Teori belajar Ausubel adalah teori belajar mengajar yang dapat mengakibatkan seseorang bisa
belajar bermakna. Sehingga dengan belajar bermakna informasi (pengetahuan) yang
diperoleh mempunyai daya tahan yang lebih lama. Pembelajaran disekolah menjadi efektif
dan efisien. Dan teori belajar Ausubel ini membimbing guru mengajarkan konsep-konsep
yang utama ke yang kurang utama. Teori ini dapat dipakai untuk mengajarkan berbagai ilmu
termasuk matematika.
1. Teori Belajar Ausubel a. Belajar Menurut Ausebel Ausubel mengklasifikasikan belajar
kedalam dua demensi sebagai berikut:
1) Demensi-1, tentang cara penyajian informasi atau materi kepada siswa. Demensi ini
meliputi belajar penerimaan yang menyajikan informasi itu dalam bentuk final dan belajar
penemuan yang mengharuskan siswa untuk menemukan sendiri sebagian atau seluruh materi
yang diajarkan
2) Demensi-2, tentang cara siswa mengkaitkan materi yang diberikan dengan struktur
kognitif yang telah dimilikinya. Jika siswa dapat menghubungkan atau mengkaitkan
informasi itu pada pengetahuan yang telah dimilikinya maka dikatakan terjadi belajar
bermakna. Tetapi jika siswa menghafalkan informasi baru tanpa menghubungkan pada
konsep yang telah ada dalam struktur kognitifnya maka dikatakan terjadi belajar hafalan
Dari
gambar diatas dapat dikatakan bahwa belajar penerimaan yang bermakna dapat dilakukan
dengan cara menjelaskan hubungan antara konsep-konsep, sedangkan belajar penemuan yang
masih berupa hafalan apabila belajar dilakukan dengan pemecahan masalah secara coba-
coba. Belajar penemuan yang bermakna hanyalah terjadi pada penelitian ilmiah
Teori belajar gagne
Belajar adalah perubahan yang terjadi dalam kemampuan manusia setelah belajar secara terus
menerus, bukan hanya disebabkan oleh proses pertumbuhan saja. Gagne berkeyakinan bahwa
belajar dipengaruhi oleh faktor dari luar diri dan faktor dalam diri dan keduanya saling
berinteraksi. Gagne (1972) mendefinisikan belajar adalah mekanisme di mana seseorang
menjadi anggota masyarakat yang berfungsi secara kompleks. Kompetensi itu meliputi, skill,
pengetahuan, attitude (perilaku), dan nilainilai yang diperlukan oleh manusia, sehingga
belajar adalah hasil dalam berbagai macam tingkah laku yang selanjutnya disebut kapasitas.
Kemampuan-kemampuan tersebut diperoleh peserta didik dari: (1) stimulus dan lingkungan,
dan (2) proses kognitif. Menurut Gagne (1977), belajar merupakan seperangkat proses yang
bersifat internal bagi setiap individu sebagai hasil transformasi rangsangan yang berasal dari
peristiwa eksternal di lingkungan individu yang bersangkutan (kondisi). Agar kondisi
eksternal itu lebih bermakna sebaiknya diorganisasikan dalam urutan peristiwa pembelajaran
(metode atau perlakuan). Selain itu, dalam usaha mengatur kondisi eksternal diperlukan
berbagai rangsangan yang dapat diterima oleh panca indera, yang dikenal dengan nama
media dan sumber belajar (Miarso, 2004:245).
menyampaikan tujuan pembelajaran agar peserta didik tahu apa yang diharapkan dalam
belajar itu, (3) mengingat kembali konsep/ prinsip yang telah dipelajari sebelumnya yang
merupakan prasyarat, (4) menyampaikan materi pembelajaran, (5) memberikan bimbingan
atau pedoman untuk belajar, (6) membangkitkan timbulnya unjuk kerja (merespon) peserta
didik, (7) memberikan umpan balik tentang kebenaran pelaksanaan tugas (penguatan), (8)
mengukur/ mengevaluasi hasil belajar, dan (9) memperkuat retensi dan transfer belajar
(Miarso, 2004:245-246). Teori Robert M. Gagne, yang disebut dengan sembilan peristiwa
pembelajaran (model nine instructional events Gagne) adalah peristiwa yang dirancang oleh
pendidik (eksternal) untuk membantu proses belajar dalam diri peserta didik (internal).
