Anda di halaman 1dari 22

Makalah Dosen Pengampu

Ayat-Ayat Ekonomi Muhammad Firliadi Noor Salim, S.S, M.H

AYAT TENTANG AKUNTANSI

Disusun Oleh Kelompok 8 :


Adi Tri Setiawan : 210105010037
Ali Murtadha : 210105010040

PROGRAM STUDI EKONOMI SYARIAH


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ANTASARI BANJARMASIN
TAHUN 2023 M/1444 H
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Alhamdulillah, segala puji dan syukur dipanjatkan kehadirat Allah subhanahu wata’ala
atas segala karunia dan hidayah-Nya, sehingga pada akhirnya makalah ini dapat tersusun sampai
dengan selesai dan disajikan kepada pembaca. Sholawat serta salam tak lupa dihaturkan kepada
junjungan Nabi Besar Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam, para sahabat serta pengikutnya
hingga akhir zaman.

Makalah ini disusun dalam rangka memenuhi tugas dalam mata kuliah Ayat-Ayat
Ekonomi, dan kami berharap makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca umum sebagai sumber
pengetahuan dan informasi. Kami menyadari bahwa makalah ini tidak sempurna dan mungkin
memiliki kelemahan serta kesalahan.

Oleh karena itu, sebagai penulis, kami menerima kritik, saran, dan pesan dari semua
pembaca, terutama dari Bapak Muhammad Firliadi, S.S, M.H yang merupakan dosen mata
kuliah Ayat-Ayat Ekonomi, yang sangat diharapkan sebagai bahan koreksi untuk penulis.

Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Banjarmasin, 15 November 2023

Tim Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...............................................................................................

DAFTAR ISI..............................................................................................................

BAB I PENDAHHULUAN.......................................................................................

A. Latar Belakang...............................................................................................
B. Rumusan Masalah..........................................................................................
C. Tujuan............................................................................................................

BAB II PEMBAHASAN...........................................................................................

A. Kontekstualisasi Q.S Al-Baqarah : 280 Dengan Ekonomi Islam..................


1. Ayat dan Terjemah Q.S Al-Baqarah : 280.........................................
2. Tafsir Q.S Al-Baqarah : 280..............................................................
3. Kaitan Q.S Al-Baqarah :280 dengan Akuntansi
B. Kontekstualisasi Q.S Al-Baqarah : 281 Dengan Ekonomi Islam..................
1. Ayat dan Terjemah Q.S Al-Baqarah : 281.........................................
2. Tafsir Q.S Al-Baqarah : 281 .............................................................
3. Kaitan Q.S Al-Baqarah :281 dengan Akuntansi................................
C. Kontekstualisasi Q.S Al-Baqarah : 281 Dengan Ekonomi Islam..................
1. Ayat dan Terjemah Q.S Al-Baqarah : 282.........................................
2. Tafsir Q.S Al-Baqarah : 282..............................................................
3. Kaitan Q.S Al-Baqarah :282 dengan Akuntansi................................

BAB III PENUTUP....................................................................................................

A. KESIMPULAN..............................................................................................
B. SARAN..........................................................................................................
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Akuntansi merupakan hal pending dalam bisnis. Sebab seluruh pengambilan
keputusa bisnis didasarkan informasi yang diperoleh dari akuntansi. Akuntansi syariah
adalah sistem akuntansi yang didasarkan pada prinsip-prinsip syariah Islam. Latar
belakang akuntansi syariah dapat ditarik dari prinsip-prinsip dasar ekonomi Islam dan
kebutuhan untuk mengelola keuangan dengan mematuhi hukum Islam.
Dalam Islam, pencatatan hutang memiliki dasar prinsip-prinsip etika dan hukum
syariah. Pencatatan hutang merupakan bagian dari tanggung jawab dan kewajiban yang
harus dijalankan dengan penuh kejujuran dan keterbukaan. Meskipun tidak ada petunjuk
teknis yang sangat rinci dalam Al-Quran atau Hadis tentang cara pencatatan hutang
secara spesifik, prinsip-prinsip Islam memberikan panduan umum. Pencatatan hutang
harus dilakukan dengan penuh keterbukaan dan transparansi. Informasi yang dicatat
harus jujur dan akurat. Meskipun tidak diwajibkan, mencatat perjanjian hutang secara
tertulis dianjurkan untuk menghindari kesalahpahaman di masa depan. Ini sesuai dengan
prinsip yang ditemukan dalam beberapa ayat Al-Quran yang menyarankan untuk
menuliskan perjanjian dengan jelas.
Dalam beberapa konteks, memiliki saksi yang adil yang menyaksikan perjanjian
hutang dapat menjadi bentuk perlindungan ekstra dan mendukung keabsahan transaksi.
Semua transaksi, termasuk pencatatan hutang, harus sesuai dengan prinsip-prinsip syariah
Islam. Ini mencakup larangan riba (bunga) dan prinsip-prinsip keadilan dalam
pembayaran dan pelunasan hutang. Pencatatan hutang harus dilakukan dengan integritas
dan menghindari segala bentuk penyimpangan atau kecurangan. Ini sesuai dengan prinsip
kejujuran dan amanah dalam Islam. Jika ada kewajiban untuk membayar pajak,
pencatatan hutang juga harus mencakup pemenuhan kewajiban pajak sesuai dengan
hukum yang berlaku.
Pencatatan hutang harus mencerminkan kesepakatan tentang jangka waktu
pembayaran dan syarat-syarat lainnya. Pembayaran harus dilakukan sesuai dengan
kesepakatan. Pencatatan hutang juga mencerminkan penghargaan terhadap amanah dan
tanggung jawab untuk membayar hutang sesuai dengan kesepakatan. Penting untuk
diingat bahwa prinsip-prinsip tersebut mencerminkan nilai-nilai etika Islam dan harus
diterapkan dengan penuh kesadaran dalam setiap aktivitas keuangan. Masyarakat Muslim
juga dapat mencari panduan dari para ulama dan ahli fiqih untuk mendapatkan
pemahaman yang lebih mendalam tentang cara menjalankan pencatatan hutang dalam
Islam.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana kontekstualisasi Q.S Al-Baqarah : 280 dengan Ekonomi Islam?
2. Bagaimana kontekstualisasi Q.S Al-Baqarah : 281 dengan Ekonomi Islam?
3. Bagaimana kontekstualisasi Q.S Al-Baqarah : 282 dengan Ekonomi Islam?
C. TUJUAN
1. Untuk mengetahui kontekstualisasi Q.S Al-Baqarah : 280 dengan Ekonomi Islam.
2. Untuk mengetahui kontekstualisasi Q.S Al-Baqarah : 281 dengan Ekonomi Islam.
3. Untuk mengetahui kontekstualisasi Q.S Al-Baqarah : 282 dengan Ekonomi Islam.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Kontekstualisasi Q.S Al-Baqarah : 280 Dengan Ekonomi Islam


