Anda di halaman 1dari 9

Konservasi Benda Cagar Budaya Berbahan Cu Dengan Asam Pada Kulit Buah

Nanas Dan Pencegahan Korosi Lanjutan Dengan Salep Ekstrak Daun Jambu Biji
Sundari Desi Nuryanti

Latar belakang
Berdasarkan UU No 11 tahun 2010 tentang Cagar Budaya, Bab I Pasal 1,
bahawasanya Cagar Budaya adalah warisan budaya bersifat kebendaan berupa Cagar
Budaya, Bangunan Cagar Budaya, Struktur Cagar Budaya, Situs cagar Budaya, dan
Kawasan cagar Budaya di darat dan/atau di air yang perlu dilestarikan keberadaannya
karena memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/
atau kebudayaan melalui proses penetapan. Keberagaman benda cagar budaya (BCB) di
Indonesia terdiri dari bendawi maupun non bendawi. Pada BCB bendawi, material cagar
budaya terdiri dari serat tekstil, kertas, fosil, logam, batu, keramik, bata, dan kayu. Di
beberapa Balai Konservasi maupun museum telah melakukan berbagai kegiatan
konservasi BCB baik yang berbahan dasar kayu, logam , kulit, kertas maupun tekstil
sesuai dengan spesialitas pada masung-masing Balai konservasi maupun museum.
Sebagai contoh, konservasi logam keris pada balai konservasi Borobudur dan konservasi
buku-buku kuno di museum Radia Pustaka. Pada BCB yang berbahan dasar logam
terdapat beberapa macam bentuk seperti senjata, mata uang (koin logam) dan peralatan
rumah tangga yang bahan dasarnya berasal dari besi, tembaga, emas, perak, perunggu,
dan lainnya.
Pada BCB berbahan logam Cu, yang contohnya antara lain uang koin, umumnya
ditemukan dalam keadaan terkorosi. Hal ini ditunjukkan dengan adanya lapisan hijau
yang berada pada permukaan logam. Korosi dapat terjadi karena adanya reaksi oksidasi
logam Cu yang dipicu oleh oksigen (O2), air, dan asam. Peristiwa korosi pada logam
tembaga, perunggu dan paduannya yang berbahan dasar tembaga, menyebabkan
terbentuknya dua lapisan oksida, yaitu Cu2O dan CuO (Vlack dan Lawrence, 1994)
dengan warna merah bata, sedangkan lapisan hijau disebut sebagai lapisan patina atau
kupri karbonat (CuCO3) (Luka, dkk. 2011). Luas permukaan terkorosi akan semakin
lebar hingga dapat merusak logam penyusun utamanya, jika tidak segera diberihkan. Hal
tersebut dapat berdampak pada berkurangnya nilai historis logan BCB tersebut karena
semakin pudar garis ukiran yang terdapat pada permukaannya. Reaksi terbentuknya
oksida logam Cu karena adanya air dan pengaruh lingkungan sebagai berikut.
Beberapa metode konservasi yang dapat dilakukan untuk menghilangkan lapisan
korosi pada permukaan logam, antara lain dengan metode mekanik, kimia dan gabungan
antara mekanik-kimia. Penghilangan padatan keras pada permukaan logam dapat
dilakukan secara mekanik yaitu dengan cara penggosokan, sedangkan secara kimiawi
dengan menggunakan bahan kimia. Metode pembersihan logam perak, perunggu, dan
besi dengan cara penggosokan didapatkan hasil yang kurang efektif (Fatmawati, 2014).
Pembersihan dengan cara penggosokan dapat merusak logam tersebut, karena koin logam
BCB yang ditemukan umumnya sudah rapuh atau telah mengalami kerusakan.
Pembersihan korosi logam dapat dilakukan dengan perendaman dalam asam kuat
disertai dengan penggosokan (Hamilton, 1999). Hasil yang diperoleh menggunakan
metode ini kurang maksimal dan dapat merusak penyusun utama logam itu sendiri. Hal
ini disebabkan karena asam kuat dapat melarutkan logam penyusun utama dalam waktu
relative cepat, sehingga untuk mencegah kerusakan maka digunakan pelarut yang bersifat
asam lemah.
Menurut Bell (1997), asam lemah yang mempunyai kemampuan pelarutan tinggi,
juga dapat bersifat sebagi pereduksi dan pengompleks. Asam lemah yang dapat berperan
menghilangkan oksida logam secara efektif yaitu asam askorbat (Karomah, 2016) dan
asam oksalat (Asih, 2016). Asam lemah ini dapat menghilangkan oksida logam dan tidak
merusak logam utamanya. Asam –asam lemah tersebut dapat diperoleh dari alam, salah
