Anda di halaman 1dari 14

Optimasi Waktu dan Suhu Kalsinasi Tepung Cangkang Rajungan (Portunus sp.).....................(Bagus Hadiwinata et al.

PEMANFAATAN ABU CANGKANG CUE (Faunus ater) SEBAGAI


ADSORBEN UNTUK ADSORPSI RHODAMIN B

Utilization of Cue Shell ash as an Adsorbent for Rhodamine B Adsorpsion

Bagus Hadiwinata1*, Fera Roswita Dewi2, Dina Fransiska2, dan Niken Dharmayanti3
1
Sekolah Usaha Perikanan Menengah Negeri Kotaagung,
Jl. Pantai Harapan, Ds. Way Gelang, Lampung, 35384, Indonesia
2
Balai Besar Riset Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan, Jl. KS
Tubun, Petamburan VI, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, 10260, Indonesia
3
Politeknik Ahli Usaha Perikanan, Jl. Raya Pasar Minggu, Jakarta Selatan, DKI Jakarta, 12520, Indonesia
*Korespondensi penulis : bagushadiwinatams@gmail.com, Diterima: 1

Februari 2021; Direvisi: 13 April 2021; Disetujui: 11 Juni 2021

ABSTRAK
Rhodamin B merupakan pewarna sintesis yang berasal dari metanlinilat dan dipanel alanine yang berbentuk serbuk kristal berwarna
merah terang pada konsentrasi rendah. Limbah pewarna sintetis dapat menyebabkan pencemaran lingkungan dan merupakan bahan berbahaya
karena sebagian besar pewarna dan produk yang dikonversi (amina aromatik) memiliki efek karsinogenik dan mutagen beracun terhadap
lingkungan perairan. Penurunan zat warna rhodamine B dalam lingkungan dapat melalui proses adsorpsi menggunakan adsorben cangkang cue
teraktivasi HCl. Cangkang cue adalah salah satu adsorben yang dapat digunakan karena mengandung 33,59% CaO (kalsium karbonat). Dalam
penelitian ini cangkang cue sebanyak 3 kg yang diperoleh dari rumah makan khas Aceh di daerah kaki Gunung Kulu dibersihkan dan dijemur
dibawah sinar matahari. Selanjutnya cangkang cue dihaluskan dan diayak dengan ayakan 40 mesh hingga dihasilkan serbuk cangkang cue
sebanyak 509 g. Kemudian cangkang cue dikeringkan menggunakan oven pada suhu 110ᵒC hingga berat serbuk konstan. Selanjutnya cangkang
cue di kalsinasi menggunakan furnace pada suhu 900ᵒC selama 4 jam untuk menghasilkan abu cangkang cue (adsorben). Kemudian adsorben
tersebut di aktivasi dengan perendaman HCl 1 N selama 24 jam dan dicuci hingga pH netral. Selanjutnya, adsorben cangkang cue dikeringkan
menggunakan oven, didinginkan menggunakan desikator sehingga dihasilkan adsorben cangkang cue teraktivasi HCl. Kemudian adsorben
tersebut dikarakterisasi menggunakan SEM dan XRD. Hasil SEM menunjukkan pori-pori yang terbentuk memiliki tekstur kasar dan tidak
teratur. Hasil uji XRD menunjukkan bahwa atom-atom tersusun secara teratur dan memiliki bentuk kristal. Adsorben cangkang cue diuji
penyerapannya terhadap rhodamine B dalam larutan berair dan diperoleh kondisi optimum terjadi pada pH 3, waktu kontak 60 menit, dan
konsentrasi 10 mg/L. Pengujian isotherm adsorpsi dilakukan menggunakan isotherm Langmuir dan Freundlich, dari kedua jenis isoterm tersebut
yang paling sesuai dengan proses adsorpsi rhodamin B menggunakan adsorben abu cangkang cue adalah isotherm Langmuir dengan nilai r yaitu
0,997.
.

KATA KUNCI : abu cangkang cue, aktivasi, SEM, XRD, adsorpsi, rhodamin B.

ABSTRACT
Rhodamine B is a synthetic dye derived from methanelinylate and dipanel alanine which forms a bright red crystalline powder at
low concentrations. Synthetic dye waste can cause environmental pollution and is a dangerous material because most dyes and
converted products (aromatic amines) have carcinogenic and toxic mutagen effects on the aquatic environment. The reduction of
rhodamine B dye in the environment can be done through an adsorption process using an HCl-activated cue shell adsorbent. Cue
shell is one of the adsorbents that can be used because it contains 33.59% CaO (calcium carbonate). In this research, 3 kg of cue
shells obtained from a typical Acehnese restaurant at the foot of Mount Kulu were cleaned and dried in the sun. Next, the cue shells
were ground and sieved with a 40 mesh sieve until 509 g of cue shell powder was produced. Then the cue shells were dried using
an oven at 110ᵒC until the powder weight was constant. Next, the cue shells are calcined using a furnace at a temperature of
900ᵒC for 4 hours to produce cue shell ash (adsorbent). Then the adsorbent was activated by soaking in 1 N HCl for 24 hours and
washed until the pH was neutral. Next, the cue shell adsorbent is dried using an oven, cooled using a desiccator to produce an
HCl-activated cue shell adsorbent. Then the adsorbent was characterized using SEM and XRD. SEM results show that the pores
formed have a rough and irregular texture. The XRD test results show that the atoms are arranged regularly and have a crystalline
shape. The cue shell adsorbent was tested for its absorption of rhodamine B in aqueous solution and it was found that optimum
conditions occurred at pH 3, contact time 60 minutes, and concentration 10 mg/L. Adsorption isotherm testing was carried out using
Langmuir and Freundlich isotherms. Of the two types of isotherms, the one that best suited the rhodamine B adsorption process
using cue shell ash adsorbent was the Langmuir isotherm with an r value of 0.997.

KEYWORDS : cue shell ash, activation, SEM, XRD, adsorption, rhodamine B.

Copyright © 2021, JPBKP, Nomor Akreditasi : 30/E/KPT/2018 DOI :


http://dx.doi.org/10.15578/jpbkp.v16i2.731

1
JPB Kelautan dan Perikanan Vol. 16 No. 2 Tahun 2021: 121-130

PENDAHULUAN cangkang Cue untuk mengolah air limbah CPO.


