Anda di halaman 1dari 14

10

II

KAJIAN KEPUSTAKAAN

2.1 Ayam Sentul

Ilustrasi 1. Ayam Sentul Betina

Ayam sentul merupakan salah satu jenis ayam lokal yang berasal dari

wilayah Ciamis, Jawa Barat dan memiliki potensi yang tinggi sebagai penghasil

telur dan daging. Ayam sentul telah dibudidayakan secara turun temurun sejak abad

ke-8 dan memiliki wilayah sebaran di Provinsi Jawa Barat antara lain Kabupaten

Ciamis, Cirebon, Indramayu, Majalengka, Sumedang, Bandung, dan Bogor.

Suprijatna (2005) mengemukakan taksonomi ayam lokal sebagai berikut:

Kingdom : Animalia

Filum : Chordata

Subfilum : Vertebrata

Kelas : Aves

Subkelas : Neornithes

Ordo : Galliformes

Famili : Phasianidae

Genus : Gallus
11

Spesies : Gallus gallus

Subspesies : Gallus gallus domesticus

Salah satu keunggulan ayam sentul dibanding ayam lokal lainnya terletak

pada sifat fisik yang khas, terutama pada warna bulu yang bervariasi diantaranya

dominan abu-abu, variasi abu kehitaman, abu keemasan, abu putih, dan pada jantan

ujung helai bulu dihiasi warna merah, kuning, maupun hijau bergantung pada galur

ayam sentul tersebut (Kementan, 2013; Mariandayani, dkk., 2013). Sifat unggul

ayam sentul juga terlihat dari pertumbuhan yang lebih cepat, lebih tahan penyakit,

serta produksi telur yang relatif lebih tinggi dibandingkan ayam lokal lain.

Widjastuti (2009) menyatakan bahwa dalam satu periode peneluran ayam sentul

mampu menghasilkan telur sebanyak 10-18 butir dengan fertilitas di atas 80% dan

daya tetas 70-80%. Secara kuantitatif, bobot ayam sentul jantan dewasa berkisar

antara 2,0-2,6 kg sementara betina 1,3-1,6 kg, waktu dewasa kelamin dan bertelur

pertama dicapai kurang lebih pada umur 6 bulan dengan produksi telur tahunan

mencapai 118-140 butir/tahun, lebih tinggi dibandingkan ayam kampung yang

produksi telurnya hanya sekitar 70 butir/tahun (Kementan, 2013; Sudrajat dan

Isyanto, 2018).

Berdasarkan warna bulu, ayam sentul terbagi atas enam galur, dimana tiap

galur memiliki potensi genetik yang berbeda-beda. Purnama (2005) menyatakan

bahwa ayam sentul terdiri atas galur Sentul Abu (abu polos), Sentul Batu (abu

kehitaman), Sentul Debu (abu seperti debu), Sentul Geni (abu kemerahan), Sentul

Emas (abu kekuningan), dan Sentul Jambe (abu dengan merah jingga). Perbedaan

warna bulu yang terdapat antar galur memiliki keterkaitan dengan produktivitas

ayam sentul yang dipengaruhi kemampuan fisiologis dalam menyerap panas.

Ayam sentul dengan warna bulu lebih gelap cenderung menyerap panas lebih
12

banyak dibandingkan yang berbulu lebih terang (Meyliyana, dkk., 2013) Hal ini

berpengaruh dengan kemampuan ayam dalam melakukan mekanisme homeostasis

tubuh saat mengalami paparan panas yang jika berlebih berdampak pada heat

stress.

