Anda di halaman 1dari 49

0

PENGARUH KONDISI KERJA DAN DISIPLIN KERJA TERHADAP


PRESTASI KERJA PEGAWAI PADA BADAN PENANGGULANGAN
BENCANA DAERAH PEMERINTAH KABUPATEN OKU

PROPOSAL SKRIPSI

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Ekonomi


Pada Program Studi (S1) Manajemen Fakultas Ekonomi
Universitas Baturaja

A. HARIADI
11.11.253
MANAJEMEN

FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS BATURAJA
2015
1

PENGARUH KONDISI KERJA DAN DISIPLIN KERJA TERHADAP


PRESTASI KERJA PEGAWAI PADA BADAN PENANGGULANGAN
BENCANA DAERAH PEMERINTAH KABUPATEN OKU

1. Latar Belakang

Setiap organisasi pemerintah dituntut untuk dapat mengoptimalkan dan

mengelola sumber daya manusia. Pengelolaan sumber daya manusia tidak lepas

dari faktor pegawai yang diharapkan dapat berprestasi sebaik mungkin demi

mencapai tujuan organisasi pemerintah. Pegawai merupakan aset utama organisasi

dan mempunyai peran yang strategis di dalam organisasi yaitu sebagai pemikir,

perencana, dan pengendali aktivitas organisasi. Demi tercapainya tujuan

organisasi, pegawai memerlukan kondisi kerja yang mendukung dan disiplin kerja

yang tinggi untuk bekerja lebih rajin. Melihat pentingnya pegawai dalam

organisasi, maka pegawai perlu perhatian lebih serius agar dapat menjalankan

tugas dengan baik sehingga tujuan organisasi tercapai.

Pegawai yang mempunyai disiplin kerja yang tinggi akan bekerja lebih

giat di dalam melaksanakan pekerjaannya. Sebaliknya dengan disiplin kerja yang

rendah pegawai tidak mempunyai semangat bekerja, mudah menyerah, dan

kesulitan dalam menyelesaikan pekerjaannya. Pegawai kurang memiliki informasi

yang jelas apakah pekerjaan mereka memiliki dampak positif terhadap para

penerima manfaatnya yaitu individu atau kelompok yang dilayani oleh organisasi.

Menciptakan kinerja yang tinggi, dibutuhkan adanya peningkatan kerja yang

optimal dan mampu mendayagunakan potensi sumber daya manusia yang dimiliki

oleh pegawai guna menciptakan tujuan organisasi yang hendak dicapai sehingga

akan memberikan kontribusi positif bagi perkembangan organisasi. Selain itu,


2

organisasi perlu memperhatikan berbagai faktor yang dapat mempengaruhi

disiplin pegawai, dalam hal ini diperlukan adanya peran organisasi dalam

meningkatkan disiplin dan menciptakan lingkungan kerja yang kondusif guna

mendorong terciptanya sikap dan tindakan yang profesional dalam menyelesaikan

pekerjaan sesuai dengan bidang dan tanggung jawab masing-masing. (Sunyoto,

2013: 10)

Sumber daya manusia berperan dalam mengolah dan memanfaatkan

sumber daya dan material sehingga menjadi produk yang dapat dimanfaatkan.

Oleh karena itu, untuk meningkatkan kinerja, perlu diperhatikan agar sumber daya

manusia dapat bekerja secara efektif dan efisien sehingga dapat memberi

sumbangan terhadap produktivitas yang baik. Kinerja mengacu pada prestasi kerja

pegawai diukur berdasarkan standar atau kriteria yang telah ditetapkan organisasi.

Badan Penanggulangan Bencana Daerah adalah salah satu instansi

pemerintah yang bertugas dalam mengamankan dan melindungi lingkungan kota,

hal tersebut dibutuhkan peningkatan pengetahuan dan keterampilan Sumber Daya

Manusia dengan perkembangan dalam segala bidang. Namun demikian, dalam

upaya menciptakan kinerja pegawai Badan Penanggulangan Bencana Daerah,

nampaknya masih terdapat banyak kendala yang dihadapi sehingga sulit untuk

mencapai tujuan organisasi.

Hasil diatas dikuatkan dengan hasil wawancara yang dilakukan oleh

penulis dengan pihak bagian kepegawaian yaitu Ibu Wiwin Sriani di Kantor

Badan Penanggulangan Bencana Daerah menyatakan bahwa rendahnya prestasi

kerja Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Ogan Komering Ulu


3

diakibatkan oleh mutu kerja yang rendah dalam hal ini berkaitan dengan pegawai

yang kurang tepat dalam pemanfaatan waktu, kurangnya keterampilan dan

buruknya kepribadian dalam melakukan pekerjaan yang dilakukan oleh pegawai

selain itu kualitas kerja pegawai Badan Penanggulangan Bencana Daerah

berkaitan dengan pemberian tugas-tugas tambahan yang diberikan oleh atasan

kepada bawahan kurang dijalankan dengan baik dan benar. Ketangguhan pegawai

Badan Penanggulangan Bencana Daerah berkaitan dengan tingkat kehadiran pem-

berian waktu libur dan jadwal mengenai keterlambatan hadir di tempat kerja serta

kurangnya sikap dan tanggung jawab pegawai terhadap sesama teman dan atasan

serta seberapa jauh tingkat kerja sama dalam mengevaluasi tugas.

Permasalahan di atas diduga disebabkan disiplin kerja yang rendah pula

sebab pegawai kurang nyaman sehingga pekerjaan pegawai tidak dapat

terselesaikan sesuai dengan yang direncanakan; kurangnya pengontrolan /

pengawasan yang dilakukan pimpinan terhadap pegawai Badan Penanggulangan

Bencana Daerah sebagai pimpinan harus tahu apa yang harus dilakukan oleh

bawahan dan berlaku serta berbuat realistis; pegawai merasa kurang

diikutsertakan dalam proses pengambilan keputusan terutama menyangkut

nasibnya seperti penempatan kerja sesuai dengan kemampuannya kemudian

kurangnya pemberian penghargaan yang wajar atas prestasi kerja yang dilakukan

oleh pegawai Badan Penanggulangan Bencana Daerah seperti promosi jika

melakukan pekerjaan yang baik, kenaikan jabatan ataupun hadiah/bonus selain itu

kurangnya adanya jaminan hari tua khususnya untuk anggota yang masih tenaga

kerja sukarela dan kurangnya jaminan perlakuan yang objektif misalnya mengenai
4

tambahan penghasilan dan hubungan dengan atasan. Padahal disiplin kerja dapat

mendorong individu untuk melakukan kegiatan tertentu guna mencapai

keinginannya dengan disiplin kerja yang tinggi maka menghasilkan prestasi kerja

yang baik.

Kondisi nyata yang terjadi di Badan Penanggulangan Bencana Daerah,

utamanya kinerja aparatur pelaksanaannya belum seluruhnya menunjukkan

kinerja yang optimal diakibatkan kendala di atas. Kaitannya dengan kinerja

pegawai, hal tersebut tentunya harus segera dibenahi agar para pimpinan dan

bawahan pada dinas dapat memberikan pelayanan yang prima kepada masyarakat

secara lebih profesional. Oleh karena itu peneliti tertarik untuk meneliti mengenai

pengaruh kondisi kerja dan disiplin kerja terhadap prestasi kerja pegawai pada

Badan Penanggulangan Bencana Daerah Pemerintah Kabupaten OKU.

2. Rumusan Masalah

Berdasarkan permasalahan yang telah diuraikan sebelumnya maka

rumusan masalah penelitian ini adalah apakah kondisi kerja dan disiplin kerja

berpengaruh terhadap prestasi kerja pegawai pada Badan Penanggulangan

Bencana Daerah Pemerintah Kabupaten OKU?

3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah tersebut dapat diuraikan

tujuan penelitian ini, yaitu untuk mengetahui pengaruh pengaruh kondisi kerja dan

disiplin kerja terhadap prestasi kerja pegawai pada Badan Penanggulangan

Bencana Daerah Pemerintah Kabupaten OKU.


5

4. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut:

1. Bagi penulis diharapkan dapat memberikan tambahan pengetahuan dalam

menerapkan teori-teori yang diperoleh selama menjadi mahasiswa Fakultas

Ekonomi Program Studi Manajemen di Universitas Baturaja.

2. Bagi Instansi Pemerintahan diharapkan dapat memberikan masukan dan saran

mengenai pengaruh kondisi kerja dan disiplin kerja serta prestasi kerja.

3. Penelitian ini dapat dijadikan referensi untuk dijadikan bahan acuan dan

perbandingan bagi peneliti selanjutnya yang akan melakukan penelitian

serupa.

5. Tinjuan Pustaka

5.1 Landasan Teori

5.1.1 Manajemen Sumber Daya Manusia

Menurut Notoatmojo (2009: 86), manajemen sumber daya manusia adalah

penarikan (rekruitmen), seleksi, pengembangan, pemeliharaan, dan penggunaan

sumber daya manusia untuk mencapai tujuan-tujuan individu maupun organisasi.

Menurut Hasibuan (2001: 10), manajemen sumber daya manusia adalah ilmu dan

seni mengatur hubungan dan peranan tenaga kerja agar efektif dan efisien

membantu terwujudnya tujuan perusahaan, karyawan dan masyarakat. Tujuan

manajemen sumber daya manusia adalah utuk meningkatkan kontribusi sumber

daya manusia (karyawan) terhadap organisasi dalam rangka mencapai

produktivitas organisasi yang bersangkutan.


