IDAI Buku Ajar Repirologi Anak
IDAI Buku Ajar Repirologi Anak
RESPIROLOGI ANAK
Edisi Pertama
Penyunting:
Nastiti N Rahajoe
Bambang Supriyatno
Darmawan Budi Setyanto
Perkembangan sistem respiratori terdiri dari tiga proses, yaitu morfogenesis atau
pembentukan seluruh struktur yang diperlukan, adaptasi pernapasan pascanatal, dan
pertumbuhan dimensional. Pada kebanyakan mamalia, morfogenesis dan adaptasi
pernapasan pascanatal terjadi terutama sebelum atau tidak lama sesudah kelahiran. Sebaliknya,
pertumbuhan dimensional berlanjut sesudah kelahiran, dengan kecepatan bergantung pada
kebutuhan fungsional organ-organ lain dan aktivitas metabolik.
Akibat yang ditimbulkan oleh kerusakan (injury) sistem respiratori bergantung pada
tingkat keparahan, kronisitas, dan waktu timbulnya kerusakan yang dikaitkan dengan masa
perkembangannya. Kerusakan yang timbul selama masa morfogenesis misalnya, cenderung
menghasilkan gangguan struktur dan fungsi respiratori yang berat dan ireversibel, dan sering
menurunkan kemampuan bertahan hidup (survival). Akan tetapi, kerusakan yang terjadi pada
tahap lanjut pertumbuhan paru biasanya reversibel, dan jika tidak, dapat dikompensasi oleh
proses pertumbuhan itu sendiri.
1
Gambar 1.1.1 Perkembangan berbagai struktur paru pada lima tahap perkembangan paru pranatal.
Sumber: Haddad GG, Perez-Fontan JJ. Development of the respiratory system. Dalam: Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB,
penyunting. Nelson textbook of pediatrics. Philadelphia, WB Saunders Company, 2000.
2
Gambar 1.1.2 Janin pada usia kehamilan 25 hari, divertikulum pernapasan terbentuk di ventral usus
depan.
Sumber: Sadler TW. Embriologi kedokteran Langman. North Carolina, EGC, 2000.
Gambar 1.1.3 Pertumbuhan paru ke dalam kanalis perikardioperitonealis dan pembentukan cabang-
cabang bronkus.
Sumber: Sadler TW. Embriologi kedokteran Langman. North Carolina, EGC, 2000.
3
1.1.1.2 Periode pseudoglandular
Menuju minggu ke-6 kehamilan, pada awal periode pseudoglandular, paru menyerupai kelenjar
eksokrin dengan stroma yang tebal dan duktus-duktus sempit—dilapisi epitel berupa sel-sel
tinggi—yang hampir penuh mengisi lumen. Saluran respiratori utama telah terbentuk dan
memiliki hubungan yang erat dengan arteri dan vena pulmonal. Trakea dan usus depan
sekarang telah terpisah akibat fusi progresif rigi epitelial yang tumbuh dari saluran napas
primitif. Fusi inkomplit rigi epitelial ini menyebabkan terjadinya fistula trakeoesofageal.
Pada periode ini, saluran respiratori terus membentuk cabang hingga seluruh sistem
saluran respiratori terbentuk, termasuk bronkioli primitif yang akhirnya akan meningkatkan
porsi pertukaran udara paru. Pada waktu yang bersamaan, di bawah pengaruh kontrol
mesenkimal, sel pluripotensial yang melapisi saluran respiratori berdiferensiasi mulai dari trakea
dan bronkus utama. Sel-sel tersebut kemudian segera membentuk lapisan epitel berlapis semu
yang mengandung sel-sel bersilia, sekretorik (Clara), globular, dan neuroendokrin (Kulchitsky)
yang berasal dari neuroektodermal. Kelenjar mukus, kartilago, dan otot polos dapat dibedakan
dengan mudah pada minggu ke-16 kehamilan.
Diafragma dibentuk pada periode ini. Tendon sentralnya berasal dari septum
transversus, yaitu suatu lempeng jaringan mesodermal yang terletak di antara perikardium dan
tangkai kuning telur. Bagian lateral diafragma dibentuk oleh lipatan pleuroperitoneal, yang
tumbuh dari dinding tubuh sampai mereka menyatu dengan mesenterium esofagus dan septum
transversus. Penyatuan ini menghilangkan hubungan antara toraks dan abdomen dan
membentuk batas (barrier) bagi pertumbuhan paru ke kaudal. Kegagalan penyatuan ini,
biasanya terjadi di sebelah kiri, menyebabkan hernia diafragma kongenital Bochdalek.
Defek ini, yang merupakan jenis hernia diafragma tersering, menyebabkan organ-organ
abdomen masuk ke dalam rongga pleura primitif dan mengganggu pembentukan cabang
saluran respiratori dan pembuluh darah paru. Akibatnya terjadi hipoplasia paru yang berat
terutama di sisi hernia. Diafragma yang awalnya berupa membran, akhirnya disisipi otot-otot
lurik yang berasal dari miotom servikal.
4
Gambar 1.1.4 Tahap kanalikular. A. Sel-sel kuboid melapisi bronkiolus respiratorius. B. Sakus terminalis,
sel-sel kuboid menjadi sangat tipis dan menempel erat pada endotel kapiler darah dan getah bening atau
membentuk sakus terminalis (alveoli primitif).
Sumber: Sadler TW. Embriologi kedokteran Langman, 2000.
5
1.1.2 Adaptasi pernapasan pascanatal
Janin yang tadinya memiliki ketergantungan terhadap plasenta, kini harus dapat mengadakan
pertukaran gas secara otonom, sehingga dibutuhkan perubahan adaptif paru. Perubahan
tersebut meliputi produksi surfaktan di alveolus, transformasi paru dari organ sekretorik
menjadi organ pertukaran gas, dan pembentukan sirkulasi pulmonal dan sistemik yang paralel.
Segera setelah neonatus menarik napas pertama kali, terbentuk interface cairan-udara
di dalam paru. Jika tegangan permukaan yang ditimbulkan oleh interface ini tidak diturunkan,
dinding ruang udara akan cenderung melekat dan kolaps. Surfaktan paru akan menurunkan
tegangan permukaan dengan membentuk satu lapisan lipid hidrofobik di permukaan film yang
melapisi rongga udara.
Surfaktan paru merupakan campuran heterogen fosfolipid dan protein yang disekresi
oleh pneumosit tipe II ke dalam subfase sakula atau alveolus. Surfaktan awalnya dapat dilihat
di dalam organel sekretorik khas yang disebut badan lamelar, pada minggu ke-24 kehamilan.
Namun, lipid surfaktan (paling banyak adalah fosfatidilkolin) tidak dapat dideteksi di dalam
cairan amnion, sampai minggu ke-30 kehamilan. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat jarak
waktu antara pembentukan surfaktan dan sekresi. Persalinan mungkin memperpendek jarak
waktu ini karena fosfolipid selalu ditemukan di ruang udara bayi yang lahir sebelum usia
kehamilan 30 minggu. Tiga apoprotein (SP-A, SP-B, SP-C) telah diidentifikasi di dalam surfaktan
paru (glikoprotein seperti-lectin, SP-D, telah diisolasi, tapi fungsi dan regulasinya masih sangat
sedikit dipahami). Ketiga apoprotein tersebut meningkatkan penyebaran lapisan surfaktan, oleh
karena itu diperlukan untuk menurunkan tegangan permukaan secara efektif. Apoprotein
tampaknya juga penting untuk reuptake dan mendaur ulang produk surfaktan, serta untuk
membentuk mielin tubular (struktur tempat penyimpanan surfaktan dalam subfase cairan).
Glukokortikoid meningkatkan sintesis apoprotein dan lipid, oleh karena itu pemberian
glukokortikoid pranatal dapat mencegah sindrom gawat napas yang disebabkan oleh
prematuritas. Harus terdapat jarak waktu yang cukup antara pemberian steroid dan kelahiran,
karena kerja steroid tersebut melibatkan gen apoprotein dan gen enzim fosfolipid, yang
membutuhkan pembentukan messenger RNA. Hormon tiroid juga meningkatkan sintesis
fosfolipid melalui mekanisme yang diperantarai reseptor (receptor-mediated), namun
tidak/sedikit berpengaruh terhadap sintesis apoprotein surfaktan. Sebaliknya, agonis -
adrenergik dan agen lainnya yang meningkatkan adenosinmonofosfat siklik selular, akan
meningkatkan sintesis apoprotein dan sekresi fosfatidilkolin ke dalam ruang udara, namun tidak
memiliki efek terhadap sintesis fosfolipid. Insulin, hiperglikemia, ketosis, dan androgen mungkin
memiliki efek negatif terhadap produksi protein surfaktan dan fosfolipid. Hal tersebut
menjelaskan tingginya insidens sindrom gawat napas pada bayi dari ibu diabetik, dan sedikit
terlambatnya pematangan paru pada janin laki-laki jika dibandingkan dengan janin perempuan.
Protein surfaktan dan lipid juga memainkan peran penting dalam imunitas paru,
walaupun rincian molekularnya belum diketahui. Protein surfaktan A dan D adalah lectin
(berikatan dengan karbohidrat) dan termasuk famili gen collectin. Protein-protein yang terdapat
di dalam serum dan paru ini akan menstimulasi fagositosis dan kemotaksis, menghasilkan
spesies oksigen reaktif, dan mengatur produksi dan pelepasan sitokin oleh sel-sel imun.
Sebaliknya, lipid surfaktan dapat menekan imunitas. Rasio antara lipid surfaktan dan protein
mungkin penting dalam pengaturan status imun paru. Hal ini mungkin penting pada bayi
prematur dan neonatus yang kekurangan protein surfaktan; pada penelitian binatang, tikus
dengan defisiensi SP-A memiliki masalah infeksi yang berat.
Paru janin merupakan organ sekretorik. Selama kehamilan, cairan kaya ion Cl-, K+, dan
H dihasilkan di dalam ruang udara paru dengan bantuan pompa Cl-. Adanya cairan ini
+
6
tampaknya penting bagi perkembangan asinus, karena drainase kronik cairan trakea pada
binatang percobaan mengakibatkan terjadinya hipoplasia paru. Namun, sekresi cairan tidak
kompatibel/sesuai dengan pernapasan-udara. Oleh karena itu, untuk mempersiapkan kelahiran,
produksi cairan paru berkurang perlahan pada akhir kehamilan. Penurunan ini dipercepat
dengan dimulainya persalinan, yaitu terjadi perubahan aktivitas transfer ion oleh epitel paru,
dari sekresi Cl- (dan air) menjadi absorpsi Na+ (dan air). Pada binatang percobaan, perubahan
ini dapat dipercepat dengan pemberian agonis -adrenergik, dengan dosis yang menghasilkan
kadar dalam serum sebanding dengan kadar pada persalinan. Stimulasi reseptor bukanlah
satu-satunya rangsang yang berhubungan dengan persalinan, sebab pembersihan cairan di
dalam paru janin dapat dihambat oleh Na-channel-blocker amiloride, tetapi tidak oleh -blocker.
Setelah kelahiran, sisa cairan dalam paru diserap selama beberapa jam ke dalam
sirkulasi, baik secara langsung melalui pembuluh-pembuluh paru, maupun tidak langsung
melalui sistem limfatik. Elemen selular yang bertanggung jawab terhadap sekresi dan absorpsi
cairan dalam paru tidak sepenuhnya diketahui. Epitel alveolar matur tidak berperan penting
dalam sekresi cairan, sebab sekresi cairan tersebut telah terjadi sebelum alveolus atau bahkan
sakula terbentuk. Sebaliknya, sel-sel alveolar mungkin memainkan peran protagonistik dalam
absorpsi cairan. Pneumosit tipe II mungkin terlibat, karena sel-sel ini meliputi porsi permukaan
ruang udara yang lebih besar pada neonatus daripada orang dewasa, dan kemampuan
metaboliknya tampaknya telah beradaptasi dengan baik untuk melakukan transpor ion aktif.
Sejumlah transporter dan channel yang penting bagi transpor air dan larutan pada awal
kehidupan telah diklon dan diidentifikasi pada dekade yang lalu. Yang paling menyolok adalah
channel Na epitel atau EnaC. Channel apikal yang sensitif-amiloride ini bertanggung jawab
terhadap absorpsi natrium dan air pada permukaan rongga jalan napas dan sel tubular ginjal.
Channel ini tampaknya penting pada awal kehidupan; tikus percobaan yang tidak memiliki
channel ini mengalami edema paru dan mati tidak lama setelah lahir.
Pada saat lahir, sirkulasi paru berubah dari sistem dengan resistensi-tinggi menjadi
resistensi-rendah, sehingga aliran darah paru dapat mengakomodasi aliran balik vena sistemik.
Perubahan resistensi ini terjadi akibat kombinasi gaya mekanis pada dinding vaskular paru yang
disebabkan oleh ekspansi jaringan paru, dan relaksasi otot polos arteri pulmonal akibat
peningkatan konsentrasi oksigen alveolar serta mungkin karena pelepasan vasodilator endogen.
Selanjutnya, terjadi penutupan foramen ovale dan duktus arteriosus yang akan memisahkan
sirkulasi paru dengan sirkulasi sistemik. Tekanan oksigen arterial kemudian meningkat secara
tajam dan menjadi homogen di seluruh tubuh. Resistensi vaskular paru terus menurun secara
bertahap selama beberapa minggu pertama setelah kelahiran, melalui proses remodeling
struktural otot-otot pembuluh darah paru.
7
sudah ada. Segera setelah kelahiran, sistem kapiler ganda yang ada di septum alveolar janin
berfusi menjadi satu sistem yang lebih padat. Pada waktu yang sama, cabang-cabang arteri dan
vena baru berkembang di dalam sistem sirkulasi asinus dan otot-otot mulai muncul di dalam
lapisan medial arteri intraasinus.
Selama fase kedua, seluruh kompartemen berkembang lebih proporsional satu sama
lainnya. Walaupun terdapat sedikit pertanyaan mengenai apakah alveolus baru masih dapat
dibentuk, sebagian besar pertumbuhan terjadi melalui pertambahan volume alveolus yang
sudah ada. Permukaan alveolus dan kapiler membesar secara paralel dengan pertumbuhan
somatik. Sebagai akibatnya, individu yang tubuhnya lebih tinggi cenderung memiliki paru yang
lebih besar. Namun, ukuran akhir paru dan ukuran asinus individu juga dipengaruhi oleh faktor-
faktor tertentu, seperti tingkat aktivitas individu dan derajat oksigenasi (altitude), yang
memungkinkan adaptasi struktur dan fungsi paru yang lebih baik. Faktor yang sama mungkin
juga berperan dalam respons kompensasi terhadap penyakit dan cedera pada paru.
Daftar pustaka
1. Sadler TW. Sistem pernapasan. Dalam: Sadler TW, penyunting. Embriologi kedokteran Langman.
Edisi ke-7. Alih bahasa Joko Suyono. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2000. h. 233.
2. Haddad GG, Perez-Fontan JJ. Development of the respiratory system. Dalam: Behrman RE, Kliegman
RM, Jenson HB, penyunting. Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke-16. Philadelphia: WB Saunders
Company; 2000. h. 1235–8.
8
1.2 Fisiologi sistem respiratori
Muljono Wirjodiardjo
Tujuan respirasi adalah memberikan oksigen ke jaringan dan membuang karbondioksida. Untuk
mencapai tujuan ini, respirasi dapat dibagi menjadi 4 peristiwa fungsional utama, yaitu sebagai
berikut: 1) ventilasi paru, yaitu pertukaran gas antara udara di atmosfer dan alveolus paru, 2)
pertukaran gas di dalam paru (difusi oksigen dan karbondioksida antara alveolus dan darah), 3)
transpor oksigen dan karbondioksida dari darah dan cairan tubuh ke dalam sel dan sebaliknya,
4) regulasi respirasi. Bab ini akan membahas fungsi ventilasi paru, pertukaran gas di dalam
paru (difusi oksigen dan karbon dioksida antara alveolus dan darah), serta regulasi respirasi.
9
Diameter vertikal
bertambah
Diameter A-P
Rusuk terangkat
bertambah
M. interkostalis
eksterna
berkontraksi
M. interkostalis
interna
berelaksasi
EKSPIRASI INSPIRASI
Gambar 1.2.1 Pengempisan dan pengembangan rangka dada pada saat ekspirasi dan inspirasi,
menggambarkan kontraksi diafragma, fungsi otot interkostal, dan naik turunnya rangka dada.
Sumber: Guyton AC, Hall JE. Pulmonary ventilation. Dalam: Guyton AC, Hall JE, penyunting. Textbook of medical physiology. Edisi
ke-10. Philadelphia, WB Saunders Company, 2000.
A B1
Catatan:
GERAKAN RUSUK dan VOLUME RONGGA DADA
B
Dalam keadaan istirahat, yaitu pada saat tidak ada
kontraksi otot, rusuk AB dan DC lunglai ke bawah
dan volume rongga dada sebanding dengan luas
ABCD.
Pada saat inspirasi terjadi kontraksi otot inspirasi
yang menyebabkan rusuk AB dan DC terangkat ke
atas dan volume rongga dada sebanding dengan luas
AB1C1D dan masih dapat dimaksimalkan lagi dengan
adanya kontraksi diafragma.
D C1
C
Pergerakan udara masuk–keluar paru dan tekanan yang menyebabkan pergerakan
Paru adalah struktur elastis yang dapat kolaps atau kempis seperti balon karet. Paru tanpa
dinding dada (paru ―telanjang‖) akan mengkerut karena gaya elastisnya (elastic recoil), tetapi
tidak dapat mengembang secara aktif tanpa bantuan dinding dada. Sementara itu dinding dada,
walaupun tanpa paru, dapat secara aktif meregang atau mengkerut akibat kontraksi/relaksasi
otot respiratorik. Sebagai salah satu komponen fungsi pernapasan, paru baru dapat
melaksanakan fungsinya bila berada di dalam rongga dada.
