Anda di halaman 1dari 117

PEDOMAN PENCEGAHAN INFEKSI FASILITAS

PELAYANAN KESEHATAN DI
PUSKESMAS S PARMAN

BANJARMASIN
KATA PENGANTAR
Puji syukur kita panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas Rahmat
dan Hidayat-Nya lah sehingga penulisan Pedoman Pencegahan Infeksi Fasilitas
Pelayanan Kesehatan Di Puskesmas S parman telah berhasil diselesaikan sebagai
salah satu upaya untuk meningkatkan mutu pelayanan dan kewaspadaan
menghadapi penyakit infeksi emerging. Merupakan momen yang tepat untuk
meneguhkan kembali akan pentingnya Upaya Pencegahan dan Pengendalian
Penyakit Infeksi (PPI) di FKTP (Puskesmas).
Sebagaimana diketahui bahwa Kementerian Kesehatan telah mengeluarkan
Permenkes No. 27 tahun 2017 tentang Pedoman dan Pengendalian Infeksi di
Fasilitas Pelayanan Kesehatan yang wajib dilaksanakan oleh setiap fasilitas
pelayanan kesehatan. Permenkes tersebut meskipun sudah cukup detail
menjelaskan tentang latar belakang, konsep dan aspek teknis lainnya namun
belum secara spesifik menjelaskan bagaimana penerapannya di setiap jenjang
fasilitas pelayanan kesehatan khususnya di pelayanan dasar. Selanjutnya pada
pasal 3 ayat 4 Permenkes No. 27 tahun 2017, dijelaskan bahwa penerapan PPI
mencakup infeksi terkait pelayanan kesehatan (HAIs) dan infeksi yang bersumber
dari masyarakat.
FKTP merupakan fasilitas kesehatan yang berada di garda terdepan yang
mengutamakan upaya preventif dan promotif dengan tidak meninggalkan aspek
kuratif dan rehabilitatif. Oleh karena itu, penerapan PPI mencakup infeksi terkait
pelayanan kesehatan, upaya pencegahan dan pengendalian infeksi yang bersumber
dari masyarakat sangat tepat dilakukan secara dini di FKTP. Dengan adanya
Pedoman Pencegahan Infeksi Fasilitas Pelayanan Kesehatan di Puskesmas S
Parman diharapkan dapat menjadi acuan teknis bagi FKTP dan kepada jajaran
pemangku kepentingan di tingkat provinsi, kabupaten/kota agar membantu,
memfasilitasi, memonitor dan mengevaluasi pelaksanaan PPI di setiap FKTP yang
ada di wiliayahnya.

Banjarmasin, Juli 2023

i
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR...........................................................................................i
DAFTAR ISI..........................................................................................................ii
DAFTAR SINGKATAN.......................................................................................iii
BAB 1 PENDAHULUAN
A. Latar Belakang.....................................................................................1
B. Dasar Hukum.......................................................................................2
C. Tujuan, Sasaran dan Ruang Lingkup...................................................3
BAB II KONSEP DASAR PENYAKIT INFEKSI SERTA
PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN INFEKSI
1. Konsep Dasar dan Dampak Infeksi...........................................................4
2. Pencegahan dan Pengendalian Infeksi.......................................................7
BAB III RUANG LINGKUP PROGRAM PPI di FASILITAS
KESEHATAN TINGKAT PERTAMA
1. Kewaspadaan Standar................................................................................9
2. Kewaspadaan Transmisi............................................................................49
BAB IV PENERAPAN PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN
INFEKSI di FKTP
A. Penerapan PPI Pada Pelayanan di FKTP...................................................70
B. Penerapan PPI Pada Pelayanan di Dalam Fasilitas Kesehatan
Yang Bersifat UKP dan UKM....................................................................71
C. Penerapan PPI Pada Pelayanan di Luar Fasilitas Kesehatan
Bersifat UKM dan UKP.............................................................................79
BAB V PPI PADA PENYAKIT INFEKSI EMERGING
DAN PENANGGULANGAN KEJADIAN LUAR BIASA (KLB)
1. Penerapan PPI Pada Penyakit Infeksi Emerging.......................................85
2. Penerapan Kasus Penyakit Emerging........................................................85
BAB VI MANAJEMEN DAN SUMBER DAYA PPI DI FKTP
A. Kebijakan dan Pengorganisasian PPI di FKTP..........................................94
B. Perencanaan PPI........................................................................................96
C. Pelaksanaan PPI.........................................................................................98
D. Monitoring, Evaluasi dan Pelaksanaan PPI...............................................99
BAB VII PENUTUP............................................................................................106
DAFTAR PUSTAKA

ii
DAFTAR SINGKATAN

AC : Air Conditioner
ACH : Air Change per Hour
APD : Alat Pelindung Diri
B3 : Bahan Beracun Berbahaya
BMHP : Bahan Medis Habis Pakai
BPJS : Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
BSI : Body Substance Isolation
CDC : Centre For Disease
Control CFU : Colony Forming Unit
CSSD : Central Sterile Supply Department
COVID-19 : Corona Virus Disease 2019
DTT : Disinfeksi Tingkat Tinggi
DTR : Disinfeksi Tingkat Rendah
DNA : Deoxyribonucleic Acid
EPO : Evaluasi Penggunaan Obat
ETT : Endo-Tracheal Tube
FIFO : First In First Out
FKTP : Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama
FKTL : Fasilitas Kesehatan Tingkat
Lanjutan GERMAS : Gerakan
Masyarakat Sehat
HAIs : Healthcare Associated Infections
HSV : Herpes Simplex Virus
IAD : Infeksi Aliran Darah
ICRA : Infection Control and Risk Assesment
ICU : Intensive Care Unit
IPAL : Instalasi Pengolahan Air Limbah
IPCN/D : Infection Prevention Control Nurse/Doctor
ISK : Infeksi Saluran Kemih
KAN : Komisi Akreditasi Nasional
KIE : Komisi Informasi dan Edukasi
KESJAOR : Kesehatan Kerja dan Olahraga
KIPI : Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi
KPI : Key Performance Indicator
iii
MDGS : Millenium Development Goals
MDR-TB : Multi Drug Resistant-Tubercolosis
PHBS : Perilaku Hidup Bersih dan Sehat
PPP : Profilaksis Pasca Pajanan
PLABSI : Peripheral Line Associated Blood Stream Infection
PIO : Pelayanan Informasi Obat
P1 : Perencanaan
P2 : Pelaksanaan dan Pengorganisasian
P3 : Pengawasan, Pengendalian dan Penilaian
PPI : Pencegahan dan Pengendalian Infeksi
PTO : Pemantauan Terapi Obat
RNA : Ribonucle Acid
SARS : Severe Acute Respiratory Syndrome
SDGs : Sustainable Development Goals
SDM : Sumber Daya Manusia
TPMD/G : Tempat Praktik Mandiri Dokter/Gigi
TPS/A : Tempat Penampungan Sementara/Akhir
TUR : Trans Urethral Resection
UHC : Universal Health Coverage
UKM : Upaya Kesehatan Masyarakat
UKP : Upaya Kesehatan Perseorangan
VAP : Ventilator Associated Pneunomia
VCT : Voluntary Counselling and Testing
VRE : Vancomycin Resistant Enterococci
WHO : World Health Organization

iv
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pada tanggal 21 Oktober 2015 Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)
mengeluarkan resolusi baru tentang Tujuan Pembangunan
Berkelanjutan/Sustainable Development Goals (SDGs) disepakati oleh 193 negara
untuk acuan pembangunan universisal hingga tahun 2030. Terdapat 17 tujuan dan
169 sasaran pembangunan dalam SDGs. Pembangunan kesehatan merupakan
penjabaran tujuan dari 3 SDGs, mengamanatkan untuk menjamin kehidupan sehat
dan mendorong kesejahteraan segala usia maka setiap negara harus mewujudkan
cakupan pelayanan kesehatan universal atau Universal Health Coverage (UHC)
berisi jaminan risiko pembiayaan, tersedia akses pelayanan esensial bermutu,
aman, efektif, dan terangkau termasuk obat esensial dan vaksin.
Setelah 3 tahun pelaksanaan, World Health Organization (WHO),
Organization for Economic Co-Operation and Development (OECD) dan World
Bank (WB) dalam laporan tahun 2018, mengingatkan semua bangsa meski UPC
mampu dicapai, tersedia jaminan pembiayaan kesehatan tetapi jika pelayanan
kesehatan yang diberi tidak bermutu maka hasilnya tidak akan mencapai tujuan
SDGs, menghabiskan waktu, sumber daya dan uang negara. Oleh karena itu,
pelayanan bemutu merupakan kewajiban global mencapai UHC.
Berikut informasi yang menggambarkan kondisi global/lokal di Indonesia
betapa pentingnya pelayanan yang bermutu dengan penerapan pencegahan dan
pengendalian infeksi.
 Kejadian HAIs : mencapai 15,74% lebih tinggi dari negara maju 4,8-15,5
%. Infeksi saluran kemih (ISK) adalah salah satu kejadian infeksi paling
sering terjadi sekitar 40 % dari seluruh infeksi setiap tahunnya (Arisandy,
2013)
 Penggunaan antibiotik : terjadi pada ISPA, diare. Berbagai penelitian
menunjukkan muncul mikroba resisten untuk Methicillin Resistant
Staphylococcus, Aureus (MRSA), tubercolosis (MDR-TB) dll
menyebabkan resisten obat, meningkatnya morbiditas, mortalitas,biaya
kesehatan (MBSA di Indonesia, Unairs News, Nov 2020)
 Germas : Riskesdas 2018 indikator Germas (aktifitas fisik, makan buah,
sayur, tidak merokok) tidak ada perbaikan sejak 5 tahun lalu. Perilaku cuci

1
tangan dengan sabun di masyarakat secara nasional 49,5 % (Kemkes,
Riskesdas, 2018).
Oleh karena itu Kementerian Kesehatan menerbitkan Permenkes Nomor 27
tahun 2017 tentang Pedoman Pencegahan dan Pengendalian Infeksi (PPI) di
Fasilitas Pelayanan Kesehatan, ditujukan ke seluruh fasilitas kesehatan FKTP atau
rumah sakit, pemerintah atau swasta.
Prinsip penerapan PPI di fasilitas pelayanan kesehatan berlaku sama, namun
perbedaan ketersediaan sumber daya manusia, kompetensi, kewenangan,
ketersediaan alat kesehatan, sarana, prasarana, pembiayaan, lingkungan, sasaran
atau kegiatan pelaksanaan maka perlu penyesuaian. Oleh karena itu dalam
Pedoman Teknis PPI, aspek tersebut akan dibahas secara detail agar menjadi
acuan bagi FKTP, khususnya puskesmas yang pelayanannya bukan hanya dalam
fasilitas kesehatan (dalam gedung) tetapi juga di luar fasilitas kesehatan
(luargedung) atau langsung di masyarakat.
Pedoman Teknis Pencegahan dan Pengendalian Infeksi di FKTP merupakan
penjabaran teknis Permenkes 27 tahun 2017 tentang PPI di Fasilitas Kesehatan
dengan memperhatikan kesesuaian dengan Permenkes 43 tahun 2019 tentang
Puskesmas dan ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
B. Dasar Hukum
Landasan Hukum acuan Pedoman Teknis Pencegahan dan Pengendalian
Infeksi di FKTP ini, sebagai berikut:
1. UU No. 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran
2. UU No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan
3. UU No. 36 tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan
4. UU No. 38 tahun 2014 tentang Keperawatan
5. UU No. 4 tahun 20019 tentang Kebidanan
6. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 101 tahun 2014 tentang
Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun
7. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 47 tahun 2016 tentang
Fasilitas Pelayanan Kesehatan
8. Peraturan Menteri Kesehatan No. 9 Tahun 2014 tentang klinik
9. Peraturan Menteri Kesehatan No. 8 tahun 2015 tentang Program
Pengendalian Resistensi Antimikroba di Rumah Sakit
10. Peraturan Menteri Kesehatan No. 46 tahun 2015 tentang Standar
Akreditasi Puskesmas, Klinik Pratama, Tempat Praktik Mandiri dokter dan
dokter gigi
11. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. 56 tahun 2015
tentang Tatacara dan Persyaratan Teknis Pengelolaan Limbah
BahanBerbahaya dan Beracun dari Fasilitas Pelayanan Kesehatan

2
12. Peraturan Menteri Kesehatan No. 44 tahun 2016 tentang Pedoman
Manajemen Puskesmas
13. Peraturan Menteri Kesehatan No. 27 tahun 2017 tentang Pedoman
Pencegahan dan Pengendalian Infeksi di Fasilitas Pelayanan Kesehatan
14. Peraturan Menteri Kesehatan no. 43 tahun 2019 tentang Pusat Kesehatan
Masyarakat
C. Tujuan, Sasaran dan Ruang Lingkup

1. Tujuan
Umum: Tersedianya acuan FKTP dalam menerapkan Pencegahan dan
Pengendalian Infeksi di Pelayanan Kesehatan Dasar.
Khusus: Tersedianya pedoman teknis penerapan pencegahan dan
pengendalian infeksi, kebijakan, sumber daya yang
mendukung penerapan PPI di FKTP.
2. Sasaran
Petugas kesehatan di fasilitas pelayanan kesehatan tingkat pertama seperti
pusat kesehata masyarakat dan jaringannya, klinik pratama, tempat praktik
mandiri dokter dan dokter gigi, dinas kesehatan provinsi/kabupaten/kota,
dan pelayanan kesehatan dasar lainnya.
3. Ruang Lingkup
a. Kewaspadaan isolasi (standar dan transmisi)
b. Pencegahan dan pengendalian infeksi dengan bundles
c. Penerapan PPI pada pelayanan di dalam/luar gedung puskesmas
bersifat UKP atau UKM dilakukan oleh petugas, melibatkan pasien,
sasaran atau masyarakat yang dlayani sebelumnya diberi edukasi
tentang apa yang harus dilakukan sebelum atau saat bertemu petugas
kesehatan saat bertemu petugas kesehatan
d. Pendidkan dan pelatihan
e. Penggunaan antimikroba yang bijak
f. Surveilans PPI
g. Penyakit infeksi Emerging dan Penanggulangan KLB
h. Monitoring, audit, ICRA dan pelaporan
i. Manajemen sumber daya PPI di FKTP
Penerapan PPI di FKTP dibutuhkan perencanaan berkaitan dengan tata kelola
sumber daya (SDM, sarana prasarana, alat kesehatan dan pembiayaan). Oleh
karena itu sangat dibutuhkan dukungan dari stakeholders terkait seperti Dinas
Kesehatan Provinsi/kabupaten/kota/pemilik FKTP.

3
BAB II
KONSEP DASAR PENYAKIT INFEKSI SERTA PENCEGAHAN DAN
PENGENDALIAN INFEKSI

A. Konsep Dasar dan Dampak Infeksi


1. Konsep Infeksi
Dalam permenkes 27 tahun 2017, infeksi didefinisikan sebagai suatu
keadaan disebabkan mikroorganisme patogen dengan disertai/tanpa gejala
klinik. Sumber infeksi dapat berasal dari masyarakat/komunitas
(COMMUNITY aCQUIRED Infection), fasilitas pelayanan
kesehataan/pelayanan kesehatan lainnya termasuk FKTP.
Untuk memahami bagaimana infeksi terkait, maka dibutuhkan
pengetahuan tentang penyebab infeksi, rantai penularan penyakit infeksi,
faktor risiko dan dampak.
 Penyebab penyakit infeksi, sebagai berikut:
a) Infeksi Virus
Merupakan salah satu penyebab penyakit infeksi paling sering ditemui.
Beberapa penyakit/infeksi virus yang banyak ditemukan di Indonesia,
seperti: Influenza, Campak, Hepatitis, Demam Berdarah Dengue (
DBD), HIV/AIDS, Flu burung, SARS, Novel Corona Virus
(Covid-19)
b) Infeksi Bakteri
Bakteri adalah kelompok mikroorganisme yang tidak memiliki
membran inti sel, dan berukuran sangat kecil, namun lebih besar dari
virus, dengan ukuran 0,5-5 µm bahkan sampai 700 µm dan ada yang
bersifat menguntungkan bagi pangan, pengobatan dan industri namun
juga merugikan. Berikut penyakit infeksi yang disebabkan bakteri
merugikan dan banyak ditemukan di Indonesia seperti deman tifoid,
Tuberkolosis (TB), Pneunomia, Infeksi Saluran Kemih, Difteri, Batuk
rejan (Pertusis), Sepsis.
c) Infeksi Jamur
Di Indonesia, jamur merupakan salah satu penyebab infeksi yang
cukup banyak bisa menguntungkan dan merugikan. Salah satunya,
seperti jamur bisa hidup di kulit manusia dan dapat mengakibatkan
gangguan kesehatan yang serius, seperti Infeksi jamur kaki (Athlete’s
foot), infeksi jamur kulit (panau), candidiasis.

4
d) Infeksi parasit
Parasit adalah organisme yang hidup di dalam makhluk hidup lain
(inang) dengan menyerap nutrisi, bersifat merugikan serta dapat
menyerang manusia dan hewan. Parasit penyebab infeksi seperti
cacing, amuba, malaria, dan glardia.
2. Rantai Penularan Penyakit Infeksi
Rantai penularan penyakit infeksi (chain of infection) merupakan
rangkaian yang dibutuhkan saat terjadi infeksi. Dalam melakukan tindakan
pencegahan dan pengendalian infeksi perlu dpahami secara cermat rantai
infeksi. Kejadian infeksi dapat disebabkan oleh 6 komponen, apabila satu
mata rantai diputus atau dihilangkan maka penularan infeksi dapat dicegah
atau dihentikan.

Alur rantai penularan dapat dijabarkan sebagai berikut:


a) Agen Infeksi (Infectious Agent)
Mikroorganisme penyebab infeksi seperti bakteri, virus, jamur, parasit.
Ada 3 faktor pada agen mempengaruhi terjadinya infeksi seperti
patogenitas, virulensi dan jumlah/dosis. Semakin cepat agen diketahui
semakin cepat upaya pencegahan dan penanggulangannya dapat
dilaksanakan.
b) Reservoir
Merupakan tempat/sumber agen infeksidapat hidup, tumbuh,
berkembang biak dan siap ditularkan kepada pejamu/manusia.
Reservoir terbanyak terdapat pada manusia, alat medis, binatang,
tumbuh-tumbuhan, tanah, air, lingkungan, bahan organik, orang sehat,
permukaan kulit, selaput lendir mulut, saluran napas atas, usus dan
vagina.

5
c) Pintu Keluar (portal of exit)
Tempat agen infeksi meninggalkan reservoir seperti melalui saluran
napas, cerna, kemih, luka di kulit atau transplasenta.
d) Cara Penularam
Dari tempat atau reservoir ke penjamu yang rentan melalui kontak
(langsung atau tidak langsung), droplet, airborne, vertikulum
(makanan, air atau minuman, darah), vektor (serangga/binatang
pengerat)
e) Pintu Masuk (Portal of Entry)
Tempat agen infeksi memasuki host misalnya saluran napas, cerna,
kemih, mata, kelamin atau kulit yang tidak utuh.
f) Pejamu rentan
Seseorang dengan kekebalan tubuh menurun sehingga tidak mampu
melawan agen infeksi. Faktor mempengaruhi kekebalan seperti umur,
status gizi dan imunisasi, penyakit kronis, luka bakar luas, trauma,
pasca pembedahan, dan pengobatan dengan immunosupresan.
Pencegahan suatu penyakit infeksi dengan mneghilangkan atau memutus
salah satu komponen di atas yang sangat bergantung pada kepatuhan petugas
dalam melaksanakan standar prosedur yang telah ditetapkan pada pleyanan
dalam/luar fasilittas kesehatan (lapangan). Selain itu Perilaku Hidup Bersih dan
Sehat (PHBS) pengguna layanan dan masyarakat juga sangat berpengaruh terhdap
kejadian infeksi dari masyarakat.
Tindakan pencegaham dalam PPI dikenal sebagai kewaspadaan isolasi
(Isolation Precautions) terdiri dari dua lapis yaitu Kewaspadaan Standar (Standard
Precautions) dan kewaspadaan transmisi (Transmission Based Precautions).
3. Dampak Infeksi Pada Pelayanan Kesehatan
Infeksi di pelayanan kesehatan dapat berkembang dan menciptakan
serangkaian masalah baru bagi pasien sehingga menjadi resiko dan
ancaman pada kelangsungan hidup mereka.
Beberapa dampak terjadinya infeksi pada pelayanan kesehatan yang
dilaksanakan tidak sesuai standar, seperti:
a) Meningatkan morbidtas seperti lama hari rawat meningkat pada orang
HAIs sehingga menyebabkan potensi tertular dan menularkan lebih
tinggi, serta mengurangi hak pengguna lain

6
b) Meningkatkan mortalitas seperti infeksi yang didapat di fasilitas
kesehatan bisa fatal menyebabkan komplikasi dan kematian
c) Menurunnya produktifitas pasien/masyarakat karena panjangnya waktu
pemulihan dan hilangnya produktifitas karena pasien tidak bisa segera
kembali bekerja sehingga hilangnya upah
d) Karena waktu awat lama menyebabkan penggunaan sumber daya tidak
efisien dan mengganggu kemampuan pembiayaan fasilitas kesehatan
e) Memicu munculnya ketidakpuasan pelanggan, citra buruk bagi fasilitas
pelayanan kesehatan sehingga meningkatnya tuntutan hukum semakin
besar, kerugian material dan nonmaterial bagi fasilitas kesehatan.
B. Pencegahan dan Pengendalian Infeksi
1. Tujuan PPI
Melindungi pasien, petugas kesehatan, pengunjung penerima pelayanan
kesehatan termasuk masyarakat dalam lingkungan dengan cara memutus
mata rantai penularan penyakit infeksi melalui penerapan PPI.
2. Manfaat PPI
a) Mencegah dan melindungi pasien, petugas, pengunjung serta
masyarakat sekitar fasilitas pelayanan kesehatan dari resiko dan
paparan terjadnya penularan infeksi, baik saat pelayanan di dalam atau
luar fasilitas kesehatan
b) Menurunkan/meminimalkan kejadian infeksi berhubungan dengan
pelayanan kesehatan pada pasien, petugas, pengunjung dan masyarakat
sekitar fasilitas kesehatan sehingga pelayanan menjadi cost
effectiveness
c) Dapat memberi gambaran/informasi tentang mutu pelayanan kesehatan
yang diberikan oleh FKTP sesuai standar yang berlaku
d) Pengelolaan sumber daya lebih efektif dan efisien melaluimanajemen
PPI sejak perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, pembinaan,
monitoring dan evaluasi (audit) serta pelaporan kejadian infeksi.
3. Strategi Implementasi PPI
Penerapan PPI di FKTP mampu terlaksana dengan efisien dan efektif
dengan mengikuti kebijakan dan standar serta prosedur yang sudah
ditetapkan, dengan strategi:
a) Membuat kebijakan pencegahan dan pengendalian infeksi di fasilitas
pelayanan kesehatan (kebijakan, menetapkan komite/tim/penanggung

7
jawab PPI, menyediakan pedoman atau panduan atau SOP pelaksanaan
PPI) mengacu pada ketentuan peraturan perundang-undangan.
b) Merencanakan dan memenuhi sarana, prasarana, alat SDM dan
anggaran untuk pelaksaan PPI sesuai kemmapuan dan skala prioritas
yang ditetapkan FKTP.
c) Menerapkan PPI secara konsisten, komprehensif dan berkelanjutan di
pelayanan kesehatan FKTP di dalam atau luar fasilitas pelayanan
kesehatan dalam perencanaan (P1), pengorganisasian dan pelaksanaan
(P2), pengawasan, pengendalian dan penilaian (P3)
d) Melaporkan kejadian infeksi, melakukan surveilans dan Infection
Control Risk Assesment (ICRA) sebagai bagian dari upaya perbaikan
mutu pelayanan berkesinambungan.

8
BAB III
RUANG LINGKUP PROGRAM PPI DI FASILITAS
KESEHATAN TINGKAT PERTAMA
Fasilitas pelayanan kesehatan merupakan salah satu sumber infeksi terbesar
dalam dunia kesehatan, dimana infeksi bisa berasal dari pasien, petugas, atau
pengunjung melalui objek terkontaminasi berupa darah, slaiva, sputum, cairan
nasal, cairan luka, urine dan ekskresi lainnya PPI di FKTP harus dapat mencakup
pencegahan dan pengendalian infeksi di dalam fasilitas pelayanan ataupun infeksi
yang bersumber dari masyarakat di luar fasilitas pelayanan kesehatan. Infeksi
pelayanan kesehatan (HAIs) relatif lebih mudah diidentifikasi sumber
penularannya karena tatakelola pelayanan hampir semua dalam kendali petugas
dibading dibandingkan dengan infeksi yang bersumber dari masyarakat. Berikut
pedoman teknis ruang lingkup PPI di FKTP, sebagai berikut:
A) Kewaspadaan Isolasi
Merupakan tindakan pencegahan atau pengendalian infeksi yang harus
diterapkan di fasilitas pelayanan kesehatan untuk menurunkan risiko
transmisi penyakit dari pasien ke petugas kesehatan, pengunjung, masyarakat
sekitar/sebaliknya. Kewaspadaan isolasi dibagi 2, yaitu kewaspadaan standar
(standard precautions), dan kewaspadaan transmisi/berdasar cara penularan
(transmission based precautions).
1. Kewaspadaan Standar
Kewaspadaan utama, dirancang untuk diterapkansecara rutin dalam
perawatan seluruh pasien di rumah sakit dan fasilitas pelayanan kesehatan
lainnya, baik yang sudah diagnosa, diduga terinfeksi/kolonisasi.
Kewaspadaan ini harus dilakukan secara rutin dan berkelanjutan di semua
fasilitas pelayanan kesehatan terutama saat memberikan pelayanan kepada
pasien/masyarakat. Kewaspadaan ini merupakan dasar standar PPI yang
sangat penting dan bila diakukan dengan benar, akan mencegah risiko
kontaminasi melalui cairan tubuh, darah, sekret, ekskresi dan kulit yang
tidak utuh. Kewaspadaan ini meliputi :
a) Kebersihan Tangan
Bisa diterapkan dengan menggunakan sabun dan air mengalir bila
tangan terlihat kotor/terkena cairan tubuh. Selain itu bisa menggunakan
cairan yang berbahan dasar alkohol (alcohol base handrube) bila tangan tidak
tampak kotor.

