Anda di halaman 1dari 213

STUDI KAIN SONGKET SILUNGKANG

OKTAVINDA RAHMI UTAMI

5525101721

Skripsi yang Ditulis Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Dalam


Mendapatkan Gelar Sarjana Pendidikan

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN TATA BUSANA

JURUSAN ILMU KESEJAHTERAAN KELUARGA

FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA

2016
ABSTRAK

OKTAVINDA RAHMI UTAMI, Studi Kain Songket Silungkang. Skripsi,


Jakarta : Program Studi Tata Busana, Jurusan Ilmu Kesejahteraan Keluarga,
Fakultas Teknik, Universitas Negeri Jakarta.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tentang kain songket Silungkang,


menyangkut macam-macam ragam hias yang terdapat pada kain songket
Silungkang, makna, proses pembuatan, serta fungsi dari kain songket Silungkang.
Dengan demikian kain songket Silungkang dapat lebih dikenal di masyarakat
awam lebih dari sebelumnya.

Penelitian ini dilakukan di desa Silungkang, Sumatera Barat pada bulan Mei-Juni
2015. Metode yang digunakan adalah metode deskriptif dengan jenis kualitatif
yang masuk ke dalam jenis metode penelitian lapangan. Penelitian ini
menggunakan instrumen pengamatan langsung, pencatatan data, dan pedoman
wawancara. Data yang diperoleh selama proses penelitian dibahas dengan
beberapa langkah, mulai dari penulisan, pengelompokkan dan penyajian data.

Hasil penelitian mengenai kain songket Silungkang yaitu ragam hias yang ada di
kain songket Silungkang terinspirasi dari alam seperti tumbuhan, hewan, dan
benda yang berada di sekitar lingkungannya. Nama-nama motif dihubungkan
dengan petatah-petitih yang mempunyai arti filosofi tentang adat dan
masyarakatnya. Ragam hias dan warna pada kain songket Silungkang sudah
berkembang dan dimodifikasi oleh para penenun sehingga tidak mempunyai
makna lagi. Proses pembuatan kain songket Silungkang masih menggunakan alat
tenun tradisional sampai saat ini. Fungsi kain songket yang hanya digunakan
untuk upacara-upacara adat, kini berubah fungsi menjadi kain songket yang lebih
modern dan dapat digunakan untuk kegiatan sehari-hari. Dalam melakukan
penelitian ini terdapat kendala yaitu kurangnya informan yang memiliki
pengetahuan mengenai kain songket Silungkang.

Kata Kunci : Kain Songket Silungkang, Ragam Hias, Proses Pembuatan, Fungsi

ii
ABSTRACT

OKTAVINDA RAHMI UTAMI, Kain Songket Silungkang Studies. Thesis,


Jakarta : Studies Program Fashion Design, the Department of Family Welfare
(IKK), Faculty of Engineering, State University of Jakarta.

This research aims to find out about songket Silungkang, concerning various
ornaments found in songket Silungkang, meaning, the manufacturing process, as
well as the function of songket Silungkang. Thus songket Silungkang be better
known in the general public more than ever.

This research carried out in the village Silungkang, West Sumatra in May-June
2015. The method used is descriptive method with qualitative kind that goes into
this type of field research methods. This research used direct observation
instruments, recording data, and interview guidelines. The data obtained during
the research process are discussed with a few steps, begin from writing, grouping
and presentation of data.

Results of research on Silungkang songket cloth that is decorative in songket


Silungkang inspired by nature such as plants, animals, and objects that are in the
surrounding environment. The names of the motifs associated with proverbs that
have meaning and philosophy of the indigenous communities. Decoration and
color on the fabric songket Silungkang has developed and modified by the
weavers that has no meaning anymore. The process of making songket
Silungkang still use traditional looms to date. Songket functions that are only used
for traditional ceremonies, now changed into songket more modern and can be
used for everyday activities. In doing this research there are obstacles, such as
lack of informants who are knowledgeable of songket Silungkang.

The Keywords: Kain Songket Silungkang, Decorations, Process, Function

iii
HALAMAN PERNYATAAN

Dngan ini saya menyatakan bahwa :

1. Karya tulis skripsi saya ini asli dan belum pernah diajukan untuk

mendapatkan gelar akademik sarjana, baik di Universitas maupun di

perguruan tinggi lain.

2. Karya tulis ini adalah murni gagasan dan penelitian saya sendiri dengan

arahan dosen pembimbing.

3. Dalam karya tulis ini tidak terdapat karya atau pendapat yang telah ditulis

atau dipublikasikan orang lain, kecuali secara tertulis dengan jelas

dicantumkan sebagai acuan dalam naskah dengan disebutkan nama

pengarang dan dicantumkan dalam daftar pustaka.

4. Pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya dan apabila dikemudian

hari terdapat penyimpangan dan tidak kebenaran dalam pernyataan ini,

maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan gelar

yang telah diperoleh karena karya tulis ini, serta sanksi lainya sesuai

dengan norma yang berlaku di Universitas Negeri Jakarta.

Jakarta, September 2015

Yang membuat pernyataan

Oktavinda Rahmi Utami

5525101721

v
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah segala puji dan syukur penulis panjatkan atas rahmat dan

karunia Allah SWT, shalawat dan salam semoga tercurah kepada Rasullullah

SAW, keluarga, sahabat dan para pengikutnya, sehingga penulis dapat

menyelesaikan skripsi berjudul “Studi Kain Songket Silungkang”.

Skripsi ini dibuat sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar

sarjana pendidikan pada Program Studi Tata Busana, Jurusan Ilmu Kesejahteraan

Keluarga, Fakultas Teknik, Universitas Negeri Jakarta.

Selama penyusunan skripsi ini, penulis berusaha menyusun sebaik

mungkin dengan segala keterbatasan, kemampuan dan pengetahuan yang dimiliki.

Dalam kesempatan ini penulis ingin menyampaikan rasa hormat dan ucapan

terima kasih kepada :

1. Ibu Dra. Melly Prabawati, M. Pd, selaku Ketua Jurusan Ilmu

Kesejahteraan Keluarga, Fakultas Teknik UNJ.

2. Ibu Dra. Suryawati, M. Si, selaku Ketua Program Studi Tata Busana.

3. Ibu Dra. Hamiyati, M. Si, selaku dosen Pembimbing Akademik.

4. Ibu Dra. Revrina Sukma Agusti, selaku dosen Pembimbing Materi yang

telah banyak memberikan saran, bimbingan dan pengarahan dalam

penulisan skripsi ini.

5. Ibu Vera Utami Gede Putri, S. Pd, M. Ds, selaku dosen Pembimbing

Metodologi yang juga telah memberikan saran, bimbingan dan pengarahan

dalam penulisan skripsi ini.

vi
6. Seluruh dosen pengajar di Program Studi Tata Busana. Terima kasih untuk

ilmu pengetahuan yang sudah diajarkan selama ini kepada penulis.

7. Kedua orang tuaku yang telah mendidik dan membesarkanku dengan

penuh curahan cinta, harapan dan kasih sayang yang tulus dan ikhlas tak

mengenal batas. Kesabaran dan pengorbanan yang diberikan serta

senantiasa selalu mendukung dengan iringan doa tiada henti.

8. Adikku Rafid Agung Pradana yang selalu memberikan semangat dan kasih

sayang kepada penulis.

9. Keluarga besar ku yang berada di Padang dan di Sijunjung yang selalu

memberikan waktu, dukungan dan perhatian yang tiada henti dalam

penyusunan skripsi ini.

10. Teman-teman seperjuangan ku Fashion Designer angkatan 2010 yang telah

mengisi hari-hari bersama dan melewati suka duka bersama selama

perkuliahan, lanjutkan cita-cita kalian semua.

11. Seluruh Staff dan Karyawan Jurusan IKK, FT, UNJ (khususnya pak

Marino, mba Feby, mba Eva dan maba Irma).

Semoga Allah SWT membalas semua kebaikan yang telah diberikan.

Tidak ada yang sempurna di dunia ini, begitu pula dalam pembuatan skripsi ini

mohon maaf atas segala kekhilafan dan kekurangannya, semoga skripsi ini dapat

bermanfaat bagi kita semua khususnya Program Studi Tata Busana.

Jakarta, September 2015

Oktavinda Rahmi Utami

vii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL .......................................................................................... i

ABSTRAK ......................................................................................................... ii

ABSTRACT ....................................................................................................... iii

HALAMAN PENGESAHAN ............................................................................ iv

HALAMAN PERNYATAAN ........................................................................... v

KATA PENGANTAR ....................................................................................... vi

DAFTAR ISI ...................................................................................................... viii

DAFTAR TABEL .............................................................................................. xii

DAFTAR GAMBAR ......................................................................................... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ......................................................................................xvii

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang .............................................................................. 1

1.2 Identifikasi Masalah ...................................................................... 4

1.3 Batasan Masalah ........................................................................... 5

1.4 Perumusan Masalah ....................................................................... 5

1.5 Tujuan Penelitian ........................................................................... 5

1.6 Kegunaan Penelitian ...................................................................... 6

BAB II KERANGKA TEORITIK DAN KERANGKA BERFIKIR

2.1 Kerangka Teoritik ......................................................................... 7

2.1.1 Kain Tenun Tradisional ....................................................... 7

2.1.2 Wilayah Sumatera Barat ...................................................... 10

2.1.2.1 Nagari Silungkang ................................................... 12

viii
2.1.2.2 Kebudayaan Masyarakat Minangkabau ................... 14

2.1.3 Kain Songket ....................................................................... 16

2.1.3.1 Sejarah Kain Songket di Indonesia .......................... 19

2.1.4 Macam-macam Kain Songket di Indonesia ......................... 21

2.1.4.1 Kain Songket Aceh .................................................. 22

2.1.4.2 Songket Palembang ................................................. 23

2.1.4.3 Songket Bali ............................................................ 24

2.1.4.4 Kain Sulawesi .......................................................... 26

2.1.4.5 Kain Nusa Tenggara Barat ...................................... 27

2.1.4.6 Kain Songket Silungkang ........................................ 28

2.1.5 Ragam Hias ......................................................................... 34

2.1.5.1 Ragam Hias Kain Songket Silungkang ................... 42

2.1.6 Proses Pembuatan Kain Songket Silungkang ...................... 49

2.1.6.1 Bahan Produksi Pembuatan Kain

Songket Silungkang ................................................. 49

2.1.6.2 Peralatan Produksi Pembuatan Kain

Songket Silungkang ................................................. 53

2.1.6.3 Proses Pembuatan Kain Songket ............................. 56

2.1.7 Fungsi Kain Songket Silungkang ........................................ 57

2.2 Kerangka Berfikir ......................................................................... 59

BAB III METODE PENELITIAN

3.1 Tujuan Operasional Penelitian ...................................................... 61

3.2 Tempat dan Waktu Penelitian ....................................................... 61

3.3 Metode Penelitian ......................................................................... 61

ix
3.4 Fokus Penelitian ............................................................................ 63

3.5 Pertanyaan Penelitian .................................................................... 63

3.6 Teknik Pengumpulan Data dan Perekaman Data ......................... 64

3.7 Analisis Data ................................................................................. 66

3.8 Pemeriksaan Keabsahan Data ....................................................... 68

BAB IV TEMUAN-TEMUAN PENELITIAN

4.1 Lokasi Penelitian ........................................................................... 70

4.1.1 Nagari Silungkang ............................................................... 70

4.2 Data Informan ............................................................................... 71

4.3 Temuan Penelitian ........................................................................ 72

4.3.1 Songket Silungkang Kebudayaan

Masyarakat Minangkabau ................................................... 73

4.3.2 Ragam Hias Songket Silungkang ........................................ 78

4.3.3 Proses Pembuatan Songket Silungkang .............................. 106

4.3.3.1 Alat Untuk Proses Menghani ................................... 111

4.3.3.2 Alat untuk Proses Menenun ..................................... 113

4.3.3.3 Proses Menenun ....................................................... 117

4.3.4 Fungsi Songket Silungkang ................................................. 126

4.4 Kelemahan Penelitian .................................................................... 135

BAB V PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN

5.1 Deskripsi Hasil Penelitian ............................................................. 136

5.1.1 Ragam Hias Songket Silungkang ........................................ 136

5.1.2 Proses Pembuatan Songket Silungkang .............................. 139

5.1.3 Fungsi Songket Silungkang ................................................. 140

x
BAB VI KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN

6.1 Kesimpulan ................................................................................... 143

6.2 Implikasi ....................................................................................... 145

6.3 Saran ............................................................................................. 146

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

RIWAYAT HIDUP

xi
DAFTAR TABEL

Tabel 4.1 Biodata narasumber ........................................................................... 71

Tabel 4.2 Ragam hias bahan baju ..................................................................... 99

Tabel 4.3 Alat yang digunakan dalam proses menghani ................................... 112

Tabel 4.4 Alat yang digunakan dalam proses menenun .................................... 113

Tabel 4.5 Cara kerja proses menenun ............................................................... 120

xii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Peta Wilayah Sumatera Barat ..................................................... 11

Gambar 2.2 Peta Nagari Silungkang .............................................................. 12

Gambar 2.3 Songket Aceh ............................................................................. 23

Gambar 2.4 Songket Limar Berantai ............................................................. 24

Gambar 2.5 Kain Motif Limar ....................................................................... 24

Gambar 2.6 Songket Lepus Pulir Bali ............................................................ 25

Gambar 2.7 Songket Bali ............................................................................... 25

Gambar 2.8 Saput, kain sarung dari benang sutera diberi ragam hias burung,

sulur daun dan bunga dari benang emas .................................... 25

Gambar 2.9 Sarung Songket Bugis, Sulawesi Selatan ................................... 26

Gambar 2.10 Kain songket dari Sumbawa, dengan latar belakang gelap yang

dihiasi dengan motif-motif flora dari benang perak .................. 28

Gambar 2.11 Songket Silungkang jenis balopak ............................................. 31

Gambar 2.12 Songket Silungkang jenis batubuar ............................................ 31

Gambar 2.13 Posisi ragam hias pada kain songket .......................................... 34

Gambar 2.14 Kembang manggis berantai atau belah ketupat berantai, merupakan

ragam hias favorit dan paling banyak digunakan ...................... 44

Gambar 2.15 Lumbung padi merupakan ragam hias tenunan Silungkang yang

diperkenalkan pada pertengahan abad ke 20 ............................. 44

Gambar 2.16 Burung merak juga merupakan ragam hias favorit, burung merak

diyakini hidup liar di hutan pada zaman dahulu ........................ 44

Gambar 2.17 Motif Pucuak Rabuang ............................................................... 45

xiii
Gambar 2.18 Motif Kaluak Paku ..................................................................... 46

Gambar 2.19 Motif Kaluak Paku Kacang Balimbiang .................................... 46

Gambar 2.20 Motif Saluak Laka ....................................................................... 47

Gambar 2.21 Motif Itiak Pulang Patang .......................................................... 48

Gambar 2.22 Motif Sajamba Makan ................................................................ 48

Gambar 2.23 Motif Tirai .................................................................................. 49

Gambar 2.24 Benang ........................................................................................ 50

Gambar 2.25 Macam-macam warna ................................................................ 52

Gambar 2.26 Alat Tenun Songket .................................................................... 55

Gambar 3.1 Model Analisis Interaktif Miles dan Huberman ......................... 67

Gambar 4.1 Medali dari Ratu Belgia .............................................................. 78

Gambar 4.2 Cawek atau ikat pinggang ........................................................... 79

Gambar 4.3 Selendang dibuat sekitar tahun 1960-an ..................................... 80

Gambar 4.4 Selendang .................................................................................... 80

Gambar 4.5 Songket yang dibuat sekitar tahun 1970-an atau 1980-an............ 81

Gambar 4.6 Songket berwarna biru dibuat tahun 1960-an ............................ 82

Gambar 4.7 Kain Songket .............................................................................. 83

Gambar 4.8 Macam-macam motif pucuak rabuang dengan

menggunakan benang emas ........................................................ 84

Gambar 4.9 Macam-macam motif pucuak rabuang dengan

menggunakan benang perak ....................................................... 84

Gambar 4.10 Songket jenis cantik manis ........................................................... 85

Gambar 4.11 Ragam hias pinggiran pada kain songket dengan

menggunakan benang perak ....................................................... 86

xiv
Gambar 4.12 Ragam hias pinggiran pada kain songket dengan

menggunakan benang emas ........................................................ 87

Gambar 4.13 Songket balopak dengan motif burung merak ............................ 94

Gambar 4.14 Selendang balopak (motif penuh) .............................................. 94

Gambar 4.15 Selendang balopak (motif penuh) .............................................. 95

Gambar 4.16 Selendang balopak (motif penuh) .............................................. 96

Gambar 4.17 Songket dan selendang batubuar ................................................ 96

Gambar 4.18 Songket dan selendang batubuar ................................................ 97

Gambar 4.19 Songket dan selendang batubuar dengan jenis songket

cantik manis ................................................................................ 98

Gambar 4.20 Bahan untuk baju ........................................................................ 99

Gambar 4.21 Benang sebelum proses pemberian warna ................................. 110

Gambar 4.22 Benang sintetis (pakan) .............................................................. 111

Gambar 4.23 Benang sintetis untuk pakan juga menggunakan

benang bordir .............................................................................. 111

Gambar 4.24 Gun yang berbentuk bulat .......................................................... 116

Gambar 4.25 Gun yang berbentuk kotak ......................................................... 117

Gambar 4.26 Motif yang digambar di kertas kotak-kotak ............................... 118

Gambar 4.27 Songket dan selendang cantik manis .......................................... 125

Gambar 4.28 Cawek atau ikat pinggang .......................................................... 127

Gambar 4.29 Selendang atau tengkuluk .......................................................... 128

Gambar 4.30 Selendang ................................................................................... 128

Gambar 4.31 Baju dan songket yang digunakan untuk busana pesta .............. 132

Gambar 4.32 Dasi ............................................................................................. 134

xv
Gambar 4.33 Kemeja ....................................................................................... 134

Gambar 4.34 Baju dan songket Silungkang ..................................................... 135

xvi
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran I Pedoman Wawancara

Lampiran II Surat Menyurat

Lampiran III Hasil Wawancara

Dokumentasi Foto Para Narasumber

xvii
BAB I

PENDAHULUAN

1.7 Latar Belakang

Indonesia adalah negara kepulauan yang memiliki keaneragaman dan

warisan budaya yang bernilai tinggi yang mencerminkan budaya bangsa. Setiap

daerah di Indonesia mempunyai ciri khas masing-masing. Seperti kain tradisional

di Indonesia. Bagi rakyat Indonesia kain tradisional adalah warisan leluhur yang

harus dilestarikan karena dapat memperkaya ciri khas bangsa Indonesia dengan

motif dan coraknya yang beraneka ragam.

Kain tradisional Indonesia sedang menjadi trend fashion akhir-akhir ini.

Dengan diadakannya acara peragaan busana oleh para desainer yang

menggunakan kain tenun tradisional, merupakan salah satu cara untuk

mengangkat, mengenalkan serta mempromosikan kain tenun tradisional Indonesia

di dalam negeri maupun di dunia internasional. Inilah yang kemudian dapat

menjadi kebanggaan bagi bangsa Indonesia serta bagi masyarakatnya.

(www.lifestyle.okezone.com)

Kain tenun yang dihasilkan di setiap daerah pasti berbeda-beda dan

memiliki makna, nilai sejarah, serta teknik pembuatan yang berbeda juga. Hal ini

terlihat dari segi warna, ragam hias, jenis bahan, dan benang yang digunakan.

Pembuatan kain tenun membutuhkan proses yang cukup lama, tergantung dari

tingkat kerumitan desain motifnya.

Keindahan alam bumi Minangkabau, Sumatera Barat memang tidak perlu

diragukan lagi, selain potensi panorama alamnya yang begitu mempesona. Kita

1
2

juga dapat menjumpai berbagai macam tradisi dan adat yang unik. Kekayaan alam

Minangkabau sangat mempengaruhi terciptanya ragam hias dan motif tenun yang

mengagumkan. Sekalipun ragam hiasnya dibuat dengan alat yang sederhana dan

proses kerja yang terbatas, kain yang dihasilkan memiliki mutu yang tinggi.

Dalam pembuatannya kain songket menggunakan Alat Tenun Bukan Mesin

(ATBM). Ada dua daerah terkenal yang menghasilkan kain songket yang

berkualitas, yaitu daerah Pandai Sikek dan daerah Silungkang. Masing – masing

daerah memiliki ciri khas yang berbeda dilihat dari ragam hiasnya.

Kain songket Pandai Sikek mempunyai motif yang lebih bervariasi

dibandingkan dengan kain songket dari daerah Silungkang yang mempunyai motif

lebih sederhana. Kain songket Pandai Sikek terkesan lebih mewah dan jika

digunakan kain songket Pandai Sikek lebih berat dan terlihat kaku, sehingga kain

songket Pandai Sikek hanya dapat digunakan pada kesempatan-kesempatan

khusus, sedangkan kain songket Silungkang lebih ringan sehingga dapat

digunakan untuk kegiatan sehari-hari.

Silungkang adalah desa di kabupaten Sawahlunto, yang terletak di tepi

jalan raya Lintas Sumatera sekitar 95 km dari selatan – timur kota Padang.

Keahlian masyarakat Minangkabau dalam berdagang banyak mempengaruhi

kebudayaan dan pola hidup masyarakatnya. Keistimewaan kain songket

Minangkabau terletak pada motif-motif yang sangat beragam. Masing-masing dari

motif tersebut mempunyai nama serta maknanya tersendiri dan biasanya motif

pada kain songket terinspirasi dari tumbuhan, binatang atau benda-benda yang ada

di alam sekitarnya. (www.melayuonline.com)


3

Ciri khas dari kain songket Silungkang juga terlihat pada keistimewaan

tenunannya yang terdapat pada benang pakan (benang hias). Hasil tenunan ini

yang membedakan dengan kain songket dari daerah lainnya. Dibagian buruk kain

songket, benangnya pakannya terlihat merentang dan tidak putus-putus, sehingga

pada bagian baik kain songket benang pakan terlihat lebih menonjol dibanding

dengan benang lusi (benang dasar).

Kain songket yang dahulunya hanya digunakan untuk upacara-upacara

adat dan kesempatan khusus, kini berubah fungsi menjadi lebih modern dan dapat

digunakan untuk pakaian sehari-hari baik pria maupun wanita dan dari yang muda

sampai yang tua. Kain songket Silungkang sekarang tidak hanya diproduksi untuk

kain dan sarung, tetapi dapat menjadi produk lainnya, seperti gambar dinding,

taplak meja, permadani bergambar, baju wanita, kemeja pria, selendang dan

saputangan.

Kain songket Silungkang merupakan salah satu dari berbagai jenis kain

tradisional Indonesia yang kurang disadari keberadaannya. Padahal, dilihat dari

catatan sejarah pada tahun 1910 songket Silungkang telah berkiprah di

gelanggang Internasional pada “Pekan Raya Ekonomi Eropa” yang berlangsung di

Brussel. Itu berarti sebelum mengikuti “Pekan Raya Ekonomi Eropa” songket

Silungkang sudah ada dan dikembangkan masyarakat sebagai salah satu

kebudayaan kota Sawahlunto.

Maka dari itu, peneliti berkeinginan untuk mengamati secara mendalam

mengenai kain songket Silungkang. Berdasarkan informasi yang didapat, belum

adanya penelitian tentang “Studi Kain Songket Silungkang”, hal tersebut yang

mendorong penulis untuk mengetahui lebih banyak tentang kain songket


4

Silungkang dari ragam hias, proses pembuatan, serta fungsinya. Selain itu juga

sebagai salah satu cara untuk menginformasikan seni dan kebudayaan kain

songket Indonesia, khususnya songket Silungkang.

1.8 Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, penulis mengidentifikasikan beberapa

masalah yang dapat diteliti, yaitu :

1. Apakah kain songket Silungkang sudah dikenal masyarakat di luar daerah

Silungkang?

2. Saat ini, apakah masih ada masyarakat yang menggunakan kain songket

Silungkang?

3. Jenis kain dan ragam hias apa saja yang dibuat oleh pengrajin songket di

Silungkang?

4. Bagaimana fungsi kain songket Silungkang?

5. Bagaimana teknik dan proses pembuatan kain songket Silungkang?

6. Apakah masih ada pengrajin songket yang memproduksi kain songket

Silungkang?

7. Bagaimana bentuk produk yang dihasilkan dari kain songket Silungkang?


5

1.9 Batasan Masalah

Berdasarkan identifikasi masalah di atas dan dikarenakan keterbatasan

peneliti dalam hal keterbatasan data yang ada di lapangan serta untuk

mempermudah dan memfokuskan penelitian terhadap “ Studi Kain Songket

Silungkang”. Maka peneliti hanya membatasi permasalahan mengenai kain

songket dalam hal:

1. Ragam hias

2. Proses pembuatan

3. Fungsi

1.10 Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang, identifikasi masalah, dan batasan masalah,

maka dapat dirumuskan masalah yang akan diteliti oleh peneliti adalah sebagai

berikut : “ Bagaimanakah Studi Kain Songket Silungkang yang meliputi ragam

hias, proses pembuatan, dan fungsi kain songket ? ”

1.11 Tujuan Penelitian

Berdasarkan pertanyaan penelitian di atas, maka tujuan dari penelitian,

yaitu :

1. Supaya kain songket Silungkang dikenal masyarakat di luar daerah

Silungkang.

2. Untuk mengetahui beberapa ragam hias songket Silungkang.

3. Untuk mengetahui teknik dan proses pembuatan kain songket Silungkang.


6

4. Untuk mengetahui fungsi dari kain songket Silungkang.

5. Untuk mengetahui bentuk produk yang dihasilkan dari kain songket

Silungkang.

1.12 Kegunaan Penelitian

Dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat,

sebagai berikut :

1. Sebagai bahan pengetahuan dan informasi bagi Jurusan Ilmu

Kesejahteraan Keluarga, Program Studi Pendidikan Tata Busana, Fakultas

Teknik, Universitas Negeri Jakarta, karena sedikitnya reverensi yang

tersedia di jurusan mengenai kain songket.

2. Memberikan motivasi kepada mahasiswa / mahasiswi untuk menjaga dan

melestarikan kain tradisional Indonesia.

3. Sebagai sumber informasi kepada masyarakat tentang kain songket

Silungkang.

4. Sebagai bahan referensi dan rujukan pada proses belajar mengajar di

lembaga pendidikan.

5. Suatu bentuk pelestarian seni dan budaya Indonesia, Khususnya

kebudayaan Minangkabau.

6. Sebagai bahan kajian bagi masyarakat di luar Silungkang agar dapat

mengenal songket Silungkang.


BAB II

KERANGKA TEORITIK DAN KERANGKA BERFIKIR

2.3 Kerangka Teoritik

2.3.1 Kain Tenun Tradisional

Indonesia merupakan salah satu negara di Asia yang menghasilkan

berbagai macam kain tradisional yang menonjol, hal ini dapat dilihat dari berbagai

macam jenis kain, teknik pembuatan kain, motif kain maupun fungsi dari kain

tersebut. Kain tenun di Indonesia mengandung nilai-nilai budaya yang tinggi

khususnya bila ditinjau dari segi kemampuan teknis, estetis, kadar makna

simbolik, dan falsafahnya.

Rouffer (1902) menulis tentang “penelitian terhadap tenun Indonesia telah

dimulai oleh bangsa Eropa sekitar abad ke-19. Penelitian terhadap corak dan

teknik pembuatan ragam hias pada tenun ikat, persamaan dan perbedaannya

dengan cinde dan patola sebagai unsur hubungan pengaruh-mempengaruhi antara

Indonesia dengan India”.

Dari segi teknik pembuatan, ragam hias, jenis bahan, dan pewarnaannya

tenunan Indonesia telah melewati perjalanan sejarah pengaruh Hindu sampai

dengan pengaruh barat dan pengaruh masa kini.

Kain tradisional merupakan salah satu warisan budaya bangsa yang

penting, hal ini dapat dilihat dari penggunaan kain tersebut dalam berbagai situasi

seperti penggunaan sebagai baju adat, sebagai benda upacara, sebagai status

simbol di masyarakat, bahkan sebagai bahan pengobatan dukun. Hal ini sudah

diturunkan dari generasi ke generasi.

7
8

Pentingnya kain tradisional di dalam kehidupan masyarakat dulu,

mengharuskan seorang anak gadis mengusai teknik pembuatan kain. Konon

seorang gadis harus pandai membuat kain, baju atau seperangkat alas tidur

pengantinnya sendiri. Kepandaian ini didapatkan dari orang tua atau kerabat

dekatnya. Pekerjaan menenun kain merupakan bagian dari pekerjaan wanita pada

waktu mereka tidak mengerjakan pekerjaan utama dan untuk mengisi waktu

luang.

Penelitian tenun di Kalimantan, dilakukan oleh A.C.Haddon didalam

bukunya Iban or Sea Dayak Fabrics and their Patterns, buku ini ditulis pada

tahun 1936 yang banyak menunjukkan persamaan-persamaan tenunan teknik

Dayak yang ada di wilayah Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah dan

Kalimantan Timur sebagai bukti hubungan tukar-menukar barang-barang atau

barter antar daerah yang berbatasan dan berdekatan.

Urs. Ramseyer menulis tentang Bali yang memiliki keunikan pada tenun

ikat ganda yaitu kain seringsing dari desa Tenganan Pageringsingan dekat

Amlapura. Disamping itu, tentang aneka tenunan dari Bali juga ditulis oleh

Brigitta Hauser Shaublin, dan Maie-louise Nabholz-Kartaschoff dalam bukunya

Textiles in Bali, tahun 1991. Tulisan tentang tenunan Bali itu menginformasikan

jenis dan corak tenunan mulai dari ikat ganda, tenunan ikat pakan endek, prada,

songket, poleng, dan sebagainya.

Menurut Kartiwa (1994: 11) Wilayah Indonesia bagian barat memiliki

keistimewaan pada tenun ikat pakan dan tenun songket serta paduannya. Daerah-

daerah itu antara lain Palembang, Jambi, Bengkulu, Riau, Minangkabau, dan

Aceh. Di Sulawesi Selatan tenunan tersebut dibuat oleh suku-suku Bugis,


9

Makassar, Mandar, Sulawesi Tengah (Dongala), dan Sulawesi Tenggara.

Kemudian di Kalimantan, songket dan ikat pakan dibuat khususnya di daerah-

daerah pantai yang masyarakatnya telah membaur dengan pendatang dari

Sulawesi Selatan seperti orang Bugis, Makassar, Mandar, dan sekitarnya.

Tenunan yang terkenal antara lain tenun Samarinda serta tenun Pagatan dan

Tabailo dari Kalimantan Selatan.

Selain memiliki nilai-nilai simbolis, filosofis dan artistik yang tinggi,

tenunan Indonesia pun amat beragam kegunaannya. Dari fungsi sebagai penutup

tubuh seperti sarung kain panjang, tutup kepala, selendang sampai dengan

pemakaiannya untuk keperluan upacara, bagian dari perabot rumah tangga, hiasan

rumah atau kuil dan sebagainya. Keanekaragaman kegunaan itu disertai pula

dengan keberagaman teknik pembuatan seperti tenun ikat pakan, lungsi dan

ganda, songket, pakan dan lungsi tambahan, pilin, tenun kartu, tapiseri dalam

berbagai paduannya pula.

Alat tenun tradisional yang digunakan diberbagai tempat di Indonesia juga

sangat bervariasi. Alat tenun gedogan merupakan alat tenun tradisional, di bagian

ujung dipasang pada pohon atau tiang rumah dan di bagian ujung lainnya

diikatkan pada badan penenun yang duduk di lantai. Yang membedakan alat tenun

tradisional Jawa-Bali dengan alat tenun tradisional dari pulau-pulau di Indonesia

bagian timur yaitu amben. Amben adalah balai-balai yang dibuat dari bambu

khusus untuk menenun, diberi lubang berbentuk persegi di pinggir sebagai tempat

kaki penenun. Bahkan di bawah lubang itu diberi bambu melintang sebagai

pijakan kaki penenun untuk meregangkan dan mengendorkan benang-benang

lungsi yang ada pada alat tenun.