1. Ayat dan Terjemah Q.S Al-Baqaarah : 280
)٢٨٠( ‫َو ِإن َك اَن ُذ و ُعْس َر ٍۢة َفَنِظ َر ٌة ِإَلٰى َم ْيَسَر ٍۢة ۚ َو َأن َتَص َّد ُقو۟ا َخْيٌۭر َّلُك ْم ۖ ِإن ُك نُتْم َتْع َلُم وَن‬

Artinya : “Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah
tangguh sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua
utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.”

2. Tafsir Q.S Al-Baqarah : 280

Abu Ja'far berkata: "Maksud Allah Ta’ala dengan firman-Nya: Jika di antara
orang yang kalian pinjami modal, yakni orang-orang yang berhutang pada kalian
memiliki kesulitan, yakni sulit membayar pokok harta kalian yang menjadi hak kalian
sebelum diribckan, maka berilah tangguh pada mereka sampai mereka lapang. 1
Apabila ada seseorang yang berada dalam situasi sulit, atau akan terjerumus dalam
kesulitan bila membayar hutangnya, maka tangguhkan penagihan sampai dia lapang.
Jangan menagihnya jika kamu mengetahui dia sempit,(dalam kesulitan) apalagi
memaksanya membayar dengan sesuatu yang amat dia butuhkan.2

Dan jika kamu menyedekahkan sebagian atau seluruh utang tersebut, itu lebih
baik bagimu, dan bergegaslah meringankan yang berutang atau membebaskannya dari
utang jika kamu mengetahui betapa besar balasannya di sisi Allah. Hanya orang yang
beriman yang mau memberikan kelapangan kepada orang yang berhutang kepadanya.
Apatah lagi kalau yang berhutang itu orang yang beriman seperti dia pula. Jangan di
desak-desak, karena imannya, niscaya hutangnya akan dibayarnya; berilah dia
kesempatan. "Tetapi kalau kamu bersedekah, adalah itu lebih baik buat kamu, jikalau
kamu ketahui." (ujung ayat 280).3

1
Tafsir Ath.Thabari hal.750
2
M. Quraish Sihab “Tafsir Al-Mitsbah” Volume 1. (1999) hal. 599
3
Tafsir Al-Azhar (Juzu'3) hal.676
Abu ja'far berkata: "pendapat yang benar tentang firman allah : "Dan jika (orang
yang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia
berkelapangan" adalah orang-orang yang berhutang yang masuk islam pada masa
rasulullah saw. dan mereka mempunyai hutang yang diribakan pada mereka pasa
masa jahiliyah. Lalu mereka masuk islam sebelum membayar hutangnya, maka allah
swt memerintahkan riba yang tersisa setelah mereka mengalami kesulitan membayar
modal pinjamannya sampai mereka sanggup.4

Jika orang yang berutang kepadamu adalah orang miskin, berilah


penangguhan'waktu pembayaran, sehingga dia memperoleh harta, supaya dia sanggup
membalar utangnya. Diriwaytkan bahwa Bani Mughirah berkata kepada Bani Amir
ibn Umair: "kami sekarang dalam kesempitan (kesulitan), berilah penangguhan
waktu, sehingga buah-buahan kami masak (sampai masa panen)." Bani Amir tidak
memberi penangguhan, dan turunlah ayat ini. Jika kamu bersedekah kepada orang
miskin dengan membebaskan utang mereka, baik setengah (sebagian) atau
seluruhnya, maka yang demikian itu lebih baik bagimu daripada memberi
penangguhan waktu pembayaran dan lebih banyak pahala yang kamu peroleh.5

Melalui ayat ini, Allah Swt selain memberi perintah untuk bersabar dalam
menunggu pelunasan hutang, Allah Swt sekaligus menghapuskan tradisi riba yang
sudah berlangsung lama dan mapan di masa jahiliyah. Umumnya, mereka biasa
mengatakan (kepada peminjam): “idza halla ‘alaihi al dainu, immaa an taqdliya, wa
immaa an tarbiya. (jika hutangmu sudah jatuh tempo, maka segera lunasilah atau
nanti ia akan berbunga).6 Ayat ini juga mendorong (memotivasi) kita untuk memberi
utang dan membebaskan utang seseorang yang tidak mampu membayar kembali
utangnya itu. Memberikan sedekah dan membebaskan utang dapat menumbuhkan
jalinan kasih sayang di antara anggota masyarakat.

