Oleh:
Ahmad Afandi
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
Udiyo Basuki
Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta
Abstract
Indonesia is a unitary state or negara kesatuan. One of the characteristics of a unitary
state is the concentration of all forms of policy on the central government. In other words, the
central government has very broad authority in regulating policies in the regions. On the other
hand, policies that tend to be more centralized can cause injustice to diversity in the regions,
especially for Indonesia, which is geographically an archipelagic country that has very diverse
customs and cultures, so the needs in each region are very complex.
Therefore, this paper offers a system of residual asymmetric decentralization that can be
applied in Indonesia by rigidly dividing the authority of the central and regional governments.
Such a division of authority is an urgent matter so that there is no longer any authority overlap
between the central and regional governments. Besides that, the distribution of authority in this
way can also further emphasize the characteristics of decentralization within the framework of
the Unitary State of the Republic of Indonesia.
Abstrak
Indonesia merupakan negara penganut unitary state atau negara kesatuan. Salah satu ciri
negara kesatuan adalah pemusatan segala bentuk kebijakan pada pemerintah pusat. Dengan
kata lain, pemerintah pusat mempunyai kewenangan yang sangat luas dalam mengatur
kebijakan di daerah. Pada lain sisi, kebijakan yang cenderung sentralistis sedikit banyak dapat
menimbulkan ketidakadilan bagi keberagaman di daerah. Terlebih bagi Indonesia yang secara
geografis merupakan negara kepulauan yang mempunyai adat-istiadat dan budaya yang sangat
beragam, sehingga kebutuhan di setiap daerah sangat kompleks.
Oleh karenanya, tulisan ini menawarkan sistem desentralisasi asimetris residual yang dapat
diterapkan di Indonesia dengan membagi kewenangan pemerintah pusat dan daerah secara
rigid. Pembagian kewenangan yang demikian merupakan suatu hal yang urgen agar tidak ada
lagi tumpang tindih kewenangan antara pemerintah pusat dan daerah. Di samping itu,
pembagian kewenangan secara yang demikian juga dapat lebih mempertegas karakteristik dari
desentralisasi dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.
1
AHMAD AFANDI & UDIYO BASUKI
MENEMUKAN KONSEP IDEAL HUBUNGAN PUSAT DAN DAERAH DALAM BINGKAI NEGARA KESATUAN
REPUBLIK INDONESIA
A. Pendahuluan
Otonomi daerah yang ada saat ini tidak bisa dilepaskan dari konsep otonomi yang ada
dalam UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemerintahan Daerah).
Dalam Pasal 1 angka 6, otonomi daerah dibatasi sebagai hak, wewenang dan kewajiban
daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan
masyarakat setempat dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
Merujuk Pasal 9 UU Pemerintahan Daerah, pada dasarnya urusan pemerintahan terdiri
atas urusan pemerintahan absolut, urusan pemerintahan konkuren dan urusan pemerintahan
umum. Urusan pemerintahan absolut merupakan urusan pemerintahan yang sepenuhnya
menjadi kewenangan pemerintahan pusat. Urusan pemerintahan umum merupakan urusan
pemerintahan yang menjadi kewenangan presiden selaku kepala pemerintahan. Sementara
urusan pemerintahan konkuren merupakan urusan pemerintahan yang kewenangannya dibagi
antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Di mana urusan pemerintah konkuren yang
diserahkan ke daerah menjadi dasar dalam pelaksanaan otonomi daerah.
Meskipun pada prinsipnya Negara Kesatuan Republik Indonesia telah menganut asas
otonomi daerah yang diberikan kepada daerah otonom untuk mengatur sendiri urusan rumah
tangganya, akan tetapi secara yuridis kewenangan yang dimiliki daerah masih belum
sepenuhnya bersifat mandiri. Hal tersebut dapat terlihat dalam Pasal 16 dan Pasal 17 UU
Pemerintahan Daerah yang masih memberikan kewenangan yang besar bagi pemerintah
pusat untuk ikut campur mengurusi urusan pemerintahan konkuren yang telah diserahkan
kepada daerah.
