia atau esoforia derajat tinggi.2

Penyebab tersering eksotropian diantara nya ialah neoplasma, trauma kepala,

aneurisma intracranial, hipertensi, diabetes mellitus, arterosklerosis, hydrocephalus,

2
multiple skelerosis, meningitis, ensefalitis, myastrenia gravis, penyakit sinus,

kemoterapi.7

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Eksotropia adalah strabismus divergen, dapat diklasifikasikan berdasarkan besarnya
jarak sudut yang dibentuknya. Pada eksotropia tipe dasar, sudut yang terbentuk yaitu
anatara 10 PD. Meskipun eksotropia dapat bervariasi baik menetap maupun tidak, namun
lebih banyak yang bersifat tidak menetap. Anak dengan eksotropia tidak menetap akan
memiliki tipe divergen.1 Eksotropia merupakan penyimpangan keluar mata. Intermiten
eksotropia merupakan subklasifikasi dari eksotropia dengan tingkat keparahan berada
diantara exoforia dan eksotropia konstan.3

Eksotropia lebih jarang dijumpai dibandingkan esotropia, terutama pada bayi dan anak.
Insidensinya meningkat secara bertahap seiring usia. Tidak jarang bahwa suatu tendensi
strabismus divergen berawal dari suatu exoforia yang berkembang menjadi eksotropia
yang menetap apabila tidak dilakukan.4 Exoforia merupakan penyimpangan keluar
(eksodeviasi) pada mata yang terjadi pada kondisi tertutup yang juga dikenal sebagai
penyimpangan ke arah luar laten.Sedangkan eksotropia merupakan penyimpangan ke
arah luar yang terjadi sebagai manifestasi dari penyimpangan sumbu penglihatan pada
satu atau kedua mata.5

B. Klasifikasi
Eksotropia intermiten atau konstan juga dapat diklasifikasikan secara deskriptif sebagai
divergensi berlebihan atau insufisiensi konvergensi.

1. Eksotropia Infantil

Strabismus divergen yang dimulai pada 6 bulan pertama kehidupan digolongkan


sebagai eksotropia infantil, lebih jarang dibandingkan esotropia infantil. Pada bayi,
beberapa kasus eksotropia yang menetap dapat bersamaan dengan sindrom maupun
defisit neurologi, sindrom kraniofasial, dan abnormalitas struktural pada mata.

4
2. Eksotropia Didapat

Berbagai bentuk eksotropia yang didapat terjadi pada usia yang lebih lama dari
eksotropia infantil.

3. Eksotropia Sekunder

Eksotropia yang berasal dari defisit neurologis maupun terjadi sebagai dampak dari
pengobatan esotropia digolongkan sebagai eksotropia sekunder.1

4. Micro-esotropia

Ketika sudut dari esotropia kurang dari 10 PD, maka dapat diklasifikasikan sebagai
mikro-eksotropia. Kondisi ini lebih jarang dibandingkan mikro-esotropia.1

Berdasarkan waktunya, eksotropia dapat juga diklasifikasikan sebagai :

1. Eksotropia Intermitten

Intermiten eksotropia merupakan subklasifikasi dari eksotropia dengan tingkat


keparahan berada diantara exoforia dan eksotropia konstan. 3 Eksotropia intermiten
merupakan penyebab lebih dari separuh kasus eksotropia. 4 Onsetnya berkisar antara
usia 1-4 tahun. Tidak seperti tipe strabismus yang lain, pasien dengan eksotropia
intermiten dapat hidup dengan penglihatan yang normal. 3 Onset deviasi mungkin pada
tahun pertama, dan dalam praktiknya, semua kasus sudah muncul pada usia 5 tahun.4

2. Eksotropia Konstan

Eksotropia konstan lebih jarang dibandingkan eksotropia intermiten. Kelainan


ini dapat dijumpai sejak lahir atau muncul belakangan sewaktu eksotropia intermiten
berkembang menjadi eksotropia konstan.Derajat eksotropia konstan dapat bervariasi.
Lamanya penyakit atau adanya penurunan penglihatan pada satu mata dapat
menjadikan deviasi semakin besar. Aduksi mungkin terbatas, dan mungkin juga
dijumpai hipertropia

5
C. Anatomi

Anatomi Mata2

1. Struktur ekstraokular2,8

Beberapa struktur yang ada dalam kategori struktur luar mata adalah orbit, otot
ekstraokular konjungtiva, sistem lakrimal, dan kelopak mata. Berbagai fungsi yang terkait
dengan struktur ini meliputi perlindungan dan pelumasan.

