Anda di halaman 1dari 8

Urgensi Ketersediaan Kode Etik dan Kode Perilaku terhadap

Penegakkan Nilai Dasar Integritas di Lingkungan


Komisi Pemberantasan Korupsi

(Studi Kasus: Ketersediaan Kode Etik Larangan


Mengadakan Hubungan Langsung
atau Tidak Langsung)

Oleh: Safira Hanny Rizky Wasiat (2006563303)

Abstrak

Penulisan ini mencoba untuk memberikan gambaran tentang pengaturan kode etik dan pedoman
perilaku di sektor publik, khususnya mengenai ketersediaan larangan untuk megadakan hubungan
langsung atau tidak langsung dengan seseorang yang berhubungan dengan kasus tindakn pidana korupsi
yang sedang ditangani oleh Komisi kecuali dalam rangka untuk melaksanakan tugas. Hasil analisis
dalam penulisan ini menunjukkan bahwa ketersediaan kode etik dan kode perilaku sangat penting untuk
menindaklanjuti sebuah perilaku yang bertentangan dengan nilai dasar integritas termasuk dengan
pemberlakuan sanksi agar menimbulkan efek jera sehingga tidak terulang kembali.

Keyword: pelanggaran, sektor publik, kode etik, pedoman perilaku, korupsi, KPK

PENDAHULUAN

Kode etik dan perilaku merupakan aspek penting dalam menjaga nilai aparatur sipil negara dan
mencegah pelanggaran disiplin. Hal ini sejalan dengan tujuan Undang-Undang Aparatul Sipil Negara
No. 5 Tahun 2014 (UU ASN), dimana ASN sebagai profesi dilandasi oleh nilai-nilai fundamental,
kaidah etik dan pedoman perilaku. Kode etik dan perilaku Pasal 5 (2) UU ASN diatur untuk mengatur
perilaku ASN, antara lain pelaksanaan tugas yang jujur, bertanggung jawab dan jujur, menghindari
benturan kepentingan, perilaku hormat, santun dan tidak mengganggu.
Salah satu lembaga publik yang mengemban tugas pemberantasan korupsi di Indonesia adalah
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang didirikan tahun 2003. Pelakanaan tugas KPK diamanatkan
melalui UU No.19/2019 yang merupakan perubahan kedua UU No.30/2002 tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Atas kewenangan besar yang diemban dan untuk menjaga
integritas dalam pelaksanaan tugas maka KPK menyusun peraturan internal yang mengatur tentang
etika dan perilaku pegawai dan pimpinannya melalui peraturan kode etik dan pedoman perilaku.
Peraturan tersebut tidak hanya sekedar disusun namun juga diterapkan untuk menjaga nilai-nilai dasar
yang menjadi ruh pemberantasan korupsi di KPK yaitu integritas.
Dalam mendukung penegakan kode etik, Dewan Pengawas KPK menyusun sanksi bagi para
pelanggar kode etik. Hukumannya bertahap, dari yang ringan, sedang, hingga berat, mulai dari teguran
lisan, pemotongan gaji, hingga pemberhentian. Peraturan yang mengatur mengenai kode etik dan kode
perilaku tersebut senantiasa dikembangkan dan direvisi agar sesuai dengan kondisi yang diperlukan
pada masa kini.
Pada Bulan Juni 2021 Lili Pintauli Siregar (LPS) yang pada saat itu berstatus sebagai Mantan
Wakil Ketua KPK, telah dilaporkan ke Dewan Pengawas KPK mengenai atas dugaan pelanggaran kode
etik dan pedoman perilaku, yaitu melakukan kontak serta memberikan informasi perkembangan
penanganan kasus wali kota non aktif Tanjung Balai M. Syahrial (MS), MS adalah tersangka perkara
suap jual beli jabatan pada Pemerintah Tanjung Balai tahun 2020-2021.
Terhadap perilakunya tersebut, LPS dinilai melanggar nilai integritas pada ketentuan Pasal 4
ayat 2 huruf a Perdewas KPK No.2 tahun 2020 yang mengatur penegakan kode etik serta perilaku