2.2 Buah Mengkudu sebagai Fitofarmaka

Ilustrasi 2. Buah Mengkudu

Mengkudu (Morinda citrifolia L.) telah dikenal sejak 1500 tahun lalu oleh

penduduk Hawaii sebagai tanaman yang mampu mengobati berbagai macam

penyakit. Seluruh bagian tanaman mengkudu mulai dari akar, kulit batang, daun,

dan buah dapat dimanfaatkan untuk mengobati berbagai jenis penyakit seperti

tetanus, disentri, demam, kejang-kejang, menormalkan tekanan darah, gangguan

pernapasan dan lain sebagainya (Bangun, dkk., 2002; Wang, dkk., 2002)

Taksonomi mengkudu menurut Nelson (2006) adalah sebagai berikut:

Kingdom : Plantae

Subkingdom : Tracheophyta

Superdivisi : Spermatophyta

Divisi : Magnoliophyta

Kelas : Magnoliopsida
13

Subkelas : Asteridae

Ordo : Rubiales

Famili : Rubiaceae

Subfamili : Rubioideae

Genus : Morinda

Spesies : Morinda citrifolia L.

Solomon (1999) mengemukakan bahwa mengkudu tergolong ke dalam

tanaman tropis yang hidup secara liar dan dapat tumbuh di tepi pantai hingga

ketinggian 1.500 m di atas permukaan laut, baik di lahan subur maupun marginal.

Pohon mengkudu memiliki ketinggian 4-6 m dengan batang berkelok-kelok

berwarna cokelat keabu-abuan dan tidak berbulu, sementara daunnya berwarna

hijau mengkilap dengan ukuran besar, tebal, dan berbentuk jorong lanset dengan

ukuran 15-50 × 5-17 cm. Perbungaan bertipe bonggol bulat dengan mahkota bunga

berwarna putih berbentuk corong yang panjangnya dapat mencapai 1,5 cm. Buah

mengkudu berbentuk bulat lonjong berdiameter 7,5-10 cm dengan permukaan buah

seperti terbagi dalam sel-sel bersegi banyak yang berbintik-bintik. Mengkudu

muda berwarna hijau kemudian berubah menjadi putih kekuningan menjelang

masak, dan setelah matang berwarna putih transparan bertekstur lunak. Buah

mengkudu lunak banyak mengandung air yang beraroma seperti keju busuk,

dimana bau tersebut timbul akibat bercampurnya asam kaprik, asam kaproat, dan

asam kaprilat yang menyumbangkan bau tengik dan rasa tidak enak (Bangun, dkk.,

2002).

Tanaman mengkudu baik akar, kulit, daun, bunga, dan buah mengandung

berbagai zat aktif diantaranya scopoletin, octoanoic acid, kalium, vitamin C,

vitamin A, alkaloid, antrakuinon, morindin, morindanigrin, b-sitosterol, karoten,


14

glikosida flavon, linoleat acid, alizarin, amino acid, acubin, L-asperuloside, kaproat

acid, kaprilat acid, ursolat acid, rutin, proxeronine, dan terpenoid yang memiliki

khasiat sebagai fitofarmaka. Dilaporkan dari penelitian Yang, dkk (2008) bahwa

daun mengkudu mengandung flavonoid total sebanyak 245 mg/100 g fw, dimana

angka ini terbilang tinggi dibandingkan 90 tanaman lain yang diteliti.

Buah mengkudu mengandung antrakuinon, skopoletin, acubin,

asperulosida, dan alizarin yang aktif berperan sebagai antimikroba terutama bakteri

dan jamur sehingga penting digunakan dalam mengatasi peradangan dan alergi.

Jenis bakteri yang dapat dihambat diantaranya Pseudomonas aeruginosa, Proteus

morganii, Staphylococcus aureus, Bacilus subtilis, Escherichia coli, Salmonella sp

dan Shigella sp. (Sari, 2015). Salah satu senyawa alkaloid utama yang terkandung

dalam buah mengkudu adalah xeronine dan prekusor pembentuknya proxeronine.

