Proposal Penelitian - A.m.adnan Kurniawan - L011181044 - 3
Proposal Penelitian - A.m.adnan Kurniawan - L011181044 - 3
PROPOSAL PENELITIAN
A. M. ADNAN KURNIAWAN
L011 18 1044
DAFTAR ISI...............................................................................................................................ii
DAFTAR TABEL......................................................................................................................iii
DAFTAR GAMBAR..................................................................................................................iv
I. PENDAHULUAN...............................................................................................................1
A. Latar Belakang............................................................................................................1
B. Tujuan dan Kegunaan...............................................................................................2
II. TINJAUAN PUSTAKA........................................................................................................3
A. Morfologi Rajungan....................................................................................................3
B. Distribusi Geografis...................................................................................................4
C. Habitat Rajungan........................................................................................................4
D. Budidaya Rajungan....................................................................................................5
E. Parameter Lingkungan Perairan untuk Pembesaran Rajungan......................7
F. Sistem Informasi Geografis (SIG).........................................................................11
G. Aplikasi SIG untuk Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Perikanan.........12
H. Kondisi Umum Dusun Lantebung........................................................................14
III. METODE PENELITIAN..................................................................................................15
A. Waktu dan Tempat Penelitian................................................................................15
B. Alat dan Bahan..........................................................................................................15
C. Prosedur Penelitian..................................................................................................16
1. Pengumpulan Data................................................................................................16
2. Pengambilan Data.................................................................................................17
3. Pengolahan Data....................................................................................................19
4. Penyusunan Basis Data.......................................................................................22
D. Analisis Data SIG......................................................................................................22
1. Perhitugan Bobot...................................................................................................22
2. Perhitungan Tingkat Kesesuaian.......................................................................23
3. Interpolasi................................................................................................................24
4. Overlay.....................................................................................................................25
DAFTAR PUSTAKA...............................................................................................................27
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Parameter, lokasi pengukuran dan peralatan dalam pengambilan data..........17
Tabel 2. Skala Wentworth untuk mengklasifikasi sedimen menurut ukuran butir....Error!
Bookmark not defined.
Tabel 3. Matriks kesesuaian parameter lingkungan perairan, pembesaran rajungan...23
Tabel 4. Kategori kesesuaian lahan.....................................................................................24
Tabel 5. Kategori kesesuaian parameter lingkungan perairan, pembesaran rajungan. 24
DAFTAR GAMBAR
A. Latar Belakang
A. Morfologi Rajungan
Filum : Arthropoda
Kelas : Crustacea
Sub Kelas : Malacostraca
Ordo : Eucaridae
Sub Ordo : Decapoda
Famili : Portunidae
Genus : Portunus
Spesies : Portunus pelagicus
Telur rajungan memiliki sifat planktonik dan akan menetas setelah 15 hari pada
suhu 24ºC. Rajungan cenderung aktif pada malam hari, dimulai saat matahari
tenggelam untuk mencari makan. Menurut Kangas (2000), rajungan kecil dan dewasa
memiliki makanan yang berbeda. Rajungan kecil memakan amphipoda, sementara
rajungan dewasa memakan polychaeta dan teleosta. Perbedaan ini diduga terkait
dengan ukuran capit dan otot pada rajungan serta kemampuan rajungan dewasa untuk
memangsa dengan ukuran yang lebih besar seperti polychaeta. Rajungan akan
berhenti makan sebelum dan selama proses moulting, tetapi setelah moulting mereka
akan mencari bahan organik sebagai makanan.
B. Distribusi Geografis
C. Habitat Rajungan
D. Budidaya Rajungan
Lebih terperinci dijelaskan oleh Ghufran (2019) terkait konstruksi bahan yang
digunakan untuk budidaya dapat menggunakan Jaring dengan mata jaring (mesh size)
2-2,5 cm. Untuk budidaya rajungan tersendiri, digunakan jaring rangkap (2 lapis).
Dinding jaring sebelah dalam digunakan polinet biru (mata jaring 1 mm) untuk
mencegah rajungan budidaya keluar dari wadah, dan jaring bagan (mata jaring 2 cm)
di sebelah luar sebagai penguat dan mencegah serangan predator. Apabila lokasi
budidaya tidak terlindung atau sering diterpa gelombang sehingga mengaduk dasar
perairan, sebaiknya digunakan model jaring kantong yang dipasang mendasar. Dasar
jaring kantong bermata jaring besar (2 cm). Kemudian keliling dinding bagian dalam
ditindih karung berisi pasir dan bagian tengahnya disiram pasir setebal 25 cm.
1. Salinitas
Kandungan garam dalam air laut dikenal sebagai salinitas yang memiliki
pengaruh yan signifikan terhadap kelangsungan hidup pada fase awal pertumbuhan
rajungan. Pada kisaran salinitas yang optimal dan stabil, energi yang biasanya
digunakan untuk mengatur keseimbangan kepekatan cairan dalam tubuh rajungan
dapat digunakan untuk meningkatkan pertumbuhan (Ghufran, 2010). Rajungan
memiliki kemampuan untuk beradaptasi dengan perubahan salinitas dan melakukan
migrasi dari daerah salinitas dan melakukan migrasi dari daerah salinitas relatif rendah
ke perairan yang lebih dalam dengan salinitas lebih tinggi dan sebaliknya, sesuai
dengan siklus hidupnya. Hal ini menunjukkan bahwa rajungan memiliki toleransi yang
cukup tinggi terhadap perubahan salinitas (Nicholas Romano dan Chaoshu Zeng,
2006).