Bentuk seutuhnya dari setiap peristiwa tidak harus ditetapkan untuk semua mata pelajaran.
Pengertian Kognitif dari Para Ahli
Sementara itu, para ahli juga memiliki pendapat masing-masing terkait definisi kognitif.
Berikut beberapa di antaranya:
Williams dan Susanto menyebutkan bahwa kognitif adalah suatu cara seseorang
bersikap, mengambil tindakan, dan cepat atau lambatnya respons saat menghadapi
masalah.
Neisser mengatakan bahwa kognitif merupakan proses memperoleh, mengatur, dan
memakai ilmu pengetahuan yang ada.
Gagne yang berpendapat bahwa kognitif berarti proses internal yang terjadi pada pusat
saraf manusia saat berpikir.
Drever menyebut kalau kognitif merupakan suatu istilah yang mencakup proses
pemahaman, yaitu sudut pandang, penilaian, logika atau penalaran, imajinasi, dan
bagaimana mengartikan makna.
Piaget yang mengartikan kognitif sebagai proses adaptasi pada seorang anak dan
mengartikan objek maupun semua peristiwa pada kondisi sekitarnya.
1.Perhatian
Perhatian berperan sebagai penyeleksi datangnya rangsangan yang selanjutnya dapat menjadi
perhatian utama dan secara bersama bisa diabaikan. Rangsangan bisa berupa suara, bau, atau
gambar.
3.Peran eksekutif
Selanjutnya, fungsi eksekutif yang mengarahkan seseorang untuk bisa menjadi seorang
perencana yang baik dan merealisasikannya. Mudahnya, melalui fungsi ini orang tua bisa
melihat bagaimana cara sang buah hati menyelesaikan masalah.
Teori ini menyebutkan, seseorang tidak hanya menunjukkan kaitan antara rangsangan dan
respons saat belajar, tetapi juga sikap untuk mencapai apa yang menjadi tujuan belajarnya.
Ada 5 prinsip dalam dasar teori belajar kognitif dalam proses belajar, yaitu:
Pendekatan Kognitif
Pendekatan kognitif adalah istilah yang menyebutkan kalau tingkah laku menjadi aspek
penting yang membuat seseorang melalui proses mental. Hal ini selanjutnya dapat membantu
meningkatkan kapabilitas dalam memberi nilai, membandingkan, maupun merespons
rangsangan sebelum muncul reaksi
Secara sederhana, pendekatan ini berfokus pada isi pikiran manusia sehingga bisa
memperoleh pengalaman, lebih mudah memahami, dan lainnya.
Remaja mulai menunjukkan minat dan kemampuan di bidang tulisan, seni, musik, olahraga,
dan keagamaan.
Teori perkembangan kognitif Jean Piaget atau teori Piaget menunjukkan bahwa kecerdasan
berubah seiring dengan pertumbuhan anak. Perkembangan kognitif seorang anak bukan
hanya tentang memperoleh pengetahuan, anak juga harus mengembangkan atau membangun
mental.
Lantas, seperti apa sih tahapan teori Piaget dalam perkembangan kognitif anak?
Perkembangan utama selama tahap sensorimotor adalah pemahaman bahwa ada objek dan
peristiwa terjadi di dunia secara alami dari tindakannya sendiri.
Misalnya, jika ibu meletakkan mainan di bawah selimut, anak tahu bahwa main yang
biasanya ada (dia lihat) kini tidak terlihat (hilang), dan anak secara aktif mencarinya. Pada
awal tahapan ini, anak berperilaku seolah mainan itu hilang begitu saja.
Perkembangan anak terdiri dari membangun pengalaman tentang dunia melalui adaptasi dan
bekerja menuju tahap (konkret) ketika ia bisa menggunakan pemikiran logis.
Selama akhir tahap ini, anak secara mental bisa merepresentasikan peristiwa dan objek
(fungsi semiotik atau tanda), dan terlibat dalam permainan simbolik.