Salah satu keterlibatan pemerintah pusat terhadap urusan pemerintahan konkuren daerah
adalah dengan masih diberikannya kewenangan untuk menetapkan norma, standar, prosedur
dan kriteria dalam rangka penyelenggaraan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan
daerah. Di samping itu pemerintah pusat juga diberi kewenangan untuk melakukan
pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan urusan pemerintahan yang menjadi
kewenangan daerah. Bentuk pengawasan yang dimiliki oleh pemerintah pusat adalah adanya
kewenangan untuk membatalkan kebijakan daerah apabila kebijakan tersebut tidak
berpedoman pada norma, standar, prosedur dan kriteria yang telah ditentukan sebelumnya
oleh pemerintah pusat.
Hal tersebut merupakan salah satu cerminan inkonsistensi UU Pemerintah Daerah dalam
memberikan otonomi yang seluas-luasnya kepada daerah otonom yang pada akhirnya akan
berimbas pada saling klaim kewenangan yang akan memicu ketidakharmonisan antara
AHMAD AFANDI & UDIYO BASUKI 2
MENEMUKAN KONSEP IDEAL HUBUNGAN PUSAT DAN DAERAH DALAM BINGKAI NEGARA KESATUAN
REPUBLIK INDONESIA
pemerintah pusat dan daerah. Salah satu contoh konkret ketidakharmonisan antara
pemerintah pusat dan daerah terjadi beberapa tahun silam antara Pemerintah Pusat dengan
Pemprov DKI Jakarta dalam kebijakan normalisasi daerah aliran sungai (DAS).
Pemerintah Pusat berpendapat kebijakan normalisasi sungai yang notabene merupakan
kebijakan peninggalan Basuki Tjahaya Purnama (Ahok) tetap dilanjutkan agar dapat
menekan angka banjir di wilayah DKI Jakarta. Akan tetapi Pemerintah Provinsi DKI di
bawah kepemimpinan Anies Baswedan menilai bahwa normalisasi DAS tidak dapat berjalan
efektif jika tidak diiringi dengan perbaikan (naturalisasi) sistem resapan air hujan di bagian
hulu.1 Mengingat selama ini banjir yang terjadi di Pemprov DKI merupakan banjir kiriman
dari Bogor. Sehingga Pemprov DKI menilai bahwa kewenangan menangani banjir di DKI
Jakarta merupakan tugas dan tanggung jawab Pemerintah Pusat karena sudah masuk ke
dalam wilayah yurisdiksinya.
Konflik serupa (saling lempar tanggung jawab) juga mewarnai hubungan antara
Pemerintah Pusat dengan Pemprov DKI dalam penanganan kasus banjir di underpass
Kemayoran pada tahun 2020. Dalam kasus tersebut Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan
menyebut bahwa banjir yang terjadi merupakan tanggung jawab pemerintah pusat, dan
Pemprov DKI dalam hal ini hanya ikut membantu menyelesaikan masalah yang ada. 2
Terlepas dari upaya “saling jaga citra” antara kedua belah pihak, kasus tersebut memberi
pemahaman bahwa masih terdapat celah dalam pengaturan kewenangan antara pemerintah
pusat dan daerah yang ada dalam UU Pemerintahan Daerah. Sehingga perlu adanya gagasan
menemukan konsep ideal hubungan pusat dan daerah untuk memperbaiki sistem tatanan
pusat dan daerah yang telah ada, dengan tetap memperhatikan bingkai dan koridor Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
1 CNN Indonesia, “Polemik Normalisasi Sungai DKI dari Era Jokowi Hingga Anies”,
https://www.cnnindonesia.com/nasional/20210210063052-32-604479/polemik-normalisasi-sungai-dki-dari-dra-
jokowi-hingga-anies , diakses pada 4 Juni 2021 pukul 16.25 WIB.