Rajungan dapat hidup pada kisaran salinitas yang luas, yaitu mulai dari 15
hingga 42 ppt di habitat alaminya. Rajungan beradaptasi dengan melakukan proses
osmoregulasi, di mana tekanan osmotik dalam tubuhnya disesuaikan dengan tekanan
osmotik di sekelilingnya. Meskipun proses ini membutuhkan energi yang besar,
rajungan dapat menyesuaikan diri dengan cepat terhadap perubahan salinitas.
Rajungan dapat hidup dengan baik pada salinitas 26-32 ppt (part per thousand)
(Ghufran, 2019). Menurut Ihsan (2015), salinitas yang ideal untuk pembesaran
rajungan berkisaran 31-36 ppt.
2. Suhu
Tolak ukur yang digunakan untuk menentukan apakah perairan bersifat asam
atau basa disebut Potential of Hydrogen (pH), nilai pH ini dapat dijadikan sebagai
indikator kualitas perairan. Tingkat keasaman mempengaruhi tingkat kesuburan
perairan karena dapat mempengaruhi kehidupan mikroorganisme yang hidup di
dalamnya (Jumadi, 2011). Nilai pH perairan dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor,
seperti aktivitas fotosintesis, suhu, serta pencemaran dari industri rumah tangga.
Perairan dengan nilai pH yang terlalu basa (>11) atau terlalu asam (<5) dapat
menyebabkan kematian organisme dan gangguan pada system reproduksinya. Secara
umum, nilai pH perairan di laut relatif stabil dan biasanya berkisar antara 7,0 hingga
9,0 (Jumadi, 2011).
Effendy (2006) menyatakan bahwa Derajat Kemasaman (pH) memiliki dampak
besar terhadap organisme yang dibudidayakan di perairan. Perubahan pH dapat
berdampak negatif pada kehidupan biota perairan baik secara langsung maupun
secara tidak langsung. Perubahan pH mempengaruhi enzim metabolisme tubuh dan
komposisi kimiawi dalam air, dan toksitas kimiawi. Organisme perairan dapat
mentolerir nilai pH antara 5-9. Menurut Syahidah et al., (2003), pH 7,0-8,5 masih
dianggap normal untuk kehidupan larva rajungan tahap megalopa. Juwana dan
Romimohtarto (2000) mengatakan bahwa pH yang optimal untuk megalopa rajungan
adalah 7,85-8,5. Nilai pH optimal untuk pembesaran rajungan berkisar 6,78 – 8,0
(Ihsan, 2015).
Oksigen terlarut adalah jumlah oksigen yang terlarut dalam air dan diukur
dalam satuan mg/L. Konsentrasi dan ketersediaan oksigen terlarut merupakan faktor
pembatas bagi biota yang dibudidayakan, karena oksigen terlarut sangat penting bagi
kelangsungan kehidupan biota. Kandungan oksigen yang tinggi di perairan
mengindikasikan tingginya produktivitas primer. Kelarutan oksigen perairan
dipengaruhi oleh suhu, salinitas, dan tekanan udara. Oksigen terlarut merupakan
parameter penting dalam budidaya rajungan, karena pengaruh oksigen terlarut sangat
penting bagi kelangsungan hidup dan pertumbuhan rajungan (Ihsan, 2019).
Kandungan oksigen terlarut yang baik untuk kehidupan dan pertumbuhan
rajungan berkisar pada nilai 5,2 ppm menurut Effendy et al., (2006). Tingginya
masukan bahan organic ke perairan laut dapat berdampak pada rendahnya nilai
kandungan DO. Hal ini disebabkan karena kandungan DO di perairan dimanfaatkan
untuk mendekomposisi bahan organic yang terdapat di perairan (Rahimah et al.,
2019). Untuk budidaya rajungan, kandungan oksigen terlarut untuk pertumbuhan
terbaik rajungan antara 4-7 ppm (part per million) (Ghufran, 2019).
5. Tipe Substrat
Variabel ini berhubungan dengan kebiasaan hidup dan sifat fisiologis. Rajungan
hidup di daerah pantai berpasir lumpur, di perairan depan hutan mangrove, teluk yang
tidak berangin atau berombak, dan di daerah estuarin. Rajungan hidup dengan
membenamkan diri di dalam lumpur dan pasir (Ghufran, 2019). Setiap fase siklus
hidup rajungan memiliki preferensi habitat yang berbeda. Menurut Edgar (1990),
rajungan dewasa lebih menyukai substrat berpasir atau lumpur berpasir pada perairan
dangkal hingga kedalaman 50 m. Sedangkan Smith (1982) menjelaskan bahwa
rajungan-rajungan muda banyak ditemukan di daerah mangrove dan berlumpur
dengan ukuran lebar karapas mencapai 80 sampai dengan 100 mm.