10

Sekitar tahun 1911 banyak pengaruh dalam pembuatan kain tenun

tradisional yaitu ketika pemerintah Belanda mengenalkan Alat Tenun Bukan

Mesin (ATBM). Alat ini terbuat dari kayu, dimana digunakan torak-torak yang

dihubungkan dengan tali, sehingga apabila salah satu bagian alat tenun itu

digerakkan, maka secara otomatis alat lain juga ikut bergerak.

Alat ini membuat revolusi pada pembuatan kain tradisional. Kain yang

ditenun dengan ATBM memiliki lebar kain mencapai lebar 120 cm dan panjang

kain bisa mencapai puluhan meter. ATBM dapat dipakai untuk menenun kain

dengan hiasan sederhana seperti kain polos, lurik, dan kain ikat.

2.3.2 Wilayah Sumatera Barat

Sumatera Barat adalah salah satu provinsi di Indonesia yang terletak di

pesisir barat wilayah pulau Sumatera, yang terdiri dari dataran rendah di pantai

barat dan dataran tinggi vulkanik yang dibentuk oleh Bukit Barisan yang

membujur dari barat laut ke tenggara. Secara geografis Provinsi Sumatera Barat

terletak antara 00 54’ LU sampai dengan 30 30’ LS serta 980 36’ BT sampai

dengan 1010 53’ BT. Luas daratan Provinsi Sumatera Barat adalah 42.297,30

km², sedangkan luas perairan laut Provinsi Sumatera Barat diperkirakan ±186.580

km2. Luas perairan territorial adalah 57.880 km2 dan 12.870 km2 perairan ZEE

serta panjang garis pantai 2.420.388 km. (www.swarakalibata.com)


11

Gambar 2.1. Peta Wilayah Sumatera Barat


Sumber : www.google.com

Ibukota provinsi Sumatera Barat adalah Padang. Batas wilayah sebelah

utara berbatasan dengan provinsi Sumatera Utara, sebelah selatan berbatasan

dengan Bengkulu, sebelah timur berbatasan dengan provinsi Riau dan

provinsi Jambi, dan sebelah barat berbatasan dengan Samudera Hindia. Provinsi

ini terdiri dari 12 kabupaten, 7 kota, 147 Kecamatan, 877 Kelurahan atau Desa

yang dinamakan sebagai nagari.

Mayoritas penduduk Sumatera Barat merupakan suku Minangkabau. Di

daerah Pasaman selain etnis Minang, juga berdiam suku Batak dan suku

Mandailing. Beberapa daerah transmigrasi, seperti di Sitiung, Lunang Silaut,

dan Padang Gelugur, juga terdapatsuku Jawa. Di Kepulauan Mentawai yang

mayoritas penduduknya beretnis Mentawai, jarang dijumpai masyarakat

Minangkabau. Etnis Tionghoa hanya terdapat di kota-kota besar, seperti Padang,

Bukittinggi, dan Payakumbuh. Di Padang dan Pariaman, juga terdapat

masyarakat Nias dan Tamil, tetapi dalam jumlah kecil. (www.jambi-

independent.co.id).Islam adalah agama mayoritas yang dipeluk oleh sekitar 98%

penduduk Sumatera Barat. Selain itu ada juga yang beragama Kristen terutama
12

di kepulauan Mentawai sekitar 1,6%, Buddha sekitar 0,26%, dan Hindu sekitar

0,01%, yang dianut oleh masyarakat pendatang. (www.id.wikipedia.org)

2.3.2.1 Nagari Silungkang

Silungkang merupakan sebuah nagari yang berada di Kabupaten

Sawahlunto. Silungkang sebagai salah satu pusat industri songket benang emas

yang indah dikenal sebagai “Songket Silungkang”. Dahulunya nagari ini bernama

Talang Tului Batu Badegui. Nagari ini konon dikenal sebagai nagari dengan

masyarakat yang cerdik dan pandai. Nagari ini diperkirakan didiami semenjak

abad ke-6 sebelum masehi.

Gambar 2.2. Peta Nagari Silungkang


Sumber : Zulfikar Chaniago

Terdapat beragam cerita mengenai asal usul nagari ini diberi nama

Silungkang. Menurut bahasa Sansakerta, Silungkang mempunyai arti “lowongan

batu yang tinggi”, ada juga yang mengatakan bahwa Silungkang memang ada

lurah yang bernama Lungkang. Lurah dalam pemahaman orang Minangkabau dan

Melayu pada umunya sering disandingkan dengan kata bukit. Lurah itu airnya

mengalir melalui Surau Bingkuang dan bertemu dengan Batang Lasi sebelum
13

Lubuak Nan Godang. Ada yang memperkirakan dari nama lurah Lungkang inilah

nama Silungkang. Begitu beragamnya pendapat mengenai asal usul nama

Silungkang, sehingga sampai saat ini asal nama Silungkang dan sejak kapan

nagari ini memakai nama Silungkang masih belum ada keterangan secara pasti,

karena belum dilakukan penelitian secara lebih mendalam.

Nagari ini merupakan gerbang menuju kota Sawahlunto. Sebuah kota di

Sumatera Barat yang dikenal karena penghasil batubara Ombilin yang didirikan

pada akhir abad ke-19 oleh pemerintah kolonial Belanda. Menurut tata letaknya,

Silungkang adalah suatu daerah dataran rendah cekung berbenttuk kuali pada

gugusan Bukit Barisan yang terletak di antara Solok dan Sawahlunto. Nagari ini

dilingkari oleh bukit-bukit dan rimba-rimba pada dinding sebelah kiri dan

kanannya. Dari bagian tebing dinding kanan dari arah Solok ke Sawahlunto

menelusur sebuah jalan raya yang berkelok-kelok menyisir alur tebing. Jalan raya

ini disebut jalan Lintas Sumatera yang menghubungkan antara pulau Jawa dengan

pulau Sumatera. Nagari Silungkang sendiri berada di sebuah lembah atau

cekungan yang tidaklah begitu luas. Dengan ketinggian rata-rata 239 - 450 meter

di atas permukaan laut. Batas wilayah nagari Silungkang, sebelah Timur

berbatasan dengan Kecamatan Sijunjung dan sebelah Utara berbatasan dengan

Kecamatan Lembah Segar.

(www.sawahluntomuseum.wordpress.com)

Pada waktu dahulu penduduk yang bermukim di daerah ini belumlah

berdiam di tempat yang sekarang, tetapi diatas bukit-bukit sekitarnya. Mata

pencaharian utama masyarakatnya adalah berdagang, sehingga nagari ini juga

dikenal sebagai nagari pedagang. Selain dalam bidang pertenunan songket dan
14

sarung polekat, mata pencaharian penduduk Silungkang juga terdapat dalam usaha

di bidang pertanian, pembuatan tikar rotan, kayu, dan kerupuk.

Secara kelompok besar, Nagari di Silungkang terbagi menjadi beberapa

kampung yaitu: (1) Dalimo; Dalimo Godang, Dalimo Tapanggang, Dalimo

Singkek, Dalimo Baruah, Dalimo Coca, Dalimo Jao, (2) 4 Kampuang; Guguak,

Koto Marapak, Paliang, Batu Mananggau, (3) Malawas; Malawas Hilir, Melawas

Mudik, (4) Kutianyi, (5) Paliang; Paliang Atas, Paliang Baruah, (6) Palokoto, (7)

Panai; Panai 4 Rumah, Panai Kotobaru, Panai 3 Tingka, (8) Sawah Juai, dan (9)

Sungkiang. (www.id.wikipedia.org)

2.3.2.2 Kebudayaan Masyarakat Minangkabau

Di Minangkabau dikenal ada empat kompenan adat, yaitu adat teradat,

adat nan diadatkan, adat istiadat, dan adat yang sebenar adat. Menurut Bagindo

Fahmi (seorang budayawan Minangkabau), jika dicermati keempat komponen

tersebut, maka ia dapat dibaca dari sehelai songket, mulai dari membuat,

pemakain warna, motif hias yang dipilih sebagai simbol, dan fungsi songket

dalam kehidupan tradisi Minangkabau. (Bernhard Bart, 2006: 66)

Seperti komponen adat teradat yang bersandar kepada fenomena alam

sebagai titian untuk menentukan sikap dalam mengambil keputusan atau yang

lebih dikenal dengan falsafah alamnya (dapat dilihat dari simbol-simbol alam

yang digunakan sebagai ornamen pada songket).

Bagi masyarakat Minangkabau, falsafah alam yang dianutnya menganut

makna yang dalam. Arti alam bagi mereka bukan hanya sebagai tempat lahir,

hidup, berkembang, dan mati saja, akan tetapi alam dimaknai sebagai penuntun
15

hidup dalam memilih kehidupan yang bermakna, baik sebagai individu maupun

kelompok. Itu juga sebabnya berbagai ajaran dan pandangan hidupnya yang

tercantum dalam petatah-petitih, mamangan dan pituah, tersirat dalam budaya

lisan, tulisan dan fisik mengambil ungkapan dari bentuk dan sifat-sifat alam.

Songket yang diberi ornamen dengan menata motif hias yang diadopsi dari

alam (dalam proses penggarapannya) tetap memperhitungkan nilai keindahan

secara kasat mata, sehingga motif yang dibuat tidak hanya sarat dengan makna

akan tetapi juga keindahan. Oleh karena itu, sangat beralasan jika songket bagi

masyarakat Minangkabau bukan hanya sebagai kebutuhan sandang, tetapi

merupakan “benda sakral” yang keindahannya bukan sekedar memuaskan mata,

juga melebur dalam keindahan moral, adat, dan agama.

Songket Minangkabau yang mengambil motif alam sebagai tanda untuk

menyimpan pesan-pesan kultural. Elemen alam yang diangkat sebagai motif,

benar-benar yang mempunyai sifat-sifat yang mencontoh dari kehidupan sosial-

kultural masyarakat Minangkabau. Pilihan seperti itu tentu tidak mudah, namun

dengan mengamati bentuk motif pada rumah gadang dan songket dapat

diindikasikan jika pilihan motif hias di Minangkabau sangat cerdas dan unik.

Dalam sejarahnya, sehelai kain songket dapat difungsikan dalam

keperluan adat di Minangkabau, jelas tidak serta merta hadir begitu saja, tetapi

melalui proses yang berdasarkan musyawarah dan mufakat yang harus dilewati.

Artinya, bagaimana sehelai songket difungsikan dalam adat Minangkabau, akan

dibicarakan bersama-sama terlebih dahulu. Motif hias yang sudah ditetapkan

dalam sehelai kain songket juga pada dasarnya adalah nilai-nilai yang telah

dibakukan melalui musyawarah dan mufakat.


16

Adat istiadat pada dasarnya berada dalam alam pikiran masyarakat

Minangkabau. Adat istiadat mengatur tata cara pergaulan, sopan santun, budi

pekerti, dan lain sebagainya. Seperti pepatah “lain padang lain ilalang, lain

lubuak lain ikannyo” menyiratkan adat istiadat secara konvensi diakui oleh

kelompoknya dalam satu nagari, sehingga setiap nagari punya tata aturan yang

berbeda satu sama lainnya. Sama halnya dalam bertingkah laku, songket pun juga

dibuat dengan tata aturan yang sama.

Adat nan sabana adat berjalan dan dijalankan dengan sandaran yang jelas,

yaitu percaya akan ketetapan Allah sebagai Pencipta alam. Hukum Allah

merupakan tata aturan yang tertinggi dan harus dipahami sebagai sikap dan

pandangan hidup. Jika dikaji kembali asal muasal songket, akan terlihat keyakinan

akan ketetapan Allah merupakan pertimbangan pertama dalam pembuatannya.

Makna songket bagi masyarakat Minangkabau adalah ruang ekspresi

untuk menuturkan gagasan dan nilai-nilai yang dikristalisasikan dalam bentuk,

motif, dan warna. Ada tiga hal penting berkenaan dengan songket: pertama,

songket sebagai salah satu seni tradisi yang dibuat dengan usaha yang cukup berat

dan rumit dari sisi teknis. Kedua, ragam hias yang indah dengan muatan nilai-nilai

berupa simbol-simbol yang berakar dari alam. Dan ketiga, pembuatan songket

yang dipercaya sebagai pelindung martabat para perempuan baik sebagai pencipta

ataupun pengguna.

2.3.3 Kain Songket

Sejak jaman dahulu Indonesia telah mengenal tenunan dengan corak

desain yang dibuat dengan cara ikat lungsi. Daerah penghasil tenunan itu antara
17

lain di daerah pedalaman Kalimantan, Sumatera, Sulawesi, dan Nusa Tenggara

Timur. Menurut para ahli, daerah-daerah tersebut telah memiliki corak tenun

rumit yang paling awal. Mereka mempunyai kemampuan membuat alat-alat

tenun, menciptakan desain dengan mengikat bagian-bagian tertentu dari benang

dan mengenal pencelupan warna.

Keunikan desain yang diciptakannya kain ialah suatu karya yang

mencerminkan unsur-unsur yang erat hubungannya dengan unsur kepercayaan,

pemujaan pada leluhur dan memuja keagungan alam. Pada periode awal ini suatu

teknik desain pakan tambahan atau lungsi tambahan juga dikenal. Suatu teknik

desain yang dalam jarak waktu yang lama dalam peristiwa sejarah kemudian lebih

dikenal dengan nama “songket”. (Suwati Kartiwa, 1986: 2)

Desain dari motif yang ada sangat dipengaruhi oleh bahan-bahan yang

membentuk desain itu sendiri. Ada desain benang sutera di atas dasar benang

kapas. Ada juga desain dan dasar tenunannya dari jenis benang yang sama yaitu

benang kapas atau benang sutera dan ada pula dari jenis benang yang lain.

Bangsa Indonesia telah lama membudayakan benang kapas yang cocok

hidup di alam tropis. Bunga kapas yang mengalami proses pengolahan pemintalan

kemudian menjadi benang kapas atau disebut katun. Dengan kemampuan yang

tinggi menggunakan benang kapas ini telah tercipta desain yang dikagumi

keunikkannya. Desain dengan pakan tambahan seperti pada ulos Ragi idup dari

Batak, kemudian Palepai dan Tampan dari Lampung.

Dalam sejarah tenun Indonesia dicatat bahwa tenunan yang diproduksi

menggunakan benang sutera dengan dekorasi benang emas dan perak dimulai

sejak meluasnya hubungan perdagangan. Dikenalnya bahan-bahan tersebut


18

dikenal sebagai bahan import. Langewis L dan Wagner F.A (1962) mengatakan

lama kelamaan benang sutera tidak hanya menggantungkan dari import, karena

sejak abad ke-15 untuk pertama kali di Palembang ditanam pohon murbei dan

menjinakkan ulat sutera.

Pelembang salah satu diantara daerah-daerah lain yang menonjol kain

songketnya. Pemeliharaan ulat sutera kemudian dikenal di beberapa tempat antara

lain di Sulawesi. Walaupun diantara beberapa jenis benang emas dan perak, maka

jenis benang import adalah yang masih tetap menunjukkan kualitas yang tinggi.

Menurut Kartiwa (1986: 7) penggunaan benang sutera pada umumnya

diberi pewarnaan yang terang seperti warna merah, hijau, biru, ungu, dan lain

sebagainya. Sedangkan penggunaan benang emas dan perak diterapkan dengan

teknik pakan tambahan yang akan menonjol benang emas atau peraknya pada

permukaan kain tenunannya.

Walaupun demikian tidak dapat dilupakan bahwa kain songket sebagai

salah satu bagian dari kebudayaan di Indonesia yang diciptakan oleh lingkungan

masyarakatnya. Dengan demikian desain-desain kain songket dari setiap daerah

pasti berbeda-beda dan mempunyai arti apabila kita dapat menelaah dari sikap

serta pandangan masyarakat daerah tersebut terhadap desain songket yang

diciptakannya. Selain kita dapat mengamati ciri-ciri persamaan maupun perbedaan

yang ada pada kain songket di antara daerah-daerah penghasil kain songket.

Pengertian tentang songket adalah kain yang ditenun dengan

menggunakan benang emas atau benang perak yang dihubungkan dengan proses

menjungkit benang lusi dan membuat ragam hias. Songket juga dihubungkan

dengan proses menyungkit atau menjungkit benang lusi dalam membuat pola hias.
19

Ada beberapa istilah dari beberapa daerah yang menyebutkan asal kata songket.

Misalnya, di Palembang yang mengatakan kata songket berasal dari kata songko

yaitu orang yang menggunakan benang emas sebagai hiasan dari sebuah ikat

kepala. Di Sumatera Barat, songket berasal dari kata sungkit yang artinya

menyungkit benang atau menyongkel benang. (Suwita Kartiwa, 1982: 23)

Teknik songket merupakan cara menciptakan ragam hias pada waktu

menenun dengan memasukkan benang pakan tambahan yang melewati benang

lusi dengan irama sesuai dengan ragam hias yang direncanakan, sedangkan

benang pakan dasar melewati benang lusi dengan irama di atas satu benang, di

bawah benang berikut, di atas benang berikut, dan seterusnya. (Dhorifi Zumar,

2007: 22)

Kain songket terdapat disebahagian besar kepalauan Indonesia. Hal

tersebut dapat dilihat dari beranekaragaman kain songket yang ada di Indonesia

bagian barat sampai ke Indonesia bagian timur. Yang membedakan dari setiap

daerah yaitu dilihat dari motif, warna, fungsi kain serta pengunaan benang yang

berbeda-beda.

2.3.3.1 Sejarah Kain Songket di Indonesia

Menurut sejarahwan Robyn dan John Maxwell (Kartiwa 1986: 5) tradisi

tenun sutera dan songket dibawa oleh pedagang-pedagang islam Arab dan India

yang menguasai perdagangan di Asia Tenggara. Masuknya kain tersebut

bersamaan dengan dikenalnya benang sutera dalam perdagangan sekitar abad ke-

14 dan ke-15. Mereka membawa barang-barang dagangan tersebut dengan ajaran-


20

ajaran islam melalui Selat Malaka ke pelabuhan-pelabuhan Sumatera dan pantai

utara Jawa.

Daerah-daerah yang telah menerima ajaran agama islam dan letaknya yang

strategis bagi lalu lintas perdagangan, maka daerah tersebut menghasilkan tradisi

kain tenun sutera dan songket. Dengan masuknya perdagangan islam yang

membawa benang emas dan perak, memungkinkan masyarakatnya mempunyai

ide dan dorongan untuk membuat tenunannya sendiri.

Selain menggunakan benang emas atau benang perak, songket juga ada

yang menggunakan benang sutera yang berwarna (benang ini diberi warna yang

terang seperti, warna merah, hijau, biru, ungu, dan lain sebagainya), benang sulam

dan juga menggunakan benang katun berwarna. Dan ada juga yang menggunakan

serat dari tumbuh-tumbuhan seperti serat pisang dan jenis benang sintetis seperti

benang rayon, benang wol, dan lain sebagainya.

Ragam hias kain songket cenderung memberikan kesan bahwa motifnya

terinspirasi dari geometris, flora dan fauna. Di Bali motif yang diciptakan oleh

masyarakatnya berbeda dengan daerah-daerah lainnya, motif kain ini lebih banyak

menonjolkan unsur motif Hindu Bali, seperti motif yang terlihat pada relief pura

dan pada seni ukir lainnya, motif lainnya yang khas di Bali yaitu motif wayang.

Satu daerah yang mempunyai unsur-unsur kebudayaan yang hampir sama

dengan Bali yaitu Lombok. Walaupun penduduk Lombok mayoritas beragama

islam tetapi dalam unsur desain songketnya juga menerapkan motif wayang dan

desain geometris yang banyak persamaannya dengan Bali. Hal ini menjelaskan

bahwa sebagian motif kain songket di Indonesia tidak hanya terpengaruh oleh

unsur-unsur islam tetapi juga motif diambil dari latar belakang masyarakatnya.
21

Walaupun dalam kesenian islam tidak diperbolehkan mewujudkan

makhluk yang hidup, tetapi diberbagai kain songket daerah Indonesia tetap

membuat motif dari binatang-binatang tertentu seperti berbagai jenis burung,

reptilia, dan naga. Misalnya burung kakaktua, burung merak yang terlihat pada

tenun songket Donggala, Sulawesi Tengah. Motif itiak dari songket Pandai Sikek,

Sumatera Barat. Serta, motif naga dan sayap burung garuda pada songket

Palembang, Sumatera Selatan. (Suwati Kartiwa, 1979: 67)

2.3.4 Macam-macam Kain Songket di Indonesia

Pembuatan kain tenun di Indonesia dimulai ketika dikenalnya tanaman

kapas dan membuatnya menjadi benang. Tidak ada catatan yang pasti darimana

dan bagaimana mereka bisa memintal benang, membuat alat tenun sampai

menciptakan berbagai motif yang cukup rumit.

Daerah penghasil kain tenun menyebar mulai dari Aceh, sebagian besar

Sumatera, pedalaman Kalimantan, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, Bali, sampai

Nusa Tenggara Timur (NTT). Pada saat itu mereka hanya mengenal satu jenis

benang yaitu benang katun yang dicelup berwarna-warni. Kain tenun yang dibuat

dengan menggunakan benang katun sangat menarik perhatian para saudagar Cina,

karena umumnya mereka lebih mengenal kain dari benang sutera.

Wilayah nusantara yang sudah menjadi tujuan lalu lintas perdagangan

internasional sejak dahulu, membuat benang sutera yang merupakan barang

import pada waktu itu masuk ke wilayah Indonesia. Sejak saat itu, mulailah masa

pengenalan kain tenun Indonesia dengan benang sutera. Para penenun mulai

bereksplorasi membuat motif dari benang sutera. Perkembangan ini memerlukan


22

waktu yang cukup lama sampai pada teknik tenun dengan benang sutera dan

benang emas atau perak yang dikenal sebagai tenun songket.

Sebagian besar kain songket di Indonesia menggunakan campuran benang

katun dengan benang emas atau perak, ada yang menggunakan benang katun

dengan benang katun, dan ada juga yang menggunakan benang sutera dengan

benang emas atau perak. Beberapa jenis kain songket yang terdapat di daerah

Indonesia, yaitu :

2.3.4.1 Kain Songket Aceh

Aceh juga mempunyai kain songket yang ditenun dari benang sutera

dengan hiasan benang emas. Songket Aceh umumnya berlatar warna-warna gelap

seperti hitam, biru indigo, dan merah tua keunguan. Bentuk songket yang dalam

bahasa setempat disebut ija krung. Songket yang dipakai oleh wanita berbeda

dengan songket yang dipakai oleh laki-laki. Songket wanita lebih lebar dan lebih

tinggi, karena dikenakan sebagai bawahan, sedangkan songket laki-laki lebih

pendek dan lebih sempit, karena digunakan di atas celana dan dilipat hingga

selutut.

Motif-motif yang digunakan yaitu flora, daun, salur daun, dan bunga-

bungaan yang bentuknya merupakan stelisasi dari bentuk motif kain, meander,

belah ketupat, dan lainnya. Sedangkan pada bagian kepala kain banyak diterapkan

motif tumpal atau pucuk rebung. Pada hiasan pinggir kain dan kepala tampak

bentuk motif kait maupun tumpal dan bentuk geometris lainnya yang lebih

menyerupai bentuk kaligrafi.


23

Gambar 2.3 Songket Aceh


Sumber : Foto gampoengaceh.org

2.3.4.2 Songket Palembang

Benang emas yang dahulunya hanya digunakan untuk kain penutup

kepala, kemudian penggunaan benang emas ini terus bertambah dalam bentuk

motif-motif yang rumit dan tidak saja diterapkan pada secarik kain penutup

kepala. Benang emas kemudian juga digunakan ketika membuat sarung dan

salendang. Benang katun yang dahulunya digunakan, diganti dengan benang

sutera yang memberi efek kilap dan lembut sehingga kain lebih nyaman

digunakan, serta juga memberikan kilau efek kemewahan yang menawan.

Ragam hias songket Palembang diambil dari alam sekitar baik flora

maupun fauna seperti bunga, dedaunan, sulur daun, kumbang, ikan, burung, dan

sebagainya. Warna dasar kain songket yang klasik adalah merah anggur, hijau tua,

dan kuning. Tetapi songket palembang sekarang sudah sangat beragam dan lebih

berani warnanya. Penamaan songket selain mengandung arti juga lebih banyak

kepada bentuk yang nampak. Diantaranya bintang berakam, naga besaung,

limarbintang berantai, pacar cina, tetes mider, tampuk manggis, limar pulir, tiga

negeri, nampan berserak, belah belimbing, kupu-kupu pita, buah cermin, dan

lainnya. Motif-motif ini sampai sekarang masih dipakai dan tetap populer di

kalangan penenun.
24

Gambar 2.4. Songket Limar Berantai


Sumber : Buku Songket Palembang (H. Kiagus Zainal Arifin, 2006)

Gambar 2.5. Kain Motif Limar


Sumber : Buku Songket Palembang (H. Kiagus Zainal Arifin, 2006)

2.3.4.3 Songket Bali

Kain songket Bali banyak dipergunakan dalam tarian, pakaian adat, dan

upacara perkawinan. Kain songket dalam bentuk kain sarung, kain panjang,

selendang atau destar (penutup kepala) yang dipakai kaum laki-laki. Kain-kain

songket khas Bali tidak hanya dipenuhi dengan benang emas, tetapi pada tenunan

sutera yang berwarna polos juga dihias dengan benang sutera berwarna lainnya.

Ragam hias pada kain songket dibentuk oleh lidi-lidi penjungkit yang mengangkat

benang lungsi. Kemudian lidi-lidi yang disebut cucukan akan diganti dengan

benang pakan tambahan. Semakin banyak ragam hiasnya, maka semakin banyak

cucukan yang diperlukan.


25

Motif untuk songket perempuan biasanya berbentuk bunga dan daun, yang

melambangkan kesuburan dan kehidupan, sedangkan motif untuk sarung laki-laki

berbentuk binatang seperti burung yang melambangkan sebuah kebesaran. Kain

songket Bali memiliki komposisi warna yang terang, meriah dan agung seperti

warna kuning, merah, hijau, jingga, biru, dan lainnya.

Sampai sekarang songket Bali masih dibuat dengan alat tenun yang

disebut cagcag dan juga sudah banyak mempergunakan Alat Tenun Bukan Mesin

(ATBM).

Gambar 2.6. Songket Lepus Pulir Bali


Sumber : Buku Songket Palembang (H. Kiagus Zainal Arifin, 2006)

Gambar 2.7. Songket Bali


Sumber : Buku Songket Palembang (H. Kiagus Zainal Arifin, 2006)

Gambar 2.8. Saput, kain sarung dari benang sutera diberi ragam hias burung, sulur
daun dan bunga dari benang emas
Sumber : Buku Kain Songket Indonesia (Suwati Kartiwa, 1982)
26

2.3.4.4 Kain Sulawesi

Daerah Sulawesi Selatan (Bugis) yang dikenal sebagai sentra kain sutera

dan kain pelekat. Dalam pengunaan warna, kain sarung Bugis lebih dikenal

dengan warna-warna yang hidup, terang serta kontras seperti warna kuning, ungu,

hijau, merah, dan lainnya. Padahal sebelumnya tenun Bugis mempunyai warna

tradisional seperti hitam, merah, dan putih. Nama-nama kain songket sering

dihubungkan dengan kreasi penenun sendiri yang diciptakan menurut perasaan,

peristiwa dan lingkungan sekitar. Kain tenun yang ditenun dari benang sutera

diberi desain songket benang emas dan perak yang disebut lipa ni cebbang.

Gambar 2.9. Sarung Songket Bugis, Sulawesi Selatan


Sumber : Buku Songket Palembang (H. Kiagus Zainal Arifin, 2006)

Di Sulawesi Tengah, Kabupaten Donggala juga dikenal sebagai pembuat

kain songket yang khas. Sarung Donggala yang mempunyai corak tenunan dengan

desain songket yang disebut buya subi sabbe, yaitu untuk kain tenun songket

dengan desain benang sutera berwarna membentuk motif bunga-bunga atau

geometris. Hiasan timbul di permukaan kain dengan warna kuning, merah, hijau,

biru, dan lainnya. Sedangkan kain songket yang menggunakan benang emas atau

perak disebut buya subi kumbaja. Keunikan dari kain subi adalah desain bunga-

bunga lepas seperti disulam satu persatu yang disusun dalam jarak tertentu dengan
27

letaknya yang asimetris. Untuk membuat ragam hias ini, penenun harus

menghitung dan biasanya sudah membuat pola gambar yang akan dikerjakan.

2.3.4.5 Kain Nusa Tenggara Barat

Wilayah Nusa Tenggara Barat meliputi dua daerah yaitu Lombok dan

Sumbawa. Pada dasarnya kedua daerah ini mempunyai latar belakang

perkembangan masyarakat dan kebudayaan yang menunjukkan unsur-unsur

persamaan di samping perbedaannya.

Di Sumbawa yang mayoritas masyarakatnya beragama Islam, mempunyai

istilah yang berbeda dalam menyebut kain songketnya. Kain songket yang

didesain dengan menggunakan benang emas dan perak disebut songket,

sedangkan kain songket yang didesain dengan menggunakan benang berwarna

disebut selungka. Ada ciri khas dari songket Sumbawa khususnya dari Bima,

seperti motif flora (bunga, daun, ranting, dan dahan) yang dikombinasikan dengan

motif fauna (burung). Motif-motif ini dibentuk dengan lebih banyak

menggunakan garis-garis kait dimana corak ini lebih menyerupai gaya kaligrafi.

Kain sarung yang disebut tembe atau kereng tidak dipergunakan dalam kegiatan

sehari-hari, tetapi hanya digunakan untuk menghadiri upacara adat tertentu. Dan

untuk pakaian sehari-hari digunakan kain sarung pelekat dengan motif kotak-

kotak. Cara wanita Sumbawa menggunakan kain sarungnya selain digunakan

seperti biasa, juga dapat digunakan sebagai sarung yang menutupi kepala dan

sebagian dari muka.


28

Gambar 2.10. Kain songket dari Sumbawa, dengan latar belakang gelap yang
dihiasi dengan motif-motif flora dari benang perak
Sumber : Buku Kain Songket Indonesia (Suwati Kartiwa, 1982)

2.3.4.6 Kain Songket Silungkang

Kondisi lahan di Nagari Silungkang yang merupakan daerah dataran

rendah cekung yang berbentuk seperti kuali pada gugusan Bukit Barisan yang

terletak di antara Solok dan Sawahlunto, serta terletak di antara bukit-bukit,

rimba-rimba pada dinding disebelah kiri dan kanannya, kondisi seperti itulah yang

membuat masyarakat Silungkang harus berpikir untuk memenuhi kehidupan

sehari-hari mereka. Berdagang adalah pilihan mereka untuk mendapatkan

penghasilan. Pada abad ke 15, masyarakat Silungkang berdagang sampai ke

Petani, Negeri Siam (Thailand) dan ke daerah Pahang (Malaysia). Mereka

membawa hasil pertanian ke sana dan kembali membawa hasil dari negeri

tersebut. Diantaranya adalah kain tenunan yang indah berupa songket Malaya.

Lama-kelamaan masyarakat Silungkang tertarik untuk mengerjakan sendiri

tenunan itu karena terdorong untuk mendapatkan keuntungan yang besar. Tahap

demi tahap cara menenun dipelajari, mulai dari alat tenun, benang, konstruksi

tenunan, dan proses pewarnaan. Semakin lama semakin banyak masyarakat yang

ingin mempelajari cara menenun tersebut, maka tersebarlah keterampilan


29

menenun ke segala pelosok Sumatera Barat terutama di Nagari Silungkang.

(Yusuf Affendi, 1981: 15)

Kepandaian menenun tersebut menjadikan masyarakat pengrajin Sumatera

Barat berhasil menciptakan kain-kain yang indah untuk pakaian adat. Keindahan

ragam hias tenun songket selaras dengan ukiran rumah gadang yang menyimpan

makna seni yang mendalam, serta menandakan adanya hubungan yang kuat antara

kesatuan ungkapan seni ukir pada rumah gadang dengan seni sungkit pada

songket. Perwajahan fisiknya memang tidak sama, karena yang satu bangunan dan

yang lainnya berupa kain. Tetapi, ada hubungan yang lebih mendalam lagi dibalik

dari bentuk luar itu, yaitu falsafah hidup yang terbentuk berupa adat. Tanpa

adanya ikatan falsafah dan seni budaya yang mendasarinya, maka seni songket

atau seni bangunanan apa pun tidak akan tercipta di Minangkabau.

