Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

MANAJEMEN BELANJA DAERAH

Disusun oleh:
Kelompok 2
1. Jul Bahri (21610070)
2.
3.

Kelas : Manajemen V (E)

PROGRAM STUDI MANAJEMEN


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH BERAU
TAHUN 2023
Kata Pengantar

Dengan menyebut nama Allah SWT., Yang Maha Pengasih Lagi Maha
Penyayang kami haturkan puji syukur atas kehadirat-Nya yang telah melimpahkan
Rahmat, Hidayah dan Inayah-Nya kepada kami sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah yang berjudul Manajemen Belanja Daerah.
Adapun makalah tentang Manajemen Belanja Daerah ini telah kami
usahakan semaksimal mungkin dengan bantuan berbagai pihak sehingga dapat
memperlancar pembuatan makalah ini, untuk itu kami tidak lupa menyampaikan
banyak terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu kami dalam
pembuatan makalah ini.
Namun tidak lepas dari semua itu kami sadar sepenuhnya bahwa adal
kekurangan baik dari segi penyusunan bahasanya maupun dari segi lainnya. Oleh
karena itu dengan lapang dada dan tangan terbuka kami membuka selebar-
lebarnya bagi pembaca yang ingin memberikan saran dan kritik kepada kami
sehingga kami dapat memperbaiki makalah ini.
Akhirnya penyusun mengharapkan semoga dari makalah tentang
Manajemen Belanja Daerah ini dapat diambil hikmah dan manfaatnya sehingga
dapat memberikan inspirasi terhadap pembaca.

Berau, Desember2023

Penyusun

Daftar Isi
Kata Pengantar ............................................................................................i
Daftar Isi .....................................................................................................ii
BAB I ...........................................................................................................1
A. Latar Belakang....................................................................................1
B. Rumusan Masalah...............................................................................2
C. Tujuan.................................................................................................2
BAB II...........................................................................................................3
A. .............................................................................................................3
B. ...............................................................................................................
C. ...............................................................................................................
D. ...............................................................................................................
BAB III ..........................................................................................................
A. Kesimpulan...........................................................................................
B. Daftar Pustaka.......................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Belanja daerah adalah semua pengeluaran dari rekening kas umum daerah
yang mengurangi ekuitas dana. Belanja daerah merupakan kewajiban daerah
dalam satu tahun anggaran dan tidak akan diperoleh pembayarannya kembali
oleh daerah.Belanja daerah dipergunakan dalam rangka mendanai pelaksanaan
urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan provinsi atau kabupaten/kota
yang terdiridari urusan wajib, urusan pilihan dan urusan yang penanganannya
dalam bagianatau bidang tertentu yang dapat dilaksanakan bersama antara
pemerintah dan pemerintah daerah atau antar pemerintah daerah yang
ditetapkan denganketentuan perundangundangan.
B. RumusanMasalah

