Bagus Hadiwinata1*, Fera Roswita Dewi2, Dina Fransiska2, dan Niken Dharmayanti3
1
Sekolah Usaha Perikanan Menengah Negeri Kotaagung,
Jl. Pantai Harapan, Ds. Way Gelang, Lampung, 35384, Indonesia
2
Balai Besar Riset Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan, Jl. KS
Tubun, Petamburan VI, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, 10260, Indonesia
3
Politeknik Ahli Usaha Perikanan, Jl. Raya Pasar Minggu, Jakarta Selatan, DKI Jakarta, 12520, Indonesia
*Korespondensi penulis : bagushadiwinatams@gmail.com, Diterima: 1
ABSTRAK
Rhodamin B merupakan pewarna sintesis yang berasal dari metanlinilat dan dipanel alanine yang berbentuk serbuk kristal berwarna
merah terang pada konsentrasi rendah. Limbah pewarna sintetis dapat menyebabkan pencemaran lingkungan dan merupakan bahan berbahaya
karena sebagian besar pewarna dan produk yang dikonversi (amina aromatik) memiliki efek karsinogenik dan mutagen beracun terhadap
lingkungan perairan. Penurunan zat warna rhodamine B dalam lingkungan dapat melalui proses adsorpsi menggunakan adsorben cangkang cue
teraktivasi HCl. Cangkang cue adalah salah satu adsorben yang dapat digunakan karena mengandung 33,59% CaO (kalsium karbonat). Dalam
penelitian ini cangkang cue sebanyak 3 kg yang diperoleh dari rumah makan khas Aceh di daerah kaki Gunung Kulu dibersihkan dan dijemur
dibawah sinar matahari. Selanjutnya cangkang cue dihaluskan dan diayak dengan ayakan 40 mesh hingga dihasilkan serbuk cangkang cue
sebanyak 509 g. Kemudian cangkang cue dikeringkan menggunakan oven pada suhu 110ᵒC hingga berat serbuk konstan. Selanjutnya cangkang
cue di kalsinasi menggunakan furnace pada suhu 900ᵒC selama 4 jam untuk menghasilkan abu cangkang cue (adsorben). Kemudian adsorben
tersebut di aktivasi dengan perendaman HCl 1 N selama 24 jam dan dicuci hingga pH netral. Selanjutnya, adsorben cangkang cue dikeringkan
menggunakan oven, didinginkan menggunakan desikator sehingga dihasilkan adsorben cangkang cue teraktivasi HCl. Kemudian adsorben
tersebut dikarakterisasi menggunakan SEM dan XRD. Hasil SEM menunjukkan pori-pori yang terbentuk memiliki tekstur kasar dan tidak
teratur. Hasil uji XRD menunjukkan bahwa atom-atom tersusun secara teratur dan memiliki bentuk kristal. Adsorben cangkang cue diuji
penyerapannya terhadap rhodamine B dalam larutan berair dan diperoleh kondisi optimum terjadi pada pH 3, waktu kontak 60 menit, dan
konsentrasi 10 mg/L. Pengujian isotherm adsorpsi dilakukan menggunakan isotherm Langmuir dan Freundlich, dari kedua jenis isoterm tersebut
yang paling sesuai dengan proses adsorpsi rhodamin B menggunakan adsorben abu cangkang cue adalah isotherm Langmuir dengan nilai r yaitu
0,997.
.
KATA KUNCI : abu cangkang cue, aktivasi, SEM, XRD, adsorpsi, rhodamin B.
ABSTRACT
Rhodamine B is a synthetic dye derived from methanelinylate and dipanel alanine which forms a bright red crystalline powder at
low concentrations. Synthetic dye waste can cause environmental pollution and is a dangerous material because most dyes and
converted products (aromatic amines) have carcinogenic and toxic mutagen effects on the aquatic environment. The reduction of
rhodamine B dye in the environment can be done through an adsorption process using an HCl-activated cue shell adsorbent. Cue
shell is one of the adsorbents that can be used because it contains 33.59% CaO (calcium carbonate). In this research, 3 kg of cue
shells obtained from a typical Acehnese restaurant at the foot of Mount Kulu were cleaned and dried in the sun. Next, the cue shells
were ground and sieved with a 40 mesh sieve until 509 g of cue shell powder was produced. Then the cue shells were dried using
an oven at 110ᵒC until the powder weight was constant. Next, the cue shells are calcined using a furnace at a temperature of
900ᵒC for 4 hours to produce cue shell ash (adsorbent). Then the adsorbent was activated by soaking in 1 N HCl for 24 hours and
washed until the pH was neutral. Next, the cue shell adsorbent is dried using an oven, cooled using a desiccator to produce an
HCl-activated cue shell adsorbent. Then the adsorbent was characterized using SEM and XRD. SEM results show that the pores
formed have a rough and irregular texture. The XRD test results show that the atoms are arranged regularly and have a crystalline
shape. The cue shell adsorbent was tested for its absorption of rhodamine B in aqueous solution and it was found that optimum
conditions occurred at pH 3, contact time 60 minutes, and concentration 10 mg/L. Adsorption isotherm testing was carried out using
Langmuir and Freundlich isotherms. Of the two types of isotherms, the one that best suited the rhodamine B adsorption process
using cue shell ash adsorbent was the Langmuir isotherm with an r value of 0.997.