Tidak seluruh bagian paru melekat langsung pada dinding dada, hanya bagian hilus
yang melekat langsung di daerah mediastinum. Dalam keadaan ini paru seakan-akan
mengambang dalam rongga dada, dikelilingi ―rongga‖ tipis di mana terdapat cairan pleura yang
10
merupakan perekat (adhesive) antara paru dan dinding dada dan sekaligus sebagai cairan
pelumas (lubricant) pada saat paru mengembang atau mengempis.
Pada posisi default (rest, istirahat paru), terjadi keseimbangan antara gaya tarik ke
dalam karena pengkerutan paru (elastic recoil) dan gaya tarik ke luar karena peregangan rusuk.
Pada posisi seperti ini, terjadi tekanan subatmosfer (negatif) di dalam ―rongga‖ tipis antara
pleura viseral dan pleura parietal.
Tekanan pleura
Tekanan pleura adalah tekanan cairan di dalam rongga antara pleura viseral dan pleura
parietal. Tekanan pleura pada awal inspirasi adalah tekanan subatmosfer sebesar kira-kira -5
cmH2O. Angka ini adalah nilai yang dibutuhkan untuk menjaga agar paru tetap terbuka pada
keadaan istirahat (default). Kemudian, pada inspirasi normal, terangkatnya tulang-tulang rusuk
juga akan meningkatkan tekanan negatif menjadi sebesar kira-kira -7,5 cmH2O. Perubahan
tekanan pleura dari -5 menjadi -7,5 cmH2O ini menyebabkan peningkatan volume paru sebesar
0,5 liter. Pada saat ekspirasi, terjadi peristiwa yang sebaliknya.
Tekanan alveolar
Tekanan alveolar adalah tekanan udara di dalam alveolus paru. Dalam keadaan pita suara
terbuka dan tidak ada udara yang keluar masuk paru, tekanan di seluruh saluran respiratori
(termasuk alveolus) sama dengan tekanan atmosfer, yaitu dianggap merupakan nilai dasar
(nol) tekanan di dalam saluran napas. Nilai tekanan ini adalah 0 cmH2O. Agar udara dapat
masuk ke dalam alveolus pada saat inspirasi, tekanan alveolar harus sedikit lebih rendah
daripada tekanan atmosfer (di bawah 0, subatmosfer). Pada saat inspirasi normal, tekanan
alveolar turun menjadi -1 cmH2O. Perubahan tekanan ini cukup untuk menyebabkan masuknya
udara ke dalam paru sebanyak 0,5 liter dalam waktu 2 detik (waktu yang dibutuhkan untuk
melakukan inspirasi pada pernapasan normal). Pada saat ekspirasi, terjadi perubahan
sebaliknya. Tekanan alveolar meningkat menjadi +1 cmH2O dan menyebabkan keluarnya 0,5
liter udara paru selama 2–3 detik ekspirasi. Jelas di sini, dalam keadaan normal, memerlukan
waktu yang lebih lama untuk mengeluarkan sejumlah udara dari paru dibandingkan dengan
memasukkan udara ke dalam paru dalam jumlah yang sama. Hal ini terjadi akibat perbedaan
diameter jalan napas, yaitu diameter jalan napas lebih besar pada saat inspirasi daripada
ekspirasi.
Tekanan transpulmonal
Tekanan transpulmonal adalah perbedaan tekanan antara tekanan alveolar dan tekanan pleura.
Tekanan ini merepresentasikan perbedaan tekanan di dalam alveolus dengan permukaan luar
paru, dan merupakan gaya elastisitas paru yang menyebabkan paru mengempis pada setiap
pernapasan spontan. Tekanan ini disebut juga sebagai tekanan rekoil.
Compliance paru
Derajat mengembangnya paru setiap unit kenaikan tekanan transpulmonal disebut compliance.
Compliance total kedua paru pada manusia dewasa normal, rata-rata adalah 200 ml udara
setiap cm H2O tekanan transpulmonal. Berarti, setiap kenaikan tekanan transpulmonal sebesar
1 cm H2O, volume paru bertambah sebesar 200 ml.
11
Compliance paru dipengaruhi oleh gaya-gaya elastisitas paru, yang terdiri dari: 1) gaya
elastisitas jaringan paru, dan 2) gaya elastisitas yang ditimbulkan oleh tegangan permukaan
cairan yang melapisi bagian dalam alveolus dan rongga udara lainnya.
Gaya elastisitas jaringan paru terutama ditimbulkan oleh serat elastin dan kolagen yang
berjalinan di dalam jaringan paru. Gaya elastisitas yang ditimbulkan oleh tegangan permukaan
jauh lebih kompleks, dan merupakan 2/3 dari seluruh gaya elastisitas paru normal. Hal ini
dibuktikan dengan percobaan yang menunjukkan bahwa tekanan pleura yang dibutuhkan untuk
mengembangkan paru yang terisi udara adalah tiga kali lebih besar daripada tekanan yang
dibutuhkan untuk mengembangkan paru yang terisi larutan salin. Berarti dapat disimpulkan
bahwa gaya elastisitas jaringan paru yang cenderung menyebabkan kolapsnya paru, hanya
merupakan 1/3 dari total gaya elastisitas paru, sedangkan gaya tegangan permukaan di dalam
alveolus merepresentasikan 2/3-nya.
Hubungan ukuran alveolus dengan tekanan alveolus yang ditimbulkan oleh tegangan
permukaan
Jika jalan keluar udara dari alveolus tertutup, tegangan permukaan di dalam alveolus akan
cenderung menyebabkan kolapsnya alveolus dengan cara menimbulkan tekanan positif
yang akan mendorong udara keluar. Besarnya tekanan yang ditimbulkan di dalam alveolus
ini dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut:
2 x tegangan permukaan
Tekanan = -----------------------------
jari-jari (radius) alveolus
12
Berarti, makin kecil ukuran alveolus, makin besar tekanan yang ditimbulkan oleh
tegangan permukaan. Hal ini penting diketahui untuk memahami mengapa bayi prematur
yang kecil cenderung mengalami kolaps paru. Bayi prematur kecil, dengan ukuran alveolus
yang sangat kecil serta surfaktan yang belum ada atau sangat sedikit, sangat mudah
mengalami kolaps paru. Hal ini menyebabkan suatu kondisi yang disebut sindrom gawat
napas neonatus. Keadaan ini sangat fatal jika tidak diatasi dengan tindakan tertentu,
misalnya pemberian bantuan pernapasan dengan tekanan positif secara kontinyu.
Keterangan:
d = densitas
Re = 2rvd r = radius
v = kecepatan (velocity)
= viskositas
13
LAMINAR TURBULEN
TRANSISIONAL
Gambar 1.2.2 Pola aliran gas/cairan di dalam pipa. A. Aliran laminar; B. Aliran transisional dengan
pembentukan pusaran pada percabangan; C. Aliran turbulen.
Sumber: West JB. Ventilation. Dalam: Respiratory physiology–the essentials. Edisi ke-5. Baltimore, Williams & Wilkins, 1995.
Aliran laminar biasanya terjadi jika Re <1500, sedangkan aliran turbulen biasanya terjadi
pada Re >2000. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa aliran turbulen biasanya timbul
pada kecepatan aliran yang tinggi, diameter saluran respiratori yang besar, viskositas
gas/cairan yang rendah, dan densitas gas/cairan yang tinggi.
Pada paru, dengan banyaknya saluran respiratori yang bercabang, aliran laminar murni
mungkin hanya terjadi pada saluran respiratori yang sangat kecil (nilai Re sangat kecil). Aliran
turbulen murni biasanya timbul di trakea terutama pada waktu aktivitas, yaitu ketika kecepatan
aliran udara tinggi. Namun pada kebanyakan cabang bronkiolus, aliran yang timbul adalah
transisional.
Definisi resistensi saluran respiratori adalah resistensi/tahanan yang timbul
terhadap aliran gas di dalam saluran respiratori paru. Hal yang perlu diingat adalah
bahwa resistensi ini hanya timbul selama adanya aliran gas di dalam saluran
respiratori dan resistensi dapat timbul pada aliran laminar maupun turbulen.
Menurut hukum Poiseuille, besar aliran (flow) untuk aliran laminar dapat ditentukan
dengan rumus sebagai berikut:
F = P r4
8 L
Keterangan:
F = besar aliran (flow)
P = perbedaan tekanan di kedua ujung pipa/saluran
r = radius pipa/saluran
= viskositas gas/cairan
L = panjang pipa/saluran
Resistensi terhadap aliran dapat didefinisikan sebagai perbandingan tekanan terhadap aliran,
atau dirumuskan sebagai berikut:
14
R=P
F
R=8 L
r4
Kira-kira setengah dari seluruh resistensi saluran respiratori terdapat pada saluran
respiratori-atas, sedangkan setengahnya lagi terdapat pada saluran respiratori-bawah. Dengan
menggunakan rumus Poiseuille, dapat diperkirakan bahwa resistensi saluran respiratori yang
paling besar terletak pada saluran berdiameter paling kecil. Namun, pada kenyataannya hal ini
tidak terjadi, karena jumlah saluran respiratori berukuran kecil sangat banyak sehingga
resistensi totalnya menjadi berkurang.
Pada saat berolahraga, resistensi saluran respiratori dapat sangat meningkat akibat
bertambah besarnya aliran udara yang menimbulkan turbulensi. Pada keadaan ini, secara
normal seseorang akan berusaha menurunkan resistensi saluran respiratori dengan cara
bernapas melalui mulut.
Perlu diingat bahwa saluran respiratori kecil sangat banyak jumlahnya, akan tetapi
sangat sedikit mempengaruhi resistensi saluran respiratori. Oleh karena itu, kerusakan saluran
respiratori kecil yang cukup banyak belum tentu dapat menimbulkan kelainan pada
pemeriksaan resistensi saluran respiratori. Keadaan ini menyebabkan timbulnya istilah ‗silent
zone‘ yang ditujukan terhadap saluran respiratori kecil tersebut.
15
3) Perubahan diameter saluran napas
Perubahan diameter saluran napas dapat disebabkan oleh adanya penyakit atau benda asing di
saluran respiratori. Pada keadaan ini, biasanya terjadi pengurangan diameter yang akan
meningkatkan resistensi saluran respiratori.
4) Perubahan densitas dan viskositas gas
Pada orang yang menyelam di dalam air, terjadi peningkatan tekanan yang kemudian
menyebabkan pertambahan densitas gas yang diinspirasi. Akibatnya, resistensi saluran
respiratori akan meningkat. Hal ini tidak akan terjadi jika penyelam diberi tabung gas
pernapasan yang berisi campuran oksigen dan helium (densitasnya rendah).
Jika terdapat kelainan atau penyakit paru, ketiga macam kerja inspirasi tersebut dapat
menjadi sangat meningkat. Compliance work dan tissue resistance work akan meningkat jika
terdapat fibrosis paru, sedangkan airway resistance work akan meningkat pada penyakit yang
menimbulkan obstruksi jalan napas.
Pada pernapasan yang berat/sulit akibat adanya penyakit paru, resistensi jalan napas
dan resistensi jaringan paru meningkat sehingga dibutuhkan upaya ekspirasi (kontraksi otot-
otot ekspirasi). Upaya ekspirasi ini kadang-kadang dapat lebih besar daripada upaya inspirasi,
misalnya pada asma, yang menyebabkan peningkatan resistensi jalan napas berkali-kali lipat
pada waktu ekspirasi.
Pada keadaan normal, energi yang dibutuhkan untuk berlangsungnya ventilasi paru
hanya 3–5% dari energi total yang diperlukan oleh tubuh. Namun pada aktivitas berat, jumlah
energi yang dibutuhkan dapat meningkat hingga 50 kali lipat, terutama pada orang yang
mengalami peningkatan resistensi jalan napas atau penurunan compliance paru.
16
Silinder apung
Oksigen
Silinder perekam
Air
Beban
Gambar 1.2.4 adalah sebuah spirogram yang menunjukkan perubahan volume paru
pada berbagai kondisi respirasi. Untuk mempermudah pemahaman berbagai kejadian pada
ventilasi paru, udara dalam paru dibagi menjadi beberapa macam volume dan kapasitas.
Diagram ini menggambarkan volume dan kapasitas paru pada kebanyakan laki-laki dewasa.
Gambar 1.2.4 Diagram yang menggambarkan perubahan volume udara paru pada pernapasan normal,
inspirasi maksimal, dan ekspirasi maksimal.
Sumber: Guyton AC, Hall JE. Pulmonary ventilation. Dalam: Guyton AC, Hall JE, penyunting. Textbook of medical physiology. Edisi
ke-10. Philadelphia, WB Saunders Company, 2000.
17
Volume paru
Pada Gambar 1.2.4, di sebelah kiri, dapat dilihat empat macam volume paru, yang jika
semuanya dijumlahkan hasilnya sama dengan volume maksimum paru yang mengembang.
Keempat volume paru tersebut adalah sebagai berikut.
1. Volume tidal (tidal volume): volume udara yang diinspirasi dan diekspirasi pada setiap
pernapasan normal; jumlahnya kira-kira 500 ml.
2. Volume cadangan inspirasi (inspiratory reserve volume): volume udara tambahan yang
masih dapat masuk ke paru pada saat inspirasi maksimum; jumlahnya biasanya sekitar
3000 ml.
3. Volume cadangan ekspirasi (expiratory reserve volume): volume udara tambahan yang
dapat dikeluarkan dari paru setelah ekspirasi maksimum; jumlahnya biasanya kira-kira 1100
ml.
4. Volume residu (residual volume): volume udara yang tersisa di dalam paru setelah ekspirasi
paksa; jumlahnya sekitar 1200 ml.
Kapasitas paru
Untuk menguraikan berbagai kejadian dalam suatu siklus paru, biasanya dua atau lebih volume
paru dijumlahkan. Hasil penjumlahan volume paru ini disebut kapasitas paru. Pada Gambar
1.2.3, di sebelah kanan, dapat dilihat berbagai kapasitas paru yang penting. Uraiannya adalah
sebagai berikut.
1. Kapasitas inspirasi (inspiratory capacity): hasil penjumlahan volume tidal dengan volume
cadangan inspirasi. Jumlahnya kira-kira 3500 ml, merupakan jumlah udara yang dapat
diinspirasi setelah ekpirasi normal, dan menyebabkan mengembangnya paru sampai
maksimum.
2. Kapasitas residu fungsional (functional residual capacity): hasil penjumlahan volume
cadangan ekspirasi dengan volume residu. Kapasitas ini merupakan jumlah udara yang
tersisa di paru pada akhir ekspirasi normal (kira-kira 2300 ml).
3. Kapasitas vital (vital capacity): volume cadangan inspirasi ditambah volume tidal dan
volume cadangan ekspirasi. Kapasitas ini merupakan jumlah maksimum udara yang dapat
dikeluarkan dari paru oleh seseorang yang melakukan ekspirasi maksimal setelah
melakukan inspirasi maksimal (jumlahnya kira-kira 4600 ml).
4. Kapasitas paru total (total lung capacity): kapasitas vital ditambah volume residu,
merupakan volume maksimum udara dalam paru yang dikembangkan dengan upaya
sebesar mungkin.
Pada perempuan, seluruh volume dan kapasitas paru ini 20–25% lebih kecil daripada
laki-laki. Pada orang yang ukurannya tubuhnya lebih besar dan atletis, nilai volume dan
kapasitas paru juga lebih besar.
Penentuan kapasitas residu fungsional (FRC), volume residu (RV), dan kapasitas
paru total (TLC)—metode dilusi helium
Kapasitas residu fungsional, yaitu volume udara yang tersisa di dalam paru pada akhir ekspirasi
normal, merupakan parameter fungsi paru yang penting untuk diketahui, karena nilainya
berubah secara bermakna pada beberapa penyakit paru. Spirometer tidak dapat mengukur
kapasitas ini secara langsung karena volume residu tidak dapat diekspirasi ke dalam spirometer.
Padahal, RV merupakan setengah dari FRC.
Pengukuran FRC secara tidak langsung dengan spirometer biasanya dilakukan dengan
metode dilusi helium. Caranya adalah sebagai berikut. Spirometer dengan volume yang telah
18
diketahui diisi dengan udara dan dicampur dengan helium yang konsentrasinya juga telah
ditentukan. Sebelum bernapas dengan spirometer, pasien diminta untuk bernapas secara
normal. Pada akhir ekspirasi, volume yang tersisa di dalam paru nilainya sama dengan FRC.
Pada akhir ekspirasi normal ini, pasien diminta untuk segera bernapas dengan spirometer,
sehingga gas dalam spirometer mulai bercampur dengan gas dari dalam paru. Akibatnya,
helium mengalami dilusi oleh udara yang berasal dari FRC, dan volume FRC ini dapat dihitung
melalui derajat pengenceran helium dengan menggunakan rumus berikut:
Ci He
FRC = ( ----- − 1 ) x Vi Spir
Cf He
Keterangan:
FRC = kapasitas residu fungsional
Ci He = konsentrasi awal (initial) helium di spirometer
Cf He = konsentrasi akhir (final) helium di spirometer
Vi Spir = volume awal (initial) spirometer
Jika FRC telah dihitung, RV dapat ditentukan dengan mengurangkan FRC dengan
volume cadangan ekspirasi (ERV). TLC juga dapat ditentukan dengan menambahkan kapasitas
inspirasi (IC) dengan FRC. Untuk mudahnya diringkas sebagai berikut.
Plethysmography
Plethysmography adalah metode pengukuran kapasitas residu fungsional dengan cara merekam
perubahan tekanan udara/gas. Pasien ditempatkan di dalam sebuah ruangan (box) khusus yang
tertutup. Pasien duduk di dalam sebuah ruangan tertutup yang dibuat sedemikian rupa
sehingga pasien hanya dapat bernapas melalui sebuah pipa yang dihubungkan ke mulut.