Pada tahapan ini, Si Kecil cukup dewasa untuk menggunakan pemikiran atau pemikiran logis,
tapi hanya bisa menerapkan logika pada objek fisik.
Saat remaja memasuki tahap ini, mereka memperoleh kemampuan untuk berpikir secara
abstrak dengan memanipulasi ide di kepalanya, tanpa ketergantungan pada manipulasi
konkret.
Level Kognitif
Membicarakan kognitif sebenarnya tidak lepas dari bagaimana siswa mengerjakan soal ketika
ujian. Inilah sebabnya, penting bagi para guru untuk mempertimbangkan level kognitif
sebelum membuat soal. Adapun tingkatan dalam level kognitif yaitu:
Level 1
Level ini berarti tingkat kapabilitas yang paling rendah, sebab tingkatan ini hanya menuntut
daya pemahaman dan pengetahuan dari siswa. Apabila mengarah pada taksonomi Bloom,
soal untuk tingkat ini hanya berupa mengingat atau C1 dan memahami dan C2.
Level 2
Kemudian, tingkat 2 yang tentunya lebih tinggi daripada tingkat 1. Sebab, level ini menuntut
siswa untuk dapat menerapkan. Jika berfokus pada taksonomi Bloom, soal untuk level ini
juga termasuk aplikasi atau C3.
Level 3
Terakhir, level 3 yang merupakan tingkatan paling tinggi dari dua tingkat sebelumnya. Sebab,
tingkatan ini menuntut siswa untuk dapat melakukan analisis, sintesis, dan evaluasi. Pada
taksonomi Bloom, soal untuk tingkatan ini termasuk analisis atau C4, evaluasi atau C5, dan
menciptakan atau C6.
Taksonomi Bloom sendiri adalah mengelompokkan soal sesuai dengan aspek kognitif. Sang
pencetus menyebutkan, soal pada ranah kognitif harusnya mencakup enam aspek, antara lain:
Pengetahuan (C1)
Pemahaman (C2)
Aplikasi (C3)
Analisis (C4)
Evaluasi (C5)
Mencipta (C6)
Learning objective adalah sebuah pernyataan yang jelas mengenai apa yang akan bisa
dilakukan oleh pembelajar ketika menyelesaikan pembelajaran. Sebuah learning objective
juga dapat mengidentifikasi perilaku akhir atau hasil yang diinginkan dalam sebuah proses
pembelajaran.
Learning objective menyatakan apa saja yang akan dipelajari oleh pembelajar dan apa yang
akan dicapai pada akhir pembelajaran. Learning objective juga menggambarkan perilaku
khusus yang akan mengarah pada tujuan, bersifat spesifik dan terukur. Learning Objectives
(tujuan pembelajaran) adalah pernyataan yang jelas dan spesifik tentang apa yang diharapkan
peserta pelatihan atau pembelajaran akan pelajari atau capai setelah mengikuti suatu program
pelatihan atau proses pembelajaran tertentu. Tujuan pembelajaran menyediakan pedoman bagi
desain dan pelaksanaan program pembelajaran, membantu mengarahkan fokus pembelajaran,
serta memungkinkan untuk mengukur keberhasilan mencapai tujuan tersebut.
1. Verba aksi: Learning objectives biasanya dimulai dengan kata kerja yang
menggambarkan perilaku yang dapat diamati dan diukur. Contoh kata kerja yang umum
digunakan adalah “memahami”, “menerapkan”, “menjelaskan”, “menilai”,
“mengidentifikasi”, “mengembangkan”, dan lain-lain.
2. Perilaku yang diinginkan: Setelah kata kerja, tujuan pembelajaran harus menjelaskan
perilaku atau tindakan konkret yang diharapkan dari peserta pelatihan setelah
menyelesaikan pembelajaran.
3. Kondisi: Beberapa tujuan pembelajaran mungkin memerlukan spesifikasi tentang kondisi
di mana perilaku tersebut akan terjadi. Misalnya, “setelah diberikan studi kasus X”, atau
“dalam situasi proyek nyata”.
4. Kriteria keberhasilan: Tujuan pembelajaran harus memiliki kriteria yang jelas untuk
menentukan apakah tujuan tersebut telah tercapai. Kriteria ini harus dapat diukur secara
objektif dan dapat diverifikasi.