satunya pada buah nanas. Nanas (Ananas comosus), memiliki asam – asam lemah seperti
asam sitrat, asam malat dan asam oksalat. Jenis asam yang paling dominan pada buah
nanas adalah asam sitrat, yakni sebesar 78% dari total asam (Irfandi, 2005). Penggunaan
limbah kulit buah nanas sebagai bahan dasar konservasi logam Cu, selain mengikuti trend
dari metode konservasi yang berbasis kearifan lokal yaitu penggunaan bahan alami pada
kegiatan konservasi, juga sebagai pemanfaatan limbah kulit buah nanas yang masih
belum maksimal.
Pengkorosian kembali pada logam yang telah dibersihkan dapat terjadi dengan
adanya kontak dengan air dan lingkugan sekitar yang menyebabkan terjadinya reaksi
oksidasi kembali. Pencegahan reaksi korosi kembali dapat dilakukan dengan
menambahkan agen inhibitor pada logam yang telah dibersihlan. larutan inhibitor yang
sering digunakan untk konservasi logam adalah inhibitor basa, seperti NaOH, Na2CO3,
Na3H(CO3)2 (Hamilton, 1999).
Seperti halnya buah nanas, agen inhibitor korosi lanjutan juga dapat berasal dari
alam, bahan alami yang dapat digunakan sebagai larutan inhibitor adalah bahan alami
yang mengandung tannin, salah satunya adalah daun teh. Ludiana (2012) telah menguji
ekstrak daun teh sebagai inhibitor korosi baja karbon dan hasilnya menunjukkan bahwa
daun the merupakan inhibitor korosi baja karbon yang efektif. Bahan lain yang
mengandung tannin yang mudah serta murah didapat adalah daun jambu biji. Daun
Jambu biji (Psidium guajava) dalam lingkup farmasi telah lama digunakan sebagai
antidiare karena kandungan tanninnya. Menurut Rondang (2015) tannin yang berasal dari
daun jambu biji dapat menghambat korosi pada logam besi dengan larutan medium asam
klorida.
Metode perendaman dengan menggunakan ekstrak daun the pada pencegahan
korosi lanjutan pada penelitian sebelumnya menunjukkan hasil yang baik, dengan
perbandingan semakin lama waktu perendaman maka semakin kuat daya inhibisasi teh
tersebut sebagai agen inhibitor korosi lanjutan (Elly, 2017). Pada penelitian tersebut,
dibutuhkan waktu perendaman hingga 7 hari untuk mendapatkan hasil yang maksimum.
Berdasarkan efektivitasnya, metode perendaman hingga berhari-hari dinilai tidak
praktis dan ekonomis jika diaplikasikan pada BCB yang sebagian besar berukuran besar
dan sulit untuk dipindahkan. Alternative lain untuk mengatasi hal tersebut yaitu dengan
pembuatan sediaan yang mudah dibawa dan aplikasikan pada BCB yang berukuran besar
dan sulit dipindahkan, salah satu contohnya adalah sediaan salep. Salep merupakan
sediaan semipadat yang terdiri dari hidrokarbon cair yang dicampur dalam suatu
kelompok hidrokarbon padat dengan titik leleh yang lebih tinggi (Lachman Lieberman,
2009). Bahan baku yang sering digunakan sebagai pembawa adalah petrolatum, karena
konsistensi, kelunakan dan sifatnya yang netral. Basis ini sukar dicuci dan dapat
digunakan sebagai penutup oklusif yang menghambat penguapan. Terdapat berbagai
macam basis salep, antara lain basis hidrokarbon, basis serap, basis yang dapat dicuci
dengan air, basis yang larut dalam air. Basis hidrokarbon dapat melekat dalam waktu
yang lama, sukar dicuci dengan air, mengurangi penguapan, dan mudah menyebar saat
digunaka. Basis serap, tidak mudah hilang dengan pencucian dengan air, dapat digunakan
untuk mencampurkan campuran larutan berair dan berlemak. Basis yang dapat dicuci
dengan air, dapat menyerap caian yang dikeluarkan oleh luka, dapat membentuk lapisan
tipis setelah air menguap pada tempat yang digunakan. Basis yang larut dalam air, sangat
mudah melunak dengan penambahan air. Melihat profil BCB yang berbahan logam Cu
yang mudah terkorosi dengan adanya kontak dengan air dan lingkungan sekitar maka,
basis salep hidrokarbon dinilai paling tepat untuk aplikasi metode konservasi BCB
berbhan logam Cu. Dengan demikian, Salep ekstrak daun jambu biji diharapkan dapat
menjadi inhibitor korosi yang murah, mudah dan ramah lingkungan.