C. Tujuan
BAB II
PEMBAHASAN

A. Definisi Belanja Daerah


Beberapa pendapat mengenai belanja daerah, antar lain:
 Menurut PP No. 24 Tahun 2005 tentang Standar Akuntansi
Pemerintahan. Belanja adalah semua pengeluaran dari Rekening Kas
Umum Negara / Daerah yang mengurangi ekuitas dana lancar dalam
periode tahun anggaran yang bersangkutan yang tidak akan diperoleh
pembayarannya kembali oleh pemerintah
 Peraturan pemerintah nomor 105 tahun 2002 tentang pengelolaan dan
pertanggungjawaban keuangan daerah pada pasal 1 (ayat 13) dan
Keputusan Menteri Dalam Negeri nomor 29 tahun 2002 pada pasal
(huruf q) menyebutkan bahwa belanja daerah adalah semua pengeluaran
kas daerah dalam periode tahun anggaran tertentu yang menjadi beban
daerah.
 Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2004,
belanja daerah adalah semua kewajiban daerah yang diakui sebagai
pengurang nilai kekayaan bersih dalam periode tahun anggaran yang
bersangkutan.
 Menurut Halim (2001), belanja daerah adalah pengeluaran yang
dilakukan. oleh pemerintah daerah untuk melaksanakan wewenang dan
tanggung jawab kepada masyarakat dan pemerintah diatasnya.
 Menurut Kepmendagri Nomor 29 Tahun 2002, belanja daerah adalah
semua pengeluaran kas daerah dalam periode tahun anggaran tertentu
yang menjadi beban daerah.
 Menurut Sri Lesminingsih (Abdul Halim, 2001:199) bahwa pengeluaran
daerah adalah semua pengeluaran kas daerah selama periode tahun
anggaran bersangkutan yang mengurangi kekayaan pemerintah daerah.
 Menurut Permendagri No 59 Tahun 2007 tentang perubahan atas
Permendagri No 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan
Keuangan Daerah. diungkapkan pengertian belanja daerah yaitu
kewajiban pemerintah daerah yang diakui sebagai pengurang nilai
kekayaan bersih.
 Menurut UU No. 32 tahun 2004 tentang pemerintah daerah, belanja
daerah adalah semua kewajiban daerah yang diakui sebagai pengurang
nilai kekayaann bersih. dalam periode tahun anggaran yang
bersangkutan. Berdasarkan struktur anggarann daerah, elemen-elemen
yang termasuk dalam belanja daerah terdiri dari belanja aparatur daerah,
belanja pelayanan publik, belanja bagi hasil dan bantuan keuangan,
belanja tidak tersangka.
Jadi dari pengertian-pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa belanja
daerah adalah semua pengeluaran yang dilakukan pemerintah daerah dalam
periode anggaran tertentu. digunakan untuk melaksanakan kewajiban, wewenang
dan tanggung jawab dari pemerintah daerah kepada masyarakat dan pemeritah
daerah. Dalam Permendagri No.59 Tahun 2007. belanja daerah dipergunakan
dalam rangka mendanai pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi
kewenangan provinsi atau kabupaten/kota yang terdiri dari urusan wajib, urusan.
pilihan dan urusan yang penanganannya dalam bagian atau bidang tertentu yang
dapat dilaksanakan bersama antara pemerintah dan pemerintah daerah atau antar
pemerintah daerah yang ditetapkan dengan ketentuan perundangundangan.
Tujuan Belanja Dacrah 1. Merupakan rasionalisasi atau gambaran kemampuan
dan penggunaan sumber- sumber finansial dan material yang tersedia pada suatu
negara/daerah. 2. Sebagai upaya untuk penyempurnaan berbagai rencana kegiatan
yang telah dilaksanakan sebelumnya sehingga hasilnya akan lebih baik. 3. Sebagai
