Anda di halaman 1dari 8

BAB II

PEMBAHASAN
A. Fenomena Pendidikan Abad- 21
Pendidikan dari masa ke masa semakin menjadi pusat perhatian baik di kalangan
pemerintah maupun masyarakat. Mengingat bahwa pada abad ini manusia dibendung
dunia ilmu dan teknologi (IPTEK). Pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi
(ICT) dalam dunia pendidikan menjadi faktor penentu kecepatan dan keberhasilan
manusia menguasai ilmu dan teknologi. Hal ini menimbulkan berbagai fenomena yang
terjadi di dalam pendidikan yang dapat disaksikan saat ini, di antaranya adalah:1
1. Globalisasi dan Pendidikan
Globalisasi menurut B. Herry Priyono yang dikutip oleh Saksono, bukan
gejala alami, terjadi karena tindakan manusia, tidak seragam dan tidak tunggal.
Globalisasi terutama merupakan hasil perkawinan antara kinerja kekuatan ekonomi
dan kekuatan teknologi dalam situasi hubungan internasional selama 30 tahun
terakhir,2 yaitu berawal dari niat negara-negara industri maju untuk menghasilkan
produk-produk yang memiliki nilai tambah tinggi dengan muatan ilmu dan teknologi
yang mutakhir. Mereka berusaha mendapatkan peluang untuk memenangkan pasar
dengan berupaya mengalihkan teknologi industri yang mereka kembangkan dengan
infra-strukturnya ke negara-negara berkembang.
Globalisasi ditandai dengan wajah mendua, ia tampak sebagai “berkah” dan
sekaligus “kutuk”, tampak “menyenangkan” sekaligus “menyedihkan”, disinilah
terletak masalah pokok yang menyimpan tantangan terbesar bagi pendidikan sekolah.
Beberapa sifat “mendua” tersebut adalah: (1) orang terpesona dengan adanya
kecepatan perkembangan IPTEK, tapi di pihak lain terjadi kedangkalan-kedangkalan
berfikir sehingga orang tidak kritis dan tidak aktif; (2) memberi keuntungan bagi
orang yang dapat bereaksi, menanggapi globalisasi dengan cepat, sebaliknya yang
lambat akan celaka; (3) dengan globalisasi orang mudah mengkonsumsi (membeli),
akibatnya di pihak lain orang malas memproduksi. 3 Tegangan-tegangan seperti ini
akan terus menjadi ciri globalisasi, namun tugas kita adalah menyiapkan anak didik
untuk hidup dalam tegangan-tegangan tersebut.
1
Mukminan, Seminar Nasional Teknologi Pendidikan 2014 dengan Tema: Peningkatan Kualitas
PembelajaranPendayagunaan Teknologi Pendidikan, diselenggarakan pada tanggal 29 November 2014,
Program Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta, ebook, h. 1
2
Ignas G Saksono, Tantangan Pendidik(an): Memecah Problem Bangsa, Tanggapan Terhadap Pembatalan UU
BHP, (Yogyakarta: Forkoma PMKRI, 2010), h. 71
3
Ignas G Saksono, Tantangan…, h. 71
Fenomena ini membawa implikasi untuk pendidikan, yang paling berdampak
adalah istilah melek huruf, tidak lagi hanya berarti bisa baca, tulis dan hitung;
melainkan kemampuan berfikir, merasa dan bertindak dalam kultur dan teknologi
global. Menciptakan anak didik yang mahir dalam skill teknis cukup mudah, namun
jika hanya itu saja pendidikan sekolah tidak lebih dari sekedar kursus keterampilan.
Jika demikian, kita hanya akan memproduksi lulusan yang hidup untuk dirinya
sendiri, dan tidak pernah mampu menjadi orang yang peduli pada persoalan
masyarakat.
Memang bukan tugas anak didik dalam mengatasi persoalan-persoalan ini.
