Anda di halaman 1dari 24

Teori Belajar

Tujuan:
1. Menjelaskan teori belajar behavioristik;
2. Menerapkan implikasi teori belajar behavioristik dalam pembelajaran;
3. Menjelaskan teori belajar kognitif;
4. Menerapkan implikasi teori belajar kognitif dalam pembelajaran;
5. Menjelaskan teori belajar konstruktivistik;
6. Menerapkan implikasi teori belajar konstruktivistik dalam pembelajaran;
7. Menjelaskan teori belajar humanistic; dan
8. Menerapkan implikasi teori belajar humanistik dalam pembelajaran.

A. Teori Behavioristik
1. Pengertian
Teori ini dikenal dengan teori belajar perilaku karena lebih mengutamakan
perubahan tingkah laku siswa sebagai akibat adanya stimulus dan respon.
Berikut adalah beberapa pendapat Ahli mengenai teori ini:
Robert
Behavioristik memandang bahwa belajar merupakan perubahan tingkah laku
sebagai akibat dari adanya interaksi antar stimulus dan respon.
Pavlov
Teori ini merujuk pada sejumlah prosedur pelatihan antara satu stimulus dan
rangsangan muncul untuk menggantikan stimulus lain dalam mengembangkan
respon.
Skinner
Hubungan antara stimulus dan respons terjadi karena melalui interaksi dengan
lingkungan yang kemudian menimbulkan perubahan tingkah laku.

Dengan demikian, teori belajar behavioristik lebih memfokuskan pada stimulus dan
respon. Stimulus adalah apa saja yang diberikan oleh guru kepada siswa yang dapat
membantu belajar siswa misalnya ceramah, alat peraga, maupun buku ajar,
sedangkan respons adalah reaksi atau tanggapan siswa terhadap stimulus yang
diberikan oleh guru tersebut. Faktor lain yang juga dianggap penting dalam teori
belajar behavioristik adalah faktor penguatan (reinforcement). Penguatan adalah
apa saja yang dapat memperkuat timbulnya respons. Contohnya:
“Ketika seseorang melihat setangkai bunga melati yang indah dan harum di taman,
dapat menjadi sebuah stimulus yang dapat mengakibatkan munculnya respons
untuk memetiknya.”
“Saat lampu merah menyala, ada beberapa pengendara motor yang masih bandel
menerobos namun ketika ada patroli polisi semua pengendara berhenti dan tidak
berani menerobos.”

Dari uraian tersebut, maka dapat dikatakan bahwa dalam hal ini bunga melati
merupakan stimulus, kemudian keinginan untuk memetik bunga tersebut adalah
respons. Begitu pula dengan orang yang mengendarai sepeda motor, lampu merah
merupakan stimulusnya, kemudian mengerem motor dan berhenti merupakan
respons yang diakibatkan ketika lampu merah menyala. Namun, dalam kasus yang
kedua terdapat reinforcement yaitu patroli polisi.
Apa yang terjadi di antara stimulus dan respons dianggap tidak penting diperhatikan
karena tidak dapat diamati dan diukur. Oleh sebab itu, seseorang telah dianggap
belajar sesuatu jika ia dapat menunjukkan perubahan tingkah laku. Sebagai contoh,
anak belum dapat berhitung perkalian. Walaupun sudah giat berusaha, dan gurunya
pun sudah mengajarkannya dengan tekun, namun jika anak tersebut belum dapat
mempraktekkan perhitungan perkalian, maka ia belum dianggap belajar karena ia
belum menunjukkan perubahan perilaku sebagai hasil belajar.

2. Implikasi terhadap Pembelajaran


● Pembelajaran yang dirancang dan dilaksanakan berpijak pada teori
behavioristik memandang bahwa pengetahuan adalah objektif, pasti, tetap,
tidak berubah.
● Belajar adalah perolehan pengetahuan → peserta didik mengungkapkan
kembali pengetahuan yang sudah dipelajari dalam bentuk laporan, kuis, atau
tes.
● Mengajar adalah memindahkan pengetahuan ke orang yang belajar atau
peserta didik
● Kegagalan atau ketidakmampuan dalam penambahan pengetahuan
dikategorikan sebagai kesalahan yang perlu dihukum (punishment) dan
keberhasilan belajar atau kemampuan dikategorikan sebagai bentuk perilaku
yang pantas diberi hadiah (reward).
● Evaluasi menekankan pada respon pasif, keterampilan secara terpisah, dan
biasanya menggunakan paper and pencil test.
● Evaluasi hasil belajar menuntut satu jawaban benar.
● Evaluasi belajar dipandang sebagai bagian yang terpisah dari kegiatan
pembelajaran, dan biasanya dilakukan setelah selesai kegiatan pembelajaran
● Metode pembelajaran behavioristik contohnya adalah menggunakan
powerpoint dan multimedia yang cenderung satu arah.
B. Teori Kognitif
Teori belajar kognitif lebih mementingkan proses belajar dari pada hasil belajarnya,
berbeda dengan teori behavioristik sebelumnya. Ada beberapa teori kognitif
berdasarkan pendapat para ahli, diantaranya yaitu “Tahap-Tahap Perkembangan” yang
dikemukakan oleh J. Piaget, Advance Organizer oleh Ausubel, Pemahaman Konsep oleh
Bruner, Hierarki Belajar oleh Gagne, dan Webteaching oleh Norman. Berikut adalah
penjelasan beserta implikasinya:

1. Teori Perkembangan oleh J.Piaget


a. Tahapan Perkembangan
Ada empat tahapan perkembangan berdasarkan teori J.Piaget, meliputi:

Tahap Sensorimotor (Usia 18 - 24 bulan)


Tahap sensorimotor dimulai sejak lahir hingga sekitar 2 tahun dan merupakan
periode pertumbuhan kognitif yang cepat. Selama periode ini, bayi
mengembangkan pemahaman tentang dunia melalui koordinasi pengalaman
sensorik (melihat, mendengar) dengan tindakan motorik (menggapai,
menyentuh).
Perkembangan utama selama tahap sensorimotor adalah pemahaman bahwa
ada objek dan peristiwa terjadi di dunia secara alami dari tindakannya sendiri.
Misalnya, setiap hari seorang bayi diberikan dot oleh ibunya. Karena sudah
terbiasa melihat dan menyentuh dot tersebut, apabila dotnya diambil secara
paksa, maka ia bisa saja menangis dan mencarinya.

Tahap Praoperasional (Usia 2 - 7 Tahun)


Tahap ini dimulai sekitar 2 tahun dan berlangsung hingga kira-kira 7 tahun.
Selama periode ini, anak berpikir pada tingkat simbolik tapi belum
menggunakan operasi kognitif. Artinya, anak tidak bisa menggunakan logika
atau mengubah, menggabungkan, atau memisahkan ide atau pikiran.
Pada akhir tahap ini, anak secara mental bisa merepresentasikan peristiwa dan
objek (fungsi semiotik atau tanda), dan terlibat dalam permainan simbolik.
Contohnya, anak sudah bisa menggambar apel yang ada di depannya atau
menceritakan kejadian yang barusan ia alami.