Cangkang cue (faunus ater) merupakan hewan Penggunaan pewarna sintesis lebih diminati daripada
siput yang dapat digunakan sebagai salah satu sumber pewarna alami karena sifat zat warna sintesis lebih murah,
kalsium. Cangkang cue adalah salah satu limbah yang mudah digunakan, daya mewarnai kuat dan stabil tahan
belum dimanfaatkan. Cangkang cue juga dapat menjadi terhadap lingkungan. Setelah terkena air, zat ini akan sulit
salah satu alternative sebagai sumber kalsium alami, terdegradasi dikarenakan zat warna adalah senyawa sintesis
karena cangkang cue tersebut mengandung kalsium yang sifatnya kompleks dan dirancang agar kuat terhadap
karbonat (CaCO3) yang cukup tinggi sehingga pada saat di cahaya, reaksi kimia dan biologi ( Sahara dkk, 2018).
kalsinasi dapat menjadi kalsium oksida (CaO) (Thaib dkk., Penggunaan pewarna sintetis seperti Rhodamin B, methanil
2022). Menurut Handayani & Syahputra (2017) Yellow, dan Amaranth pada makanan dan minuman sangat
kandungan CaO yang terdapat dalam cangkang cue adalah berbahaya bagi kesehatan karena dapat memicu terjadinya
sebesar 33,59 %. Kalsium karbonat adalah suatu bahan kanker serta kerusakan ginjal dan hati (Pujilestari, 2015).
yang sesuai dalam menghilangkan senyawa toksi seperti Limbah pewarna sintetis dapat menyebabkan pencemaran
fosfat dan juga limbah logam yang di karena CaO yang lingkungan dan merupakan bahan berbahaya karena sebagian
merupakan komponen pengaktif untuk mengasorpsi besar pewarna dan produk yang dikonversi (amina aromatik)
senyawa beracun tersebut yang dihasilkan dari senyawa memiliki efek karsinogenik dan mutagen beracun terhadap
CaO3 (Thaib dkk,. 2022). lingkungan perairan (Afrin., 2021).
Pada penelitian ini bahan alam yang digunakan Bercampurnya material koloid dengan limbah
sebagai adsorben adalah cangkang Cue. Menurut Kamus pewarna dapat meningkatkan kekeruhan dan
Bahasa Aceh, Cue merupakan siput air payau. Sedangkan menjadikan air berpenampilan buruk, berbau, dan
menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Cue itu adalah mencegah penetrasi sinar matahari. Dampak yang
Cue yang merupakan siput dengan tubuh yang pendek. ditimbulkan adalah penipisan oksigen terlarut kualitas
Masyarakat Aceh menyebut Cue ini dengan sebutan Cue. perairan menurun dan kematian makhluk hidup yang
Penduduk Aceh menjual Cue dengan di olah menjadi gulai tinggal di dalamnya karena kekurangan oksigen dan
pliek ue, sehingga cangkang Cue yang telah dimakan terkontaminasi senyawa beracun. Beberapa penelitian
dagingnya dibuang begitu saja di sungai dan di beberapa telah dilaporkan tentang penghilangan Rhodamin B
rumah makan di Aceh Besar. Tumpukan cangkang cue dengan menggunakan beberapa adsorben seperti Hou
semakin lama membuat sungai menjadi dangkal dan dkk., (2011) menggunakan bentonit terpilar besi untuk
terjadinya pencemaran lingkungan sehingga perlu menghilangkan Rhodamin B dengan kapasitas 98,62
dipikirkan cara pengolahan cangkang cue dan limbah mg/g pada pH 5,0. Selanjutnya, Charismayani dkk.,
cangkang cue juga banyak menumpuk di rumah makan (2017) menggunakan Fly Ash Sawit dimodifikasi dengan
tersebut. Tempat pengambilan limbah cangkang cue yaitu NaOH sebagai adsorben untuk menghilangkan
di sebuah rumah makan aceh yang terletak di kaki Gunung Rhodamin B dengan konsentrasi 10 ppm dalam air
Kulu, Kecamatan Lhoong Kabupaten Aceh Besar. adalah pada massa fly ash 5 gr/L, suhu 45oC dan pH.
Cangkang cue yang digunakan pada penelitian ini
yaitu dalam bentuk abu cangkang cue. Cangkang cue Beberapa proses fisik atau kimia digunakan untuk
dapat dijadikan adsorben karena mengandung senyawa mengolah air limbah yang mengandung zat warna,
kalsium karbonat. Kalsium karbonat (CaCO3) akan seperti adsorpsi, oksidasi kimia, oksidasi elektrokimia
menjadi CaO setelah dikonversi menggunakan pemanasan dan oksidasi fotokatalitik. Proses adsorpsi adalah salah
pada suhu tinggi. CaO merupakan komponen pengaktif satu metode yang efisien dan berbiaya rendah untuk
pada adsorben yang dihasilkan dengan suhu aktivasi menghilangkan pewarna dari air (Peng dkk, 2012).
800C memiliki karakteristik abu kehitaman dan berbeda Adsorpsi merupakan suatu teknik yang dilakukan untuk
dengan warna sebelum pemanasan, hal ini menandakan menyerap suatu zat kontaminan oleh adsorben (Utomo
CaCO3 pada cangkang cue menjadi adsorben. Cangkang dkk., 2010). Dimana adsorben merupakan zat
Cue mengandung CaCO3 yang tinggi sehingga pada saat di pengadsorpsi. Proses adsorpsi dapat digambarkan
karbonisasi akan menjadi CaO sebanyak 67,63% sebagai proses dimana molekul meninggalkan larutan
(Handayani & Syahputra, 2017). Cangkang cue memiliki dan menempel pada permukaan zat adsorben (Reri dkk.,
persamaan pada cangkang tiram yaitu sama – sama 2012).Teknik ini digunakan karena hemat biaya serta
mengandung CaCO3 yang tinggi. mudah di operasikan (Manap dkk., 2018).
Pemanfaatan cangkang siput sebagai adsorben telah
dilakukan oleh beberapa penelitian sebelumnya yaitu
Nasution dan Iriany (2015) melakukan pembuatan
adsorben dari cangkang kerang bulu yang diaktivasi secara
termal sebagai pengadsoprsi fenol. Selanjutnya Ifa dkk., BAHAN DAN METODE
(2018) melakukan Pemanfaatan cangkang kerang dan
cangkang kepiting sebagai adsorben logam Cu, Pb, dan Zn
pada limbah industry pertambangan Bahan
emas. Selanjutnya, Zein dkk., (2019) melakukan Bahan utama yang dipakai pada penelitian ini
pengaplikasian teknik biosorpsi menggunakan biosorben adalah cangkang cue (Faunus ater) yang berasal dari
kulit batang sagu, arang aktif kulit buah kakao dan limbah di salah satu rumah makan khas aceh yang
terletak di kaki Gunung Kulu, Kecamatan Lhoong
2
Optimasi Waktu dan Suhu Kalsinasi Tepung Cangkang Rajungan (Portunus sp.).....................(Bagus Hadiwinata et al.)