Tugas mereka hanya belajar, dalam proses belajar perlu ditunjukkan pro dan contra
dari aplikasi bidang-bidang pelajaran yang sedang diajarkan. Seperti menyangkut
akibat dari aplikasi bidang-bidang ilmu pada kehidupan banyak orang, apakah
mendatangkan kebaikan atau menghancurkan?, tapi tidak mudah melakukan agenda
ini dalam setiap bidang pelajaran. Jika sanggup menganggap serius soal globalisasi,
paling tidak ada dua hal yang dapat dilakukan yaitu: mengusahakan pengadaan infra-
struktur untuk belajar kultur dan teknologi global dan penataan kurikulum sekolah
dengan memasukkan persoalan-persoalan tegangan etis dalam tiap pelajaran dan
membawa anak didik terlibat secara emosional mengenali tegangan-tegangan etis
dalam kegiatan ekstrakurikuler.
2. Desentralisasi
Pemerintah pusat masih saja mempertahankan bentuk-bentuk kewenangan di
dunia pendidikan. Sam M. Chan mengutip dari Tilaar yang mempertegas bahwa
desentralisasi pendidikan merupakan suatu keharusan. Menurutnya ada tiga hal yang
berkaitan dengan urgensi desentralisasi pendidikan. Ketiga hal tersebut adalah: (a)
pembangunan masyarakat demokrasi; (b) Pengembangan social capital; (c)
peningkatan daya saing bangsa.4
Seperti yang dikutip oleh Aos Kuswandi, dalam Karim menjelaskan bahwa
ditinjau dari perspektif politik, desentralisasi sering diartikan sebagai transference of
authority, legislative, judicial, or administrative, from a higher level of government to
a lower level5 yaitu evolusi kekuasaan dari pemerintah pusat ke pemerintah lokal.
Dari penjelasan ini menegaskan pada kewenangan pengurusannya menjadi otoritas
pada daerah yang diberi kewenangan oleh pemerintahan pusat.
4
Sam M. Chan & Tuti T. Sam, Analisis…, h. 1
5
Aos Kuswandi, Desentralisasi Pendidikan dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah di Indonesia,
Governance, Vol. 2, No. 1, November 2011, h. 73
Namun, secara empiris dan realitas di lapangan, masih terdapat daerah tertentu
yang belum siap menerima kewenangan dari pemerintah pusat, khususnya dalam
bidang pendidikan ini. Berbagai kemungkinan penyebab daerah tertentu belum dapat
menerima desentralisasi adalah sebagai berikut:6
a) Sumber Daya Manusia (SDM) belum memadai. Yaitu berkaitan dengan kuantitas
dan kualitas. Terdapat daerah tertentu yang kualitas SDM-nya belum dapat
memahami dan mengaplikasikan konsep ini, begitu juga dengan kuantitas jumlah
SDM yang masih terbatas.
b) Sarana dan prasarana belum tersedia secara cukup dan memadai. Hal ini
berhubungan dengan ketersediaan dana yang ada di setiap daerah. Dengan
perubahan kewenangan untuk mengelola secara mandiri sebagian besar urusan
pendidikan di daerahnya, mereka belum siap dengan segala bentuk sarana
prasarana yang diperlukan.
c) Anggaran Pendapatan Asli Daerah (PAD) mereka sangat rendah. Beberapa
daerah-daerah tertinggal merasa keberatan menerima kewenangan desentralisasi
pendidikan ini, karena pembiayaan bangunan yang mereka masih ditunjang oleh
pusat atau provinsi. Maka dari itu, mereka berharap dapat bekerja sama dengan
pemerintah daerah lainnya yang memiliki PAD yang lebih besar yang dapat
membuat mereka bisa mendapatkan sistem subsidi silang.
d) Secara psikologis, mental mereka belum siap menghadapi sebuah perubahan.
Perubahan merupakan sebuah keniscayaan. Namun, tidak semua orang memiliki
pandangan dan sikap yang sama terhadap sebuah perubahan. Pandangan masa
depan dengan perubahan yang terjadi membuat mereka tidak siap secara mental
menghadapi perubahan tersebut.
e) Merasa gamang dan takut terhadap upaya pembangunan. Perubahan dalam
bidang pendidikan saat ini kerap dikenal dengan sebutan pembaruan kurikulum.