Solomon (1999) menyatakan bahwa buah mengkudu mengandung sedikit xeronine

namun cukup banyak proxeronine. Proxeronine merupakan sejenis asam kaloida

yang tidak mengandung gula, asam amino, dan asam nukleat. Xeronine berperan

dalam mengaktifkan enzim-enzim pembentuk protein, mengaktifkan protein

inaktif, dan mengatur fungsi protein sel. Bangun, dkk (2002) juga melaporkan

bahwa xeronine dapat mencegah kerusakan jantung akibat infeksi Staphylococcus

dan mampu membunuh bakteri Shigella penyebab penyakit disentri.

Sebagai fitofarmaka, buah mengkudu juga memiliki kandungan nutrien

yang lengkap diantaranya karbohidrat 52,42%, serat kasar 33,38%, air 7,12%, abu

4,82%, lemak 1,51%, dan protein 0,75%. Mineral yang terkandung diantaranya

kalium (30-150 ppm), kalsium, natrium, magnesium, dan selenium yang merupakan

salah satu antioksidan yang kuat. Sementara kandungan vitamin C berkisar antara

30-155 mg/kg (Solomon, 1999).


15

Buah mengkudu sebagai fitofarmaka memiliki aktivitas antioksidan yang

dapat mencegah dari kondisi stress oksidatif akibat radikal bebas dan peroksidasi

lipid. Berdasarkan penelitian Cohen dan Braun (2007) terhadap aktivitas radikal

anion superoksida, sari buah mengkudu memiliki aktivitas antioksidan yang lebih

besar dibanding senyawa antioksidan lain yaitu 2,8 kali vitamin C, 1,4 kali

piknogenol, dan 1,1 kali bubuk biji anggur. Sementara penelitian Su, dkk (2005)

pada ekstrak buah mengkudu terhadap radikal bebas tipe 2,2-diphenyl picryl

hydrazyl (DPPH) ditemukan adanya senyawa antioksidan berupa glikosida iridoid

6𝛼-hidroksiadoksosida dan 6𝛽, 7 𝛽-epoksi-8-epi-splendosida serta glikosida

iridoid lainnya yang memiliki aktivitas antioksidan yang signifikan terhadap radikal

bebas yang diujicobakan. Selain itu kandungan xeronine dan mineral selenium

dalam buah mengkudu juga berperan sebagai antioksidan yang baik pula.

2.3 Mineral Mikro

2.3.1 Tembaga (Cu)

Tembaga (Cu) merupakan salah satu mineral mikro yang sangat diperlukan

oleh mahluk hidup termasuk unggas. Mineral ini berperan dalam proses

metabolisme, pembentukan hemoglobin, dan fisiologis tubuh. Tembaga berkaitan

erat dengan sejumlah aktivitas enzim oksidasi dan reduksi intra maupun

ekstraseluler diantaranya sitokrom oksidase yang berperan sebagai rantai transpor

elektron dalam sel, tirosinase untuk produksi melanin kulit, superokside dismutase

dalam metabolisme Fe yang berkaitan dengan pembentukan tulang dan

pemeliharaan intergritas selaput myelin dari urat syaraf, dopamine beta

hidroksilase dalam produksi sitokolamin dalam otak dan kelenjar adrenal, lisil
16

oksidase dalam mendukung cross linking antara elastin dan kolagen, serta

triptophan oksidase (Muhammad, 2013; Burns, 1981).

Dalam tubuh, tembaga akan termetabolisme dengan jalur terserap di saluran

pencernaan dan dibawa oleh darah lalu berikatan dengan protein albumin.

Tembaga dilepas di jaringan hati dan ginjal lalu berikatan dengan protein

membentuk enzim-enzim, terutama seruloplasmin yang mengandung 90-94%

tembaga dari total kandungan tembaga dalam tubuh. Tembaga dieksresikan paling

banyak melalui empedu, sedikit dalam urin, dan relatif sedikit dalam keringat serta

air susu (Inoue, dkk., 2002).