9
2. Tujuan
Kebersihan tangan merupakan salah satu elemen terpenting dari PPI.
Infeksi sebagaian besar dapat dicegah melalui kebersihan tangan dengan cara
yang benar dan dengan waktu yang tepat (WHO,2019). Kebersihan tangan
bertujuan untuk mencegah terjadinya kontaminasi silang dari tangan petugas
ke pasien/pengguna layanan/sebaliknya saat melakukan tindakan aseptik/saat
memberikan pelayanan kesehatan dengan melakukan kebersihan tangan
sesuai 5 momen sesuai standar PPI.
3. Prinsip Kebersihan Tangan
a) Pastikan semua petugas kesehatan sudah memahami 5 moment (waktu) serta
6 langkah kebersihan tangan dan mampu melaksanakan dengan benar

Gambar 1.1. 5 moment


b) Kebersihan tangan dilakukan pada 5 moment untuk kebersihan tangan
berdasar (WHO, 2009) yaitu sebelum menyentuh pasien, sebelum
melakukan tindakan aseptik, setelah menyentuh cairan tubuh pasien, setelah
menyentuh pasien, dan setelah kontak dengan lingkungan pasien
c) Mematuhi langkah-langkah kebersihan tangan scara berurutan dengan baik
dan benar
d) Tersedia sarana kebersihan tangan dengan air mengalir dan dabun dalam
dispenser tertutup atau cairan berbahan dasar alkohol
e) Sebelum melakukan kebersihan tangan, jaga kebersihan tangan individu
dengan memastikan kuku tetap pendek, bersih dan bebasdari pewarna kuku,

10
tidak menggunakan kuku palsu, hindari pemakaian aksesories tangan (jam
tangan, perhiasan)
f) Jika terdapat luka/lecet tutup luka atau lecet dengan pembalut anti air
g) Cuci tangan dengan sabun dan air mengalir bila jelas terlihat kotor atau
terkontaminasi bahan mengandung protein/lemak
h) Sabun cair dianjurkan di dalam botol yang memiliki dispenser, jika
menggunakan sbaun batangan maka sabun di potong kecil untuk sekali
pakai
i) Gunakan bahan yang mengandung alkohol untuk mendekontaminasi tangan
secara rutin, bila tangan tidak jelas terlihat kotor
j) Bebaskan area tangan sampai pergelangan tangan jika menggunakan baju
lengan panjang (digulung ke atas)
k) Kertas tisu sekali pakai sebagai pengering tangan, jika tidak memungkinkan
gunakan handuk sekali pakai lalu dicuci kembali
l) Dilakukan audit kepatuhan kebersihan tangan secara berkala
4. Indikasi dan Prosedur Kebersihan Tangan
a) Membersihkan tangan dengan sabun dan air mengalir
Indikasi cuci tangan dengan sabun dan air mengalir saat tangan
terlihat kotor atau ketika menggunakan sarung tangan yang dipakai dalam
perawatan pasien. Sedangkan prosedurnya pastikansemua aksesories yang
menemppel di tangan (cincin, jam tangan) tidak terpakai, kuku pendek,
tidak menggunakan pewarna kuku seperti kuteks dll. Juga apabila lengan
atas sampai pergelangan tangan maka naikkan sampai ke lengan atas ke
arah siku tangan, atur aliran air sesuai kebutuhan, basahi tangan dan ambil
cairan sabun atau sabun antiseptik ke telapak tangan.
Lakukan kebersihan tangan dengan langkah seperti dalam gambar di
bawah ini:

11
Gambar 1.2. Membersihkan tangan dengan Handwash

12
b) Membersihkan tangan dengan cairan berbahan dasar alkohol atau
handrub Handrub berbahan dasar alkohol digunakan untuk
membersihkan tangan bila terlihat kotor atau tidak terkontaminasi
atau cuci tangan dengan air mengalir sulit di akses (misalnya di
ambulance, imunisasi luar gedung, pasokan air terputus). Cara
membersihkan tangan dengan handrub bisa dilakukan dengan
menyiapkan handrub kemasan pabrik atau campuran 97 ml alkohol
dalam 3 ml gliserin dan ikuti cara penggunan di dalam produk,
kemudian lakukan kebersihan tangan dengan cairan
berbasis alkohol dengan waktu 20-60 detik.

Gambar 1.3. Cara mencuci Tangan Dengan Hand Rub


5. Sarana Kebersihan Tangan
Wastafel air mengalir dengan keran bertangkai, sabun cair, tisu atau kain
atau handuk sekali pakai, tempat limbah non infeksius atau penampung air
(ember) diberi keran air dan penampung air limbah cuci tangan, sabun, tisu
atau kain atau handuk sekali pakai, tempat limbah non infeksius.

13
Gambar 1.4. Sarana Kebersihan Tangan
B) Alat Pelindung Diri (APD)
1. Pengertian
Perangkat alat yang dirancang sebagai penghalang terhadap
penetrasi zat, partike; padat, cair atau udara untuk melindungi
pemakainya dari cedera atau penyebaran infeksi atau penyakit. Alat
pelindung diri terdiri dari pelindung kepala (topi), masker, kaca mata dan
pelindung wajah, baju hasmat (gaon), sarung tangan, sepatu.
2. Tujuan
Menghalangi pajanan bahan infeksius pada kulit,mulut, hidung atau
mata (selaput lendir) tenaga kesehatan, pasien atau pengguna kesehatan.
Penggunaan APD efektif perlu didasarkan pada potensi paparan, dampak
penularan yang ditimbulkan serta memahami dasar kerja setiap jenis
APD yang akan digunakan
3. Prinsip Penggunaan APD
a. APD digunakan sesuai resiko paparan. Petugas kesehatan harus
menilai apakah mereka benar/tidak beresiko terkena darah, cairan
tubuh ekresi/sekresi agar dapat menggunakan alat pelindung diri
sesuai dengan risiko
b. Semua APD yang akan digunakan harus memenuhi standar
keamanan, perlindungan dan keselamatan pasien/petugas sesuai
ketentuan peraturan perundang-undangan
c. Hindari kontak antara APD yang terkontaminasi (bekas) dan
permukaan pakaian atau lingkungan pelayanan kesehatan, buang
APD bekas pakai sesuai tempat limbah, dan standar yang ditetapkan
d. Tidak dibenarkan berbagi APD yang sama antara dua petugas/individu
e. Lepas APD secara keseluruhan jika tidak digunakan lagi

14
f. Lakukan kebersihan tangan setiap kali melepas satu jenis APD, ketika
meninggalkan pasien untuk merawat pasien lain atau akan melakukan
prosedur yang lain.
4. Jenis, Tujuan, dan Indikasi Penggunaan APD
a) Pelindung Kepala (Topi)
Sebagai pelindung kepala dan rambut tenaga kesehatan dari paparan
cairan infeksius pasien selama tindakan atau perawatan. Terdiri dari
bahan sekali pakai atau ulang (terbuat dari bahan kain bisa dicuci), harus
terbuat dari bahan tahan cairan, tidak mudah robek, ukuran pas atau
sesuai kepala pemakai.

Gambar 1.5. Peindung Kepala (Topi)


Apabila petugas menggunakan hijab maka ganti hijab saat bekerja
di pelayanan agar terhindar dari risiko paparan cairan tubuh, darah,
ekskresi, sekresi dengan hijab yang lain saat akan pulang ke rumah
serta gunakan hijab yang menutupi kepala, dimasukkan dalam baju
kerja atau dengan peLINDUNG kepala (topi). Pelindung kepala
(topi) digunakan saat operasi kecil atau minor surgery, pertolongan
atau tindakan persalinan, intubasi trachea dan tracheotomy,
penghisapan lendir masif, pembersihan alat kesehatan dll.

1.6. Gambar Penggunaan Pelindung Kepala (Topi) Hijab

15
b) Kaca mata dan Pelindung Wajah
Berfungsi untuk melindungi selaput mukosa mata, hidung dan
mulut petugas kesehatan dari risiko kontak dengan sekret
pernapasan atau percikan darah, cairan tubuh,sekresi atau ekresi
pasien dengan indikasi pada tindakan yang menimbulkan
percikanatau semburan darah, cairan tubuh, sekret dan ekskresi ke
mukosa, mata, hidung atau mulut, serta potensi transmisi airbone
misalnya pada tindakan gigi (scaler ultrasonic dan high speed air
driven), swab hidung atau tenggorokan, RJP (Resusitasi Jantung
Paru), pemulasaran jenazah, penanganan dan terkontaminasi di
laundry atau ruang dekontaminasi.

Gambar 1.7. Kaca mata Dan Pelindung Wajah


c) Masker
Untuk melindungi wajah dan membran mukosa mulut, dan hidung
dari cipratan darah dan cairan ubuh dari pasien atau permukaan
lingkungan yang kotor dan melindungi pasien dari petugas saat
batuk/bersin dengan syarat masker harus menutupi hidung dan
mulur serta penggunaan masker N95 harus dilakukan fit test
(penekanan di bagian hidung dan penilaian kerapatan penggunaan
masker).
Maker digunakan saat tindakan/prosedur terjadi cipratan darah,
tubuh, sekresi/ekskresi/jika petugas beresiko menghasilkan
cipratan cairan,dari selaput lendir mulut dan hidung. Serta
digunakan pada risiko paparan penularan infeksi melalui udara
(airborne disease) dan dapat didaur ulang sesuai ketentuan.

16
Gambar 1.8. Jenis dan Kegunaan Masker

Gambar 1.9. Cara Penggunaan Masker Bedah dan Masker KN95

17
d) Gaun
Untuk melindungi baju petugas dari kemungkinan paparan atau
percikan darah atau cairan tubuh, sekresi, eksresi atau melindungi
pasien dari paparan pakaian petugas pada tindakan steril dengan
indikasi transmisi kontak misal saat adanya wabah dan transmisi
droplet, saat pencegahan infeksi sebelum operasi atau pra bedah,
membersihkan luka, tindakan drainase, menuangkan cairan
kontaminasi ke pembuangan atau WC atau toilet dan saat
menangani pasien pendarahan masif, tindakan bedah dan
perawatan gigi

Gambar 1.10. Jenis Gaun dan Kegunaannya


e) Sarung Tangan
Melindungi tangan dari paparan cairan tubuh, darah, sekresi,eksresi
dan bahan infeksius lainnya. Digunakan sesuai ukuran tangan, di
kedua belah tangan, dan saat satu kali prosedur pada satu pasienn,
jika rusak atau robek ganti dengan sarung tangan baru. Penggunaan
sarung tangan saat tindakan aseptik, tindakan steril untuk
mencegah resiko penularan mikroorganisme (tindakan bedah).

18
Gambar 1.11. Jenis Sarung Tangan dan Kegunaannya

1.12. Langkah-Langkah Pemasangan Sarung Tangan Steril

1.13. Langkah-Langkah Pelepasan Sarung Tangan Steril

19
f) Sepatu
Melindungi kaki petugas dari tumpahan atau percikan darah atau
cairan tubuh lainnya dan mencegah kemungkinan terkena tusukan
benda tajam atau kejatuhan alat kesehatan yang melukai kulit.
Sepatu harus tertutup, tahan air dan tusukan, digunakan oleh
seluruh tenaga kesehatan, sedangkan sepatu boot pada saat
penanganan pemulasaran jenazah, penanganan limbah, tindakan
operasi, perolongan dan tindakan persalinan, penanganan linen,
dan pencucian peralatan di ruang gizi. Segera lepaskan sepatu jika
terkontaminasi darah atau cairan tubuh untuk dilakukan proses
pembersihan atau dekontaminasi sesuai ketentuan.
Gambar 1.14. Jenis Sepatu dan Kegunaannya

20
Gambar 1.15. Cara Pemakaian APD

Gambar 1.16. Cara Pelepasan APD

Gambar 1.17. Cara Pelepasan APD

21
C) Pengendalian Lingkungan
Merupakan upaya mengendalikan lingkungan melalui perbaikan
mutu air, udara atau ventilasi, permukaan lingkungan, desain, dan
konstruksi bangunan. Tujuan pengendalian lingkungan yaitu untuk
mencegah mikroorganismedari pasien atau pengguna layanan ke
petugas atau sebaliknya akibat pengelolaan dan pengendalian
lingkungan yang tidak sesuai standar PPI.
1) Air
Sistem air bersih harus direncanakan dan dipsang dengan
mempertimbangkan sumber air bersih dan sistem pengalirannya.
Serta dapat diperoleh langsung dari sumber berlangganan atau
sumber air lain dengan ketentuan yang berlaku, dan tempat
penampungan air bersih harus dilakukan perawatan secara rutin
karena memiliki resiko tinggi terjadi pencemaran atau kontaminasi
misalnya untuk tangki utama, kamar bersalin, dapur gizi,laundry,
laboratorium, dan pelayanan kesehatan gigi dan mulut.
a) Persyaratan Kesehatan Air
Sistem air bersih untuk keperluan fasilitas pelayanan kesehatan
diperoleh dari perusahaan air minum, sumber air tanah, air hujan
atau sumber lain yang telah diolah sehingga memenuhi persyaratan
kesehatan. Air sehat harus memenuhi persyaratan mutu, syarat
fisik, kimia, dan bakteoriologis dengan ketentuan yang berlaku.
Selain itu juga harus mempertimbangkan distribusi air ke
ruang- ruang menggunakan sarana perpipaan dengan tekanan
positif serta tersedia air dalam jumlah yang cukup.
b) Sistem Pengelolaan Limbah Cair Baik Medis dan Non Medis
Harus tersedia sistem pengolahan air limbah yang memenuhi
persyaratan kesehatan, saluran air limbah harus kedap air, bersih
dari sampah dan dilengkapi penutup dengan bak kontrol
untukmenjaga kemiringan saluran minimal 1%.
Selain itu di dalam sistem penyaluran air kotor/limbah dari
ruang penyelenggaraan makanan disediakan penangkap lemak
untuk memisahkan/menyaring kotoran/lemak dan untuk penyaluran
air sterilisasi pengelolaan termasuk linen harus sesuai dengan
ketentuan perundang-undangan. Sedangkan untuk pengelolaan

22
limbah cair mengacu pada peraturan perundang-undangan
pengelolaan limbah.
2) Ventilasi Ruangan
Sistem ventilasi di FKTP harus memenuhi persyaratan dengan
bangunan harus mempunyai udara yang baik meliputi ventilasi
alami/mekanik (buatan) yang optimal apabila diperlukan dengan
memperhatikan sistem ventilasi menggunakan peralatan mekanik.
Sistem ventilasi alami mekanik adalah sistem untuk
mengalirkan dan mensirkulasi udara dalam ruangan secara paksa
untuk menyalurkan atau menyedot udara ke arah tertentu sehingga
terjadi tekanan udara positif atau negatif dengan exhaust fan, kipas
angin berdiri (standing fan atau duduk) dengan penggunaan udara
pembuangan tidak diarahkan ke ruang tunggu pasien/tempat lalu
lalang orang
Gambar 1.18.Ventilasi Mekanik

Sedangkan untuk ventilasi alamiah mengalirkan udara dari


luar ke dalam gedung dan sebaliknya melalui pintu dan jendela
terbuka, serta skylight (bagian atas ruangan bisa dibuka atau
terbuka) sehingga menciptakan aliran udara silang (cross
ventilation) dan pastikan arah angin tidak membahayakan petugas
atau pasien lain

23
Gambar 1.19. Pengaturan Arah Angin Pada Ventilasi
Alamiah Sedangkan pada ventilasi gabungan memadukan
penggunaan ventilasi mekanis dan alami. Jenis ventilasi ini
dibuat dengan pemasangan exhaust fan untuk meningkatkan
tingkat pergantian udara di dalam kamar. Selain itu bangunan
pelayanan kesehatan harus mempunyai pintu bukaan permanen,
kisi-kisi pada pintu, jendela/bukaan permanen yang dapt dbuka
untuk kepentingan ventilasi alami min. 15% dari luas total lantai,
dan untuk besaran pertukaran udara disarankan berbagai fungsi
ruang min. 6-12 x
pertukaran udara/jam, untuk KM/WC 10 x pertukaran udara/jam
Sedangkan untuk penghawaan dalam ruang perlu
memperhatikan 3 elemen dasar, yaitu jumlah udara luar bermutu
baik, ventilasi harus dapat mengatur pertukaran udara atau air
change sehingga ruangan tidak terasa panas, tidak terjadi
kondensasi uap air atau lemak pada lantai, dinding atau langit-
langit masuk pada ruang waktu tertentu dan setiap ruangan
diupayakan ada proses udara dalam ruang bergerak sehingga
terjadi pertukaran antara udara di dalam ruang dengan luar.
Selain itu, pada area umum dalam gedung aliran udara
seharusnya dari area bersih ke terkontaminasi sehingga ada
distribusi udara luar ke setiap bagian ruang dngan cara efisien
serta pemilihan sistem ventilasi alami, mekanik atau campuran
perlu memperhatikan kondisi lokal seperti struktur bangunan,
24
cuaca,

25
biaya dan mutu udara serta tersedia toilet terpisah laki-laki dan
perempuan.
3) Kontruksi Bangunan
a) Design Bangunan
Bentuk denah bangunan simetris, sederhana untuk
mengantisipasi kerusakan apabial gempa, tata ruang bangunan
harus mempertimbangkan sirkulasi udara dan pencahayaan.
Tata letak bangunan atau site plan dan tata ruang dalam
bangunan mempertimbngkan zonasi berdasar tingkat risiko
penularan penyakit, privasi, kedekatan hubungan fungsi antar
ruang pelayanan.
Selain itu tinggi rendah bangunan dibuat tetap menjaga
keserasian lingkungan dan pencegahan banjir, aksesibilitas di
luar dan dalan bangunan mempertimbangkan kemudahan bagi
semua orang termasuk penyandang cact dan lanjut usia.
Bangunan FKTP harus menyediakan area parkir kendaraan
dengan jumlah area proporsional dengan peraturan daerah
setempat, perancangan pemanfaatan tata ruang dalam
bangunan harus efektif sesuai fungsi-fungsi pelayanan, dan
permukaan lantai terbuat dari bahan kuat, halus, kedap air,
mudah dibersihkan, tidak licin, permukaan rata, tidak
bergelombang, tidak menimbulkan genangan air, dianjurkan
berwarna terang, pertemuan antara dinding serta lantai
berbentuk melengkung supaya mudah dibersihkan dan
dianjurkan menggunakan vinyl di ruangan tindakan, gawat
darurat termasuk ruang penyimpanan yang dapat menyimpan
debu.
Sedangkan untuk permukaan dinding sebaiknya tidak
dipasang aksesories tempat akumulasi debu dan sulit
dibersihkan, jika diperlukan sebaiknya dilapisi bahan data,
mudah dibersihkan misalnya dilapisi kaca pada lukisan/media
informasi dan tidak menempelkan kertas-kertas informasi di
dinding, dan komponen langit-langit berwarna terang, mudah
dibersihkan, tidak memiliki lekukan/berpori yang bisa
menyimpan debu.

26
b) Persyaratan kehandalan bangunan, harus memenuhi
persyaratan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
c) Sistem Pencahayaan
Harus mempunyai pencahayaan alami/buatan,
didistribusikan atau dalam ruangan, lampu yang digunakan
diusahakan jenis hemat energi.

Gambar 1.20.Tingkat Pencahayaan Ruangan


d) Berikut Penataan Barang dan Lingkungannya
Pastikan semua benda/barang tertata baik, tersimpan
pada tempatnya, tersusun sesuai jenis barang seperi susunan
linen, penyimpanan alat kesehatan, dokumen, tidak
menempatkan barang steril bersatu dengan barang kotor
dalam satu area. Berikan jarak temat tidur/pemeriksaan
pasien jika lebih dari 1 orang dalam waktu bersamaan
minimal 1 meter seperti penempatan kursi pemeriksaan di
ruang pelayanan kesehatan gigi dan mulut.
Selain itu, pastikan area bersih dan kotor terpisah
berbatas tegas sehingga tidak menimbulkan kontaminasi atau
ketidaknyamanan atau risiko kecelakaan kerja. Penempatan
tempat limbah di ruangan pelayanan pasien pada tempat aman,
tidak berada di dekat pasien atau bawah meja tindakan atau
tempat tidur pasien kecuali saat tindakan sedang berlangsung
atau selesai tindakan segera dibersihkan.
Tidak dianjurkan menggunakan karpet atau
menempatkan bunga hidup atau bunga plastik atau aquarium di
ruang pelayanan pasien kecuali petugas mampu membersihkan

27
setiap hari untuk menghindari akumulasi debu/bahan
kontaminasi lingkungan. Penggunaan tirai/gorden pembatas
pasien atau penutup jendela disarankan menggunakan bahan
kuat, tidak tembus air, jika memungkinkan menggunakan
penghalang yang dilapisi kaca film supaya mudah dibersihkan
dan terlihat rapi.
Selain itu pastikan tidak ada tempat masuk atau kumpulan
binatang pengerat atau serangga di ruangan pelayanan pasien,
dan petugas kesehatan yang tinggal di lingkungan fasilitas
pelayaan kesehatan agar tidak memelihara hewan peliharaan
untuk menghindari masuk atau berkeliaran di faislitas
pelayanan kesehatan.
e) Pembersihan Lingkungan
Pastikan bahwa fasilitas pelayanan kesehatan membuat,
melaksanakan dan memonitor prosedur rutin pembersihan,
desinfeksi permukaan lingkungan, tempat tidur, peralatan di
samping tempat tidur dan pinggiran, permukaan yang sering
tersentuh. Serta harus mempunyai disinfektan standar yang
ditetapkan masing-masing FKTP sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan. Desinfektan untuk menghalau mikroba
patogen dan menurunkannya secara signifikan di permukaan
terkontaminasi sehingga memutus rantai penularan penyakit.
Bekerja dengan cara membunuh secara fisikal, kimiawi
mikroorganisme termasuk spora.
Pembersihan harus diawali proses desinfeksi, benda dari
permukaan tidak dapat didesinfeksi sebelum dberishkan dari
bahan organik (ekskresi, sekresi pasien, kotoran). Pembersihan
dituju untuk mencegah aerosolisasi dan menurunkan
pencemaran lingkunga dengan penggunaan ikuti aturan pabrik.
Pembersihan permukaan lingkungan dilakukan sebelum proses
desinfeksi parda area yang sering disnetuh oleh petugas
kesehatan seperti kunci pintu, tombol lampu, permukaan meja
dll.
Pembersihan lingkungan pelayanan kesehatan
menggunakan troli khusus minimal 2 ember yang memiliki alat

28
pemerasan kain lap pel otomatis, selalu dicuci agar tetap dalam
kondisi bersih dengan menggunakan APD (sarung tangan
karet, gaun pelindung, celemek karet, sepatu rapi dan kuat
(sepatu boot atau tertutup) untuk melindungi risiko terkena
benda atau cairan infeksius, dan benda tajam.
Prinsip dasar pembersihan lingkungan yaitu semua
permukaan horizontal tempat pelayanan pasien harus
dibersihkan setiap hari atau apabila kotor harus dikembalikan
kembali (pasien masuk dan keluar). Permukaan meja
pemeriksaan pasien atau peralatan lain yang bersentuhan
langsung dengan pasien segera diberishkan, didesinfeksi untuk
pemeriksaan pasien yang berbeda. Semua kain yang dipakai
sebagai kain pembersih harus dibasahi air bersih sebelum
digunakan membersihkan debu, jangan menggunakan kain
kering atau sapu karena dapat menimbulkan aerosolisasi debu.
Selain itu, prinsip dasar pembersihan lingkungan lainnya
yaitu apabila pengunjung datang ke fasilitas pelayanan
kesehatan dengan sepatu atau sandal kotor (bercampur
tanah/lumpur) harus dibersihkan terlebih dahulu sebelum
masuk (tidak membuka sandal atau sepatu saat masuk). Selain
itu semua peralatan pembersih harus selalu dibersihkan,
dikeringkan setelah digunakan, untuk tempat sekitar pasien
harus bersih dari peralatan serta perlengkapan yang tidak perlu
sehingga memudahkan pembersihan menyeluruh setiap hari.
Sedangkan untuk meja pemeriksaan dan peralatan sekitar
lingkungan pasien yang diketahui atau suspek terinfeksi ISPA
harus dibersihkan disinfektan segara setelah digunakan.
Pembersihan tumpahan dan percikan seperti cairan tubuh
(darah, muntahan, percikan ludah, darah atau eksudat luka
pada permukaan lantai, dindng atau tirai pembatas dibersihkan
menggunakan spill kit. Spill kit terdiri dari spill kit infeksius
(topi, sarung tangan, kaca mata, masker, serok dan sapu kecil,
cairan detergen, cairan klorin 0,5%, kain perca atau tisu atau
koran bekas, plastik warna kuning) dan spill kit B3 (topi,
sarung tangan, kaca mata, masker, gaun, serok, sapu kecil,

29
detergen, larutan tertentu berdasar bahan kimia, dan kain perca
atau tisu atau koran bekas, plastik warna coklat).
Sedangkan untuk prosedur pembersihan tumpahan cairan
infeksius sebagai berikut:
- Petugas menggunakan APD (topi, sarung tangan, kaca
mata, masker, gaun). Beri tanda untuk menunjukkan area
adanya tumpahan, serap cairan tumpah dibersihkan dengan
kain perca/handuk/tisu/koran bekas penyerap bersih yang
dapat menyerap sampai bersih kemudian buang ke kantong
warna kuning (infeksius), tuang cairan detergen kemudian
serap denga kain perca/handuk/tisu/korab bekas masukan
ke kantong kuning, dan lanjutkan dengan cairan klorin 0,55
kemudian serap dan buang ke kantong kuning (infeksius).
Sedangkan untuk prosedur pembersihan tumpahan cairan B3,
sebagai berikut:
- Petugas memakai APD (topi, sarung tangan, kaca mata,
masker, gaun), beri tandauntuk menunjukkan area adanya
tumpahan bahan kimia (tuang air bersih pada tumpahan,
keringkan dengan kertas atau koran atau kain perca
kemudian masukkan ke kantong warna coklat, tuang
detergen dan serap atau keringkan dengan kertas atau
koran atau kain perca buang ke kantong coklat. Beri label
B3 pada plastik coklat tumpahan kimia). Sedangkan pada
tumpahan reagen (lokalisir area tumpahan dengan menabur
natrium bicarbornat sekitar area tumpahan, kumpulkan
bekas resapan ke dalam plastik hitam atau coklat,
kemudian bersihkan lantai dengan detergen serap dan
buang ke kantong warna hitam atau coklat. Lalu buang
plastik sampah infeksius ke tempat penampungan sampah
infeksius dan kumpulkan limbah tumpahan B3 dalam
ruang penyimpanan limbah. Kemudian beri tanda untuk
menunjukkan adanya tumpahan)
Sedangkan untuk prosedur pembersihan tumpahan kimia,
sebagai berikut:

30
- Tuang air bersih pada tumpahan, keringkan dengan kertas
atau koran atau kain perca kemudian masukkan ke kantong
coklat, tuangkan detergen dan serap atau keringkan dengan
kertas atau koran atau kain perca buang ke kantong coklat.
Berikan label B3 di plastik coklat tumpahan kimia.
Sedangkan untuk prosedur pembersihan tumpahan reagen,
sebagai berikut:
- Lokalisir area tumpahan dengan menaburkan natrium
bicarbonat sekitar area tumpahan, kumpulkan bekas
resapan ke dakam plastik hitam atau coklat, kemudian
bersihkan lantai dengan detergen kemudian serap dan
buang ke kantong warna hitam/coklat. Buang plastik
sampah infeksius ke tempat penampungan sampah
infeksius dan kumpulkan limpah tumpahan B3 dalam
ruang penyimpanan limbah B3.
Prosedur dekontaminasi ambulans yaitu ambulans
dibersihkan dan didisinfeksi seluruh permukaannya secara
berkala dan setiap seleesai digunakan, lalu biarkan pintu
belakang kendaraan terbuka untuk memudahkan pembuangan
partikel infeksius. Pintu harus selalu teruka saat proses
pembersihan dengan bahan kimia untuk memberikan ventilasi
udara yang cukup, petugas kebersihan menggunakan APD
(masker bedah, gaun, sarung tangan, pelindung mata) jika
beresiko terkena percikan bahan organik atau kimia gunakan
sepatu boot/tertutup.
Perhatikan pembersihan pada area yang bersentuhan dengan
pasien, semua benda atau alat yang terkontaminasi selama
membawa pasien seperti stretcher, rails, dinding, lantai dan
alat lainnya. Pembersihan menggunakan desinfektan
mengandung 0,5%/500 ppm natrium hipoklorit : 1 bagian
desinfektan untuk 9 bagian air. Bersihkan dan desinfeksi
semua peralatan yang digunakan ulang atau reusable sebelum
digunakan untuk pasien lain. Lakukan kebersihan tangan
sebelum dan sesudah menggunakan sarung tangan, ikuti
prosedur membuang APD yang digunakan saat pembersihan,
bersihkan dan desinfeksi
31
semua peralatan yang digunakan ulang atau reusable sebelum
digunakan pasien lain, lakukan kebersihan tangan sebelum dan
sesudah menggunakan sarung tangan, dan ikuti prosedur
membuang APD yang digunakan saat pembersihan.

