Sosis
Sosis adalah makanan yang dibuat dari daging yang telah dicincang
kemudian dihaluskan dan diberi bumbu-bumbu, dimasukkan ke dalam pembungkus
yang berupa usus hewan atau pembungkus buatan, dengan atau tidak dimasak. Sosis
merupakan produk olahan yang dibuat dari bahan dasar berupa daging (sapi atau
ayam) yang digiling. Pada prinsipnya semua jenis daging dapat dibuat sosis bila
dicampur dengan sejumlah lemak. Daging merupakan sumber protein yang bertindak
sebagai pengemulsi dalam sosis. Protein yang utama berperan sebagai pengemulsi
adalah myosin yang larut dalam larutan garam (Brandly, 1966).
Menurut SNI 01-3020-1995 sosis adalah produk makanan yang diperoleh dari
campuran daging halus (mengandung daging tidak kurang dari 75%) dengan tepung
atau pati dengan atau tanpa penambahan bumbu-bumbu dan bahan tambahan
makanan lain yang diizinkan dan dimasukan ke dalam selongsong sosis. Komponen
daging yang sangat penting dalam pembuatan sosis adalah protein. Protein daging
berperan dalam peningkatan hancuran daging selama pemasakan sehingga
membentuk struktur produk yang kompak. Peran protein yang lain adalah
pembentukan emulsi daging, yaitu protein yang berfungsi sebagai zat pengemulsi
lemak (Krimlich,1971).
Sosis merupakan produk emulsi yang membutuhkan pH tinggi (diatas pH
isoelektrik). Nilai pH sosis ditentukan oleh pH daging yang dipakai dalam
pembuatan sosis dan kondisi daging yang pre-rigor (Suparno, 1998). Menurut
Forrest et al (1975) Adonan sosis merupakan emulsi minyak dalam air (oil in water)
yang terbentuk dalam suatu fase koloid dengan protein daging yang bertindak
sebagai emulsifier sehingga protein air dalam adonan sosis akan membuat matriks
yang menyelubungi butiran lemak dan membentuk emulsi yang stabil. Faktor-faktor
yang mempengaruhi kestabilan emulsi yang berhubungan dengan penggunaan
minyak atau lemak adalah jumlah yang ditambahkan, jenis minyak atau lemak yang
ditambahkan dan titik cair dari lemak atau minyak tersebut.
Syarat mutu sosis dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Syarat Mutu Sosis berdasarkan SNI 01-3020-1995
Proses Emulsi
Emulsi adalah suatu sistem dua fase yang terdiri atas suatu dispersi dua
cairan atau senyawa yang tidak dapat tercampur, yang satu terdispersi dengan yang
lain. Cairan yang berbentuk globula-globula kecil disebut fase dispersi atau
fase diskontinu. Protein-protein daging yang terlarut berlindak sebagai pengemulsi
dengan membungkus atau menyelimuti suatu permukaan partikel yang terdispersi
(Soeparno, 2005). Emulsi daging beku kurang stabil bila dibandingkan dengan
daging segar. Hal ini disebabkan karena protein larut garam yang dapat diekstrak
pada daging adalah lebih sedikit, hanya sekitar 9% dibandingkan daging
segar(Winarno, 1997). Menurut Charley (1982), emulsi terdiri atas tiga fase atau
bagian. Satu , fase terdispersi yang terdiri dari partikel-partikel yang tidak dapat
larut. Pada makanan, zat ini biasanya minyak, meskipun tidak selalu. Fase kedua
adalah fase kontinu. Pada makanan, zat ini biasanya air. Jika air dan minyak
dicampur, keduanya akan langsung memisah dan dan terlihat garis pemisah yang
jelas. Agar partikel-partikel salah satu cairan tersuspensi dalam cairan lainnya,
dibutuhkan zat ketiga, yaitu molekul – molekul yang mempunyai afinitas untuk
kedua cairan diatas. Zat ini dinamakan pengemulsi.
Kandungan protein yang tinggi akan meningkatkan kapasitas emulsi daging.