Kabupaten Aceh Besar. Cangkang cue diambil intensitas sinar x ( Wahyuni & Kurniawati, 2010).
sebanyak 3 Kg.
Aktivasi Abu Cangkang Cue
Metode Abu cangkang Cue (Faunus ater) yang sudah
Preparasi adsorben dari cangkang Cue ditimbang sebayak 20 gram diaktivasi secara kimia,
(Faunus ater) dilakukan dengan cara cangkang Cue dengan direndam menggunakan aktivator asam, yaitu
(Faunus ater) terlebih dahulu dicuci menggunakan HCl. Dengan konsentrasi 1 N selama 24 jam, kemudian
air sampai bersih dengan menggunakan sikat untuk tiriskan. Abu cangkang Cue (Faunus ater) yang sudah
menghilangkan kotoran yang masih terdapat pada teraktivasi selanjutnya di cuci dengan aquades sampai
cangkang Cue. Selanjutnya, pengeringan dengan pH netral. Keringkan menggunakan oven, pada suhu
cara dijemur selama 7 hari (Handayani & Syahputra, 110°C selama 1 jam, dan dinginkan. (Huda dkk., 2020).
2017). Setelah dijemur, cangkang Cue (Faunus ater)
ditumbuk menggunakan lesung, dan diayak dengan Penentuan Panjang Gelombang
ayakan 40 mesh. Sehingga dihasilkan serbuk Larutan Standar Rhodamin B 100 mg/L
cangkang Cue (Faunus ater) yang telah lolos ayakan sebanyak 0,5 mL dimasukkan ke dalam labu ukur 10 mL
40 mesh. yang telah diencerkan. Kemudian dilakukan pengukuran
Kemudian serbuk cangkang Cue (Faunus absorbansi dengan panjang gelombang antara 300-750
ater) didehidrasi dengan memanaskannya di dalam nm menggunakan spektrofotometer UV-Vis (Rachmasari
oven pada suhu 105C untuk menghilangkan kadar & Sugiarso., 2017).
air sampai diperoleh berat yang konstan
(Sudarmawan., dkk. 2020). Selanjutnya, serbuk Pembuatan Kurva Kalibrasi
cangkang Cue (Faunus ater) dimasukkan ke furnace Sebanyak 0,01; 0,03; 0,05; 0,07 dan 0,09 mL
dengan suhu 900C selama 4 jam sampai menjadi larutan standar Rhodamin B 1000 mg/L masing-masing
abu (Handayani & Syahputra, 2017). Abu cangkang dimasukkan ke dalam labu ukur 50 mL dan diencerkan
Cue (Faunus ater) yang dihasilkan selanjutnya sampai tanda batas sehingga diperoleh larutan standar
didinginkan dalam desikator selama 30 menit 0,75; 1,5; 2,25; 3,00 dan 3,75 mL (Sahara dkk., 2018).
sehingga dihasilkan abu cangkang Cue (Faunus Selanjutnya larutan diaduk kemudian larutan dimasukkan
ater). ke dalam kuvet. Adsorbansi masing-masing larutan
diukur menggunakan spektrofotometer UV-Vis pada
Analisis morfologi panjang gelombang maksimum. Selanjutnya, data
adsorbansi dibuat kurva hubungan antara konsentrasi
Morfologi adsorben abu cangkang cue dianalisis
dan adsorbansi menggunakan Microsoft excel sehingga
menggunakan instrumen SEM (Scanning Electron
didapatkan persamaan garis regrasi linear y = ax + b dan
Microscopy). Untuk proses pengambilan gambar
nilai koefisien korelasi (r) yang menunjukkan linearitas
(citra) dengan alat SEM, sampel diletakkan dan kurva baku tersebut (Ngibad, 2019).
ditempel di atas SEM specimen holder dengan
menggunakan carbon double tipe dengan Penentuan Kondisi Optimum Adsorpsi Zat Warna
bagian penampang lintang mengarah vertical ke
atas atau lensa obyektif. Agar susunan lapisan Dalam penelitian ini, kondisi optimum ditemukan
matriks bahan dengan lapisan oksida terlihat berdasarkan tiga faktor yang menjadi variable bebas
jelas. Double tip ini terbuat dari bahan karbon yaitu pH, waktu kontak, dan konsentrasi adsorbat.
yang konduktif di dua sisi yang berfungsi Penentuan kondisi adsorpsi Rhodamin B optimum
menghantarkan semua electron yang masuk ke dilakukan dengan variasi pH 2, 3, 7, dan 9 pada larutan
dalam sampel keluar melalui grounding (Sujatno Rhodamin B 10 mg/L sebanyak 25 mL dengan massa
& Agus, 2015). adsorben 0,5 g dan diaduk dengan pengaduk magnet
selama 20 menit pada suhu kamar. Optimasi waktu
Analisis Unsur kontak dilakukan pada larutan 10 mg/L sebanyak 25 mL
Analisis mengidentifikasi unsur dan bentuk dengan massa adsorben 0,5 g campuran diaduk dengan
dari abu cangkang Cue. Uji karakterisik pengaduk magnet selama 15, 30, 45, 70, dan 75 menit
menggunakan XRD dilakukan dengan (Nurbaeti dkk., 2018). Penentuan konsentrasi optimum
menggunakan alat difraksi sinar x yang memiliki Rhodamin B dengan variasi konsentrasi yaitu 10, 20, 30,
standar riset. Caranya yaitu dengan menekan 40, dan 50 mg/L sebanyak 25 mL dilakukan pada pH dan
tombol ON pada XRD, kemudian diletakkan waktu kontak.(Sahara dkk., 2018).
sampel abu cangkang Cue yang berukuran
nanometer pada tempat sampel. Agar radiasi
sinar x tidak keluar,maka XRD harus tertutup Penentuan Kondisi Optimum Adsorpsi Zat Warna
rapat setelah sampel diletakkan. Kemudian Persentase kondisi optimum zat warna dapat
dengan menggunakan Personal Computer (PC) dihitung menggunakan persamaan berikut (Agustrya
diatur sudut dari goniometer atau pendeteksi dkk., 2015):
intensitas sinar x. dari sinilah nanti akan
didapatkan grafik hubungan antara sudut 2 dan
3
JPB Kelautan dan Perikanan Vol. 16 No. 2 Tahun 2021: 121-130

(C o−C e ) m = massa adsorben yang digunakan (g)


R= x 100% v = volume larutan zat warna (liter)
(C o) Co = konsentrasi awal zat warna (mg/L)
Ce = konsentrasi akhir zat warna (mg/L)
Keterangan:
R = persentase adsorpsi zat warna (%)
Co = konsentrasi awal zat warna (mg/L)
Ce = konsentrasi akhir zat warna (mg/L) HASIL DAN PEMBAHASAN

Isoterm Langmuir dan Freundlich Preparasi Adsorben Abu Cangkang Cue


Isoterm Langmuir dan Freundlich dapat (Faunus ater)
ditentukan setelah diperoleh data dari kurva kalibrasi Cangkang cue yang digunakan pada penelitian ini adalah
pada langkah sebelumnya menggunakan Microsoft cangkang cue jenis Faunus ater yang berasal daerah pesisir
Excel. Penentuan model Langmuir diperoleh dengan seperti Aceh Besar, Aceh Jaya hingga Aceh Barat. Cangkang
membuat kurva isoterm hubungan antara 1/Ce cue yang digunakan sebagai adsorben ini diambil di sebuah
terhadap 1/qe. Sementara penentuan model isoterm rumah makan aceh yang terletak di kaki Gunung Kulu,
model freundlich diperoleh dengan membuat kurva Kecamatan Lhoong Kabupaten Aceh Besar. Cangkang cue
isotherm hubungan antara log Ce dan log qe diambil sebanyak 3 Kg. Cangkang cue dipreparasi melalui
(Ocazar, 2003). Persamaan isotherm sesuai untuk dua tahap yaitu dehidrasi dan kalsinasi (Ula, 2021).
penelitian ini dapat diketahui berdasarkan nilai
koefisien (r) yang diperoleh pada masing – masing Tahap dehidrasi dilakukan untuk menghilangkan kadar
persamaan isotherm, dimana nilai koefisien korelasi air pada cangkang cue. Pada tahap ini cangkang cue dicuci
yang mendekati 1 (r > 0,9) dapat dikatakan jenis terlebih dahulu menggunakan air keran untuk menghilangkan
isotherm adsorpsi mengikuti persamaan isotherm lumpur dan kotoran seperti pasir, selanjutnya disikat sampai
berikut. bersih menggunakan sikat pipet. Kemudian di cuci
Persamaan isotherm Langmuir dapat ditulis sebagai
menggunakan air keran pada untuk menghilangkan kotoran
berikut (Ocazar, 2003):
yang berada dalam cangkang cue. Setelah benar-benar bersih
1 1 1 1
= + cangkang cue dikeringkan dengan dijemur selama 7 hari
qe Q bQ C e dibawah sinar matahari (Handayani & Syahputra, 2017).
Cangkang cue sebanyak 3 kg yang sudah dijemur selanjutnya
Keterangan : dibelah menggunakan batu terlebih dahulu agar menjadi
qe = kapasitas adsorpsi (mg/g) beberapa keping, selanjutnya ditumbuk menggunakan lesung
Q = konstanta adsorpsi maksimum (mg/g) sampai halus. Setelah selesai ditumbuk serbuk cangkang cue
b = intensitas adsorpsi Langmuir (L/mg) yang dihasilkan diayak menggunakan ayakan 40 mesh
Ce = konsentrasi adsorbat di larutan (mg/L) sehingga dihasilkan serbuk cangkang cue yang telah lolos
ayakan 40 mesh. Berat cangkang cue setelah diayak 40 mesh
Persamaan Isoterm Freundlich adalah sebagai adalah 509 g. Serbuk cangkang cue yang telah lolos ayakan
berikut (Ocazar, 2003):
40 mesh mengalami penurunan berat yang signifikan hal ini
1
log q e = log K f + log C e dikarenakan penggunaan alat tradisional pada saat proses
n penghalusan, sehingga serbuk cangkang cue yang dihasilkan
Keterangan : tidak seluruhnya lolos ayakan 40 mesh. Selanjutnya serbuk
qe = kapasitas adsorpsi(mg/g) cangkang cue tersebut didehidrasi untuk menghilangkan
Kf = konstanta adsorpsi Freundlich (L/mg) kadar airnya dengan cara memanaskannya menggunakan
n = intensitas adsorpsi Langmuir (L/mg) oven pada suhu 105C selama 2 kali pengulangan pada
Ce = konsentrasi adsorbat larutan (mg/L) waktu 30 menit sehingga dihasilkan berat konstan yaitu 358
(Sudarmawan dkk., 2020).
Untuk menghitung kapasitas adsoprsi zat
warna, maka dilakukan adsorpsi pada kondisi Tahap selanjutnya yaitu kalsinasi cangkang cue
optimum yang telah diperoleh. Berdasarkan data menggunakan furnace. Kalsinasi merupakan tahapan
yang telah diperoleh, kapasitas adsorpsi dihitung penting dalam pembuatan adsorben abu cangkang cue.
menggunakan rumus sebagai berikut (Zhao dkk., Kalsinasi dilakukan untuk menghilangkan air, CO2, dan
2013) gas-gas lainnya termasuk senyawa organik yang terikat
( C o−C e ) v dengan CaCO3 dalam serbuk cangkang cue (Handayani &
qe = Syahputra). Kalsinasi bertujuan untuk mengubah serbuk
m cangkang cue yang memiliki rumus kimia CaCO3 menjadi
abu cangkang cue dalam bentuk CaO dengan cara
Keterangan : pemanasan pada suhu tinggi sehingga gas CO2 (karbon
qe = kapasitas adsorpsi(mg/g) dioksida) pada saat pemanasan nanti akan terurai dan
4
Optimasi Waktu dan Suhu Kalsinasi Tepung Cangkang Rajungan (Portunus sp.).....................(Bagus Hadiwinata et al.)