3. Kaitan Q.S Al-Baqarah : 280 Dengan Akuntansi

4
al Tafsir al Qur’an al ‘Adhim, Vol hal.757-758
5
Teungku Muhammad Hasbi ash-Siddieqy, Tafsir An-Nuur 1 hal.492
6
al Tafsir al Qur’an al ‘Adhim, Vol I, 716-722
Ayat ini menjelaskan tentang hukum-hukum terkait hutang yang sulit untuk
dilunasi. Pendekatan yang disarankan dalam menangani hutang semacam ini tidak
melibatkan praktik riba, seperti menunda pembayaran dengan menambahkan beban
tambahan. Sebaliknya, disarankan untuk melanjutkan pembayaran dengan
memperpanjang waktu pembayaran, memberikan kesempatan lebih lama kepada
peminjam untuk melunasi hutangnya, dan pada saat yang bersifat lebih mudah bagi
mereka untuk membayar. Selain itu, tekanan diberikan pada tindakan amal dan
sedekah, mengajak untuk memberikan hutang kepada orang-orang yang
membutuhkan dengan lebih luas, sehingga menciptakan kebaikan yang lebih besar
secara menyeluruh.

Definisi Riba, dalam konteks akuntansi, merujuk pada praktik mendapatkan


keuntungan tambahan atau bunga yang tidak benar secara etis menurut hukum Islam.
Riba terbagi menjadi dua bentuk, yaitu riba an-nasi’ah (riba bunga) dan riba al-fadl
(riba kelebihan atau riba jual-beli). Riba biasanya diterapkan pada sistem utang-
piutang di masyarakat. Dimana pada saat seseorang meminjam sejumlah uang dan
orang tersebut tidak dapat mengembalikannya sesuai dengan perjanjian atau tanggal
jatuh tempo maka orang tersebut akan dikenakan bunga keterlambatan. Bunga
keterlambatan yang dikenakan kepada si penerima utang inilah yang disebut riba.
Karena pada dasarnya dalam islam, jika kita ingin menolong seseorang maka
tolonglah orang tersebut dengan ikhlas tanpa imbalan apapun. 7

Janganlah kalian memakan riba yang berlipat ganda hanya dengan menangguhkan
pembayaran modal, sehingga modal menjadi berlipat, seperti yang biasa kalian
lakukan pada zaman Jahiliyyah. Kini, Islam melarang kalian berbuat demikian,
karena hal itu merupakan cara keras dan pemerasan terhadap orang yang sedang
membutuhkan pertolongan.

Hukum yang telah Allah SWT tetapkan untuk menangguhkan pembayaran bagi
orang yang mengalani kesulitan untuk membayar pokok pinjamannya setelah riba
dibatalkan adalah hukum wajib bagi setiap orang yang memiliki piutang pada orang

7
Hasbi, Tinggalkan Riba, Pelajari Akuntansi Syariah (2021)
yang berhutang padanya dan orang yang berhutang itu harus membayamya dari
hartanya yang bukan dalam tanggungannya.8