alat untuk memperinci penggunaan sumber-sumber yang tersedia menurut objek
pembelanjaannya sehingga memudahkan pengawasan atas pengeluarannya. 4.
Sebagai landasan yuridis formal dari penggunaan sumber penerimaan yang dapat
dilakukan pemerintah serta sebagai alat untuk pembatasan pengeluaran. 5. Sebagai
alat untuk menampung, menganalisis, serta mempertimbangkan dalam membuat
keputusan seberapa besar alokasi pembayaran program dan proyek yang
diusulkan. 6. Sebagai pedoman atau tolak ukur serta alat pengawasan atas
pelaksanaan kegiatan, program dan proyek yang dilakukan pemerintah.
B. Tujuan Belanja Daerah
1. Merupakan rasionalisasi atau gambaran kemampuan dan penggunaan
sumber- sumber finansial dan material yang tersedia pada suatu
negara/daerah.
2. Sebagai upaya untuk penyempurnaan berbagai rencana kegiatan yang
telah dilaksanakan sebelumnya sehingga hasilnya akan lebih baik.
3. Sebagai alat untuk memperinci penggunaan sumber-sumber yang tersedia
menurut objek pembelanjaannya sehingga memudahkan pengawasan atas
pengeluarannya.
4. Sebagai landasan yuridis formal dari penggunaan sumber penerimaan
yang dapat dilakukan pemerintah serta sebagai alat untuk pembatasan
pengeluaran.
5. Sebagai alat untuk menampung, menganalisis, serta mempertimbangkan
dalam membuat keputusan seberapa besar alokasi pembayaran program
dan proyek yang diusulkan. 6. Sebagai pedoman atau tolak ukur serta alat
pengawasan atas pelaksanaan kegiatan, program dan proyek yang
dilakukan pemerintah.
C. Klasifikasi Belanja Daerah
1) Klasifikasi Menurut Ketentuan Undang-Undang di Bidang Keuangan Negara
Berdasarkan ketentuan Pasal 14 ayat (2) dan Pasal 19 ayat (2) Undang
Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, disebutkan bahwa
rencana kerja dan anggaran kementerian negara/lembaga (di tingkat
pemerintah pusat) dan rencana kerja. dan anggaran SKPD (di tingkat
pemerintah daerah) disusun berdasarkan prestasi kerja yang akan dicapai.
Pendekatan prestasi kerja mensyaratkan bahwa kementerian negara lembaga
dan SKPD harus diukur kinerjanya berdasarkan program/kegiatan yang telah
direncanakan.
Ketentuan tersebut di atas ditegaskan lagi dengan Pasal 14 dan 15
Undang- Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara,
yang menyatakan bahwa di dalam dokumen pelaksanaan anggaran perlu
diuraikan sasaran yang hendak dicapai, fungsi, program dan rincian
kegiatan, anggaran yang disediakan untuk mencapai sasaran tersebut, dan
rencana penarikan dana tiap-tiap satuan kerja, serta pendapatan yang
diperkirakan.
2) Klasifikasi Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2005 tentang
Standar Akuntansi Pemerintahan
Menurut Paragraf 34 PSAP Nomor 02, ditetapkan bahwa belanja
diklasifikasikan menurut klasifikasi ekonomi (jenis belanja), organisasi
dan fungsi. Rincian tersebut. merupakan persyaratan minimal yang harus
disajikan oleh entitas pelaporan Selanjutnya dicontohkan pada Paragraf
39 PSAP 02 klasifikasi belanja menurut ekonomi (jenis belanja) yang
dikelompokkan lagi menjadi
Belanja Operasi, Belanja Modal don Belanja Lain-lain/Tak
Terduga. Belanja Operasi adalah belanja yang dikeluarkan dari Kas
Umum Negara/Daerah dalam rangka menyelenggarakan operasional
pemerintah, sedangkan Belanja Modal adalah belanja yang dikeluarkan