Gambar 1.21. Dekontaminasi Ambulans


D) Pengelolaan Limbah Hasil Pelayanan Kesehatan
A) Merupakan langkah yang berfungsi untuk melindungi pasien,
petugas kesehatan, pengunjung dan masyarakat sekitar fasilitas
pelayanan kesehatan dari penyebaran infeksi akibat limbah yang
tidak dikendalikan, termasuk dari risiko cidera.
B) Jenis dan pengertian Limbah
a. Berdasarkan jenisnya limbah di fasilitas pelayanan kesehatan
dibagi atas limbah padat domestik, limbah bahan berbahaya
dan beracun (B3), limbah cair, dan limbah gas
b. Limbah B3 pelayanan medis dan penunjang medis terdiri atas
limbah infeksius dan benda tajam, farmasi, sitotpksis, dan
kimia.
c. Limbah infeksius adalah limbah yang dihasilkan dari pelayanan
pasien yang terkontaminasi darah, cairan tubuh, sekresi dan
ekskresi pasien/limbah ruang isolasi pasien penyakit menular.
d. Limbah non infeksius adalah semua limbah tidak
terkontaminasi darah, cairan tubuh, dan ekskresi. Limbah ini
berupa kertas pembungkus atau kantong dan plastik tidak
berkontak cairan tubuh atau bahan infeksius.
e. Limbah benda tajam adalah objek atau alat dengan sudut tajam, ujung
atau bagian menonjol dapat memotong atau menusuk kulit seperti

32
jarum suntik, perlengkapan intravena, pipet pasteur, pecahan gelas,
pisau bedah.
C. Pengelolaan Limbah Hasil Pelayanan Kesehatan
a. Pengelolaan Limbah Infeksius
- Dimasukkan dalam tempat kuat, tahan air dan mudah diebrsihkan
dengan kode infeksius atau medis, di dalamnya dipasang kantong
berwarna kuning/jika tidak memungkinan diberi labwl infeksius
- Penempatan limbah infeksius diletakkan dekat dengan area
tindakan atau prosedur tindakan yang akan dikerjakan
- Jika sudah menempati ¾ kantong sampah segera diangkat dan
diikat kuat, tidak boleh dibuka lagi untuk mengeluarkan isinya
guna menghindari risiko penularan infeksi, selanjutnya dibawa ke
tempat penampungan sementara. Tempat limbah dicuci dengan
menggunakan larutan detergen atau desinfektan sesuai instruksi
pabrik, lalu dikeringkan selanjutnya dipasangi kembali kantong
plastik kuning baru
- Limbah infeksius, patologis, benda tajam harus disimpan di TPS
dengan suhu dan penyimpanan lebih kecil atau sama dengan 0◦C
dalam waktu sampai dengan 90 hari, jika suhu 3-8◦C disimpan 7
hari
- Limbah sangat infeksius seperti biakan dan persediaan agen
infeksius dari laboratorium harus disterilisasi dengan pengolahan
panas dan basah seperti dalam autoklaf sebelum dilakukan
pengolahan
- Limbah padat farmasi dalam jumlah besar harus dikembalikan ke
distributor atau gudang farmasi Kabupaten atau Kota, sedang
dalam jumlah sedikit atau tidak memungkinkan dikembalikkan
dapat dimusnahkan menggunakan insinerator/dikelola perusahaan
pengolah limbahB3 sesuai ketentuan peraturan perundang-
undangan
- Limbah sitotoksis sangat berbahaya, dilarang dibuang dengan
penimbunan atau land-fill atau dibuang ke saluran limbah umum,
dilaksanakan dengan cara dikembalikan ke perusahaan atau
distributornya atau dilakukan pengolahan dengan insinerator suhu

33
tinggi1000◦C s/d 1.200◦C untuk menghancurkan semua bahan
sitotoksik
- Pengolahan limbah kimia biasa dalam jumlah kecil/besar harus
diolah ke perusahaan pengolah limbah B3. Bahan kimia bentuk cair
sebaiknya tidak dibuang ke jaringan pipa pembuangan air limbah,
karena sifat toksiknya dapat mengganggu proses biologi yang ada
dalam unit pengolah air limbah atau IPAL
- Pembuangan akhir limbah infeksius dimusnahkan dengan
insenerator atau bekerjasama dengan pihak ketiga. Jika
bekerjasama dengan pihak ketiga mereka memiliki perijinan,
fasilitas pengelolaan limbah sesuai ketentuan peraturan perundang-
undangan.
b. Pengelolaan Limbah Non Infeksius
- Limbah di tempatkan dalam tempat kuat, mudah dibersihkan di
tempat sampah bertabel limbah non infeksius, kantong plastik warna
hitam atau label non infeksius
- Diangkat dan dikosongkan setelah menempati ¾ kantong, diikat
untuk dibawa ke tempat penampungan sementara lalu tempat limbah
dibersihkan dan dipasangi kantong plastik hitam baru
- Limbah non infeksius botol obat dapat dilakukan recycle dengan
melakukan pembersihan dengan digunakan kembali/kerja sama
dengan pihak ketiga secara resmi dari fasilitas pelayanan kesehatan
dalam bentuk kerjasama
- Pembuangan akhir limbah non infeksius dibuang di tempat
pembuangan akhir yang sudah ditentukan pihak pemerintah daerah
setempat.
D. Pengelolaan Limbah Benda Tajam
- Semua limbah benda tajam dimasukkan ke dalam kotak benda
tajam/safety box yang kuat, tahan air, tusukan, berwarna
kuning/benda tajam diberi label limbah benda tajam

- Ditempatkan pada area aman, mudah dijangkau/digantung pada


troll tindakan, tidak menempatkan safety box di lantai. Dibuang
setelah kotak terisi 2/3 dengan ditutup rapat permukaan lobang box
agar jarum tidak keluar, jika dibuang dengan waktu lama maka
penggunaan safety box sesuai ukuran atau kebijakan FKTP ketentuan

34
peraturan perundang-undangan dan dilakukan pembakaran atau
dikelola sama dengan limbah B3 lainnya.

Gambar 1.22.Safety Box Tempat Limbah Benda Tajam

E. Pengelolaan Limbah Cair


- Limbah cair berasal dari seluruh sumber bangunan/kegiatan fasilitas
pelayanan kesehatan yang diolah melalui unit pengolah limbah cair
(IPAL)
- Limbah cair seperti feces, urin, darah dibuang di pembuangan atau
pojok limbah (spoel hoek). Pastikan terdapat tempat penampungan
limbah sementara yang terpisah atau terletak di luar area pelayanan
dengan ruang tertutup, tidak meneman penyanggah atau palet),
dilakukan pembersihan secara rutin serta dikelola sesuai ketentuan
peraturan perundang-undangan. Pembuangan akhir limbah
dilakukan bekerjasama dengan pihak ketiga dipastikan pembuangan
sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan
E) Pengelolaan Peralatan Perawatan Pasien dan Alat Medis lainnya
Merupakan proses pengelolaan, dekontaminasi dan pengemasan
berdasarkan kategori kritikal, semi kritikal dan non kritikal dengan
tujuan untuk mencegah peralatan cepat rusak, menjaga tetap dalam
keadaan terdekontaminasi, sesuai kategorinya, menetapkan produk
akhir yang sudah steril dan aman serta tersedianya peralatan perawatan
pasien dan alat medis lainnya dalam kondisi bersih dan steril saat
dibutuhkan pengumpulan, pengangkutan, pemilahan dan pencucian
linen dapat sesuai dengan prinsip dan standar PPI, dan dengan tujuan
untuk mencegah infeksi silang bagi pasien dan petugas, menjaga
ketersediaan bahan linen dan mutu linen, mengelola sumber daya agar

35
mampu menyediakan linen sesuai kebutuhan dan harapan pengguna
layanan dengan memperhatikan proses pembiayaan dan meningkatkan
kepuasan pasien sehingga dapat menghasilkan manfaat mencegah
potensi penularan penyakit pada pasien, petugas pengguna linen
lainnya serta pencemaran lingkungan.
a) Jenis Peralatan Kesehatan menurut Dr. Earl Spaulding berdasar
penggunaan dan risiko infeksinya:
- Peralatan kritikal
Alat-alat yang masuk ke dalam pembuluh darah atau jaringan
lunak. Semua peralatan kritikal wajib dilakukan sterilisasi panas
seperti instrumen bedah, periodontal scaller dll
- Peralatan Semi-Kritikal
Alat-alat yang kontak dengan membran mukosa saat
digunakan. Semua alat ini minimal disinfeksi tingkat tinggi atau
apabila terdapat alat yang tahan terhadap panas dapat di
sterilisasi menggunakan panas seperti Ambu bag, ETT,
handpiece, speculum
- Peralatan Non Kritikal
Peralatan yang saat digunakan hanya menyentuh
permukaan kulit saja atau kulit utuh seperti tensimeter,
stethoscope dll
b) Tahapan pengelolaan dimulai dari pembersihan dengan
penyemprotan atau flushing dengan air mengalir atau direndam
dengan larutan detergen dilanjutkan pembersihan (cleaning) dan
pengeringan.

Gambar 1.22.Alur Dekontaminasi Peralatan Perawatan Pasien


dan Alat Medis Lainnya
36
Berikut tahapan pengelolaannya:
1. Menggunakan APD
Topi, gaun atau apron, masker, sarung tangan rumah tangga
dan sepatu tertutup

Gambar 1.23. Penggunaan APD Saat Pengelolaan


Peralatan
2. Proses Pre-Cleaning
Semua peralatan atau alat medis yang telah dipergunakan
dilakukan pembersihan awal atau pre-cleaning dengan
merendam seluruh permukaan peralatan kesehatan
menggunakan enzymatik 0,8% atau detergen atau
glutaraldehyde 2% atau sesuai instruksi pabrik selama 10-15
menit untuk menghilangkan noda darah, cairan tubuh.
3. Pembersihan atau Pencucian
Proses secara fisik membuang semua kotoran, darah atau
cairan tubuh lain atau mikroorganisme dari permukaan benda
mati untuk mengurangi risiko penyakit. Terdiri dari
pencucian dengan sabun atau detergen dan air atau enzim,
kemudian dibilas dengan air bersih, keringkan.
Pembersihan dapat dilakukan dengan cara menggunakan
sikat, bilas dengan air mengalir suhu 40◦C-50◦C atau dengan
air deionisasi atau suling kemudian cuci, bilas dengan air
mengalir, tiriskan atau keringkan untuk proses selanjutnya.
Sedangkan untuk pembersihan mekanik dengan mesin cuci
khusus untuk meningkatkan produktifitas, lebih bersih dan
aman untuk petugas. Pembersih ultrasonic melepas semua
kotoran dari seluruh permukaan alat atau instrumen tersebut
juga perlu dilakukan pembersihan rutin.

37
c) Proses Pengemasan
Pastikan semua peralatan yang disteril dilakukan pengemasan
dengan membungkus semua alat untuk menjaga keamanan dan
efektivitas sterilisasi dengan menggunakan pembungkus kertas
khusus atau kain dengan prinsip sebagai berikut:
- Prosedur pengemasan mencakup label nama alat, tanggal
pengemasan, metode sterilisasi, tipe, ukuran alat dikemas,
penempatan alat dalam kemasan, penempatan indikator kimia
eksternal dan internal
- Pengemasan harus dapat menyerap dengan baik dan
menjangkau seluruh permukaan dan isinya
- Kemasan harus mudah dibuka, isi mudah diambil saat
dgunakan tanpa menyebabkan kontaminasi, dapat menahan
mikroorganisme, kuat, tahan lama, mudah digunakan, tidak
mengandung bahan beracun, segel baik serta bahan pengemasan
berupa kertas filn, plastik atau kain linen

Gambar 1.24. Contoh Pengemasan Alat Kesehatan


d) Prosedur Sterilisasi Peralatan Kritikal
Dapat menggunakan autoklaf atau panas kering untuk
menghilangkan semua mikroorganisme (bakteria, fungi dan
parasit) termasuk endospora dengan uap tekanan tinggi, panas
kering atau oven dengan ketentuan jika menggunakan sterilisasi
pemanasan uap atau steam sterilization or autoklaf pastikan
temperatur uap maksimum 250◦F/121⸰C dengan tekanan 15 Psl
dalam waktu 15-20 menit atau suhu 273◦F/134◦C dengan tekanan
Psl 3-5 menit. Proses ini memerlukan waktu 30 menit dihitung

38
sejak suhu mencapai 121◦C dengan semua instrumen dengan
engsel dan kunci tetap terbuka selama proses sterilisasi dengan
autoklaf, serta tulis tanggal sterilisasi dan kadaluwarsa di kemasan
setelah dilakukan sterilisasi.
Sedangkan jika menggunakan proses sterilisasi panas kering
atau dry heat sterilization maka pastikan semua instrumen kritikal
sudah dibersihkan sebelum proses sterilisasi pada temperatur
340◦F/170◦C dalam waktu 1 jam atau temperatur 320◦F/160◦C
dalam waktu 2 jam.
e) Proses Desinfeksi Peralatan Semi Kritikal
Dilakukan melalui proses DTT atau menghilangkan semua
mikroorganisme, kecuali beberapa endospora bakterial
dihilangkan dengan merebus dan menguapkan/memakai
desinfektan kimiawi dengan proses setelah pembersihan dengan
cara sebagai berikut:
- Proses DTT dengan perendaman dilakukan menggunakan
cairan disinfektan/natrium hypoclorite 5,25% yang ada di
pasaran atau Glutaraldehyde 2%/peroxide hydrogen 6% selama
15-20 menit. Pastikan seluruh permukaan peralatan terendam
dalam cairan. Lihat instruksi dari pabrik sesuai disinfektan yang
dipilih untuk menjaga risiko kerusakan peralatan
- Proses DTT dengan direbus dan dikukus dalam waktu 20 menit
dihitung setelah air mendidh/sampai terbentuk uap air
mendidih. Tidakdiperkenankan menambah air/apapun apabila
proses perebusan/pengukuran belum selesai
Note: Uap air panas pada 100◦C akan membunuh semua
bakteri, virus, parasit, jamur dalam 20 menit
f) Peralatan Non Kritikal
Pengelolaan peralatan/bahan dan praktik yang berhubungan
dengan kulit utuh dan dengan risiko terendah. Dengan langkah
pencucian dilakukan dengan detergen dan air mengalir kemudian
keringkan dengan digantung sperti minset tensimeter dll, lalu
disinfeksi dengan alkohol swab 70% seperti stetoscope,
termometer dll. Pembersihan dengan kain bersih yang sudah
dilembabkan atau disemprot cairan klorin 0,05% gosok dan lap

39
semua permukaan yang dibersihkan misalnya permukaan tempat
tidur, meja dll.

Gambar 1.25. Jenis Peralatan Dan Prosedur Pengelolaannya


g) Penyimpanan Instrumen atau Peralatan Steril dengan menulis
tanggal sterilisasi dan kadaluwarsa pada bungkus alat steril
sebelum penyimpanan, dikeas dan sisimpan di lingkungan bersih.
h) Hal yang perlu diperhatikan pada pengelolaan peralatan
perawatan pasien dan alat medis yang telah dipergunakan yaitu:
a. Pastikan petugas kesehatan pada saat mengelola peralatan
kesehatan bekas pakai menggunakan APD (topi, gaun atau
apron, masker, sarung tangan rumah tangga, sepatu tertutup
atau boot) dengan mempertimbangkan proses cleaning seperti
bahan kimia (jenis detergen) yang digunakan, waktu, suhu,
perendaman serta air yang digunakan (mineral rendah 70-
150mg/L atau soft water)
b. Tersedia ruangan khusus pengelolaan, dekontaminasi dan
pengemasan peralatan perawatan pasien dan alat medis lain
setelah dipergunakan seta dilakukan tenaga kesehatan dengan
kompetensi pengelolaan dekontaminasi peralatan dengan
mempertimbankan design ruang pengelolaan peralatan
perawatan pasien dan alat kesehatan yaitu area kotor atau
unclean area adalah daerah untuk menerima barang kotor,
ruang tersendiri, lantai mudah dibersihkan, tersedia bak
desinfeksi dan sirkulasi udara yang baik. Selain itu juga
tersedia area bersih atau clean area untuk mempersiapkan

40
barang setting, packing dan disteril dengan sirkulasi udara
bertekanan seimbang
c. Area steril atau sterille area untuk menyimpan alat atau
barang steril, ruang udara tekanan positif (jika tidak
memungkinkan minimal di tempatkan pada area
penyimpanan alat yang bersih, tertata baik dengan sirkulasi
udara yang baik, tertutup rapat, dan lantai menggunakan vinyi
dengan ujung lantai melengkung untuk menghindari debu dan
dapat ditambah penggunaan AC).

Gambar 1.26. Denah Ruangan


Pengelolaan Peralatan Medis
Jika tidak memungkinkan dengan 3 ruangan terpiah dan
hanya tersedia satu ruangan maka jarak masing-masing zona
minimal 2 meter dengan lama waktu penyimpanan peralatan
steril dibungkus tunggal atau 1 lapis disimpan dalam tempat
tertutup selama 1 minggu dan diletakkan dalam rak terbuka
selama 2 hari. Sedangkan apabila dibungkus 2 lapis maka
disimpan dalam tempat tertutup selama 3 minggu dan
diletakkan dalam rak terbuka selama 2 minggu.

41
Gambar 1.27. Lama Waktu Penyimpanan Steril
F) Pengelolaan Linen
Meliputi pengumpulan, pengangkutan, pemilahan dan pencucian linen
sesuai dengan prinsip dan standar PPI untuk mencegah terjadinya infeksi silang
bagi pasien dan petugas, menjaga ketersediaan bahan dan mutu linen,
mengelola sumber daya agar mampu menyediakan linen sesuai kebutuhan dan
harapan pengguna layanan dengan memperhatikan proses pembiayaan dan
meningkatkan kepuasan pasien, serta mencegah potensi penularan penyakit
pada pasien, petugas, pengguna linen serta pencemaran lingkungan.
a. Prinsip Pengelolaan Linen
1. Semua petugas yang terlibat dalam pengeloaan linen menerapkan PPI,
dengan kategori kebersihan linen bersih (sudah dilakukan proses
pencucian, siap dipakai untuk pelayanan non steril), linen steril, linen
kotor (sudah dipakai pasien atau keluarga atau petugas), dan linen
infeksius (linen sudah terkontaminasi darah, cairan tubuh, sekresi dan
eksresi).
2. Linen ruang isolasi adalah linen infeksius, penggunaan kantong ganda
tidak diperlukan kecuali kantong utama rusak atau bocor. Sedangkan
untuk pencucianlinen bersih, seril dan kotor terpisah melalui pintu
masuk berbeda atau satu arah jika memungkinkan gunakan mesin cuci
atau waktu pencucian berbeda. Selain itu area pencucian linen kotor dan
penempatan linen bersih berada pada tempat dengan pintu berbeda
dibuat dalam satu arah dengan sarana prasarana yang diperlukan yaitu
mesin cuci pengering atau dryer, mesin setrika uap atau mesin fiat ironer
untuk penyetrikaan, kantong untuk membungkus linen bersih dan kotor,
kereta dorong pengangkutan, dan tempat penyimpanan linen/lemari
tertutup.
42
b. Prosedur Pengelolaan Linen
1. Pastikan petugas menggunakan APD (topi, apron atau celemek, masker,
sarung tangan rumah tangga, sepatu boot untuk melindungi kontaminasi
dari paparan cairan/percikan yang mengenai pakaian dan tubuh petugas,
jangan menarik dan meletakkan linen kotor di lantai tetapi dikumpulkan
untuk mencegah kontaminasi lingkungan
2. Pastikan troli linen yang digunakan beda antar troli linen kotr, infeksius
atau bersih namun jika tidak memungkinkan cuci atau desinfeksi troli
tersebut sebelum digunakan mengangkut linen bersih. Sedangkan untuk
pencucian linen kotor dilakukan berbeda dengan linen infeksius
menggunakan mesin cuci berbeda, jika tidak memungkinkan bisa
dengan mesin cuci yang sama dengan waktu pencucian berbeda (cuci
linen kotor dahulu, lalu linen infeksius selanjutnya bersihkan mesin cuci
dengan syarat pencucian yaitu tersedia air bersih mengalir atau air panas
dengan pencucian suhu 70◦C dalam waktu 25 menit atau 95◦C dalam
waktu 10 menit dengan detergen.
Sedangkan jika tidak tersedua air panas pencucian linen infeksius dapat
dengan detergen dengan menambah cairan disinfektan (bleaching atau
pemutih dengan pengenceran 1:99 cc air), dengan waktu perendaman
tidak lebih dari 10-15 menit karena dapat merusak struktur kain linen.
Sedangkan untuk proses pengeringan dilakukan dengan mesin cuci atau
dry cleaning jka dilakukan proses pengeringan manual maka saat
menjemur cucian harus di tempat beratap atau tertutup menghindari
kontaminasi debu atau kotoran
3. Pelipatan hasil cucian jika manual maka pelipatan di meja khusus,
jangan di lantai atau permukaan yang dapat mengkontaminasi linen
bersih
4. Penyimpanan linen bersih atau steril harus disimpan di lemari kering,
lemari penyimpanan tidak bercampur peralatan atau benda lain.
Kemudian tempatkan linen bersih di lemari tertutup, tidak bercampur
peralatan atau benda lain serta harus memenuhi ketentuan ideal
ditempatkan di ruang khusus dengan suhu 22-24◦C dan kelembaban 40-
60% lantai terbuat dari bahan rata dan tidak bersudut atau vinyl lalu
pengangkutan linen bersih dan kotor tidak boleh dilakukan bersamaan.

43
Gambar 1.28. Alur Pengelolaan Linen

Gambar 1.29. Denah Ruangan Pengelolaan Linen


G) Penyuntikkan Yang Aman
Penyuntikkan yang dilakukan sesuai prinsip penyuntikkan yang benar
mulai saat persiapan, penyuntikkan obat hingga penanganan alat-alat bekas
pakai, sehingga aman untuk pasien dan petugas dari risiko cedera dan
terinfeksi. Penyuntikkan yang aman bertujuan untuk mencegah cedera dan
penyebaran infeksi pada pasien atau petugas kesehatan, dan menurunkan atau
meminimalkan angka kejadian infeksi (lokal atau sistemik).
a. Prinsip Penyuntikkan Yang Aman
1. Penyuntikkan dilakukan dengan prinsip satu spuit, satu jenis obat dan
satu prosedur penyuntikkan, dan pastikan petugas dalam menyiapkan
penyuntikkan menggunakan teknik aseptik untuk menghindari
kontaminasi peralatan penyuntikkan dengan menyiapkan troli tindakan
berisi cairan handrub, safety box, bak instrumen bersih, bengkok

44
penampung limbah sementara, boks isi gunting, plester, tourniquet,
transparan dressing atau kasa steril pada tempatnya dan alkohol swab
1x pakai
2. Nampan menempatkan bak instrument berisi obat suntik yang sudah
disiapkan, kasa steril, alkohol swab 1x pakai, plester dan gunting yang
ditempatkan dalam bengkok bersih
3. Tidak menggunakan spuit yang sama untuk penyuntikkan lebih dari 1
pasien walaupun jarum suntik diganti. Selain itu semua jarum suntik
yang dipergunakan harus 1x pakai untuk 1 pasien dan 1x prosedur
4. Jangan memanipulasi jarum suntik (me-repcaping, mematahkan,
menekuk) dan segera buang ke dalam safety box jika sudah dipakai.
Llau gunakan cairan pelarut atau flushing untuk 1x pemberian (NaCL,
WFl). Jangan menggunakan plabot infus atau botol larutan intravena
sebagai sumber cairan pelarut obat yang digunakan untuk banyak
pasien serta tidak memberikan obat single dose kepada lebih dari 1
pasien atau mencampur obat-obat sisa dari vial atau ampul untuk
pemberian berikutnya.
5. Jangan menyimpan botol multi-dosis di area perawatan pasien
langsung. Simpan sesuai rekomendasi pabrikan dan buang jika
sterilitas digunakan. Simpan obat mult-dosis sesuai rekomendasi pabrik
membuat dan gunakan sarung tangan bersih jika beresiko terpapar
darah atau produk darah, satu sarung tangan untuk satu pasien.
Untuk terlaksananya penyuntikkan yang aman diperlukan tempat
penyediaan alat dan bahan (troli, bak instrumen, alkohol swab, nampan
khusus untuk menempatkan bak instrumen berisi obat suntik, kasa steril
dan alkohol swab 1x pakai, plester, gunting dll)
H) Kebersihan Pernapasan atau Etika Batuk
Merupakan tata cara batuk atau bersin yang baik dan benar sehingga
bakteri tidak menyebar ke udara, tidak mengkontaminasi barang atau benda
sekitarnya agar tidak menular ke orang lain. Kebersihan pernapasan atau etika
batuk memiliki tujuan untuk mencegah penyebaran baketri/virus secara luas
melalui transmisi airbone dan dropsis agar keamanan dan kenyamanan orang
lain tidak terganggu.

