Anda di halaman 1dari 21

LAPORAN TEKNIK PENGOLAHAN DAGING

Inovasi sosis
“Chesee Sausage With Mushroom”

Oleh:
Baiq Amelia Nurhayati
B0D018049

PROGRAM STUDI D3 PETERNAKAN


FAKULTAS PETERNAKAN
UNIVERSITAS MATARAM
2022
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Manusia memerlukan makanan untuk melangsungkan kehidupannya.
Makanan tersebut ada yang berasal dari nabati maupun hewani. Makanan yang berasal
dari hewani merupakan makanan yang mengandung nilai gizi yang lebih tinggi dari
pada nilai gizi yang terkandung didalam makanan berasal dari nabati. Makanan yang
berasal dari produk hewani mempunyai berbagai aneka macam seperti daging, telur,
dan susu. Daging sendiri berasal dari berbagai aneka hewan ternak seperti ternak
unggas yaitu ayam, itik dll, ternak ruminansia besar seperti sapi, kerbau dll, ternak
ruminansia kecil seperti kambing, domba dll, dan pseudoruminan yaitu kelinci. Dari
berbagai daging hewan ternak tersebut didapatkan berbagai produk makanan yang
mempunyai cita rasa dan flavor yang unik dan beraneka ragam. Contohnya seperti
bakso,sosis,kornet dll yang merupakan produk olahan dari daging sapi. Produk-produk
seperti itu tentunya telah diterima oleh masyarakat sebagai konsumsi sehari-hari.
Sosis merupakan produk olahan daging yang berasal dari negeri China dan
populer dan berkembang di daratan Eropa. Olahan daging ini merupakan makanan
yang mendunia hampir disetiap negara pasti mengonsumsi sosis. sosis menjadi
makanan yang digemari oleh masyarakat karena cita rasa sosis yang enak dan
pengolahannya relatif mudah. Sosis menjadi makanan sehari-hari bagi masyarakat
eropa dan masyarakat Amerika dimakan dengan cara menyelipkan diantara dua roti
atau makanan ini biasa disebut dengan hotdog Selain rasanya yang enak sosis juga
mengandunmg nilai gizi yang baik seperti mengandung makro nutrient yaitu protein
berasal dari daging, lemak berasal dari daging dan karbohidrat yang berasal dari
tepung tapioka. Selain itu sosis juga dapat dinikmati oleh kalangan semua umur mulai
dari anak-anak sampai dewasa.

1.2. Tujuan
Untuk mengetahui cara pembuatan sosis yang sesuai dengan standar
pembuatan sosis dan berinovasi dalam pembuatan sosis
BAB II
TINJAUN PUSTAKA

2.1. Daging
Daging adalah urat daging (otot) yang melekat pada kerangka, kecuali urat
daging bagian bibir, hidung, dan telinga yang berasal dari hewan yang sehat waktu
dipotong. Daging juga didefinisikan sebagai semua jaringan hewan dan produk
olahannya yang tidak menimbulkan penyakit bagi manusia (Soeparno, 1994). Daging
terdiri dari tiga komponen utama yakni otot, jaringan ikat, jaringan lemak yang
terdapat pada daging dibedakan menurut lokasinya yaitu lemak bawah kulit
(subkutan), lemak antar otot (intermuskular), lemak dalam otot (intramuskular) dan
lemak dalam sel (intraseluler) (Muchtadi dan Sugiyono, 1992). Protein daging sendiri
dibagi menjadi tiga kelompok berdasarkan kelarutannya, yaitu protein sarkoplasma,
protein miofibril dan protein stroma (Ockerman, 1983). Secara fisik daging
dikelompokkan menjadi enam kelompok, yaitu (1) daging segar yang dilayukan atau
tanpa pelayuan, (2) daging segar yang dilayukan dan didinginkan, (3) daging segar
yang dilayukan, didinginkan kemudian dibekukan, (4) daging masak, (5) daging asap,
dan (6) daging olahan (Soeparno, 1994).

2.2. Sosis
Kata sosis berasal dari bahasa latin salsus yang berart garam. Sosis merupakan
salah satu produk daging giling atau daging cincang yang diberi bumbu dan dimasukan
kedalam selongsong atau casing menjadi bentuk silindris. Casing yang digunakan
dapat berupa dari usus hewan atau bahan sintetis. Kedalam adonan sosis biasanya
ditambahkan tepung, susu skim, lemak es atau air dan protein nabati (Pearson dan
Tauber,1984). Forest et al.,(1975) menyebutkan bhawa sosis adalah daging giling yang
diberi bumbu dan juga mengalami proses curing, pemanasan dan pengasapan. Curing
adalah proses pengolahan daging dengan menambhakan garam NaCl, Natrium nitrit
dan atau natrium nitrat serta bumbu-bumbu (soeparno,1998). Bumbu-bumbu yang
biasa dipakai seperti lada, pala, bunga pala, kepulage, cengkeh ketumbar, bawang
putih, paprika dan jahe. Penambahan nitrit pada proses curing terutama berguna
sebagai pembangkit warna khas curing (merah cerah dan stabil) dan pemberi citarasa
yang khas. Fosfat juga sering ditambahkan untuk menurunkan pH dan memperbaiki
warna (schmidt,1988). Komponen daging yang sangat penting dalam pembuatan sosis
adalah protein. Protein daging berperan dalam peningkatan hancuran daging selama
pemasakan sehingga membentuk struktur produk yang kompak. Peran protein yang
lain adalah pembentukan emulsi daging, yaitu protein yang berfungsi sebagai zat
pengemulsi lemak (Kramlich ,1971). Menurut SNI 01-3020-1995 sosis adalah produk
makanan yang diperoleh dari campuran daging halus (mengandung daging tidak
kurang dari 75%) dengan tepung atau pati dengan atau tanpa penambahan bumbu-
bumbu dan bahan tambahan makanan lain yang diizinkan dan dimasukan ke dalam
selongsong sosis.