1
pegawai dan pimpinan KPK. Pada ketentuan tersebut menyatakan bahwa “Setiap pegawai maupun
pimpinan KPK tidak boleh melakukan interaksi baik secara langsung ataupun tidak langsung dengan
tersangka, terdakwa, terpidana, ataupun pihak yang terindikasi berhubungan dengan kasus tindak
pidana korupsi yang kasusnya sedang proses ditangani oleh KPK, kecuali jika interaksi tersebut
merupakan bagian dari tugas dan atas pengetahuan dari pimpinan maupun atasan langsung”.
Sidang etik LPS diselenggarakan sesuai dengan Perdewas No.3/2020 menetapkan hasil keputusan
sidang etik yang mengungkap bahwa LPS bersalah melanggar kode etik dan pedoman perilaku sebagai
pimpinan melalui jabatannya sebagai wakil ketua KPK karena memanfaatkan jabatannya tersebut guna
mendapatkan keuntungan bagi dirinya sendiri maupun pribadi dan melakukan interaksi langsung
dengan pihak yang kasusnya dalam proses ditangani oleh KPK dan diberikan sanksi berat sesuai yaitu
pemotongan gaji pokok sebesar 40% selama 12 bulan. Berdasarkan uraian kasus etik yang dilakukan
mantan wakil ketua KPK diatas, dalam makalah ini akan dilakukan analisis mengenai ketersediaan
peraturan internal di KPK apakah sudah cukup memadai untuk memandu pegawai dan pimpinan KPK
dalam menjalankan tugasnya.

METODE PENELITIAN
Pendekatan penelitian yang digunakan dalam penelitian in adalah penelitian kualitatif. Penelitian
kualitatif berlandaskan pada filsafat postpositivisme, digunakan untuk meneliti pada kondisi obyek
yang alamiah, dimana peneliti sebagai instrumen kunci, analisis data lebih bersifat induktif dan hasil
penelitian kualitatif lebih menekankan pada makna dari pada generalisasi. Sedangkan metode penelitian
yang digunakan dalam dalam pengumpulan data adalah pengumpulan data sekunder melalui kajian
literatur terhadap sumber-sumber data sekunder yang diperoleh.