Orbit,2,6,8,9

Orbit adalah struktur berbentuk kerucut (Rongga piramidal dengan 4 sisi) yang terdiri dari
basis (margin orbital) yang terbuka ke garis tengah wajah, puncak, ujung sempit ke arah
posterior kepala, dan 4 dinding.

Pada orang dewasa, orbit dibentuk oleh 7 tulang: (1) frontal, (2) zygoma, (3) maxilla,
(4) ethmoid, (5) sphenoid, (6) lacrimalis, dan (7) palatina. Tulang frontal, ethmoid, dan
sphenoid adalah 3 tulang orbit yang tidak berpasangan. Margin orbital (basis) yang dibentuk
oleh, tulang maksilar, zygomatic, frontal, dan lacrimal. Sayap yang lebih kecil dari tulang
sphenoid dan frontal membentuk atap orbit, sedangkan maksilar, zygomatic, dan palatina
membentuk lantai orbit. Dinding medial dibentuk oleh tulang sphenoid ,ethmoid, lacrimalis,
dan maksilar. Dinding lateral dibentuk oleh sayap yang lebih besar dari tulang sphenoid dan
zygomatic.

Orbit memiliki volume 30 mL, diukur 4 cm secara horizontal, 3.5 cm secara vertikal,
dan memiliki kedalaman (secara anteroposterior) 4,5 cm. Terkait dengan orbit adalah

6
foramina dan fisura (lihat Tabel 1, di bawah), yang penting dalam transmisi saraf, arteri, dan
vena. Fungsi utama dari orbit adalah untuk melindungi mata dari luka fisik.

Otot luar mata secara histologis berbeda dari kebanyakan otot rangka lainnya karena
mereka terdiri dari 2 jenis sel otot yang berbeda. Setiap sel otot terdiri dari kelompok
myofibril yang disebut sarkomer. Fibril otot Fibrillenstruktur (atau kedutan-cepat) fibril otot
menghasilkan gerakan mata yang cepat dan terdiri dari miofibril yang terlihat jelas dengan
sarkomer yang berkembang dengan baik . Fibril otot Felderstruktur menghasilkan gerakan
mata lambat atau tonik dan terdiri dari miofibril yang tidak jelas terlihat dengan sarkomer
kurang berkembang

Motor neuron kolinergik memasok kedua jenis serat otot. Persarafan ke fibril
fibrillenstruktur tebal dan sangat bermyelin, dengan en plaquetunggal sambungan
neuromuskular, sedangkan persarafan ke fibril felderstruktur tipis, dengan kumpulan
menyerupai buah anggur dar sambungan neuromuskuler.

Otot Penggerak Mata:(2,9)

1. M. Rectus Medial menggerakkan mata ke arah dalam atau mendekati hidung


(adduction)
 Dipersarafi N. III (Oculomotor)

 Rektus medial mempunyai origo pada anulus Zinn dan pembungkus dua saraf
optik yang sering memberikan rasa sakit pada pergerakkan mata bila terdapat
neuritis retrobulbar dan berinsersi 5 mm di belakang limbus. Rektus medius
merupakan otot mata yang paling tebal dengan tendon terpendek.

2. M. Rectus Lateral menggerakan mata ke arah luar atau menjauhi hidung (abduction)
• Dipersarafi N. VI(Abducens)
• Rektus lateral mempunyai origo pada anulus Zinn di atas dan di bawah foramen
optik.

3. M. RectusSuperior menggerakkan mata ke atas (elevation)


 Rektus superior mempunyai origo pada anulus Zinn dekat fisura orbita superior
beserta lapis dura saraf optik yang akan memberikan rasa sakit pada pergerakkan
bola mata bila terdapat neuritis retrobulbar.