2.3. Emulsi Sosis


Emulsi adalah suatu sistem dua fase yang terdiri atas suatu dispersi sua cairan
atau senyawa yang tidak dapat bercampur, yang satu terdispersi pada yang lain. Cairan
yang berbentuk globula - globula kecil disebut fase dispersi atau fase diskontinu, dan
cairan tempat terdispersinya globula-globula tersebut disebut fase kontinu. Protein-
protein daging yang terlarut bertindak sebagai pengemulsi dengan membungkus atau
menyelimuti semua permukaan partikel yang terdispersi (Soeparno,1994). Kandungan
protein yang tinggi akan meningkatkan kapasitas emulsi daging. Kapasitas emulsi dari
berbagai daging trimming menurun dengan menurunnya kandungan lean. Garam
mampu melarutkan lebih banyak protein sehingga lebih tersedia untuk emulsifikasi.
Karena itu, lemak yang lebih banyak bisa diemulsi dengan protein ynag lebih sedikit
sehingga meningkatkan efisiensi. Kapasitas emulsi dari protein larut dalam air lebih
rendah dibandingkan dengan kapasitas emulsi protein larut dalam garam (Wilson et
al., 1981).
Menurut Charley (1982), emulsi terdiri atas tiga fase atau bagian. Satu , fase
terdispersi yang terdiri dari partikel-partikel yang tidak dapat larut. Pada makanan, zat
ini biasanya minyak, meskipun tidak selalu. Fase kedua adalah fase kontinu. Pada
makanan, zat ini biasanya air. Jika air dan minyak dicampur, keduanya akan langsung
memisah dan dan terlihat garis pemisah yang jelas. Agar partikel-partikel salah satu
cairan tersuspensi dalam cairan lainnya, dibutuhkan zat ketiga, yaitu molekul –
molekul yang mempunyai afinitas untuk kedua cairan diatas. Zat ini dinamakan
pengemulsi

2.4. Tahap-tahap pembuatan sosis


Tahap-tahap pembuatan sosis meliputi grinding (penggilingan), mixing,
(pencampuran), choping (penghalusan dan pencampuran semua bahan-bahan),
emulsifying (pengemulsian), stuffing (pengisian), linking dan tying (pengikatan),
smoking dan cooking (pengasapan dan pemasakan) kecuali sosis segar, chilling
(pendinginan ) dan pengepakan (pearson dan tauber,1984).

2.5. Bahan baku pembuatan sosis


Bahan baku pembuatan sosis umumnya terdiri dari bahan utama dan bahan
tambahan. Bahan utama terdiri dari daging, lemak atau minyak, es dan garam. Bahan
tambahan terdiri dari bahan pengisi, bahan pengikat, bumbu-bumbu dan bahan
makanan lain yang diizinkan (Ridwanto, 2003).

A. Daging
Daging yang umumnya digunakan untuk pembuatan sosis adalah daging yang
nilai ekonomisnya kurang, namun harus daging yang masih segar dan tidak banyak
mengandung mikroba misalnya daging skeletal, daging leher, daging rusuk, daging
dada dan daging tetelan (Soeparno, 1994). Daging yang digunakan untuk pembuatan
sosis sebaiknya daging pre rigor, yaitu daging dengan pH sekitar 6,2-6,8 karena pH
tersebut protein daging masih belum terlalu banyak yang terdenaturasi sehingga daya
mengikat airnya masih bagus (Xiong dan Mikel, 2001).

B. Lemak atau minyak


Lemak atau minyak dalam pembuatan sosis berfungsi untuk memberikan rasa
lezat, mempengaruhi keempukan dan juiceness daging dari produk yang dihasilkan
(Pearson dan Tauber, 1973). Penggunaan lemak cair akan menghasilkan emulsi yang
kurang stabil bila dibandingkan dengan lemak hewan. Hal ini karena lemak cair mudah
membentuk coalescence yaitu bergabungnya butiran-butiran lemak kecil menjadi
butiran besar atau globula. Bentuk globula akan lebih sulit terselubungi dalam
pembentukan emulsi sehingga emulsi yang terbentuk mudah pecah yang berakibat
pada keluarnya minyak selama proses pemasakan sosis (Smith, 2001).