Tujuan Penelitian
1. Mengetahui jenis dan jumlah zat penyusun korosi pada permukaan koin logam
BCB
2. Mengetahui kemampuan ekstrak kulit buah nanas dalam melarutkan zat penyusun
korosi
3. Menguji efektivitas sediaan salep ekstrak daun jambu biji sebagai penghambat
korosi lanjutan pada koin logam BCB
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi pada bidang konservasi koin
logam BCB dengan penerapan metode pembersihan yang efektif, ramah lingkungan, dan
dengan biaya yang murah serta dapat menjadi metode baku pada konservasi koin logam
BCB yang memiliki nilai sejarah tinggi.

Rancangan penelitian
Rancangan penelitian yang dibuat sebagai pembuktian secara eksperimental penelitian
tersebut. Pertama, dilakukan analisis dan identifikasi senyawa yang terkandung dalam
logam BCB dengan alat Difraktometer Sinar-X (XRD) dan Spektrofotometer Serapan
Atom (SSA). Pada tahapan ini dilakukan preparasi koin logam BCB yang akan
dibersihkan, ditimbang dan diambil endapan yang menempel pada permukaan koin
logam BCB yang selanjutnya akan dianalis. Langkah kedua, dilakukan pembersihan
korosi pada permukaan koin logam BCB dengan metode pelarutan. Langkah ini
dilakukan dengan cara perendaman terhadap koin logam BCB menggunakan pelarut
sampel asam dari ekstrak kulit buah nanas. Larutan hasil pelarutan koin logam BCB
dengan pelarut asam dari kulit buah nanas kemudian dianalisis dengan menggunakan
AAS. Langkah ketiga, pembuatan salep ekstrak daun jambu biji dengan variasi
konsentrasi. Keempat, dilakukan pemeliharaan terhadap koin logam BCB yang telah
dibersihkan dengan pelapisan menggunakan salep ekstrak daun jambu biji.

METODOLOGI
ALAT
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain peralatan gelas pyrex
laboratorium, neraca analitik Mettler AE-200, Difraktometer Sinar-X (Shimadzu XRD-
600), pH meter MH-30R, Spektrofotometer Serapan Atom (AAS) Analytik Jena
ContrAA nomor seri 300, bejana maserasi, rotary evaporator (Heidolph), alat-alat gelas,
penangas air, lempeng kaca berskala, alat uji daya sebar, alat uji daya lekat, pot untuk gel,
stick pH, penggaris.


BAHAN
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sampel yang berupa koin logam
kategori Benda Cagar Budaya (BCB), kulit buah nanas dan daun jambu biji yang diambil
dari daerah Bantul, Asam Sulfat (H2SO4) 0,1 M, Kalium Permanganat (KMnO4) 0,01
M, Natrium Hidroksida (NaOH) 0,05 M, Asam Oksalat (H2C2O4) 0,01 M, indicator PP
(phenoptalein), Asam Klorida 1 M, dan larutan standar 1000 ppm untuk logam Cu, Fe,
Zn, dan Pb yang semuanya berkualitas Pro Analisis (PA) buatan E-Merck, aquabides,
aquades dan etanol 50%. Bahan salep dengan derajat farmasetis yang digunakan yaitu
Vaselin Album dan Adeps Lanae yang diambil dari laboratorium Farmasetika UAD.
Prosedur


