Anda di halaman 1dari 30

Laporan UKP

Bronkopneumonia

Oleh :

dr. Fadlan Hafizh Harahap

Pendamping :

dr. Yosi Susandri

DOKTER PROGRAM INTERNSHIP


KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA
RSUD Dr. ADNAAN WD PAYAKUMBUH
PERIODE NOVEMBER 2022- NOVEMBER 2023

1
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami ucapkan kehadirat Allah SWT, berkat rahmat dan hidayah-Nya
penulis dapat menyelesaikan laporan UKP (Unit Kesehatan Perorangan) ini dengan judul
“Bronkopneumonia”.
Laporan UKP ini merupakan salah satu syarat dalam mengikuti program Internship
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Kami mengucapkan terima kasih kepada dr. Yosi
Susandri selaku pendamping yang telah memberikan masukan dan bimbingan serta semua
pihak yang telah membantu menyelesaikan laporan UKP ini.
Kami menyadari sepenuhnya bahwa laporan ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh
karena itu kami mengharapkan saran dan kritik untuk menyempurnakan laporan ini. Semoga
laporan ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Payakumbuh, Agustus 2023

Penulis

2
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Infeksi respiratorik akut bawah (IRA-B) menimbulkan angka kesakitan
dan kematian yang cukup tinggi. IRA-B dapat dijumpai dalam berbagai bentuk,
tersering adalah dalam bentuk pneumonia. Pneumonia adalah peradangan yang
mengenai parenkim paru, distal dari bronkiolus terminalis yang mencakup
bronkiolus respiratorius dan alveoli, serta menimbulkan konsolidasi jaringan paru
dan gangguan pertukaran gas setempat.1 Menurut anatomis pneumonia pada anak
dibedakan menjadi pneumonia lobaris, pneumonia interstisialis, dan
bronkopneumonia.2

Bronkopneumonia sebagai penyakit yang menimbulkan gangguan pada


sistem pernafasan, merupakan salah satu bentuk pneumonia yang terletak pada
alveoli paru.3 Bronkopneumonia lebih sering menyerang bayi dan anak kecil. Hal
ini dikarenakan respon imunitas mereka masih belum berkembang dengan baik.
Tercatat bakteri sebagai penyebab tersering bronkopneumonia pada bayi dan anak
adalah Streptococcus pneumoniae dan Haemophilus influenzae.4

Penyakit ini masih merupakan masalah kesehatan yang mencolok


walaupun ada berbagai kemajuan dalam bidang antibiotik. Hal di atas disebabkan
oleh munculnya organisme nosokomial (didapat dari rumah sakit) yang resisten
terhadap antibiotik. Adanya organisme-organisme baru dan penyakit seperti AIDS
(Acquired Immunodeficiency Syndrome) yang semakin memperluas spektrum dan
derajat kemungkinan terjadinya bronkopneumonia ini. Pneumonia hingga saat ini
masih tercatat sebagai masalah kesehatan utama pada anak di Negara berkembang.
Pneumonia merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas anak berusia
dibawah lima tahun (balita).

Diperkirakan hampir seperlima kematian anak di seluruh dunia, lebih


kurang dua juta anak balita, meninggal setiap tahun akibat pneumonia, sebagian
besar terjadi di Afrika dan Asia Tenggara. Menurut survey kesehatan nasional
(SKN) 2001, 27,6% angka kematian bayi dan 22,8% kematian balita di Indonesia
disebabkan oleh penyakit sistem respiratori, terutama pneumonia.5

Pada tahun 2011 didapatkan 480.033 kasus pneumonia pada balita di


3
Indonesia dengan angka kejadian tertinggi pada provinsi Jawa Barat sebesar
39,11%. Pada tahun insiden pneumonia tertinggi pada balita di Indonesia yaitu
sebesar 10.544 kasus. Angka kejadian pneumonia di Sumatera Barat setiap
tahunnya meningkat, terbukti pada tahun 2012 diperkirakan terdapat 48.591 anak
menderita pneumonia sebelumnya, yaitu tahun 2010, insiden pneumonia pada
balita ditemukan lebih tinggi yaitu 499.259 kasus dengan insiden tertinggi pada
provinsi Nusa Tenggara Barat sebesar 64,49% dan Sumatera Barat termasuk
sepuluh provinsi dengan yang didapat dari komunitas dan Kota Padang merupakan
daerah yang memiliki angka kejadian tertinggi yaitu sebesar 8.670 kasus.6,7

1.2. Tujuan Penulisan


Tujuan penulisan referat ini adalah untuk meningkatkan pengetahuan serta
pemahaman penulis dan pembaca mengenai bronkopneumonia.

1.3. Manfaat Penulisan


Referat ini diharapkan dapat menjadi sumber informasi mengenai penyakit
bronkopneumonia.

1.4. Metode Penulisan


Penulisan referat ini menggunakan metode tinjauan pustaka yang merujuk
pada berbagai literatur.

4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Pneumonia adalah inflamasi yang mengenai parenkim paru. Sebagian


besar disebabkan oleh mikroorganismae (virus/bakteri) dan sebagian kecil
disebabkan oleh hal lain seperti aspirasi, radiasi dan lain-lain.5
Bronkopenumonia merupakan radang dari saluran pernapasan yang terjadi pada
bronkus sampai dengan alveolus paru. Bronkopneumonia lebih sering dijumpai
pada anak kecil dan bayi, biasanya sering disebabkan oleh bakteri streptokokus
pneumonia dan Hemofilus influenza yang sering ditemukan pada dua pertiga
dari hasil isolasi.8

2.2 Epidemiologi
Angka kejadian pneumonia di Amerika dan Eropa yang merupakan negara
maju masih tinggi, diperkirakan setiap tahunnya 30-45 kasus per 1000 anak pada
umur kurang dari 5 tahun, 16-20 kasus per 1000 anak pada umur 5-9 tahun, 6-12
kasus per 1000 anak pada umur 9 tahun dan remaja. Selain itu, pneumonia
merupakan penyebab kematian terbesar pada anak terutama di negara
berkembang.9

Sedangkan angka kejadian pneumonia di Indonesia yang merupakan


negara berkembang ialah pada tahun 2011 didapatkan 480.033 kasus pneumonia
pada balita dengan angka kejadian tertinggi pada provinsi Jawa Barat sebesar
39,11%. Pada tahun sebelumnya, yaitu tahun 2010, insiden pneumonia pada balita
ditemukan lebih tinggi yaitu 499.259 kasus dengan insiden tertinggi pada provinsi
Nusa Tenggara Barat sebesar 64,49% dan Sumatera Barat termasuk sepuluh
provinsi dengan insiden pneumonia tertinggi pada balita di Indonesia yaitu sebesar
10.544 kasus.6

