Anda di halaman 1dari 5

BABAD PAMIJAHAN

Babad Pamijahan ini diterjemahkan dari Kitab Perimbon Kuno karya Zainal Musthafa Bin
Muhammad Jabidi , 5 Juli 1977 / 18 Rajab 1397. Perimbon atau Paririmbon dikenal sebagai kumpulan naskah
tua yang berisi berbagai catatan penting bagi masyarakat tradisional. Naskah Babad Pamijahan ini
diterjemahkan ulang ke dalam bahasa Indonesia dan diberi catatan untuk kepentingan pribadi oleh Maojan
Ali Dzulfakor, S.H.

[ Bagian. I ]

Faidah. Ini adalah cerita yang diturunkan dari leluhur kita. Mereka adalah orang-orang yang telah
menerima rahmat dan berkah dari Gusti Allah. Dengan nama Allah, Yang Maha Pengasih dan Maha
Penyayang. Maka sebagian dari para ikhwan, juga sebagian sahabat banyak yang meminta dituliskan hikayat
Babad Pamijahan yang jelas, lalu hati saya ingin melanjutkan untuk bertawassul kepada Toean Padoeka
Syech Hadji Abdoel Muhji [din] Panembahan di Pamidjahan-Karangnunggal. Saya diminta untuk
menulis Hikayat ini sesuai dengan cerita leluhur yang diambil dari Babad Sejarah Kuna.

[ Bagian II ]

Ini adalah silsilah leluhur Panembahan Syekh Abdoel Muhji dari Karang yang datang dari timur.
Dia adalah keturunan dari Susuhunan Giri Kadaton. Susuhunan Giri Kadaton memiliki seorang putra.
Namanya adalah Pangeran Giri Laya. Pangeran Giri Laya memiliki dua anak: seorang putra dan seorang
putri. Inilah anak-anak hasil perkawinannya dengan putri Kiai Haji Demang Malaya. Putra Raden Giri Laya
adalah Raden Wiracandra. Putri Raden Giri Laya adalah Raden Malaya. Raden Malaya kemudian menikah
dengan Kiai Gedeng Mataram. Mereka memiliki seorang putra bernama Kiai Tumenggung Singaranu di
Mataram. Setelah Raden Malaya memiliki putra ini, ayahnya, pangeran Giri Laya, pergi ke Mataram untuk
merayakan kelahiran cucunya. Dia berangkat ke Semarang. Namun, di lautan antara Pulau Karimun dan Pulau
Mandalika kapalnya karam. Oleh karena itu, ia disebut Pangeran yang Meninggal di Samudera atau
Pangeran Seda Lautan.

[ Bagian III ]

Putra dari Giri Laya adalah Raden Wiracandra. Ia menikah dengan putri Harisbaya dari Madura.
Setelah setengah tahun, istrinya meninggal. Dia merasa sedih, untuk mengurangi kesedihannya ia berlayar ke
Lampung.

[ Bagian IV ]

Ketika datang ke Lampung, ia mengajarkan ilmu kesaktian/kadigdayaan kepada keluarga kerajaan,


termasuk Patih Haji Panji Lalana Mas Wisesa. Dari Lampung, Raden Wiracandra melakukan perjalanan ke
Pathani [Thailand] untuk mengajarkan ilmu yang sama. Dari Pathani, ia melakukan perjalanan ke Pariaman.
Dari sana ia pindah ke Minangkabau dan kemudian kembali ke Palembang. Ia tinggal lama di Palembang.
Kiai Gedeng Mataram mendapat kabar Raden Wiracandra menetap di Palembang. Kemudian Kiai Gedeng
Mataram meminta seekor gajah dari Pangeran Sumedang.

1
[ Bagian V ]

Pangeran Sumedang memerintahkan salah satu anak buahnya untuk pergi menemui Raden
Wiracandra di Palembang. Pangeran Sumedang mengutus Pangeran Singamanggala untuk mengundang Raden
Wiracandra kembali ke Mataram. Raden Singamanggala pergi ke Palembang dengan membawa seekor
gajah. Selang beberapa waktu Raden Wiracandra ikut bersamanya kembali ke Sumedang. Di Sumedang,
Raden Wiracandra bertemu dengan kerabatnya dari Madura. Pangeran Sumedang telah diperintahkan oleh
Kiai Gedeng Mataram untuk mengalahkan Madura. Kiai Gedeng Mataram memberinya budak rampasan
perang. Mereka pun kemudian menetap di Sumedang.

[ Bagian VI ]

Setelah itu, dikisahkan Susuhunan Ranggalawe Malangkabo berselisih dengan warga Nagaragung.
Oleh karena itu, Susuhunan Ranggalawe menghadapi musuh di Timbanganten dan meminta bantuan
Wiracandra untuk menyerang Nagaragung. Kemudian Raden Wiracandra menyerang Nagaragung dan
mengalahkan mereka. Raden Wiracandra kemudian mendapatkan seorang putri dari Susuhunan Ranggalawe
dari Lebak Wangi. Raden Wiracandra menikahinya dan menetap di Timbanganten.