2
CNN Indonesia, “Drama Istana-Balai Kota: Saling Jaga Citra Anies dan Jokowi”,
https://cnn.indonesia.com/nasional/20200129083136-32-46966/drama-istana-balai-kota-saling-jaga-citra-anies-
dan-jokowi , diakses pada 4 Juni 2021 pukul 16.44 WIB.
3
S.J. Wolhoff, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Republik Indonesia, Jakarta: Timun Mas, 1955, hlm. 221.
yang demikian kurang tepat, mengingat dalam negara kesatuan di antara keduanya
mempunyai hubungan mutualisme yang saling membutuhkan dan melengkapi dalam
kerangka ideal sebagai negara demokratis.4
Mengingat esensi desentralisasi adalah mengakomodir persoalan kompleks yang
dilatarbelakangi oleh berbagai faktor heterogen dan kekhususan daerah yang meliputi
budaya, agama, adat istiadat dan luas wilayah yang jika ditangani semua oleh pemerintah
pusat (dengan keterbatasannya) merupakan hal yang tidak mungkin. Akan tetapi juga
merupakan hal yang tidak tepat jika semuanya diserahkan (didesentralisasikan) kepada
daerah dengan alasan sebagai cerminan dari prinsip demokrasi. 5 Sehingga pengendalian
dan pengawasan oleh pusat sebagai cerminan negara sentralisasi (kesatuan) harus tetap
dipandang perlu sepanjang tidak melemahkan prinsip demokrasi yang ada.
Terkait dengan desentralisasi, Harry Friedman juga mendefinisikan desentralisasi
sebagai asas penyelenggaraan pemerintahan yang dipertentangkan dengan sentralisasi.
Menurut Friedman, desentralisasi akan melahirkan pemerintahan lokal (local government)
sehingga akan memunculkan ruang gerak yang luas bagi daerah untuk memaknai
kewenangan yang diberikan. 6 Sementara itu Parson mendefinisikan desentralisasi sebagai
pembagian kekuasaan pemerintahan dari pusat ke kelompok lain (daerah) yang masing-
masing mempunyai wewenang untuk mengurus daerahnya. 7 Dengan kata lain
desentralisasi merupakan devolusi kekuasaan pemerintah pusat ke pemerintah daerah.
Menurut Bagir Manan, salah satu aspek konstitusional penyelenggaraan negara dan
pemerintahan adalah persoalan yang berkaitan dengan penyelenggaraan otonomi sebagai
sub sistem negara kesatuan. 8 Adapun prinsip dari negara kesatuan yaitu pemegang tampuk
kekuasaan tertinggi atas segenap urusan negara adalah pemerintah pusat tanpa adanya
delegasi atau pelimpahan kekuasaan kepada pemerintah daerah. 9 Mengingat sejatinya
dalam negara kesatuan dikenal adanya asas segenap urusan negara dalam negara kesatuan
4
Lukman Hakim, Filosofi Kewenangan Organ dan Lembaga Daerah (Perspektif Teori Otonomi dan Desentralisasi
dalam Penyelenggaraan Pemerintah Negara Hukum dan Kesatuan, Malang: Setara Press, 2012, hlm. 17, Udiyo
Basuki dan Rudi Subiyakto, “77 Tahun Negara Hukum: Refleksi atas Dinamika Politik Hukum dalam Tata Hukum
Menuju Masyarakat Hukum Indonesia yang Demokratis”, dalam Jurnal Supremasi Hukum Vol. 11, No. 2, Desember
2022, hlm. 192.
5
Muhammad Ridwansyah, “Upaya Menemukan Konsep Ideal Hubungan Pusat-Daerah Menurut Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”, dalam Jurnal Konstitusi, Vol. 14, No. 4, Desember 2017, hlm. 851.
6
Loc.Cit.
7
Syarif Hidayat dan Benyamin Hoessein, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional, Bandung: Alumni,
1991, hlm. 23.
8
Bagir Manan, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004, hlm. 21.
