Disusun sebagai salah satu syarat menyelesaikan Program Studi Strata I pada
Jurusan Teknik Mesin Fakultas Teknik
Oleh:
RIZKINA TOBIIN
D 200 170 230
Abstrak
Pengerasan permukaan (surface hardening) pada logam merupakan salah satu cara
untuk meningkatkan kekerasan pada bagian permukaannya saja. Logam yang
mengalami pengerasan permukaan akan mempunyai sifat keras di permukaan,
sedangkan pada bagian tengah/inti logam akan tetap tangguh. Tujuan dari penelitian
ini adalah untuk mengetahui pengaruh flame hardening terhadap kekerasan
permukaan dan struktur mikro pada material besi cor nodular. Pada penelitian ini
dilakukan proses flame hardening, yaitu dengan memanaskan material besi cor
nodular hingga mencapai temperatur sekitar 850 ℃ dengan menggunakan tipe
nyala api karburasi dari campuran gas oxygen dan acetylene. Kemudian dilakukan
quenching dengan media pendingin air yang disemprotkan pada permukaan yang
dipanaskan. Pengujian kekerasan dilakukan dengan metode brinell, sedangkan
pengujian metalografi menggunakan mikroskop optik dan scanning electron
microscopy (SEM). Hasil dari pengujian metalografi dapat diketahui pada bagian
permukaan spesimen yang dipengaruhi flame hardening didominasi fasa martensit,
Fe3C, dan perlit, kemudian pada daerah transisi terdapat fasa grafit yang berbentuk
gumpalan-gumpalan dan perlit kasar. Fasa pada daerah yang tidak terkena flame
hardening terdiri dari grafit yang cenderung berbentuk bulat yang dikelilingi ferit
dan memiliki matrik perlit. Pada pengujian kekerasan dapat diketahui terjadi
peningkatan kekerasan pada daerah permukaan yang terkena pengaruh flame
hardening sebesar 157 % dari kekerasan logam induk. Kekerasan rata-rata pada
logam induk adalah 263,26 BHN, sedangkan kekerasan rata-rata pada daerah yang
dipengaruh flame hardening adalah 677,40 BHN.
Kata Kunci: Besi cor nodular, flame hardening, kekerasan, struktur mikro.
Abstract
Surface hardening in metals is one way to increase the hardness of the surface only.
Metals that experience hardening of the surface will have hard properties on the
surface, while in the middle / core of the metal will remain tough. The goal of the
study was to determine the effect of flame hardening on surface hardness and
microstructure on nodular cast iron material. In this study, the process of flame
hardening was carried out, namely by heating nodular cast iron material to reach a
temperature of about 850 °C using a type of carbursed flame from a mixture of
oxygen and acetylene gas. Then quenching with a water cooling medium sprayed
on the heated surface. Hardness testing is done by the brinell method, while
metallographic testing uses optical microscopy and scanning electron microscopy
(SEM). Results from metallographic testing can be known on the surface of the
specimen that is affected by flame hardening dominated by martensite and perlite
phases, then in the transition area there is a graphite phase in the form of clumps
and rough perlite. Phase on areas that are not exposed to flame hardening consists
of graphite that tends to be round in shape surrounded by ferrites and has a perlite
matrix. In hardness testing, there can be an increase in hardness in surface areas
affected by flame hardening by 157 % of the hardness of the base metal. The
1
average hardness in the base metal was 263,26 BHN, while the average hardness in
flame hardening-affected areas was 677,40 BHN.
1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Di era modern ini teknologi dibidang engineering berkembang sangat pesat.
Perkembangan tersebut telah masuk ke berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia.
Hal tersebut memberikan kemajuan yang pesat terhadap industri manufaktur untuk
membuat komponen-komponen mesin dan berbagai jenis keperluan lainnya, dengan
material berbahan logam yang memiliki sifat mekanik tertentu sesuai dengan
kegunaannya. Salah satu proses manufaktur adalah pengecoran, pengecoran adalah
sebuah proses untuk menghasilkan sebuah produk dengan cara memanaskan logam
padat hingga mencapai temperatur titik lebur sehingga menjadi logam cair, kemudian
logam cair dituangkan ke dalam cetakan yang memiliki rongga/cavity yang memiliki
bentuk geometri seperti produk yang diinginkan dan dilakukan pendinginan agar
menjadi padat. Beberapa produk dari hasil pengecoran seperti roda gigi, blok mesin,
pulley, dan lain-lain (Campbell, 2003).