Melalui pipa tersebut dapat diukur tekanan gas di dalam paru. Ruangan juga dihubungkan
dengan alat yang dapat mengukur tekanan gas di dalam ruangan (Gambar 1.2.5).
19
Gambar 1.2.5 Plethysmography. Tekanan di dalam mulut dianggap sama dengan tekanan di dalam
paru.
Sumber: Jefferies A, Turley A. Ventilation and gas exchange. Dalam: Jefferies A, Turley A, penyunting. Mosby‘s crash course:
respiratory system. London, Elsevier Science Limited, 2002.
Prinsip plethysmography adalah hukum Boyle, yang menyebutkan bahwa pada suhu
yang konstan, volume gas berbanding terbalik dengan tekanan. Dapat dilihat pada persamaan
berikut.
Volume awal gas dalam ruangan (VR1) diketahui, tekanan awal gas di dalam paru (PP1)
dan tekanan awal gas di dalam ruangan (PR1) juga diketahui. Pada akhir pernapasan normal,
pasien diminta untuk menghirup napas. Hal ini akan menyebabkan paru mengembang, namun
tidak ada aliran gas yang masuk ke dalam paru. Volume gas dalam paru (VL) akan bertambah
dan tekanan dalam paru (PL) berkurang, sedangkan volume dalam ruangan (VB) akan
berkurang dan tekanan dalam ruangan (PB) meningkat.
PB1, VB1, dan PB2 diketahui, dengan demikian, VB2 dapat dihitung. Dengan menganggap
bahwa VB2 = VB1 + ΔV (ΔV adalah perubahan volume gas dalam ruangan), nilai ΔV dapat
ditentukan (nilainya negatif). Volume paru yang mengembang sebanding dengan perubahan
volume ini.
Dengan prinsip hukum Boyle, didapatkan sebagai berikut:
Karena PL1, PL2, dan ΔV telah diketahui, maka VL1 dapat dihitung. VL1 ini menggambarkan
kapasitas residu fungsional.
20
1.2.1.4 Volume respirasi semenit
Volume respirasi semenit adalah jumlah total udara baru yang keluar–masuk saluran respiratori
setiap menit. Volume ini sebanding dengan volume tidal dikalikan dengan frekuensi respirasi per
menit. Volume tidal normal adalah sekitar 500 ml, dan frekuensi respirasi adalah sekitar 12 kali
per menit. Oleh karena itu, volume respirasi semenit rata-rata adalah sekitar 6 l/menit.
Keterangan:
VA = volume ventilasi alveolar semenit
21
Frek = frekuensi pernapasan per menit
VT = volume tidal
VD = volume ruang rugi fisiologis
Berarti, jika volume tidal adalah 500 ml, ruang rugi normal adalah 150 ml, dan frekuensi
respirasi 12x/menit, maka ventilasi alveolar = 12 x (500–150)= 4200 ml/menit.
Ventilasi alveolar merupakan salah satu parameter utama untuk menentukan
konsentrasi oksigen dan karbondioksida di dalam alveolus. Tidak semua bagian paru memiliki
fungsi ventilasi yang sama. Bagian bawah paru memiliki fungsi ventilasi yang lebih baik
daripada bagian atas.
(A x S x ∆C)
J = ---------------------
(t x √mol)
Persamaan ini dapat disederhanakan dengan menggunakan koefisien difusi (K). Nilai K
ditentukan oleh zat yang berdifusi dan membran yang digunakan. Nilainya konstan untuk
membran tertentu dan zat tertentu. Koefisien ini sebanding dengan kelarutan gas dibagi
dengan akar kuadrat berat molekul. Persamaannya dapat dirumuskan sebagai berikut:
KxAx C S
J dengan K
T mol
Karena gas dalam alveolus berdifusi melalui membran dan kemudian larut di dalam
darah, gaya yang mendorong perpindahan tersebut adalah tekanan parsial gas. Dengan
demikian, kecepatan difusi gas melalui membran alveolus bergantung pada perbedaan tekanan
parsial gas di dalam alveolus (PA) dan di dalam darah (Pa), bukan perbedaan konsentrasi. Maka
persamaannya menjadi sebagai berikut:
22
KxA ( PA Pa )
J
T
23
Gambar 1.2.6 Grafik hubungan tekanan parsial gas pernapasan dengan waktu di dalam kapiler paru.
Perpindahan N2O dipengaruhi oleh perfusi, perpindahan CO dipengaruhi oleh difusi, sedangkan
perpindahan O2 biasanya dipengaruhi oleh perfusi, namun dapat berubah jika terdapat penyakit.
Sumber: Jefferies A, Turley A. Ventilation and gas exchange. Dalam: Jefferies A, Turley A, penyunting. Mosby‘s crash course:
respiratory system. London, Elsevier Science Limited, 2002.
Waktu yang dibutuhkan agar tekanan parsial oksigen mencapai nilai plateau adalah kira-
kira 0,25 detik. Volume kapiler paru pada keadaan istirahat adalah sekitar 75 ml, yaitu kira-kira
sama dengan volume sekuncup (stroke volume) ventrikel kanan. Dengan demikian, darah di
kapiler paru akan diganti setiap kali jantung berdenyut, yaitu kira-kira setiap 0,75 detik. Waktu
ini jauh melebihi waktu yang dibutuhkan untuk memindahkan oksigen dari alveolus ke dalam
pembuluh darah.
Akan tetapi, pada saat berolahraga, curah jantung (cardiac output) meningkat dan
kecepatan aliran darah di dalam kapiler paru juga meningkat. Karena paru memiliki kemampuan
untuk merekrut kapiler baru dan memperlebar kapiler yang sudah ada, efek peningkatan aliran
darah terhadap waktu yang dibutuhkan untuk difusi menjadi tidak terlalu besar. Pada olahraga
berat, volume seluruh kapiler paru dapat meningkat hingga 200 ml. Hal ini dapat
mempertahankan agar waktu difusi menjadi cukup walaupun aliran darah sangat meningkat.
Akan tetapi, nilainya tetap tidak akan sama dengan pada keadaan istirahat.
Perpindahan karbondioksida
Difusi gas diuraikan di dalam hukum Graham, yang menyatakan bahwa kecepatan difusi dua
gas yang berbeda, yang berada pada temperatur dan tekanan yang sama, berbanding terbalik
dengan akar kuadrat berat molekulnya. Rumusannya adalah sebagai berikut:
D1 mol 2
D2 mol1
Akan tetapi, difusi gas di dalam cairan bergantung pada kelarutan gas dalam cairan dan
berbanding terbalik dengan akar kuadrat berat molekul. Karbondioksida dapat berdifusi 20 kali
24
lebih cepat daripada oksigen, padahal berat molekulnya sama. Berarti, perbedaan kecepatan
difusi ini disebabkan oleh tingginya kelarutan karbondioksida.
Pada keadaan normal, perpindahan karbon dioksida ditentukan oleh perfusinya
(perfusion limited).
J = DL (PA−Pa)
DL adalah kapasitas difusi paru, yaitu kemudahan difusi gas ke dalam darah (kecepatan ambilan
gas dibagi dengan perbedaan tekanan parsial alveolus dengan darah).
DL = J/(PA−Pa)
25
1.2.2.2 Hubungan ventilasi–perfusi
Konsep dasar
Untuk menghasilkan pertukaran gas yang efisien, ventilasi (aliran gas) dan perfusi (aliran
darah) di dalam paru harus seimbang. Situasi ideal ini dapat tercapai jika seluruh alveolus
memperoleh ventilasi yang sama dengan komposisi gas dan tekanan yang sama pula, serta
seluruh kapiler paru di dinding alveolus mendapatkan perfusi darah dengan jumlah yang sama.
Sayangnya, hal ini tidak mungkin tercapai karena ventilasi dan perfusi tidak pernah seragam di
seluruh paru.
Tekanan parsial oksigen di alveolus menentukan jumlah oksigen yang dipindahkan ke
dalam darah. Dua faktor yang mempengaruhi tekanan parsial oksigen di alveolus adalah
sebagai berikut: 1) besarnya ventilasi (yaitu penambahan oksigen ke dalam alveolus), dan 2)
perfusi darah di dalam kapiler paru (yaitu pemindahan oksigen dari alveolus ke darah). Rasio
antara ventilasi dan perfusi menentukan konsentrasi oksigen di dalam kompartemen alveolus.
Rasio ventilasi-perfusi
Rasio ventilasi-perfusi adalah perbandingan antara ventilasi alveolar semenit (VA) dan aliran
darah paru (Q). VA biasanya adalah 4,2 l/menit, sedangkan Q biasanya adalah 5,0 l/menit.
Maka, rasio ventilasi-perfusi normalnya adalah sebagai berikut:
VA 4,2 L/menit
---- = --------------- = 0,84
Q 5,0 L/menit
Nilai ini merupakan nilai rata-rata untuk seluruh paru. Pada kenyataannya, terdapat perbedaan
nilai rasio antara bagian apeks paru dan bagian basal paru.
26
lebih besar daripada terhadap ventilasi. Hal ini menyebabkan timbulnya variasi regional rasio
ventilasi-perfusi di bagian apeks (rasionya tinggi) dan basal paru (rasionya rendah).
Variasi regional ini terjadi karena posisi paru yang tegak lurus pada saat seseorang
berdiri. Pada posisi berbaring, area posterior paru memililki rasio ventilasi-perfusi yang rendah,
sedangkan area anterior mempunyai rasio yang tinggi. Pengaruh perbedaan rasio ventilasi-
perfusi terhadap kadar karbondioksida dan oksigen di alveolus dan darah dijelaskan di bawah
ini (Gambar 1.2.7).
Gambar 1.2.7 Ventilasi dan perfusi pada bagian basal paru (A) dan apeks paru (B).
Sumber: Jefferies A, Turley A. Perfusion and gas transport. Dalam: Jefferies A, Turley A, penyunting. Mosby‘s crash course:
respiratory system. London, Elsevier Science Limited, 2002.
27
Rasio ventilasi-perfusi tinggi (pada bagian apeks paru)
1. Pengaruh terhadap konsentrasi karbondioksida
Karbondioksida yang berdifusi dari darah hampir seluruhnya dibuang; karbondioksida di
dalam alveolus berkurang konsentrasinya hingga tercapai nilai PACO2 yang lebih rendah dan
tetap/stabil. Difusi terus berlangsung sampai tercapai keseimbangan sehingga PaCO2 juga
menjadi rendah.
2. Pengaruh terhadap konsentrasi oksigen
Oksigen yang berdifusi dari alveolus hanya diambil dalam jumlah sedikit oleh darah karena
kecilnya aliran darah. Di sisi lain, oksigen terus diperbaharui konsentrasinya setiap kali
bernapas. Oleh karena itu, oksigen cenderung terakumulasi di dalam alveolus sampai
tercapai konsentrasi yang tetap. Difusi terjadi sampai tercapai keseimbangan dan PaO2
menjadi lebih tinggi.
28
Hubungan ventilasi-perfusi
Rasio ventilasi-perfusi
Rasio ventilasi-perfusi
Gambar 1.2.8 A) Distribusi rasio ventilasi–perfusi pada orang normal. Perhatikan distribusi yang sempit
dan tidak adanya pirau (shunt), B) Distribusi rasio ventilasi–perfusi pada pasien dengan bronkitis kronis
dan emfisema. Perhatikan adanya aliran darah menuju area paru dengan rasio ventilasi–perfusi yang
sangat rendah.
Sumber: West JB. Ventilation-perfusion relationships. Dalam: Respiratory physiology–the essentials. Edisi ke-5. Baltimore, Williams
& Wilkins, 1995.
29
perfusi yang tinggi hanya sedikit meningkatkan PO2 arteri. Area paru dengan rasio ventilasi-
perfusi yang rendah akan terus memberikan darah dengan konsentrasi yang hampir sama
dengan darah vena. Hasil akhirnya adalah PO2 arteri hanya sedikit meningkat sehingga masih
terdapat hipoksemia.
Seperti yang telah disebutkan, fungsi respirasi adalah melakukan pertukaran O2 dan CO2 antara
udara atmosfer dan darah untuk mempertahankan PO2 dan PCO2 arteri normal. Tubuh manusia
mempunyai sistem khusus yang mengatur agar organ respirasi dapat berfungsi
mempertahankan PO2 dan PCO2 arteri dalam batasan normal.
Tiga unsur dasar sistem kontrol respirasi adalah sebagai berikut: 1) sensor/reseptor,
yang berfungsi mengumpulkan informasi dan menyampaikannya ke 2) pengendali pusat di
otak (sistem saraf pusat), yang mengkoordinasikan informasi dan kemudian mengirimkan
impuls ke 3) efektor (otot-otot respirasi), yang menimbulkan gerak pernapasan.
Sebaliknya, peningkatan aktivitas pernapasan dapat memberikan umpan balik negatif.
Contohnya, peningkatan ventilasi akan menurunkan PCO2 arteri sehingga menurunkan input
sensorik ke otak, kemudian terjadi penurunan ventilasi (Gambar 1.2.9).
Fisiologi respiratorik
Kontrol sentral
Reseptor Efektor
Gambar 1.2.9 Unsur dasar sistem regulasi respirasi. Informasi dari berbagai reseptor disampaikan ke
pusat napas, kemudian menimbulkan respons otot-otot pernapasan. Dengan meningkatnya aktivitas
pernapasan, terjadi penurunan stimulus sensorik ke otak sehingga menimbulkan umpan balik negatif.
Sumber: West JB. Control of ventilation. Dalam: Respiratory physiology–the essentials. Edisi ke-5. Baltimore, Williams & Wilkins,
1995.
30
a) Pusat respirasi medula
Pusat ini terletak di formasio retikularis, yaitu di bawah lantai ventrikel ke-4, dan terdiri
atas 1) area inspirasi di bagian dorsal, dan 2) area ekspirasi di bagian ventral.
Banyak pendapat yang menyebutkan bahwa area inspirasi berperan membangkitkan
impuls intrinsik inspirasi. Telah dibuktikan bahwa jika seluruh stimulus aferen
dihilangkan, area ini akan mengeluarkan aksi potensial berulang dan menimbulkan
impuls ke diafragma dan dan otot-otot pernapasan lainnya. Area ekspirasi tidak aktif
pada pernapasan normal yang tenang. Hal ini terjadi karena pada pernapasan normal,
inspirasi terjadi akibat otot-otot pernapasan (terutama diafragma) dan diikuti oleh
relaksasi pasif dinding dada. Namun, pada pernapasan yang kuat/paksa, misalnya pada
waktu berolahraga, area ekspirasi menjadi aktif sehingga ekspirasi terjadi secara aktif.
b) Pusat apneustik
Pusat apneustik terletak di pons bagian bawah. Pada binatang percobaan, jika batang
otak dipotong di atas lokasi ini, akan terlihat apnea inspirasi yang panjang dan diselingi
oleh upaya ekspirasi. Tampaknya, impuls dari pusat ini mempunyai efek membangkitkan
area inspirasi di medula sehingga aksi potensial yang timbul akan memanjang. Peran
pusat apneustik ini pada manusia masih belum diketahui.
c) Pusat pneumotaksik
Lokasinya terletak di pons bagian atas. Area ini berperan menghambat inspirasi dan
mengatur volume serta frekuensi inspirasi. Hal ini ditunjukkan pada percobaan binatang
dengan stimulasi listrik langsung terhadap pusat ini. Beberapa peneliti meyakini bahwa
peran pusat ini adalah sebagai pengatur irama respirasi yang sangat teliti (fine tuning),
sebab, jika pusat ini tidak ada, irama respirasi yang normal masih dapat ditemukan.
Korteks
Pernapasan dapat dikendalikan secara sadar (voluntary), yaitu apabila korteks mengambil
alih fungsi kendali batang otak dalam batas tertentu. Pengurangan PCO2 arteri menjadi
setengah nilai sebelumnya mudah dilakukan dengan hiperventilasi. Pengurangan PCO2 ini
akan meningkatkan pH darah, sehingga dapat timbul alkalosis yang menyebabkan kejang
(tetani) berupa kontraksi otot-otot tangan dan kaki (spasme karpopedal).
Bagian lain otak
Bagian lain otak, seperti sistem limbik dan hipotalamus, dapat mengubah pola pernapasan,
misalnya pada keadaan yang dipengaruhi oleh emosi seperti marah atau takut.
2. Efektor
Otot-otot pernapasan terdiri dari diagragma, otot interkostal, otot-otot perut, dan otot-otot
tambahan seperti sternomastoideus. Berbagai otot ini bekerja bersama secara terkoordinasi, di
bawah kendali sistem saraf pusat. Telah dibuktikan bahwa pada beberapa neonatus, terutama
yang lahir prematur, terdapat inkoordinasi aktivitas otot pernapasan, khususnya pada saat
tidur. Pada keadaan ini, otot dada bergerak untuk mengupayakan inspirasi, sedangkan otot
perut mengupayakan ekspirasi. Hal inilah yang mungkin merupakan salah satu faktor penyebab
sindrom kematian bayi mendadak (sudden infant death syndrome).
3. Sensor/Reseptor
Seperti yang telah disebutkan, reseptor berfungsi mengumpulkan informasi dan
menyampaikannya ke sistem saraf pusat. Terdapat beberapa jenis reseptor, yaitu 1)
31
kemoreseptor sentral dan perifer, 2) reseptor iritan, dan 3) reseptor yuksta-kapiler, dan 4)
reseptor lainnya.
a) Kemoreseptor
Kemoreseptor adalah reseptor yang berespons terhadap perubahan komposisi kimiawi
darah atau cairan lain di sekitarnya. Kemoreseptor dibagi menjadi dua, yaitu
kemoreseptor sentral dan perifer.