Defisiensi mineral tembaga berdampak pada anemia dengan gejala ternak

terhuyung-huyung, mudah jatuh, dan jika dibiarkan dapat mati seketika. Gangguan

lain yang dapat muncul diantaranya gangguan pada tulang dan saluran pencernaan,

kemandulan, depigmentasi pada rambut, serta lesi pada saraf otak dan tulang

belakang. Sementara kelebihan tembaga dapat menyebabkan keracunan yang

berdampak pada tertimbunnya tembaga dalam hati hingga terjadi hemolisis sel

darah merah yang berujung pada pecahnya sel darah akibat lapisan sel mengalami

oksidasi (Arifin, 2007; Davis dan Mertz, 1987).

Terkait pemberiannya dalam pakan ternak, tembaga yang digunakan

umumnya berupa senyawa garam tembaga seperti tembaga sulfat, tembaga oksida,

tembaga karbonat, dan tembaga proteinat. Untuk unggas, tembaga biasa diberikan

dalam bentuk tembaga oksida (Baker, dkk., 1991). NRC (1980) menetapkan

batasan maksimal pemberian logam mineral dalam pakan yang aman untuk

dikonsumsi ternak ayam yaitu sebesar 300 mg/kg berat pakan.


17

2.3.2 Zn

Mineral Zn esensial bagi manusia maupun hewan ternak karena peranannya

dalam menjaga dan memelihara kesehatan tubuh melalui keterlibatan dalam proses

metabolisme dan fungsi berbagai enzim. Mineral ini dibutuhkan oleh organ tubuh

seperti kulit, mukosa saluran cerna, dan hampir seluruh sel. Zn banyak berperan

dalam berbagai aktivitas enzim, pertumbuhan dan diferensiasi sel, serta penting

dalam mengoptimalkan fungsi sistem tanggap kebal. Ketersediannya dalam pakan

ternak relatif sedikit, namun mutlak harus ada karena Zn tidak dapat dikonversi dari

zat nutrien lain (Widhyari, 2012).

Secara spesifik fungsi dan kegunaan mineral Zn antara lain sebagai

katalisator lebih dari 300 enzim contohnya enzim dehidrogenase, superoksida

dismutase, aminopeptidase, dan collagenase; penting dalam sintesis asam nukleat

polimerase (RNA, DNA) dan sintesis protein; berperan dalam pertumbuhan dan

pembelahan sel, perkembangan seksual, dan pembentukan embrio;

mempertahankan konsentrasi vitamin A dalam plasma dan mobilisasi vitamin

tersebut dari hati; membentuk kompleks insulin seng dalam sel R-beta pankreas dan

merilis insulin jika diperlukan; serta memegang peranan sebagai komponen penting

penyusun struktur dan fungsi membran sel (Underwood, 2001; Linder, 1985;

Lieberman dan Bruning, 1990; Harper dkk, 1979).

Di dalam tubuh mineral Zn terdistribusi secara merata dimana tidak ada

jaringan tertentu yang dominan menyimpan Zn. Namun, konsentrasi tertinggi dari

Zn terdapat pada jaringan tulang, liver, kulit, dan bulu. Konsentrasi mineral Zn

dalam organ tidak tetap dan bervariasi tergantung umur, jenis kelamin, dan jumlah

mineral yang terdapat dalam pakan. Tingkat absorbsi Zn pada ternak ayam berkisar

20-30% (Tarmidi, 2009; Abdel-Mageed dan Oehme, 1990). Menurut Piliang


18

(1997), ketersediaan mineral Zn untuk diabsorpsi dalam tubuh unggas berkaitan

dengan adanya asam fitat dalam ransum yang berasal dari biji-bijian, dimana

senyawa ini mampu mengikat Zn secara kuat di dalam saluran pencernaan. Prasad

(1991) juga mengemukakan bahwa asam amino yang dapat membantu

meningkatkan penyerapan Zn antara lain metionin, histidin, sistein, sitrat, dan

pikolinat, sedangkan mineral penghambat penyerapan Zn diantaranya kadmium

(Cd), tembaga (Cu), fosfor (P), dan besi (Fe).