Angka kejadian pneumonia di Sumatera Barat setiap tahunnya meningkat,


terbukti pada tahun 2012 diperkirakan terdapat 48.591 anak menderita pneumonia
yang didapat dari komunitas dan Kota Padang merupakan daerah yang memiliki
angka kejadian tertinggi yaitu sebesar 8.670 kasus.6,7

5
Pada bayi ditemukan Staphylococcus aureus sebagai penyebab pneumonia
berat, serius dan sangat progresif dengan mortalitas tinggi.2 Pneumonia yang
disebabkan oleh infeksi Respiratory Syncytial Virus (RSV) didapatkan sebanyak
40%.9 Pada penelitian yang dilakukan oleh Yudhi Kurniawan selama tahun 2010
ditemukan pneumonia anak lebih banyak pada anak laki-laki dan berusia 0-1
tahun.10

2.3 Etiologi
Sebagian besar pneumonia disebabkan oleh infeksi mikroorganisme (virus,
bakteri, jamur, parasit) dan sebagain kecil disebabkan oleh hal lain, seperti aspirasi
makanan dan asam lambung, benda asing, senyawa hidrokarbon, reaksi
hipersensitivitas, dan drug-or-radiation induced pneumonitis.

Usia pasien merupakan faktor yang memegang peranan penting pada


perbedaan dan kekhasan penumonia anak terutama dalam spektrum etiologi,
gambaran klinis, dan strategi pengobatan.5

Pada neonatus sering terjadi pneumonia akibat transmisi vertikal ibu —


anak yang berhubungan dengan proses persalinan. Infeksi terjadi akibat
kontaminasi dengan sumber infeksi dari ibu, misalnya melalui aspirasi mekoneum,
cairan amnion, atau dari serviks ibu. Spektrum mikroorganisme penyebab pada
neonatus dan bayi kecil meliputi Streptococcus group B, Chlamydia trachomatis,
dan bakteri Gram negatif seperti E. coli, Pseudomonas sp, atau Klebsiella sp.
disamping bakteri utama penyebab pneumonia yaitu Streptococcus pneumoniae.
Infeksi oleh Chlamydia trachomatis akibat transmisi dari ibu selama proses
persalinan sering terjadi pada bayi di bawah 2 bulan. Penularan transplasenta juga
dapat terjadi dengan mikroorganisme Toksoplasma, Rubela, virus Sitomegalo, dan
virus Herpes simpleks (TORCH), Varisela zoster, dan Listeria monocytogenes.

Pada bayi yang lebih besar dan anak balita, pneumonia lebih sering
disebabkan oleh infeksi Streptococcus pneumoniae, Haemophillus influenzae tipe
B, dan Staphylococcus aureus, sedangkan pada anak yang lebih besar dan remaja,
selain bakteri tersebut, sering juga ditemukan infeksi Mycoplasma pneumoniae.5,8

6
Di negara maju, pneumonia pada anak terutama disebabkan oleh virus, di
samping bakteri, atau campuran bakteri dan virus. Virkki dkk. melakukan
penelitian pada pneumonia anak dan menemukan etiologi virus saja sebanyak 32%,
campuran bakteri dan virus 30%, dan bakteri saja 22%. Virus yang terbanyak
menyebabkan pneumonia antara lain adalah Respiratory Synctial Virus (RSV),
Rhinoνirus, dan virus Parainfluenzae. Bakteri yang terbanyak adalah Streptococcus
pneumoniae, Haemophillus influenzae tipe B, dan Mycoplasma pneumoniae.
Kelompok anak berusia 2 tahun ke atas mempunyai etiologi infeksi bakteri yang
lebih banyak dibandingkan dengan anak berusia di bawah 2 tahun. Namun, secara
klinis umumnya pneumonia bakteri sulit dibedakan dengan pneumonia virus.

2.4 Faktor Resiko


Orang Terdapat berbagai faktor risiko yang menyebabkan tingginya angka
mortalitas pneumonia pada anak balita di negara berkembang. Faktor risiko
tersebut yaitu :

1. Umur

Anak-anak yang berusia 0-24 bulan lebih rentan terhadap penyakit


pneumonia dibanding anak-anak yang berusia diatas 2 tahun karena
imunitas yang belum sempurna dan saluran pernapasan yang cukup
sempit.3

2. Jenis Kelamin

Anak laki-laki mempunyai risiko pneumonia sebesar 1,5 kali


dibandingkan dengan perempuan karena diameter saluran
pernapasan anak laki-laki lebih kecil dibandingkan dengan anak
perempuan atau adanya perbedaan dalam daya tahan tubuh antara anak
laki-laki dan perempuan.13

3. Berat badan lahir

Bayi dengan berat badan lahir rendah (BBLR) mempunyai risiko


kematian yang lebih besar dibandingkan dengan berat badan lahir
normal terutama pada bulan-bulan pertama kelahiran karena
pembentukan zat anti kekebalan kurang sempurna sehingga lebih

7
mudah terkena penyakit infeksi, terutama pneumonia dan penyakit
saluran napas lainnya.14

4. Imunisasi yang tidak lengkap

Sebagian besar tingkat kematian yang disebabkan oleh ISPA berasal


dari jenis ISPA yang berkembang dari penyakit yang dapat dicegah
dengan imunisasi seperti difteri, pertusis dan campak. Peningkatan
cakupan imunisasi akan berperan besar dalam upaya pemberantasan
ISPA, salah satunya pneumonia. Bayi dan balita yang mempunyai
status imunisasi lengkap bila menderita ISPA dapat diharapkan
perkembangan penyakitnya tidak akan menjadi lebih berat.14

5. Tidak mendapat ASI yang adekuat

Air Susu Ibu (ASI) mengandung nutrisi, antioksidan, hormon dan


antibodi yang dibutuhkan oleh anak untuk bertahan dan berkembang
serta sebagai sistem kekebalan tubuh anak yang baik. Apabila anak
tidak mendapatkan ASI yang adekuat maka tubuhnya rentan terkena
infeksi, salah satunya pneumonia.15

6. Status gizi

Anak-anak dengan gizi buruk mempunyai risiko pneumonia sebesar


2,6 kali dibanding dengan anak yang mempunyai gizi baik.
Kekurangan gizi akan menurunkan kapasitas kekebalan untuk
merespon infeksi pneumonia termasuk gangguan fungsi granulosit,
penurunan fungsi komplemen dan menyebabkan kekurangan
mikroprotein.13