6

Menurut Notoatmojo (2009: 87), tujuan manajemen sumber daya manusia

yang lebih operasional sebagai berikut :

a. Tujuan masyarakat (membawa manfaat bagi masyarakat)

b. Tujuan organisasi, yaitu MSDM, perlu memberikan konstribusi terhadap

pendayagunaan organisasi secara keseluruhan.

c. Tujuan fungsi yaitu memelihara konstribusi bagian – bagian lain agar mereka

melaksanakan tugas/fungsinya secara baik dan optimal.

d. Tujuan personel, peranan pimpinan disini untuk membantu para karyawan

untuk mencapai tujuan – tujuan pribadinya dalam rangka mewujudkan tujuan

organisasi.

Seperti yang dijelaskan diatas sebagai salah satu contoh dalam satu

organisasi pemerintahan sebagai pemerintah/pimpinan harus mampu untuk

memilih dan bisa menimba kempuan dari jabatan yang akan ditempatkan pada

bidang tertentu, misalnya pada dinas teknis, pimpinan harus bisa memilih apakah

jabatan yang akan diberikan itu pas sesuai dengan begroun yang ia sandang, tau

tentang pekerjaan yang akan ditanggungnya, dapat memecah suatu masalah yang

akan timbul pada masyarakat nantinya.

Berdasarkan penjelasan tersebut diatas peneliti dapat menyimpulkan

bahwa manajemen sumber daya manusia sebagai sebuah ilmu dan seni mengatur

hubungan dan peranan tenaga kerja. Dalam melakukan kegiatan manajemen

sumber daya tidak hanya bagaimana seseorang pimpinan mengetahui potensi

pegawainya, namun lebih pada bagaimana seorang pemimpin mendesain sebuah

formulasi tertentu dalam mengaplikasikan para sumber daya pegawai yang ada
7

sesuai dengan kemampuan yang dimiliki. Desain yang telah dibuat tersebut

diharapkan mampu mengkoordinir keinginan-keinginan para pegawai serta

koordinasi antara pegawai dan pimpinan serta antar pegawai. Melalui skema

desain yang tepat diharapkan mampu meningkatkan kinerja para pegawai secara

efektif dan efisien sehingga mampu mencapai tujuan yang telah ditetapkan.

5.1.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kepuasan Kerja

Menurut Baron & Byrnedi (http://jurnal-sdm.blogspot.com/2009/04/faktor-

faktor-yang-mempengaruhi.html) ada dua kelompok faktor yang mempengaruhi

kepuasan kerja. Faktor pertama yaitu faktor organisasi yang berisi kebijaksanaan

perusahaan dan iklim kerja. Faktor kedua yaitu faktor individual atau karakteristik

karyawan. Pada faktor individual ada dua predictor penting terhadap kepuasan

kerja yaitu status dan senioritas. Status kerja yang rendah dan pekerjaan yang rutin

akan banyak kemungkinan mendorong karyawan untuk mencari pekerjaan lain,

hal itu berarti dua faktor tersebut dapat menyebabkan ketidakpuasan kerja dan

karyawan yang memiliki ketertarikan dan tantangan kerja akan lebih merasa puas

dengan hasil kerjanya apabila mereka dapat menyelesaikan dengan maksimal.

Pendekatan Wexley dan Yukl (1977) berpendapat bahwa pekerjaan yang terbaik

bagi penelitian-penelitian tentang kepuasan kerja adalah dengan memperhatikan

baik faktor pekerjaan maupun faktor individunya. Faktor-faktor yang

mempengaruhi kepuasan kerja yaitu gaji, kondisi kerja, mutu pengawasan, teman

sekerja, jenis pekerjaan, keamanan kerja dan kesempatan untuk maju serta faktor

individu yang berpengaruh adalah kebutuhan-kebutuhan yang dimilikinya, nilai-


8

nilai yang dianut dan sifat-sifat kepribadian. Pendapat yang lain dikemukan oleh

Ghiselli dan Brown, mengemukakan adanya lima faktor yang menimbulkan

kepuasan kerja, yaitu:

a. Kedudukan (posisi)

Umumnya manusia beranggapan bahwa seseorang yang bekerja pada

pekerjaan yang lebih tinggi akan merasa lebih puas daripada karyawan yang

bekerja pada pekerjaan yang lebih rendah. Pada beberapa penelitian

menunjukkan bahwa hal tersebut tidak selalu benar, tetapi justru perubahan

dalam tingkat pekerjaanlah yang mempengaruhi kepuasan kerja.

b. Pangkat (golongan)

Pada pekerjaan yang mendasarkan perbedaan tingkat (golongan), sehingga

pekerjaan tersebut memberikan kedudukan tertentu pada orang yang

melakukannya. Apabila ada kenaikan upah, maka sedikit banyaknya akan

dianggap sebagai kenaikan pangkat, dan kebanggaan terhadap kedudukan

yang baru itu akan merubah perilaku dan perasaannya.

c. Umur

Dinyatakan bahwa ada hubungan antara kepuasan kerja dengan umur

karyawan. Umur di antara 25 tahun sampai 34 tahun dan umur 40 sampai 45

tahun adalah merupakan umur-umur yang bisa menimbulkan perasaan kurang

puas terhadap pekerjaan.

d. Jaminan finansial dan jaminan sosial

Masalah finansial dan jaminan sosial kebanyakan berpengaruh terhadap

kepuasan kerja.
9

e. Mutu pengawasan

Hubungan antara karyawan dengan pihak pimpinan sangat penting artinya

dalam menaikkan produktifitas kerja. Kepuasan karyawan dapat ditingkatkan

melalui perhatian dan hubungan yang baik dari pimpinan kepada bawahan,

sehingga karyawan akan merasa bahwa dirinya merupakan bagian yang

penting dari organisasi kerja (sense of belonging).

Sedangkan Faktor-faktor yang memberikan kepuasan kerja menurut Blum

sebagai berikut :

a. Faktor individual, meliputi umur, kesehatan, watak dan harapan.

b. Faktor sosial, meliputi hubungan kekeluargaan, pandangan masyarakat,

kesempatan berkreasi, kegiatan perserikatan pekerja, kebebasan berpolitik,

dan hubungan kemasyarakatan.

c. Faktor utama dalam pekerjaan, meliputi upah, pengawasan, ketentraman kerja,

kondisi kerja, dan kesempatan untuk maju. Selain itu juga penghargaan

terhadap kecakapan, hubungan sosial di dalam pekerjaan, ketepatan dalam

menyelesaikan konflik antar manusia, perasaan diperlakukan adil baik yang

menyangkut pribadi maupun tugas. As’ad (2004: 114).

Berbeda dengan pendapat Blum ada pendapat lain dari Gilmer (1966)

tentang faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja sebagai berikut:

a. Kesempatan untuk maju

Dalam hal ini ada tidaknya kesempatan untuk memperoleh pengalaman dan

peningkatan kemampuan selama kerja.


10

b. Keamanan kerja

Faktor ini sering disebut sebagai penunjang kepuasan kerja, baik bagi

karyawan pria maupun wanita. Keadaan yang aman sangat mempengaruhi

perasaan karyawan selama kerja.

c. Gaji

Gaji lebih banyak menyebabkan ketidakpuasan, dan jarang orang

mengekspresikan kepuasan kerjanya dengan sejumlah uang yang

diperolehnya.

d. Perusahaan dan manajemen

Perusahaan dan manajemen yang baik adalah yang mampu memberikan

situasi dan kondisi kerja yang stabil. Faktor ini yang menentukan kepuasan

kerja karyawan.

e. Pengawasan (Supervise)

Bagi karyawan, supervisor dianggap sebagai figur ayah dan sekaligus

atasannya. Supervisi yang buruk dapat berakibat absensi dan turn over.

f. Faktor intrinsik dari pekerjaan

Atribut yang ada pada pekerjaan mensyaratkan ketrampilan tertentu. Sukar

dan mudahnya serta kebanggaan akan tugas akan meningkatkan atau

mengurangi kepuasan.

g. Kondisi kerja

Termasuk di sini adalah kondisi tempat, ventilasi, penyinaran, kantin dan

tempat parkir.
11

h. Aspek sosial dalam pekerjaan

Merupakan salah satu sikap yang sulit digambarkan tetapi dipandang sebagai

faktor yang menunjang puas atau tidak puas dalam kerja.

i. Komunikasi

Komunikasi yang lancar antar karyawan dengan pihak manajemen banyak

dipakai alasan untuk menyukai jabatannya. Dalam hal ini adanya kesediaan

pihak atasan untuk mau mendengar, memahami dan mengakui pendapat

ataupun prestasi karyawannya sangat berperan dalam menimbulkan rasa puas

terhadap kerja.

j. Fasilitas

Fasilitas rumah sakit, cuti, dana pensiun, atau perumahan merupakan standar

suatu jabatan dan apabila dapat dipenuhi akan menimbulkan rasa puas. As’ad

(2004: 115)

Penelitian yang dilakukan oleh Caugemi dan Claypool (1978) menemukan

bahwa hal-hal yang menyebabkan rasa puas adalah:

a. Prestasi

b. Penghargaan

c. Kenaikan jabatan

d. Pujian.

