Anda di halaman 1dari 6

Nama : Friska Nurmeida Wicaksani

NIM : J1A017042

The Birth of Father and Mother in the


Indonesian Classroom
Penggunaan bahasa Indonesia mulai terasa dalam kutipan cerita Pramoedya Ananta Toer
yang berjudul “Jang Sudah Hilang”. Didalamnya terdapat kutipan kalimat, “Mengapa
menangis?”, “Ibu—bambu itu menangis.”, dari kutipan tersebut terlihat jelas munculnya sebuah
identitas baru yaitu bahasa Indonesia setelah sebelumnya kebanyak orang menggunakan bahasa
Jawa untuk menyebut hal-hal yang berkaitan dengan geografi, keluarga, dan lain-lain. Saat awal
masa kemerdekaan Indonesia, Adinegoro, yang juga dikenal sebagai “Bapak Jurnalis Indonesia”,
seringkali mengatakan bahwa bangsa Indonesia belum memiliki identitas budaya sendiri selain
bahasa, maka dari itu bahasa Indonesia inilah yang akan memiliki peran penting dalam
menciptakan budaya Indonesia.

Indonesia mulai diakui sebagai negara secara resmi pada 17 Agustus 1945 setelah
terbebas dari penjajahan Belanda. Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional memiliki peranan
yang sangat penting dalam menyatukan seluruh masyarakat Indonesia dalam suatu satu kesatuan.
Melalui proses perkembangan bangsa Indonesia, kita dapat melihat bahwa identitas bangsa
Indonesia telah muncul yaitu “kekeluargaan”. Identitas baru ini kemudia menjadi sebuah
kebanggan dan harga diri bangsa Indonesia. Asas kekeluargaan menumbuhkan sebuah rasa
kesatuan baik mengenai masyarakat pre-kolonial maupun pre-modern. Keluarga dan kerabat
menjadi kata kunci penting dalam penerapan asas kekeluargaan. Oleh sebab itu, tulisan dibawah
ini akan membahas mengenai konstruksi dari sebuah keluarga dalam literasi anak dan juga
sejarah bahasa nasional yang berkaitan dengan keluarga.

Keluarga dalam literasi anak. Bahasa Indonesia masih menjadi ‘bahasa sekolah’ yang
artinya bahwa bahasa lebih banyak dipelajari di sekolah daripada dirumah. Peranan guru lebih
besar perihal mengajar bahasa kepada anak daripada peranan orang tua. Pada tahun 1987, 97%
dari seluruh anak di Indonesia mengenyam bangku sekolah. Buku-buku diproduksi dalam jumlah
yang begitu banyak, begitupun buku literasi anak yang mendapat banyak permintaan cetak
karena pembacanya tidak hanya dari kalangan anak-anak melainkan dari kalangan orang dewasa
pula. Buku literasi anak disajikan dalam berbagai jenis tema termasuk diantaranya yaitu
keluarga, aktivitas disekolah, dongeng dalam maupun luar negeri, dan lain sebagainya. Diantara
banyaknya genre yang tersedia, buku anak dengan tema keluarga mendapat perhatian terbesar.
Buku anak bertema keluarga biasanya menggambarkan susunan dasar dalam keluarga seperti
ayah yang merupakan seorang pemimpin, ibu yang selalu bersedia memberi, dan anak penurut
yang kadang berbuat kesalahan dan akan dikoreksi oleh orang tua.

Salah satu cerita anak yang menarik untuk dibahas yaitu cerita berjudul “Diam bukan
berarti Setuju” yang menceritakan tentang Yoga yang ingin pergi berenang dengan temannya.
Cerita ini dipublikasikan dalam majalah anak terkenal pada masa nya yaitu majalah Bobo. Cerita
ini bercerita tentang Yoga yang meminta izin kepada ibu nya untuk pergi berenang bersama
teman. Ibunya tidak menjawab izin Yoga sehingga Yoga menggapnya sebagai sebuah bentuk
persetujuan. Sorenya Yoga sakit pusing dan mengadu pada ibu nya, lalu Ibu nya menasehati
bahwa diamnya saat Yoga meminta izin bukan berarti dia setuju, melainkan ia ingin anaknya
belajar untuk bertanggung jawab dan paham mengenai apa yang boleh dan tidak boleh untuk
dilakukan.