9
M. Solly Lubis, Pergeseran Garis Politik dan Perundang-Undangan Mengenai Pemerintah Daerah, Bandung:
Alumni, 1983, hlm. 8.
merupakan suatu kebulatan (eenheid) yang tidak terbagi-bagi. Sehingga dalam negara
kesatuan hanya ada satu pemegang kekuasaan yaitu pemerintah pusat. 10 Konsekuensi
logis dari posisinya sebagai penyelenggara kedaulatan negara, maka unit-unit
pemerintahan yang dibentuk dan berada di bawahnya harus tunduk dan patuh pada
pemerintah pusat.11
Meskipun tanggung jawab pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan sejatinya berada di
tangan pemerintah pusat, akan tetapi, mengingat sistem pemerintahan Indonesia yang juga
menganut asas negara kesatuan yang didesentralisasikan, maka ada tugas-tugas tertentu
yang didelegasikan kepada pemerintah daerah. Sehingga dengan adanya asas negara
kesatuan yang didesentralisasikan akan melahirkan hubungan timbal balik antara
pemerintah pusat dan daerah dalam hal kewenangan, keuangan dan pengawasan antar
satuan organisasi pemerintahan. 12
Pasal 18 ayat (1) UUD 1945 menegaskan bahwa “Indonesia dibagi atas daerah-daerah
provinsi, kabupaten dan kota, yang tiap-tiap daerah tersebut mempunyai pemerintahan
daerah yang diatur dengan undang-undang”. Frasa “dibagi atas” menandakan bahwa
Indonesia pada hakikatnya merupakan negara kesatuan dengan sistem pemerintahan
terpusat. Selanjutnya kewenangan yang dimiliki oleh pusat didelegasikan kepada
pemerintahan daerah yang berada di bawahnya. Hal tersebut memiliki makna yang
berbeda dari frasa “terdiri atas” yang lebih mengisyaratkan letak kedaulatan yang berada
di negara-negara bagian layaknya dalam sistem federal. 13
Sehingga Bagir Manan mengatakan bahwa otonomi bukanlah sekadar mekanisme
pemerintahan untuk menjalankan administrasi negara secara efektif dan efisien, akan
tetapi otonomi merupakan salah satu garda terdepan penjaga negara kesatuan. Mengingat
otonomi memikul tugas untuk mewujudkan pemerataan kemakmuran, kesejahteraan dan
keadilan dengan cara menghormati dan menjunjung tinggi perbedaan-perbedaan antar
daerah baik atas dasar sosial, budaya, ekonomi, geografi dan lain sebagainya. 14 Sehingga
hakikat otonomi adalah kemandirian dan keleluasaan, walaupun bukan suatu bentuk
10
Ni’matul Huda, Perkembangan Hukum Tata Negara Perdebatan dan Gagasan Penyempurnaan, Yogyakarta: FH
UII Press, 2014, hlm. 241.
11
Sadu Wasistiono, “Kajian Hubungan antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah (Tinjauan dari Sudut
Pandang Manajemen Pemerintahan)”, dalam Jurnal Administrasi Pemerintahan Daerah, Vol. 1, No. 2, 2004, hlm.
9.
12
Ni’matul Huda, Op.Cit, hlm. 241.
13
Septi Nur Wijayanti, “Hubungan Antara Pusat dan Daerah dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014”, dalam Jurnal Media Hukum, Vol. 23, No. 2, Desember 2016,
hlm. 189.
14
Bagir Manan, Hubungan Antara Pusat dan Daerah Menurut UUD 1945, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1995,
hlm, 26.