7
 Otot ini berinsersi 7 mm di belakang limbus dan dipersarafi cabang superior
N.III.
 Fungsinya menggerakkan mata-elevasi, terutama bila mata melihat ke lateral:
- aduksi, terutama bila tidak melihat ke lateral
- insiklotorsi

4. M. RectusInferior menggerakkan mata ke bawah (depression)


 Rektus inferior mempunyai origo pada anulus Zinn, berjalan antara oblik inferior
dan bola mata atau sklera dan insersi 6 mm di belakang limbus yang pada
persilangan dengan oblik inferior diikat leh ligamen Lockwood.
 Rektus inferior dipersarafi oleh N.III. Fungsi menggerakkan mata :
- Depresi (gerak primer)
- eksoklotorsi (gerak sekunder)
- aduksi (gerak sekunder)

5. M. Oblique Superior memutarkan bagian atas mata mendekati hidung (intorsion)


 membantu gerakan depression dan abduction
 dipersarafi N. IV (Trochlear)

6. M. ObliqueInferior memutarkan bagian atas mata menjauhi hidung (extorsion)


 membantu gerakan elevation dan abduction.
 dipersarafi N. III (Oculomotor)

Otot rektus(8,9)

- Otot Rektus Horizontal

Otot rektus medial dan lateral berasal dari anulus Zinn. Mereka melakukan
perjalanan sepanjang dinding anterior orbit, dan masuk masing-masing 5,5 mm dan 6,9
mm dari limbus,. (Lihat gambar di bawah.)

8
Otot Rectus Vertical

Otot rectus superior dan inferior juga berasal dari anulus Zinn. Mereka
melakukan perjalanan anterior dan lateral pada sudut 23 º dengan sumbu visual dari
mata dalam posisi utama. Mereka memasukkan 7,7 mm dan 6,5 mm dari limbus,
masing-masing.

Otot oblique(8,9)

a. Obliquus superior

Muskulus obliquus superior adalah otot mata terpanjang dan tertipis. Origonya
terletak diatas dan medial foramen opticum dan menutupi sebagian origo muskulus
levator palpebrae superioris dan berinsersi pada sklera di bagian temporal belakang
bola mata. Obliquus superior dipersarafi saraf ke IV atau saraf troklear yang keluar
dari bagian dorsal susunan saraf pusat.

9
Otot ini mempunyai aksi pergerakan miring dari troklea pada bola mata dengan kerja
utama terjadi bila sumbu aksi dan sumbu penglihatan searah atau mata melihat ke
arah nasal. Otot ini berfungsi menggerakkan bola mata untuk depresi (primer)
terutama bila mata melihat ke nasal, abduksi dan insiklotorsi.

Otot oblik superior merupakan otot penggerak mata yang terpanjang dan tertipis.

b. Obliquus inferior

Obliquus inferior mempunyai origo pada fosa lakrimal tulang lakrimal dan berinsersi
pada sklera posterior 2 mm dari kedudukan makula, dipersarafi saraf okulomotor dan
bekerja untuk menggerakkan bola mata ke atas, abduksi dan eksiklotorsi

Otot-otot ekstraokular

2. Vaskularisasi otot ekstraokular(2,8,9)

Suplai darah utama mata berasal dari arteri oftalmik. Cabang otot lateral arteri oftalmik
memasok rektus lateral, rektus superior, dan superior oblique. Cabang medial memasok
rektus inferior, rektus medial, dan oblique inferior

Cabang medial dan lateral arteri menimbulkan 7 pembuluhsilier anterior, yang berjalan
dengan 4 otot rektus untuk memberikan sirkulasi untuk segmen anterior mata. Setiap otot
rektus memiliki 2 pembuluh silier anterior, kecuali untuk otot rektus lateral, yang hanya
memiliki 1 pembuluh. Kapal ini melewati anterior episclera dan memasok segmen anterior
mata, termasuk sklera, limbus, dan konjungtiva.

10
3. Otot-otot Intrinsik Bola Mata(6,8,9)

1. M.ciliaris :
- Fungsi : mengatur kecembungan lensa.
- Inervasi : Serabut parasimpatis N.III melalui ganglion ciliare.

2. Otot-otot iris:
- M.sphincter pupillae :
 Mengecilkan ukuran pupil
 Inervasi oleh sistem parasimpatis melalui nn.ciliares breves.
- M.dilator pupilae:
 Melebarkan pupil
 Inervasi oleh sistem simpatis

Fasia 2

Semua otot ekstraokular dibungkus oleh fasia. Didekat titik-titik insersio otot-otot ini,
fasia bergabung dengan otot tenon. Kondensasi fasia dengan struktur orbita didekatnya
(ligamen check) berperan sebagai origo fungsional otot-otot eksatraokular.