45
a. Prosedur Kebersihan Pernapasan atau Etika Batuk
Pastikan dan ajarkan petugas, pasien dan pengunjung melakukan
kebersihan pernapasan atau etika batuk apabila mengalami gangguan
pernapasan, batuk, flu atau bersin, lakukan prosedur kebersihan pernapasan
atau etika batuk saat anda flu atau batuk, gunakan masker bedah dnegan
baik dan benar agar orang lain tidak tertular. Selanjutnya tidak
menggantungkan masker bekas atau dipakai pada leher karena bisa
menyebar kembali virus dan bakteri ketika digunakan kembali.
Bila tidak tersedia masker bedah, gunakan metode lain untuk
pencegahan dan pengendalian sumber patogen (sapu tangan, tisu atau
lengan bagian atas) saat batuk dan bersin. Lakukan langkah etika batuk
yang baik dan benar (tutup mulut dengan tisu jika anda batuk dan bersin,
lakukan batu da bersin pada lengan baju atas bagian dalam, buang tisu
yang sudah dipakai ke dalam tempat sampah atau limbah, lakukan
kebersian tangan dengan air mengalir dan sabun atau cairan alkohol swab,
saat batuk dan flu gunakan masker agar orang lain tidak tertular).

Gambar 1.30.Etika Batuk

46
I) Penempatan Pasien
Menempatkan pasien pada tempat yang telah ditentukan atau mengatur
jarak pasien berdasar kewaspadaan transmisi (kontak, udara dan droplet) untuk
memudahkan pelayanan dengan mempertimbangkan aspek keamanan serta
keselamatan pasien atau petugas kesehatan dengan tujuan untuk mencegah
infeksi silang antara pasien, pengunjung dan petugas akibat penempatan pasien
yang tidak sesuai prinsip.
a. Prinsip Penempatan Pasien
Kamar terpisah dengan pintu tertutup pada kondisi yang diwaspadai
terjadi transmisi melalui udara dan kontak (luka infeksi kuman gram
positif, covid-19 dll) juga dikhawatirkan terjadi kontaminasi luas terhadap
lingkungan misalnya pada luka lebar dengan cairan keluar, diare,
pendarahan tidak terkontrol.
Selain itu kamar terpisah dengan ventilasi dibuang keluar dengan
exhaust pan ke area tidak ada orang lalu lalang (TB), dengan udara terkunci
bila diwaspadai transmisi airbone meluas (varicella), kamar terpisah bila
pasien kurang mampu menjaga kebersihan (anak, gangguan mental), dan
bila kamar terpisah tidak emungkinkan dapat dilakukan dengan sistem
kohorting (penggabungan pasien dengan jenis penyakit sama). Bila pasien
infeksi dicampur non infeksi maka pasien, petugas dan pengunjung harus
menjaga kewaspadaan standar dan transmisi.
b. Penempatan Pasien Di Triase Dan Ruang Pemeriksaan
Penempatan pasien di ruang triase haris diberi jarak minimal 1 meter
antara satu pasien dengan lainnya, serta ruang pemeriksaa yang digunakan
untuk memeriksa pasien harus berventilasi baik sirkulasi udara minimal 12
ACH (Air Change Hourl/Pertukaran udara per jam)
c. Prosedur Penempatan Pasien (termasuk penderita covid-19)
1. Pastikan pasien infeksius ditempatkan terpisah dengan pasien non
infeksius, serta disesuaikan pada pola transmisi infeksi penyakit pasien
berdasar kontak, droplet, airbone sebaiknya ruangan tersendiri. Bila
tidak tersedia ruangan tersendiri, dibolehkan dirawat bersama pasien
lain yang jenis infeksi sama menerapkan sistem kohorting dengan
konsultasi terlebih dahulu kepada tim PPI atau penanggung jawab PPI
dengan semua kohorting harus diberi tanda kewaspadaan berdasar jenis
transmisi dengan memperhatikan jarak antar tempat tidur pasien

47
minimal 1 meter. Ini sangat penting karena pasien mungkin mengalami
penyakit menular lainnya selain infeksi yang sudah dipastikan
2. Petugas yang ditugaskan di ruang isolasi/kohort tidak boleh memberi
pelayanan kepada pasien ruang lain, dan jumlah orang yang diizinkan
memasuki tempat ruang isolasi/kohort harus dibatasi seminimal
mungkin. Pasien yang tidak dapat menjaga kebersihan diri atau
lingkungannya sebaiknya dipisahkan tersendiri, mobilisasi pasien
infeksius yang jenis transmisinya melalui udara dibatasi di lingkungan
fasilitas pelayanan kesehatan untuk menghindari terjadnya transmisi
penyakit tidak perlu kepada yang lain.
3. Pasien HIV tidak diperkenankan dirawat dengan pasien TB dalam satu
ruangan tetapi pasien TB-HIV dapat dirawat dengan sesama pasien TB,
hindari penggunaan peralatan yang sama untuk beberapa pasien, tapi
bila tak dapat dihindarkan, pastikan bahwa peralatan yang digunakan
kembali didesinfeksi dengan benar sebelum digunakan pasien lain.
Lakukan pembersihan berkala dan desinfeksi sesuai kewaspadaan
standar melalui pengelolaan lingkungan ditempat-tempat umum.

Gambar 1.31. Contoh Perhitungan Sirkulasi Pertukaran


Udara Per-Jam
J) Perlindungan Kesehatan Petugas
Dimaksudkan agar tercipta tatanan kerja di setiap FKTP yang
mempertimbangkan aspek keselamatan dan kesehatan petugas kesehatan
terutama dari risiko pajanan penyakit infeksi dengan tujuan melindungi
kesehatan dan keselamatan petugas baik tenaga medis, perawat, bidan atau

48
petugas penunjang sebagai orang paling beresiko terpapar penyakit infeksi,
karena berhadapan langsung dengan pasien penderita penyakit menular setiap
saat atau akibat terpapar dari lingkungan faislitas pelayanan kesehatan
a. Prosedur Perlindungan Petugas
1. Semua petugas kesehatan menggunakan APD (sesuai indikasi) saat
memberi pelayanan yang beresiko terjadi paparan darah, cairan tubuh,
bahan infeksius atau bahan berbahaya lainnya
2. Petugas kesehatan saat melaksanakan tugas agar memperhatikan hal-
hal seperti segera melakukan kebersihan tangan saat tiba di tempat
kerja, menggunakan baju kerja berbeda dengan baju kerja yang dipakai
dari rumah (baju dari rumah diganti baju kerjas aat tiba di fasilitas
kesehatan dan ditukar kembali saat pulang kerja) terutama bagi yang
bertugas di unit pelayanan yang berhadapan langsung dengan
pasien/risiko pajanan tinggi serta tidak menggunakan aksesories di
tangan (cincin, gelang, jam tangan, pewarna kuku dll), kuku panjang
saat melakukan tindakan medis
3. Dilakukan permeriksaan berkala terhadap semua petugas kesehatan
pada area risiko tinggi (ruang TB, VCT dll) yang dapat terpapar
penyakit menular infeksi sehingga perlu dIberikan imunisasi sesuai
risiko paparan pada petugas yang dIhadapi termasuk hasil konsultasi
professional kesehatan (imunisasi Hepatitis B)
4. Tersedia kebijakan penatalaksanaan akibat tusukan jarum/benda tajam
bekas pakai pasien dengan prosedur pemeriksaan, alur penanganan
pasca pajanan dan pemberian imunisasi, tersedia obat-obatan terkait
penanganan pasca pajanan dan tim kesehatan yang ditunjuk untuk
menangani, mekanisme pelaporan kejadian dan sistem dokumentasi
kejadian pasca pajanan
5. Prinsip penanganan pasca pajanan yaitu bertindak tenang dan jangan
panik, pembersihan area luka dilakukan dengan air mengalir tanpa
melakukan pemijatan dengan maksud mengeluarkan darah (biarkan
darah keluar secara pasif) kemudian cuci tangan dengan sabun dan air
mengalir, percikan yang mnegenai mulut segera ludahkan dan
berkumur-kumur dengan air bersih berulang kali, percikan yang
mengenai mata segera cuci mata dengan air mengalir dengan posisi
kepala mring ke arah area mata yang terkena percikan, bila percikan

49
mengenai hidung segera hembuskan keluar dan bersihkan dengan air
mengalir, laporkan pada atasan langsung untuk proses tindak lanjut
sesuai ketentuan yang berlaku. Kemusian sediakan sistem/skema
pembiayaan yang disediakan FKTP bagi petugas kesehatan yang
memerlukan perawatan kesehatan pasca pajanan
b. Tata Laksana Pasca Pajanan
Jika tertusuk benda tajam jangan panik, cuci di bawah air mengalir
biarkan darah yang keluar sebanyak-banyaknya dan jangan memijat area
luka (karena akan membuat sisa bekas tusukan semakin masuk ke dalam
luka, kemudia obati luka), lapor pada atasan untuk segera membuat laporan
ke penanggung jawab PPI sebagai bahan upaya pencegahan dan
pengobatan d klinik, lakukan penelusuran jarum bekas pakai pasien dengan
tujuan memastikan apakah betul bekas pakai pasien, dan apakah pasien
terpapar HIV, Hep B atau lainnya.
Jika pasien negatif maka kasus tidak dilanjutkan dan petugas diberi
konseling kesehatan, jika pasien positif maka pastikan status petugas
(korban) tidak terpapar dari HIV, Hepatitis dengan pemeriksaan
laboratorium, jika negatif maka petugas diberikan konseling saja dan
imunisasi sesuai ketentuan, setelah diberikan imunisasi kepada petugas
dlakukan pengawasan 3,6,12 bulan atau sesuai standar yang ditetapkan
oleh fasilitas pelayanan kesehatan.
Sedangkan apabila terpajan cairan tubuh pasien maka cuci atau bilas
dengan air mengalir sebanyak-banyaknya, jika ada luka pada area percikan
maka lakukan prosedur di atas.

Gambar 1. 32. Contoh Alur Pasca Pajanan


50
2. Kewaspadaan Transmisi
Merupakan lapis kedua dari kewaspadaan isolasi yaitu tindkan
pencegahan/pengendalian infeksi yang dilakukan pada saat memberikan
pelayanan baik pada kasus belum/sudah terdiagnosis penyakit infeksinya,
diterapkan untuk mencegah dan memutus rantai penularan penyakit lewat
kontak, droplet, udara, vertikulum dan vektor (serangga dan binatang
pengerat) yang dapat terjadi melalui satu cara atau lebih.
Berikut ini pembahasan kewaspadaan transmisi difokuskan pada transmisi
kontak, droplet, dan udara, sebagai berikut:
a) Kewaspadaan Transmisi Kontak
Tindakan kewaspadaan dirancang untuk mencegah terjadnya infeksi
yang ditularkan melalui kontak langsung (menyentuh kulit, lesi, sekresi
atau cairan tubuh terinfeksi) atau kontak tidak langsung (melalui tangan
petugas atau orang lain saat menyentuh peralatan, air, makanan atau
sarana lain). Penyakit yang dapat ditularkan melalui transmisi kontak
(HIV/AIDS, Hepatitis B, Diare, Scabies dll) dengan tujuan untuk
memutus mata rantai penularan mikroorganisme penyebab infeksi
melalui transmisi kontak
1. Prinsip Kewaspadaan Transmisi Kontak
Pastikan semua petugas mematuhi prosedur kewaspadaan standar
yang telah ditetapkan, tidak menyentuh/hindari memegang sesuatu
secara langsung tanpa memperhatikan jenis paparan dan indikasi
penggunaan APD, untuk mengurangi kemugkinan terjadinya kontak
langsung dan tidak langsung semestinya tidak perlu terjadi, tempatkan
pasien sesuai kategori penyakitnya (sistem cohorting). Jika tidak
memungkinkan penyediaan ruang isolasi yang cukup maka dilakukan
pengelompokkan (lebih dari satu orang dalam ruangan yang sama
dengan jenis penyakit atau bakteri yang sama) dengan menempatkan
pasien dengan jarak minimal 1 meter antar tempat tidur.
Batasi orang yang berada di dalam kamar, hindari kontaminasi
penggunaan peralatan, jika memungkinkan satu peralatan satu pasien
serta lakukan disinfeksi terlebih dahulu sebelum dipakai pasien lain.
Segera lakukan pembersihan setiap menemukan sumber penularan alat
bekas pakai, makanna, minuman, darah, sekresi, cairan tubuh, kotoran,
dll. Peralatan perawatan pasien harus dijaga agar tetap bersih dan

51
kering serta di dekontaminasi sebelum peralatan digunakan pada
pasien lainnya, dan jiak terjadi wabah, perhatikan petunjuk, aturan,
pedoman atau ketetapan berkaitan dengan penanggulangan wabah
yang dikeluarkan pemerintah/gugus tugas yang ditetapkkan, misalnya
jaga jarak (physical distancing) baik antara petugas dengan pasien atau
di antara penggna layanan.
2. Prosedur PPI Pada Transmisi Kontak
Lakukan kebersihan tangan sebelum dan sesudah kontak dengan
pasien dan lingkungan sekitar pasien atau sesuai dengan lima momen
dan indikasi kebersihan tangan, jika diperlukan minta pasien atau
pengguna layanan melakukan kebersihan tangan sebelum dilayani atau
mendapatkan pelayanan.
Kenakan celemek plasti sekali pakai saat memberikan
perawatan langsung kepda pengguna layanan. Lepaskan tanpa
menyentuh area yang terkontaminasi. Buang limbah infeksius sesuai
prosedur yang telah ditetapkan, kenakan sarung tangan sekali pakai
saat memberikan perawatan langsung kepada pengguna layanan, dan
lepaskan sarung tangan tanpa menyentuh area yang terkontaminasi
buang sebagai limbah infeksius.
b) Kewaspadaan Transmisi Droplet
Tindakan kewaspadaan untuk menghidari penularan penyakit infeksi
melalui droplet (sekresi yang dikeluarkan melalui saluran pernapasan)
selama batuk, bersin atau berbicara. Karena sifatnya droplet maka
biasanya tidak akan terpercik jauh, tidak melayang di udara namun akan
jatuh pada suatu permukaan benda. Penyakit infeksi yang dapat ditularkan
melalui droplet antara lain Influenza, ISPA, SARS, COVID-19, Pertusis
dll. Tujuan tindakan transmisi droplet.
a. Prinsip Kewaspadaan Transmisi Droplet
Pastikan semua petugas mematuhi prosedur kewaspadaan standar
yang telah ditetapkan saat memberi pelayanan, lakukan kebersihan
tangan sebelum dan sesudah kontak dengan pasien dan lingkungan
sekitar pasien dengan menggunakan air dan sabun atau cairan handrub
berbasis alkohol, gunakan masker jika ada gangguan saluran
pernapasan (batuk, flu dll).

52
Pasien dengan penularan droplet ditempatkan dalam ruangan
tersendiri, jika tidak memungkinkan lakukan kohorting dengan jarak
minimal 1 meter antar tempat tidur, pastikan pintu selalu tertutup
setiap saat. Pasien, pengunjung, keluarga harus diajarkan kebersihan
tangan dan pernapasan atau etika batuk. Gunakan alat pelindung diri
(APD) sesuai jenis paparan dan indikasi masker bedah dan lakukan fit
test untuk meyakinkan masker tidak bocor dan tertutup rapat. Saat
melepaskan, tidak menyentuh area terkontaminasi setelah keluar dari
kamar perawatan atau pelayanan, buang ke limbah infeksius dan
segera lakukan kebersihan tangan dengan sabun dan air mengalir.
Pertimbangkan untuk menggunakan masker N95 pada tindakan yang
menghaislkan aerosol, pada pasien gangguan Infeksi Saluran
Pernapasan Akut (ISPA) Intubasi, atau pada tindakan Bronchosopy,
Nebutizer, dll.
c) Kewaspadaan Transmisi Udara (Airbone)
Tindakan pencegahan yang dirancang untuk mencegah penyebaran
infeksi yang ditularkan melalui udara dengan menghirup atau
mengeluarkan mikroorganisme dari saluran napas, juga dihasilkan dari
tindakan yang menghasilkan aerosol, pengisapan cairan, induksi dahak
atau endoskopi seperti TB, virus (Afian flu, Covid-19, SARS, Varicella,
Campak dll) dengan tujuan untuk mencegahpenularan infeksi akibat
mikroorganisme sebagai partikel yang beredar di udara, dapat bertahan
lebih lama serta melayang keluar area dengan jarak lebih jau yang
memungkinkan terhirup atau mencemari jaringan dan selaput lendir bagi
yang terpapar.
a. Prinsip Kewaspadaan Airborne
Lakukan kebersihan tangan, sebelum dan sesudah kontak degan
pasien dan lingkungan sekitar pasien dengan menggunakan air dan
sbaun atau cairan handrub berbahan dasar alkohol. Gunakan alat
pelindung (APD) sesuai indikasi seperti gunakan masker bedah dan
masker N95 (respiratotik) dan yakinkan penggunaannya tertutup rapat
(fit last) serta lepaskan tanpa menyentuh area yang terkontaminasi
setelah keluar dari kamar perawatan, gunakan kaca mata/pelindung
wajah (face shield) sesuai jenis resiko paparan airborne, gunakan gaun

53
jika terjad resiko paparan kontaminasi pada tubuh atau pakaian
petugas, dan gunakan sarung tangan jika terjadi kontaminasi.
Gunakan ruangan dengan ventilasi tekanan negatif, jika tidak
memungkinkan dapat menggunakan ventilasi tekanan mekanik/natural
dan pintu harus selalu tertutup, lakukan edukasi kepada pendamping
atau keluarga agar menjaga kebersihan tangan dan menjalankan
kewaspadaan isolasi untuk mencegah penyebaran infeksi diantara
mereka sendiri atau pasien lain. Upaya pencegahan infeksi saat
pemulangan pasien dilakukan edukasi pada keluarga seperti upaya
pencegahan infeksi harus tetap dilakukan sampai batas waktu
penularan, bila dipulangkan sebelum masa isolasi berakhir, maka
pasien harus diisolasi mandiri di rumah sampai batas waktu penularan
berakhir, cara menjaga kebersihan diri, pencegahan dan pengendalian
infeksi serta perlindungan diri. Selain itu pembersihan dan desinfeksi
ruangan yang benar perlu dilakukan setelah pemulangan pasien.
prinsip PPI.
3. PPI Pada Penggunaan Peralatan Kesehatan Lainnya
a) PPI Pada Pemberian Alat Bantu Pernapasan (Oksigen Nasal)
PPI pada pemberian alat bantu pernafasan (oksigen nasal) kepada
pasien adalah untuk meningkatkan kualitas pemberian alat bantu
pernapasan (oksigen nasal) melalui upaya pencegahan dan
pengendalian infeksi, melindungi sumber daya manusia dan
masyarakat dari risiko kejadian infeksi, serta mencegah kejadian
infeksi saluran pernafasan, dengan maksud agar pemakaian peralatan
terapi oksigen seperti tabung oksigen, humidifer dan kanula sesuai
standar penggunaan peralatan dan penerapan prinsip PPI dengan
tujuan mencegah infeksi silang akibat penggunaan alat bantu
pernapasan (oksigen nasal) yang tidak sesuai standar.
Sarana dan persiapan dalam hal ini yaitu pastikan tabung dengan
oksigen lengkap dengan flowmeter dan humidfer dalam kondisi bersih
terisi oksigennya. Siapkan nasal kateter, kanula atau masker oksigen
sekali pakai, dan vseline atau lubrikan atau pelumas (jelly) sekali pakai
jika tidak memungkinkan pastikan jelly selalu tertutup (jika dperlukan).

54
 Prosedur PPI Pada Terapi Oksigen Nasal
Lakukan kebersihan tangan sebelum mempersiapkan peralatan
dan melaksanakan prosedur pemberian oksigen nasal. Pastikan satu
selang oksigen untuk satu pasien, flow meter dan humidifier dalam
kondisi bersih dan kosong. Hidupkan tabung oksigen dan atur posisi
semiflower atau sesuai kondisi pasien, beri oksigen melalui kanula
atau masker aliran oksigen sesuai kebutuhan pasien, hindari risiko
iritasi di selaput hidung mukosa.
Pastikan slang oksigen tidak terkontaminasi lingkungan atau
benda infeksius sebelum dipakai pasien karena akan terjadi risiko
infeksi saluran pernafasan. Slang oksigen/oksigen mask yang tidak
terpakai, dan jika dipergunakan kembali harus dilakukan desinfeksi
lalu keringkan, bungkus dan simpan dalam tempat bersih dan kering.
Siang oksigenadalah single use, namun kondisi tertentu dilakukan
dekontaminasi sesuai peralatan semikritikal yang ditetapkan. Pastikan
slang oksigen sudah tidak dipergunakan lagi, dan tabung humidifier
segera dibersihkan setelah dipakai pasien dan selalu dalam kondisi
kosong dan bersih sebelum dipergunakan pasien lain.
b) PPI Pada Pemberian Terapi Inhalasi (Nebulizer)
Untuk meningkatkan kualitas pemberian terapi inhalasi/nebulizer
kepada pasien melalui upaya pencegahan dan pengnedalian infeksi,
melindungi sumber daya manusia dan masyarakat dari risiko kejadian
infeksi, serta mencegah kejadian infeksi saluran pernafasan dengan
tujuan mencegah terjadi transmisi penularan penyakit infeksi akibat
penggunaan nebutizer yang tidak sesuai standar dengan peralatan
generator aerosol, alat bantu inhalasi (kanul nasal, masker, mouthpiece)
dan cup (tempat obat cair) dan obat-obatan serta cairan pengencer obat.
Langkah-langkah pemberian terapi inhalasi (nebulizer) dalam
kondisi siap pakai, bersih dan dilakukan test kelayakan penggunaan.
Lakukan kebersihan tangan sebelum menyiapkan atau menyentuh
peralatan dan pasien, petugas menggunakan masker jika diperlukan.
Dengan cara penggunaan alat slang oksigen, masker dab nebulizer kit
adalah alat kesehatan sekali pakai, jika tidak memungkinkan maka
dapat dipergunakan kembali oleh pasien sama namun dibersihkan
terlebih dahulu dengan dekontaminasi melalui perendaman cairan

55
ezymatik 0,8% atau detergen (10-15 menit) keringkan kemudian
bungkus dengan plastik transparan simpan di tempat kering dan
tertutup alkohol swab 70%. Semua peralatan yang dibersihkan simpan
di tempat kering, bersih dan tidak menempatkandi lantai atau
permukaan kotor.
Pergunakan cairan dan obat yang dicampur dalam cairan
nebulizer sekali pakai, jika berbagi dengan pasien lain lakukan teknik
aseptik dan segera bagikan dengan pasien lain menggunakan teknik
aseptik dan bagi pada waktu yang sama (tidak menyimpan sisa obat
dan cairan sisa kecuali direkomendasikan pabrik). Lalu semua limbah
yang dihasilkan setelah pemakaian dianggap limbah infeksius.
c) PPI Pada Perawatan Luka
Untuk meningkatkan kualitas perawatan luka melalui upaya
pencegahan dan pengendalian infeksi, melindungi sumber daya
manusia dan masyarakat dari risiko kejadian infeksi, serta mencegah
dan menurunkan angka kejadian infeksi pada luka dengan tujuan untuk
mencegah terjadnya infeksi sekunder/silang akibat pengelolaan luka
yang tidak sesuai standar.
Prinsip perawatan luka jangan pernah menutup luka terinfeksi,
terkontaminasi dan luka bersih berumur lebih 6 jam. Lakukan
perawatan luka terkontaminasi, kemudian tutup luka hingga 48 jam
kecuali ada indikasi lain. Lakukan tindakan pencegahan infeksi pada
luka dengan cara biarkan terjad oksigenisasi, pulihkan sirkulasi darah
sesegera mungkin setelah cedera pada area luka, jangan gunakan
tourniquet, tidak menutup luka lebih 12 jam yang telah terinfeksi. Luka
tembus dalam jaringan/vulnus pungfum harus disayat atau dilebarkan
untuk mencegah koloni bakteri anaerob. Lakukan pembersihan luka
dan debridemen sesegera mungkin dalam waktu 8 jam. Patuhi
pelaksanaan pencegahan kewaspadaan transmisi untuk menghindari
penularan infeksi. Berikan antibiotik profilaksis pada korban dengan
luka dalam dan lainnya sesuai indikasi dan penggunaan antibiotik
topikal dan mencuci luka dengan larutan antibiotik tidak dianjurkan
Tahap menutup luka dilakukan jika terjadi kurang dari sehari
dan telah dibersihkan dengan seksama luka dapat ditutup/dijahit. Luka
tidak boleh ditutup apabila lebih 24 jam, luka sangat kotor atau terdapat

56
benda asing, atau luka akibat gigitan binatang, dan luka bernanah tidak
boleh dijahit, tutup ringan menggunakan kasa lembab.
A. Penggunaan Antimikroba Yang Bijak
Merupakan antibiotik secara rasional sesuai dengan penyebba infeksi,
rejimen dosis optimal, lama pemberian optimal, efek samping minimal
dengan mempertimbangkan dampak muncul dan menyebarnya mikroba
resisten sebagai upaya mengendalikan penggunaan antibiotik perlu
kebijakan di setiap FKTP dan disusun serta ditetapkan panduan
penggunaan antibiotik profilaksis dan terapi mengacu pada ketentuan
peraturan perundang-undangan dengan merujuk peraturan menteri
kesehatan no. 8 tahun 2015 tentang program pengendalian resistensi
antimoikroba di rumah sakit.
Prinsip Penggunaan Antimikroba yang bijak dengan spektrum sempit
pada indikasi yang ketat dengan dosis adekuat, intervensi dan lama
pemberian yang tepat dan ditandai dengan pembatasan penggunaan
antibiotik dan mengutamakan penggunaan antibiotik lini pertama.
Sedangkan untuk pembatasannya dengan panduan penggunaan antibiotik,
penerapan penggunaan antibiotik secara terbatas/restricted, dan penerapan
kewenangan penggunaan antibiotik tertentu/reserved antibiotics dengan
indikasi ketat penggunaan antibiotik dimulai dengan menegakkan
diagnosis penyakit infeksi, informasi klinis dan hasil pemeriksaan
laboratorium (mikrobiologi, serologi dan penunjang lain) serta tidak
diberikan pada penyakit infeksi oleh virus atau penyakit dapat sembuh
sendiri/self-limited (ISPA atau diare nonspesifik)
Sedangkan untuk pemilihan jenis antimikroba harus berdasar pada
informasi tentang spektrum kuman penyebab infeksi dan pola kepekaan
kuman terhadap antibiotik, hasil pemeriksaan mikrobiologi/perkiraan
kuman penyebab infeksi, profil farmakokinetik dan farmakodinamik
antibiotik, dan melakukan de-eskalasi setelah mempertimbangan hasil
mikrobiologi dan keadaan klinis pasien serta ketersediaan obat dan cost
effective obat dipilih atas dasar paling aman.
B. Klasifikasi Antibiotik Berdasarkan WHO
Untuk mengurangi penggunaan antibiotik kelompok Watch and Reserve
serta meningkatkan penggunaan antibiotik kelompok access. Pembagian
klasifikasi antibiotik berdasarkan WHO:

57
 Kelompok Access: merupakan antibiotik pilihan lini 1 atau 2 pada terapi
empiris potensi resistensi minimal amoxcilin, ampicilin, chloramphenicol,
clindamycin, doxcycline, metronidazolo, sulfamethoxazole/trimethoprim,
tetracyline dan Thiamphenicol)
 Kelompok Watch: Diindikasikan secara spesifik dan terbatas pada kondisi
infeksi tertentu, berisiko terjadinya resistensi dan dianjurkan monitor
(azithromycin, cefixime, ceftriaxone, ciprofloxacin, clarithromycin,
levofloxacin, minocyline, ofloxacin, dan rifampicin.
 Kelompok Reserve: Antibiotik pilihan terakhir, penggunaannya sangat
dibatasi sebagai terapi infeksi yang dicurigasi atau terkonfirmasi karena
multi-drug-resistant organisms, dan harus di monitor secara ketat
(azthreonam, cephalosporins fourth generation, polymyxin, dan
tigecycline)
C. Penggunaan Antimikroba Berdasarkan Indikasi
a. Antibiotik terapi
 Antibiotik Terapi Empiris
Penggunaan antibiotik pada kasus infeksi belum diketahui jenis
bakteri penyebabnya dengan tujuan eradikasi atau penghambatan
pertumbuhan bakteri penyebab infeksi, sebelum diperoleh hasil
pemeriksaan mikrobiologi dengan indikasi jika ditemukan sindrom
klinis yang mengarah pada keterlibatan bakteri tertentu yang paling
sering menjadi penyebab infeksi.
Dengan pemilihan jenis dan dosis antibiotik berdasar
pertimbangan data epidemiologi dan pola resistensi bakeri tersedia
di komunitas atau fasilitas pelayanan kesehatan setempat, kondisi
klinis pasien, ketersediaan antibiotik, kemampuan antibiotik untuk
menembus ke dalam jaringan/organ yang terinfeksi, untuk infeksi
berat yang diduga akibat polimikroba dapat digunakan antibiotik
kombinasi dengan rute pemberian antibiotik oral seharusnya
menjadi pilihan pertama terapi infeksi. Pada infeksi sedang sampai
berat dipertimbangkan menggunakan antibiotik parenteral dengan
lama pemberian antibiotik empiris jangka waktu 48-72 jam.
Selanjutnya dilakukan evaluasi berdasar data mikrobiologis dan
kondisi klinis pasien serta data penunjang lainnya.