B. Kontekstualisasi Q.S Al-Baqarah : 281 Dengan Ekonomi Islam


1. Ayat dan Terjemah Q.S Al-Baqarah : 281

Artinya : “Dan jika orang yang berhutang itu dalam kesempitan, berilah tempoh
sehingga ia berada dalam kelapangan, (tetapi) kesanggupan kamu mensedekahkan
hutang itu adalah lebih baik kamu jika kamu mengetahui.”
2. Tafsir Q.S Al-Baqarah : 281
Sebagai penutup dari ayat riba, yang dijiwai dengan membentuk iman dan
pergaulan aman damai, kasih dan sayang, di akhir persoalan riba itu ditutuplah
dengan ayat: "Dan hendaklah kamu takut akan suatu hari, yang di hari itu kamu akan
dikemfulikan kepda Allah."9
Ayat ini, menumt beberapa riwayat, turun beberapa hari sebelum Rasul saw
wafat. Satu riwayat menyatakan seminggu dan riwayat lain berkata tiga minggu.
Riwayat lain bahkan menyatakan beberapa saat sebelum beliau wafat. Betapapun, ada
jarak waktu antara ayat-ayat yang lalu dan ayat ini. Namun Rasul saw.
memerintahkan para penulis wahyu untuk meletakkannya setelah ayat yang lalu,
karena memang terdapat keterkaitan yang erat antara kepercayaan akan adanya hari
Kemudian dengan praktek-praktek riba. Seorang yang percaya tentang hari
JiTemudian, pasti akan bersedia menangguhkan keuntungan hari ini yang bersifat
sementara, deini meraih keuntungan besar, berkesinambungan dan kekal di hari esok.
M ereka yang melakukan praktek riba dengan aneka penganiayaan yang
didmbulkannya, pada hakikatnya hanya melihat di sini dan sekarang. Mereka tidak
percaya, apalagi takut, dengan adanya kematian dan pembalasan, padahal kematian
dan hari Pembalasan adalah suatu keniscayaan yang tidak dapat dielakkan. Ayat ini
mengingatkan semua orang tentang keniscayaan itu, sekaligus memerintahkan untuk
melakukan persiapan menghadapinya.10
8
Tafsir Ath.Thabari hal.758
9
Tafsir Al-Azhar (Juzu'3) hal.676-677
10
M. Quraish Sihab “Tafsir Al-Mitsbah” Volume 1. (1999) hal. 600
“Dan jika orang yang berhutang itu dalam kesukaran, maka berilah tangguh
sampai dia berkelapangan.” Maksudnya, apabila ia memikul hutang itu dalam
keadaan sulit dan tidak mampu menunaikan hutangnya, maka wajiblah atas yang
memiliki piutang itu menangguhkan orang itu hingga kondisinya lapang. Dan piutang
bagi orang yang berhutang itu wajib apabila telah mendapatkan kadar hutangnya
dengan jalan apapun yang mubah agar segera melunasi hutangnya itu. Apabila
pemilik piutang itu sedekah kepadanya dengan memaafkan hutang itu semua atau
sebagianya, maka itu lebih baik baginya, dan akan mudah bagi seorang hamba untuk
konsisten terhadap perkara-perkara syairat dan majauhi praktik-pratik riba serta
berbuat kebajikan kepada orang yang sedang sulit. Semua itu karena pengetahuannya
bahwa suatu hari nanti dirinya akan kembali kepada Allah dan akan di penuhi
baginya amalnya tersebut, dan Allah tidak akan menganiaya dirinya sedikitpun,
sebagaimana Allah menutup ayat ini dengan firmanya, ”Dan periharalah dirimu dari
azab (yang terjadi pada) hari yang pada waktu itu kalian semua di kembalikan kepada
Allah. Kemudian masing-masing diri diberi balasan yang sempurna terhadap apa
yang telah di kerjakanya, sedang mereka sedikitpun tidak dianiaya (dirugikan).”11
3. Kaitan Q.S Al-Baqarah : 281 Dengan Akuntansi
Ayat ini diperuntukkan untung mengirngi ayat sebelumnya dengan satu kenyataan
yang mempunyai saranan yang mendalam, iaitu saranan yang menggentarkan hati
orang yang beriman dan mengharapkan agar dia bersedia melepaskan semua
hutangnya supaya dapat berlalu dengan selamat pada hari hisab kelak. Pernyataan ini
mencerminkan atmosfer dalam muamalah (urusan dunia) terkait proses memberi dan
menerima, suasana kerja, serta konsep ganjaran. Ini juga merujuk pada hari
pembalasan yang agung, di mana setiap amal perbuatan akan dinilai dan keadilan
terakhir akan ditegakkan bagi semua pihak yang terlibat. Bagi hati seorang Mu'min
(orang beriman), akan wajar jika merasa takut dan menjauhi perbuatan yang tidak
sesuai dengan prinsip-prinsip Islam.
Taqwa, kesadaran akan Allah, diakui sebagai penjaga yang berada di lubuk hati
nurani. Islam telah menugaskan taqwa untuk menjaga hati tersebut, dan hati manusia
tidak bisa melarikan diri darinya karena taqwa berfungsi sebagai penjaga di dalam
11
Tafsir as-Sa'di / Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa'di, pakar tafsir abad 14 H https://tafsirweb.com/1047-surat-
al-baqarah-ayat-281.html
hati itu sendiri. Sebagai hasilnya, diharapkan bahwa kesadaran akan Allah dan
kepatuhan terhadap prinsip-prinsip moral Islam akan mengarah pada perilaku yang
benar dan penuh keadilan dalam urusan dunia.
Demikianlah Islam sebuah sistem yang kuat dan sabar, tetapi juga lembut dan
dapat menyesuaikan diri dengan realitas kehidupan di dunia ini. Ini adalah rahmat
Allah bagi umat manusia dan bentuk penghormatan Ilahi terhadap manusia. Islam
adalah nilai-nilai kebajikan yang seharusnya diikuti oleh manusia, tetapi sayangnya
sering dihindari oleh mereka dan dihalangi oleh musuh-musuh Allah dan musuh-
musuh manusia.12

C. Kontekstualisasi Q.S Al-Baqarah : 282 Dengan Ekonomi Islam


1. Ayat dan Terjemah Q.S Al-Baqarah : 282

Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak


secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan
hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan
janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, meka
hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa
yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan
janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. Jika yang berhutang itu
orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu
mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan
persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). Jika
tak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari
saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka yang seorang
mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila
mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun
besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah
dan lebih menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan)
keraguanmu. (Tulislah mu'amalahmu itu), kecuali jika mu'amalah itu perdagangan
12
TAFSIR FI ZILALIL Qur'an Sayyid Quthb IND by JpnMuslim. Hal.385
tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tidak ada dosa bagi kamu, (jika)
kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan
janganlah penulis dan saksi saling sulit menyulitkan. Jika kamu lakukan (yang
demikian), maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan
bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha Mengetahui segala
sesuatu.13

2. Tafsir Q.S Al-Baqarah :282


Ayat 282 ini dimulai dengan seruan Allah swt. kepada kaum yang menyatakan
beriman “Hai orang-orang yang beriman, apabila kalian bermuamalah tidak secara
tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kalian menuliskannya.”
Hal ini merupakan petunjuk dari Allah Swt. buat hamba-hamba-Nya yang
mukmin apabila mereka mengadakan muamalah secara tidak tunai, yaitu hendaklah
mereka mencatatkannya; karena catatan itu lebih memelihara jumlah barang dan masa
pembayarannya serta lebih tegas bagi orang yang menyaksikannya. Hikmah ini
disebutkan dengan jelas dalam akhir ayat, yaitu melalui firman-Nya: “Yang demikian
itu lebih adil di sisi Allah dan lebih dapat menguatkan kesaksian dan lebih dekat
kepada tidak' (menimbulkan) keraguan kalian.” (Al-Baqarah: 282)