Ada berbagai jenis besi cor dengan karakteristik yang berbeda-beda. Salah satunya
adalah besi cor kelabu, yaitu besi cor dengan kadar karbon bervariasi mulai dari 2.5%-
4.0% berat dan kadar silikon diantara 1.0%- 3.0% berat. Kehadiran grafit dalam besi
cor jenis ini adalah dalam bentuk serpihan seperti serpihan jagung, dengan dikelilingi
oleh matriks α-ferit atau perlit. Dikarenakan serpihan grafit ketika besi cor dipatahkan
akan menampakkan bagian berwarna kelabu. Secara mekanis, besi cor kelabu bersifat
lemah (weak) dan getas (brittle), karena struktur dari serpihan grafit yang tajam dan
runcing sehingga menimbulkan konsentrasi tegangan saat tegangan tarik eksternal
diterapkan. Kekuatan dan keliatan jauh lebih tinggi di bawah beban tekan. Besi cor
kelabu memiliki beberapa karakteristik yang menguntungkan, besi cor ini sangat efektif
dalam meredam energi getaran, dan juga memiliki ketahanan aus yang tinggi.
Kemudian, dalam keadaan cair besi cor ini memiliki fluiditas tinggi pada suhu
pengecoran, yang memungkinkan potongan-potongan pengecoran yang memiliki
bentuk yang rumit dan penyusutan pengecoran yang rendah. Selain beberapa
keuntungan tersebut, hal yang patut dipertimbangkan adalah besi cor kelabu adalah
2
salah satu yang paling murah diantara bahan logam lain (Darmawan, 2020).
Besi cor nodular adalah besi cor kelabu yang ditambahkan sedikit magnesium
dan/atau cerium sebelum dilakukan proses casting. Hal ini akan menyebabkan
perubahan dari struktur mikro dan juga perilaku mekaniknya. Grafit masih akan
terbentuk namun akan menghasilkan bentuk nodular atau seperti lingkaran sebagai hasil
dari perubahan serpihan. Fasa matriks yang mengelilinginya adalah ferit atau perlit
tergantung pada proses perlakuan panas, umumnya adalah perlit. Namun, perlakuan
panas pada beberapa jam pada sekitar 700˚C akan menghasilkan matriks ferit. Besi cor
nodular bersifat lebih kuat dan jauh lebih tangguh dibanding dengan besi cor kelabu.
Besi cor ini memiliki kekuatan tarik berkisar antara 380 dan 480 MPa, dan keliatan
(sebagai persen perpanjangan) dari 10% hingga 20%. Secara umum penggunaan besi
cor ini adalah untuk material katup, crankshaft, roda gigi, dan komponen- komponen
lainnya (Darmawan, 2020).
Bagian-bagian mesin yang bergerak dan saling terkena kontak pada permukaannya
seperti roda gigi, membutuhkan suatu permukaan yang keras dan tahan aus. Tetapi,
agar komponen tersebut juga tahan terhadap beban kejut, maka diperlukan inti yang
tangguh. Sifat ini dapat dicapai dengan melakukan pengerasan pada permukaannya
saja. Salah satu metode yang dapat digunakan untuk melakukan hal tersebut adalah
dengan cara flame hardening. Flame hardening merupakan salah satu proses
pengerasan permukaan (Surface Treatment) dengan memanaskan material
menggunakan nyala api yang dihasilkan oleh gas oxy-acetylene sampai temperatur yang
telah ditentukan, kemudian dilakukan pendinginan secara cepat (Elgun, 1999).
Berdasarkan uraian latar belakang permasalahan di atas, untuk meningkatkan
kekerasan pada permukaan besi cor nodular, namun memiliki inti yang tangguh. Maka
perlu dilakukan proses flame hardening. Oleh karena, itu dilakukan penelitian dengan
mengambil judul “PENGARUH FLAME HARDENING TERHADAP
KEKERASAN PERMUKAAN DENGAN METODE PENGUJIAN BRINELL
DAN STRUKTUR MIKRO BESI COR NODULAR”.
Berdasarkan latar belakang yang ada, maka dapat diidentifikasi beberapa masalah,
di antaranya :
1. Besi cor kelabu bersifat getas.
2. Besi cor nodular perlu dikeraskan, ketika digunakan sebagai bahan dari komponen
3
yang bergesekan.
3. Proses flame hardening dapat mempengaruhi kekerasan dan struktur mikro pada
permukaan besi cor nodular.
4
hardening. Pada pengujian keausan terjadi penurunan weight loss dari 184.3 mg pada
raw material menjadi 136.3 mg setelah dilakukan flame hardening.