Rajungan betina membutuhkan substrat berpasir untuk kesuksesan
pengeluaran telurnya dan menempelkannya pada pleopod (Champbell, 1984). Hal
yang sama dinyatakan oleh Sumpton et al. (1994) bahwa persentase rendah dari
rajungan betina dalam perikanan komersial di Teluk Moreton Australia selama periode
pemijahan telah memperlihatkan adanya migrasi betina dewasa menuju bagian yang
berpasir untuk mengeluarkan telurnya. Djunaedi (2009) melaporkan bahwa substrat
pasir, lumpur dan liat tidak berbeda nyata dalam mempengaruhi kelulushidupan crablet
rajungan. Namun, Hasil penelitian Agus Putra et al., (2021) menunjukkan bahwa
substrat pasir, lumpur berpasir, lumpur, kerikil, pasir dan kerikil menghasilkan tingkat
kelangsungan hidup, pertumbuhan panjang, dan pertambahan berat dan rasio konversi
pakan yang berbeda nyata (P<0,05). Berdasarkan pengamatan tersebut, substrat pasir
menunjukkan pengaruh terbaik untuk pertumbuhan dan kelangsungan hidup rajungan.
Namun tidak hanya substrat perairan yang dijadikan patokan untuk kesesuaian lokasi
budidaya, perlu memperhatikan parameter kualitas perairan yang berpengaruh untuk
budidaya.
6. Arus
Arus sangat penting dalam membantu proses pertukaran air afau sirkulasi
khususnya dalam melakukan budidaya laut dalam jakusar ataupun hampang. Adanya
arus perairan, di samping dapat berfungsi membersihkan timbunan sisa-sisa
metabolisme biota budidaya, juga membawa oksigen terlarut yang sangat dibutuhkan
oleh biota bahkan dapat pula membawa padatan tersuspensi serta berpengaruh
terhadap organisme penempel (Dahuri, 2003; Akbar dan Sudaryanto, 2001). Namun,
arus air berlebihan harus dicegah, sebab disamping dapat merusak alat budidaya, juga
dapat menyebabkan stress pada biota yang dibudidayakan, karena energinya banyak
terbuang dan selera makan berkurang. Kecepatan arus yang ideal untuk penempatan
jakusar dan hampang adalah 20-50 cm/detik (Ghufran, 2019).
7. Kedalaman
Kedalaman suatu perairan didasari pada relief dasar dari perairan tersebut
(Wibisono, 2005). Perairan yang dangkal, kecepatan arus relatif cukup besar dibanding
dengan kecepatan arus pada daerah yang lebih dalam (Odum, 1979). Semakin
dangkal perairan semakin dipengaruhi oleh pasang surut, yang mana daerah yang
dipengaruhi pasang surut dapat menyebabkan variasi suhu dan padatan tersuspensi.
Dalam kegiatan budidaya variable ini berperan dalam penentuan instalasi budidaya
yang akan dikembangkan dan akibat-akibat yang ditimbulkan oleh kegiatan tersebut
(Kangkan, 2006). Hal ini selaras dengan penelitian Putra (2011) bahwa kedalaman
perairan berperan dalam penentuan desain konstruksi budidaya laut, baik itu berupa
jaring kurung dasar (jakusar) ataupun hampang. Kedalaman perairan untuk
penempatan alat pembesaran rajungan seperti jakusar dan hampang sebaiknya
berada pada 0,5-1,5 m pada surut terendah (Ghufran, 2019).
8. Pasang Surut
Pasang surut merupakan suatu fenomena naik turun muka air laut secara
periodik disebabkan oleh adanya gaya gravitasi antara bulan dan matahari yang juga
dapat mengakibatkan terjadinya perubahan bentuk bumi (Poerbandono, 2005; Effendi,
2017). Pasang surut dapat mengganti air secara total dan terus menerus sehingga
perairan terhindar dari pencemar (Winanto, 2004). Pengamatan pasang surut
bertujuan untuk mendapatkan elevasi muka air laut dan sebagai penentu dalam
perencanaan di masa mendatang. Pengukuran kedalaman perairan seringkali
disandingkan dengan pasang surut yang dijadikan sebagai acuan kedalaman
(Rampengan, 2013).
1. Semi diurnal tide pasang surut harian ganda, dimana dalam satu hari terjadi dua
kali air pasang dan dua kali air surut yang terjadi secara periodik rata-rata 12 jam
25 menit. Pasang surut harian ganda biasanya terjadi di Selat Malaka hingga Laut
Andaman.
2. Diurnal tide pasang surut harian tunggal, dimana dalam satu hari terjadi satu kali
air pasang dan satu kali air surut dengan periode pasang surut 24 jam. Pasang
surut harian tunggal terjadi di perairan Selat Karimata.
3. Mixed tide prevailing semidiurnal pasang surut campuran condong ke harian
ganda, dalam satu hari terjadi dua kali air pasang dan dua kali air surut dengan
tinggi dan periode yang berbeda. Pasang surut campuran dominasi ganda ini
banyak dijumpai di perairan Indonesia Timur.
4. Mixed tide prevailing diurnal pasang surut campuran condong ke harian tunggal,
dalam satu hari terjadi satu kali air pasang dan satu kali air surut, terkadang terjadi
dua kali air pasang dan dua kali air surut dengan periode yang berbeda. Pasang
surut harian tunggal banyak dijumpai di Selat Kalimantan, Pantai Utara Jawa
Barat.