C. Es Batu
Es atau air es merupakan salah satu bahan yang sangat diperlukan pada
pembuatan sosis. Jumlah air yang umumnya ditambahkan dalam pembuatan sosis
adalah 20%-30% dari berat daging dan umumnya air yang ditambahkan dalam bentuk
es (Aberle et al., 2001). Menurut Kramlich (1971), penambahan air dalam bentuk es
bertujuan untuk dapat melarutkan garam serta mendistribusikannya secara merata
keseluruh bagian massa daging, memudahkan ekstraksi protein daging, membantu
pembentukan emulsi dan mempertahankan suhu daging agar tetap rendah selama
penggilingan dan pembentukan adonan. Menurut Mujiono (1995), tujuan penambahan
air es adalah untuk melarutkan garam dan mendistribusikannya secara merata
keseluruh bagian massa daging, memudahkan ekstraksi protein otot, membantu
pembentukkan emulsi, dan mempertahankan suhu adonan akibat pemanasan mekanis
dari mesin.

D. Garam
Garam merupakan bahan tambahan bukan daging yang paling penting dalam
proses pembuatan sosis, garam mempunyai peranan sebagai pemberi rasa, pengawet
dan melarutkan protein myofibril, garam akan menyelimuti lemak dan mengikat air
sehingga akan terbentuk emulsi yang stabil. Konsentrasi garam yang digunakan dalam
berbagai produk sosis bervariasi tergantung asal pembuatan sosis tersebut, biasanya
untuk sosis segar 1,5 -2% (Rust, 1987). Menurut Savic (1985), jumlah garam yang
ditambahkan tergantung pada jenis sosis terutama kadar lemaknya, biasanya berkisar
antara 1,8-2,2%. ). Menurut Soeparno (1994), garam merupakan bahan terpenting
dalam curing, berfungsi sebagai pengawet, penambah aroma dan citarasa. Garam dapat
meningkatkan tekanan osmotik medium pada konsentrasi 2 %, sejumlah bakteri
terhambat pertumbuhannya. Wilson et al.(1981) menjelaskan bahwa larutan garam
mempercepat kelarutan protein otot dan memperbaiki daya mengikat airnya.
Konsentrasi optimum pada sosis sekitar 1-5%.
E. Selongsong
Selongsong atau casing sosis terdapat dalam dua macam, yaitu selongsong
alami dan buatan. Selongsong alami berasal dari saluran pencernaan ternak seperti
sapi, domba, dan babi. Selongsong alami mudah mengalami kerusakan oleh
mikroorganisme, sehingga perlu dilakukan penggaraman yang diikuti dengan
pembilasan (Hui et al.,2001). Menurut Kramlich (1971), ada lima macam selongsong
yang biasa digunakan dalam pembuatan sosis, yaitu: 1) selongsong yang terbuat dari
usus hewan, 2) selongsong yang terbuat dari kolagen, 3) selongsong yang terbuat dari
selulosa,4) selongsong yang terbuat dari plastik, 5) selongsong yang terbuat dari
logam. Selongsong sosis dipakai untuk menentukan bentuk dan ukuran sosis.
Selongsong sosis dapat berfungsi sebagai cetakan selama pengolahan, pembungkus
selama penanganan dan pengangkutan, serta sebagai media display selama
diperdagangkan. Selongsong sosis harus memiliki sifat kuat dan elastis (Pearson dan
Tauber,1984)

F. Filler
Tujuan penambahan dari bahan-bahan ini adalah untuk meningkatkan stabilitas
emulsi, meningkatkan daya mengikat air produk daging, meningkatkan citarasa,
mengurangi pengerutan produk selama pemasakan, menigkatkan karakteristik irisan
produk dan mengurangi biaya formulasi bahan (Soeparno, 1994). Manurut Kramlich
(1971), bahan pengikat dan bahan pengisi dapat dibedakan berdasarkan kandungan
protein dan karbohidratnya. Bahan pengikat mengandung protein yang lebih tinggi
sehingga dapat membantu meningkatkan emulsifikasi lemak, sedangkan bahan pengisi
umumnya hanya terdiri dari karbohidrat dan hanya sedikit mempengaruhi emulsifikasi
lemak. Pemilihan bahan pengikat dan bahan pengisi yang akan digunakan harus
memiliki daya serap air yang baik, memiliki rasa yang enak, memberikan warna yang
menarik, dan harganya murah. Susu skim dapat digunakan sebagai bahan menambah
nilai gizi sosis (Wilson et al., 1981). Menurut Ockerman (1983), komposisi susu skim
terdiri dari kadar air 3,0%, protein 38,0%, lemak 1,0%, abu 7,0% dan karbohidrat 51%.
Tepung tapioka (kanji) dibuat dengan cara mengekstrak ketela
segar,mengeringkan,dan menghaluskannya hingga menjadi tepung pati.(soetanto
edy,2005). Menurut Pandisurya et al. (1983), Penggunaan tepung pati dalam
pembuatan bakso untuk konsumsi rumah tangga biasanya 4-5 persen dari berat daging.
Sedangkan adapembuatan komersial, penambahan tepung berkisar antara 50-100
persen dari berat daging

G. Pala
Pala (Imyrtistica fragans houtt) sebagai bumbu dihasilkan dari biji pala yang
mengandung fixed oil yang terdiri atas trimyristin, gliceril ester dari asam-asam
palmitat, oleat dan linoleat dari fraksi yang tidak tersaponifikasi seperti mysristicin.
Komposisi kimia pala bubuk per 100 g erdiri dari 8,2 g air, protein 6,7 g, lemak 32,4
g, abu 2,2 g, dan karbohidrat 50,5 g (Farell, 1990).

