Anda di halaman 1dari 2

Resume Penutupan Bank Yama

Bank Yama awalnya didirikan oleh Siti Hardiyanti Rukmana alias Tutut, putri
pertama Presiden RI Ke-2 Soeharto. Tidak diketahui pasti kapan Tutut
mendirikan bank tersebut. Namun, jika melihat pada sejarah perbankan,
kemunculan bank swasta baru terjadi setelah pemerintah mengeluarkan
kebijakan liberalisasi perbankan pada Oktober 1988 lewat Paket Oktober 1988.
Terlepas dari tanggal pasti pendiriannya, Bank Yama di masa Orde Baru memiliki
perkembangan dinamis sebelum akhirnya carut marut ketika memasuki tahun
1995.

Dalam penjelasan Richard Borsuk dan Nancy Chng dalam Liem Sioe Liong dan
Salim Group (2016) diketahui pada Oktober 1995 Bank Indonesia memberi sinyal
ada masalah di tubuh bank tersebut. BI menyatakan bahwa Bank Yama
membutuhkan bantuan teknis dan manajemen dari bank lain guna membenahi
manajemen dan operasional. Saat itu, tidak dibocorkan apa masalahnya. "Namun,
setelah kejatuhan Soeharto terungkap bahwa Bank Yama memberikan pinjaman
besar kepada stasiun TV milik Tutut sendiri, yakni TPI. Pinjaman cukup besar
juga diberikan kepada Chandra Asri, perusahaan petrokimia kontoversial yang
melibatkan adiknya, Bambang Trihatmodjo dan dipimpin oleh temannya,
pengusaha Prajogo Pangestu," tulis Richard dan Nancy.

Tidak diketahui berapa nominalnya, namun yang pasti setelah terjadi peminjaman
itu, Bank Yama dirundung masalah. Alhasil, untuk mewujudkan hal ini, tulis Djony
Edward dalam BLBI Extraordinary Crime (2010), BI kemudian menunjuk Bank
Negara Indonesia sebagai penuntun pembenahan di tubuh Bank Yama. Sayangnya,
upaya pertolongan ini sia-sia. Bank Yama tetap terbelit jeratan masalah. Saat
Bank Yama di tepi jurang inilah, Sudono Salim diminta turun tangan untuk
menstabilkan bank milik Keluarga Cendana itu tepat pada Mei 1997. Permintaan
pertolongan ini, masih mengutip dua penulis sejarah Salim Group itu,
"memungkinkan Tutut menghindari malu karena bank sentral bakal menindak
banknya." Jadi, sebelum ditutup oleh BI, Tutut segera meminta BCA membantu
banknya.

Sebagai catatan, Salim saat itu adalah pengusaha terkaya di Indonesia yang
memiliki Indofood dan bank swasta terbesar, yakni Bank Central Asia (BCA).
BCA ini selain dimiliki oleh Salim, dimiliki juga oleh Tutut dengan porsi 30%
saham. Lewat BCA inilah, tangan dingin Salim mengurusi Bank Yama.

Kees van Dijk dalam A Country in Despair: Indonesia between 1997 and 2000
(2001) menuliskan setelah itu BCA menyuntikkan dana kepada Bank Yama untuk
menyelamatkannya agar tidak ditutup bank sentral. Bahkan, BCA pun berani
mengambilalih 25% sahamnya, meski saat itu kondisi keuangannya juga
"berdarah-darah". Awalnya langkah penyelamatan oleh Salim ini cukup berhasil
karena tidak terjadi penarikan uang besar-besaran (rush money) oleh nasabah
Bank Yama selama periode krisis. Namun, seiring waktu dan krisis yang kian
parah, seluruh upaya itu tidak berhasil. Dana yang dikeluarkan BCA seperti hanya
untuk menutupi lubang-lubang saja.

Hingga akhirnya, 10 bulan setelah kejatuhan Soeharto, tepat pada 13 Maret


1999, pemerintah memutuskan menutup Bank Yama, satu dari 37 bank swasta
nasional yang juga bernasib sama karena dianggap berkinerja buruk. Penutupan
inilah yang kemudian menjadi polemik di masa kini oleh Jusuf Hamka. Klaim Jusuf
Hamka, sebelum ditutup pemerintah CMNP sebetulnya memiliki deposito di Bank
Yama, tetapi perusahaannya tidak mendapatkan ganti atas depositonya oleh
pemerintah.

Anda mungkin juga menyukai