Teks Pertunjukan:
Ibed Surgana Yuga
Tokoh-tokoh:
1. Aku
2. Rare Angon
3. Lubangkuri
4. Dewa Siwa
5. Dewi Durga
6. Seseorang
7. Seorang Nenek
8. Seorang Anak
9. Seorang Ibu
10. Anak-anak Kecil
11. Raja
12. Pasukan Kerajaan
13. Orang-orang
14. Binatang-binatang
15. dan lain-lain
Ibed Surgana Yuga
1
Jejak-jejak yang Berserak
Malam.
Aku melintas.
Aku:
Malam, Rare. Malam sudah begitu larut. Malam, Rare. Malam sudah begitu
larut. Rare. Malam. Larut. Sudah. Rare. Malam larut. Begitu malam. Rare (terus
mempermainkan kata-kata itu). Malam, Rare. Malam sudah begitu larut.
Dewi Durga:
Kau juga tahu, Dewa Siwa cintaku, telah kupindahkan vaginaku ke telapak
kakiku (terus mengucapkannya berulang-ulang).
Seorang anak kecil celingukan. Muncul beberapa anak kecil lagi, celingukan.
Lalu mereka bertemu, berkumpul, salah seorang dari mereka mengucap sepenggal
dongeng itu di depan yang lainnya.
Seorang Anak:
Malam itu Rare Angon bermimpi didatangi seorang kakek berpakaian serba
putih. Kakek itu bilang kalau Lubangkuri benar-benar ada. Lubangkuri adalah
seorang gadis yang tinggal di sebuah puncak gunung di timur laut.
Maka, dengan restu orangtuanya, berangkatlah Rare Angon ke tempat itu,
dalam waktu yang lama. Ia habiskan sisa masa kecil dan seluruh masa remajanya
untuk mencari Lubangkuri. Akhirnya, Lubangkuri ditemukan juga oleh Rare Angon.
Rare Angon 1
Ibed Surgana Yuga
Seorang Nenek:
Ke mana cucu-cucuku pergi? Di mana mereka dilahirkan? Jalan-jalan itu
terlalu berbahaya untuk mereka lalui.
Aku:
Ia lahir bersama sapi-sapi. Bersama televisi. Bersama keluasan tanah gembala.
Bersama dongeng-dongeng. Bersama gemuruh kota-kota.
Ia adalah Rare Angon. Adalah aku. Adalah kau. Adalah tidak siapa pun juga.
Seorang nenek menemukan cucu-cucunya pada ceceran uang receh dan sisa
upacara.
Seorang Nenek:
Ssstt ...! Diamlah! Cucu-cucuku mau tidur. Mereka lelah. Begitu lelah. Setelah
seharian mereka menggembalakan sapi-sapi. Ssstt ...! Kumohon, jangan ganggu
cucu-cucuku. Mereka sedang belajar untuk tidur lelap dan mimpi indah.
Kalian juga harus tidur, seperti cucu-cucuku. Lihat, senja sudah tak menemani
kalian lagi. Ia tengah menyelinap ke sana, ke rumah orang-orang yang tak kalian
kenal.
Tidurlah! Tapi jangan lupa, sebelum tidur kalian harus cuci kaki dan tangan,
lalu berdoa. Mohonlah pada Tuhan kalian, agar Ia mengirim sebuah dongeng ke
mimpi kalian.
Rare Angon 2
Ibed Surgana Yuga
Semua cucu harus tidur di malam hari. Semua cucu harus didongengi
menjelang tidur. Semua cucu harus menjadi seperti Rare Angon.
Anak-anak kecil itu memunguti uang receh yang bertebaran di jalanan. Betapa
riangnya mereka. Seorang nenek menjaga mereka, seakan ia tengah diserang
perasaan bahwa anak-anak itu begitu rentan diterjang petaka.