7. Defisiensi vitamin A

Hasil penelitian di Sumatera Selatan menggambarkan bahwa balita


yang tidak mendapatkan vitamin A dosis tinggi lengkap mempunyai
peluang 3,8 kali terkena pneumonia dibanding anak yang mempunyai
riwayat pemberian vitamin A dosis tinggi lengkap. Pemberian
vitamin A berperan sebagai proteksi melawan infeksi dengan
memelihara integritas epitel/fungsi barrier, kekebalan tubuh serta
mengatur pengembangan dan fungsi paru.16
8
8. Immunocompromised

Anak-anak dengan penurunan daya tahan tubuh memiliki risiko lebih


tinggi terkena pneumonia. Penyakit HIV dan campak yang sudah ada
sebelumnya bisa meningkatkan risiko anak tertular pneumonia.18

9. Tingginya pajanan terhadap polusi udara

Anak-anak yang terpapar asap rokok atau asap kayu kompor dan anak-
anak dari tingkat sosial ekonomi rendah memiliki insiden yang lebih
tinggi terkena pneumonia. Pada penelitian yang dilakukan oleh Niessen
dkk (2009), ditemukan cara untuk mengurangi polusi udara dalam
ruangan yaitu beralih ke bahan bakar gas (bahan bakar gas cair,
minyak tanah atau etanol) dalam rumah tangga atau kompor biomassa
dan meningkatkan ventilasi didalam rumah. Dengan menggunakan
intervensi ini dapat mengurangi kejadian pneumonia sebesar 22-46%.19

10. Kepadatan Hunian

Semakin banyak penghuni rumah berkumpul dalam suatu ruangan


kemungkinan mendapatkan risiko untuk terjadinya penularan penyakit
akan lebih mudah, khususnya bayi yang relatif lebih rentan terhadap
penularan penyakit. Anak balita yang tinggal di rumah dengan tingkat
hunian padat mempunyai risiko pneumonia 2,7 kali lebih besar
dibandingkan anak balita yang tinggal di rumah dengan tingkat hunian
tidak padat.20

11. Ventilasi udara rumah

Ventilasi mempunyai fungsi sebagai sarana sirkulasi udara segar


masuk ke dalam rumah dan udara kotor keluar rumah. Rumah yang
tidak dilengkapi sarana ventilasi akan menyebabkan suplai udara segar
dalam rumah menjadi sangat minimal. Kecukupan suplai udara akan
berpengaruh pada fungsi fisiologis alat pernapasan bagi penghuninya,
terutama bagi bayi dan balita. Balita yang menghuni rumah dengan
ventilasi yang tidak baik mempunyai peluang untuk terjadinya
pneumonia sebesar 4,2 kali dibandingkan dengan balita yang menghuni
rumah dengan ventilasi yang baik.21

9
2.5 Patofisiologi
Pneumonia anak biasanya diawali dengan kolonisasi di nasofaring yang berlanjut
menjadi infeksi saluran pernapasan bagian bawah. Streptococcus pneumoniae sering
ditemukan sebagai bakteri komensal di nasofaring manusia. Penelitian di Lombok
memperlihatkan pada usap tenggorok anak usia kurang dari 2 tahun ditemukan
S.pneumoniae pada 48% anak yang diteliti.17

Organisme yang menyebabkan infeksi saluran nafas bagian bawah biasanya


ditularkan secara langsung melalui droplet atau secara tidak langsung melalui fomites
yang terkontaminasi. Umumnya mikroorganisme penyebab terhisap ke paru bagian
perifer melalui saluran respiratori. Mula-mula terjadi edema akibat reaksi jaringan yang
mempermudah proliferasi dan penyebaran kuman ke jaringan sekitarnya. Bagian paru
yang terkena mengalami konsolidasi, yaitu terjadi serbukan sel PMN, fibrin, eritrosit,
cairan edema, dan ditemukannya kuman di alveoli. Stadium ini disebut stadium hepatisasi
merah. Selanjutnya deposit fibrin semakin bertambah, terdapat fibrin dan leukosit PMN di
alveoli dan terjadi proses fagositosis yang cepat. Stadium ini disebut stadium hepatisasi
kelabu. Selanjutnya jumlah makrofag meningkat di alveoli, sel akan mengalami
degenerasi, fibrin menipis, kuman dan debris menghilang. Stadium ini disebut stadium
resolusi. Sistem bronkopulmoner jaringan paru yang tidak terkena akan tetap normal.5

Beberapa bakteri sering menimbulkan gambaran patologis tertentu bila


dibandingkan dengan bakteri lain. Infeksi Streptococcus pneumoniae biasanya
bermanifestasi sebagai bercak-bercak konsolidasi merata di seluruh lapangan paru
(bronkopneumonia), dan pada anak besar atau remaja dapat berupa konsolidasi pada satu
lobus (pneumonia lobaris). Pneumotokel atau abses-abses kecil sering disebabkan oleh
Staphylococcus aureus pada neonatus atau bayi, karena Staphylococcus aureus
menghasilkan berbagai toksin dan enzim seperti hemolisin, lekosidin, stafilokinase dan
koagulase. Toksin dan enzim ini menyebabkan nekrosis, perdarahan dan kavitasi.
Koagulase berinteraksi dengan faktor plasma dan menghasilkan bahan aktif yang
mengkonversi fibrinogen menjadi fibrin, sehingga terjadi eksudat fibrinopurulen.
Terdapat korelasi antara produksi koagulase dan virulensi kuman. Staphylococcus yang
tidak menghasilkan koagulase jarang menimbulkan penyakit yang serius.5

2.6 Manifestasi Klinis


Sebagian besar gambaran klinis pneumonia pada anak berkisar dari ringan
hingga sedang. Hanya sebagian kecil yang berat, mengancam kehidupan, dan
mungkin terjadi komplikasi sehingga perlu dirawat. Beberapa faktor yang
mempengaruhi gambaran klinis pada anak adalah imaturitas anatomik dan
10
imunologik, mikroorganisme penyebab yang luas, gejala klinis yang tidak khas
terutama pada bayi, terbatasnya penggunaan prosedur diagnostik invasif, etiologi
noninfeksi yang relatif lebih sering, dan faktor patogenesis.
Gambaran klinis pneumonia pada bayi dan anak bergantung berat
ringannya infeksi, tetapi secara umum adalah sebagai berikut:
Gambaran infeksi umum :
• demam: suhu bisa mencapai 39 — 40 oC
• sakit kepala
• gelisah
• malaise
• penurunan nafsu makan
• keluhan gastrointestinal, seperti mual, muntah, atau diare
• kadang — kadang ditemukan gejala infeksi ekstrapulmoner