Tabel 1. Fungsi otot mata11

Otot Kerja Primer Kerja Sekunder


Muskulus rektus lateralis (LR) Abduksi -
Muskulus rektus medialis Aduksi -
Muskulus rektus superior (SR) Elevasi Aduksi, intorsi
Muskulus rektus inferior (IR) Depresi Aduksi,ekstorsi
Muskulus oblikus superior Intorsi Depresi, abduksi
Muskulus oblikus inferior (IO) Ekstorsi Elevasi, abduksi

11
Tabel 2. Otot-otot pasangan searah dalam posisi menatap

Jurusan penglihatan cardinal Mata kanan Mata kiri


1. Ke atas kanan m. rektus superior m. obliqus inferior
2. Ke kanan m. rektus lateralis m. rektus medialis
3. Ke kanan bawah m. rektus inferior m. obliqus superior
4. Ke bawah kiri m. obliqus superior m. rektus inferior
5. Ke kiri m. rektus medialis m. rektus lateralis
6. Ke atas kiri m. obliqus inferior m. rektus superior

Otot-otot pasangan searah dalam posisi menatap

4. Persarafan2

Nervus okulomotorius (N.III) mempersarafi muskulus rektus medialias, rektus inferior,


rektus superior dan obliquus inferior. Nervus abducens (N.VI) mempersarafi muskulus rektus
lateralis. Nervus troklearis (N.IV) mempersarafi muskulus obliquus superior.

12
5. Pendarahan2

Pasokan darah ke otot ekstraokuler berasal dari cabang-cabang muskuler arteri oftalmika.
Muskulus rektus lateralis dan obliquus inferior berturut-turut juga di perdarahi oleh cabang-
cabang arteri lakrimalis dan arteri infraorbitalis.

Persarafan otot mata

D. Etiologi
Berikut ini adalah beberapa penyebab ekotropia dan esotropia akut :

Gambar 1. Penyebab Esotropia dan eksotropia Akut

13
Penyebab eksotropia dapat dibagi menjadi 3, yaitu :

1) Herediter, unsur herediter sangat besar, yaitu trait autosomal dominan.


2) Inervasi, tetapi tidak terdapat abnormalitas yang berarti dalam bidang sensorimotor
3) Anatomi, kelainan untuk rongga orbita misalnya pada penyakit Crouzon

E. Patofisiologi
Tidak terdapat patofisiologi yang diyakini menunjukkan perjalanan dari eksotropia. Namun
eksotropia didahului dengan exoforia. Exoforia merupakan suatu kondisi dimana kesejajaran
mata tetap terjaga ketika kedua mata terbuka, namun akan berubah ke arah luar ketika salah satu
mata ditutup. Penyimpangan ini lambat laun dapat menjadi eksotropia intermitten. 2

F. Pemeriksaan Mata
1. Penentuan Sudut Strabismus10
a. Uji Tutup dan Prisma
Uji tutup terdiri atas 4 bagian, yaitu ;
1) Uji tutup
Sewaktu pemeriksa mengamati satu mata, di depan mata yang lain ditaruh
penutup untuk menghalangi pandangannya pada sasaran. Apabila mata yang
diamati bergerak untuk melakukan fiksasi, matatersebut sebelumnya tidak
melakukan fiksasi pada sasaran, terdapat deviasi yang bermanifestasi
(strabismus). Arah gerakan memperlihatkan arah penyimpangan ( mis, jika
mata yang diamati bergerak ke luar untuk melakukan fiksasi, terdapat
esotropia ).
2) Uji membuka penutup
Sewaktu penutup di angkat setelah uji tutup di lakukanpengamatan pada mata
yang sebelumnya tertutup tersebut. Apabila posisimata tersebut berubah,
terjadi interupsi penglihatan binokuler yang menyebabkan berdeviasi dan
terdapat heteroforia. Arah gerakan korektif memperlihatkan jenis heteroforia
nya. Uji tutup / membuka penutup dilakukan pada setiap mata.
3) Uji tutup bergantian