1
JPB Kelautan dan Perikanan Vol. 16 No. 2 Tahun 2021: 121-130
Kabupaten Aceh Besar. Cangkang cue diambil intensitas sinar x ( Wahyuni & Kurniawati, 2010).
sebanyak 3 Kg.
Aktivasi Abu Cangkang Cue
Metode Abu cangkang Cue (Faunus ater) yang sudah
Preparasi adsorben dari cangkang Cue ditimbang sebayak 20 gram diaktivasi secara kimia,
(Faunus ater) dilakukan dengan cara cangkang Cue dengan direndam menggunakan aktivator asam, yaitu
(Faunus ater) terlebih dahulu dicuci menggunakan HCl. Dengan konsentrasi 1 N selama 24 jam, kemudian
air sampai bersih dengan menggunakan sikat untuk tiriskan. Abu cangkang Cue (Faunus ater) yang sudah
menghilangkan kotoran yang masih terdapat pada teraktivasi selanjutnya di cuci dengan aquades sampai
cangkang Cue. Selanjutnya, pengeringan dengan pH netral. Keringkan menggunakan oven, pada suhu
cara dijemur selama 7 hari (Handayani & Syahputra, 110°C selama 1 jam, dan dinginkan. (Huda dkk., 2020).
2017). Setelah dijemur, cangkang Cue (Faunus ater)
ditumbuk menggunakan lesung, dan diayak dengan Penentuan Panjang Gelombang
ayakan 40 mesh. Sehingga dihasilkan serbuk Larutan Standar Rhodamin B 100 mg/L
cangkang Cue (Faunus ater) yang telah lolos ayakan sebanyak 0,5 mL dimasukkan ke dalam labu ukur 10 mL
40 mesh. yang telah diencerkan. Kemudian dilakukan pengukuran
Kemudian serbuk cangkang Cue (Faunus absorbansi dengan panjang gelombang antara 300-750
ater) didehidrasi dengan memanaskannya di dalam nm menggunakan spektrofotometer UV-Vis (Rachmasari
oven pada suhu 105C untuk menghilangkan kadar & Sugiarso., 2017).
air sampai diperoleh berat yang konstan
(Sudarmawan., dkk. 2020). Selanjutnya, serbuk Pembuatan Kurva Kalibrasi
cangkang Cue (Faunus ater) dimasukkan ke furnace Sebanyak 0,01; 0,03; 0,05; 0,07 dan 0,09 mL
dengan suhu 900C selama 4 jam sampai menjadi larutan standar Rhodamin B 1000 mg/L masing-masing
abu (Handayani & Syahputra, 2017). Abu cangkang dimasukkan ke dalam labu ukur 50 mL dan diencerkan
Cue (Faunus ater) yang dihasilkan selanjutnya sampai tanda batas sehingga diperoleh larutan standar
didinginkan dalam desikator selama 30 menit 0,75; 1,5; 2,25; 3,00 dan 3,75 mL (Sahara dkk., 2018).
sehingga dihasilkan abu cangkang Cue (Faunus Selanjutnya larutan diaduk kemudian larutan dimasukkan
ater). ke dalam kuvet. Adsorbansi masing-masing larutan
diukur menggunakan spektrofotometer UV-Vis pada
Analisis morfologi panjang gelombang maksimum. Selanjutnya, data
adsorbansi dibuat kurva hubungan antara konsentrasi
Morfologi adsorben abu cangkang cue dianalisis
dan adsorbansi menggunakan Microsoft excel sehingga
menggunakan instrumen SEM (Scanning Electron
didapatkan persamaan garis regrasi linear y = ax + b dan
Microscopy). Untuk proses pengambilan gambar
nilai koefisien korelasi (r) yang menunjukkan linearitas
(citra) dengan alat SEM, sampel diletakkan dan kurva baku tersebut (Ngibad, 2019).