58
 Antibiotik Terapi Definitif
Penggunaan antibiotik pada kasus infeksi yang sudah diketahui
jenis bakteri penyebab dan polaresistensinya dengan eradikasi atau
penghambatan pertumbuhan bakteri menjadi penyebab infeksi,
berdasarkan hasil pemeriksaan mikrobiologi dengan penggunaan
sesuai hasil mikrobiologi penyebab infeksi dengan dasar pemilihan
jenis dan dosis antibiotik yaitu efikiasi klinik dan keamanan
berdasar hasil uji klinik, sensitivitas, biaya, kondisi klinis pasien,
utamakan antibiotik lini pertama/spektrum sempit, ketersediaan
antibiotik (sesuai formularium nasional acuan FKTP menyususn
formulariumnya), sesuai dengan panduan praktik klinis, paling kecil
memunculkan risiko terjadi bakteri resisten, dan pedoman
penggunaan antibiotik berlaku.
Dengan rute pemberianantibiotik oral seharusnya pilihan
pertama terapi infeksi. Pada infeksi sedang sampai berat
dipertimbangkan menggunakan antibiotik parenteral. Jika kondisi
pasien memungkinkan, pemberian antibiotik parenteral segera
diganti antibiotik per oral dengan lama pemberian sesuai efikasi
klinis eradikasi bakteri sesuai diagnosis awal konfirmasi.
Selanjutnya harus dilakukan evaluasi berdasar data mikrobiologis
dan kondisi klinis pasien serta data penunjang lain.
 Antibiotik Profilaksis
Pada tindakan atau bedah atas indikasi bersih dan
terkontaminas termasuk pada prosedur gigi yaitu penggunaan
antibiotik sebelum, selama dan paling lama 24 jam pasca tindakan
kasus yang secara klinis tidak menunjukkan tanda infeksi dengan
tujuan mencegah IDO, dan pertimbangan adanya risiko alergi,
anafilaksis, resistensi obat dan efek samping obat.
Tahapan penerapan penggunaan antibiotik secara bijak d FKTP
yaitu meningkatkan pemahaman dan ketaatan tenaga kesehatan
dalam penggunaan antibiotik secara bijak, dan peranan pemangku
kepentingan di bidang penanganan penyakit infeksi dan penggunaan
antibiotik, mengembangkan dan meningkatkan fungsi laboratorium
dengan penanganan penyakit infeksi, meningkatkan pelayanan
farmasi klinik dalam memantau penggunaan antibiotik, dan

59
peningkatan penanganan kasus infeksi multidisiplin dan terpadu,
melaksanakan surveilans penggunaan antibiotik serta melaporkan
secara berkala, menetapkan kebijakan penggunaan antibiotik
panduan penggunaan antibioti profilaksis dan terapi, implementasi
penggunaan antibiotik secara nasional meliputi antibiotik profilaksis
dan terai, dan monitoring evaluasi dan pelpaoran penggunaan
antibiotik
D. Pendidkan dan Pelatihan
Kegiatan berkaitan PPI baik untuk tenaga medis atau perawat dan
tenaga kesehatan alin diadakan kementerian kesehatan pemerintah daerah
organisasi profesi atau organisasi lain sesuai ketentuan perundang-
undangan (merujuk pada ketentuan PPSDM KEMKES RI) dengan
ketentuan pendidikan dan pelatihan PPI bagi staf FKTP untuk
meningkatkan kompetensi bagi semua petugas di FKTP melalui pendidkan
dan pelatihan, in house, training, workshop, sosialisasi sesuai peran dan
fungsi serta tanggung jawab masing-masing petugas di fasilitas pelayanan
kesehatan dengan ketentuan ketua/penanggung jawab PPI mengikuti
pelatihan PPI, minimal pelatihan dasar PPI di FKTP diselenggrakan dinas
kesehatan, kementerian kesehatan, organisasi profesi, lembaga pelatihan
tersertifikasi PPSDM (bersertifikat).
Semua petugas pelayanan mampu memahami dan
melaksanakanprinsip PPI minimal melalui sosialisasi internal oleh ketua
tim PPI/ penanggung jawab PPI yang kompeten dan tersertifikasi, dan
semua petugas non pelayanan memahami dan melaksanakan upaya
pencegahan infeksi meliputi kebersihan tangan, etika batuk, penanganan
limbah, penggunaan APD (masker dan sarung tangan) yang sesuai, dan
semua karyawan baru mahasiswa harus mendapat orientasi progran PPI di
FKTP.
Sedangkan untuk sosialisasi kepada masyarakat atau sasaran yaitu
penularan penyakit infeksi pengguna layanan dan masyarakat wilayah
kerja FKTP masing-masing, kewaspadaan isolasi, praktek/simulasi
kebersihan tanganm etika batuk, penggunaan APD untuk masyarakat,
pembuangan limbah dan pengendalian lingkungan, dan pola hidup bersih
dan sehat dan gerakan masyarakat hidup sehat.

60
E. Surveilans
Suatu proses dinamis, sistematis, terus-menerus dalam pengumpulan,
identifikasi, analisis dan interpretasi dari data kesehatan yang penting pada
suatu populasi spesifik yang didiseminasikansecara berkala kepada pihak
yang memerlukan dalam perencanaan, penerapan dan evaluasi suatu
tindakan berhubungan dengan kesehatan dalam upaya penilaian risiko
HAIs, diharapkan ada rekomendasi sebagai bahan masukan dalam
intervensi perbaikan untuk menurunkan angka kejadian infeksi (insiden
rate) dengan sistem pencatatan dan pelaporan rutin dan berjenjeng baik
secara manual atau sistem informasi teknologi di masing-masing fasilitas
pelayanan kesehatan.
Dengan tujuan mendapat data dasar infeksi pelayanan, menurunkan
laju infeksi, identifikasi dini kejadian luar biasa infeksi FKTP, bahan
informasi meyakinkan tenaga kesehatan tentang adanya masalah yang
memerlukan penanggulangan, mengukur dan menilai keberhasilan suatu
program PPI, memenuhi standar mutu pelayanan medis dan keperawatan,
memenuhi standar penilaian akreditasi fasilitas pelayanan kesehatan
dengan sasaran fokus pada kejadian HAIs yang berhubungan erat dengan
proses pelayanan medis dan keperawatan di FKTP seperti infeksi saluran
kemih akibat penggunaan indwelling kateterselama 2x24 jam dengan
tanda demam >38◦C, disuria, nyeri supra publik, urine berubah warna dan
pada anak-anak hipotermia <37◦C serta test konfirmasi laboratorium
positif bakteri, dan infeksi pasca operasi dalam waktu kurun 30 hari
melibatkan kulit dab jaringan subkutan tempat insisi dengan gejala infeksi
kemerahan, panas bengkak, nyeri, fungsi laesa terganggu, cairan purulen,
danada kuman dari cairan atau tanda jaringan superfisial.
Selain itu infeksi pelayanan plebitis (inflamasi oleh iritasi maupun
mekanik dengan tanda klinis merah sekitar insisi, nyeri dan pembengkakan
daerah penusukan sepanjang pembuluh darah vena), Kejadian Ikutan Pasca
Imunisasi/KIPI yaitu infeksi setelah tindakan imunisasi siberikan secara
penyuntikkan, ditemukan tanda infeksi seperti nyeri, kemerahan dan
bengkak di daerah tubuh akibat injeksi, gatal, demam, sakit kepala dan
lemas (ringan), gejala berat (alergi berat, jumlah trombosit menurun,
kejang, hipotenia/sindrom bayi lemas dan tak berdaya) serta infeksi akibat
abses gigi (terbentuknya kantung/benjolan berisi nanah pada gigi akibat

61
infeksi bakteri di sekitar akar gigi/gusi ditandai demam, gusi bengkak, rasa
sakit saat mengunyah dan menggigit, sakit gigi menyebar ke telinga,
rahang dan leher, bau mulut, kemerahan dan pembengkakan pada wajah).
A. Penetapan Numerator dan Denominator
a) Numerator
Jumlah kejadian infeksi akibat penggunaan alat kesehatan dan
prosedur pelayanan kesehatan dalam kurun waktu tertentu (bulan,
tri wulan, semester, tahun). Contohnya jumlah pasien infeksi
daerah insisi pasca pertolongan persalinan, dan jumlah pasien abses
gigi setelah dilakukan tindakan pelayanan gigi (sebelumnya tidak
ada tanda infeksi) di pelayanan UKP dan UKM.
b) Denominator
Jumlah hari terpasang alat kesehatan atau jumlah pasien
mendapat tindakan medis dalam kurun waktu tertentu (bulan, tri
wulan, semester, tahun). Contohnya Jumlah hari pasien terpasang
infus dan jumlah pasien yang dilakukan pelayanan gigi tanpa tanda-
tanda infeksi di UKP dan UKM, jumlah sasaran imunisasi di UKP
dan UKM.
F. Tahapan Surveilans
a) Perencanaan buat panduan SOP, metode, formulir dan tetapkan waktu
pelaksanaan surveilans, tentukan populasi pasien dengan survei apakah
smeua pasien/sekelompok pasien berisiko tinggi, lakukan seleksi hasil
surveilans dengan pertimbangan kejadian paling sering/dampak biaya
atau diagnosis paling sering, dan gunakan definisi infeksi mengacu
atau ditetapkan Nosocomial Infection Surveilance System (NISS),
National Health Safety Network (NHSN), Center for Disease Control
(COC), Kementerian Kesehatan.
b) Pengumpulan Data
Pengamatan langsung di lapangan oleh anggota TMI unit maisng-
maisng atau orang yang ditunjuk sebagai pengumpul dara (media
observasi langsung merupakan gold standard) dengan memperhatikan
sumber data dari sistem pencatatan dan pelaporan unit kerja, terpadu,
pencatatan pelpaoran keskaitan dan kematian, catatan medical record
pasien atau catatan tenaga medis dan tenaga kesehatan lain pemberi
pelayanan dengan data yang diukumpulkan data demografik (nama,

62
tanggal lahir, alamat, jenis kelamin, pekerjaan, agama), data khusus
(nomor rekam medk, tanggal masuk dan tanggal keluar FKTP), data
infeksi (tanggal infeksi muncul, lokasi infeksi, ruang pelayanan atau
perawatan saat infeksi muncul pertama kali, faktor risiko alat
(prosedur, faktor lain berhubungan dengan tindakan medis, data
laboratorium, jenis mikroba) dan data numerator dan denominator.

Gambar 1.33 Contoh Form Surveilans Harian


c) Analisis
Dilihat dari data dicatat secara manual dalamformulir surveilans jika
memungkinkan dicatat dalam sistem informasi fasilitas pelayanan
kesehatan berbasis komputer (misalnya ke dalam sistem informasi
manajemen puskesmas atau SIMPUS dengan mengetahui besaran
masalah infeksi digunakan perhitungan insiden rate (angka kejadian
infeksi) dengan rumus:

63
Lalu tetapkan target kejadian infeksi yang diharapkan pemantauan
kejadian HAIs berdasar penetapan FKTP dan data pembanding
(benchmarking) dan lakukan penetapan insisden rate (kejadian infeksi)
d) Interpretasi data surveilans insiden rate (kejadian infeksi)
Dibuat dalam bentuk tabel, grafik, pie dll yang bisa memberikan
gambaran angka kejadian infeksi, penyajian data harus jelas,
sederhana, mudah dipahami yang mmeperlihatkan pola kejadian
infeksi dan perubahan yang terjad/trend, bandingkan hasil surveilans
target angka kejadian infeksi yang sudah ditetapkan.
Lalu bandingkan kecenderungan menurut jenis infeksi, ruang
perawatan, lakukan analisa kecenderungan dan jelaskan sebab
peningkatan atau penurunan angka infeksi. Laporan dan Rekomendasi
Hasil Surveilans dilaporkan ketua tim PPI/penanggung jawab PPI
kepada pimpinan FKTP secara periodik sesuai kebijakan FKTP (bulan,
tri wulan, semester, tahun) untuk tindak lanjut rekomendasi dengan
hasil laporan data surveilans diseminasi dan dikomunikasikan kepada
unit terkait untuk dilakukan tindak lanjut perbaikan

64
e) Indikator Kinerja PPI
 Infeksi Saluran Kemih (ISK)

65
Gambar 1.34. Infeksi Saluran Kemih

66
 Plebitis

Gambar 1.35. Plebilitis

67
 Infeksi Daerah Operasi (IDO)

68
Gambar 1.36. Infeksi Daerah Operasi (IDO)
 Abses Gigi

69
Gambar 1.37. Abses Gigi

70
 Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI)

f) Pelaporan Hasil Surveilan


Laporan kegiatan hasil surveilans PPI di FKTP dibuat secara
lengkap dan berkesinambungan untuk mengukur tingkat keberhasilan
pelaksanaan PPI, dibuat secara periodik, sesuai ketentuan peraturan
perundangan (bulan, tri wulan, semester, tahun atau sewaktu-waktu
jika diperlukan

71
BAB IV
PENERAPAN PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN
INFEKSI DI FKTP

A. Penerapan PPI Pada Pelayanan di FKTP


Dimaksudkan agar semua FKTP dalam memberikan pelayanan kesehatan
harus mengikuti konsep, prinsip, langkah dan prosedur PPI sebagaimana telah
dijelaskan pada Bab III dengan tujuan agar peugas, pengguna layanan dan
masyarakat serta lingkungan terlindungi dari penularan penyakit infeksi dengan
prinsip PPI mengacu pada bab III dengan mutu pelayanan di FKTP sangat
ditentukan oleh keputusan petugas terhadap kebijakan, pedoman, SOP yang
ditetapkan masing-masing FKTP yang tidakboleh bertentangan dengan
ketentuan perundang-undangan dan dikeluarkan oleh pemerintah daerah dan
kementerian kesehatan republik Indonesia ataupun peraturan lain yang terkait
dengan PPI.
Ruang lingkup PPI di kelompokkan berdasarkan jenis pelayanan, bentuk
kegiatan, faktor resiko terjadinya penularan infeksi baik UKP atau UKM.
Kegiatan tersebut dapat dilakukan di dalam atau luar fasilitas pelayanan
kesehatan dengan tantangan penerapan PPI di FKTP akan lebih mudah apabila
kegiatan dilakukan di dalam fasilitas kesehatan, karena semua sumber daya
yang digunakan berada dalam kendali petugas, serta sumber danpotensi
penularan penyakit lebih mudah diidentifikasi sehingga pencegahan
pengendalian penyakit infeksi diharapkan dikelola dengan lebih baik.
Hal sebaliknya, jika pelayanan di luar fasilitas kesehatan mempunyai
konsekuensi berbeda disebabkan sasaran pelayanan seperti pemberian
imunisasi, pemeriksaan bumil, dan tempat pelayanan seperti posyandu,
posbindu, sekolah, rumah penduduk dll. Selain itu juga seperti keterbatasan alat,
obat dan sumber daya lain yaitu alat kesehatan yang tersedia dapat dibawa
petugas sangat terbatas sehingga perlu perhatian khusus dalam pengelolaan dan
penggunaannya, dan keterbatasan petugas terlatih jika terjadi kasus gawat
darurat.
Edukasi PPI pada pengguna atau sasaran pelayanan diharapkan disampaikan
petugas saat berkunjung ke fasilitas kesehatan maupun saat mendatangi tempat
pelayanan yang dilaksanakan di luar fasilitas kesehatan termasuk penyampaian
tentang pola hidup bersih dan sehat (PHBS), Gerakan Masyarakat Sehat
(GERMAS) saat di rumah dan di masyarakat sehingga rantai penularan
penyakit infeksi dapat dicegah atau diputus secara dini di masyarakat.

72
a. Penerapan PPI pada pelayanan yang dilaksanakan di dalam fasilitas
kesehatan yang bersifat UKP dan UKM yaitu pelayanan pendaftaran dan
rekam medis yaitu pelayanan pendaftaran dan rekam medis, pemeriksaan
umum atau rawat jalan, pelayanan kesehatan gigi dan mulut, pelayanan
gawat darurat, pelayanan persalinan normal, obstetri, neonatal emenrgenci
dasar (PONED), pelayanan rawat inap, kesehatan keluarga, gizi,
pencegahan dan pengendalian penyakit, laboratorium, kefarmasian, dan
konseling (kesling, gizi, PKPR).
Dengan catatan: pelayanan UKM dalam fasilitas kesehatan penerapan PPI
sama dengan UKM di luar fasilitas pelayanan kesehatan.
b. Penerapan PPI Pada Pelayanan Yang Dilaksanakan Di Luar Fasilitas
Kesehatan Bersifat UKM diuraikan dengan kegiatan pendataan pada
program UKM, penjaringan (screening), kunjungan sasarab (rumah),
vaksinasi dan tindakan medis lainnya, distribusi dan pemberian
obat,distribusi dan pemberian PMT, dan pelatihan, penyuluhan dan
konseling serta kegiatan pemantauan pembinaan dan pemberdayaan
masyarakat.
B. Penerapan PPI Pada Pelayanan di Dalam Fasilitas Kesehatan Yang
Bersifat UKP dan UKM
a. PPI Pada Pelayanan Pendaftaran dan Rekam Medis
Dimaksudkan agar pengelolaan proses pendaftaran (penerimaan,
penapisan dan penulisan identitas, penyediaan kartu berobat, kartu
pemeriksaan atau rekam medis untuk keperluan berobat atau konsultasi
kesehatan sesuai prinsip dan prosedur PPI dengan ruang lingkup
pelayanan yaitu penerimaan, penapisan dan pencetatan identitas dalam
kartu berobat (dan nomor antrian), penyiapan rekam medis, penyerahan
rekam medis oleh petugas ke ruang pemeriksaan atau pelayanan, dan
pengembalian rekam medis dari ruang pelayanan, pemeriksaan
kelengkapan dokumen dan penyimpangan kembali dengan tujuan untuk
mencegah atau memutus rantai penyakit infeksi pada pelayanan
pendaftaran dan rekam medis akibat pelayanan tidak standar.
Dengan prinsip umum setiap FKTP membuat SOP pelayanan
pendaftaran dan penyediaan rekam medis dengan memperhatikan
penerapan PPI, penyusunan SOP dan penerapan PPI pada pelayanan
pendaftaran dan penyediaan rekam medis mengacu pada pedoman

73
pencegahan dan pengendalian infeksi sebagaimana telah dijelaskan di
bab III, serta perlu pemantauan atau monitoring secara periodik dan
berkesinambungan oleh tim PPI untuk menilai target kepatuhan petugas
pada SOP yang telah dibuat.
Serta penerapan PPI pada pelayanna pendaftaran dan penyediaan
rekam medis seperti yang dijabarkan dalam gambar berikut:
b. PPI Pada Pelayanan Pemeriksaan Umum
Dimaksudkan agar pengelolaan pelayanan pemeriksaan kesehatan
bersifat perseorangan mencakup pelyanan kuratif, tanpa meninggalkan
pelayanan promotif dan preventif sesuai prinsip dan prosedur PPI dengan
ruang lingkup pelayanan pemeriksaan awal pasien oleh petugas, dan
pemeriksaan oleh dokter atau petugas kesehatan dengan tujuan
mencegah atau memutus rantai penyakit infeksi dari pelayanan
pemeriksaan akibat pelayanan yang tidak sesuai standar.
Dengan prinsip umum setiap FKTP membuat SOP pelayanan
pemeriksaan umum memperhatikan standar penerapan PPI, penyusunan
SOP dan penerapan PPI pada pelayanan pemeriksaan umum, mengacu
pada pedoman pencegahan dan pengendalian infeksi sebagaimana
dijelaskan pada bab III, dan perlu pemantauan atau monitoring secara
periodik dan berkesinambungan oleh tim PPI untuk menilai tingkat
kepatuhan petugas pada SOP yang telah dibuat.
Penerapan PPI pada pelayanan pemeriksaan umum dijabarkan sesuai
gambar berikut:
c. PPI pada Pelayanan Kesehatan Gigi dan Mulut
Dimaksudkan agar pengelolaan pelayanan pada semua tindakan
atau manipulasi yang berkaitan dengan kesehatan gigi dan mulut
diberikan oleh FKTP sesuai prnsip dan prosedur PPI dengan ruang
lingkup pelayanan pemeriksaan, penambalan gigi, pencabutan,
perawatan gigi dan mulut, dan pembersihan karang (scalling) dengan
tujuan untuk mencegah atau memutus rantai penyakit infeksi di
pelayanan kesehatan gigi dan mulut akibat pelayanan yang tidak sesuai
standar dan prosedur.
Dengan prinsip umum setiap FKTP membuat SOP pelayanan
kesehatan gigi dan mulut dengan memperhatikan standar penerapan PPI
penyusunan SOP dan penerapan PPI pada pelayanan pemeriksaan
kesehatan gigi dan mulut mengacu pada pedoman pencegahan dan
74
pengendalian infeksi sebagaimana dijelaskan pada bab III, dan perlu
pemantauan atau monitoring secara periodik dan berkesinambungan oleh
tim PPI untuk menilai tingkat kepatuhan petugas pada SOP yang telah
dibuat.
Penerapan PPI pada pelayanan kesehatan gigi dan mulut dijabarkan
sesuai gambar berikut:
d. PPI Pada Pelayanan Gawat Darurat
Dimaksudkan agar pengelolaan penyelamatan nyawa pasien
mencakup pra-fasilitas, triase, resusitase, stabilisasi awal dan evaluasi
serta rujukan sesuai prinsip dan prosedur PPI dengan ruang lingkup
pelayanan yaitu pra fasilitas, triase, resusitase, stabilisasi dan rujukan
(jika ada indikasi) dengan tujuan mencegah atau memutus rantai
penyakit infeksi di pelayanan gawat darurat akibat pelayanan tidak sesuai
standar.
Dengan prinsip umum setiap FKTP membuat SOP pelayanan gawat
darurat dengan memperhatikan standar penerapan PPI penyusunan SOP
dan penerapan PPI pada pelayanan gawat darurat mengacu pada
pedoman pencegahan dan pengendalian infeksi sebagaimana dijelaskan
pada bab III, dan perlu pemantauan atau monitoring secara periodik dan
berkesinambungan oleh tim PPI untuk menilai tingkat kepatuhan petugas
pada SOP yang telah dibuat.
Penerapan PPI pada pelayanan gawat darurat dijabarkan sesuai
gambar berikut:
e. PPI Pada Pelayanan Kesehatan Keluarga
Dimaksudkan agar pengelolaan pelayanan kesehatan keluarga sesuai
siklus kehidupan di FKTP dengan prinsip dan prosedur PPI dengan
ruang lingkup pelayanan kesehatan ibu, bayi dan balita, usia sekolah dan
remaja, kesehatan usia reproduksi dan usia dengan tujuan mencegah atau
memutus rantai penyakit infeksi di pelayanan kesehatan keluarga akibat
pelayanan tidak sesuai standar.
Dengan prinsip umum setiap FKTP membuat SOP pelayanan
keluarga dengan memperhatikan standar penerapan PPI, penyusunan
SOP dan penerapan PPI pada pelayanan kesehatan keluarga mengacu
pada pedoman pencegahan dan pengendalian infeksi sebagaimana
dijelaskan pada bab III, dan perlu pemantauan atau monitoring secara
periodik dan
75
berkesinambungan oleh tim PPI untuk menilai tingkat kepatuhan petugas
pada SOP yang telah dibuat.
Penerapan PPI pada pelayanan kesehatan keluarga dijabarkan sesuai
gambar berikut:
f. PPI Pada Pelayanan Persalinan Normal Dan Pelayanan Obsteri Dan
Neonatal Emergensi Dasar (Poned)
Dimaksudkan agar pelayanan persalinan normal dan PONEDsesuai
prinsip dan prosedur PPI dengan ruang lingkup pelayanan persalinan
normal, obsteri neonatal emergensi dasar/PONED, dan pemulangan atau
rujukan dengan tujuan mencegah atau memutus rantai penyakit infeksi
pada pelayanan persalinan normal dan pelayanan obsteri dan neonatal
emergensi dasar akibat pelayanan tidak sesuai standar.
Dengan prinsip umum setiap FKTP membuat SOP pelayanan
persalinan normal dan pelayanan obstetri dan neonatal dengan
memperhatikan standar penerapan PPI, penyusunan SOP dan penerapan
PPI pada pelayanan persalinan normal dan pelayanan obstetri dan
neonatal mengacu pada pedoman pencegahan dan pengendalian infeksi
sebagaimana dijelaskan pada bab III, buku APN dan PONED dan perlu
pemantauan atau monitoring secara periodik dan berkesinambungan oleh
tim PPI untuk menilai tingkat kepatuhan petugas pada SOP yang telah
dibuat.
Dengan prosedur PPI pada pelayanan persalinan normal dan
PONED yaitu patuhi kebersihan tangan sesuai dengan 5 momen
kebersihan tangan, gunakan APD (topi,gaun, masker, sarung tangan dan
pelindung wajah saat menolong persalinan) atau sesuai indkasi,
perlakuan terhadap alat kesehatan yaitu semua peralatan anternatal
dipertahankan dalam kondisi bersih atau steril sesuai kegunaannya,
pergunakan peralatan antenatal sesuai jenis dan indikasi alat bersih,
steril, terkontaminasi atau kotor segera ganti dengan yang baru,
tempatkan peralatan yang digunakan pada permukaan bersih dan kering,
jika memungkinkan buat paket peralatan antenal dalam box tertutup,
siapkan peralatan menggunakan troli tindakan da berada di sebelah
kanan petugas, jika pemeriksaan antenatal selesai maka tempatkan
peralatan habis pakai di tempat sesuai (infeksius atau kotor ) segera kirim
ke unit pengelola alat medis habis pakai untuk dilakukan proses
dekontaminasi dengan kode
76
atau label kantong yang sesuai, semua peralatan dirapikan kembali dan
disimpan pada tempatnya. Selanjutnya, hindari kontaminasi lingkungan
sekitar dari darah atau cairan tubuh yang menempel pada alat.
Sedangkan perlakuan terhadap lingkungan dan limbah dengan cara
pastikan jarak tempat tidur pasien minimal 1 meter, gunakan tirai
pembatas atau gorden dari bahan tidak menyerap air dan lakukan
desinfeksi jika terkena percikan darah atau cairan tubuh, bersihkan
semua permukaan (dinding, tempat tidur, mja dan benda di sekitar
pasien) denga cairan disinfektan, hindari penyimpanan barang tempat
akumulasi debu, kosongkan meja atau troll kemudian bersihkan dengan
cairan disinfektan jika pelayanan antenatal selesai, plasenta atau ari-ari
atau tebuni bayi dimasukkan tempat khusus sebelum diberikan kepada
keluarga dan hindari ceceran darah pada lingkungan, dan tempatkan
limbah sesuai jenis dan kategori limbah yaitu smeua limbah
terkontaminasi darah dan cairan tubuh dimasukkan ke dalam tempat
limbah infeksius, limbah tajam ke safety box, limbah cairan tubuh
(darah, air ketuban) ke dalam spoel hoek, dan limbah non infeksius ke
dalam limbah non medis.
Edukasi PPI pada ibu melahirkan dengan cara bersalin hanya di
fasilitas kesehatan oleh petugas yang diberi kewenangan, periksakan diri
ke bidan atau dokter sesuai jadwal kunjungan pasca salin, patuhi anjuran,
saran atau nasehat petugas kesehatan, jaga kebersihan diri (mand, gosok
gigi), alat kelahiran (vulva), cara cebok yang benar menggunakan sabun
saat dilakukan pemeriksaan oleh petugas, prawatan bayi baru lahir
seperti cara memandikan bayi, merawat tali pusar, membedong bayi dan
memberi ASI merupakan perawatan bayi baru lahir sebaiknya dilakukan
oleh ibu secara mandiri dengan memperhatikan kebersihan peralatan,
gunakan masker dan jaga jarak dari orang yang batuk, ISPA dll, jaga
kebersihan tangan sesuai 5 momen, beri ASI secara dini (kolostrum),
teruskan pemberian sampai memenuhi pemberian ASI esklusif, anjurkan
KB pasca salin sesuai indikasi, dan laksanakan Germas.
Penerapan PPI pada pelayanan persalinan normal dan PONED
dijabarkan sesuai gambar berikut:
g. PPI Pada Pelayanan Rawat Inap
Dimaksudkan agar pengelolaan pasien rawat inapsesuai prinsip dan
prosedur PPI dengan ruang lingkup penerimaan pasien rawat inap,
77
tindakan dan perawatan selama rawat inap, dan rujukan/pemulangan
dengan tujuan mencegah atau memutus rantai penyakit infeksi pelayanan
rawat inap akibat pelayanan tidak sesuai standar dengan prinsip umum
Dengan prinsip umum setiap FKTP membuat SOP pelayanan rawat
inap dengan memperhatikan standar penerapan PPI penyusunan SOP dan
penerapan PPI pada pelayanan rawat inap mengacu pada pedoman
pencegahan dan pengendalian infeksi sebagaimana dijelaskan pada bab
III, dan perlu pemantauan atau monitoring secara periodik dan
berkesinambungan oleh tim PPI untuk menilai tingkat kepatuhan petugas
pada SOP yang telah dibuat.
Penerapan PPI pada pelayanan rawat inap dijabarkan sesuai gambar
berikut:
h. PPI Pada Pelayanan Gizi
Dimaksudkan agar sesuai dengan prinsip dan prosedur PPI dengan
tetap merujuk pada pedoman dan peraturan yang berlaku dengan ruang
lingkup pelayanan gizi rawat jalan di dalam fasilitas kesehatan meliputi
pengkajian gizi, penentuan diagnosis, intervensi gizi, monitoring dan
evaluasi asuhan gizi sedangkan intervensi gizi pada pelayanan gizi rawat
inap yaitu penyelenggaraan makan pasien, pemantauan asupan makanan,
konseling gizi dan pergantian diet serta monitoring dan evaluasi asupan
gizi.
Sedangkan program gizi di luar pelayanan kesehatan yaitu
pendiidkan gizi masyarakat, penanggulangan kurang energi protein,
anemia gizi, kekurangan vitamin A, pergangguan tumbuh kembang,
surveilans gizi, dan pemberdayaan gizi masyarakat keluarga dengan
tujuan mencegah atau memutus rantai penyakit infeksi program dan
pelayanan gizi tidak sesuai standar dengan prinsip umum setiap FKTP
membuat SOP pelayanan gizi dengan memperhatikan standar penerapan
PPI penyusunan SOP dan penerapan PPI pada pelayanan gizi mengacu
pada pedoman pencegahan dan pengendalian infeksi sebagaimana
dijelaskan pada bab III, dan perlu pemantauan atau monitoring secara
periodik dan berkesinambungan oleh tim PPI untuk menilai tingkat
kepatuhan petugas pada SOP yang telah dibuat.
Penerapan PPI pada pelayanan gizi dijabarkan sesuai gambar berikut:
i. Penerapan PPI Pada Pelayanan Pencegahan dan Pengendalian Penyakit