14
Penutup ditaruh bergantian di depan mata yang pertama kemudian ditaruh di
mata yang lain. Uji ini memperlihatkan deviasi total (heterotropia ditambah
heteroforia bila ada juga). Penutupharus dipindahkan dengan cepat dari satu
mata ke mata yang lain untuk mencegah refuse heteroforia.
4) Uji tutup bergantian plus prisma
Untuk mengukur deviasi secara kuantitatif, diletakkan prisma dengan
kekuatan yang semakin meningkat di depan satu mata sampai tegrjadi
netralisasi gerakan mata pada uji tutup bergantian. Contohnya, untuk
mengukur eso deviasi penuh, penutup di pindah – pindah sambil diletakkan
prisma dengan kekuatan base-out yang semakin tinggi di depan satu mata
sampai gerakan refiksasi horizontal mata yang berdeviasi tersebut di
netralisasi. Deviasi yang lebih besar mungkin memerlukan 2 prisma yang
diletakkan di depan kedua mata, tetapi prisma – prisma itu tidak boleh
“ditumpuk” pada arah yang sama di depan satu mata.

b. Uji Objektif
Pengukuran dengan prisma dan penutup bersifatobjektif karena tidak
memerlukan laporan pengamatan sensorik dari pasien. Namun, diperlukan kerjasama
dan keutuhan penglihatan kedua mata dalam keadaan tertentu. Penentuan klinis posisi
mata yang tidak memerlukan pengamatan sensorik pasien di anggap kurang akurat,
walaupun kadang – kadang masih bermanfaat. Dua metode yang sering digunakan
tergantung pada pengamatan posisi refleksi cahaya pada kornea. Hasil dari kedua
metode tersebut harus dimodifikasi dengan mempertimbangkan sudut Kappa.
1) Metode Hirschberg
Pasien melakukan fiksasi terhadap suatu cahaya berjarak sekitar 33 cm. Pada mata
yang berdeviasi akan terlihat desentrasi pantulan cahaya. Dengan
mempertimbangkan 18 PD untuk setiap millimeter desentrasi, dapat di buat
perkiraan sudut deviasi nya.

2) Metode refleks prisma ( uji krimsky ”reverse” )


Pasien melakukan fiksasi terhadap suatu cahaya. Sebuah prisma ditempatkan di
depan mata yang di pilih, dan kekuatan prisma yang diperlukan untuk membuat
refleks cahaya terletak di tengah kornea mata yang strabismus menentukan ukuran
sudut deviasi nya.

15
2. Duksi ( Rotasi Monocular )10
Dengan satu mata tertutup, mata yang lain mengikuti sasaran yang bergerak
dalam semua arah pandangan. Setiap pengurangan gerakan rotasi mengisyaratkan
keterbatasan dalam bidang kerja otot yang bersangkutan; keterbatasan di sebabkan
oleh kelemahan kontraksi atau kegagalan relaksasi otot antagonis.

3. VERSI (GERAKAN MATA KONJUGAT)12


Hukum hering mengatakannbahwa otot-otot pasangan searah (yoke muscle)
menerima stimulasi setara pada setiap gerakan mata konjugat.versi diperiksa
dengan meminta mata pasien mengikuti sumber cahaya disembilan posisi
diagnostic : primer-lurus kedepan;sekunder-kanan,kiri,atas dan bawah; dan tersier-
atas dan kanan,bawah dan kanan, atas dan kiri, bawah dan kiri. Perbedaan gerakan
rotasi salah satu mata terhadap mata yang lain dicatat sebagai suatu overaction atau
underaction.Berdasarkan perjanjian, pada posisi tersier otot-otot obliquus
dikatakan bekerja berlebihan (overacting) atau kurang bekerja atau (underaction)
dalam kaitannya dengan otot rectus pasangannya. Fiksasi dalam bidang kerja suatu
otot yang paresis menimbulkan overaction otot pasangannya, karena diperlukan
persarafan yang lebih besar untuk kontraksi otot yang underacting. Sebaliknya,
fiksasi dengan mata yang normal akan menyebabkan ototyang paresis kurang
bekerja.