ditempel di atas SEM specimen holder dengan
menggunakan carbon double tipe dengan Penentuan Kondisi Optimum Adsorpsi Zat Warna
bagian penampang lintang mengarah vertical ke
atas atau lensa obyektif. Agar susunan lapisan Dalam penelitian ini, kondisi optimum ditemukan
matriks bahan dengan lapisan oksida terlihat berdasarkan tiga faktor yang menjadi variable bebas
jelas. Double tip ini terbuat dari bahan karbon yaitu pH, waktu kontak, dan konsentrasi adsorbat.
yang konduktif di dua sisi yang berfungsi Penentuan kondisi adsorpsi Rhodamin B optimum
menghantarkan semua electron yang masuk ke dilakukan dengan variasi pH 2, 3, 7, dan 9 pada larutan
dalam sampel keluar melalui grounding (Sujatno Rhodamin B 10 mg/L sebanyak 25 mL dengan massa
& Agus, 2015). adsorben 0,5 g dan diaduk dengan pengaduk magnet
selama 20 menit pada suhu kamar. Optimasi waktu
Analisis Unsur kontak dilakukan pada larutan 10 mg/L sebanyak 25 mL
Analisis mengidentifikasi unsur dan bentuk dengan massa adsorben 0,5 g campuran diaduk dengan
dari abu cangkang Cue. Uji karakterisik pengaduk magnet selama 15, 30, 45, 70, dan 75 menit
menggunakan XRD dilakukan dengan (Nurbaeti dkk., 2018). Penentuan konsentrasi optimum
menggunakan alat difraksi sinar x yang memiliki Rhodamin B dengan variasi konsentrasi yaitu 10, 20, 30,
standar riset. Caranya yaitu dengan menekan 40, dan 50 mg/L sebanyak 25 mL dilakukan pada pH dan
tombol ON pada XRD, kemudian diletakkan waktu kontak.(Sahara dkk., 2018).
sampel abu cangkang Cue yang berukuran
nanometer pada tempat sampel. Agar radiasi
sinar x tidak keluar,maka XRD harus tertutup Penentuan Kondisi Optimum Adsorpsi Zat Warna
rapat setelah sampel diletakkan. Kemudian Persentase kondisi optimum zat warna dapat
dengan menggunakan Personal Computer (PC) dihitung menggunakan persamaan berikut (Agustrya
diatur sudut dari goniometer atau pendeteksi dkk., 2015):
intensitas sinar x. dari sinilah nanti akan
didapatkan grafik hubungan antara sudut 2 dan
3
JPB Kelautan dan Perikanan Vol. 16 No. 2 Tahun 2021: 121-130
terbentuklah CaO (Ula, 2021). Pada tahap ini serbuk Aktivasi Aktivasi
cangkang cue sebanyak 358 g dimasukkan ke dalam HCl NaOH
furnace dengan suhu 900C selama 4 jam sampai A1 1.685 1.522 1.602
menjadi abu (Handayani & Syahputra, 2017). Setelah
A2 1.684 1.522 1.602
di furnace abu cangkang cue tersebut dimasukkan ke
dalam oven pada suhu 100C selama 5 menit untuk A3 1.685 1.522 1.602
menurunkan suhunya. Abu cangkang cue yang
RERATA 1.685 1.522 1.602
dihasilkan selanjutnya didinginkan di desikator selama
30 menit sehingga dihasilkan abu cangkang cue yang Ket: A1 = Pengulangan Pertama
digunakan sebagai adsorben. Selanjutnya abu A2 = Pengulangan Kedua
cangkang cue yang telah didinginkan di dalam A3 = Pengulangan Ketiga
desikator kemudian ditimbang dengan berat 93,98 g.
Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa perbandingan
Aktivasi nilai absorbansi pada adsorben cangkang cue dengan
Proses aktivasi kimia pada penelitian ini aktivasi HCl 1 M penyerapan nya lebih baik daripada
dilakukan dengan cara merendam masing-masing absorbansi pada adsorben cangkang cue dengan
abu cangkang cue ke dalam larutan asam kuat yaitu aktivasi NaOH 1 M. Hal ini dikarenakan aktivator HCl
HCl 1 M dan larutan basa yaitu NaOH 1 M selama 24 bersifat higroskopis dimana terikatnya molekul air yang
jam. Setelah perendaman selama 24 jam di cuci ada pada adsorben oleh aktivator HCl menyebabkan pori
dengan aquades sampai pH netral, selanjutnya – pori adsorben cangkang cue semakin besar sehingga
dikeringkan menggunakan oven pada suhu 110C penyerapan terjadi lebih bagus (Sahara dkk.,2018).