ETIKA DAN KODE ETIK


Menurut Bertens (1993), Etika dapat dipahami dalam tiga bagian antara lain: (1) Etika sebagai
sistem nilai dan norma yang berlaku bagi kelompok masyarakat sebagai acuan dalam menjalankan
kehidupan; (2) Etika sebagai kumpulan azas moral atau disebut kode etik; (3) Etika sebagai filsafat
moral yang membicarakan tingkah laku, perbuatan, gerakan dan kata-kata manusia. Berangkat dari
pemahaman etika menurut Bertens ini, etika dalam profesi tergolong dalam pengertian bagian kedua
yakni etika sebagai kumpulan azas moral atau yang biasa disebut kode etik.
Etika dalam birokrasi atau pemerintahan memiliki peran penting dalam mewujudkan birokrasi yang
bersih, sehingga ASN diharapkan mampu mewujudkan suasana dan budaya kerja yang kredibel dan
professional (Maindoka, dkk, 2017). Etika memiliki fungsi penting dalam mewujudkan tata kelola
pemerintahan yang baik, yaitu sebagai pedoman atau acuan dalam menjalankan tugas dan kewenangan agar
dinilai baik, terpuji, dan tidak tercela (Sundary, 2013).
Pelanggaran etika dapat terjadi dimana saja, termasuk yang terjadi di dalam birokrasi dimana dalam
menjalankan tugas profesi, ASN dituntut untuk memiliki integritas moral sebagai penyelenggara pelayanan
publik. Dampak negatif dari pelanggaran etika diantaranya adalah timbulnya rasa kecewa pada pihak lain
baik internal maupun eksternal, merosotnya kepercayaan publik pada elit brikroasi dan menghilangnya
pengaruh kekuasaan (Suryono, 2011). Untuk mewujudkan etika tersebut, seseorang dituntut harus
bertindak sesuai dengan koridor yang berlaku secara normatif, sehingga memiliki bobot kepantasan dan
kepatutan untuk dinilai baik. Dengan demikian dalam penerapannya etika diupayakan sebisa mungkin
ditetapkan dalam bentuk aturan tertulis.
Kode Etik dan Kode Perilaku yang diterapkan secara tertulis telah dikenal dan diakui secara luas
dalam Perjanjian Internasional Anti Korupsi yang dikenal dengan United Nation Convention Against
Corruption (UNCAC) pada Tahun 2003. Dalam langkah-langkah yang diatur dalam UNCAC, salah
satunya diatur mengenai Public Service Code sebagai elemen penting dalam pencegahan korupsi.
Aturan tertulis Kode Etik tersebut digunakan untuk memberikan panduan dan pengaruh pada
perilaku yang memiliki peranan penting khususnya terhadap negara berkembang untuk berfungsinya
pelayanan publik (White Jr, 1999). Selain itu, Kode Etik memiliki dampak baik menurut beberapa cara,
diantaranya adalah (Gilman, 2005):
1. Kode etik dapat meningkatkan kemungkinan bahwasannya orang akan berperilaku dengan cara
tertentu;
2. Kode etik yang baik dapat memfokuskan Aparatur Sipil Negara (ASN) pada tindakan yang
menghasilkan tindakan yang benar untuk alasan yang benar;

2
3. Kode etik tidak menghilangkan otonomi moral seseorang atau membebaskan ASN dari
kewajiban akal;
4. Kode etik dapat berfungsi sebagai pernyataan profesional.
Menurut Gilman (2005) Kode Etik yang efektif mengandung prinsip dan nilai pelayanan publik
yang baik dimana prinsip adalah kondisi etis atau perilaku yang diharapkan, sedangkan nilai adalah
kewajiban moral umum. Prinsip dan Nilai Pelayanan Publik tersebut dituangkan baik secara eksplisit
maupun implisit dalam sebuah Kode Etik. Kritik utama pada kode etik adalah karakteristiknya yang
terlalu abstract dan karena itu sulit untuk ditegakkan. Selain itu, terdapat perbedaan antara Kode Etik
dan Kode Perilaku, dimana Kode Perilaku lebih berfokus pada larangan dibandingkan dengan
kewajiban affirmatif, serta merinci batasan-batasan perilaku.