78
Dimaksudkan agar pelayanannnya sesuai prinsip dan prosedur PPI
dengan ruang lingkup pelayanan penapisan kasus risiko tinggi Penyakit
Tidak Menular (PTM), dan pemeriksaan dan penanganan penyakit
menular dengan tujuan mencegah atau memutus rantai penyakit infeksi
pada pelayanan pencegah pengendalian penyakit akibat pelayanan tidak
sesuai standar dengan prinsip umum setiap FKTP membuat SOP
pelayanan P2P dengan memperhatikan standar penerapan PPI,
penyusunan SOP dan penerapan PPI pada pelayanan P2P mengacu pada
pedoman pencegahan dan pengendalian infeksi sebagaimana dijelaskan
pada bab III, dan perlu pemantauan atau monitoring secara periodik dan
berkesinambungan oleh tim PPI untuk menilai tingkat kepatuhan petugas
pada SOP yang telah dibuat.
Penerapan PPI pada pelayanan P2P dijabarkan sesuai gambar berikut:
j. PPI Pada Pelayanan Kefarmasian
Dimaksudkan agar pengelolaan pelayanan kefarmasian sesuai
prinsip dan prosedur PPI dengan ruang lingkup pelayanan penerimaan
resep, penyiapan obat (racikan), pengemasan dan pemberian etiket obat
yang sesuai, penyerahan disertai pemberian informasi obat, pelayanan
informasi obat (PIO), konseling penggunaan obat, dan visite
(penggunaan obat FKTP dalam kegiatan) dengan tujuan mencegah atau
memutus rantai penyakit infeksi pada pelayanan kefarmasian akibat
pelayanan tidak sesuai standar.
Dengan prinsip umum setiap FKTP membuat SOP pelayanan
kefarmasian dengan memperhatikan standar penerapan PPI penyusunan
SOP dan penerapan PPI pada pelayanan kefarmasian mengacu pada
pedoman pencegahan dan pengendalian infeksi sebagaimana dijelaskan
pada bab III, dan perlu pemantauan atau monitoring secara periodik dan
berkesinambungan oleh tim PPI untuk menilai tingkat kepatuhan petugas
pada SOP yang telah dibuat.
Penerapan PPI pada pelayanan kefarmasian dijabarkan sesuai gambar
berikut:
k. PPI Pada Pelayanan Laboratorium
Dimaksudkan agar pengelolaan pelayanan laboratorium klinik
FKTP untuk pemeriksaan spesimen klinik untuk menunjang upaya
diagnosis penyakit, penyembuhan penyakit, dan pemulihan kesehatan
dilaksanakan
79
sesuai prinsip dan prosedur PPI dengan ruang lingkup pelayanan
penerimaan permintaan pemeriksaan laboratorium, persiapan dan
pengambilan spesimen atau sediaan laboratorium, pemeriksaan dan
pembacaan haisl serta penyerahan hasil pemeriksaan dengan tujuan
memutus rantai penyakit infeksi di pelayanan laboratorium akibat
pelayanan tidak sesuai standar.
Dengan prinsip umum setiap FKTP membuat SOP pelayanan
laboratorium dengan memperhatikan standar penerapan PPI penyusunan
SOP dan penerapan PPI pada pelayanan laboratorium mengacu pada
pedoman pencegahan dan pengendalian infeksi sebagaimana dijelaskan
pada bab III, dan perlu pemantauan atau monitoring secara periodik dan
berkesinambungan oleh tim PPI untuk menilai tingkat kepatuhan petugas
pada SOP yang telah dibuat.
Penerapan PPI pada pelayanan laboratorium dijabarkan sesuai gambar
berikut:
l. PPI Pada Pelayanan Konseling (Kesling, Gizi, PKPR)
Dimaksudkan agar pelaksanaan kegiatan konseling yang dilakukan
di dalam fasilitas pelayanan kesehatan oleh FKTP kepada sasaran agar
sesuai prinsip dan prosedur PPI dengan ruang lingkup kegiatan konseling
kesehatan lingkungan/penyakit berbasis lingkungan dan konseling gizi
pada ibu hamil KEK, Anemia, anak balita kurang gizi, bgm, stunting,
diet pada pasien penyakit kronis (hipertensi atau DM) dengan tujuan
mencegah atau memutus terjadnya rantai penularan penyakit infeksi
secara dini saat melakukan kegiatan konseling pada pelayanan di dalam
faislitas kesehatan.
Dengan prinsip umum setiap FKTP membuat SOP kegiatan
konseling dengan memperhatikan standar penerapan PPI penyusunan
SOP dan penerapan PPI dalam kegiatan konseling mengacu pada
pedoman pencegahan dan pengendalian infeksi sebagaimana dijelaskan
pada bab III, dan perlu pemantauan atau monitoring secara periodik dan
berkesinambungan oleh tim PPI untuk menilai tingkat kepatuhan petugas
pada SOP yang telah dibuat.
Penerapan PPI pada pelayanan konseling dijabarkan sesuai gambar
berikut:

80
C. Penerapan PPI Pada Pelayanan Di Luar Fasilitas Kesehatan Bersifat
UKM Dan UKP
Dikelompokkan berdasarkan kesamaan bentuk ataupun proses
pelaksanaannya di lapangan dijelaskan pada paragraf awal bab III didasarkan
pada kesamaan jenis kegiatan dengan kegiatan UKP maka penerapan PPI
merujuk pada PPI UKP dalam fasilitas pelayanan kesehatan.
a. PPI Pada Kegiatan Pendataan
Dimaksudkan agar kegiatan berkaitan proses mengumpulkan dan
mengelola data untuk kepentingan perencanaan, pengelolaan dan
monitoring pelayanan di FKTP dilaksanakan sesuai prinsip dan prosedur
PPI dengan ruang lingkup kegiatan pegumpulan data sosial demografi
(primer atau sekunder) yaitu kependudukan dengan sasaran ibu hamil,
bersalin, bayi balita, pras-sekolah, usia sekolah, remaja, usia produktif,
lanjut usia dll. Sedangkan data program seperti pendataan tatanan PHBS,
pendataan kesehatan lingkungan, tempat dan fasilitas umum (TPU),
Tempat pengelolaan pangan (TPP), pendataan desa sanitasi total berbasis
masyarakat (STBM) dll, pendataan dari kegiatan surveilans (gizi,
epidemiologi, mutu air bersih, air minum dll), kegiatan pendataan PIS PK
(pendataan profil kesehatan keluarga), pendataan KESJAOR/pengukuran
kebugaran jasmani anak sekolah dan jemaah haji, dan pendataan tata
laksana penyakit akibat kerja (PAK), dan pendataan pengukuran
kebugaran jasmani ASN, dll.
Tujuannya untuk mencegah atau memutus rantai penyakit infeksi
secara dini saat melakukan kegiatan pendataan dengan prinsip umum
setiap FKTP membuat SOP kegiatan pendataan dengan memperhatikan
standar penerapan PPI, penyusunan SOP dan penerapan PPI dalam
kegiatan pendataan mengacu pada pedoman pencegahan dan
pengendalian infeksi sebagaimana dijelaskan pada bab III, dan perlu
pemantauan atau monitoring secara periodik dan berkesinambungan oleh
tim PPI untuk menilai tingkat kepatuhan petugas pada SOP yang telah
dibuat.
Penerapan PPI pada kegiatan pendataan dijabarkan sesuai gambar
berikut:

81
b. PPI Pada Kegiatan Penjaringan Atau Penapisan (Screening)
Dimaksudkan agar kegiatan penenmuan kasus baik baik secara aktif
(active case finding) atau secara pasif oleh petugas kepada sasaran atau
masyarakat dlaksanakan sesuai prinsip dan prosedur PPI dengan ruang
lingkup pelayanan gizi yaitu deteksi dni atau penemuan kasus gizi di
masyarakat, pelayanan KIA yaitu penjaringan ibu hamil, bersalin,
menyusui dan bayi, balita serat anak pra sekolah, lansia (posyandu atau
bospindu PTM), pelayanna UKS/UKGS yaitu pemeriksaan dan pelayanan
kesehatan gigi dan mulut, kegiatan penjaringan pada pelayanan P2PL,
kegiatan penjaringan pada kesehatan jiwa, PIS PK (penjaringan masalah
kesehatan keluarga), dll dengan tujuan mencegah atau memutus rantai
penyakit secara dini saat melakukan kegiatan penjaringan.
Dengan prinsip umum setiap FKTP membuat SOP kegiatan
penjaringan dengan memperhatikan standar penerapan PPI penyusunan
SOP dan penerapan PPI dalam kegiatan penjaringan mengacu pada
pedoman pencegahan dan pengendalian infeksi sebagaimana dijelaskan
pada bab III, dan perlu pemantauan atau monitoring secara periodik dan
berkesinambungan oleh tim PPI untuk menilai tingkat kepatuhan petugas
pada SOP yang telah dibuat.
Penerapan PPI pada pelayanan penjaringan dijabarkan sesuai gambar
berikut:
c. PPI Pada Kegiatan Kunjungan Sasaran Rumah
Dimaksudkan agar semua kegiatan yang dlakukan dengan
mengunjungi sasaran atau rumahnya dalam rangka pelaksanaan program
atau pelayanan oleh FKTP dilaksanakan sesuai prinsip dan prosedur PPI
dengan ruang lingkup kunjungan keluarga dalam pelaksanaan PIS PK,
kunjungan rumah keluarga rawan (puskesmas, posbindu dll), kunjungan
rumah atau sasaran pelayanan P2P TB, P2P HIV AIDA, P2P PTM, P2P
Kusta dll, kunjungan rumah terkait kesling, mencegah dan
mengendalikan penyakit berbasis lingkungan TB, Diare, ISPA, DBD dll,
pembinaan sanitasi total berbasis masyarakat (STBM), kunjungan rumah
kegiatan KIA yaitu penjaringan bumil risti, dll, sweeping sasaran yaitu
penimbangan, imunisasi, bumil, dll serta kunjungan sasaran atau rumah
lainnya.

82
Dengan tujuan mencegah atau memutus rantai infeksi secara dini
saat melakukan kegiatan kunjungan kepada sasaran dengan prinsip
umum setiap FKTP membuat SOP kunjungan sasaran pelayanan dengan
memperhatikan standar penerapan PPI, penyusunan SOP dan penerapan
PPI dalam kegiatan kunjungan sasaran mengacu pada pedoman
pencegahan dan pengendalian infeksi sebagaimana dijelaskan pada bab
III, dan perlu pemantauan atau monitoring secara periodik dan
berkesinambungan oleh tim PPI untuk menilai tingkat kepatuhan petugas
pada SOP yang telah dibuat.
Penerapan PPI pada kegiatan kunjungan sasaran atau rumah
dijabarkan sesuai gambar berikut:
d. PPI Pada Kegiatan Vaksinasi dan Tindakan Media Lainnya
Dimaksudkan agar pemberian vaksinasi dan tindakan media lainnya
yang dilaksanakan di luar fasilitas kesehatan dilaksanakan sesuai prinsip
dan prosedur PPI dengan ruang lingkup kegiatan yaitu pelayanan
imunisasi dasar lengkap di posyandu atau puskesmas keliling, Pelayanan
Imunisasi Bulan Imunisasi Anak Sekolah (BIAS), pelayanan imunisasi
Tetanus Tosaid (TT) pada ibu hamil atau calon pengantin (Catin),
imunisasi lainnya yang ditetapkan pemerintah, dan tindakan medis
lainnya seperti pemeriksaan dan pencabutan gigi susu di sekolah
(UKGS), perawatan luka misalnya kegiatan puskesmas kelsing dll,
tindakan medis pada pelayanan kesehatan saat bencana di pengungsian,
bakti sosial, dll. Dengan tujuan mencegah atau memutus rantai penyakit
infeksi secara dini saat memberikan pelayanan vaksinasi dan tindakan
medis lainya di luar fasilitas pelayanan kesehatan.
Dengan prinsip umum setiap FKTP membuat SOP pemberian
imunisasi dan tindakan medis lainnya dengan memperhatikan standar
penerapan PPI, penyusunan SOP dan penerapan PPI dalam pemberian
imunisasi dan tindakan medis lainnya mengacu pada pedoman
pencegahan dan pengendalian infeksi sebagaimana dijelaskan pada bab
III, dan perlu pemantauan atau monitoring secara periodik dan
berkesinambungan oleh tim PPI untuk menilai tingkat kepatuhan petugas
pada SOP yang telah dibuat.
Penerapan PPI pada kegiatan imunisasi dan tindakan medis lainnya
dijabarkan sesuai gambar berikut:

83
e. PPI Pada Kegiatan Distribusi dan Pemberian Obat
Dengan maksud agar semua kegiatan distribusi atau pemberian obat
seperti distribusi vitamin A, tablet FE, obat cacing, atau program FKTP
lainnya sesuai prinsip dan prosedur PPI. Dengan ruang lingkup kegiatan
pelayanan gizi dan KIA seperti distribusi Vitamin A, FE, dll, pelayanan
P2P seperti Pemantauan Minum Obat (PMO) pada sasaran penderita TB,
HIV/AIDS, pemberian obat cacing (Filariasis, obat cacing di sekolah,
pesantren dll), kegiatan distribusi dan pemberian obat di FKTP lainnya,
dan pengantaran dan pemberian obat pada pelayanan berbasis teknologi
informasi. Dengan tujuan mencegah atau memutus rantai penyakit
infeksi secara dini saat melakukan kegiata distribusi obat di luar fasilitas
pelayanan kesehatan.
Dengan prinsip umum setiap FKTP membuat SOP distribusi atau
pemberian obat di luar fasilitas pelayanan kesehatan dengan
memperhatikan standar penerapan PPI, penyusunan SOP dan penerapan
PPI dalam kegiatan distribusi dan pemberian obat pada sasaran mengacu
pada pedoman pencegahan dan pengendalian infeksi sebagaimana
dijelaskan pada bab III, dan perlu pemantauan atau monitoring secara
periodik dan berkesinambungan oleh tim PPI untuk menilai tingkat
kepatuhan petugas pada SOP yang telah dibuat.
Penerapan PPI pada kegiatan distribusi dan pemberian obat
dijabarkan sesuai gambar berikut:
f. PPI Pada Kegiatan Distribusi atau Pemberian Makanan Tambahan (PPT)
Dimaksudkan agar kegiatan distribusi dan pemberian makanan
tambahan oleh FKTP dilaksanakan sesuai prinsip dan prosedur PPI
dengan ruang lingkup kegiatan pelayanan gizi yaitu PMT bayi/balita di
posyandu, sekolah/pesantren, dll, pelayanan KIA yaitu PMT untuk ibu
hamil, dan PMT pada pelayanan UKM seperti pada lansia di Posbindu
atau rumah, dan distribusi dan pemberian PMT lainnya dengan tujuan
mencegah atau memutus rantai penyakit infeksi secara dini saat
melakukan kegiatan distribusi dan pemberian PMT.
Dengan prinsip umum setiap FKTP membuat SOP distribusi atau
pemberian makanan tambahan oIeh FKTP, penyusunan SOP dan
penerapan PPI dalam kegiatan distribuis dan pemberian makanan
tambahan mengacu pada pedoman pencegahan dan pengendalian infeksi

84
sebagaimana dijelaskan pada bab III, dan perlu pemantauan atau
monitoring secara periodik dan berkesinambungan oleh tim PPI untuk
menilai tingkat kepatuhan petugas pada SOP yang telah dibuat.
Penerapan PPI pada kegiatan distribusi atau pemberian makanan
dijabarkan sesuai gambar berikut:
g. PPI Pada Kegiatan Pelatihan, Penyuluhan dan Konseling
Dimaksudkan agar kegiatan pelatihan, penyuluhan dan konseling di
luar fasilitas pelayanan kesehatan oleh FKTP dilaksanakan sesuai prinsip
dan prosedur PPI dengan ruang lingkup kegiatan penyuluhan yaitu
Napza dan kenakalan remaja dll, program gizi yaitu pelatihan kader
posyandu, penyuluhan gizi di posyandu, konseling asuhan pemberian
makanan tambahan pada KEK dll, program KIA yaitu kelas ibu hamil,
konseling (Catin/PUS, penggunaan KB termasuk paska salin, IVA Test
dll, program P2P yaitu pelathan kader jumatik, TB/MDR, HIV/AIDS.
Rabies, malaria dll, program kesling yaitu penyuluhan dan pelatihan
hygiene sanitasi penjamah pangan, pemicuan STBM masyarakat,
program lain yaitu pelatihan dokter kecil (UKS/UKGS), dan edukasi
serta konseling tentang herbal, penggunaan obat dll.
Dengan tujuan untuk mencegah atau memutus terjadinya rantai
penyakit infeksi secara dini saat melakukan kegiatan pelatihan,
penyuluhan dan konseling. Dengan prinsip umum setiap FKTP membuat
SOP kegiatan pelatihan, penyuluhan dan konseling yang dilaksanakan
FKTP, penyusunan SOP dan penerapan PPI dalam kegiatan pelatihan,
penyuluhan dan konseling mengacu pada pedoman pencegahan dan
pengendalian infeksi sebagaimana dijelaskan pada bab III, dan perlu
pemantauan atau monitoring secara periodik dan berkesinambungan oleh
tim PPI untuk menilai tingkat kepatuhan petugas pada SOP yang telah
dibuat.
Penerapan PPI pada kegiatan pelatihan, penyuluhan dan konseling
dijabarkan sesuai gambar berikut:
h. PPI Pada Kegiatan Pemantauan, Pembinaan dan Pemberdayaan
Masyarakat (UKBM)
Dimaksudkan agar kegiatan pemantauan, pembinaan dan
pemberdayaan oleh petugas FKTP kepada sasaran, keluarga, kelompok
atau masyarakat dilaksanakan sesuai prinsip dan prosedur PPI dengan

85
ruang lingkup kegiatan yaitu pelayanan gizi pemantauan tumbuh
kembang dll, pelayanan KIA pembinaan dan pemantauan bumil dll,
pelayanan UKS/UKGS yaitu pembinaan dokter kecil dll, pelayanan P2P
yaitu pemicuan bebas Buang Air Besar (BAB) sembarang tempat
(STBM) dll, pelayanan kesling seperti pemberdayaan masyarakat dalam
implementasi 5 pilar STBM, pemantauan pengelolaan limbah medis di
pelayanan kesehatan dll, program yang bersifat inovasi, pembinaan dan
pemberdayaan pos UKK, pembinaan kesehatan kerja perusahaan dan
perkantoran, dan pembinaan kebugaran jasmani dll.
Dengan tujuan mencegah atau memutus rantai penyakit infeksi
secara dini, saat melakukan kegiatan pemantauan, pembinaan dan
pemberdayaan masyarakat di luar fasilitas pelayanan kesehatan.
Dengan prinsip umum setiap FKTP membuat SOP kegiatan pemantauan,
pembinaan dan pemberdayaan masyarakat di luar faislitas pelayanan
kesehatan, penyusunan SOP dan penerapan PPI dalam kegiatan
pemantauan, pembinaan dan pemberdayaan di luar fasilitas pelayanan
kesehatan pada sasaran mengacu pada pedoman pencegahan dan
pengendalian infeksi sebagaimana dijelaskan pada bab III, dan perlu
pemantauan atau monitoring secara periodik dan berkesinambungan oleh
tim PPI untuk menilai tingkat kepatuhan petugas pada SOP yang telah
dibuat.
Penerapan PPI pada kegiatan pemantauan, pembinaan dan
pemberdayaan dijabarkan sesuai gambar berikut:

86
BAB V
PPI PADA PENYAKIT INFEKSI EMERGING DAN
PENANGGULANGAN KEJADIAN LUAR BIASA
(KLB)

1. Penerapan PPI Pada Penyakit Infeksi Emerging


Penyakit Infeksi Emerging (Emerging Infection Disease) adalah penyakit
yang muncul dan menyerang suatu populasi untuk pertama kalinya atau telah
ada sebelumnya namun meningkat dengan sangat cepat, baik dalam hal
jumlah kasus baru di dalam suatu populasi, atau penyebarannya ke daerah
geografis yang baru disebabkan oleh virus, bakteri atau parasit. Selain itu
penyakit yang pernah terjadi di suatu daerah masa lalu kemudian menurun
atau telah dikendalikan namun kemudian dilaporkan lagi ke dalam jumlah
yang meningkat dalam bentuk klinis baru bisa lebih parah atau fatal juga
termasuk.
Tujuan penerapan PPI pada penyakit Infeksi Emerging untuk membatasi,
menimalisir atau memutus rantai penularan penyakit agar terkendali dan tidak
meluas menjadi KLB atau pandemi.
a. Beberapa Istilah Dalam Penyakit Infeksi Emerging
 New emerging infection disease yaitu penyakit menular baru muncul
dalam suatu populasi atau telah dikenal selama beberapa waktu tetapi
cepat meningkat dalam kejadian atau rentang geografis (Etola virus,
HIV/AIDS, Covid-19) dengan ciri belum pernah terjadi pada manusia
sebelumnya, telah terjad sebelumnya tetapi hanya mempengaruhi
sejumlah kecil orang di tempat terpencil (AIDS, demam berdrah
Ebola) atau telah terjadi sepanjang sejarah manusia tetapi hanya baru
diakui penyakit berbeda karena agen infeksi
 Re-emerging disease adalah penyakit infeksi di suatu daerah yang
kasusnya sudah sangat menurun atau terkontrol, tetapi kemudian
meningkat lagi kejadiannya, kadang dalam bentukklinis lebih berat
atau fatal dengan perilaku manusia pemicunya seperti terlalu sering
menggunakan antibiotik sehingga menyebabkan organisme penyebab
penyakit kebal terhadap obat-obatan (malaria, TBC, kolera, pertusis,
influenza, penyakit radang paru-paru, gonore)
2 Penerapan Kasus Penyakit Infeksi Emerging
Sumber penularan yaitu sekitar 75% penyakit infeksi emerging menyerang
manusia (zoonosis) penyakit ditularkan hewan ke manusia, binatang dan