Ciri suatu karya seni kerajinan seperti kain songket selain disebabkan oleh

adanya dasar falsafah hidup atau pendirian-pendirian yang diturunkan oleh nenek

moyang, maka ciri itu akan tumbuh pula dipengaruhi seperti cara atau teknik

pengerjaan tenunan, pengaruh dari lingkungan budaya atau gaya hidup baru yang

datang dari luar.

Kerajinan tenun songket ini tidak dapat dipisahkan oleh kaum wanita.

Karena itu, setiap wanita di Nagari Silungkang harus pandai menenun. Hal ini

dimaksudkan agar anak-anak gadisnya memiliki kepandaian untuk bekal hidupnya

nanti, baik untuk dirinya sendiri maupun untuk membantu keluarga. Pada masa

dahulu, kepandaian menenun songket di Silungkang hanya dimiliki oleh kaum

wanita saja. Seorang ibu yang mempunyai kepandaian menenun akan

mengajarkannya lagi kepada anak gadisnya. Seorang anak gadis akan


30

mengajarkannya lagi kepada anak atau cucu mereka dalam satu keturunannya dan

begitulah seterusnya.

Kondisi di pasaran pada saat itu belum terdapat banyak saingan dan masih

terbuka. Silungkang sebagai nagari industri mampu menyerap lapangan kerja bagi

penduduk di sekitarnya. Adanya industri tenun tradisional ini telah membuka

bidang-bidang lain sebagai sektor penunjang industri tenun itu sendiri. Karenanya

banyak tenaga kerja yang diperlukan pada bidang-bidangnya seperti pencelupan,

penganian, pengelosan benang, bengkel-bengkel penyempurnaan seperti alat

setrikaan dan pengepres lipatan kain yang sederhana. (Yusuf Affendi, 1960: 12)

Silungkang telah menjadi pusat pertenunan songket serta mendapatkan

cirinya sendiri melalui waktu yang lama dan pengelolaan yang berubah-ubah dari

satu masa ke masa berikutnya. Modal yang utama dari pengrajin tenun Silungkang

adalah keuletan dan keterampilan, selain dari bakat seni dan kecintaannya pada

pekerjaan tenun itu sendiri, itulah yang menjadi modal penting untuk bertahan dan

menghasilkan tenunan artistik yang bermutu tinggi.

Menenun songket Silungkang terdiri dari 2 tahap pekerjaan, pertama yaitu

menenun dengan konstruksi tenunan rata atau polos. Dan yang kedua menenun

bagian ragam hias yang merupakan bagian tambahan dari benang pakan. Tenunan

dasar yang merupakan konstruksi anyaman polos atau datar, diperoleh dengan

cara mengangkat dan menurunkan benang bergantian dengan irama pergantian 1 -

2 atau 1 – 3. Benang yang dipergunakan kebanyakan dari bahan serat kapas atau

benang sutera. Benang tambahan atau pakan biasanya berbeda dari warna, ukuran

benang, atau bahan seratnya dengan tenunan dasar. Perbedaan itu dimaksudkan

agar ragam hias yang terbentuk dapat segera terlihat dari bagian tenun latarnya.
31

Kain tenun songket dibuat dan didesain dengan mempergunakan benang

emas atau benang perak. Kain tenun songket dibedakan menjadi dua jenis, yaitu :

a. Kain Songket Balopak

Kain songket dengan desain benang emas atau benang perak yang padat,

memenuhi seluruh bidang permukaan kain, sehingga dasarnya hampir

tidak kelihatan kecuali benang emas atau benang peraknya saja sehingga

terlihat lebih mewah.

Gambar 2.11. Songket Silungkang jenis balopak


Sumber : Buku Songket Silungkang (Museum Tekstil, 2013)

b. Kain Songket Batabuar

Kain songket dimana benang emas atau benang perak dengan motif-motif

yang tersebar dan berserakan pada permukaan kain, sehingga dasar kain

masih terlihat. Tenun songket batabuar kadang-kadang mempergunakan

benang yang berwarna untuk membentuk motif sehingga tidak begitu

terlihat gemerlapnya. (Nawir Said, 2007: 24-25)

Gambar 2.12. Songket Silungkang jenis batubuar


Sumber : www.google.com
32

Keindahan alam Minangkabau banyak mengundang para turis lokal

maupun internasional untuk berkunjung ke daerah tersebut. Hal inilah yang

membuat para pengrajin songket di Silungkang menyesuaikan diri dengan

perubahan pasaran seni kerajinan. Pengembangan kain songket Silungkang

diarahkan kepada kain yang mempunyai nilai komersial untuk kebutuhan barang-

barang masa kini.

Dengan perkembangan zaman, maka pengrajin songket Silungkang

memproduksi barang-barang dengan harga yang lebih terjangkau. Songket

Balopak yang lebih banyak berperan atau berfungsi sebagai songket adati, dimana

permintaan songket jenis ini semakin berkurang, sedangkan fungsi dari songket

tersebut masih terbatas. Maka dari itu, jenis songket Batabuar lebih banyak

dikerjakan dan diproduksi oleh pengrajin di daerah Silungkang, karena benang

pakan tambahan yang berupa benang emas dan perak diganti dengan benang

pakan berwarna lainnya. Tetapi, tidak hanya jenis songket Batabuar saja yang

diproduksi, jenis songket Balopak pun juga masih diproduksi di Silungkang yang

disesuaikan dengan pesanan dari konsumen.

Pembuatan tenun songket Batabuar dengan benang pakan berwarna,

mempunyai susunan warna yaitu:

a. Warna dasar (latar) tenunan:

Merah tua, merah kejinggaan, hijau, hijau tua, hijau kebiruan (peacock

blue), biru, dan biru keunguan.


33

b. Warna ragam hias atau benang pakan tambahan:

Kuning terang, kuning kejinggaan, hijau muda, biru muda, merah

kejinggan, merah terang, jingga, ungu, ungu muda, dan putih. (Nawir Said,

2007: 25)

Ragam hias tenun diciptakan oleh teknik menenun yang dikenal dengan

teknik pakan tambahan. Cara mengangkat lusi diatur dengan lidi-lidi, semakin

banyak lidi-lidinya, maka semakin rumit cara pengerjannya. Untuk daerah

Silungkang, ragam hias kain songket lebih banyak ditentukan oleh para konsumen

atau selera pasar. Jadi, terdapat dua macam kain tenun songket menurut benang

yang digunakan, yaitu:

a. Kain songket dengan ragam hias yang dibentuk oleh benang emas atau

perak sebagai pakan tambahan.

b. Kain songket dengan ragam hias yang dibentuk oleh benang yang

berlainan warna dengan warna dasar tenunan.

Ragam hias songket Silungkang tercipta dari suatu irama bentuk atau pola

yang berderet-deret. Pengulangan garis dan bentuk pola dengan dasar kain yang

disusun berimbang supaya sesuai dengan kegunaan songket tersebut sebagai kain

atau selendang. Garis dan pola yang berirama itu diharapkan dapat membentuk

tubuh si pemakai terlihat lebih indah.

Selain warna pada songket yang sudah ditentukan, letak besar atau

kecilnya ragam hias juga sudah ditentukan oleh pengrajin yang sudah ahli. Dan

juga, ragam hias mana yang akan diletakkan untuk bagian kepala kain, badan
34

kain, pengapit kepala, dan hiasan pinggir kain telah diatur menurut keserasian

atau balance, sehingga tercipta kain songket yang indah.

Gambar 2.13. Posisi ragam hias pada kain songket


Sumber : Buku Songket Silungkang (Nawir Said, 2007)

2.3.5 Ragam Hias

Menurut wikipedia bahasa Indonesia ragam hias adalah bentuk dasar

hiasan yang biasanya akan menjadi pola yang diulang-ulang dalam suatu karya

kerajinan atau seni. Karya ini dapat berupa tenunan, tulisan pada kain (misalnya

batik), songket, ukiran, pahatan pada kayu atau batu. (www.id.wikipedia.org)

Ragam hias juga biasa disebut ornamen yang berasal dari bahasa Yunani

“ornare” artinya hiasan atau menghias. Dalam Ensiklopedia Indonesia, ornamen

adalah setiap hiasan bergaya geometrik atau yang lainnya, yang dibuat pada suatu

bentuk dasar dari hasil kerajinan tangan (perabot, pakaian dan sebagainya)

termasuk arsitektur.

Ragam hias merupakan pola hias yang dibuat dengan digambar, dipahat,

atau dicetak, untuk mendukung meningkatnya kualitas dan nilai pada suatu benda

atau karya seni. Ragam hias dapat distilisasi (stilir) sehingga bentuknya
35

bervariasi. Variasi ragam hias biasanya khas untuk suatu unit budaya pada era

tertentu sehingga dapat menjadi petunjuk bagi para sejarahwan atau arkeolog.

Ragam hias selain berfungsi untuk menambah nilai keindahan dari suatu

benda, disamping itu juga dapat ditemukan nilai-nilai simbolik atau maksud-

maksud tertentu yang ada hubungannya dengan pandangan hidup (falsafah hidup)

dari manusia atau masyarakat yang membuatnya, sehingga benda-benda tersebut

memiliki arti dan makna yang dalam dan disertai dengan harapan-harapan

tertentu.

Ragam hias Nusantara dapat ditemukan pada motif batik, tenunan,

anyaman, tembikar, ukiran kayu, dan pahatan batu. Ragam hias ini muncul dalam

bentuk-bentuk dasar yang sama namun dengan variasi yang khas untuk setiap

daerah. Dalam karya kerajinan atau seni Nusantara tradisional, sering kali terdapat

makna spiritual yang dituangkan dalam stilisasi ragam hias. Terdapat ragam hias

asli Nusantara yang biasanya merupakan stilisasi dari bentuk alam atau makhluk

hidup (termasuk manusia), dan ada juga ragam hias yang di adaptasi dengan

pengaruh budaya luar, seperti dari Tiongkok, India, Persia, dan barat.

Sehingga dapat disimpulkan bahwa ragam hias adalah bentuk dasar hiasan

yang biasanya akan menjadi pola yang diulang-ulang dalam suatu karya seni atau

kerajinan. Ragam hias juga merupakan suatu produk seni yang sengaja dibuat atau

ditambahkan dengan tujuan sebagai sarana memperindah atau sebagai hiasan.

Selain itu, ragam hias juga berfungsi untuk menambah nilai estetis dari suatu

benda produk atau barang yang dihias agar lebih bagus dan menarik, serta dapat

menambah nilai finansial (ekonomis) dari benda produk atau barang yang dihias

tersebut.
36

Motif merupakan unsur pokok sebuah ragam hias. Melalui motif, tema

atau ide dasar sebuah ragam hias dapat dikenali sebab perwujudan motif

umumnya merupakan gubahan atas bentuk-bentuk di alam atau sebagai

representasi alam yang kasatmata. Akan tetapi ada pula yang merupakan hasil

khayalan semata, karena itu bersifat imajinatif, bahkan karena tidak dapat dikenali

kembali, gubahan-gubahan suatu motif kemudian disebut bentuk abstrak.

Ragam hias memiliki banyak sekali motif, motif merupakan bentuk dasar

dalam penciptaan atau perwujudan suatu karya ornamen. Motif yang merupakan

gubahan bentuk alam misalnya gunung, awan, dan pohon. Motif imajinatif atau

khayalan misalnya motif singa bersayap dan buroq karena keduanya merupakan

makhluk khayali yang bentuknya merupakan hasil rekaan. Dan, garis-garis zigzag,

berpilin atau berkait, bidang persegi atau belah ketupat merupakan motif abstrak

dalam suatu ragam hias.

Menurut ensiklopedia Indonesia motif merupakan sesuatu yang menjadi

pangkal tema dari sesuatu karya ragam hias artinya setelah motif itu mengalami

proses penyusunan dengan pengulangan-pengulangan bentuk akan diperoleh suatu

pola, baik dibentuk dari unsur garis maupun suatu bentuk figure.

Ragam hias tersebut dapat diterapkan pada media dua dimensi atau tiga

dimensi. Jenis-jenis ragam hias Nusantara berdasarkan motif hiasnya dapat

dikelompokkan menjadi :

a. Motif Hias Geometris

Motif geometris merupakan motif tertua dalam ornamen karena sudah

dikenal sejak zaman prasejarah. Motif geometris menggunakan unsur-unsur rupa


37

seperti garis dan bidang yang umumnya bersifat abstrak artinya bentuknya tak

dapat dikenali sebagai bentuk objek-objek alam. Motif geometris berkembang dari

bentuk titik, garis, atau bidang yang berulang, dari yang sederhana sampai dengan

pola yang rumit.

Disamping bentuk-bentuk abstrak murni, motif geometris adakalanya

menggambarkan objek-objek tertentu tetapi karena bentuknya sudah sedemikian

jauh mengalami penggubahan sehingga sulit dikenali objek asalnya, maka

motifnya menjadi tampak abstrak.

Hampir di seluruh wilayah Nusantara dapat ditemukan ragam oranmen

motif geometris. Rupa-rupanya motif-motif geometris ini sebagian di antaranya

merupakan warisan dan pengembangan motif geometris sebagaimana yang

terdapat pada peninggalan artefak kebudayaan prasejarah yang berasal dari

kebudayaan Dongson. Kain tenun songket yang terdapat di beberapa wilayah

tanah air terutama di Sumatera, jelas sekali menggunakan motif geometris.

Motif geometris lebih banyak memanfaatkan unsur-unsur dalam ilmu ukur

seperti garis-garis lengkung dan lurus, lingkaran, segitiga, segiempat, bentuk

meander, swastika (simbol atau ornamen dengan bentuk yang menyerupai salib

dengan silang-silang membengkok sudut siku-siku, umumnya diartikan sebagai

lambang peredaran semesta atau matahari), bentuk pilin, dan lain-lain. Ragam

hias ini pada mulanya dibuat dengan guratan-guratan mengikuti bentuk benda

yang dihias, tetapi dalam perkembangannya motif ini bisa diterapkan pada

berbagai tempat dan berbagai teknik (digambar, dipahat, dicetak). Ragam hias

geometris banyak dijumpai di seluruh daerah di Indonesia, seperti Jawa,

Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua.


38

b. Motif Hias Sosok Manusia

Ornamen Nusantara dengan motif hias manusia telah ada sejak

kebudayaan prasejarah. Kehadiran motif hias manusia pada umumnya

melambangkan 2 hal yaitu :

1. Sebagai penggambaran nenek moyang. Penggambaran nenek moyang

dalam ornamen nusantara terkait dengan pemujaan leluhur dan

dimaksudkan untuk persembahan. Kepercayaan ini sangat mengakar dan

masih dapat dilacak jejak-jejaknya pada sebagian suku-suku bangsa yang

mendiami kepulauan Nusantara.

2. Simbol kekuatan gaib untuk penolak bala. Motif manusia dalam seni hias

dipercaya memiliki kekuatan magis yang dapat melindungi pemiliknya

dari gangguan setan atau roh jahat.

Ornamen motif manusia hampir dapat ditemui diseluruh wilayah

Nusantara, diterapkan pada benda-benda berukir dari kayu, logam, gading atau

tulang, misalnya pada perisai kayu dari Kalimantan, dan juga dapat ditemukan

pada kain tenun, seperti pada tenun Sumba, Batak, Toraja, dan batik di Jawa.

Penggambaran motif hias manusia dapat dalam bentuk sosok manusia

seutuhnya atau bentuk sebagian saja. Penggambaran sosok manusia secara utuh

antara lain dapat dilihat pada ukir kayu Asmat, ukir batu dan tenun Samba, dan

relief pada dinding candi. Yang berbentu sebagian, dalam arti tidak utuh, seperti

motif wajah atau topeng, mata, telapak tangan, atau bagian tubuh yang lain,

bahakan ada pula yang menggambarkan bagian-bagian vital. Dalam hubungan ini,
39

motif wayang termasuk motif manusia karena pada dasarnya wayang merupakan

penggambaran tokoh nenek moyang atau manusia.

c. Motif Hias Fauna (Binatang)

Motif binatang dengan berbagai jenis dan ragamnya sangat banyak

terdapat pada ornamen Nusantara. Mulai binatang yang hidup di dalam air,

binatang darat, binatang yang dapat terbang atau bersayap, bahkan sampai

binatang-binatang imajinatif atau hasil rekaan semata. Pada umumnya jenis-jenis

binatang itu merupakan satwa yang dapat ditemui di derah Nusantara sesuai

dengan satwa lingkungan di setiap daerah, kecuali binatang imajinatif yang terkait

dengan kepercayaan setempat, binatang mitologi hasil pengaruh dari luar atau

bentuk-bentuk binatang khayal lainnya.

Ornamen motif binatang banyak diterapkan untuk menghias benda-benda

perlatan yang terbuat dari kayu, peunggu, emas dan perak, benda ukir, bangunan,

tekstil atau busana pada batik, sulaman, dan tenun. Pada umumnya munculnya

ornamen motif binatang mengandung maksud-maksud perlambangan. Burung

atau unggas misalnya, mewakili dunia atas, dunia roh, dunia para dewa, dan

sebaliknya binatang air dan melata mewakili dunia bawah, dunia yang gelap,

tetapi juga melambangkan bumi dan kesuburan. Dunia tengah yang dihuni

manusia, terkait dengan aneka binatang yang hidup di darat berkaki empat.

d. Motif Hias Flora (Tumbuhan-tumbuhan)

Motif tumbuh-tumbuhan pada zaman prasejarah belum berkembang. Hal

ini sesuai dengan dinyatakan van der Hoop (1949) bahwa dalam zaman prasejarah

di Indonesia tidak terdapat ornamen tanaman, tetapi kemudian di zaman pengaruh


40

Hindu yang datang dari India, ornamen tumbuh-tumbuhan menjadi sangat umum

sejak menjadi bagian yang utama dalam dunia ornamentasi di Indonesia.

Tidak selamanya motif flora itu mengandung makna simbolik, sebab

terkadang gubahan-gubahan motif tumbuh-tumbuhan dalam ornamen Nusantara

itu lebih menekankan pada segi keindahan hiasan, lebih-lebih jika jenis tanaman

yang digunakan sebagai motif hiasnya itu tidak teridentifikasi dengan jelas,

artinya tidak menggambarkan jenis tanaman atau unsur tanaman tertentu.

Motif hias tumbuh-tumbuhan diterapkan secara luas sebagai ornamen yang

dipahatkan pada batu untuk hiasan candi, pada benda-benda produk mulai dari

yang terbuat dari tanah liat atau keramik, kain bersulam, bordir, tenun, dan batik,

barang-barang terbuat dari emas, perak, kuningan, perunggu, sampai benda-benda

berukir dari kayu.

e. Motif Benda Alam dan Pemandangan

Motif hias benda alam dan pemandangan diciptakan dengan mengambil

inspirasi dari alam, misalnya benda-benda langit seperti matahari, bulan, bintang,

awan, api, air, gunung, perbukitan, dan bebatuan. Perbukitan atau gunung dengan

tanaman dan bunga-bunga yang dilengkapi dengan air dan satwa atau bangunan,

dapat dijadikan motif hias yang oleh van der Hoop disebut motif pemandangan.

f. Motif Hias Benda Teknologis, Kaligrafi, dan Abstrak

Selain benda-benda alam yang dijadikan motif hias dalam ornamen

Nusantara, benda-benda teknologis yakni benda-benda yang dibuat manusia juga

tak luput menjadi motif hias yang menarik. Bendabenda buatan tak terbilang

banyak, seperti dari benda-benda tembikar, instrumen musik, perahu, sampai


41

bangunan dapat dijumpai pada ornamen Nusantara. Semua benda-benda buatan

manusia untuk peralatan dan keperluan hidup sehari-hari digolongkan ke dalam

benda-benda teknologis. Pada umumnya ornamen dengan motif hias benda-benda

teknologis tidak memiliki arti perlambang tertentu, kecuali merupakan bagian dari

informasi atau narasi yang akan disampaikan terkait dengan tema ornamen secara

keseluruhan.

Kaligrafi merupakan tulisan indah atau seni tulis-menulis. Sesungguhnya

kaligrafi tidak terbatas pada aksara Arab, tetapi dalam pengertian khusus biasanya

dikaitkan dengan khat (kaligrafi bertuliskan Arab). Menurut Abay D Subarna

(Visual Arts edisi 21, 2007: 66) sebagai komponen kaligrafi, aksara memiliki

fungsi spiritual, praktis, dan estetis. Meskipun motif hias kaligrafi sudah lama ada,

tetapi motif hias ini menjadi berkembang seiring dengan berkembangnya

kebudayaan Islam di Nusantara. Teristimewa kaligrafi Arab, tidak sekedar

menjadi unsur estetis melainkan juga mengandung pesan-pesan agama yang

biasanya diambil dari Al-qur’an dan Hadis. Oleh karena itu, banyak diterapkan

pada tempat-tempat ibadah seperti masjid.

Motif hias abstrak menunjuk pada motif yang tidak dikenali kembali objek

asal yang digambarkannya atau memang benar-benar abstrak karena tidak

menggambarkan objek-objek yang terdapat di alam maupun objek khayali

gubahan objek alam serta tidak menggunakan unsur tulisan yang terbaca. Berbeda

dengan motif hias geometris yang menggunakan unsur garis dan bidang

geometris, motif hias abstrak menggunakan bentuk yang lebih bebas. Sekalipun

tidak banyak jumlahnya, motif hias abstrak dapat ditemui pada batik, tenun,

maupun ukiran-ukiran.
42

2.3.5.1 Ragam Hias Kain Songket Silungkang

Untuk mengenal ragam hias dari kain tenun, ada kaitannya dengan cara

menenun. Ragam hias kain tenun dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu:

ragam hias yang bersifat dekoratif dan ragam hias yang bersifat fungsional.

a. Ragam hias yang bersifat dekoratif adalah ragam hias yang terdapat pada

kain tenun yang berfungsi untuk hiasan saja, dengan maksud supaya kain

tersebut lebih bersemarak dan hidup. Ragam hias ini biasanya sudah

dimodifikasi bentuknya oleh para penenun.

b. Ragam hias yang bersifat fungsional adalah ragam hias yang ada pada

setiap kain mengandung makna dan arti-arti tertentu serta lebih

menekankan fungsinya untuk kepentingan upacara adat. Pemakaian kain

songket ini tergantung pada umur serta perannya dalam masyarakat.

(Dinas Museum dan Sejarah DKI Jakarta, 1996: 21-22)

Di daerah Silungkang, hiasan pada kain tenun songket umumnya bersifat

dekoratif. Walaupun ada kain yang juga bersifat fungsional. Ragam hias pada

songket silungkang ditampilkan dalam wujud simbol-simbol alam, terutama

dengan mengambil bentuk dasar dari tumbuh-tumbuhan dan binatang. Bentuk-

bentuk tumbuhan dalam motif songket tidaklah digambarkan secara realis,

meskipun unsur alaminya seperti bunga atau daun tetap terlihat, tetapi

penggambarannya hanya berupa stilisasi yang dikembangkan dengan berbagai

variasi.

Motif yang memakai nama-nama binatang penggambarannya tetap secara

fauna, karena masyarakat Minangkabau yang menganut agama Islam berupaya


43

menghindari bentuk verbal binatang yang dianggap sebagai berhala atau

animisme. Penamaan motif umumnya diambil dari kejadian alam dan kata-kata

adat. Ragam hias dihubungkan dengan perilaku atau sifat, hukum yang berlaku di

tengah kehidupan sosial (adat istiadat) dan ajaran agama. Seperti falsafah

kehidupan yang ada di masyarakat Minangkabau “Alam terkembang jadi guru”,

artinya segala sesuatu yang ada pada alam dan lingkungannya dijadikan sebagai

sumber adat.

Ragam hias songket Silungkang jauh lebih sederhana dibandingkan

dengan songket dari daerah lainnya. Ragam hias songket dari nagari Silungkang

menurut Yusuf Affendi (1980: 29), antara lain :

a. Bungo Malur

b. Pucuak Ranggo Patani

c. Kudo-kudo

d. Batanduak

e. Pucuak Jawa

f. Pucuak Kelapa

g. Tigobaleh

h. Kain Balapak Gadang


44

Dibawah ini merupakan motif songket Silungkang, yaitu :

Gambar 2.14. Kembang manggis berantai atau belah ketupat berantai, merupakan
ragam hias favorit dan paling banyak digunakan
Sumber : Buku Songket Silungkang (Museum Tekstil, 2013)

Gambar 2.15. Lumbung padi merupakan ragam hias tenunan Silungkang


yang diperkenalkan pada pertengahan abad ke 20
Sumber : Buku Songket Silungkang (Museum Tekstil, 2013)

Gambar 2.16. Burung merak juga merupakan ragam hias favorit, burung
merak diyakini hidup liar di hutan pada zaman dahulu
Sumber : Buku Songket Silungkang (Museum Tekstil, 2013)
45

Dibawah ini merupakan motif songket Minangkabau serta maknanya :

Gambar 2.17. Motif Pucuak Rabuang


Sumber : Buku Buku Revitalisasi Songket Lama Minangkabau
(Bernhard Bart, 2006)

Motif pucuak rabuang (pucuk rebung) adalah salah satu motif sakral bagi

masyarakat Minangkabau. Pada tenunan songket motif pucuk rebung terdapat

pada kepala kain sarung, bagian bawah sarung dan ujung selendang. Ragam hias

pucuak rabuang yang artinya, yaitu: bambu yang muda dinamakan rabuang

(rebung), setelah dewasa disebut batuang (betung) dan bambu yang sudah tua

dinamakan ruyuang (ruyung). Rebung merupakan makanan dalam setiap upacara

adat dan enak untuk digulai. Betung baik dijadikan pelupuh untuk dinding dan

lantai rumah. Ruyung pun juga mempunyai fungsi yang banyak untuk tiang

rumah, dinding, lantai, jempatan, serta benda-benda kria lainnya. Dari

pemanfaatan bambu dapat diambil pelajaran agar hidup harus berguna selamanya.

Hidup ketika muda berguna dan hidup ketika tua terpakai. Jangan menjadi orang

yang tidak berjasa atau merusak kehidupan orang lain. (Sativa Sutan Aswar, 1999:

65)
46

Gambar 2.18. Motif Kaluak Paku


Sumber : Buku Revitalisasi Songket Lama Minangkabau
(Bernhard Bart, 2006)

Kaluak paku adalah gelung tanaman pakis yang memiliki keindahan dan

kedinamisan. Kaluak paku merupakan bagian dari tanaman paku yang masih

muda yang melingkar atau menggelung ke bagian dalam. Pucuk paku yang pada

awal pertumbuhannya melingkar ke dalam, kemudian akhirnya tumbuh melingkar

ke arah luar. Begitu juga manusia, yang pada tahap awal mengenal dirinya

terlebih dahulu sebelum melakukan sosialisasi dan interaksi dengan

lingkungannya. Kaluak paku juga memiliki makna tentang pentingnya sikap

introspeksi (bergelung ke dalam terlebih dahulu, setelah itu barulah bergelung ke

arah luar). Artinya koreksi kesalahan sendiri, setelah itu baru layak mengoreksi

kesalahan orang lain.

Gambar 2.19. Motif Kaluak Paku Kacang Balimbiang


Sumber : www.google.com
47

Motif kaluak paku kacang balimbiang memiliki makna bahwa ketika anak

telah tumbuh dewasa ia menjadi tanggung jawab mamak atau pamannya. Karakter

kacang balimbing ketika sudah matang, kulitnya langsung pecah (bijinya jatuh ke

tanah dan tumbuh). Ini menyimbolkan karakter paman membimbing keponakan.

Keponakan yang dibimbing kemudian dilepaskan ke kehidupan sosial. Kacang

balimbing adalah sejenis kacang pagar, kulit buahnya yang sudah matang

langsung memecah dan melepaskan isinya.

Gambar 2.20. Motif Saluak Laka


Sumber : Buku Revitalisasi Songket Lama Minangkabau
(Bernhard Bart, 2006)

Laka adalah alas periuk yang terbuat daria anyaman lidi atau rotan yang

dibentuk bundar seperti piring, dipergunakan sebagai alas periuk supaya periuk

dapat diletakkan secara stabil dan sekaligus tidak mengotori lantai. Besar laka

tidak sebesar periuk, melainkan hanya sebesar alas periuk.

Saluak berarti kait atau jalinan. Saluak laka merupakan jalinan lidi atau

jalinan rotan yang sangat kuat sehingga lidi atau rotan itu menyatu dengan sangat

erat dan mampu menyangga periuk yang lebih besar. Motif ini menggambarkan

sistem keakraban kehidupan masyarakat yang jalinan kekerabatannya sangat erat

dalam menggalang kekuatan untuk mendukung tanggung jawab yang sangat berat.

Anyaman laka sangatlah rapih, tidak terlihat pangkal lidi ataupun ujung

lidi yang menyembul keluar, semua tersembunyi ke bagian bawah. Ini


48

menyimbolkan bahwa masyarakat yang bersatu akan memunculkan banyak

kekuatan tetapi tetap rendah hati. Kekuatan tersebut dibangun atas dasar kerja

sama dan keikhlasan. Individu-individu bersatu dan lebur sebagai sebuah

kekuatan bersama. Tidak ada individu yang menonjolkan diri atau merasa lebih

berjasa dari yang lainnya.

Gambar 2.21. Motif Itiak Pulang Patang


Sumber : www.google.com

Motif itiak pulang patang memiliki makna bahwa hidup dalam masyarakat

haruslah seiya sekata, seiring sejalan dan mematuhi peraturan yang berlaku. Motif

ini ingin mengajak masyarakat untuk bisa hidup bersama dan menggambarkan

kerukunan masyarakat Minangkabau yang hidup dalam tatanan kegotong

royongan yang solid.

Gambar 2.22. Motif Sajamba Makan


Sumber : www.google.com
49

Sajamba makan adalah lambang kebersamaan dalam menikmati

keberhasilan. Sajamba makan maksudnya ialah makan beradat dalam upacara adat

di Minangkabau, antara lain makan pada upacara adat. Sajamba makan terdiri dari

empat orang atau enam orang. Motif sajamba makan melambangkan kebersamaan

dalam menikmati rezeki secara bersama-sama tanpa merugikan orang lain serta

tanpa merasa ada yang berlebih atau kurang dan saling menjaga norma dan adat

istiadat dalam kebersamaan.

Gambar 2.23. Motif Tirai


Sumber : www.google.com

Tirai merupakan hiasan dari kain yang diletakkan pada dinding, pintu dan

lainnya, yang berfungsi untuk menambah keindahan suasana yang semarak. Motif

ini menggambarkan keindahan, lambang kemewahan dalam upacara adat

Minangkabau. (www.cobaajamungkinbisa.blogspot.com)

2.3.6 Proses Pembuatan Kain Songket Silungkang

2.3.6.1 Bahan Produksi Pembuatan Kain Songket Silungkang

Untuk mendapatkan sehelai kain songket maka diperlukan sejumlah

bahan-bahan, seperti :
50

a. Benang

Benang tersusun dari serat-serat staple atau filament baik yang berasal dari

alam, sintetis ataupun campuran keduanya. (Dewi Suliyanthini, 2011: 70). Kain

songket silungkang dibentuk dari bahan dasarnya benang tenun yang disebut

benang lusi atau lungsin, dengan satuan ukurannya disebut palu. Hiasan songket

menggunakan benang makao atau benang pakan, dengan satuan ukuran

disebut pak. Benang lusi adalah benang yang disusun sejajar atau vertikal pada

alat tenun, sedangkan benang pakan adalah benang yang masuk keluar pada

benang lusi saat menenun. Benang lusi dan benang pakan memiliki dasar yang

berbeda baik pada warna, ukuran, maupun bahan seratnya. Dari perbedaan itulah

yang kemudian melahirkan ragam hias kain songket yang menonjol dan terlihat

karena berbeda dengan tenun latarnya. (www.melayuonline.com)

Untuk membuat kain songket diperlukan benang dasar dan benang motif.

Benang dasar yang digunakan yaitu benang kapas dan benang sutera, sedangkan

untuk benang motif yang digunakan yaitu benang emas, benang perak, dan

benang sutera berwarna.