terbentuklah CaO (Ula, 2021). Pada tahap ini serbuk Aktivasi Aktivasi
cangkang cue sebanyak 358 g dimasukkan ke dalam HCl NaOH
furnace dengan suhu 900C selama 4 jam sampai A1 1.685 1.522 1.602
menjadi abu (Handayani & Syahputra, 2017). Setelah
A2 1.684 1.522 1.602
di furnace abu cangkang cue tersebut dimasukkan ke
dalam oven pada suhu 100C selama 5 menit untuk A3 1.685 1.522 1.602
menurunkan suhunya. Abu cangkang cue yang
RERATA 1.685 1.522 1.602
dihasilkan selanjutnya didinginkan di desikator selama
30 menit sehingga dihasilkan abu cangkang cue yang Ket: A1 = Pengulangan Pertama
digunakan sebagai adsorben. Selanjutnya abu A2 = Pengulangan Kedua
cangkang cue yang telah didinginkan di dalam A3 = Pengulangan Ketiga
desikator kemudian ditimbang dengan berat 93,98 g.
Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa perbandingan
Aktivasi nilai absorbansi pada adsorben cangkang cue dengan
Proses aktivasi kimia pada penelitian ini aktivasi HCl 1 M penyerapan nya lebih baik daripada
dilakukan dengan cara merendam masing-masing absorbansi pada adsorben cangkang cue dengan
abu cangkang cue ke dalam larutan asam kuat yaitu aktivasi NaOH 1 M. Hal ini dikarenakan aktivator HCl
HCl 1 M dan larutan basa yaitu NaOH 1 M selama 24 bersifat higroskopis dimana terikatnya molekul air yang
jam. Setelah perendaman selama 24 jam di cuci ada pada adsorben oleh aktivator HCl menyebabkan pori
dengan aquades sampai pH netral, selanjutnya – pori adsorben cangkang cue semakin besar sehingga
dikeringkan menggunakan oven pada suhu 110C penyerapan terjadi lebih bagus (Sahara dkk.,2018).
selama 1 jam dan didinginkan dalam desikator (Huda
dkk., 2020). Tekstur adsorben yang diaktivasi
menggunakan HCl 1 M lebih halus sedangkan Karakterisasi SEM (Scanning Electron Microscopy)
aktivasi menggunakan NaOH 1 M teksturnya sedikit
kasar. Adsorben cangkang cue yang telah diaktivasi Pengujian menggunakan SEM dilakukan untuk
kemudian diuji Adsorbansi pada larutan Rhodamin B mengetahui ukuran dan tekstur permukaan dari adsorben
10 ppm dan dihasilkan perbandigan nilai adsorbansi cangkang cue aktivasi. Spektrum SEM adalah plot intensitas
pada Tabel 4.1. sinyal elektron terhadap energi elektron. Hasil uji SEM dari
adsorben cangkang cue aktivasi dapat dilihat pada Gambar 4.1
di bawah ini.

Tabel 4.1. Nilai absorbansi pada adsorben cangkang


cue dengan aktivasi HCl 1 M dan aktivasi NaOH 1 M.
ULANGA Rhodami Rhodami Rhodami
nB+ nB+
N nB
Cangkan Cangkan
g Cue g Cue

5
JPB Kelautan dan Perikanan Vol. 16 No. 2 Tahun 2021: 121-130

Gambar 4.2 Hasil Uji XRD cangkang cue teraktivasi


HCl

Hasil uji XRD adsorben cangkang cue pada


gambar 4.2 yang telah diaktivasi dengan HCl
mengandung karbon dalam bentuk kristal. Karbon
dalam bentuk kristal ini terbentuk karena proses
aktivasi yang menyebabkan karbon terurai dan
membentuk bidang-bidang kristal yang lebih besar.
Gambar 4.1. Hasil Uji SEM Adsorben cangkang cue Abu cangkang cue memiliki kandungan kalsium
teraktivasi HCl, (A) Perbesaran 200 x, (B) Perbesaran oksida (CaO) yang relatif tinggi yang dapat dilihat
3000 x, (C) Perbesaran 6000 x, (D) Perbesaran 10000 x. dari Intensitas puncak yang terbentuk pada sudut
2θ yaitu 18, 34, dan 47. Menurut (Latif dkk., 2014)
Hasil uji SEM abu cangkang cue (Gambar 4.1) tingkat intensitas menunjukkan tingkat
menunjukkan bahwa permukaan morfologi adsorben kekristalannya, sehingga semakin tinggi intensitas
cangkang cue setelah aktivasi HCl memiliki ciri khas maka kekristalannya semakin baik. Puncak-puncak
tekstur kasar dan tidak teratur. Pada tingkat mikroskopis, yang terlihat jelas pada hasil XRD menunjukkan
terlihat bahwa pori-pori yang terbentuk lebih banyak dan bahwa atom-atom tersusun secara teratur,
membentuk rongga pori-pori dengan kedalaman yang
keteraturan atom serta susunannya menunjukkan
besar dan merata. Kondisi ini mengindikasikan bahwa
bahwa CaO dalam bentuk kristal bukan dalam
adsorben ini memiliki struktur permukaan yang sangat
berpori dan berongga. Pentingnya tekstur ini terletak bentuk amorf (Suhardin dkk., 2018). Puncak-
pada kemampuan adsorben untuk menangkap dan puncak difraksi pada grafik tersebut terletak pada
menyimpan zat-zat tertentu. Dengan memiliki pori-pori sudut-sudut yang spesifik, yang terkait dengan
yang lebih banyak dan rongga pori yang merata, jarak antar atom dalam kristal. Puncak-puncak
adsorben dapat menawarkan area permukaan yang lebih difraksi yang paling kuat adalah puncak-puncak
besar untuk berinteraksi dengan molekul yang akan pada sudut 2θ 18,0294°, 34,0505°, dan 47,0747°.
diadsorpsi. Bentuk permukaan berpori menjadi faktor Puncak-puncak ini menunjukkan adanya bidang-
penting karena berkontribusi pada kemampuan adsorben bidang kristal dengan jarak antar bidang yang
tersebut dalam melakukan proses adsorpsi. Menurut relatif kecil, yaitu 4,91614 Å, 2,63087 Å, dan
(Zein dkk., 2019) pori-pori tersebut bertindak sebagai
1,92890 Å.
media tempat proses adsorpsi adsorbat berlangsung
sehingga konsentrasi adsorbat berkurang dalam larutan.
Panjang Gelombang Maksimum
Adapun luas permukaan pori adsorben cangkang cue
teraktivasi HCl diatas dihitung dari gambar SEM
perbesaran 3000 x, 6000 x dan 10000 x adalah sebesar 5 0.17
μm, 2 μm, dan 1 μm. 0.15
0.13
0.11
0.09
0.07
0.05
524 534 544 554 564 574

Grafik 4.3 Grafik Panjang Gelombang Maksimum


Karakterisasi XRD (X-RAY Diffraction) Rhodamin B

Berdasarkan hasil grafik penentuan panjang


gelombang maksimum larutan rhodamin B
didapatkan panjang gelombang 554 nm.