dalam rangka membeli dan/atau mengadakan barang modal. Belanja
Operasi selanjutnya diklasifikasikan lagi menjadi Belanja Pegawai,
Belanja Barang, Bunga, Subsidi, Hibah, Bantuan Sosial dan Belanja Lain-
lain/Tak Terduga.
Pengklasifikasian menurut pola Government Financial Statistics
(GFS) yang diterbitkan oleh International Monetary Fund (IMF)
dibedakan berdasarkan fungsi dibagi menjadi
 Pelayanan Umum
 Pertahanan
 Agama
 Ekonomi
 Lingkungan Hidup
 Kesehatan
 Perlindungan Pendidikan dan Perlindungan
 Sosial
 Pariwisata dan Budaya
 Perumahan dan Pemukiman
3) Klasifikasi Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang
Pengelolaan Keuangan Daerah
Pasal 27 Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 menetapkan klasifikasi
belanja sebagai berikut:
1. Belanja daerah diklasifikasikan menurut organisasi, fungsi, program dan
kegiatan serta jenis belanja:
2. Klasifikasi belanja menurut organisasi disesuaikan dengan susunan
organisasi pemerintahan daerah
3. Klasifikasi menurut fungsi terdiri dari:
a. Klasifikasi berdasarkan urusan pemerintahan untuk tujuan manajerial
pemerintahan daerah,
b. Klasifikasi berdasarkan fungsi pengelolaan keuangan negara untuk
tujuan keselarasan dan keterpaduan dalam rangka pengelolaan
keuangan negara.
4) Klasifikasi Menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006
tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah
Klasifikasi belanja sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah
Nomor 58 Tahun 2005 tersebut di atas dijabarkan lebih lanjut dalam
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006, yaitu:
a. Klasifikasi belanja dalam rangka pelaksanaan urusan pemerintahan
yang menjadi kewenangan provinsi dan/atau kabupaten/kota yang
terdiri dari belanja urusan wajib dan belanja urusan pilihan.
b. Klasifikasi belanja menurut fungsi bertujuan untuk keselarasan dan
keterpaduan pengelolaan keuangan negara yang mengacu pada
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2005 tentang Standar
Akuntansi Pemerintahan. Menurut klasifikasi ini, belanja terdiri atas:
pelayanan umum, ketertiban dan ketentraman, ekonomi. lingkungan
hidup, perumahan dan fasilitas umum kesehatan, pariwisata dan
budaya, pendidikan dan perlindungan sosial. Berbeda dengan
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2005, Permendagri Nomor 13.
Tahun 2006 tidak memasukkan fungsi "pertahanan" dan "agama"
karena kedua fungsi tersebut adalah urusan pemerintahan yang
dilaksanakan sepenuhnya oleh pemerintah pusat dan tidak
didesentralisasikan.
c. Klasifikasi menurut kelompok belanja terdiri dari belanja langsung
dan belanja tak langsung. Pengklasifikasian belanja ini berdasarkan
kriteria apakah suatu belanja mempunyai kaitan langsung dengan
program kegiatan atau tidak. Belanja yang berkaitan langsung dengan
program/kegiatan (misalnya belanja honorarium, belanja barang,
belanja modal) diklasifikasikan sebagai belanja Buletin Teknis
Penyajian dan Pengungkapan Belanja Pemerintah langsung,
sedangkan belanja yang tidak secara langsung dengan
program/kegiatan (misalnya gaji dan tunjangan pegawai bulanan,
belanja bunga, donasi, belanja bantuan keuangan, belanja hibah, dan
sebagainya) diklasifikasikan sebagai belanja tidak langsung.
D. Belanja Daerah dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)