Kapasitas emulsi dari berbagai daging trimming menurun dengan menurunnya
kandungan lean. Garam mampu melarutkan lebih banyak protein sehingga lebih
tersedia untuk emulsifikasi. Karena itu, lemak yang lebih banyak bisa diemulsi
dengan protein ynag lebih sedikit sehingga meningkatkan efisiensi. Kapasitas emulsi
dari protein larut dalam air lebih rendah dibandingkan dengan kapasitas emulsi
protein larut dalam garam (Wilson et al., 1981).
Bawang Putih
Bawang Putih (Allium Sativum) berfungsi sebagai sebagai penambah aroma
dan meningkatkan citarasa produk yang dihasilkan. Bawang putih merupakan bahan
alami yang biasa ditambahkan ke dalam makanan atau produk sehingga dipeoleh
aroma yang khas guna meningkatkan selera makan. Karakteristik bau bawang putih
akan muncul sendirinya apabila terjadi pemotongan atau perusakan jaringan. Aroma
dari bawang ini berasal dari allisin (Wong, 1989). Menurut Palungkun dan
Budhiarthi (1995), bawang putih dapat digunakan sebagai pengawet karena bersifat
bakteriostatik yang disebabkan oleh adanya zat aktif allicin yang sangat efektif
terhadap bakteri gram negatif dan gram positif. Di dalam bawang putih terdapat
scordinin, yaitu senyawa komplek thioglisidin yang bersifat antioksidan dan minyak
atsiri bawang putih bersifat antibakteri dan antiseptik.
Tepung Tapioka
Tepung berpati sebagai bahan pengisi dapat digunakan untuk meningkatkan
daya mengikat air karena mempunyai kemampuan menahan air selama proses
pengolahan dan pemanasan. Disamping itu, tepung berpati dapat mengabsorbsi air
dua sampai tiga kali dari berat semula sehingga adonan bakso menjadi lebih besar
(Ockerman, 1983). Bahan pengisi yang biasa digunakan dalam pembuatan bakso
adalah tepung tapioka. Tepung tapioka merupakan hasil ekstraksi pati ubi kayu
yang telah mengalami proses pencucian dan dilanjutkan dengan pengeringan
(Rusmono, 1983). Menurut BSN (1995), bahan pengisi yang digunakan dalam
pembuatan bakso maksimum berdasarkan adalah 50%. Jika jumlah bahan pengisi
yang ditambahkan semakin tinggi maka dapat menyebabkan kekerasan
obyektif bakso semakin meningkat (Purnomo, 1990).
Garam
Garam dalam jumlah yang cukup ditambahkan pada bahan dapat mencegah
terjadinya autolysis dan pembusukan (Soeparno, 2005). Penambahan garam
dimaksudkan untuk mempercepat proses pengurangan air, lender, darah dan kotoran
lain dari daging. Garam yang digunakan sebaiknya garam dapur yang bersih, putih,
dan halus (Peranginan et al., 1999). Rust (1987) menambahkan, garam mempunyai
peranan sebagai pemberi rasa, pengawet, dan melarutkan protein, garam akan
menyelimuti lemak dan mengikat air sehingga akan terbentuk emulsi yang stabil.
Konsentrasi garam yang digunakan dalam berbagai produk tergantung cita rasa dan
takaran penggunaan.
Es Batu
Tujuan penambahan es batu atau air es dalam pembentukan emulsi daging antara lain
adalah memudahkan ekstraksi protein serabut otot, melarutkan garam dan
menyebarkan secara merata pada seluruh bagian massa daging, mempertahankan
suhu adonan agar rendah akibat pemanasan mekanis dan membantu pembentukan
emulsi (Kramlich et al., 1973). Varnam dan Sutherland (1995) menyatakan bahwa
air yang ditambahkan berkisar 20-40 % dari berat adonan. Penambahan es sebanyak
20% dari berat daging menghasilkan bakso yang memiliki sifat fisik dan
organoleptik yang disukai oleh konsumen. Menurut Kramlich (1971), penambahan air
dalam bentuk es atau air es bertuiuan
untuk (1) melarutkan garam dan mendistribusikannya secara merata ke seluruh
bagian massa daging, (2) memudahkan ekstraksi protein serabut otot, (3)
membantu pembentukan emulsi dan (4) mempertahankan suhu daging agar tetap
rendah selama penggilingan dan pembuatan adonan.