Sentral
Kemoreseptor sentral terletak di batang otak, yaitu di permukaan ventrolateral
medula, di dekat tempat keluar nervus kranial IX dan X. Dahulu, lokasi reseptor ini
dianggap sama dengan lokasi pusat napas di medula, tetapi saat ini telah dibuktikan
bahwa secara anatomis lokasinya berbeda. Pada binatang percobaan, pemberian ion
H+ atau CO2 terlarut pada area reseptor ini akan menstimulasi pernapasan.
Kemoreseptor dikelilingi oleh cairan ekstraselular otak dan berespons terhadap
perubahan konsentrasi H+ di dalam cairan tersebut. Peningkatan konsentrasi H+ akan
menstimulasi pernapasan, sedangkan penurunannya akan menghambat pernapasan.
Komposisi kimiawi cairan ekstraselular ini dipengaruhi oleh cairan serebrospinal
(CSS), aliran darah setempat, dan metabolisme setempat. CSS mempunyai peran
paling penting. CSS dipisahkan dengan darah oleh sawar darah otak yang relatif
impermeabel terhadap ion H+ dan HCO3-, tetapi dapat dilewati dengan mudah oleh
CO2 secara difusi. Apabila PaCO2 meningkat, CO2 dari pembuluh darah akan berdifusi
ke dalam CSS kemudian melepaskan ion H+ yang akan merangsang kemoreseptor
dan meningkatkan ventilasi.
Peningkatan PaCO2 dalam waktu yang lama akan menyebabkan pH CSS kembali
ke nilai normal. Hal ini dijelaskan sebagai berikut. Karbon dioksida di sel-sel glia akan
terlarut menjadi ion hidrogen dan bikarbonat (dikatalisis oleh enzim karbonik
anhidrase). Ion hidrogen akan didapar (buffer) oleh protein intraselular, sedangkan
bikarbonat akan berdifusi ke dalam CSS. Hiperkapnia juga menyebabkan sel-sel glia
menurunkan metabolisme anaerob sehingga produksi asam laktat berkurang.
Akibatnya, bikarbonat dapat dengan bebas berdifusi ke CSS. Difusi bikarbonat dari
dalam darah ke CSS ini menyebabkan kemoreseptor menjadi tidak sensitif terhadap
peningkatan PaCO2. Contohnya dapat dilihat pada pasien dengan penyakit paru
kronik dan retensi CO2 dalam waktu yang lama. Pada keadaan ini, ventilasi tidak
meningkat walaupun Pa CO2 tinggi.
Kemoreseptor sentral ini sangat aktif dan berperan penting dalam
mempertahankan respirasi. Sekitar 80% dari seluruh dorongan pernapasan
merupakan hasil stimulasi terhadap kemoreseptor ini. Reseptor ini dapat ditekan
oleh obat-obatan, seperti opiat dan barbiturat.
Perifer
Kemoreseptor perifer terletak di badan karotid (carotid bodies), yaitu di bifurkasio
arteri karotis komunis, dan di badan aortik (aortic bodies), yaitu di atas dan di
bawah arkus aorta. Pada manusia, yang berperan penting dalam pernapasan adalah
badan karotid.
Badan karotid mengandung dua jenis sel, yaitu sel glomus (tipe I) dan sel
sustentakular (tipe II). Sel tipe I banyak mengandung dopamin dan berhubungan
dengan serat aferen menuju batang otak. Sel tipe II adalah sel-sel pendukung
(struktural dan metabolik), serupa dengan sel-sel glia di sistem saraf pusat. Badan
32
karotid memiliki sangat kaya akan suplai darah arteri maupun vena, sehingga sangat
peka terhadap perubahan konsentrasi O2 darah. Mekanisme kerjanya masih belum
diketahui dengan pasti, tetapi banyak ahli fisiologi berpendapat bahwa sel glomus
distimulasi oleh hipoksia dan melepaskan transmiter yang kemudian memberikan
sinyal melalui serat aferen menuju ke batang otak. Kemoreseptor perifer ini sensitif
terhadap PaO2, PaCO2, pH, aliran darah, dan temperatur.
Badan karotid disuplai oleh sistem saraf otonom. Sensitivitas badan karotid
terhadap hipoksia dipengaruhi oleh aliran darah yang diatur oleh sistem saraf
otonom tersebut. Mekanismenya adalah sebagai berikut: 1) vasokonstriksi akibat
kerja simpatis, meningkatkan sensitivitas terhadap hipoksia, dan 2) vasodilatasi
akibat kerja parasimpatis, menurunkan sensitivitas terhadap hipoksia.
Pada PaO2 yang rendah (<50 mmHg), penurunan PaO2 yang lebih jauh akan
sangat meningkatkan ventilasi. Namun, pada PaO2 yang tinggi (sekitar 100 mmHg),
perubahan tekanan oksigen hanya memberikan sedikit pengaruh terhadap ventilasi
(Gambar 1.2.10).
SSP
Gambar 1.2.10 Kurva nonlinear; respons ventilasi terhadap perubahan PO 2 arteri. Perhatikan bahwa
respons maksimum timbul pada PO2 kurang dari 50 mm Hg.
Sumber: West JB. Control of ventilation. Dalam: Respiratory physiology–the essentials. Edisi ke-5. Baltimore, Williams & Wilkins,
1995.
b) Reseptor iritan
Reseptor iritan terletak di antara sel-sel epitel saluran napas. Reseptor ini distimulasi
oleh partikel yang terinhalasi (seperti asap rokok dan debu), gas-gas yang berbau
merangsang, peningkatan aliran udara, serta udara dingin. Impuls yang diterima oleh
reseptor berjalan ke nervus vagus melalui serat bermielin. Bentuk responsnya adalah
mulai dari refleks batuk, konstriksi laring, bronkokonstriksi, sampai hiperpnea. Mediator
kimiawi yang berperan dalam reaksi alergi juga dapat menstimulasi reseptor ini (hal ini
yang mungkin turut berperan pada terjadinya peningkatan ventilasi pada asma).
Reseptor ini cepat memberikan respons terhadap stimulus (rapidly adapting).
c) Reseptor Juksta-kapiler (J)
Reseptor ini disebut juksta-kapiler karena terletak di dinding alveolus, dekat dengan
kapiler. Reseptor ini distimulasi oleh pengembangan paru yang sangat besar,
pengempisan paru secara paksa, edema pembuluh darah paru, peningkatan volume
cairan interstisial di dinding alvelolus, serta mediator kimiawi seperti histamin dan
33
capsacin. Impuls berjalan ke nervus vagus melalui saraf aferen tak-bermielin. Reseptor
ini cepat memberikan respons (rapidly adapting) terhadap stimulus. Responsnya dapat
berupa penutupan laring, pernapasan cepat dangkal, bradikardia, dan hipotensi.
Reseptor ini juga berperan dalam terjadinya dispnea pada pasien gagal jantung atau
pasien dengan penyakit interstisial paru.
d) Reseptor lainnya
Reseptor di hidung dan saluran respiratori-atas.
Hidung, nasofaring, laring, dan trakea memiliki reseptor yang berespons terhadap
stimulus mekanis dan kimiawi. Reseptor ini merupakan perluasan dari reseptor iritan
yang telah disebutkan di atas. Responsnya yang timbul dapat berupa bersin, batuk,
dan bronkokonstriksi. Spasme laring dapat timbul jika laring terangsang secara
mekanis, misalnya pada saat memasukkan pipa endotrakeal dengan anestesi lokal
yang tidak memadai.
Reseptor sendi dan otot
Impuls dari ekstremitas yang bergerak diyakini merupakan salah satu stimulus yang
merangsang ventilasi pada saat berolahraga, terutama pada fase awal.
Sistem gamma
Berbagai otot, termasuk otot interkostal dan diafragma, memiliki spindel otot yang
dapat mendeteksi adanya perpanjangan otot. Informasi ini berguna untuk
mengendalikan kekuatan kontraksi secara refleks. Reseptor-reseptor ini
menyebabkan timbulnya sensasi kesulitan bernapas (dispnea) pada keadaan yang
membutuhkan upaya bernapas sangat besar untuk menggerakkan paru dan dinding
dada, misalnya pada obstruksi saluran napas.
Baroreseptor arterial
Peningkatan tekanan darah arteri dapat menimbulkan refleks hipoventilasi atau
apnea melalui stimulasi baroreseptor sinus karotid dan sinus aortik. Sebaliknya,
penurunan tekanan darah dapat menyebabkan hiperventilasi. Jalur/perjalanan
stimulus yang menimbulkan refleks ini masih belum diketahui.
Nyeri dan suhu
Perangsangan berbagai saraf aferen dapat menyebabkan perubahan ventilasi.
Rangsangan nyeri dapat menyebabkan apnea selama beberapa saat, yang diikuti
oleh hiperventilasi. Rangsangan panas pada kulit dapat menyebabkan timbulnya
hiperventilasi.
Integrasi respons
Respons terhadap karbondioksida
Faktor terpenting yang berperan pada regulasi ventilasi pada keadaan normal adalah PCO2
arteri. Respons peningkatan ventilasi terhadap peningkatan PCO2 bertambah jika PO2 diturunkan
(Gambar 1.2.11). Penurunan PCO2 sangat efektif untuk mengurangi rangsangan untuk
bernapas. Sebagai contoh, jika seseorang melakukan hiperventilasi secara sadar selama
beberapa detik, orang tersebut akan kehilangan dorongan untuk bernapas selama beberapa
waktu.
Hal-hal yang dapat menurunkan respons ventilasi terhadap CO2 adalah tidur,
peningkatan usia, genetik, ras, dan faktor individu. Atlet atau penyelam yang terlatih cenderung
mempunyai sensitivitas yang rendah terhadap CO2. Berbagai obat juga dapat menekan pusat
napas, misalnya morfin dan barbiturat. Respons terhadap peningkatan PCO2 juga berkurang jika
kerja pernapasan (work of breathing) meningkat. Hal ini dapat ditunjukkan dengan percobaan
34
sebagai berikut. Seseorang diminta untuk bernapas melalui pipa yang sempit. Pada keadaan ini,
dorongan bernapas dari pusat pernapasan tidak menurun, namun dorongan tersebut tidak
efektif untuk menimbulkan ventilasi. Hal ini juga menjelaskan mengapa pada pasien penyakit
paru dengan retensi CO2, tidak terjadi peningkatan ventilasi. Pada pasien ini, respons ventilasi
biasanya dapat ditingkatkan dengan mengurangi resistensi saluran respiratori menggunakan
bronkodilator. Beberapa percobaan juga membuktikan bahwa terdapat penurunan sensitivitas
pusat napas pada pasien ini.
Respons peningkatan ventilasi terhadap kenaikan PCO2 terutama berasal dari
kemoreseptor sentral, yang berespons terhadap peningkatan konsentrasi H+ pada cairan
ekstraselular otak. Respons tambahan berasal dari kemoreseptor perifer, yang timbul akibat
peningkatan PCO2 arteri dan penurunan pH.
Control dari ventilasi
Gambar 1.2.11 Respons ventilasi terhadap CO 2. Kurva
ventilasi terhadap PCO2 dengan berbagai nilai PO2
alveolus. Pada penelitian ini, tidak terdapat perbedaan
antara PO2 110 mmHg dengan 169 mmHg, walaupun
beberapa peneliti menemukan bahwa kurva sedikit lebih
landai pada PO2 yang lebih tinggi.
Sumber: West JB. Control of ventilation. Dalam: Respiratory
physiology–the essentials. Edisi ke-5. Baltimore, Williams & Wilkins,
1995.
Ventilasi pulmonal (L/menit)
35
Pada beberapa pasien dengan penyakit paru yang berat, rangsangan hipoksia memiliki
peran yang sangat penting terhadap pengaturan ventilasi. Pada pasien ini terdapat retensi CO2
kronik, akan tetapi pH cairan ekstraselular otak tetap normal karena adanya bikarbonat (telah
dijelaskan sebelumnya). Selain itu, penurunan pH juga dikompensasi oleh ginjal, sehingga
hanya sedikit merangsang kemoreseptor perifer. Akibatnya, peningkatan PCO2 darah tidak
menimbulkan respons peningkatan ventilasi, dan penurunan PO2 (hipoksemia arteri) menjadi
stimulus utama dalam pengaturan ventilasi. Jika pasien ini diberi udara berkadar oksigen tinggi
untuk memperbaiki hipoksemianya, akan terjadi penurunan ventilasi. Pada pasien ini, keadaan
pernapasan harus dipantau dengan mengukur PCO2 arteri.
Respons terhadap pH
Penurunan pH arteri akan merangsang ventilasi. Pada prakteknya, sulit untuk membedakan
apakah peningkatan ventilasi terjadi akibat penurunan pH atau peningkatan PCO2. Namun,
pada binatang percobaan dapat dibuktikan bahwa penurunan pH dengan PCO2 konstan dapat
merangsang peningkatan ventilasi.
36
yang berada di dataran tinggi, terutama ketika tidur pada malam hari. Pola ini juga didapatkan
pada pasien dengan penyakit jantung berat atau kerusakan batang otak.
Daftar pustaka
1. Guyton AC, Hall JE. Pulmonary ventilation. Dalam: Guyton AC, Hall JE, penyunting. Textbook of
medical physiology. Edisi ke-10. Philadelphia: WB Saunders Company; 2000. h. 432–43.
2. Jefferies A, Turley A. Ventilation and gas exchange. Dalam: Jefferies A, Turley A, penyunting. Mosby‘s
crash course: respiratory system. London: Elsevier Science Limited; 2002. h. 31–58.
3. Jefferies A, Turley A. Perfusion and gas transport. Dalam: Jefferies A, Turley A, penyunting. Mosby‘s
crash course: respiratory system. London: Elsevier Science Limited; 2002. h. 59–71.
4. West JB. Ventilation. Dalam: Respiratory physiology–the essentials. Edisi ke-5. Baltimore: Williams &
Wilkins; 1995. h. 11–20.
5. West JB. Diffusion. Dalam: Respiratory physiology–the essentials. Edisi ke-5. Baltimore: Williams &
Wilkins; 1995. h. 21–30.
6. West JB. Ventilation-perfusion relationships. Dalam: Respiratory physiology–the essentials. Edisi ke-5.
Baltimore: Williams & Wilkins; 1995. h. 51–70.
7. West JB. Control of ventilation. Dalam: Respiratory physiology–the essentials. Edisi ke-5. Baltimore:
Williams & Wilkins; 1995. h. 117–32.
37
1.3 Mekanisme pertahanan sistem respiratori
I Boediman
Paru memiliki beberapa mekanisme pertahanan. Berbagai mekanisme pertahanan yang efektif
diperlukan oleh paru, karena sistem respiratori selalu terpajan dengan udara lingkungan yang
seringkali terpolusi serta mengandung iritan, patogen, dan alergen. Sistem pertahanan organ
respiratorik terdiri dari tiga unsur, yaitu refleks batuk yang bergantung pada integritas saluran
respiratori, otot-otot pernapasan, dan pusat kontrol pernapasan di sistem saraf pusat.
Silia dan aparatus mukosiliar bergantung pada integritas bentuk dan fungsi silia serta
epitel respiratorik. Pertahanan mekanis sistem respiratori yang berfungsi melindungi paru terdiri
dari penyaringan partikel, penghangatan dan pelembaban (humidifikasi) udara inspirasi, serta
absorpsi asap dan gas berbahaya oleh saluran respiratori-atas yang banyak mengandung
pembuluh darah. Penghentian napas secara sementara, pendangkalan napas secara refleks,
laringospasme, serta bronkospasme, dapat mencegah masuknya benda asing lebih jauh dan
lebih banyak ke dalam saluran respiratori. Batuk juga merupakan mekanisme pertahanan yang
penting. Spasme ataupun penurunan pernapasan hanya dapat memberikan perlindungan
sementara. Aspirasi makanan, sekret, dan benda asing dapat dicegah dengan gerakan menelan
dan penutupan epiglotis. Saluran respiratori di sebelah distal laring normalnya steril. Sistem
imun sangat berperan untuk mencegah terjadinya infeksi paru.
Saluran respiratori-atas terdiri dari hidung, sinus paranasal, dan faring; saluran
respiratori-bawah adalah sisanya, mulai dari laring hingga distal. Hidung memiliki area
permukaan yang luas, dilapisi oleh epitel bersilia yang kaya pembuluh darah, sehingga ketika
udara mencapai bifurkasio aorta, telah terjadi penghangatan dan pelembaban udara inspirasi
hingga 75%. Selama ekspirasi, panas dan kelembaban dikeluarkan dari saluran respiratori.
Partikel di udara, yang berukuran lebih besar dari 10–15 mm, akan disaring oleh rambut-
rambut kasar di lubang hidung, sedangkan sebagian besar partikel yang berukuran lebih besar
dari 5 mm akan tertahan di permukaan hidung.
Karena laring pada anak kecil relatif sempit dan dilingkari oleh tulang rawan, obstruksi
mudah terjadi. Obstruksi terutama terjadi akibat inflamasi, karena jaringan yang edema akan
cepat menyumbat lumen dan kemudian menimbulkan stridor inspirasi.
Trakea dan bronkus dilapisi oleh epitel silindris berlapis semu bersilia dengan sel goblet
yang tersebar. Kelenjar mukosa meliputi kira-kira sepertiga ketebalan dinding saluran
respiratori, sebagian besar terdapat di antara permukaan epitelial dan tulang rawan. Trakea
tersusun dari cincin tulang rawan inkomplit dengan membran muskular di bagian posterior,
sedangkan bronkus, terutama bifurkasio, tersusun dari lempeng tulang rawan yang iregular.
Tulang rawan ini semakin berkurang hingga akhirnya menghilang pada bronkus yang terkecil.