KETERSEDIAAN KODE ETIK DAN KODE PERILAKU


DALAM PENANGANAN KASUS ETIK

Di Indonesia telah terdapat beberapa peraturan perundang-undangan yang secara umum mengatur
ASN mengenai kode etik. Lebih khusus dalam penulisan ini yaitu mengenai Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) telah terdapat beberapa peraturan internal yang mengatur baik kode etik serta pedoman
perilaku sebagaimana telah disebut sebelumnya dalam Bab I Pendahuluan. Dalam Tabel II berjudul
Peraturan Perundang-undangan Kode Etik dan Pedoman Berperilaku menyangkut Komisi
Pemberantasan Korupsi, dijelaskan secara singkat mengenai ruang lingkup dari masing-masing
peraturan. Hingga saat ini, dalam kurun waktu hampir 19 tahun sejak KPK berdiri, berbagai
penyesuaian kode etik dan perilaku telah dilakukan agar sejalan dengan dinamika organisasi. Peraturan
internal KPK sejak tahun 2003 tersebut sebagai berikut:
1. Surat Keputusan Pimpinan KPK No.KEP-06/P.KPK/02/2004 tentang Kode etik pimpinan
KPK;
2. Peraturan KPK No.05/2006 tentang Kode Etik Pegawai dan Pimpinan KPK;
3. Peraturan KPK No.7/2013 mengatur nilai dasar pribadi, kode etik dan pedoman perilaku KPK;
4. Peraturan Dewan Pengawas (Perdewas) KPK No.1/2020 mengenai kode etik dan pedoman
perilaku KPK, Peraturan Dewan Pengawas KPK No.2/2020 mengenai penegakan kode etik dan
pedoman perilaku KPK;
5. Peraturan Dewan Pengawas KPK No. 2 Tahun 2021 tentang Kode Etik dan Kode Perilaku
KPK;
6. Peraturan Dewan Pengawas KPK No. 3 Tahun 2021 tentang Penegakan Kode Etik dan Kode
Perilaku KPK;
7. Peraturan Dewan Pengawas KPK No. 4 Tahun 2021 tentang Tata Cara Pemeriksaan dan
Persidangan Pelanggaran Kode Etik dan Kode Perilaku Komisi Pemberantasan Korupsi.
Kode Etik dan Kode Perilaku yang diatur dalam lingkup KPK disusun dalam sebuah Peraturan
Dewan Pengawas dimana diantara keduanya menjadi satu kesatuan dan tidak berdiri sendiri-sendiri
pada sejumlah produk hukum yang berbeda sebagaimana pada institusi lain di Indonesia. Tidak
dipisahkan secara tegas antara Kode Etik dan Kode Perilaku dalam peraturan perundangan yang ada.

Kasus Pelanggaran Kode Etik dan Perilaku Lili Pintauli Siregar


Pelanggaran etika dapat terjadi dimana saja, termasuk yang terjadi di dalam birokrasi dimana dalam
menjalankan tugas profesi yang dituntut untuk memiliki integritas moral sebagai penyelenggara
pelayanan publik yang pada penulisan ini fokus terhadap pelanggaran etika yang dilakukan oleh Mantan
Wakil Ketua KPK periode 2019-2022 yang melakukan kontak serta memberikan informasi
perkembangan penanganan kasus wali kota non aktif Tanjung Balai M. Syahrial (MS), MS adalah
tersangka perkara suap jual beli jabatan pada Pemerintah Tanjung Balai tahun 2020-2021. Perbuatan
yang dilakukan oleh LPS tersebut jelas melanggar nilai dasar integritas yang menjadi pedoman insan
KPK, diantaranya adalah Integritas, sinergi, keadilan, profesionalisme, kepimpinan.
Ketersediaan kode etik dan pedoman perilaku menjadi penting pada proses penanganan perilaku
yang dianggap bertentangan dengan moral dan etika, walaupun diantara keduanya merupakan hal yang

3
berbeda dan kerap diatur secara terpisah dan berdiri sendiri-sendiri. Dimana kode etik memiliki
karakteristik yang abstrak dan sulit untuk ditegakkan, sementara pedoman perilaku atau code of conduct
yang riancang untuk mengantisipasi dan mencegah perilaku tertentu yaitu konflik kepentingan,
penyuapan, dan tindakan tidak pantas lainnya secara rinci dan lebih berfokus pada larangan dibandingan
dengan kewajiban afirmatif (Lamarco N, 2021). Lebih lanjut dalam Tabel I dijelaskan mengenai
perbedaan karakteristik antara kode etik dan pedoman perilaku:

Tabel I
Perbedaan Kode Etik dan Pedoman Perilaku

Sumber : Buchan, 2022

Meskipun pedoman perilaku dapat berdiri sendiri, tidak jarang pedoman perilaku juga dilengkapi
dengan kode etik. Salah satu contohnya adalah Amerika Serikat dengan kode etiknya yang berjudul a
Presidential Executive Order Entitled Principles of Ethical Conduct for Government Officers and
Employees yang dilengkapi dengan Pedoman Perilaku yang berjudul The Standards of Ethical Conducts
yang memiliki halaman lebih dari 70 (tujuh puluh) halaman dan utamanya memperluas larangan dalam
Kode Etik sebelumnya. Sedangkan di Indonesia, terdapat beberapa peraturan perundang-undangan
yang mengatur mengenai Kode Etik dan Pedoman Perilaku ASN secara umum, dan dalam lingkup KPK
secara khusus, lebih lanjut dirincikan dalam Tabel II.