Tahap Operasional Konkret (Usia 7 - 11 Tahun)


Tahap operasional konkret merupakan tahap ketiga dalam teori Piaget. Periode
berlangsung sekitar usia 7 hingga 11 tahun, dan ditandai dengan
perkembangan pemikiran yang terorganisir dan rasional. Piaget menganggap
tahap konkret sebagai titik balik utama dalam perkembangan kognitif anak,
karena menandai awal pemikiran logis.
Pada tahapan ini, anak-anak cukup dewasa untuk menggunakan pemikiran atau
pemikiran logis, tapi hanya bisa menerapkan logika pada objek fisik. Anak mulai
menunjukkan kemampuan konservasi (jumlah, luas, volume, orientasi).
Meskipun anak bisa memecahkan masalah dengan cara logis, mereka belum
bisa berpikir secara abstrak atau hipotesis. Misalnya, anak sudah mampu
memilih mana diantara ketiga bola mainan yang paling besar bentuknya atau
menjumlah perkalian matematika.

Tahap Operasional Formal (Usia 12 tahun ke atas)


Tahap operasional formal dimulai sekitar usia 12 tahun dan berlangsung hingga
dewasa. Saat remaja memasuki tahap ini, mereka memperoleh kemampuan
untuk berpikir secara abstrak dengan memanipulasi ide di kepalanya, tanpa
ketergantungan pada manipulasi konkret.
Misalnya, seorang remaja mampu membuat karangan cerita fiktif maupun
pertunjukan seni teater.

b. Implikasi pada pembelajaran


1) Peserta didik bukan sebagai orang dewasa yang mudah dalam proses
berpikirnya.
2) Anak usia pra sekolah dan awal sekolah dasar akan dapat belajar dengan
baik, terutama jika menggunakan benda-benda konkret.
3) Keterlibatan peserta didik secara aktif dalam belajar amat penting karena
hanya dengan mengaktifkan peserta didik maka proses asimilasi dan
akomodasi pengetahuan dan pengalaman dapat terjadi dengan baik.
4) Untuk menarik minat dan meningkatkan retensi belajar perlu mengaitkan
pengalaman atau informasi baru dengan struktur kognitif yang telah
dimiliki anak-anak.
5) Pemahaman dan retensi akan meningkat jika materi pelajaran disusun
dengan menggunakan pola atau logika tertentu, dari sederhana ke
kompleks.
6) Belajar memahami akan lebih bermakna daripada belajar menghafal. Agar
bermakna, informasi baru harus disesuaikan dan dihubungkan dengan
pengetahuan yang telah dimiliki peserta didik. Tugas guru adalah
menunjukkan hubungan antara apa yang sedang dipelajari dengan apa
yang telah diketahui peserta didik.
7) Adanya perbedaan individual pada diri peserta didik perlu diperhatikan,
karena faktor ini sangat memengaruhi keberhasilan belajar peserta didik.
Perbedaan tersebut misalnya pada motivasi, persepsi, kemampuan berpikir,
pengetahuan awal, dan sebagainya.
2. Advance Organizer oleh Ausubel
Pembelajaran
Ausubel menjelaskan bahwa informasi baru dapat dipelajari secara bermakna dan
tidak mudah dilupakan asal informasi baru tersebut dapat dihubungkan dan
dikalikan dengan konsep yang sudah ada. Jika materi yang baru sangat
bertentangan dengan struktur kognitif yang ada atau tidak dapat dikaitkan dengan
konsep yang sudah ada, maka materi baru tersebut tidak dipahami dan disimpan
lagi.

Keterampilan Guru
Pengetahuan guru terhadap isi pembelajaran harus sangat baik, dengan demikian ia
akan mampu menemukan informasi yang sangat abstrak, umum dan inklusif yang
mewadahi apa yang sedang diajarkan. Guru harus memiliki logika berpikir yang
baik, agar dapat memilah materi pembelajaran, merumuskannya dalam rumusan
yang singkat dan padat serta mengurutkan materi tersebut dalam struktur yang
logis dan mudah dipahami.

Implementasi
a. Model Ausubel ini dapat digunakan untuk mengajarkan hubungan antara
konsep-konsep dan generalisasi-generalisasi sehingga perlu dirinci apa tujuan
pembelajarannya.
b. Mendiagnosis latar belakang pengetahuan peserta didik. Agar mampu
menghubungkan antara pengetahuan yang sudah dimiliki siswa sebelumnya
dengan pengetahuan baru maka guru perlu mendiagnosis latar belakang siswa.
Hal ini dapat diketahui melalui pretest, diskusi, atau pertanyaan.
c. Membuat struktur materi. Membuat struktur materi secara hierarkis
merupakan salah satu pendukung untuk melakukan rekonsiliasi integratif dari
teori Ausubel.
d. Memformulasikan advance organizer. Advance organizer dapat dilakukan
dengan dua cara, yaitu: 1) mengaitkan atau menghubungkan materi pelajaran
dengan struktur pengetahuan peserta didik. 2) mengorganisasikan materi yang
dipelajari peserta didik.

3. Pemahaman Konsep oleh Bruner


Menurut Bruner perkembangan kognitif seseorang terjadi melalui tiga tahap yang
ditentukan oleh caranya melihat lingkungan, yaitu; enaktif, ikonik, dan simbolik.
Berikut penjelasannya:
a. Tahap enaktif, seseorang melakukan aktivitas-aktivitas dalam upayanya untuk
memahami lingkungan sekitarnya. Artinya, dalam memahami dunia sekitarnya
anak menggunakan pengetahuan motorik. Misalnya, melalui gigitan, sentuhan,
pegangan, dan sebagainya.
b. Tahap ikonik, seseorang memahami obyek-obyek atau dunianya melalui
gambar-gambar dan visualisasi verbal. Maksudnya, dalam memahami dunia
sekitarnya anak belajar melalui bentuk perumpamaan (tampil) dan
perbandingan (komparasi).
c. Tahap simbolik, seseorang telah mampu memiliki ide atau gagasan abstrak yang
sangat dipengaruhi oleh kemampuannya dalam berbahasa dan logika. Dalam
memahami dunia sekitarnya anak belajar melalui simbol-simbol bahasa, logika,
matematika, dan sebagainya. Komunikasinya dilakukan dengan menggunakan
banyak sistem simbol.

Implementasi
Berikut adalah implementasi tiga tahap Bruner dalam pembelajaran simetri lipat
matematika:
a. Enaktif
Guru menyediakan kertas karton berbentuk sebuah bangun datar yang
kemudian dilipat menjadi dua sama besar dan sama bentuknya melalui lipatan
yang dilakukan. Siswa bisa melihat secara langsung bahkan memegang hasil
lipatan kertas tersebut.
b. Ikonik
Guru menggambarkan bangun datar dan membaginya seperti gambar berikut
ini:

Gurupun bisa menjelaskan bahwa garis yang berada di tengah merupakan garis
lipatan sama seperti di kertas karton sebelumnya.
c. Simbolik

Pada tahap ini, guru bisa melanjutkan membuat sumbu simetri dan
menjelaskan kepada siswa berapa banyak sumbu simetri yang dimiliki sebuah
bangun.

