Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH

ANALISIS HUBUNGAN ANTARA GAYA KEPEMIMPINAN DAN


BUDAYA ORGANISASI DENGAN KINERJA PEGAWAI
DI BADAN KESATUAN BANGSA DAN POLITIK
KABUPATEN HUMBANG HASUNDUTAN

DISUSUN OLEH
HAMZAH SURYA SITUMEANG
NPM. 2210302012

UNIVERSITAS HKBP NOMMENSEN


PROGRAM PASCA SARJANA
MAGISTER ILMU ADMINISTRASI
BAB I
PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Sebagaimana telah kita ketahui bahwa suatu organisasi dibentuk untuk

mencapai tujuan bersama yang telah ditetapkan. Untuk mencapai tujuan

secara efektif tidaklah bisa dicapai hanya oleh pimpinan saja, akan tetapi

pasti membutuhkan manajeman yang baik dan benar serta dukungan dan

partisipasi orang lain atau pegawai. Mengingat pegawai adalah unsur utama

dari organisasi dan manjemen, organisasi dalam hubungan ini dimaknai

sebagai alat untuk mencapai tujuan, alat untuk mengorganisasikan sumber

daya, sebagai sebuah sistem yang mengkoordinasikan secara sadar

kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh pegawai. Sedangkan manajemen

dimaknai sebagai proses penggunaan sumber daya organisasi dengan

menggunakan pegawai untuk mencapai tujuan organisasi secara efektif dan

efisien.

Secara filosofis pegawai merupakan unsur terpenting dalam suatu

organisasi dan sumberdaya manajemen. Terpenting, karena unsur-unsur

lainnya yang dimiliki oleh sutau organisasi seperti uang , material, mesin,

metode kerja dan sumber daya lainnya hanya dapat memberi manfaat bagi

organisasi, jika pegawai itu merupakan daya pembangun dan bukana perusak

bagi organisasi. Pegawai dapat merupakan faktor pendorong kearah

tercapainya tujuan organisasi secara efektif dan efisien melalui rangkaian

kegiatan fungsi0fungsi manajemen. Sebaliknya, pegawai dapat pula menjadi

faktor penghambat utama kearah tercapainya tujuan organisasi yang telah

ditentukan, jika para pegawaicakap, tidak memiliki kemauan dan semangat


kerja yang memadai, maka hasil kerjanya tidak memuaskan. Bahkan dapat

menggagalkan usaha pencapaian tujuan organisasi tersebut.

Untuk mencapai tujuan organisasi dan tujuan pegawai, hal ini bukanlah

pekerjaan yang mudah dilakukan karena efektivitas seorang pemimpin antara

lain diukur dari kinerja dan pertumbuhan organisasi yang dipimpinnya serta

kepuasan pegawai terhadap pimpinannya. Oleh karena itu, dapat

dikemukakan bahwa tantangan bagi seorang pemimpin organinani di dalam

memerankan kepemimpinannya adalah bagaimana menjadikan pegawai

sebagai unsur pendorong bagi dinamika kemajuan organisasi dan

meminimalisasikan pegawai yang merusak organisasi. Peran dimakand

adalah bagaimana mempengaruhi pegawal untuk mencapai tujuan

organisasi, mentransformasi pegawai, menciptakan visi tentang tujuan yang

akan dicapal, dan menyampaikan cara pencapaiannya kepada pegawai serta

meningkatan kinerja pegawai ke dalam standar yang lebih baik.

Peran penting dan strategis kinerja pegawai dalam dinamika

perkembangan organisasi merupakan sebuah kemutlakan, karena organisasi

dihadapkan kepada tantangan perubahan lingkungan internal maupun

external organisasi Tantangan tersebut antara lain adalah tantangan global,

tantangan memenuhi kebutuhan stakeholder dan tantangan system kerja

berkinerja tinggi. Tantangan-tantangan tersebut menghendaki adanya

pegawai yang berkinerja tinggi. Kinerja merupakan aspek penting dalam

upaya pencapaian satu tujuan organisasi. Kinerja bukan hanya sebagai hasil

kerja, akan tetapi juga bagaimana proses kerja berlangsung.


Pencapaian tujuan organisasi secara maksimal merupakan output dari

kinerja individu pegawai dan kinerja tim yang baik dalam organisasi. Begitu

pula sebaliknya, kegagalan suatu organisasi dalam mencapai sasaran yang

telah ditetapkan juga merupakan akibat dari kinerja individu pegawai atau

kinerja tim yang tidak optimal. Menurut Sinambela, dkk (2011:136), kinerja

pegawai adalah kemampuan pegawai dalam melakukan sesuatu keahlian

tertentu.

