Anda di halaman 1dari 38

PEMETAAN KESESUAIAN PARAMETER LINGKUNGAN

PERAIRAN UNTUK PEMBESARAN RAJUNGAN (Portunus


pelagicus) MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS
DI PERAIRAN DUSUN LANTEBUNG KOTA MAKASSAR

PROPOSAL PENELITIAN

A. M. ADNAN KURNIAWAN
L011 18 1044

Pembimbing Utama: Dr. Ir. Syafiuddin, M.Si.


Pembimbing Pendamping: Dr. Muhammad Banda Selamat, S.Pi., MT.

DEPARTEMEN ILMU KELAUTAN


FAKULTAS ILMU KELAUTAN DAN PERIKANAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2023
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI...............................................................................................................................ii
DAFTAR TABEL......................................................................................................................iii
DAFTAR GAMBAR..................................................................................................................iv
I. PENDAHULUAN...............................................................................................................1
A. Latar Belakang............................................................................................................1
B. Tujuan dan Kegunaan...............................................................................................2
II. TINJAUAN PUSTAKA........................................................................................................3
A. Morfologi Rajungan....................................................................................................3
B. Distribusi Geografis...................................................................................................4
C. Habitat Rajungan........................................................................................................4
D. Budidaya Rajungan....................................................................................................5
E. Parameter Lingkungan Perairan untuk Pembesaran Rajungan......................7
F. Sistem Informasi Geografis (SIG).........................................................................11
G. Aplikasi SIG untuk Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Perikanan.........12
H. Kondisi Umum Dusun Lantebung........................................................................14
III. METODE PENELITIAN..................................................................................................15
A. Waktu dan Tempat Penelitian................................................................................15
B. Alat dan Bahan..........................................................................................................15
C. Prosedur Penelitian..................................................................................................16
1. Pengumpulan Data................................................................................................16
2. Pengambilan Data.................................................................................................17
3. Pengolahan Data....................................................................................................19
4. Penyusunan Basis Data.......................................................................................22
D. Analisis Data SIG......................................................................................................22
1. Perhitugan Bobot...................................................................................................22
2. Perhitungan Tingkat Kesesuaian.......................................................................23
3. Interpolasi................................................................................................................24
4. Overlay.....................................................................................................................25
DAFTAR PUSTAKA...............................................................................................................27

DAFTAR TABEL
Tabel 1. Parameter, lokasi pengukuran dan peralatan dalam pengambilan data..........17
Tabel 2. Skala Wentworth untuk mengklasifikasi sedimen menurut ukuran butir....Error!
Bookmark not defined.
Tabel 3. Matriks kesesuaian parameter lingkungan perairan, pembesaran rajungan...23
Tabel 4. Kategori kesesuaian lahan.....................................................................................24
Tabel 5. Kategori kesesuaian parameter lingkungan perairan, pembesaran rajungan. 24
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Bagian dorsal rajungan jantan dan betina.........................................................3


Gambar 2. Bagian ventral rajungan jantan dan betina........................................................4
Gambar 3. Konstruksi jaring kurung dasar (jakusar)...........................................................6
Gambar 4. Konstruksi hampang.............................................................................................6
Gambar 5. Data vektor (kiri) dan raster (kanan).................................................................12
Gambar 6. Peta penelitian di perairan Dusun Lantebung.................................................15
Gambar 7. Data flow kesesuaian parameter lingkungan perairan, budidaya rajungan 22
I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Rajungan (Portunus pelagicus) dikenal sebagai “the blue swimming crab”


merupakan sumber daya perikanan yang melimpah dan tersebar secara khusus di
perairan pesisir dan laut dangkal Asia Tenggara dan Timur (Lai et al., 2010). Habitat
rajungan umumnya berada di sekitar mangrove, dan dapat ditemukan hampir di
seluruh perairan laut Indonesia (Suwito, 2019). Sumber daya rajungan memiliki potensi
besar sebagai komoditi yang memiliki nilai ekonomi penting untuk dijadikan andalan
ekspor Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari Trend (%) selama periode 2017-2021
menunjukkan bahwa ekspor rajungan mengalami kenaikan rata-rata sebesar 14,72%,
dan berada di posisi ke 4 ekspor komoditas utama produk perikanan Indonesia (Ditjen
PDSPKP, 2022).
Dengan meningkatnya permintaan ekspor rajungan, membuat populasi
rajungan menjadi semakin menurun. Hal ini dibuktikan dari surat edaran Nomor
18/MEN-KP/2015 bahwa telah terjadinya penurunan populasi rajungan di berbagai
wilayah perairan Indonesia akibat adanya peningkatan ekspor rajungan. Selain itu,
masih banyak masyarakat yang tidak mengindahkan surat edaran Nomor
01/PERMEN-KP/2015 terkait dengan larangan penangkapan rajungan dengan ukuran
lebar karapas dibawah 10 cm (Palo et al., 2021). Bila merujuk pada lampiran Nomor
19/KEPMEN-KP/2022 terkait Laju Pemanfaatan atau Eksploitasi (E) komoditi rajungan,
salah satu wilayah yang menunjukkan over-exploited terjadi pada WPPNRI 713
(Perairan Selat Makassar, Teluk Bone, Laut Flores, Laut Bali). Hal ini berdasarkan
interpretasi nilai E = 1,5 yang tergolong E ≥ 1, artinya wilayah tersebut over-exploited
sehingga upaya penangkapan harus dikurangi. Kemudian hasil penelitian Jafar (2011)
dan Susanto (2006) terkait Tren Catch per Unit Effort (CPUE) atau Hasil Tangkapan
per Upaya Penangkapan berdasarkan data time series lebih dari 5 tahun pada lokasi
WPPNRI 713, menunjukkan bahwa CPUE rajungan mengalami penurunan akibat
overfishing.
Salah satu upaya pengelolaan sumber daya rajungan yang dapat dilakukan
untuk menjaga keberlangsungan ekosistem perairan dan ekonomi nelayan yaitu
pengelolaan berbasis marine culture. Kegiatan ini meliputi pembuatan jaring kurung
dasar (jakusar) dan hampang tentunya dapat menjadi solusi untuk menjaga
keberadaan rajungan dan memenuhi permintaan pasar. Namun, sebelum melakukan
hal tersebut, perlu dilakukan penentuan lokasi yang sesuai dengan faktor oseanografi
agar terhindar dari dampak negatif dari lingkungan perairan terhadap budidaya
rajungan. Dengan pengelolaan yang tepat, diharapkan rajungan tetap lestari dan
stoknya tidak mengalami penurunan akibat overfishing (Ekawati, 2019; Ihsan, 2015).
Penentuan lokasi budidaya seringkali dilakukan dengan menggunakan feeling
atau trial and error (Hartoko dan Helmi, 2014). Namun, ketersediaan data dan
informasi tentang kelayakan lahan (site suitability) sangatlah diperlukan untuk
memecahkan masalah dalam pemanfaatan wilayah pesisir (Radiarta et al., 2006).
Kesalahan yang sering terjadi dalam pengembangan budidaya laut dikarenakan
pemilihan lokasi pengembangan yang tidak sesuai dengan faktor parameter
lingkungan perairan yang dibutuhkan oleh masing-masing spesies yang akan
dibudidayakan. Untuk memenuhi kebutuhan data dan informasi yang akurat dalam
pengembangan budidaya laut, analisis spasial dapat dijadikan sebagai pendekatan
dalam mengolah data untuk memeroleh informasi lokasi (La Ode et al., 2016). Aplikasi
pemetaan dapat digunakan dalam menggambarkan suatu lokasi pengembangan
budidaya laut dengan perpaduan data parameter lingkungan perairan (Budiyanto,
2002).
Pemilihan lokasi penelitian di daerah perairan Dusun Lantebung di dasarkan
oleh mayoritas masyarakat berprofesi sebagai nelayan rajungan dalam kurung waktu
20 tahun (Nurainun et al., 2022). Berdasarkan data Pemerintah Desa/Dusun
Lantebung, (2023) Terdapat 7 Kelompok Nelayan Rajungan yang terdiri atas 10-12
anggota di tiap kelompoknya, dan jika ditotal dengan nelayan diluar dari kelompok
maka terdapat kurang lebih 100 nelayan penangkap rajungan didaerah ini. Kegiatan
penangkaran rajungan dalam keramba jaring apung telah dilakukan oleh beberapa
nelayan dari hasil pengabdian masyarakat yang dilakukan oleh Palo et al., (2021),
namun aspek penting penentuan lokasi budidaya berdasarkan parameter lingkungan
perairan belum dipertimbangkan dalam pengabdian ini. Pada pesisir Dusun Lantebung,
karakteristik substrat perairannya berupa pasir berlumpur dengan kemiringan pantai
yang landai hingga beberapa ratus meter kearah laut, mengindikasikan bahwa lokasi
ini berpotensi untuk pengembangan budidaya rajungan (Serosero, 2011; Agus et al.,
2016).
Teknologi Sistem Informasi Geografis (SIG) dapat menjadi pilihan efektif untuk
menentukan lokasi ideal untuk pengembangan budidaya rajungan di perairan Dusun
Lantebung. Salah satu kelebihan dari SIG adalah kemampuannya dalam mengolah
data terkait kesesuaian lahan (Lo, 1995). SIG memungkinkan untuk mengumpulkan,
mengolah, dan memvisualisasikan data geospasial dalam bentuk lapisan (layer) yang
nantinya dapat ditumpang susun (overlay) pada data lain, sehingga menghasilkan peta
tematik yang mempunyai tingkat efisiensi dan akurasi yang cukup tinggi. Maka kajian
pemetaan kesesuaian parameter lingkungan perairan untuk budidaya rajungan sangat
penting dilakukan sebagai solusi bagi para nelayan Dusun Lantebung untuk
memanfaatkan perairan pesisir sebagai lokasi pembesaran rajungan melalui
pertimbangan secara spasial menggunakan Sistem Informasi Geografis (SIG).

B. Tujuan dan Kegunaan

Penelitian ini bertujuan untuk memetakkan kesesuaian parameter lingkungan


perairan terkait faktor fisika dan kimia oseanografi untuk pembesaran rajungan
(Portunus pelagicus) di perairan Dusun Lantebung, Kota Makassar.
Adapun kegunaan dalam penelitian ini yaitu memberikan gambaran kepada
masyarakat terkait lokasi sesuai untuk penempatan alat budidaya pembesaran
rajungan berdasarkan parameter lingkungan perairan, sebagai upaya dalam
melestarikan dan meningkatkan nilai ekonomi nelayan rajungan.
II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Morfologi Rajungan

Rajungan (Portunus pelagicus) adalah jenis kepiting renang yang biasa


ditemukan di perairan dengan tingkat salinitas tertentu. Ciri khas dari rajungan adalah
bentuk karapasnya yang hexagonal serta ukuran capitnya lebih panjang dibandingkan
dengan kepiting bakau. Rajungan jantan memiliki warna biru pada tubuhnya,
sedangkan rajungan betina cenderung bercorak hijau. Habitat rajungan tersebar mulai
dari area berpasir, berlumpur di daerah intertidal hingga kedalaman 50 m (Ng, 1998).