Sistem informasi geografis (SIG) adalah sebuah sistem komputer yang terdiri
dari perangkat keras, perangkat lunak, dan manusia yang dirancang untuk
memasukkan, menyimpan, memperbaharui, memanipulasi, menganalisis, dan
menampilkan informasi yang berhubungan dengan lokasi geografis (Prahasta, 2001).
SIG digunakan untuk mengumpulkan, menyimpan, dan menganalisis objek dan
fenomena memerlukan analisis lokasi geografis yang penting atau kritis. SIG dapat
mengorganisasikan dan memanfaatkan data dari peta digital yang tersimpan dalam
basis data (Budiyanto, 2002). Dalam SIG, dunia nyata dipetakan dalam bentuk peta
digital yang mencakup informasi posisi di ruang, klasifikasi, atribut data, dan hubungan
antara item data (Prahasta, 2001).
Sistem informasi geografis (SIG) memproses data yang berorintasi geografis
atau spasial, yang memiliki lokasi dengan sistem koordinat tertentu sebagai dasar
referensi. Dengan demikian, SIG dapat digunakan untuk menjawab berbagai
pertanyaan tentang lokasi, kondisi, tren, pola, dan pemodelan, kesesuaian lahan. Hal
ini yang membuat SIG berbeda dari sistem informasi lainnya (Sumantri et al., 2019).
Data spasial dapat direpresentasikan dalam dua format yaitu data vektor dan data
raster (GIS Konsorsium Aceh Nias, 2007). Data vektor merupakan bentuk bumi yang
direpresentasikan dalam bentuk garis, area, titik dan nodes (titik perpotongan antar
dua garis). Sementara data raster atau data grid yaitu data yang dihasilkan dari sistem
penginderaan jarak jauh atau hasil convert data polygon to raster. Pada data raster,
objek direpresentasikan sebagai struktur sel grid yang disebut dengan piksel. Resolusi
tergantung pada ukuran piksel, dengan kata lain resolusi piksel menggambarkan
ukuran sebenarnya di permukaan bumi yang diwakili oleh setiap pikselnya. Contoh dari
data vektor dan data raster seperti yang terdapat pada Gambar 5.
Metode Cell Based Modelling merupakan salah satu teknik analisis spasial
yang digunakan untuk memetakkan kesesuaian parameter lingkungan perairan untuk
pembesaran rajungan dengan membagi wilayah menjadi sel-sel kecil atau piksel.
Setiap sel diberi nilai atau parameter yang mempresentasikan kualitas lingkungan di
dalamnya, seperti suhu, salinitas, DO, dll, kemudian parameter ini dihubungkan
dengan preferensi hidup dan pertumbuhan rajungan untuk menentukan sel mana yang
paling cocok untuk kegiatan pembesaran rajungan berdasarkan bobot setiap
parameter yang disesuaikan dengan tingkat pentingnya parameter tersebut dalam
menentukan preferensi hidup rajungan (Smith et al., 2015). Dalam mengoperasikan
piksel pada Cell Based Modelling, terdapat setidaknya 5 kelompok yang dibagi sebagai
berikut (ESRI, 2002):
1. Local function: operasi piksel yang hanya melibatkan satu sel dimana nilai piksel
output ditentukan oleh satu piksel input.
2. Focal function: operasi piksel yang hanya melibatkan beberapa sel terdekat.
3. Zonal function: operasi piksel yang hanya melibatkan suatu kelompok sel yang
memiliki nilai atau keterangan yang sama.
4. Global function: operasi piksel yang melibatkan keseluruhan sel dalam data raster
dan gabungan antara kelompok-kelompok tersebut.
5. Application function: gabungan dari keempat operasi diatas yang meliputi local
function, focal function, zonal function, dan global function.
Penelitian ini akan dilaksanakan pada bulan April-Juni 2023. Lokasi penelitian
bertempat di perairan Dusun Lantebung, Kota Makassar (Gambar 6.). Analisis sampel
sedimen akan dilaksanakan di Laboratorium Oseanografi Fisika dan Geomorfologi
Pantai Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, Universitas Hasanuddin.
C. Prosedur Penelitian
1. Pengumpulan Data
2. Pengambilan Data
a) Suhu
Pengukuran suhu permukaan laut dengan alat thermometer dilakukan dengan
cara menyelupkan thermometer ke permukaan air selama beberapa saat dengan
terlebih dahulu mengikatnya dengan tali agar tidak lepas. Setelah itu, dilakukan
pembacaan terhadap skala yang ditunjukkan oleh thermometer. Kemudian, dilakukan
pencatatan posisi dan waktu saat pengukuran.
b) Salinitas (ppt)
Pengukuran salinitas dilakukan langsung dilapangan dengan menggunakan alat
Hand Refraktometer. Kaca prisma pada alat tersebut terlebih dahulu dikalibrasi
menggunakan aquades dan dibersihkan menggunakan tissue. Selanjutnya, kaca
prisma ditetesi 2 sampai 3 tetes sampel air dan dilakukan pembacaan pada tempat
yang terang untuk memudahkan melihat skala yang ditunjukkan pada alat. Setelah itu,
dilakukan kembali kalibrasi pada alat dan bersihkan menggunakan tissue.