Kinerja pegawai sangatlah perlu, sebab dengan kinerja ini akan

diketahui seberapa jauh kemampuan pegawai dalam melaksanakan tugas

yang dibebankan kepadanya. Sedangkan Prawirosentono (1999) seperti

dikutip Sinambela (2012:9) mengemukakan bahwa kinerja organisasi atau

lembaga sangat dipengaruhi oleh kinerja individu, oleh sebab itu apabila

kinerja organisasi ingin diperbaiki tentunya kinerja individu perlu diperhatikan.

Sementara itu, Engkoswar (1992) di dalarm: Sinambela (2012:10)

mengatakan bahwa kinerja pegawai haruslah terencana secara

berkesinambungan, sebagai peningkatan kinerja pegawai bukan merupakan

peristiwa seketika tetapi memerlukan suatu perencanaan dan tindaka yang

tertata dengan baik untuk kurun waktu tertentu.

Campbell (1990) seperti dikutip Mahmudi (2010:20) menyatakan

bahwa hubungan fungsional antara kinerja dengan atribut kerja dipengaruhi

oleh tiga faktor, yaitu faktor knowledge, skill dan motivasi. Persamaan

tersebut dinotasikan sebagai berikut: Kinerja f (knowledge, skill, dan

motivasi). Knowledge mengacu pada pengetahuan yang dimiliki oleh

pegawai, skill mengacu kepada kemampuan untuk melakukan pekerjaan,

motivasi adalah dorongan dan semangat untuk melakukan kerja. Selain


ketiga faktor tersebut, menurut Mahmadi (2010:20) masih terdapat satu faktor

lagi yaitu peran (role perception). Hilangnya salah satu factor tersebut akan

mengganggu kinerja

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kinerja organisani publik

sangat dipengaruhi oleh kinerja pegawai. Kinerja pegawai akan memberikan

kontribusi pada kinerja organisasi. Artinya, bahwa perilaku anggota organisasi

baik secara individu maupun kelompok akan dapat memberikan kekuatan

atau pengaruh atas kinerja organisasi Menurut Sinambela (2012:11) bahwa

kinerja selalu berbicara pada proses dan hasil akhir. Untuk memperoleh hasil

akhir kualitas kerja yang optimum, setiap tahapan perlu dikaji dan

disempurnakan sehingga pegawai memahami tugas dan tanggung jawabnya.

Dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawab tersebut pegawai

seyogyanya diberikan wewenang dimotivasi dan diarahkan

Pada hakikatnya, kinerja pegawai itu bukanlah muncul begitu saja,

tetapi banyak faktor yang dapat menumbuhkembangkan semangat, gairah

kerja, dan disiplin kerja untuk meningkatkan prestasi kerja dan kinerja

pegawai Secara teoritis faktor-faktor tersebut antara lain adalah motivasi,

komunikasi, kompensasi, ketrampilan interpersonal, iklim organisasi,

kepemimpinan, situasi kepemimpinan. gaya kepemimpinan, budaya

organisasi, supervisi/pengawasan lingkungan kerja, kepuasan kerja,

pendidikan dan pelatihan dalam jabatan, semangat kerja, etos kerja,

kedisiplinan, kecerdasan emosional, manajemen stress dan penerapan

manajemen maha terpadu serta kondisi fisik dan lain-lain.


Berbagai bentuk fenomena kinerja pegawai yang tampak dan muncul

saat ini sungguh masih memerlukan perhatian yang sungguh-sungguh,

karena fenomena yang ada menunjukkan:

1) Adanya pegawai yang dengan sungguh- sungguh melaksanakan tugas

pokok, fungsi dan kewajibannya dengan pemah rasa tanggung jawab dan

dedikasi yang tinggi:

2) Adanya pegawai yang bekerja setengah hati dalam menyumbangkan

tenaga dan pikirannya di dalam melaksanakan tugas pokok, fungsi dan

kewajibannya;

3) Adanya pegawai yang bersikap masa bodoh dan acuh tak acuh terhadap

pelaksanaan tugas pokok, fungi dan kewajibannya:

4) Adanya gejala kelesuan kerja yang merata, adanya pegawai yang sering

terlambat atau terlampau cepat pulang meninggalkan kantor sebelum jam

kerja berakhir, adanya kerjasama dalam melakukan pencatatan terhadap

absensi pegawai, adanya pegawai yang meminda-munda pekerjaannya;

adanya para pegawai yang banyak ngobrol pada waktu jam kerja, dan

sukanya memberikan pengertian dan kerjasama;

5) Fenomena lain yang dihadapi oleh organisasi pemerintahan, adalah

rendahnya kapasitas dan kapabilitas pegawai. Pengetahuan, ketrampilan,

dan kompetensi pegawai secara umum masih rendah. Akibatnya kinerja

yang dihasilkan tidak mampu mencapai kinerja yang unggul.

Fenomena kinerja pegawai yang tidak optimal seperti tersebut di atas,

juga terjadi di Badan Kesatuan Bangsa dan Politik Kabupaten Humbang

Hasundutan. Dampak dari kinerja pegawai yang tidak optimal tersebut

antara lain dikemukakan di dalam Laporan Keterangan Pertanggung-


Jawaban (LKPJ) Kepala Badan Kesatuan Bangsa dan Politik Kabupaten

Humbang Hasundutan Tahun 2021 Tingkat pencapaian kinerja Badan

Kesatuan Bangsa dan Politik Kabupaten Humbang Hasundutan Tahun

2021

Adapun permasalahan yang dihadapi Badan Kesatuan Bangsa dan

Politik Kabupaten Humbang Hasundutan antara lain:

1. Perencanaan kegiatan yang kurang matang dan tidak tepat sasaran

sehingga mengakibatkan tidak efisiennya anggaran yang dikelola;

2. Tingkat Kemampuan kerja Sumber daya aparatur yang masih relatif

rendah sehingga aparat tidak mampu untuk melaksanakan tugas

pokok, fungal dan tanggungjawab secara maksimal.

Berkaitan dengan rendahnya tingkat kemampuan pegawai, data pra

survey menunjukkan data dan fakta sebagai berikut:

1. Tidak dan belum semua pegawai memiliki kejelasan peran (uraian

turas). Dari 18 orang pegawai yang memiliki uraian tugan baru pada

level pejabat eselon II, III dan IV sebanyak 17 orang atau 19,32 %

Sedangkan untuk tingkat pegawai baru 20 orang atau 22,73 %.

Sementara yang belum memiliki uraian tugas sebanyak 51 orang atau

57.95%. Data ini menggambarkan bahwa implementasi fungsi

manajemen kedua, yaitu pengorganisasian ternyata belum terlaksana

sebagaimana mestinya. Tanpa kejelasan uraian tugas pokok bagi

setiap individu pegawai, jelas akan berimplikasi pada banyaknya

pegawai yang bersikap acuh tidak acuh dalam tegas pekerjaan

sehari-hari.
Dan untuk lebih jelasnya keadaan pegawai berdasarkan pembagian tugas

pokok dan fungsi dapat dilihat pada table dibawah ini

Tabel 1.1 Keadaan Pegawai Berdasarkan Pembagian Tugas Pokok dan Fungsi

Keadaan 2020

NO DAFTAR TUPOKSI
GOLONGAN ADA TIDAK ADA KETERANGAN
KEPANGKATAN
1 -
ESELON II 1 1

2 -
ESELON III 3 3

3 -
ESELON IV 6 6

4
STAF 7 7

2. Tingkat kemampuan pegawai dilihat dari perspektif pendidikan dan

pelatihan dalam jabatan yang bersifat teknis fungsional.

Tidak optimalnya kinerja pegawai seperti tersebut di atas, di duga

antara lain disebabkan oleh faktor kepemimpinan dan gaya

kepemimpinan yang diterapkan. Oleh karenanya, seorang pemimpin

harus dapat mempengaruhi bawahannya untuk melaksanakan tugas yang

diperintahkan tanpa paksaan sehingga bawahan secara sukarela akan

berperilaku dan berkinerja sesuai tuntutan organisasi melalui arahan

pimpinannya. Menurut Armstrong dan Baron (1998) seperti dikutip

Wibowo (2012:100) bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja,

antara lain:
1) Personal factors, ditunjukkan oleh tingkat ketrampilan, kompetensi

yang dimiliki, motivasi, dan komitmen individu

2) Leadership factors, ditentukan oleh kualitas dorongan, bimbingan,

dan dukungan yang dilakoakan manajer dan team leader.