Gambar 2.24. Benang


Sumber : www.google.com

1. Benang kapas adalah benang yang berasal dari tanaman kapas,

Gossypium. Tanaman kapas banyak ditanam masyarakat Indonesia. Serat


51

kapas diperoleh dari buah kapas yang dipilin atau dipintal dengan alat

pemintal hingga menjadi benang.

2. Benang sutera yang sudah dikenal di Jawa sejak kira-kira abad ke 10,

diperoleh dari kepompong ulat sutera. Proses pembuatan benang sutera

yaitu kepompong yang dilunakkan di dalam air panas, kemudian serabut

dipisahkan sehingga menghasilkan benang-benang yang sangat panjang.

Sampai sekarang benang sutera masih digunakan oleh pengrajin tenun di

Sumatera Barat dan daerah lainnya, seperti Bali, Palembang dan Jepara di

Jawa Tengah.

3. Benang emas dan benang perak sejak dahulu telah diimpor dari Arab dan

India. Benang emas atau perak digunakan sebagai pakan tambahan yang

ditenun bersamaan dengan pakan dasar. Tetapi, saat ini benang emas dan

benang perak banyak diganti dengan kawat atau pita plastik yang dililit

benang berwarna emas ataupun perak. (Dhorifi Zumar, 2007: 19-20)

b. Zat Pewarna

Zat pewarna digunakan untuk memberikan warna pada benang. Pewarna

benang menggunakan bahan-bahan alami yang terbuat dari tumbuh-tumbuhan,

akar, daun, buah, dan kulit kayu yang mudah ditemukan di sekitar lingkungan.

(Dhorifi Zumar, 2007: 20)

Pada masa lalu pewarnaan benang lusi dilakukan secara tradisional dan

proses pewarnaannya memerlukan waktu yang lama serta proses pengerjaan yang

rumit. Sebelum diberi warna, benang harus dibersihkan dari kotoran-kotoran dan

unsur-unsur lain yang akan menghalangi masuknya zat pewarna. Kemudian,


52

benang diberi zat pemutih (soda abu). Setelah itu, benang dibagi menjadi

beberapa bagian yang kemudian dicelup dengan warna yang diperlukan.

Selanjutnya, proses pewarnaan dilakukan dengan cara merebus bahan-bahan

pewarna dalam air. Untuk menghasilkan warna yang diinginkan atau

mengkombinasikan warna, dilakukan pada saat mencampur bahan dengan air.

Setelah proses ini, maka benang dijemur dan dikeringkan.

(www.melayuonline.com)

Untuk mencegah agar warna tidak luntur dan pudar sesudah proses

pencelupan maka dalam larutan pewarna ditambahkan zat pembantu yaitu tawas,

garam atau cuka. Hasil dari pencelupan zat warna juga tergantung dari campuran

jumlah bahan pewarna dengan jumlah air. Tetapi, dengan perubahan zaman zat

pewarna alami secara berangsur-angsur sudah mulai ditinggalkan karena proses

pembuatan yang lama dan hasil warnanya kurang begitu menarik, maka dari itu

sekarang para pengrajin lebih memilih untuk menggunakan zat pewarna sintetis

yang lebih efisien, karena zat pewarna sintetis lebih mudah didapatkan, lebih

murah, lebih praktis dalam proses penggunaannya, serta warna yang dihasilkan

pun tidak cepat luntur dan lebih menarik.

Seiring dengan perkembangan zaman para pengrajin dapat membeli

langsung benang berwarna yang sudah banyak diproduksi oleh pabrik-pabrik

tekstil.

Gambar 2.25. Macam-macam warna


Sumber : www.google.com
53

c. Warna Sebagai Perlambang

Kata warna berasal dari bahasa Sansekerta, artinya corak atau rupa. Ada

juga kata yang mendekati warna, seperti rona warna (Jawa). Dalam adat istiadat

Minangkabau, warna mempunyai perlambang. (H.B.Dt.Tumbidjo, 1979: 145)

Ada tiga macam warna pokok, yaitu :

1. Kuning : melambangkan kebesaran, keagungan dan kehormatan.

2. Merah : melambangkan berani dan tahan uji.

3. Hitam : melambangkan kepemimpinan dan tahan tempa.

Selain warna tersebut, ada beberapa warna lain yang disertakan, yaitu:

1. Putih : melambangkan alim ulama yang menyebarkan paham

kesucian, kejujuran, serta berbudi luhur di tengah

masyarakat.

2. Biru : melambangkan ilmu pengetahuan, cerdik atau pandai.

3. Hijau : melambangkan perdamaian dan harapan masa depan yang

baik.

2.3.6.2 Peralatan Produksi Pembuatan Kain Songket Silungkang

Peralatan untuk membuat tenun songket silungkang persis seperti tenun di

Pandai Sikek. Alat tenun gedokan di Silungkang dibuat sendiri dan terbuat dari

kayu atau bambu yang disebut “pelantai”. Alat tenun ini berukuran 2 x 1,5 meter.

Pelantai tersebut ditempatkan pada suatu tempat yang disebut pamedangan (tempat

khusus untuk menenun songket). (www.indonesia.travel.id)


54

Pelantai terdiri dari beberapa bagian, yaitu:

1. Tonggak Pelantai adalah empat tiang kayu utama yang terdapat pada

pelantai dan dihubungkan oleh balok kayu kecil untuk mengikat bagian

depan dan belakang pelantai agar menjadi satu kesatuan.

2. Selayan (Selayar) adalah kayu yang posisinya melintang sebagai

penggantung tali Sikek (sisir) dan tali Karok (gun).

3. Tali Karok (gun) dan Tali Sikek (sisir). Tali karok adalah tali untuk

menggantung Sikek (sisir) tenun yang menghubungkan ke tiang gantungan

Selayan.

4. Karok (gun) adalah dua mistar yang dilengkapi dengan tali-tali mata Gun

yang jumlahnya sama dengan jumlah benang lusi yang direntangkan.

Karok atau gun digunakan untuk mengatur benang lusi yang terletak di

atas dan di bawah. Karok ini digerakkan dengan menginjak-injakan kaki

pada dua bilah kayu atau bambu yang terdapat di bagian bawah.

5. Bun Kain (kayu penggulung) dibuat dari kayu berbentuk balok (di

Silungkang) bulat panjang yang digunakan untuk menggulung kain yang

telah di tenun.

6. Bun Benang (kayu penggulung) dibuat dari kayu bulat panjang yang

digunakan untuk menggulung benang dan diletakkan di bagian depan

pelantai.

7. Injak-injak (Tijak-tijak) adalah dua buah bambu atau balok kecil yang

terletak di bawah alat tenun, tepatnya di bawah Karok. Balok atau bilah

kecil yang satu terletak di depan dan yang satunya di belakang,


55

dipergunakan untuk meletakkan kaki si penenun yang mempunyai

hubungan dengan Karok.

8. Balero atau Mistar Silang Lusi adalah dua buah mistar dari bambu atau

kayu yang ringan untuk membagi dua benang lusi menurut hitungan ganjil

dan genap. Balero atau palapah ayam akan mempermudah benang mana

yang akan di ungkit.

9. Lidi-lidi Sungkitan yang diambil dari daun pohon kelapa (nyiur) atau aren

(enau) dipergunakan untuk membantu membuat ragam hias motif songket.

Sebelum mulai menenun, lidi-lidi ini sudah dipasang pada benang pakan.

10. Pancukia adalah sejenis kayu tipis atau bambu yang dibuat tipis dan

dipergunakan untuk mengatur motif. Dengan menggunakan alat ini

pengrajin dapat menentukan benang mana saja yang akan diungkit untuk

tempat masuknya benang pembuat motif kain tenun.

11. Turak adalah alat yang dipergunakan untuk membawa benang lusi dari kiri

ke kanan atau sebaliknya dari kanan ke kiri pada waktu menenun. Turak

terbuat dari sepotong bambu seperti tabung yang mempunyai panjang 40 –

50 cm.

12. Tempat duduk pelantai fungsinya yaitu untuk tempat duduk bagi pengrajin

yang terbuat dari papan. (Nawir Said, 2007: 18-19)

Gambar 2.26. Alat Tenun Songket


Sumber : Buku Songket Silungkang (Nawir Said, 2007)
56

2.3.6.3 Proses Pembuatan Kain Songket

Pembuatan tenun songket silungkang melalui dua tahapan. Tahap pertama

adalah menenun kain dasar dengan konstruksi tenunan rata atau polos. Dan tahap

kedua adalah menenun bagian ragam hias yang merupakan bagian tambahan dari

benang pakan. Pada tahap pertama benang-benang yang akan dijadikan kain dasar

dihubungkan ke paso. Posisi benang yang membujur ini oleh masyarakat

Silungkang disebut “benang tagak”. Setelah itu benang-benang tersebut

direnggangkan dengan alat yang disebut palapah.

Pada waktu memasukkan benang-benang yang arahnya melintang, benang

tagak direnggangkan lagi dengan palapah. Pemasukkan benang-benang yang

arahnya melintang ini menjadi relatif lebih mudah karena masih dibantu dengan

alat yang disebut pancukia. Setelah itu, pengrajin menggerakkan karok dengan

menginjak salah satu tijak-panta untuk memisahkan benang sedemikian rupa,

sehingga ketika benang pakan yang digulung pada kasali yang terdapat dalam

skoci atau turak dapat dimasukkan dengan mudah, baik dari arah kiri ke kanan

(melewati seluruh bidang karok) maupun dari kanan ke kiri (secara bergantian).

Benang yang posisinya melintang itu ketika dirapatkan dengan karok yang bersuri

akan membentuk kain dasar.

Tahap kedua adalah pembuatan ragam hias dengan benang makao (benang

emas atau benang yang berwarna lain). Ragam hias tenun diciptakan dengan

teknik menenun yang dikenal dengan teknik pakan tambahan. Caranya sedikit

rumit karena untuk memasukkannya ke dalam kain dasar harus melalui

perhitungan yang teliti. Dalam hal ini bagian-bagian yang menggunakan benang

lusi ditentukan dengan alat yang disebut pancukia terbuat dari bambu. Biasanya,
57

pekerjaan ini membutuhkan waktu yang cukup lama karena benang makao harus

dihitung satu persatu dari pinggir kanan kain sampai pinggi kiri kain, menurut

hitungan tertentu sesuai dengan contoh motif yang akan dibuat. Setelah jalur

benang makao itu dibuat dengan pancukia, maka ruang untuk meletakkan turak itu

diperbesar dengan alat yang disebut palapah. Selanjutnya, benang tersebut

dirapatkan satu demi satu, sehingga membentuk ragam hias yang diinginkan.

Lama tidaknya pembuatan suatu tenun songket ini bergantung pada jenis

tenunan yang dibuat, ukuran, kehalusan, dan kerumitan motifnya. Semakin halus

dan rumit motif songketnya maka semakin lama pengerjaannya. Pembuatan sarung

dan atau kain misalnya, memerlukan waktu kurang lebih satu bulan. Bahkan

pembuatannya bisa lebih dari satu bulan karena setiap harinya seorang pengrajin

rata-rata hanya dapat menyelesaikan kain sepanjang 5-10 cm.

2.3.7 Fungsi Kain Songket Silungkang

Fungsi kain tenun songket secara tradisional di Minangkabau selalu

identik dengan busana-busana adat. Dari masing-masing daerah tersebut

mempunyai bentuk dan busana yang berbeda-beda. Masyarakat Minangkabau

khususnya di daerah Payahkumbuh dan Tanjung Sungayang (Batusangkar),

masyarakatnya masih mempertahankan keberadaan dan menggunakan pakaian

adat pada waktu pelaksanaan upacara tertentu. Untuk setiap upacara adat

mempunyai pakaian adat tersendiri yang tergantung pada umur, dan perannya

dalam masyarakat, serta tergantung dengan upacara yang akan dihadiri. (Dinas

Museum dan Sejarah DKI Jakarta, 1996: 41)


58

Misalnya dalam upacara perkawinan tidak semua dapat menggunakan

pakaian adat yang sama. Gadis remaja yang belum menikah akan berbeda dengan

orang yang sudah menikah dan berbeda juga dengan orang yang sudah

mempunyai anak. Pakaian adat pria kepala suku juga berbeda dengan pakaian adat

orang biasa.

Pemakaian kain tenun songket sebagai bahan busana adat pada mulanya

merupakan pengaruh unsur-unsur luar, sejalan dengan perkembangan kain tenun

songket Nusantara. Berbagai alkuturasi yang terjadi dari generasi ke generasi.

Proses alkuturasi tidak dapat dihindarkan dalam perkembangan pakaian adat,

khususnya kain tenun songket.

Pembuatan songket pada masa kini, disesuaikan dengan permintaan

pemesanan yang ada dipasaran. Walaupun kain tenun songket tradisional sudah

mulai berkurang, tetapi masyarakat Minangkabau masih tetap memelihara kain

tenun tradisional ini dengan menggunakan dan memakai kain songket ini untuk

menghadiri prosesi adat yang sakral seperti, meminang, pernikahan, menyemat

gelar adat, mendirikan rumah adat, dan lain sebagainya.

Kain songket mempunyai fungsi, seperti :

a. Tengkuluk yang dipakai oleh wanita untuk tutup kepala. Tengkuluk

merupakan selendang dengan desain songket yang dibentuk pada kedua

ujungnya menyerupai bentuk tanduk kerbau.

b. Selendang/sandang, kain songket ini dipakai pada bahu wanita atau bahu

laki-laki dan dipakai juga oleh penghulu.

c. Sisamping, kain songket yang khusus dipakai oleh laki-laki yang di

ikatkan di pinggang.
59

d. Cawek, kain songket ini dipakai khusus oleh laki-laki di pakai sebagai ikat

pinggang.

e. Uncang, yaitu kantong tempat sirih dan perlengkapannya.

f. Tarawi, yaitu kain songket berbentuk selendang yang dipakai dalam

upacara perkawinan. (Dinas Museum dan Sejarah DKI Jakarta, 1996: 42-

43)

2.4 Kerangka Berfikir

Indonesia mempunyai seni dan budaya yang beraneka ragam, setiap

daerah pasti mempunyai corak dan ciri khasnya tersendiri. Kain tradisional

merupakan salah satu warisan leluhur dari nenek moyang bangsa Indonesia secara

turun-temurun. Salah satu kain tradisional itu adalah kain songket yang sudah ada

sejak jaman kerajaan Sriwijaya. Kain songket tidak hanya digunakan untuk

upacara adat yang sakral, kini penggunaan kain songket berkembang pesat dan

sudah mulai digunakan untuk busana. Beberapa perancang busana juga membuat

suatu inovasi pada kain songket menjadi suatu produk yang dapat disesuaikan

dengan kebutuhan trend fashion saat ini.

Songket Palembang dan Songket Pandai Sikek adalah kain songket yang

sangat terkenal berasal dari daerah Sumatera Selatan dan Sumatera Barat. Padahal

masih banyak daerah lainnya yang juga menghasilkan kain-kain songket yang

indah. Seperti di Padang, selain songket pandai sikek yang terkenal dengan

pemakaian benang emasnya yang penuh sehingga terkesan mewah, daerah

Silungkang juga mempunyai kain songket yang disebut dengan kain songket
60

Silungkang. Kain songket Silungkang mempunyai motif yang lebih sederhana

dibandingkan dengan kain songket Pandai Sikek.

Kain songket Silungkang mempunyai motif yang sangat beragam seperti

motif dari tumbuh-tumbuhan, binatang ataupun dari benda-benda yang ada di

alam sekitar. Motif-motif yang ada pada kain songket memperlihatkan ajaran dan

adat istiadat masyarakat Minangkabau itu terlihat dari pepatah “Alam terkembang

jadi guru”, artinya yaitu segala sesuatu yang ada pada alam dan lingkungannya

dijadikan sebagai sumber adat. Adat istiadat bagi masyarakat Minangkabau

memiliki makna yang sangat dalam, karena masyarakat Minangkabau sangat

mencintai dan menghargai keindahan alam disekitarnya.

Pembuatan kain songket yang dimulai dengan proses pewarnaan benang,

menyusun benang dasar sampai dengan pembuatan ragam hias dilakukan secara

manual oleh para penenun. Berbekal pengetahuan pembuatan kain songket secara

turun-temurun, para pengrajin masih mempertahankan pembuatan kain songket

Silungkang secara tradisional. Kain songket Silungkang digunakan untuk acara-

acara adat seperti meminang, pernikahan, menyemat gelar adat, mendirikan rumah

adat, dan lainnya.

Dalam penelitian ini akan mengetahui songket Silungkang yang selama ini

kurang dikenal, dilihat dari ragam hias dan juga mengetahui makna dari ragam

hias tersebut, proses pembuatan, fungsi, hingga perubahan-perubahan yang

dialami songket Silungkang, sehingga songket Silungkang tidak hanya dikenal

oleh masyarakat dari daerah Silungkang saja, tetapi juga dapat dikenal oleh

masyarakat dari daerah lainnya.


BAB III

METODE PENELITIAN

3.9 Tujuan Operasional Penelitian

Secara operasional, penelitian ini akan mencoba mengidentifikasi,

memahami, dan menjelaskan mengenai kain songket Silungkang dengan berbagai

ruang lingkupnya, yaitu mengkaji bentuk kain songket Silungkang yang terkait

dengan ragam hias, proses pembuatan, serta fungsi dari kain songket Silungkang,

sehingga masyarakat lebih mengetahui dan mengenal kain songket Silungkang.

3.10 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di beberapa tempat yaitu di desa Silungkang, di

Jalan Lintas Sumatera ruas Sawahlunto-Solok tepatnya di toko-toko yang

memproduksi kain songket Silungkang, kampung tenun Batu Manonggou salah

satu daerah yang banyak terdapat pengrajin kain songket Silungkang, serta Dinas

Perindustrian dan Perdagangan kota Sawahlunto. Penelitian ini dilakukan selama

bulan Mei-Juni 2015.

3.11 Metode Penelitian

Metode penelitian adalah cara yang dipakai dalam mengumpulkan data.

(Suharsini Arikunto, 1998: 222) Penelitian ini menggunakan penelitian kualitatif,

sesuai dengan tujuan peneliti yaitu untuk mendapatkan informasi atau gambaran

mengenai perkembangan kain songket Silungkang. Maka dari itu, metode yang

digunakan adalah metode penelitian deskriptif. Menurut Best (1982: 119)

61
62

penelitian deskriptif merupakan metode penelitian yang berusaha menggambarkan

dan menginterpretasi objek sesuai dengan apa adanya.

Menurut Prastowo (2012: 183) metode penelitian deskriptif dengan jenis

penelitian kualitatif masuk kedalam jenis metode penelitian lapangan. Metode

penelitian lapangan merupakan metode penelitian kualitatif yang dilakukan di

tempat atau lokasi dilapangan. Sementara itu, Nawawi dan Martini (1994: 73)

mendefinisikan metode deskriptif sebagai metode yang melukiskan suatu keadaan

objektif atau peristiwa tertentu berdasarkan fakta-fakta yang tampak atau

sebagaimana mestinya yang kemudian diiringi dengan upaya pengambilan

kesimpulan umum berdasarkan fakta-fakta historis tersebut.

Menurut West (1982) penelitian ini juga sering disebut non-eksperimen,

karena pada penelitian ini peneliti tidak melakukan kontrol dan memanipulasi

variabel penelitian. Dengan metode deskriptif, peneliti memungkinkan untuk

melakukan hubungan antarvariabel, menguji hipotesis, mengembangkan

generalisasi dan mengembangkan teori yang memiliki validitas universal.

Sehingga dapat disimpulkan bahwa metode penelitian deskriptif juga

merupakan penelitian lapangan, dimana pengumpulan data untuk mengetes

pertanyaan penelitian ataupun hipotesis yang berkaitan dengan keadaan dan

kejadian sekarang. Metode ini menyajikan secara langsung hakikat hubungan

antar peneliti dan informan, objek atau subjek yang diteliti juga sesuai dengan apa

adanya.
63

3.12 Fokus Penelitian

Penelitian ini terfokus pada “ Kain Songket Silungkang”. dalam penelitian

ini peneliti akan mengkaji dari segi ragam hias, proses pembuatan, dan fungsi.

Adapun sub fokus dalam penelitian ini adalah :

a. Kain songket Silungkang dilihat dari ragam hias

b. Kain songket Silungkang dilihat dari proses pembuatan

c. Kain songket Silungkang dilihat dari fungsi (berdasarkan kesempatan

pemakaian)

3.13 Pertanyaan Penelitian

Untuk memperoleh dan mengumpulkan data, peneliti menggunakan alat

yang digunakan untuk mengukur fenomena alam maupun sosial yang diamati.

(Sugiono, 2013: 148) Dalam penelitian ini digunakan instrumen pengamatan

langsung, pencatatan data, dan pedoman wawancara.

Berikut beberapa pertanyaan penelitian yang mengacu pada sub fokus

penelitian tentang kain songket Silungkang :

1. Sejak kapan kain songket Silungkang sudah dibuat?

2. Seperti apakah ciri khas dari kain songket Silungkang?

3. Ada berapa macam ragam hias yang dimiliki kain songket Silungkang?

4. Apakah setiap motif mempunyai makna/arti tersendiri?

5. Warna apa saja yang digunakan kain songket Silungkang?

6. Apakah warna yang digunakan dalam kain songket Silungkang


mempunyai arti?

7. Bagaimana tekstur kain songket Silungkang?


64

8. Bagaimana proses pembuatan kain songket Silungkang?

9. Kain songket Silungkang dapat digunakan pada upacara apa saja?

10. Apakah ada peraturan dalam menggunakan kain songket Silungkang?

3.14 Teknik Pengumpulan Data dan Perekaman Data

Dalam penelitian ini, teknik pengumpulan data yang digunakan adalah:

1. Sumber Tertulis

Sebelum melakukan penelitian, langkah awal yang dilakukan adalah

dengan mengumpulkan data dari sumber tertulis yaitu studi pustaka yang

bertujuan untuk membantu menelaah konsep yang relevan dengan masalah, dalam

penelitian kualitatif deskriptif teori digunakan sebagai awal menjawab pertanyaan

penelitian sesungguhnya, pandangan deduktif menuntun peneliti dengan terlebih

dahulu menggunakan teori sebagai alat, ukuran, dan bahkan instrumen untuk

membangun hipotesis. Sehingga peniliti secara tidak langsung akan menggunakan

teori sebagai “ kacamata kuda ” dalam melihat masalah peneliti. (Suharsimin

Arikunto, 1995, 26) Data-data yang diperoleh dari buku, kamus, majalah, koran,

artikel, dan internet yang berhubungan dengan penulisan ini.

2. Observasi

Observasi atau pengamatan dilakukan dengan cara mengamati secara

langsung obyek penelitian (kain songket Silungkang) dengan kegiatan keseharian

pengrajin songket, untuk mengumpulkan dan mengidentifikasi karakteristik dari

obyek yang dikaji, peneliti dalam penelitian ini menggunakan observasi pasif

yaitu peneliti datang ke tempat pengrajin songket melihat secara langsung proses

pembuatan kain songket Silungkang mulai dari proses pewarnaan benang,


65

pemasangan benang ke alat tenun, sampai proses menenun, tetapi tidak ikut

terlibat dalam kegiatan tersebut.

Pengumpulan data dengan cara observasi langsung atau dengan

pengamatan langsung adalah pengambilan data dengan menggunakan mata tanpa

adanya pertolongan alat standar lain untuk keperluan tersebut. (Moh Nazir, 2005:

175) Dalam penelitian ini dilakukan observasi langsung kepada pengrajin tenun

kain songket Silungkang yang berada di desa Silungkang.

3. Wawancara

Dalam wawancara informasi data atau keterangan diperoleh langsung dari

responden atau informan dengan cara tatap muka dan berdialog. Wawancara

adalah proses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya

jawab, sambil bertatap muka dengan si narasumber atau pewawancara dengan si

penanya atau responden, menggunakan alat yang dinamakan interview guide

(panduan wawancara). (Moh Nazir, 2005: 194) Wawancara yang dilakukan adalah

wawancara terbuka yang artinya bahwa informan atau orang yang diwawancarai

itu mengetahui bahwa mereka sedang diwawancarai serta mengetahui tujuan dari

wawancara tersebut. Dalam penelitian, sampel penelitian kualitatif menggunakan

teknik non probabilitas, yaitu suatu teknik pengambilan sampel yang tidak

didasarkan pada rumusan statistik, tetapi lebih kepada pertimbangan subyektif

peneliti yang didasarkan pada jangkauan dan kedalaman masalah yang akan

diteliti, konsekuensi dari dasar pemikiran tersebut adalah pemilihan sampel tidak

tergantung pada kuantitas tetapi lebih kepada kualitas orang yang akan diteliti

disebut sebagai informan. (Jonatan Sarwono, 2006: 205)


66

Pertanyaan yang ingin disampaikan dicatat dan direkam. Tujuan dari

teknik wawancara ini adalah untuk menghindari sikap subyektif. Dengan

demikian responden akan menjawab pertanyaan apa adanya tanpa ditambah

dengan pertanyaan yang sebenarnya.

Untuk memperoleh hasil yang lebih lengkap dan mendalam, narasumber

atau informan yang terpilih adalah orang-orang yang mengerti dan mengetahui

perihal kain songket Silungkang. Peneliti melakukan wawancara kepada 5 (lima)

orang informan yaitu pengrajin, pengusaha, pegawai Dinas Perindustrian dan

Perdagangan kota Sawahlunto serta orang-orang yang memiliki wawasan,

pengalaman dan pemahaman tentang kain songket Silungkang.

4. Dokumentasi

Digunakan untuk membantu menelaah dan menganalisis data visual

berupa foto-foto, gambar bentuk motif kain songket Silungkang yang dijadikan

ragam hias pada kain songket Silungkang, proses pembuatan, dan semua yang

berkaitan dengan kain songket Silungkang, serta keadaan masyarakat serta

lingkungan sekitar Silungkang. Untuk membantu peneliti dalam mengumpulkan

data, digunakan handphone untuk merekam dan mengambil foto pada saat

wawancara.

3.15 Analisis Data

Analisis data adalah proses mencari dan menyusun secara sistematis data

yang diperoleh dari hasil wawancara, catatan lapangan dan dokumentasi, dengan

cara mengorganisasikan data ke dalam kategori, menjabarkan ke dalam unit-unit,

melakukan sintesa, menyusun ke dalam pola, memilih mana yang lebih penting
67

dan yang akan dipelajari, serta membuat kesimpulan sehingga mudah dipahami

oleh diri sendiri maupun orang lain. (Sugiyono, 2002: 335)

Dalam menganalisis data penelitian, menurut Milles dan Huberman,

analisis dalam penelitian kualitatif terdiri dari tiga alur yang meliputi reduksi data,

penyajian data, dan penarikan kesimpulan atau verifikasi. (Matthew B. Milles dan

A. Michael Huberman, 1992: 16) Ketiga kegiatan tersebut saling berkaitan satu

sama lain pada saat pengumpulan data dan setelah pengumpulan data. Artinya,

analisis kualitatif merupakan upaya yang berlanjut, berulang dan terus-menerus.

Gambar 3.1. Model Analisis Interaktif Miles dan Huberman


(Diadaptasi dari Miles dan Huberman, 2007: 20)

1. Tahap Data Collection (pengumpulan data)

Data collection merupakan tahap pengumpulan data melalui data dokumen

(triangulasi) dan masih berupa data dasar.

2. Tahap Data Reduction (reduksi data)

Reduksi data merupakan suatu proses pemilihan, pemusatan perhatian

pada penyederhanaan transformasi data “kasar” yang muncul dari catatan-catatan

tertulis di lapangan. Proses ini berlangsung selama penelitian dilakukan, dari awal

sampai akhir penelitian.


68

3. Tahap Data Display (penyajian data)

Penyajian data merupakan sekumpulan informasi tersusun yang memberi

kemungkinan untuk menarik kesimpulan dan pengambilan tindakan.

4. Tahap Conclution Drawing (verifikasi data)

Menurut Milles dan Huberman merupakan penarikan kesimpulan dan

verifikasi. Kesimpulan awal yang dikemukakan masih bersifat sementara dan

akan berubah bila tidak ditemukan bukti-bukti yang kuat dan mendukung pada

tahap pengumpulan data berikutnya. Tetapi, apabila kesimpulan yang

dikemukakan pada tahap awal didukung oleh bukti-bukti yang valid dan konsisten

saat penelitian kembali ke lapangan mengumpulkan data, maka kesimpulan yang

dikemukakan merupakan kesimpulan yang kredibel. (Sugiyono, 2013: 334)

3.16 Pemeriksaan Keabsahan Data

Data dianalisis dengan teknik triangulasi data. Triangulasi data adalah

teknik pengumpulan data yang bersifat menggabungkan dari berbagai teknik

pengumpulan data dan sumber data yang telah ada. Teknik tersebut bertujuan

untuk mencari kebenaran tentang fenomena, tetapi lebih pada peningkatan

pemahaman peneliti terhadap apa yang telah ditemukan. (Sugiyono, 2002: 241)

Untuk keperluan pengecekan terhadap data itu, data yang berasal dari

sumber tertulis atau kepustakaan yang digunakan sebagai pedoman perancang

dikumpulkan, disusun dan dikelompokkan untuk kemudian dipertemukan dengan

data-data dari kenyataan yang diperoleh di lapangan, yaitu hasil wawancara dari

ahli yang mengetahui tentang kain songket Silungkang (narasumber terpilih).

Serta data-data visual berupa foto bentuk dari kain songket Silungkang. Teknik
69

tersebut untuk memeriksa keabsahan data yang bertujuan untuk membandingkan

ada tidaknya kecocokan antara data yang diperoleh dari sumber tertulis dengan

data yang diperoleh di lapangan.

Data-data tersebut kemudian dianalisis dengan cara menarik kesimpulan

secara deduktif, yaitu yang bersifat umum mengenai kain songket Silungkang,

sampai yang bersifat khusus yaitu produk busana dari kain songket Silungkang.
BAB IV

TEMUAN-TEMUAN PENELITIAN

4.1 Lokasi Penelitian

Dalam melaksanakan penelitian mengenai songket Silungkang ini, lokasi

penelitian dilakukan di sekitar desa Silungkang Jalan Lintas Sumatera ruas

Sawahlunto-Solok.

4.1.1 Nagari Silungkang

Silungkang adalah suatu daerah dataran rendah cekung berbenttuk kuali

pada gugusan Bukit Barisan yang terletak di antara Solok dan Sawahlunto. Nagari

ini dilingkari oleh bukit-bukit dan rimba-rimba pada dinding sebelah kiri dan

kanannya. Beberapa desa di Silungkang, yaitu Silungkang duo (II) dan

Silungkang tigo (III) yang tersebar di bukit-bukit dan lembah-lembah, dipenuhi

dengan para penenun dan tukang hani yang bekerja di rumah-rumah mereka di

lereng bukit. Sedangkan, produk-produk yang dihasilkan dijual di toko-toko

sepanjang Jalan lintas Sumatera yang membelah pemukiman dan menghubungkan

dengan pantai barat dan timur Sumatera.

Hampir disetiap rumah di daerah ini terdapat para penenun dan tukang

hani yang merupakan sumber penyokong pendapatan keluarga yang sangat

penting. Tetapi, sekarang kegiatan menenun telah menyebar dari desa-desa di

Silungkang ke seluruh kota di Sawahlunto.

70
71

4.2 Data Informan

Untuk mendapatkan data tentang kain songket Silungkang, peneliti

melakukan wawancara dengan berbagai narasumber, yaitu :

1. Ibu Rita Kurnia – umur 51 tahun adalah pemilik, pengrajin, dan pengusaha

“INJ” salah satu toko dan tempat pembuatan songket Silungkang. Seorang

pengusaha songket yang telah lama bergelut di bidang pembutan songket

Silungkang.

2. Ibu Ainaul Mardiau – umur 60 tahun adalah pemilik, pengrajin, dan

pengusaha “Aina” salah satu toko dan tempat pembuatan songket

Silungkang. Seorang pengusaha songket yang telah lama bergelut di bidang

pembutan songket Silungkang.

3. Ibu Mahdalena – umur 35 tahun adalah pemilik, pengrajin, dan pengusaha

“Ellen Songket” salah satu toko dan tempat pembuatan songket Silungkang.