4
Tabel II
Peraturan Perundang-undangan Kode Etik dan Pedoman Berperilaku di Indonesia serta
Pada Komisi Pemberantasan Korupsi

Kode Etik dan Kode Perilaku yang diatur dalam lingkup KPK disusun dalam sebuah Peraturan
Dewan Pengawas dimana diantara keduanya menjadi satu kesatuan dan tidak berdiri sendiri-sendiri
pada sejumlah produk hukum yang berbeda sebagaimana pada institusi lain di Indonesia ataupun di luar
negeri. Tidak dipisahkan secara tegas antara Kode Etik dan Kode Perilaku dalam peraturan
perundangan yang ada.
Ketersediaan kode etik dan kode perilaku yang tertuang dalam Perdewas KPK No. 1 Tahun 2020
tentang Kode Etik dan Perilaku dalam Sub Bab C.1 Integritas angka 11 yang berbunyi “Dilarang
mengadakan hubungan langsung atau tidak langsung dengan tersangka, terdakwa, terpidana, atau pihak
lain yang ada hubungan dengan perkara tindak pidana korupsi yang diketahui perkaranya sedang
ditangani oleh Komisi kecuali dalam rangka pelaksanaan tugas dan sepengetahuan Pimpinan atau
atasan langsung”.

5
Perdewas No. 2 Tahun 2020 tentang Penegakkan Kode Etik dan Pedoman Perilaku juga mengatur
hal yang sama, kedua peraturan inilah yang menjadi kunci utama dalam penegakan pelanggaran etika
dalam setiap institusi, terutama dalam penelitian ini yaitu pada penegakan pelanggaran nilai integritas
dan profesionalisme di lingkungan KPK pada Kasus Mantan Wakil Ketua KPK periode 2019-2022.
Dalam Pasal 4 ayat (2) huruf a Perdewas No. 2 Tahun 2020 berbunyi “Setiap pegawai maupun
pimpinan KPK tidak boleh melakukan interaksi baik secara langsung ataupun tidak langsung dengan
tersangka, terdakwa, terpidana, ataupun pihak yang terindikasi berhubungan dengan kasus tindak
pidana korupsi yang kasusnya sedang proses ditangani oleh KPK, kecuali jika interaksi tersebut
merupakan bagian dari tugas dan atas pengetahuan dari pimpinan maupun atasan langsung”. Selain itu
juga, ketersediaan jenis dan sanksi pelanggaran juga penting dalam rangka penegakan yaitu untuk
memberikan efek jera sehingga tidak terulang kembali. Pada Tabel III dirinci lebih lanjut mengenai
sanksi pelanggaran yang ditetapkan berdasarkan besarnya dampak atau kerugian yang ditimbulkan.

Tabel III
Sanksi Pelanggaran
Kode Etik dan Pedoman Perilaku
Komisi Pemberantasan Korupsi

No Dampak Jenis Pelanggaran Sanksi


Pelanggaran
1 Terhadap Pelanggaran Ringan a. Teguran Lisan, dengan masa berlaku
Sekretariat hukuman selama 1 (satu) bulan;
Jenderal b. Teguran Tertulis I, dengan masa berlaku
hukuman selama 3 (tiga) bulan;
c. Teguran Tertulis II, dengan masa berlaku
hukuman selama 6 (enam) bulan.