Gambaran gangguan respiratori :


• batuk yang awalnya kering kemudian menjadi produktif
• sesak nafas
• retraksi dada
• takipnea
• napas cuping hidung
• penggunaan otat pernafasan tambahan
• merintih
• sianosis
Bronkopneumonia biasanya di dahului oleh infeksi saluran nafas bagian
atas selama beberapa hari. Batuk mungkin tidak dijumpai pada anak — anak. Bila
terdapat batuk, batuk berawal kering lalu berdahak. Pada pemeriksaan fisik dapat
ditemukan tanda klinis seperti vokal fremitus yang meningkat pada daerah
terkena, pekak perkusi atau perkusi yang redup pada daerah yang terkena, suara
napas melemah, suara napas bronkial, dan ronki. Akan tetapi pada neonatus dan
bayi kecil, gejala dan tanda pnuemonia lebih beragam dan tidak selalu terlihat
jelas. Pada perkusi dan auskultasi paru umumnya tidak ditemukan kelainan.5

11
2.7. Diagnosis
Diagnosis pneumonia dilakukan dengan berbagai cara. Pertama dengan
anamnesa dan pemeriksaan fisik secara umum. Setelah itu ada pula pemeriksaan
penunjang seperti rontgen paru dan pemeriksaan darah. Faktor usia juga ikut
menentukan dugaan pola kuman penyebabnya serta gejala klinis yang didapatkan
dari anamnesa dan pemeriksaan fisik.9
Gambaran klinis pada anak penderita pneumonia yang didapatkan dari
anamnesa adalah batuk dengan dahak mukoid atau purulen kadang-kadang disertai
darah, demam, sesak napas dan nyeri dada. Sedangkan dari pemeriksaan fisik pada
inspeksi terlihat takipnea dan adanya retraksi dinding dada. Pada palpasi fremitus
dapat mengeras, pada perkusi redup, dan pada auskultasi terdengar suara napas
(bronkovesikuler) sampai bronkial, dapat disertai ronkhi basah halus, yang
kemudian menjadi ronkhi basah kasar pada stadium resolusi.22
Frekuensi pernapasan anak untuk mengidentifikasi pneumonia menurut
WHO sebagai berikut :
a. Anak umur < 2 bulan : ≥ 60 kali/menit
b. Anak umur 2-11 bulan : ≥ 50 kali/menit
c. Anak umur 12-59 bulan : ≥ 40 kali/menit (WHO, 2013)
2.7.1 Pemeriksaan penunjang
2.7.1.1 Darah Perifer Lengkap
Pada pneumonia virus dan mikoplasma, umumnya ditemukan leukosit
dalam batas normal atau sedikit meningkat. Akan tetapi pada pneumonia bakteri
didapatkan leukositosis yang berkisar antara 15.000 - 40.000 / mm3 dengan
predominan PMN. Leukopenia ( < 5.000 / mm3 ) menunjukkan prognosis yang
buruk. Leukositosis hebat hampir selalu menunjukkan adanya infeksi bakteri
sering ditemukan pada keadaan bakteremi, dan risiko terjadinya komplikasi lebih
tinggi. Pada infeksi Clamydia pneumoniae kadang-kadang ditemukan eosinofilia.
Efusi pleura merupakan cairan eksudat dengan sel PMN berkisar antara 300 -
100.000 / mm3, protein > 2,5 g/dL, dan glukosa relatif lebih rendah dibandingkan
glukosa darah. Kadang — kadang terdapat anemia ringan dan laju endap darah
(LED) yang meningkat. Trombositopeni dapat ditemukan pada 90% penderita
pneumonia dengan empiema. Secara umum hasil pemeriksaan darah perifer tidak
dapat membedakan antara infeksi virus dan infeksi bakteri secara pasti.5

12
2.7.2 C-Reactive Protein dan LED
CRP adalah suatu protein fase akut yang disintesis oleh hepatosit. Sebagai
respon infeksi atau inflamasi jaringan, produksi CRP secara cepat distimulasi oleh
sitokin, terutama IL — 6, IL — 1, dan TNF. Meskipun fungsinya belum diketahui,
CRP sangat mungkin berperan dalam opsonisasi mikroorganisme atau sel yang
rusak. Secara klinis CRP digunakan sebagai alat diagnostik untuk membedakan
antara faktor infeksi dan non infeksi, infeksi virus dan bakteri, atau infeksi bakteri
superfisialis dan profunda, dimana kadar CRP biasanya lebih rendah pada infeksi
virus dan infeksi bakteri superfisialis dibandingkan infesksi bakteri profunda.5
2.7.3 Pemeriksaan Foto Thoraks
Foto toraks dengan proyeksi antero — posterior merupakan dasar
diagnosis untuk pneumonia. Foto lateral dilakukan bila diperlukan informasi
tambahan, misalnya efusi pleura. Kelainan foto toraks pada pneumonia tidak
selalu berhubungan dengan gambaran klinis. Kadang — kadang bercak — bercak
sudah ditemukan pada gambaran radiologis sebelum timbul gejala klinis. Akan
tetapi, resolusi infiltrat sering memerlukan waktu yang lebih lama setelah gejala
klinis menghilang. Pada pasien dengan pneumonia tanpa komplikasi, ulangan foto
rontgen tidak diperlukan. Ulangan foto rontgen toraks diperlukan bila gejala klinis
menetap, penyakit memburuk, atau untuk tidak lanjut. Secara umum gambaran
foto toraks terdiri dari: 5
• Pneumonia / infiltrat interstisial: ditandai dengan peningkatan corakan
bronkovaskular, peribronchial cuffing, dan hiperaerasi. Biasanya
disebabkan oleh virus atau Mycoplasma. Bila berat dapat terjadi patchy
consolidation karena atelektasis
• Infiltrat alveolal : merupakan konsolidasi paru dengan air bronchogram.
Konsolidasi dapat mengenai satu lobus disebut dengan pneumonia lobaris,
atau terlihat sebagai lesi tunggal yang biasanya cukup besar, berbentuk
sferis, berbatas yang tidak terlalu tegas, dan menyerupai lesi tumor paru,
dikenal sebagai round pneumonia. Biasanya disebabkan oleh bakteri
pnuemokokus atau bakteri lain.
• Bronkopneumonia : ditandai dengan gambaran difus merata pada kedua
paru, berupa bercak — bercak infiltrat halus yang dapat meluas hingga
daerah perifer paru, disertai dengan peningkatan corakan peribronkial.