H. Lada
Lada memproduksi beberapa komponen antara lain terpen, hidrat a-felandren,
dipenten, dan beta-kariofilin. Lada pada konsentrasi lebih dari 3% dapat menghambat
pertumbuhan Listeria monocytogenes (Ting dan Diebel, 1992). Komposisi kimia pada
lada putih per 100 g terdiri dari 11,4 g air, protein 10,4 g, lemak 2,1 g, abu 1,6 g, dan
karbohidrat 68,6 g ( Farell, 1990).

I. Bawang Putih
Bawang putih merupakan bahan alami yang biasa ditambahkan kedalam bahan
makanan sehingga diperoleh aroma yang khas guna meningkatkan selera. Bawang
putih dapat dipakai sebagai pengawet karena bersifat bakteriostatik yang disebabkan
oleh adanya zat aktif allicin yang sangat efektif terhadap bakteri. Minyak atsiri bawang
putih bersifat antibakteri dan antiseptik. Selain itu, dalam bawang putih terdapat
scordinin, yaitu senyawa komplek thioglisidin yang bersifat antioksidan (Palungkun
dan Budhiarti, 1995). Komposisi kimia bawang putih bubuk per 100 g terdiri dari 6,5
g air, protein 16,8 g, lemak 0,4 g, abu 3,3 g dan karbohidrat 77,6 g (Farell, 1990).

J. Bumbu-bumbu
Bumbu adalah suatu substansi tumbuhan organik yang telah dikeringkan dan
biasanya sudah dalam bentuk serbuk (Rust, 1987). Bumbu merupakan senyawa nabati
yang dapat dimakan. Penambahan bumbu pada pembuatan sosis terutama ditujukan
untuk menambah atau meningkatkan cita rasa (Soeparno, 1994). Menurut Aberle et al.
(2001), fungsi bumbu yaitu sebagai pemberi cita rasa, penambah karakteristik warna
atau pola tekstur serta sebagai agen antioksidan. Savic (1985) menyatakan jumlah
bumbu yang ditambahkan dalam campuran sosis bervariasi dari 0,7-2% atau lebih.

K. STTP
Fungsi fosfat adalah untuk meningkatkan daya mengikat air oleh protein
daging, mereduksi pengerutan daging dan menghambat ketengikan. Jumlah
penambahan fosfat dalam curing tidak boleh lebih dari 5% dan produk akhir harus
mengandung fosfat kurang dari 0.5 % (Soeparno,1994). Menurut Wilson et al. (1981),
penambahan polifosfat pada produk olahan daging dalam bentuk kering rata- rata 0.3
%. Tujuan utama penambahan fosfat yaitu untuk mengurangi kehilangan lemak dan
air selama pemasakan, pengalengan, atau penggorengan. Fosfat yang digunakan dalam
sistem pangan menampilkan fungsi-fungsi kimia yaitu mengontrol pH, meningkatkan
kekuatan ionik dan memisahkan ion logam. Fungsi-fungsi tersebut dipakai dalam
produk daging untuk meningkatkan daya mengikat air, emulsifikasi dan
memperlambat oksidasi
fungsi sodium tripolyphosphate (STPP) yang dapat mengikat air,
mempertahankan flavor dan fungsi lainnya.(sitindaon jivento,2007). STPP antara lain
berfungsi untuk meningkatkan keasaman (pH) daging,mengurangi penyusutan selama
pemasakan, meningkatkan keempukan, dan menstabilkan warna. Penggunaan STPP
maksimal adalah 0,5% pada daging yang telah disimpan dalam freezer atau pendingin
lainnya (bukan daging segar) (litbang,2009).

L. Nilai pH Sosis Sapi


Substrat antimikroba yang diambil dari bakteri asam laktat dapat menghasilkan
senyawa amonia, hidrogen peroksida, asam organik (Jack et al.,1995) dan asam laktat
(Rostini, 2007). Nilai pH adalah nilai logaritma negatif dari konsentrasi ion hidrogen
[H+]. Ion hidrogen [H+] bertanggungjawab untuk kondisi asam sedangkan ion
hidroksil [OH-] bertanggungjawab untuk kondisi basa (Winarno, 1997).
M. Daya Serap Air pada Sosis
Daya serap air pada sosis dipengaruhi oleh nilai pH sosis. Pada pH lebih tinggi
atau lebih rendah dari titik isoelektrik protein daging, daya serap air akan meningkat
dan menurun pada titik pH isoelektrik. Pada kisaran pH isoelektrik ini protein daging
tidak bermuatan dan solubilitasnya minimal. Pada pH yang lebih tinggi dari pH
isoelektrik protein daging yaitu 5 - 5,1, sejumlah muatan positif dibebaskan dan
terdapat surplus muatan negatif yang mengakibatkan penolakan dari miofilamen dan
memberi lebih banyak ruang untuk molekul air. Demikian juga pada kondisi pH
rendah (Soeparno, 1998).