Kurva Linieritas

6
Optimasi Waktu dan Suhu Kalsinasi Tepung Cangkang Rajungan (Portunus sp.).....................(Bagus Hadiwinata et al.)

Rhodamin B
Kurva Linearitas
1.58 Konsentrasi (mg/L) Absorbansi
1.56 0.75 0.154
Absorbansi

1.54 1.50 0.296


1.52
2.25 0.433
1.5
5 10 15 20 25 30 3.00 0.588
waktu (menit) 3.75 0.725

Gambar 4.4 Grafik Kurva Linearitas Rhodamin B Penentuan Kondisi Optimum Adsorpsi
Rhodamin B
Berdasarkan hasil grafik kurva linearitas
(Gambar 4.4) dapat dilihat bahwa rentang waktu
yang tepat untuk pengujian larutan rhodamin B Penentuan pH Optimum Adsorpsi Rhodamin B
yaitu pada 10 hingga 20 menit yang menunjukkan
garis lurus. Pengujian linieritas spektrofotometer Penentuan pH optimum adsorpsi rhodamin
UV-Vis bertujuan menentukan hubungan linier b dilakukan dengan variasi pH 2, 3, 5, 7, dan 9
antara konsentrasi dan sinyal instrument pada pada larutan Rhodamin B 10 ppm sebanyak 25 mL
serapan normal, deviasi serapan sinyal pada dengan massa adsorben 0,5 g dan diaduk selama
absorbansi minimum (Wardhani dan Nurbayanti., 20 menit dengan kecepatan pengadukan 200 rpms
2019). (Sahara dkk., 2018). Adapun untuk mengubah pH
larutan menjadi pH yang diinginkan adalah
Kurva Kalibrasi menggunakan larutan HCl dan NaOH yang ditetesi
sedikit demi sedikit sampai pH larutan berubah
Kurva Kalibrasi menjadi pH yang diinginkan. Hasil dari uji pH
0.8 optimum adsorpsi Rhodamin B dapat dilihat pada
0.6 f(x) = 0.1434 x + 0.00860000000000005 grafik di bawah ini (Gambar 4.6).
Absorbansi

0.4 R² = 0.99970247471035
0.2 Pengaruh pH pada adsorpsi Rho-
0 damin B Menggunakan Adsorben
0.5 1 1.5 2 2.5 3 3.5 4 4.5 5 5.5 Cangkang Cue
Konsentrasi (mg/L) 15.000
Adsorpsi (%)

10.000
5.000
Gambar 4.5 Kurva Kalibrasi Larutan Standar 0.000
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Rhodamin B
pH
Berdasarkan grafik kurva kalibrasi (Gambar
4.5) dapat dilihat bahwa nilai absorbansi
berbanding lurus dengan konsentrasi, semakin Gambar 4.6 Grafik Uji pH Adsorpsi Rhodamin B
besar konsentrasi maka absorbansi yang
dihasilkan juga semakin besar. Hubungan antara Gambar 4.6 dapat dilihat bahwa pengaruh
absorbansi dan konsentrasi yang diperoleh pH dalam pengujian Rhodamin B Rmerupakan
menghasilkan persamaan regresi linear, y = salah satu hal yang penting dalam adsorpsi karena
0,1434x + 0,0086 dengan nilai koefisien korelasi (r) mempengaruhi persentase penyerapan adsorpsi.
sebesar r = 0,999. Nilai r yang diperoleh mendekati Menurut (Nurafriyanti, 2017) kondisi pH larutan
1 sehingga grafik kurva kalibrasi tersebut layak yang akan diadsorpsi mempengaruhi proses
untuk digunakan dalam pengujian. Adapun nilai adsorpsi. Hal ini dapat dilihat dari persentase
absorbansi kurva kalibrasi di atas dapat dilihat penyerapan rhodamin b dengan bebagai variasi pH
pada Tabel 4.2 berikut ini. bahwa pH optimum adsorpsi rhodamin
menggunakan adsorben abu cangkang cue adalah
pH 3 yaitu pada kondisi asam dengan persentase
Tabel 4.2 Nilai Absorbansi Kurva Kalibrasi Standar penyerapan 12,06 %. Menurut Putri dkk., (2019) pH
7
JPB Kelautan dan Perikanan Vol. 16 No. 2 Tahun 2021: 121-130

rendah (asam) akan membuat permukaan


adsorben bermuatan positif dan pada pH ini di
dalam larutan Rhodamin B terdapat kompetisi ion
H+ dari suasana asam dengan molekul Rhodamin
B menempati titik adsorpsi sehingga terjadi tolakan
elektrostatik antara permukaan adsorben dan
kation Rhodamin B yang mengakibatkan kapasitas
adsorpsi meningkat. Namun, ketika pH lebih tinggi
dari 3 akan membuat permukaan adsorben
bermuatan negatitf dan terjadi pembentukan
zwitterionic pada Rhodamin B yang memungkinkan
meningkatkan pengumpulan Rhodamin B
membentuk molekul yang lebih besar sehingga
membuat Rhodamin B tidak mampu masuk ke
dalam pori adsorben. pH tinggi juga memungkinkan
terjadinya repulse antara muatan negatif pada
adsorben dengan zwitterionic pada molekul
Rhodamin B yang menyebabkan kapasitas
adsorpsi menurun (Zamouche & Hamdaoui, 2012).

Penentuan Waktu Kontak Optimum Adsorpsi


Rhodamin B

8
Optimasi Waktu dan Suhu Kalsinasi Tepung Cangkang Rajungan (Portunus sp.).....................(Bagus Hadiwinata et al.)