Sufyan As-Sauri meriwayatkan dari Ibnu Abu Nujaih, dari Mujahid, dari Ibnu
Abbas sehubungan dengan firman-Nya: Hai orang-orang yang beriman, apabila
kalian bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah
kalian menuliskannya. (Al-Baqarah: 282) Ibnu Abbas mengatakan bahwa ayat ini
diturunkan berkenaan dengan transaksi salam yang dibatasi dengan waktu tertentu.14

Membuat surat perjanjian utang-piutang adalah suatu perintah yang difardhukan


dengan nash, tidak diserahkan sepenuhnya kepada yang bersangkitan Tetapi jumhur
ulama berpendapat bahwa perintah membuat surat perjanjian utang-piutang adalah
perintah nadab (imbauan) dan irsyad(sunnat).

13
“Surah Al-Baqarah Ayat 282” https://tafsirweb.com/1048-surat-al-baqarah-ayat-282.html. (Diakses pada 24
November 2023, pukul 19:30).
14
Tafsir Surat Al Baqarah, ayat 282. Tafsir Ibnu Katsir
http://www.ibnukatsironline.com/2015/04/tafsir-surat-al-baqarah-ayat-282.html
Atha', asy-Sya'bi, dan Ibn Jarir berpendeat, perintah di sini berupa perintah ijab :
mewajibkan, sesuai dengan hukum asal perintah yang dipegang jumhur.

Wal yaktub bainakum kaatibum bil'adli : surat perjanjian hendaklah dibuaat oleh
penulis di antara kamu secara adil.

Hendaklah omng yang menulis surat perjanjian itu seorang yang adil dan tidak
berpihak, sehingga tidak merugikan pihak mana pun.

Wa laa ya'ba katibun ay yuktuba ka maa'allamuhullahu . Dan janganlah penulis


enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya.

Selain harus adil, penulis surat perjanjian juga disyaratkan mengetahui hukum-
hukum yang bersangkut-paut dengan pembuatan surat utang, karena surat utang tidak
menjadi penjamin yang kuat, kecuali penulisnya mengetahui hukum-hukum syara'
dan syarat-syarat yang diperlukan, baik uruf (kelaziman adat) ataupun menurut
undang-undang. Inilah maknanya "pemlis harus menulis seperti yang diajarkan
Allah.”15

Ayat ini mendahulukan penyebutan adil daripada penyebutan pengetahuan yang


diajarkan Allah. Ini karena keadilan, di samping menuntut adanya pengetahuan bagi
yang akan berlaku adil, juga karena seorang yang adil tapi tidak mengetahui,
keadilannya akan mendorong dia untuk belajar. Penggalan ayat ini meletakkan
tanggung jawab di atas pundak penulis yang mampu, bahkan setiap orang yang
memiliki kemampuan untuk melaksanakan sesuatu sesuai dengan kemampuannya.
Walaupun pesan ayat ini dimulai banyak ulama sebagai anjuran, tetapi ia menjadi
wajib jika tidak ada selainnya yang mampu, dan pada saat yang sama, jika hak
dikhawatirkan akan terabaikan.

Setelah menjelaskan tentang hukum penulisan hutang-piutang, penulis, kriteria,


dan tanggung jawabnya, maka dikemukakan tentang siapa yang mengimlakkan
kandungan perjanjian, yakni dengan firman-Nya: Dan hendaklah orang yang
berhutang itu mengimlakkan apa yang telah disepakati untuk ditulis. Mengapa yang

15
Teungku Muhammad Hasbi ash-Siddieqy, Tafsir An-Nuur 1 hal.498-499
berhutang, bukan yang memberi hutang? Karena dia dalam posisi lemah, jika yang
memberi hutang yang mengimlakkan, bisa jadi suatu ketika yang berhutang
mengingkarinya. Dengan mengimlakkan sendiri hutangnya, dan di depan penulis,
serta yang memberinya juga, maka tidak ada alasan bagi yang berhutang untuk
mengingkari isi perjanjian.16

Wal yattaqillaaha rabbahuu : Dan hendaklah dia takut kepada Allah, Tuhanya.
Hendaklah yang berhak mendiktekan itu orang png bertakwa kepada Allah. Yaitu,
menjalankan segala yang wajib baginya dengan sempurna.

Wa laa yabkhas miuhu syai-an : Janganlah dia mengumngi sesuaru pun dari
(umngnyaitu).

Janganlah pendikte itu mengurangi hak-hak orang lain. Tuhan melarang yang
demikian itu karena manusia bersifat tamak (serakah), dan kerapkali ketamakannya
mendorong dia mengurangi hak orang lain.