Sabarinath dan Mahesh (2016) melakukan penelitian tentang pengaruh flame
hardening dengan variasi media pendinginan (quenching) yaitu air, polimer, dan sherol
terhadap harga kekerasan dan ketahanan aus pada material besi cor kelabu. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa harga kekerasan terbesar didapatkan pada media
pendingin polimer yaitu sebesar 48 HRC, kemudian untuk media pendingin air harga
kekerasannya sebesar 43 HRC, dan harga kekerasan terkecil didapatkan pada media
pendingin sherol yaitu sebesar 41 HRC. Sedangkan keausan rata-rata terkecil
didapatkan pada quenching dengan media pendingin air yaitu sebesar 2.94x10-4
mm3/Nm, kemudian untuk media pendingin polimer keausan rata-ratanya sebesar
3.98x10-4 mm3/Nm, dan keausan rata-rata terbesar adalah dengan menggunakan media
pendingin sherol yaitu sebesar 4.39x10-4 mm3/Nm.
Sagar dkk (2017) melakukan penelitian tentang pengaruh flame hardening pada
baja tahan karat AISI 316L dengan variasi waktu pemanasan selama 1 menit, 3 menit,
dan 5 menit, spesimen yang digunakan memiliki panjang 30 mm dan lebar 8 mm.
Penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui kedalaman pengerasan benda kerja hasil
proses flame hardening dengan pengujian metalografi mikroskop optik pada variasi
waktu pemanasan yang berbeda-beda. Hasil dari penelitian tersebut dapat diketahui
pada waktu pemanasan selama 1 menit didapatkan kedalaman pengerasan 8.5 μm,
kemudian pada waktu pemanasan selama 3 menit didapatkan kedalaman pengerasan 11
μm, variasi waktu pemanasan yang terakhir adalah selama 5 menit, didapatkan
kedalaman pengerasan 12.5 μm. Berdasarkan hasil tersebut, maka dapat disimpulkan
bahwa lama waktu pemanasan pada proses flame hardening berbanding lurus dengan
ke dalaman pengerasan benda kerja. Semakin lama proses pemanasan, maka akan
semakin dalam pengerasan yang terjadi.
Surojo dkk (2009) melakukan penelitian tentang pengaruh flame hardening
terhadap kekerasan dan struktur mikro pada baja pegas daun mobil, dengan material
baja karbon sedang yang mempunyai kandungan karbon 0.433% berat, dengan tebal
spesimen 12 mm dan panjang 100 mm. Hasil penelitian menunjukkan bahwa harga
kekerasan yang diukur dengan pengujian vickers pada baja karbon sedang mengalami
peningkatan dari 717 HV menjadi 866 HV serta memiliki struktur mikro martensit dan
ferit. Berdasarkan penelitian tersebut, maka proses flame hardening pada baja karbon
sedang dapat meningkatkan kekerasan pada permukaan benda kerja.
5
2. METODE
Mulai
Kesimpulan
Selesai
6
besi cor nodular dengan komposisi kimia C : 3,5100 %, Si : 2,5997 %, Mg :
0,0307 %.
3.1 Pengujian Metalografi dengan Mikroskop Optik ASTM E407 dan Scanning
Electron Microscopy ASTM E986
7
induk. Pengujian ini dilakukan dengan menggunakan mikroskop optik berdasarkan
ASTM E407 dan Scanning Electron Microscopy (SEM) berdasarkan ASTM E986.
Hasil pengujian metalografi pada daerah logam induk dengan menggunakan
mikroskop optik dapat dilihat pada gambar 3, dan dengan menggunakan Scanning
Electron Microscopy pada gambar 4. Fasa yang terdapat pada daerah tersebut adalah
grafit yang cenderung berbentuk bulat dan berwarna gelap yang dikelilingi ferit yang
berwarna terang dengan matrik perlit. Fasa yang terdapat pada logam induk tersebut
adalah fasa awal dari besi cor nodular atau tidak terjadi perubahan fasa, hal ini
dikarenakan pada logam induk tidak terjadi pendinginan dengan cepat. Struktur mikro
tersebut mengacu pada refrensi buku ASM 8.