Karakteristik Gugus Fungsi Tepung CaO masuk ke dalam tepung CaO (Kurniawan, Hartini, &
Cangkang Rajungan Cahyanti, 2019).
Hasil uji SEM abu cangkang cue (Gambar 4.1) Hasil analisis gugus fungsi menunjukkan masih
menunjukkan bahwa permukaan morfologi adsorben terdapat hidroksil (OH-). Hal ini terlihat pada hasil
cangkang cue setelah aktivasi HCl memiliki ciri khas perlakuan kalsinasi pada suhu 700°C selama 4 jam yang
tekstur kasar dan tidak teratur. Pada tingkat mikroskopis, muncul pada 3746,02; 3641,44 dan 3435,77 cm-1.
terlihat bahwa pori-pori yang terbentuk lebih banyak dan Sedangkan pada perlakuan 5 jam, gugus OH- terlihat
membentuk rongga pori-pori dengan kedalaman yang pada 3642,32 dan 2919,24 cm-1. Untuk perlakuan
besar dan merata. Kondisi ini mengindikasikan bahwa kalsinasi cangkang rajungan pada suhu 800°C selama 4
adsorben ini memiliki struktur permukaan yang sangat jam, gelombang OH- berada pada sekitar 3642,51 dan
berpori dan berongga. Pentingnya tekstur ini terletak pada 3435,28 cm-1. Sedangkan pada waktu 5 jam gugus OH-,
kemampuan adsorben untuk menangkap dan menyimpan muncul pada 3787,44 dan 3640,79 cm-1. Pada perlakuan
zat-zat tertentu. Dengan memiliki pori-pori yang lebih 800°C selama 5 jam, terlihat lengkungan tajam pada
banyak dan rongga pori yang merata, adsorben dapat gelombang 3640,79 cm-1. Hal ini menandakan bahwa
menawarkan area permukaan yang lebih besar untuk pemanasan kurang sempurna dalam pelepasan H2O.
berinteraksi dengan molekul yang akan diadsorpsi. Dekomposisi H2O berjalan dengan baik ditandai dengan
Bentuk permukaan berpori menjadi faktor penting karena hilangnya lengkungan tajam pada gelombang 4000-3000
berkontribusi pada kemampuan adsorben tersebut dalam cm-1 (Sunardi, Irawati, & Wianto, 2011). Masih adanya
melakukan proses adsorpsi. Menurut (Zein dkk., 2019) gugus OH- pada tepung CaO hasil penelitian ini
pori-pori tersebut bertindak sebagai media tempat proses kemungkinan juga dapat disebabkan penyimpanan
adsorpsi adsorbat berlangsung sehingga konsentrasi tepung CaO yang terlalu lama di dalam furnace selama 5
adsorbat berkurang dalam larutan. Adapun luas jam setelah proses kalsinasi selesai.
permukaan pori adsorben cangkang cue teraktivasi HCl
diatas dihitung dari gambar SEM perbesaran 3000 x, 6000 Morfologi Tepung CaO
x dan 10000 x adalah sebesar 5 μm, 2 μm, dan 1 μm.
Hasil analisis morfologi tepung CaO menunjukkan
bahwa cangkang rajungan yang telah dikalsinasi
membentuk algomerasi atau gumpalan (Gambar 3). Hal
ini sesuai dengan hasil penelitian Ichsan, Helwani, dan
Zultiniar (2015) yang menyatakan bahwa setelah proses
kalsinasi, morfologi tepung CaO berbentuk gumpalan.
Terdapat kesamaan antara Gambar 3a sampai 3c, tepung
kalsium berbentuk gumpalan datar berpori serta masih
terdapat granula yang tidak seragam dan kasar. Hal
berbeda terlihat dari tepung CaO pada Gambar 3D, yaitu
bentuk partikelnya halus dan tidak kasar . Halusnya
partikel pada perlakuan suhu 800°C selama 5 jam dapat
disebabkan tingginya suhu kalsinasi. Semakin tinggi
suhu pemanasan, dapat menyebabkan pengecilan
hingga penutupan pori- pori tepung, serta
menghilangnya batas-batas dari granula tersebut
(Kurniawan, Nizar, Rijal, Bagas, & Setyarsih, 2014).
Morfologi tepung CaO yang halus lebih aman untuk
diaplikasikan pada manusia. Morfologi CaO yang
kasar/tajam dapat menyebabkan peradangan hingga
melukai jaringan pada tubuh sehingga berpotensi
menyebabkan bahaya (Dorozhkin, 2010).

Persentase Jumlah Massa Kalsium (Ca),


Fosfor(P), dan Oksigen(O), dan Karbon (C)
Tepung CaO Cangkang Rajungan

Hasil analisis persentase jumlah massa kalsium,


fosfor, oksigen, dan karbon tepung CaO dengan

9
JPB Kelautan dan Perikanan Vol. 16 No. 2 Tahun 2021: 121-130

85.2
a
962.34,81.12
84
82 3787.44,78.69
80
712.55,81.81
78 2874.89,79.04
76 2920.15,78.43 2513.42,79.31 1797.38,77.67 603.84,78.41 PO4
74
3640.79,75.22 PO4 570.89,77.10
72 OH
70 1089.15,73.00
3435.81,72.60
%T 68 PO4
66 1048.30,69.04
64 873.96,68.74
62
60
58
56
54
52
50
48.0 1423.58,50.61
4000.0 3600 3200 2800 2400 2000 1800 cm-1 1600 1400 1200 1000 800 600 450.0

88.4

86 961.05,87.27 b
873.69,86.57
84
2016.69,85.69
1628.13,85.09
82

80 1415.29,81.63
3736.02,77.10 2851.07,80.67
78
1456.55,80.89 CO3
2919.31,76.69
%T 1089.86,78.21
76

74
PO4
72 1048.47,74.78
3435.77,72.14
70

68
OH
66
3641.44,66.43
64.0
4000.0 3600 3200 2800 2400 2000 1800 1600 1400 1200 1000 800 600 450.0
cm-1

88.4 962.21,87.08

87
86
c
85
2517.58,86.70 1795.62,86.98
84 712.28,86.06
83 2851.67,85.22 PO4
82
2919.94,84.29 1624.02,83.69 874.33,84.08
81
80
1089.85,80.84
79
78
PO4 602.47,79.60
77
O
%TH
76 1049.25,77.96 567.39,77.48
3435.28,76.56
75 CO3
74 1455.97,75.94
73
72 OH
71
3642.51,71.21
70
69
4000.0 3600 3200 2800 2400 2000 1800 1600 1400 1200 1000 800 600 450.0
cm-1

89.8
89
88 963.14,89.21 d
875.95,89.05
87
86 1631.71,86.84
2851.30,86.03
85
84
2912.24,84.97 CO3
83 1467.93,84.58
82 1090.16,83.16
%T 81
80 PO4
1050.11,80.68
79
78
77 3435.32,78.32
76
75
74
73
72 OH
71 3642.32,71.82
71.0
4000.0 3600 3200 2800 2400 2000 1800cm-1 1600 1400 1200 1000 800 600 450.0

Gambar 2. Hasil analisis gugus fungsi tepung CaO cangkang rajungan pada berbagai perlakuan suhu dan waktu
kalsinasi; a. Perlakuan kalsinasi 700°C selama 4 jam, b. 700°C selama 5 jam, c. 800°C selama 4 jam, d.
800°C selama 5 jam.
Figure 2. Results of functional groups analysis of CaO powder from crab shells with temperature and
time variation; a. calcination treatments of 700°C for 4 hours, b. 700°C for 5 hours, c. 800°C
for 4 hours, d. 800°C for 5 hours.

10
Optimasi Waktu dan Suhu Kalsinasi Tepung Cangkang Rajungan (Portunus sp.).....................(Bagus Hadiwinata et al.)

a b

c d

Gambar 3. Hasil analisis morfologi tepung CaO pada perlakuan suhu dan waktu kalsinasi; a. Perlakuan kalsinasi 700°C
selama 4 jam, b. 700°C selama 5 jam, c. 800°C selama 4 jam, d. 800°C selama 5 jam.
Figure 3. Morphological analysis results of CaO powder with temperature and time variation; a.
calcination treatments of 700°C for 4 hours, b. 700°C for 5 hours, c. 800°C for 4 hours, d.
800°C for 5 hours.

instrumen SEM dapat dilihat pada Tabel 2. Hasil analisa


selama 4 jam, sedangkan yang terbesar terdapat pada
statistik menunjukan suhu dan waktu kalsinasi
perlakuan 800°C selama 5 jam. Sebaliknya perlakuan suhu
berpengaruh nyata pada jumlah massa kalsium tepung
dan waktu kalsinasi tidak perpengaruh pada jumlah
CaO (p<0,05). Akan tetapi, pada uji lanjut Tukey
massa fosfor dan oksigen tepung CaO. Perlakuan 800°C
menunjukan bahwa jumlah massa kalsium tepung CaO selama 4 jam menghasilkan tepung dengan fosfor
pada perlakuan waktu pada suhu yang sama tidak terkecil, sedangkan perlakuan 700°C selama 5 jam
berbeda nyata. Jumlah massa kalsium tepung CaO menghasilkan fosfor tepung terbesar. Selanjutnya,
terkecil terdapat pada perlakuan 700°C jumlah massa oksigen tepung CaO

Tabel 2 Persentase kandungan Ca, P, O, dan C pada tepung CaO


Table 2. Percentage of Ca, P, O, and C of CaO powder

Kalsinasi/Calcination Kandungan Unsur/Element Content (%)

Suhu/
Waktu/Time Kalsium/ Fosfor/ Oksida/ Karbon/
Temperature
(Jam/Hours ) Calcium Phosphor Oxide Carbon
(°C)
4 700 78.61 ± 2.65 a 3.84 ± 1.81a 8.79 ± 2.85a 8.76 ± 1.59a
5 700 80.36 ± 1.31a 5.12 ± 2.04a 6.60 ± 0.52a 4.33 ± 0.19b
4 800 89.88 ± 0.22b 2.40 ± 0.23a 4.21 ± 0.58a 3.51 ± 0.18b
5 800 91.96 ± 2.93b 5.09 ± 1.57a 2.63 ± 0.73a 3.14 ± 0.86b
Keterangan/Notes:
Notasi yang berbeda menunjukan perbedaan yang siginifikan terhadap perlakuan/Different superscripts label denotes
significant difference across treatments.