4. Bapak Nofriadi umur 27 tahun dalah Pegawai Kontrak Dinas

Perindagkopnaker Kota Sawahlunto

5. Ibu Ira Andriani – umur 35 tahun berprofesi sebagai pengrajin songket

Silungkang

Tabel 4.1. Biodata narasumber

No. Nama Tempat Pekerjaan Kode

1. Rita Kurnia Kampung Tenun Pengusaha songket (HW1)

Batu Mananggau

Silungkang III
72

2. Ainaul Mardiau Jln. Lintas Pengusaha songket (HW2)

Sumatera, Desa

Silungkang

3. Mahdalena Lunto Timur, Pengusaha songket (HW3)

Sawahlunto

4. Nofriadi Jln. Soekarno Hatta Pegawai Dinas (HW4)

Pasar Baru, Perindagkopnaker

Kecamatan Kota Sawahlunto

Barangin, Kota

Sawahlunto

5. Ira Andriani Kampung Tenun Pengrajin songket (HW5)

Batu Mananggau

Silungkang III

4.3 Temuan Penelitian

Penelitian ini menggunakan instrumen pengamatan langsung, pencatatan

data, dan pedoman wawancara. Wawancara menggunakan pedoman wawancara

dengan pertanyaan yang menyangkut motif, proses pembuatan, serta fungsi kain

songket Silungkang sebagaimana dipaparkan dalam bahasa dan uraian peneliti

sendiri setelah menganalisis data yang diperoleh dari lapangan dan berdasarkan

hasil wawancara dengan kelima narasumber.


73

4.3.1 Songket Silungkang Kebudayaan Masyarakat Minangkabau

Bagi masyarakat Minangkabau, falsafah alam mempunyai makna yang

dalam. Arti alam bagi mereka bukan hanya sebagai tempat lahir, hidup,

berkembang dan mati saja, akan tetapi alam dimaknai sebagai penuntun hidup

dalam memilih kehidupan yang bermakna, baik sebagai individu maupun

kelompok.

Motif songket yang diambil dari alam (dalam proses penggarapannya)

tetap memperhitungkan nilai keindahan secara kasat mata, sehingga motif yang

dibuat tidak hanya sarat dengan makna tetapi juga keindahan. Songket

Minangkabau yang mengambil motif alam sebagai tanda untuk menyimpan

pesan-pesan kultural. Elemen alam yang diangkat sebagai motif, benar-benar

mempunyai sifat-sifat yang mencontoh dari kehidupan sosial-kultural masyarakat

Minangkabau.

Tenun songket Silungkang, jika dicermati secara seksama, di dalamnya

mengandung nilai-nilai yang dapat dijadikan sebagai acuan dalam kehidupan

sehari-hari bagi masyarakatnya, nilai-nilai itu antara lain : kesakralan, keindahan

(seni), ketekunan, ketelitian, dan kesabaran.

Nilai kesakralan tercermin dari pemakaiannya yang umumnya hanya

digunakan pada peristiwa-peristiwa atau kegiatan-kegiatan yang ada kaitannya

dengan upacara, seperti perkawinan, upacara batagak gala (penobatan penghulu)

dan lain sebagainya. Nilai keindahan tercermin dari motif ragam hiasnya yang

dibuat sedemikian rupa, sehingga memancarkan keindahan. Sedangkan, nilai

ketekunan, ketelitian, dan kesabaran tercermin dari proses pembuatannya yang


74

memerlukan ketekunan, ketelitian, dan kesabaran. Tanpa nilai-nilai tersebut tidak

mungkin akan terwujud sebuah kain tenun songket yang bagus.

Motif songket Silungkang terinspirasi dari alam dilingkungannya, nama-

nama motif ini dihubungkan dengan petatah-petitih yang mempunyai arti filosofi

tentang adat dan masyarakatnya. Setiap bentuk yang diwujudkan mempunyai arti

tersendiri yang mendalam dan berkaitan dengan kepribadian. Ragam hias (motif)

dihubungkan dengan perilaku atau sifat, hukum yang berlaku di tengah kehidupan

sosial (adat istiadat) dan ajaran agama.

Menurut hasil wawancara dengan para informan kain songket Silungkang :

“....Dikerjakan secara menyungkit dan manual....” (HW1)

“....Kain songket itu kain yang ditenun ....” (HW2)

“....Yang dimaksud dengan kain songket itu kain tenunan tradisional

ATBM yang dibuat dengan tangan....” (HW3)

“....Songket Silungkang adalah kain tenun yang dibuat oleh masyarakat

silungkang secara tradisional dengan memanfaatkan kekayaan alam dan

motif yang berasal dari lingkungan sekitar....” (HW4)

“....Songket yang ditenun secara manual oleh tangan dengan

menambahkan benang pakan untuk motifnya....” (HW5)

Jadi, dari penuturan para informan dapat disimpulkan bahwa kain songket

Silungkang adalah kain yang di tenun oleh penduduk di desa Silungkang dan

ditenun dengan proses menjungkit benang lusi sehingga membuat beraneka ragam

corak hias. Kain songket Silungkang ditenun dengan menggunakan alat tenun

bukan mesin (ATBM) yang dikerjakan secara tradisional (manual oleh tangan).
75

Sejak beratus-ratus tahun yang lalu kain songket Silungkang sudah dibuat di

desa Silungkang, tetapi waktu yang tepatnya pembuatan kain songket Silungkang

belum diketahui dengan pasti dan para informan juga kurang begitu mengetahui

sejarah dari pembuatan dari kain songket Silungkang tersebut.

Uraian di atas di tulis berdasarkan kutipan dari wawancara langsung

dengan para narasumber sebagai berikut :

“....Kurang lebih 400 tahun yang lalu....” (HW1)

“....Sudah beratus-ratus tahun yang lalu....” (HW2)

“....Kalau itu kurang tahu, itu sudah ada dari generasi ke generasi....”

(HW3)

“....Pada Abad ke- 16....” (HW4)

“....Sudah beratus-ratus tahun yang lalu....” (HW5)

Menurut informan HW4 kain songket Silungkang sudah ada sejak abad ke-

16. Pembuatan kain songket Silungkang terinspirasi dari tenunan-tenunan yang

indah berupa songket dari negeri Siam (Thailand) dan negeri Jiran (Malaysia)

pada waktu itu. Penduduk Silungkang mengenal kain songket melalui jalur

perdagangan yang sangat erat hubungannya dengan budaya merantau dan

berdagang masyarakat melayu. Kemudian, penduduk di desa Silungkang mulai

mempelajari pembuatan kain songket dan sampai sekarang menenun kain songket

dilakukan secara turun-temurun oleh penduduk Silungkang. Berkembangnya

tenun songket di daerah Silungkang mampu memberi warna dalam kehidupan

sosial, budaya, dan ekonomi masyarakat Silungkang. Tetapi, menurut informan

HW3 menenun kain songket Silungkang juga dikerjakan oleh penduduk di kota
76

Sawahlunto. Orang Silungkang yang mempunyai modal lebih atau disebut dengan

“induak semang” (si pemberi kerja), memperkerjakan tenaga kerja (anak buah)

yang berasal dari luar daerah Silungkang dan upah yang dibayarkan ke penenun

sesuai dengan hasil produksi yang disetorkan kepada induak semang.

Uraian di atas di tulis berdasarkan kutipan dari wawancara langsung

dengan para narasumber sebagai berikut :

“.....Menenun itu sudah dikerjakan secara turun-temurun dari nenek

moyang....” (HW1)

“....Kurang begitu tahu karena sudah dilakukan secara turun-temurun....”

(HW2)

“....Awal mulanya songket ini dari Silungkang konon yang menenun orang

Sawahlunto istilahnya anak tenun atau buahnya. Jadi, orang Lunto ini

yang menenun dan songket ini juga kebanyakan dibuat di Lunto cuma

namanya tetap Songket Silungkang....” (HW3)

“....Kain songket Silungkang awalnya berasal dari negeri jiran dan di

bawa oleh Hulu balang Tuanku Baginda Ali pada abad 16, kain tenun

yang dikerjakan dengan menggunakan alat atau bahan yang sangat

sederhana begitu juga dalam sistem pekerjaan, bahan bahan untuk

penenun disiapkan sendiri penyediaan bahan dan pembuatan mesin tenun

sampai kepada pemasangan. Selain itu kain yang ditenun menggunakan

benang emas dan perak yang dilakukan dengan proses menyungkit benang

lusi dan membuat beraneka ragam corak hias dari hasil proses tenun

tersebut....” (HW4)
77

“.....Sejarahnya saya tidak tahu karena kain songket sudah dikerjakan

secara turun-temurun....” (HW5)

Alat Tenun Bukan Mesin (ATBM) diperkenalkan oleh pemerintahan

kolonial Belanda pada tahun 1930-an. Terdapat beberapa modifikasi pada alat

tenunnya, diantaranya pada bangku tempat duduk penenun, dan karok atau gun

yang dapat dinaikkan dan diturunkan dengan pijakan kaki pada pedal yang

dikaitkan pada karok tersebut.

Tidak hanya membantu dalam menyediakan alat untuk menenun,

pemerintahan kolonial Belanda juga membantu dalam menyediakan bahan baku

untuk pertenunan seperti benang yang didatangkan dari berbagai negara (Jepang,

Inggris, dan Cina), serta mempromosikan produk songket Silungkang secara luas

dan juga membentuk sebuah badan yang bernama K.O.T.S (Kantor Oeroesan

Tenoen Siloengkang). K.O.T.S adalah badan yang mengurus pertenunan

Silungkang serta mengawasi semua permasalahan songket di Silungkang, dan

juga dengan berdirinya badan tersebut maka pemerintahan Belanda dapat bekerja

sama untuk memajukan tenun di Silungkang.

Kebolehan para pengrajin songket Silungkang juga dibuktikan dengan

diikutsertakan pada suatu kegiatan pameran di Belgia pada tahun 1910 “Royaume

De Belgique Exposit 10 Universelle De Bruxelles 1910”. Di situ, ibu Baensah dan

rombongan mendemonstrasikan cara bertenun dengan peralatan pertenunan yang

sangat sederhana dan hasilnya berupa kain songket dengan desain yang unik dan

indah. Sebagai penghargaan ibu Baensah kembali ke Silungkang dengan


78

membawa sebuah kenangan-kenangan (semacam medali bulat yang terbuat dari

perunggu).

Gambar 4.1. Medali dari Ratu Belgia. Di sebelah dalamnya tertulis :


Royaume De Belgique Exposit 10 Universelle De Bruxelles 1910
Madame Baensah
Siloengkang
Sumber : www.google.com

4.3.2 Ragam Hias Songket Silungkang

Ragam hias (motif) dan warna merupakan salah satu dalam unsur prinsip

dan desain yang diperlukan dalam membuat desain sehingga orang lain dapat

membaca desain tersebut, sama halnya untuk membuat kain songket diperlukan

unsur tersebut baik dari ragam hias dan warna yang terdapat di dalam kain

songket Silungkang.

Ragam hias songket Silungkang menurut kelima (5) informan (HW1,

HW2, HW3, HW4, dan HW5) memiliki persamaan jawaban yaitu ragam hiasnya

terinspiasi dari hewan, tumbuhan, bangun ruang, dan benda alam disekitarnya.

Ragam hias yang diciptakan pada songket Silungkang berasal dari lingkungan

disekitarnya, seperti motif itiak pulang patang, pucuak rabuang, burung dalam
79

rimbo, burung merak, saik kalamai, sipikar, tampok manggis, rangkiang (lumbung

padi), bintang-bintang, kaluak paku, hewan dan tumbuhan lainnya.

Ragam hias songket Silungkang sangat beragam, ada sekitar ratusan motif

yang dimiliki oleh songket Silungkang, ini dibuktikan dengan adanya observasi

dan wawancara langsung mengenai kain songket Silungkang :

“....Ada ratusan macam motif songket ....” (HW1)

“....Banyak sekali ragamnya....” (HW2)

“....Yang dipatenkan saja ada sekitar 300 motif dan banyak juga motif-

motif yang terbaru....” (HW3)

“....Ragam hias songket silungkang sangat kaya dan bervariatif antara

lain berasal dari motif hewan, tumbuhan, bangun ruang dan lainnya....”

(HW4)

“....Macam-macam ragam hiasnya....” (HW5)

Songket Silungkang sudah ada sejak beratus-ratus tahun yang lalu.

Beberapa ragam hias songket Silungkang lama yang terdapat di koleksi Museum

Tekstil Jakarta.

Gambar 4.2. Cawek atau ikat pinggang


Sumber : Dokumentasi Pribadi

Cawek ini ditenun oleh Andeh Kiah pada abad ke-19 di Silungkang.

Terdapat 9 lajur lebar songket pada satu setengah bagian, 3 lajur sempit pada
80

setengah bagian lainnya, masing-masing memiliki ragam hias berbeda dari yang

lain.

Gambar 4.3. Selendang dibuat sekitar tahun 1960-an


Sumber : Dokumentasi Pribadi

Keterangan :

a. Ragam hias pada selendang berupa saik kalamai sirangkak bakuruang

Gambar 4.4. Selendang


Sumber : Dokumentasi Pribadi
81

Selendang di atas dibuat akhir abad ke-19. Ragam hias pucuk pakis

dibagian sisi bawah kain yang hanya ditemukan pada songket Silungkang.

Gambar 4.5. Songket yang dibuat sekitar tahun 1970-an atau 1980-an
Sumber : Dokumentasi Pribadi

Keterangan :

a. Memiliki salah satu ciri khas tenun Silungkang berupa ragam hias

pinggiran yang terdiri dari serangkaian “bunga” menyerupai pucuk daun

pakis yang diatur secara vertikal.


82

a b

Gambar 4.6. Songket berwarna biru dibuat tahun 1960-an


Sumber : Dokumentasi Pribadi

Keterangan :

a. Motif pucuk pakis di pinggiran kain

b. Ragam hias batabuar berupa motif lumbung padi (rangkiang) pada badan

kain
83

Gambar 4.7. Kain Songket


Sumber : Dokumentasi Pribadi

Keterangan :

a. Ragam hias geometris dan motif pohon cemara pada pinggiran kain

songket bagian dalam

Motif pucuak rabuang merupakan salah satu motif yang menjadi ciri khas

dari songket Silungkang. Motif pucuk rabuang terdapat pada kepala kain, bagian

bawah dan ujung selendang. Pucuak rabuang melambangkan kesuburan pohon,

karena pucuak rabuang mempunyai arti rabuang (rebung) adalah bambu yang

masih muda, setelah dewasa disebut batuang (betung) dan bambu yang sudah tua
84

dinamakan ruyuang (ruyung). Dari pemanfaatan bambu dapat diambil pelajaran

agar hidup harus berguna selamanya. Hidup ketika muda berguna dan hidup

ketika tua terpakai. Dibawah ini merupakan motif pucuak rabuang yang sudah

dimodifikasi.

Gambar 4.8. Macam-macam motif pucuak rabuang dengan menggunakan benang


emas
Sumber : Dokumentasi pribadi

Gambar 4.9. Macam-macam motif pucuak rabuang dengan menggunakan benang


perak
Sumber : Dokumentasi pribadi
85

a b

Gambar 4.10. Songket jenis cantik manis. Mengkombinasikan teknik pakan


tambahan dan juga menggunakan benang pakan berwarna, sehingga warna pada
kain songket terlihat lebih beragam
Sumber : Dokumentasi pribadi

Keterangan :

a. Motif pucuak rabuang dengan kombinasi batik

b. Motif bintang. Menenun motif bintang pada gambar songket di atas,

menggunakan teknik pakan tambahan


86

a b

Gambar 4.11. Ragam hias pinggiran pada kain songket dengan menggunakan
benang perak
Sumber : Dokumentasi pribadi

Keterangan :

a. Motif pucuak rabuang

b. Motif saik kalamai


87

a b c

Gambar 4.12. Ragam hias pinggiran pada kain songket dengan menggunakan
benang emas
Sumber : Dokumentasi pribadi

Keterangan :

a. Motif pucuak daun pakis

b. Motif bunga

c. Motif saik kalamai

Pada waktu dahulu motif kain songket Silungkang mempunyai makna

yang sesuai dengan nama dari motif itu sendiri, tetapi sekarang motif songket

Silungkang sudah tidak mempunyai arti atau makna yang khusus lagi karena para

penenun sudah memodifikasi pada motifnya. Informan HW1, HW2, HW3, dan

HW5 juga memiliki persamaan jawaban tentang makna dari motif kain songket

Silungkang. Tetapi, menurut informan HW4 menjelaskan bahwa kain songket


88

Silungkang mempunyai makna yang sesuai dengan adat istiadat dan ajaran agama

Islam yang dianut oleh penduduk di desa Silungkang.

Uraian di atas di tulis berdasarkan kutipan dari wawancara langsung

dengan para narasumber sebagai berikut :

“....Tidak mempunyai arti...” (HW1)

“....Dahulu cuma motif pucuak rabuang yang kemudian berkembang

menjadi bambu yang artinya itu serba guna, tetapi kalau sekarang motif

tidak mempunyai makna lagi karena sudah disesuaikan dengan keinginan

konsumen....” (HW2)

“....Iya, tapi sekarang itu bikin motif yang terbaru saja kadang ada

makna, kadang tidak ada makna, tetapi kalau dahulu itu pasti memiliki

makna....” (HW3)

“....Setiap motif mempunyai arti tersendiri sesuai dengan keperluan, tetapi

pada umumnya arti dari semua motif adalah hal-hal yang baik sesuai

dengan kaidah adat dan agama yang dianut di Nagari Silungkang....”

(HW4)

“....Tidak ada, dahulu ada maknanya tetapi saya kurang begitu tahu....”

(HW5)

Untuk perkembangan motifnya, kain songket Silungkang tidak terlalu

banyak mengalami perubahan. Perubahan-perubahan motif yang ada pada kain

songket Silungkang tergantung dari penenun yang membuatnya. Walaupun para

penenun sudah menciptakan motif kain songket Silungkang yang baru tetapi,

motif dari kain songket Silungkang yang lama pun masih digunakan oleh para
89

penenun, karena masyarakat di desa silungkang masih mempertahankan motif

yang menjadi ciri khas dari daerahnya. Tetapi, informan HW2 dalam menciptakan

motif songket Silungkang yang baru sudah mulai berinovasi ke teknologi yang

lebih maju yaitu dengan menggunakan komputer.

Uraian di atas di tulis berdasarkan kutipan dari wawancara langsung

dengan para narasumber sebagai berikut :

“....Tidak, paling-paling sekali 3 tahun baru ada pertukaran motif tetapi

biasanya juga balik lagi ke motif yang lama....” (HW1)

“....Iya. Perkembangannya macam-macam, motif yang dibuat di

komputer kemudian dicampur dengan alat gedogan....” (HW2)

“....Iya, tetapi ada juga yang masih menggunakan motif yang lama....”

(HW3)

“....Untuk perubahan motif jarang terjadi karena masyarakat silungkang

selalu mempertahankan motif khas daerah, akan tetapi perkembangan

motif yang lain tetap diupayakan....”(HW4)

“....Tidak, hanya sedikit. Perkembangan motifnya itu tergantung dari

penenun yang membuat motifnya....” (HW5)

Terlepas dengan ragam hias yang digunakan kain songket Silungkang,

warna juga merupakan salah satu unsur desain. Warna yang digunakan pada kain

songket Silungkang juga sangat beragam, biasanya penenun menggunakan warna-

warna cerah atau warna-warna netral, karena masyarakat Minangkabau sangat

identik dengan warna-warna yang cerah. Warna yang dihasilkan kain songket

Silungkang juga tergantung dari perpaduan warna benang pakan dengan warna
90

benang lusi yang digunakan. Ini dibuktikan dengan adanya observasi dan

wawancara langsung mengenai kain songket Silungkang :

“....Semua warna digunakan, ada hijau, kuning, coklat muda, coklat tua,

macam-macam warna abu-abu, pokoknya semua warna komplit dan

banyak....” (HW1)

“....Warnanya macam-macam, mengikuti trend warna terbaru sesuai

dengan warna apa yang sedang trend di tahun 2014 dan tahun 2015, kita

mengikuti warna yang sedang trend tersebut....” (HW2)

“....Semua warna digunakan. Warna itu bebas tergantung permintaan dari

pelanggan atau konsumen....” (HW3)

“....Merah, biru, kuning, hitam, hijau, emas, perak dll....” (HW4)

“....Bisa macam-macam warnanya, seperti hitam, orange, pink, merah

coklat, hijau, dll. Misalnya benang lusi warnanya orange, benang pakan

warnanya biru hasilnya menjadi warna abu-abu dan benang lusinya

warna orange, benang pakannya berwarna merah hasilnya menjadi warna

merah bata....” (HW5)

Warna yang ada pada kain songket Silungkang juga tidak mempunyai

makna (arti) yang khusus, karena para penenun hanya menggunakan warna-warna

yang menarik menurut mereka dan konsumen, sehingga mereka tidak

memperdulikan arti dari warna yang digunakan. Tetapi, Informan HW2 dalam

membuat kain songket Silungkang menggunakan warna yang sesuai dengan trend

warna yang sedang diminati, serta mengkombinasikan warna pada songket

Silungkang sesuai dengan buku teori warna. Sedangkan, menurut informan HW1
91

dan HW4 warna merah dan kuning yang terdapat pada kain songket Silungkang

merupakan warna yang sangat identik dengan baju pengantin di Minangkabau.

Warna tersebut menurut masyarakat Minangkabau mempunyai arti yang

melambangkan, merah : kebesaran, dan kuning : keberanian.

Uraian di atas di tulis berdasarkan kutipan dari wawancara langsung

dengan para narasumber sebagai berikut :

“....Tidak, kecuali untuk perkawinan identiknya menggunakan warna

merah....” (HW1)

“....Iya, arti dari warnanya kita ambil di buku kombinasi warna dan

internet....” (HW2)

“....Tidak ada....” (HW3)

“....Iya, misalnya kalau warna hitam sering dipakai pada acara kematian,

sedangkan merah dan kuning untuk acara pesta pernikahan....” (HW4)

“....Tidak, pembuatan songket atau bahan baju tergantung warna apa

yang bagus untuk dibuat....” (HW5)

Perbedaan kain songket Silungkang yang dahulu dengan kain songket

Silungkang yang sekarang, terdapat pada motif dan warnanya. Menurut informan

HW2 dan HW5 motif kain songket Silungkang yang lama sudah sedikit di ubah

bentuknya oleh para penenun. Kain songket Silungkang yang sekarang

menggunakan motif lama yang dikombinasikan dengan motif songket yang baru.

Warna yang digunakan kain songket Silungkang yang sekarang juga lebih

beragam. Tidak hanya mengalami perubahan dari segi motif dan warnanya saja

tetapi, benang yang digunakan untuk menenun kain songket Silungkang juga
92

mengalami perubahan. Menurut informan HW1, HW3, dan HW4 pembuatan kain

songket Silungkang tidak hanya menggunakan benang katun dan sutera saja,

tetapi sekarang juga sudah menggunakan benang polyester.

Uraian di atas di tulis berdasarkan kutipan dari wawancara langsung

dengan para narasumber sebagai berikut :

“....Sama saja, tapi kalau dahulu benangnya katun jepang, kalau

sekarang menggunakan katun linen biasa....” (HW1)

“....Perbedaan yang dahulu dan yang sekarang itu dari segi warna dan

motif. Motif yang sekarang itu lebih maju karena motif yang lama

dikombinasikan dengan motif yang baru....” (HW2)

“....Perbedaan yang dahulu dan yang sekarang itu dari motif, warna, dan

benang....” (HW3)

“....Dahulu kain songket silungkang dibuat dengan menggunakan benang

katun, sedangkan sekarang sudah ada yang memakai benang poliester

yang permukaannya agak kasar tetapi banyak diminati karena pilihan

warnanya banyak tersedia dipasaran....” (HW4)

“....Iya, sekarang motifnya sudah dimodifikasi oleh pengrajin. Pengrajin

dapat membuat motif sesuai dengan keinginannya, tetapi motif yang lama

masih juga digunakan cuma diubah saja sedikit bentuknya....” (HW5)

Kain songket Silungkang mempunyai ciri khas tersendiri dibanding

dengan kain songket dari daerah lainnya. Para informan memiliki pendapat

beragam tentang ciri khas dari kain songket Silungkang tersebut. Menurut

informan HW1 ciri khas dari kain songket Silungkang yaitu bahannya yang
93

ringan, simpel dan mudah sehingga bisa dibikin baju, sedangkan menurut

informan HW2, HW3, HW4, dan HW5 ciri khas kain songket Silungkang terdapat

pada motifnya yang berasal dari lingkungan disekitar. Dalam satu lembar kain

songket terdapat beberapa macam motif yang menjadi satu kesatuan dan biasanya

songket Silungkang menggunakan motif pucuak rabuang yang sudah

dikembangkan dan dimodifikasi bentuknya, karena motif pucuak rabuang adalah

motif yang sangat khas bagi masyarakat Minangkabau.

Uraian di atas di tulis berdasarkan kutipan dari wawancara langsung

dengan para narasumber sebagai berikut :

“....Benangnya hampir sama dengan pandai sikek karena pandai sikek

bahannya juga dari sini, cara pengerjaannya juga hampir sama, cuma

yang berbeda kalau Silungkang bisa dibikin baju, dipakainya ringan,

simpel, mudah, tidak berat seperti Pandai Sikek dan juga gun (tempat

benang) Silungkang bulat, tetapi kalau Pandai Sikek dan Payakumbuh

kotak....” (HW1)

“....Ciri khasnya itu pucuak rebuang. Pucuak rebuang itu bisa

dikembangkan bisa menjadi 20 macam motif. Jadi bintang, daun, saik

kalamai, pokoknya menjadi macam-macam desain yang bisa

dikembangkan....” (HW2)

“....Ciri khasnya itu banyak, dari motifnya, benangnya, kalau dari

Luntonya itu iya hampir-hampir sama dengan Silungkang karena motif itu

sudah pada monoton sudah hampir sama semua....” (HW3)

“....Ciri khas tenun songket silungkang adalah berasal dari lingkungan

sekitar seperti ragam hias burung merak, burung dalam rimba, pucuak
94

rabuang, kaluak paku, saik kalamai, hewan dan tumbuhan lainnya....”

(HW4)

“....Motif pucuak rabuang yang selalu ada di kain songket....” (HW5)

Songket Silungkang menurut motifnya terdiri dari dua jenis yaitu kain

songket balopak (motifnya penuh) dan kain songket batubuar (motifnya tidak

penuh atau tersebar). Kain songket balopak harganya lebih mahal dibandingkan

dengan kain songket batubuar. Kain songket Silungkang dapat dipesan sesuai

dengan keinginan konsumen baik dari segi motif maupun dari warnanya.

Gambar 4.13. Songket balopak dengan motif burung merak. Benang berwarna
merah untuk bagian dasar atau lusi dan benang emas untuk motif atau pakan.
Sumber : Dokumentasi ribadi

Gambar 4.14. Selendang balopak (motif penuh)


Sumber : Dokumentasi pribadi
95

Ragam hias pada selendang di atas berupa motif pucuak rabuang pada

bagian kepala kain, motif bunga pada pinggiran kain, dan motif bunga pada badan

kain. Selendang ini menggunakan benang berwarna pink pada motif dan benang

berwarna putih di bagian dasar. Selendang ukuran besar ini mempunyai lebar

(pakan) 50 cm dan panjang (lusi) 170 cm. Pada bagian ujung selendang diberi

hiasan renda untuk menambah keindahan pada selendang tersebut.

Gambar 4.15. Selendang balopak (motif penuh)


Sumber : Dokumentasi pribadi

Ragam hias pada selendang ini berupa motif pucuak rabuang pada bagian

kepala kain, motif geometris pada pinggiran kain, dan motif bunga pada badan

kain. Selendang ini merupakan jenis kristal karena terbuat dari benang metalik

berwarna hijau untuk bagian dasar, sehingga selendang ini terlihat lebih berkilau

dan untuk motifnya menggunakan benang perak. Selendang ukuran besar ini

mempunyai lebar (pakan) 50 cm dan panjang (lusi) 170 cm. Pada bagian ujung

selendang diberi hiasan renda untuk menambah keindahan pada selendang

tersebut.
96

Gambar 4.16. Selendang balopak (motif penuh)


Sumber : Dokumentasi pribadi

Ragam hias pada selendang ini berupa motif pucuak rabuang pada bagian

kepala kain, motif geometris pada pinggiran kain, dan sulaman benang dengan

motif bunga pada badan kain. Benang berwarna merah untuk bagian dasar dan

benang perak untuk motif. Selendang ukuran besar ini mempunyai lebar (pakan)

50 cm dan panjang (lusi) 170 cm. Pada bagian ujung selendang diberi hiasan

renda untuk menambah keindahan pada selendang tersebut.

Gambar 4.17. Songket dan selendang batubuar


Sumber : Dokumentasi pribadi
97

Ragam hias pada songket dan selendang di atas berupa motif pucuak

rabuang pada bagian kepala kain, motif geometris pada pinggiran kain, dan motif

bunga pada badan kain. Benang berwarna ungu untuk bagian dasar dan benang

perak untuk motif. Songket pada gambar diatas mempunyai ukuran lebar (pakan)

1 m dan panjang (lusi) 2 m, sedangkan untuk selendang ukuran kecil mempunyai

lebar (pakan) 30 cm dan panjang (lusi) 160 cm.

Gambar 4.18. Songket dan selendang batubuar


Sumber : Dokumentasi pribadi

Songket dan selendang ini mengkombinasikan ikat lusi dengan pakan

tambahan dan terdiri dari lajur-lajur vertikal berwarna hijau dan ungu, beberapa

lajur dihiasi dengan motif bunga. Ragam hias pada selendang ini berupa motif

pucuak rabuang pada pinggiran kain. Songket pada gambar diatas mempunyai

ukuran lebar (pakan) 1 m dan panjang (lusi) 2 m, sedangkan untuk selendang

ukuran kecil mempunyai lebar (pakan) 30 cm dan panjang (lusi) 160 cm.
98

Gambar 4.19. Songket dan selendang batubuar dengan jenis songket cantik manis
Sumber : Dokumentasi pribadi

Songket dan selendang ini mengkombinasikan ikat lusi dengan pakan

tambahan dan juga menggunakan benang berwarna lain pada benang pakan.

Dibagian kepala dan badan kain diberi teknik pakan tambahan pada motif bunga.

Pada motif bunga menggunakan benang berwarna-warni agar terkesan lebih ceria

dan modern.

Ragam hias pada songket dan selendang ini berupa motif bunga pada

bagian kepala kain, motif rangkiang (lumbung padi) pada pinggiran kain, dan

motif bunga pada badan kain. Benang berwarna hitam digunakan pada bagian

dasar dan benang berwarna pink pada motif. Songket pada gambar diatas

mempunyai ukuran lebar (pakan) 1 m dan panjang (lusi) 2 m, sedangkan untuk

selendang ukuran kecil mempunyai lebar (pakan) 40 cm dan panjang (lusi) 160

cm.

Pada saat ini, penenun di daerah Silungkang tidak hanya menenun untuk

kain songket, tetapi para penenun mulai menenun untuk bahan baju. Bahan baju

banyak diminati oleh konsumen, karena bahannya yang ringan, simpel dan bisa

digunakan untuk kegiatan sehari-hari. Bahan baju ini juga memiliki bermacam-
99

macam ragam hias yang sudah dikembangkan oleh penenun dan warnanya juga

sangat beragam.

Gambar 4.20. Bahan untuk baju


Sumber : Dokumentasi pribadi

Tabel 4.2. Ragam hias bahan baju


No. Ragam Hias

1.

Motif itiak pulang patang


Motif rangkiang
(lumbung padi)

Benang dasar : Warna merah


Benang motif : Warna emas
Ukuran : Panjang kain 270 cm dan lebar kain 100 cm
Tekstur : Lembut
100

2.

Motif bintang Motif itiak pulang Motif kepiting


patang
Benang dasar : Warna biru
Benang motif : Warna perak
Ukuran : Panjang kain 270 cm dan lebar kain 100 cm
Tekstur : Lembut
3.

Motif bunga Motif saik kalamai Motif bintang

Benang dasar : Warna merah


Benang motif : Warna hijau
Ukuran : Panjang kain 270 cm dan lebar kain 100 cm
Tekstur : Lembut
101

4.

Motif bintang Motif pucuak rabuang

Benang dasar : Warna merah


Benang motif : Warna emas
Ukuran : Panjang kain 270 cm dan lebar kain 100 cm
Tekstur : Lembut
5.