Sel-sel goblet dan terutama kelenjar submukosa mensekresi lapisan mukus setebal 2–5 mm
yang berada di ujung silia. Setiap sel bersilia memiliki sekitar 275 silia; gerakan terjadi akibat
aksi mikrotubulus di dalam tiap silia. Silia bergerak di dalam lapisan cairan perisiliar dengan
kecepatan 1000 gerakan/menit, menggerakkan selimut mukus (mucous blanket) menuju faring
dengan kecepatan kira-kira 10 mm/menit di dalam trakea. Di area respiratorik paru, permukaan
sel secara bertahap menjadi kuboid, dan akhirnya menjadi rata (selapis tipis sel); sel bersilia
dan sel goblet biasanya tidak ada.
Penghangatan dan pelembaban 25% udara inspirasi terjadi di trakea dan bronkus besar.
Gagalnya pelembaban akan menyebabkan udara kering masuk hingga saluran respiratori-distal.
38
Partikel berukuran 1–5 mm mengendap di lapisan mukus trakeobronkial, sehingga hanya
partikel berukuran 1 mm atau lebih kecil yang mencapai bronkiolus respiratorik dan ruang
udara, sebagian akan dideposit dan sebagian besar dikeluarkan melalui ekspirasi.
Sekret saluran respiratori terutama berasal dari sel-sel mukosa (glikoprotein) dan serosa
pada kelenjar submukosa yang bermuara ke epitel permukaan; sel goblet dan sel Clara—
masing-masing merupakan sel penghasil sekret khas pada epitel bronkus dan bronkiolus;
transudasi dari rongga vaskular; cairan alveolar—merupakan unsur fosfolipid yang terbanyak
ditemukan pada mukus trakeobronkial. Sekret ini mengandung kira-kira 95% air.
Pada masa bayi, terdapat ventilasi alveolar kolateral yang semakin banyak, yaitu dengan
terbentuknya pores of Kohn di antara alveolus, yang memungkinkan gas masuk dari satu
lobulus ke lobulus lainnya, bahkan mungkin ke segmen paru lain. Selain itu juga terdapat
komunikasi bronkio-alveolar, yang dikenal sebagai canals of Lambert. Hubungan-hubungan
anatomis ini mungkin bermanfaat untuk mencegah atau memperlambat terjadinya atelektasis.
39
1.3.3 Gangguan mekanisme pertahanan
Kemampuan fagositik makrofag alveolar dan mekanisme mukosiliar (lebih sering), dapat
terganggu oleh penggunaan alkohol, merokok, hipoksemia, kelaparan, kedinginan,
kortikosteroid, nitrogen dioksida, ozon, peningkatan konsentrasi oksigen, narkotik, dan
beberapa gas anestetik. Kemampuan makrofag untuk membunuh bakteri juga dapat menurun
akibat asidosis, azotemia, dan infeksi virus akut, terutama rubela dan influenza. Zat-zat yang
bersifat toksik terhadap sel epitel pernapasan antara lain adalah berilium dan asbes, debu
organik kapas, gas-gas seperti sulfur, nitrogen dioksida, ozon, klorin, amonia, dan asap rokok.
Pembersihan mukosiliar dapat berkurang karena hipotermi, hipertermi, morfin, kodein,
dan hipotiroidisme. Inhalasi gas yang kering melalui mulut (karena hidung tersumbat, setelah
trakeostomi, atau pada pemakaian oksigen yang kurang lembab) mengakibatkan membran
mukosa menjadi kering dan gerakan silia melambat, sedangkan udara dingin dapat mengiritasi
jaringan trakeobronkial.
Kerusakan epitel pernapasan dapat reversibel maupun ireversibel. Kerusakan yang
reversibel diakibatkan oleh rinitis, sinusitis, bronkitis, bronkiolitis, infeksi respiratorik akut yang
dikaitkan dengan tingginya kadar polusi udara, serta pengelupasan epitel yang dapat dijumpai
pada asma, atau yang disertai dengan bronkospasme, edema, kongesti, dan mungkin ulserasi
permukaan yang ringan. Ulserasi yang berat, bronkiektasis, bronkiolektasis, metaplasia sel
skuamosa, dan fibrosis merupakan kerusakan berat yang menimbulkan gangguan mekanisme
pembersihan saluran respiratori menetap. Hal-hal lain yang dapat memberikan pengaruh buruk
bagi paru adalah hiperventilasi, hipoksia alveolar, tromboembolisme paru, edema paru, reaksi
hipersensitivitas, dan obat-obat tertentu seperti salisilat.
Daftar pustaka
1. Haddad GG, Perez-Fontan JJ. Defense mechanisms and metabolic functions of the lung. Dalam:
Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB, penyunting. Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke-16.
Philadelphia: WB Saunders Company; 2000. h. 1252–3.
40
2
Pendekatan diagnostik
respiratorik anak
Darfioes Basir, Nastiti N Rahajoe,
Darmawan Budi Setyanto, Landia Setiawati
2.1 Anamnesis
Prinsip umum
Anamnesis harus dilakukan di lingkungan yang nyaman dan tenang, tersedia tempat untuk
baju, perlengkapan dan mainan untuk anak-anak. Susu dan makanan kecil harus tersedia untuk
menenangkan bayi dan balita.
Anamnesis adalah suatu teknik pemeriksaan yang dilakukan dengan wawancara untuk
mendapatkan data pasien beserta permasalahan medisnya. Terdapat 2 metode anamnesis yaitu
autoanamnesis dan alloanamnesis. Anamnesis yang dilakukan langsung terhadap pasien disebut
autoanamnesis dan apabila dilakukan pada orang lain yang paling mengetahui keadaan pasien
atau sumber lain disebut alloanamnesis.
Nama
Identitas dimulai dengan nama pasien. Nama pasien harus jelas dan lengkap, terdiri atas nama
depan, nama belakang dan nama panggilan.
Umur
Umur sebaiknya didapat dari tanggal lahir, yang dilihat pada Akte Kelahiran, Kartu Menuju
Sehat ataupun kartu pemeriksaan kesehatan lainnya. Apabila tanggal lahir tidak diketahui,
maka umur dapat diperkirakan berdasarkan peristiwa yang umum diketahui misalnya hari raya
(Idul Fitri, Natal, hari Proklamasi, dan sebagainya), bencana alam, dan lain-lain. Umur
diperlukan untuk menginterpretasikan apakah data pemeriksaan tersebut normal sesuai dengan
41
umurnya serta pada setiap periode usia anak memiliki kekhasannya sendiri dalam morbiditas
dan mortalitas.
Jenis kelamin
Jenis kelamin diperlukan selain untuk identitas juga untuk penilaian data klinis.
Alamat
Tempat tinggal harus ditulis dengan jelas dan lengkap. Nama jalan, nomor rumah, RT, RW,
kelurahan, kecamatan dan kabupaten/kota. Bila ada nomor teleponnya sebaiknya ditanyakan
dan dicatat. Kejelasan ini diperlukan agar sewaktu-waktu dapat dihubungi serta mempermudah
apabila diperlukan untuk dilakukannya kunjungan rumah misalnya pada kasus tuberkulosis.
42
sama. Pada dugaan penyakit keturunan seperti asma, perlu untuk ditanyakan atopi/alergi dalam
keluarga.
Pada umumnya, hal-hal berikut perlu diketahui mengenai keluhan atau gejala:
Lama berlangsungnya gejala.
Bagaimana sifat gejala: mendadak, perlahan-lahan, terus menerus, hilang timbul, apakah
berhubungan dengan waktu (pagi, siang, sore).
Untuk keluhan lokal harus dirinci lokalisasi dan sifatnya: menetap, menjalar, menyebar dan
sifatnya, berpindah-pindah.
Berat-ringannya keluhan dan perkembangannya: apakah menetap, cenderung bertambah
berat atau berkurang.
Terdapatnya hal yang mendahului keluhan.
Apakah keluhan tersebut kali pertama dirasakan atau sudah pernah sebelumnya; bila sudah
pernah, dirinci apakah intensitas dan kharateristiknya sama atau berbeda dan interval
keluhan-keluhan tersebut.
Apakah terdapat saudara sedarah, orang serumah atau sekeliling pasien yang memiliki
keluhan serupa.
Upaya yang telah dilakukan dan bagaimana hasilnya.
Demam
Merupakan keluhan utama yang sering dikemukakan. Kharakteristik demam yang perlu
ditanyakan:
Lamanya demam berlangsung.
Apakah awitannya mendadak atau tidak
Bagaimana pola demam: remiten, intermiten, atau kontinyu. Apakah terutama terjadi
pada malam hari atau sepanjang hari.
Apakah disertai menggigil, kejang, kesadaran menurun, meracau, mengigau.
Batuk
Batuk merupakan salah satu keluhan yang sering membawa seorang pasien berobat.
Anamnesis batuk sebaiknya meliputi:
Berapa lama batuk berlangsung.
Apakah batuk sering kambuh atau berulang.
Apakah batuk lebih menonjol pada malam atau dini hari
Sifat batuk: apakah spasmodik, kering atau produktif (banyak dahak).
Perinci sifat dahak: kekentalan, warna, bau, serta adanya darah pada dahak.
Keluhan lain yang menyertai: sesak napas, mengi, sianosis, muntah.
Apakah batuk dipengaruhi oleh perubahan posisi.
Terdapatnya orang di sekitar pasien yang menderita batuk.
Anamnesis keluhan batuk sangat khas untuk diagnosis penyakit tertentu, misalnya batuk pada
pertusis yang bersifat spasmodik, nonproduktif, panjang, diselingi whoop pada saat inspirasi
dan sering diakhiri dengan muntah.
Sesak Napas
Hal-hal yang perlu ditanyakan:
Saat keluhan sesak napas timbul, berulang atau pertama kali, mendadak atau perlahan,
apakah berhubungan dengan waktu, misalnya lebih berat pada malam hari.
43
Apakah sesak napas dipengaruhi oleh posisi tidur pasien, misalnya terlentang, telungkup
atau setengah duduk.
Apakah sesak timbul setelah melakukan aktivitas fisis (lari atau berjalan agak jauh),
yang menandakan telah terjadi penurunan toleransi terhadap aktivitas. Pada bayi
menurunnya toleransi aktivitas dapat dinilai dengan menanyakan apakah bayi cepat
lelah apabila menetek atau minum susu botol, ditanyakan berapa lama serta berapa
mililiter susu botol dapat diminumnya. Keluhan lain yang menyertai sesak napas yang
perlu ditanyakan juga adalah batuk, napas berbunyi, nyeri dada, biru di daerah bibir dan
ujung jari, dan adanya riwayat muntah ataupun tersedak.
Sianosis
Sianosis dapat dijumpai pada penyakit respiratori yang berat atau kronik. Hal–hal yang perlu
ditanyakan:
Apakah timbul warna biru pada bibir dan ujung-ujung jari
Sejak kapan terlihatnya keadaan tersebut
Riwayat kelahiran
Riwayat kelahiran pasien harus ditanyakan dengan teliti, termasuk tanggal, tempat kelahiran,
siapa yang menolong, cara kelahiran (spontan, ekstraksi cunam, ekstraksi vakum, bedah
kaisar), adanya kehamilan ganda, keadaan segera setelah lahir, dan morbiditas pada hari
pertama lahir. Masa kehamilan pasien juga perlu ditanyakan, apakah cukup bulan, kurang
bulan, ataukah lewat bulan. Nilai Apgar apabila mungkin juga sebaiknya ditanyakan. Apakah
setelah lahir memerlukan perawatan yang lebih lama, misalnya: pemakaian sinar biru karena
kuning, oksigen, perawatan di ICU, pemakaian ventilator (mesin bantu napas) dll.
Riwayat makanan
Anamnesis mengenai riwayat makanan diharapkan dapat diperoleh keterangan tentang
makanan yang dikonsumsi oleh anak. Kemudian dinilai apakah kualitas dan kuantitasnya
adekuat, yaitu memenuhi angka kecukupan gizi (AKG) yang dianjurkan.
Pada bayi perlu diketahui susu apa yang diberikan: Air Susu Ibu (ASI) ataukah
Pengganti Air Susu Ibu (PASI), atau keduanya. Kemudian apabila ASI, ditanyakan juga apakah
ASI diberikan secara eksklusif (ASI saja sampai 4-6 bulan). Anamnesis riwayat makanan
ditanyakan sampai pasien datang berobat. Pada hakekatnya anamnesis tentang asupan
makanan ini merupakan analisis makanan secara kasar. Hasil analisis ini berperan terutama
pada kasus kelainan gizi dan gangguan tumbuh kembang serta harus digabungkan dengan data
44
lainnya yaitu pemeriksaan fisis, laboratorium dan antropometris sehingga dapat disimpulkan
status nutrisi pasien secara adekuat.
Riwayat imunisasi
Status imunisasi (umur saat diberikan, imunisasi dasar dan ulangan) harus ditanyakan secara
rutin, khususnya BCG, DPT, Polio, Campak, dan Hepatitis B. Imunisasi lainnya seperti tifus,
MMR, hepatitis A , cacar air, Hib, Invasive pneumococcal disease (IPD) dan rota virus juga
sebaiknya ditanyakan. Data imunisasi sebaiknya dilihat pada Kartu Menuju Sehat (KMS) atau
paspor kesehatan.
Informasi tentang imunisasi juga dapat dipakai sebagai umpan balik tentang
perlindungan pediatrik yang diberikan misalnya terdapat kasus difteria atau pada tuberkulosis.
Riwayat perkembangan
Status perkembangan anak juga sebaiknya digali dengan teliti untuk mengetahui apakah
terdapat penyimpangan dari semua tahapan perkembangan. Banyak keadaan yang dapat
menyebabkan terjadinya penyimpangan dalam perkembangan seperti penempatan anak dalam
suatu panti, rawat inap di Rumah Sakit tanpa kehadiran ibu, adanya penyakit kronis dan
sebagainya. Keadaan seperti riwayat asfiksia berat, hiperbilirubinemia pada bayi lahir, sindrom
Down dan sebagainya dapat juga mempengaruhi perkembangan anak.
Pada anak balita perlu ditanyakan patokan-patokan perkembangan: bidang motor halus,
motor kasar, sosial-personal dan bahasa-adaptif. Pada anak sekolah, pemeriksa dapat
menanyakan prestasi belajar di sekolah, menars dan telars (pada anak perempuan) serta umur
tumbuh rambut pubik.
45
2.2 Pemeriksaan fisis
Cara pendekatan dan pemeriksaan
Pendekatan dalam pemeriksaan fisis tergantung kepada umur dan keadaan anak. Pada
umumnya bayi dan anak kecil akan merasa aman dengan kehadiran orang tua, terutama ibu.
Pada bayi yang berusia kurang dari 4 bulan, pemeriksaan akan lebih mudah karena masih
belum dapat membedakan orang sekitarnya. Untuk bayi yang lebih besar, pendekatan menjadi
sulit sehingga sebaiknya pemeriksa bersikap informal.
Cara pemeriksaan fisis pada bayi dan anak pada umumnya sama dengan cara
pemeriksaan pada orang dewasa, yaitu dimulai dengan inspeksi, palpasi, perkusi, auskultasi.
Namun, pada keadaan tertentu urutan pemeriksaan tidak harus demikian. Pada bayi dan anak
kecil, setelah inspeksi umum, dianjurkan untuk melakukan auskultasi jantung dan auskultasi
abdomen, karena apabila anak menangis bising jantung dan usus sulit dinilai dan meningkat.
Pemeriksaan dilakukan pada meja periksa yang cukup tinggi agar dokter dalam
memeriksa tidak cepat lelah serta pada ruangan yang cukup terang. Posisi pasien diatur agar
pasien merasa nyaman. Pasien yang mengalami sesak napas dapat lebih nyaman bila ia dalam
posisi setengah duduk.
Sebelum melakukan pemeriksaan, dokter hendaknya mencuci tangan dengan air hangat
atau dengan air biasa kemudian menggosok-gosokkan kedua telapak tangan untuk
menghangatkan tangan. Selesai melakukan pemeriksaan, tangan dicuci kembali. Pada neonatus
dan pasien dengan penyakit infeksi, tangan dokter dicuci dengan sabun atau cairan antiseptik.
Pemeriksaan yang menggunakan alat seperti pemeriksaan tenggorokan, mulut, telinga,
suhu tubuh, tekanan darah, dan lain-lain sebaiknya dilakukan paling akhir, oleh karena dengan
melihat atau memakai alat, anak menjadi takut atau merasa tidak nyaman sehingga seringkali
menolak untuk diperiksa lebih lanjut.
Inspeksi
Inspeksi dapat dibagi menjadi inspeksi umum dan inspeksi lokal. Pada inspeksi umum,
pemeriksa melihat perubahan yang terjadi secara umum, sehingga dapat diperoleh kesan
umum pasien. Pada inspeksi lokal, dilihat perubahan-perubahan lokal. Perlu diperhatikan juga
sisi lainnya sebagai pembanding.
Palpasi
Setelah inspeksi, pemeriksaan dilanjutkan dengan palpasi, yakni pemeriksaan dengan meraba
dengan telapak tangan sehingga dapat ditentukan bentuk, besar, tepi, permukaan serta
konsistensi organ. Ukuran dapat ditentukan dengan sentimeter ataupun dengan menggunakan
pengandaian seperti sebesar telur ayam.
Perkusi
Tujuan perkusi adalah untuk mengetahui perbedaan suara ketuk, sehingga dapat ditentukan
batas-batas suatu organ paru, jantung, dan hati. Perkusi dapat dilakukan dengan cara langsung
yaitu dengan mengetukkan ujung jari II atau III langsung pada daerah yang akan diperkusi.
Namun, cara yang lebih sering dilakukan adalah perkusi tidak langsung yaitu jari II atau III
diletakkan tegak lurus pada bagian tubuh yang diperiksa sebagai landasan untuk mengetuk,
46
sementara jari lainnya tidak menyentuh tubuh dan ketukan tersebut dilakukan dengan
pergelangan tangan sebagai engselnya (gambar 2.2.1).
