Anda di halaman 1dari 2

NAMA : AHMAD YOGA AGIEM SAPUTRA

NIM : 07040421026

PRODI : PEMIKIRAN POLITIK ISLAM

Kawasan MENA (Middle East and North Africa) merupakan kawasan yang kompleks dan
penuh dengan dinamika politik yang rumit. Terdapat berbagai isu politik yang kritis dan sensitif
di kawasan ini, seperti kudeta, konflik, dan ketidakstabilan politik. Indonesia sebagai negara
demokratis dapat memberikan respon kritis terhadap isu-isu tersebut, seperti mengkritisi
keabsahan kudeta di Mesir dan menuntut agar junta militer menghentikan kekerasan serta
membebaskan para politisi yang ditahan. Selain itu, kawasan MENA juga menjadi fokus
perhatian dunia terkait dengan ketahanan demokrasi. Terdapat berbagai masalah rumit dan
sensitif secara politik yang dihadapi dunia saat ini, seperti uang dalam politik, risiko
peningkatan kesenjangan terhadap demokrasi, dan kemunduran demokrasi. Oleh karena itu,
diperlukan upaya untuk melawan kemunduran demokrasi dan memperkuat ketahanan
demokrasi di kawasan MENA dan dunia secara keseluruhan.

“Tragedi politik” terjadi di Mesir pada 3 Juli 2013, ketika kudeta militer menyirnakan
harapan perbaikan dari perjuangan mulia demi kebebasan yang dimulai dari revolusi 25 Januari
2011.

Rakyat Mesir telah berjuang demi kebebasan, stabilitas, keadilan, demokrasi, dan telah
memilih parlemen dan presiden setelah 70 tahun menderita otokrasi. Namun setelah
melaksanakan Pemilu dan memilih Mohammad Moursi sebagai Presiden terpilih dengan 52
persen suara, kudeta militer justru mengambil alih kekuasaan.

Disinilah segala definisi konseptual mengenai kudeta menemukan relevansinya. Setidaknya


terdapat tiga hal perbedaan paling jelas dari kudeta dari tipe perubahan rezim lainnya seperti
pemilu demokratis atau revolusi massa, ketiga hal tersebut adalah: peralihan kekuasaan diluar
konstitusi (ilegal), mengabaikan kehendak rakyat (anti-demokrasi), dan pengambilalihan paksa
(represif) berbentuk afirmasi struktur sosial dan institusional.

Pertama, ciri ilegal terlihat dari bagaimana dalam kudeta ini Menhan, Jenderal Abdul Fattah
Assisi yang diambil sumpah oleh Presiden Moursi, mengambil sumpah dan melantik Presiden
baru Adly Mansour untuk menggantikan Presiden Morsi yang dahulu melantik dirinya.

Kedua, kehendak rakyat diabaikan. Kudeta militer tersebut serta-merta melupakan hasil
Pemilu, menyorot massa yang berkumpul di Tahrir sambil mengatasnamakan rakyat Mesir,
serta mengabaikan sekitar tiga puluhan juta rakyat di ragam kota, termasuk di Raba’a
Adawiyya.

Kemudian El Beredei yang dalam Pemilu hanya memperoleh 1,7 % pascakudeta diangkat
menjadi Wakil Presiden. Persis seperti dikatakan Edward Luttwak (1979), dalam Coup d’Etat,
a Practical Handbook, keberhasilan kudeta kerap dipawangi oleh fungsionaris elit yang
berkoalisi dengan aktor pemerintahan, militer, dan pemimpin ekonomi yang ingin melawan
kemauan rakyat hasil Pemilu demokratis.

Ketiga, kudeta pada dasarnya merupakan “ketidakstabilan politik elit” (Fosu, 2002), ada
pihak statusqois dari kalangan para jenderal yang masih enggan dipimpin sipil dan
memaksakan kembali bangunan institusi sosial politik yang sesuai dengan hasrat kekuasaan
mereka dalam bentuk pengakuan otoritas penuh. Pola kudeta Mesir ini nampaknya hendak
diadopsi di negara-negara lain di kawasan yang tersapu Arab Spring. Di Tunisia, terjadi
pembunuhan misterius terhadap dua anggota perlemen dari oposisi, Chokri Belaid pada
Februari dan Mohammaed Brahmi 25 Juli kemarin. Ini merupakan provokasi untuk menuntut
mundur Perdana Menteri Ali Larayedh, dari partai pemerintah AnNahdhah.

Sebagaimana pula terjadi di Turki pada akhir Mei 2013, kolaborasi demonstrasi dan lobi
pialang saham untuk memantik terjadinya kudeta sebagaimana dilakukan di Mesir, namun AKP
yang telah memimpin satu dekade dengan pembangunan ekonomi fenomenal mampu
menanggulangi gejolak dengan baik. Prinsipnya, agar terjadi ketidaknyamanan pada negara-
negara demokrasi baru di kawasan MENA (Middle East and North Africa/ Timur Tengah dan
Afrika Utara).

Anda mungkin juga menyukai