Gerdenia (2006) mengklasifikasikan rajungan sebagai berikut:

Filum : Arthropoda
Kelas : Crustacea
Sub Kelas : Malacostraca
Ordo : Eucaridae
Sub Ordo : Decapoda
Famili : Portunidae
Genus : Portunus
Spesies : Portunus pelagicus

Di perairan tropis, rajungan dapat bertelur sepanjang tahun, sementara di


perairan subtropis, rajungan hanya bereproduksi pada musim panas (Ng, 1998).
Secara morfologis, rajungan jantan berbeda dengan rajungan betina. Perbedaan ini
dapat dilihat pada bagian dorsal (Gambar 1) dan ventral (Gambar 2) pada tubuhnya.
Rajungan jantan memiliki karapas berbintik biru, sedangkan rajungan betina berwarna
hijau. Abdomen dan tutup abdomen pada sisi ventral rajungan merupakan bagian
terluar yang melekat pada rongga dada. Tutup abdomen pada rajungan jantan
berbentuk segitiga memanjang dengan ruas-ruas yang menyempit, sementara pada
rajungan betina berbentuk kubah dengan ruas-ruas (Sunarto, 2012).
Gambar 1. Bagian dorsal rajungan jantan dan betina

Gambar 2. Bagian ventral rajungan jantan dan betina

Telur rajungan memiliki sifat planktonik dan akan menetas setelah 15 hari pada
suhu 24ºC. Rajungan cenderung aktif pada malam hari, dimulai saat matahari
tenggelam untuk mencari makan. Menurut Kangas (2000), rajungan kecil dan dewasa
memiliki makanan yang berbeda. Rajungan kecil memakan amphipoda, sementara
rajungan dewasa memakan polychaeta dan teleosta. Perbedaan ini diduga terkait
dengan ukuran capit dan otot pada rajungan serta kemampuan rajungan dewasa untuk
memangsa dengan ukuran yang lebih besar seperti polychaeta. Rajungan akan
berhenti makan sebelum dan selama proses moulting, tetapi setelah moulting mereka
akan mencari bahan organik sebagai makanan.

B. Distribusi Geografis

Rajungan dapat ditemukan di perairan pesisir dan laut dangkal di Asia


Tenggara dan Timur, termasuk Singapura, Indonesia, Malaysia (Sarawak), Filipina,
Taiwan, Jepang, dan China. Di Indonesia, rajungan tersebar di wilayah pesisir dan laut
dangkal, seperti Sumatera, Kalimantan, Jawa, Nusa Tenggara, Sulawesi, dan Papua.
Saat masih menjadi larva dan saat melakukan pemijahan, rajungan berada di laut
lepas, sementara saat sudah menjadi juvenile hingga dewasa, rajungan tinggal di
perairan dangkal seperti muara dan estuarin (Kangas, 2000).

C. Habitat Rajungan

Rajungan dapat hidup di berbagai habitat seperti pantai berpasir, pasir


berlumpur, dan laut lepas. Larva rajungan hidup sebagai plankton dan terbawa arus
(Nontji, 2007). Pada akhir musim timur dan awal musim barat, rajungan bertelur di
perairan dangkal dekat muara dan pantai. Rajungan mampu menghasilkan lebih dari 1
juta larva dari telurnya. Adapun saat musim barat, rajungan bertelur pada kedalaman
lebih dari 5 meter (Ekawati, A. K. 2019).
Siklus hidup rajungan yang berpindah-pindah menyebabkan penyebaran
rajungan yang dinamis (Adam et al., 2006). Pada saat mereka mencari makan atau
tumbuh besar, rajungan biasanya dapat ditemukan di perairan pantai. Namun, pada
fase pemijahan, mereka biasanya berada di laut lepas. Secara umum, siklus hidup
rajungan meliputi beberapa tahap, mulai dari zoea, megalopa, rajungan muda, dan
rajungan dewasa. Mereka biasanya tinggal di perairan pantai. Tahap zoea, megalopa,
dan rajungan muda menjadi tahap penting dalam siklus hidup rajungan. Kematian
massal selama tahap-tahap ini dapat mengurangi jumlah rajungan di perairan (Ihsan,
2015).

D. Budidaya Rajungan

Kegiatan budidaya rajungan meliputi tahap domestika (penjinakan),


pembenihan, dan pembesaran. Pembesaran dapat menggunakan benih dari alam
maupun dari hasil pembenihan terkontrol. Rajungan telah berhasil dibenihkan secara
terkontrol, dan usaha pembesaran telah dirintis sejak tahun 1995 oleh ahli marikultur
dari LIPI (Ghufran, 2019). Adapun Sri Juwana (2000) telah berhasil dalam memelihara
rajungan di Pulau Pari dengan menggunakan jaring kurung dasar (jakusar). Usaha
budidaya rajungan, khususnya pembesaran rajungan dilakukan dengan menggunakan
wadah yang disebut Jaring Kurungan Dasar (Jakusar) (Gambar 3.) dan Hampang
(penculture) (Gambar 4.) Wadah ini ditempatkan di perairan laut dangkal pada daerah
yang terlindung. Selain terlindung, lokasi penempatan wadah juga harus memenuhi
persyaratan kesesuaian parameter lingkungan perairan (Ghufran, 2019).
Budidaya rajungan khususnya usaha pembesaran dengan menggunakan
jakusar dan hampang dapat dilakukan dilokasi yang ditumbuhi padang lamun sebagai
daerah pengasuhan (nursery ground) benih rajungan. Hal ini digunakan sebagai
tempat berlindung bagi rajungan, terutama pada rajungan saat moulting (ganti kulit),
karena hewan ini bersifat kanibal. Jika lokasi yang dipilih tidak terdapat padang lamun,
maka dapat dilakukan penanaman. Namun waktu yang dibutuhkan hingga tananam
lamun mencapai ukuran besar dan membentuk padang lamun cukup lama. Karena itu,
dapat dilakukan penyediaan untaian-untaian serabut plastik sebagai rumpon untuk
hunian hewan-hewan penempel dan tempat berlindung rajungan (Ghufran, 2019).

1. Teknis Pemeliharaan Rajungan

Pemeliharaan rajungan dapat dilakukan di jaring kurung dasar (jakusar) atau


hampang. Untuk memeroleh Indukan, pemeliharaan dilakukan hingga rajungan
mengandung telur dan siap ditetaskan. Padat penebaran rajungan 2-3 pasangan/m³.
Benih rajungan berumur 25-30 hari sudah dapat ditebar dengan kepadatan 5-10
ekor /m³. Padat penebaran diturunkan menjadi 3-7 ekor /m³ bila rajungan dipolikultur
dengan ikan. Ikan (bandeng, baronang, nila) berukuran 10-20 g/ekor ditebar dengan
kepadatan 1-3 ekor /m³. Pakan yang diberikan berupa ikan-ikan rucah dengan jumlah
pakan yang diberikan adalah 5-10% dari berat biomassa.
Bila pelet digunakan sebagai pakan utama dalam sistem budidaya polikultur,
maka sebagian besar pakan akan dimakan oleh ikan karena kegesitannya. Sementara
bila digunakan pakan berupa ikan rucah atau kerrang, maka pakan tersebut hanya
dimakan oleh rajungan, karena ikan bersifat herbivora dan omnivora, yang tidak
memakan ikan atau daging kerrang secara langsung. Pemeliharaan rajungan akan
berlangsung selama 3-5 bulan. Rajungan mencapai ukuran karapas 10-15 cm setelah
dipelihara selama 4 bulan. Sementara ikan kultur dapat mencapai ukuran pertumbuhan
200-300 g/ekor.

2. Desain Model Konstruksi untuk Pembesaran Rajungan


Model konstruksi Jakusar (Gambar 3.) dan Hampang (Gambar 4.) untuk
pembesaran rajungan dapat diadaptasikan dari model karamba jaring apung yang
banyak digunakan untuk budidaya. Bagian yang dimodifikasi yaitu pada susunan
material, beserta tutupan jaring. Untuk material jaring, digunakan bahan besi ulir
dengan bentukan pola persegi panjang. Ukuran karamba jaring ditenggelamkan yang
dibuat disesuaikan pula dengan kondisi perairan. Perlu diperhatikan bahwa Luas
karamba jaring ditenggelamkan sebanding dengan jumlah rajungan yang akan di
budidayakan (Ihsan et al., 2019).

Gambar 3. Konstruksi jaring kurung dasar (jakusar)

Gambar 4. Konstruksi hampang

Lebih terperinci dijelaskan oleh Ghufran (2019) terkait konstruksi bahan yang
digunakan untuk budidaya dapat menggunakan Jaring dengan mata jaring (mesh size)
2-2,5 cm. Untuk budidaya rajungan tersendiri, digunakan jaring rangkap (2 lapis).
Dinding jaring sebelah dalam digunakan polinet biru (mata jaring 1 mm) untuk
mencegah rajungan budidaya keluar dari wadah, dan jaring bagan (mata jaring 2 cm)
di sebelah luar sebagai penguat dan mencegah serangan predator. Apabila lokasi
budidaya tidak terlindung atau sering diterpa gelombang sehingga mengaduk dasar
perairan, sebaiknya digunakan model jaring kantong yang dipasang mendasar. Dasar
jaring kantong bermata jaring besar (2 cm). Kemudian keliling dinding bagian dalam
ditindih karung berisi pasir dan bagian tengahnya disiram pasir setebal 25 cm.

E. Parameter Lingkungan Perairan untuk Pembesaran Rajungan

Parameter lingkungan perairan sangat penting dalam pembesaran rajungan


karena dapat mempengaruhi pertumbuhan dan kelangsungan hidup rajungan. Perairan
yang ideal untuk pembesaran rajungan harus memiliki karakteristik yang sesuai
dengan kebutuhan hidup rajungan, seperti suhu perairan yang sesuai, kadar oksigen
yang cukup, pH perairan yang stabil, salinitas, serta kandungan nutrisi yang
mencukupi. Selain itu, faktor lingkungan seperti karakteristik biofisik lokasi, spesifikasi
dari biota yang dibudidayakan, kemampuan akses lokasi, serta teknologi yang sesuai
juga berpengaruh terhadap kesesuaian lingkungan untuk budidaya rajungan (Ghufran,
2010).
Parameter lingkungan perairan meliputi fisik dan kimia perairan. Parameter fisik
perairan meliputi suhu, substrat, arus, kedalaman, pasut. Sedangkan parameter kimia
perairan meliputi salinitas, pH dan oksigen terlarut. Berikut penjelasan tiap parameter:

1. Salinitas

Kandungan garam dalam air laut dikenal sebagai salinitas yang memiliki
pengaruh yan signifikan terhadap kelangsungan hidup pada fase awal pertumbuhan
rajungan. Pada kisaran salinitas yang optimal dan stabil, energi yang biasanya
digunakan untuk mengatur keseimbangan kepekatan cairan dalam tubuh rajungan
dapat digunakan untuk meningkatkan pertumbuhan (Ghufran, 2010). Rajungan
memiliki kemampuan untuk beradaptasi dengan perubahan salinitas dan melakukan
migrasi dari daerah salinitas dan melakukan migrasi dari daerah salinitas relatif rendah
ke perairan yang lebih dalam dengan salinitas lebih tinggi dan sebaliknya, sesuai
dengan siklus hidupnya. Hal ini menunjukkan bahwa rajungan memiliki toleransi yang
cukup tinggi terhadap perubahan salinitas (Nicholas Romano dan Chaoshu Zeng,
2006).
Rajungan dapat hidup pada kisaran salinitas yang luas, yaitu mulai dari 15
hingga 42 ppt di habitat alaminya. Rajungan beradaptasi dengan melakukan proses
osmoregulasi, di mana tekanan osmotik dalam tubuhnya disesuaikan dengan tekanan
osmotik di sekelilingnya. Meskipun proses ini membutuhkan energi yang besar,
rajungan dapat menyesuaikan diri dengan cepat terhadap perubahan salinitas.
Rajungan dapat hidup dengan baik pada salinitas 26-32 ppt (part per thousand)
(Ghufran, 2019). Menurut Ihsan (2015), salinitas yang ideal untuk pembesaran
rajungan berkisaran 31-36 ppt.