d) Tipe Substrat
Pengambilan data dari lapangan berupa sampel sedimen pada setiap titik
sampling yang sudah ditentukan dengan menggunakan alat Grab Sampler. Cara kerja
alat Grab Sampler dalam mengambil sedimen yaitu terlebih dahulu menurunkan alat
hingga mencapai dasar perairan. Kemudian pemberat pada tali yang terhubung
dengan alat dilepaskan agar alat yang berada didasar perairan otomatis terkunci dan
sedimen akan terperangkap pada alat. Setelah itu, alat diangkat ke permukaan dan
sampel sedimen setiap titik sampling dimasukkan kedalam plastik sampel dan
disimpan pada coolbox, kemudian akan dianalisis di laboratorium untuk penentuan tipe
substrat.
e) Kecepatan Arus
Pengukuran arus di perairan dangkal seperti teluk, perairan pantai, sekitar
muara dapat dilakukan dengan mengukur arus pasang surut. Pengukuran arus pasut
dijelaskan secara singkat sebagai berikut: Untuk pengukuran kecepatan arus dilakukan
dengan menggunakan layang-layang arus, yakni dengan menetapkan jarak tempuh
layang-layang arus (5-10 meter) kemudian mengukur waktu tempuh layang-layang
arus tersebut. Arah arus ditentukan dengan menggunakan kompas dengan menshoot
arat pergerakan layang-layang arus.
f) pH
Pengukuran derajat keasaman (pH) menggunakan alat pH meter yang
dilakukan pada setiap stasiun. Pengukuran dilakukan dengan cara menyelupkan pH
meter ke permukaan air, kemudian secara otomatis sensor pada alat akan merekam
dan menampilkan nilai pH perairan pada layar tampilan.
g) Kedalaman Perairan
Pengukuran kedalaman dilakukan secara langsung dilapangan dengan
menggunakan alat modifikasi kedalaman dengan bahan tali yang diikatkan dengan
pemberat. Posisi kedalaman disesuaiakan dengan titik sampling yang telah ditentukan
agar dapat menghasilkan kontur pada peta kedalaman/batimetri. Setelah tali
menyentuh dasar perairan dengan tegang, tali diberikan penanda dan dilakukan
pengukuran panjang tali yang menyentuh dasar perairan dengan meteran. Untuk
setiap titik, dilakukan pencatatan waktu saat pengukuran sebagai bahan koreksi
terhadap pasang surut agar dapat diketahui kedalaman perairan yang sesungguhnya
terhadap referensi Mean Sea Level (MSL).
3. Pengolahan Data
a) Data Arus
Besar kecepatan arus dapat dihitung melalui rumus (Bahar, 2015):
S
V=
t
Keterangan :
V = Kecepatan arus (m/detik)
S = Jarak tempuh layang-layang arus (meter)
t = Waktu tempuh yang digunakan (detik)
b) Pasang Surut
Perhitungan pasang surut menggunakan metode Admiralty dilakukan dengan
bantuan tabel dengan perhitungan sistem weformula menggunakan microsoft excel.
Metode ini menggunakan 3 tabel konstanta dan 8 buah skema, masing-masing skema
merupakan bentuk hasil akhir dari olahan skema sebelumnya. Uraian diagram alir
dalam pengerjaan metode Admiralty digambarkan pada gambar 7.
A K 1+ A O 1
F=( )
A M 2+ A S 2
Keterangan:
F = Bilangan Fomzhal
AK1 = Amplitudo konstanta pasang surut tunggal utama yang disebabkan
gaya tarik bulan.
AO1 = Amplitudo konstanta pasang surut tunggal utama yang disebabkan
gaya tarik matahari.
AM2 = Amplitudo konstanta pasang surut ganda utama yang disebabkan
gaya tarik bulan.
AS2 = Amplitudo konstanta pasang surut ganda utama yang disebabkan
gaya tarik matahari.
Nilai akhir perhitungan bilangan Fomzhal akan menunjukkan tipe pasang surut
suatu parairan. Berikut ini penjelasan nilai bilangan Fomzhal (Yona et al., 2017) :
1. Pasang surut harian ganda, jika (0 < F < 0,25).
2. Pasang surut campuran dominasi ganda, jika (0,25 < F < 1,5).
3. Pasang surut campuran dominasi tunggal, jika (1,5 < F < 3).
4. Pasang surut harian tunggal, jika (F > 3).
c) Koreksi Kedalaman
Hasil pengukuran kedalaman dikoreksi dengan MSL pasang surut untuk
memeroleh kedalaman yang sebenarnya terhadap lokasi pengamatan (Bahar, 2015).
Dt=dt+(MSL−Ht)
Keterangan:
Dt = Kedalaman terkoreksi
dt = Kedalaman suatu titik saat pengamatan jam t
MSL = Rata-rata tinggi permukaan air laut
Ht = Tinggi muka air terhadap 0 rambu pasut saat pengamatan jam t.
1. Perhitugan Bobot
Dalam menentukan pemberian bobot disetiap parameter, diperlukan
pendekatan jumlah rangking (metode rank sum) dengan rumus (Malczewski, 1999):
n−rj+1
Wj =( )
Ʃ(n−rp+1)
Keterangan:
Wj = Bobot Parameter (j=1,2,3…,n)
rj = Posisi Ranking suatu parameter; rp = Parameter (p=1,2,3,…,n)
n = Jumlah Parameter
Adapun hasil dari perhitungan bobot, dapat dilihat pada matriks (nilai pada tiap
parameter akan berbeda, tergantung pada ranking) yang tertera pada Tabel 3.