selama 1 jam dan didinginkan dalam desikator (Huda
dkk., 2020). Tekstur adsorben yang diaktivasi
menggunakan HCl 1 M lebih halus sedangkan Karakterisasi SEM (Scanning Electron Microscopy)
aktivasi menggunakan NaOH 1 M teksturnya sedikit
kasar. Adsorben cangkang cue yang telah diaktivasi Pengujian menggunakan SEM dilakukan untuk
kemudian diuji Adsorbansi pada larutan Rhodamin B mengetahui ukuran dan tekstur permukaan dari adsorben
10 ppm dan dihasilkan perbandigan nilai adsorbansi cangkang cue aktivasi. Spektrum SEM adalah plot intensitas
pada Tabel 4.1. sinyal elektron terhadap energi elektron. Hasil uji SEM dari
adsorben cangkang cue aktivasi dapat dilihat pada Gambar 4.1
di bawah ini.
5
JPB Kelautan dan Perikanan Vol. 16 No. 2 Tahun 2021: 121-130
Kurva Linieritas
6
Optimasi Waktu dan Suhu Kalsinasi Tepung Cangkang Rajungan (Portunus sp.).....................(Bagus Hadiwinata et al.)
Rhodamin B
Kurva Linearitas
1.58 Konsentrasi (mg/L) Absorbansi
1.56 0.75 0.154
Absorbansi
Gambar 4.4 Grafik Kurva Linearitas Rhodamin B Penentuan Kondisi Optimum Adsorpsi
Rhodamin B
Berdasarkan hasil grafik kurva linearitas
(Gambar 4.4) dapat dilihat bahwa rentang waktu
yang tepat untuk pengujian larutan rhodamin B Penentuan pH Optimum Adsorpsi Rhodamin B
yaitu pada 10 hingga 20 menit yang menunjukkan
garis lurus. Pengujian linieritas spektrofotometer Penentuan pH optimum adsorpsi rhodamin
UV-Vis bertujuan menentukan hubungan linier b dilakukan dengan variasi pH 2, 3, 5, 7, dan 9
antara konsentrasi dan sinyal instrument pada pada larutan Rhodamin B 10 ppm sebanyak 25 mL
serapan normal, deviasi serapan sinyal pada dengan massa adsorben 0,5 g dan diaduk selama
absorbansi minimum (Wardhani dan Nurbayanti., 20 menit dengan kecepatan pengadukan 200 rpms
2019). (Sahara dkk., 2018). Adapun untuk mengubah pH
larutan menjadi pH yang diinginkan adalah
Kurva Kalibrasi menggunakan larutan HCl dan NaOH yang ditetesi
sedikit demi sedikit sampai pH larutan berubah
Kurva Kalibrasi menjadi pH yang diinginkan. Hasil dari uji pH
0.8 optimum adsorpsi Rhodamin B dapat dilihat pada
0.6 f(x) = 0.1434 x + 0.00860000000000005 grafik di bawah ini (Gambar 4.6).
Absorbansi
0.4 R² = 0.99970247471035
0.2 Pengaruh pH pada adsorpsi Rho-
0 damin B Menggunakan Adsorben
0.5 1 1.5 2 2.5 3 3.5 4 4.5 5 5.5 Cangkang Cue
Konsentrasi (mg/L) 15.000
Adsorpsi (%)
10.000
5.000
Gambar 4.5 Kurva Kalibrasi Larutan Standar 0.000
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Rhodamin B
pH
Berdasarkan grafik kurva kalibrasi (Gambar
4.5) dapat dilihat bahwa nilai absorbansi
berbanding lurus dengan konsentrasi, semakin Gambar 4.6 Grafik Uji pH Adsorpsi Rhodamin B
besar konsentrasi maka absorbansi yang
dihasilkan juga semakin besar. Hubungan antara Gambar 4.6 dapat dilihat bahwa pengaruh
absorbansi dan konsentrasi yang diperoleh pH dalam pengujian Rhodamin B Rmerupakan
menghasilkan persamaan regresi linear, y = salah satu hal yang penting dalam adsorpsi karena
0,1434x + 0,0086 dengan nilai koefisien korelasi (r) mempengaruhi persentase penyerapan adsorpsi.