13
Gambar 2.3 Perbedaan Bronkopneumonia dan Pneumonia Lobaris
Gambaran foto rontgen toraks pada anak meliputi infiltrat ringan pada satu
paru hingga konsolidasi luas pada kedua paru. Pada suatu penelitian ditemukan
pneumonia pada anak terbanyakk di paru kanan, terutama lobus atas. Bila
ditemukan di lobus kiri, dan terbanyak di lobus bawah, maka hal tersebut
merupakan prediktor perjalanan penyakit yang lebih berat dengan risiko terjadinya
pleuritis lebih meningkat.5
Gambaran foto toraks pada pneumonia dapat membantu mengarahkan
kecenderungan etiologi pneumonia. Penebalan peribronkial, infiltrat interstisial
merata, dan hiperinflasi cenderung terlihat pada pneumonia virus. Infiltrat alveolar
berupa konsolidasi segmen atau lobar, bronkopnumonia, dan air bronchogram
sangat mungkin disebabkan oleh bakteri. Pada pneumonia Stafilokokus sering
ditemukan abses — abses kecil dan pneumoatokel dengan berbagai ukuran.5
Gambaran foto toraks pada pneumonia Mikoplasma sangat bervariasi,
pada beberapa kasus terlihat sangat mirip dengan gambaran foto rontgen toraks
pneumonia virus. Selain itu, dapat juga ditemukan gambaran bronkopneumonia
terutama di lobus bawah, inflitrat interstisial retikulonodular bilateral, dan yang
jarang adalah konsolidasi segmen atau subsegmen. Biasanya gambaran foto toraks
yang jauh lebih berat dibandingkan gejala klinis. Meskipun tidak terdapat
gambaran foto toraks yang khas, tetapi bila ditemukan gambaran retikulonodular
fokal pada satu lobus, hal ini cenderung disebabkan oleh infeksi Mikoplasma.
Demikian pula bila ditemukan gambaran perkabutan atau ground-glass
14
consolidation, serta transient pseudoconsolidation.5
2.7.4 Pemeriksaan Mikrobiologis
Pemeriksaan mikrobiologis untuk diagnosis pneumonia anak tidak rutin
dilakukan kecuali pada pneumonia berat yang dirawat di RS. Untuk pemeriksaan
mikrobiologik, spesimen dapat berasal dari usap tenggorok, sekret nasofaring,
bilasan bronkus, darah, pungsi pleura, atau aspirasi paru. Pemeriksaan sputum
kurang berguna. Diagnosis dikatakan definitif apabila kuman ditemukan dalam
darah, cairan pleura, atau aspirasi paru, kecuali pada masa neonatus, dimana
kejadian bakteremia sangat rendah sehingga kultur darah jarang positif. 5
2.7.5 Uji Serologis
Uji serologis untuk mendeteksi antigen dan antibodi pada infeksi bakteri
tipik mempunyai sensitivitas yang rendah dan secara umum tidak terlalu
bermanfaat dalam mendiagnosis infeksi bakteri atipik. 5
2.8 Diagnosis Banding
1. Pneumonia lobaris
Biasanya pada anak yang lebih besar disertai badan menggigil dan
kejang pada bayi kecil. Suhu naik cepat sampai 39 — 40 oC dan
biasanya tipe kontinua. Terdapat sesak nafas, nafas cuping hidung,
sianosis sekitar hidung dan mulut dan nyeri dada. Anak lebih suka tidur
pada sisi yang terkena. Pada foto rotgen terlihat adanya konsolidasi
pada satu atau beberapa lobus.24
2. Bronkioloitis
Diawali infeksi saluran nafas bagian atas, subfebris, sesak nafas, nafas
cuping hidung, retraksi intercostal dan suprasternal, terdengar
wheezing, ronki nyaring halus pada auskultasi. Gambaran labarotorium
dalam batas normal, kimia darah menggambarkan asidosis respiratotik
ataupun metabolik.24
3. Aspirasi benda asing
Ada riwayat tersedak, stridor atau distress pernapasan tiba — tiba,
wheezing atau suara pernapasan yang menurun yang bersifat fokal.24
4. Tuberkulosis
Pada TB, terdapat kontak dengan pasien TB dewasa, uji tuberkulin
positif ( > 10 mm atau pada keadaan imunosupresi > 5 mm ), demam 2
15
minggu atau lebih, batuk 2 minggu atau lebih, pertumbuhan
buruk/kurus atau berat badan menurun, pembengkakan kelenjar limfe
leher, aksila, inguinal yang spesifik, pembengkakan tulang/sendi
punggung, panggulm lutut, dan falang, dan dapat disertai nafsu makan
menurun dan malaise yang dapat ditegakkan melalui skor TB.24
5. Atelektasis
Adalah pengembangan tidak sempurna atau kempisnya bagian paru
yang seharusnya mengandung udara. Dispnoe dengan pola pernafasan
cepat dan dangkal, takikardia, sianosis. Perkusi mungkin batas jantung
dan mediastinum akan bergeser dan letak diafragma mungkin
meninggi.24
2.9 Penatalaksanaan
2.9.1 Tatalaksana Umum
• Pemberian Oksigen dengan target saturasi > 92%
• Pada pneumonia berat atau asupan oral kurang balance cairan ketat
• Analgetik-antipiretik dapat diberikan untuk menjaga kenyamanan
pasien dan mengontrol batuk
• Nebulisasi dengan B2 Agonis dan / atau NaCl dapat diberikan untuk
memperbaiki mucocilliary clearance25
2.9.2 Pemberian Antibiotik
• Amoksisilin menjadi pilihan pertama untuk antibiotik oral jika
curiga S. Pneumoniae yang menjadi patogen dan diberikan pada
anak <5 tahun karena efektif melawan sebagian besar patogen yang
menyebabkan pneumonia pada anak, ditoleransi dengan baik dan
murah. Alternatifnya adalah co-Amoxiclaν, ceflacor, eritromisin,
claritromisin dan azitromisin.
• Makrolid diberikan jika curiga disebabkan oleh M. Pneumonia atau
C. Pneumonia. Dan diberikan sebagai pilihan utama secara empiris
padaanak usia > 5 tahun.
• Makrolid atau flucloxacillin + amoksisilin diberikan jika
disebabkan oleh S. Aureus
• Antibiotik intravena diberikan jika pasien tidak dapat menerima
obat oral (misal karena muntah) atau termasuk pneumonia berat.