Ferit
Perlit
Grafit
Gambar 3. Foto struktur mikro logam induk dengan mikroskop optik perbesaran
lensa okuler 100 x
Ferit
Grafit Perlit
Gambar 4. Foto struktur mikro logam induk dengan scanning electron microscopy
perbesaran pada lensa 1000 x
8
Pengujian struktur mikro pada daerah yang dipengaruhi flame hardening dengan
menggunakan mikroskop optik dapat dilihat pada gambar 5, dan dengan menggunakan
Scanning Electron Microscopy pada gambar 6. Fasa pada daerah yang pengaruh flame
hardening adalah martensit, Fe3C, dan perlit. Martensit terbentuk karena spesimen
dipanaskan mencapai temperatur austenisasi (pada penelitian ini sekitar 850 ℃)
kemudian didinginkan dengan cepat menggunakan semprotan air sehingga terjadi
ketidaksetimbangan (nonequilibrium). Pendinginan cepat menyebabkan atom karbon
terjebak di dalam sel satuan dan tidak sempat terdifusi keluar dari sel satuan untuk
menjadi perlit, kemudian terbentuklah fasa martensit yang memiliki nilai kekerasan
tinggi. Fasa pada daerah permukaan tidak sepenuhnya martensit, masih terdapat Fe3C
dan perlit, hal ini karena pada saat pendinginan (quenching) masih terdapat atom
karbon yang berhasil terdifusi dan pada temperatur kamar membentuk perlit. Struktur
mikro pada daerah flame hardening mengacu pada refrensi buku ASM 8.
Fasa perlit juga terdapat pada daerah transisi, yang tampak terlihat berlapis gelap
terang. Perlit terdiri dari ferit yang berwarna terang dan Fe3C berwarna gelap. Fasa
Fe3C terdapat pada batas butir yang mengelilingi perlit. Grafit tampak pada daerah
transisi yang berwarna gelap dan berbentuk seperti gumpalan-gumpalan. Berdasarkan
perubahan fasa yang cukup ekstrim pada permukaan spesimen hingga daerah transisi,
maka dapat diketahui kedalaman pengerasannya sebesar 0.4 mm.
Daerah Transisi
Martensit Perlit
Gambar 5. Foto struktur mikro pada bagian yang dipengaruhi flame hardening
dengan perbesaran lensa okuler 100 x
9
Ferit
Martensit
Fe3C
Perlit
Gambar 6. Foto struktur mikro pada bagian yang dipengaruhi flame hardening dengan
scanning electron microscopy perbesaran pada lensa 1500 x
1 229,96
3 225,54
1 314,76
3 324,09
10
Gambar 7. Histogram hasil uji kekerasan Brinell
Berdasarkan pengujian kekerasan brinell maka dapat diketahui terjadi peningkatan
harga kekerasan yang sangat signifikan, yaitu sebesar 157 % pada daerah yang
dipengaruhi flame hardening. Harga kekerasan pada daerah yang tidak terkena flame
hardening atau logam induk yaitu kekerasan rata-ratanya sebesar 263,26 BHN, hal ini
terjadi karena pada daerah tersebut tidak dilakukan pendinginan cepat (quenching),
sehingga tidak terjadi perubahan fasa. Fasa yang terdapat pada daerah logam induk
adalah grafit yang berbentuk lingkaran dan dikelilingi ferit, dengan matrik perlit. Harga
kekerasan terbesar terjadi pada daerah yang terkena proses flame hardening, yaitu
harga kekerasan rata-ratanya sebesar 677,40 BHN. Hal ini terjadi karena pada
permukaan yang terkena proses flame hardening terjadi perubahan fasa dari grafit, ferit,
dan perlit berubah didominasi menjadi martensit yang memiliki sifat sangat keras
akibat dari pendinginan yang cepat (quenching) pada daerah ini.
4. PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan sesuai dengan hasil data dan
pembahasan, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :
1. Berdasarkan hasil pengujian metalografi menggunakan Mikroskop Optik dan
Scanning Electron Microscopy (SEM) pada spesimen besi cor nodular yang
dilakukan proses flame hardening, dengan dipanaskan pada temperatur sekitar 850
℃ dan dilakukan pendinginan cepat dengan media pendingin air. Menunjukkan
11
bahwa pada bagian permukaan spesimen yang dipengaruhi flame hardening
didominasi fasa martensit, Fe3C, dan perlit, kemudian pada daerah transisi terdapat
fasa grafit yang berbentuk gumpalan-gumpalan dan perlit kasar. Fasa pada daerah
yang tidak terkena flame hardening terdiri dari grafit yang cenderung berbentuk
bulat yang dikelilingi ferit dan memiliki matrik perlit.
2. Berdasarkan hasil uji kekerasan Brinell, dapat diketahui terjadi peningkatan
kekerasan sangat signifikan pada daerah permukaan yang terkena pengaruh flame
hardening sebesar 157 % dari kekerasan logam induk. Pada daerah logam induk
yang tidak terkena flame hardening kekerasan rata-ratanya sebesar 263,26 BHN,
sedangkan pada daerah permukaan yang dipengaruhi flame hardening kekerasan
rata-ratanya sebesar 677,40 BHN, hal ini disebabkan karena terdapat fasa martensit
pada daerah flame hardening, sehingga kekerasan rata-ratanya lebih besar dibanding
kekerasan rata-rata pada logam induk.