87
lingkungan serta proses alami seperti evolusi patogen, tetapi banyak hasil dari
perilaku manusia. Sekarang banyak penyebab kemunculan penyakit baru seperti
pertumbuhan populasi yang cepat dan kemiskinan, urbanisasi (migrasi dari desa
ke kota), perang, transportasi (perjalanan udara internasional), perubahan
ekologis dan ekosistem (penggunaan lahan, penghancuran habitat asli,
penyebab hewan dan manusia hidup dalam jarak dekat), perubahan iklim dan
ekosistem,dan perubahan dalam populasi inang reservoir atau vektor serangga
perantara dll.
Berbagai penyakit infeksi emerging telah mengakibatkan KLB atau
menurut WHO sebagai Public Health Emergency Of International Concern
(PHEIC)/Kedaruratan Kesehatan Masyarakat yang Meresahkan Dunia (kkmmd)
menjadi pandemi seperti Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS) TAHUN
2002-2003, Influenza A (H1N1) 2009, Polio 2014-sekarang, Virus Zika 2016,
Virus Ebola 2014 & 2019, Akhir 2019 kasua klaster pneunomia di kota Wuhan,
Provinsi Hubei, China (COVID-19)
3. Penerapan PPI Pada Penyakit Infeksi Emerging
a. Penerapan Kewaspadaan Standar
Dengan menerapkan dan mematuhi kebersihan tangan dengan 5 momen
dan 6 langkah kebersihan tangan, menggunakan alat pelindung diri (APD)
sesuai indikasi dengan mempertimbangkan risiko paparan pada tindakan atau
prosedur yang dilakukan, melakukan tindakan kebersihan pernapasan dengan
tepat dan benar, menjaga jarak > 1 meter (phsyical distancing), menjaga dan
memperhatikan kebersihan lingkungan, melakukan penanganan linen sesuai
standar yang ditetapkan.
Melakukan pengelolaan limbah sesuai kriteria infeksius, non infeksius
dan benda tajam merujuk pada Pedoman Pengelolaan Limbah Rumah Sakit
Rujukan, Rumah Sakit Darurat dan Puskemas yang menangani penyakit
infeksi emerging dkeluarkan oleh Direktorat Jenderal Kesehatan Masyarakat
yang sudah ada atau diterbitkan saat pandemi terjadi. Selain itu, melakukan
dan mengawasi prosedur desinfeksi peralata perawatan pasien berdasar
kriteria peralatan kritikal, semi kritikal dan non kritikal, dan melaksanakan
praktik penyuntikkan yang aman, program pemberian anti mikroba yang
bijak.
b. Penerapan Kewaspadaan Transmisi dan pengendalian administratif
Menetapkan prosedur, standar pencegahan penularan penyakit infeksi
berdasar transmisi kontak, droplet dan airborne sesuai pedoman
88
pencegahan dan pengendalian infeksi yang sudah ada atau dikleuarkan
saat pandemi terjadi. Dengan pengendalian administratif yaitu
penyediaan infrastruktur dan kegiataan PPI berkesinambungan, membuat
pedoman atau panduan dan prosedur-prosedur dan kebijakan semua
aspek kesehatan kerja dengan penekanan pencegahan penyakit infeksi
emerging, membuat pedoman atau panduan dan prosedur kebijakan
semua aspek kesehatan kerja dengan penekanan pencegahan Penyakit
Infeksi Emerging.
Selain itu, juga dengan Identifikasi diri pasien dengan kasus Penyakit
Infeksi Emerging baik ringan atau berat, diikuti dengan penerapan
tindakan pencegahan yang cepat, tepat serta pelaksanaan pengendalian
sumber infeksi dengan menempatkan area terpisah dari pasien lain, dan
segera lakukan kewaspadaan tambahan. Aspek klinis dan epidemiologi
pasien harus segera dievaluasi dan penyelidikan harus dilengkapi dengan
evaluasi laboratorium dan membuat kebijakan tentang kesehatan dan
perlindungan petugas kesehatan.
c. Melakukan Pendidikan dan Pelatihan
1. Berikan pendidikan pelatihan kepada seluruh petugas fasilitas
pelayanan kesehatan tentang Penyakit Infeksi Emerging terkait
kondisi yang terjadi dengan materi konsep kejadian Penyakit Infeksi
Emerging (sesuai kasus terjadi), konsep infeksi penyakit infeksi,
mikrobiologi dasar, program PPI mencakup kewaspadaan isolasi,
bundles, surveilans HAIs, da penggunaan anti mikroba yang bijak.
2. Berikan sosialisasi kepada masyarakat tentang penyakit infeksi
emerging yaitu rantai infeksi untuk awam, kewaspadaan isolasi
(standar dan transmisi), konsep penyakit infeksi emerging (sesuai
kondisi jika terjadi wabah).
4. Pencegahan Penularan Pada Individu
a. Membersihkan tangan secara teratur dengan cuci tangan pakai sabun dan
air mengalir selama 40-60 detik atau menggunakan cairan antiseptik
alkohol (handsanitizer) minimal 20-30 detik. Hindari menyentuh mata,
hidung dan mulut dengan tangan tidak bersih
b. Menggunakan alat pelindung diri masker yang menutupi hidung dan mulut
jika harus keluar rumah atau berinteraksi dengan orang lain yang tidak
diketahui status kesehatannya (mungkin dapat menularkan
mikroorganisme)
89
c. Menjaga jarak minimal 1 meter dengan orang lain untuk menghndari
droplet dari orang batuk atau bersin. Jika tidak memungkinkan jaga jarak
dapat dilakukan dengan berbagai rekayasa administrasi dan teknis lainnya
d. Membatasi diri terhadap interaksi/kontak dengan orang lain yang tidak
diketahui status kesehatannya
e. Saat tiba di rumah setelah bepergian, segera mandi dan berganti pakaian
sebelum kontak dengan anggota keluarga di rumah
f. Meningkatkan daya tahan tubuh dengan menerapkan pola hidup bersih dan
sehat (PHBS) seperti konsumsi gizi seimbang, mengelola penyakit
penyerta/komorbid agar tetap terkontrol, dan menerapkan etika batuk dan
bersin terutama jika sakit, jika berlanjut segera konsultasi dengan
dokter/tenaga kesehatan
5. Perlindungan Kesehatan Pada Masyarakat
a. Upaya Pencegahan (Prevent)
Dalam rangka memberikan pengertian dan pemahaman untuk
masyarakat luas dan stakeholder maka kegiatan promosi
kesehatan/promote dilakukan melalui sosialisasi, edukasi, dan penggunaan
berbagai media informasi serta keteladanan dari pimpinan, tokoh
masyarakat. Selain itu, kegiatan perlindungan/protect dilakukan melalui
penyediaan sarana cuci tangan pakai sabun yang mudah diakses dan
memenuhistandar atau penyediaan sarana cuci tangan pakai sabun yang
mudah diakses dan memenuhi standar atau penyediaan handsanitizer,
upaya penapisan kesehatan orang yang bepergian
b. Upaya Penemuan Kasus (detect)
Deteksi dini untuk mengantisipasi penyebaran kasus infeksi dilakukan
semua unsur dan kelompok masyarakat melalui koordinasi dinas kesehatan
setempat atau fasilitas pelayanan kesehatan dan melakukan pemantauan
kondisi kesehatan (gejala penyakit muncul) terhadap semua orang di lokasi
kegiatan tertentu seperti tempat kerja, tempat dan fasilitas umum atau
kegiatan lainnya.
c. Unsur Penanganan Secara Cepat dan Efektif
Melakukan penanganan untuk mencegah terjadinya penyebaran lebih
luas dengan berkoordinasi dengan dinas kesehatan setempat atau fasilitas
pelayanan kesehatan untuk melakukan pelacakan kontak erat, pemeriksaan
laboratorium serta penanganan lain sesuai kebutuham.

90
6. Budaya Adaptasi Kebiasaan Baru (AKB)
Merupakan perubahan perilaku untuk tetap menjalankan aktivitas normal
(penerapan AKB dimasa pandemik Covid-19 didefinisikan sebagai suatu
tatanan baru yang memungkinkan masyarakat hidup “berdampingan” dengan
Covid-19) yaitu masyarakat dapat melakukan kegiatan seperti biasa dengan
mengikuti protokol kesehatan yang ada dengan pola hidup bersih sehat,
menjaga jarak dan mengurangi kontak fisik dengan orang lain dll.
a. Prinsip AKB
Prinsip AKB yaitu jaga kebersihan tangan dengan sabun dan air mengalir
jika tangan kotor atau handsanitizer berbahan dasar alkohol jika tangan
tampak bersih sesuai standar dengan 6 langkah kebersihan tangan. Jangan
menyentuh wajah dalam kondisi tangan belum bersih sebisa mungkin hindari
menyentuh area wajah khususnya hidung, mata, mulut. Terapkan etika batuk
dan bersin dengan menutup mulut dan hidung menggunakan lengan atas
bagian dalam ketika batuk atau bersin, selain dengan lengan bisa juga
menutup mulut dan hidung menggunakan tisu setelahnya harus langsung
dibuang ke tempat sampah.
Kemudian pakai masker bagi yang memiliki gejala gangguan
pernapasan, kenakanlah masker medis kemanapun anda pergi keluar rumah
atau berinteraksi dengan orang lain dan jika tidak memiliki gejala apapun
cukup gunakan masker kain karena masker medis terbatas dan diprioritaskan
untuk mereka yang membutuhkan (tenaga kesehatan). Jaga jarak untuk
menghindari paparan virus dari orang ke orang laon dengan menjaga jarak
(phsyical distancing) dengan orang lain minimal 1 meter, dilarang
mendatangi kerumunan, menimalisir kontak fisik dengan orang lain dan tidak
mengadakan acara yang mengundang banyak orang.
Selain itu, lakukan isolasi mandiri di dalam rumah bagi yang tidak
sehat seperti mengalami demam, batuk, nyeri tenggorokan, sesak napas, dan
jaga kesehatan dengan memastikan kesehatan fisik tetap terjaga dengan
berjemur di bawah sinar matahari pagi selama beberapa menit, mengonsumsi
makanan bergizi seimbang, melakukan olahraga ringan dan istirahat yang
cukup.
b. Tindakan PPI di Unit Pelayanan Saat Terjadi Penyakit Infeksi Emerging
 Petugas kesehatan
Patuhi kebersihan tangan dengan air mengalir dan sabun atau
menggunakan handsanitizer sesuai standar. Gunakan APD sesuai
91
indikasi dan jenis paparan, patuhi cara penggunaan, pelepasan dan
disposal/pembuangan dengan benar. Lakukan etika batuk dan
kebersihan pernapasan dengan menggunakan masker, face shield dan
gunakan barier jika memungkinkan dan diperlukan. Memastikan
melakukan pengelolaan peralatan kesehatan sesuai kategori alat
kesehatan kritikal, smei kritikal dan non kritikal.
Selain itu pastikan menggunakan dan membersihkan linen sesuai
standar yang ditetapkan, pastikan lingkungan dengan sirkulasi udara
baik, tidak pengap dan panas dengan aliran udara 12x per menit, bersih
dan tertata dengan baik. Lakukan penyuntikkan yang aman dengan
mematuhi prinsip satu spuit, satu pasien dan satu waktu. Tempatkan
pasien dengan risiko penlaran kontak, droplet dan airbone sesuai
indikasi risiko penularan penyakit dalam ruangan tersendiri/gunakan
sistem kohori. Buang limbah sisa pelayanan sesuai kategori limbah
infeksius, non infeksius dan benda tajam ke dalam limbah yang sesuai.
Mendapatkan perlindungan petugas dari risiko penularan penyakit
infeksi dan penyakit akibat kerja, lakukan isolasi mandiri jika dirasa
ada keluhan demam, batuk, flu, pilek, dan lakukan prosedur tindakan
berdasar SOP/bundies HAIs.
 Pasien
Pastikan melakukan pendaftaran atau registrasi melalui telepon
atau secara online, datang sesuai jam perjanjian yang telah ditetapkan,
setelah tiba di faislitas pelayanan kesehatan segera lakukan kebersihan
tangan dengan air mengalir dan sabun atau menggunkan handsanitizer.
Setelah tiba di fasilitas pelayanan kesehatan segera lakukan kebersihan
tangan dengan air mengalir dan sabun atau handsanitizer, jaga jaraak
saat di antrian minimal 1 meter, duduk di ruang tunggu sesuai tempat
duduk yang disediakan.
Selain itu gunakan masker jika mengalami gejala saluran
pernapasan akut (batuk, pilek atau bersin), lakukan etika batuk dan
kebersihan pernapasan dengan benar, jaga jarak dengan pasien lain
minimal 1 meter terutama pasien gejala ISPA, dan segera
meninggalkan fasilitas pelayanan kesehatan jika pelayanan telah
selesai.
c. Pelayanan Kesehatan Pada Upaya Kesehatan Masyarakat (UKM)

92
a. Petugas
Patuhi kebersihan tangan dengan air mengalir dan sabun atau
menggunakan handsanitizer sesuai standar. Gunakan APD sesuai
indikasi dan jenis paparan, jaga jarak minimal 1 meter dan gunakan
masker jika berhadapan dengan pasien atau anggota masyarakat dengan
gejala saluran pernapasan akut (batuk, pilek atau bersin).
Pastikan lingkungan dan sirkulasi udara tempat lokasi
pertemuan/pemeriksaan dalam kondisi baik tidak panas, pengap dengan
sirkulasi udara minimal 12x perputaran per jam. Persiapkan dan bawa
peralatan kesehatan yang akan dipergunakan sesuai jenis krtikal, semi
kritikal dan non kritikal dalam kondisi aman, tidak terkontaminasi
(dalam box tertutup), melakukan penyuntikan yang aman
(imunisasi/pengobatan) dengan mematuhi prinsip satu spuit, satu pasien,
satu waktu dengan membawa bak spuit, kapas alkohol, safety box dan
bengkok dan vaksin dalam tempatnya, mengumpulkan limbah infeksius
pada kantong infeksius, benda tajam pada safety box untuk di proses
dalam insenerator atau ketentuan yang berlaku.
b. Klien/masyarakat
Menyediakan sarana kebersihan tangan air mengalir dan sabun atau
handsanitizer, bila merasakan gangguan infeksi saluran pernapasan
akut (ISPA) segera memberi tahu kepada petugas, menjaga jarak
tempat duduk antar individu dengan jarak minimal 1 meter dan tidak
berkerumun, menjaga lingkungan tempat tinggal kegiatan dalam
kondisi bersih, sirkulasi udara tidak panas, pengab dengan perputaran
udara baik, gunakan masker jika mengalami gejala saluran pernapasan
akut (batuk, pilek atau bersin), dan lakukan etiket batuk dan
kebersihan pernapasan dengan benar, menjaga kebersihan lingkungan,
dan membuang limbah sesuai kategori limbah.
2 Penanggulangan Kejadian Luar Biasa (KLB)
Pedoman penanggulangan KLB dan penyelenggaraan kewaspadaan dini,
secara rinci dapat dilihat pada Permenkes 949/MENKES/SK/VIII/2004
tentang Pedoman Penyelenggaraan Sistem Kewaspadaan Dini dan Kejadian
Luar Biasa, dan juga pedoman penyelidikan epidemiologi dan penanggulangan
KLB oleh Direktorat Surveilans dan Karantina Kesehatan, Kementerian
Kesehatan.
 Penyakit Infeksi Emerging dan Penanggulangan KLB
93
Ditandai dengan peningkatan jumlah kasus cukup bermakna dari
diharapkan/tingkat endemisitas kurun waktu tertentu, peningkatan jumlah
kematian dari yang biasa, munculnya kasus yang sebelumnya belum
pernah ada atau muncul kembali dengan sumber seperti gambar berikut:
Dengan kriteria kerja KLB yaitu timbulnya suatu penyakit/kesakitan
yang sebelumnya tidak ada/diketahui, peningkatan kejadian
penyakit/kematian 2x atau lebih dibanding sebelumnya, Case Fatality Rate
(CFR) suatu penyakit dalam kurun waktu tertentu menunjukkan 50% atau
lebih dibanding CFR dari periode sebelumnya, dan proporsional rate (PR)
penderita baru dari periode tertentu menunjukkan kenaikan 2x lipat atau
lebih dibanding periode sama dalam kurun waktu/tahun sebelumnya.
Dengan penetapan diagnosis KLB seperti gambar di bawah ini:
Selain itu, penanggulangan KLB memerlukan tim-multi disipilin atau
multi-sektor yang bekerjasama dalam penanggulangan KLB, salah satu
anggota tim kesehatan (perawat atau dokter/IPCN/D) yang dapat terlibat
langsung dalam penanggulangan KLB dengan manajemen investigasi yaitu
pengumpulan data kasus (data mikrobiologi, surveilans HAIs, dan hasil
diskusi dengan para klinisi) serta catat data berdasar tanda dan gejala,
apakah menunjukkan KLB, pengobatan, prosedur, konsultasi, lokasi,
petugas kontak langsung dan faktor penjamu.
Serta memperhatikan langkah investigasi KLB yang terdiri dari
persiapan lapangan, memastikan KLB, verifikasi diagnosis, tetapkan kasus
KLB, pengolahan data deskriptif, buat langkah penanggulangan, evaluasi
haisl, komunikasi hasil temuan, pencegahan dan penanggulangan,
observasi hasil tindakan, dan kasus dihentikan serta melakukan verifikasi
diagnosis KLB dengan review temuan klinis, lab (teknik dipakai), dan
hasil konsultasi tenaga ahli. Selain itu, juga memperhatikan penemuan
kasus mencakup informasi identitas (nama, alamat), demografi (umur,
jenis kelamin, pekerjaan), klinis, faktor risiko dan pelapor serta tindakan
awal pada pasien perawatan akut dan non akut yaitu cohorting patients dan
petugas, batasi mobilitas pasien, petugas screening, komunikasi, peralatan
pasien dan pembersihan, kepatuhan aturan dan sarana serta prasarana
selain itu perhatikan pengendalian KLB dengan cara jangan menunggu
akhir penyelidikan penilaian umum KLB, spesifik hasil temuan dan
jenis

94
tindakan untuk mengendalikan sumber, transmisi serta tindakan
pencegahan melalui kewaspadaan isolasi, isolasi dan imunisasi.
Persiapan dalam pencegahan KLB yaitu struktur bangunan terdiri dari
ruangan tersendiri, jarak antara pasien,kemudahan dalam pembersihan,
ventilasi yang adekuat, dan penempatan sarana kebersihan tangan dengan
penyediaan sarana kesehatan yaitu sarana kebersihan tangan, alat
kesehatan dan monitor, tekanan negatif ruangan dengan sarana dan
tindakan sterilisasi (SOP dan kepatuhan terhadap kebijakan) serta
pendidikan dan pelatihan. Serta dengan memperhatikan indikator
keberhasilan penanggulangan KLB seperti menurunnya frekuensi KLB,
jumlah kasus setiap KLB, jumlah kematian, memendeknya periode, dan
sempitnya penyebar luasan wilayah KLB dengan proses akhir membuat
laporan tertulis KLB, komunikasi dan menyampaikan, adanya kebijakan
dan evaluasi kinerja.

95
BAB VI
MANAJEMEN DAN SUMBER DAYA PPI DI FKTP

A. KEBIJAKAN DAN PENGORGANISASIAN PPI DI FKTP


1. Kebijakan
Berupa SK pembentukan Tim PPI atau koordinator PPI dilengkapi
uraian tugas, apabila peraturan internal FKTP yang ada saat ini belum
mencakup program PPI maka ditambah program PPI, rencana kegiatan PPI
(rencana lima tahun dan tahunan), kerangka acuan kegiatan (melengkapi
rencana kegiatan yang telah disusun), Standar Operasional Prosedur
(SOP), dan format pencatatan, pelaporan, mengembangkan instrumen
pemantauan (monitoring) terhadap pelaksanaan PPI. Dalam hal ini dinas
kesehatan provinsi, kabupaten/kota wajib membantu, memfasilitasi dan
memonitor serta melakukan evaluasi terlaksananya PPI FKTP berdasar
peraturan perundangan yang berlaku
2. Pengorganisasian
Struktur dan Tim PPI disesuaikan dengan kebutuhan, beban kerja dan
SDM yang dimiliki dengan koordinator PPI bertanggung jawab langsung
kepada pimpinan fasilitas kesehatan atau melalui penanggung jawab mutu.
Dengan struktur gambar seperti berikut:
Pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan memiliki tugas dan fungsi serta
kewenangan membentuk tim PPI atau koordinator PPI dengan surat
keputusan, bertanggung jawab dan memiliki komitmen tinggi terhadap
penyelenggaraan upaya pencegahan dan pengendalian infeksi, bertanggung
jawab terhadap tersedianya fasilitas sarana dan prasarana termasuk
anggaran yang dibutuhkan, mennetukankebijakan pencegahan dan
pengendalian infeksi, mengadakan evaluasi kebijakan pencegahan dan
pengendalian infeksi berdasar saran dari tim PPI atau koordinator PPI,
mengadakan evaluasi kebijakan pemerintah antibiotika yang rasional dan
disinfektan di rumah sakit berdasar saran dari tim PPI atau koordinator
PPI. Selain itu, dapat menutup suatu unit pelayanan atau fasilitas kesehatan
yang dianggap potensial menularkan penyakit beberapa waktu sesuai
kebutuhan berdasar saran dari tim PPI dengan mengsahkan Standar
Prosedur Operasional (SOP) PPI, dan memfasilitasi pemeriksaan kesehatan
petugas fasilitas pelayana kesehatan, terutama bagi petugas beresiko
tertular
infeksi sesuai peraturan dan perundang-undangan yang berlaku.
96
3. Tim PPI Atau Koordinator PPI Memiliki Tugas Dan Fungsi Serta
Kewenangan
Menyusun serta mengevaluasi kebijakan PPI, perencanaan program
PPI (lima tahun dan tahunan), membuat pedoman dan SOP terkait PPI,
melaksanakan sosialisasi kebijakan, program, pedoman dan SOP,
melakukan investigasi masalah atau kejadian luar biasa HAIs dan infeksi
bersumber masyarakat, memberi usulan mengembangkan dan
meningkatkan cara pencegahan dan pengendalian infeksi, memberikan
konsultasi pada petugas kesehatan FKTP dalam PPI, mengusulkan
pengadaan alat dan bahan sesuai prinsip PPI dan aman bagi yang
menggunakan, mengidetifiksi temuan di lapangan dan mengusulkan
pelatihan meningkatkan kemampuan SDM FKTP PPI.
Selain itu melakukan pertemuan berkala termask evaluasi kebijakan,
berkoordinasi dengan unit terkait lain dalam hal pencegahan dan
pengendalian infeksi yaitu dokter/dokter gigi, apoteker (petugas obat)
dalam penggunaan antimikroba yang bijak di FKTP, tim mutu dan
keselamatan pasien dalam menyusun kebijakan keselamatan pasien, serta
tim keselamatan dan kesehatan kerja (K3) menyusun kebijakan dengan
mengembangkan, mngimplementasikan dan secara periodik menkaji
kembali rencana program dan kegiatan PPI apakah telah sesuai kebijakan
manajemen di FKTP.
Tugas, fungsi serta kewenangan lainnya yaitu memberikan masukan
menyangkut kontruksi bangunan dan pengadaan alat dan bahan kesehatan,
renovasi ruangan, cara pemrosesan alat, penyimpanan alat dan linen sesuai
prinsip PPI, menentukan sikap penutupan ruangan rawat bila diperlukan
karena potensial meyebarkan infeksi. Melakukan pengawasan tindakan-
tindakan menyimpang dari stnadar prosedur/monitoring surveilans proses,
melakukan investigasi, menetapkan dan melaksanakan penanggulangan
infeksi bila ada KLB di FKTP, dan melakukan evaluasi dan tindak lanjut
terhadap pelaksaan PPI.
4. Tanggung Jawab Tim PPI atau Koordinator PPI
Terselenggaranya dan evaluasi program PPI, penyusunan rencana
strategis program, penyusunan pedoman, tersedianya SOP, penyusunan
dan penetapan serta mengevaluasi kebijakan, memberikan kajian KLB
infeksi di FKTP, terselenggaranya pelatihan dan pendidikan PPI serta
pengkajian
97
pencegahan dan pengendalian risiko infeksi, dan pengadaan alat, bahan
terkait PPI serta pertemuan berkala dan melaporkan kegiatan tim PPI
kepada Kepala FKTP
5. Tanggung Jawab dan Tugas Anggota Tim PPI
Bersama ketua tim melaksanakan progra PPI, berkoordinasi dengan
unit dan petugas lain dalam penetapan PPI, turut memonitor cara kerja
tenaga kesehatan dalam penetapan PPI, membantu semua petugas
memahami PPI, memberi masukan terhadap pedoman atau kebijakan PPI,
dan melaksanakan tugas lain yang diberikan ketua tim PPI
6. Persyaratan bagi Koordinator atau Ketua Tim PPI
Pendidkan dokter, dokter gigi, perawat atau bidan minimal pendidkan
Diploma III, memiliki pengalaman kerja minimal 2 tahun di FKTP, wajib
mengikuti minimal pelatihan PPI dasar (sertifikat oleh lembaga pelatihan
sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan), mengembangkan diri
dengan mengikuti workshop, seminar, lokakarya dan sejenisnya, dan
mengikuti bimbingan teknis secara berkesinambungan.
7. Persyaratan Anggota Tim PPI
Pendidkan minimal D III bidang kesehatan, diutamakan pernah
mengikuti pelatihan dasar PPI, workshop, in house training, dan bersedia
mengembangkan diri dengan mengikuti seminar, lokakarya dan sejenisnya.
B. Perencanaan PPI
Tahapan yang dilakukan penanggung jawab PPI dalam membuat rencana
kerja, sebagai berikut:
1. Persiapan Penyusunan Rencana Kegiatan PPI
Untuk puskesmas dengan mempelajari rencana lima tahunan dinas
kesehatan kab/kota, SPM kab/kota, target yang disepakati dengan dinas
kesehatan/kota serta pedoman dan regulasi lain yang berlaku. Untk klinik
mempelajari kebijakan dan target pemilik klinik.
2. Analisis Situasi PPI
Melakukan analisa situasi untuk mengidentifikasi dan memperoleh
informasi mengenai masalah kesehatan di FKTP sehingga dapat
dirumuskan kebutuhan pelayanan sesuai kondisi wilayah kerja dan
mengetahui kebutuhan PPI seperti kebutuhan akan instalasi air bersih
bagi pelayanan, instalasi listrik, sistem pencahayaan, ketersediaan bahan