Sedangkan faktor-faktor yang menyebabkan ketidakpuasan adalah:


a. Kebijaksanaan perusahaan

b. Supervisor

c. Kondisi kerja

d. Gaji
12

Burt mengemukakan pendapatnya tentang faktor-faktor yang dapat

menimbulkan kepuasan kerja. Adapun faktor-faktor tersebut adalah:

1. Faktor hubungan antar karyawan, antara lain:

a. Hubungan antara manajer dengan karyawan

b. Faktor fisik dan kondisi kerja

c. Hubungan sosial di antara teman sekerja

d. Emosi dan situasi kerja

2. Faktor individual, yaitu yang berhubungan dengan:

a. Sikap orang terhadap pekerjaannya

b. Umur orang sewaktu bekerja

c. Jenis kelamin

3. Faktor-faktor luar (extern), yaitu berhubungan dengan faktor-faktor yang

mendorong karyawan yang berasal dari luar selain dirinya sendiri, yaitu:

a. Keadaan keluarga karyawan

b. Rekreasi

c. Pendidikan (training, up grading dan sebagainya). As’ad (2004: 112).

Berdasarkan indikator yang menimbulkan kepuasan kerja tersebut di atas

akan dapat dipahami sikap individu terhadap pekerjaan yang dilakukan. Karena

setiap individu akan memiliki tingkat kepuasan yang berbeda-beda sesuai dengan

sistem nilai yang berlaku pada dirinya. Ini disebabkan adanya perbedaan persepsi

pada masing-masing individu. Semakin banyak aspek dalam pekerjaan yang

sesuai dengan keinginan individu tersebut maka semakin tinggi tingkat kepuasan

yang dirasakannya. Oleh karenanya sumber kepuasan seorang karyawan secara


13

subyektif menentukan bagaimana pekerjaan yang dilakukan memuaskan.

Meskipun untuk batasan kepuasan kerja ini belum ada keseragaman tetapi yang

jelas dapat dikatakan bahwa tidak ada prinsip-prinsip ketetapan kepuasan kerja

yang mengikat dari padanya

5.1.3 Kondisi Kerja

Kondisi karyawan akan lebih mudah untuk menyelesaikan pekerjaan

mereka apabila kondisi kerja mendukung (seperti bersih, lingkungan, menarik),

tetapi jika kondisi kerja tidak mendukung (seperti panas, lingkungan ribut, tidak

nyaman) pegawai akan sukar untuk melaksanakan tugasnya. Di samping itu, salah

satu faktor pendukung utama personalia dalam melaksanakan kegiatan secara

optimal, sehat, aman dan nyaman yaitu melalui perbaikan kondisi kerja. Sepeti

yang diungkapkan Sedarmayanti (2000: 22) bahwa manusia akan mampu

melaksanakan tugasnya dengan baik, sehingga dicapai suatu hasil yang optimal,

apabila ditunjang suatu kondisi kerja yang sesuai. Kondisi kerja dikatakan naik

atau sesuai apabila manusia dapat melaksanakan kegiatannya secara optimal,

sehat, aman dan nyaman.

Pengertian kondisi kerja menurut Mangkunegara (2005:105) adalah semua

aspek fisik kerja, psikologis kerja dan peraturan kerja yang dapat mempengaruhi

kepuasan kerja dan pencapaian produktivitas kerja. Menurut Sunyoto (2013: 10),

kondisi kerja merupakan keadaan tenaga kerja sebagai akibat dari kebijaksanaan

yang diambil atau dilakukan oleh organisasi tersebut. Adapun faktor-faktor yang

mempengaruhi kondisi kerja yaitu:


14

a. Penerangan

Penerangan dalam kondisi kerja adalah cukupnya sinar yang masuk di

dalam ruang kerja masing-masing karyawan perusahaan. Penerangan untuk

ruang kerja merupakan faktor yang cukup penting dalam kaitannya dengan

peningkatan produktivitas kerja dari perusahaan, sehingga para karyawan akan

terdorong untuk bekerja dengan lebih baik dan hasil kerja yang diperoleh

perusahaan akan menjadi lebih baik. Penerangan yang tidak memadai akan

mengakibatkan para karyawan tidak jelas dalam melihat dan mengamati

pekerjaan yang dilaksanakannya, dimana hal ini akan memperbesar tingkat

kesalahan kerja dari para karyawan.

b. Kebisingan

Di dalam pelaksanaan proses produksi dari suatu perusahaan, maka

pada umumnya akan terdapat suara bising dari mesin dan peralatan produksi

yang digunakan di dalam perusahaan yang bersangkutan. Suara bising yang

terus-menerus sebenarnya akan dapat menurunkan kesehatan para karyawan

yang bekerja di dalam perusahaan yang bersangkutan. Adapun beberapa

metode yang dapat digunakan untuk pengaturan dan pengendalian suara bising

yang terdapat di dalam perusahaan tersebut antara lain : pengendalian sumber

suara; isolasi dari suara; penggunaan peredam suara; penggunaan sistem

akustik; dan pemakaian alat perlindungan telinga.

c. Suhu udara

Suhu udara ruang kerja para karyawan perusahaan akan ikut

mempengaruhi produktivitas kerja para karyawan. Suhu yang terlalu panas


15

bagi para karyawan perusahaan ini akan dapat menjadi penyebab turunnya

gairah kerja para karyawan tersebut. Beberapa jalan yang dapat digunakan

oleh manajemen perusahaan di dalam rangka pengaturan suhu udara dalam

ruang kerja para karyawan dari perusahaan yang bersangkutan tersebut antara

lain : ventilasi yang cukup pada gedung pabrik; pemasangan kipas angina;

pemasangan air conditioning; dan pemasangan humidifier.

d. Ruang gerak yang diperlukan

Agar para karyawan perusahaan ini dapat leluasa bekerja dengan baik,

maka ruang gerak dari para karyawan perlu diberikan di dalam besar ruangan

yang memadai. Pada umumnya di dalam suatu perusahaan tersebut tidak

diinginkan adanya penurunan produktifitas kerja yang dikarenakan oleh terlalu

sempitnya ruang gerak para karyawan atau juga terjadinya pemborosan

ruangan di dalam perusahaan tersebut.

e. Pewarnaan

Masalah penggunaan warna di dalam ruang kerja para karyawan

perusahaan pada umumnya belum mendapatkan perhatian dengan semestinya

oleh manajemen perusahaan yang bersangkutan. Pemilihan warna yang cerah

atau yang gelap belum tentu akan menaikkan atau menurunkan produktifitas

kerja para karyawan perusahaan yang bersangkutan.

f. Keamanan

Pada umumnya perencanaan keamanan kerja yang disusun untuk suatu

perusahaan akan berhubungan erat dengan layout pabrik yang digunakan di

dalam perusahaan yang bersangkutan. Keamanan kerja para karyawan ini


16

tergantung pada mesin dan peralatan produksi yang digunakan perusahaan,

maka ruang gerak yang disediakan untuk para karyawan di dalam perusahaan

juga akan berpengaruh. Ruang gerak yang cukup serta keamanan penggunaan

mesin dan peralatan produksi akan dapat mengurangi tingkat kecelakaan kerja

di dalam perusahaan.

Berdasarkan penjelasan tersebut diatas dapat disimpulkan jika kondisi

kerja merupakan suasana yang berhubungan dengan lingkungan tempat bertugas.

Kondisi karyawan akan lebih mudah untuk menyelesaikan pekerjaan mereka

apabila kondisi kerja mendukung (seperti bersih, lingkungan, menarik), tetapi jika

kondisi kerja tidak mendukung (seperti panas, lingkungan ribut, tidak nyaman)

pegawai akan sukar untuk melaksanakan tugasnya.

5.1.4 Disiplin Kerja

Disiplin kerja mempunyai arti penting bagi perusahaan. Dengan adanya

disiplin kerja pada setiap karyawan yang ada di dalam perusahaan tersebut akan

menjadikan perusahaan itu menjadi maju, karena karyawan yang berdisiplin

dalam melakukan pekerjaan dapat menyelesaikan tugas-tugas yang ada dalam

perusahaan tersebut walaupun tidak secara keseluruhan menghasilkan pekerjaan

yang sempurna. Tetapi dalam jangka waktu tertentu karyawan akan melakukan

pekerjaan menjadi lebih baik.

Pengertian disiplin kerja yang dikemukakan oleh para ahli, Nitisemito

yang dikutip Darmawan (2013: 41) mengemukakan bahwa “disiplin kerja dapat

diartikan sebagai suatu sikap, tingkah laku, dan perbuatan yang sesuai dengan
17

peraturan dari organisasi dalam bentuk tertulis maupun tidak”. Sedangkan

menurut Mathis dan Jackson yang dikutip Darmawan (2013: 41) disiplin kerja

merupakan “bentuk pelatihan yang menegakkan peraturan-peraturan organisasi”.

Pelaksanaan dan peningkatan disiplin menjadi bagian penting dalam manajemen

sumber daya manusia sekaligus sebagai faktor penting untuk meningkatkan

produktivitas dan kinerja karyawan.

Disiplin kerja menurut Siagian (2011: 305) adalah “tindakan manajemn

untuk mondorong para anggota organisasi memenuhi tuntutan berbagai ketentuan

yang harus ditaati oleh para anggotanya”. Menurut Hasibuan (2001: 190)

Kedisiplinan merupakan “kesadaran dan kesediaan seseorang menaati semua

peraturan perusahaan dan norma-norma social yang berlaku”.

Menurut Hasibuan (2001: 191), berikut ini indikator-indikator dari

kedisiplinan kerja antara lain:

1. Tujuan dan Kemampuan

Tujuan dan kemampuan ikut mempengaruhi tingkat kedisiplinan pegawai.

Tujuan yang akan dicapai harus jelas dan ditetapkan secara ideal serta cukup

menantang bagi kemampuan pegawai. Hal ini berarti bahwa tujuan

(pekerjaan) yang dibebankan kepada pegawai harus sesuai dengan

kemampuan pegawai bersangkutan, agar dia bekerja sungguh-sungguh dan

disiplin dalam mengerjakannya.