1 Pembuatan ekstrak kulit buah nanas


a. Pembuatan larutan ekstrak kulit buah nanas

Proses pelarutan asam organik dari kulit buah nanas dilakukan dengan cara kulit buah
o
nanas dicuci dan dipotong kecil-kecil, dikeringkan dalam oven pada 60 C selama 1 jam
sehingga layu dan sebagian airnya hilang. Sebanyak 5 gram dari kulit buah nanas yang
telah layu ditumbuk kemudian dicampur dengan 100 mL akuabides. Selanjutnya larutan
o
tersebut diaduk dan dipanaskan pada suhu 60 C selama 90 menit. Kemudian disaring
untuk diperoleh filtratnya. Filtrat ini disebut sebagai larutan sampel asam.

b. Penentuan asam total dan asam reduktor dalam larutan ekstrak kulit buah nanas

Larutan sampel asam hasil pelarutan dari kulit buah nanas dianalisis kandungan asam-
asam organiknya dengan metode titrasi alkalimetri dan permanganometri.

Metode titrasi alkalimetri digunakan untuk mengetahui kandungan asam total dalam kulit
buah nanas. Titrasi dilakukan pada larutan sampel asam dengan larutan standar NaOH
dan menggunakan indikator PP (phenolptalein). NaOH yang digunakan sebagai larutan
standar terlebih dahulu distandarisasi dengan asam oksalat murni. Sebanyak 5 mL
H2C2O4 0,01 M ditambah dengan 2 tetes indikator PP, titrasi hingga larutan sampel
berubah menjadi warna merah muda dan warna bertahan hingga 30 detik sebagai tanda
akhir titrasi. Titrasi diulang sebanyak 3 kali. Untuk menganalisis kandungan asam total
dari kulit buah nanas dilakukan dengan menambahkan 2 tetes indikator PP pada 5 mL
larutan sampel asam, setelah itu dilakukan titrasi dengan NaOH yang telah distandarisasi
sebelumnya. Titrasi yang dilakukan diulang sebanyak 3 kali.

Metode titrasi permanganometri dilakukan untuk menganalisis kandungan asam reduktor,


yaitu asam organik yang mengalami oksidasi oleh KMnO4 yang merupakan zat
oksidator. Larutan KMnO4 yang digunakan sebagai larutan standar terlebih dahulu
dilakukan standarisasi dengan H2C2O4 0,01 M. Standarisasi dilakukan dengan cara 25
mL larutan H2C2O4 yang telah ditambah dengan 10 mL larutan H2SO4 0,1 M dititrasi
dengan larutan KMnO4 hingga larutan sampel berubah menjadi warna merah muda
mantap sebagai titik akhir titrasi. Titrasi yang dilakukan diulang sebanyakk 3 kali.
Selanjutnya dilakukan analisis kandungan asam reduktornya dengan cara 5 mL larutan
sampel asam dalam erlenmeyer yang ditambah dengan 5 mL larutan H2SO4 0,1 M
dititrasi dengan larutan KMnO4 yang telah distandarisasi sebelumnya. Titrasi dilakukan
sebanyak 3 kali.
2. Pembuatan larutan standar

a. Pembuatan larutan standar Cu 1000 ppm


Larutan standar induk Cu 1000 ppm dilakukan dengan cara 0,3929 gram CuSO4.5H2O
dilarutkan ke dalam akuades hingga volume 100 mL. Melalui beberapa pengenceran dari
larutan induk tersebut kemudian dibuat larutan standar Cu 0; 2; 4; 6; 8 dan 10 ppm untuk
pembuatan kurva kalibrasi Cu.

b. Pembuatan larutan standar Fe 1000 ppm


Larutan standar induk Fe 1000 ppm dilakukan dengan cara melarutkan 0,4872 gram
FeCl3.6H2O dilarutkan ke dalam akuades hingga volume 100 mL. Melalui pengenceran
larutan induk tersebut dibuat larutan standar Fe dengan konsentrasi 0; 2; 4; 6; 8 dan 10
ppm untuk pembuatan kurva kalibrasi Fe.