2. Suhu

Suhu di perairan laut cenderung stabil. Di perairan Indonesia, suhu air


permukaannya berkisar antara 28-31°C (Nontji, 2007). Suhu perairan menjadi faktor
lingkungan utama yang mempengaruhi reproduksi rajungan, demikian seperti yang
dijelaskan oleh Nugraheni et al., (2015). Dalam perairan, suhu memiliki pengaruh
langsung terhadap organisme yang hidup di dalamnya, khususnya dalam proses
fotosintesa tumbuhan akuatik, metabolisme, dan siklus reproduksi. Menurut Effendi
(2003), ketika suhu meningkat sebesar 10 ºC, maka konsumsi oksigen oleh organisme
akuatik akan meningkat dua sampai tiga kali lipat. Perubahan suhu ini berdampak
pada peningkatan dekomposisi bahan organik oleh mikroba.
Menuru Sunarto (2012), sebaran rajungan yang luas di daerah tropis dan
subtropis membuktikan bahwa rajungan mampu beradaptasi pada rentang suhu yang
besar, sehingga termasuk organisme eurytermal. Suhu perairan memainkan peran
penting dalam distribusi, aktivitas, dan pergerakan rajungan. Populasi rajungan di
perairan pantai biasanya ditemukan pada suhu antara 25-32 ºC (Effendy et al., 2006).
Suhu yang optimal untuk kelangsungan hidup rajungan terkait pembesaran rajungan
berada pada kisaran 28-31 ºC (Ihsan, 2015).

3. Derajat keasaman (pH)

Tolak ukur yang digunakan untuk menentukan apakah perairan bersifat asam
atau basa disebut Potential of Hydrogen (pH), nilai pH ini dapat dijadikan sebagai
indikator kualitas perairan. Tingkat keasaman mempengaruhi tingkat kesuburan
perairan karena dapat mempengaruhi kehidupan mikroorganisme yang hidup di
dalamnya (Jumadi, 2011). Nilai pH perairan dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor,
seperti aktivitas fotosintesis, suhu, serta pencemaran dari industri rumah tangga.
Perairan dengan nilai pH yang terlalu basa (>11) atau terlalu asam (<5) dapat
menyebabkan kematian organisme dan gangguan pada system reproduksinya. Secara
umum, nilai pH perairan di laut relatif stabil dan biasanya berkisar antara 7,0 hingga
9,0 (Jumadi, 2011).
Effendy (2006) menyatakan bahwa Derajat Kemasaman (pH) memiliki dampak
besar terhadap organisme yang dibudidayakan di perairan. Perubahan pH dapat
berdampak negatif pada kehidupan biota perairan baik secara langsung maupun
secara tidak langsung. Perubahan pH mempengaruhi enzim metabolisme tubuh dan
komposisi kimiawi dalam air, dan toksitas kimiawi. Organisme perairan dapat
mentolerir nilai pH antara 5-9. Menurut Syahidah et al., (2003), pH 7,0-8,5 masih
dianggap normal untuk kehidupan larva rajungan tahap megalopa. Juwana dan
Romimohtarto (2000) mengatakan bahwa pH yang optimal untuk megalopa rajungan
adalah 7,85-8,5. Nilai pH optimal untuk pembesaran rajungan berkisar 6,78 – 8,0
(Ihsan, 2015).

4. Oksigen Terlarut (DO)

Oksigen terlarut adalah jumlah oksigen yang terlarut dalam air dan diukur
dalam satuan mg/L. Konsentrasi dan ketersediaan oksigen terlarut merupakan faktor
pembatas bagi biota yang dibudidayakan, karena oksigen terlarut sangat penting bagi
kelangsungan kehidupan biota. Kandungan oksigen yang tinggi di perairan
mengindikasikan tingginya produktivitas primer. Kelarutan oksigen perairan
dipengaruhi oleh suhu, salinitas, dan tekanan udara. Oksigen terlarut merupakan
parameter penting dalam budidaya rajungan, karena pengaruh oksigen terlarut sangat
penting bagi kelangsungan hidup dan pertumbuhan rajungan (Ihsan, 2019).
Kandungan oksigen terlarut yang baik untuk kehidupan dan pertumbuhan
rajungan berkisar pada nilai 5,2 ppm menurut Effendy et al., (2006). Tingginya
masukan bahan organic ke perairan laut dapat berdampak pada rendahnya nilai
kandungan DO. Hal ini disebabkan karena kandungan DO di perairan dimanfaatkan
untuk mendekomposisi bahan organic yang terdapat di perairan (Rahimah et al.,
2019). Untuk budidaya rajungan, kandungan oksigen terlarut untuk pertumbuhan
terbaik rajungan antara 4-7 ppm (part per million) (Ghufran, 2019).

5. Tipe Substrat

Variabel ini berhubungan dengan kebiasaan hidup dan sifat fisiologis. Rajungan
hidup di daerah pantai berpasir lumpur, di perairan depan hutan mangrove, teluk yang
tidak berangin atau berombak, dan di daerah estuarin. Rajungan hidup dengan
membenamkan diri di dalam lumpur dan pasir (Ghufran, 2019). Setiap fase siklus
hidup rajungan memiliki preferensi habitat yang berbeda. Menurut Edgar (1990),
rajungan dewasa lebih menyukai substrat berpasir atau lumpur berpasir pada perairan
dangkal hingga kedalaman 50 m. Sedangkan Smith (1982) menjelaskan bahwa
rajungan-rajungan muda banyak ditemukan di daerah mangrove dan berlumpur
dengan ukuran lebar karapas mencapai 80 sampai dengan 100 mm.
Rajungan betina membutuhkan substrat berpasir untuk kesuksesan
pengeluaran telurnya dan menempelkannya pada pleopod (Champbell, 1984). Hal
yang sama dinyatakan oleh Sumpton et al. (1994) bahwa persentase rendah dari
rajungan betina dalam perikanan komersial di Teluk Moreton Australia selama periode
pemijahan telah memperlihatkan adanya migrasi betina dewasa menuju bagian yang
berpasir untuk mengeluarkan telurnya. Djunaedi (2009) melaporkan bahwa substrat
pasir, lumpur dan liat tidak berbeda nyata dalam mempengaruhi kelulushidupan crablet
rajungan. Namun, Hasil penelitian Agus Putra et al., (2021) menunjukkan bahwa
substrat pasir, lumpur berpasir, lumpur, kerikil, pasir dan kerikil menghasilkan tingkat
kelangsungan hidup, pertumbuhan panjang, dan pertambahan berat dan rasio konversi
pakan yang berbeda nyata (P<0,05). Berdasarkan pengamatan tersebut, substrat pasir
menunjukkan pengaruh terbaik untuk pertumbuhan dan kelangsungan hidup rajungan.
Namun tidak hanya substrat perairan yang dijadikan patokan untuk kesesuaian lokasi
budidaya, perlu memperhatikan parameter kualitas perairan yang berpengaruh untuk
budidaya.

6. Arus

Arus sangat penting dalam membantu proses pertukaran air afau sirkulasi
khususnya dalam melakukan budidaya laut dalam jakusar ataupun hampang. Adanya
arus perairan, di samping dapat berfungsi membersihkan timbunan sisa-sisa
metabolisme biota budidaya, juga membawa oksigen terlarut yang sangat dibutuhkan
oleh biota bahkan dapat pula membawa padatan tersuspensi serta berpengaruh
terhadap organisme penempel (Dahuri, 2003; Akbar dan Sudaryanto, 2001). Namun,
arus air berlebihan harus dicegah, sebab disamping dapat merusak alat budidaya, juga
dapat menyebabkan stress pada biota yang dibudidayakan, karena energinya banyak
terbuang dan selera makan berkurang. Kecepatan arus yang ideal untuk penempatan
jakusar dan hampang adalah 20-50 cm/detik (Ghufran, 2019).

7. Kedalaman

Kedalaman suatu perairan didasari pada relief dasar dari perairan tersebut
(Wibisono, 2005). Perairan yang dangkal, kecepatan arus relatif cukup besar dibanding
dengan kecepatan arus pada daerah yang lebih dalam (Odum, 1979). Semakin
dangkal perairan semakin dipengaruhi oleh pasang surut, yang mana daerah yang
dipengaruhi pasang surut dapat menyebabkan variasi suhu dan padatan tersuspensi.
Dalam kegiatan budidaya variable ini berperan dalam penentuan instalasi budidaya
yang akan dikembangkan dan akibat-akibat yang ditimbulkan oleh kegiatan tersebut
(Kangkan, 2006). Hal ini selaras dengan penelitian Putra (2011) bahwa kedalaman
perairan berperan dalam penentuan desain konstruksi budidaya laut, baik itu berupa
jaring kurung dasar (jakusar) ataupun hampang. Kedalaman perairan untuk
penempatan alat pembesaran rajungan seperti jakusar dan hampang sebaiknya
berada pada 0,5-1,5 m pada surut terendah (Ghufran, 2019).

8. Pasang Surut

Pasang surut merupakan suatu fenomena naik turun muka air laut secara
periodik disebabkan oleh adanya gaya gravitasi antara bulan dan matahari yang juga
dapat mengakibatkan terjadinya perubahan bentuk bumi (Poerbandono, 2005; Effendi,
2017). Pasang surut dapat mengganti air secara total dan terus menerus sehingga
perairan terhindar dari pencemar (Winanto, 2004). Pengamatan pasang surut
bertujuan untuk mendapatkan elevasi muka air laut dan sebagai penentu dalam
perencanaan di masa mendatang. Pengukuran kedalaman perairan seringkali
disandingkan dengan pasang surut yang dijadikan sebagai acuan kedalaman
(Rampengan, 2013).