Contoh Learning Objectives:
1. Setelah mengikuti pelatihan, peserta dapat memahami konsep dasar analisis data.
2. Setelah menyelesaikan kursus ini, peserta dapat mengidentifikasi dan menjelaskan tiga
prinsip etika bisnis.
3. Setelah berlatih selama satu bulan, peserta dapat menerapkan teknik presentasi yang
efektif dengan menggunakan alat bantu visual.
Learning objectives membantu membimbing proses pembelajaran dengan jelas, memastikan
bahwa peserta pelatihan memiliki pemahaman dan keterampilan yang diharapkan, serta
memberikan acuan untuk menilai keberhasilan dari program pembelajaran tersebut.
IEP (ndividualized education program) adalah pondasi dari pendidikan untuk anak
berkebutuhan khusus. IEP memberikan gambaran tentang pelayanan dan program yang akan
diterima anak serta tujuan pembelajaran yang akan dicapai. IEP merupakan bentuk kerjasama
tim. Tim dapat terdiri dari orangtua, guru, guru pendamping, terapis, dokter, dan psikolog.
Banyak orangtua dan pendidik merasa menggunakan IEP untuk anak / anak didiknya namun
apa itu IEP sebenarnya? Mari kita simak bahasan berikut.
Kapan anak disarankan memiliki IEP?
IEP digunakan saat anak memiliki atau mengalami kondisi tertentu. Kondisi tersebut
mencakup: miliki kecerdasan yang sangat superior, memiliki bakat tertentu, tinggal
berpindah-pindah kota, memiliki hendaya fisik (tuna netra, tuna wicara, tuna grahita, tuna
daksa, dll), memiliki hendaya inteligensi (borderline intellectual atau intellectual deficiency),
memiliki hendaya konsentrasi,memiliki hendaya sensori, dll
Siapa yang sebaiknya menyusun IEP?
IEP sebaiknya disusun oleh beberapa orang. Hal itu ditujukan agar penyusunan IEP objektif
dan memiliki criteria evaluasi yang jelas. Dalam team IEP sebaiknya minimal terdiri dari
orangtua, guru, dan psikolog perkembangan.
Bagaimana proses penyusunan IEP?
Proses penyusunan IEP dimulai dengan proses observasi. Tim yang akan menyusun IEP perlu
mengenali siswa dengan baik dan cermat diseluruh aspek kehidupannya. Cara pengenalan
dapat dilakukan dengan cara observasi langsung, wawancara pengasuh yang signifikan,
penggunaan test formal, penggunaan test informal, atau menggunakan sistem rekaman video
kegiatan sehari-hari anak
Setelah proses observasi dan pengumpulan data melalui wawancara, test, dan rekaman video,
tim IEP menyusun lebih dulu IEP yang hendak dijalankan. Setelah IEP rancangan pertama
selesai, maka tim IEP berdiskusi dengan orangtua terkait hal-hal yang hendak dicapai dan
cara pencapaiannya. Jika poin-poin yang ada sudah disepakati bersama, baru IEP disahkan
dan dilaksanakan.
Berapa lama durasi IEP?
IEP biasanya disusun untuk waktu 12 bulan belajar. Dalam IEP ada keterangan yang detail
terkait dengan kemampuan anak pada saat itu dan kemampuan yang akan dituju. Durasi 12
bulan adalah durasi yang lama. Banyak hal yang dapat berubah dalam rentang waktu
demikian lama. Oleh karena itu, walaupun IEP disusun untuk durasi 12 bulan, IEP meeting
untuk melihat progress belajar anak dilakukan tiap 3 atau 4 bulan sesuai dengan kondisi
masing-masing anak.
Aspek apa saja yang sebaiknya disertakan dalam IEP?
Setiap aspek kehidupan anak sebaiknya ada didalam IEP.
IEP mencakup aspek kognisi atau pembelajaran yang sifatnya akademis dengan level yang
disesuaikan terkait kemampuan dan kebutuhan anak. IEP mencakup aspek social terutama
yang berkaitan dengan ketrampilan membina relasi dan mengikuti aturan di lingkungan
sehari-hari. IEP juga mencakup aspek emosi dan rohani seperti kebiasaan beribadah dan
kemampuan untuk mengenali dan mengekspresikan emosi secara adaptif.