4. Hierarki belajar oleh Gagne


Gagne mengemukakan delapan tipe belajar yang dilakukan secara prosedural atau
hierarkis. Kedelapan tipe belajar tersebut, yaitu: (1) belajar sinyal (signal learning),
(2) belajar stimulus respon (stimulus response learning), (3) belajar merangkai
tingkah laku (behavior chaining learning), (4) belajar asosiasi verbal (verval chaining
learning), (5) belajar diskriminasi (discrimination learning), (6) belajar konsep
(concept learning), (7) belajar aturan atau kaídah (rule learning), dan (8) belajar
memecahkan masalah (problem solving learning). Hierarki belajar empat tipe
pertama disebut sebagai tipe belajar sederhana (simple type of learning),
sedangkan empat tipe terakhir disebut tipe belajar hipotetik deduktif (deductive
hypothetic learning). Kedelapan tipe belajar ini disusun berdasarkan pada hasil
belajar yang diperoleh, dan bukan proses belajar yang dilalui peserta didik untuk
sampai pada hasil itu. Selain itu, Gagne mencoba untuk menempatkan kedelapan
tipe belajar itu dalam suatu urutan hierarkis, yaitu tipe belajar yang satu menjadi
dasar atau landasan tipe belajar berikutnya. Artinya tipe belajar yang satu harus
dikuasai terlebih dahulu, sebelum peserta didik mampu menguasai tipe belajar
berikutnya

No Tipe Belajar Penjelasan

1 Belajar sinyal Memberikan reaksi pada perangsang (S-R)

2 Belajar stimulus Memberikan reaksi pada perangsang (S- R)


respon

3 Belajar merangkai Menghubungkan gerakan yang satu dengan yang


tingkah laku lain

4 Belajar asosiasi verbal Memberikan reaksi verbal pada


stimulus-/perangsang.

5 Belajar diskriminasi Memberikan reaksi yang berbeda pada


stimulus-stimulus yang mempunyai kesamaan.

6 Belajar konsep Menempatkan obyek-obyek dalam kelompok


tertentu

7 Belajar kaídah Menghubungkan beberapa konsep.

8 Belajar memecahkan Mengembangkan beberapa kaídah menjadi prinsip


masalah pemecahan masalah.

Selanjutnya, Gagne menambahkan empat tipe belajar pertama (no. 1 s.d 4) kurang
relevan untuk belajar di sekolah, sedangkan empat tipe kedua (no. 5 s.d 8) lebih
menonjolkan pada belajar bidang kognitif yang memang diutamakan di sekolah

Implikasi
Dalam pembelajaran, guru bisa mengacu pada empat tipe kedua. Misalnya dalam
menjelaskan volume bangun ruang. Siswa harus mampu membedakan terlebih
dahulu setiap bangung ruang yang diajarkan seperti kerucut, prisma, dan limas (tipe
5), sebelum ia mampu mengategorikan tiap bangun ruang tersebut (tipe 6).

C. Teori Konstruktivistik
Konstruktivistik adalah teori yang memberikan kebebasan manusia untuk belajar atau
mencari kebutuhannya dengan bantuan fasilitas orang lain.

1. Proses Belajar Konstruktivistik


Penerapan teori belajar Konstruktivisme sering digunakan pada model
pembelajaran menemukan (discovery learning) dan pembelajaran berbasis masalah
(problem-based learning).
Menurut prinsip pembelajaran konstruktivistik, seorang pengajar atau dosen
memiliki peran, meliputi:
a. menyediakan pengalaman belajar yang memungkinkan asiswa
bertanggungjawab;
b. memberikan kegiatan-kegiatan yang merangsang keingintahuan siswa dan
membantu mereka untuk mengekspresikan gagasannya; serta
c. menyediakan sarana secara produktif yang mendukung proses belajar siswa.
Sedangkan, peran siswa adalah:
a. berbuat sesuatu untuk memahami materi pelajaran dengan penuh keyakinan;
serta
b. mempelajari, mengalami, dan menemukan sendiri pengetahuan mereka.

2. Tahap Pembelajaran
Tahapan dalam pembelajaran pendekatan konstruktivisme, yaitu sebagai berikut:
a. Tahap pertama, peserta didik didorong agar mengemukakan pengetahuan
awalnya tentang konsep yang akan dibahas. Bila perlu, guru memancing dengan
pertanyaan problematik tentang fenomena yang sering dijumpai sehari-hari
oleh peserta didik dan mengaitkannya dengan konsep yang akan dibahas.
Selanjutnya, peserta didik diberi kesempatan untuk mengkomunikasikan dan
mengilustrasikan pemahamannya tentang konsep tersebut.
b. Tahap kedua, peserta didik diberi kesempatan untuk menyelidiki dan
menemukan konsep melalui pengumpulan, pengorganisasian, dan
penginterprestasian data dalam suatu kegiatan yang telah dirancang oleh guru.
Secara keseluruhan dalam hidup ini akan terpenuhi rasa keingintahuan peserta
didik tentang fenomena dalam lingkungannya.
c. Tahap ketiga, peserta didik melakukan penjelasan dan solusi yang didasarkan
pada hasil observasi peserta didik, ditambah dengan penguatan guru.
Selanjutnya peserta didik membangun pemahaman baru tentang konsep yang
sedang dipelajari.
d. Tahap keempat, guru berusaha menciptakan iklim pembelajaran yang
memungkinkan peserta didik dapat mengaplikasikan pemahaman
konseptualnya, baik melalui kegiatan maupun pemunculan masalah-masalah
yang berkaitan dengan isu-isu dalam lingkungan peserta didik tersebut.

3. Implikasi Teori Konstruktivistik dalam Pembelajaran


a. Membebaskan siswa untuk mengembangkan ide-idenya.
b. Guru bersama siswa mengkaji berbagai macam permasalahan dengan
interpretasi dan sudut pandang yang beraneka ragam.
c. Guru mengakui bahwa proses belajar serta penilaiannya merupakan suatu
usaha yang kompleks, sukar dipahami, tidak teratur, dan tidak mudah dikelola.

D. Teori Humanistik
Hal mendasar dalam pendidikan humanistik adalah keinginan untuk mewujudkan
lingkungan belajar yang menjadikan peserta didik terbebas dari kompetisi yang hebat,
kedisiplinan yang tinggi, dan ketakutan gagal.