Salah satu metode pengukuran pasang surut yang dikembangkan oleh


Doodson berdasarkan dari panjang data pengamatan adalah Metode Admiralty.
Terdapat empat perhitungan yang biasa digunakan yaitu data pengamatan 29 hari, 25
hari, 7 hari, dan 1 hari. Dalam perhitungan data 29 piantan menghasilkan 9 komponen
pasang surut yaitu K1, P1, dan O1 (diurnal), M2, K2, S2, dan N2 (kuarter diurnal), M4
dan MS4 (kuarter diurnal) (Ulum & Khomsin, 2013). Dalam perhitungan metode
admiralty amplitudo dan beda fase merupakan dua komponen utama untuk
menentukan tipe pasang surut (Supriyadi et al., 2019). Tipe pasang surut terbagi
menjadi 4 (Yoganda et al., 2017) :

1. Semi diurnal tide pasang surut harian ganda, dimana dalam satu hari terjadi dua
kali air pasang dan dua kali air surut yang terjadi secara periodik rata-rata 12 jam
25 menit. Pasang surut harian ganda biasanya terjadi di Selat Malaka hingga Laut
Andaman.
2. Diurnal tide pasang surut harian tunggal, dimana dalam satu hari terjadi satu kali
air pasang dan satu kali air surut dengan periode pasang surut 24 jam. Pasang
surut harian tunggal terjadi di perairan Selat Karimata.
3. Mixed tide prevailing semidiurnal pasang surut campuran condong ke harian
ganda, dalam satu hari terjadi dua kali air pasang dan dua kali air surut dengan
tinggi dan periode yang berbeda. Pasang surut campuran dominasi ganda ini
banyak dijumpai di perairan Indonesia Timur.
4. Mixed tide prevailing diurnal pasang surut campuran condong ke harian tunggal,
dalam satu hari terjadi satu kali air pasang dan satu kali air surut, terkadang terjadi
dua kali air pasang dan dua kali air surut dengan periode yang berbeda. Pasang
surut harian tunggal banyak dijumpai di Selat Kalimantan, Pantai Utara Jawa
Barat.

F. Sistem Informasi Geografis (SIG)

Sistem informasi geografis (SIG) adalah sebuah sistem komputer yang terdiri
dari perangkat keras, perangkat lunak, dan manusia yang dirancang untuk
memasukkan, menyimpan, memperbaharui, memanipulasi, menganalisis, dan
menampilkan informasi yang berhubungan dengan lokasi geografis (Prahasta, 2001).
SIG digunakan untuk mengumpulkan, menyimpan, dan menganalisis objek dan
fenomena memerlukan analisis lokasi geografis yang penting atau kritis. SIG dapat
mengorganisasikan dan memanfaatkan data dari peta digital yang tersimpan dalam
basis data (Budiyanto, 2002). Dalam SIG, dunia nyata dipetakan dalam bentuk peta
digital yang mencakup informasi posisi di ruang, klasifikasi, atribut data, dan hubungan
antara item data (Prahasta, 2001).
Sistem informasi geografis (SIG) memproses data yang berorintasi geografis
atau spasial, yang memiliki lokasi dengan sistem koordinat tertentu sebagai dasar
referensi. Dengan demikian, SIG dapat digunakan untuk menjawab berbagai
pertanyaan tentang lokasi, kondisi, tren, pola, dan pemodelan, kesesuaian lahan. Hal
ini yang membuat SIG berbeda dari sistem informasi lainnya (Sumantri et al., 2019).
Data spasial dapat direpresentasikan dalam dua format yaitu data vektor dan data
raster (GIS Konsorsium Aceh Nias, 2007). Data vektor merupakan bentuk bumi yang
direpresentasikan dalam bentuk garis, area, titik dan nodes (titik perpotongan antar
dua garis). Sementara data raster atau data grid yaitu data yang dihasilkan dari sistem
penginderaan jarak jauh atau hasil convert data polygon to raster. Pada data raster,
objek direpresentasikan sebagai struktur sel grid yang disebut dengan piksel. Resolusi
tergantung pada ukuran piksel, dengan kata lain resolusi piksel menggambarkan
ukuran sebenarnya di permukaan bumi yang diwakili oleh setiap pikselnya. Contoh dari
data vektor dan data raster seperti yang terdapat pada Gambar 5.

Gambar 5. Data vektor (kiri) dan raster (kanan)

G. Aplikasi SIG untuk Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Perikanan


Sistem informasi geografis (SIG) memiliki kemampuan dalam analisis
keruangan dan pemantauan yang berguna untuk memudahkan penataan ruang
sumberdaya wilayah pesisir yang sesuai dengan daya dukung lingkungan, seperti
pemetaan potensi (Dahuri, 1997). Penggunaan SIG dapat diaplikasikan untuk wilayah
pesisir dan laut, seperti memperkirakan potensi wilayah perikanan tangkap dan
budidaya, serta wilayah pengembangan untuk budidaya perikanan (Purwadhi, 2001).
Peran SIG dalam bidang kelautan dan perikanan (Meaden dan Kapetsky,1991):
1. Perencanaan zonasi sumberdaya perairan.
2. Pemetaan zonasi spesies biota perairan.
3. Analisis pengaruh lingkungan terhadap produksi ikan secara intensif.
4. Identifikasi daerah pusat yang berpotensi dalam pengembangan kegiatan
perikanan.
Untuk memetakkan lokasi budidaya laut, peta yang dihasilkan dari aplikasi SIG
sangatlah penting dalam perencanaan dan pelaksanaan program pengelolaan wilayah
pesisir. Pembuatan peta ini harus dilakukan dengan bantuan software Geographic
Information System yang memiliki kemampuan untuk menyimpan, mengelola, dan
menganalisisi data geografis.
Pembuatan peta tematik memerlukan representasi fakta atau kondisi
penggunan lahan di wilayah pesisir. Peta tematik adalah jenis peta yang memiliki tema
tertentu, dan untuk membuatnya dibutuhkan pengumpulan informasi. Informasi untuk
pembuatan peta tematik dapat diperoleh dari survei lapangan atau data sekunder,
kemudian dipetakan pada peta dasar. Setelah dilakukan proses pemetaan, seperti
penggabungan, pengeditan, dan analisis, peta tematik dapat ditampilkan atau dicetak
(Prahasta, 2001).
Terdapat beberapa metode analisis spasial yang digunakan dalam pemetaan
kesesuaian lokasi budidaya, salah satunya yaitu metode Cell Based Modelling.

1. Metode Cell Based Modelling

Metode Cell Based Modelling merupakan salah satu teknik analisis spasial
yang digunakan untuk memetakkan kesesuaian parameter lingkungan perairan untuk
pembesaran rajungan dengan membagi wilayah menjadi sel-sel kecil atau piksel.
Setiap sel diberi nilai atau parameter yang mempresentasikan kualitas lingkungan di
dalamnya, seperti suhu, salinitas, DO, dll, kemudian parameter ini dihubungkan
dengan preferensi hidup dan pertumbuhan rajungan untuk menentukan sel mana yang
paling cocok untuk kegiatan pembesaran rajungan berdasarkan bobot setiap
parameter yang disesuaikan dengan tingkat pentingnya parameter tersebut dalam
menentukan preferensi hidup rajungan (Smith et al., 2015). Dalam mengoperasikan
piksel pada Cell Based Modelling, terdapat setidaknya 5 kelompok yang dibagi sebagai
berikut (ESRI, 2002):

1. Local function: operasi piksel yang hanya melibatkan satu sel dimana nilai piksel
output ditentukan oleh satu piksel input.
2. Focal function: operasi piksel yang hanya melibatkan beberapa sel terdekat.
3. Zonal function: operasi piksel yang hanya melibatkan suatu kelompok sel yang
memiliki nilai atau keterangan yang sama.
4. Global function: operasi piksel yang melibatkan keseluruhan sel dalam data raster
dan gabungan antara kelompok-kelompok tersebut.
5. Application function: gabungan dari keempat operasi diatas yang meliputi local
function, focal function, zonal function, dan global function.

Keunggulan dalam menggunakan metode Cell Based Modelling dibandingkan


dengan analisis lainnya adalah struktur data raster yang lebih sederhana sehingga
lebih mudah dalam pemodelan dan analisis serta kompatibel dengan data citra satelit
serta memiliki variabilitas spasial yang tinggi dalam mempresentasikan suatu kondisi
lapangan (Muzaki, 2008). Metode Cell Based Modelling sangat berguna dalam
pengembangan kegiatan budidaya rajungan, karena memungkinkan nelayan untuk
menentukan lokasi terbaik untuk kegiatan pembesaran rajungan. Dengan
memanfaatkan parameter lingkungan yang tepat, hasil reproduksi rajungan dapat
meningkat secara signifikan, sambil meminimalkan dampak negatif terhadap
lingkungan perairan (Smith et al., 2015).

H. Kondisi Umum Dusun Lantebung

Secara administratif, Dusun Lantebung temasuk dari bagian Kelurahan Bira,


Kecamatan Tamalanrea, Kota Makassar. Jarak dari Ibukota Makassar ke Kelurahan
Bira berkisar 15 km sekaligus menjadi kelurahan terluas di Kecamatan Tamalanrea
yaitu 9,26 km². Secara geografis, Batas wilayah Dusun Lantebung meliputi: sebelah
utara Kelurahan Untia, Kecamatan Biringkanaya; sebelah timur berbatasan dengan
Kelurahan Bulorokeng, Kecamatan Biringkanaya; sebelah selatan berbatasan dengan
Kelurahan Parangloe, Kecamatan Tamalanrea; dan disebelah barat berbatasan
langsung dengan Selat Makassar. Iklim di Dusun Lantebung sama halnya daerah lain
di Kota Makassar. Pada tahun 2021, bulan Januari memiliki curah hujan tertinggi
dengan 1.995 mm³ dengan jumlah hari hujan sebanyak 30 hari (BPS Kota Makassar,
2022).
Pesisir Dusun Lantebung didominasi oleh mangrove jenis Rhizophora sp. Dasar
perairan pasir berlumpur yang landai hingga beberapa ratus meter dari garis pantai
yang membuat tempat ini menjadi habitat yang baik untuk rajungan karena perairan ini
masih berada di wilayah estuaria (Serosero 2011; Agus et al., 2016). Masyarakat di
Dusun Lantebung banyak yang mengoperasikan jaring kepiting dan bubu lipat untuk
menangkap rajungan (Palo et al., 2021).
III. METODE PENELITIAN

A. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini akan dilaksanakan pada bulan April-Juni 2023. Lokasi penelitian
bertempat di perairan Dusun Lantebung, Kota Makassar (Gambar 6.). Analisis sampel
sedimen akan dilaksanakan di Laboratorium Oseanografi Fisika dan Geomorfologi
Pantai Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, Universitas Hasanuddin.