Rare Angon 3
Ibed Surgana Yuga
2
Rare Angon, Lubangkuri, Dongeng yang Sedemikian Rupa
Aku:
Saya bukan pendongeng. Saya hanyalah seorang penggembala yang
mengagumi Rare Angon. Tapi, saya ingin mendongeng untuk Anda sekalian.
Dongeng masa kecil yang pernah saya dengar dari Nenek. Ini dongeng tentang Rare
Angon, yang barangkali sama dengan dongeng yang sudah Anda hapal sejak kecil.
Ah, ini pasti membosankan buat Anda sekalian. Saya tahu, tidur Anda sekarang
tak bisa lagi dinyenyakkan oleh dongeng masa kecil. Anda lebih suka dinina-
bobokan dua puluh empat jam siaran tivi, atau SMS-SMS genit menjelang tidur.
Tapi, tetaplah Anda di situ. Duduk atau berdirilah dengan nyaman. Anggap
saja Anda sedang menonton tivi di ruang keluarga. Atau sambil SMS-SMS-an.
Boleh, boleh. Silakan. Tapi saya mohon, ringtone-nya jangan dihidupkan. Anda
boleh juga sambil ceklak-ceklek memotret. Tapi ingat, blitz-nya mohon jangan
dinyalakan.
Baiklah, sambil Anda melakukan itu semua, tolong dengarkan saya – untuk
kali ini saja.
Aku:
Lihatlah di tanah gembala itu. Lihatlah anak gembala itu. Dialah Rare Angon.
Anda tahu, ia sedang melukis Lubangkuri di sana. Di atas tanah gembala itu.
Rare Angon 4
Ibed Surgana Yuga
Rare Angon:
Telah lama kukenal lekuk dan liukmu itu. Tapi baru kali ini aku
menemukanmu, menemukan halaman rumahmu. Di sini, di atas tanah gembala ini.
Kau adalah penetrasi imaji dan tanganku, yang tumpah sempurna di atas tanah.
Lubangkuri namamu, gadis yang lahir dari tanah gembala.
Apakah ini pertemuan yang telah kita rencanakan, Lubangkuri? Pernahkah kita
berjanji untuk bertemu di sini? Ah, sebentar lagi senja akan datang. Aku tak mau
pertemuan ini begitu singkat. Ayo, Lubangkuri, ikutlah ke rumahku. Kita bisa
ngobrol tentang banyak hal, sampai aku terlelap tidur, dan mungkin melupakanmu.
Tiba-tiba derap dan ringkik kuda. Pasukan kerajaan datang membawa deru
dan gemuruh. Lalu raja dengan kuasanya.
Aku:
Rare, lihat, ada yang menuju ke mari. Aku tak tahu siapa. Apa ada yang mau
menggembalakan sapi lagi di sini? Rare, mereka banyak sekali. Menderu seperti
angin topan. Rare, kenapa tubuhku menggigil? Rare ....
Bayangan Lubangkuri, gadis yang dilukis di atas tanah itu, muncul dan
meludah ke mana-mana.
Aku:
Rare, ringkik dan derap kuda raja mengejar kita. Kita tak bisa lari. Tak ada
tempat untuk sembunyi. Sebelum terlambat, kita anak-anak gembala harus
memasang sujud pada Paduka Raja. Sebelum terlambat, kita harus menggigil
ketakutan, sebagaimana diajarkan orangtua kita.
Rare Angon 5
Ibed Surgana Yuga
Hingga pasukan kerajaan dan raja berlalu, meninggalkan gigil, ketakutan, dan
tekanan yang menyesakkan dalam diri Rare Angon.
Aku:
Rare, raja menghendaki Lubangkuri. Kau harus menyerahkannya ke kerajaan.
Kalau tidak, hukuman mati menunggumu.
Sekarang kau berada di ujung tanduk sapi-sapimu sendiri, Rare. Lubangkuri
bukan mahakarya! Lubangkuri hanyalah malapetaka!
Orang-orang:
Mahakarya adalah malapetaka. Mahakarya adalah malapetaka. Mahakarya
adalah malapetaka ... (terus-menerus).