16
Antibiotik intravena : ampisilin dan kloramfenikol, co-amoxiclaν,
ceftriakson, cefuroksim, cefotaksim.25
2.10 Komplikasi
Komplikasi pneumonia pada anak meliputi empyema torasis, purulenta,
pneumotoraks, abses paru, dan gagal napas akut. Selain itu, dapat terjadi infeksi
ekstrapulmonal seperti meningitis, abses sistem saraf pusat, perikarditis,
endokarditis, dan osteomielitis. Sepsis dan sindrom hemolitik uremik dapat terjadi
sebagai komplikasi sistemik. Efusi dan empiema merupakan komplikasi tersering
yang terjadi pada pneumonia.5

17
BAB III
LAPORAN KASUS
IDENTITAS
Nama : An.AQC
No.MR : 17.91.95
Umur : 1 tahun 6 bulan
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Balai Rupi, Simalanggang

ANAMNESIS
Seorang anak perempuan berusia 1 tahun 6 bulan masuk ke IGD RSUD Adnan WD
Payakumbuh dengan :
Keluhan utama : Sesak nafas sejak 12 jam SMRS
Riwayat Penyakit Sekarang
• Sesak nafas memberat sejak 12 jam SMRS, keluhan sudah dirasakan sejak 2 hari SMRS.
Sesak nafas tidak menciut, tidak dipengaruhi makanan maupun cuaca.
• Demam sejak 5 hari SMRS. Demam dirasakan naik turun. Demam dirasakan naik tinggi
saat malam hari. Turun dengan penurun panas dari puskesmas namun naik kembali saat
obat habis
• Batuk berdahak dirasakan sejak 5 hari SMRS, berwarna dahak berwarna kuning
kehijauan
• Mual dan muntah dirasakan sesekali jika OS batuk berat
• BAB tidak ada keluhan
• BAK tidak ada keluhan
Riwayat Penyakit Dahulu :
• Riwayat kejang demam tidak ada
• Riwayaat penyakit kongenital tidak ada
Riwayat Penyakit Keluarga:
• Riwayat asma pada keluarga tidak ada.
• Riwayat penyakit TB pada keluarga tidak ada.

Riwayat Kehamilan:
• Anak lahir cukup bulan, lahir normal di puskesmas, BB 2600mg, PB 49cm, menangis
spontan
18
Riwayat Imunisasi:
• Imunisasi dasar hanya saat lahir

Riwayat Tumbuh-Kembang:
• Anak tumbuh sesuai dengan usia nya, tidak berbeda dengan teman sebayanya.

3.3. PEMERIKSAAN FISIK (20-06- 2023)


Keadaan umum : sakit sedang
Kesadaran : sadar
Frekuensi nadi : 130x/menit
Frekuensi napas : 48x/menit
Suhu : 38ºC
BB : 12 kg
TB : 79 cm
SpO2 : 91% free air
Ikterus : tidak ada
Anemia : tidak ada
Sianosis : tidak ada
Kulit : teraba hangat, turgor kulit perut kembali lambat
Kelenjar getah bening : tidak teraba pembesaran kelenjar getah bening
Kepala : bulat, simetris, ubun ubun besar datar
Rambut : hitam, tidak mudah rontok
Mata : konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik, pupil isokor,
Ø 3 mm, reflek cahaya +/+.
Telinga : tidak ada keluar cairan dari telinga
Hidung : napas cuping hidung (+), tidak nampak sekret.
Tenggorok : hiperemis (-)
Gigi dan mulut : bibir sianosis (-)
Leher : kaku kuduk tidak ada, JVP 5+0 cmH2O
Toraks : normochest
Paru :
Inspeksi : retraksi intercosta (+), retraksi epigastrium (+)
Palpasi : fremitus kanan= kiri
Perkusi : sonor

19
Auskultasi : ekspirasi memanjang, ronkhi+/+, wheezing -/-
Jantung:
Inspeksi : iktus kordis tidak terlihat
Palpasi : iktus kordis teraba di LMCS RIC V
Perkusi : batas jantung normal
Auskultasi : irama reguler, murmur (-)
Abdomen:
Inspeksi : distensi tidak ada
Palpasi : supel, hepar dan lien tidak teraba , NT (-), turgor kembali cepat
Perkusi : timpani
Auskultasi : bising usus positif normal
Punggung : tidak ada kelainan
Genitalia : tidak diperiksa
Anggota gerak : akral hangat, CRT < 2 detik, sianosis (-)

PEMERIKSAAN LABORATORIUM (20-06-2023)


Jenis Pemeriksaan Hasil Pemeriksaan
Hb : 11,8 gram/dl
Leukosit : 12.200/mm3
Hematokrit :34 %
Trombosit : 366.000/mm3
GDR : 110
Antigen SARS-COV2 : non reaktif

Kesan : Leukositosis

20
PEMERIKSAAN RADIOLOGI
Rontgen Thorax :

Kesan: Infiltrat pada kedua lapang paru, kesan bronkopneumonia

DIAGNOSIS
Dyspnoe ec. Bronkopneumonia + Acute bacterial infection

TATALAKSANA
Terapi IGD

O2 via NC 3lpm
IVFD KaEN1B 15 tpm mikro
Inj Dexametason 6mg iv
Inf Paracetamol 130mg iv
Nebulisasi Ventolin 1 resp

21
Terapi Rawatan

Rawat HCU anak


O2 NC 3 LPM
IVFD KaEN1B 15 tpm makro
Inj. Ceftriaxone 2x600mg i.v
Inj. Dexametason i.v bolus 6mg → selanjutnya 3x2mg
Inf Paracetamol 4x120mg
Ambroxol 3x6mg pulv p.o
Salbutamol 3x1,2mg pulv p.o
Nebulisasi Ventolin 3x1resp
Diet makanan lunak 1000Kcal

PROGNOSIS
Quo ad vitam : Bonam
Quo ad sanam : Dubia ad bonam
Quo ad fungsionam : Dubia ad bonam

22
Follow Up
21/06/2023 S/ Sesak nafas (+) berkurang
Rawatan h-2 Demam (+)
Batuk (+)

O/
Ku Kes TD HR RR T
sdg CM 100/70mmHg 127 x/i 40x/i 37.9C
GCS E4M6V5: 15
SpO2: 98% NC 3LPM
Pupil isokor diameter 3 mm/3mm, Reflek
cahaya langsung +/+, reflek cahaya tidak
langsung +/+,
Thoraks: retraksi epigastrium (+), ronki (+/+)
Ext : CRT < 2 detik, akral hangat, sianosis (-)