Akan tetapi, jika pekerjaan itu di luar kemampuannya atau jauh dibawah

kemampuannya maka kesungguhan dan kedisiplinan pegawai rendah.

Misalnya : pekerjaan untuk pegawai berpendidikan SMU ditugaskan kepada


18

seorang sarjana atau pekerjaan untuk sarjana ditugaskan bagi pegawai

berpendidikan SMU. Jelas pegawai bersangkutan kurang berdisiplin dalam

melaksanakan pekerjaan tersebut.

2. Teladan Pimpinan

Teladan pimpinan sangat berperan dalam menentukan kedisiplinan

pegawai karena pimpinan dijadikan teladan dan panutan oleh para

bawahannya. Pimpinan harus memberi contoh yang baik, berdisiplin baik,

jujur, adil, serta sesuai kata dengan perbuatan. Dengan teladan pimpinan yang

baik, kedisiplinan bawahan pun akan ikut baik. Jika teladan pimpinan kurang

baik (kurang berdisiplin), para bawahan pun akan kurang disiplin.

Pimpinan jangan mengharapkan kedisiplinan bawahannya baik jika dia

sendiri kurang disiplin. Pimpinan harus menyadari bahwa perilakunya akan

dicontoh dan diteladani bawahannya. Hal inilah yang mengharuskan pimpinan

mempunyai kedisiplinan yang baik agar para bawahan pun mempunyai

disiplin yang baik pula.

3. Balas Jasa
Balas jasa (gaji dan kesejahteraan) ikut mempengaruhi kedisiplinan

pegawai karena balas jasa akan memberikan kepuasan dan kecintaan pegawai

terhadap kantor/pekerjaannya. Jika kecintaan pegawai semakin baik terhadap

pekerjaan, kedisiplinan mereka akan semakin baik pula. Guna mewujudkan

kedisiplinan pegawai yang baik, organisasi harus memberikan balas jasa yang

relatif besar. Kedisiplinan pegawai tidak mungkin baik apabila balas jasa yang

mereka terima kurang memuaskan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya

beserta keluarga.
19

Jadi, balas jasa berperan penting untuk menciptakan kedisiplinan

karyawan. Artinya semakin besar balas jasa semakin baik kedisiplinan

pegawai. Sebaliknya, apabila balas jasa kecil kedisiplinan pegawai menjadi

rendah. Pegawai sulit untuk berdisiplin baik selama kebutuhan-kebutuhan

primernya tidak terpenuhi dengan baik.

4. Keadilan

Keadilan ikut mendorong terwujudnya kedisiplinan pegawai, karena ego

dan sifat manusia yang selalu merasa dirinya penting dan minta diperlakukan

sama dengan manusia lainnya.

Keadilan yang dijadikan dasar kebijaksanaan dalam pemberian balas jasa

(pengakuan) atau hukuman akan merangsang terciptanya kedisiplinan pegawai

yang baik. Manajer yang cakap dalam memimpin selalu berusaha bersikap adil

terhadap semua bawahannya. Keadilan yang baik akan menciptakan

kedisiplinan yang baik pula. Jadi, keadilan harus diterapkan dengan baik pada

setiap kantor supaya kedisiplinan pegawai kantor baik pula.

5. Waskat

Waskat (pengawasan melekat) adalah tindakan nyata dan paling efektif

dalam mewujudkan kedisiplinan pegawaian kantor. Dengan waskat berarti

atasan harus aktif dan langsung mengawasi perilaku, moral, sikap, gairah

kerja, dan prestasi kerja bawahannya. Hal ini berarti atasan harus selalu

ada/hadir di tempat kerja agar dapat mengawasi dan memberikan petunjuk,

jika ada bawahannya yang mengalami kesulitan dalam menyelesaikan

pekerjaannya.
20

Waskat adalah tindakan nyata dan efektif untuk mencegah/mengetahui

kesalahan, membetulkan kesalahan, memelihara kedisiplinan, meningkatkan

prestasi kerja, mengaktifkan peranan atasan dan bawahan, menggali sistem-

sistem kerja yang paling efektif, serta menciptakan sistem internal kontrol

yang terbaik dalam mendukung terwujudnya tujuan kantor, pegawai, dan

masyarakat.

6. Sanksi Hukuman

Sanksi hukuman berperan penting dalam memelihara kedisiplinan

pegawai. Sanksi hukuman yang semakin berat maka pegawai akan semakin

takut melanggar peraturan-peraturan organisasi, sikap, dan perilaku

indisipliner pegawai akan berkurang.

Berat/ringannya sanksi hukuman yang akan diterapkan ikut mempengaruhi

baik/buruknya kedisiplinan pegawai. Sanksi hukuman harus ditetapkan

berdasarkan pertimbangan logis, masuk akal, dan diinformasikan secara jelas

kepada semua pegawai. Sanksi hukuman seharusnya tidak terlalu berat supaya

hukuman itu tetap mendidik pegawai untuk mengubah perilakunya. Sanksi

hukuman hendaknya cukup wajar untuk setiap tingkatan yang indisipliner,

bersifat mendidik, dan menjadi alat motivasi untuk memelihara kedisiplinan

dalam organisasi.

7. Ketegasan

Ketegasan pimpinan dalam melakukan tindakan akan mempengaruhi

kedisiplinan pegawai kantor. Pimpinan harus berani dan tegas, bertindak

untuk menghukum setiap pegawai yang indisipliner sesuai dengan sanksi


21

hukuman yang telah ditetapkan. Pimpinan yang berani bertindak tegas

menerapkan hukuman bagi pegawai yang indisipliner akan disegani dan

diakui kepemimpinannya oleh bawahan.

Pimpinan akan dapat memelihara kedisiplinan staf/pegawai kantor namun

sebaliknya apabila seorang pimpinan kurang tegas atau tidak menghukum

pegawai yang indisipliner, sulit baginya untuk memelihara kedisiplinan

bawahannya, bahkan sikap indisipliner pegawai semakin banyak karena

mereka beranggapan bahwa peraturan dan sanksi hukumnya tidak berlaku

lagi. Pimpinan yang tidak tegas menindak atau menghukum pegawai yang

melanggar peraturan, sebaiknya tidak usah membuat peraturan atau tata tertib

pada kantor tersebut. Ketegasan pimpinan menegur dan menghukum setiap

pegawai yang indisipliner akan mewujudkan kedisiplinan yang baik pada

kantor tersebut.

8. Hubungan Kemanusiaan

Hubungan kemanusian yang harmonis di antara sesama pegawai ikut

menciptakan kedisiplinan yang baik pada suatu kantor. Hubungan-hubungan

baik bersifat vertikal maupun horizontal yang terdiri dari direct single

relationship, direct group relationship, dan cross relationship hendaknya

harmonis. Manajer harus berusaha menciptakan suasana hubungan

kemanusian yang serasi serta mengikat, vertikal maupun horizontal di antara

semua pegawainya. Terciptanya human relationship yang serasi akan

mewujudkan lingkungan dan suasana kerja yang nyaman.


22

Berdasarkan penjelasan di atas peneliti menggunakan indikator menurut

Hasibuan sebab kedisplinan merupakan fungsi operatif Manajemen Sumber Daya

Manusia yang terpenting karena semakin baik disiplin pegawai, semakin tinggi

prestasi kerja yang dapat dicapainya. Tanpa disiplin pegawai yang baik, sulit bagi

organisasi perusahaan mencapai hasil yang optimal.

5.1.5 Prestasi Kerja

Pengertian prestasi kerja disebut juga sebagai kinerja atau dalam bahasa

Inggris disebut dengan performance. Pada prinsipnya, ada istilah lain yang lebih

menggambarkan pada “prestasi” dalam bahasa Inggris yaitu kata “achievement”.

Tetapi karena kata tersebut berasal dari kata “to achieve” yang berarti

“mencapai”, maka dalam bahasa Indonesia sering diartikan menjadi “pencapaian”

atau “apa yang dicapai”. Menurut Sunyoto (2013: 17), mengemukakan bahwa:

“prestasi merupakan perwujudan seseorang dalam melaksanakan pekerjaan.

Seseorang dapat dikatakan berprestasi, manakala mereka dapat melaksanakan

pekerjaan dengan baik, artinya mencapai sasaran dengan standar yang telah

ditentukan”.

Menurut Hasibuan (2001: 96), mengemukakan bahwa: “prestasi kerja

adalah suatu hasil kerja yang dicapai seseorang dalam melaksanakan tugas-tugas

yang dibebankan kepadanya atas dasar kecakapan, pengalaman, dan kesungguhan

serta waktu”. Sedangkan menurut Mangkunegara (2005: 123), mendefinisikan

isitilah prestasi kerja bahwa: “prestasi kerja berasal dari job performance atau

actual performance. Pengertian prestasi kerja (kinerja) adalah hasil kerja secara
23

kualitas dan kuantitas yang dicapai oleh seorang pegawai dalam melaksanakan

tugasnya sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan kepadanya”.

Prestasi kerja merupakan gabungan dari tiga faktor penting, yaitu

kemampuan dan minat seorang pekerja, kemampuan dan penerimaan atas

penyelesaian delegasi tugas, serta peran dan tingkat motivasi seorang pekerja.