15
Loc.cit.
memiliki banyak sekali keunikan. Salah satu keunikan yang dimiliki oleh Indonesia
adalah adanya sistem pemerintahan yang berjenjang mulai dari pemerintah
kabupaten/kota, pemerintah provinsi dan pemerintah pusat. Hal yang unik dari
Indonesia di sini adalah bahwa sistem pemerintahan yang ada di Indonesia
mempunyai semua masalah yang ada di negara federal seperti konflik kewenangan
antar pemerintahan, padahal Indonesia merupakan negara kesatuan yang tidak
menjalankan sistem federal. 16
Menurut Barton hal tersebut justru menjadikan Indonesia terlihat seperti negara
federal yang lemah (disfunctional quasi federal). Mengingat dalam negara federal
mewajibkan adanya administrasi yang baik, lembaga yudikatif yang baik dan diawasi
dari berbagai sisi. Barton mengungkap bahwa sistem semi federal yang diterapkan di
Indonesia tidak disertai dengan tiga hal di atas. 17
Pendapat Barton tersebut seperti ingin menformulasikan bagaimana caranya
untuk menjadikan Indonesia sebagai negara “semi federal” yang tidak lemah
(functional quasi federal). Sederhananya adalah Indonesia harus menjadi negara
federal yang utuh. Tentu untuk mewujudkannya merupakan hal yang tidak mudah
mengingat dalam Pasal 1 ayat (1) UUD 1945 telah menjelaskan bahwa Negara
Indonesia ialah Negara Kesatuan yang berbentuk Republik, dan Pasal 37 ayat (5)
UUD 1945 juga menyatakan bahwa khusus mengenai bentuk negara tersebut (Negara
Kesatuan Republik Indonesia) tidak dapat dilakukan perubahan.
Hal tersebut selaras dengan pendapat Andy Omara, bahwa dalam UUD 1945
terdapat pembatasan-pembatasan (limitation) mengenai hal-hal yang dapat diubah
dan tidak dapat diubah. Pembatasan tersebut seperti yang tertuang dalam Pasal 37
ayat (5) UUD 1945 mengenai bentuk negara. 18 Di situ dijelaskan bahwa khusus
mengenai bentuk negara tidak boleh dilakukan perubahan. Akan tetapi apakah bentuk
negara sama sekali tidak dapat diubah, Andy Omara menambahkan bahwa sejatinya
bentuk negara tetap bisa diubah, caranya yaitu dengan mengubah atau menghapus
(mengamendemen) ketentuan limitatif yang ada dalam UUD 1945 (dalam hal ini
Pasal 37 ayat (5)).
16
Ni’matul Huda dan Despan Heryansyah, “Kompleksitas Otonomi Daerah dan Gagasan Negara Federal dalam
Negara Kesatuan Republik Indonesia”, dalam Jurnal Hukum Ius Quia Iustum, No. 2, Vol. 26, Mei 2019, hlm. 250.
17
Loc.cit.
18
Andy Omara, Teori dan Hukum Konstitusi: Materi Perkuliahan, Yogyakarta: Program Pascasarjana Fakultas
Hukum Universitas Gadjah Mada, 2020. Periksa juga, Udiyo Basuki, “Dinamika Konstitusi Indonesia (Refleksi
Yuridis atas Proses dan Hasil Amandemen UUD 1945)”, dalam Jurnal Sosio-Religia, Vol. 1, No. 4, Agustus 2002,
hlm. 26-27.
19
Loc.cit.
20
Ni’matul Huda dan Despan Heryansyah, Kompleksitas Otonomi Daerah…, hlm. 251.
21
Ni’matul Huda, Desentralisasi Asimetris dalam NKRI, Bandung: Nusa Media, 2014, hlm. 60.
22
Loc.cit.
23
Ibid., hlm. 59.
pengawasan terbatas diharapkan tidak akan ada kesenjangan antara daerah kaya dan
miskin sumber daya.
Untuk merealisasikan desentralisasi asimetris residual ini tentu yang pertama
harus dijalankan adalah membatasi kewenangan pemerintah pusat. Pembatasan
kewenangan tersebut dilakukan dengan cara merinci satu-persatu kewenangan yang
dimiliki oleh pemerintah pusat dan sisa (residu) dari kewenangan tersebut menjadi
kewenangan daerah otonom seluruhnya. Tentu sekilas kata sisa atau residu akan
mempersempit kewenangan daerah, akan tetapi konsep residu tersebut yang
digunakan dalam negara federal. Di mana konstitusi secara jelas merinci kewenangan
yang dimiliki oleh pemerintah federal dan residu dari perincian tersebut menjadi
kewenangan negara-negara bagian.