11
JPB Kelautan dan Perikanan Vol. 16 No. 2 Tahun 2021: 121-130

terkecil terdapat pada perlakuan 800°C selama 5 jam, dengan dicampur prekursor fosfor. Fosfor jenis H3PO4
sedangkan perlakuan 700°C selama 4 jam berfungsi untuk menambahkan kadar fosfor pada reaksi
menghasilkan jumlah oksigen tepung terbesar. sintesis hidroksiapatit (Puspita & Cahyaningrum,
Jumlah massa karbon tepung CaO dipengaruhi oleh 2017).
perlakuan kalsinasi (p<0,05). Hasil uji lanjut
menunjukkan perlakuan suhu 700°C selama 4 jam Persentase Derajat Kristalinitas Tepung CaO
dengan perlakuan lainnya menghasilkan jumlah massa Cangkang Rajungan
karbon yang berbeda nyata (p<0,05), sedangkan antara
Hasil analisa kualitatif derajat kristalinitas terdapat
perlakuan suhu 700°C selama 5 jam dengan 800°C
pada Gambar 4. Hasil XRD menunjukan pola difraksi
selama 4 jam dan 5 jam menunjukkan jumlah massa
kristalinitas masih terdapat puncak yang melebar atau
karbon yang tidak berbeda nyata (p>0,05). Jumlah
belum tajam. Hal tersebut menandakan tepung CaO yang
karbon terbesar terdapat pada perlakuan 700°C selama 4
diperoleh belum sempurna menjadi hidroksiapatit sehingga
jam, sedangkan yang paling kecil pada perlakuan 800°C
masih harus dilakukan pemanasan lanjutan. Selain itu,
selama 5 jam. Berkurangnya jumlah massa karbon hasil
puncak yang melebar juga menandakan masih terdapat
kalsinasi menandakan pembakaran berjalan sempurna,
kontaminan lain pada saat proses kalsinasi. Tepung CaO
dalam hal ini mendekomposisi kandungan karbon pada
dilaporkan memiliki gelombang kristalisasi yang lebar,
cangkang rajungan. Secara umum, kalsinasi merupakan
dengan pemanasan lanjutan dapat diperoleh
proses pembakaran untuk mendekomposisi zat yang
hidroksiapatit yang memiliki gelombang kristalinitas
mudah terbakar, seperti karbon (Setiawan, 2016).
tajam (Negara & Simpen, 2018).
Berdasarkan hasil analisis EDS dapat disimpulkan
Berdasarkan Tabel 3, derajat kristalinitas tepung
bahwa perlakuan terbaik adalah kalsinasi pada suhu
CaO terendah terdapat pada perlakuan suhu 700°C
800°C dengan waktu 5 jam, karena menghasilkan kadar
selama 4 jam dengan nilai 64%, sedangkan yang
kalsium yang terbesar. Tepung CaO ini kemudian dapat
tertinggi ditunjukkan pada perlakuan suhu 800°C selama
diolah lebih lanjut menjadi bubuk hidroksiapatit
5 jam, yaitu 75%. Tepung CaO hasil perlakuan suhu 800°C
selama 4 dan 5 jam dapat dikategorikan

700C 4 jam/hours

700C 5 jam/hours

800C 4 jam/hours

800C 5 jam/hours

Gambar 4. Hasil analisis kualitatif XRD tepung CaO


Figure 4. Qualitative XRD analysis of CaO powders

12
Optimasi Waktu dan Suhu Kalsinasi Tepung Cangkang Rajungan (Portunus sp.).....................(Bagus Hadiwinata et al.)

Tabel 3. Rata-rata derajat kristalinitas tepung CaO cangkang rajungan Table 3.


Crystallinity degree of crab shell CaO powder

Kalsinasi/Calcination Derajat Kristalinitas/


Degree of Crystalinity
Waktu/Time (Jam/Hours ) Suhu/Temperature (°C) (%)

4 700 64.05
5 700 70.16
4 800 71.67
5 800 75.71

sebagai material bahan hidroksiapatit karena Badan Standardisasi Nasional (BSN). (2006c).
menghasilkan derajat kristalinitas di atas 70% (Rana, Pengujian Kadar Protein pada Produk Perikanan.
Akhtar, Rahman, Jamil, & Asaduzzaman, 2017). SNI No. 01 -2354 .4.2006 . Badan Standardisasi
Walaupun demikian, hasil kedua perlakuan tersebut Nasional.
perlu memperhatikan hasil analisa yang lainnya seperti Badan Standardisasi Nasional (BSN). (2010). Pengujian
morfologi, gugus fungsi, dan rendemennya. Kadar Abu pada Produk Perikanan. SNI No. 01-
2354.1-2010. Badan Standardisasi Nasional.
Bose, S., Tarafder, S., Edgington, J., & Bandyopadhyay,
KESIMPULAN
A. (2011). Calcium phosphate ceramics in drug delivery.
Tepung CaO terbaik dihasilkan dari kalsinasi pada suhu Biomaterials for Regenerative Medicine , 63(4), 93-98.
doi: 0.1007/s11837-011-0065-7
800°C selama 5 jam dengan karakteristik morfologi
penampakan yang halus, berkurangnya granula yang Dorozhkin, S. V. (2010 ). Bioceramics of Calcium
Orthophosphates. Biomaterials, 31(7), 1465-85.
tidak seragam, pori yang lebih kecil, kadar kalsium
doi:10.1016/j.biomaterials.2009.11.050.
91,96±5,07%, serta presentase derajat kristalinitas sebesar
Handayani, L., Zuhrayani, R., Putri, N., & Nanda, R. (2020).
75%. Disarankan untuk dilakukan penelitian lanjutan
Pengaruh suhu kalsinasi terhadap nilai rendemen CaO.
untuk menaikkan suhu di atas 800°C, sehingga diperoleh Jurnal Tilapia, 1 (1 ), 1-6 . doi:
morfologi tepung CaO yang lebih halus, derajat 10.30601/tilapia.v1i1.1007
kristalinitas, dan jumlah massa kalsium yang lebih Hanura, A. B., Trilaksani, W., & Suptijah, P. (2017).
tinggi sebagai prekursor hidroksiapatit. Karakterisasi nanohidroksiapatit tulang tuna
Thunnus sp. sebagai sediaan biomaterial. Jurnal Ilmu
UCAPAN TERIMA KASIH dan Teknologi Kelautan Tropis, 9(2), 619-30. doi:
10.29244/jitkt.v9i2.19296
Penelitian ini dibiayai oleh DIPA BBRP2BKP Tahun Harahap, A. W., & Helwani, Z. (2015). Sintesis hidroksiapatit
2020. Dalam penyusunan makalah ini, Fera Roswita melalui precipitated calcium carbonate (PC ) cangkang
Dewi dan Bagus Hadiwinata bertindak sebagai kerang darah dengan metode hidrotermal pada variasi pH
dan waktu reaksi.Jurnal Online Mahasiswa Fakultas
kontributor utama.
Teknik Universitas Riau, 2(2), 1-8.
Henggu, K. U., Ibrahim, B., & Suptijah, P. (2019 ).
DAFTAR PUSTAKA Hidroksiapatit dari cangkang sotong sebagai sediaan
biomaterial perancah tulang. Jurnal Pengolahan
Anitha, P., & Pandya. H. M. (2014). Synthesis, Hasil Perikanan Indonesia, 22(1), 1-13. doi:
characterization and antimicrobial Activity of nano 10.17844/jphpi.v22i1.25869
hydroxyapatite via sol-gel method. Journal of
Ichsan, R. H. N. A., Helwani, Z., & Zultiniar. (2015). Sintesis
Nanotechnology Research and Practice. 3(3), 120-
hidroksiapatit melalui precipitated calcium carbonate
125.
(PCC) dari cangkang kerang darah dengan metode
Badan Standardisasi Nasional (BSN). (2006a). hidrotermal pada variasi waktu reaksi dan rasio Ca/P.
Pengujian Kadar Air pada Produk Perikanan. SNI No. Jurnal Online Mahasiswa Fakultas Teknik Universitas
01-2354.2.2006. Badan Standardisasi Nasional Riau, 2(2), 1-9.
Badan Standardisasi Nasional (BSN). (2006b). Kantharia, N., Naik, S., Apte, S., Kheur, M., Kheur, S., & Kale,
Pengujian Kadar Lemak pada Produk Perikanan. B., (2014 ). Nano-Hydroxyapatite and its
SNI No. 01 -2354 .3.2006 . Badan Standardisasi contemporary applications. Journal of Dental
Nasional. Research and Scientific Development, 1(1), 15. doi:
10.4103/2348-3407.126135