Semakin tinggi ketiga faktor di atas, semakin besarlah prestasi kerja pegawai yang

bersangkutan. Kata prestasi atau kemampuan sering menunjukkan potensi untuk

melaksanakan sesuatu. Jika kemampuan tersebut dapat dikatakan sebagai daya

kekuatan yang ada dalam diri seseorang. Sedangkan menurut peraturan

pemerintah nomor 10 tahun 1979 prestasi kerja adalah hasil kerja yang di capai

seorang Pegawai Negeri Sipil dalam melaksanakan tugas-tugas yang dibebankan

kepadanya, untuk menilai tingkat prestasi seseorang pegawai dinyatakan dalam

sebutan dan angka yaitu :

1. Amat Baik (91 - 100)

2. Baik (76 - 90)

3. Cukup (61 - 75)

4. Sedang (51 - 60)

5. Kurang (50 kebawah)

Menurut Handoko dalam Sunyoto (2013: 17) penilaian prestasi kerja

(performance appraisal) adalah proses melalui mana organisasi-organisasi

mengevaluasi atau menilai prestasi kerja pegawai. Manajemen maupun

pegawai perlu umpan balik tentang kerja mereka. Hasil penilaian prestasi

kerja (performance appraisal) pegawai dapat memperbaiki keputusan-


24

keputusan personalia dan memberikan umpan balik kepada pegawai tentang

pelaksanaan kerja mereka. Sistem-sistem penilaian harus mempunyai hubungan

dengan pekerjaan, praktis, memiliki standar dan menggunakan ukuran yang

dapat diandalkan.

Hasil kerja adalah merupakan hasil yang telah dicapai seseorang pegawai

dalam suatu instansi atau organisasi terhadap beban kerja yang telah diberikan

kepadanya. Hasil kerja ini adalah unsur utama untuk mengukur apakah seorang

pegawai memiliki potensi kerja. Jadi hasil kerja pegawai dapat digunakan untuk

menilai prestasi seorang pegawai. Sebuah organisasi pegawai dituntut

menghasilkan kerja yang baik dengan didukung oleh faktor-faktor lainnya seperti

pendidikan dan metode kerja serta sarana dan prasarana kerja, dengan

memilikinya faktor yang penting ini maka seorang pegawai dapat menghasilkan

pekerjaan yang diharapkan oleh organisasi atau organisasi.

Pengukuran prestasi kerja dapat berfungsi sebagai sasaran dan informasi

yang dapat digunakan oleh para pegawai dalam mengarahkan usaha-usaha

mereka melalui serangkaian prioritas tertentu dan pengukuran ini berfungsi

sebagai standar dari sasaran kerja. Oleh karena itu para pegawai dan atasan dapat

memanfaatkan hal itu untuk menilai seberapa baik pelaksanaan pekerjaan

seseorang. Menurut Edwin Flippo dalam Sunyoto (2013: 18) mengemukakan

bahwa prestasi kerja seseorang dapat diukur melalui:

1. Mutu kerja, dalam hal ini berkaitan dengan ketepatan waktu,

keterampilan dan kepribadian dalam melakukan pekerjaan.


25

2. Kualitas kerja, berkaitan dengan pemberian tugas-tugas tambahan yang

diberikan oleh atasan kepada bawahan. Misalnya kerja lembur.

3. Ketangguhan, di sini berkaitan dengan tingkat kehadiran pemberian waktu

libur dan jadwal mengenai keterlambatan hadir di tempat kerja.

4. Sikap, merupakan sikap yang ada kepada pegawai yang menunjukkan

seberapa jauh sikap dan tanggung jawab mereka terhadap sesama teman

dan atasan serta seberapa jauh tingkat kerja sama dalam mengevaluasi

tugas.

Penilaian prestasi kerja (performance appraisal) adalah proses melalui

mana organisasi-organisasi mengevaluasi atau menilai prestasi kerja pegawai.

Kegunaan penilaian prestasi kerja dapat dirinci sebagai berikut (Handoko dalam

Sunyoto) (2013: 18):

1. Perbaikan prestasi kerja

Dalam hal ini umpan balik pelaksanaan kerja memungkinkan pegawai,

manajer dan departemen personalia dapat memperbaiki kegiatan-kegiatan

mereka.

2. Penyesuaian-penyesuaian kompensasi sebagai bahan pengambilan

keputusan dalam pemberian imbalan penilaian prestasi kerja membantu

para pengambil keputusan untuk menentukan besarnya upah dan gaji yang

sepantasnya.

3. Keputusan-keputusan penempatan

Prestasi kerja seseorang di masa lalu merupakan dasar bagi pengambilan

keputusan promosi, transfer dan demosi atau penurunan pangkat.


26

4. Kebutuhan-kebutuhan pelatihan dan pengembangannya

Dengan adanya prestasi kerja yang rendah berarti memungkinkan untuk

diadakan latihan guna mengatasi berbagai kekurangan dan kelemahan

mampu untuk mengembangkan potense pegawai yang belum sepenuhnya

digali.

5. Perencanaan dan pengembangan karier

Untuk meyakinkan umpan balik bagi seseorang pegawai maka mereka

harus ditunjang pengembangan diri dan karier dengan demikian dapat

menjamin efektifitas organisasi.

5.1.6 Hubungan Antara Kondisi Kerja, Disiplin Kerja dan Prestasi Kerja

Manejemen sumber daya manusia sebagai sebuah ilmu dan seni mengatur

hubungan dan peranan tenaga kerja. Dalam melakukan kegiatan manajemen

sumber daya tidak hanya bagaimana seseorang pimpinan mengetahui potensi

pegawainya, namun lebih pada bagaimana seorang pemimpin mendesain sebuah

formulasi tertentu dalam mengaplikasikan para pegawai yang ada sesuai dengan

kemampuan yang dimiliki. Sumber daya manusia berperan dalam mengolah dan

memanfaatkan sumber daya dan material sehingga menjadi produk yang dapat

dimanfaatkan, dalam prosesnya dibutuhkan hal-hal yang dapat menunjang

produktivitas kerja seperti kondisi kerja, sebab kondisi kerja merupakan keadaan

tenaga kerja sebagai akibat dari kebijaksanaan yang dilakukan oleh organisasi

tersebut. Kemudian disiplin kerja dapat diartikan sebagai pelaksanaan manajemen

untuk memperteguh pedoman-pedoman organisasi (Wirawan, 2008: 30).


27

5.2 Kerangka Pemikiran

Berikut ini adalah gambaran kerangka pemikiran dapat lebih jelas dilihat

pada gambar berikut:


Indikator Kondisi Kerja:
- Penerangan
MSDM Kondisi - Kebisingan
Kerja - Suhu udara
(X1) - Ruang gerak yang diperlukan
- Pewarnaan
- Keamanan (Sunyoto, 2013: 10)

Kepuasan Indikator Disiplin Kerja:


Kerja - Besar kecilnya pemberian
kompensasi.
- Ada tidaknya keteladanan pemimpin
- Ada tidaknya aturan pasti yang dapat
Disiplin dijadikan pegangan.
Kerja - Keberanian pemimpin dalam
(X2) mengambil keputusan.
- Ada tidaknya pengawasan
pemimpin.
- Ada tidaknya perhatian kepada para
karyawan.
- Diciptakan kebiasan-kebiasaan yang
mendukung tegaknya disiplin.
Saydam (2001)

Alat Analisis
1. Analisis Regresi
2. Uji Hipotesis
3. Analisis Koefisien Determinasi

Indikator Prestasi Kerja:


Prestasi - Mutu Kerja
Kerja - Kualitas Kerja
(Y) - Ketangguhan
- Sikap Sunyoto (2013: 13)

Gambar 1. Kerangka Pemikiran


28

Berdasarkan kerangka pemikiran tersebut peneliti membahas mengenai

manajemen sumber daya manusia dimana di dalamnya terdapat peranan manajer

personalia yang terdiri dari kondisi kerja, disiplin kerja dan prestasi kerja. Ketiga

peranan tersebut menjadi variabel X (kondisi kerja dan disiplin kerja) dan

Variabel Y (prestasi kerja) dalam penelitian ini yang masing-masing variabel

memiliki indikator seperti pada variabel X yaitu kondisi kerja terdiri dari enam

indikator yaitu penerangan, kebisingan, suhu udara, ruang gerak yang diperlukan,

pewarnaan serta keamanan. Variabel X pada disiplin kerja terdiri dari tujuh

indikator yaitu besar kecilnya pemberian kompensasi, ada tidaknya keteladanan

pemimpin, ada tidaknya aturan pasti yang dapat dijadikan pegangan, keberanian

pemimpin dalam mengambil keputusan, ada tidaknya pengawasan pemimpin, ada

tidaknya perhatian kepada para karyawan, dan diciptakan kebiasan-kebiasaan

yang mendukung tegaknya disiplin. Kemudian Variabel Y yaitu prestasi kerja

mempunyai empat indikator yaitu mutu kerja, kualitas kerja, ketangguhan dan

sikap.

Dari masing-masing indikator ketiga variabel tersebut maka peneliti akan

memanfaatkan sebagai acuan membuat angket yang nantinya akan disebar kepada

responden, kemudian setelah penyebaran dilakukan maka peneliti akan mencari

uji validitas, uji reliabilitas, uji asumsi klasik, reliabilitas guna menentukan layak

atau tidaknya angket tersebut diteliti, setelah diperoleh hasil maka peneliti

menggunakan alat analisis yaitu analisis regresi, uji hipotesis untuk menentukan

seberapa jauh pengaruh satu variabel dengan variabel lainnya kemudian analisis

koefisien determinasi.
29

5.3 Penelitian Sebelumnya

Penelitian yang dilakukan oleh Apandi (2012), melakukan penelitian

tentang pengaruh lingkungan kerja dan disiplin kerja terhadap prestasi kerja

pegawai pada Perum Perhutani Unit III Jawa Barat dan Banten Bandung. Metode

analisis data yang digunakan adalah regresi linear berganda. Hasil penelitian

diketahui bahwa lingkungan kerja pada Perum Perhutani Unit III Jawa Barat dan

Banten secara keseluruhan sudah baik. Akan tetapi penggunaan warna di kantor

Perum Perhutani Unit III Jawa Barat dan Banten kurang nyaman bagi pegawai

dalam bekerja dan para pegawai juga pada umumnya masih merasa kurang

nyaman dengan adanya suara bising yang ditimbulkan dari suara musik.