Gambar 6. Peta penelitian di perairan Dusun Lantebung

B. Alat dan Bahan

Peralatan yang akan digunakan dalam penelitian ini dispesifikasikan kedalam 3


bagian yang meliputi hardware, software dan peralatan pengukuran lapangan.
1. Perangkat Keras (Hardware)
a) Laptop Lenovo Core i3
b) Printer A4
2. Perangkat Lunak (Software)
a) ArcMap 10.8
b) Microsoft Word dan Excel 2019
3. Peralatan Pengukuran di Lapangan
a) GPS (Global Positioning System) untuk menyesuaikan koordinat titik sampel.
b) Kamera, untuk dokumentasi survei di lapangan
c) Termometer sebagai alat pengukur suhu sampel air
d) pH Meter sebagai alat pengukur keasaman sampel air
e) Hand Refraktometer sebagai alat pengukur salinitas sampel air
f) DO Meter untuk mengukur kandungan oksigen di perairan.
g) Tiang Duga sebagai alat untuk pengukuran pasang surut.
h) Meteran, tali, pemberat, sebagai alat untuk pengukuran kedalaman perairan.
i) Layang-layang arus, stopwatch, kompas, untuk pengukuran arus.
j) Grab Sampler, Gelas Ukur 500 ml dan penggaris, untuk pengukuran
sedimen.

Adapun bahan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi:


a) Peta Administrasi Kota Makassar skala 1:50.000
b) Data kualitas air dari hasil survei lapang pada bulan April-Juni 2023.

C. Prosedur Penelitian

Metode penelitian yang diaplikasikan adalah metode survei yang meliputi


pengambilan data primer dengan pengukuran langsung di lapangan. Penentuan titik
lokasi sampling yang akan diterapkan dilapangan dan penentuan posisi dengan
menggunakan alat GPS yaitu dengan Teknik Systematic Random Sampling (Clarck
dan Hosking, 1986; Morai, 1999). Pemilihan stasiun pengambilan sampel didasarkan
pada jarak dari pesisir kearah laut yang diasumsikan bahwa setiap parameter akan
memiliki nilai yang berbeda dan saling memengaruhi. Pada penelitian ini akan dibagi
sebanyak 4 stasiun, dimana setiap stasiun akan terdiri dari 4 titik sampling. Setiap titik
sampel akan diamati pada interval teratur pada jarak 300 m (arah vertical maupun
horizontal) yang posisinya telah ditentukan sebelum ke lapangan. Secara keseluruhan,
luasan pengamatan yang dipetakkan pada perairan ini terbentang sejauh 900 m²
(Gambar 6).
Dalam memeroleh peta kesesuaian parameter lingkungan perairan untuk
pembesaran rajungan, maka digunakan metode Cell Base Modelling untuk
menganalisa secara spasial dari setiap parameter dan dilanjutkan dengan pembobotan
(weighted overlay). Prosedur pemetaan kesesuaian parameter lingkungan perairan
untuk pembesaran rajungan akan dilakukan melalui 5 tahapan, yakni: pengumpulan
data, pengambilan data, pengolahan data, penyusunan basis data, dan analisis data
SIG.

1. Pengumpulan Data

Pengumpulan data yang akan dilakukan mencakup:


a) Data Sekunder peta adminitrasi yang ada di Dusun Lantebung, Kota
Makassar diperoleh melalui www.tanahair.go.id. Serta data pasang surut
diperoleh dari website resmi BIG (Badan Informasi Geospasial) melalui
website http://ina-sealevelmonitoring.big.go.id/ipasut/
b) Data hasil survei lapangan meliputi Suhu, pH, salinitas, dan DO (Dissolve
Oxygen), Tipe Substrat, Kecepatan Arus, Kedalaman.

Tabel 1. Parameter, lokasi pengukuran dan peralatan dalam pengambilan data.


No Parameter Lokasi Pengukuran Peralatan
1 Suhu Lapangan Thermometer
2 Salinitas Lapangan Hand Refraktometer
3 Oksigen Terlarut Lapangan DO Meter
Grab Sampler, Gelas Ukur 500 ml,
4 Tipe Substrat Laboratorium
Plastik, Penggaris.
5 Kecepatan Arus Lapangan Floating drogde, Stopwatch, Kompas
6 pH Lapangan pH Meter
Alat modifikasi (Meteran, Tali &
7 Kedalaman Lapangan
Pemberat)

2. Pengambilan Data

Adapun prosedur dari pengambilan data parameter kualitas lingkungan perairan


pada Tabel 1. akan dijelaskan sebagai berikut (Bahar, 2015):

a) Suhu
Pengukuran suhu permukaan laut dengan alat thermometer dilakukan dengan
cara menyelupkan thermometer ke permukaan air selama beberapa saat dengan
terlebih dahulu mengikatnya dengan tali agar tidak lepas. Setelah itu, dilakukan
pembacaan terhadap skala yang ditunjukkan oleh thermometer. Kemudian, dilakukan
pencatatan posisi dan waktu saat pengukuran.

b) Salinitas (ppt)
Pengukuran salinitas dilakukan langsung dilapangan dengan menggunakan alat
Hand Refraktometer. Kaca prisma pada alat tersebut terlebih dahulu dikalibrasi
menggunakan aquades dan dibersihkan menggunakan tissue. Selanjutnya, kaca
prisma ditetesi 2 sampai 3 tetes sampel air dan dilakukan pembacaan pada tempat
yang terang untuk memudahkan melihat skala yang ditunjukkan pada alat. Setelah itu,
dilakukan kembali kalibrasi pada alat dan bersihkan menggunakan tissue.

c) Oksigen Terlarut (mg/L)


Metode pengukuran DO meter menggunakan metode elektrokimia, dengan
langkah pengukuran sebagai berikut: mempersiapkan DO meter yang telah dikalibrasi,
kemudian sampel air laut diambil dari kedalaman yang diinginkan menggunakan botol
atau wadah yang bersih. Dilakukan pengecekan gelembung udara yang terperangkap
pada wadah untuk memastikan tidak ada udara yang terperangkap. Langkah
selanjutnya, sensor DO meter dimasukkan ke dalam sampel air dan dibiarkan selama
beberapa menit untuk memastikan sensor stabil dan suhu air stabil. Setelah itu,
dilakukan pencatatan terhadap hasil pengukuran: Hasil pengukuran akan muncul pada
layar DO meter. Langkah akhir, dilakukan kalibrasi kembali terhadap alat.

d) Tipe Substrat
Pengambilan data dari lapangan berupa sampel sedimen pada setiap titik
sampling yang sudah ditentukan dengan menggunakan alat Grab Sampler. Cara kerja
alat Grab Sampler dalam mengambil sedimen yaitu terlebih dahulu menurunkan alat
hingga mencapai dasar perairan. Kemudian pemberat pada tali yang terhubung
dengan alat dilepaskan agar alat yang berada didasar perairan otomatis terkunci dan
sedimen akan terperangkap pada alat. Setelah itu, alat diangkat ke permukaan dan
sampel sedimen setiap titik sampling dimasukkan kedalam plastik sampel dan
disimpan pada coolbox, kemudian akan dianalisis di laboratorium untuk penentuan tipe
substrat.

e) Kecepatan Arus
Pengukuran arus di perairan dangkal seperti teluk, perairan pantai, sekitar
muara dapat dilakukan dengan mengukur arus pasang surut. Pengukuran arus pasut
dijelaskan secara singkat sebagai berikut: Untuk pengukuran kecepatan arus dilakukan
dengan menggunakan layang-layang arus, yakni dengan menetapkan jarak tempuh
layang-layang arus (5-10 meter) kemudian mengukur waktu tempuh layang-layang
arus tersebut. Arah arus ditentukan dengan menggunakan kompas dengan menshoot
arat pergerakan layang-layang arus.

f) pH
Pengukuran derajat keasaman (pH) menggunakan alat pH meter yang
dilakukan pada setiap stasiun. Pengukuran dilakukan dengan cara menyelupkan pH
meter ke permukaan air, kemudian secara otomatis sensor pada alat akan merekam
dan menampilkan nilai pH perairan pada layar tampilan.

g) Kedalaman Perairan
Pengukuran kedalaman dilakukan secara langsung dilapangan dengan
menggunakan alat modifikasi kedalaman dengan bahan tali yang diikatkan dengan
pemberat. Posisi kedalaman disesuaiakan dengan titik sampling yang telah ditentukan
agar dapat menghasilkan kontur pada peta kedalaman/batimetri. Setelah tali
menyentuh dasar perairan dengan tegang, tali diberikan penanda dan dilakukan
pengukuran panjang tali yang menyentuh dasar perairan dengan meteran. Untuk
setiap titik, dilakukan pencatatan waktu saat pengukuran sebagai bahan koreksi
terhadap pasang surut agar dapat diketahui kedalaman perairan yang sesungguhnya
terhadap referensi Mean Sea Level (MSL).

3. Pengolahan Data

Pengolahan data parameter kualitas lingkungan perairan sebagai berikut:

a) Data Arus
Besar kecepatan arus dapat dihitung melalui rumus (Bahar, 2015):
S
V=
t
Keterangan :
V = Kecepatan arus (m/detik)
S = Jarak tempuh layang-layang arus (meter)
t = Waktu tempuh yang digunakan (detik)

b) Pasang Surut
Perhitungan pasang surut menggunakan metode Admiralty dilakukan dengan
bantuan tabel dengan perhitungan sistem weformula menggunakan microsoft excel.
Metode ini menggunakan 3 tabel konstanta dan 8 buah skema, masing-masing skema
merupakan bentuk hasil akhir dari olahan skema sebelumnya. Uraian diagram alir
dalam pengerjaan metode Admiralty digambarkan pada gambar 7.

Gambar 7. Diagram alir pengolahan data pasang surut


Keterangan :
Skema 1 = Matriks data tinggi pasang surut yang terdiri dari jam pengamatan
dan tanggal pengamatan.
Tabel 1 = Tabel konstanta pengali untuk menyusun skema 2.
Skema 2 = Matriks penyesuaian skema 1, dengan kolom sebagai X1, Y1, X2,
Y2, X4, Y4, dan baris sebagai waktu pengamatan.
Skema 3 = Matriks penyesuaian skema 2 dengan kolom sebagai X0, X1, Y1,
X2, Y2, X4, Y4 dan baris sebagai waktu pengamatan.
Tabel 2 = Tabel pengali untuk skema 4.
Skema 4 = Matriks penyesuaian skema 3 dengan kolom sebagai kombinasi X
dan Y dengan 0, 2, b, 3, c, 4, d dan baris sebagai tanggal
pengamatan.
Tabel 3 = Tabel faktor analisa untuk pengamatan 29 hari (29 piantan). Tabel
ini digunakan untuk menyusun skema 5 dan 6.
Skema 5 & 6 = Matriks penyesuaian skema 4 dengan kolom sebagai S0 (MSL),
M2, S2, N2, K1, 01, M4, MS4, dengan tabel faktor analisa untuk
pengamatan 29 hari.
Skema 7 = Mencari nilai tiap-tiap komponen pasang sururt utama.
Skema 8 = Penyusunan hasil akhir yang diperoleh yaitu nilai dari amplitudo
(A) dan beda fase (gº), sesuai yang ada pada skema 7.
Penentuan tipe pasang surut perairan dapat ditentukan berdasarkan
perhitungan bilangan Fomzhal. Bilangan Fomzhal merupakan pembagian antara
amplitudo konstanta pasang surut harian utama dengan amplitudo konstanta pasang
surut ganda utama. Berikut ini rumus perhitungan bilangan Fomzhal (Ahmad et al.,
2017) :

A K 1+ A O 1
F=( )
A M 2+ A S 2
Keterangan:
F = Bilangan Fomzhal
AK1 = Amplitudo konstanta pasang surut tunggal utama yang disebabkan
gaya tarik bulan.
AO1 = Amplitudo konstanta pasang surut tunggal utama yang disebabkan
gaya tarik matahari.
AM2 = Amplitudo konstanta pasang surut ganda utama yang disebabkan
gaya tarik bulan.
AS2 = Amplitudo konstanta pasang surut ganda utama yang disebabkan
gaya tarik matahari.