Motif pucuak rabuang dengan Motif saik kalamai


kombinasi batik

Benang dasar : Warna putih


Benang motif : Warna pink
Ukuran : Panjang kain 270 cm dan lebar kain 100 cm
Tekstur : Lembut
102

6.

Motif bunga Motif tampok manggis

Benang dasar : Warna merah hati


Benang motif : Warna emas
Ukuran : Panjang kain 270 cm dan lebar kain 100 cm
Tekstur : Lembut

7.

Motif kembang kol Motif itiak pulang patang


Benang dasar : Warna abu-abu
Benang motif : Warna emas
Ukuran : Panjang kain 270 cm dan lebar kain 100 cm
Tekstur : Lembut
103

8.

Motif anggur

Benang dasar : Warna merah


Benang motif : Warna emas
Ukuran : Panjang kain 270 cm dan lebar kain 100 cm
Tekstur : Lembut
9.

Motif kipas-kipas

Benang dasar : Warna hijau


Benang motif : Warna emas
Ukuran : Panjang kain 270 cm dan lebar kain 100 cm
Tekstur : Lembut
104

10.

Motif burung merpati


Benang dasar : Warna merah
Benang motif : Warna emas
Ukuran : Panjang kain 270 cm dan lebar kain 100 cm
Tekstur : Lembut

11.

Motif burung merpati Motif itiak pulang patang

Benang dasar : Warna coklat


Benang motif : Warna emas
Ukuran : Panjang kain 270 cm dan lebar kain 100 cm
Tekstur : Lembut
105

12.

Motif burung merak


Benang dasar : Warna putih
Benang motif : Warna emas
Ukuran : Panjang kain 270 cm dan lebar kain 100 cm
Tekstur : Lembut
13.

Motif bunga Motif kepiting Motif bintang

Benang dasar : Warna abu-abu


Benang motif : Warna perak
Ukuran : Panjang kain 270 cm dan lebar kain 100 cm
Tekstur : Lembut
106

4.3.3 Proses Pembuatan Songket Silungkang

Songket Silungkang dikerjakan dengan Alat Tenun Bukan Mesin (ATBM)

atau dikerjakan secara manual oleh tangan. Menenun songket dikerjakan secara

turun-temurun oleh penduduk di desa Silungkang. Bukan hanya di desa

Silungkang saja tetapi di daerah sekitar desa Silungkang seperti kota Sawahlunto

juga memulai untuk menenun kain songket.

Dari wawancara dengan kelima informan (HW1, HW2, HW3, HW4 dan

HW5) ditemukan kesamaan pernyataan tentang proses pembuatan kain songket

Silungkang. Adapun prosesnya sebagai berikut :

“....Proses pertama menuring, menghani, mengarok (yang untuk injak-

injak depan belakang), proses membikin motif itu yang dinamakan

songket cara mengerjakannya dengan menghitung benang, setelah itu

baru proses menenun. Kalau tidak melakukan mengarok setelah

menghani langsung menyambung, itu kalau proses lanjutannya....”

(HW1)

“....Dari mulai benang itu dicelup, dipintal, dihani, dibikin gun (istilah

silungkangnya mengarok), terus setelah mengarok kemudian dibikin

motif sesuai dengan selera masing-masing atau selera konsumen....”

(HW2)

“....Menghani, menggulung, menyambung, mengarok, membuat motif,

dan menenun....” (HW3)

“....Proses pembuatannya sama dengan songket lainnya yang memakai

sistem jungkit atau anyaman, yang terdiri dari benang rentang dan
107

pakan dan setiap rentang jarak tertentu di beri motif baik memakai

benang macau emas maupun perak....” (HW4)

“....Pertama menuring (memintal benang), menghani, menyambung,

bikin motif, baru proses menenun.... (HW5)

Jadi, dari penuturan para informan dapat disimpulkan bahwa proses dari

awal sampai menenun kain songket, yaitu:

1. Manuriang (benang dicelup dan diberi pewarna, kemudian benang

dipintal)

2. Menghani (memasukkan benang ke gun)

3. Mangarok (menyambung benang dari gun ke karok)

4. Membuat motif

5. Menenun

Proses pembuatan kain songket di Silungkang, sebenarnya hampir sama

dengan pembuatan kain songket dari daerah lainnya seperti penuturan dari kelima

informan (HW1, HW2, HW3, HW4, dan HW5). Setiap proses menenun

dikerjakan oleh beberapa orang, ada yang pekerja khusus untuk menuring,

menghani, mengarok, membikin motif dan menenun yang biasanya dikerjakan

perorangan, tetapi jika penenun belum bisa untuk membuat motif biasanya proses

untuk pembuatan motif diupahkan ke orang lain.

Uraian di atas di tulis berdasarkan kutipan dari wawancara langsung

dengan para narasumber sebagai berikut :


108

“....Menuring 1 orang, menghuni 1 orang, mengarok atau menyambung 1

orang, menenun 1 orang dan mencelup 1 orang, berarti 5 orang....”

(HW1)

“....7 orang. Tukang celup, tukang pemintal benang, tukang hani, tukang

gun (mengarok), sambung, motif, baru menenun....” (HW2)

“....6 orang. Tukang pemintal benang, tukang hani, tukang gun

(mengarok), sambung, motif, menenun....” (HW3)

“....3 orang....” (HW4)

“....4 orang. Menuring 1 orang, menghani 1 orang, menyambung 1 orang,

bikin motif dan menenun 1 orang, tetapi kalau penenun yang tidak bisa

membuat motif maka diupahkan kepada orang lain....” (HW5)

Waktu yang diperlukan dari proses awal hingga menjadi selembar kain

songket membutuhkan waktu kurang lebih 15 hari dimulai dari menuring 1

minggu, menghani 1 hari, mengarok 1 minggu, sedangkan untuk membuat motif

dan proses menenun membutuhkan waktu kurang lebih 1 minggu sampai 1 bulan.

Lamanya pembuatan kain songket tergantung dari rumit atau tidaknya motif yang

akan dikerjakan. Semakin rumit dan penuh motif pada kain songket, maka waktu

yang diperlukan juga akan semakin lama.

Uraian di atas di tulis berdasarkan kutipan dari wawancara langsung

dengan para narasumber sebagai berikut :

“....Bahan baju 3 hari, jika motif yang penuh waktunya bisa sampai

berbulan-bulan, songket selendang kecil 1 minggu, songket selendang

besar 15 hari....” (HW1)


109

“....Proses awalnya itu 15 hari, untuk proses menenun itu membutuhkan

waktu 1 minggu, jika motifnya agak rumit bisa sampai 1 bulan....” (HW2)

“....Jika dari proses awal seperti dari menghani, menggulung,

menyambung, mengarok, dan membuat motif itu membutuhkan waktu kira-

kira 15 hari, tetapi jika proses menenun tergantung dari motif, membuat

songket baju ini bisa 2 hari 1 helai bahan baju, kalau songket bisa 2

songket 15 hari, 3 songket 15 hari, 1 songket 1 minggu, 3 songket 1

minggu....”(HW3)

“....Pada umumnya 5 hari sampai 1 minggu....” (HW4)

“....Proses awalnya itu 15 hari, untuk proses menenun itu membutuhkan

waktu 1 minggu, jika motifnya agak rumit bisa sampai 1 bulan....” (HW5)

Pewarna pada benang menggunakan pewarna alami dan sintetis, tetapi

sekarang pewarna alami kurang diminati oleh penenun karena proses

pengerjaannya yang lama dan hasilnya yang terkadang juga kurang memuaskan.

Maka dari itu, penenun lebih memilih untuk menggunakan pewarna sintetis,

karena warnanya yang lebih menarik dan juga tidak mudah luntur.

Benang dasar (lusi) untuk menenun kain songket Silungkang

menggunakan benang katun atau benang sutera, tetapi sekarang penenun sudah

mulai menggunakan benang sintetis. Sedangkan, untuk benang hias (pakan)

biasanya menggunakan benang macau emas atau perak, tetapi tidak hanya

menggunakan benang emas atau perak saja, sekarang membuat motif pada kain

songket Silungkang juga dapat menggunakan benang katun, benang sutera dan

benang polyester (sintetis) seperti, benang rayon, bordir, metalik, dan lainnya,
110

sehingga warna yang dihasilkan jadi sangat beragam dan benangnya yang mudah

didapat.

Uraian di atas di tulis berdasarkan kutipan dari wawancara langsung

dengan para narasumber sebagai berikut :

“....Benang linen, double penguin, sutera, macau tembaga, macau emas,

macau perak, benang metalik....” (HW1)

“....Benangnya kita menggunakan benang linen katun untuk lusinya, kalau

pakannya itu menggunakan benang-benang bordir (viscose rayon),

benang sutera, benang makau juga bisa digunakan untuk baju dan

songket, dahulunya benang tersebut dari India tetapi sekarang dari

Jepang....” (HW2)

“....Benang yang digunakan viscose rayon, sutera, katun....” (HW3)

“....Katun, poliester, dan sutera....” (HW4)

“....Katun, metalik, sutera, benang bordir, benangnya itu dari tukang

menghani jadi kita tinggal menenun saja....” (HW5)

Gambar 4.21. Benang sebelum proses pemberian warna


Sumber : Dokumentasi pribadi
111

Gambar 4.22. Benang sintetis (untuk benang pakan)


Sumber : Dokumentasi pribadi

Gambar 4.23. Benang sintetis untuk pakan juga menggunakan benang bordir
Sumber : Dokumentasi pribadi

4.3.3.1 Alat Untuk Proses Menghani

Setelah benang diberi warna dan dipintal, proses selanjutnya yaitu

menghani. Menghani adalah proses memasukkan benang lusi ke gun. Benang

diletakkan di rak benang, kemudian benang melewati karok dan sisir, setelah itu

benang digulung ke gun. Di gun terdapat 2.900 lembar benang. Panjang benang

yang ada di gun bisa mencapai 50 meter dan beratnya kurang lebih 3 kg.
112

Tabel 4.3. Alat yang digunakan dalam proses menghani

No. Alat Menghani Keterangan

1.

Rak benang

2.

Karok
113

3.

Sisir

4.

Gun

4.3.3.2 Alat untuk Proses Menenun

Alat tenun di Silungkang disebut palantai. Jika proses menghani sudah

selesai, maka proses selanjutnya yaitu memasang benang dari gun ke alat karok,

kemudian gun diletakkan dan dipasang ke alat tenun.

Tabel 4.4. Alat yang digunakan dalam proses menenun


No. Alat Menenun Keterangan Fungsi

1. Benang untuk motif Untuk membuat

motif pada kain

songket dan juga

untuk memisahkan
114

antara motif yang

satu dengan yang

lainnya

Balero Untuk mengatur


2.
motif dan juga

dapat menentukan

benang yang akan

diungkit

Karok Untuk mengatur


3.
benang lusi yang

terletak dibagian

atas dan bawah

4. Suri atau sisir Untuk mengatur

benang lusi dan

juga sebagai alat

untuk merapatkan

benang

Gun benang Untuk menahan


5.
ujung benang lusi

yang akan ditenun


115

Gun kain alat untuk


6.
menggulung hasil

tenunan yang baru

selesai ditenun

Tali karok untuk


7.
menggantung

karok ke alat tenun

dan agar

memudahkan untuk

digerak-gerakan

Injakan depan Untuk meletakkan


8.
belakang kaki sipenenun dan

juga untuk

memisahkan karok

depan belakang

Alat tenun yang digunakan di Silungkang sebenarnya hampir sama dengan

alat tenun dari daerah lainnya, cuma yang membedakan di setiap daerah yaitu dari

penyebutan nama alatnya. Tetapi, menurut informan HW1 gun yang digunakan di

Silungkang berbeda dengan daerah Pandai Sikek dan Payakumbuh. Di Silungkang

gunnya berbentuk bulat, dan di Pandai Sikek dan Payakumbuh gunnya berbentuk

kotak. Sedangkan, menurut informan HW3, HW4, dan HW5 alat tenunnya yang
116

digunakan di desa Silungkang tidak ada perbedaan dengan alat tenun dari daerah

lainnya.

Uraian di atas di tulis berdasarkan kutipan dari wawancara langsung

dengan para narasumber sebagai berikut :

“....Alat tenun di Sumatera Barat hampir sama, Cuma gunnya kalau

Silungkang bulat, Pandai Sikek dan Payakumbuh kotak....” (HW1)

“....Perbedaannya, daerah Palembang itu di bagian pinggangnya diikat

untuk yang lainnya sama saja....” (HW2)

“....Tidak, sama saja....” (HW3)

“....Perbedaan yang signifikan tidak ada, hanya dari cara penggunaan

saja yang berbeda....” (HW4)

“....Sama saja tidak ada perbedaannya....” (HW5)

Gambar 4.24. Gun yang berbentuk bulat


Sumber : Dokumentasi pribadi
117

Gambar 4.25. Gun yang berbentuk kotak


Sumber : Dokumentasi pribadi

4.3.3.3 Proses Menenun

Setelah proses manuriang (pewarnaan dan pemintalan benang) dan proses

menghani (memasukkan benang ke gun) selesai, proses selanjutnya yaitu

mangarok (menyambung benang dari gun ke karok). Mengarok dikerjakan oleh

orang yang khusus, karena dalam proses ini membutuhkan ketelitian dan

kesabaran, benang dari gun, satu demi satu (helai demi helai) disambungkan ke

karok. Setelah proses mangarok selesai, maka gun benang dan gun kain

dihubungkan ke alat tenun (pelantai).

Proses menenun dimulai dari membuat atau mendesain motif terlebih

dahulu. Motif yang akan digunakan pada kepala, badan, dan pinggiran kain

digambar di kertas kotak-kotak, karena jika gambarnya kecil, tetapi ketika ditenun

motifnya menjadi besar, nanti hasil antara gambar dan motif tidak akan sama. Dan

juga menggambar motif di kertas kotak-kotak, akan mempermudah untuk

menghitung benang motif dialat tenun. Motif yang akan digunakan pada kepala,

badan, dan pinggiran kain sesuai dengan keinginan dari penenun itu sendiri,
118

penenun dapat memodifikasi motif yang dia inginkan, dan juga konsumen dapat

memesan motif yang diinginkan kepada penenun.

Setelah motif digambar, maka kemudian motif yang ada di kertas

dipindahkan ke alat tenun (benang lusi), hitungannya sesuai dengan motif yang

sudah digambar. Gambar yang terlihat di kertas itu yang akan menjadi motif,

tetapi jika gambarnya kosong maka itu yang akan menjadi tenunan polos (tidak

ada motif). Membuat motif pada alat tenun menggunakan benang nylon putih,

selain itu benang juga akan mempermudah memisahkan motif yang satu dengan

yang lain.

Gambar 4.26. Motif yang digambar di kertas kotak-kotak


Sumber : Dokumentasi pribadi

Proses menenun kain songket Silungkang sebenarnya hampir sama dengan

proses menenun kain songket dari daerah lainnya. Dalam membuat selembar kain

songket Silungkang pasti terdapat beberapa kesulitan, menurut para informan

(HW1, HW2, HW3, HW4, dan HW5) kesulitan dalam membuat kain songket

Silungkang adalah sebagai berikut :

“....Tergantung dari motifnya dan juga kalau benang putus harus segara

disambung kalau tidak benang masuk ke dalam, jadi tidak boleh

dibiarkan....” (HW1)
119

“....Kesulitannya paling peralatannya kalau kurang bagus, jadi hasilnya

juga kurang bagus kita bertenun juga agak susah, kainnya juga ikut tidak

bagus....” (HW2)

“....Kesulitannya itu membikin motifnya....” (HW3)

“....Tidak ada....” (HW4)

“....Kesulitannya ada di benang dan di motif, dibenang itu kalau

benangnya lapuk atau jelek jadi sering putus, hasilnya juga kurang bagus

dan kesulitan untuk membuat motif itu jika digambarnya kecil, tapi pas di

alat tenunannya besar, jadi harus dibesarin dulu gambarnya, kalau tidak

dibesarin nanti gambar dan hasilnya tidak sama. Ketika masukin

benangnya itu juga harus dihitung supaya gambarnya itu pas, jika

masukin benangnya kekecilan nanti gambarnya tidak bagus, kalau

gambarnya kebesaran juga tidak bagus, jadi harus dipikirin motifnya yang

bagus itu kecil, sedang, atau besar....”(HW5)

Jadi, menurut penuturan para informan dapat disimpulkan bahwa kesulitan

dalam membuat selembar kain songket Silungkang yang paling utama yaitu pada

motifnya, jika motifnya penuh maka proses pengerjaannya juga akan semakin

lama, dan juga pada kualitas benang yang digunakan, serta dari peralatan yang

digunakan. Membuat selembar kain songket Silungkang tidak hanya

mengandalkan dari Sumber Daya Manusia (SDM), tetapi harus didukung oleh

peralatan dan benang dengan kualitas yang baik agar hasil tenunannya juga bagus.
120

Tabel 4.5. Cara kerja proses menenun

No. Cara Kerja Menenun

1.

Memisahkan benang motif

2.

Setelah motif dipisahkan, kemudian balero dimasukkan untuk memisahkan

motif dan juga untuk memudahkan masuknya benang pakan


121

3.

Injak bagian bawah pedal untuk memisahkan karok depan dan belakang

4.

Masukkan benang pakan dari kiri ke kanan dan sebaliknya dari kanan ke

kiri
122

5.

Majukan suri untuk pengepresan benang atau memadatkan benang.

Langkah selanjutnya yaitu ulangi dari memisahkan benang motif sampai

proses selanjutnya untuk mendapatkan motif dan ukuran yang diinginkan.

6.

Setelah songket sudah selesai dengan panjang yang diinginkan, diberi

tenunan benang pakan sekitar 1 cm kemudian dimasukkan lidi, setelah itu

ditenun lagi sekitar 1 cm, baru kemudian digunting dibagian belakang atau

ujung songketnya
123

Menenun kain songket Silungkang dikerjakan secara turun-temurun dari

generasi ke generasi oleh penduduk di desa Silungkang, tetapi sekarang menenun

kain songket Silungkang juga dapat dikerjakan oleh penduduk di luar desa

Silungkang. Orang yang berasal dari pulau Jawa juga bisa mempelajari cara

menenun kain songket Silungkang, tetapi mereka hanya diajarkan cara untuk

menenun kain songket saja, untuk motifnya tetap dikerjakan oleh penduduk di

desa Silungkang.

Uraian di atas di tulis berdasarkan kutipan dari wawancara langsung

dengan para narasumber sebagai berikut :

“....Ada dari daerah Sawahlunto sekarang sudah menyebar ke daerah

sekitar Silungkang tetapi masih di daerah Sawahlunto....” (HW1)

“....Dapat juga dikerjakan oleh orang luar, seperti orang jawa. Kalau

orang dari luar pulau itu dia hanya menenun saja....” (HW2)

“....Kebanyakan songket Silungkang dikerjakan oleh orang Lunto dan di

desa-desa sekitar Sawahlunto....” (HW3)

“....Penduduk asli dan pendatang....” (HW4)

“....Sekarang menenun dapat dikerjakan oleh penduduk di luar daerah

Silungkang, banyak orang dari pulau jawa yang belajar untuk menenun,

tetapi mereka hanya menenun songket saja, mereka tidak bisa untuk

membuat motif....” (HW5)

Para penenun sudah mulai mempelajari cara menenun kain songket

Silungkang sejak tamat SD (tergantung dari keinginan si penenun itu sendiri)

sampai usia kurang lebih 70 tahun (sampai penenun tersebut kuat untuk
124

menenun). Jadi, memulai menenun tidak ada batasannya dan mengakhirinya pun

juga tidak ada batasannya. Laki-laki juga dapat menenun kain songket

Silungkang, karena dalam menenun kain songket Silungkang tidak ada aturan

yang khusus, perempuan atau laki-laki sama saja tidak ada perbedaannya Tetapi,

menurut informan HW1, HW4, dan HW5 menuturkan bahwa penenun perempuan

jumlahnya jauh lebih banyak dibanding dengan penenun laki-laki. Sedangkan,

menurut informan HW2 dan HW3 proses menenun yang dikerjakan di awal

seperti, menuring dan menghani kebanyakan dikerjakan oleh laki-laki.

Uraian di atas di tulis berdasarkan kutipan dari wawancara langsung

dengan para narasumber sebagai berikut :

“....Ada laki-laki tukang menenun 10 orang, tetapi masih kebanyakan

tukang menenun itu perempuan....” (HW1)

“....Kebanyakan laki-laki, dari proses mencelup, memintal, menghani,

mengarok, menyambung, proses awalnya dikerjakan oleh laki-laki karena

kerjanya agak berat, perempuan dia hanya menenun....” (HW2)

“....Kebanyakan laki-laki, dari proses awal dan menenunnya juga ada

yang dikerjakan oleh laki-laki....” (HW3)

“....Perempuan 90 % dan laki-laki 10 %....” (HW4)

“....Laki-laki ada juga yang menjadi pengrajin songket, tapi jumlahnya

hanya sedikit....” (HW5)

Biasanya kain songket hanya terdiri dari dua warna yaitu, warna yang

digunakan pada bagian dasar songket (benang lusi) dan warna yang digunakan

pada motif (benang pakan). Tetapi, sekarang para penenun mulai membuat suatu
125

inovasi yang baru pada ragam hias kain songket Silungkang, yaitu ragam hias

jenis songket cantik manis yang mengkombinasikan dengan teknik pakan

tambahan. Teknik pakan tambahan ini menambahkan benang berwarna lainnya,

sehingga kain songket mempunyai warna yang lebih beragam.

Dalam satu lembar kain songket benang yang digunakan untuk benang

pakan tidak hanya menggunakan satu warna saja, tetapi bisa terdapat beberapa

macam warna benang (lima sampai tujuh warna) yang berbeda. Benang pakan

tidak hanya menggunakan benang emas atau perak saja, tetapi ditambahkan

dengan benang berwarna lainnya seperti benang katun, sutera, atau polyester.

Cara mengerjakannya songket jenis cantik manis sedikit rumit, karena

motif harus dihitung sesuai dengan motif yang akan dibuat. Proses menenun

songket jenis cantik manis, hampir sama dengan jenis songket yang lainnya hanya

yang membedakannya yaitu pada pengerjaan benang pakan dilakukan melalui 2

tahap, pertama benang yang berwarna dihitung sesuai dengan motif yang akan

dibuat dan dimasukkan terlebih dahulu ke pakan, dan tahap kedua baru masukkan

benang emas atau perak (macau) ke alat tenun dari kiri ke kanan atau dari kanan

ke kiri, kemudian tenunan dipadatkan dengan suri.

Gambar 4.27. Songket dan selendang cantik manis. Benang yang digunakan pada
ragam hias mempunyai warna berbeda-beda.
Sumber : Dokumentasi pribadi
126

Kain songket Silungkang mempunyai tekstur halus dan kasar. Tekstur

pada kain songket ditentukan dari benang yang digunakan dan kerapatan

benangnya ketika ditenun. Tekstur yang halus itu hasil tenunannya lebih rapat dan

lebih susah membuatnya, sedangkan tekstur yang kasar lebih mudah untuk

membuatnya dan hasil tenunannya juga lebih renggang.

Uraian di atas di tulis berdasarkan kutipan dari wawancara langsung

dengan para narasumber sebagai berikut :

“....Ada yang kasar dan ada yang halus. Bedanya benangnya 1 maka

tekstrurnya lebih halus, jika benangnya 2 makanya teksturnya agak kasar.

Bahannya juga macam-macam kalau mau lembut dari sutera dan katun,

kalau yang kasar dari polyester (benang double penguin)....” (HW1)

“....Teksturnya ada yang kasar atau halus itu tergantung dari pengunaan

benang ketika menenunnya....” (HW2)

“....Teksturnya ada yang kasar dan halus....” (HW3)

“....Tekstur nya terbagi dua, ada yang sangat lembut dan standar....”

(HW4)

“....Teksturnya ada yang halus dan kasar. Tekstur yang halus itu

tenunannya lebih rapat dan lebih susah membuatnya harganya juga lebih

mahal, dibandingkan dengan yang teksturnya kasar lebih mudah untuk

membuatnya harganya juga lebih murah....” (HW5)

4.3.4 Fungsi Songket Silungkang

Cawek atau cawat merupakan kain songket yang dipakai khusus oleh laki-

laki, berupa kain berbentuk memanjang yang pada zaman dahulu digunakan
127

sebagai penutup bagian pribadi laki-laki. Tetapi, dengan munculnya celana

panjang, kain tersebut kemudian digunakan sebagai ikat pinggang dan sekarang

cawek sudah tidak dibuat lagi di Silungkang.

Gambar 4.28. Cawek atau ikat pinggang


Sumber : Dokumentasi pribadi

Teknik pakan tambahan digunakan pada cawek diatas dengan ragam hias

berwarna biru kehitaman dan merah, yang diatur dalam jalur horizontal. Pakan

tambahan berwarna merah terbuat dari sutera, sedangkan pakan tambahan

berwarna biru tua terbuat dari katun. Ditenun oleh Andeh Kiah pada abad ke 19 di

Silungkang.

Ikat pinggang merupakan hasil perkembangan dari cawek yang awalnya

digunakan untuk menutupi bagian pribadi laki-laki. Pada kedua ujung ikat

pinggang menggantung ke bawah di bagian depan dan di atas kain sarung atau

celana. Selain itu, selendang songket juga digunakan oleh perempuan yang

dililitkan di kepala membentuk tutup kepala yang menyerupai tanduk, tetapi dapat

juga dipakai sebagai selendang.


128

Gambar 4.29. Selendang atau tengkuluk


Sumber: Dokumentasi pribadi

Selendang songket yang kaku sangat baik digunakan sebagai tutup kepala

berbentuk “tanduk” yang terkenal dari Sumatera Barat, dipakai dengan melipat

menjadi dua bagian yang memanjang. Dapat juga digunakan tanpa dilipat, sebagai

selendang dengan pakaian formal untuk upacara adat. Bagian yang gelap di

sepanjang lipatan mungkin disebabkan oleh keringat, menunjukkan bahwa

selendang ini dipakai sebagai tutup kepala.

Gambar 4.30. Selendang


Sumber : Dokumentasi pribadi

Selendang ini dibuat pada abad ke-19 biasanya digunakan sebagai tutup

kepala atau dilipat dan disampirkan di bahu oleh seorang tokoh perempuan

penting dalam masyarakat atau dipakai dengan cara disampirkan di leher seorang

Datuk.
129

Pada perkembangannya pemakaian kain songket Silungkang tidak hanya

digunakan untuk upacara-upacara adat saja, tetapi sekarang kain songket

Silungkang juga dapat digunakan untuk acara pesta pernikahan, baju seragam

kantor, dan acara-acara penting lainnya.

Uraian di atas di tulis berdasarkan kutipan dari wawancara langsung

dengan para narasumber sebagai berikut :

“....Iya dahulu untuk upacara perkawinan, acara adat-adat, kalau

sekarang tidak....” (HW1)

“....Perkantoran, pesta, kalau adat itu batagak punggung yang diletakkan

disamping, tapi kebanyakan untuk perkantoran....” (HW2)

“....Perkawinanan, pesta, adat, baju seragam kantor....” (HW3)

“....Adat, keagamaan, kantor, pernikahan dan acara resmi lainnya....”

(HW4)

“....Perkawinan, pesta, pakaian kantor....” (HW5)

Menurut kelima informan (HW1, HW2, HW3, HW4, dan HW5) songket

Silungkang dapat digunakan dalam kegiatan sehari-hari, karena tidak ada

peraturan khusus dalam menggunakan kain songket Silungkang. Dan, informan

HW1 mengatakan bahwa kain dengan motif songket Silungkang digunakan setiap

hari kamis sebagai seragam kantor.

Uraian di atas di tulis berdasarkan kutipan dari wawancara langsung

dengan para narasumber sebagai berikut :


130

“....Iya, setiap hari kamis pegawai pemerintahan daerah wajib

menggunakan songket Silungkang, untuk bahan baju kantor itu bebas

digunakan kapan saja dan dimana saja....” (HW1)

“....Iya....” (HW2)

“....Iya, orang yang berada di Sawahlunto diharuskan menggunakan

songket Silungkang sebagai promosi dari daerahnya....” (HW3)

“....Bisa....” (HW4)

“....Iya, untuk baju pesta dan pakaian kantor....” (HW5)

Jadi, dari penuturan para informan dapat disimpulkan bahwa kain songket

yang dahulunya digunakan untuk pakaian adat, tetapi sekarang juga dapat

digunakan untuk kegiatan sehari-hari maupun untuk acara-acara penting lainnya.

Walaupun sekarang pemakaian kain songket Silungkang lebih banyak digunakan

untuk kegiatan sehari-hari tetapi, dari dahulu sampai sekarang masyarakat di desa

Silungkang, kota Sawahlunto masih mempertahankan dan menggunakan kain

songket Silungkang sebagai pakaian adat, karena masyarakatnya masih

menjunjung tinggi adat istiadat dan budayanya.

Sekarang pemakaian kain songket Silungkang bebas digunakan kapan dan

dimana saja tetapi, untuk kain songket yang berat (kain songket jenis batubuar)

hanya digunakan untuk acara-acara pesta pernikahan.

Uraian di atas di tulis berdasarkan kutipan dari wawancara langsung

dengan para narasumber sebagai berikut :

“....Untuk bahan baju bebas, tetapi jika songket yang berat atau penuh itu

biasanya untuk ke perkawinan....” (HW1)


131

“....Tidak ada, tapi kalau menggunakan kain songket itu pada tempatnya

saja, misalnya untuk ke pesta atau acara....” (HW2)

“....Tidak ada....” (HW3)

“....Tidak ada....” (HW4)

“....Tidak ada, semuanya bisa menggunakan kain songket....” (HW5)

Berdasarkan penuturan kelima informan (HW1, HW2, HW3, HW4, dan

HW5), songket Silungkang tidak mengkhususkan pada motif dan warna ketika

digunakan, karena motif dan warna yang digunakan tidak mengandung makna

khusus dan dapat dipakai oleh siapa saja. Pemakain kain songket juga tidak

dibatasi dari usia anak-anak sampai usia dewasa, baik dari wanita maupun pria

dapat memakai kain songket Silungkang. Hanya saja, bahan baju atau songket

baju untuk perempuan dengan laki-laki yang membedakannya yaitu pada motif

dan warnanya.

Uraian di atas di tulis berdasarkan kutipan dari wawancara langsung

dengan para narasumber sebagai berikut :

“....Untuk bahan baju hampir sama tidak ada perbedaan, paling yang

untuk laki-laki warnannya yang berbeda untuk motif sama saja....” (HW1)

“....Iya, untuk yang laki-laki menggunakan motif yang agak simple dan

dari warnanya juga lebih yang netral....”(HW2)

“....Iya, untuk yang laki-laki sisamping melayu bedanya, menggunakan

seperti celana pake sisamping. Dan juga tergantung warna dan motif....”