Defisiensi Zn pada unggas umumnya terjadi pada anak ayam dengan gejala

terhambatnya pertumbuhan dan perkembangan seksual, pertumbuhan bulu yang

tidak alami, luka pada sayap dan kaki, serta parakeratosis pada kulit dan

oesophagus. Sementara kelebihan Zn jarang ditemukan karena mineral ini

tergolong ke dalam mineral yang paling kurang beracun dibanding mikromineral

lainnya, dimana ternak unggas memiliki toleransi 20-30 kali dosis optimum Zn

tanpa efek negatif (Tarmidi, 2009; Linder, 1985). Rekomendasi penggunaan

mineral Zn dalam ransum unggas menurut NRC (1994) sebesar 40-75 mg/kg

ransum.

2.4 Kreatinin

Kreatinin merupakan hasil akhir perombakan kreatin dari metabolisme

fosfokreatin yang terjadi di otot. Kreatin bukan merupakan derivat dari otot itu

sendiri, melainkan disintesis melalui dua tahap di ginjal dan hati. Sintesisnya

berawal dari perubahan gugus guadino dari arginin menjadi glisin di ginjal dan

menghasilkan guadinoasetat, kemudian di hati N-metilasi dari guadinoasetat

dibentuk dalam formasi kreatin dengan koenzim S-adenosylmethionin (Koolman

dan Roehm, 2005).


19

Ilustrasi 3. Mekanisme Metabolisme Kreatinin (Heymsfield, dkk., 1983 dalam


Patel, dkk., 2013)
Fosfokreatin bertindak sebagai cadangan gugus fosfat berenergi tinggi di

dalam otot dimana keberadaannya berkaitan dengan siklus ATP dan penyediaan

energi. Penggunaan ATP yang tinggi dalam otot menyebabkan terbentuknya

banyak ADP, sehingga konsentrasi ATP menurun. Oleh karenanya diperlukan

sintesis ATP dari ADP melalui perombakan fosfokreatin agar konsentrasi ATP

menjadi konstan. Fosfokreatin dengan bantuan enzim kreatin kinase akan

memberikan gugus fosfat berenergi tingginya kepada ADP sehingga terbentuklah

ATP dengan hasil samping berupa kreatin. Karena reaksi dengan kreatin kinase
20

bersifat ireversibel, kreatin yang dihasilkan akan difosforilasi oleh ATP sehingga

kembali menjadi fosfokreatinin. Namun, seiring dengan pemakaian ATP, sejumlah

kecil kreatin diubah menjadi kreatinin yang dilepas ke aliran darah melalui suatu

reaksi dehidratasi (Raphael, 1987; Lehninger, 1982).

Kreatinin yang dihasilkan akan dibawa oleh aliran darah menuju ginjal

untuk difiltrasi dan dieksresikan melalui urin. Kreatinin dengan bebas melintasi

membran glomerulus dan hanya sebagian kecil yang disekresikan ke dalam tubulus

nefron sehingga kreatinin tidak mengalami proses reabsorbsi, bahkan jika kadar

kreatinin dalam serum darah tinggi sejumlah kecil kreatinin akan disekresikan oleh

tubulus proksimal (Todd dan Sanford, 1974). Kramer, dkk (2004) menyatakan

bahwa peningkatan kadar kreatinin dalam darah dan jumlah kreatinin dalam urin

dapat digunakan untuk memperkirakan laju filtrasi glomerulus. Kreatinin

merupakan indeks laju filtrasi glomerulus (LFG) yang lebih teliti dibandingkan

nitrogen urea darah karena kecepatan produksinya terutama dipengaruhi massa otot

yang jarang sekali mengalami perubahan, selain itu kreatinin juga tidak mengalami

reabsorbsi.