Rare Angon:
Hambalah yang menggambarnya, Paduka. Beribu maaf jika tangan kotor
hamba ini terlalu lancang. Ampun, Paduka, Lubangkuri hanya angan hamba belaka.
Hamba sama sekali tidak mengenalnya.
Seorang Anak:
Maaa .... Mama .... Aku takut, Ma. Ada hantu datang ke kamarku. Aku takut
sekali, Ma. Maa .... Mama .... Mama di mana?
Rare Angon 6
Ibed Surgana Yuga
Seorang Nenek:
Ssstt ...! Tidurlah, cucuku manis. Hantu itu tidak akan datang kalau kau tidur
yang nyenyak. Tidurlah, Nenek selalu menjagamu.
Rare Angon:
Tapak kaki kuda raja beringsutan di atas tanah; menghapus wajah cantik
Lubangkuri. Tak ada sisa kening yang bisa dikecup. Tak ada sisa mata yang
mandang keluasan tanah gembala. Yang tersisa hanya tapak kuda yang kian meronta
di atas tanah.
Lubangkuri tinggalkan aku sendiri dalam gigil.
Lubangkuri, tak adakah sisa pertemuan kita yang bisa kukenang?
Kutatap senja yang mulai jatuh, berharap menemukan sisa-sisa wajah
Lubangkuri di sana. Tapi setiap pergantian waktu seakan telah dikuasai titah raja
yang menggelegar bagai lecut cambuk kuda.
Haruskah aku mengutuk diri karena telah menggurat Lubangkuri di atas tanah?
Haruskah kupotong tanganku ini?
Seorang Nenek:
Rare, kau harus menyerahkan Lubangkuri kepada Paduka Raja!
Aku:
Rare Angon 7
Ibed Surgana Yuga
Seorang Nenek:
Ingat, Rare, hukuman mati tengah mengancammu!
Aku:
Pulanglah, Rare. Ayah-ibumu pasti menunggumu.
Seorang Nenek:
Bukankah kau tak mau jadi kutuk raja, Rare?!
Aku:
Sapi-sapimu juga harus segera dikandangkan.
Seorang Nenek:
Bukankah kau tak mau mengganggu lelap tidur cucu-cucuku?!
Aku:
Esok masih ada waktu untuk menggembala lagi, Rare.
Seorang Nenek:
Jalan yang harus kau tempuh sudah sedemikian rupa adanya, Rare!
Aku:
Ayolah, Rare. Angin malam tidak baik untuk tubuhmu.
Seorang Nenek:
Kau tak ada kuasa untuk melawan pakem!
Seorang Anak:
Rare Angon 8
Ibed Surgana Yuga
Maaa .... Mama .... Hantu itu datang lagi, Ma. Aku takut. Takut sekali, Ma.
Mama ....
Seorang Nenek:
Ssstt ...! Tidurlah, cucuku manis. Hantu itu tidak akan datang kalau kau tidur
yang nyenyak. Tidurlah, Nenek selalu menjagamu.
Aku:
Anak-anak tidur juga akhirnya. Entahlah, mereka nyenyak atau tidak.
Tapi di sana, di dalam dongeng, tak pernah ada yang tidur. Dan senja itu ...
Rare Angon:
Senja itu, sehari perjalananku mencarimu, Lubangkuri, kaki kiriku tertusuk
duri. Aku terus menyeret langkah. Bertahun-tahun. Hingga masa kecilku tertinggal di
jalan setapak yang kulewati delapan belas tahun yang lalu. Hingga masa remajaku
hanyut di sungai kecil, di mana aku membasuh tubuhku sebelas tahun lalu.
Rare Angon:
Setelah beribu-ribu senja, kutemu juga kau, terduduk di halaman rumahmu.
Kau duduk sedemikian rupa, seakan menunggu seseorang. Akukah yang kau tunggu,
Lubangkuri?