Terdapat beberapa jenis suara perkusi toraks yakni sonor (suara perkusi paru normal),
pekak (seperti suara perkusi hati), redup (seperti suara perkusi otot), hipersonor (seperti pada
emfisema, bronkiolitis), dan timpani (seperti suara perkusi lambung).
Harap diingat bahwa pemeriksaan perkusi pada bayi dan anak tidak boleh dilakukan
terlalu keras karena dapat menyebabkan vibrasi serta resonansi daerah lainnya, sehingga
daerah pekak dan redup setempat tidak terdeteksi.
Auskultasi
Adalah pemeriksaan dengan menggunakan stetoskop. Dengan cara auskultasi dapat
didengarkan suara pernapasan, aliran darah dalam pembuluh darah serta bunyi dan bising
jantung.
47
untuk menarik kesimpulan kesan keadaan sakit sulit diuraikan dan diambil berdasarkan
penilaian penampakan pasien secara keseluruhan.
Perlu diingat bahwa kesan keadaan sakit tidak selalu identik dengan serius atau tidaknya
penyakit yang diderita. Seorang anak yang menderita infeksi respiratorik akut akibat virus yang
relatif ringan, dapat tampak sakit berat, sementara bila dibandingkan dengan anak yang
menderita leukemia dalam pengobatan, dapat saja tampak sehat dan aktif.
Perhatikan pula fasies pasien. Fasies adalah istilah yang menunjukkan ekspresi wajah
pasien, dan terkadang dapat memberikan informasi tentang keadaan klinisnya. Fasies pasien
obstruksi hidung ditandai dengan pernapasan melalui mulut, mulut yang tampak selalu terbuka,
muka tampak seperti orang bodoh, suara yang sengau dan dapat disertai sternum yang
cekung. Keadaan ini sering dijumpai pada atresia koana, hipertrofi adenoid dan sinusitis kronik.
Posisi pasien serta aktivitas pasien perlu dinilai dengan baik. Pemeriksa sebaiknya
memperhatikan saat pasien berjalan, duduk, berbaring aktif, berbaring pasif, ataukah ia
mengambil posisi abnormal tertentu. Pasien sesak napas sering mengambil posisi duduk atau
setengah duduk dengan kedua lengan menyangga di bagian belakang. Pasien dengan efusi
pleura atau atelektasis yang luas lebih merasa nyaman berbaring pada sisi yang sakit.
Status gizi
Penilaian status gizi pasien secara klinis dilakukan terutama dengan inspeksi dan palpasi. Pada
inspeksi secara umum dapat dilihat bagaimana proporsi atau postur tubuhnya, apakah baik,
kurus, atau gemuk. Pemeriksa juga memperhatikan apakah ada kelainan yang menyebabkan
proporsi tubuh berubah, seperti hidrosefalus, edema anasarka dan sebagainya. Pemeriksaan
antropometrik berupa berat badan, tinggi badan, lingkar lengan atas, lingkar kepala dilakukan
untuk menentukan status gizi.
Kesadaran
Kesadaran baru dapat dinilai bila pasien tidak tidur. Penilaiannya:
Komposmentis: pasien sadar penuh dan memberikan respons yang adekuat terhadap
semua stimulus yang diberikan.
Apatik: pasien dalam keadaan sadar, tetapi acuh tak acuh terhadap keadaan sekitarnya, ia
akan memberikan respon yang adekuat bila diberikan stimulus.
Somnolen: tingkat kesadaran yang lebih rendah dibandingkan apatik, pasien tampak
ngantuk dan selalu ingin tidur. Pasien harus diberikan stimulus yang agak keras kemudian
tertidur lagi.
Sopor: Pasien tidak memberikan respon terhadap stimulus ringan dan sedang, tetapi masih
memberikan sedikit respon pada stimulus kuat. Refleks pupil terhadap cahaya masih positif.
Koma: pasien tidak dapat bereaksi terhadap stimulus apapun, reflek pupil terhadap cahaya
tidak ada, ini merupakan tingkat kesadaran yang paling rendah.
Delirium: keadaan kesadaran yang menurun serta kacau, biasanya disertai disorientasi,
iritatif, dan salah persepsi terhadap rangsangan sensorik hingga sering terjadi halusinasi.
Dalam praktek sehari-hari, tingkat kesadaran sering dinyatakan dalam tingkat antara,
misalnya apatik-somnolen, somnolen-sopor, atau sopor-koma. Pada neonatus dan bayi kecil
normal yang masih belum dapat memberikan respons terhadap stimulus tertentu, kesadaran
disimpulkan dari kemampuan bayi memberikan respon terhadap stimulus yang sesuai dengan
perkembangannya.
48
Selain kesadaran, dinilai pula status mental dan perilaku pasien, apakah tenang,
gembira, agresif atau cengeng. Perhatikan pula kelainan-kelainan yang segera tampak,
misalnya dispnu, napas cuping hidung, retraksi, sianosis, dan lain-lain.
Pernapasan
Pemeriksaan pernapasan harus mencakup: (a) frekuensi napas, (b) irama dan keteraturan, (c)
kedalaman, (d) tipe dan pola pernapasan.
Tipe pernapasan bayi dalam keadaan normal adalah abdominal atau diafragmatik.
Terdapatnya pernapasan torakal pada bayi dan anak kecil menunjukkan adanya kelainan paru,
kecuali bila pasien sangat kembung. Semakin besar anak, komponen torakal semakin jelas
hingga pada usia 7-8 tahun komponen torakal menjadi predominan (torakoabdominal).
Pernapasan yang kedalamannya normal disebut eupnu. Dispnu berarti kesulitan
bernapas yang ditandai: pernapasan cuping hidung, retraksi subkostal, interkostal atau
suprasternal, serta dapat disertai sianosis dan takipnu. Distres dapat terjadi pada inspirasi atau
ekspirasi yang masing-masing dapat menunjukkan jenis gangguan ventilasi (restriktif atau
obstruktif). Distres pada inspirasi lebih mengarah pada obstruksi atas atau gangguan restriksi,
sedangkan distres pada ekspirasi lebih mengarah pada obstruksi bawah. Dispnu dapat juga
terjadi akibat aktivitas fisis, nyeri, ketakutan, anemia, atau gagal jantung.
Ortopnu berarti kesulitan napas bila pasien berbaring, yang berkurang apabila pasien
duduk atau berdiri. Keadaan tersebut dapat dijumpai pada pasien asma, gagal jantung, edema
paru, epiglotitis, croup, dan fibrosis kistik. Dispnu nokturnal paroksismal terjadi beberapa jam
setelah pasien tidur, biasanya tengah malam, merupakan tanda edema paru akut misalnya
pada stenosis mitral berat.
Nadi
Pemeriksaan nadi harus dilakukan pada keempat ekstremitas. Penilaian nadi harus mencakup:
frekuensi nadi, irama, isi atau kualitas, serta ekualitas nadi kanan dan kiri.
Frekuensi nadi
Penilaian frekuensi nadi paling baik dilakukan saat pasien tidur, bila tidak memungkinkan
maka harus diberikan catatan keadaan anak pada waktu pemeriksaan nadi dilakukan
(menangis, gelisah, bangun tenang). Perhitungan nadi harus disertai dengan perhitungan
jantung sehingga dapat menyingkirkan kemungkinan terdapatnya pulsus defisit, yakni
denyut jantung yang tidak cukup kuat untuk menimbulkan denyut nadi.
Irama nadi
Irama nadi dalam keadaan normal adalah teratur. Disritmia sinus adalah ketidakteraturan
nadi yang paling sering dijumpai. Pada keadaan ini denyut teraba lebih cepat pada waktu
inspirasi dan lebih lambat pada waktu ekspirasi. Keadaan ini normal dan bahkan
merupakan petunjuk adanya cadangan jantung (cardiac reserve). Disritmia sinus jarang
terdapat pada bayi.
Kualitas nadi
Isi perabaan nadi yang normal adalah cukup. Isi nadi yang kurang kuat atau lemah,
terdapat pada keadaan gagal sirkulasi serta gagal jantung yang berat. Pulsus paradoksus
adalah nadi yang teraba lemah pada saat inspirasi dan normal atau kuat pada saat
ekspirasi. Keadaan tersebut terdapat pada tamponade jantung akibat efusi perikardium
atau parikarditis konstriktiva dan serangan asma yang berat.
Ekualitas nadi
49
Isi nadi akan teraba normal pada keempat ekstremitas. Keadaan-keadaan seperti
koarktasio aorta, penyakit Takayasu, tromboemboli di arteri perifer dapat menyebabkan
terjadinya perbedaan tekanan nadi pada ekstremitas atas dan bawah.
Suhu tubuh
Suhu tubuh diukur secara oral, aksila, anal dan telinga. Pada pemeriksaan suhu tubuh secara
oral, aksila dan anal memakai termometer air raksa, sedangkan pemeriksaan suhu tubuh pada
telinga memakai termometer elektronik. Pada saat ini termometer elektronik seringkali tidak
akurat hasilnya. Pemeriksaan suhu tubuh secara oral dan anal lebih menunjukkan suhu tubuh
sebenarnya. Pemeriksaan suhu aksila hasilnya lebih rendah 0,3 – 0,5 derajat Celcius dari suhu
tubuh oral/anal. Pemeriksaan suhu tubuh secara oral hanya dapat dilakukan pada anak yang
kooperatif.
Tekanan darah
Tekanan darah idealnya harus diukur pada keempat ekstremitas. Namun, pemeriksaan pada
satu ekstremitas dapat dibenarkan apabila pada palpasi teraba denyut nadi yang normal pada
keempat ekstremitas (nadi kedua a. brakialis atau a. radialis dan kedua a. femoralis atau
dorsalis pedis). Apabila ditemukan keraguan pada pengukuran nadi atau ditemukan adanya
hipertensi pada salah satu ekstremitas, maka pengukuran tekanan darah mutlak harus
dilakukan pada keempat ekstremitas.
Pengukuran tekanan darah sebaiknya dicatat keadaan pasien pada waktu tekanan darah
diukur (duduk, berbaring tenang, tidur, menangis) karena dapat mempengaruhi penilaian.
50
Garis midsternal
Garis aksilaris anterior
Garis midaksilaris
Garis aksilaris posterior
Garis midskapula kiri
51
Beberapa macam bentuk toraks:
Barrel chest, toraks emfisematus. Toraks berbentuk bulat sepert tong, ditandai oleh
sternum yang terdorong ke depan dengan iga-iga horizontal (gambar 2.2.3 B). Kelainan
ini dijumpai pada penyakit paru obstruksi kronis misalnya asma, fibrosis kistik dan
emfisema.
Pectus ekskavatum (funnel chest): sternum bagian bawah serta rawan iga masuk ke
dalam, terutama pada saat inspirasi (gambar 2.2.3 C). Etiologi keadaan ini dapat
merupakan kelainan kongenital, hipertrofi adenoid yang berat serta dapat juga dijumpai
pada sindrom Marfan dan Noonan.
Pectus karinatum (pigeon‘s chest, dada burung): sternum menonjol kearah luar,
biasanya disertai dengan depresi vertikal pada daerah kondrokostal (gambar 2.2.3 D).
Kelainan ini biasanya terlihat pada rakitis, osteoporosis, sindrom Marfan, sindrom
Noonan, dan penyakit Morquio.
A B
C D
Gambar 2.2.3 A) Dada normal, B) Barrel chest, C) Funnel chest , dan D) Pigeon chest
Sumber: Anderson Joyce, Fink James B. Assessing Sign and Symptoms of Respiratory Dysfunction. Dalam: Clinical practice and
respiratory care. Philadelphia, Lippincott William and Wilkins, 1999.
52
Pengembangan toraks dan pergerakan sela iga pada pernapasan juga perlu
diperhatikan, demikian pula kecepatan, kedalaman, simetris, serta pola pergerakan pernapasan.
Pada inspirasi normal, diafragma akan begerak kearah bawah, sedangkan dinding dada akan
bergerak ke arah atas dan ke luar. Ekspirasi terjadi bila otot-otot pernapasan mengalami
relaksasi, dan elastisitas jaringan paru mengembalikan dada dalam keadaan istirahat. Gerakan
dada akan berkurang karena berkurangnya reserve volume misalnya pada keadaan pneumonia,
atelektasis, efusi pleura dll. Retraksi suprasternal biasanya menunjukkan obstruksi atas seperti
sumbatan laring, sedangkan retraksi epigastrium (subkostal) lebih mengarah pada obstruksi
bawah, misalnya bronkiolitis. Retraksi epigastrium juga mencerminkan gangguan volume paru
seperti pada pneumonia, atau atelektasis.
Keadaan ini seringkali terlihat pada pelbagai penyakit paru restriktif. Pada bayi dan anak
kecil, hal ini merupakan tanda dini gagal jantung.
b. Bradipnu :pernapasan lambat
Keadaan ini terdapat pada gangguan pusat pernapasan, tekanan intrakranial tinggi,
pengaruh obat sedatif, alkalosis atau keracunan.
53
c. Hiperpnu :pernapasan dalam
Terdapat pada keadaan asidosis, anoksia serta kelainan susunan saraf pusat. Pernapasan
Kussmaul adalah tipe pernapasan hiperpnu yang selain pernapasan dalam juga cepat,
ditemukan pada keadaan asidosis metabolik seperti dehidrasi, hipoksia, dan keracunan
salisilat.
d. Pernapasan Cheyne-stokes
Hiperpne Apnea
Gambar 2.2.7 Pernapasan Cheyne-stokes
Sumber: Anderson Joyce, Fink James B. Assessing Sign and Symptoms of Respiratory Dysfunction. Dalam: Clinical practice and
respiratory care. Philadelphia, Lippincott William and Wilkins, 1999.
Pada bayi baru lahir, terutama bayi prematur, kadang-kadang terkadang terdapat
pernapasan tipe Cheyne-stokes yang ditandai oleh pernapasan yang cepat dan dalam,
diikuti oleh beberapa periode pernapasan yang lambat dan dangkal, serta periode apnu
beberapa saat. Pola ini dapat hilang setelah bayi berusia beberapa minggu. Keadaan
kerusakan otak (kedua sisi hemisfer otak besar atau diensefalon), obat-obatan penekan
sistem pernapasan, gagal jantung dan uremia dapat juga menyebabkan timbulnya pola
pernapasan Cheyne-stokes.
e. Pernapasan Ataksik (pernapasan Biot)
Tipe pernapasan Biot ditandai dengan irama yang sama sekali tidak teratur, dan biasanya
merupakan tanda terdapatnya penyakit susunan saraf pusat seperti ensefalitis atau
poliomyelitis bulbaris.
54
Palpasi
Palpasi pada pemeriksaan paru sangat bermanfaat untuk menegaskan penemuan-penemuan
pada inspeksi. Palpasi dilakukan pada anak-anak dengan meletakkan telapak tangan dengan
lembut pada dindng dada dan merasakan ada gerakan ataupun getaran melalui telapak tangan
dan ujung jari.
Pada pemeriksaan palpasi, pemeriksa meraba simetri dinding toraks, adanya nodul,
nyeri tekan lokal serta pembesaran kelenjar getah bening aksila, fosa supraklavikularis dan fosa
infraklavikularis. Pada pemeriksaan getah bening, jumlah dan ukurannya dicantumkan pada
hasil pemeriksaan.
Fremitus vokal merupakan salah satu pemeriksaan palpasi dengan merasakan sensasi
getaran pada seluruh dinding dada. Normalnya akan teraba getaran yang sama pada kedua
telapak tangan yang diletakkan pada kedua sisi dada dan punggung. Penurunan fremitus vokal
dapat menandakan adanya obstruksi saluran napas, hidrotoraks, efusi pleura, atelektasis dan
tumor. Fremitus vokal dapat meninggi pada keadaan konsolidasi seperti pneumonia. Fremitus
vokal dapat dengan mudah diperiksa pada anak yang sedang menangis atau anak yang sudah
dapat berbicara (menyebutkan nama sebagai contohnya). Pericardial atau pleural friction rubs
dapat juga diketahui melalui pemeriksaan palpasi sebagai getaran halus.
Perkusi
Perkusi pada anak tidak boleh dilakukan terlalu keras karena anak-anak memiliki dinding dada
yang lebih tipis serta otot-otot yang masih kecil bila dibandingkan orang dewasa sehingga
menghasilkan suara perkusi yang lebih resonan.
Pada daerah anterior, perkusi dilakukan mulai dari daerah supraklavikula, kemudian
turun ke bawah, setiap kali satu sela iga, dan sebaiknya selalu membandingkan sisi kanan dan
kiri. Pada daerah posterior perkusi dilakukan mulai bahu kanan sampai daerah pekak yaitu
setinggi tulang iga ke-6 saat ekspirasi dan iga ke-8-10 saat inspirasi. Perkusi pada punggung
sebaiknya selalu membandingkan sisi kanan dan kiri.
Suara perkusi paru normal adalah sonor. Suara perkusi yang abnormal dapat berupa:
redup atau pekak dan hipersonor atau timpani. Suara perkusi redup atau pekak dapat dijumpai
pada keadaan normal (daerah skapula, diafragma, hati dan jantung misalnya) dan abnormal
(konsolidasi jaringan paru pada pneumonia lobaris, atelektasis, tumor dan cairan dalam rongga
pleura).
Daerah pekak hati dapat ditemukan mulai iga ke-6, antara garis midaksilaris kanan
sampai sternum. Pekak hati menunjukkan peranjakan dengan gerakan pernapasan, yakni
menurun pada saat inspirasi dan naik pada ekspirasi. Peranjakan ini berkisar antara 1-2 sela
iga. Pekak hati akan meninggi pada keadaan hepatomegali, atelektasis paru kanan dan masa
intraabdominal. Pekak hati menurun dijumpai pada pasien asma dan emfisema paru.