N. Kekenyalan sosis
Menurut Srinivasan dan Xiong (1997), protein memiliki fungsi yang sangat
penting pada kandungan myosin, karena memiliki keseimbangan yang baik terhadap
hydrophilik dan hydrophobik, memiliki struktur serat yang panjang, miosin memiliki
kemampuan membentuk gel yang tinggi dan elastis serta bersifat kohesif, dan
mengikat erat membran globula lemak pada produk daging emulsi dan kominusi.
Daging yang digunakan untuk setiap perlakuan dan ulangan adalah daging dengan
sumber dan bagian yang sama, diperkirakan memiliki kandungan protein yang sama,
sehingga akan membentuk gel dengan tingkat kekenyalan yang sama.

O. Keju
Keju adalah salah satu produk olahan susu yang mempunyai kandungan protein
cukup tinggi. Produksi keju di Indonesia dirasakan masih kurang, hal ini terlihat dari
sebagian besar keju di Indonesia yang ternyata merupakan produk impor. Oleh
karena itu perlu dilakukan pengembangan produk olahan susu ini, agar produk keju
yang dihasilkan dapat diterima konsumen (Kusumawati, Ardhana dan Radiati, 1995).
Bahan pengemulsi yang biasa digunakan dalam pembuatan keju olahan adalah
NaH2PO4, Na2HPO4, Na3PO4, NaPO3, Na4P2O7, Na2H2P2O7, kalium, kalsium
atau natrium sitrat (Na3C6H5O7), natrium tartrat (Na2C4H4O6), atau natrium
kalium tartrat (Caric dan Kalab, 1996).
P. Organoleptik
Penilaian dengan indra juga disebut Penilaian Organoleptik atau Penilaian
Sensorik merupakan suatu cara penilaian yang paling primitif. Penilaian dengan indra
menjadi bidang ilmu setelah prosedur penilaian dibakukan, dirasionalkan,
dihubungkan dengan penilaian secara obyektif, analisa data mejadi lebih sistematis,
demikian pula metoda statistik digunakan dalam analisa serta pengambilan keputusan.
(susiwi,2009). Meilgaard et al. (1999) menyatakan bahwa rangsangan terhadap suatu
bahan pangan bisa berupa penampakan, aroma, tekstur, dan flavor. Mekanisme
pengambilan rangsangan dapat dilakukan dengan cara mencium, menyentuh, melihat,
dan mendengar dengan menggunakan panca indera
BAB III
MATERI METODE

3.1. Materi
Bahan yang digunakan dalam pembuatan sosis antara lain daging segar, tepung
tapioca, sodium tripolipospat, Na-nitrat (sendawa), skim, minyak, jahe, pala, merica,
bawang putih dan es batu. Adapun bahan tambahan yang digunakan adalah keju dann
jamur merang. Sedangkan alat-alat yang digunakan adalah food processor, stuffer,
selongsong, serta perlengkapan memasak lainnya.

3.2. Metode
Daging segar dipotong dadu sebelum digiling untuk memudahkan
penggilingan menggunakan food processor. Penggilingan pertama daging digiling
bersama dengan premix I yaitu garam, sodium tripolipospat, sendawa, dan 1/3 bagian
es batu hingga tercampur merata. Penggilingan kedua dilakukan dengan memasukkan
premix II yaitu skim, minyak, pala, merica, jahe, bawang putih, dan 1/3 bagian es batu.
Pada proses penggilingan terakhir, premix III yang terdiri dari tepung tapioca, 1/3
bagian es batu dan bahan tambahan dimasukkan hingga terbentuk adonan sosis yang
merata. Bahan tambahan sebelumnya dicacah terlebih dahulu untuk memudahkan
adonan dimasukkan ke dalam stuffer. Setelah adonan halus kemudian dimasukkan ke
dalam stuffer yang pada ujungnya telah disiapkan selonsong sosisnya. Selongsong
yang telah terisi adonan diikat dengan benang dan selanjutnya dikukus selama 15
menit. Sosis ditiriskan dan siap disajikan.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil
Pengujian mutu hedonic pertama dilakukan pada sosis hasil olahan sendiri
dengan parameter penilaian yaitu warna, rasa, tekstur, penampilan, dan kekenyalan.
Berikut data yang diperoleh pada Table 4.1.
Tabel 4.1. Uji Mutu Hedonic
Panelis
Parameter
1 2 3 4 5 6
Warna 4 5 4 4 4 4
Rasa 4 5 5 5 5 4
Tekstur 5 5 5 5 5 5
Penampilan 5 4 4 5 5 5
Kekenyalan 5 5 5 5 5 5
Keterangan :
1. Sangat tidak suka
2. Tidak suka
3. Netral
4. Suka
5. Sangat suka

Uji mutu hedonic yang dilakukan pada olahan sosis kelompok 1 dengan panelis
yang berasal dari kelompok 2. Berikut hasil yang diperoleh pada Tabel 4.2.
Tabel 4.2. Uji Mutu Hedonic
Panelis
Parameter
1 2 3 4 5 6 7
Warna 3 3 4 4 4 3 4
Rasa 3 4 3 3 4 4 3
Tekstur 3 3 5 4 4 3 3
Penampilan 4 3 4 3 5 4 4
Kekenyalan 3 4 4 3 4 3 3
Keterangan :
1. Sangat tidak suka
2. Tidak suka
3. Netral
4. Suka
5. Sangat suka