2 Terhadap Pelanggaran Sedang a. pemotongan gaji pokok sebesar 10%


Komisi (sepuluh persen) selama 6 (enam) bulan;
b. pemotongan gaji pokok sebesar 15% (lima
belas persen) selama 6 (enam) bulan;
c. pemotongan gaji pokok sebesar 20% (dua
puluh persen) selama 6 (enam) bulan.

3 Terhadap Pelanggaran Berat a. pemotongan gaji pokok sebesar 40%


Negara (empat puluh persen) selama 12 (dua belas)
bulan;
b. diminta untuk mengajukan pengunduran
diri sebagai
Dewan Pengawas dan Pimpinan.

Sumber : Perdewas No. 2 Tahun 2020

Kasus Serupa yang Pernah Terjadi


Kasus serupa yang pernah terjadi dalam lingkup KPK pernah terjadi pada Tahun 2011, yaitu
pada Kasus Penerimaan Suap Gratifikasi terkait proyek pembangunan Wisma Atlet SEA Games 2011
oleh Nazaruddin yang pada saat itu menjabat sebagai Anggota DPR Tahun 2009-2014. Dalam
pemeriksaan kasus tersebut, ditemukan dugaan pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh sejumlah
pimpinan KPK yang beberapa diantaranya dinyatakan bersalah dan dijatuhi sanksi pelanggaran ringan,
yaitu 1) Ade Raharja selaku Mantan Deputi Penindakan dan 2) Bambang Sapto Pratomosunu selaku
Sekertaris Jenderal. Adapun Terhadap Penegakkan Kasus Etik Tersebut Dilakukan Berdasrkan Surat

6
Keputusan Pimpinan KPK No.KEP-06/P.KPK/02/2004 Tentang Kode Etik Pimpinan KPK; Dan
Peraturan KPK No.05/2006 Tentang Kode Etik Pegawai Dan Pimpinan KPK.
Perbedaan dari kedua kasus tersebut, terdapat pada jenis sanksi yang ditetapkan, dimana pada
kasus LPS ia dijatuhi hukuman sanksi berat yaitu pemotongan gaji pokok sebesar 40% yang ternyata
jauh dari ekspektasi publik. Adapun Pelanggaran yang disangkakan kepada LPS sejatinya juga
melanggar ketentuan Pasal 5 ayat (2) juncto Pasal 22 ayat (2) Peraturan KPK Nomor 5 tahun 2019
tentang Pengelolaan Benturan Kepentingan di Komisi Pemberantasan Korupsi. Ancaman sanksi dalam
ketentuan ini dapat digunakan untuk semakin memberatkan dakwaan bagi LPS, terlebih dalam benturan
kepentingan dalam kapasitasnya sebagai pimpinan KPK. Terulangnya kasus LPS yang pernah terjadi 9
Tahun yang lalu sejatinya perlu untuk dilakukan evaluasi terhadap internalisasi nilai-nilai dasar, kode
etik, dan pedoman perilaku terhadap pimpinan KPK. Sehingga tidak terulang kembali di masa yang
akan datang.