98
habis pakai untuk hand hygiene, desinfeksi, APD atau kegiatan PPI
lainnya.
3. Perumusan Masalah PPI
Melalui identifikasi masalah berdasar prinsip 5W+1H (What, Who,
Where, Why, When and Who), kemudian ditentukan prioritas masalah,
dan mencari akar penyebab masalah dan pemecahan masalah
4. Penyusunan Rencana 5 Tahunan dan Tahunan PPI
Rencana 5 tahunan PPI diintegraikan dengan rencana 5 tahunan
FKTP, begitupun dengan rencana tahunan PPI. Untuk puskesmas
penyusunan dilakukan bersama dengan lintas program dengan
pendampingan kepala puskesmas dan tim manajemen puskesmas dengan
proses penyusunan rencana disesuaikan dengan perencanaan tingkat
pemerintahan. Contoh: musrembang dari desa-kecamatan. Selain itu,
rencana yang dibuat hendaknya dapat dituangkan dalam bentuk kegiatan
disertai volume kegiatan, kapan dilaksanakan, siapa penanggung
jawabnya dan sumber pembiayaan mengikuti pola penulisan perencanaan
FKTP masing-masing dengan mempertimbangkan berbagai hal, seperti:
 Perencanaan SDM
Hitung kebutuhan tenaga (Tim PPI) berdasar beban kerja untuk
melaksanakanprogram kerja yang telah dibuat, jika ketersediaan tenaga
terbatas maka FKTP dapat mendayagunakan petugas yang ada, maka
duplikasi tugas tidak dapat dihindari, lalu tuangkan dalam rencana
kegiatan untuk peningkatan pengetahuan dan keterampilan (kompetensi)
petugas tentang PPI. Dalam hal ini FKTP merencanakan pengiriman
petugas untuk mengikuti pelatihan dasar PPI, IPCN, IPCD sesuai
kebutuhan, skala prioritas dan kemampuan FKTP.
 Kebutuhan Sarana, Prasarana dan Alkes
Identifikasi kebutuhan masing-masing unit terkait sarana,
prasarana dan alat kesehatan untuk penerapan kewaspadaan standar,
transmisi, bundles dan PPI di unit pelayanan FKTP. Buat skal prioritas
jika kemampuan pembiayaan FKTP terbatas, dan tuangkan dalam format
perencanaan, pengusulan pengadaan atau pemeliharaan yang berlaku di
setiap FKTP

99
 Alokasi dan Sumber Pembiayaan
Semua kebutuhan sumber daya (SDM, Sarpras, Alkes) berkaitan
penerapan PPI FKTP dituangkan dalam matrika perencanaan mencakup
nama kegiatan, volume, jadwal pelaksanaan, penanggung jawab, besar
anggaran dibutuhkan serta sumber pembiayaan yang dapat bersumber
dari mana saja dengan tetap mengikuti ketentuan peraturan dan
perundnagan, kebijakan di masing-masing FKTP. Dukungan anggaran
dapat bersumber dari APBD, APBN (DAK fisik dan non-fisik), JKN
atau sumber lain yang dapat dipertanggungjawabkan, dan jika sumber
pembiayaan tidak tersedia atau terbatas maka FKTP membuat skala
prioritas.
5. Pengusulan Kegiatan PPI Ke Perencanaan Tingkat FKTP
Perencanaan dan usulan kegiatan 5 tahunan dan tahunan PPI
selanjutnya diintegrasikan dengan rencana 5 tahunan dan tahunan tingkat
FKTP. Untuk puskesmas perencanaan dan usulan disampaikan ke dinas
kabupaten/kota untuk diintegrasikan dengan sistem perencanaan daerah.
Dari perencanaan tersebut diharapkan dapat ditindaklanjuti oleh
pemerintah daerah atau pemilik FKTP, baik terkait kebutuhan sumber
daya, usulan kegiatan dan pengalokasian anggaran sarana prasarana, alat
kesehatan terkait program PPI serta melakukan monitoring, pengawasan
dan pengendalian program sesuai indikator yang ditentukan.
C. Pelaksanaan PPI
Dalam pelaksanaan kegiatan PPI di FKTP ketersediaan meliputi:
1. Sumber Daya Manusia
Permenkes No. 27 tahun 2017 pasal 6 ayat (2) pembentukan komite
atau Tim PPI disesuaikan dengan jenis kebutuhan, beban kerja dan
klasifikasi faislitas pelayanan kesehatan dengan tujuan tim PPI dan
koordinator untuk memastikan agar PPI dikelola dengan baik dan
konsisten sesuai visi, misi, tujuan dan tata nilai faislitas pelayanan
kesehatan agar mutu pelayanan medis dan non medis serta keselamatan
pasien dan pekerja FKTP terjamin dan terlindungi
2. Sarana, Prasarana dan Alat
Disesuaikan dengan kebijakan FKTP dan pelayanan yang tersedia
mengacu ketentuan peraturan perundang-undangan

100
3. Pembiayaan
Digunakan untuk mendukung rencana yang telah dibuat atau setidaknya
memenuhi standar minimal serta secara efektif dan efisien. Anggaran bisa
berasal dari sumber yang dapat dipertanggungjawabkan dan dalam
pengelolaannya harus dipantau dan dievaluasi oleh kepala/pimpinan FKTP
4. Sistem Informasi
Pelaksanaan PPI harus dimonitoring, dievaluasi, dlaporkan secara
berkala dikarenakan informasi yang didapat dapat digunakan sebagai dasar
tindakan korektif dan preventif dalam kegiatan perencanaan dan
pengambilan keputusan baik oleh pimpinan dan tim PPI atau penanggung
jawab PPI dengan dukungan sistem informasi sederhana atau aplikasi
khusus integrasi.
D. Monitoring, Evaluasi Dan Pelaksanaan PPI
Monitoring dan evaluasi merupakan suatu kegiatan yang dilakukan untuk
memastikan pelaksanaan kegiatan program PPI sesuai pedoman dan
perencanaan, serta evaluasi sejauh mana pencapaian target indikator
keberhasilan program kegiatan PPI, termasuk memberikan data dan informasi
untuk menyusun perbaikan kebijakan dan program PPI. Monitoring, evaluasi
dan pelaporan pelaksanaan PPI FKTP dilakukan Tim PPI atau koordinator
PPI secara periodik (bulanan, triwulan, semester dll). Diuraikan sebagai
berikut:
1. Monitoring Program PPI
Dimaksudkan untuk memastikan agar pelaksanaan program sesuai
perencanaan kegiatan program PPI, dilakukan rutin dan berkelanjutan
dalam rangka perbaikan kinerja program PPI
 Tujuan
Untuk mengetahui apakah rencana atau pelaksanaan kegiatan yang
telah dibuat dapat terlaksana dengan baik. Jika tidak terlaksana dengan
baik, maka harus segera dicari penyebab masalahnya dengan demikian
tindak lanjut pemecahan masalah dapat dilakukan secara dini agar
kinerja PPI dapat tercapai sesuai target yang sudah ditetapkan
 Proses monitoring
Diawali pengumpulan data, pengukuran capaian program PPI yang
dilakukan secara rutin dan berkesinambungan, FKTP perlu
mengembangkan alat bantu montoring berupa ceklist atau daftar titik
monitoring pelaksanaan program PPI sesuai rencana yang telah dibuat.
101
 Indikator Monitoring Program PPI
Digunakan sebagai tolak ukur untuk menilai pelaksanaan PPI
sesuai dengan rencana yang telah dibuat baik rencana tahunan atau lima
tahunan FKTP dengan menyusun indikator keberhasilan program PPI
dengan memenuhi prinsip SMART (spesifik, terukur, dapat dicapai,
sesuai dan memiliki batas waktu)
2. Audit
Kegiatan mengumpulkan data dan informasi faktual dan signifikan
melalui interaksi sistematis, objektifdan terdokumentasi dengan orientasi
pada azas pengendalian nilai atau manfaat cara membandingkan antara
standar terpilih dengan pelaksanaan di lapangan melakukan pengecekan
terhadap praktik aktual terhadap standar yang ada dengan tujuan menilai
kepatuhan terhadap standar, dan menilai adanya kesenjangan antar target
yang ditetapkan dengan capaian yang diperoleh di FKTP dengan sasaran
audit program PPI, kepatuhan petugas terhadap standar PPI, dan audit
kewaspadaan standar.
Dengan memperhatikan langkah-langkah audit pada PPI yaitu
membuat rencana (kegiatan audit, tim dll) sesuai prioritas masalah,
menyiapkan tools audit berdasarkan pedoman audit sesuai
standar/pertauran , review alur, protokol dan kebijakan, persediaan dan
peralatan, lakukan pengumpulan data, observaso, wawancara, dll pada
kegiatan, sarana, prasarana yang akan di audit, lakukan penilaian hasil
audit dan analisis dengan menentukan skorsing:
3. Penilaian dan Pengendalian Risiko Infeksi (ICRA)
a. Pengertian
Suatu sistem pengontrolan pengendalian infeksi terukur dengan
melihat kontinuitas dan probabilitas aplikasi pengendalian infeksi di
lapangan, berbasis hasil yang dapat dipertanggungjawabkan. Infection
Control Risk Assessment (ICRA) adalah proses multidisiplin berfokus
pada pengurangan infeksi, pendokumentasian bahwa dengan
mempertimbangkan populasi pasien fasilitas dan program fokus pada
pengurangan risiko dan infeksi, tahapan perencanaan fasilitas, desain,
kontruksi, renovasi pemeliharaan faislitas, dan pengetahuan tentang
infeksi, agen infeksi, dan lingkungan perawatan yang memungkinkan
organisasi untuk mengantisipasi dampak potensial.

102
Dengan tujuan mencegah dan mengontrol frekuensi dan dampak
risiko infeksi dari paparan kuman patogen melalui petugas, pasien dan
pengunjung atau penularan melalui tindakan/prosedur medis yang
dilakukan baik melalui peralatan, teknik pemasangan, atau perawatan
terhadap HAIS, dan melakukan penilaian terhadap masalah yang ada
agar dapat ditindak lanjuti berdasar hasil penilaiasn skala prioritas.
b. Pembagian ICRA
Penilaian risiko infeksi di fasilitas pelayanan kesehatan menurut
permenkes 27/2017 yaitu ICRA External meliputi penilaian risiko
infeksi pada KLB di komunitas (Pandemi Covid-19, Kontaminasi
makanan oleh salmonella, bencana alam, kecelakaan massal dll), ICRA
Internal yaitu resiko terkait pasien, petugas, pelaksanaan prosedur,
peralatan, dan lingkungan. Pembagian lain berdasar ICRA Program
dan konstruksi.
c. Langkah pengkajian ICRA
Yaitu identifikasi risiko dengan melihat seberapa beratnya
potensial, seberapa sering munculnya kejadian identifikasi aktifitas
yang dilakukan terhadap risiko infeksi berdasar cara transmisinya dan
analisa risiko yaitu mengapa terjadi, seberapa sering terjadi, siapa yang
berkontribusi, dimana kejadiannya dan apa dampak serta biaya
mencegahnya. Selain itu, juga kontrol risiko dengan melakukan
strategi penguranga atau mengeliminasi kemungkinan risiko yang
menjadi masalah, dan monitoring risiko dengan memastikan rencana
pengurangan risiko dilaksankan dan dapat menjad umpan balik
perbaikan.
d. Tahap Pelaksanaan Kegiatan
Tahap pertama yaitu menggambarkan faktor dan karakteristik
yang meningkatkan risiko infeksi, karakteristik yang menurunkan
risiko infeksi, menentukan adanya risiko infeksi, dan melaksanakan
pertemuan penentu langkah dan tindakan lebih lanjut.
Tahap kedua yaitu proses perencanaan penilaian risiko, standar,
laporan program PPI dan pengetahuan saat ini terkait isu pengendalian
indfeksi sedang tahap ketiga adalah melaksanakan pertemuan untuk
mengukuhkan komitmen dan partisipasi saat pelaksanaan diskusi,
prioritas risiko, dan merencanakan kontrol infeksi serta meningkatkan

103
mutu pelayanan mellaui proses pelatihan dan pendidkan termasuk
learning by doing.
e. Penilaian Risiko Infeksi di FKTP
Untuk memudahkan pengkajian risiko infeksi di FKTP
pembahasan difokuskan pada penilaian risiko infeksi berkaitan dengan
program pengendalian infksi seperti kepatuhan cuci tangan,
pencegahan penyebaran infeksi, manajemen kewasapadaan kontak,
dan penggunaan antimokroba yang baik (ICRA Program) serta
penilaian risiko infeksi terkait fasilitas kesehatan, perencanaan, design
kontruksi, renovasi dan pemeliharaan fasilitas (ICRA Kontruksi)
dijelaskan sebagai berikut:
1. Penilaian Resiko Infeksi Pada Pelaksanaan Program PPI (ICRA
Program)
Merupakan pengkajian risiko infeksi terkait pelaksanaan
program pencegahan dan pengendalian infeksi atau pelayanan
yang diberikan FKTP, pengkajian risko sebaiknya dilakukan setiap
awal tahun sebelum memulai program dan setiap saat ketika
dibutuhkan. Dengan langkah penilaian risiko infeksi program yaitu
a.Penilaian probabilitas yaitu penilaian awal dilakukan untuk
menilai seberapa sering kejadian muncul, semakin sering terjadi
semakin banyak risiko infeksi.
b.Penilaian Tingkat Risiko Terhadap Sistem yang ada yaitu
penilaian terhadap adanya peraturan, pelaksanaan dan
ketersediaan fasilitas
2. Penilaian Risiko Infeksi Pada Fasilitas dan Bangunan (ICRA
Kontruksi)
Merupakan risiko infeksi terkait fasilitas pelayanan kesehatan
khususnya bangunan baik untuk kontruksi baru ataupun renovasi
dll dengan tujuan mengurangi dampak infeksi spesifik atau
masalah yang muncul selama kontroksi, dan renovasi yang
dilakukan dengan tim atau penanggung jawab PPI harus terlibat
atau dilibatkan dalam pertemuan perencanaan gedung baru atau
renovasi yang berkaitan dengan hal bagaimana produk, peralatan,
ruangan atau bangunan yang akan dibuat?, solusi apa yang
mungkin tersedia?, apa prinsip pengendalian infeksi atau
peraturan eksternal yang berlaku?, apa yang disarankan bukti
104
terkait dengan

105
konteks spesifik?, apa hukum yang mengatur proyek?, apa standar
dan pedoman dan badan arsitektur dan teknik, departemen
pemerintah dan lembaga akreditasi?, dan produk atau desain mana
yang paling sesuai dengan persyaratan pengendalian infeksi,
keselamatan, kepuasan karyawan dan pasien, serta kendala biaya?
Selain itu, langkah lainnya yaitu langkah penilaian risiko
infeksi Kontruksi (ICRA) dilakukan dengan:
a. Tentukan type kontruksi baru atau renovasi bangunan
berdasarkan tingkat risiko, yaitu:
1. Type A: kegiatan renovasi/kontruksi dengan risiko rendah
(pemindahan pasien)
2. Type B: kegiatan renovasi skala kecil, durasi pendek risiko
debu minimal mislanya pemotongan dinding plafon dimana
penyebaran debu dapat dikontrol
3. Type C: kegiatan pembongkaran gedung dan renovasi
gedung yang menghasilkan debu banyak dan tinggi
misalnya kontruksi pembongkaran dan pembangunan
dinding baru
4. Type D: kegiatan pembangunan proyek kontruksi dan
pembongkaran gedung dengan skala besar misalnya
kontruksi baru atau pembangunan gedung baru
b. Identifikasi Tingkat Risiko area dan pengelompokkan pasien
berdasar tingkat risiko yaitu risiko rendah (renovasi area
perkantoran), risiko sedang (rawat jalan), risiko tinggi pada
pelayanan dengan kondisi rentan (ruang pelayanan kesehatan
gigi dan mulut, ruang tindakan, ruang IGD, ruang perawatan
pasien), dan risiko sangat tinggi dengan area pelayanan pasie
dengan imunitas rentan (ICU dan unit luka bakar (tidak
tersedia di FKTP)
c. Tentukan Kelas Kewaspadaan dan Intervensi PPI
d. Tentukan langkah-langkah intervensi PPI yaitu
Kelas I yaitu lakukan pekerjaan dengan metode
meminimalkan debu, dan pembersihan lingkungan kerja segera
lakukan setelah pekerjaan selesai, kelas II dengan menyediakan
sarana penghalang penyebaran debu ke udara (pemasangan

106
terpla plastik, dll), memberikan kabut air (penyemprotan) pada
permukaan lingkungan kerja untuk menghalangi dan
mengendalikan debu selama proyek kontruksi berlangsung, dan
pembersihan lingkungan kerja segera lakukansetelah pekerjaan
selesai.
Kelas III yaitu membuat penghalang debu dengan
menutup area masuknya debu secara rapat (menggunakan
lakban pada sela pintu, jendela, dll), menutup ventilasi udara,
menutup sistem pengaturan aliran udara (AC, Exhaust, kipas
angin dll, limbah kontruksi ditempatkan dalam tempat tertutup
rapat dan segera dibuang serta dilakukan pembersihan, setelah
selesai pekerjaan semua debu di bersihkan dari seluruh
permukaan.
Sedangkan untuk kelas IV yaitu buat pembatas area kerja
dan harus dipasang sampai proyek selesai serta dibersihkan,
menutup jendela pada area perawatan pasien yang dinilai
rentan untuk meminimalkan masuknya spora jamur yang
dihasilkan oleh pekerjaan bangunan di dekatnya, jika penyedot
debu dgunakan pastikan memiliki filter efisiensi tinggi,
mengisolasikan (menutup rapat) sistem pengaturan aliran udara
(AC, kipas angin, exhaust) di area kerja untuk mencega
kontaminasi sistem saluran udara ke dalam ruangan pasien,
mengangkut puing-puing dalam kantong atau tempat tertutup
rapat atau dengan kain basah. Kemudian jangan mengangkut
puing-puing melalui area perawatan pasien tetapi melalui pintu
keluar berbeda.
4 . Pelaporan Kegiatan PPI
Dibuat secara terintegrasi dengan sistem pelpaoran yang berlaku
selama ini dengan dibuat secara periodik, tergantung kebijakan yang
berlaku di masing-masing daerah bisa setia triwulan, semester, tahunan
atau sewaktu-waktu jika diperlukan. Dilengkapi dengan rekomendasi
tingkat lanjut bagi pihak terkait dengan peningkatan infeksi dan hasil
laporan didesiminasikan kepada pihak-pihak terkait agar dapat
memanfaatkan informasi tersebut untuk menetapkan strategi
pengendalian infeksi FKTP dengan isi laporan hasil surveilance, laporan

107
kegiatan monitoring/audit kepatuhan pelaksanaan PPI, laporan hasil
kemajuan ICRA, laporan hasil investigasi KLB bila ada, laporan
kegiatan penyuluhan dan diklat, dan laporan hasil monitoring
penggunaan antibiotik yang bijak.
a. Bentuk Laporan
Mengikuti hasil pencatatan, analisis data dan pelaporan yang
telah dilakukan pada kegiatan surveilans, audit, ICRA, penggunaan
antibiotik yang bijak serta kegiatan PPI lainnya. Bentuk lapora dapat
dikembangkan sendiri atau mengikuti kebijakan masing-masing FKTP,
pengumpulan data menggunakan form manual atau sistem IT yang
dimiliki dengan membuat format laporan harian, bulanan dll seperti
kegiatan surveilans.
Keterangan:
 Unit pelayanan adalah unit yang akan dilakukan penilaian angka
kejadian infeksi
 % target adalah target yang ditetapkan dalam mencapai tujuan kinerja
bidang PPI dari unit yang ditetapkan
 Infeksi post partum adalah infeksi yang terjadi pada pasien post parfum
 Abses gigi adalah pasien yang mengalami abses pada area gigi
dilakukan tindakan perawatan gigi dimana pada saat datang tidak
ditemukan tanda-tanda infeksi
 Infeksi pasca imunisasi adalah pasien yang dilakukan imunisasi
mendapatkan tanda-tanda ifeksi panas, sakit, merah, bengkak
 N adalah numerator yaitu jumlah kasus infeksi pada periode tertentu
 D adalah denominator yaitu jumlah pasien yang dilakukan tindakan
pada periode tertentu
 % adalah numertor dibagi denominator dikali 10%
b. Periode Pelaporan
Pelaporan kejadian infeksi dilakukan per periode satu bulan atau
sesuai kebijakan maisng-masing FKTP, disampaikan ke pimpinan
fasilitas pelayanan kesehatan oleh Tim PPI atau Penanggung Jawab
PPI untuk dlakukan tindak lanjut dan perbaikan.

108
BAB VII
PENUTUP
Keberhasilan suatu bangsa dalam mencegah atau menimilasir terjadi kasus
penularan penyakit berkaitan dengan pelayanan yang diberikan (HAIs) maupun
penyakit infeksi emerging sangat bergantung pada sejauh mana fasilitas pelayanan
kesehatan mampu menerapkan PPI secara konsisten dan berkesinambungan
termasuk dalam hal fasilitas pelayanan kesehatan tingkat pertama (puskesmas,
klinik, TPM/DG). Kepatuhan petugas menerapkan kebijakan, pedoman, aturan
dan prosedur merupakan kunci keberhasilan penerapan PPI. Penerapan PPI harus
didukung oleh ketersediaan SDM, sarana dan prasarana, Alkes, BMHP dan
anggaran. Hal ini merupakan tugas dan tanggung jawab manajerial dari pimpinan
atau pengelola FKTP termasuk dinas kesehatan kabupaten/kota. Selain itu aspek
pencatatan, pelaporan, monitoring dan evaluasi menjadi penentu keberlangsungan
pelaksanaannya.
Aspek lain yang tidak kalah pentingnya adalah edukasi kepada pengguna
layanan, sasaran, keluarga dan masyarakat begaimana pentingnya mengetahui
praktik atau perilaku yang berkaitan dengan pencegahan dan pengendalian
penyakit infeksoi, bagaimana mencegah atau memutus secara dini rantai
penularan infeksi di masyarakat termasuk menerapkan Pola Hidup Bersih Sehat
(PHBS), melaksanakan Gerakan Masyarakat Sehat (Germas). Pedoman teknis PPI
diharapkan menjadi acuan mengelola pelayanan yang disediakan setiap FKTP,
dalam rangka peningkatan mutu pelayanan kesehatan FKTP, sekaligus merupakan
bagian yang tidak terpisahkan dari kebijakan, peraturan perundang-undnagan,
pedoman dan standar yang telah dikeluarkan oleh kementerian kesehatan.
Penerapan PPI secara konsisten dan berkelanjutan bukan hanya mengurangi
kasus HAIs di fasilitas pelayanan kesehatan tapi dalam upaya memutus mata
rantai infeksi sejak di masyarakat, serta bagian upaya memperkuat dan
mempersiapkan seluruh FKTP dalam menghadapi kasus penyebaran penyakit
infeksi emerging seperti wabah pandemi COVID-19 yang telah melanda lebih dari
200 negara di sleuruh dunia. Akhirnya, telah adanya Pedoman Pencegahan dan
Pengendalian Infeksi di FKTP ini, sebagai penjabaran lebih lanjut dari Permenkes
No. 27 tahun 2017 tentang pedoman PPI di faislitas pelayanan kesehatan serta
implementasi permenkes 43 tahun 2019 tentang pusat kesehatan masyarakat,
permenkes no. 9 tahun 2014 tentang klinik dan peraturan FKTP lainnya, maka
diharapkan menjad

109
acuan bagi semua pihak agar penerapan PPI di FKTP mampu terlaksana sesuai
dengan kondisi dan kemampuan maisng-masing FKTP.

110
DAFTAR PUSTAKA
Buku Pedoman Pengendalian Infeksi Nosocomial di Rumah Sakit Kariadi
Semarang 1998 edisi 1.
Juknis Standar Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas Tahun 2019.
Minimum Requirements for Infection Prevention and Control Programs,
WHO, 2019.
Pedoman Manajerial Pencegahan dan Pengendalian Infeksi di Rumah Sakit
dan Fasilitas Kesehatan Lainnya, Perhimpunan Pengendalian Infeksi Indonesia,
2018.
Pedoman Nasional Pengendalian Tuberculosis, Kemkes RI Direktur Jenderal
Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan, 2011.
Pedoman Pelaksanaan Kewaspadaan Universal di Pelayanan Kesehatan,
Kementerian Kesehatan RI Dirjen P2MPL, Cetakan III, Tahun 2010.
Pedoman Pengelolaan Limbah di Puskesmas, RS, RS Rujukan, dan RS
Darurat Yang Menangani Pasien Covid-19, Kemkes RI, 2019.
Pedoman Penggunaan Antibiotik, Kementerian Kesehatan RI 2011.
Pedoman PPI Tuberkulosis di Fasyankes, Kemkes RI Direktur Jenderal
Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan, 2011.
Pedoman Praktik Pengendalian Infeksi Dalam Pengaturan Klinik, Depkes,
Komite Pengendalian Infeksi, Kementerian Kesehatan, November 2017.
Pedoman Teknis Bangunan dan Prasarana Fasilitas Pelayanan Kesehatan
Tingkat Pertama Untuk Mencegah Infeksi Yang Ditransmisikan Melalui Udara
(Airbone Infection), Kemkes RI Edisi Pertama, September 2014.
Pedoman Teknis Bangunan RS Instalasi Sterilisasi Sentral (CSSD),
Direktorat Bina Pelayanan Penunjang Medik dan Sarana Kesehatan Kemkes RI,
2012.
Penerapan Kewaspadaan Standar di Fasilitas Pelayanan Kesehatan, Waspada
dan Tanggap Epidemi dan Pandemi I, WHO, Indonesia, 2008.
Peraturan Menteri Kesehatan No.27 Tahun 2017 Tentang Pedoman
Pencegahan Pengendalian Infeksi di Fasilitas Pelayanan Kesehatan, 2017.
Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 8 Tahun 2015, Tentang Program
Pengendalian Resistensi Antimikroba di Rumah Sakit, 2015.
Permenkes no 52 Tahun 2018 Tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja di
Fasyankes dan Buku Indikator Program Kesehatan Kerja dan Olahrga Tahun
2020- 2024.
Permenkes Nomor 74 Tahun 2016 Tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di
Puskesmas Tahun 2019.
Standar Pencegahan dan Pengendalian Infeksi Pelayanan Kesehatan Gigi dan
Mulut di FKTP Kementerian Kesehatan RI, 2014
World Health Statistic, Monitoring Health for SDGs, WHO, 2018.

Anda mungkin juga menyukai