4. Gerakan Disjungtif10
a. Konvergensi
Sewaktu mengikuti sebuah benda yang bergerak mendekat,kedua mata harus
berputar kedalam untuk mempertahankan kesejajaran sumbu penglihatan
dengan obyek yang bersangkutan. Otot-otot rektus medialis berkontraksi dan
otot-otot rektus lateralis berelaksasi dibawah oengaruh stimulasi dan inhibisi
saraf.
Konvergensi adalah suatu proses aktif dengan komponen volunteer dan
involunter yang kuat. Saah satu pertimbangan pejting dan=]lam
mengevalujasi otot-otot ektraokuler pada strabismus adalah konvergensi.

16
Untuk memeriksa konvergensi, sebuah obyek kecil atau sumber cahaya
secara perlahan dibawa mendekat kejembatan hidung. Perhatian pasien
ditujukan kepada benda tersebut dengan mengatakan “usahakan sekuat
mungkin jangan sampoai bayagan terlihat ganda”.
Dalam keadaan normal, konvergensi dapat dipertahankan sampai benda
terletak dekat dengan jembatan hidung. Nlai numeric konvergensi yang
sebenarnya dapat ditentukan dengan mengukur jarak dari jembatan hidung
(dalam cm) pada saat mata “kalah ( yakni saat mata nondominan bergerak
lateral sehingga konvergensi tidak lagi dapat dipertahankan). Titik ini disebut
titik dekat konvergensi dan nilai sampai 5cm dianggap masih dalam batas
normal.
Rasio konvergensi akomodatif terhadap akomodasi adalah suatu cara untuk
mengukur hubungan antara konvergensi dan akomodasi (Rasio AC/A).
Konvergensi akomodatif terjadi sewaktuu mata memandang suatu sasaran
akomodatif, yakni sasaran yang memiliki kontur atau huruf yang dapat
dipisahkan sehingga akomodasi terangsang.
Hasilnya sering dinyatakan sebagai dioptri prisma konvergensi per dioptri
akomodasi. Rasio AC/A berguna sebagai alat riset atau klinis yang meneliti
dan memeastikan hubungan keduanya lebih jauh; sejauh ini,rasio tersebut
telah banyak membantu kita memahami dan sekaligus mengoreksi esotropia
akomodatif-terutama dalam penggunaan kacamata bifocal dan miotik.
b. Divergensi
Elektromiografi telah memastikan bahwa divergensi adalah suatu proses
aktif, bukan semata-mata relaksasi konvergensi. Secara klinis, fungsi ini
jarang diperiksa kecuali dalam meneliti amplitudo fusi.

PEMERIKSAAN SENSORIK
Pemeriksaan tersebut meliputi : stereopsis, supresi,dan potensi fusi.

a. Pemeriksaan stereopsis
Banyak pemeriksaan stereopsis dilakukan dengan sasaran dan kacaterpolarisasi untuk
memisahkan rangsangan. Satu mata melihat sasaran melalui lensa yang terpolarisasi
horizontal dan satu nya melaluilensa yang terpolarisasi vertical. Sasaran yang dilihat
secara monokularmemiliki petunjuk – petunjuk kedalaman yang hampir tidak terlihat.

17
Stereogram titik acak ( random dot stereogram ) tidak memiliki petunjuk kedalaman
monocular. Masing – masing mata melihat suatu bidang titik – titikacak, tetapi
korelasi setiap titik dengan titik korespondennya terbuat sedemikian rupa sehingga
apabilaterapat stereopsis pasien akan melihat suatu bentuk 3 dimensi.

b. Pemeriksaan supresi
Adanya supresi mudah diketahui dengan uji empat–titik Worth (Worth four dot test
). Di depan salah satu mata pasien ditaruh kaca yang berisi sebuah lensa merah,
sedangkan di mata yang lensa hijau. Pasien diperlihatkan senter yang berisi bintik –
bintik merah, hijau, dan putih. Bintik – bintik warna tersebut adalah penanda
persepsi yang melalui setiap mata; bintik putih – yang memiliki potensi terlihat oleh
kedua mata, dapat menandakan adanya diplopia. Jarak antara titik – titik dan jarak
cahaya yang di pegang menentukan ukuran daerah retina yang diperiksa. Daerah
foveadapat diperiksa pada jarakjauh; daerah perifer pada jarak dekat.