(HW3)

“....Ada, berdasarkan motif yang dipakai....” (HW4)


132

“....Biasanya berbeda dari motif dan warnanya....” (HW5)

Gambar 4.31. Baju dan songket yang digunakan untuk busana pesta
Sumber : Dokumentasi pribadi

Pemasaran kain songket Silungkang sudah tersebar ke luar daerah kota

Sawahlunto mulai dari kota Bukit Tinggi, Padang, Pekanbaru, Medan, Jakarta,

Surabaya, Papua, bahkan juga sudah sampai ke mancanegara, seperti Brunei

Darussalam dan Singapore. Beberapa toko songket Silungkang juga membuat

website dan bisa menerima pesanan via online (Facebook, Instagram, BBM, dan

WhatsApp). Selain membuat kain songket para penenun juga membuat produk-

produk lainnya supaya lebih menarik minat konsumen dalam membeli kain khas

dari desa Silungkang tersebut. Beberapa produk yang dihasilkan para penenun

berdasarkan observasi dan wawancara langsung mengenai kain songket

Silungkang adalah sebagai berikut :

“....Baju, dasi, tas bisa dibikin cuma biasanya dari kain perca, jika taplak

meja, gambar dinding, bantal kursi itu sesuai pesanan....” (HW1)

“....Dasi dan tas itu menggunakan bahan yang sisa-sisa saja dan itu juga

sifatnya tidak spesial dan kurang diminati....” (HW2)


133

“....Dasi yang paling kecil, baju, taplak meja, gambar dinding, dan tas

kita memberikan bahan songketnya saja karena kita belum bisa menjahit

tas....” (HW3)

“....Baju, kemeja, dasi, peci, dompet, tas, taplak meja, gambar dinding

....” (HW4)

“....Dulu dibuat untuk baju kurung, sekarang untuk baju pesta, gaun, dasi,

tempat handphone, tas tapi yang bikin jarang karena tidak ada orang

untuk menjahit tasnya, taplak meja, gambar dinding, kaligrafi....” (HW5)

Jadi, dari penuturan para informan dapat disimpulkan bahwa bahan baju

atau songket baju yang ditenun oleh penenun yang dijual di toko-toko tenun

Silungkang biasanya dibuat kemeja laki-laki atau baju kurung (blouse)

perempuan. Dasi juga merupakan produk yang banyak dijual di toko-toko tenun di

Silungkang, karena pegawai laki-laki di daerah Silungkang dan Sawahlunto,

diwajibkan untuk menggunakan dasi dari motif kain songket Kain songket

Silungkang tidak hanya terbatas untuk busana pria dan wanita saja, tetapi juga

bisa dibuat untuk dekorasi dan aksesoris lainnya seperti, tas, gambar dinding,

taplak meja, kaligrafi, sarung bantal, dan lainnya tetapi, barang-barang tersebut

harus dipesan langsung kepada penenun, karena penenun lebih fokus untuk

mengerjakan kain songket dan bahan baju. Aksesoris dari kain songket

Silungkang juga kurang diminati oleh konsumen, karena tidak adanya pengrajin

yang membuat suatu kreativitas atau inovasi yang baru dari kain songket

Silungkang.
134

Gambar 4.32. Dasi


Sumber : Dokumentasi pribadi

Gambar 4.33. Kemeja


Sumber : Dokumentasi pribadi
135

Gambar 4.34. Baju dan songket Silungkang


Sumber : Dokumentasi pribadi

4.4 Kelemahan Penelitian

Meskipun penelitian ini sudah dilakukan secara optimal mulai dari

wawancara narasumber/informan, penelitian, dan pencarian data mengenai kain

songket Silungkang, tetapi masih banyak kelemahan di dalamnya dikarenakan

keterbatasan. Kelemahan-kelemahan yang ditemukan dalam penelitian ini antara

lain :

1. Masih terbatasnya sumber atau informan yang memiliki pengetahuan

mengenai kain songket Silungkang.

2. Masih terbatasnya referensi mengenai kain songket Silungkang


BAB V

PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN

5.2 Deskripsi Hasil Penelitian

Penelitian ini membahas tentang macam-macam ragam hias (motif) yang

terdapat pada kain songket Silungkang, proses pembuatan, dan fungsi dari kain

songket Silungkang. Data yang diperoleh selama proses penelitian dibahas dengan

beberapa langkah, mulai dari penulisan, pengelompokkan, penyajian dan

verifikasi data, sehingga diperoleh deskripsi hasil penelitian sebagai berikut :

5.2.1 Ragam Hias Songket Silungkang

“....Kelima narasumber mengatakan bahwa motif dalam kain songket Silungkang

sangat beragam, ada sekitar ratusan motif yang dimiliki oleh songket Silungkang.

Adapun ragam hias songket Silungkang terinspirasi dari flora, fauna, bangun

ruang, benda-benda alam disekitarnya, dan modifikasi ragam hias yang

diciptakan para penenun yng selalu berkembang sehingga motifnya sangat

beragam....”

Fakta diatas bila dikaitkan dengan teori menurut wikipedia bahasa

Indonesia menjelaskan bahwa ragam hias dapat berupa tenunan, tulisan pada kain

(misalnya batik atau songket), ukiran, pahatan pada kayu atau batu. Berdasarkan

pendapat tersebut, menyatakan bahwa ragam hias sangat penting dalam

pembuatan kain songket. Ragam hias diperoleh dengan cara menenun, membatik,

printing, melukis, atau menyulam. Setiap ragam hias yang diciptakan mewakili

simbol atau makna tertentu tentang adat istiadat dan kehidupan masyarakatnya.

136
137

Motif songket Silungkang terinspirasi dari alam, terutama dengan

mengambil bentuk dasar dari tumbuh-tumbuhan dan binatang. Tetapi, jika

diperhatikan motif-motif tumbuhan pada kain songket tidaklah digambarkan

secara realis (nyata), meskipun unsur alaminya seperti bunga atau daun tetap

terlihat. Penggambaran motifnya hanya berupa stilasi yang dikembangkan dengan

berbagai variasi. Penamaan pada motif umumnya berdasarkan pada nama tanaman

dan binatang, tetapi ada juga beberapa nama yang diambil dari kejadian alam dan

kata-kata adat.

Motif yang terinspirasi dari binatang penggambarannya tidak secara nyata,

karena masyarakat Minangkabau yang menganut ajaran agama Islam berupaya

untuk menghindari bentuk secara nyata dari binatang, karena takutnya dianggap

sebagai berhala atau animisme. Jika ada motif dengan nama itiak pulang patang

tidak akan ditemui gambaran berupa bentuk itik (bebek) secara natural dan nyata,

melainkan berupa bentuk stilasi.

Awalnya motif kain songket Silungkang masih sederhana dan warna-

warnanya tidak terlalu beragam seperti saat ini. Seiring berkembangnya teknologi,

songket Silungkang juga mengalami perubahan dari segi motif dan warnanya

yang juga sangat beragam, serta mulai mengembangkan motif dengan sumber

inspirasi yang diciptakan oleh para penenun. Hal tersebut sesuai dengan hasil

observasi yang peneliti dapatkan bahwa para penenun yang sudah turun-temurun

ke generasi berikutnya, sehingga mereka mulai menciptakan motif yang baru dan

berinovasi yang disesuaikan dengan zaman dan trend fashion yang sedang

berkembang.
138

Pada waktu dahulu motif yang ada di kain songket Silungkang mempunyai

makna yang terinspirasi dari alam. Alam mempunyai arti yang sangat penting bagi

masyarakat Minangkabau, karena berbagai ajaran dan pandangan hidupnya

tercantum dalam petatah-petitih yang diambil dari bentuk dan sifat-sifat alam.

Inspirasi dari alam yang diangkat sebagai motif, benar-benar mempunyai

sifat-sifat yang mencontoh dari kehidupan di masyarakat Minangkabau. Hal ini

sesuai dengan hasil observasi yang peneliti temukan pada buku tentang kain

songket yaitu Revitalisasi Songket Lama Minangkabau karangan Bernhard Bart

bahwa motif yang ada di kain songket mempunyai arti yang sesuai dengan

keperluan masyarakat Minangkabau, tetapi pada umumnya arti dari semua motif

adalah hal-hal yang baik sesuai dengan kaidah adat dan agama yang dianut

masyarakat Silungkang. Selain itu, motif yang ada di kain songket juga terdapat

pada ukiran-ukiran kuno rumah gadang Minangkabau.

Menurut hasil observasi yang peneliti dapatkan bahwa sekarang motif

yang terdapat pada kain songket hanya bersifat dekoratif yang berfungsi sebagai

hiasan saja. Tidak ada makna yang khusus pada motif songket Silungkang yang

sekarang. Penenun hanya menenun untuk kain songket yang lebih modern,

makna-makna yang dahulu ada di kain songket mulai ditinggalkan, walaupun

motif pucuak rabuang masih dipertahankan di dalam songket Silungkang, karena

motif pucuak rabuang merupakan motif yang menjadi ciri khas dari songket

Silungkang.

Sekarang motif (benang pakan) pada kain songket Silungkang tidak hanya

menggunakan benang macau emas atau perak, tetapi juga menggunakan benang
139

katun, sutera, dan benang sintetis lainnya, sehingga warna yang dihasilkan jadi

sangat beragam.

5.2.2 Proses Pembuatan Songket Silungkang

“....Kelima narasumber mengatakan alat tenun yang digunakan di daerah

Silungkang hampir sama dengan daerah lainnya. Kain songket Silungkang

ditenun dengan menggunakan alat tenun bukan mesin atau alat tenun tradisional

yang digerakkan oleh tenaga manusia, sehingga menjadi keunikan di zaman yang

modern ini. Hasil dan kualiatas (kerapatan benang motif) kain songket yang satu

dengan yang lainnya bisa berbeda-beda karena kain songket Silungkang

dikerjakan oleh tangan dan tergantung dari keahlian si penenun itu sendiri....”

Fakta diatas bila dikaitkan dengan teori menurut Norwani Moch, Nawawi

teknik menenun dan bahan yang digunakan dalam menghasilkan kain songket

masih terpelihara dari zaman ke zaman. Berdasarkan pendapat tersebut,

menyatakan bahwa proses pembuatan kain songket dikerjakan secara turun-

temurun oleh masyarakat Silungkang. Ilmu menenun yang dimiliki oleh orang tua

diwariskan turun-temurun ke anaknya sehingga kain ini tidak hilang seiring

dengan perkembangan zaman. Tidak hanya perempuan yang menenun kain

songket tetapi laki-laki juga ikut menenun kain songket walaupun jumlahnya tidak

sebanyak penenun perempuan. Laki-laki biasanya mengerjakan pekerjaan yang

lebih berat seperti mencelup benang, menghani, dan mengarok.

Pembuatan kain songket Silungkang tidak hanya dikerjakan oleh

penduduk di desa Silungkang, tetapi telah menyebar ke seluruh kota di

Sawahlunto dan tidak hanya penduduk asli dari Silungkang atau Sawahlunto saja
140

yang menenun, penduduk dari luar desa Silungkang kota Sawahlunto juga dapat

mempelajari dan membuat kain songket Silungkang.

Dari hasil observasi yang peniliti dapatkan bahwa dahulu benang yang

digunakan untuk menenun kain songket yaitu dari benang sutera, katun, macau

emas atau perak sedangkan, sekarang benang yang digunakan lebih beragam

dengan adanya benang sintetis seperti polyester, rayon, benang bordir, benang

metalik, dan lainnya. Penggunaan benang sintetis memudahkan bagi para penenun

karena pilihan warnanya banyak tersedia dipasaran.

Kesulitan dalam membuat kain songket Silungkang juga tergantung dari

motif dan benang. Songket dengan jenis balopak (motifnya penuh) memerlukan

waktu yang lebih lama pengerjaannya dibandingkan dengan songket jenis

batubuar (motifnya tersebar). Dan, jika motifnya itu juga rumit maka proses

pengerjaannya juga memerlukan waktu yang lama. Benang yang mempunyai

kualitas buruk juga akan mempengaruhi hasil dari tenunan kain songket tersebut.

5.2.3 Fungsi Songket Silungkang

“....Kelima narasumber mengatakan songket Silungkang biasa digunakan untuk

kesempatan acara-acara khusus seperti halnya acara adat dan acara perkawinan.

Tetapi, sekarang kain songket Silungkang juga dapat digunakan untuk kegiatan

sehari-hari seperti baju pegawai kantoran dan juga tidak ada peraturan khusus

dalam menggunakan kain songket Silungkang....”

Fakta diatas bila dikaitkan dengan teori menurut buku Tenunan

Tradisional Sumatera Barat menjelaskan bahwa pembuatan kain songket

Silungkang sesuai dengan fungsinya sebagai kain songket adat atau kain songket
141

biasa yang merupakan kreasi baru para penenun. Berdasarkan pendapat tersebut,

fungsi kain songket Silungkang sesuai dengan keinginan dari konsumen yang

membelinya, digunakan untuk kapan dan dimana saja, laki-laki maupun

perempuan dan dengan usia dari anak-anak sampai dewasa, karena tidak adanya

peraturan khusus dalam pemakaiannya.

Pada waktu dahulu songket atau selendang yang menggunakan benang

macau penuh (songket balopak) dan dengan teknik pengerjaan yang lebih susah

biasanya digunakan oleh orang-orang yang terpandang seperti datuk, keluarga

datuk, penghulu, dan orang terkemuka lainnya, karena harganya yang jauh lebih

mahal dan hanya orang-orang kaya yang mampu untuk membelinya. Sedangkan,

untuk orang-orang biasa atau penduduk biasa menggunakan kain songket yang

benang macaunya lebih sedikit (batabuar) karena harganya yang lebih murah dan

teknik pengerjaan yang tidak terlalu susah. Tetapi, sekarang masyarakat bebas

untuk menggunakan jenis songket balopak atau batubuar. Konsumen bebas untuk

membeli kain songket sesuai dengan kondisi ekonomi dan keinginan dari pembeli

itu sendiri.

Pada dahulu cawek digunakan untuk menutupi bagian pribadi laki-laki,

tetapi dengan munculnya celana panjang cawek berubah fungsi menjadi ikat

pinggang. Selain itu, perempuan juga menggunakan songket selendang yang bisa

digunakan untuk bermacam-macam, seperti untuk tutup kepala wanita (tengkuluk)

atau juga dapat digunakan sebagai selendang yang diletakkan di salah satu bahu.

Tengkuluk merupakan selendang dengan motif kain songket yang dibentuk kedua

ujungnya menyerupai bentuk tanduk kerbau. Bentuk tengkuluk yang menyerupai

bentuk tanduk kerbau ini menunjukkan bentuk yang sama dengan bentuk rumah
142

gadang dengan ujung atap rumah yang juga menyerupai bentuk tanduk. Hal ini

sesuai dengan hasil dokumentasi yang peneliti temukan pada buku tentang kain

songket Silungkang yaitu Tenunan Tradisional Sumatera Barat yang diterbitkan

oleh Dinas Museum dan Sejarah DKI Jakarta, Museum Tekstil bahwa pada waktu

dahulu fungsi kain songket Silungkang digunakan untuk keperluan pakaian

upacara-upacara adat dan pesta pernikahan, tetapi sekarang kain songket dapat

digunakan untuk kegiatan sehari-hari seperti, baju seragam kantor atau acara

penting lainnya.

Menurut hasil observasi yang peneliti dapatkan bahwa kain songket

Silungkang dapat digunakan untuk kegiatan sehari-hari, misalnya setiap hari

kamis seluruh pegawai pemerintahan daerah kota Sawahlunto diwajibkan untuk

menggunakan kain dengan motif songket Silungkang (bahan baju). Serta, pada

hari penting lainnya seperti, hari jadi kota Sawahlunto yang diperingati setiap

tanggal 1 Desember, masyarakat di desa Silungkang dan disekitar kota

Sawahlunto juga diwajibkan untuk menggunakan kain songket Silungkang pada

hari jadi kotanya.


BAB VI

KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

Kain songket Silungkang mempunyai 2 jenis yaitu kain songket dengan

jenis balopak dan batubuar. Perbedaan dari kain songket jenis balopak dengan

batubuar dapat terlihat pada motifnya. Kain songket dengan jenis balopak

mempunyai motif yang padat dan penuh sehingga memenuhi seluruh permukaan

kain songket, sedangkan pada jenis batubuar motifnya hanya tersebar dan

berserakan sehingga dasar kain songket masih dapat terlihat.

Motif yang terdapat pada kain songket Silungkang merupakan bagian dari

budaya masyarakat Minangkabau. Falsafah alam bagi masyarakat Minangkabau

mempunyai arti yang sangat dalam, maka dari itu motif yang ada di kain songket

Silungkang juga terinspirasi dari alam, seperti motif dari unsur-unsur tumbuhan

dan hewan serta motif geometris. Ciri khas dari kain songket Silungkang

mempunyai motif dan warna yang sangat beragam dibandingkan dengan kain

songket dari daerah lainnya. Tetapi, sekarang kain songket tidak mempunyai

makna atau arti yang khusus, karena penenun sudah memodifikasi pada motif dan

juga pada warnanya.

Kain songket Silungkang dimulai dan dikembangkan oleh masyarakat

yang berada di desa Silungkang dengan menggunakan alat tenun tradisional

dengan penggerak tenaga manusia. Songket Silungkang mempunyai kaedah dan

kedudukan yang dapat membuat suatu kain itu dapat disebut songket yaitu

mempunyai badan kain, kepala kain, pengapit kepala, dan pinggiran kain. Kain

143
144

songket Silungkang mempunyai proses pembuatan yang hampir sama dengan kain

songket daerah lainnya. Proses pembuatan kain songket Silungkang sehingga

menjadi selembar kain songket yang siap untuk digunakan yaitu dimulai dari

proses manuriang (pewarnaan benang), menghani (memasukkan benang ke gun),

mengarok (menyambung benang dari gun ke karok), membuat motif, dan tahap

selanjutnya menenun.

Dahulu kain songket Silungkang digunakan untuk pakaian adat dan acara

pesta, tetapi sekarang kain songket juga dapat digunakan untuk kegiatan sehari-

hari, seperti kemeja, blouse, dan baju seragam pegawai pemerintahan, selain itu

dari bahan-bahan sisa (perca) kain songket juga dapat dibuat menjadi dasi. Dan

juga sekarang menggunakan kain songket Silungkang tidak ada peraturan yang

khusus, kain songket Silungkang dapat digunakan kapan dan dimana saja, dari

usia anak-anak sampai dewasa, serta laki-laki atau perempuan dapat

menggunakan kain songket Silungkang tersebut.

Dahulu para penenun hanya membuat kain songket Silungkang yang

berfungsi sebagai penutup tubuh, tetapi sekarang para penenun juga membuat

produk-produk yang berfungsi sebagai perlengkapan lenan rumah tangga, seperti

taplak meja, gambar dinding, bantal kursi, kaligrafi, sajadah, sprei, dan lainnya.

Motif yang digunakan pada kain songket berbeda dengan produk lenan rumah

tangga. Motif pada produk lenan rumah tangga lebih sederhana dibandingkan

dengan motif yang ada di kain songket. Benang yang digunakan pada ragam hias

(benang pakan) kain songket warnanya juga sangat beragam, sedangkan pada

produk lenan rumah tangga ragam hiasnya hanya menggunakan benang macau

emas atau perak saja untuk menonjolkan produk-produk yang dihasilkan.


145

Ssedangkan, untuk cara pengerjaannya sama seperti membuat kain songket

Silungkang pada umumnya yaitu dengan cara ditenun dengan menggunakan alat

tenun tradisional, tetapi yang membedakannya hanya pada ukurannya. Selain itu,

konsumen (pembeli) juga dapat memesan secara langsung ke penenun yang

disesuaikan dengan motif dan warna yang diinginkan dari konsumen tersebut.

6.2 Implikasi

Berdasarkan kesimpulan dari peneliti, adapun implikasi yang diperoleh

dari penelitian ini adalah :

1. Untuk dapat lebih mengetahui dan melestarikan budaya Indonesia salah

satunya kain songket tradisional yang berasal dari daerah Sumatera Barat,

yaitu kain songket Silungkang yang untuk saat ini masih kurang dikenal

oleh masyarakat Indonesia.

2. Untuk memberikan motivasi bagi para pengenun kain songket Silungkang

agar terus membuat kain songket dengan kualitas yang baik supaya kain

songket Silungkang dapat menjadi warisan dari budaya Indonesia.

3. Untuk lebih mengembangkan pengetahuan mengenai kain tradisional di

Indonesia

4. Untuk memberikan informasi kepada Program Studi Tata Busana,

mengenai salah satu kain songket yaitu kain songket Silungkang, sehingga

mahasiswa khususnya mahasiswa Tata Busana terus terpacu untuk

menggali kebudayaan kain songket di Indonesia dan ikut melestarikan kain

songket sebagai bagian dari warisan budaya Indonesia.


146

6.3 Saran

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, maka peneliti

memberikan saran sebagai berikut :

1. kepada masyarakat Sumatera Barat agar lebih mempertahankan dan

memperkenalkan budaya, adat istiadat serta kerajinan khas daerahnya agar

tidak punah (menghilang).

2. Kepada masyarakat Indonesia agar dapat lebih mengenal macam-macam

warisan budaya yang terdapat di Indonesia serta melestarikan dan

mencintai kain-kain tradisional khas ada di Indonesia.

3. Kepada para pengrajin songket Silungkang agar terus membuat kain

songket Silungkang dengan kualitas yang lebih baik, agar kebudayaan

daerah Minangkabau lebih dikenal oleh masyarakat Indonesia sendiri serta

mancanegara.

4. Bagi Mahasiswa Prodi Tata Busana agar dapat meneliti dan

mengembangkan benda-benda budaya yang ada di Indonesia sebagai

sumber inspirasi.

5. Bagi peneliti selanjutnya agar dapat melakukan penelitian kajian lebih

jauh mengenai Kain Songket Silungkang.


DAFTAR PUSTAKA

Sumber Buku

Affendi, Yusuf. 1981. Seni Tenun Silungkang dan Sekitarnya. Jakarta :


Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Arifin, H. Kiagus Zainal. 2006. Songket Palembang: Indahnya Tradisi Di Tenun


Sepenuh Hati. Jakarta : Dian Rakyat.

Arikunto, Suharsini. 1995. Manajemen Penelitian. Jakarta : Rineka Cipta.

Bart, Bernhard. 2006. Revitalisasi Songket Lama Minangkabau. Padang : Studio


Songket ErikaRianti.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1978. Adat Istiadat Daerah Sumatera


Barat. Jakarta : Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1994. Kain Indonesia dan Negara Asia
Lainnya Sebagai Warisan Budaya. Jakarta : Proyek Kebudayaan Direktorat
Jenderal Pendidikan dan Kebudayaan.

Dinas Museum dan Sejarah DKI Jakarta. 1996. Tenunan Tradisional Sumatera
Barat. Jakarta : Museum Tekstil.

Dinas Perindagkopnaker Kota Sawahlunto. 2013. Songket Silungkang Warisan


Budaya Kota Tua Sawahlunto. Jakarta : Museum Tekstil.

Dinas Perindagkopnaker Kota Sawahlunto. 2014. Lintasan Sejarah Songket


Silungkang. Sawahlunto : Dinas Perindagkopnaker

Kartiwa, Suwati. 1982. Kain Songket Indonesia. Jakarta: Djambatan.

Milles, Mathew B & Huberman, A. Michael. 1992. Analisis Data Kualitatif.


Jakarta : Universitas Indonesia Press.

Nazir, Moh. 2005. Metode Penelitian. Bogor: PT. Ghalia Indonesia.

Prastowo, Andi. 2011. Metode Penelitian Kualitatif dalam Perspektif Rancangan


Penelitian. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media

Said, Nawir. 2007. Songket Silungkang. Jakarta : Citra Kreasindo.

Sarwono, Jonatan. 2006. Metode Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif.


Yogyakarta: Graha Ilmu.
Sugiyono. 2002. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung :
Alfabeta.

Sukardi. 2003. Metodologi Penelitian Pendidikan Kompetensi dan Praktiknya.


Jakarta: PT. Bumi Aksara.

Suliyanthini, Dewi. 2011. RPKPS Tekstil. Jakarta : Universitas Negeri Jakarta.

Sunaryo, Aryo. 2009. Ornamen Nusantara Kajian Khusus Tentang Ornamen


Indonesia. Semarang : Dahara Prize.

Zumar, Dhorifi. 2007. Tenun Tradisional Indonesia. Jakarta: PT. Dian Rakyat.

Sumber Internet

www.id.wikipedia.org

www.indonesia.travel.id

www.life.viva.co.id

www.lifestyle.okezone.com

www.melayuonline.com

www.munirtaher.wordpress.com

www.palembang.tribunnews.com

www.tabloiddiplomasi.org

www.tenunindonesia.com

www.sawahluntomuseum.wordpress.com

www.swarakalibata.com

Sumber Skripsi

Novita, Ria. 2014. Studi Tentang Kain Songket Batubara. Jakarta: Universitas
Negeri Jakarta.

Videlia, Petro Nella. 2013. Studi Tentang Kain Tenun Songket Tarutung. Jakarta:
Universitas Negeri Jakarta.
LAMPIRAN I

PEDOMAN WAWANCARA
PEDOMAN WAWANCARA

Fokus Sub Fokus Pertanyaan

Kain 11. Apakah yang dimaksud dengan kain

Songket songket Silungkang?

Silungkang 12. Sejak kapan kain songket Silungkang

sudah dibuat?

13. Bagaimana sejarah pembuatan kain

songket Silungkang?

14. Seperti apakah ciri khas dari kain

songket Silungkang?

Ragam Hias  Motif 1. Ada berapa macam ragam hias yang

 Makna dimiliki kain songket Silungkang?

 Warna 2. Pada perkembangannya apakah motif

kain songket Silungkang mengalami

banyak perubahan?

3. Sebutkan nama-nama motif kain

songket Silungkang?

4. Motif apa saja yang paling sering

digunakan dalam pembuatan kain

songket Silungkang?

5. Apakah setiap motif mempunyai

makna/arti tersendiri?
6. Warna apa saja yang digunakan kain

songket Silungkang?

7. Apakah warna yang digunakan dalam

kain songket Silungkang mempunyai

arti?

8. Apakah ada perbedaan kain songket

Silungkang yang dahulu dengan kain

songket silungkang yang dibuat

sekarang?

Proses  Alat 1. Apakah nama alat tenun yang

Pembuatan  Bahan digunakan di Silungkang?

 Waktu 2. Apakah ada perbedaan alat tenun

pengerjaan Silungkang dengan alat tenun daerah

 SDM lainnya?

3. Bagaimana proses pembuatan kain

songket Silungkang?

4. Apakah proses pembuatan kain songket

Silungkang sama dengan pembuatan

kain songket lainnya?

5. Apakah ada kesulitan dalam

pembuatan kain songket Silungkang?

6. Pewarna apakah yang digunakan dalam

pembuatan kain songket Silungkang?


7. Benang apa saja yang digunakan dalam

pembuatan kain songket Silungkang?

8. Bagaimana tekstur kain songket

Silungkang?

9. Berapa lama proses pembuatan kain

songket Silungkang?

10. Pekerjaan menenun kain songket

Silungkang apakah dilakukan secara

turun-temurun?

11. Apakah menenun kain songket

Silungkang dikerjakan oleh penduduk

asli atau dapat dikerjakan oleh

penduduk dari luar daerah Silungkang?

12. Proses dari awal sampai akhir

pembuatan kain songket Silungkang

dikerjakan oleh berapa orang?

13. Usia berapa penenun mulai belajar cara

bertenun kain songket Silungkang?

14. Sampai usia berapakah penenun

menenun kain songket Silungkang?

15. Perempuan atau laki-laki yang

kebanyakan menjadi pekerja menenun

kain songket Silungkang?


Fungsi Kain  Usia 1. Usia berapa yang diperbolehkan

Songket  Kesempatan menggunakan kain songket

Silungkang  Tempat Silungkang?

 Waktu 2. Kain songket Silungkang dapat

digunakan pada upacara apa saja?

3. Apakah ada peraturan dalam

menggunakan kain songket

Silungkang?

4. Apakah kain songket Silungkang dapat

digunakan untuk sehari-hari?

5. Apakah usia menentukan dalam

pemakain kain songket Silungkang?

6. Adakah perbedaan kain songket

Silungkang yang digunakan oleh

perempuan dan laki-laki?

7. Pada zaman sekarang apakah masih

ada yang menggunakan kain songket

Silungkang sebagai pakaian adat?


LAMPIRAN II

SURAT MENYURAT
LAMPIRAN III

HASIL WAWANCARA
HASIL WAWANCARA NARASUMBER

Nama : Rita Kurnia

(Pemilik Toko INJ)

P : Apakah yang dimaksud dengan kain songket Silungkang?

HW1 : Dikerjakan secara menyungkit dan manual

P : Sejak kapan kain songket Silungkang sudah dibuat?

HW1 : Kurang lebih 400 tahun yang lalu

P : Bagaimana sejarah pembuatan kain songket Silungkang?

HW1 : Menenun itu sudah dikerjakan secara turun-temurun dari nenek moyang

P : Seperti apakah ciri khas dari kain songket Silungkang?

HW1 : Benangnya hampir sama dengan pandai sikek karena pandai sikek

bahannya juga dari sini, cara pengerjaannya juga hampir sama, cuma yang

berbeda kalau Silungkang bisa dibikin baju, dipakainya ringan, simpel,

mudah, tidak berat seperti Pandai Sikek dan juga gun (tempat benang)

Silungkang bulat, tetapi kalau Pandai Sikek dan Payakumbuh kotak

P : Ada berapa macam ragam hias yang dimiliki kain songket Silungkang?

HW1 : Ada ratusan macam motif songket

P : Pada perkembangannya apakah motif kain songket Silungkang

mengalami banyak perubahan?

HW1 : Tidak, paling-paling sekali 3 tahun baru ada pertukaran motif tetapi

biasanya juga balik lagi ke motif yang lama

P : Sebutkan nama-nama motif kain songket Silungkang?


HW1 : Itiak pulang patang, bunga, pucuak rabuang, sirangkak, saik kalamai,

bintang-bintang, burung merak, bunga melati, burung pipit, burung dalam

rimbo, anggur

P : Motif apa saja yang paling sering digunakan dalam pembuatan kain

songket Silungkang?

HW1 : Pucuak rabuang, saik kalamai, sirangkak, bunga, burung merak

P : Apakah setiap motif mempunyai makna/arti tersendiri?

HW1 : Tidak mempunyai arti

P : Warna apa saja yang digunakan kain songket Silungkang?

HW1 :Semua warna digunakan, ada hijau, kuning, coklat muda, coklat tua,

macam-macam warna abu-abu, pokoknya semua warna komplit dan

banyak

P : Apakah warna yang digunakan dalam kain songket Silungkang

mempunyai arti?

HW1 : Tidak, kecuali untuk perkawinan identiknya menggunakan warna merah

P : Apakah ada perbedaan kain songket Silungkang yang dahulu dengan kain

songket silungkang yang dibuat sekarang?

HW1 : Sama saja, tapi kalau dahulu benangnya katun jepang, kalau sekarang

menggunakan katun linen biasa

P : Apakah nama alat tenun yang digunakan di Silungkang?

HW1 : Kinci untuk menuring, alat menghani, pelantai dan sikek karok untuk

bertenun

P : Apakah ada perbedaan alat tenun Silungkang dengan alat tenun daerah

lainnya?
HW1 : Alat tenun di Sumatera Barat hampir sama, cuma gunnya kalau

Silungkang bulat, Pandai Sikek dan Payakumbuh kotak

P : Bagaimana proses pembuatan kain songket Silungkang?

HW1 : Proses pertama menuring, menghani, mengarok (yang untuk injak-injak

depan belakang), proses membikin motif itu yang dinamakan songket cara

mengerjakannya dengan menghitung benang, setelah itu baru proses

menenun. Kalau tidak melakukan mengarok setelah menghani langsung

menyambung, itu kalau proses lanjutannya

P : Apakah proses pembuatan kain songket Silungkang sama dengan

pembuatan kain songket lainnya?

HW1 : Sama saja dengan daerah lainnya

P : Apakah ada kesulitan dalam pembuatan kain songket Silungkang?

HW1 : Tergantung dari motifnya dan juga kalau benang putus harus segara

disambung kalau tidak benang masuk ke dalam, jadi tidak boleh dibiarkan

P : Pewarna apakah yang digunakan dalam pembuatan kain songket

Silungkang?

HW1 : Pewarnaan sintetis kimia

P : Benang apa saja yang digunakan dalam pembuatan kain songket

Silungkang?

HW1 : Benang linen, double penguin, sutera, macau tembaga, macau emas,

macau perak, benang metalik

P : Bagaimana tekstur kain songket Silungkang?

HW1 : Ada yang kasar dan ada yang halus. Bedanya benangnya 1 maka

tekstrurnya lebih halus, jika benangnya 2 makanya teksturnya agak kasar.


Bahannya juga macam-macam kalau mau lembut dari sutera dan katun,

kalau yang kasar dari polyester (benang double penguin)

P : Berapa lama proses pembuatan kain songket Silungkang?

HW1 : Bahan baju 3 hari, jika motif yang penuh waktunya bisa sampai

berbulan-bulan, songket selendang kecil 1 minggu, songket selendang

besar 15 hari

P : Pekerjaan menenun kain songket Silungkang apakah dilakukan secara

turun-temurun?

HW1 : Iya, dari nenek moyang

P : Apakah menenun kain songket Silungkang dikerjakan oleh penduduk asli

atau dapat dikerjakan oleh penduduk dari luar daerah Silungkang?