1. Proses Belajar Humanistik


Prinsip-prinsip pendidik humanistik:
a. Siswa harus dapat memilih apa yang mereka ingin pelajari. Guru humanistik
percaya bahwa siswa akan termotivasi untuk mengkaji materi bahan ajar jika
terkait dengan kebutuhan dan keinginannya.
b. Tujuan pendidikan harus mendorong keinginan siswa untuk belajar dan
mengajar mereka tentang cara belajar. Siswa harus termotivasi dan merangsang
diri pribadi untuk belajar sendiri.
c. Pendidik humanistik percaya bahwa nilai tidak relevan dan hanya evaluasi
belajar diri yang bermakna.
d. Pendidik humanistik percaya bahwa, baik perasaan maupun pengetahuan,
sangat penting dalam sebuah proses belajar dan tidak memisahkan domain
kognitif dengan afektif.
e. Pendidik humanistik menekankan pentingnya siswa terhindar dari tekanan
lingkungan, sehingga mereka akan merasa aman untuk belajar. Dengan merasa
aman, akan lebih mudah dan bermakna proses belajar yang dilalui.

Model pembelajaran humanistik:


a. Humanizing of the classroom, model ini bertumpu pada tiga hal, yakni
menyadari diri sebagai suatu proses pertumbuhan yang sedang dan akan terus
berubah, mengenali konsep dan identitas diri, dan menyatupadukan kesadaran
hati dan pikiran.
b. Active learning, merupakan strategi pembelajaran yang lebih banyak
melibatkan peserta didik dalam mengakses berbagai informasi dan
pengetahuan untuk dibahas dan dikaji dalam proses pembelajaran di kelas,
sehingga mereka mendapatkan berbagai pengalaman yang dapat meningkatkan
kompetensinya. Selain itu, belajar aktif juga memungkinkan peserta didik dapat
mengembangkan kemampuan analisis dan sintesis serta mampu merumuskan
nilai-nilai baru yang diambil dari hasil analisis mereka sendiri.
c. Quantum learning, merupakan cara pengubahan bermacam-macam interaksi,
hubungan dan inspirasi yang ada di dalam dan di sekitar momen belajar. Dalam
prakteknya, quantum learning mengasumsikan bahwa jika siswa mampu
menggunakan potensi nalar dan emosinya secara baik, maka mereka akan
mampu membuat loncatan prestasi yang tidak bisa terduga sebelumnya dengan
hasil mendapatkan prestasi bagus.
d. The accelerated learning, merupakan pembelajaran yang berlangsung secara
cepat, menyenangkan, dan memuaskan. Dalam model ini, guru diharapkan
mampu mengelola kelas menggunakan pendekatan Somatic, Auditory, Visual,
dan Intellectual (SAVI).

2. Teori Belajar Humanistik


a. Hierarki Kebutuhan (Maslow)
Hierarki kebutuhan Maslow terdiri atas level yang paling dasar hingga level
tertinggi. Berikut adalah uraiannya:

1) Kebutuhan Fisiologis
Kebutuhan fisiologis adalah kebutuhan pokok yang bersifat mendasar.
Kadang kala disebut kebutuhan biologis. Kebutuhan tersebut biasanya
paling kuat dan memaksa sehingga harus dicukupi terlebih dahulu untuk
beraktivitas sehari-hari, misalnya makan, minum, kebutuhan seks.
2) Kebutuhan akan Rasa Aman
Sesudah kebutuhan fisiologis tercukupi, maka timbul kebutuhan akan rasa
aman. Manusia membutuhkan keseimbangan dan aturan yang baik serta
berupaya menjauhi hal-hal yang tidak dikenal dan tidak diinginkan.
3) Kebutuhan akan Kasih Sayang
Sebagai makhluk sosial, seseorang memerlukan rasa kasih sayang yang
diperoleh dari orang lain, misalkan keluarga, teman sekolah, guru, maupun
tempat kerja.
4) Kebutuhan akan Penghargaan
Kebutuhan tersebut berkaitan dengan keinginan untuk memiliki kesan
positif, serta mendapatkan penghargaan dan pengakuan dari sesama
manusia.
5) Kebutuhan Aktualisasi-Diri (Self Actualization)
Kebutuhan tersebut diantaranya yaitu kebutuhan akan perkembangan
bakat dan potensi yang ada pada diri sendiri. Kebutuhan ini perlu dicukupi
untuk memberikan peluang berkembang, tumbuh, dan berkreasi guna
memperoleh tugas yang sesuai dan mendapat keberhasilan.

Implikasi Teori Maslow


Adapun implikasi teori ini ke dalam pembelajaran adalah dengan
mengakomodasi setiap kebutuhan siswa. Misal memenuhi kebutuhan fisiologis
dengan menjamin kebutuhan makan dan minum, pakaian, tempat tinggal,
termasuk kebutuhan biologis. Pemenuhan kebutuhan dasar peserta didik harus
diutamakan karena kebutuhan ini sangat mendesak dan hendaknya guru
memberikan kesempatan atau bantuan kepada siswa untuk memenuhinya.

b. Teori Belajar Carl Rogers


Dalam bukunya “Freedom to Learn”, ia memperkenalkan beberapa prinsip
belajar humanistik yang sangat penting, di antaranya ialah:
1) Manusia memiliki kemampuan untuk belajar secara alami.
2) Belajar yang melibatkan suatu perubahan yang mengancam dirinya
cenderung akan ditolak.
3) Belajar yang berarti bisa didapatkan peserta didik dengan melakukannya.
4) Peserta didik dilibatkan langsung dalam proses pembelajaran dan ikut serta
bertanggung jawab dalam proses belajar tersebut.
5) Belajar atas inisiatif diri sendiri merupakan cara untuk memberikan hasil
yang mendalam dan lestari.
6) Kepercayaan pada diri sendiri, kemerdekaan, kreatifitas akan lebih mudah
dicapai apabila peserta didik dibiasakan untuk mawas diri dan mengkritik
dirinya sendiri. Penilaian diri orang lain adalah cara kedua yang juga
penting.
7) Belajar yang sangat berperan di dunia modern ini adalah belajar yang
menyangkut proses belajar, yang terbuka, dan terus menerus.

Implikasi Teori Carl Rogers


Pengaruh teori Carl Rogers terhadap pembelajaran dimaknai dengan penerapan
dua model pembelajaran yaitu:
1) Confluent Education
Confluent education adalah proses pendidikan yang memadukan antara
pengalaman afektif dan belajar kognitif (pengetahuan) di dalam kelas. Hal
ini adalah cara bagus untuk melibatkan peserta didik secara pribadi dalam
bahan pelajaran. Dalam pembelajaran ini siswa tidak hanya memerhatikan
atau membaca, tetapi siswa juga dapat merasakan, menulis, menghayati,
berdebat yang positif, dan menyampaikan pendapat mereka.
2) Cooperative Learning
Pembelajaran cooperative learning mengacu pada metode pembelajaran,
yang mana peserta didik bekerja sama dengan kelompok kecil dan saling
membantu dalam belajar. Menurut pernyataan Salvin, anggota-anggota
kelompok bertanggung jawab penuh terhadap ketercapaian tugas yang
diberikan.