Kalimat “Diam bukan berarti Setuju” akhirnya justru menjadi perbincangan hangat
dikalangan para jurnalis. Hal ini berkaitan dengan peristiwa yang tengah terjadi pada masa itu
yaitu proses pemilihan presiden dan wakil presiden. Pemilihan presiden dilakukan oleh MPR,
dan memang sudah terprediksi bahwa pasti yang akan menjadi presiden Indonesia yaitu
Soeharto. Meski begitu, wakil presiden selalu berganti tiap periodenya dan hal inilah yang
seringkali menjadi topic perbincangan hangat. Pada proses pemilihan wakil presiden tahun 1988,
Presiden Soeharto tidak berkomentar apapun mengenai kandidat wakil presiden. Memanfaatkan
momen bungkamnya Presdien Soeharto, kandidat lain diam-diam berani mencalonkan diri
dengan adanya dukungan dari Jenderal Benny Moerdani. Namun, beberapa saat sebelum
pemungutan suara, kandidat tak terduga ini mendapat banyak kecaman dari para pemimpin
partai. Akibatnya, ia diusir dari partai dan bahkan terkucilkan dalam ranah sosial dan politik.
Seperti Yoga, dia harusnya tahu situasi tanpa harus diberi tahu secara lisan. Dalam
otobiografinya yang diterbitkan setahun kemudian, Presiden Soeharto menjelaskan bahwa dia
tidak mengusulkan nama siapapun karena dia mengharapkan masyarakat sudah paham dengan
sendirinya. Bangsa Indonesia akhirnya belajar bahwa “Diam bukan berarti persetujuan dari
pimpinan”. Dari dua kasus yang telah dibicarakan terlihat kemiripan yang ada antara hal-hal
menyangkut politik dan masalah dalam keluarga. Pesan yang terkandung dari dua peristiwa itu
adalah bahwa setiap orang harus mampu mengukur dirinya masing-masing dan kemudian harus
mampu menempatkan diri sesuai porsi dengan cara mengecilkan ego dan ambisi. Saat suatu
individu berhasil untuk mengatur dirinya sendiri untuk menjadi pribadi yang bijak, itu berarti
bahwa dia sedang belajar tentang kedewasaan.

Sejarah bahasa Indonesia. Pada awalnya, bahasa Indonesia merupakan bahasa


pergaulan yang digunakan untuk berbicara dengan orang asing tapi tidak digunakan untuk
berbicara pada orang tua dirumah. Bahasa Indonesia ini diambil dari bahasa Melayu sebelum
akhirnya dijadikan sebagai bahasa nasional. Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional mulai
diajarkan pada anak melalui proses pembelajaran di sekolah. Lembaga pembelajaran paling
berpengaruh pada masa itu yaitu Taman Siswa yang dipelopori oleh Ki Hadjar Dewantara dan
tersebar diseluruh penjuru nusantara. Siswa nya adalah anak-anak yang ingin belajar sedangkan
guru nya adalah orang-orang berpendidikan yang tidak memiliki pekerjaan. Di Taman Siswa ini
anak mulai diajarkan tentang penggunaan “Bapak”, “Ibu”, dan “Anak”. Sebelumnya penggunaan
basaha panggilan yang ada sangat beragam seperti “Tuan”, “Njonjah”, “Meneer”, “Den”, dan
lain sebagainya. Saking beragamnya, Indonesia menjadi tidak memiliki bahasa panggilan yang
pasti dan dapat berlaku diseluruh wilayah. Karena hal inilah kemudian lahir adanya istilah
“Bapak” dan “Ibu”. Penggunaan “Bapak” dan “Ibu” didasarkan pada perbedaan jenis kelamin
dan umur. “Bapak” digunakan sebagai kata sapaan untuk lelaki yang lebih tua, sementara “Ibu”
digunakan sebagai kata sapaan untuk wanita yang lebih tua. Pada masa itu, sosok yang secara
nasional digambarkan sebagai “Bapak” yaitu Presiden Soekarno, sedangkan sosok yang secara
nasional digambarkan sebagai “Ibu” yaitu R.A. Kartini. Kata “Bapak” dan “Ibu” kemudian
digunakan sebagai sapaan untuk laki-laki atau perempuan yang dihormati. Termasuk dalam hal
ini yaitu orang tua dirumah, mereka bisa juga disebut sebagai “Bapak” dan “Ibu” karena peran
mereka yaitu menuntun dari belakang meskipun terkadang seorang anak juga memanggil orang
tua nya sebagai “Ayah”. Dari penjelasan mengenai “Bapak” dan “Ibu” arti dari kalimat “diam
bukan berarti setuju” sebenarnya memiliki arti “diam nya Bapak atau Ibu bukan berarti setuju”.
Akan lebih baik jika anak-anak tetap bisa mencari kebahagiaan mereka dengan pantauan dari
orang tua.