Meskipun menggunakan istilah residu, akan tetapi konsep tersebut akan lebih
menguntungkan pemerintah daerah, karena faktanya daerah akan mempunyai
kewenangan lebih luas dari pada kewenangan pemerintah pusat. Sehingga gagasan
ini akan lebih dapat mengakomodir keberagaman yang ada. Dalam konsep
desentralisasi asimetris residual ini dapat diklasifikasikan antara kewenangan
pemerintah pusat dan daerah, dengan merinci satu persatu kewenangan pemerintah
pusat dan residu dari kewenangan tersebut menjadi ranah kewenangan daerah. Selain
itu dapat disederhanakan pembagian urusan pemerintahan yang tercantum dalam UU
Pemerintahan Daerah menjadi dua, yaitu urusan pemerintahan pusat dan urusan
pemerintahan daerah.
Urusan pemerintah pusat dalam konsep desentralisasi asimetris residual
merupakan kewenangan yang sepenuhnya menjadi hak pemerintah pusat dalam
menyelenggarakan kewenangan tersebut. Sementara itu yang dimaksud dengan
urusan pemerintahan daerah merupakan urusan yang sepenuhnya menjadi
kewenangan pemerintah daerah. Pembagian kewenangan dari kedua urusan tersebut
dilakukan dengan menggunakan prinsip residual dengan merinci kewenangan
pemerintah pusat. Adapun urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan
pemerintah pusat dalam konsep desentralisasi asimetris residual, meliputi:
1) Politik luar negeri
2) Pertahanan
3) Keamanan
4) Yustisi
5) Moneter dan fiskal
AHMAD AFANDI & UDIYO BASUKI 10
MENEMUKAN KONSEP IDEAL HUBUNGAN PUSAT DAN DAERAH DALAM BINGKAI NEGARA KESATUAN
REPUBLIK INDONESIA
6) Agama
Sementara itu urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintahan
provinsi dalam konsep desentralisasi asimetris residual adalah:
1) Pendidikan
2) Kesehatan
3) Pangan
4) Tenaga kerja
5) Perhubungan
6) Komunikasi dan informatika
7) Perumahan rakyat dan pemukiman
8) Ketenteraman, ketertiban dan perlindungan masyarakat
Urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintahan kabupaten/kota
dalam konsep desentralisasi asimetris residual adalah residu dari 14 (empat belas)
urusan pemerintahan di atas, yang meliputi:
1) Pekerjaan umum dan penataan ruang
2) Pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak
3) Sosial
4) Pertanahan
5) Lingkungan hidup
6) Administrasi kependudukan
7) Pemberdayaan masyarakat desa
8) Pengendalian penduduk dan keluarga berencana
9) Koperasi, usaha kecil dan menengah
10) Penanaman modal
11) Kepemudaan dan olahraga
12) Statistik
13) Persandian
14) Kebudayaan
15) Kepustakaan dan kearsipan
16) Kelautan dan perikanan
17) Pariwisata
18) Pertanian
19) Kehutanan
20) Energi dan sumber daya
AHMAD AFANDI & UDIYO BASUKI 11
MENEMUKAN KONSEP IDEAL HUBUNGAN PUSAT DAN DAERAH DALAM BINGKAI NEGARA KESATUAN
REPUBLIK INDONESIA
21) Perdagangan
22) Perindustrian
23) Transmigrasi, dan lain sebagainya.
Dengan pembagian kewenangan pemerintahan seperti dalam konsep
desentralisasi asimetris residual seperti dikemukakan di atas, diharapkan dapat
meminimalisir konflik kewenangan yang sering terjadi di antara sub sistem
pemerintahan baik secara vertikal maupun horizontal. Mengingat konsep
desentralisasi asimetris residual mengharuskan adanya hubungan harmonis dan saling
koordinasi antar sub sistem pemerintahan untuk tercapainya tujuan pemerintahan
yang diinginkan.