Auskultasi
Auskultasi paru dilakukan untuk mendeteksi suara napas dasar dan suara napas tambahan.
Dianjurkan untuk menggunakan stetoskop binaural yang memiliki bagian yang bermembran
(diafragma) serta bagian yang berbentuk mangkok (sungkup) yang dikelilingi karet agar tidak
terasa dingin. Sisi membran digunakan untuk mendengar suara berfrekuensi tinggi sedangkan
sisi mangkok akan menyaring suara berfrekuensi tinggi sehingga suara berfrekuensi rendah
lebih mudah terdengar bila mangkuk di tekan lembut pada kulit. Apabila sisi mangkok ditekan
dengan keras maka mangkok dan kulit akan berfungsi sebagai membran sehingga suara yang
berfrekuensi tinggi akan lebih terdengar.
55
Auskultasi dilakukan di seluruh dada dan punggung, dimulai dari atas ke bawah dan
dibandingkan sisi kanan dan kiri. Suara napas pada anak terkesan lebih keras dibandingkan
pada orang dewasa mengingat tipisnya dinding dada pada anak. Penurunan suara napas anak
mengindikasikan adanya penurunan aktifitas pernapasan yang dapat terjadi pada keadaan
pneumonia, atelektasis, efusi pleura dan pneumotoraks. Peningkatan suara napas dapat
dijumpai pada pneumonia lobaris, asma dan emfisema.
56
Wheezing dapat dijumpai pada serangan asma, bronkiolitis atau benda asing di saluran
respiratori bawah.
Krepitasi
Merupakan suara membukanya alveoli. Penggunaan istilah krepitasi sudah jarang
dipakai.
Pleural friction rub
Adalah suara yang terjadi karena gesekan antara pleura viseral dan parietal dengan
fibrin ditengahnya. Dapat terdengar pada fase ekspirasi dan inspirasi serta pada basal
posterior paru. Pleural friction rub didengar pada pasca efusi pleura.
Daftar pustaka
1. Latief A, Tumbelaka AR, Matondang CS, Chair I, Bisanto J, Abdoerrachman MH dkk. Anamnesis.
Dalam: Matondang CS, Wahidiyat I, Sastroasmoro S, penyunting. Diagnosis Fisik Pada Anak. Edisi
ke-2. Jakarta: CV Sagung Seto; 2003. h. 1-17
2. Latief A, Tumbelaka AR, Matondang CS, Chair I, Bisanto J, Abdoerrachman MH dkk. Pemeriksaan
fisis. Dalam: Matondang CS, Wahidiyat I, Sastroasmoro S, penyunting. Diagnosis Fisik Pada Anak.
Edisi ke-2. Jakarta: CV Sagung Seto; 2003. h. 9-35
3. Mundo FE, Astrada FA, Ocampo PDS, Navarro RX. Pediatric Diagnosis. Dalam: Textbook of
Pediatrics and Child Health. Edisi ke-3. Philippine: JMC Press; 1990. h. 159-70.
4. Anderson J, Fink JB. Assessing Sign and Symptoms of Respiratory Dysfunction. Dalam: Clinical
practice and respiratory care. Philadelphia: Lippincott William and Wilkins; 1999. h. 143-67
5. Latief A, Tumbelaka AR, Matondang CS, Chair I, Bisanto J, Abdoerrachman MH dkk. Dada.
Dalam: Matondang CS, Wahidiyat I, Sastroasmoro S, penyunting. Diagnosis Fisik Pada Anak. Edisi
ke-2. Jakarta: CV Sagung Seto; 2003. h. 67-74
6. Pasterkamp H. The History and Physical Examination. Dalam: Chernic V, Boat TF, Wilmott RW,
Bush A. Kendig‘s Disorders of the Respiratory Tract in Children. Edisi ke-7. Philadelphia: WB
Saunders Company; 2006. h. 75-93.
7. Liyod EM. Acute Bronchiolitis and Pneumonia in Infancy Resulting from the Respiratory Syncytial
Virus. Dalam: Landau Taussig. Pediatric Respiratory Medicine. Missouri: Mosby; 1999. h. 580-95
8. Waring W. Lung Sound and Phonopneumography. Dalam: Hilman BC. Pediatric Respiratory
Disease: Diagnosis and Treatment. Philadelphia: WB Saunders Co; 1993. h. 67-72.
57
3
Asma
3.1 Epidemologi asma anak
Cissy B Kartasasmita
Pendahuluan
Asma merupakan penyakit kronik yang sering dijumpai pada anak di negara maju. Sejak dua
dekade terakhir, dilaporkan bahwa prevalens asma meningkat pada anak maupun dewasa.
Namun, akhir-akhir ini di Amerika dilaporkan tidak terjadi peningkatan lagi di beberapa negara
bagian. Asma memberi dampak negatif bagi kehidupan pengidapnya, seperti menyebabkan
anak sering tidak masuk sekolah dan membatasi kegiatan olahraga serta aktivitas seluruh
keluarga (MMM, 2001). Prevalens total asma di dunia diperkirakan 7,2% (6% pada dewasa dan
10% pada anak). Prevalens tersebut sangat bervariasi. Terdapat perbedaan prevalens antar
negara dan bahkan perbedaan juga didapat antar daerah di dalam suatu negara.
Terdapat variasi prevalens, angka perawatan dan mortalitas asma, baik regional
maupun lokal. Angka kejadian asma di berbagai negara sulit dibandingkan, tidak jelas apakah
perbedaan angka tersebut timbul karena adanya perbedaan kriteria diagnosis atau karena
benar-benar terdapat perbedaan. Berbagai penelitian yang ada saat ini menggunakan definisi
penyakit asma yang berbeda, sehingga untuk membandingkan antara penelitian satu dan
lainnya perlu diketahui kriteria yang digunakan oleh peneliti. Untuk mengatasi hal tersebut,
penelitian multisenter telah dilaksanakan di beberapa negara dengan menggunakan definisi
asma yang sama dan kuesioner standar. Salah satu penelitian multisenter yang dilaksanakan
adalah International Study of Asthma and Allergy in Children (ISAAC). Dengan menggunakan
kuesioner standar, prevalens dan berbagai faktor risiko dapat dibandingkan.
Masalah epidemiologi yang lain saat ini adalah morbiditas dan mortalitas asma yang
relatif tinggi. WHO memperkirakan saat ini terdapat 250.000 kematian akibat asma. Beberapa
waktu yang lalu, penyakit asma bukan penyebab kematian yang berarti. Namun, belakangan ini
berbagai negara melaporkan bahwa terjadi peningkatan kematian akibat penyakit asma,
termasuk pada anak.
Serangan asma bervariasi mulai dari ringan sampai berat dan mengancam kehidupan.
Berbagai faktor dapat menjadi pencetus timbulnya serangan asma, antara lain adalah olahraga
(exercise), alergen, infeksi, perubahan suhu udara yang mendadak, atau pajanan terhadap
iritan respiratorik seperti asap rokok, dan lain-lain. Selain itu, berbagai faktor turut
mempengaruhi tinggi rendahnya prevalens asma di suatu tempat, misalnya usia, jenis kelamin,
ras, sosio-ekonomi, dan faktor lingkungan. Faktor-faktor tersebut dapat mempengaruhi
prevalens asma, derajat penyakit asma, terjadinya serangan asma, berat ringannya serangan
dan kematian akibat penyakit asma.
58
3.1.1 Prevalens
Penelitian mengenai prevalens asma telah banyak dilakukan dan hasilnya telah dilaporkan oleh
berbagai negara. Namun, umumnya kriteria penyakit asma yang digunakan belum sama,
sehingga sulit dibandingkan. Untuk mengatasi hal tersebut, telah dilakukan penelitian prevalens
asma di banyak negara dengan menggunakan kuesioner standar. Contohnya adalah ISAAC fase
I tahun 1996, yang dilanjutkan dengan ISAAC fase III tahun 2002.
Gambar 3.1.1 Prevalensi gejala asma dari berbagai negara berdasarkan penelitian multisentra ISSAC
melalui kuisioner pada anak 13-14 tahun.
Sumber: Global Initiative for Asthma. Global Strategy for Asthma management and prevention. National Institute of Health. National
Heart, Lung, and Blood Institute.2004.
Laporan dari New South Wales, Australia pada tahun 1997 menunjukkan bahwa
prevalens mengi (wheeze) bervariasi, mulai dari 22% di Sydney, Sydney Barat dan Wangga,
59
sampai 28% di Moree dan Narrabri. Sedangkan current asthma bervariasi mulai dari 7% hingga
13% (Peat, 1995).
Penelitian ISAAC fase I telah dilaksanakan di 56 negara, mencakup 155 sentra.
Penelitian dilakukan pada anak usia 6-7 tahun dan 13-14 tahun. Penelitian ini menggunakan
kuesioner standar dengan pertanyaan: ―Have you (your child) had wheezing or whistling in the
chest in the last 12 months? ‖ Jawaban ―Ya‖ dikelompokkan dalam diagnosis asma. Pada anak
usia 13–14 tahun, selain diminta mengisi kuesioner juga diperlihatkan video tentang asma.
Hasilnya ternyata sangat bervariasi. Untuk usia 13–14 tahun, prevalens terendah adalah di
Indonesia yaitu sebesar 1,6% dan yang tertinggi di United Kingdom, sebesar 36,8% (Beasley,
1998). Pada gambar 3.1.1 dapat dilihat prevalens asma pada anak usia 13–14 tahun di
berbagai negara yang terlibat dalam penelitian multisentra ISAAC (Beasley, 1998).
Dari berbagai penelitian di Amerika Serikat dilaporkan bahwa terdapat perbedaan
prevalens menurut tempat dilakukannya penelitian tersebut. Prevalens asma secara umum di
Amerika Serikat adalah 5%. Pada tahun 1998, diperkirakan bahwa terdapat 17,3 juta penderita
asma, angka ini 27% lebih tinggi daripada tahun 1993 (CDC, 1998). Penyakit asma terutama
menyerang orang muda. Prevalens asma tertinggi didapatkan pada kelompok usia <18 tahun,
angka tersebut menurun dengan bertambahnya usia. Prevalens asma meningkat pada semua
kelompok usia, dengan kejadian tertinggi pada anak usia prasekolah. Kenaikan prevalens pada
kelompok usia 0–4 tahun adalah sebesar 160% (CDC, 1998). Selain prevalens pasien asma,
CDC juga melaporkan peningkatan kunjungan ke instalasi gawat darurat (IGD) dan perawatan
di rumah sakit. Pada kelompok usia 0–4 tahun terdapat kenaikan kunjungan IGD sebesar 14%
(dari tahun 1992–1995) dan kenaikan angka perawatan 73% (dari tahun 1980–1994).
Sedangkan untuk kelompok usia 5–14 tahun, angkanya adalah 11% dan 20% (CDC, 1998).
Berdasarkan laporan CDC tahun 2000 mengenai prevalens asma pada anak usia <18
tahun sebelum dan setelah tahun 1997 di Amerika Serikat, terlihat adanya peningkatan
prevalens asma sebesar 5% setiap tahun dari tahun 1980 sampai 1995. Pada tahun 1980,
prevalens asma di Amerika Serikat adalah 36 per 1000 populasi, pada tahun 1995, 75 per 1000,
dan pada tahun 1996, prevalens asma 62 per 1000 populasi anak (17% lebih rendah dari
prevalens tahun 1995). Pada tahun 1997, angka tersebut menurun menjadi 54 per 1000, dan
dari tahun 1997 sampai 2000 angka tersebut stabil. Pada tahun 1980–1996 prevalens asma
pada usia 0–4 tahun meningkat cepat. Angka perawatan asma pada anak meningkat secara
perlahan tahun 1980-an, tetapi pertengahan 1990-an tetap. Hasil penelitian juga menunjukkan
bahwa prevalens pada kelompok kulit hitam lebih tinggi dari kulit putih, dan terjadi peningkatan
prevalens tersebut. Pada tahun 1980—1981 perbedaan prevalensnya 15%, sedangkan tahun
1995—1996 mencapai 26%. Perbedaan tersebut juga terjadi pada episode serangan asma,
pada kelompok kulit hitam lebih tinggi. Selanjutnya didapatkan kenaikan prevalens asma
menurut usia, pada usia ≥ 5 tahun prevalensnya lebih tinggi daripada anak balita. Begitu pula
dengan kejadian serangan asma (MMWR, 2000).
Menurut hasil penelitian di Texas (Amerika Serikat) yang dilaksanakan tahun 1999–
2001, angka perawatan akibat asma pada anak usia 0–14 tahun adalah 63.535, yang paling
banyak dirawat adalah anak usia 0–4 tahun, yaitu sebanyak 79 per 10.000 per tahun.
Perawatan paling sering terjadi pada musim dingin antara bulan Oktober dan Maret (BRFSS,
2001).
Penelitian pada 513.688 anak sekolah pada tahun 1999–2000 di Connecticut
menunjukkan bahwa total prevalens asma adalah 8,7%, dengan rincian sebagai berikut: pada
anak setingkat sekolah dasar (SD), prevalensnya 7,8% (dengan kisaran 4–12%), pada anak
sekolah menengah pertama (SMP) 10,2%, dan pada anak sekolah menengah atas (SMA) 9,4%.
Prevalens asma pada anak SD di daerah rural, urban, maupun sub-urban tidak berbeda.
60
Namun, bila ditinjau dari kelas sosio-ekonomi, terlihat bahwa prevalens asma lebih tinggi pada
kelas sosio-ekonomi rendah (9%), sedangkan pada anak kelas sosio-ekonomi tinggi, sebesar
5% (EHHI, 2003).
Laporan National Center for Health Statistics (NCHS, 2003) menyebutkan bahwa beban
akibat penyakit asma dalam 2 dekade terakhir meningkat. Menurut laporan tersebut terdapat
perbedaan prevalens menurut usia dan ras. Sebanyak 126 per 1000 anak usia 0–17 tahun
menjawab ―Ya‖ atas pertanyaan ‖Apakah pernah dikatakan menderita asma oleh dokter?‖.
Prevalens pada ras kulit hitam non-Hispanik 4% lebih tinggi daripada ras kulit putih non-
Hispanik, dan 30% lebih tinggi dari ras Hispanik. Selain itu, dilaporkan bahwa jumlah pasien
perempuan 10% lebih tinggi daripada laki-laki. Prevalens current asthma secara keseluruhan
adalah 73 per 1000, pada anak usia 0-17 tahun adalah 87 per 10.000 anak (jumlah anak 6,3
juta orang), sedangkan pada dewasa >18 tahun lebih kecil, yaitu 69 per 1000 (jumlah dewasa
14 juta orang). Prevalens current asthma pada perempuan lebih tinggi 30% daripada laki-laki.
Sebaliknya, pada anak-anak, prevalens pada anak laki-laki (99 per 1000) 30% lebih tinggi
daripada anak perempuan (74 per 1000). Berdasarkan ras, prevalensi pada non-Hispanik kulit
hitam (83 per 1000) paling tinggi, disusul non-Hispanik kulit putih (75 per 1000), dan yang
terendah adalah Hispanik (58 per 1000). Prevalens serangan asma menunjukkan jumlah pasien
yang tidak terkontrol. Laporan NCHS menunjukkan bahwa prevalens serangan asma pada anak
usia 0–17 tahun adalah 57 per 1000 anak (jumlah anak 4,2 juta), sedangkan pada dewasa >18
tahun, 38 per 1000 (jumlah dewasa 7,8 juta). Serangan asma paling banyak dialami oleh ras
kulit hitam non-Hispanik, disusul oleh kulit putih non-Hispanik dan Hispanik. Jumlah perempuan
yang mengalami serangan lebih banyak daripada laki-laki (NCHS, 2003).
Survei mengenai prevalens asma di Eropa telah dilakukan di 7 negara (Asthma Insights
& Reality in Europe, AIRE), mencakup 73.880 rumah tangga, dengan jumlah orang 213.158.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa populasi current asthma adalah 2,7% (AIRE, 2003).
Penelitian asma di Indonesia telah dilakukan di beberapa sentra, tetapi belum semuanya
menggunakan kuesioner standar. Pada Tabel 3.1.2 dapat dilihat beberapa hasil survei prevalens
asma anak di Indonesia.
Mortalitas
Sebenarnya, selama ini asma tidak termasuk kelompok penyakit yang mematikan (fatal), tetapi
akhir-akhir ini dilaporkan adanya peningkatan kematian akibat penyakit asma. Di Amerika,
dilaporkan bahwa pada tahun 1994, sekitar 5500 pasien asma meninggal. Angka kematian pada
61
setiap kelompok usia meningkat pada tahun 1980–1995. Kematian akibat asma pada semua
usia meningkat 3,4% setiap tahun, sejak tahun 1980 sampai 1998. Kematian mencapai 3,8 per
1 juta anak pada tahun 1996, menurun menjadi 3,1 per 1 juta anak pada tahun 1997, dan
meningkat kembali menjadi 3,5 per 1 juta anak pada tahun 1998. Kematian pada kulit hitam
lebih tinggi daripada kulit putih, kematian pada anak kulit hitam 4,1 kali lebih tinggi daripada
anak kulit putih pada tahun 1985–1986, dan meningkat menjadi 4,6 kali pada tahun 1997–1998
(MMM, 2001; RR, 2002).
Kematian akibat penyakit asma di Texas, USA dalam 20 tahun terakhir meningkat secara
bertahap, terutama pada orang tua >65 tahun. Pada tahun 1980–1998, dilaporkan bahwa
kematian akibat penyakit asma adalah 1,5 per 100.000 populasi. Kematian terutama terjadi
pada kelompok non-Hispanik kulit hitam, yaitu lebih dari 200% lebih tinggi dari non-Hispanik
kulit putih ataupun Hispanik. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa angka kematian pada
perempuan 40% lebih tinggi daripada laki-laki. Kematian pada anak usia 0—14 tahun adalah
0,3 per 100.000 (BRFSS, 2003).