Untuk pemerintahan daerah, berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 58
Tahun 2005 yang kemudian dijabarkan dalam Permendagri 13 Tahun 2006,
belanja. diklasifikasikan berdasarkan jenis belanja yaitu Belanja tidak langsung
dan Belanja langsung. Kelompok Belanja Tidak Langsung merupakan belanja
yang dianggarkan tidak terkait secara langsung dengan pelaksanaan program dan
kegiatan. Kelompok Belanja Langsung merupakan belanja yang dianggarkan
terkait secara langsung dengan pelaksanaan program dan kegiatan. Selanjutnya,
kelompok Belanja Tidak Langsung dibagi menurut jenis belanja yang terdiri dari:
 Belanja Pegawai
Penganggaran belanja penghasilan pimpinan dan anggota DPRD, gaji
pokok dan tunjangan kepala daerah dan wakil kepala daerah serta gaji
pokok dan tunjangan pegawai negeri sipil, tambahan penghasilan, serta
honor atas pelaksanaan kegiatan.
 Belanja Bunga
Penganggaran pembayaran bunga utang yang dihitung atas kewajiban
pokok utang (principal outstanding) berdasarkan perjanjian pinjaman
jangka pendek, jangka menengah, dan jangka panjang.
 Belanja Subsidi
Penganggaran subsidi kepada masyarakat melalui lembaga tertentu yang
telah diaudit, dalam rangka mendukung kemampuan daya beli masyarakat
untuk meningkatkan kualitas kehidupan dan kesejahteraan masyarakat.
Lembaga penerima belanja subsidi wajib menyampaikan laporan
pertanggungjawaban penggunaan dana subsidi kepada kepala daerah.
 Belanja Hibah
penganggaran pemberian bantuan dalam bentuk uang, barang dan/atau jasa
kepada pihak-pihak tertentu yang tidak mengikat tidak secara terus
menerus yang terlebih dahulu dituangkan dalam suatu naskah perjanjian
antara pemerintah daerah dengan penerima hibah, dalam rangka
peningkatan penyelenggaraan fungsi pemerintahan di daerah, peningkatan
pelayanan kepada masyarakat, peningkatan layanan dasar umum.
peningkatan partisipasi dalam rangka penyelenggaraan pembangunan
daerah.
 Belanja Bantuan Sosial
Penganggaran pemberian bantuan dalam bentuk uang dan/atau barang
kepada masyarakat yang tidak secara terus menerus/berulang dan selektif
untuk memenuhi instrumen keadilan dan pemerataan yang bertujuan untuk
peningkatan kesejahteraan masyarakat termasuk bantuan untuk PARPOL
 Belanja Bagi Hasil
Penganggaran dana bagi hasil yang bersumber dari pendapatan provinsi
yang dibagihasilkan kepada kabupaten/kota atau pendapatan
kabupaten/kota yang dibagihasilkan kepada pemerintahan desa sesuai
dengan ketentuan perundang-undangan.
 Bantuan Keuangan
penganggaran bantuan keuangan yang bersifat umum atau khusus dari
provinsi kepada kabupaten/kota, pemerintah desa, dan kepada pemerintah
daerah lainnya atau dari pemerintah kabupaten/kota kepada pemerintah.
desa dan pemerintah daerah lainnya dalam rangka pemerataan dan/atau
peningkatan kemampuan keuangan.
 Belanja Tidak Terduga
Menurut Paragraf 35 PSAP Nomor 02, istilah "Belanja Lain-lain
digunakan oleh pemerintah pusat, sedangkan istilah "Belanja Tak
Terduga" digunakan oleh pemerintahan daerah. Penganggaran belanja atas
kegiatan yang sifatnya tidak biasa atau tidak diharapkan berulang seperti
penanggulangan bencana alam dan bencana sosial yang tidak diperkirakan
sebelumnya, termasuk pengembalian atas kelebihan penerimaan daerah
tahun-tahun sebelumnya yang telah ditutup.