A/ Bronkopneumonia

O2 NC 3 LPM
P/ IVFD KaEN1B 15 tpm makro
Inj. Ceftriaxone 2x600mg i.v
Inj. Dexametason i.v 3x2mg
Inf Paracetamol 4x120mg
Ambroxol 3x6mg pulv p.o
Salbutamol 3x1,2mg pulv p.o
Nebulisasi Ventolin 3x1resp
Diet makanan lunak 1000Kcal

22/01/2023 S/ Sesak nafas (+) berkurang


Rawatan h-3 Demam (+)
Batuk (+)
Perut kembung (+)

O/ Ku Kes TD HR RR T
sdg CM 100/70mmHg 110 x/i 42x/i 37.8C
GCS E4M6V5: 15
SpO2: 98% NC 3LPM
Pupil isokor diameter 3 mm/3mm, Reflek
cahaya langsung +/+, reflek cahaya tidak
langsung +/+,
Thoraks: retraksi epigastrium (-), ronki (+/+)
Abdomen: distensi (+), BU (+) meningkat
Ext : CRT < 2 detik, akral hangat, sianosis (-)

A/ Bronkopneumonia
Perbaikan minimal
P/
O2 NC 3 LPM
IVFD KaEN1B 15 tpm makro
Inj. Ceftriaxone 2x600mg i.v
Inj. Dexametason i.v 3x2mg
23
Inf Paracetamol 4x120mg
Ambroxol 3x6mg pulv p.o
Salbutamol 3x1,2mg pulv p.o
Nebulisasi Ventolin 3x1resp
Diet makanan lunak 1000Kcal
Dulcolax Ped 5mg Supp ekstra

23/06/2023 S/ Sesak nafas sesekali


Rawatan hari Demam (+)
ke -4 Batuk (+)
BAB BAK dbn

O/ Ku Kes TD HR RR T
sdg CM 110/76mmHg 127 x/i 40x/i 37.7C
GCS E4M6V5: 15
SpO2: 99% NC 3LPM
Pupil isokor diameter 3 mm/3mm
Thoraks: retraksi epigastrium (-), ronki (+/+)
Abdomen: distensi (-), BU (+) normal
Ext : CRT < 2 detik, akral hangat, sianosis (-)
A/
Bronkopneumonia
Perbaikan
P/
O2 NC 3 LPM
IVFD KaEN1B 6 tpm makro
Inj. Ceftriaxone 2x600mg i.v
Inj. Dexametason i.v 3x2mg
Inf Paracetamol 4x120mg
Ambroxol 3x6mg pulv p.o
Salbutamol 3x1,2mg pulv p.o
Diet makanan lunak 1000Kcal
Nebulisasi Combiven 3x1resp
Pindah ruang biasa

24/01/2023 S/ Sesak nafas (-)


Rawatan hari Demam (-)
ke -5 Batuk (+)
BAB BAK dbn

Ku Kes TD HR RR T
O/ sdg CM 105/77mmHg 130 x/i 37x/i 37.3C
GCS E4M6V5: 15
SpO2: 98-99% free air
Pupil isokor diameter 3 mm/3mm
Thoraks: retraksi epigastrium (-), ronki (-/-)
Abdomen: distensi (-), BU (+) normal
Ext : CRT < 2 detik, akral hangat, sianosis (-)

A/ Bronkopneumonia

O2 NC 3 LPM
24
IVFD KaEN1B 6 tpm makro
P/ Inj. Ceftriaxone 2x600mg i.v
Inj. Dexametason i.v 3x2mg
Inf Paracetamol 4x120mg
Ambroxol 3x6mg pulv p.o
Salbutamol 3x1,2mg pulv p.o
Diet makanan lunak 1000Kcal
Nebulisasi Combiven 3x1resp
Rencana pulang besok
25/01/2023 S/ Sesak nafas (-)
Rawatan hari Demam (-)
ke -6 Batuk (+)
BAB BAK dbn
O/
Ku Kes TD HR RR T
sdg CM 105/77mmHg 130 x/i 38x/i 37C
GCS E4M6V5: 15
SpO2: 98-99% free air
Pupil isokor diameter 3 mm/3mm
Thoraks: retraksi epigastrium (-), ronki (-/-)
Abdomen: distensi (-), BU (+) normal
Ext : CRT < 2 detik, akral hangat, sianosis (-)

A/ Bronkopneumonia

P/
Obat Pulang:
Cefixim syr 2x2,5cc p.o
Prednison 3x4mg pulv (3 hari) p.o
Ambroxol 3x6mg pulv p.o
Salbutamol 3x1mg pulv p.o
Kontrol ke poli anak 1 minggu lagi

25
BAB IV
DISKUSI
Pasien perempuan usia 9 tahun datang ke IGD RSUD Adnaan WD dengan keluhan sesak
nafas memberat sejak 12 jam SMRS. Keluhan dialami sejak 2 hari SMRS. Sesak terus
menerus, tidak menciut, tidak dipengaruhi aktivitas, cuaca maupun makanan. Demam dialami
sejak 5 hari SMRS dan turun naik, naik terutama saat malam hari, tidak menggigil, tidak
berkeringat serta tidak disertai kejang. Diagnosis awal ditegakkan berdasarkan anamnesis
dan pemeriksaan fisik. Pada anamnesis juga didapatkan bahwa pasien batuk berdahak sejak 5
hari SMRS, dahak yang dikeluarkan berwarna kuning kehijaua yang mengindikasikan infeksi
pada saluran nafas.
Sesak napas merupakan persaan sulit bernapas dan merupakan gejala utama dari penyakit
kardiopulmoner.3 Pada pemeriksaan fisik juga ditemukan tanda-tanda sesak napas seperti
frekuensi napas cepat 48x/menit, dimana pada anak usia 12-59 bulan dikatakan napas cepat
jika >40 x/menit, serta pada pasien juga ditemukan retraksi dinding dada ke dalam. Batuk
merupakan refleks pertahanan tubuh yang timbul akibat iritasi percabangan trakeobronkial.
Rangsangan yang biasanya menimbulkan batuk adalah rangsangan mekanik, kimia dan
peradangan.3
Pada anak yang menderita batuk atau sukar bernapas dengan ditemukan gejala tarikan
dinding dada ke dalam, di klasifikasikan ke dalam pneumonia berat.23 Hal ini semakin
dikuatkan dengan hasil foto thoraks pasien yaitu gambaran infiltrat di kedua paru, kesan
bronkopneumonia. Penatalaksanaan yang diberikan pada pneumonia berat ialah pemberian
Oksigen 2-3 L/menit dan pemberian antibiotik. Pilihan antibiotik yang diberikan kepada pasien
ini adalah ceftriaxon iv. Pada pasien diberikan ceftriaxone 2x600mg iv (dosis 50-
80mg/kg/hari). Selain itu pada pasien diberi terapi simtomatis seperti parasetamol inf 3x120
mg (dosis 10-15 mg/kg/kali) sebagai antipiretik, deksametason iv 3x2mg sebagai antiinflamasi,
salbutamol 3x1mg sebagai bronkodilator, dan ambroxol p.o 3x6mg (dosis 0,5 mg/kg/kali)
sebagai mukolitik
Selain terapi medikamentosa, keluarga perlu di edukasi mengenai penyakit pasien yang
meliputi penyebab, faktor predisposisi, cara penularan dan pencegahan penyakitnya. Keluarga
juga diedukasi agar dapat menjaga hygiene anak, keluarga serta lingkungan tempat tinggal.
Pemberian nutrisi pada bayi juga perlu diperhatikan keluarga agar anak tidak jatuh ke gizi
kurang.