Nilai akhir perhitungan bilangan Fomzhal akan menunjukkan tipe pasang surut
suatu parairan. Berikut ini penjelasan nilai bilangan Fomzhal (Yona et al., 2017) :
1. Pasang surut harian ganda, jika (0 < F < 0,25).
2. Pasang surut campuran dominasi ganda, jika (0,25 < F < 1,5).
3. Pasang surut campuran dominasi tunggal, jika (1,5 < F < 3).
4. Pasang surut harian tunggal, jika (F > 3).

c) Koreksi Kedalaman
Hasil pengukuran kedalaman dikoreksi dengan MSL pasang surut untuk
memeroleh kedalaman yang sebenarnya terhadap lokasi pengamatan (Bahar, 2015).
Dt=dt+(MSL−Ht)
Keterangan:
Dt = Kedalaman terkoreksi
dt = Kedalaman suatu titik saat pengamatan jam t
MSL = Rata-rata tinggi permukaan air laut
Ht = Tinggi muka air terhadap 0 rambu pasut saat pengamatan jam t.

d) Pengukuran Tekstur Sedimen


Tekstur sedimen diukur menggunakan metode Soil Jar Test (FAO, 2016).
Dalam metode ini, digunakan gelas ukur berukuran 500 ml yang diisi setengahnya
dengan sedimen. Air kemudian ditambahkan hampir penuh ke dalam gelas ukur yang
berisi sedimen. Sampel tersebut ditutup dengan plastik dan dikocok agar partikel
sedimen tercampur secara merata. Setelah itu, sampel didiamkan selama 2 jam untuk
memisahkan partikel yang mengendap. Partikel pasir yang lebih berat akan berada di
bagian bawah, diikuti oleh lumpur, dan di atasnya adalah lapisan liat. Tinggi ketiga
lapisan sedimen diukur, kemudian tinggi masing-masing lapisan dibagi dengan tinggi
total untuk mendapatkan persentase masing-masing jenis tanah. Rumus persentase
lapisan sedimen sebagai berikut :
Persentase Partikel = (Tinggi lapisan partikel / Tinggi total sedimen) x 100%
Untuk menganalisis jenis tekstur sedimen, digunakan metode Segitiga
Sheppard yang diperkenalkan oleh Munandar et al. (2014). Metode ini menghitung
proporsi partikel kerikil, pasir, dan lumpur untuk mengklasifikasikan jenis tekstur
sedimen. Sistem klasifikasi ini didasarkan pada Median diameter (Md) dan
menggunakan diagram Sheppard yang mengkonversi kombinasi ketiga komponen
menjadi persentase yang relevan. (Gambar 8.).
Gambar 8. Segitiga Sheppard
4. Penyusunan Basis Data dalam SIG

Penyusunan basis data merupakan pengorganisasian data yang telah


dikumpulkan, dimasukkan, dan dilakukan konversi data. Konversi data adalah
mengubah format data (Purwadhi et al., 2015). Pengelompokan data digital yang
sudah dimasukkan ke basis data SIG disebut konsep coverage yaitu pemisahan data
ke dalam layers (objek) yang ada (Marble dan Peuquet, 1990). Data primer yang
dikumpulkan melalui survei lapangan dibagi menjadi beberapa jenis datanya, yaitu
data atribut dan data spasial. Data atribut digunakan untuk mendeskripsikan suatu data
spasial, sedangkan data spasial menggambarkan aspek keruangan.
Data yang digunakan dalam penelitian ini akan diproses dengan Interpolasi
Spasial untuk membuat perkiraan nilai dari variable lapangan yang tidak terinput dalam
suatu sampel penelitian disetiap kriteria. Data interpolasi dikonversi menjadi polygon
dengan menggunakan tools convert to polygon. Hasil konversi tersebut akan berupa
layer yang akan digunakan sebagai bahan analisis spasial (Gambar 9.).

Gambar 9. Data flow kesesuaian parameter lingkungan perairan, budidaya rajungan

D. Analisis Data SIG

Untuk menganalisis secara spasial kesesuaian lingkungan perairan untuk


budidaya rajungan, maka digunakan metode pembobotan dalam matriks kesesuaian.
Matriks kesesuaian diperoleh dari formulasi sebagai berikut ini:

1. Perhitugan Bobot
Dalam menentukan pemberian bobot disetiap parameter, diperlukan
pendekatan jumlah rangking (metode rank sum) dengan rumus (Malczewski, 1999):
n−rj+1
Wj =( )
Ʃ(n−rp+1)
Keterangan:
Wj = Bobot Parameter (j=1,2,3…,n)
rj = Posisi Ranking suatu parameter; rp = Parameter (p=1,2,3,…,n)
n = Jumlah Parameter
Adapun hasil dari perhitungan bobot, dapat dilihat pada matriks (nilai pada tiap
parameter akan berbeda, tergantung pada ranking) yang tertera pada Tabel 3.
Tabel 2. Matriks kesesuaian parameter lingkungan perairan, pembesaran rajungan
No Parameter Kategori Kesesuaian Skor Bobot Total Skor
1 Suhu (ºC) >28 - 31 3 0,75
(Ihsan, 2015) 26 - 28 dan >31 - 33 2 0,25 0,50
<26 dan >33 1 0,25
2 Salinitas (ppt) >31 - 36 3 0,64
(Ihsan, 2015) 29-31 dan >36-38 2 0,21 0,43
<29 dan >38 1 0,21
3 DO (mg/l) >4-6 3 0,54
(Ihsan, 2015) 3,5 - 4 dan >6 - 6,5 2 0,18 0,36
<3,5 dan >6,5 1 0,18
4 Tipe Substrat Pasir, Pasir Berlumpur 3 0,43
(Agus Putra et al., Lumpur Berpasir 2 0,14 0,29
2021) Lumpur 1 0,14
5 Kecepatan Arus (m/s) >0,2 - 0,4 3 0,32
(Ghufran, 2019; Kordi, 0,05 - 0,2 2 0,11 0,21
2005) >0,4 1 0,11
6 pH >6,78 - <8,0 3 0,21
(Ihsan, 2015) 6 - 6,78 dan 8 - 8,5 2 0,07 0,14
<6 dan >8,5 1 0,07
7 Kedalaman >10 3 0,11
(Radiarta et al., 2006) 4-10 2 0,04 0,07
<4 1 0,04
Jumlah skor maksimun (SHBmax) = 3 Jumlah skor minimun (SHBmin) = 1

2. Perhitungan Tingkat Kesesuaian


a. Rentang kelas
Rentang kelas kesesuaian lahan berdasarkan rumus (Ihsan, 2015):
(SHBmax – SHBmin)
Ci =( )
n
Keterangan:
Ci = Kisaran nilai antar kelas
SHB = skor akhir penjumlahan semua nilai parameter;
n = Total kelas kelayakan yang dibuat.
Hasil Perhitungan rentang kelas =

Ci = ( ( SHBmax n– SHBmin) ) ( ( 3 3– 1) )
= = 0,66

Nilai Ci, SHBmax, dan SHBmin yang telah didapatkan, selanjutnya digunakan
dalam penentuan kategori kesesuaian Lahan, seperti yang tertera pada Tabel 4.
Menurut Suwarsito dan Anang (2017), terdapat 3 kelas pembesaran rajungan, yaitu:
1) Kelas S1: sangat sesuai (highly suitable), Wilayah perairan ini sangat sesuai
untuk budidaya rajungan tanpa adanya faktor pembatas yang berarti atau tidak
memiliki faktor pembatas yang berpengaruh dan tidak akan menurunkan
produktifitasnya.
2) Kelas S2: sesuai (moderately suitable), Wilayah perairan ini mempunyai faktor
pembatas yang berpengaruh terhadap kegiatan budidaya. Kegiatan budidaya
dapat tetap berjalan tetapi memerlukan perlakuan dan masukan dari pelaku
budidaya.
3) Kelas N: tidak sesuai (non-suitable) merupakan daerah yang memiliki pembatas
permanen, sehingga tidak memungkinkan untuk dijadikan lokasi dalam budidaya.
Tabel 3. Kategori kesesuaian lahan
Interval Tingkat Kesesuaian
X0 (=Nilai SHBmin) - X1 (= X0 + Ci) Tidak Sesuai (N)
X1 - X2 (= X1 + Ci) Sesuai (S2)
X2 - X3 (=Nilai SHBmax) Sangat Sesuai (S1)
Keterangan:
X0 = Nilai skor minimun (SHBmin) skala penilaian
X1 = Hasil penjumlahan dari X0 dengan nilai antar kelas
X2 = Hasil penjumlahan dari X1 dengan nilai antar kelas
X3 = Nilai skor maksimun (SHBmax) skala penilaian
Tabel 4. Kategori kesesuaian parameter lingkungan perairan, pembesaran rajungan
Interval Tingkat Kesesuaian
1,00 – 1,66 Tidak Sesuai (N)
1,67 – 2,33 Sesuai (S2)
2,34 – 3.00 Sangat Sesuai (S1)
3. Interpolasi