E. Kebijakan Belanja Daerah dan Manajemen Belanja Daerah


Dalam belanja daerah terdapat dua aspek yang berbeda secara
konseptual namun memiliki sebuah keterkaitan yang erat, yakni antara
kebijakan belanja dan manajemen belanja. Kebijakan belanja merupakan
penentu apa yang akan dilakukan yang berimplikasi pada kebutuhan
pengeluaran (belanja). Sedangkan manajemen belanja terkait dengan
bagaimana melaksanakan anggaran untuk membiayai aktivitas secara
ekonomis, efisien, dan efektif. Dimana kebijakan belanja di tentukan pada
tahap perencanaan anggaran sedangkan manajemen belanja dilakukan
pada tahap implementasi anggaran. Namun pada dasarnya manajemen
belanja akan menyesuaikan kebijakan belanja yang diambil pemerintah
daerah.
F. Kebijakan Belanja Daerah
Kebijakan belanja daerah dituangkan dalam dokumen perencanaan
daerah, yakni pada Kebijakan Umun APDB, prioritas dan plafon anggaran,
rencana kerja pemeritah daerah (RKPD), serta rencana pembangunan
jangka menengah daerah (RPJMD). Berikut merupakan garis besar isi
dokumen perencanaan daerah yang secara eksplisit memuat kebijakan
anggaran belanja daerah.
a) Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah, berisi :
1. Strtegi Pembangunan Daerah
2. Kebijakan Umum
3. Arah Kebijakan Keuangan
4. Program SKPD, intas SKPD, kewilayahan, lintas kewilayah, yang
emuat kerangka regulasi dan kerangka anggaran
b) Rencana Kerja Pemerintah Daerah, berisi :
1. Prioritas Pembangunan Daerah
2. Rancangan Ekonomi Makro
3. Arah Kebijakan Keuangan Daerah
4. Program SKPD, intas SKPD, kewilayahan, lintas kewilayah, yang
emuat kerangka regulasi dan kerangka anggaran.
c) Kebijakan Umum APBD (KUA), berisi :
1. Target pencapaian kerja yang diukur melalui program-program yang
akan dilaksanakan oleh pemda
2. Proyeksi pendapatan daerah, alokasi belanja daerah, sumber dan
penggunaan pembiayaan dengan asumsi yang mendasarinya
3. Asumsi yang mendasari kebijakan anggaran dengan
mempertimbangkan perkembangan ekonomi makro
4. Kerangka ekonomi makro dan implikasinya terhadap sumber
pendanaan yang meliputi :
a) Penjelasan tentang asumsi anggaran, kondisi yang telah terjadi
dan diperkirakan akan terjadi yang menjadi dasar penyusunan
KUA.
b) Penjelasan kebijakan penganggaran sesuai kebijakan
pemerintah , dimana kondisi yang berbeda akan
menghasilkan target atau sasaran yang berbeda.
c) Uaraian tentang pekiraan penerimaan untuk mendanai seluruh
pengeluaran pada tahun yang akan datang, baik dari PAD,
DAU, Dana Bagi Hasil, DAK, maupun pinjaman dan hibah.
d) Prioritas dan Plafon Anggaran(PPA) berisi
1. Ringkasan kebijakan umum APBD
2. .Proyeksi pendapatan, belanja dan pembiayaan daerah. Proyeksi
anggaran ini memuat penjelasan yang ditempuh dalam
upayapeningkatan pendapatan daerah, faktor - faktor yang
mempengaruhi tidak terjadinya atau terjadinya peningkatan belanja
daerah dan kebijakanpemerintah daerah di bidang pembiayaan daerah.
3. Prioritas program dan plafon anggaran
4. Plafon anggaran menurut organisasi

Arah kebijakan anggaran banyak dipengaruhi kebijakan ekonomi yang


diambil pemerintah daerah. Pada prinsipnya kunci kebijakan ekonomi secara
klasik bertujuan pada tiga hal, yaitu
1. Pertumbuhan ekonomi
2. Pemerataan ekonomi
3. Stabilitas ekonomi.

G. Manajemen Belanja Daerah

Manajeman belanja daerah memiliki tiga tujuan pokok yakni :


1. Menjamin dilakukannya disiplin fiskal melalui pengendalian belanja
2. Alokasi anggaran sesuai dengan kebijakan dan prioritas anggaran
3. Menjamin efisiensi dan efektivitas alokasi anggaran

Manajemen belanja akan menyesuaikan arah kebijakan anggaran, khususnya


kebijakan ekonomi yang ditempuh pemda yaitu pertumbuhan, pemerataan dan
stabilitas ekonomi. Manajemen belanja daerah juga mengacu kepada prinsip
tranparansi dan akuntabilitas, disiplin anggaran, keadilan anggaran serta efisiensi
dan efektifitas anggaran seperti dalam manajamen pendapatan daerah. Dari segi
disiplin anggaran, anggaran belanja yang dianggarkan merupakan batas tertinggi.
Penganggaran belanja daerah secara keseluruhan harus juga didukung dengan
adanya kepastian tersediaanya penerimaan. Ini bermakna bahwa daerah sebaiknya
menghindari anggaran defisit yang melebihi cadangan yang tersedia sehingga
terhindar dari penciptaan utang daerah. Prinsip keadilan anggaran mewajibkan
belanja daerah, khususnya dalam pemberian pelayanan umum harus dialokasikan
secara adil dan merata agar dapat dinikmati oleh seluruh kelompok masyarakat
tanpa diskriminasi. Dengan prinsip efisiensi dan efektifitas anggaran, belanja
harus menghasilkan peningkatan pelayanan dan kesejahteraan yang optimal untuk
kepentingan masyarakat. Ini bermakna bahwa setiap pos belanja daerah harus
dapat diukur kinerjanya.
Pengalaman pengelolaan keuangan Pemerintah Daerah dalam program
efisiensi pengeluaran daerah di masa lalu sering mengalami hambatan karena
beberapa sebab yaitu:
a. Pengeluaran tidak berorientasi pada kepentingan publik
b. Pengeluaran tidak berorientasi pada kinerja
c. Pengeluaran berorientasi jangka pendek
d. Pemerintah Daerah, tidak proaktif dan hanya bersifat reaktif untuk
melenyapkan sumber pemborosan keuangan daerah
e. Tidak adanya pengetahuan yang memadai mengenai sifat-sifat biaya.