Referensi
Endang Komara. 2014. Belajar dan Pembelajaran Interaktif. Bandung: PT Refrika Aditama.
Fauzia, E.N., 2018. PENERAPAN TEORI KONSTRUKTIVISME DALAM PEMBELAJARAN BAHASA
INDONESIA PADA SISWA SMP NEGERI 8 YOGYAKARTA. Pend. Bahasa dan Sastra
Indonesia-S1, 7(5), pp.515-525.
Healthline. 2018 What Are Piaget’s Stages of Development and How Are They Used? Simply
Psychology.
https://www.healthline.com/health/piaget-stages-of-development#takeaway, diakses
pada 18 Juni 2021.
Lapono, N, dkk. 2008. Belajar Dan Pembelajaran SD. Jakarta: Dirjen Pendidikan Tinggi
Depdiknas.
Qodir, A., 2017. Teori Belajar Humanistik Dalam Meningkatkan Prestasi Belajar Siswa.
PEDAGOGIK: Jurnal Pendidikan, 4(2).
Saguni, F. (2020). PENERAPAN TEORI KONSTRUKTIVIS DALAM PEMBELAJARAN. Paedagogia:
Jurnal Pendidikan, 8(2), 19-32.
Sumarsih. Implementasi Teori Pembelajaran Konstruktivistik Dalam Pembelajaran Mata
Kuliah Dasar-Dasar Bisnis. Jurnal Pendidikan Akuntansi Indonesia Vol. VIII. No. 1 – Tahun
2009 hal 54 - 62 .
Warsita, B., 2018. Teori Belajar Robert M. Gagne dan Implikasinya pada Pentingnya Pusat
Sumber Belajar. Jurnal teknodik, 12(1), pp.064-078.
Wasty Soemanto. 1987. Psikologi Pendidikan. Jakarta: Bina Aksara.
Karakteristik Peserta Didik

Tujuan
1. Menjelaskan pengertian karakteristik peserta didik;
2. Mengidentifikasi kemampuan awal peserta didik;
3. Menjelaskan ragam/macam-macam karakteristik peserta didik; dan
4. Menentukan kegiatan pembelajaran yang tepat sesuai dengan gaya belajar peserta
didik.

A. Pengertian Karakteristik Peserta Didik


Setiap peserta didik memiliki karakteristik yang beragam. Karakteristik ini dimaknai
sebagai totalitas kemampuan dan perilaku yang merupakan hasil dari interaksi antara
pembawaan dengan lingkungan sosialnya, sehingga menentukan pola aktivitasnya
dalam mewujudkan harapan dan meraih cita-cita. Empat pokok hal dominan dari
karakteristik siswa yang harus dipahami oleh guru yaitu :
1) Kemampuan dasar seperti kemampuan kognitif atau intelektual.
2) Latar belakang kultural lokal, status sosial, status ekonomi, agama dll.
3) Perbedaan kepribadian seperti sikap, perasaan, minat, dll
4) Cita-cita, pandangan ke depan, keyakinan diri, daya tahan,dll
Guru perlu mengidentifikasi kemampuan awal dan karakteristik peserta didik,
tujuannya yaitu
1) Memperoleh informasi yang lengkap dan akurat berkenaan dengan kemampuan
serta karakteristik awal siswa sebelum mengikuti program pembelajaran
tertentu.
2) Menyeleksi tuntutan, bakat, minat, kemampuan, serta kecenderungan peserta
didik berkaitan dengan pemilihan program-program pembelajaran tertentu yang
akan diikuti mereka.
3) Menentukan desain program pembelajaran dan atau pelatihan tertentu yang
perlu dikembangkan sesuai dengan kemampuan awal peserta didik.
Seorang guru jika ingin mengetahui karakteristik kemampuan awal dari peserta didik,
dapat dilakukan dengan pemberian tes (pre – test). Tes yang diberikan dapat berkaitan
dengan materi ajar sesuai dengan panduan kurikulum. Selain itu pendidik dapat
melakukan wawancara, observasi dan memberikan kuesioner kepada peserta didik,
guru yang mengetahui kemampuan peserta didik atau calon peserta didik, serta guru
yang biasa mengampu pelajaran tersebut. Teknik untuk mengidentifikasi karakteristik
siswa adalah dengan menggunakan kuesioner, interview, observasi dan tes Latar
belakang siswa.
Guru perlu mempertimbangkan dalam mempersiapkan materi yang akan disajikan, di
antaranya yaitu faktor akademis dan faktor sosial:
1) Faktor akademis
Faktor akademis yang akan dikaji meliputi jumlah siswa yang dihadapi di dalam
kelas, rasio guru dan siswa menentukan kesuksesan belajar, indeks prestasi,
tingkat intelegensi siswa juga tidak kalah penting.
2) Faktor sosial
Faktor kematangan dan ekonomi siswa sangat berpengaruh pada faktor sosial
siswa. Aspek-aspek yang diungkap dalam kegiatan ini bisa berupa bakat, motivasi
belajar, gaya belajar kemampuan berpikir, minat dll. Faktor sosial ini dalam
hubungannya dengan masyarakat serta berbagai kegiatan lainnya yang
mempengaruhi cara bersosialisasi dengan orang lain.

B. Identifikasi Kemampuan Awal Peserta Didik


Teknik yang paling tepat untuk mengetahui kemampuan awal siswa yaitu teknik tes.
Teknik tes ini menggunakan tes prasyarat dan tes awal. Tes prasyarat adalah tes untuk
mengetahui apakah siswa telah memiliki pengetahuan keterampilan yang diperlukan
atau disyaratkan untuk mengikuti suatu pelajaran, sedangkan tes awal (pre test) adalah
tes untuk mengetahui seberapa jauh siswa telah memiliki pengetahuan atau
keterampilan mengenai pelajaran yang hendak diikuti. Benjamin S. Bloom melakukan
beberapa eksperimen membuktikan bahwa hasil belajar yang bersifat kognitif apabila
pengetahuan atau kecakapan prasyarat ini tidak dipenuhi, maka betapa pun kualitas
pembelajaran tinggi, maka tidak akan menolong untuk memperoleh hasil belajar yang
tinggi. Hasil pre test dimaksudkan untuk melihat berapa besar penguasaan
pengetahuan yang dikuasai anak tentang materi yang dipahaminya, setelah itu hasil
tersebut dibandingkan dengan hasil yang dicapai setelah mengikuti pelajaran. Jadi
kemampuan awal sangat diperlukan untuk mengetahui pemahaman anak sebelum
diberikan pengetahuan baru, setelah itu baru kita adakan post test untuk melihat
besarnya pemahaman anak setelah diberikan pengetahuan baru.
Contoh angket sederhana untuk mengetahui kemampuan awal siswa adalah:

Apa yang kamu ketahui tentang keluarga?


a. Keluarga isinya ayah dan ibu
b. Keluargaku bahagia
c. Keluargaku tinggal di rumah