Tabel 2. Matriks kesesuaian parameter lingkungan perairan, pembesaran rajungan
No Parameter Kategori Kesesuaian Skor Bobot Total Skor
1 Suhu (ºC) >28 - 31 3 0,75
(Ihsan, 2015) 26 - 28 dan >31 - 33 2 0,25 0,50
<26 dan >33 1 0,25
2 Salinitas (ppt) >31 - 36 3 0,64
(Ihsan, 2015) 29-31 dan >36-38 2 0,21 0,43
<29 dan >38 1 0,21
3 DO (mg/l) >4-6 3 0,54
(Ihsan, 2015) 3,5 - 4 dan >6 - 6,5 2 0,18 0,36
<3,5 dan >6,5 1 0,18
4 Tipe Substrat Pasir, Pasir Berlumpur 3 0,43
(Agus Putra et al., Lumpur Berpasir 2 0,14 0,29
2021) Lumpur 1 0,14
5 Kecepatan Arus (m/s) >0,2 - 0,4 3 0,32
(Ghufran, 2019; Kordi, 0,05 - 0,2 2 0,11 0,21
2005) >0,4 1 0,11
6 pH >6,78 - <8,0 3 0,21
(Ihsan, 2015) 6 - 6,78 dan 8 - 8,5 2 0,07 0,14
<6 dan >8,5 1 0,07
7 Kedalaman >10 3 0,11
(Radiarta et al., 2006) 4-10 2 0,04 0,07
<4 1 0,04
Jumlah skor maksimun (SHBmax) = 3 Jumlah skor minimun (SHBmin) = 1
Ci = ( ( SHBmax n– SHBmin) ) ( ( 3 3– 1) )
= = 0,66
Nilai Ci, SHBmax, dan SHBmin yang telah didapatkan, selanjutnya digunakan
dalam penentuan kategori kesesuaian Lahan, seperti yang tertera pada Tabel 4.
Menurut Suwarsito dan Anang (2017), terdapat 3 kelas pembesaran rajungan, yaitu:
1) Kelas S1: sangat sesuai (highly suitable), Wilayah perairan ini sangat sesuai
untuk budidaya rajungan tanpa adanya faktor pembatas yang berarti atau tidak
memiliki faktor pembatas yang berpengaruh dan tidak akan menurunkan
produktifitasnya.
2) Kelas S2: sesuai (moderately suitable), Wilayah perairan ini mempunyai faktor
pembatas yang berpengaruh terhadap kegiatan budidaya. Kegiatan budidaya
dapat tetap berjalan tetapi memerlukan perlakuan dan masukan dari pelaku
budidaya.
3) Kelas N: tidak sesuai (non-suitable) merupakan daerah yang memiliki pembatas
permanen, sehingga tidak memungkinkan untuk dijadikan lokasi dalam budidaya.
Tabel 3. Kategori kesesuaian lahan
Interval Tingkat Kesesuaian
X0 (=Nilai SHBmin) - X1 (= X0 + Ci) Tidak Sesuai (N)
X1 - X2 (= X1 + Ci) Sesuai (S2)
X2 - X3 (=Nilai SHBmax) Sangat Sesuai (S1)
Keterangan:
X0 = Nilai skor minimun (SHBmin) skala penilaian
X1 = Hasil penjumlahan dari X0 dengan nilai antar kelas
X2 = Hasil penjumlahan dari X1 dengan nilai antar kelas
X3 = Nilai skor maksimun (SHBmax) skala penilaian
Tabel 4. Kategori kesesuaian parameter lingkungan perairan, pembesaran rajungan
Interval Tingkat Kesesuaian
1,00 – 1,66 Tidak Sesuai (N)
1,67 – 2,33 Sesuai (S2)
2,34 – 3.00 Sangat Sesuai (S1)
3. Interpolasi
√
n
∑ ( X−Y )²
i=1
RMSE=
n
Keterangan :
X = Nilai estimasi parameter hasil interpolasi;
Y = Nilai parameter berdasarkan data lapangan;
n = Jumlah data lapangan.
Dari hasil pengujian nilai RMSE (mendekati 1), dapat menginterpretasikan
bahwa semakin besar kesalahan letak informasi posisi pada data tersebut. Oleh
karena itu, dalam menguji akurasi setiap metode, nilai Root Mean Square Error
(RMSE) harus mendekati 0. Artinya, nilai yang diprediksi menggunakan metode
Interpolasi akan semakin dekat dengan nilai yang diukur atau nilai yang sebenarnya
(Chaidir, 2012). Semakin kecil nilai RMSE, maka semakin akurat pula model tersebut
(ESRI, 2011).
4. Overlay
Adam, Jaya I, Sondita MFA. 2006. Model bioekonomi perairan pantai (in-shore) dan
lepas pantai (off-shore) untuk pengelolaan perikanan rajungan (Portunus
pelagicus) di perairan Selat Makassar. Jurnal Ilmu-ilmu Perairan dan Perikanan
Indonesia. 13(1): 33-43.