Disamping itu perusahaan juga masih kurang sering menyelenggarakan

pembinaan kerja terhadap para pegawainya. Prestasi kerja yang diperlihatkan oleh

pegawai pada Perum Perhutani Unit III Jawa Barat dan Banten secara keseluruhan

tinggi. Hanya saja masih ada beberapa hal yang perlu penanganan serius, seperti

sikap kerja pegawai yang pada umumnya masih kurang serta kurangnya loyalitas

pegawai sebagai ukuran bagi para pegawai untuk berprestasi.

Penelitian yang dilakukan oleh Aan Soelehan dan Iswandi Sukartaatmadja

(2009), Dosen Tetap Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Kesatuan Bogor dengan judul

penelitian Pengaruh Disiplin Kerja, Lingkungan Kerja, dan Semangat Kerja

terhadap Prestasi Kerja Warga SMP Perintis, Kecamatan Pancoran Mas Kota

Depok, hasil penelitian dan pembahasan terdapat pengaruh signifikan variabel

disiplin keja, lingkungan kerja dan semangat kerja terhadap prestasi kerja guru

dan pegawai SMP Perintis Kecamatan Pancoranmas Kota Depok F hitung lebih besar
30

dari F tabel ( 5,118 > 3,13). Semangat kerja merupakan variabel yang paling

dominan berpengaruh terhadap prestasi kerja berpengaruh signifikan karena t hitung

> t . Disiplin kerja berpengaruh signifikan terhadap prestasi kerja karena t


tabel

hitung lebih besar dari t tabel. Variabel lingkungan kerja kurang berpengaruh

signifikan terhadap prestasi kerja karena t hitung lebih kecil dari t tabel.

Kemudian penelitian dilakukan oleh Mahardikawanto (2013), Universitas

Negeri Semarang dengan judul penelitian pengaruh disiplin kerja, lingkungan

kerja, dan kualitas kehidupan kerja terhadap kinerja karyawan RSUD dr. M.

Ashari Pemalang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa variabel disiplin kerja

berpengaruh positif terhadap kinerja karyawan, variabel lingkungan kerja

berpengaruh positif terhadap kinerja karyawan, dan variabel kualitas kehidupan

kerja berpengaruh positif terhadap kinerja karyawan. Dalam penelitian ini adalah

peningkatan kinerja karyawan dapat dicapai melalui peningkatan disiplin kerja,

lingkungan kerja, dan kualitas kehidupan kerja.

Persamaan dalam penelitian yang sedang digarap yaitu dari ketiga

penelitian tersebut mempunyai kemiripan antara lain sama-sama meneliti

mengenai variabel X yaitu lingkungan kerja atau kondisi kerja dan disiplin kerja

sedangkan untuk variabel Y mengenai prestasi kerja. Hanya saja dalam penelitian

ini mempunyai perbedaan antara lain tempat dan waktu yang berbeda.

Berdasarkan penelitian terdahulu tersebut peneliti melakukan penelitan yang

relevan dengan judul “pengaruh kondisi kerja dan disiplin kerja terhadap prestasi

kerja pegawai pada Badan Penanggulangan Bencana Daerah Pemerintah

Kabupaten OKU”.
31

5.4 Hipotesis Penelitian

Menurut para ahli Arikunto (2002: 60) hipotesis di definisikan sebagai

persyaratan yang dibuat oleh peneliti bagi problematika yang diajukan dalam

penelitian. Sudijono (2009: 208) mengemukakan bahwa “hipotesis dibagi menjadi

dua yaitu pertama hipotesis alternatif (Ha) adalah kolerasi positif yang signifikan,

antara variabel V dan variabel Y, dan kedua (Ho) tidak adanya korelasi positif

yang signifikan, antara variabel V, dan variabel Y”. Hipotesis dalam penelitian

ini adalah: diduga kondisi kerja dan disiplin kerja berpengaruh terhadap prestasi

kerja pegawai pada Badan Penanggulangan Bencana Daerah Pemerintah

Kabupaten OKU.

6. Metodologi Penelitian

6.1 Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada Badan Penanggulangan Bencana Daerah

yang beralamat di Jalan Ahmad Yani KM. 7 Kemelak Bidung Langit Kecamatan

Baturaja Timur Kabupaten OKU. Peneliti membatasi ruang lingkup pembahasan

pada kondisi kerja dan disiplin kerja berpengaruh terhadap prestasi kerja pegawai.

6.2 Jenis dan Sumber Data

Data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah data primer. Data

primer merupakan data penelitian yang diperoleh secara langsung dari sumber asli

(tidak melalui media perantara) yang secara khusus dikumpulkan oleh peneliti

untuk menjawab penelitian (Ruslan, 2010: 29).


32

Sumber data yang dapat digunakan diperoleh dari penyebaran kuesioner,

yaitu teknik pengumpulan data dengan metode survei yang menggunakan

pertanyaan kepada subjek penelitian secara tertulis (Ruslan, 2010: 208). Data

primer tersebut diperoleh dari penyebaran kuesioner yang meliputi data tentang

kondisi kerja, disiplin kerja dan prestasi kerja.

6.3 Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah

melalui penyebaran kuesioner. Menurut Arikunto (2010: 24) kuesioner adalah

cara pengumpulan data dengan menggunakan daftar pertanyaan (angket) atau

daftar isian terhadap objek yang diteliti (populasi atau sampel).

6.4 Populasi dan Sampel

6.4.1 Populasi

Menurut Arikunto (2010: 173), “Populasi adalah seluruh subjek

penelitian.” Populasi dalam penelitian adalah seluruh objek yang diteliti (diamati,

diwawancarai dan sebagainya) dimana peneliti akan menarik kesimpulan tentang

objek itu. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pegawai Badan

Penanggulangan Bencana Daerah. Populasi dalam penelitian diketahui jumlahnya

karena ada catatan resmi serta perhitungan yang akurat dengan total populasi 79

pegawai yang terdiri dari PNS dan TKS.


33

6.4.2 Sampel

Sampel adalah himpunan bagian (subset) dari unit populasi. Secara umum,

jumlah sampel minimal yang dapat diterima untuk suatu studi tergantung dari

jenis studi yang dilakukan. Sampel adalah bagian dari populasi yang diambil

melalui cara-cara tertentu yang juga memiliki karakteristik tertentu, jelas, dan

lengkap yang dianggap bisa mewakili populasi (Arikunto, 2010: 131). Untuk

menentukan sampel dalam penelitian ini, peneliti menggunakan teknik acak

(random).

Lebih lanjut Arikunto (2010:134) mengemukakan bahwa apabila subjek

penelitian kurang dari 100, maka lebih baik diambil semua sehingga penelitiannya

merupakan penelitian populasi. Oleh karena total sample kurang dari 100 yaitu

sebanyak 79 pegawai maka seluruh populasi dijadikan sample.

6.5 Teknik Analisis

6.5.1 Analisis Data

Analisis data adalah analisis yang dihitung berdasarkan hasil dari

kuesioner yang berupa jawaban dari responden. Berdasarkan data yang diperoleh

dari penelitian tersebut maka jawaban atas pertanyaan pada angket akan diberi

nilai atau skor dengan menggunakan skala likert yang terdiri dari pernyataan

sangat setuju, setuju, netral, tidak setuju dan sangat tidak setuju (Ridwan dan

Sunarto, 2010: 15).


34

6.5.2 Uji Validitas dan Reliabilitas

6.5.2.1 Uji Validitas

Validitas adalah suatu ukuran yang menunjukkan tingkat-tingkat kevalidan

atau kesahihan suatu instrumen (Arikunto, 2010: 211). Sedangkan rumus yang

digunakan untuk mengukur validitas instrumen dalam penelitian ini adalah rumus

Product Moment dari Pearson sebagai berikut

Keterangan :

rxy = koefisien korelasi item total

Y = skor item

X = skor total

n = jumlah responden

Kriteria pengambilan keputusan adalah sebagai berikut:

a. Jika r hasil positif, serta r hasil > r tabel, maka butir atau variabel tersebut

valid.

b. Jika r hasil negatif, serta r hasil < r tabel, maka butir atau variabel tersebut

tidak valid.

c. Jika r hasil > r tabel bertanda negatif Ho tetap akan diolah.

6.5.2.2 Uji Reliabilitas

Uji reliabilitas dimaksudkan untuk mengetahui apakah alat pengumpulan

data dasarnya menunjukkan tingkat ketepatan, keakuratan, kestabilan atau


35

kekonsistenan alat tersebut dalam mengungkapkan gejala tertentu dari

sekelompok individu walaupun dilakukan dalam waktu yang berbeda. Uji

keandalan terhadap pernyataan-pernyataan yang sudah valid untuk mengetahui

hasil pengukuran tetap konsisten bila dilakukan pengukuran kembali terhadap

gejala yang sama, adapun metode koefisien reliabilitas adalah metode alpa

cronbach dengan rumus sebagai berikut:

Keterangan :
r 1 = reliabilitas instrumen

k = banyaknya butir pertanyaan atau soal

Σσb 2
= jumlah varians butir

σt 2
= varians total

Kaidah keputusannya adalah apabila nilai reliabilitas alpha cronbach

kuesioner di atas 0,8 maka kuesioner adalah reliabel (Kuncoro, 2009: 175).