3) Team factors, ditunjukkan oleh kualitas dukungan yang diberikan oleh

rekan sekerja:

4) System factors, ditunjukkan oleh adanya sistem kerja dan fasilitas

yang diberikan oleh organisasi, dan

5) Contextual/situational factors, ditunjukkan oleh tingginya tingkat

tekanan dan perubahan lingkungan internal dan eksternal

Berkaitan dengan leadership factors tersebut di atas, seorang

pemimpin memerlukan gaya kepemimpinan. Gaya kepemimpinan

merupakan pola perilaku yang digunakan oleh seseorang pada saat

orang tersebut mencoba mempenganti perilaku orang lain seperti yang

dilihat. Dalam hal ini uhu menyelaraskan persepsi diantara orang yang

akan mempengaruhi perilaku dengan orang yang perilakunya akan

dipengaruhi menjadi amat penting kedudukannya (Thoha: 2012:49).

Menurut Rivai dan Mulyadi (2012:42) gaya kepemimpinan yang paling

tepat adalah satu gaya yang dapat memaksimumkan produktivitas,

kepuasan kerja, pertumbuhan dan mudah menyesuaikan dengan segala

situasi.

Gaya kepemimpinan adalah salah satu faktor yang di duga cukup

dominan di dalam mempengaruhi keberhasilan seorang pemimpin di

dalam menjalankan kepemimpinannya untuk mempengaruhi perilaku para

pengikutnya. Kemampuan scoring pemimpin dalam melaksanakan peran


kepemimpinan yang dikombinasikan dengan pendekatan maupun gaya

kepemimpinan yang tepat akan sangat berarti dalam menentukan

keberhasilan kepemimpinan dan organisasi yang dipimpinnya. Namun

sejauh ini, gaya kepemimpinan yang diteraplaksanakan belum dapat dan

belum mampu untuk memaksimumkan produktivitas, kepuasan kerja,

pertumbuhan dan mudah menyesuaikan dengan segala situasi yang ada

di internal organisasi maupun yang tumbuh berkembang di luar

organisasi. Para pimpinan lebih senang mengerjakan sendiri tugas

pekerjaan organisasi ketimbang mengoptimalkan peran bawahan dan

mewujudkan kekompakkan pegawai yang berada di bawah yang

dipimpinnya. Hal ini berdampak kepada menurunnya kinerja pegawai.

Dalam praktik se hari-hari, pada setiap bidang dan sub bidang

hanya berorientasi kepada kegiatan yang ada anggarannya saja yang

dilaksanakan. sedangkan kegiatan rutin yang tidak dianggarkan tidak

dilaksanakan. Di dalam pelaksanaan kegiatan yang memiliki anggaran

tersebut pun, pada dasarnya tidak melibatkan semua pegawai yang ada

pada bidang dan sub bidang, tetapi lebih dominan dikelola oleh Kepala

Bidang selaku Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan (PPTK) dan

Bendahara Pembantu.

Kondisi ini, semakin parah karena di pihak lain, para pegawai juga

tidak berusaha menunjukkan dedikasi terbaiknya sebagai resultat dari

kesadaran diri sebagai pegawai negeri yang abdi Negara dan abdi

masyarakat. Fakta-fakta empiris ini mengindikasikan bahwa hubungan

kerja formal antara atasan dan hawahan di dalam penerapan peran

kepemimpinan belum berjalan dengan baik, sehingga belum dapat dan


mampu menciptakan suasana lingkungan kerja yang menyenangkan,

telah pula berkontribusi pada tidak optimalaya kinerja pegawai di Badan

Kesatuan Bangsa dan Politik Kabupaten Humbang Hasundutan.

Pada sisi yang lain, faktor kedua yang diidentifikasi potensial

mempengaruhi kinerja pegawai adalah budaya organisasi. Secara teoritis,

budaya organisasi adalah bagian integral dari strategi organisasi,

termasuk visi dan misi, tujuan dan saran organisasi itu sendiri serta

merupakan salah satu faktor penting dalam implementasi strategi

organisasi. Menurut Widodo (2012: 46-47) budaya organisasi memiliki

peranan penting bagi kemajuan para anggota organisasi dan juga

organisasi. Peran penting itu terkait dengan sejumlah fungsi strategis

budaya organisasi sebagai penentu butas-batas berperilaku,

menumbuhkan kesadaran tentang identitas sebagai anggota organisasi,

penumbuhan komitmen, pemeliharaan stabilitas organisasi, dan

mekanisme pengawasan.