Agus Putra AS., Mastuti, R., & Sinaga, S. 2021. Pengaruh Penggunaan Substrat yang
Berbeda Terhadap Pertumbuhan dan Kelangsungan Hidup Larva Rajungan
(Portunus pelagicus). Jurnal Sumberdaya Akuatik Indopasifik, 5(3), 263-272.
Ahmad, R., Hendri, A., & Fauzi, M. 2017. Pengaruh Simulasi Awal Data Pengamatan
Terhadap Efektivitas Prediksi Pasang Surut Metode Admiralty (Studi Kasus
Pelabuhan Dumai). Jom FTEKNIK, 4(2), 1–10.
ChampbellGR. 1984. A comparative study of adult sexxal behavior and larval ecology
of three comercial important portunid crab from the Moreton Bay region of
Queensland Australia. University of Queensland.Australia.
Dahuri, R. 1997. Pendayagunaan Sumberdaya Kelautan Untuk Kesejahteraan Rakyat
(Kumpulan Pemikiran Dr. Ir. Rokhmin Dahuri, MS.). LISPI. Jakarta.
Edgar GJ. 1990. Predator-prey Interactions in Seagrass Beds. II. Distribution and Diet
of The Blue Manna Crab Portunus pelagicus Linnaeus at Cliff Head, Western
Australia. J.Exp. Mar. Bio. Ecol. 139(3):23-32.
Effendi, R. Guntur, H. & Heryoso, S. 2017. Peramalan Pasang Surut Di Sekitar
Perairan Tempat Pelelangan Ikan (Tpi) Banyutowo, Kabupaten Pati, Jawa
Tengah. Jurnal Oseanografi vol. 6 no.1: 221-227.
Effendi. H. 2003. Telaah Kualitas Air bagi Pengelolaan Sumberdaya dan Lingkungan
Perairan. Penerbit Kanisius, Yogyakarta.
Effendy. S, Sudirman. Bahri S., E Nurcahyono, H. Batubara, Syaichudin. 2006.
Petunjuk Teknis Pembenihan Rajungan Portunus pelagicus Linnaeus.
Departemen Kelautan Dan Perikanan Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya.
Balai Budidaya Air Payau Takalar.
ESRI. 2002. Using ArcGIS Spatial Analyst. Environmental System Research Institute,
Inc. New York.
GIS Konsorsium Aceh Nias. 2007. Modul pelatihan arcgis tingkat dasar. Pemerintah
Kota Banda Aceh. Banda Aceh.
Hartoko, A and Helmi, M. 2004 “Development of Digital Multilayer Ecological Model for
Padang Coastal Water (West Sumatera),” Journal of Coastal Development, vol
7 (3), pp. 129-136
Ihsan, I., Asbar, A., & Asmidar, A. 2019. Kajian Kesesuaian Lingkungan Perairan untuk
Budidaya Rajungan dalam Karamba Jaring Ditenggelamkan di Perairan
Kabupaten Pangkep Provinsi Sulawesi Selatan. Prosiding Simposium Nasional
Kelautan dan Perikanan, (6).
Kurniadi, H., APrilia, E., Utomo, J.B., Kurniawan, A., and Safril, A., 2018. Perbandingan
Metode IDW Dan Spline dalam Interpolasi Data Curah Hujan. Prosiding
Seminar Nasional GEOTIK 2018, 213–220.
La Ode, M., Agus, H & Suminto. 2016. Analisis Kesesuaian Lokasi dan Data Spasial
Budidaya Laut berdasarkan Parameter Kualitas Perairan di Teluk Lasongko
Kabupaten Buton Tengah. Prosiding SENIATI, 80-A.
Lai JCY, Ng PKL, Davie PJF. 2010. A revision of the Portunus pelagicus (Linnaeus,
1758) species complex (Crustacea: Brachyura: Purtunidae), with the recognition
of four species. The Raffles Bulletin of Zoology. 58(2): 199-237.
Lunn KE. Dearden P. 2006. Monitoring smallscale marine fisheries: an example from
Thailand’s Ko Chang archipelago. Fisheries Research. 77(2006): 60–71.
Malczewski, J. 1999. GIS and multicriterian decision analysis. New York: Wiley.
Marble D.F., Calkins H.W. and Peuquet D.J., 1984. Basic Reading in Geographic
Information System. SPAD System, Ltd. Williamsville, New York, USA.
Meaden, G. J. dan J. M. Kapetsky. 1991. Geographical Information System and
Remote Sensing in Inland Fisheries and Aquaculture. FAO Fisheries Technical
Paper No. 318. Rome.
Menteri Negara Lingkungan Hidup, “Baku Mutu Air Laut,” Keputusan Meneg. KLH No.
51 tahun 2004, Makassar, 6 Desember 2022
Nicholas Romano & Chaoshu Zeng (2006). "The effects of salinity on the survival,
growth and haemolymph osmolality of early juvenile blue swimmer crab,
Portunus pelagicus". Aquaculture 260: 151–162. Doi:
10.1016/j.aquaculture.2006.06.019.
Nontji, A. 2007. Laut Indonesia. Cetakan kelima (Edisi Revisi). Djambatan: Jakarta.
Nugraheni DI, Fahrudin A, Yonvitner. 2015. Variasi Ukuran Lebar Karapas dan
Kelimpahan Rajungan (Portunus pelagicus) di Perairan Kabupaten Pati.Jurnal
Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis. 7(2): 493-510
Olea, R. A., 1999. Geostatistics for Engineers and Earth Scientists. Kluwer Academic
Publisher, London, UK.