6.5.2.3 Uji Asumsi Klasik

Pengujian asumsi klasik dilakukan untuk mengetahui kondisi data yang

ada agar dapat menentukan model analisis yang tepat. Data yang digunakan

sebagai model regresi berganda dalam menguji hipotesis haruslah menghindari

kemungkinan terjadinya penyimpangan asumsi klasik. Uji asumsi yang akan

dilakukan mencakup pengujian normalitas, multikoliniearitas, heteroskedastisitas

dan autokorelasi (Ghozali, 2005: 57-69).


36

a. Uji Normalitas

Uji normalitas bertujuan untuk menguji apakah dalam model regresi,

variabel pengganggu atau residual memiliki distribusi normal. Seperti diketahui

bahwa uji t dan uji F mengasumsikan bahwa nilai residual mengikuti distribusi

normal. Kalau asumsi ini dilanggar maka uji statistik menjadi tidak valid

(Ghozali, 2005: 110). Cara untuk mengetahui normalitas adalah dengan melihat

normal probability plot yang membandingkan distribusi kumulatif dari distribusi

normal. Distribusi normal akan membentuk suatu garis lurus diagonal, dan

plotting data akan dibandingkan dengan garis diagonal.

Gambar 1 Normal Probability Plot Uji Normalitas

Jika distribusi data residual adalah normal, maka garis yang

menggambarkan data sesungguhnya meliputi garis diagonalnya. Seperti

ditunjukkan pada gambar 1.


37

b. Uji Multikolinearitas

Menurut Santoso (2004: 203) uji multikolinearitas dilakukan untuk

menguji apakah model regresi ditemukan adanya korelasi antar variabel

independen. Pedoman suatu model regresi yang bebas multikolinearitas adalah

koefisien korelasi antar variabel independen haruslah lemah (di bawah 0,5). Jika

korelasi kuat, maka terjadi problem multikolinearitas. Model regresi yang baik

seharusnya tidak terjadi korelasi di antara variabel independen. Untuk dapat

mendeteksi terjadi atau tidaknya multikolinearitas pada sebuah model regresi,

dapat dilakukan dengan tidak mengandung multikolinieritas, apabila nilai VIF <

10 dan mempunyai nilai tolarance > 0,10. Jika nilai VIF hasil regresi lebih besar

dari 10 dan nilai tolerance lebih kecil dari 0,10 maka dapat dipastikan ada

multikolinearitas di antara variabel bebas tersebut.

c. Heteroskedastisitas

Heterokedastisitas adalah untuk menguji sebuah model regresi, terjadi

ketidaksamaan varians dari residual dari satu pengamatan ke pengamatan lain.

Jika varians dari residual dari satu pengamatan ke pengamatan yang lain tetap

maka disebut homokedastisitas, dan jika varians berbeda disebut

heterokedastisitas. Model regresi yang baik adalah tidak terjadi heterokedastisitas

(Santoso, 2004: 208).

Heterokedastisitas dapat dideteksi dengan melihat ada tidaknya pola

tertentu pada scatterplot, dimana sumbu X adalah Y yang telah diprediksi, dan

sumbu X adalah residual (Y diprediksi – Y yang sesungguhnya) yang telah

distudentized.
38

Gambar 2. Pola Scatterplot Uji Heterokedastisitas

Dasar pengambilan keputusan adalah:

1. Jika ada pola tertentu, seperti titik-titik (point-point) yang ada membentuk

suatu pola tertentu yang teratur (bergelombang, melebar kemudian

menyempit), maka telah terjadi heterokedastisitas.

2. Jika tidak ada pola yang jelas, serta titik-titik menyebar di atas dan di bawah

angka nol pada sumbu Y, maka tidak terjadi heterokedastisitas.

d. Uji Autokorelasi

Menurut Santoso (2004: 216) autokorelasi digunakan untuk menguji

apakah dalam sebuah model regresi linear ada korelasi antara kesalahan

pengganggu pada periode t dengan kesalahan pada periode t-1 (sebelumnya). Jika

terjadi korelasi, maka dinamakan ada problem autokorelasi. Model regresi yang

baik adalah regresi yang bebas dari autokorelasi.


39

Mendeteksi adanya autokorelasi dapat dilakukan dengan menggunakan

Durbin Watson, secara umum dapat diambil patokan:

a. Angka D-W di bawah -2 berarti ada autokorelasi positif

b. Angka D-W di bawah -2 sampai +2 berarti tidak ada autokorelasi

c. Angka D-W di bawah +2 berarti ada autokorelasi negatif

Jika ada masalah autokorelasi, maka model regresi yang seharusnya signifikan,

menjadi tidak layak untuk dipakai. Autokorelasi dapat diatasi dengan cara

melakukan transformasi data dan menambah data observasi.

6.6 Metode Analisis

6.6.1 Analisis Regresi Linear Berganda

Alat analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis regresi

linear berganda. Model ini dikembangkan untuk mengestimasi nilai variabel

dependen Y dengan menggunakan lebih dari satu variabel independen (X 1, X2,…

Xn). Analisis ini akan dilakukan melalui beberapa tahapan sebagai berikut:

6.6.1.1 Transformasi Data

Sebelum dilakukan analisis regresi linear berganda, tahap awal yang

dilakukan adalah mentransformasi data yang diolah berdasarkan hasil dari

kuesioner yang berasal dari jawaban responden. Jawaban responden diberi skor

atau nilai berdasarkan skala likert, yang alternatif jawabannya terdiri dari yaitu

sangat setuju, setuju, netral, tidak setuju, sangat tidak setuju (Ridwan dan Sunarto,

2010: 15).
40

Pendapat responden terhadap pertanyaan tentang kondisi kerja, disiplin

kerja dan prestasi kerja diberikan nilai sebagai berikut:

1) Setiap alternatif jawaban sangat tidak setuju diberi skor 1

2) Setiap alternatif jawaban tidak setuju diberi skor 2

3) Setiap alternatif jawaban ragu-ragu diberi skor 3

4) Setiap alternatif jawaban setuju diberi skor 4

5) Setiap alternatif jawaban sangat setuju diberi skor 5

Data dari jawaban responden adalah bersifat ordinal, syarat untuk bisa

menggunakan analisis regresi adalah paling minimal skala dari data tersebut harus

dinaikkan menjadi skala interval, melalui Methode of Succesive Internal (MSI).

Skala interval menentukan perbedaan, urutan dan kesamaan besaran perbedaan

dalam variabel, karena itu skala interval lebih kuat dibandingkan skala nominal

dan ordinal (Ridwan dan Sunarto, 2010: 21).

Transformasi tingkat pengukuran dari skala ordinal ke skala interval

dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut :

1) Perhatikan setiap item pertanyaan dalam kuesioner

2) Untuk setiap item tersebut tentukan berapa orang responden yang mendapat

skor 1, 2, 3, 4, 5, yang disebut dengan frekuensi

3) Skor frekuensi dibagi dengan banyaknya responden yang disebut proporsi

4) Hitung proporsi kumulatif (pk)

5) Gunakan tabel normal, hitung nilai z untuk setiap proporsi kumulatif

6) Nilai densitas normal (fd) yang sesuai dengan nilai z


41

7) Tentukan nilai interval (scale value) untuk setiap skor jawaban sebagai

berikut:

Nilai interval = (density at lower limit) – (density at upper limit)


(area under upper limit) – (area under lower limit)

Keterangan :

Area under upper limit : Kepadatan batas bawah

Density at upper limit : Kepadatan batas atas

Area under upper limit : Daerah dibawah batas atas

Area under lower limit : Daerah dibawah batas bawah

8) Sesuai dengan nilai skala ordinal ke interval, yaitu scale value (SV) yang

nilainya terkecil (harga negatif yang terbesar) diubah menjadi sama dengan 1

(satu).

6.6.1.2 Spesifikasi Model Analisis Regresi Linear Berganda

Model regresi linear berganda penelitian ini dapat diformulasikan sebagai

berikut: (Algifari, 2009: 47).

Y = a + b1X1 + b2X2 + e

Dimana:

Y = Prestasi Kerja

X1 = Kondisi Kerja

X2 = Disiplin Kerja

b1 – b2 = Koefisien regresi

a = Konstanta

e = Error Term
42

6.6.2 Pengujian Hipotesis


6.6.2.1 Uji t (Uji Individual)

Menurut Kuncoro (2009: 238) Uji-t pada dasarnya menunjukkan seberapa

jauh pengaruh satu variabel penjelas secara individual dalam menerangkan variasi

variabel terikat. Hipotesis nol (Ho) penelitian ini dapat dirumuskan sebagai

berikut:

Ho : bi = 0, artinya tidak ada pengaruh variabel independen ke-i terhadap variabel


dependen.

Ha : bi ≠ 0, artinya ada pengaruh variabel independen ke-i terhadap variabel


dependen.
Kriteria pengambilan keputusan berdasarkan uji t adalah sebagai berikut:

(Priyatno, 2011: 169).

- Ho diterima dan Ha ditolak jika - ttabel ≤ thitung ≤ ttabel, artinya tidak signifikan.