Siapa yang sebaiknya mengevaluasi IEP?
Evaluator IEP sebaiknya terdiri dari tim yang awalnya menyusun IEP.
Apa Itu Pembelajaran Berdiferensiasi?
Salah satu cara untuk menemukan solusi masalah pembelajaran adalah dengan melakukan
pemetaan kebutuhan siswa yang bisa dilakukan dengan pembelajaran berdiferensiasi.
Dalam buku Road to Guru Penggerak (2021) dijelaskan kalau pembelajaran berdiferensiasi
adalah serangkaian kegiatan pembelajaran yang dibuat berdasarkan kebutuhan siswa dan
bertujuan untuk membantu siswa sukses dalam belajar.
Pembelajaran berdiferensiasi memungkinkan siswa untuk memilih apa yang mereka ingin
pelajari, bagaimana cara belajar, dan produk belajar apa yang ingin dihasilkan. Tapi, tentu
saja ada batasan-batasan yang harus diperhatikan. Ditugaskan tugas guru untuk memberi
arahan berdasarkan kurikulum yang berlaku.
4 Prinsip Pembelajaran Berdiferensiasi
Keputusan yang diambil dalam pembelajaran berdiferensiasi didasarkan pada kelima
prinsipnya yang bertujuan untuk menjawab kebutuhan belajar siswa yang beragam.
Lingkungan Belajar
Tidak hanya keadaan fisik seperti keadaan cuaca atau susunan meja di kelas, kondisi
emosional juga mempengaruhi proses pembelajaran.
Menurut penelitian yang dilakukan beberapa ahli dalam buku Assessment and Student
Success in a Differentiated Classroom (2013), hubungan emosional antara guru dan siswa
dapat memperkuat pertumbuhan akademik siswa. Hubungan ini membuat siswa percaya
bahwa kita adalah seseorang yang dapat diandalkan untuk mencapai kesuksesan.
Pembelajaran berdiferensiasi terjadi ketika kita sebagai guru merencanakan pelajaran yang
sesuai dengan konten yang akan dibahas, proses atau produk yang digunakan sesuai dengan
keinginan siswa, serta mereka dapat menerima pembelajaran yang dibutuhkan untuk
berkembang dan berhasil.
Desain pembelajaran
1. Pengertian Desain Pembelajaran
Desain pembelajaran dapat dimaknai dari berbagai sudut pandang, misalnya sebagai disiplin,
disiplin ilmu, sebagai sistem dan sebagai proses. Sebagai disiplin, desain pembelajaran
membahas berbagai penelitian dan teori tentang strategi serta proses pengembangan
pembelajaran pelaksanaannya. Sebagai ilmu, desain pembelajaran merupakan ilmu untuk
menciptakan spesifikasi pengembangan, pelaksanaan, penilaian, serta pengelolaan situasi
yang memberikan fasilitas layanan pembelajaran dalam skala makro dan mikro untuk
berbagai mahasiswa pada berbagai tingkatan kompleksitas. Sebagai sistem, desain
pembelajaran merupakan pengembangan sistem pembelajaran dan sistem pelaksanaannya
termasuk sarana serta prosedur untuk meningkatkan mutu belajar.
Sementara itu desain pembelajaran sebagai proses menurut Syaiful Sagala (2005:136) adalah
pengembangan pengajaran secara sistematik yang digunakan secara khusus teori-teori
pembelajaran untuk menjamin kualitas pembelajaran. Pernyataan tersebut mengandung arti
bahwa penyusunan perencanaan pembelajaran harus sesuai dengan konsep pendidikan dan
pembelajaran yang dianut dalam kurikulum yang digunakan.
Dengan demikian dapat disimpulkan desain pembelajaran adalah praktek penyusunan media
teknologi komunikasi dan isi untuk membantu agar dapat terjadi transfer pengetahuan secara
efektif antara dosen dan mahasiswa. Proses ini berisi penentuan status awal dari pemahaman
mahasiswa, perumusan tujuan pembelajaran, dan merancang “perlakuan” berbasis-media
untuk membantu terjadinya transisi.