Setiap kali terjadi pembaruan kurikulum, para guru kembali disibukkan dengan
berbagai kegiatan seperti: penataran, uji coba model, uji coba mekanisme,
sosialisasi kurikulum, dan sebagainya. Semua perubahan ini menjadi beban yang
cukup berat bagi sebagian guru di Indonesia.
3. Budaya dan Karakter Bangsa
Perserikatan Bangsa-bangsa menggulirkan Millennium Development Goals
(MDGs) dan menjadikan pendidikan sebagai salah satu aspek penting dalam
6
Sam M. Chan & Tuti T. Sam, Analisis SWOT…, h. 4-5
pencapaiannya. Hal ini karena pendidikan merupakan bagian strategis untuk
membangun manusia seutuhnya serta sebagai aspek terpenting dalam mengangkat
derajat masyarakat sebuah bangsa.7
Sejak kemerdekaan, negara ini telah komitmen untuk meningkatkan kualitas
pendidikan bangsa. Dalam UUD disebutkan bahwa salah satu tujuan dibentuknya
pemerintah negara Indonesia adalah untuk “memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa…”, sementara dalam UU nomor 20 tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional, dituliskan bahwa tujuan pendidikan nasional
adalah “mengembangkan kemampuan dan bentuk watak serta peradaban bangsa yang
bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri, dan menjadi warganegara yang demokratis serta bertanggung jawab”.
Tujuan yang terdapat dalam sistem pendidikan nasional kita sudah sangat
lengkap untuk membentuk anak didik menjadi pribadi yang dilandasi akhlak dan budi
pekerti luhur. Namun kenyataannya, tujuan yang mulia ini tidak diimbangi pada
tataran kebijakan pemerintah yang mendukung tujuan tersebut. Hal ini terbukti pada
kurikulum sekolah tahun 1984 telah menghapus mata pelajaran budi pekerti dari
daftar pelajaran sekolah.8 Oleh karena itu, aspek-aspek yang berkaitan dengan budi
pekerti menjadi kurang disentuh, bahkan cenderung tidak ada sama sekali.
Walaupun budi pekerti merupakan bagian dari mata pelajaran Agama yang
salah satu bahasanya adalah akhlak/ budi pekerti, pembahasan tersebut pasti
memperoleh porsi yang sangat kecil mengingat cukup banyak aspek yang akan
dibahas dalam mata pelajaran agama dengan alokasi waktu yang amat minim.
Hasilnya, budaya luar yang negatif mudah terserap tanpa ada filter yang cukup kuat,
gaya hidup modern tanpa didasari akhlak/ budi pekerti cepat ditiru, tawuran,
premanisme, emosi meluap-luap dan ingin menang sendiri telah menjadi bagian hidup
yang akrab dengan pandangan sebagian dari diri masyarakat sendiri.
4. Budaya Internet dan Cyber Society
Kebutuhan manusia dengan teknologi internet sampai saat ini telah mendarah
daging. Kemajuan teknologi internet ditunjang oleh perkembangan di bidang IPTEK

7
Mudjia Rahardjo, Pemikiran Kebijakan Pendidikan Kontemporer, (Malang: UIN-Maliki Press, 2010), h. vii
8
Sam M. Chan & Tuti T. Sam, Analisis SWOT:Kebijakan Pendidikan Era Otonomi Daerah, (Jakarta: Rajawali
Press, 2011), h. 18
sehingga memungkinkan pengguna internet dapat dengan mudah melakukan berbagai
kegiatan di dunia maya.