13
JPB Kelautan dan Perikanan Vol. 16 No. 2 Tahun 2021: 121-130

Khoirudin, M., Yelmida, & Zultiniar. (2015). Sintesis dan


Rana, M., Akhtar, M., Rahman, S., Jamil, H. M., &
karakterisasi hidroksiapatit dari kulit kerang darah
Asaduzzaman, S. (2017). Extraction of hydroxyapatite
(Anadara granosa) dengan proses hidrotermal. Jurnal
from bovine and human cortical bone by thermal
Online Mahasiswa Fakultas Teknik , 2(2), 1-8.
decomposition and effect of gamma radiation: a
Kolmas, J., Krukowski, S., Laskus, A., & Jurkitewicz, M. comparative study. International Journal of
(2016). Synthetic hydroxyapatite in pharmaceutical Complementary & Alternative Medicine, 8(3). doi:
applications. Ceramics International, 42(2), 2472-87. 10.15406/ijcam.2017.08.00263
doi:10.1016/j.ceramint.2015.10.048.
Raya, I., Mayasari, E., Yahya, A., Syahrul, M., & Latunra, A.
Kurniawan, A., Nizar, M., Rijal, M., Bagas, R., & Setyarsih,
I. (2015). Shynthesis and characterizations of calcium
W. (2014). Studi pengaruh variasi suhu kalsinasi terhadap hydroxyapatite derived from crabs shells ( Portunus
kekerasan bentuk morfologi, dan analisis porositas
pelagicus ) and its potency in safeguard against to dental
nanokomposit CaO/SiO2 untuk aplikasi bahan biomaterial.
demineralizations. International Journal of Biomaterials,
Jurnal Penelitian Fisika dan Aplikasinya (JPFA),
2015. doi: 10.1155/2015/469176
4(2 ), 22 . doi: 10 .26740 / jpfa.v4n2.p22-26
Riyanto, B., & Maddu, A. 2014. Material of Hydroxyapatite-
Kurniawan, A. M., Hartini, S., & Cahyanti, M. N. (2019).
Based Bioceramics from Tuna Fishbone. Jurnal
Pengaruh konsentrasi fosfat terhadap Perbandingan Ca/P
Pengolahan Hasil Perikanan Indonesia, 16(2). 119-32.
hidroksiapatit dari limbah gipsum industri keramik.
EKSAKTA, 19(1), 46-56. Rizkayanti, Y., & Yusuf, Y. (2019). Optimization of the
temperature synthesis of hydroxyapatite from
Kusumaningrum, I., Sutono, D., & Pamungkas, B. F. (2016).
Indonesian crab shells, International Journal of
Pemanfaatan tulang ikan belida sebagai tepung sumber
Nanoelectronics and Materials, 12(1), 85-92.
kalsium dengan metode alkali. Jurnal Pengolahan Hasil
Perikanan Indonesia, 19(2), 148- Rosalina, W, Pascawinata, A., & Roesnoer, M. (2017).
155. doi: 10.17844/jphpi.2016.19.2.148 Karakteristik scaffold hidroksiapatit dari gigi manusia
menggunakan uji X-Ray Diffraction (XRD). Jurnal B-
Landi, E., Tampieri, A., Celotti, G. & Spriro, S. (2000).
Dent., 4(2),133-40.
Densification behaviourand mechanisms of synthetic
hydroxyapatite. Journal of European Ceramics Setiawan, M. A. (2016). Studi Variasi Ukuran Butir Proses
Society. Desulfurisasi Kokas Petroleum Yang Terkalsinasi. Tugas
Akhir. Program Studi Teknik Material dan Metalurgi:
Lubena, L., Naidir, F., Andrian, B., & Sandi, A. D. (2020).
Institut Teknologi Sepuluh November
Penurunan Turbidity, PH, Kadar Fe Menggunakan
Biokoagulan Kitosan Dari Cangkang Rajungan Suharto, S., Romadhon, & Redjeki, S. (2016). Analisis Susut
(Portunus pelagicus). Jurnal Konversi, 9(1), 7-16. Bobot Pengukusan Dan Rendaman Pengupasan
doi:10.24853/konversi.9.1.10 Rajungan Berukuran Berbeda Dan rajungan bertelur.
Fisheries Science and Technology (IJFST), 12(1), 47-
Negara, I. M. S., & Simpen, I. M. (2018). Karakteristik
51. doi: 10.14710/ijfst.12.1.47-51
hidroksiapatit hasil ekstraksi termal dari tulang limbah
dan aplikasinya untuk adsorpsi ion selektif biru metilen. Sunardi, Irawati, U., & Wianto, T. (2011). Karakterisasi kaolin
Cakra Kimia, 6(2), 123-30. lokal Kalimantan Selatan hasil kalsinasi. Jurnal Fisika
FLUX, 8, 59-65.
Ngapa, Y. D. (2018). Sintesis dan karakterisasi hidroksiapatit (
HAp ) dari limbah dengan metode basah presipitasi. Jurnal Supangat, D., & Cahyaningrum, S. E. (2017). Sintesis dan
Dinamika Sains, 2(1), 67-72. karakterisasi hidroksiapatit dari cangkang kepiting (Scylla
serrata) dengan metode pengendapan basah. UNESA
Purwasasmita, B., & Gultom, R. S. (2008). Sintesis dan
Journal of Chemistry, 6(3),143-49.
karakterisasi serbuk hidroksiapatit skala sub mikron
menggunakan metode presipitasi. Jurnal Bionatura, 10(2), Warastuti, Y., & Abbas, B. (2011 ). Sintesis dan karakterisasi
155–67. pasta injectable bone substitute Iradiasi berbasis
hidroksiapatit. A Scientific Journal for The Applications
Puspita, F. W., & Cahyaningrum, S. E. (2017). Sintesis dan
of sotopes and Radiation, 7(2), 73-82.
karakterisasi hidroksiapatit dari cangkang telur ayam ras
(Gallus gallus) menggunakan metode pengendapan Yang, Y., Wu, Q., Wang, M., Long, J., Mao, Z., & Chen, X.
basah.UNESA Journal of Chemistry, 6(2), 100-106. (2014). Hydrothermal synthesis of hydroxyapatite with
different morphologies: influence of supersaturation of
the reaction system. Crystal Growth & Design,
14(9). doi: 10.1021/cg501063j

14

Anda mungkin juga menyukai