Lubangkuri:
Begitu saja kau datang menyapaku dengan sebuah ajakan, Rare.
Rare Angon 9
Ibed Surgana Yuga
Rare Angon:
Tapi kenapa halaman rumahmu berbeda, Lubangkuri?
Lubangkuri:
Lalu kuludahi wajah coklatmu.
Rare Angon:
Kenapa di wajahmu tak kucium bau tanah gembala yang bertahun-tahun aku
tinggalkan?
Lubangkuri:
Maafkan aku, Rare. Tapi itulah yang ingin kulakukan padamu.
Rare Angon:
Di mana wajah cantikmu, Lubangkuri? Benarkah itu wajahmu?
Lubangkuri:
Telah lama kita hidup di sana, Rare. Di dalam dongeng. Segalanya seakan
tergantung pada dongeng. Pada ocehan nenek-nenek yang menina-bobokan cucunya.
Tapi lihatlah, Rare, si cucu yang akhirnya terlelap tidur tak pernah membawa
dongeng itu ke dalam mimpinya. Ia lebih asyik dengan mimpi-mimpi Doraemon,
Shinchan, dan SpongeBob.
Aku mencoba menjelaskan lagi kisah ini. Di saat yang sama, di kejauhan,
terjadi sebuah pertemuan yang lain – sekian pertemuan yang direncanakan, namun
tak pernah bertemu.
Aku:
Begitulah. Pertemuan itu terjadi. Pertemuan yang kedua kalinya? Ah, aku tak
berani mengatakannya begitu padamu. Lihatlah, kegembiraan macam apa yang
menghiasai raut wajah mereka ketika pertemuan itu? Adakah kegembiraan dan
Rare Angon 10
Ibed Surgana Yuga
keharuan seperti yang kau rasakan, ketika kau melihat wajahmu menjadi begitu
cantik di cermin, setelah dipoles berjuta rupiah produk kosmetik? Adakah
kebanggaan seperti ketika kau, dengan mobil barumu, mengajak pacarmu kencan
malam Minggu?
Sudahlah! Ini hanya sebuah dongeng. Bukan sinetron yang bisa membuat
kalian menangis dan marah setiap hari. Dongeng tidak lebih penting dari sebuah
SMS atau sebungkus mie instan. Toh kalian juga tetap bisa tidur lelap tanpa
didongengi, kan?
Tapi dongeng ini tak berhenti sampai di sini. Barangkali tak kan pernah
berhenti.
Lubangkuri:
Lubangkuri namaku, gadis yang lahir dari titah raja. Aku menjadi tersohor,
menjadi selebriti, karena nafsu jalang raja menghendaki kecantikanku. Popularitasku
melejit ketika senja mulai meninggalkanmu, ketika anak-anak kecil mulai
mengantuk, ketika dongeng-dongeng berhamburan di kepala mereka, seperti acara
tivi yang kau mamah di setiap detik hidupmu.
Lubangkuri namaku, gadis yang menjadi petaka bagi seorang anak gembala.
Dan aku tak mau jadi petaka yang kedua kalinya bagi anak-anakmu.
Seseorang:
Awit bangsaning wiryadi,
wanudya dadya lelangyan,
tan apilih lulurune,
jangji linangkung ing warna,
mimbuhi kawibawan,
sampun pangagemipun
para nata sugih garwa.1
1
Serat Cemporet, “Pupuh Asmaradana”, IX: 68. Artinya: “Karena bagi bangsawan
luhur, perempuan itu merupakan hiasan, tanpa memilih atau melihat dari mana asal usul
silsilah keturunannya, asal (perempuan) itu memiliki kecantikan yang hebat, dapat
menambah kewibawaan (lelaki). Sudah menjadi adat kebiasaan (suatu yang wajar) jika para
Rare Angon 11
Ibed Surgana Yuga
Lubangkuri:
(Tiba-tiba peringainya berubah keras dan menantang, binal) Akulah
Lubangkuri yang kau cari, Rare. Lubangkuri yang dikehendaki raja. Lubangkuri
yang diinginkan semua orang. Akulah Lubangkuri dari segala Lubangkuri.