“Maka jika orangyangberkewajiban itu seorangyang salih atau lemah, atau dia
tidok songgup merenconakan, maka hendaklah walinyo yarig me' rencarwkan
dengan adil" Di dalam kata ini terdapat tiga macam orang yang bersangkutan, tidak
bisa turut dalam menyusun surat perjanjian. Pertama orang Sofih, kedua Dha'if, ketiga
Tidak Songgup. Orang safih, ialah orang yang tidak pandai mengatur hartabendanya
sendiri, baik karena borosnya atau karena bodohnya. Dalam Hukum lslam, Hakim
berhak memegang harta bendanya dan memberinya belanja hidup dari harta itu.
Karena kalau diserahkan kepadanya, beberapa waktu saja akan habis. Orang yang
dha'if (lemah) ialah anak kecil yang belum Mumayyiz atau orang tua yang telah lemah
ingatannya, atau anak yatim kecil yang hidup dalam asuhan orang lain. Orang yang
tidak sanggup membuat rencana ialah orang yang bisu atau gagap, atau gagu. Pada
orang-orang yang seperti ketiga macam itu, hendaklah walinya, yaitu penguasa yang
melindungi mereka tampil ke muka menyampaikan rencana-rencana yang mesti
ditulis kepada penulis tersebut. Dan si wali itupun wajib bertindak yang adil.17

16
M. Quraish Sihab “Tafsir Al-Mitsbah” Volume 1. (1999) hal. 605
17
Tafsir Al-Azhar (Juzu'3) hal.684
Setelah menjelaskan tentang penulisan, maka uraian berikut ini adalah
menyangkut persaksian, baik dalam tulis menulis maupun selainnya.

Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di
antaramu). Kata saksi yang digunakan ayat ini adalah syahidain bukan syaabidain.
Ini berarti bahwa saksi yang dimaksud adalah benar-benar yang wajar serta telah
dikenal kejujurannya sebagai saksi, dan telah berulang-ulang melaksanakan tugas
tersebut. Dengan demikian, tidak ada keraguan menyangkut kesaksiannya.

kata al-Imam Ibn Qayyim dalam I'lamul Mrmaqqi'in, "Bayyinah dalam


pandangan syra' lebih umum daripada kesalsian. Maka, tiap-tiap apa yang bisa
dipergunakan untuk membenarkan suatu keterangan dinamakan bayyinah, seperti
qarinah -qarinah (bukti) yang tidak bisa dibantah. Karena itu, mungkin orang yang
bukan Islam dapat menjadi saksi berdasarkan makna yang diteranglan oleh al-Qur'an,
as-Sunnah, dan lughah (dari segi bahasa), yaitu apabila hakim bisa mempercayainya
dalam menentukan hak (kebenaran)." Para ulama berselisih paham tentang kesaksian
budak. Menurut lahiriahnya masuk ke dalam perkataan "mir rijaalikum". Di antara
yang berpendapat demikian adalah Syuraih, Utsman al-Batty, Ahmad, dan Abu Tsaur.

Jika tak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang
perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, Jika tidak ada dua orang lelaki yang
bisa bertindak sebagai saksi, maka hendaklah disaksikan oleh seorang lelaki dan dua
perempuan. Dari saksi-saksi yang kamu setujui kesaksiannya berdasarkan agama dan
keadilanya'. Tuhan menpmakan seorang lelaki dan dua perempuan. karena itulah,
Tuhan menyeratrkan masalah kesatsian ini kepada kerelaan (kesepakatan) dari orang-
orang (pihak-pihak) png membuat surat perjanjian.18

Dalam pandangan mazhab Malik, kesaksian wanita dibenarkan dalam hal-hal


yang berkaitan dengan harta benda, tidak dalam kriminal, pernikahan, cerai dan rujuk.
Mazhab Hanafi lebih luas dan lebih sesuai dengan perkembangan masyarakat dan
kodrat wanita. Mereka membenarkan kesaksian wanita dalam hal-hal yang berkaitan
dengan harta, persoalan rumah tangga, seperti pernikahan, talak, dan rujuk, bahkan
18
Teungku Muhammad Hasbi ash-Siddieqy, Tafsir An-Nuur 1 hal.500-501
segala sesuatu kecuali dalam soal kriminal. Memang, persoalan kriminal yang dapat
mengantar kepada jatuhnya hukuman mati, dan dera, di samping tidak sejalan dengan
kelemahlembutan wanita, kesaksian dalam hal tersebut juga tidak lumrah bagi mereka
yang diharapkan lebih banyak memberi perhatian pada anak-anak dan rumah
tangganya.19

Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka


dipanggil;. Tidak patut seseorang menolak memberikan kesaksian ketika diperlukan.
Diriwayatkan oleh ar-Rabi' bahwa ayat ini diturunkan sewaktu seorang lelaki
meminta kepada suatu golongan masyrakat untuk menjadi saksi atas suatu peristiwa,
tetapi tidak seorang pun yang bersedia. Segolongan orang memang ada yang enggan
menjadi saksi dan enggan melaksanakannya. Tidak bersedia menjadi saksi saat
pembuatan surat perjanjian dan tidak mau menjadi Saksi ketika diperlukan hakim
adalah haram hukumnya.20

Dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai
batas waktu membayarnya. " Karena sebagaimana kita katakan di atas tadi, kerapkali
hal yang pada mulanya disangka kecil, kemudian hariternyata syukur dia telah
tertulis, karena dia termasuk soal yang besar dalam rangkaian perjanjian itu."Yang
demikian itulah yang lebih adil disisi Allah, dan lebih teguh untuk kesaksian, dan
yang lebih dekat untuk tidak ada keragu-raguan." Dengan begini, maka keadilan di
sisiAllah terpelihara baik, sehingga tercapai yang benar-benar "karena Allah", dan
apabila di belakang hari perlu dipersaksi' kan lagi, sudah ada hitam di atas putih
tempat berpegang, dan keragu-raguan hilang, sebab sampai yang sekecil-kecilnyapun
dituliskan.21

Dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai
batas waktu membayarnya. Firman ini menjadi dalil bahwa surat ketelangan
(perianjian) dipandang sebagai suatu bukti yang sah jika syrat-syratnya cukup, baik
mengnai utang yang sedikit atau utang banyak, dan kita tidak boleh sembrono dalam
masalah harta. Setelah mengingatkan para saksi, ayat ini kembali berbicara tentang
19
M. Quraish Sihab “Tafsir Al-Mitsbah” Volume 1. (1999) hal. 606
20
21
Tafsir Al-Azhar (Juzu'3) hal.686
penulisan hutang-piutang, tapi dengan memberi penekanan pada hutang-piutang yang
jumlahnya kecil, karena biasanya perhatian tidak diberikan secara penuh menyangkut
hutang yang kecil, padahal yang kecil pun dapat mengakibatkan permusuhan, bahkan
pembunuhan.

Kemudian ayat ini menjelaskan tentang Penjualan tunai tak perlu ditulis. "Kecuali
perdagangan tundi yang kamu adakan di antara kamu, maka tidaklah mengopa tidak
kamu tuliskan." Sebab sudah timbang terima berhadapan, maka jika tidak
dituliskanpun tidak apa. Tetapi di zaman kemajuan sebagai sekarang, orang berniaga
sudah lebih teratur, sehingga membeli kontanpun dituliskan orang juga, sehingga si
pembeli dapat mencatat berapa uangnya keluar pada hari itu dan si penjual pada
menghitung penjualan berapa barang yang laku dapat pula menjumlahkan dengan
sempurna. Tetapi yang semacam itu terpuji pula pada syara'. Kalau dikatakan tidak
mengapa, tandanya ditulis lebih baik.

" Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan
saksi saling sulit menyulitkan.." Di sisi lain, mereka yang melakukan transaksi jual
beli atau hutang-piutang itu, dapat juga mengalami kesulitan dari para penulis dan
saksi jika mereka menyelewengkan kesaksian atau mfenyalahi ketentuan penulisan.
Karena itu Allah berpesan dengan menggunakan satu redaksi yang dapat dipahami
sebagai tertuju kepada penulis saksi, kepada penjual dan pembeli, serta yang
berhutang dan pemberi hutang. Ini pun untuk menjaga jangan sampai setelah selesai
akad jual-beli, ada di antara kedua belah pihak yang merasa dirugikan. Apa lagi
terhadap barang-barang yang besar, tanah, rumah, mobil, kapal dan sebagainya. Salah
satu bentuk mudharat yang dapat dialami oleh saksi dan penulis adalah hilangnya
kesempatan memperoleh rezeki, karena itu tidak ada salahnya memberikan mereka
ganti biaya transport dan biaya administrasi, sebagai imbalan jerih payah dan
penggunaan waktu mereka. Di sisi lain, para penulis dan saksi hendaknya tidak juga
merugikan yang bermuamalah dengan memperlambat kesaksian, apalagi
menyembunyikannya, atau melakukan penulisan yang tidak sesuai dengan
kesepakatan mereka.
Ayat ini diakhiri dengan firman-Nya: Dan bertakwalah kepada Allah; Allah
mengajar kamu; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. Menutup ayat mi
dengan perintah bertakwa yang disusul dengan mengingatkan pengajaran Ilahi,
merupakan penutup yang amat tepat, karena seringkali yang melakukan transaksi
perdagangan menggunakan pengetahuan yang dimihkinya dengan berbagai cara
terselubung untuk menarik keuntungan sebanyak mungkin. Dari sini peringatan
tentang perlunya takwa serta mengingat pengajaran Ilahi menjadi sangat tepat. 22

3. Kaitan Q.S Al-Baqarah : 282 Dengan Akuntansi


Al-Qur'an menjelaskan dasar umum terkait pencatatan atau penulisan hutang
piutang. Pencatatan atau penulisan hutang piutang bukanlah suatu pilihan sukarela
dalam transaksi hutang piutang yang bersifat bertempoh, melainkan suatu tugas yang
diwajibkan melalui ketentuan nas atau petunjuk Al-Qur'an. Dalam ayat ini,
ditekankan agar ada seorang penulis yang mencatat transaksi tersebut dengan adil.
Pentingnya tugas mencatat ini diwajibkan karena terdapat hikmah atau
kebijaksanaan tertentu yang akan dijelaskan lebih lanjut di akhir ayat ini. Dengan
adanya pencatatan yang dilakukan secara adil, transparansi dan keberlanjutan dalam
transaksi hutang piutang dapat terjaga, mencegah kesalahan atau ketidakjelasan, dan
memastikan keadilan dalam penyelesaian hutang piutang.
Dalam semangat prinsip muamalah Islam, kesepakatan hutang-piutang atau
perjanjian janji hendaknya ditetapkan dengan jelas dan transparan oleh kedua belah
pihak. Sebagai contoh, jika seseorang menyerahkan pembangunan rumah kepada
pemborong (annemer), perjanjian harus mencakup detail seperti batas waktu
penyelesaian, spesifikasi bahan bangunan, dan pembayaran yang harus dipenuhi oleh
pemilik rumah. Pembayaran dapat dicicil sesuai kesepakatan dengan pemilik rumah,
dan setelah hutang dibayar habis, kunci rumah dapat diterima sebagai tanda
penyelesaian perjanjian. Semua tindakan ini sejalan dengan prinsip-prinsip keadilan
dan transparansi dalam muamalah Islam.23
Dalam mencermati surah Al-Baqarah ayat 282, Allah SWT memerintahkan untuk
melakuakan penulisan secara benar atas segala transaksi yang pernah terjadi selama