HW1 : Ada dari daerah Sawahlunto sekarang sudah menyebar ke daerah sekitar

Silungkang tetapi masih di daerah Sawahlunto

P : Proses dari awal sampai akhir pembuatan kain songket Silungkang

dikerjakan oleh berapa orang?

HW1 : Menuring 1 orang, menghani 1 orang, mengarok atau menyambung 1

orang, menenun 1 orang dan mencelup 1 orang, berarti 5 orang

P : Usia berapa penenun mulai belajar cara bertenun kain songket

Silungkang?

HW1 : Itu tergantung dari kemauannya, biasanya dari SD sudah belajar

P : Sampai usia berapakah penenun menenun kain songket Silungkang?

HW1 : Usia 65 tahun masih bisa, selagi masih kuat tidak ada batasannya,

memulai tidak ada batasannya mengakhirinya juga tidak ada batasannya


P : Perempuan atau laki-laki yang kebanyakan menjadi pekerja menenun

kain songket Silungkang?

HW1 : Ada laki-laki tukang menenun 10 orang, tetapi masih kebanyakan tukang

menenun itu perempuan

P : Usia berapa yang diperbolehkan menggunakan kain songket Silungkang?

HW1 : Bebas dari kecil juga sudah boleh tergantung orang tuanya mampu untuk

membelikan, tidak ada batasannya

P : Kain songket Silungkang dapat digunakan pada upacara apa saja?

HW1 : Iya dahulu untuk upacara perkawinan, acara adat-adat, kalau sekarang

tidak

P : Apakah ada peraturan dalam menggunakan kain songket Silungkang?

HW1 : Untuk bahan baju bebas, tetapi jika songket yang berat atau penuh itu

biasanya untuk ke perkawinan

P : Apakah kain songket Silungkang dapat digunakan untuk sehari-hari?

HW1 : Iya, setiap hari kamis pegawai pemerintahan daerah wajib menggunakan

songket Silungkang, untuk bahan baju kantor itu bebas digunakan kapan

saja dan dimana saja

P : Apakah usia menentukan dalam pemakain kain songket Silungkang?

HW1 : Tidak, pemakaian kain songket itu bebas

P : Adakah perbedaan kain songket Silungkang yang digunakan oleh

perempuan dan laki-laki?

HW1 : Untuk bahan baju hampir sama tidak ada perbedaan, paling yang untuk

laki-laki warnannya yang berbeda untuk motif sama saja


P : Pada zaman sekarang apakah masih ada yang menggunakan kain songket

Silungkang sebagai pakaian adat?

HW1 : Tidak, sekarang kebanyakan digunakan untuk acara pesta


HASIL WAWANCARA NARASUMBER

Nama : Ainaul Mardiau

(Pemilik Toko Aina)

P : Apakah yang dimaksud dengan kain songket Silungkang?

HW2 : Kain songket itu kain yang ditenun

P : Sejak kapan kain songket Silungkang sudah dibuat?

HW2 : Sudah beratus-ratus tahun yang lalu

P : Bagaimana sejarah pembuatan kain songket Silungkang?

HW2 : Kurang begitu tahu karena sudah dilakukan secara turun-temurun

P : Seperti apakah ciri khas dari kain songket Silungkang?

HW2 : Ciri khasnya itu pucuak rebuang. Pucuak rebuang itu bisa dikembangkan

bisa menjadi 20 macam motif. Jadi bintang, daun, saik kalamai, pokoknya

menjadi macam-macam desain yang bisa dikembangkan

P : Ada berapa macam ragam hias yang dimiliki kain songket Silungkang?

HW2 : Banyak sekali ragamnya

P : Pada perkembangannya apakah motif kain songket Silungkang

mengalami banyak perubahan?

HW2 :Iya. Perkembangannya macam-macam, motif yang dibuat di komputer

kemudian dicampur dengan alat gedogan.

P : Sebutkan nama-nama motif kain songket Silungkang?

HW2 : Motif tulip, apel-apel, pita, kaluak paku

P : Motif apa saja yang paling sering digunakan dalam pembuatan kain

songket Silungkang?
HW2 :Songket ciri khasnya pucuak rabuang tetapi sudah dikembangkan. Pucuak

rabuang yang sudah dimodifikasi komputer dengan alat tenun

P : Apakah setiap motif mempunyai makna/arti tersendiri?

HW2 : Dahulu cuma motif pucuak rabuang yang kemudian berkembang menjadi

bambu yang artinya itu serba guna, tetapi kalau sekarang motif tidak

mempunyai makna lagi karena sudah disesuaikan dengan keinginan

konsumen

P : Warna apa saja yang digunakan kain songket Silungkang?

HW2 : Warnanya macam-macam, mengikuti trend warna terbaru sesuai dengan

warna apa yang sedang trend di tahun 2014 dan tahun 2015, kita

mengikuti warna yang sedang trend tersebut

P : Apakah warna yang digunakan dalam kain songket Silungkang

mempunyai arti?

HW2 : Iya, arti dari warnanya kita ambil di buku kombinasi warna dan internet

P : Apakah ada perbedaan kain songket Silungkang yang dahulu dengan kain

songket silungkang yang dibuat sekarang?

HW2 :Perbedaan yang dahulu dan yang sekarang itu dari segi warna dan motif.

Motif yang sekarang itu lebih maju karena motif yang lama

dikombinasikan dengan motif yang baru

P : Apakah nama alat tenun yang digunakan di Silungkang?

HW2 : Tenun gedogan

P : Apakah ada perbedaan alat tenun Silungkang dengan alat tenun daerah

lainnya?
HW2 : Perbedaanya, daerah Palembang itu di bagian pinggangnya diikat untuk

yang lainnya sama saja

P : Bagaimana proses pembuatan kain songket Silungkang?

HW2 : Dari mulai benang itu dicelup, dipintal, dihani, dibikin gun (istilah

silungkangnya mengarok), terus setelah mengarok kemudian dibikin motif

sesuai dengan selera masing-masing atau selera konsumen

P : Apakah proses pembuatan kain songket Silungkang sama dengan

pembuatan kain songket lainnya?

HW2 : Sama saja dengan daerah lainnya

P : Apakah ada kesulitan dalam pembuatan kain songket Silungkang?

HW2 : Kesulitannya paling peralatannya kalau kurang bagus, jadi hasilnya juga

kurang bagus kita bertenun juga agak susah, kainnya juga ikut tidak bagus

P : Pewarna apakah yang digunakan dalam pembuatan kain songket

Silungkang?

HW2 : Menggunakan pewarna sintetis, tetapi ada yang mencelup sendiri dan ada

yang dari pabrik

P : Benang apa saja yang digunakan dalam pembuatan kain songket

Silungkang?

HW2 :Benangnya kita menggunakan benang linen katun untuk lusinya, kalau

pakannya itu menggunakan benang-benang bordir (pisco rayon), benang

sutera, benang makau juga bisa digunakan untuk baju dan songket,

dahulunya benang tersebut dari India tetapi sekarang dari Jepang

P : Bagaimana tekstur kain songket Silungkang?


HW2 :Teksturnya ada yang kasar atau halus itu tergantung dari pengunaan

benang ketika menenunnya

P : Berapa lama proses pembuatan kain songket Silungkang?

HW2 : Proses awalnya itu 15 hari, untuk proses menenun itu membutuhkan

waktu 1 minggu, jika motifnya agak rumit bisa sampai 1 bulan

P : Pekerjaan menenun kain songket Silungkang apakah dilakukan secara

turun-temurun?

HW2 : Ada juga yang turun-temurun, ada juga orang yang dari luar daerah

Sawahlunto

P : Apakah menenun kain songket Silungkang dikerjakan oleh penduduk asli

atau dapat dikerjakan oleh penduduk dari luar daerah Silungkang?

HW2 : Dapat juga dikerjakan oleh orang luar, seperti orang jawa. Kalau orang

dari luar pulau itu dia hanya menenun saja

P : Proses dari awal sampai akhir pembuatan kain songket Silungkang

dikerjakan oleh berapa orang?

HW2 : 7 orang. Tukang celup, tukang pemintal benang, tukang hani, tukang gun

(mengarok), sambung, motif, baru menenun

P : Usia berapa penenun mulai belajar cara bertenun kain songket

Silungkang?

HW2 : Belajar menenun itu dari tamat SMP

P : Sampai usia berapakah penenun menenun kain songket Silungkang?

HW2 : Usia 70 tahun yang penting dia masih kuat untuk menenun

P : Perempuan atau laki-laki yang kebanyakan menjadi pekerja menenun

kain songket Silungkang?


HW2 : Kebanyakan laki-laki, dari proses mencelup, memintal, menghani,

mengarok, menyambung, proses awalnya dikerjakan oleh laki-laki karena

kerjanya agak berat, perempuan dia hanya menenun

P : Usia berapa yang diperbolehkan menggunakan kain songket Silungkang?

HW2 : Dari smp ke atas, remaja sampai dewasa

P : Kain songket Silungkang dapat digunakan pada upacara apa saja?

HW2 : Perkantoran, pesta, kalau adat itu batagak punggung yang diletakkan

disamping, tapi kebanyakan untuk perkantoran

P : Apakah ada peraturan dalam menggunakan kain songket Silungkang?

HW2 : Tidak ada, tapi kalau menggunakan kain songket itu pada tempatnya saja,

misalnya untuk ke pesta atau acara

P : Apakah kain songket Silungkang dapat digunakan untuk sehari-hari?

HW2 : Iya

P : Apakah usia menentukan dalam pemakain kain songket Silungkang?

HW2 : Tidak, pemakaian kain songket itu tergantung keinginan dari konsumen

P : Adakah perbedaan kain songket Silungkang yang digunakan oleh

perempuan dan laki-laki?

HW2 : Iya, untuk yang laki-laki menggunakan motif yang agak simple dan dari

warnanya juga lebih yang netral

P : Pada zaman sekarang apakah masih ada yang menggunakan kain songket

Silungkang sebagai pakaian adat?

HW2 : Tidak, sekarang banyak digunakan untuk pesta, acara-acara sekolah


HASIL WAWANCARA NARASUMBER

Nama : Mahdalena

(Pemilik Toko Ellen Songket)

P : Apakah yang dimaksud dengan kain songket Silungkang?

HW3 : Yang dimaksud dengan kain songket itu kain tenunan tradisional ATBM

yang dibuat dengan tangan

P : Sejak kapan kain songket Silungkang sudah dibuat?

HW3 : Kalau itu kurang tahu, itu sudah ada dari generasi ke generasi

P : Bagaimana sejarah pembuatan kain songket Silungkang?

HW3 : Awal mulanya songket ini dari Silungkang konon yang menenun orang

Sawahlunto istilahnya anak tenun atau buahnya. Jadi, orang Lunto ini yang

menenun dan songket ini juga kebanyakan dibuat di Lunto cuma namanya

tetap Songket Silungkang

P : Seperti apakah ciri khas dari kain songket Silungkang?

HW3 : Ciri khasnya itu banyak, dari motifnya, benangnya, kalau dari Luntonya

itu iya hampir-hampir sama dengan Silungkang karena motif itu sudah

pada monoton sudah hampir sama semua

P : Ada berapa macam ragam hias yang dimiliki kain songket Silungkang?

HW3 : Yang dipatenkan saja ada sekitar 300 motif dan banyak juga motif-motif

yang terbaru

P : Pada perkembangannya apakah motif kain songket Silungkang

mengalami banyak perubahan?

HW3 : Iya, tetapi ada juga yang masih menggunakan motif yang lama
P : Sebutkan nama-nama motif kain songket Silungkang?

HW3 : Itiak pulang patang, pucuak rebuang, burung dalam rimbo, burung

merak, saik kalamai, sipikar, tampok manggis, rangkiang (rumah adat

minang), bintang

P : Motif apa saja yang paling sering digunakan dalam pembuatan kain

songket Silungkang?

HW3 : Itiak pulang, pucuak rabuang, bintang pagar, saik kalamai, tampok

manggis, rangkiang (ciri khas rumah minang)

P : Apakah setiap motif mempunyai makna/arti tersendiri?

HW3 : Iya, tapi sekarang itu bikin motif yang terbaru saja kadang ada makna,

kadang tidak ada makna, tetapi kalau dahulu itu pasti memiliki makna

P : Warna apa saja yang digunakan kain songket Silungkang?

HW3 : Semua warna digunakan. Warna itu bebas tergantung permintaan dari

pelanggan atau konsumen

P : Apakah warna yang digunakan dalam kain songket Silungkang

mempunyai arti?

HW3 : Tidak ada

P : Apakah ada perbedaan kain songket Silungkang yang dahulu dengan kain

songket silungkang yang dibuat sekarang?

HW3 : Perbedaan yang dahulu dan yang sekarang itu dari motif, warna, dan

benang

P : Apakah nama alat tenun yang digunakan di Silungkang?

HW3 : Tenun pelantai


P : Apakah ada perbedaan alat tenun Silungkang dengan alat tenun daerah

lainnya?

HW3 : Tidak, sama saja

P : Bagaimana proses pembuatan kain songket Silungkang?

HW3 : Menghani, menggulung, menyambung, mengarok, membuat motif, dan

menenun

P : Apakah proses pembuatan kain songket Silungkang sama dengan

pembuatan kain songket lainnya?

HW3 : Sama saja dengan daerah lainnya

P : Apakah ada kesulitan dalam pembuatan kain songket Silungkang?

HW3 : Kesulitannya itu membikin motifnya

P : Pewarna apakah yang digunakan dalam pembuatan kain songket

Silungkang?

HW3 : Kita tidak melakukan proses pencelupan benang karena belum berhasil

membuatnya, jadi kita masih beli dari Bandung

P : Benang apa saja yang digunakan dalam pembuatan kain songket

Silungkang?

HW3 : Benang yang digunakan pisco rayon, sutera, katun

P : Bagaimana tekstur kain songket Silungkang?

HW3 : Teksturnya ada yang kasar dan halus

P : Berapa lama proses pembuatan kain songket Silungkang?

HW3 : Jika dari proses awal seperti dari menghani, menggulung, menyambung,

mengarok, dan membuat motif itu membutuhkan waktu kira-kira 15 hari,

tetapi jika proses menenun tergantung dari motif, membuat songket baju
ini bisa 2 hari 1 helai, kalau songket bisa 2 songket 15 hari, 3 songket 15

hari, 1 songket 1 minggu, 3 songket 1 minggu

P : Pekerjaan menenun kain songket Silungkang apakah dilakukan secara

turun-temurun?

HW3 : Turun-temurun dari generasi ke generasi

P : Apakah menenun kain songket Silungkang dikerjakan oleh penduduk asli

atau dapat dikerjakan oleh penduduk dari luar daerah Silungkang?

HW3 : Kebanyakan songket Silungkang dikerjakan oleh orang Lunto dan di

desa-desa sekitar Sawahlunto

P : Proses dari awal sampai akhir pembuatan kain songket Silungkang

dikerjakan oleh berapa orang?

HW3 : 6 orang. Tukang pemintal benang, tukang hani, tukang gun (mengarok),

sambung, motif, menenun

P : Usia berapa penenun mulai belajar cara bertenun kain songket

Silungkang?

HW3 : Tamat SMP

P : Sampai usia berapakah penenun menenun kain songket Silungkang?

HW3 : Usia 65 tahun

P : Perempuan atau laki-laki yang kebanyakan menjadi pekerja menenun

kain songket Silungkang?

HW3 : Kebanyakan laki-laki, dari proses awal dan menenunnya juga ada yang

dikerjakan oleh laki-laki

P : Usia berapa yang diperbolehkan menggunakan kain songket Silungkang?


HW3 : Dari anak-anak sampai dewasa, tetapi kebanyakan yang menggunakan

songket ini dari usia remaja sampai dewasa

P : Kain songket Silungkang dapat digunakan pada upacara apa saja?

HW3 : Perkawinanan, pesta, adat, baju seragam kantor

P : Apakah ada peraturan dalam menggunakan kain songket Silungkang?

HW3 : Tidak ada

P : Apakah kain songket Silungkang dapat digunakan untuk sehari-hari?

HW3 : Iya, orang yang berada di Sawahlunto diharuskan menggunakan songket

Silungkang sebagai promosi dari daerahnya

P : Apakah usia menentukan dalam pemakain kain songket Silungkang?

HW3 : Tidak, dari usia anak-anak sampai usia dewasa dapat menggunakan

songket

P : Adakah perbedaan kain songket Silungkang yang digunakan oleh

perempuan dan laki-laki?

HW3 : Iya, untuk yang laki-laki sisamping melayu bedanya, menggunakan

seperti celana pake sisamping. Dan juga tergantung warna dan motif

P : Pada zaman sekarang apakah masih ada yang menggunakan kain songket

Silungkang sebagai pakaian adat?

HW3 : Tidak, sekarang banyak digunakan untuk acara-acara, pesta, seragam

perkantoran
HASIL WAWANCARA NARASUMBER

Nama : Nofriadi , A.Md

(Perindagkopnaker Kota Sawahlunto)

P : Apakah yang dimaksud dengan kain songket Silungkang?

HW4 : Songket Silungkang adalah kain tenun yang dibuat oleh masyarakat

Silungkang secara tradisional dengan memanfaatkan kekayaan alam dan

motif yang berasal dari lingkungan sekitar

P : Sejak kapan kain songket Silungkang sudah dibuat?

HW4 : Pada Abad ke- 16

P : Bagaimana sejarah pembuatan kain songket Silungkang?

HW4 : Kain songket Silungkang awalnya berasal dari negeri jiran dan di bawa

oleh Hulu balang Tuanku Baginda Ali pada abad 16, kain tenun yang

dikerjakan dengan menggunakan alat atau bahan yang sangat sederhana

begitu juga dalam sistem pekerjaan, bahan bahan untuk penenun disiapkan

sendiri penyediaan bahan dan pembuatan mesin tenun sampai kepada

pemasangan. Selain itu kain yang ditenun menggunakan benang emas dan

perak yang dilakukan dengan proses menyungkit benang lusi dan

membuat beraneka ragam corak hias dari hasil proses tenun tersebut

P : Seperti apakah ciri khas dari kain songket Silungkang?

HW4 : Ciri khas tenun songket silungkang adalah berasal dari lingkungan sekitar

seperti ragam hias burung merak, burung dalam rimba, pucuak rabuang,

kaluak paku, saik kalamai, hewan dan tumbuhan lainnya

P : Ada berapa macam ragam hias yang dimiliki kain songket Silungkang?
HW4 : Ragam hias songket silungkang sangat kaya dan bervariatif antara lain

berasal dari motif hewan, tumbuhan, bangun ruang dan lainnya

P : Pada perkembangannya apakah motif kain songket Silungkang

mengalami banyak perubahan?

HW4 : Untuk perubahan motif jarang terjadi karena masyarakat silungkang

selalu mempertahankan motif khas daerah, akan tetapi perkembangan

motif yang lain tetap diupayakan

P : Sebutkan nama-nama motif kain songket Silungkang?

HW4 : Burung merak, burung dalam rimbo, pucuak rabuang, kaluak paku, saik

kalamai, sajamba makan, bijo mantimun, tampuak manggih, bungo

satangkai dll

P : Motif apa saja yang paling sering digunakan dalam pembuatan kain

songket Silungkang?

HW4 : Pada umumnya semua motif tersebut menjadi satu kesatuan dalam

sehelai kain songket

P : Apakah setiap motif mempunyai makna/arti tersendiri?

HW4 : Setiap motif mempunyai arti tersendiri sesuai dengan keperluan, tetapi

pada umumnya arti dari semua motif adalah hal-hal yang baik sesuai

dengan kaidah adat dan agama yang dianut di Nagari Silungkang

P : Warna apa saja yang digunakan kain songket Silungkang?

HW4 : Merah, biru, kuning, hitam, hijau, emas, perak dll

P : Apakah warna yang digunakan dalam kain songket Silungkang

mempunyai arti?
HW4 : Iya, misalnya kalau warna hitam sering dipakai pada acara kematian,

sedangkan merah dan kuning untuk acara pesta pernikahan

P : Apakah ada perbedaan kain songket Silungkang yang dahulu dengan kain

songket silungkang yang dibuat sekarang?

HW4 : Dahulu kain songket silungkang dibuat dengan menggunakan benang

katun, sedangkan sekarang sudah ada yang memakai benang poliester

yang permukaannya agak kasar tetapi banyak diminati karena pilihan

warnanya banyak tersedia dipasaran

P : Apakah nama alat tenun yang digunakan di Silungkang?

HW4 : Palantai

P : Apakah ada perbedaan alat tenun Silungkang dengan alat tenun daerah

lainnya?

HW4 : Perbedaan yang signifikan tidak ada, hanya dari cara penggunaan saja

yang berbeda

P : Bagaimana proses pembuatan kain songket Silungkang?

HW4 : Proses pembuatannya sama dengan songket lainnya yang memakai

sistem jungkit atau anyaman, yang terdiri dari benang rentang dan pakan

dan setiap rentang jarak tertentu di beri motif baik memakai benang macau

emas maupun perak

P : Apakah proses pembuatan kain songket Silungkang sama dengan

pembuatan kain songket lainnya?

HW4 : Pada umumnya sama

P : Apakah ada kesulitan dalam pembuatan kain songket Silungkang?

HW4 : Tidak ada


P : Pewarna apakah yang digunakan dalam pembuatan kain songket

Silungkang?

HW4 : Alami dan sintetis

P : Benang apa saja yang digunakan dalam pembuatan kain songket

Silungkang?

HW4 : Katun, poliester, dan sutera

P : Bagaimana tekstur kain songket Silungkang?

HW4 : Tekstur nya terbagi dua, ada yang sangat lembut dan standar

P : Berapa lama proses pembuatan kain songket Silungkang?

HW4 : Pada umunya 5 hari sampai 1 minggu

P : Pekerjaan menenun kain songket Silungkang apakah dilakukan secara

turun-temurun?

HW4 : Iya, bahkan orang pendatang pun dapat dan bisa mempelajarinya

P : Apakah menenun kain songket Silungkang dikerjakan oleh penduduk asli

atau dapat dikerjakan oleh penduduk dari luar daerah Silungkang?

HW4 : Penduduk asli dan pendatang

P : Proses dari awal sampai akhir pembuatan kain songket Silungkang

dikerjakan oleh berapa orang?

HW4 : 3 orang

P : Usia berapa penenun mulai belajar cara bertenun kain songket

Silungkang?

HW4 : 10 – 50 tahun

P : Sampai usia berapakah penenun menenun kain songket Silungkang?

HW4 : 75 tahun
P : Perempuan atau laki-laki yang kebanyakan menjadi pekerja menenun

kain songket Silungkang?

HW4 : Perempuan 90 % dan laki-laki 10 %

P : Usia berapa yang diperbolehkan menggunakan kain songket Silungkang?

HW4 : Anak sekolah umur 8 tahun sampai usia tua

P : Kain songket Silungkang dapat digunakan pada upacara apa saja?

HW4 : Adat, keagamaan, kantor, pernikahan dan acara resmi lainnya

P : Apakah ada peraturan dalam menggunakan kain songket Silungkang?

HW4 : Tidak ada

P : Apakah kain songket Silungkang dapat digunakan untuk sehari-hari?

HW4 : Bisa

P : Apakah usia menentukan dalam pemakain kain songket Silungkang?

HW4 : Tidak

P : Adakah perbedaan kain songket Silungkang yang digunakan oleh

perempuan dan laki-laki?

HW4 : Ada, berdasarkan motif yang dipakai

P : Pada zaman sekarang apakah masih ada yang menggunakan kain songket

Silungkang sebagai pakaian adat?

HW4 : Ada, seperti baju pengantin anak daro dan marapulai, sesamping baju

niniak mamak, saluak dan lainnya


HASIL WAWANCARA NARASUMBER

Nama : Ira Andriani

(Pengrajin Tenun)

P : Apakah yang dimaksud dengan kain songket Silungkang?

HW5 : Songket yang ditenun secara manual oleh tangan dengan menambahkan

benang pakan untuk motifnya

P : Sejak kapan kain songket Silungkang sudah dibuat?

HW5 : Sudah beratus-ratus tahun yang lalu

P : Bagaimana sejarah pembuatan kain songket Silungkang?

HW5 : Sejarahnya saya tidak tahu karena kain songket sudah dikerjakan secara

turun-temurun

P : Seperti apakah ciri khas dari kain songket Silungkang?

HW5 : Motif pucuak rabuang yang selalu ada di kain songket

P : Ada berapa macam ragam hias yang dimiliki kain songket Silungkang?

HW5 : Macam-macam ragam hiasnya

P : Pada perkembangannya apakah motif kain songket Silungkang

mengalami banyak perubahan?

HW5 : Tidak, hanya sedikit. Perkembangan motifnya itu tergantung dari

penenun yang membuat motifnya

P : Motif dan warna apa saja yang banyak diminati dari hasil produk kain

songket Silungkang?

HW5 : Motif dan warna semua diminati tapi cenderung yang diminati warna

merah, kalau motif itu kebanyakan pucuak rabuang


P : Sebutkan nama-nama motif kain songket Silungkang?

HW5 : Motif seribu bukit, pucuak rabuang, burung, bunga ros, burung pungguk,

bintang-bintang, bunga setangkai, saik kalamai, itiak pulang patang,

tampok manggis, sirangkak

P : Motif apa saja yang paling sering digunakan dalam pembuatan kain

songket Silungkang?

HW5 : Pucuak rabuang

P : Apakah setiap motif mempunyai makna/arti tersendiri?

HW5 : Tidak ada, dahulu ada maknanya tetapi saya kurang begitu tahu

P : Warna apa saja yang digunakan kain songket Silungkang?

HW5 : Bisa macam-macam warnanya, seperti hitam, orange, pink, merah coklat,

hijau, dll. Misalnya benang lusi warnanya orange, benang pakan warnanya

biru hasilnya menjadi warna abu-abu dan benang lusinya warna orange,

benang pakannya berwarna merah hasilnya menjadi warna merah bata

P : Apakah warna yang digunakan dalam kain songket Silungkang

mempunyai arti?

HW5 : Tidak, pembuatan songket atau bahan baju tergantung warna apa yang

bagus untuk dibuat

P : Apakah ada perbedaan kain songket Silungkang yang dahulu dengan kain

songket silungkang yang dibuat sekarang?

HW5 :Iya, sekarang motifnya sudah dimodifikasi oleh pengrajin. Pengrajin

dapat membuat motif sesuai dengan keinginannya, tetapi motif yang lama

masih juga digunakan cuma diubah saja sedikit bentuknya

P : Apakah nama alat tenun yang digunakan di Silungkang?


HW5 : Tenun pelantai

P : Apakah ada perbedaan alat tenun Silungkang dengan alat tenun daerah

lainnya?

HW5 : Sama saja tidak ada perbedaannya

P : Bagaimana proses pembuatan kain songket Silungkang?

HW5 : Pertama menuring (memintal benang), menghani, menyambung, bikin

motif, baru proses menenun

P : Apakah proses pembuatan kain songket Silungkang sama dengan

pembuatan kain songket lainnya?

HW5 : Sama dengan daerah lainnya

P : Apakah ada kesulitan dalam pembuatan kain songket Silungkang?

HW5 : Kesulitannya ada di benang dan di motif, dibenang itu kalau benangnya

lapuk atau jelek jadi sering putus, hasilnya juga kurang bagus dan

kesulitan untuk membuat motif itu jika digambarnya kecil, tapi pas di alat

tenunannya besar, jadi harus dibesarin dulu gambarnya, kalau tidak

dibesarin nanti gambar dan hasilnya tidak sama. Ketika masukin

benangnya itu juga harus dihitung supaya gambarnya itu pas, jika masukin

benangnya kekecilan nanti gambarnya tidak bagus, kalau gambarnya

kebesaran juga tidak bagus, jadi harus dipikirin motifnya yang bagus itu

kecil, sedang, atau besar

P : Pewarna apakah yang digunakan dalam pembuatan kain songket

Silungkang?

HW5 : Pewarna sintetis


P : Benang apa saja yang digunakan dalam pembuatan kain songket

Silungkang?

HW5 : Katun, metalik, sutera, benang bordir, benangnya itu dari tukang

menghuni jadi kita tinggal menenun saja

P : Bagaimana tekstur kain songket Silungkang?

HW5 : Teksturnya ada yang halus dan kasar. Tekstur yang halus itu tenunannya

lebih rapat dan lebih susah membuatnya harganya juga lebih mahal,

dibandingkan dengan yang teksturnya kasar lebih mudah untuk

membuatnya harganya juga lebih murah

P : Berapa lama proses pembuatan kain songket Silungkang?

HW5 : Proses awalnya itu 15 hari, untuk proses menenun itu membutuhkan

waktu 1 minggu, jika motifnya agak rumit bisa sampai 1 bulan

P : Pekerjaan menenun kain songket Silungkang apakah dilakukan secara

turun-temurun?

HW5 : Iya secara turun-temurun

P : Apakah menenun kain songket Silungkang dikerjakan oleh penduduk asli

atau dapat dikerjakan oleh penduduk dari luar daerah Silungkang?

HW5 : Sekarang menenun dapat dikerjakan oleh penduduk di luar daerah

Silungkang, banyak orang dari pulau jawa yang belajar untuk menenun,

tetapi mereka hanya menenun songket saja, mereka tidak bisa untuk

membuat motif

P : Proses dari awal sampai akhir pembuatan kain songket Silungkang

dikerjakan oleh berapa orang?


HW5 : 4 orang. Menuring 1 orang, menghani 1 orang, menyambung 1 orang,

bikin motif dan menenun 1 orang, tetapi kalau penenun yang tidak bisa

membuat motif maka diupahkan kepada orang lain

P : Usia berapa penenun mulai belajar cara bertenun kain songket

Silungkang?

HW5 : Tamat SD

P : Sampai usia berapakah penenun menenun kain songket Silungkang?

HW5 : Usia 70 tahun

P : Perempuan atau laki-laki yang kebanyakan menjadi pekerja menenun

kain songket Silungkang?

HW5 : Laki-laki ada juga yang menjadi pengrajin songket, tapi jumlahnya hanya

sedikit

P : Usia berapa yang diperbolehkan menggunakan kain songket Silungkang?

HW5 : Dari anak kecil juga sudah boleh menggunakan kain songket sebagai

kombinasi bajunya

P : Kain songket Silungkang dapat digunakan pada upacara apa saja?

HW5 : Perkawinan, pesta, pakaian kantor

P : Apakah ada peraturan dalam menggunakan kain songket Silungkang?

HW5 : Tidak ada, semuanya bisa menggunakan kain songket

P : Apakah kain songket Silungkang dapat digunakan untuk sehari-hari?

HW5 : Iya, untuk baju pesta dan pakaian kantor

P : Apakah usia menentukan dalam pemakain kain songket Silungkang?

HW5 : Tidak, semua usia dapat menggunakannya, dari kecil sampai dewasa bisa

menggunakannya
P : Adakah perbedaan kain songket Silungkang yang digunakan oleh

perempuan dan laki-laki?

HW5 : Biasanya berbeda dari motif dan warnanya

P : Pada zaman sekarang apakah masih ada yang menggunakan kain songket

Silungkang sebagai pakaian adat?

HW5 : Ada, untuk acara perkawainan masih menggunakan kain songket, karena

masyarakatnya masih mempertahankan budayanya


Dokumentasi Foto Para Narasumber
DAFTAR RIWAYAT HIDUP PENULIS

OKTAVINDA RAHMI UTAMI


lahir di Bekasi, 21 Oktober 1992.
Anak pertama dari dua bersaudara.
Bertempat tinggal di Villa Nusa
Indah Blok V 21/21, Rt 03, Rw 23,
Gunung Putri, Bogor.

Data Pribadi
E-mail =) oktavinda@yahoo.com

Tlp =) 08978302556

Fb, Line, Ig =) Oktavinda

Latar Belakang Pendidikan


1997 - 1998 =) TK Islam Al-Fajar

1998 - 2004 =) SD Negeri Jatiasih X

2004 - 2007 =) SMP Negeri 9 Bekasi

2007 - 2010 =) SMA Islam Assafi’iyah 02

2010 - 2016 =) Universitas Negeri Jakarta

Mahasiswi Program Studi


Pendidikan Tata Busana, Jurusan
Ilmu Kesejateraan Keluarga,
Fakultas Teknik.

Anda mungkin juga menyukai