Di samping itu konsep desentralisasi asimetris residual juga dapat mengakomodir
keberagaman bangsa Indonesia dalam bingkai Negara Kesatuan guna meningkatkan
kesejahteraan yang sebesar-besarnya bagi seluruh warga negara. Mengingat daerah
telah diberikan kewenangan yang sangat luas untuk mengurus rumah tangganya
sendiri. Tentu kewenangan tersebut harus diterima dengan penuh tanggung jawab
agar cita-cita mulia bangsa untuk menyejahterakan warga negaranya dapat
terimplementasikan dengan maksimal.
Hal tersebut selaras dengan pendapat Bagir Manan mengenai otonomi. Bagir
Manan berpendapat bahwa otonomi merupakan ujung tombak kesejahteraan.
Mengingat fungsi kesejahteraan akan menghadapkan pemerintah pada kenyataan
konkret yang berbeda-beda pada masing-masing daerah yang mengikuti
perkembangan dan dinamika kebutuhan masyarakat setempat. 24 Sehingga
diharapkan desentralisasi asimetris residual dapat menjadi konsep otonomi yang tepat
untuk merealisasikan tujuan tersebut, mengingat konsep dimaksud akan memberikan
ruang gerak yang cukup bagi pemerintah daerah untuk mengurus sendiri urusan
rumah tangganya sesuai dengan karakteristik dan kebutuhan masing-masing daerah,
sehingga akan lebih mendekatkan pada kesejahteraan.
Dengan demikian, batas teritorial, kultural dan sebagainya bukan hambatan lagi
untuk melakukan penyatuan tersebut. Situasi ini tercipta berkat adanya dukungan
teknologi canggih di bidang komunikasi, seperti radio, televisi, telepon, faksimile,
internet dan sebagainya. Sejalan dengan itu, Akbar S. Ahmed dan Hastings Donan
memberi batasan bahwa globalisasi “pada prinsipnya mengacu pada perkembangan-
24
Bagir Manan, Op.Cit., hlm. 26.
C. Penutup
Konsep desentralisasi Indonesia saat ini merupakan bentuk interpretasi dari Pasal 18 ayat
(5) UUD 1945. Adanya frasa “seluas-luasnya” memunculkan pemahaman yang multitafsir.
Sehingga pada perdebatan konsep ideal otonomi melahirkan dua konklusi konsep yang
berbeda, yaitu konsep otonomi federalisme dan desentralisasi asimetris residual. Berangkat
dari keberagaman yang dimiliki oleh bangsa Indonesia, secara teoretis sistem atau bentuk
negara federal merupakan sistem yang paling cocok bagi Indonesia.
Bentuk negara federal dengan prinsip utamanya desentralisasi akan lebih dapat
mencerminkan sila-sila yang terkandung dalam Pancasila. Sehingga bentuk negara federal
akan lebih dekat kepada perwujudan keadilan dan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia yang bersifat majemuk. Akan tetapi untuk merealisasikan konsep federalisme yang
utuh membutuhkan jalan panjang yang terjal. Oleh karenanya, yang dirasa lebih realistis
untuk diterapkan saat ini, sebelum melangkah lebih jauh ke sistem federal adalah dengan
desentralisasi asimetris residual.
Desentralisasi asimetris residual merupakan konsep desentralisasi yang memberikan
pembatasan kewenangan pemerintah pusat secara limitatif, yaitu dengan merinci satu-persatu
kewenangan yang dimiliki oleh pemerintah pusat, dan residu dari kewenangan tersebut
menjadi kewenangan daerah otonom seluruhnya. Sehingga dengan desentralisasi asimetris
residual, diharapkan akan dapat memberikan ruang gerak yang cukup bagi pemerintah daerah
untuk memenuhi kebutuhan warga masyarakatnya sesuai dengan karakteristik dan kekhasan
masing-masing daerah.