Ayo, Rare, kita ke kerajaan. Serahkan tubuhku pada raja. Biar gigil dalam
tubuhmu berpindah ke tubuhku, ketika aku menggeliat di atas ranjang, ketika
kutadah tumpahan birahi raja di setiap lekuk tubuhku, ketika aku dan raja lupa
dengan segala rasa sakit.
Panggilkan rajamu, Rare! Suruh ia temui aku di kamar, di mana ia biasa
menemui selir-selirnya.
Seseorang:
Kathah kang sampun ngalami,
duk zaman kina-kina,
emper-empering lelakon,
para ratu Nuswa Jawa,
amek garwa mangkana,
panemune mboten saru,
mandar karya srining pura.2
Seorang Anak:
raja beristri banyak.” Lihat Otto Sukatno Cr., Seks Para Pangeran: Tradisi dan Ritualisasi
Hedonisme Jawa (Yogyakarta: Bentang Budaya, 2002), hal. 73.
2
Serat Cemporet, “Pupuh Asmaradana”, IX: 67. Artinya: “Sudah banyak terjadi sejak
zaman dahulu kala, para raja di Pulau Jawa, mengalami peristiwa itu, memperistri gadis
desa dianggap bukan suatu cela, malahan bisa menambah asri (indahnya) pura (istana).”
Dikutip dari ibid.
Rare Angon 12
Ibed Surgana Yuga
3
Sejenis jimat yang bisa berubah menjadi apa saja sesuai permintaan pemiliknya.
Rare Angon 13
Ibed Surgana Yuga
3
Siwa dan Petaka di Tubuh Rare Angon
Rare Angon:
Rakyat telah mengangkatku jadi raja. Telah kunikahi Lubangkuri, gadis yang
dulu hanya angan-anganku belaka. Ia jadi permaisuriku sekarang. Dan rakyat pun
hidup sejahtera untuk selama-lamanya. Lalu apa yang harus aku lakukan setelahnya?
Aku menerima sesuatu yang telah selesai. Siapa yang sanggup melanjutkan kisah
ini?
Seorang Nenek:
Itulah garis hidupmu yang sudah sedemikian adanya, Rare. Kau adalah Dewa
Siwa yang memanusia.
Aku:
Tuyi tatuwe ye ring manuse, ikang paksi, sate, mine, ring ragante yate
wewalunganing ragante ike, Sang Hyang Rare Angon sarire utame.4
Seorang Nenek:
Maka, sebutlah puja-puji untuk Sang Hyang Rare Angon, gelar-gelar agung
untuk Dewa Siwa.
I Made Gambar, “Lontar Sunarigama dan Seri Jaya Kesunu,” www.parisada.org (tt.).
4
Terjemahannya: “Segala yang ada di dunia, baik manusia, burung, hewan, ikan, semua
mempunyai raga. Namun hanya Sang Hyang Rare Angon yang utama.”
Rare Angon 14
Ibed Surgana Yuga
Pasukan Kerajaan:
Vrsanka, Vrsavahana, Krttivasa, Mrgavyadha, Pasupati, Tarksy, Mrgapati,
Vyaghracarmambara, Vyalin, Suparna, Mrgabanarpana, Yugavarta, Vyaghrakomala,
Vrsakapi, Dharmadhenu, Nagaharadhrk, Vyalakalpa, Devashima, Nagabhusana,
Krttibhusita, Hamsa, Hamsagati, Vaya, Varahasrngadrhk, Shima, Vaiyaghradhurya.
Lalu sebuah upacara tergelar – sebuah upacara yang lain, upacara di masa
depan anak-anak kelak.
Rare Angon:
Aku duduk di sini, di singgasanaku. Demikian tinggi, hingga seakan tidak ada
yang sanggup mendongakkan kepalanya untuk memandang ujung kakiku. Dongeng
ini telah diselesaikan dengan sempurna, sesempurna tidur anak-anak itu.