c. Pembuatan larutan standar Pb 1000 ppm


Larutan standar induk Pb 1000 ppm dilakukan dengan cara melarutkan 0,1598 gram
Pb(NO3)2 ke dalam akuades hingga volume 100 mL. Melalui pengenceran dari larutan
induk tersebut kemudian dibuat larutan standar Pb dengan konsentrasi 0; 2; 4; 6; 8 dan 10
ppm untuk pembuatan kurva kalibrasi Pb.

d. Pembuatan larutan standar Zn 1000 ppm


Larutan standar induk Zn 1000 ppm dilakukan dengan cara melarutkan 0,4398 gram
ZnSO4.7H2O ke dalam akuades hingga volume 100 mL. Melalui pengenceran dari
larutan induk tersebut kemudian dibuat larutan standar Zn dengan konsentrasi 0; 2; 4; 6; 8
dan 10 ppm untuk pembuatan kurva kalibrasi Zn.

3. Analisis dan identifikasi padatan korosi yang menempel pada koin logam BCB

a. Analisis dengan alat XRD


Lapisan pada permukaan koin logam BCB diambil seberat kurang lebih 1 mg, kemudian
dihaluskan. Sampel ini kemudian diisikan dalam sampel specimen dan dimasukkan ke
dalam alat XRD yang dioperasikan dengan logam target Cu dan pellet Ni pada sudut
difraksi 3-80, sehingga diperoleh pola difraksi dari sampel. Pola difraksi sampel yang
diperoleh kemudian diinterpretasikan dengan cara membandingkan pola difraksi sampel
yang diperoleh dengan pola difraksi standar yang sesuai.

b. Analisis dan identifikasi dengan alat AAS



Seberat 0,041 g lapisan pada permukaan koin logam BCB dilarutkan ke dalam 10 mL
larutan asam nitrat pekat dan dipanaskan sampai volume kira-kira setengah dari volume
awal. Larutan ini kemudian diencerkan hingga volume 100 mL dan selanjutnya dianalisis
dengan alat AAS pada panjang gelombang yang sesuai dengan unsur Cu, Fe, Pb, dan Zn
yang akan ditentukan konsentrasinya. Perhitungan konsentrasi dilakukan dengan cara
membandingkan absorbansi sampel dengan absorbansi larutan standar. Dari langkah ini
dapat diperoleh kadar logam Cu, Fe, Pb, dan Zn dalam padatan korosi pada koin logam
BCB.

4. Pembersihan padatan korosi pada koin logam BCB dengan ekstrak kulit buah
nanas

Optimasi waktu pembersihan padatan korosi pada koin logam BCB dengan ekstrak kulit
buah nanas.

Satu keping koin logam BCB yang telah terkorosi ditimbang sebagai berat awal (W 0).
Selanjutnya padatan korosi pada koin logam BCB dilarutkan dalam 25 mL larutan
ekstrak kulit buah nanas dengan variasi waktu perendaman yaitu 1 jam, 2 jam, 3 jam, 5
jam, 7 jam, 10 jam, dan 24 jam. Koin logam BCB yang padatan korosinya telah
dilarutkan, kemudian dikeringkan dan ditimbang sampai berat konstan, sebagai berat
akhir (Wt). Berat endapan yang hilang dihitung dengan rumus :

ΔW = W0- Wt

Larutan ekstrak kulit buah nanas yang telah digunakan dalam pelarutan padatan korosi
pada koin logam BCB kemudian dianalisis dengan AAS untuk mengetahui jumlah Cu,
Fe, Pb dan Zn yang terlarut dari padatan korosi koin logam BCB, sehingga diperoleh
waktu pelarutan yang optimum.

5. Pembuatan Ekstrak daun jambu biji

Serbuk daun Jambu Biji 250 gram direndam ke dalam etanol 95% sebanyak 1000 mL,
ditutup dengan alumunium foil dan dibiarkan selama 3 hari sambil sesekali diaduk.
Setelah 3 hari, sampel yang direndam tersebut disaring menggunakan kertas saring
menghasilkan filtrat 1 dan ampas 1. Ampas yang ada kemudian ditambah dengan larutan
etanol 95% sebanyak 750 mL, ditutup dengan alumunium foil dan dibiarkan selama 2
hari, sampel tersebut disaring menggunakan kertas saring menghasilkan filtrat 2 dan
ampas 2. Filtral 1 dan 2 dicampur menjadi satu. Filtrat yang didapat diuapkan dengan
waterbath pada suhu 40°C sehingga didapat ekstrak kental daun Jambu Biji.