Dalam aplikasi Sistem Informasi Geografis, dikenal Interpolasi Spasial yang


berguna dalam memperkirakan nilai kualitas air pada lokasi penelitian yang tidak
tercakup dalam sampel penelitian (Selamat et al., 2015). Terdapat berbagai metode
interpolasi yang dapat digunakan, namun setiap metode memiliki kelebihan dan
kekurangan yang perlu dipertimbangkan sebelum diterapkan pada medan yang
kondisinya beragam (Puteri, 2019). Dalam penelitian ini, akan dibandingkan akurasi
metode interpolasi IDW dan Kriging. Interpolasi IDW mempertimbangkan perhitungan
jarak antara titik data dan blok. Bobot berat akan bertambah atau berkurang tergantung
pada jarak antara titik sampel dan blok yang akan diestimasi (Kurniadi et al., 2018).
Kelemahan interpolasi IDW adalah tidak dapat memperkirakan nilai di atas atau
di bawah nilai maksimun dan minimun titik sampel (Pramono, 2008). Sedangkan
metode Interpolasi Kriging adalah salah satu metode interpolasi spasial yang
menggunakan nilai spasial pada lokasi yang tersampel untuk memperkirakan nilai
pada lokasi lain yang tidak tersampel. Metode ini mirip dengan metode interpolasi IDW
dalam hal penggunaan kombinasi linier dari bobot untuk memperkirakan nilai diantara
sampel data. Namun, pada metode interpolasi Kriging, bobot tidak hanya didasarkan
pada jarak antara ukuran dan lokasi titik prediksi, tetapi juga pada keseluruhan letak
titik-titik yang diukur (ESRI, 2011). Sebelum menerapkan model interpolasi, langkah
pertama yang akan dilakukan adalah menguji akurasi RMSE interpolasi IDW dan
Kriging berdasarkan validasi silang (cross validation) (Rosilawati, 2011). Metode ini
melibatkan proses penghapusan satu data pada setiap iterasi, dan menggunakan data
yang tersisa sebagai sampel untuk memprediksi data yang dihapus menggunakan
model yang sama. Hasil RMSE dari kedua metode tersebut akan memperlihatkan
metode yang lebih akurat. Rumus RMSE yang digunakan adalah sebagai berikut
(Olea, 1999) :


n

∑ ( X−Y )²
i=1
RMSE=
n
Keterangan :
X = Nilai estimasi parameter hasil interpolasi;
Y = Nilai parameter berdasarkan data lapangan;
n = Jumlah data lapangan.
Dari hasil pengujian nilai RMSE (mendekati 1), dapat menginterpretasikan
bahwa semakin besar kesalahan letak informasi posisi pada data tersebut. Oleh
karena itu, dalam menguji akurasi setiap metode, nilai Root Mean Square Error
(RMSE) harus mendekati 0. Artinya, nilai yang diprediksi menggunakan metode
Interpolasi akan semakin dekat dengan nilai yang diukur atau nilai yang sebenarnya
(Chaidir, 2012). Semakin kecil nilai RMSE, maka semakin akurat pula model tersebut
(ESRI, 2011).
4. Overlay

Tahap selanjutnya yaitu melakukan proses tumpang susun (overlay). Overlay


merupakan proses menumpukkan 2 atau lebih layer dari parameter pada lokasi yang
sama. Metode overlay yang digunakan dalam penelitian ini adalah model metode
terapan dari Cell Based Modelling yaitu sistem pembobotan (weighted overlay).
Metode ini menganalisis data pada berbagai tingkat sel berupa pengkelasan tiap
parameter yang menjadi faktor pendukung budidaya. Parameter yang bersumber dari
pengukuran lapang akan dikelaskan sesuai kriteria. Wilayah potensial budidaya akan
diperoleh dengan melakukan analisis spasial pada data raster yang disebut Raster
Calculator.
Overlay berperan untuk mempertimbangkan kelayakan suatu wilayah untuk
tujuan tertentu. Data kajian dari keseluruhan parameter yang berformat grid (sel)
mengikuti operasi zonal functions. Operasi ini melibatkan sekelompok sel yang
memiliki nilai tertentu sehingga membentuk zona kesesuaian wilayah (Tabel 5.). Zona
ini terbagi menjadi 3 kode yaitu kode 3 zona sangat sesuai, kode 2 zona sesuai dan
kode 1 zona tidak sesuai. Luasan sel dan luasan wilayah dapat diketahui berdasarkan
kode tersebut (Jumadi, 2011). Setelah memeroleh nilai skor pada tiap parameter di
ArcMap 10.8, maka akan menghasilkan suatu gambaran yang jelas bagaimana kondisi
spasial kesesuaian lahan budidaya rajungan di perairan Dusun Lantebung, Kota
Makassar.
DAFTAR PUSTAKA

Adam, Jaya I, Sondita MFA. 2006. Model bioekonomi perairan pantai (in-shore) dan
lepas pantai (off-shore) untuk pengelolaan perikanan rajungan (Portunus
pelagicus) di perairan Selat Makassar. Jurnal Ilmu-ilmu Perairan dan Perikanan
Indonesia. 13(1): 33-43.

Agus Putra AS., Mastuti, R., & Sinaga, S. 2021. Pengaruh Penggunaan Substrat yang
Berbeda Terhadap Pertumbuhan dan Kelangsungan Hidup Larva Rajungan
(Portunus pelagicus). Jurnal Sumberdaya Akuatik Indopasifik, 5(3), 263-272.

Agus, S. B., N. Sulbainarni, A. Sanuddin, T. Subarno, A. H. Nugraha, I. Rahimah, et


al., 2016. Distribusi spasial rajungan (Portunus pelagicus) pada musim timur di
perairan Pulau Lancang, Kepulauan Seribu. Jurnal Ilmu Pertanian Indonesia
21(3): 209 -218.

Ahmad, R., Hendri, A., & Fauzi, M. 2017. Pengaruh Simulasi Awal Data Pengamatan
Terhadap Efektivitas Prediksi Pasang Surut Metode Admiralty (Studi Kasus
Pelabuhan Dumai). Jom FTEKNIK, 4(2), 1–10.

Akbar, S dan Sudaryanto. 2001. Pembenihan dan Pembesaran Kerapu Bebek.


Penerbit Penebar Swadaya, Jakarta.

Bahar, A. 2015. Pedoman Survei Laut. Makassar: Masagena Press. Makassar.


Boyd, C. E. 1982. Water Quality Management for Pond Fish Culture. Elsevier Scientific
Publishing Company. New York.

Budiyanto, E. 2002. Sistem Informasi Geografis Menggunakan ArcView GIS.


Yogyakarta: Andi.

Chaidir, W. 2012. Analisis Sebaran Iklim Klasifikasi SCHMIDT-FERGUSON


Menggunakan Sistem Informasi Geografis Di Kabupaten Banteng Sulawesi
Selatan. Skripsi. Makassar. Tidak diterbitkan.

ChampbellGR. 1984. A comparative study of adult sexxal behavior and larval ecology
of three comercial important portunid crab from the Moreton Bay region of
Queensland Australia. University of Queensland.Australia.
Dahuri, R. 1997. Pendayagunaan Sumberdaya Kelautan Untuk Kesejahteraan Rakyat
(Kumpulan Pemikiran Dr. Ir. Rokhmin Dahuri, MS.). LISPI. Jakarta.

Dahuri, R. 2003. Keanekaragaman Hayati Laut; Aset Pembangunan Berkelanjutan.


Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Djunaedi, A. 2009. Kelulushidupan dan Pertumbuhan Crablet Rajungan (Portunus


pelagicus Linn.) pada Budidaya dengan Substrat Dasar yang Berbeda. ILMU
KELAUTAN: Indonesian Journal of Marine Sciences, 14(1), 23-26.

Edgar GJ. 1990. Predator-prey Interactions in Seagrass Beds. II. Distribution and Diet
of The Blue Manna Crab Portunus pelagicus Linnaeus at Cliff Head, Western
Australia. J.Exp. Mar. Bio. Ecol. 139(3):23-32.
Effendi, R. Guntur, H. & Heryoso, S. 2017. Peramalan Pasang Surut Di Sekitar
Perairan Tempat Pelelangan Ikan (Tpi) Banyutowo, Kabupaten Pati, Jawa
Tengah. Jurnal Oseanografi vol. 6 no.1: 221-227.

Effendi. H. 2003. Telaah Kualitas Air bagi Pengelolaan Sumberdaya dan Lingkungan
Perairan. Penerbit Kanisius, Yogyakarta.
Effendy. S, Sudirman. Bahri S., E Nurcahyono, H. Batubara, Syaichudin. 2006.
Petunjuk Teknis Pembenihan Rajungan Portunus pelagicus Linnaeus.
Departemen Kelautan Dan Perikanan Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya.
Balai Budidaya Air Payau Takalar.

Ekawati, A. K. 2019. Analisis Spasial dan Temporal Bioekonomi Perikanan Rajungan di


Perairan Pesisir Timur Lampung (Doctoral dissertation, IPB University).

ESRI. 2002. Using ArcGIS Spatial Analyst. Environmental System Research Institute,
Inc. New York.

ESRI. 2011. How Kriging Works.

FAO (Food and Agriculture Organization). 2016. Soil Texture.

Ghufran, M. H, dan Kordi K. 2019. Rajungan: Biologi, Pembenihan, Pembesaran. CV.


Aneka Ilmu: Semarang.
Ghufran, M. H. 2010. Pemeliharaan Ikan Napoleon di Keramba Jaring Apung.
Akademia. Jakarta.

GIS Konsorsium Aceh Nias. 2007. Modul pelatihan arcgis tingkat dasar. Pemerintah
Kota Banda Aceh. Banda Aceh.

Hafizh, A., Sasmito., B, Awaluddin, M. 2021. Pemetaan Sedimen Perairan Dangkal


Menggunakan Data Multibeam Echosounder (Studi Kasus: Pantai Kartini,
Jepara). Jurnal Geodesi Undip. Vol 10 (1).

Hartoko, A and Helmi, M. 2004 “Development of Digital Multilayer Ecological Model for
Padang Coastal Water (West Sumatera),” Journal of Coastal Development, vol
7 (3), pp. 129-136

Ihsan, I., Asbar, A., & Asmidar, A. 2019. Kajian Kesesuaian Lingkungan Perairan untuk
Budidaya Rajungan dalam Karamba Jaring Ditenggelamkan di Perairan
Kabupaten Pangkep Provinsi Sulawesi Selatan. Prosiding Simposium Nasional
Kelautan dan Perikanan, (6).

Ihsan. 2015. Pemanfaatan sumber daya rajungan (Portunus pelagicus) secara


berkelanjutan di perairan Kabupaten Pangkep Provinsi Sulawesi Selatan.
[Disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Jumadi, W. 2011. Penentuan kesesuaian lahan keramba jaring apung kerapu macan
(Epinephelus fuscogutattus) menggunakan sistem informasi geografis di pulau
panggang Kepulauan Seribu.

Juwana, S. dan K. Romimohtarto. 2000. Rajungan Perikanan, Cara Budidaya dan


Menu Masakan. Djambatan. Jakarta. 47 hal.
Kangas MI. 2000. Synopsis of the biology and exploitation of the blue swimmer crab,
Portunus pelagicus Linnaeus, in Western Australia. Fisheries Research Report
No. 121.

Kordi, M. G. H. 2005. Budidaya ikan laut di keramba jaring apung.

Kurniadi, H., APrilia, E., Utomo, J.B., Kurniawan, A., and Safril, A., 2018. Perbandingan
Metode IDW Dan Spline dalam Interpolasi Data Curah Hujan. Prosiding
Seminar Nasional GEOTIK 2018, 213–220.