sebesar r = 0,999. Nilai r yang diperoleh mendekati Menurut (Nurafriyanti, 2017) kondisi pH larutan
1 sehingga grafik kurva kalibrasi tersebut layak yang akan diadsorpsi mempengaruhi proses
untuk digunakan dalam pengujian. Adapun nilai adsorpsi. Hal ini dapat dilihat dari persentase
absorbansi kurva kalibrasi di atas dapat dilihat penyerapan rhodamin b dengan bebagai variasi pH
pada Tabel 4.2 berikut ini. bahwa pH optimum adsorpsi rhodamin
menggunakan adsorben abu cangkang cue adalah
pH 3 yaitu pada kondisi asam dengan persentase
Tabel 4.2 Nilai Absorbansi Kurva Kalibrasi Standar penyerapan 12,06 %. Menurut Putri dkk., (2019) pH
7
JPB Kelautan dan Perikanan Vol. 16 No. 2 Tahun 2021: 121-130
8
Optimasi Waktu dan Suhu Kalsinasi Tepung Cangkang Rajungan (Portunus sp.).....................(Bagus Hadiwinata et al.)
Karakteristik Gugus Fungsi Tepung CaO masuk ke dalam tepung CaO (Kurniawan, Hartini, &
Cangkang Rajungan Cahyanti, 2019).
Hasil uji SEM abu cangkang cue (Gambar 4.1) Hasil analisis gugus fungsi menunjukkan masih
menunjukkan bahwa permukaan morfologi adsorben terdapat hidroksil (OH-). Hal ini terlihat pada hasil
cangkang cue setelah aktivasi HCl memiliki ciri khas perlakuan kalsinasi pada suhu 700°C selama 4 jam yang
tekstur kasar dan tidak teratur. Pada tingkat mikroskopis, muncul pada 3746,02; 3641,44 dan 3435,77 cm-1.
terlihat bahwa pori-pori yang terbentuk lebih banyak dan Sedangkan pada perlakuan 5 jam, gugus OH- terlihat
membentuk rongga pori-pori dengan kedalaman yang pada 3642,32 dan 2919,24 cm-1. Untuk perlakuan
besar dan merata. Kondisi ini mengindikasikan bahwa kalsinasi cangkang rajungan pada suhu 800°C selama 4
adsorben ini memiliki struktur permukaan yang sangat jam, gelombang OH- berada pada sekitar 3642,51 dan
berpori dan berongga. Pentingnya tekstur ini terletak pada 3435,28 cm-1. Sedangkan pada waktu 5 jam gugus OH-,
kemampuan adsorben untuk menangkap dan menyimpan muncul pada 3787,44 dan 3640,79 cm-1. Pada perlakuan
zat-zat tertentu. Dengan memiliki pori-pori yang lebih 800°C selama 5 jam, terlihat lengkungan tajam pada
banyak dan rongga pori yang merata, adsorben dapat gelombang 3640,79 cm-1. Hal ini menandakan bahwa
menawarkan area permukaan yang lebih besar untuk pemanasan kurang sempurna dalam pelepasan H2O.
berinteraksi dengan molekul yang akan diadsorpsi. Dekomposisi H2O berjalan dengan baik ditandai dengan
Bentuk permukaan berpori menjadi faktor penting karena hilangnya lengkungan tajam pada gelombang 4000-3000
berkontribusi pada kemampuan adsorben tersebut dalam cm-1 (Sunardi, Irawati, & Wianto, 2011). Masih adanya
melakukan proses adsorpsi. Menurut (Zein dkk., 2019) gugus OH- pada tepung CaO hasil penelitian ini
pori-pori tersebut bertindak sebagai media tempat proses kemungkinan juga dapat disebabkan penyimpanan
adsorpsi adsorbat berlangsung sehingga konsentrasi tepung CaO yang terlalu lama di dalam furnace selama 5
adsorbat berkurang dalam larutan. Adapun luas jam setelah proses kalsinasi selesai.
permukaan pori adsorben cangkang cue teraktivasi HCl
diatas dihitung dari gambar SEM perbesaran 3000 x, 6000 Morfologi Tepung CaO
x dan 10000 x adalah sebesar 5 μm, 2 μm, dan 1 μm.
Hasil analisis morfologi tepung CaO menunjukkan
bahwa cangkang rajungan yang telah dikalsinasi
membentuk algomerasi atau gumpalan (Gambar 3). Hal
ini sesuai dengan hasil penelitian Ichsan, Helwani, dan
Zultiniar (2015) yang menyatakan bahwa setelah proses
kalsinasi, morfologi tepung CaO berbentuk gumpalan.
