Nama
Nama
NIM : 2000874201195
MK : Hukum Kelembagaan Negara
Tugas Artikel
A. Artikel Kasus
Sengketa lembaga negara antara DPR dengan Presiden seringkali terjadi dan
tidak menutup kemungkinan akan terus terjadi dari tahun ke tahun sebagai bentuk
interaksi antar lembaga yang memiliki suatu kepentingan. Sengketa lembaga negara
antara Dewan Perwakilan Rakyat atau biasa disebut sebagai DPR dengan Presiden
berkaitan pula dengan pernyataan Montesquieu dalam The Spirit of Law Book XI –
6, yang menyatakan bahwa : “In order to have this liberty, it is requisite the
government be so constituted as one man need not be afraid of another When
legislative and executive powers are united in the same person, or in the same body
of magistrates, there can be no liberty; because apprehension may arise, lest the
same monarch or senate should enact tyrannical laws, to execute them in a tyrannic
manner. Again, there is no liberty, if the judiciary power not be separated from
legislative and executive.”
Sengketa lembaga negara antara dewan perwakilan rakyat (DPR) dengan
presiden menurut penulis, tentunya sangat berkaitan dengan kewenangan oleh
karenanya di dalam menjalankan kewenangannya setiap lembaga negara memiliki
interaksi dan kebutuhan akan berhubungan dengan lembaga-lembaga negara lain
sehingga interaksi maupun hubungan-hubungan ini yang justru dapat bermanfaat
dalam menjalankan kewenangan maupun dapat menimbulkan sengketa antar
lembaga-lembaga negara sehingga menurut opini penulis, sengketa lembaga
negara dapat disebut sebagai “a conflict or controversy”.
Sengketa lembaga negara menurut Jimly Asshiddiqie adalah “sengketa
kewenangan antarlembaga negara yaitu, perbedaan pendapat yang disertai
persengketaan dan klaim antarlembaga negara yang satu dengan lembaga negara
lainnya mengenai kewenangan yang dimiliki oleh masing-masing lembaga negara
tersebut” sehingga dalam implementasinya menurut penulis memang besar sekali
kemungkinan lembaga negara di Indonesia mengalami sengketa.
Sengketa lembaga negara pernah terjadi antara Presiden dengan Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR), kilas baliknya hal ini terjadi ketika dilaksanakannya
penonaktifan Kapolri dan dikeluarkannya maklum Presiden, dengan kewenangannya
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengeluarkan memorandum satu kepada
presiden Gus Dur dengan argumentasi bahwa Presiden Gus Dur dianggap telah
terlibat dalam kasus Buloggate dan Bruneigate serta dianggap melawan atau tidak
mau kompromi dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Sehingga, sengketa
lembaga negara antara Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dengan Presiden Gus Dur
saat proses pelengseran adalah hal yang termasuk kedalam sengketa lembaga
negara, Mahfud MD melakukan analisa bahwa secara hukum tata negara
memorandum yang dikeluarkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tersebut
salah karena seharusnya Presiden baru dapat diberi memorandum apabila telah
terbukti melanggar haluan negara, bukan hanya dugaan saja. Kasus sengketa
lembaga negara yang lain pun terjadi ketika Presiden Gus Dur melakukan pecatan
Kapolri tanpa persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang harusnya dalam
prosesinya perlu mendapat persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
meskipun keadaannya mendesak sekalipun, sehingga dalam hal ini jelas terjadi
sengketa kewenangan negara, bahkan menurut Majelis Permusyawaratan Rakyat
(MPR) hal ini dianggap sangat salah barulah saat itu Majelis Permusyawaratan
Rakyat (MPR) segera menggelar sidang istimewa karena presiden telah melanggar
haluan negara. Tidak hanya itu, sengketa muncul ketika Presiden Gus Dur
mengeluarkan maklumat yang isinya membubarkan Majelis Permusyawaratan
Rakyat (MPR) dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Majelis Permusyawaratan
Rakyat (MPR) meminta pendapat kepada Mahkamah Agung (MA) terkait tindakan
membubarkan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dan Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR) seperti itu melanggar konstitusi atau tidak melanggar konstitusi, tentu
saja hal ini melanggar konstitusi, namun Presiden Gus Dur tetap tegas bahwa yang
melanggar konstitusi adalah Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) itu sendiri.
B. Komentar