Selain angket, guru juga dapat menggunakan peta konsep untuk memahami
karakteristik anak. Caranya dengan menuliskan sebuah kata kunci utama tentang topik
yang akan dipelajari. Misalnya "Kebersihan". Berikutnya guru meminta siswa
menyebutkan atau menuliskan konsep-konsep yang relevan (berhubungan) dengan
Kebersihan. Seberapa pengetahuan awal yang dimiliki siswa dapat terlihat sewaktu
mereka bersama-sama membuat peta konsep di papan tulis.
C. Ragam Karakteristik Peserta Didik dan Strategi Pengajaran
Salah satu ragam karakteristik peserta didik adalah gaya belajar. Berdasarkan
preferensi sensori atau kemampuan yang dimiliki otak dalam menyerap, mengelola
dan menyampaikan informasi, maka gaya belajar individu dapat dibagi dalam tiga
kategori. Ketiga kategori tersebut adalah gaya belajar visual, auditorial dan kinestetik
yang ditandai dengan ciri-ciri perilaku tertentu.
1) Gaya Belajar Visual
Peserta didik dengan macam gaya belajar seperti ini mengandalkan penglihatan
untuk melihat buktinya terlebih dahulu sebelum mereka mempercayainya.
Ciri-ciri:
● rapi dan teratur;
● berbicara dengan tepat;
● perencana dan pengatur jangka panjang yang baik;
● teliti terhadap detail;
● mementingkan penampilan, baik dalam hal pakaian maupun presentasi;
● pengeja yang baik dan dapat melihat kata-kata yang sebenarnya dalam
pikiran mereka; mengingat apa yang dilihat daripada yang didengarkan;
mengingat dengan asosiasi visual;
● biasanya tidak terganggu oleh keributan;
● mempunyai masalah untuk mengingat instruksi verbal, kecuali jika ditulis
dan sering kali meminta bantuan orang untuk mengulanginya;
● pembaca cepat dan tekun;
● lebih suka membaca daripada dibacakan;
● membutuhkan pandangan dan tujuan yang menyeluruh dan bersikap
waspada sebelum secara mental merasa pasti tentang suatu masalah atau
proyek; mencorat-coret tanpa arti selama berbicara di telepon dan dalam
rapat;
● lupa menyampaikan pesan verbal kepada orang lain;
● sering menjawab pertanyaan dengan jawaban singkat ya atau tidak;
● lebih suka melakukan demonstrasi daripada berpidato; dan
● lebih suka lukisan daripada musik.
Strategi pembelajaran yang bisa dilakukan: menggunakan materi visual, seperti
gambar, diagram, dan peta; menggunakan warna untuk menandai hal-hal
penting; menggunakan multimedia, seperti komputer dan video; mengajak
peserta didik untuk membaca buku-buku berilustrasi; mengajak peserta didik
untuk mengilustrasikan ide-idenya ke dalam gambar.

2) Gaya Belajar Auditori


Karakteristik model belajar seperti ini benar-benar menempatkan pendengaran
sebagai alat utama menyerap informasi atau pengetahuan.
Ciri-ciri peserta didik gaya belajar auditori adalah:
● berbicara pada diri sendiri saat bekerja;
● mudah terganggu oleh keributan;
● menggerakkan bibir mereka dan mengucapkan tulisan di buku ketika
membaca; senang membaca dengan keras dan mendengarkannya;
● dapat mengulangi kembali dan menirukan nada, birama, dan warna suara;
merasa kesulitan untuk menulis, tetapi hebat dalam bercerita;
● berbicara dalam irama yang terpola;
● biasanya pembicara yang fasih;
● lebih suka musik daripada seni;
● belajar dengan mendengarkan dan mengingat apa yang didiskusikan
daripada yang dilihat; suka berbicara, berdiskusi, dan menjelaskan sesuatu
panjang lebar; mempunyai masalah dengan pekerjaan-pekerjaan yang
melibatkan visualisasi, seperti memotong bagian-bagian hingga sesuai satu
sama lain;
● lebih pandai mengeja dengan keras daripada menuliskannya; dan
● lebih suka gurauan lisan daripada membaca komik.
Adapun strategi yang dapat ditempuh oleh pendidik/orang tua guna
mempermudah proses belajar peserta didik/anak dengan gaya belajar auditori,
antara lain: mengajak peserta didik/anak untuk ikut berpartisipasi dalam diskusi,
baik di dalam kelas maupun di dalam keluarga; mendorong peserta didik/anak
untuk membaca materi pelajaran dengan keras; pada saat belajar, sebaiknya
disertai dengan alunan musik; mendiskusikan ide-ide dengan peserta didik/anak
secara verbal; dan membiarkan peserta didik/anak merekam materi
pelajarannya ke dalam kaset dan mendorongnya untuk mendengarkan rekaman
tersebut sebelum tidur.

3) Gaya Belajar Kinestetik


Gaya belajar kinestetik (kinesthetic learners) mengharuskan individu yang
bersangkutan menyentuh sesuatu yang memberikan informasi tertentu agar
peserta didik dapat mengingatnya.
Ciri-ciri gaya belajar kinestetik sebagai berikut:
● berbicara dengan pelan;
● menanggapi perhatian fisik;
● menyentuh orang untuk mendapatkan perhatian mereka;
● berdiri dekat ketika berbicara dengan orang;
● selalu berorientasi pada fisik dan banyak bergerak;
● mempunyai perkembangan awal otot-otot yang besar;
● belajar melalui manipulasi dan praktik;
● menghafal dengan cara berjalan dan melihat;
● menggunakan jari sebagai alat penunjuk ketika membaca;
● banyak menggunakan isyarat tubuh; dan tidak dapat duduk diam untuk
waktu lama.
Adapun beberapa strategi yang dapat ditempuh oleh pendidik dan orang tua
guna mempermudah peserta didik/anak dalam proses belajarnya, antara lain:
tidak boleh terlalu memaksakan peserta didik/anak untuk belajar sampai
berjam-jam; mengajak peserta didik/anak untuk belajar sambil mengeksplorasi
lingkungannya, misalnya menggunakan objek sesungguhnya untuk belajar
konsep baru; memberikan izin kepada peserta didik/anak untuk mengunyah
permen karet pada saat belajar; memberikan izin kepada peserta didik/anak
untuk belajar sambil mendengarkan musik; dan menggunakan warna terang
untuk menandai hal-hal penting dalam bacaan.

Referensi
Khoeron, I.R., Sumarna, N. and Permana, T., 2014. Pengaruh Gaya Belajar Terhadap Prestasi
Belajar Peserta Didik Pada Mata Pelajaran Produktif. Journal of Mechanical Engineering
Education, 1(2), pp.291-297.
Meriyati, M. P. 2015. Memahami Karakteristik Peserta Didik. Bandar Lampung: Fakta Press
lAIN Raden lntan Lampung.
Keterampilan Berpikir Tingkat Tinggi

Tujuan
1. Menjelaskan konsep HOTS;
2. Merancang pembelajaran HOTS; dan
3. Menguraikan cara merumuskan indikator kompetensi.