Terdapat kesamaan antara Gambar 3a sampai 3c, tepung
kalsium berbentuk gumpalan datar berpori serta masih
terdapat granula yang tidak seragam dan kasar. Hal
berbeda terlihat dari tepung CaO pada Gambar 3D, yaitu
bentuk partikelnya halus dan tidak kasar . Halusnya
partikel pada perlakuan suhu 800°C selama 5 jam dapat
disebabkan tingginya suhu kalsinasi. Semakin tinggi
suhu pemanasan, dapat menyebabkan pengecilan
hingga penutupan pori- pori tepung, serta
menghilangnya batas-batas dari granula tersebut
(Kurniawan, Nizar, Rijal, Bagas, & Setyarsih, 2014).
Morfologi tepung CaO yang halus lebih aman untuk
diaplikasikan pada manusia. Morfologi CaO yang
kasar/tajam dapat menyebabkan peradangan hingga
melukai jaringan pada tubuh sehingga berpotensi
menyebabkan bahaya (Dorozhkin, 2010).
9
JPB Kelautan dan Perikanan Vol. 16 No. 2 Tahun 2021: 121-130
85.2
a
962.34,81.12
84
82 3787.44,78.69
80
712.55,81.81
78 2874.89,79.04
76 2920.15,78.43 2513.42,79.31 1797.38,77.67 603.84,78.41 PO4
74
3640.79,75.22 PO4 570.89,77.10
72 OH
70 1089.15,73.00
3435.81,72.60
%T 68 PO4
66 1048.30,69.04
64 873.96,68.74
62
60
58
56
54
52
50
48.0 1423.58,50.61
4000.0 3600 3200 2800 2400 2000 1800 cm-1 1600 1400 1200 1000 800 600 450.0
88.4
86 961.05,87.27 b
873.69,86.57
84
2016.69,85.69
1628.13,85.09
82
80 1415.29,81.63
3736.02,77.10 2851.07,80.67
78
1456.55,80.89 CO3
2919.31,76.69
%T 1089.86,78.21
76
74
PO4
72 1048.47,74.78
3435.77,72.14
70
68
OH
66
3641.44,66.43
64.0
4000.0 3600 3200 2800 2400 2000 1800 1600 1400 1200 1000 800 600 450.0
cm-1
88.4 962.21,87.08
87
86
c
85
2517.58,86.70 1795.62,86.98
84 712.28,86.06
83 2851.67,85.22 PO4
82
2919.94,84.29 1624.02,83.69 874.33,84.08
81
80
1089.85,80.84
79
78
PO4 602.47,79.60
77
O
%TH
76 1049.25,77.96 567.39,77.48
3435.28,76.56
75 CO3
74 1455.97,75.94
73
72 OH
71
3642.51,71.21
70
69
4000.0 3600 3200 2800 2400 2000 1800 1600 1400 1200 1000 800 600 450.0
cm-1
89.8
89
88 963.14,89.21 d
875.95,89.05
87
86 1631.71,86.84
2851.30,86.03
85
84
2912.24,84.97 CO3
83 1467.93,84.58
82 1090.16,83.16
%T 81
80 PO4
1050.11,80.68
79
78
77 3435.32,78.32
76
75
74
73
72 OH
71 3642.32,71.82
71.0
4000.0 3600 3200 2800 2400 2000 1800cm-1 1600 1400 1200 1000 800 600 450.0
Gambar 2. Hasil analisis gugus fungsi tepung CaO cangkang rajungan pada berbagai perlakuan suhu dan waktu
kalsinasi; a. Perlakuan kalsinasi 700°C selama 4 jam, b. 700°C selama 5 jam, c. 800°C selama 4 jam, d.
800°C selama 5 jam.
Figure 2. Results of functional groups analysis of CaO powder from crab shells with temperature and
time variation; a. calcination treatments of 700°C for 4 hours, b. 700°C for 5 hours, c. 800°C
for 4 hours, d. 800°C for 5 hours.
10
Optimasi Waktu dan Suhu Kalsinasi Tepung Cangkang Rajungan (Portunus sp.).....................(Bagus Hadiwinata et al.)
a b
c d
Gambar 3. Hasil analisis morfologi tepung CaO pada perlakuan suhu dan waktu kalsinasi; a. Perlakuan kalsinasi 700°C
selama 4 jam, b. 700°C selama 5 jam, c. 800°C selama 4 jam, d. 800°C selama 5 jam.
Figure 3. Morphological analysis results of CaO powder with temperature and time variation; a.
calcination treatments of 700°C for 4 hours, b. 700°C for 5 hours, c. 800°C for 4 hours, d.
800°C for 5 hours.