4.2. Pembahasan
Sosis adalah makanan yang berasal dari china dan berkembang pesat di daratan
eropa. Di indonesia sendiri makanan olahan daging ini sangat populer dan digemari
oleh masyarakat luas karena mempunyai cita rasa yang lezat dan mempunyai
kandungan gizi yang lengkap karena dibuat dari bahan dasar daging sebagai sumber
protein, tepung tapioka sebagai sumber energi dan bumbu-bumbu lain yang
memberikan cita rasa pada sosis. Menurut Pearson dan Tauber (1984). Kata sosis
berasal dari bahasa latin salsus yang berarti garam. Sosis merupakan salah satu produk
daging giling atau daging cincang yang diberi bumbu dan dimasukan kedalam
selongsong atau casing menjadi bentuk silindris. Casing yang digunakan dapat berupa
dari usus hewan atau bahan sintetis. Kedalam adonan sosis biasanya ditambahkan
tepung, susu skim, lemak es atau air dan protein nabati.
Pembuatan sosis dari bahan dasar daging segar yang dicampur dengan berbagai
bahan-bahan lain seperti filler, Es, sendawa, STTP, garam dapur, minyak atau lemak
dan rempah-rempah yang diperlukan dalam pembuatan sosis untuk memberi cita rasa.
Dalam pembuatan sosis penambahan lemak atau minyak sangat berpengaruh terhadap
cita rasa yang dihasilkan menurut Pearson dan Tauber (1973) Lemak atau minyak
dalam pembuatan sosis berfungsi untuk memberikan rasa lezat, mempengaruhi
keempukan dan juiceness daging dari produk yang dihasilkan. Pada pembuatan sosis
di tambahkannya bahan tambahan makanan yaitu sendawa atau nitrit. Dalam
penngunaan nitrit dalam pembuatan sosis berfungsi untuk mempertahankan warna
daging agar tetap menjadi warna daging yaitu warna merah. Penggunaan semdawa
atau nirit ini dalam makanan perlu dibatasi karena apabila penggunannya melebihi
takaran maka dapat menimbulkan kanker bagi konsumen yang mengonsumsinya
dalam waktu yang lama. Maka perlu adanya pengaturan takaran penggunaan nitrit
dalam makanan agar konsumen tidak menjadi korban.
Bahan-bahan lain yang diperlukan dalam pembuatan sosis salah satunya adalah
penambahan atau penggunaan es batu saat pembuatan adonan. Maksud dalam
penambahan atau penggunaan es batu dalam pembuatan dan atau pencampuran
Menurut Kramlich (1971), adalah penambahan air dalam bentuk es bertujuan untuk
dapat melarutkan garam serta mendistribusikannya secara merata keseluruh bagian
massa daging, memudahkan ekstraksi protein daging, membantu pembentukan emulsi
dan mempertahankan suhu daging agar tetap rendah selama penggilingan dan
pembentukan adonan. Menurut Mujiono (1995), tujuan penambahan air es adalah
untuk melarutkan garam dan mendistribusikannya secara merata keseluruh bagian
massa daging, memudahkan ekstraksi protein otot, membantu pembentukkan emulsi,
dan mempertahankan suhu adonan akibat pemanasan mekanis dari mesin.
Es atau air es merupakan salah satu bahan yang sangat diperlukan pada
pembuatan sosis. Jumlah air yang umumnya ditambahkan dalam pembuatan sosis
adalah 20%-30% dari berat daging dan umumnya air yang ditambahkan dalam bentuk
es (Aberle et al., 2001). Penambahan es batu pada adonan dengan jumlah 1/3 bagian
sebanyak tiga kali dengan maksud adalah agar pencampuran bahn-bahan pada semua
bahan yang dicampurkan merata karena bahan-bahan yang dicampurkan dilakukan
sebanyak tiga tahapan yang meliputi pencampuran premix 1, premix 2 dan premix 3.
Pembuatan sosis pada praktikum kali ini menggunakan inovasi pencampuran
keju kedalam adonan. Inovasi ini dilakukan dengan maksud untuk memberikan flavor
yang unik terhadap sosis karena keju sendiri mempunyai rasa dan aroma yang lezat.
Keju yang digunakan sendiri adalah jenis keju cheddar dengan pemberian keju
sebanyak 25 gram. Selain sebagai pemberi flavor yang unik keju juga kaya akan zat
gizi sehingga apabila ditambahkan pada adonan sosis dapat meningkatkan nilai gizi