Ketika internet telah digunakan dalam bidang pendidikan, kemampuannya pun
berkembang luar biasa. Hal ini dapat dilihat pada jumlah pengguna blogs, youtube
serta jaringan lain kian berkembang. Oleh karena itu, pada Abad-21 ini, ada tiga hal
yang harus dihindari, yaitu: gagap teknologi (gaptek), gagap internet (gapnet), dan
gagap terhadap block (gap block). Konfergensi antara internet dengan komunitas
selular (mobile phone) yang disertai dengan semakin tinggi dan canggihnya kapasitas
operasionalnya, menjadikan internet mulai menggantikan roda komunikasi kehidupan
sosial (ekonomi, politik dan budaya), bahkan dapat mengubah sistem dan nilai budaya
serta dimensi spiritual dengan implikasi baik buruknya.9
B. Krisis Pendidikan di Indonesia
Bagi bangsa yang sangat majemuk dalam berbagai aspek seperti Indonesia,
ketegangan yang timbul karena keragaman kepentingan merupakan hal yang wajar. Dan
memang, pendidikan menurut hakekatnya tidak terlepas dari situasi kritis, disebabkan
pendidikan sebagai suatu lembaga sosial cenderung mempertahankan nilai-nilai yang
diemban oleh masyarakat sementara proses perubahan terus berjalan. Dengan perubahan-
perubahan terhadap pembangunan nasional ini, selalu muncul masalah-masalah baru baik
karena kebutuhan yang meningkat maupun kekeliruan dalam membuat perencanaan.
Sebuah penelitian yang dilakukan oleh M. Hidayat Ginanjar, Dosen STAI al-Hidayat
Bogor, merumuskan ada empat krisis pokok yang dialami pendidikan di Indonesia yaitu
kualitas pendidikan, relevansi atau efisiensi eksternal, elitisme dan manajemen
pendidikan.
1. Kualitas Pendidikan
Menentukan karakteristik atau ukuran untuk mengukur kualitas pendidikan
merupakan kinerja yang sungguh sulit, namun beberapa indikator dapat digunakan
sebagai rambu-rambu pemberi sinyal mengenai kekhawatiran kita terhadap kualitas
pendidikan. Salah satu indikatornya adalah mutu guru yang terbilang rendah pada
semua jenjang pendidikan.
Seorang guru yang memiliki posisi strategis dalam usaha tercapainya kualitas
pendidikan yang semakin baik sangat dituntut kemampuan profesionalnya. Skill dan
kemampuan profesional ini harus selalu ditingkatkan, terutama dalam menyiapkan

9
Badan Standar Nasional Pendidikan, Paradigma Pendidikan Nasional di Abad-21, (Jakarta: BSNP, 2010), h.
26-27
SDM yang mampu menghadapi persaingan dunia menjelang tahun 2020 nanti. 10
Belum lagi masalah pelatihan-pelatihan yang seharusnya menjadi hak guru, pada
kenyataannya di lapangan jika ada kegiatan-kegiatan yang berupaya meningkatkan
skill dan profesionalisme, guru pula yang harus mengeluarkan biaya. Akhirnya guru
enggan mengikuti pelatihan yang bertujuan meningkatkan SDM guru karena harus
mengeluarkan/ menyisihkan gajinya yang memang sudah amat kecil tersebut.
Begitu juga dengan ketersediaan alat-alat bantu proses belajar mengajar
seperti buku teks, peralatan laboratorium dan bengkel kerja yang belum memadai di
beberapa sekolah pada daerah yang terisolir.
2. Relevansi Pendidikan
Masalah yang kedua ini yakni suatu sistem pendidikan diukur oleh
keberhasilan sistem itu sendiri dalam memasok tenaga-tenaga terampil dalam jumlah
yang memadai bagi kebutuhan sektor-sektor pembangunan. Apabila kita lihat keadaan
lulusan pendidikan di Indonesia, maka tampak gejala yang semakin mengkhawatirkan
dengan semakin besarnya pengangguran lulusan sekolah menengah bahkan lulusan
perguruan tinggi. Malahan ada tendensi, semakin tinggi pendidikan itu semakin besar
kemungkinan untuk menganggur.
Sebagai fakta, kita ambil contoh misalnya pada lembaga Pendidikan Tinggi
(PT),di mana perguruan tinggi adalah bagian dari masyarakat tempat ia berada.