Budaya organisasi ini dapat berasal dari seorang pimpinan yang

kemudian diikuti, dituruti dan dianut oleh bawahannya. Budaya organisasi

ini berkaitan dengan nilai-nilai dan norma-norma yang dipedomani dan

berlaku oleh pegawai dalam melaksanakan tugas pekerjaannya se hari-

hari. Berdasarkan pengamatan yang dilakukan di Badan Kesatuan

Bangsa dan Politik Kabupaten Humbang Hasundutan ditemukan adanya

gejala yang sering terjadi antara lain ada beberapa oknum pegawai yang

tidak masuk kerja atau bermain-main selama jam kerja, ada yang pulang

kantor sebelum jam kerja berakhir, bahkan ada oknum pegawai yang

tidak hadir masuk kantor berhari-hari lamanya. Tegasnya, data dan fakta
menunjukkan bahwa disiplin pegawai yang secara umum terkesan rendah

yang akhirnya menghasilkan kinerja yang rendah pula.

Tingkat kedisiplinan pegawai, terutama dilihat dari aspek tingkat

kehadiran pegawai (absensi) untuk kegiatan apel pagi (apel masuk kerja)

sebagai sebuah kewajiban yang digariskan di dalam Peraturan

Pemerintah Nomor 54 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil

menunjukkan bahwa pada tahun 2021 dari 17 orang pegawai ternyata

yang ikut apel pagi yang tepat waktu hanya 7 orang atau (41 %),

terlambat 6 orang (35 %) dan tidak masuk sebanyak 4 oring (24%). Data

dan fakta tersebut di atas mengindikasikan tidak optimalnya disiplin

pegawai. Kondisi tersebut dapat dikatakan sebagai pelanggaran terhadap

disiplin kerja, karena para pegawai tersebut tidak bertindak atau bersikap

sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan oleh organisasi. Dari kondisi

tersebut muncul pertanyaan apakah pelanggaran disiplin tersebut sudah

menjadi kebiasaan yang sudah dimaklumi atau apakah pelanggaran

tersebut merupakan hasil dari budaya organisasi yang lemah.

Fenomena fenomena yang dikemukakan di atas mengindikasikan

bahwa kinerja Badan Kesatuan Bangsa dan Politik Kabupaten Humbang

Hasundutan yang tidak maksimal antara lain disebabkan oleh kinerja

pegawai yang tidak maksimal juga. Kecenderungan-kecenderungan

tersebut apabila terus berlangsung dapat memperburuk keadaan yang

pada akhirnya potensial menghambat perwujudan visi, misi, tujuan dan

sasaran Badan Kesatuan Bangsa dan Politik Kabupaten Humbang

Hasundutan, baik dalam skala mikro maupun makro.


Top manager (Kepala Badan), Middle manajer (Sekretaris dan

para Kepala Bidang), dan Lower manajer (para Kepala Sub Bagian dan

Kepala Sub Bidang) seharusnya dapat mempengaruhi pegawai dengan

menggunakan berbagai macam budaya organisati. Dengan melalui

pendekatan gaya kepemimpinan dan budaya organisani yang efektif

diharapkan dapat mempengaruhi pegawai yang ada di dalam organisasi

tersebut untuk bekerja optimal dan secara terus menenis meningkatkan

kinerjanya demi tujuan organisasi.

Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, maka dapat

diketahui bahwa gaya kepemimpinan dan budaya organisasi mungkin

memiliki hubungan dengan peningkatan kinerja pegawai di Badan

Kesatuan Bangsa dan Politik Kabupaten Humbang Hasundutan.. Namun

demikian untuk mengetahui signifikasi pengaruh akibat hubungan

tersebut perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dan mendalam. Melalui

penelitian ini, peneliti ingin mengetahui dan menganalisis serta berusaha

mengungkap hubungan antara gaya kepemimpinan dan budaya

organisasi dengan kinerja pegawai Badan Kesatuan Bangsa dan Politik

Kabupaten Humbang Hasundutan. Karena itu, penelitian ini diberi tajuk :

"ANALISIS HUBUNGAN ANTARA GAYA KEPEMIMPINAN DAN

BUDAYA ORGANISASI DENGAN KINERJA PEGAWAI BADAN

KESATUAN BANGSA DAN POLITIK KABUPATEN HUMBANG

HASUNDUTAN.

Anda mungkin juga menyukai