A. Konsep HOTS
Keterampilan berpikir tingkat tinggi atau istilah asingnya adalah Higher Order Thinking
Skill (HOTS) merupakan proses keterampilan berpikir secara mendalam dan
meluas yang melibatkan pengolahan informasi secara kritis dan kreatif dalam
menghadapi dan menyelesaikan masalah yang bersifat kompleks dan melibatkan
keterampilan menganalisis, mengevaluasi dan mencipta. Tujuan utamanya adalah
bagaimana meningkatkan kemampuan berpikir peserta didik pada level yang lebih
tinggi, terutama yang berkaitan dengan kemampuan untuk berpikir kritis dalam
menerima berbagai jenis informasi, berpikir kreatif dalam memecahkan suatu masalah
menggunakan pengetahuan yang dimiliki, serta membuat keputusan dalam
situasi-situasi yang kompleks.
Taksonomi Bloom versi revisi telah membagi setiap aspek menjadi tiga level. Dua
aspek yang pertama yaitu mengingat (C1) dan menjelaskan (C2) merupakan Low Order
Thinking Skill (LOTS), aspek menerapkan (C3) termasuk ke dalam Middle Order
Thinking Skill (MOTS), serta menganalisis (C4), mengevaluasi (C5), dan mencipta
(C6) merupakan Higher Order Thinking Skill (HOTS). Berikut adalah tabelnya:

Taksonomi Bloom (Revisi) Level

Mengingat (C1)
LOTS
Menjelaskan (C2)

Menerapkan (C3) MOTS

Menganalisis (C4)

Mengevaluasi (C5) HOTS


Mencipta (C6)

Selain itu, HOTS juga mengacu kepada teori dimensi pengetahuan oleh Anderson dan
Krathwoll Berikut adalah penjelasannya:
1) Pengetahuan Faktual
Pengetahuan faktual berisi elemen-elemen dasar yang harus diketahui para
peserta didik jika mereka akan dikenalkan dengan suatu disiplin atau untuk
memecahkan masalah apapun di dalamnya. Elemen-elemen biasanya
merupakan simbol - simbol yang berkaitan dengan beberapa referensi konkret,
atau "benang-benang simbol" yang menyampaikan informasi penting. Sebagian
terbesar, pengetahuan faktual muncul pada level abstraksi yang relatif rendah.
Dua bagian jenis pengetahuan faktual adalah:
a. Pengetahuan terminologi meliputi nama-nama dan simbol-simbol verbal
dan non-verbal tertentu (contohnya kata-kata, angka-angka, tanda-tanda,
dan gambar-gambar).
b. Pengetahuan yang detail dan elemen-elemen yang spesifik mengacu pada
pengetahuan peristiwa-peristiwa, tempat-tempat, orang-orang, tanggal,
sumber informasi, dan semacamnya.
2) Pengetahuan Konseptual
Pengetahuan konseptual meliputi skema-skema, model model mental, atau
teori-teori eksplisit dan implisit dalam model-model psikologi kognitif yang
berbeda. Pengetahuan konseptual meliputi tiga jenis:
a. Pengetahuan klasifikasi dan kategori meliputi kategori, kelas, pembagian, dan
penyusunan spesifik yang digunakan dalam pokok bahasan yang berbeda.
b. Prinsip dan generalisasi untuk mempelajari fenomena atau memecahkan
masalah-masalah dalam disiplin ilmu.
c. Pengetahuan teori, model, dan struktur meliputi pengetahuan mengenai
prinsip-prinsip dan generalisasi-generalisasi bersama dengan
hubungan-hubungan diantara mereka yang menyajikan pandangan sistemis,
jelas, dan bulat mengenai suatu fenomena, masalah, atau pokok bahasan
yang kompleks.
3) Pengetahuan Prosedural
Pengetahuan ini merupakan pengetahuan bagaimana melakukan sesuatu.
Pengetahuan prosedural sering mengambil bentuk dari suatu rangkaian
langkah-langkah yang akan diikuti. Kadangkala langkah tersebut diikuti perintah
yang pasti; atau menuntut peserta didik untuk menentukan langkah mana yang
dilakukan selanjutmya.
4) Pengetahuan Metakognitif
Pengetahuan metakognitif adalah pengetahuan mengenai kesadaran secara
umum serta kewaspadaan dan pengetahuan tentang kesadaran pribadi
seseorang. Pengetahuan ini meliputi pengetahuan mengenai strategi-strategi
umum untuk pembelajaran, pemecahan masalah, serta pengetahuan
kontekstual dan kondisional.
Konsep berpikir HOTS merupakan dimensi pengetahuan konseptual, prosedural, dan
metakognitf. Oleh karena itu, jika dikombinasikan antara dimensi pengetahuan dan
Taksonomi Bloom versi revisi, maka berikut adalah tabel yang menggambarkan HOTS:

B. Perancangan Pembelajaran HOTS


Adapun konsep integrasi higher order thinking skills (HOTS) yang diintegrasikan ke
dalam model pembelajaran tematik bisa dilakukan sebagai berikut:
1. Penerapan Model Pembelajaran Tematik
Pembelajaran berbasis proyek (project based learning) dan belajar penemuan
(discovery/inquiry) serta model-model lainya bisa dikembangkan guru untuk
menerapkan kegiatan pembelajaran tematik berbasis higher order thinking
skills (HOTS). Hal ini karena model tersebut melibatkan peserta didik secara
langsung untuk menciptakan, menemukan, berpikir kritis dan kreatif.
2. Mengintegrasikan HOTS Melalui Pengembangan Media Pembelajaran
Media pembelajaran bisa digunakan sebagai alat yang mendorong keterlibatan
siswa secara aktif dan menyenangkan. Tidak hanya untuk mengetahui
(learning to know), tetapi juga untuk melakukan (learning to do), untuk menjadi
(learning to be), dan untuk hidup bersama (learning to live together), serta
holistis dan autentik.
3. Penerapan Pendekatan Saintifik
Pendekatan saintifik meliputi 5M, yaitu: mengamati, menanya,
mengumpulkan informasi, menalar/mengasosiasi dan mengkomunikasikan. Guru
harus mampu mengoptimalkan lima tahapan tersebut agar HOTS bisa tercapai.
4. Evaluasi dengan Soal HOTS
Soal HOTS bukan berarti soal yang sulit, redaksinya panjang, dan berbelit-belit.
Soal yang demikian justru membuang waktu dan memusingkan peserta
didik. Akan tetapi soal HOTS disusun berdasarkan level kognitif C4, C5, atau C6.
Selain itu, soal HOTS harus memiliki stimulus yang relevan, tepat, dan
sesingkat mungkin. Stimulus bisa dalam bentuk deskriptif, informasi, berita,
gambar, foto, skema, dan sebagainya.
C. Analisis Kompetensi Dasar dan Indikator Pencapaian Kompetensi
Pengembangan indikator dan materi pembelajaran merupakan 2 (dua) kemampuan
yang harus dikuasai seorang guru sebelum mengembangkan RPP dan melaksanakan
pembelajaran. Analisis yang dilakukan guru terhadap KI dan KD dapat membantu guru
dalam mengembangkan Indikator Pencapaian Kompetensi (IPK) yang dijadikan dasar
dalam menentukan pembelajaran dengan meningkatkan nilai-nilai karakter melalui
kegiatan literasi dan pengembangan keterampilan Abad 21.
Pengembangan IPK memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
1) Tentukanlah proses berpikir yang akan dilakukan oleh peserta didik untuk
mencapai kompetensi minimal yang ada pada KD.
2) Rumusan IPK menggunakan kata kerja operasional (KKO) yang bisa diukur
3) Dirumuskan dalam kalimat yang simpel, jelas dan mudah dipahami.
4) Tidak menggunakan kata yang bermakna ganda
5) Hanya mengandung satu tindakan.
6) Memperhatikan karakteristik mata pelajaran, potensi & kebutuhan peserta didik,
sekolah, masyarakat dan lingkungan/daerah.
Kategorikan Indikator Pencapaian Kompetensi:
1) Indikator Kunci
Indikator yang sangat memenuhi kriteria UKRK (Urgensi, Keterkaitan, Relevansi,
Keterpakaian). Kompetensi yang dituntut adalah kompetensi minimal yang
terdapat pada KD. Memiliki sasaran untuk mengukur ketercapaian standar
minimal dari KD. Dinyatakan secara tertulis dalam pengembangan RPP dan
harus teraktualisasi dalam pelaksanaan proses pembelajaran, sehingga
kompetensi minimal yang harus dikuasai peserta didik tercapai berdasarkan
tuntutan KD mata pelajaran.
2) Indikator Pendukung
Membantu peserta didik memahami indikator kunci. Dinamakan juga indikator
prasyarat yang berarti kompetensi yang sebelumnya telah dipelajari peserta
didik, berkaitan dengan indikator kunci yang dipelajari.
3) Indikator Pengayaan
Mempunyai tuntutan kompetensi yang melebihi dari tuntutan kompetensi dari
standar minimal KD. Tidak selalu harus ada. Dirumuskan apabila potensi
peserta didik memiliki kompetensi yang lebih tinggi dan perlu peningkatan yang
baik dari standar minimal KD.
Referensi
Ahmad Sulham & Ahmad Khalakul Khairi, (2019). Konsep Dasar Pembelajaran Tematik di
Sekolah Dasar (SD/MI), Mataram: FTK UIN Mataram
Andi Prastowo, (2014). Pengembangan Bahan Ajar Tematik; Tinjauan Teoritik dan
Praktik, Jakarta: Kencana.
Dinni, H.N., 2018, February. HOTS (High Order Thinking Skills) dan kaitannya dengan
kemampuan literasi matematika. In PRISMA, Prosiding Seminar Nasional Matematika
(Vol. 1, pp. 170-176).
Kemdikbud. 2018. Buku Pegangan Pembelajaran Berorientasi pada Keterampilan Berpikir
Tingkat Tinggi,
http://repositori.kemdikbud.go.id/11316/1/01._Buku_Pegangan_Pembelajaran_HOTS_20
18-2.pdf, diakses pada 14 Juni 2021 pukul 12.22 WIB.
Syudirman, S. and Saputra, A., 2020. KONSEP HIGHER ORDER OF THINKING SKILL (HOTS)
PADA PEMBELAJARAN TEMATIK DI SD/MI. eL-Muhbib: Jurnal Pemikiran dan Penelitian
Pendidikan Dasar, 4(2), pp.133-143.
Konsep Penilaian

Tujuan:
1. Menjelaskan fungsi penilaian
2. Mengimplementasikan penilaian pada kurikulum 2013
3. Mengembangkan penilaian untuk peserta didik

A. Penilaian
Penilaian adalah proses pengumpulan dan pengolahan informasi untuk mengukur
pencapaian hasil belajar peserta didik. Pengukuran pencapaian hasil belajar haruslah
didasari informasi yang lengkap dan akurat agar hasil belajar dapat terukur dengan
tepat. Untuk itu, diperlukan teknik dan instrumen penilaian, serta prosedur analisis
sesuai dengan karakteristik penilaian.

Kurikulum 2013 adalah kurikulum berbasis kompetensi. Terdapat Kompetensi Dasar


(KD) sebagai kompetensi minimal yang harus dicapai oleh peserta didik. Ketercapaian
KD dapat diukur dengan Indikator Pencapaian Kompetensi (IPK) yang dirumuskan oleh
pendidik. IPK ini nantinya dijadikan sebagai acuan penilaian. Selain menentukan IPK,
pendidik juga harus menentukan Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) pada
masing-masing kompetensi.

Pada Kurikulum 2013, penilaian tidak hanya difokuskan pada hasil belajar, namun juga
proses belajar. Peserta didik turut dilibatkan dalam proses penilaian terhadap dirinya
sendiri dan penilaian antar teman.

B. Fungsi Penilaian
Terdapat tiga pendekatan dalam melakukan penilaian, yaitu assessment of learning
(penilaian akhir pembelajaran), assessment for learning (penilaian untuk
pembelajaran), dan assessment as learning (penilaian sebagai pembelajaran).

1. Assessment of Learning
Merupakan penilaian yang dilaksanakan setelah proses pembelajaran selesai.
Contohnya adalah ujian akhir sekolah, Ujian Nasional, dan berbagai penilaian sumatif
lainnya.
2. Assessment for Learning
Merupakan penilaian yang dilakukan selama proses pembelajaran berlangsung dan
hasilnya biasanya digunakan sebagai dasar untuk melakukan perbaikan proses belajar
mengajar. Pendidik dapat memberikan umpan balik untuk dapat meningkatkan
performa belajar peserta didik. Contohnya adalah penugasan, pemberian proyek,
kuis, dan berbagai penilaian formatif lainnya.
3. Assessment as Learning
Merupakan penilaian yang melibatkan peserta didik secara aktif dalam kegiatan
penilaian. Peserta didik dilibatkan dalam merumuskan prosedur penilaian,
menentukan kriteria, juga pembuatan pedoman penilaian. Peserta didik juga diberi
kesempatan untuk belajar menjadi penilai untuk dirinya sendiri, misalnya dalam
kegiatan penilaian diri (self assessment); dan juga menilai temannya, misalnya dalam
kegiatan penilaian antar teman. Dengan demikian, peserta didik dapat mengetahui
apa yang harus mereka lakukan untuk memperoleh capaian belajar yang maksimal.

C. Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM)


Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) adalah kriteria ketuntasan belajar yang ditentukan
oleh satuan pendidikan dengan mengacu pada standar kompetensi lulusan. KKM
dirumuskan oleh kepala sekolah, pendidik, dan tenaga kependidikan lainnya secara
bersama-sama. KKM dirumuskan setidaknya dengan memperhatikan tiga aspek, yaitu:
1. karakteristik peserta didik (intake),
2. karakteristik mata pelajaran (kompleksitas materi/kompetensi), dan
3. kondisi satuan pendidikan (guru dan daya dukung).

Terdapat dua model KKM, yaitu:


1. KKM yang terdiri atas lebih dari satu KKM
2. KKM yang terdiri dari satu KKM
Satuan pendidikan dapat memilih satu dari dua model tersebut.

Setelah KKM ditentukan, capaian pembelajaran peserta didik dapat dievaluasi


ketuntasannya. Peserta didik yang belum mencapai KKM wajib mengikuti program
remedial, sedangkan peserta didik yang sudah mencapai KKM dapat diberi program
pengayaan.

Anda mungkin juga menyukai