c. Potensial fusi
Pada orang dengan deviasi yang bermanifestasi, status potensial fusi penglihatan
binocular dapatditentukan dengan uji filter merah. Sebuah filter merah diletakkandi
depan salah satu mata. Pasien diminta melihat ke suatu sasaran cahaya fiksasi yang
terletak jauh atau dekat. Terlihat sebuah cahaya putih dan merah. Di depan satu atau
kedua mata diletakkan sebuah prisma supaya dapat membawa dua bayangan menjadi
satu. Apabila terdapat potensial fusi, kedua bayangan akan menyatu dan terlihat
sebagai sebuah cahaya tunggal berwarna merah muda. Apabila tidak terdapat
potensial fusi, pasien tetap melihat satu cahaya merah dan satu cahaya putih.

G. Penatalaksanaan
Terapi pembedahan dari eksotropia intermiten mencegah dari konversi penyakit menjadi
eksotropia yang menetap dan juga memperbaiki penglihatan. Penanganan secara bedah dapat
menghasilkan remisi yang sempurna, namun pemilihan waktu yang tidak tepat dalam
penanganannya dapat menyebabkan beberapa masalah ikutan. 3 Rekomendasi tindakan bedah
yang biasa dilakukan meliputi satu tahap, dua tahap, tiga otot, maupun empat otot prosedur.
Biasanya dilakukan pembedahan hingga 2 otot dalam satu kali tahap pembedahan dan sisa
penyimpangan ke arah luar yang masih tersisa dikoreksi pada pembedahan tahap kedua. Reseksi

18
otot rectus lateralis bilateral sebesar 8-14 mm menunjukkan tidak adanya penurunan kemampuan
motorik pasien. 6

1. Tindakan Bedah2

Berbagai perubahan dalam efek rotasi suatu otot ekstraokular dapat dicapai dengan
tindakan bedah.

a. Reseksi dan Resesi

Seca konseptual, tindakan yang paling sederhana adalah menguatkan dan


melemahkan. Sebuah otot diperkuat melalui tindakan yang disebut reseksi. Otot
dilepaskan dari mata, diregangkan menjadi lebih panjang secara terukur, kemudian
dijahit kembali ke mata, biasanya di tempat insersi semula. Sedangkan resesi adalah
tindakan pelemahan standar. Otot dilepas dari mata dan dibebaskan dari perlekatan
fasia. Otot tersebut dijahit kembali ke mata pada jarak tertentu di belakang insersinya
semula. Resesi dan reseksi adalah tindakan bedah yang biasa dikerjakan pada otot-
otot rektus.

b. Penggeseran titik perlekatan otot

Selain penguatan dan pelemahan sederhana, titik perlekatan otot dapat dipindahkan;
hal ini dapat menimbulkan efek rotasional yang sebelumnya tidak dimiliki oleh otot
tersebut. Misalnya, pergeseran temporal otot-otot rektus vertikal pada mata yang
sama akan mempengaruhi posisi horizontal mata dan memperbaiki abduski pada
kasus-kasus kelumpuhan abdusens.

19
Gambar 2. Koreksi Strabismus Secara Bedah

c. Prosedur Faden

Suatu operasi khusus untuk melemahkan otot disebut prosedur fiksasi posterior
(faden). Dalam operasi ini, diciptakan suatu insersi otot baru di belakang insersi
semula. Hal ini menyebabkan pelemahan mekanis otot sewaktu mata berotasi di
dalam bidang kerjanya. Apabila dikombinasi dengan resesi otot yang sama, prosedur
Faden menimbulkan efek melemahkan yang mencolok pada otot tersebut tanpa
perubahan bermakna pada posisi primer mata. Prosedur ini disertai efektif pada otot
rektus vertikal (deviasi vertikal disosiasi) atau rektus horizontal (rasio AC/A yang
tinggi, nistagmus, dan ketidakseimbangan otot incomitant yang krang lazim lainnya)

Gambar 3. Prosedur Fiksasi Posterior (Faden)

2. Pemilihan Otot untuk Pembedahan

Keputusan mengenai otot yang akan dioperasi bergantung pada beberapa faktor. Yang
pertama adalah derajat ketidaksejajaran yang diukur dalam posisi primer. Dilakukan
modifikasi untuk perbedaan pengukuran jauh dan dekat yang bermakna. Otot rektus
medialis lebih berefek pada sudut deviasi saat melihat dekat; otot rektus lateralis lebih
berefek saat melihat jauh.