22
M. Quraish Sihab “Tafsir Al-Mitsbah” Volume 1. (1999) hal. 609
23
Tafsir Al-Azhar (Juzu'3) hal.683
melakukan muamalah. Dalam hal ini Allah sudah menggariskan bahwa konsep
akuntansi adalah penekanan pada tanggungjawab, keadilan, dan kebenaran.
Berikut uraian ketiga prinsip yang terdapat dalam surah Al-Baqarah ayat 282.24
1. Prinsip Pertanggungjawaban
Prinsip pertanggungjawaban merupakan konsep yang akrab di kalangan
masyarakat Muslim dan selalu terkait dengan konsep amanah. Bagi kaum
Muslim, amanah berasal dari transaksi manusia dengan Sang Pencipta, dimulai
sejak dalam kandungan. Manusia diciptakan oleh Allah sebagai khalifah di bumi
dan diberi amanah untuk menjalankan fungsi-fungsi kekhalifahannya. Inti dari
kekhalifahan adalah menunaikan amanah tersebut.
Dalam Al-Quran, terdapat banyak ayat yang menjelaskan tentang proses
pertanggungjawaban manusia sebagai pelaksana amanah Allah di bumi.
Implikasinya dalam bisnis dan akuntansi adalah bahwa individu yang terlibat
dalam praktik bisnis harus selalu bertanggung jawab atas amanah yang telah
dipercayakan kepada mereka dan melaporkannya kepada pihak-pihak yang
terkait. Wujud pertanggungjawaban tersebut sering kali tercermin dalam bentuk
laporan akuntansi.
2. Prinsip Keadilan
Prinsip keadilan tidak hanya merupakan nilai yang sangat penting dalam etika
kehidupan sosial dan bisnis, tetapi juga merupakan nilai yang melekat pada kodrat
manusia. Artinya, manusia secara dasarnya memiliki kemampuan dan semangat
untuk bertindak adil dalam setiap aspek kehidupannya.
Dalam konteks akuntansi, mengacu pada kata "adil" dalam Al-Quran,
khususnya dalam Q.S. Al-Baqarah ayat 282, dapat disederhanakan dengan
pemahaman bahwa setiap transaksi yang dilakukan oleh suatu perusahaan harus
dicatat dengan benar. Dengan demikian, konsep keadilan dalam aplikasi akuntansi
mencakup dua aspek utama: pertama, terkait dengan praktik moral, yang
mencakup kejujuran karena informasi akuntansi yang jujur akan menguntungkan
masyarakat. Kedua, konsep "adil" ini bersifat mendasar dan tetap berlandaskan
pada nilai-nilai etika, syariat, dan moral

24
Muhammad. PengantarAkuntansi Syariah. (Edisi 2, Jakarta: Selemba Empat,2005). Hal.11-12
3. Prinsip Kebenaran
Prinsip kebenaran tidak dapat dipisahkan dari aspek keadilan. Sebagai contoh,
dalam konteks akuntansi, kita sering dihadapkan pada permasalahan terkait
pengakuan, pengukuran, dan pelaporan. Praktik-praktik ini dapat dijalankan
dengan baik apabila didasarkan pada nilai kebenaran. Kebenaran ini dapat
menciptakan keadilan dalam proses pengakuan, pengukuran, dan pelaporan
transaksi ekonomi.
Dalam Al-Quran, kebenaran tidak diizinkan untuk dicampuradukkan
dengan kebathilan. Oleh karena itu, prinsip ini menuntut agar setiap aktivitas yang
dilakukan, termasuk dalam akuntansi, harus berlandaskan pada nilai-nilai
kebenaran yang murni dan tidak boleh bercampur dengan unsur-unsur yang tidak
benar atau tidak adil. Ini mencerminkan pentingnya integritas dan keadilan dalam
menjalankan praktik-praktik akuntansi. 25

25
Ridwan tabe. Manifestasi Akuntansi Syariah Dalam Etika Bisnis Islam. Hal. 5-6
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
B. Saran
DAFTAR PUSTAKA
M. Quraish Sihab “Tafsir Al-Mitsbah” Volume 1. (1999)
Teungku Muhammad Hasbi ash-Siddieqy, Tafsir An-Nuur
Tafsir Al-Azhar (Juzu'3)
“Surah Al-Baqarah Ayat 282” https://tafsirweb.com/1048-surat-al-baqarah-ayat-
282.html. (Diakses pada 24 November 2023, pukul 19:30).
Tafsir Surat Al Baqarah, ayat 282. Tafsir Ibnu Katsir http://www.Ibnukatsironline.com
/2015/04/ tafsir-surat-al-baqarah-ayat-282.html (Diakses pada 24 November
2023).
TAFSIR FI ZILALIL Qur'an Sayyid Quthb IND by JpnMuslim
al Tafsir al Qur’an al ‘Adhim, Vol 1
Tafsir as-Sa'di / Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa'di, pakar tafsir abad 14 H
https://tafsirweb.com/1047-surat-al-baqarah-ayat-281.html
Muhammad. PengantarAkuntansi Syariah. (Edisi 2, Jakarta: Selemba Empat,2005
Ridwan tabe. Manifestasi Akuntansi Syariah Dalam Etika Bisnis Islam

Anda mungkin juga menyukai