Suhu/
Waktu/Time Kalsium/ Fosfor/ Oksida/ Karbon/
Temperature
(Jam/Hours ) Calcium Phosphor Oxide Carbon
(°C)
4 700 78.61 ± 2.65 a 3.84 ± 1.81a 8.79 ± 2.85a 8.76 ± 1.59a
5 700 80.36 ± 1.31a 5.12 ± 2.04a 6.60 ± 0.52a 4.33 ± 0.19b
4 800 89.88 ± 0.22b 2.40 ± 0.23a 4.21 ± 0.58a 3.51 ± 0.18b
5 800 91.96 ± 2.93b 5.09 ± 1.57a 2.63 ± 0.73a 3.14 ± 0.86b
Keterangan/Notes:
Notasi yang berbeda menunjukan perbedaan yang siginifikan terhadap perlakuan/Different superscripts label denotes
significant difference across treatments.
11
JPB Kelautan dan Perikanan Vol. 16 No. 2 Tahun 2021: 121-130
terkecil terdapat pada perlakuan 800°C selama 5 jam, dengan dicampur prekursor fosfor. Fosfor jenis H3PO4
sedangkan perlakuan 700°C selama 4 jam berfungsi untuk menambahkan kadar fosfor pada reaksi
menghasilkan jumlah oksigen tepung terbesar. sintesis hidroksiapatit (Puspita & Cahyaningrum,
Jumlah massa karbon tepung CaO dipengaruhi oleh 2017).
perlakuan kalsinasi (p<0,05). Hasil uji lanjut
menunjukkan perlakuan suhu 700°C selama 4 jam Persentase Derajat Kristalinitas Tepung CaO
dengan perlakuan lainnya menghasilkan jumlah massa Cangkang Rajungan
karbon yang berbeda nyata (p<0,05), sedangkan antara
Hasil analisa kualitatif derajat kristalinitas terdapat
perlakuan suhu 700°C selama 5 jam dengan 800°C
pada Gambar 4. Hasil XRD menunjukan pola difraksi
selama 4 jam dan 5 jam menunjukkan jumlah massa
kristalinitas masih terdapat puncak yang melebar atau
karbon yang tidak berbeda nyata (p>0,05). Jumlah
belum tajam. Hal tersebut menandakan tepung CaO yang
karbon terbesar terdapat pada perlakuan 700°C selama 4
diperoleh belum sempurna menjadi hidroksiapatit sehingga
jam, sedangkan yang paling kecil pada perlakuan 800°C
masih harus dilakukan pemanasan lanjutan. Selain itu,
selama 5 jam. Berkurangnya jumlah massa karbon hasil
puncak yang melebar juga menandakan masih terdapat
kalsinasi menandakan pembakaran berjalan sempurna,
kontaminan lain pada saat proses kalsinasi. Tepung CaO
dalam hal ini mendekomposisi kandungan karbon pada
dilaporkan memiliki gelombang kristalisasi yang lebar,
cangkang rajungan. Secara umum, kalsinasi merupakan
dengan pemanasan lanjutan dapat diperoleh
proses pembakaran untuk mendekomposisi zat yang
hidroksiapatit yang memiliki gelombang kristalinitas
mudah terbakar, seperti karbon (Setiawan, 2016).
tajam (Negara & Simpen, 2018).
Berdasarkan hasil analisis EDS dapat disimpulkan
Berdasarkan Tabel 3, derajat kristalinitas tepung
bahwa perlakuan terbaik adalah kalsinasi pada suhu
CaO terendah terdapat pada perlakuan suhu 700°C
800°C dengan waktu 5 jam, karena menghasilkan kadar
selama 4 jam dengan nilai 64%, sedangkan yang
kalsium yang terbesar. Tepung CaO ini kemudian dapat
tertinggi ditunjukkan pada perlakuan suhu 800°C selama
diolah lebih lanjut menjadi bubuk hidroksiapatit
5 jam, yaitu 75%. Tepung CaO hasil perlakuan suhu 800°C
selama 4 dan 5 jam dapat dikategorikan
700C 4 jam/hours
700C 5 jam/hours
800C 4 jam/hours
800C 5 jam/hours
12
Optimasi Waktu dan Suhu Kalsinasi Tepung Cangkang Rajungan (Portunus sp.).....................(Bagus Hadiwinata et al.)
4 700 64.05
5 700 70.16
4 800 71.67
5 800 75.71
sebagai material bahan hidroksiapatit karena Badan Standardisasi Nasional (BSN). (2006c).
menghasilkan derajat kristalinitas di atas 70% (Rana, Pengujian Kadar Protein pada Produk Perikanan.