26
DAFTAR PUSTAKA

1. Affandi Dahlan Z. 2009. Pneumonia. Dalam: Sudoyo AW,


Setiyohadi B,Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, ed. Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam Jilid III. Ed V. Jakarta: Interna Publishing,
hal 2196.
2. Mansjoer A, Suprohaita, Wardhani WI, Setiowulan W, ed. 2000.
Kapita Selekta Kedokteran Jilid 2. Ed 3. Jakarta: Media
Aesculapius. hal 465 — 469.
3. Price SA, Wilson LM. 2006. Patofisiologi: Konsep Klinis
Proses-proses Penyakit, Edisi 6, Jakarta: EGC, hal: 804.
4. Soeparman, Waspadji S. Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Balai
Penerbit FKUI. Jakarta: 1999. hal: 695-705.
5. Raharjoe NN, Supriyatno B, Setyanto DB. 2010. Buku Ajar
Respirologi Anak. 1st ed. Jakarta: Badan Penerbit IDAI. hal 350 -
365.
6. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2011. Profil
Kesehatan Indonesia 20l0. Jakarta: Departemen Kesehatan.
7. Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Barat. 2013. Profil Kesehatan
Proνinsi Sumatera Barat Tahun 20l2. Padang: Dinas Kesehatan.
8. Behrman RE, kliegman RM, Jenson B. Nelson textbook of
Pediatrics, 17th ed. Philadelphia : WB Saunders, 2008: 433 — 35.

9. Asih R, Setiawati L, Makmuri. 2006. Kuliah Pneumonia


dalam Continuing Education Ilmu Kesehatan Anak XXXVI.
Surabaya.

10. Kurniawan Y, Indriyani SAK. 2012. Karakteristik Pasien


Pneumonia di Ruang Rawat Inap Anak Rumah Sakit Umum
Provinsi Nusa Tenggara Barat. CDK-l9l, 39 (3), pp 196 — 197.
11. Priyanti ZS, Lulu M, Bernida I, Subroto H, Sembiring H, Rai IBN, et
al. Pneumonia Komuniti: Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di
Indonesia. Jakarta: Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2002.
12. Kliegman RM, Behrman RE, Jenson HB, Stanton BF. Nelson
Textbook of Pediatrics. 18th ed. [e-book]. Philadelphia: Saunders
27
Elsevier. 2007.
13. Sunyataningkamto, Iskandar Z, Alan RT, Budiman I, Surjono A,
Wibowo T, dkk. 2004. The role of indoor air pollution and other
factors in the incidence of pneumonia in under-five children.
Paediatrica Indonesiana, 44 (1-2), pp 25-29.

14. Hartati S. 2011. Analisis Faktor Risiko yang Berhubungan


dengan Kejadian Pneumonia pada Anak Balita di RSUD
Pasar Kebo Jakarta. Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan UI.

15. The United Nations Children's Fund (UNICEF), World Health


Organization (WHO). 2006. Pneumonia the forgotten killer of
children. http://www.unicef.org/publications/index_35626.html.
16. Klemm RDW, Labrique AB, Christian P, Rashid M, Shamlm AA,
Katz J, et al. 2008. Newborn Vitamin A Supplementation
Reduced Infant Mortality in Rural Bangladesh. Pediatrics, 122, pp
242-250.

17. Soewignjo S, Gessner BD, Sutanto A, Steinhoff M, Prijanto M,


Nelson C, et al. 2001. Streptococcus pneumonia Nasopharyngeal
Carriage Prevalence, Serotype Distribution, and Resistance Patterns
among Children on Lombok Island, Indonesia.Clinical Infection
Disease, 32, pp 1039 — 1043.
18. World Health Organization (WHO). April 2013. Pneumonia.
http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs331/en/.
19. Niessen LW. Hove AT, Hilderink H, Weber M, Mulholland K, Ezzati
M. 2009. Comparative impact assessment of child pneumonia
interventions. Bull World Health Organ, 87(6), pp 472-80.

20. Yuwono, Aji T. 2008. Faktor-faktor lingkungan fisik rumah yang


berhubungan dengan kejadian pneumonia pada anak balita di
wilayah kerja puskesmas Kawunganten Kabupaten Cilacap.
Program Pasca Sarjana Universitas Diponegoro Semarang.

21. Herman. 2002. Faktor-faktor yang berhubungan dengan


kejadian pneumonia pada anak balita di kab. Ogan Komering
Ilir Sumatera Selatan. Jakarta: Fakultas Kesehatan Masyarakat UI
28
22. Soedarsono. 2010. Pneumonia. Dalam :WibisonoMJ, Winariani,
Hariadi S (eds). Buku Ajar Ilmu Penyakit Paru. Departemen Ilmu
PenyakitParu FK UNAIR-RSUD Dr.Soetomo. Surabaya. pp 149-
179.
23. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2015. Manajemen Terpadu

Balita Sakit (MTBS). Jakarta: Depkes RI.

24. Tim Adaptasi Indonesia.2008. Pedoman pelayanan kesehatan anak


di rumah sakit rujukan tingkat pertama di kabupaten. Jakarta :
WHO Indonesia. Hal 86-93.

25. Pudjiadi AH, Hegar B, Handryastuti, 2009. Pedoman Pelayanan


Medis. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta : Hal 250.

29
30

Anda mungkin juga menyukai