dari sosis tersebut. Keju adalah salah satu produk olahan susu yang mempunyai
kandungan protein cukup tinggi. Produksi keju di Indonesia dirasakan masih kurang,
hal ini terlihat dari sebagian besar keju di Indonesia yang ternyata merupakan
produk impor. Oleh karena itu perlu dilakukan pengembangan produk olahan susu
ini, agar produk keju yang dihasilkan dapat diterima konsumen (Kusumawati,
Ardhana dan Radiati, 1995).
Untuk mengetahui tingkat rasa kesukaan dan bisa diterimanya produk ini di
masyarakat maka perlu dilakukannya uji organoleptik. Uji organoleptk pada produk
ini dengan mengukur parameter warna, rasa, tekstur, penampilan dan kekenyalan dari
sosis tersebut. Pada uji organoleptik ini kelompok 1 dan kelompok 2 bertindak sebagai
panelis dengan pemberian penilaian dari selang nilai 1 (tidak suka) sampai dengan
selang nilai 5 (sangat suka)
Warna sosis sapi. Pada penilaian organoleptik penilaian terhadap warna sosis
berdasarkan tabel pengamatan uji mutu hedonik panelis kelompok 1 didapatkan nilai
rata-rata sebesar 4,167 sedangkan penilaian dari kelompok 2 didapatkan nilai rata-rata
sebesar 3,57. Dari data ini dapat diartikan bahwa para panelis hanya mempunyai rasa
suka terhadap warna sosis. Hasil ini mungkin disebabkan karena penggaraman
terhadap daging dengan nitrit kurang sempurna sehingga warna yang dihasilkan
menjadi pucat karena proses pengolahan.
Rasa sosis sapi. Pada penilaian organoleptik terhadap rasa sosis berdasarkan
tabel pengamatan uji mutu hedonik panelis kelompok 1 didapatkan hasil rata-rata
sebesar 4,66 sedangkan pada penelian dari kelompok 2 didapatkan hasil rata-rata
sebesar 3,42. Dari data ini dapat dilihat perbedaan yang cukup signifikan antara
penilaian dari kelompok 1 dan kelompok 2. Hal ini kemungkinan dapat disebabkan
karena perbedaan dari kesukaan masing-masing individu.
Tekstur sosis sapi. Pada penilaian organoleptik terhadap tekstur sosis
berdasarkan tabel pengamatan uji mutu hedonik panelis kelompok 1 didapatkan hasil
rata-rata sebesar 5 yang artinya panelis merasa sangat suka dengan tekstur yang
dihasilkan dari sosis tersebut yang artinya tekstur tersebut sempurna. Sedangkan pada
penilaian dari kelompok 2 didapatkan hasil uji organoleptik dengan nilai rata-rata
sebesar 3,57. Hasil ini mempunyai perbedaan yang jauh dari hasil penilaian kelompok
1.
Penampilan sosis sapi. Pada penilaian organoleptik terhadap penampilan sosis
sapi berdasarkan tabel pengamatan uji mutu hedonik panelis kelompok 1 didapatkan
hasil rata-rata sebesar 4,66. Sedangkan penilaian dari kelompok 2 didapatkan nilai
rata-rata sebesar 3,85. Hasil ini tidak berbeda nyata dengan penilaian dari kelompok 1
yang artinya kelompok 2 dan kelompok 1 mempunyai selera yang sama dalam segi
peniliaian penampilan dari sosis tersebut.
Kekenyalan sosis sapi. Pada penilaian organoleptik terhadap kekenyalan sosis
berdasarkan tabel pengamatan uji mutu hedonik panelis kelompok 1 didapatkan hasil
rata-rata sebesar 5 yang artinya kekenyalan sosis tersebut sangat disukai oleh panelis
sehingga dapat dinyatakan sosis tersebut mempunyai kekenyalan yang sempurna.
Sedangkan dari penilaian kelompok 2 didapatkan hasl rata-rata sebesar 3,42. Hasil ini
berbeda nyata dengan hasil penilaian dari kelompok 1 mungkin disebabkan perbedaan
selera dari masing-masing individu.
Berdasarkan dari penilaian organoleptik yang telah dilaksanakan maka dapat
di katakan bahwa produk sosis dari kelompok 1 dapat bersaing dengan sosis komersial
yang sudah beredar dimasyarakat dari aspek rasa. Karena berdasarkan hasil
organoleptik hasilyang didapatkan tidak ada penilaian yang mengatakan jelek semua
penilaian diatas rata-rata. Sedangkan berdasarkan dari harga sosis dari kelompok 1
sosis kelompok 1 dapat bersaing dengan produk sosis kmersial karena harganya yang
termasuk terjangkau dengan harga satuan Rp 1.650.
BAB V
KESIMPULAN