La Ode, M., Agus, H & Suminto. 2016. Analisis Kesesuaian Lokasi dan Data Spasial
Budidaya Laut berdasarkan Parameter Kualitas Perairan di Teluk Lasongko
Kabupaten Buton Tengah. Prosiding SENIATI, 80-A.
Lai JCY, Ng PKL, Davie PJF. 2010. A revision of the Portunus pelagicus (Linnaeus,
1758) species complex (Crustacea: Brachyura: Purtunidae), with the recognition
of four species. The Raffles Bulletin of Zoology. 58(2): 199-237.

Lo, C. P. 1995. Penginderaan Jauh Terapan. Diterjemahkan oleh Bambang


Purbowaseso; Sutanto (penyunting). Universitas Indonesia Press. Jakarta.

Lunn KE. Dearden P. 2006. Monitoring smallscale marine fisheries: an example from
Thailand’s Ko Chang archipelago. Fisheries Research. 77(2006): 60–71.

Malczewski, J. 1999. GIS and multicriterian decision analysis. New York: Wiley.

Marble D.F., Calkins H.W. and Peuquet D.J., 1984. Basic Reading in Geographic
Information System. SPAD System, Ltd. Williamsville, New York, USA.
Meaden, G. J. dan J. M. Kapetsky. 1991. Geographical Information System and
Remote Sensing in Inland Fisheries and Aquaculture. FAO Fisheries Technical
Paper No. 318. Rome.

Menteri Negara Lingkungan Hidup, “Baku Mutu Air Laut,” Keputusan Meneg. KLH No.
51 tahun 2004, Makassar, 6 Desember 2022

Munandar, R. K., Muzahar, A. Pratomo. 2014. Karakteristik Sedimen di Perairan Desa


Tanjung Momong Kecamatan Siantan, Kabupaten Kepulauan Anambas.
Skripsi. Universitas Maritim Raja Ali Haji. Kepualuan Riau.

Muzaki, A. A. 2008. Analisis Spasial kualitas Ekosistem Terumbu Karang Sebagai


Dasar Penentuan Kawasan Konservasi Laut dengan Metode Cell Based
Modelling di Karang Lebar dan Karang Congkak Kepulauan Seribu, DKI
Jakarta. Skripsi. Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan. Fakultas Perikanan
dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor
Ng PKL. 1998. In: The Living Marine Resources of The Western Central Pacific
Volume 2. CepHalopods, Crustaceans, Holothurians and Sharks. Carpenter K E
dan Niem V H (editor). FAO Species Identification Guide for Fishery Purposes.
Rome (IT). FAO of The United Nations. PP 1115-1131.

Nicholas Romano & Chaoshu Zeng (2006). "The effects of salinity on the survival,
growth and haemolymph osmolality of early juvenile blue swimmer crab,
Portunus pelagicus". Aquaculture 260: 151–162. Doi:
10.1016/j.aquaculture.2006.06.019.

Nontji, A. 2007. Laut Indonesia. Cetakan kelima (Edisi Revisi). Djambatan: Jakarta.
Nugraheni DI, Fahrudin A, Yonvitner. 2015. Variasi Ukuran Lebar Karapas dan
Kelimpahan Rajungan (Portunus pelagicus) di Perairan Kabupaten Pati.Jurnal
Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis. 7(2): 493-510

Odum, E. P. 1979. Dasar-Dasar Ekologi. Edisi Ketiga. Gadjah Mada University


Press. Oreginal English Edition. Fundamental of Ecology Thurd Edition,
Yokyakarta

Olea, R. A., 1999. Geostatistics for Engineers and Earth Scientists. Kluwer Academic
Publisher, London, UK.

Palo, M., Najamuddin, N., Marimba, A., Zainuddin, M., & Hajar, M. 2021. Program
Kemitraan Masyarakat (PPMU-PKM) Kelompok Nelayan “Bakau” Penangkap
Rajungan di Dusun Lantebung, Kelurahan Bira, Kecamatan Tamalanrea,
Makassar. Jurnal Pengabdian Masyarakat Hasanuddin, 36-42.

Poerbandono, E. A. & E. Djunasjah. 2005. Survei Hidrografi. Refika Aditama, Bandung.


166 hal.
Prahasta, E. 2001. Konsep-konsep Dasar Sistem Informasi Geografi. Informatika
Bandung: Bandung.

Pramono G.H., 2008, Akurasi Metode IDW dan Kriging Untuk Interpolasi Sebaran
Sedimen Tersuspensi di Maros, Sulawesi Selatan, Forum Geografi, Vol. 22, No.
1, pp. 145-158.

Purwadhi, F. S. H., Kardono, P., Karsidi, A., & Haryani, N. S. (2015). Rokmatuloh,
Aplikasi Penginderaan Jauh Sistem Informasi Geografis Untuk Pengembangan
Wilayah.
Puteri, A.S., 2019. Perbandingan Metode Interpolasi Secara Spasial Serta Evaluasi
Kerapatan Minimum Stasiun Pengamat Hujan Di Sulawesi Selatan. Universitas
Hasanuddin.

Putra, G. P. 2011. Potensi kawasan budidaya keramba perikanan laut menggunakan


Sistem Informasi Geografis (SIG) di wilayah Kepulauan Seribu, DKI Jakarta.

Radiarta, N., Prihadi, T.H., Saputra, A., Haryadi, J., dan Johan, O. 2006 “Penentuan
Lokasi Budidaya Ikan KJA menggunakan Analisis Multikriteria dengan SIG di
Teluk Kapuntori, Sulawesi Tenggara,” Jurnal Riset Akuakultur, vol. 1(3), pp.
303-318
Rahimah, I., Siregar, V., & Agus, S. 2019. Kesesuaian Daerah Penangkapan Rajungan
(Portunus pelagicus) Menggunakan Analisis Spasial Parameter Lingkungan dan
Hasil Tangkapan di Pulau Lancang. Marine Fisheries: Journal of Marine
Fisheries Technology and Management, 10(2), 165-176.

Rampengan. R. M. 2013. Tunggang Air Pasang Surut dan Muka Laut Rata-Rata di
Perairan Sekita Kota Bintung. Jurnal Perikanan dan Kelautan Topis vol 9 no.1:
27-30

Rosilawati, R. 2011. Perbandingan Analisis Metode Interpolasi Spasial Ordinary


Kriging dan Inverse Distance Weighted (IDW) Pada Penentuan Bahan Organik
Tanah di Kabupaten Sampang. Skripsi, Program Studi Matematika Universitas
Brawijaya: Malang.
Santoso, D., & Raksun, A. 2016. Karakteristik Bioekologi Rajungan (Portunus
Pelagicus) Di Perairan Dusun Ujung Lombok Timur. Jurnal Biologi Tropis.

Selamat, M. B., Samawi, Z., Zainuddin, M. F., & Massinai, A. 2015. Aplikasi sistem
informasi geografis dan penginderaan jauh satelit untuk evaluasi pemanfaatan
ruang budidaya rumput. Simposium Nasional Kelautan dan Perikanan II, 164-
173.

Serosero, R. 2011. Karakteristik habitat kepiting bakau (Scylla spp). Jurnal Ilmiah
Agribisnis dan Perikanan 4(1): 69 – 73.

Smith H. 1982. Blue Swimmer Crabs in South Australia – their Status, Potential and
Biology. Safic. 6(5):6-9.

Smith, J., Lee, C., & Tan, L. 2015. Cell Based Modelling for Mapping Environmental
Suitability of Blue Crab Aquaculture. Aquaculture, 448, 223-230.

Sumantri S. H., Supriyatno M., Sutisna S., dan Widana D. K. K. 2019. Sistem Informasi
Geografis (Geographic Information System) Kerentanan Bencana. CV. Makmur
Cahaya Ilmu. Jakarta

Sumpton WD, MA Potter and GS Smith.1994. Reproductions and Growth of the


Commercial Sand Crab (Portunus pelagicus) in Moreton Bay Queensland.
Asian Fisheries Science 7:103-133.
Sunarto. 2012. Karakteristik bioekologi rajungan di perairan laut Kabupaten Brebes
[disertasi]. Sekolah Pascasarjana. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor

Supriyadi, E., Siswanto, S., & Pranowo, W. S. 2019. Karakteristik Pasang Surut Di
Perairan Pameungpeuk, Belitung, Dan Sarmi Berdasarkan Metode Admiralty.
Jurnal Meteorologi dan Geofisika, 19(1), 29. Doi:10.31172/jmg.v19i1.518.

Suwito, C. D. 2019. Nisbah Kelamin Dan Struktur Ukuran Rajungan Portunus


Pelagicus Yang Tertangkap Di Beberapa Stratifikasi Kedalaman Di Perairan
Makassar (Doctoral Dissertation, Universitas Hasanuddin).
Syahidah, D., B. Susanto, I. Setiadi., 2003. Percobaan Pemeliharaan Megalopa
Rajungan, Portunus pelagicus Sampai Menjadi Rajungan Muda Dengan
Kisaran Salinitas Berbeda. Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Gondol 2: 1-
6.

Ulum, M., & Khomsin. 2013. Perbandingan Akurasi Prediksi Pasang Surut Antara
Metode Admiralty Dan Metode Least Square. GEOID, 09(01), 65–72.

Wright DJ, Heyman WD. 2008. Introduction to the special issue: Marine and Coastal
GIS for Geomorphology, Habitat Mapping, and Marine Reserves. Marine
Geodesy. 31: 223-230.

Yoganda, M., Hendri, A., Suprayogi, I., Jurusan, M., Sipil, T., Teknik, F., Riau, U.,
Jurusan, D., Sipil, T., Teknik, F., & Riau, U. 2019. Kajian Pasang Surut dengan
Metode Least Square di Perairan Kabupaten Bengkalis. Jom FTEKNIK, 6(1),1-
9.

Yona, D., Hidayati, N., Sambah, A. bakar, Sartimbul, A., Harlyan, L. I., Rahman, M. A.,
Fuad, M. A. Z., Iranawati, F., & Sari, S. H. J. S. 2017. Fundamental
Oseanografi. UB Press Malang.
Yulius, Tanto TA, Ramadhan M, Putra A, Salim HL. 2014. Perubahan tutupan lahan di
pesisir Bungus Teluk Kabung, Sumatra Barat tahun 2003-2013 menggunakan
system informasi geografis. Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis. 6(2):
311318.

Pemdes Lantebung, 2023. Pembukuan Kelompok Nelayan Lantebung. Makassar:


Sekretariat Pemerintah Desa Lantebung.

Nurainun, Najamuddin, Ahmadin. 2022. Nelayan Rajungan di Kampung Lantebung


Kota Makassar 2000-2019. Jurnal Pemikiran Kesejahteraan dan Pendidikan
Sejarah. 20 (2), 106-118.

Ditjen PDSPKP. 2022. Statistik Ekspor Perikanan 2017-2021. Jakarta: Sekretariat


Direktorat Jenderal Penguatan Daya Saing Produk Kelautan dan Perikanan.

Kepmen KP No.19. 2022. Estimasi Potensi Sumber Daya Ikan, Jumlah Tangkapan
Ikan yang diperbolehkan, dan Tingkat Pemanfaatan Sumber Daya Ikan di
Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia. Makassar, 19 Juni
2023.

Anda mungkin juga menyukai