- Ho ditolak dan Ha diterima jika -t hitung < - ttabel atau thitung > ttabel, artinya
signifikan
Hasil thitung dibandingkan dengan ttabel pada tingkat kepercayaan 95 % dan

taraf signifikansi 5% dengan menggunakan ttabel = t α/2, df (n-k-1) yang dapat

digambarkan sebagai berikut :

Daerah Daerah
penolakan (Ho) penolakan (Ho)
Ho Daerah
penerimaan (Ho) Ho

-t (α/2), df (n-k-1) t (α/2), df (n-k-1)

Gambar 3. Interval Keyakinan 95 % Untuk Uji Dua Sisi


43

6.6.2.2 Uji F

Uji F – statistik pada dasarnya menunjukkan apakah semua variabel bebas

yang dimasukkan dalam model mempunyai pengaruh secara bersama-sama

terhadap variabel terikat (Kuncoro, 2009: 239). Hipotesis nol yang hendak diuji

adalah:

Ho : b1 – b2 = 0, artinya tidak ada pengaruh variabel independen yang signifikan

terhadap variabel dependen secara simultan.

Ha : b1 – b2  0, artinya ada pengaruh variabel independen yang signifikan

terhadap variabel dependen secara simultan.

Menurut Ridwan dan Sunarto (2010: 110) kaidah pengujian signifikansi:

Jika F hitung > F tabel, maka tolak Ho artinya signifikan dan

F hitung < F tabel, maka terima Ho artinya tidak signifikan

Hasil Fhitung dibandingkan dengan Ftabel pada tingkat kepercayaan 95 % dan

taraf signifikansi 5% dengan menggunakan Ftabel = F {(1- α) (dk pembilang = m),

(dk penyebut = n-m-1).

6.6.2.3 Analisis Koefisien Determinasi

Koefisien determinasi (R2 / KP) pada intinya digunakan untuk

menunjukkan seberapa besar variabel X dalam menjelaskan variabel Y. Nilai KP

dapat dihitung dengan persamaan sebagai berikut: (Ridwan dan Sunarto, 2010:

80-81)
44

KP = r x 100%

Dimana :

KP (Koefisien Penentu) = nilai koefisien determinasi

r = nilai koefisien korelasi

7. Batasan Operasional Variabel

Batasan operasional penelitian dalam penelitian ini adalah:

Tabel 2
Batasan Operasional Variabel

No. Variabel Definisi Indikator


1. Kondisi Kondisi kerja merupakan - Penerangan
Kerja (X1) keadaan tenaga kerja sebagai - Kebisingan
akibat dari kebijaksanaan yang - Suhu udara
diambil atau dilakukan oleh - Ruang gerak yang diperlukan
organisasi tersebut - Pewarnaan
- Keamanan
Sunyoto (2013: 10)

2. Disiplin Disiplin kerja sebagai suatu alat - Tujuan dan kemampuan


Kerja (X2) yang digunakan para manajer - Teladan Pemimpin
untuk berkomunikasi dengan - Balas jasa
karyawan agar mereka bersedia - Keadilan
untuk mengubah suatu perilaku - Waskat
serta sebagai suatu upaya untuk - Sanksi hukum
meningkatkan kesadaran dan - Ketegasan
kesediaan seseorang mentaati - Hubungan Kemanusiaan
semua peraturan perusahaan Hasibuan (2011: 191)
dan norma-norma sosial yang
berlaku.

3. Prestasi Prestasi merupakan perwujudan - Mutu Kerja


Kerja (Y) seseorang dalam melaksanakan - Kualitas Kerja
pekerjaan. Seseorang dapat - Ketangguhan
dikatakan berprestasi, manakala - Sikap
mereka dapat melaksanakan Sunyoto (2013: 13)
pekerjaan dengan baik, artinya
mencapai sasaran dengan
standar yang telah ditentukan.
45

8. Kerangka Kerja Penelitian

8.1. Tahap Langkah kerja

a) Tahap Persiapan

1). Penyelesaian administrasi

2). Pengajuan dan pengesahan judul

3). Pengajuan dan pengesahan proposal penelitian

4). Penyusunan instrumen

5). Observasi awal

b). Tahap Pengumpulan Data

1). Pengumpulan data dari sumber data yang ada

2). Pemeriksaan data

3). Pengklasifikasian data

c). Tahap Pengolahan Data

1). Pemeriksaan data ulang

2). Pengklasifikasian data lebih lanjut

3). Melakukan analisis data

4). Mengevaluasi data

d). Tahap Penyusunan Data

1). Penyusunan data per bab

2). Perbaikan
46

DAFTAR PUSTAKA

Algifari. 2009. Analisis Statistik Untuk Bisnis: Dengan Regresi, Korelasi dan
Nonparametrik. Yogyakarta: BPFE.

Arikunto, Suharsimi. 2010. Prosedur Penelitian; Suatu Pendekatan Praktik.


Jakarta:Rineka Cipta.

Darmawan, Didit. 2013. Prinsip-prinsip Perilaku Organisasi. Surabaya: PT. JePe


Press Media Utama

Ghozali, Imam. 2005. Aplikasi Analisis Multivariate dengan Program SPSS 3 ED.
Semarang: Penerbit Unniversitas Diponegoro.

Hasibuan. 2001. Manajemen Sumber Daya Manusia Edisi Revisi. Jakarta: PT.
Bumi Aksara

Jurnal-Sdm.Blogspot.Com/2009/04/Faktor-Faktor-Yang-Mempengaruhi.Html
diakses pada tanggal 29 April 2015 pukul 09.10.

Kuncoro, Mudrajat. 2009. Metode Riset Untuk Bisnis dan Ekonomi: Bagaimana
Meneliti dan Menulis Tesis. Erlangga: Yogyakarta.

Mangkunegara, Anwar Prabu. 2005. Manajemen Sumber Daya Manusia Perusahaan.


Rosdakarya: Bandung.

Notoatmodjo, Soekidjo. 2009. Pengembangan Sumber Daya Manusia. Jakarta:


Rineka Cipta

Priyatno. 2011. Metode Penelitian Sosial Berbagai Alternatif Pendekatan. Jakarta:


Kecana Prenada Media Group.

Ridwan dan Sunarto. 2010. Pengantar Statistika Untuk Penelitian Pendidikan,


Sosial, Komunikasi, Ekonomi dan Bisnis. Bandung: Alfabeta.

Ruslan, Rosady. 2010. Metode Penelitian: Public Relations dan Komunikasi.


Cetakan Kelima. Jakarta. PT. Raja Grafindo Persada.

Santoso, S. 2004. Buku Latihan SPSS Statistik Parametik. Jakarta: PT. Elex Media
Komputindo.

Sedarmayanti.(2000). Tata Kerja dan Produktivitas Kerja : Suatu Tinjauan Dari


Aspek Ergonomi Atau Kaitan Antara Manusia Dengan Lingkungan Kerjanya.
Cetakan Ketiga. Bandung: Mandar Maju
47

Sunyoto, Danang. 2013. Teori, Kuesioner, dan Proses Analisis Data Perilaku
Organisasional. Yogyakarta: PT. Buku Seru

Wirawan. 2008. Evaluasi Kinerja Sumber Daya Manusia Teori, Aplikasi, dan
Penelitian. Jakarta: Selamba Empat.
48

DAFTAR ISI

Halaman
HALAMAN JUDUL…………………………………………………..... i
DAFTAR ISI............................................................................................. iii

1. Latar Belakang ..............…………………..…..................................... 1


2. Rumusan Masalah ……………………………………........................ 4
3. Tujuan Penelitian ………………......................................................... 4
4. Manfaat Penelitian................................................................................ 5
5. Tinjuan Pustaka .................................................................................... 5
5.1 Landasan Teori ............................................................................... 5
5.1.1 Manajemen Sumber Daya Manusia....................................... 5
5.1.2 Faktor-Faktor yang Mempengarahi Kepuasan Kerja ............ 7
5.1.3 Kondisi Kerja......................................................................... 13
5.1.4 Disiplin Kerja......................................................................... 16
5.1.5 Prestasi Kerja......................................................................... 20
5.1.6 Hubungan Antara Kondisi Kerja, Disiplin Kerja dan
Prestasi kerja.......................................................................... 25
5.2 Kerangka Pemikiran........................................................................ 26
5.3 Penelitian Sebelumnya.................................................................... 28
5.4 Hipotesis Penelitian ........................................................................ 31
6. Metodologi Penelitian .......................................................................... 31
6.1 Ruang Lingkup Penelitian .............................................................. 31
6.2 Jenis dan Sumber Data.................................................................... 31
6.3 Teknik Pengumpulan Data.............................................................. 32
6.4 Pupulasi dan Sampel....................................................................... 32
6.4.1 Populasi.................................................................................. 32
6.4.2 Sampel.................................................................................... 32
6.5 Teknik Analisis............................................................................... 33
6.5.1 Analisis Data.......................................................................... 33
6.5.2 Uji Validitas dan Reliabilitas................................................. 33
6.5.2.1 Uji Validitas ............................................................... 33
6.5.2.2 Uji Reliabilitas............................................................ 34
6.5.2.1 Uji Asumsi Klasik....................................................... 35
6.6 Metode Analisis ............................................................................. 39
6.6.1 Analisis Regresi Linier Berganda.......................................... 39
6.6.2 Tranformasi Data................................................................... 39
6.6.3 Pengujian Hipotesis................................................................ 41
7. Batasan Operasional Variabel............................................................... 44
8. Kerangka Kerja Penelitian.................................................................... 45
DAFTAR PUSTAKA 46

Anda mungkin juga menyukai