Sosis merupakan salah satu produk daging giling atau daging cincang yang
diberi bumbu dan dimasukan kedalam selongsong atau casing menjadi bentuk
silindris. Penambahan lemak atau minyak sangat berpengaruh terhadap cita rasa yang
dihasilkan. Nitrit dalam pembuatan sosis berfungsi untuk mempertahankan warna
daging agar tetap menjadi warna daging yaitu warna merah. adalah penambahan air
dalam bentuk es bertujuan untuk dapat melarutkan garam serta mendistribusikannya
secara merata keseluruh bagian massa daging, memudahkan ekstraksi protein daging,
membantu pembentukan emulsi dan mempertahankan suhu daging agar tetap rendah
selama penggilingan dan pembentukan adonan. produk sosis dari kelompok 1 dapat
bersaing dengan sosis komersial yang sudah beredar dimasyarakat dari aspek rasa
DAFTAR PUSTAKA

Aberle, E. D., J. C. Forrest, D. E. Gerrard, E. W. Mills, H. B. Hedrick, M. D. Judge


dan R. A. Markel. 2001. Pronciples of Meat Science. 4thEdition. Kendall/Hutt
Publishing Co, Iowa,
Anonim.2009.bakso sehat.balai besar penelitian dan pengembangan pascapanen.warta
penelitian dan pengembangan vol.31 no 6 .Bogor
Charley, H.1982. Food Science. 2 nd edition. John Wiley and Sons, Inc. Canada.
Caric, M. and M. Kalab. 1996. Processed cheese products. In Fox, P. F. Cheese:
Chemistry, Physics amd Microbiology. 2 Edn. Vol. 2. Chapman & Hall.
London.
Farell,K. T. 1990. Spices, Condiments dan Seasonings. 2nd Edit. Van Vostrdan
Reinhold, New York
Forrest, J. C., Aberle, H. B. Hedrick, M. D. Judge dan R. A. Merkel. 1975. Principle
of Meat Science. W. H. Freeman dan Co., San Fransisco,
Hui, Y. H.,W. k. Nip, R. W. Rogers, dan O. A. Young. 2001. Meat Science and
Applications. Marcel Dekker Inc., USA,
Jack, R. W., J. R. Tagg dan B. Ray. 1995. Bacteriocins of Gram-positive bacteria.
Microbiol. Rev., 59:171-200,
Kramlich, D. M., A. W. Kotula dan B. C. Breidnstein. 1994. Muscle Food. Champman
dan Hall Inc., New York
Kusumawati, D. Ardhana, M.M dan Radiati, L.E. 1995. Pengaruh penggunaan starter
yakult komersial dan enzim renin Mucor meihei terhadap mutu keju Cottage.
J Ilmu-ilmu Peternakan. No. (10): 24-28.
Mujiono, R. 1995. Kandungan Gizi dan Palatabilitas Bakso Sapi dan Domba Bagian
Paha dan Lemusir. Skripsi. Jurusan Ilmu Produksi Ternak, Fapet, IPB, Bogor.
Muchtadi, T.R dan Sugiono. 1992. Petunjuk Laboratorium Ilmu Pengetahuan Bahan
Pangan. Dekdikbud. Dirjen Dikti. PAU. Pngan dan Gizi, IPB,
Ockerman, H. W. 1983. Chemistry of Meat Tissue 10 th edit. Departemen of Animal
Science the Ohio State University dan The Agricultural Research and
Development Center,
Pandisurya, C. 1983. Pengaruh Jenis Daging dan Penambahan Tepung terhadap Mutu
Bakso. Skripsi, Fateta, IPB, Bogor
Pearson, A.M dan F.W. Tauber. 1973. Processed Meats. 2nd Edit. AVI Publishing
Company. Inc.,Connecticut
Pearson, A.M dan F.W. Tauber. 1984. Processed Meats. 2nd Edit. AVI Publishing
Company. Inc.,Connecticut
Rostini, I. 2007. Peranan bakteri asam laktat (Lactobacillus plantarum) terhadap masa
simpan filet nila merah pada suhu rendah. Tesis. Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan. Univeristas Padjadjaran, Jatinangor,
Rust, R.E. 1987. Sausage product. Dalam:J.F. Price dan B.S Schweigert (Editor). The
Science of Meat and Meat Product. 3rd Edit. Food and Nitritional Press,
Westport, Connecticut,
Savic, I.V. 1985. Smal-Scale Sausage Production. Food and Agriculture Organization
of United Nations, Roma
Smith, D.M. 2001. Fuctional properties of muscle proteins in processed poultry
products. Dalam:A.R. Sams (Editor). Poultry Meat Processing. CRC Press.
Washington,
Soeparno. 1994. Ilmu dan Teknologi Daging. Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta,
Soeparno. 1998. Ilmu dan Teknologi Daging. Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta,
Soetanto,edy.2005.teknologi tepat guna tepung kasava dan
olahannya.kanisius.yogyakarta
Sitindaon,jivento.2007. sifat fisik dan organoleptik sosis frankfurtersdaging kerbau
(bubalus bubalis) dengan penambahan khitosan sebagai pengganti sodium
tripolyphosphate (stpp).skripsi. fakultas peternakan. Institut pertanian bogor
Srinivasan, S dan Y.L. Xiong. 1997. Sulfhydryls in antioxidant-washed beef heart
surimi. Journal of Muscle Foods 8:251,
Susiwi,2009.penilaian organoleptik.handout matakuliah organoleptik.pendidikan
kimia.FMIPA,universitas pendidikan Indonesia
Winarno, F. G. 1997. Kimia Pangan dan Gizi. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta,
Wilson, N. R. P., E. J. Dyett, R. B. Hughes, and C. R. V. Jones. 1981. Meat and Meat
Products, San Fransisco
Xiong, YL., D.C. Nole, dan W.G. Moody. 1999. Effect of pH and salt level on textural
and sensory characteristics of low-fat beef sausages with added water dan
polysaccharides. Journal of Food Science (In press),

Anda mungkin juga menyukai