Palo, M., Najamuddin, N., Marimba, A., Zainuddin, M., & Hajar, M. 2021. Program
Kemitraan Masyarakat (PPMU-PKM) Kelompok Nelayan “Bakau” Penangkap
Rajungan di Dusun Lantebung, Kelurahan Bira, Kecamatan Tamalanrea,
Makassar. Jurnal Pengabdian Masyarakat Hasanuddin, 36-42.
Pramono G.H., 2008, Akurasi Metode IDW dan Kriging Untuk Interpolasi Sebaran
Sedimen Tersuspensi di Maros, Sulawesi Selatan, Forum Geografi, Vol. 22, No.
1, pp. 145-158.
Purwadhi, F. S. H., Kardono, P., Karsidi, A., & Haryani, N. S. (2015). Rokmatuloh,
Aplikasi Penginderaan Jauh Sistem Informasi Geografis Untuk Pengembangan
Wilayah.
Puteri, A.S., 2019. Perbandingan Metode Interpolasi Secara Spasial Serta Evaluasi
Kerapatan Minimum Stasiun Pengamat Hujan Di Sulawesi Selatan. Universitas
Hasanuddin.
Radiarta, N., Prihadi, T.H., Saputra, A., Haryadi, J., dan Johan, O. 2006 “Penentuan
Lokasi Budidaya Ikan KJA menggunakan Analisis Multikriteria dengan SIG di
Teluk Kapuntori, Sulawesi Tenggara,” Jurnal Riset Akuakultur, vol. 1(3), pp.
303-318
Rahimah, I., Siregar, V., & Agus, S. 2019. Kesesuaian Daerah Penangkapan Rajungan
(Portunus pelagicus) Menggunakan Analisis Spasial Parameter Lingkungan dan
Hasil Tangkapan di Pulau Lancang. Marine Fisheries: Journal of Marine
Fisheries Technology and Management, 10(2), 165-176.
Rampengan. R. M. 2013. Tunggang Air Pasang Surut dan Muka Laut Rata-Rata di
Perairan Sekita Kota Bintung. Jurnal Perikanan dan Kelautan Topis vol 9 no.1:
27-30
Selamat, M. B., Samawi, Z., Zainuddin, M. F., & Massinai, A. 2015. Aplikasi sistem
informasi geografis dan penginderaan jauh satelit untuk evaluasi pemanfaatan
ruang budidaya rumput. Simposium Nasional Kelautan dan Perikanan II, 164-
173.
Serosero, R. 2011. Karakteristik habitat kepiting bakau (Scylla spp). Jurnal Ilmiah
Agribisnis dan Perikanan 4(1): 69 – 73.
Smith H. 1982. Blue Swimmer Crabs in South Australia – their Status, Potential and
Biology. Safic. 6(5):6-9.
Smith, J., Lee, C., & Tan, L. 2015. Cell Based Modelling for Mapping Environmental
Suitability of Blue Crab Aquaculture. Aquaculture, 448, 223-230.
Sumantri S. H., Supriyatno M., Sutisna S., dan Widana D. K. K. 2019. Sistem Informasi
Geografis (Geographic Information System) Kerentanan Bencana. CV. Makmur
Cahaya Ilmu. Jakarta
Supriyadi, E., Siswanto, S., & Pranowo, W. S. 2019. Karakteristik Pasang Surut Di
Perairan Pameungpeuk, Belitung, Dan Sarmi Berdasarkan Metode Admiralty.
Jurnal Meteorologi dan Geofisika, 19(1), 29. Doi:10.31172/jmg.v19i1.518.
Ulum, M., & Khomsin. 2013. Perbandingan Akurasi Prediksi Pasang Surut Antara
Metode Admiralty Dan Metode Least Square. GEOID, 09(01), 65–72.
Wright DJ, Heyman WD. 2008. Introduction to the special issue: Marine and Coastal
GIS for Geomorphology, Habitat Mapping, and Marine Reserves. Marine
Geodesy. 31: 223-230.
Yoganda, M., Hendri, A., Suprayogi, I., Jurusan, M., Sipil, T., Teknik, F., Riau, U.,
Jurusan, D., Sipil, T., Teknik, F., & Riau, U. 2019. Kajian Pasang Surut dengan
Metode Least Square di Perairan Kabupaten Bengkalis. Jom FTEKNIK, 6(1),1-
9.
Yona, D., Hidayati, N., Sambah, A. bakar, Sartimbul, A., Harlyan, L. I., Rahman, M. A.,
Fuad, M. A. Z., Iranawati, F., & Sari, S. H. J. S. 2017. Fundamental
Oseanografi. UB Press Malang.
Yulius, Tanto TA, Ramadhan M, Putra A, Salim HL. 2014. Perubahan tutupan lahan di
pesisir Bungus Teluk Kabung, Sumatra Barat tahun 2003-2013 menggunakan
system informasi geografis. Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis. 6(2):
311318.
Kepmen KP No.19. 2022. Estimasi Potensi Sumber Daya Ikan, Jumlah Tangkapan
Ikan yang diperbolehkan, dan Tingkat Pemanfaatan Sumber Daya Ikan di
Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia. Makassar, 19 Juni
2023.