6. Pembuatan Salep
Vaselin album ditambahkan dengan parafin liquid yang sebelumnya ditambahkan nipagin
dan diaduk hingga nipagin larut, kemudian dipanaskan diwaterbath. Campuran tersebut
diaduk di mortir hangat hingga campuran homogen dan terbentuk konsistensi salep,
ditunggu hingga campuran dingin kemudian ditambahkan ekstrak daun jambu biji dan
diaduk hingga keseluruhan bahan homogen. Setelah itu dimasukkan kedalam pot salep.
Formulasi sediaan salep ekstrak daun jambu biji disajikan pada table I.

Tabel I. Formula salep daun jambu biji dengan variasi konsentrasi

Formulasi Kontrol FI F II F III


(dalam gram) negative (-)

Ekstrak daun 0 0,3 0,9 1,5


jambu biji

Vaselin album 89,85 89,55 88,95 88,35

Parafin Liq. 10 10 10 10

Nipagin 0,15 0,15 0,15 0,15

Jumlah 100 100 100 100

Uji Organoleptis Salep Ekstrak daun jambu biji

Uji organoleptis salep dilakukan sebagai uji pendahuluan yang meliputi bau, warna dan
konsistensi dari salep


Uji homogenitas

Sediaan salep ekstrak daun jambu biji dioleskan pada kaca transparan. Sediaan salep
kemudian digosok dan diraba untuk mengetahui homogenitasnya.


Uji daya lekat

Salep diletakkan di atas objek gelas, kemudian objek gelas yang lain diletakkan di
atasnya dan ditekan dengan beban seberat 1 kg selama 5 menit. Selanjutnya objek gelas
dipasang pada alat uji. Kemudian beban seberat 80 g dilepaskan dan dicatat waktunya
sehingga kedua objek gelas tersebut terlepas.

Uji daya sebar

Salep seberat 500 mg salep ditimbang dan di letakkan di tengah kaca bulat berskala.
Sebelumnya ditimbang dahulu kaca yang lain dan diletakkan kaca tersebut di atas gel dan
dibiarkan selama 1 menit. Diameter salep yang menyebar diukur dengan mengambil
panjang rata- rata diameter dari beberapa sisi. Diameter salep yang menyebar diukur
sampai beban seberat 200 gram.

7. Inhibisi korosi pada koin logam BCB menggunakan gel ekstrak daun jambu biji

Satu keping koin logam BCB yang telah bersih dari korosi diolesi dengan salep ekstrak
daun jambu biji. Koin logam BCB yang telah dilakukan pengolesan dengan salep ekstrak
daun jambu biji kemudian direndam dalam larutan HCl 1 M selama 1, 3, 6, 9 hari.
Langkah ini dilakukan untuk mengetahui perbedaan proses korosi lanjutan pada koin
logam BCB yang telah diberi dan tanpa inhibitor. Koin logam BCB yang telah direndam
dalam HCl 1 M tersebut, kemudian dikeringkan dan dilihat muncul atau tidaknya korosi
pada permukaan koin logam BCB tersebut. Selama proses korosi dalam waktu tertentu,
produk korosi diangkat dari media korosi, dan dicuci, dikeringkan dalam oven pada suhu
o
110 C, kemudian ditimbang sebagai berat akhir. Berat awal dari besi adalah berat besi
sebelum direndam ke dalam larutan. Laju reaksi korosi dan efisiensi inhibisi korosi
dihitung dengan persamaan (1) dan (2) berikut (Asdim, 2007, Kumar et al, 2013):

Laju Reaksi Korosi=


Berat Awal - Berat Akhir

Luas Plat Besi x Waktu Perendaman

Efisien Inhibisi =

Vko - Vki X 100%

Vki

dimana :
Vko=Laju reaksi korosi tanpa inhibitor ,Vki=Laju reaksi korosi dengan
inhibitor

Anda mungkin juga menyukai