Namun demikian, masih merupakan kenyataan bahwa perguruan tinggi di negara kita
seakan-akan hidup dalam dunianya sendiri. Berbagai fakta menunjukkan sikap
isolastik perguruan tinggi kita menunjukkan adanya sikap keangkuhan perguruan
tinggi, yaitu adanya kesenjangan antara produk lembaga-lembaga pendidikan tinggi
dengan tersedianya kesempatan kerja menunjukkan sikap acuh tak acuh perguruan
tinggi terhadap seriusnya masalah pengangguran sarjana. Memang kesenjangan ini
bukan semata-mata tanggungjawab perguruan tinggi, juga persepsi masyarakat ikut
berperan, namun perguruan tinggi sebagai suatu masyarakat intelektual wajib
menuntun dan mengarahkan persepsi masyarakat yang keliru ke arah tumbuhnya
sistem pendidikan tinggi yang berkualitas tinggi dan kadar efisiensi eksternal yang
tinggi pula.
Keadaan tersebut memang sebagian besar disebabkan sistem pengelolaan
pendidikan tinggi di Negara kita masih sentralistik serta ditunjang oleh sistem
administrasi yang sangat berkotak-kotak. Pendekatan integralistik dari sistem
10
Sam M. Chan & Tuti T. Sam, Analisis SWOT: Kebijakan …, h. 58
pendidikan nasional hendaknya terbayang dalam cara pengelolaan sistem pendidikan
di daerah, dari perguruan tinggi sampai pendidikan anak usia dini (PAUD) dan juga
pendidikan luar sekolah, dalam suatu sistem yang menunjang pembangunan di daerah
sebagai bagian dari program pengembangan manusia dan sumber daya manusia di
daerah-daerah tersebut.
3. Elitisme
Yang dimaksudkan elitisme ialah kecenderungan penyelenggaraan pendidikan
oleh pemerintah dengan menguntungkan kelompok masyarakat yang kecil atau yang
justru mampu. Kita memaklumi bahwa sebagian besar mahasiswa berasal dari
golongan menengah ke atas yang justru lebih mampu dibandingkan kebanyakan
keluarga para siswa/siswi SD dan SLTP, dan juga memaklumi bahwa kepincangan ini
merupakan gejala umum terutama di Negara-negara berkembang.
4.
Untuk menciptakan posisi di atas jelas bukan merupakan pekerjaan gampang. Fakta
menunjukkan bahwa keinginan dan harapan dalam penyelenggaraan pendidikan di daerah
sangat tinggi, namun masih dihadapkan dalam berbagai masalah. Permasalahan paling
mendasar yang perlu dibenahi yaitu pengaruh globalisasi dan otonomi daerah. Muhaimin
mengatakan bahwa saat ini Indonesia dihadapi oleh dua tantangan besar yaitu
desentralisasi atau otonomi daerah serta arus globalisasi total yang akan terjadi pada
tahun 2020.11
1. Tantangan Globalisasi
Berbicara mengenai perubahan sosial saat ini berkaitan erat dengan isu global
di berbagai bidang kehidupan yang sering disebut dengan era globalisasi. Hal ini
dapat berdampak pada kelangsungan bangsa akan dihadapkan pada interaksi antar-
bangsa dunia. Globalisasi yang melanda masyarakat dunia saat ini membuka peluang
besar bagi perguruan tinggi untuk mengembangkan potensinya serta juga menjadi
tantangan bagaimana perguruan tinggi dapat eksis di tengah perubahan dunia tersebut.
Pada umumnya globalisasi terbagi atas tiga bagian bidang utama, yaitu
ekonomi, politik dan budaya. Dalam bidang ekonomi telah terjadi perubahan dari
sistem ekonomi kapitalisme menuju terbentuknya sistem multi national corporation,
dan pada abad ke-21 ini telah bergeser menjadi sistem ekonomi “konsuminisme”,
yaitu di mana gaya hidup global menjadi sangat menonjol.

11
Muhaimin, Pemikiran dan Akulturasi Pengembangan Pendidikan Islam, (Jakarta: PT. Rajawali Pers, 2011), h.
89

Anda mungkin juga menyukai