Kode etik guru adalah norma atau asas yang harus dijalankan oleh guru di Indonesia sebagai
pedoman untuk makna dan berperilaku dalam menjalankan tugas profesinya sebagai
pendidik, anggota masyarakat, dan warga negara.
Pedoman tersebut diharapkan nantinya dapat membedakan perilaku baik atau buruk seorang
guru, memilah-milah mana saja hal yang boleh dan tidak boleh dilakukan selama
menjalankan tugas sebagai seorang pendidik. Keberadaan kode etik ini bertujuan untuk
menempatkan sosok guru sebagai pribadi yang terhormat, mulia, dan meyakinkan.
Dikutip dari buku Etika Profesi Guru oleh Shilphy A. Octavia, adapun fungsi dan tujuan
penetapan kode etik guru adalah sebagai berikut:
2. Sebagai sarana kontrol sosial bagi masyarakat atas profesi yang bersangkutan.
3. Menghadirkan campur tangan pihak luar organisasi profesi tentang hubungan etika dalam
keanggotaan profesi.
Pada dasarnya tujuan penyusunan kode etik dalam suatu profesi adalah untuk kepentingan
anggota dan kepentingan organisasi profesi itu sendiri.
Fungsi kode etik seperti itu sesuai dengan apa yang dikemukakan Gibson dan Mitchel (1995),
yang lebih menekankan pada pentingnya kode etik tersebut sebagai pedoman pelaksanaan
tugas profesional anggota suatu profesi dan pedoman bagi pengguna masyarakat suatu profesi
dalam meminta pertanggung jawaban jika ada anggota profesi yang bertindak di luar
kewajaran sebagai seorang profesional.
Kode etik guru sesungguhnya merupakan pedoman yang mengatur hubungan guru dengan
teman sejawat, peserta didik, pemimpin, masyarakat, dan dengan misi yang
ditugaskan. Jalinan hubungan tersebut dilakukan untuk kepentingan perkembangan siswa
secara optimal, jelas hubungan itu diatur oleh kode etik.
Dalam hubungan etika guru dengan teman sejawat menuntut perilaku yang kooperatif,
mempersamakan, dan saling mendukung. Hubungan antar teman sejawat terutama terjadi
dalam bentuk konsultasi dan raferal (Onteng Sutisna, 1986:364).
Konsultasi merupakan kebiasaan untuk mengundang teman sejawat agar serta ikut
menganalisis kebutuhan peserta didik dan kemungkinan merencanakan bantuannya. Raferal
adalah proses penerusan bantuan seorang peserta didik kepada teman sejawat yang
profesional atau penyandang profesi lain yang relavan untuk membantu pemecahan masalah
dan mengembangkan diri peserta didik sesuai dengan karakteristik permaslahan yang
dihadapi.
Dalam hubungan etika guru dan peserta didik menuntut terciptanya hubungan berupa
hubungan membantu (Brammer, 1979), yaitu hubungan yang bersifat membantu dengan
mengupayakan terjadinya iklim belajara yang menguntungkan bagi perkembangan peserta
didik. Hubungan ditandai dengan adanya perilaku empati, penerimaan dan penghargaan,
kehangatan dan perhatian, keterbukaan dan ketulusan, serta kejelasan ekspresi seorang guru.
Dalam etika hubungan guru dengan masyarakat, guru sangat perlu memelihara hubungan
baik dengan masyarakat yang lebih luas untuk kepentingan pendidikan, misalnya
mengadakan kerja sama dengan kalangan industri terdekat dan berfokus pada peningkatan
mutu pendidikan.
Guru menghayati apa saja yang menjadi berlayar. Guru selalu berupaya meningkatkan
profesionalisme dan kinerjanya. Peningkatan profesionalisme dapat dilakukan melalui
pendalaman dan mengikuti perkembangan terkini ilmu keguruan atau kependidikan, atau
dengan cara melanjutkan studi ke jenjang yang lebih tinggi, serta berpartisipasi dalam
kegiatan keprofesian yang relavan. Peningkatan kinerja dapat diawali dari mencintai profesi
pendidikan, sehingga profesi ini menjadi bagian dari hidupnya.