Daftar Pustaka
Buku
Hakim, Lukman, Filosofi Kewenangan Organ dan Lembaga Daerah (Perspektif Teori Otonomi
dan Desentralisasi dalam Penyelenggaraan Pemerintah Negara Hukum dan Kesatuan,
Malang: Setara Press, 2012.
Hidayat, Syarif dan Benyamin Hoessein, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional,
Bandung: Alumni, 1991.
Huda, Ni’matul, Desentralisasi Asimetris dalam NKRI, Bandung: Nusa Media, 2014.
Huda, Ni’matul, Perkembangan Hukum Tata Negara Perdebatan dan Gagasan Penyempurnaan,
Yogyakarta: FH UII Press, 2014.
Lubis, M. Solly, Pergeseran Garis Politik dan Perundang-Undangan Mengenai Pemerintah
Daerah, Bandung: Alumni, 1983.
Manan, Bagir, Hubungan Antara Pusat dan Daerah Menurut UUD 1945, Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan, 1995.
Manan, Bagir, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004.
Omara, Andy, Teori dan Hukum Konstitusi:Materi Perkuliahan, Yogyakarta, Program
Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, 2020.
Wolhoff, S.J., Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Republik Indonesia, Jakarta: Timun Mas,
1955.
Jurnal
Basuki, Udiyo dan Rudi Subiyakto, “77 Tahun Negara Hukum: Refleksi atas Dinamika Politik
Hukum dalam Tata Hukum Menuju Masyarakat Hukum Indonesia yang Demokratis”,
dalam Jurnal Supremasi Hukum, Vol. 11, No. 2, Desember 2022.
Basuki, Udiyo, “Dinamika Konstitusi Indonesia (Refleksi Yuridis atas Proses dan Hasil
Amandemen UUD 1945)’, dalam Jurnal Sosio-Religia, Vol. 1, No. 4, Agustus 2002.
Huda, Ni’matul dan Despan Heryansyah, “Kompleksitas Otonomi Daerah dan Gagasan Negara
Federal dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia”, dalam Jurnal Hukum Ius Quia
Iustum, No. 2, Vol. 26, Mei 2019.
Ridwansyah, Muhammad, “Upaya Menemukan Konsep Ideal Hubungan Pusat-Daerah Menurut
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dalam Jurnal Konstitusi,
Vol. 14, No. 4, Desember 2017.
Wasistiono, Sadu, “Kajian Hubungan antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah
(Tinjauan dari sudut pandang manajemen Pemerintahan)”, dalam Jurnal Administrasi
Pemerintahan Daerah, Vol. 1, No. 2, 2004.
Wijayanti, Septi Nur, “Hubungan Antara Pusat dan Daerah dalam Negara Kesatuan Republik
Indonesia Berdasarkan UU Nomor 23 Tahun 2014”, dalam Jurnal Media Hukum, Vol. 23,
No. 2, Desember 2016.
Internet
CNN Indonesia, “Drama Istana-Balai Kota: Saling Jaga Citra Anies dan Jokowi”,
https://cnn.indonesia.com/nasional/20200129083136-32-46966/drama-istana-balai-kota-
saling-jaga-citra-anies-dan-jokowi , diakses pada 4 Juni 2021.
AHMAD AFANDI & UDIYO BASUKI 14
MENEMUKAN KONSEP IDEAL HUBUNGAN PUSAT DAN DAERAH DALAM BINGKAI NEGARA KESATUAN
REPUBLIK INDONESIA
CNN Indonesia, “Polemik Normalisasi Sungai DKI dari Era Jokowi Hingga Anies”,
https://www.cnnindonesia.com/nasional/20210210063052-32-604479/polemik-normalisasi-
sungai-dki-dari-dra-jokowi-hingga-anies , diakses pada 4 Juni 2021.
Peraturan Perundang-Undangan
UUD Republik Indonesia Tahun 1945.
UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.