4.2 Saran
Untuk memperoleh hasil penelitian flame hardening yang lebih maksimal, maka
perlu diperhatikan beberapa faktor antara lain :
1. Perlu adanya penelitian lebih lanjut mengenai pengaruh variasi jarak antara torch
dengan permukaan spesimen.
2. Perlu dilakukan uji keausan agar diketahui ketahanan aus.
PERSANTUNAN
Terimakasih kepada Bapak Ir. Agung Setyo Darmawan, M.T. selaku pembimbing Tugas
Akhir, Bapak Ir. Pramuko Ilmu Purboputro, M.T. selaku Sekretaris Dewan Penguji dan
Bapak Ir. Agus Dwi Anggono, S.T., M.Eng., Ph.D. selaku Anggota Dewan Penguji atas
bimbingannya dalam penulisan laporan Tugas Akhir
DAFTAR PUSTAKA
Apriyanto, M. (2011). Pengaruh Jarak Torch Pemanas Dengan Nozzle Pendingin Terhadap
Kekerasan Permukaan Baja Karbon Medium Pada Proses Flame Hardening.
Surakarta: Universitas Sebelas Maret.
Budiman, J., & Safutra, R. (2016). Pembuatan Dan Pengujian Alat Bantu Flame Hardening.
ISBN 978-979-17047-6-2, E1-E7.
Callister, W. D., & Rethwisch, D. G. (2009). Materials Science and Engineering An
Introduction. United States of America: Wiley & Sons, Inc.
Campbell, J. (2003). Casting 2nd Edition. Oxford: Elsevier Science Ltd.
Darmawan, A. S. (2020). Ilmu Bahan Teknik. Surakarta: Muhammadiyah University Press.
Darmawan, A. S., & Masyrukan. (2019). Struktur dan Sifat Material. Surakarta:
Muhammadiyah University Press.
12
Folkhard, E. (1984). Welding Metallurgy of Stainless Steel. New York: Spring - Verlig Wien.
Goldstein, J., Newbury, D., Joy, D., Lyman, C., Echlin, P., Lifshin, E., et al. (2003). Scanning
Electron Microscopy and X-ray Microanalysis. New York: Kluwer Academic /
Plenum Publishers.
Gumienny, G., & Giętka, T. (2015). Continuous Cooling Transformation (Cct) Diagrams Of
Carbidic Nodular Cast Iron. Archives Of Metallurgy And Materials, 705-710.
Jati, G. N. (2019). Pengaruh Variasi Kandungan Magnesium (Mg) Dalam Proses Pembuatan
Besi Cor Nodular Terhadap Kekuatan dan Kekakuan Puntir. Surakarta: Universitas
Muhammadiyah Surakarta.
L, S., & Mahesh, K. S. (2016). Effect of Flame Hardening and Various Quenching Medium
on the Mechanical and Metallurgical Properties of Grey Cast Iron Lathe Bed.
International Journal of Advances in Scientific Research and Engineering (IJASRE),
Vol 02, Issue 07, August -2016, 1-7.
Massalski, T. B. (1990). Binary Alloy Phase Diagram, 2nd edition, Vol. 1. Oxford: Elsevier
Science Ltd.
Purboputro, P. I. (2019). Persoalan Tegangan Defleksi dan Statika Tak Tentu. Surakarta:
Muhammadiyah University Press.
Schonmetz, A., & Gruber, K. (1985). Pengetahuan Bahan dalam Pengerjaan Logam,Alih
Bahasa: Hardjapamekas Eddy D. DiplomIng. Bandung: Angkasa.
Setyawan, A. A. (2019). Pengaruh Variasi Kandungan Magnesium (Mg) Dalam Proses
Pembuatan Besi Cor Nodular. Surakarta: Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Surojo , E., Ariawan, D., & Nurkhozin, M. (2009). Pengaruh Manual Flame Hardening
Terhadap Kekerasan Hasil Tempa Baja Pegas. Volume 7 Nomor 2, 45-49.
Wafda, K. M., Arman, L. D., Handriyanto, D. T., Adi P , N. W., & K, N. G. (2012). Tugas
Paper Clipflame Hardening. Diakses 19 Agustus 2021, https://pdfcoffee.com/flame-
hardening-4-pdf-free.html.
Yulianto, A., Soenoko, R., Suprapto, W., Sonief, A., & Darmawan, A. S. (2020). Hardness
and wear resistance improvement of Ferro Casting Ductile for permanent mold.
International Journal of Emerging Trends in Engineering Research, Volume 8. No.3,
March 2020, 617-622.
13