Tiba-tiba aku seperti diserang penyakit. Entah penyakit apa namanya ini. Tapi
aku yakin bukan satu, tapi beratus, beribu, bahkan berjuta penyakit menggempur
tubuhku dari segala penjuru. Inci demi inci tubuhku digerogoti. Sakit sekali. Aku tak
bisa menggerakkan tubuhku.
Tapi lihat tubuhku, seperti tak terjadi apa-apa padanya. Betapa, semuanya
memang telah diselesaikan sampai di sini.
Dewi Durga:
Siwa, siapa sebenarnya yang telah mengkhianati cinta kita?
Rare Angon:
Siapa kau? Aku bukan Dewa Siwa.
Dewi Durga:
Rare Angon 15
Ibed Surgana Yuga
Kau tahu betapa aku mencintaimu, Siwa. Aku juga tahu betapa kau
mencintaiku. Karenanyalah pada suatu ketika kita sepakat untuk menyatukan diri,
menjadi satu jiwa, tapi dengan dua tubuh. Tubuh lelaki dan perempuan.
Dan ketika itu kau sakit. Aku pun sakit. Tapi kubawakan juga susu lembu itu
sebagai obatmu.
Rare Angon:
Siapa kau? Aku sama sekali tak mengenalimu.
Dewi Durga:
Siwa, seberapa dahsyat kutukanmu sehingga kau sendiri tak bisa mengenaliku?
Kutukanmu menurunkanku ke malam paling pekat dunia manusia. Telah kupelihara
manusia-manusia laknat.
Dewa Siwa:
Kaukah itu Dewi Uma?
Dewi Durga:
Ya, aku Uma yang telah kau kutuk menjadi Durga.
Katakan, Siwa, di mana letak pengkhianatanku? Telah kudapatkan air susu
lembu itu dan kupersembahkan padamu.
Dewa Siwa:
Tapi kau telah bersenggama dengan anak gembala itu untuk mendapatkannya.
Dewi Durga:
Ya! Tapi telah kupindahkan vaginaku ke telapak kakiku. Lalu anak gembala itu
menyenggamainya tanpa menjamah tubuhku. Tidakkah kau memahami
pengorbananku? Tidakkah kau memahami cintaku padamu, Siwa?
Rare Angon 16
Ibed Surgana Yuga
Dewa Siwa:
Pengkhianat tetaplah pengkhianat. Ingatlah itu, Durga.
Dewi Durga:
Aku tahu anak gembala bernama Rare Angon itu adalah kau, Siwa.
Dewa Siwa:
Ya, dia adalah jelmaanku. Tapi dia bukan aku.
Dewi Durga:
Wahai Siwa yang memiliki kuasa atas segala kuasa, di mana kuasa belas
kasihmu? Di mana kuasa keadilanmu?
Baiklah ....
Dewa Siwa dan Dewi Durga bergumul – antara nafsu dan kebencian.
Beberapa ekor binatang muncul, menunjukkan pengabdian kepada Dewa Siwa,
lalu menjaga pergumulan Dewa Siwa dan Dewi Durga.
Beberapa anak kecil bermain perang-perangan dengan pistol air dan
permainan lainnya. Mereka sempat menembakkan pistolnya ke wajah Dewa Siwa
dan Dewi Durga, lalu asyik lagi bermain.
Rare Angon 17
Ibed Surgana Yuga
4
Kota, Mimpi, Nostalgia
Lalu sebuah dunia yang tumpang tindih, tak dapat dipilah. Nostalgia dan
mimpi yang centang-perenang. Siapa pun boleh ambil bagian atau terdampar di
sana.
Aku:
Hei! Siapa di sana?
Seorang Anak:
Ma, tivinya ditaruh di mana? Aku mau nonton.
Aku:
Hei, wajahmu kabur! Tolong sebutkan namamu!
Rare? Benarkah itu kau?