Kadar kreatinin darah dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain:

(1) Perubahan massa otot, distrofi otot

(2) Aktivitas fisik yang tinggi dapat meningkatkan kadar kreatinin darah

(3) Gangguan fungsi filtrasi glomerulus, nefrosis tubulus akut, dan gagal ginjal

(4) Asupan makanan tinggi protein dapat meningkatkan kadar kreatinin darah

dalam beberapa waktu

(5) Konsumsi obat-obatan yang mampu mengganggu sekresi kreatinin seperti

aspirin dan sefalosporin sehingga kadar kreatinin darah meningkat

(6) Fungsi hati


21

(7) Jenis kelamin dan usia

(8) Kondisi kelaparan dan dehidrasi

(Kerr, 2002; Wientarsih, dkk 2012)

2.5 Nitrogen Urea Darah

Nitrogen urea darah merupakan konsentrasi urea dalam plasma atau serum

darah dan merupakan produk akhir dari katabolisme asam amino yang dibentuk di

hati kemudian didistribusikan menuju ginjal untuk dieksresikan melalui urin. Price

(2005) menyatakan bahwa urea merupakan produk utama dari metabolisme protein

dalam tubuh. Urea dalam konsentrasi yang tinggi bersifat toksik karena sifatnya

yang mampu mendenaturasi protein. Kadar urea dalam darah menunjukkan

keseimbangan antara produksi dan ekskresi dimana penetapannya dengan cara

mengukur jumlah nitrogen sehingga sering disebut sebagai urea nitrogen darah

(Blood Urea Nitrogen/ BUN). Urea dibentuk di hati melalui empat tahapan antara

lain transaminasi, deaminasi oksidatif glutamat, transpor amonia, dan reaksi siklus

urea (Marshall, 2012; Murray, dkk., 2009).

Siklus urea berlangsung di matriks mitokondria dan sitosol dari sel hati.

Dalam matriks mitokondria terjadi dua jenis reaksi, pertama adalah reaksi

pembentukan karbomil fosfat dari kondensasi karbondioksida, amonia, dan ATP

dengan katalisasi karbomil fosfat sintase I, kedua adalah reaksi pembentukan

sitrulin dari karbomil fosfat dan ornitin. Sementara reaksi yang terjadi dalam sitosol

adalah reaksi pembentukan argininosuksinat dari sitrulin dan aspartat, penguraian

argininosuksinat menjadi arginin dan fumarat, serta penguraian arginin hingga

membebaskan urea dan membentuk kembali ornitin. Ornitin, sitrulin, dan arginin

merupakan jenis asam amino. Siklus ini berlangsung secara kontinu untuk
22

memastikan terus berlangsungnya metabolisme protein dalam sel tubuh (Weiner,

dkk., 2014; Raphael, 1987).

Ilustrasi 4. Siklus Urea (David, 1981)


Kaneko (2008) menyatakan bahwa kadar urea darah juga dapat menjadi

indikator laju filtrasi ginjal (LFG) selain kreatinin karena pembuangannya diatur

oleh ginjal. Oleh karenanya, jika terjadi kerusakan sel glomerulus maka filtrasi urea

akan menurun dan menyebabkan urea yang beredar dalam aliran darah menjadi

tinggi. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kenaikan kadar nitrogen urea

darah antara lain:

(1) Kenaikan tingkat katabolisme protein

(2) Tingginya jumlah protein pakan


23

(3) Kondisi dehidrasi, shock, pendarahan saluran gastrointestinal, dan obstruksi

saluran kemih yang menyebabkan turunnya laju aliran darah di ginjal

(4) Konsumsi obat-obatan golongan diuretik, kortikosteroid, dan

aminoglikosida

(5) Kelainan fungsi ginjal seperti nephritis sekunder, nephritis akut, nephritis

kronik, ikterik, dan uremik.

(Widhyari, dkk., 2015; Gowda, dkk., 2010; Wallach, 2007)

Anda mungkin juga menyukai