Anak yang bahagia dari sebuah keluarga. Dalam masa Orde Baru, sekolah mulai
banyak dibangun dan buku-buku pelajaran mulai banyak didistribusikan. Kebanyakan buku yang
diterbitkan telah ditinjau secara langsung oleh pemerintah sehingga identitas nasional semakin
mudah untuk dibentuk. Pramoedya dan Soeharto merupakan dua sosok yang memiliki peran
penting dalam pembentukan identitas keluarga. Meski begitu, salah satu karya Pramoedya yang
berjudul Glasshouse edarannya dilarang oleh pemerintah karena dianggap berisi hal yang
berpengaruh buruk bagi anak. Dalam tulisannya, Pramoedya mengkritik tentang anak-anak
Indonesia yang tidak mendapat kebebasan untuk melawan yang lebih dihormati, dimana dia
menemukan bahwa hal yang bertentangan terjadi di Eropa. Buku ini dilarang peredarannya
karena dianggap tidak sesuai dengan kondisi dan norma yang berlaku di Indonesia. Berkaitan
dengan kasus ini, terdapat sebuah karya literasi anak yang dapat dianalisis yaitu cerita karya
Sahid Putra yang berjudul Roni memiliki saudara bayi perempuan. Cerita ini berkisah tentang
Roni yang merasa kehilangan perhatian orangtua nya setelah saudara perempuannya yang
bernama Ita lahir. Awalnya Roni menderita karena merasa ditinggalkan tapi diakhir cerita dia
mengatasi segala rasa deritanya dengan ikut menolong orangtua nya mengurus Ita. Di halaman
terakhir, diilustrasikan bahwa orangtua nya memandang Roni yang ikut membantu mereka
dengan pandangan penuh cinta, dan Roni pun merasa puas karena bisa ikut menolong
orangtuanya. Cara Roni menghadapi masalah sangat bertentangan dengan cara yang dilakukan
oleh ana-anak Eropa yang Pramoedya sebutkan. Dibanding Roni, anak-anak Eropa inilah yang
bermasalah karena mereka tidak dapat menghargai orangtua, tidak mengerti tentang tanggung
jawab dan pengorbanan, dan tidak mengerti kebahagiaan dari menjadi dewasa. Sedangkan bagi
Pramoedya, kedewasaan baru dapat dicapai ketika seorang individu memiliki kemampuan untuk
melawan mereka yang dihormati atau ditinggikan seperti orangtua, guru, raja, dan juga
kepemimpinan yang ada pada masa Orde Baru.

Keluarga sendiri pada dasarnya dibangun oleh hubungan antara orangtua dan anak
maupun antar saudara. Konsep keluarga juga menggambarkan mengenai kedewasaan anak.
Itulah mengapa buku-buku anak dan buku sekolah harus melalui proses penilaian tertentu
sebelum didistribusikan, karena hal ini dapat mempermudah pemerintah untuk membentuk suatu
identitas nasional mengenai keluarga. Penggunaan kata “Bapak” dan “Ibu” sendiri
pemahamannya telah ada di banyak buku-buku anak dan buku sekolah. Melalui konteks
“keluarga”, terbentuklah sebuah identitas yang mengindikasikan kehidupan sosial masyarakat
Indonesia. Hal ini pula yang mendasari mengapa asas kekeluargaan dianggap sebagai asas yang
paling tepat untuk diterapkan dan sekaligus menjadi harga diri bangsa Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA

Shiraishi, Saya S. The Birth of Father and Mother in the Indonesian Classroom. In E.
“Southeast Asian Studies” Vol. 34, No.1. June 1996.

Anda mungkin juga menyukai