Anda di halaman 1dari 3

Nama : Ahmad Hefrizal Andriansyah

NIM : 2000874201195
MK : Hukum Kelembagaan Negara

Tugas Artikel

A. Artikel Kasus

Kilas Balik : Sengketa Lembaga Negara Antara DPR dan Presiden


Yayang Nuraini Zulfiani
Penulis dan Aktivis
5 November 2022 16:43 WIB

Sengketa lembaga negara antara DPR dengan Presiden seringkali terjadi dan
tidak menutup kemungkinan akan terus terjadi dari tahun ke tahun sebagai bentuk
interaksi antar lembaga yang memiliki suatu kepentingan. Sengketa lembaga negara
antara Dewan Perwakilan Rakyat atau biasa disebut sebagai DPR dengan Presiden
berkaitan pula dengan pernyataan Montesquieu dalam The Spirit of Law Book XI –
6, yang menyatakan bahwa : “In order to have this liberty, it is requisite the
government be so constituted as one man need not be afraid of another When
legislative and executive powers are united in the same person, or in the same body
of magistrates, there can be no liberty; because apprehension may arise, lest the
same monarch or senate should enact tyrannical laws, to execute them in a tyrannic
manner. Again, there is no liberty, if the judiciary power not be separated from
legislative and executive.”
Sengketa lembaga negara antara dewan perwakilan rakyat (DPR) dengan
presiden menurut penulis, tentunya sangat berkaitan dengan kewenangan oleh
karenanya di dalam menjalankan kewenangannya setiap lembaga negara memiliki
interaksi dan kebutuhan akan berhubungan dengan lembaga-lembaga negara lain
sehingga interaksi maupun hubungan-hubungan ini yang justru dapat bermanfaat
dalam menjalankan kewenangan maupun dapat menimbulkan sengketa antar
lembaga-lembaga negara sehingga menurut opini penulis, sengketa lembaga
negara dapat disebut sebagai “a conflict or controversy”.
Sengketa lembaga negara menurut Jimly Asshiddiqie adalah “sengketa
kewenangan antarlembaga negara yaitu, perbedaan pendapat yang disertai
persengketaan dan klaim antarlembaga negara yang satu dengan lembaga negara
lainnya mengenai kewenangan yang dimiliki oleh masing-masing lembaga negara
tersebut” sehingga dalam implementasinya menurut penulis memang besar sekali
kemungkinan lembaga negara di Indonesia mengalami sengketa.
Sengketa lembaga negara pernah terjadi antara Presiden dengan Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR), kilas baliknya hal ini terjadi ketika dilaksanakannya
penonaktifan Kapolri dan dikeluarkannya maklum Presiden, dengan kewenangannya
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengeluarkan memorandum satu kepada
presiden Gus Dur dengan argumentasi bahwa Presiden Gus Dur dianggap telah
terlibat dalam kasus Buloggate dan Bruneigate serta dianggap melawan atau tidak
mau kompromi dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Sehingga, sengketa
lembaga negara antara Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dengan Presiden Gus Dur
saat proses pelengseran adalah hal yang termasuk kedalam sengketa lembaga
negara, Mahfud MD melakukan analisa bahwa secara hukum tata negara
memorandum yang dikeluarkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tersebut
salah karena seharusnya Presiden baru dapat diberi memorandum apabila telah
terbukti melanggar haluan negara, bukan hanya dugaan saja. Kasus sengketa
lembaga negara yang lain pun terjadi ketika Presiden Gus Dur melakukan pecatan
Kapolri tanpa persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang harusnya dalam
prosesinya perlu mendapat persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
meskipun keadaannya mendesak sekalipun, sehingga dalam hal ini jelas terjadi
sengketa kewenangan negara, bahkan menurut Majelis Permusyawaratan Rakyat
(MPR) hal ini dianggap sangat salah barulah saat itu Majelis Permusyawaratan
Rakyat (MPR) segera menggelar sidang istimewa karena presiden telah melanggar
haluan negara. Tidak hanya itu, sengketa muncul ketika Presiden Gus Dur
mengeluarkan maklumat yang isinya membubarkan Majelis Permusyawaratan
Rakyat (MPR) dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Majelis Permusyawaratan
Rakyat (MPR) meminta pendapat kepada Mahkamah Agung (MA) terkait tindakan
membubarkan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dan Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR) seperti itu melanggar konstitusi atau tidak melanggar konstitusi, tentu
saja hal ini melanggar konstitusi, namun Presiden Gus Dur tetap tegas bahwa yang
melanggar konstitusi adalah Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) itu sendiri.

B. Komentar

Penjelasan singkat terkait alasan Sengketa Lembaga Negara antara Dewan


Perwakilan Rakyat (DPR) dengan Presiden. Dalam kasus ini sengketa telah
memenuhi tolak ukur untuk mengajukan perkara ke Mahkamah Konstitusi (MK)
sebagaimana dalam Undang-Undang, yaitu sengketa memuat:
a. Kewenangan;
b. Yang menjadi pihak adalah lembaga negara yang kewenangannya diberikan
oleh Undang-Undang Dasar 1945; dan
c. Lembaga negara memiliki kepentingan langsung terhadap kewenangan yang
dipersengketakan.
Kemudian, terkait kewenangan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang
dalam kedudukannya adalah anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat,
berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 beserta Penjelasan Umum nomor VII,
Bab 22 bagian pertama tentang susunan dan kedudukan MPR/DPR RI maka Majelis
Permusyawaratan Rakyat sangat bertanggung jawab pada Undang-Undang Dasar
1945 berdasarkan subjudul III tentang kekuatan tertinggi berada di tangan MPR.
Oleh karena itu, dari segi hukum positif pada saat itu tentunya presiden tidak bisa
membubarkan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) maupun Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR). Seiring perkembangan zaman, untuk mengurangi "gesekan"
sengketa antar lembaga negara maka check and balances diterapkan kepada
berbagai lembaga negara karena kedudukannya setara dan tidak ada lagi lembaga
tertinggi, sehingga amandemen Undang-undang Dasar 1945 dapat melaksanakan
implementasi dengan baik untuk penyelesaian sengketa antara lembaga negara
yakni melalui Mahkamah Konstitusi yang dijelaskan didalam Pasal 24C Ayat (1)
Undang-Undang Dasar 1945 dan Pasal 10 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 24
Tahun 2003 yang berbunyi: “Memutus sengketa kewenangan antar lembaga negara
yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar”.

Anda mungkin juga menyukai