[ Bagian VII ]

Lama kelamaan, sampailah kabar kepada Kiai Ngabehi Jagasatru di Nagara bahwa Raden
Wiracandra tinggal di Timbanganten. Kiai Ngabehi Jagasatru memerintahkannya berperang melawan rakyat
Lampung. Raden Wiracandra pergi ke Lampung untuk melawan mereka. Setelah ia turun ke lapangan,
pertempuran antara orang Lampung dan orang Cidamar berhenti, karena kedua kubu itu adalah murid Raden
Wiracandra. Alih-alih berperang, Raden Wiracandra memerintahkan Haji Panji Lalana Mas Wisesa dari
Lampung untuk melepaskan tawanannya. Beberapa dari mereka telah diambil sebagai istri oleh bangsawan
Lampung. Tawanan lainnya dikembalikan ke Raden Wiracandra. Tinggal tujuh keluarga yang tersisa di
Lampung. Sebagian besar tawanan kembali ke Kiai Ngabehi Jagasatru dan menetap di Citamiang. Kecuali
seorang wanita cantik, Raden Tangan Kandi, dia lah yang paling mempesona.

[ Bagian VIII ]

Lebih dari itu, Kiai Ngabehi Jagasatru memberikan dua orang wanita kepada Raden Wiracandra.
Wanita kedua adalah putri dari Ngabehi Jagasatru sendiri. Setelah itu, Kiai Ngabehi Jagasatru Mataram
memberi gelar Raden Wiracandra dengan gelar Santana Agung Kiai Pamekel Tempuh. Kiai Pamekel
Tempuh kemudian menetap di Mataram.

[ Bagian IX ]

Selang beberapa lama, dikisahkan bahwa Kiai Rangga Gede di Karang mengundang Kiai Santana
Agung Pamekel Tempuh untuk datang ke Karang. Namun, saat itu dia menolak untuk pergi ke Karang tetapi
dia berkata, “Baiklah, lain kali saya akan datang ke Karang.” Setelah itu, putra Kiai Santana Agung dari
istrinya asal Lebakwangi yang merupakan putri Sunan Ranggalawe Malangkabo yang bernama Wirasantana
menikah dengan Ayoe Pathani putri Kiai Rangga Gede.

2
[ Bagian X ]

Ada seorang putra dari perkawinan Kiai Santana Agung dan Raden Tangan Kandi. Namanya Entol
Sambirana saudara laki-laki dari Wirasantana yang menikah dengan putri Kiai Rangga Gede yang bernama
Ayoe Pathani. Ayoe Pathani memiliki seorang putra dan seorang putri. Sang putri menikah dengan Wirajoeda
dan memiliki dua putri bernama Nyi Tasik dan Nyi Woelan. Nyi Tasik menikah dengan Ki Wirung, putra
Pangganan dan memiliki dua orang putri dan seorang putra: Nyi Sutadinata, Ki Doeriat, dan Nyi Mas
Toewan. Nyi Wulan memiliki dua putri: Nyi Wanakerti dan Nyi Kertasantika. Anak Kiai Agung Pamekel
Tempuh dari Raden Tangan Kandi bernama Entol Sambirana menikah dengan putri Kiai Ngabehi Jagasatru.

[ Bagian XI ]

Entol Sambirana memiliki tiga putri dan seorang putra; mereka adalah Nyi Tangan Imbasari yang
menikah dengan Raden Singabangsa, Nyi Raden Tangandjijah yang menikah dengan Lebe Warta, dan
Nyi Tangan Kontjer yang menikah dengan Ki Noerman dari Batuwangi.

Nyi Tangan Imbasari memiliki seorang putra dan seorang putri: Ki Mas Wangsakoesoemah dan Nyi
Mas Pandjang Djiwa.

Nyi Tanganjiyah memiliki lima putra dan seorang putri: mereka adalah Abdoel Arief, Abdoel Rosid,
Panembahan Haji Abdoel Muhji, Nyai Chatib Moewachid, Toean Hadji Abdoel Kohir dan Abdoel
Halek.

Tangan Koncer memiliki dua anak perempuan; ini adalah Bibi Yaqin dan Bibi Djakanta. Kiai Lebe
Warta [Sembah Lebe Wartakoesoemah] putra Entol Panengah memiliki saudara laki-laki bernama Ki
Wanta, ayah dari Kersadjati. Entol Panengah adalah anak dari Sarepeun Nembol. Sarepeun Nembol adalah
putra dari Moedik Tjikawungading. Moedik Tjikawungading adalah anak dari Kuda Landjar. Kuda
Landjar adalah putra Ratoe Boehoen. Ratoe Poehoen adalah putra Ratoe Galoeh.

Ki Nurman dari Batuwangi adalah saudara dari Aki Boko, Aki Tindak, dan Aki Moenawar. Putra
Paman Jakanta adalah Aki Wangun. Putra Aki Wangun adalah Aki Pangganan. Ibu Paman Jakanta berasal
dari Karang. Ia adalah putri dari Ki Wana Baradja, kakak dari Nini Madari, Nini Wiradinata, dan Aki
Ambu, ayah dari Aki Misin. Ibu dari Gusti dan ibu Kiai Haji Abdoel Kohar Pandawa adalah dari Kiai
Lebe Warta, Aki Pagon adalah putra dari Entol Panengah dia adalah saudara dari Aki Codong, Aki
Subang, Aki Bolang, Aki Salam, dan saudara dari Kiai Lebe Warta dari ibu yang berbeda. Ayah dari Aki
Salam adalah Entol Panengah dan ibunya adalah ibu Kiai Lebe Warta.

Tamat.

3
Dilarang mengcopy / mengutip tanpa izin
©
Catatan:

4
Dilarang mengcopy / mengutip tanpa izin
©

Anda mungkin juga menyukai