Anda di halaman 1dari 2

Pembangunan berkelanjutan berwawasan lingkungan pulau-pulau kecil

Sebagai negara kepulauan terbesar di Dunia, yang terdiri dari 17.508 pulau dan garis pantai sepanjang
81.000 km (terpanjang ke dua di Dunia setelah Canada) serta wilayah laut teritorial seluas 5,1 juta km 2 (63 %
dari total wilayah teritorial Indonesia), ditambah dengan Zona Ekonomi Eksklusif seluas 2,7 juta km 2,
sesungguhnya Indonesia memiliki potensi sumberdaya alam pesisir dan lautan yang sangat besar dan
beraneka- ragam. Dari sekian ribu pulau tersebut, sebagian besar merupakan pulau-pulau kecil yang
jumlahnya lebih dari 10.000 buah.

Pulau-pulau kecil pada umumnya memiliki potensi sumberdaya alam daratan (terestrial) yang sangat
terbatas, tetapi sebaliknya memiliki potensi sumberdaya kelautan yang cukup besar, dimana potesi
perikanan di pulau-pulau kecil didukung oleh adanya ekosistem seperti terumbu karang, padang lamun
(seagrass) dan mangrove. Sumberdaya kelautan pada kawasan pulau-pulau kecil memiliki potensi keaneka-
ragaman hayati yang bernilai ekonomi tinggi seperti berbagai jenis ikan, udang dan kerang, yang
kesemuanya merupakan aset bangsa yang sangat strategis untuk dikembangkan dengan basis kegiatan
ekonomi pada pemanfaatan sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan (environmental service) kelautan.

Dengan semakin meningkatnya jumlah penduduk dan intensitas pembangunan, dan kenyataan bahwa
sumberdaya alam di daratan (seperti hutan, lahan pertanian) dan mineral terus menipis atau sukar untuk
dikembangkan, maka sumberdaya kelautan akan menjadi tumpuhan harapan bagi kesinambungan
pembangunan ekonomi nasional di masa mendatang Kebutuhan manusia akan sumber daya alam terus
meningkat setiap waktu, baik sumber daya yang dapat diperbarui maupun yang tidak dapat diperbarui.

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pada pasal 28H ayat (1) menyebutkan bahwa
“Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup
yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”. Pasal lain yang mengatur tentang
lingkungan hidup yaitu Pasal 33 ayat (4) yang berbunyi “Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar
atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan
lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional”

Perkembangan konsep sustainable development

Konsep pembangunan berkelanjutan mulai berkembang setelah adanya Deklarasi Stockholm pada tahun
1972. Setelah Deklarasi Stockholm dibentuklah komisi lingkungan tingkat dunia yaitu World Commission on
Environment and Development (WCED). Pada tahun 1987 WCED dalam laporan yang berjudul “Our
Common Future” dimana di dalamnya terdapat konsep pembangunan berkelanjutan (sustainable
development) yang mengandung makna bahwa terdapat keterbatasan kemampuan lingkungan yang
diciptakan oleh kondisi teknologi dan organisasi sosial untuk memenuhi kebutuhan generasi sekarang dan
yang akan datang. Sedangkan definisi Sustainable development menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa yaitu
merupakan pembangunan yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan saat ini tanpa mengurangi
kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka.
Pembangunan berkelanjutan yang melibatkan generasi saat ini dan generasi masa mendatang memerlukan
upaya bersama untuk mencapai tujuan dengan menyeimbangkan tiga aspek penting yaitu ekonomi, sosial,
dan perlindungan lingkungan. tiga aspek tersebut sangat penting dan berpengaruh bagi kesejahteraan
masyarakat. Pulau-pulau kecil merupakan salah satu aset kelautan Indonesia yang sangat penting bukan
saja dari aspek sumberdaya alam tetapi juga dari aspek jasa lingkungan dan nilai politiknya. Oleh karena itu
pulau-pulau kecil harus dibangun berdasarkan konsep pembangunan yang berkelanjutan.

Masalah utama yang dihadapi pulau-pulau kecil umumnya berupa: kegiatan penangkapan ikan dengan
menggunakan bom dan racun sianida yang tidak ramah lingkungan, yang dilakukan oleh para nelayan,
dijadikannya pulau-pulau kecil sebagai tempat untuk menambang pasir laut, tempat untuk membuang
berbagai limbah yang berasal dari aktivitas penduduk, di samping tekanan-tekanan ekologi lainnya seperti
sedimentasi dan pencemaran. Jika kondisi ini terus dibiarkan, maka dapat berakibat serius pada rusaknya
habitat ikan dan berbagai biota perairan lainnya, menipisnya sumberdaya alam dan merosotnya kualitas
lingkungan perairan.

Untuk menangani masalah di atas, pembangunan berkelanjutan pulau-pulau kecil dapat dilakukan melalui
dua pendekatan, melalui pendekatan ekonomi dan ekologi yang lebih difokuskan pada pola usaha
“agromarine”. Dengan pendekatan pola agromarine ini, diharapkan dapat tercapainya tujuan (teleologi)
yaitu: meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan penduduk setempat di satu sisi, dan terpeliharanya
kelestarian sumberdaya hayati dan lingkungan di sisi lain. Karena pada dasarnya, konsep pembangunan
dengan pendekatan pola agromarine adalah pola pendayagunaan alam yang mengutamakan sumberdaya
hayati laut agar diperoleh manfaat optimal Agar pembangunan pulau-pulau kecil dengan pendekatan pola
agromarine ini dapat terlaksana secara optimal dan berkelanjutan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat,
khususnya penduduk asli pulau tersebut, maka pola pembangunan agromarine hendaknya didasarkan tiga
prinsip dasar utama, yaitu: (1) kesesuaian dan daya dukung lingkungan; (2) pendekatan agrobisnis
(perikanan); dan (3) pendekatan kemitraan.

Pembangunan Berkelanjutan atau Sustainable Development dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009
Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup merupakan upaya sadar dan terencana yang
memadukan aspek lingkungan hidup, sosial, dan ekonomi ke dalam strategi pembangunan untuk menjamin
keutuhan lingkungan hidup serta keselamatan, kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup generasi masa
kini dan generasi masa depan.

Anda mungkin juga menyukai