H.Prinsip Manajemen Belanja Daerah

Terdapat beberapa prinsip manajemen belanja daerah yang perlu diperhatikan,


yaitu:
1. Perencanaan Belanja Daerah
Belanja daerah yang tercermin dalam APBD harus terencana dengan baik.
Perencanaan belanja yang baik ditandai dengan:
a. adanya koherensi antara perencanaanaan belanja dalam APBD dengan
dokumen perencanaan daerah;
b. adanya standar satuan harga (SSH) yang merupakan standar biaya per
unit input:
c. adanya analisis standar belanja (ASB) untuk menentukan kewajaran
belanja suatu program atau kegiatan,
d. adanya harga perkiraan sendiri untuk menentukan kewajaran belanja
modal yang pengadaannya ditenderkan;
e. rendahnya tingkat senjangan belanja (budgetary slack).
Pengeluaran daerah yang direncanakan harus memiliki keterkaitan logis
dengan dokumen perencanaan yang dituangkan dalam Renja SKPD. Renja
Pemda. RPJMD dan RPJPD. Azas penting dalam manajemen belanja daerah
adalah dipenuhinya konsep value for money yaitu pengeluaran belanja harus 3E
yaitu ekonomis, efisien dan efektif. Untuk menjamin dilakukannya anggaran
belanja yang memenuhi unsur 3E, pada tahap belanja perlu ditetapkan standar
satuan harga (SSH), sebagai standar biaya per unit input yang wajib digunakan
sebagai dasar penganggaran oleh satker penetapan standar satuan harga ini
penting untuk menghindari terjadinya mark up anggaran. Selain standar satuan
harga, juga perlu dimiliki analisis standar belanja. Analisis standar belanja lebih
tepat digunakan untuk menilai kewajaran belanja khususnya belanja nonmodal,
sedangkan untuk katagori belanja modal diperlukan Harga Perkiraan Sendiri
(HPS) untuk menemukan kewajarannya.

2. Pengendalian Belanja Daerah


Sistem anggaran harus menjamin dilakukannya pengendalian belanja
secara memadai. Setiap pengeluaran harus dapat dilacak prosesnya mulai
dari adanya kelengkapan dokumen anggaran, otorisasi dari pejabat yang
berwenang dan adanya bukti transaksi yang valid. Anggaran belanja
seharusnya dilaksanakan. tepat waktu. Pergeseran anggaran dimungkinkan
asal tidak mengubah prioritas program dan mengganggu proses anggaran.
Anggaran belanja harus digunakan sesuai peruntukannya. Fungsi verifikasi
anggaran sangat penting untuk pengendalian anggaran mulai dari pengajuan
anggaran hingga pertanggungjawabannya. Penyerapan anggaran yang terlalu
cepat atau lambat dari target atau jadwal yang direncanakan
mengindikasikan kurang bagusnya pelaksanaan anggaran.
3. Akuntabilitas Belanja Daerah
Belanja daerah harus memenuhi prinsip akuntabilitas publik, yaitu setiap
belanja harus dapat dipertanggungjawabkan dan dilaporkan kepada publik
baik langsung maupun melalui DPRD. Akuntabilitas publik atas belanja
daerah setidaknya meliputi:
a) akuntabilitas hukum
b) akuntabilitas financial
c) akuntabilitas program.
d) akuntabilitas manajerial
Akuntabilitas hukum mengandung arti bahwa setiap belanja daerah harus
ada dasar hukumnya, yaitu Perda APBD dan Peraturan Kepala Daerah
tentang penjabaran APBD. Pemerintah daerah tidak boleh melakukan
pengeluaran yang tidak dianggarkan. Belanja daerah harus memenuhi prinsip
akuntabilitas financial yaitu setiap rupiah yang dibelanjakan harus dapat
dipertanggungjawabkan dan dilaporkan dalam laporan keuangan pemda. Jika
belanja daerah yang dikeluarkan terkait dengan pelaksanaan program, maka
selain memenuhi prinsip akuntabilitas hukum dan finansial juga harus
memenuhi prinsip akuntabilitas program. Program yang dibiayai dengan
APBD harus dapat dipertanggungjawabkan melalui laporan kinerja program.
Secara kelembagaan, belanja daerah juga harus memenuhi prinsip
akuntabilitas manajerial artinya manajer publik yang terlibat dalam proses
pengeluaran belanja daerah harus bertanggungjawab atas terjadinya
pengeluaran tersebut.