Akhtar, Rahman, Jamil, & Asaduzzaman, 2017). SNI No. 01 -2354 .4.2006 . Badan Standardisasi
Walaupun demikian, hasil kedua perlakuan tersebut Nasional.
perlu memperhatikan hasil analisa yang lainnya seperti Badan Standardisasi Nasional (BSN). (2010). Pengujian
morfologi, gugus fungsi, dan rendemennya. Kadar Abu pada Produk Perikanan. SNI No. 01-
2354.1-2010. Badan Standardisasi Nasional.
Bose, S., Tarafder, S., Edgington, J., & Bandyopadhyay,
KESIMPULAN
A. (2011). Calcium phosphate ceramics in drug delivery.
Tepung CaO terbaik dihasilkan dari kalsinasi pada suhu Biomaterials for Regenerative Medicine , 63(4), 93-98.
doi: 0.1007/s11837-011-0065-7
800°C selama 5 jam dengan karakteristik morfologi
penampakan yang halus, berkurangnya granula yang Dorozhkin, S. V. (2010 ). Bioceramics of Calcium
Orthophosphates. Biomaterials, 31(7), 1465-85.
tidak seragam, pori yang lebih kecil, kadar kalsium
doi:10.1016/j.biomaterials.2009.11.050.
91,96±5,07%, serta presentase derajat kristalinitas sebesar
Handayani, L., Zuhrayani, R., Putri, N., & Nanda, R. (2020).
75%. Disarankan untuk dilakukan penelitian lanjutan
Pengaruh suhu kalsinasi terhadap nilai rendemen CaO.
untuk menaikkan suhu di atas 800°C, sehingga diperoleh Jurnal Tilapia, 1 (1 ), 1-6 . doi:
morfologi tepung CaO yang lebih halus, derajat 10.30601/tilapia.v1i1.1007
kristalinitas, dan jumlah massa kalsium yang lebih Hanura, A. B., Trilaksani, W., & Suptijah, P. (2017).
tinggi sebagai prekursor hidroksiapatit. Karakterisasi nanohidroksiapatit tulang tuna
Thunnus sp. sebagai sediaan biomaterial. Jurnal Ilmu
UCAPAN TERIMA KASIH dan Teknologi Kelautan Tropis, 9(2), 619-30. doi:
10.29244/jitkt.v9i2.19296
Penelitian ini dibiayai oleh DIPA BBRP2BKP Tahun Harahap, A. W., & Helwani, Z. (2015). Sintesis hidroksiapatit
2020. Dalam penyusunan makalah ini, Fera Roswita melalui precipitated calcium carbonate (PC ) cangkang
Dewi dan Bagus Hadiwinata bertindak sebagai kerang darah dengan metode hidrotermal pada variasi pH
dan waktu reaksi.Jurnal Online Mahasiswa Fakultas
kontributor utama.
Teknik Universitas Riau, 2(2), 1-8.
Henggu, K. U., Ibrahim, B., & Suptijah, P. (2019 ).
DAFTAR PUSTAKA Hidroksiapatit dari cangkang sotong sebagai sediaan
biomaterial perancah tulang. Jurnal Pengolahan
Anitha, P., & Pandya. H. M. (2014). Synthesis, Hasil Perikanan Indonesia, 22(1), 1-13. doi:
characterization and antimicrobial Activity of nano 10.17844/jphpi.v22i1.25869
hydroxyapatite via sol-gel method. Journal of
Ichsan, R. H. N. A., Helwani, Z., & Zultiniar. (2015). Sintesis
Nanotechnology Research and Practice. 3(3), 120-
hidroksiapatit melalui precipitated calcium carbonate
125.
(PCC) dari cangkang kerang darah dengan metode
Badan Standardisasi Nasional (BSN). (2006a). hidrotermal pada variasi waktu reaksi dan rasio Ca/P.
Pengujian Kadar Air pada Produk Perikanan. SNI No. Jurnal Online Mahasiswa Fakultas Teknik Universitas
01-2354.2.2006. Badan Standardisasi Nasional Riau, 2(2), 1-9.
Badan Standardisasi Nasional (BSN). (2006b). Kantharia, N., Naik, S., Apte, S., Kheur, M., Kheur, S., & Kale,
Pengujian Kadar Lemak pada Produk Perikanan. B., (2014 ). Nano-Hydroxyapatite and its
SNI No. 01 -2354 .3.2006 . Badan Standardisasi contemporary applications. Journal of Dental
Nasional. Research and Scientific Development, 1(1), 15. doi:
10.4103/2348-3407.126135
13
JPB Kelautan dan Perikanan Vol. 16 No. 2 Tahun 2021: 121-130
14