Sodium Tripoliphosfat (STTP)
Sodium Tripoliphosfat (STTP) memiliki fungsi meningkatkan pH daging,
kestabilan emulsi dan kemampuan emulsi (Ockermann, 1983). Jika nilai pH semakin
mendekati titik isoelektrik protein, maka daya mengikat air akan semakin rendah dan
sebaliknya. Menurut Elviera (1988), penambahan STPP dapat mencegah terjadinya
tekanan serta terbentuknya permukaan kasar pada daging layu, dapat meningkatkan
rendemen, kekerasan, kekenyalan, dan kekompakan bakso. Sodium tripolifosfat
umum digunakan dalam pengolahan daging. Penggunaan STPP maksimal adalah
0,5% (Cross dan Overby, 1988). Alkali fosfat berfungsi antara lain untuk
meningkatkan pH daging, menurunkan penyusutan selama pemasakan,
meningkatkan keempukan dan menstabilkan warna (Ockerman, 1983). Menurut
Pearson dan Tauber (1984), alkali fosfat dapat meningkatkan emulsi lemak pada
protein miofibril sehingga STTP cepat larut dan memecah aktomiosin menjadi aktin
dan miosin.
Lemak
Menurut Acton dan Saffle (1970), lemak dapat mempengaruhi kestabilan
emulsi. lemak menghasilkan fase dispersi (diskontinue) dari emulsi daging sehingga
lemak merupakan komponen struktural utama. Lemak yang mengandung asam
lemak jenuh lebih mudah diemulsi daripada asam lemak tak jenuh. Menurut
Sulzbacher (1973), penggunaan lemak cair (minyak) pada produk daging olahan
dapat menghasilkan emulsi daging yang lebih stabil daripada minyak padat. Sosis
masak harus mengandung lemak maksimum 30%.
Lemak
Fungsi lemak atau minyak pada sosis selain memberi rasa lezat, juga
mempengaruhi keempukan dan jus daging dari dari produk yang dihasilkan.
Lemak rnenyediakan fase dispersi (diskontinu) dari emulsi daging, oleh karena itu
merupakan komponen struktural utama. Sosis masak harus mengandung lemak
yang tidak melebihi dari 30% (Kramlich, 1971).
Wortel
Sendawa
Keterrangan:
Angka Interpretasi
1 Sangat tidak suka
2 Tidak suka
3 Netral
4 Suka
5 Sangat suka
.Ockerman HW. 1983. Chemistry of Meat Tissue, 10th Ed. Dept. Of Animal science.
The Ohio State University and The Ohio Agricultural Research and Development
Center, Ohio
Palungkun dan Budiarti. 1992. Bawang Putih Dataran Rendah. Cetakan I. Penebar
Swadaya. Jakarta : 1-6, 19.
Rust, R. E. 1977. The Science of Meat and Meat Products. Third Edition. ANI
Center for Continuing Education. Washingthon.
Winarno, F.G . 1997. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama.
Wong, D.W.S. 1989. Mechanism and Theory in Food Chemistry. New York:
Academic Press
Charley, H. 1982. Food Science. 2nd edit. John Wiley and Sons, Inc. Canada.
Sulzbacher WL. 1973. Meat emulsions. J. Sci. Food Agr. 24(5): 589-595.
Wilson, N. R. P. 1981. Meat and Meat Product: Factor Affecting Quality Control.
Brandly, P.J., Migaki G., Taylor K.E. 1966. Meat Hygiene, 3rdEdit. Lea and Febiger,
Philadelphia.
Sosis adalah makanan yang dibuat dari daging yang telah dicincang
kemudian dihaluskan dan diberi bumbu-bumbu, dimasukkan ke dalam pembungkus
yang berupa usus hewan atau pembungkus buatan, dengan atau tidak dimasak. Pada
prinsipnya semua jenis daging dapat dibuat sosis bila dicampur dengan sejumlah
lemak. Daging merupakan sumber protein yang bertindak sebagai pengemulsi dalam
sosis.