Lubangkuri:
Kaukah itu, Rare?
Aku:
Masuklah, Rare, langit telah berbeda sekarang.
Rare Angon 18
Ibed Surgana Yuga
Lubangkuri:
Kaukah yang duduk di tanah gembala itu?
Aku:
Halaman rumah ini juga telah berbeda.
Lubangkuri:
Di mana sapi-sapimu, Rare?
Aku:
Tanah untuk menggembalakan sapi juga tak ada lagi.
Lubangkuri:
Ada apa dengan wajahmu, Rare?
Aku:
Masuklah, Rare, di beranda kita bisa ngobrol tentang bising jalanan.
Lubangkuri:
Benarkah itu wajahmu?
Seorang Anak:
Ma, tivinya ditaruh di mana? Aku mau nonton.
Seseorang:
Selamat malam. Berjumpa kembali dalam berita terhangat detik ini.
Tiga tokoh terpopuler saat ini dikabarkan telah melancarkan serangan mereka
ke kamar anak-anak, setelah berhasil membobol pintu pagar, ruang tamu, dan kamar
Rare Angon 19
Ibed Surgana Yuga
mandi. Ketiga tokoh tersebut, yaitu Doraemon, Shinchan, dan SpongeBob, yang
telah mengenal dengan baik seluk-beluk kamar anak-anak, dengan leluasa ... (kian
melirih, lalu tinggal ucapan tanpa suara).
Lubangkuri:
Akukah Lubangkuri yang kau cari, Rare?
Seorang Anak:
Ma, tivinya ditaruh di mana? Aku mau nonton.
Lubangkuri:
Apakah aku Lubangkurimu, Rare?
Seorang Anak:
Ma, aku mau nonton. Tivinya mana?
Lubangkuri:
Apakah aku Lubangkurimu, Rare?
Seorang Anak:
Ma, tivinya mana?! Aku mau nonton!
Seorang Ibu:
Ke kota, anakku, tempat segala pertemuan bermuara.
Seorang Ibu:
Rare Angon 20
Ibed Surgana Yuga
Ke kota, anakku, tempat segala pernik kehidupan bisa kau temui. Ke kota,
anakku, tempat segala aksesori kehidupan bisa kau temui.
Seorang Ibu:
Ke kota, anakku, tempat segala yang instan bisa kau temui. Ke kota, anakku,
tempat segala darah ditumpahkan. Ke kota anakku, tempat segala hidup dikekalkan.
Lubangkuri:
Apakah aku Lubangkurimu, Rare?
Seorang Anak:
Ma, tivinya mana?! Aku mau nonton!
Seorang Nenek:
Rareeee ...! Cuihhh ...! Kau harus bertanggung jawab atas cucu-cucuku yang
tak pernah mau tidur!
Lubangkuri:
Kaukah itu, Rare? Kaukah yang duduk di tanah gembala itu? Di mana sapi-
sapimu, Rare? Ada apa dengan wajahmu, Rare? Benarkah itu wajahmu?
Seorang Nenek:
Dengar, Rare, mulai sekarang, nina-bobo cucu-cucuku adalah caci-maki
buatmu!
Aku:
Rare Angon 21
Ibed Surgana Yuga
Seorang Anak:
Maaa …, tivinya mana? Aku mau nonton.
Lalu kembali sebuah upacara tergelar lagi – sebuah upacara yang lain,
upacara di masa depan anak-anak kelak.
Jogja, 2007-2008
Catatan:
Teks pertunjukan ini merupakan interpretasi dari teks-teks folklor tentang tokoh
Rare Angon dari Bali. Folklor-folklor itu terdiri dari kepercayaan dan upacara
pemujaan terhadap Sang Hyang Rare Angon, mite tentang Rare Angon dan Dewa
Siwa serta dongeng tentang Rare Angon dan Lubangkuri.
Rare Angon 22
Ibed Surgana Yuga
Biodata Penulis
Rare Angon 23