4. Auditabilitas Belanja Daerah


Auditabilitas belanja daerah mengandung arti bahwa setiap pengeluaran
belanja yang mengakibatkan beban APBD harus dapat diverifikasi atau
diaudit. Verifikasi atau audit belanja daerah mencakup:
a) . kelengkapan dokumen anggaran, seperti DPA-SKPD, SPD,
SPP,SPM,SPJ dan dokumen pendukung lainnya yang diperlukan
b) adanya dokumen transaksi yang valid
c) dilakukannya pencatatan yang memadai
d) dapat diuji silang antara catatan dengan keberadaan.
Aspek audit belanja daerah antara lain untuk memeriksa
 ada/tidak ada mark up dalam pengadaan barang/jasa
 ada/tidak ada bukti belanja yang tidak sah (fiktif)
 ada/tidak ada penitipan anggaran ke satuan kerja lain
 ada/tidak ada kesalahan pembebanan belanja ke rekening yang tidak sesuai
 ada/tidak ada ketidakwajaran dalam belanja modal, belanja pegawai,
belanja barang dan jasa
 ada/tidak ada ketidakwajaran dalam proses pengadaan barang/jasa.

BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Manajemen belanja daerah harus menjadi fokus pemerintah daerah agar
optimalisasi manajemen keuangan daerah dapat tercapai. Hal ini penting karena belanja
daerah memiliki karakteristik mudah membelanjakannya, sulit menghematnya, dan
mudah menyelewengkannya.
Terdapat dua aspek penting terkait dengan belanja daerah yaitu kebijakan
belanja dan manajemen belanja. Kebijakan belanja dan manajemen belanja merupakan
dua hal yang saling terkait sehingga perlu harmonisasi dan sinkronisasi.
Kebijakan belanja daerah perlu secara eksplisit dituangkan dalam
dokumen perencanaan daerah, yaitu pada Kebijakan Umum APBD Prioritas dan Plafon
Anggaran, Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD), dan Rencana Pembangunan
Jangka Menengah Daerah (RPJMD)
Manajemen belanja daerah memiliki tiga tujuan pokok yang hendak
dicapai yaitu menjamin dilakukannya disiplin fiskal melalui pengendalian belanja,
dilakukannya alokasi anggaran sesuai dengan kebijakan dan prioritas anggaran, dan
menjamin efisiensi dan efektivitas alokasi anggaran.
Manajemen belanja daerah harus mencakup empat aspek yaitu adanya
perencanaan belanja yang baik.dilakukannya pengendalian belanja secara memadai,
adanya akuntabilitas belanja,dan dilakukannya audit atas belanja daerah.

DAFTAR PUSTAKA

Mahmudi (2009) "Manajemen Keuangan Daerah" Buku Seri Membudayakan.


Akuntabilitas Publik, Yogyakarta: Erlangga.

Anda mungkin juga menyukai