KESIMPULAN

Pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku merupakan pelanggaran terhadap nilai integritas dan
profesionalisme yang menimbulkan kerugian dan berdampak negatif bagi insitusi yang bersangkutan dan
Negara. Ketersediaan kode etik dan pedoman perilaku yang secara jelas mengatur mengenai larangan
mengadakan hubungan baik secara langsung atau tidak langsung dengan seseorang yang sedang diperika
perkaranya oleh KPK merupakan kunci utama dalam penegakan pelanggaran etika dalam setiap institusi,
terutama dalam penelitian ini yaitu pada penegakan pelanggaran nilai integritas dan profesionalisme di
lingkungan KPK pada Kasus Mantan Wakil Ketua KPK periode 2019-2022.
Akan tetapi, ketersediaan kode etik dan pedoman perilaku saja tidak cukup untuk mencegah
atau mengantisipasi terjadinya perilaku yang bertentangan dengan moral dan etika tersebut. Hal ini
diperkuat dengan fakta bahwa kasus LPS bukanlah kasus pertama, melainkan telah terjadi kasus serupa
sebelumnya yaitu Pada Tahun 2011 pada oleh Ade Raharja selaku Mantan Deputi Penindakan dan
Bambang Sapto Pratomosunu selaku Sekertaris Jenderal yang juga mengadakan hubungan langsung
dengan Nazaruddin pada pemeriksaan kasus Wisma Atlet. Internalisasi Kode Etik yankuat sangat perlu
untuk dilakukan agar tercapai peningkatan perfoma yang diinginkan yaitu pada area akuntabilitas,
profesionalisme, dan integritas agar kasus serupa yang sama tidak terjadi lagi di masa yang akan datang.

7
REFERENSI
Peraturan
Peraturan Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia Nomor 01
Tahun 2020. Kode Etik dan Pedoman Perilaku Komisi Pemberantasan Korupsi. 4 Mei
2020. Jakarta.
Peraturan Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia Nomor 02
Tahun 2020. Penegakan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Komisi Pemberantasan
Korupsi. 4 Mei 2020. Jakarta.
Peraturan KPK Nomor 5 tahun 2019 tentang Pengelolaan Benturan Kepentingan di Komisi
Pemberantasan Korupsi

Buku dan Jurnal


Gilman, S.C., & Governance, N.A. (2005). Ethics Codes And Codes Of Conduct As Tools For
Promoting An Ethical And Professional Public Service. Journal of Professional Issues in
Engineering Education and Practice, 138.
Komisi Aparatur Sipil Negara. 2019. Best Practices Internalisasi Kode Etik dan Kode Perilaku
Pegawai ASN. Bidang Pengkajian dan Pengembangan Sistem.
Maindoka, M. C., Kaunang, M., & Gosal, T. (2017). Etika Pemerintahan Dalam Mewujudkan Birokrasi
Yang Profesional Dan Bersih (Suatu Studi Di Kantor Kecamatan Maesaan Kabupaten
Minahasa Selatan). Jurnal Eksekutif, 1(1).
Sundary, R, Pelaksanaan Etika Birokrasi Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Di Indonesia. (2013).
Scientica, I(1).
Suryono, A. (2011). Manajemen sumber daya manusia: etika dan standar profesional sektor
publik. Indonesia: UB Press.
White Jr, R. D. (1999). Public ethics, moral development, and the enduring legacy of Lawrence
Kohlberg: Implications for public officials. Public Integrity, 1(2), 121-134

Lainnya
Buchan, R. (n.d.). To Stay In The Room Or Not: And other trends in ASL interpreting ethics [Slide
show].
https://www.massmedicalinterpreting.org/sites/default/files/To%20Stay%20In%20The%20Room%20
Or%20Not.pdf
https://www.setneg.go.id/baca/index/g20_dan_pemberantasan_korupsi
LaMarco, N. (2021, November 20). Definition of Code of Conduct. Bizfluent.
https://bizfluent.com/about-5044074-definition-code-conduct.html
Setumpuk Kasus Etik Lili Pintauli Siregar di KPK hingga Disentil AS
(https://www.cnnindonesia.com/nasional/20220418164828-12-786221/setumpuk-kasus-etik-lili-
pintauli-siregar-di-kpk-hingga-disentil-as) yang dikutip pada hari Rabu, 23 November 2022 pada
pukul 21.19 WIB.
Wedhaswary, I. D. (2018, October 17). Catatan ICW, Ada 19 Kasus di Internal KPK Selama 2010-
2018. KOMPAS.com. https://nasional.kompas.com/read/2018/10/17/17421151/catatan-icw-
ada-19-kasus-di-internal-kpk-selama-2010-2018

Anda mungkin juga menyukai