Penjajaran ulang secara bedah hanya mempengaruhi bagian otot atau bagian mekanis dari
suatu ketidakseimbangan neuromuskular. Walaupun pada kebanyakan individu respons
yang terjadi dapat diperkirakan, respons dapat bervariasi karena perbedaan sifat-sifat
mekanis otot dan jaringan di sekitarnya serta input persarafan yang berbeda-beda. Oleh
karena itu, untuk mencapai hasil yang memuaskan mungkin diperlukan lebih dari satu
kali operasi.

20
Gambar 4. Jahitan yang Dapat Disesuaikan

3. Jahitan yang Dapat Disesuaikan

Pengembangan jahitan yang dapat disesuaikan (adjustable suture) menawarkan kemajuan


besar dalam bedah otot, terutama untuk operasi ulang dan deviasi incomitant. Setelah
pasien cukup pulih dari anestesia untuk bersikap kooperatif dalam proses penyesuaian

21
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Eksotropia merupakan kelainan mata berupa penyimpangan pada bidang mata yang biasanya
terjadi sejak lahir, meskipun juga terdapat kasus yang didapat. Eksotropia atau mata juling dapat
diatasi dengan melakukan pembedahan pada otot-otot mata dengan komplikasi yang minimal.

B. Saran
Masih terdapat berbagai pendapat mengenai pemilihan terbaik untuk prosedural terapi bedah
dalam menanggulangi eksotropia. Berkembangnya teknologi yang semakin pesat akan
mempermudah prosedur dan meminimalisir komplikasi yang ada.

A.

22
DAFTAR PUSTAKA

1. Rutstein, Robert, Martin S. Cogen, Susan A. Cotter, Kent M. Daum, Rochelle L. Mozlin,
Julie M. Ryan. Optometric Clinical Practice Guideline Care Of The Patient With
Strabismus: Esotropia And Eksotropia. American Optometric Association. 2011; 5.
Tersedia pada : http://www.aoa.org/documents/optometrists/CPG-12.pdf

2. Riordan-Eva, Paul, John P. Whitcher. Oftalmologi Umum Edisi 17. Penerbit Buku
Kedokteran EGC; 2015:12;230-250

3. Sanjari, Mostafa Soltan, Kourosh Shahraki, Amin Najafi, et al. Surgical Result of
Intermittent Eksotropia. New York Science Journal; 2014:7(6). Tersedia pada :
http://www.sciencepub.net/newyork/ny0706/010_25077ny070614_76_79.pdf

4. Alshaarawi Salem, Faudziah Abd Manan, Syed Wasif Gillani, Nadiah Wan-Arfah.
Clinical Characteristics of Intermittent Eksotropia. 2012. Tersedia pada :
http://internationalscholarsjournals.org/download.php?
id=468428905220712382.pdf&type=application/pdf&op=1

5. Min Yang, Jingchang Chen, Tao Shen, Ying Kang, et al. Single Stage Surgical Outcomes
for Large Angle Intermittent Eksotropia. February 2016. PONE. Tersedia pada :
http://journals.plos.org/plosone/article/asset?id=10.1371/journal.pone.0150508.PDF

6. Sherwood, L. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. 2011. Jakarta: EGC, 2001: 171.
7. Robert P, et all. Optometric Clinical Practice Guideline dalam Care the Patient with:
Strabismus: Esotropia and Exotropia. USA: American Optometric Association. 2011: 8.
8. Andrew A. Anatomy and Physiology of the Eye. Diunduh dari:
www.emedicinehealth.com Diakses tanggal: 20 Juni 2016.
9. Guyton, Arthur C. dan Hall, John E. Fisiologi Kedokteran edisi 11. Jakarta : EGC; 2008
10. David F. Pemeriksaan Oftalmologik Dalam: Susanto D, editor. Vaughan & Asbury
Oftalmologi Umum. Edisi 17. Jakarta: EGC, 2015: 28-42.

23

Anda mungkin juga menyukai