Berdasarkan laporan NCHS pada tahun 2000, terdapat 4.487 kematian akibat penyakit
asma atau 1,6 per 100.000 populasi. Kematian pada anak akibat penyakit asma jarang. Pada
tahun yang sama, didapatkan kematian 223 anak usia 0–17 tahun atau 0,3 kematian per
100.000 anak. Kematian paling banyak adalah pada non-Hispanik kulit hitam; jumlah kematian
pada kulit hitam adalah 200% lebih tinggi daripada kulit putih dan 160% lebih tinggi daripada
kelompok Hispanik. Selain itu, kematian pada wanita 40% lebih tinggi daripada laki-laki (NCHS,
2003).
62
3. Riwayat atopi
Adanya atopi berhubungan dengan meningkatnya risiko asma persisten dan beratnya
asma. Menurut laporan dari Inggris, pada anak usia 16 tahun dengan riwayat asma atau
mengi, akan terjadi serangan mengi dua kali lipat lebih banyak jika anak pernah
mengalami hay fever, rinitis alergi, atau eksema. Eksema persisten berhubungan pula
dengan gejala asma persisten. Menurut Buffum dan Settipane, anak dengan eksema dan
uji kulit positif menderita asma berat. Terdapat juga laporan bahwa anak dengan mengi
persisten dalam kurun waktu 6 tahun pertama kehidupan mempunyai kadar IgE lebih
tinggi daripada anak yang tidak pernah mengalami mengi, pada usia 9 bulan. Beberapa
laporan menunjukkan bahwa sensitisasi alergi terhadap alergen inhalan, susu, telur, atau
kacang pada tahun pertama kehidupan, merupakan prediktor timbulnya asma.
4. Lingkungan
Adanya alergen di lingkungan hidup anak meningkatkan risiko penyakit asma. Alergen
yang sering mencetuskan penyakit asma antara lain adalah serpihan kulit binatang
piaraan, tungau debu rumah, jamur, dan kecoa (MMM, 2001).
5. Ras
Menurut laporan dari Amerika Serikat, didapatkan bahwa prevalens asma dan kejadian
serangan asma pada ras kulit hitam lebih tinggi daripada kulit putih (MMWR, 2000; Steyer
dkk. 2003). Pada tahun 1993–1994, rata-rata prevalens adalah 57,8 per 1000 populasi
kulit hitam, 50,8 per 1000 populasi kulit putih, sedangkan untuk ras lain adalah 48,6 per
1000. Tingginya prevalens tersebut tidak dipengaruhi oleh pendapatan maupun
pendidikan. Selain prevalens, kematian anak akibat asma pada ras kulit hitam juga lebih
tinggi, yaitu 3,34 per 1000 berbanding 0,65 per 1000 pada anak kulit putih (Steyer dkk,
2003).
6. Asap rokok
Prevalens asma pada anak yang terpajan asap rokok lebih tinggi daripada anak yang tidak
terpajan asap rokok. Risiko terhadap asap rokok sudah dimulai sejak janin dalam
kandungan, umumnya berlangsung terus setelah anak dilahirkan, dan menyebabkan
meningkatnya risiko. Pada anak yang terpajan asap rokok, kejadian eksaserbasi lebih
tinggi, anak lebih sering tidak masuk sekolah, dan umumnya fungsi faal parunya lebih
buruk daripada anak yang tidak terpajan (Steyer et al, 2003).
7. Outdoor air pollution
Beberapa partikel halus di udara seperti debu jalan raya, nitrat dioksida, karbon
monoksida, atau SO2, diduga berperan pada penyakit asma, meningkatkan gejala asma,
tetapi belum didapatkan bukti yang disepakati. Beberapa penelitian di Eropa mendapatkan
bahwa lingkungan pertanian dan peternakan memberi efek proteksi bagi penyakit asma.
Pada anak-anak yang cepat terpajan dengan lingkungan tersebut, kejadian asma rendah.
Prevalens asma paling rendah pada anak yang di tahun pertama usianya kontak dengan
kandang binatang dan pemerahan susu. Mekanisme efek proteksi tersebut belum
terungkap. Namun, secara teoritis, diduga bahwa adanya pajanan terhadap endotoksin
sebagai komponen bakteri dalam jumlah banyak dan waktu yang dini mengakibatkan
sistem imun anak terangsang melalui jejak Th1. Saat ini, teori tersebut dikenal sebagai
hygiene hypothesis (Guilbert, 2003).
63
8. Infeksi respiratorikk
Beberapa penelitian mendapatkan adanya hubungan terbalik antara atopi (termasuk
asma) dengan infeksi respiratorik. Penelitian di Jerman mendapatkan adanya penurunan
prevalens asma sebanyak 50% pada anak usia 7 tahun yang saat bayi sering mengalami
rinitis. Penelitian di Highlands (New Guinea) menunjukkan bahwa kelompok anak yang
sering terserang infeksi respiratorik mempunyai prevalens asma yang rendah. Sebenarnya
hubungan antara infeksi respiratorik dengan prevalens asma masih merupakan
kontroversi. Namun, hal ini tidak berlaku pada infeksi respiratory syncytial virus (RSV) di
usia dini yang mengakibatkan infeksi saluran pernapasan bawah. Infeksi RSV merupakan
faktor risiko yang bermakna untuk terjadinya mengi di usia 6 tahun. Berdasarkan data
tersebut dapat disimpulkan bahwa infeksi virus berulang yang tidak menyebabkan infeksi
respiratorik bawah dapat memberikan anak proteksi terhadap asma (Guilbert, 2003).
Beban sosio-ekonomi
Beban sosial dan ekonomi yang berhubungan dengan peningkatan prevalens dan kematian
akibat asma merupakan dasar pemikiran penting bagi pelaksanaan manajemen asma yang
strategis. Jumlah total biaya langsung (88%) dan biaya tidak langsung (12%) yang dikeluarkan
untuk penyakit asma pada tahun 1994 adalah 5,82 milyar dolar Amerika (Smith dkk., 1997).
Biaya terbesar terutama adalah untuk perawatan, yaitu sebesar 54% biaya langsung (kira-kira
2,80 milyar dolar Amerika, disusul oleh kunjungan ke poliklinik sebesar 23% (1,18 miliar dolar
Amerika), dan untuk obat-obatan 16% (817 juta dolar Amerika). Biaya terendah adalah biaya
IGD, yaitu hanya 7% (348 juta dolar Amerika). Biaya yang termasuk biaya tidak langsung
adalah perubahan gaya hidup bila penyakitnya menjadi berat dan mempengaruhi kehidupan
pasien; biaya tidak langsung terutama berhubungan dengan asma yang tidak terkendali. Pada
anak usia <17 tahun, perkiraan biaya langsung di tahun 1994 adalah 1,63 miliar dolar Amerika,
dengan proporsi sebagai berikut: 872 juta dolar Amerika (54%) untuk perawatan, 340 juta
dolar Amerika (21%) untuk pengobatan rawat jalan, 235 juta dolar Amerika (14%) untuk obat,
dan 182 juta dolar Amerika (11%) untuk kunjungan ke IGD.
Anak dengan asma membutuhkan biaya kesehatan 2,8 kali lebih tinggi daripada anak
tanpa asma (1129 dolar Amerika : 468 dolar Amerika) (Lozano dkk., 1999). Jika dibandingkan,
biaya langsung untuk anak usia 0–4 tahun tidak berbeda secara bermakna dengan anak usia 5–
17 tahun (masing-masing 792 dolar Amerika dan 839 dolar Amerika). Pada anak-anak, biaya
tidak langsung meningkat jika anak dirawat sehingga mengganggu pekerjaan keluarga. Bila
dilihat dari proporsi penggunaan uang untuk perawatan, anak usia 0–4 tahun (74%) jauh lebih
tinggi daripada usia 5–17 tahun (34%). Hal ini diduga terjadi akibat misdiagnosis dan
undertreatment asma pada usia muda, sehingga anak lebih cepat dan sering masuk rumah
sakit (Smith dkk., 1997).
Berdasarkan laporan tahun 1998 dari NIH, Amerika Serikat, biaya untuk asma
diperkirakan 11,3 miliar dolar Amerika, terdiri dari biaya langsung sebesar 7,5 miliar dolar
Amerika dan biaya tidak langsung sebesar 8 miliar dolar Amerika.
64
Populasi dengan predisposisi genetik
Inducers (I)
Indoors Allergens Penghindaran (Avoidance)
Alternaria, dll.
Respons imun
Th2, IgE, IgG4, IgG1
Mengi
* Inducers maupun enhancers dapat berperan sebagai triggers
Banyak bayi dan anak kecil dalam beberapa tahun pertama kehidupannya menunjukkan
gejala mengi akibat infeksi saluran pernapasan oleh virus. Patogenesis keadaan tersebut serta
hubungannya dengan kejadian asma di kemudian hari belum seluruhnya diketahui. Beberapa
penelitian melaporkan bahwa dari sejumlah anak dengan mengi pada tahun pertama
kehidupan, ternyata hanya sejumlah kecil yang mengalami asma pada masa anak. Hasil
penelitian kohort di Inggris menunjukkan bahwa dari sejumlah bayi yang menunjukkan 4 kali
mengi dalam 1 tahun pertama kehidupan, hanya 23% bayi yang kemudian mengalami asma
pada usia 10 tahun. Hingga saat ini, Tucson Children Respiratory‘s Study (TCRS) di Arizona,
Amerika Serikat masih melaksanakan sebuah penelitian longitudinal lain yang merupakan
penelitian kohort terpanjang yang meneliti perjalanan alamiah mengi selama 6 tahun pertama
kehidupan. Salah satu hasil penelitian TCRS adalah 3 fenotip mengi yang terjadi pada masa
anak, yaitu transient early wheezing, wheezing of late onset, dan persistent wheezing.
65
Gambar 3.1.3 Tiga fenotip wheezing pada anak, dengan perbedaan manifestasi klinis dan prognosis
dari masing-masing kelompok.
Sumber: Kabesch M. Mutius EV.Epidemiology and Public Health. Dalam: Silverman M, penyunting. Childhood asthma and other
wheezing disorders. Edisi ke-2. London, Arnold a member of the Hodder Headline Group, 2002.
66
3. Persistent wheezing
Persistent wheezing ini ditandai oleh adanya paling sedikit satu kali penyakit saluran
pernapasan bawah dengan mengi dalam 3 tahun pertama kehidupan dan mengi ditemukan
terus menetap sampai usia 6 tahun (gambar 3.1.3).
Anak pada kelompok ini ternyata mempunyai ibu dengan riwayat asma yang lebih
banyak daripada kelompok anak yang tidak pernah mengalami mengi.
Pada masa bayi, fungsi paru tidak berbeda bermakna dibandingkan dengan kelompok
yang tidak pernah mengalami mengi. Namun, pada usia 6 tahun, kelompok ini menunjukkan
nilai fungsi paru paling rendah di antara kelompok lainnya. Anak pada kelompok ini adalah
satu-satunya yang menunjukkan nilai IgE lebih tinggi pada usia 9 bulan daripada kelompok
yang tidak pernah mengalami mengi. Pada usia 6 tahun, nilai IgE kelompok ini juga lebih
tinggi secara bermakna daripada anak dengan late-onset wheezing.
Pada kelompok ini, gambaran kharakteristik inflamasi dapat ditemukan, bahkan pada
masa bayi. Namun, tidak ada pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk menentukan adanya
inflamasi saluran napas dan tidak ada petanda yang jelas untuk menentukan prognosis. Akan
tetapi, pada anak kecil yang mempunyai gejala mengi yang sering, terdapat riwayat asma di
keluarga, dan ada manifestasi atopi, terdapat hubungan yang bermakna dengan timbulnya
asma di usia 6 tahun.
Kurang lebih 60% anak-anak pada kelompok ini menunjukkan atopi pada usia 6 tahun
sementara 40% lainnya non-atopi (gambar 3.1.4).
67
Kedua sub-group ini telah tersensitisasi terhadap aeroallergen pada usia 6 tahun, namun
subgroup yang telah menunjukkan gejala sebelum usia 3 tahunlah yang memiliki fungsi paru
yang lebih rendah serta nilai IgE yang lebih tinggi, diukur pada usia 6 dan 11 tahun.
Hubungan antara mengi akibat infeksi virus berulang dengan terjadinya asma di
kemudian hari masih belum diketahui dan memerlukan penelitian lebih lanjut. Pada
pemeriksaan, ditemukan bahwa gejala saluran respiratori bawah yang timbul hampir sama
dengan gejala asma pada masa anak (seringkali juga disertai gejala saluran respiratori atas).
Namun, para dokter seringkali tidak mendiagnosis asma, tetapi memberikan antiinflamasi dan
bronkodilator (overtreatment). Pengobatan ini akan mengurangi intensitas mengi jika
dibandingkan dengan pemberian antibiotika. Oleh sebab itu, para dokter di satu sisi harus
berani menggunakan istilah ―asma‖ daripada menggunakan istilah lain untuk menjelaskan
mengi rekuren yang berhubungan dengan infeksi virus (recurrent viral-associated wheezing).
68
pertama kehidupan dan memenuhi paling sedikit 1 dari 2 kriteria mayor atau 2 dari 3 kriteria
minor. (Tabel 3.1.2)
Variabel yang digunakan pada tabel ini dipilih karena pada analisis univariat, variabel ini
merupakan prediktor signifikan terjadinya asma di kemudian hari. Kombinasi kriteria mayor dan
minor dipilih karena keduanya memberikan nilai prediksi positif dan spesifitas yang tertinggi
dalam hal terjadinya asma.
Penelitian lanjutan (Rodriguez 2004) meneliti asthma predictive index yang dimodifikasi
untuk mengatasi kesulitan diagnosis rinitis alergi pada bayi. Studi ini menggunakan uji kulit
(skin prick test) sebagai kriteria prediksi. Pada kriteria mayor ditambahkan kriteria positif
terhadap aero-alergen sedangkan pada kriteria minor ditambahkan kriteria positif terhadap
alergen makanan. Penilaian seorang anak mempunyai risiko asma apabila memenuhi 2 kriteria
mayor positif atau 1 kriteria mayor dan 2 kriteria minor.
Daftar pustaka
1. AIRE. Asthma prevalence in Europe. Asthma Insight and Reality in Europe Executive Summary.
Diunduh dari: http://www.asthma.ac.psiweb.com/ executive/mn exe summary_prevalence.html.
2. Beasley R, Keil U, Mutius E, Pearse N and ISAAC steering committee. Worldwide variation in
prevalence of symptoms asthma, allergic rhinoconjunctivitis, and atopiceczema:ISAAC. Lancet 1998;
351:1225-32.
3. EHHI. A survey of the prevalence of asthma among school-age children in Connecticut. Download
report. 2003. Diunduh dari: http://www.ehhi.org/pubs/asthma_schools.html.
4. Guilbert T, Krawec M. Natural history of asthma. Pediatric Clinic of North America 2003; 50.
5. Lozano p, Sullivan SD, Smith DH, dkk. The economic burden of asthma in US children: estimates
from the National Medical Expenditure Survey. I Allergy Clin Immunol 1999; 104:957-63.
6. MMWR. Measuring childhood asthma prevalence before and after the 1997 redesign of the National
Health Interview Survey—United States 2000; 49(40):908-11.
7. NCHS. Asthma prevalence, health care use and mortality, 2000–2001. Health and Stat. 2003.
Diunduh dari: http://www.cdc.gov/ nchs/products/pubs/pubd/hestats/asthma/asthma.html.
8. Peat JK, Toelle BG, Haby MH, dkk. Prevalence and severity of childhood asthma and allergic
sensitization in seven climatic regions of New South Wales. Medical Journal of Australia 1995;
163:22-6.
9. RR. Are childhood asthma rates plateauning?. Respiratory Reviews.com. Diunduh dari:
http://www.respiratoryreviews.com/oct02/rr_oct02_childasth.html.
10. Smith DH, Malone DC, Lawson KA, et al. A national estimate of the economic costs of asthma. Am J
Respir Crit Care Med 1997; 156(3 pt 1):787-93.
11. Steyer TE, Mallin R, Blair M. Pediatric asthma. Clin Fam Pract 2003;5(2):343.
12. Texas Behavioral Risk Factor Surveillance System (TBRFSS). Asthma prevalence, Hospitalizations and
Mortality – Texas, 1999–2001.
69
13. Cochran D. Diagnosing and treating chesty infants. BMJ 1998;316:1546-7.Clough JB, Keeping KA,
Edwards LC, Freeman WM, Warner JA, Warner JO. Can we predict which wheezy infants will continue
to wheeze?. Am J Respir Crit Care Med 1999;160:1473-80.
14. Clough JB, Keeping KA, Edwards LC, Freeman WM, Warner JA, Warner JO. Can we predict which
wheezy infants will continue to wheeze. Am J Respir Crit Care Med 1999;160:1473-80.
15. Platts-Mills TA, Sporik RB, Chapman MD, Heyman PW. The Role of Domestic Allergens. Dalam: The
Rising Trends in Asthma. Ciba Foundation Symposium 206. Inggris:John Wiley & Sons Ltd;1997. h.
173-89.
16. Kabesch M. Mutius EV.Epidemiology and Public Health. Dalam: Silverman M, penyunting. Childhood
asthma and other wheezing disorders. Edisi ke-2. London: Arnold a member of the Hodder Headline
Group;2002. h. 2-28.
17. Taussig LN, Wright AL, Holberg CJ, Holonen M, Morgan, Martinez. Tucson Children‘s Respiratory
Study: 1980 to Present. J Allergy clin Immunol 2002; 111:661-75.
18. Martinez FD, Wright AL, Taussig LM, Holberg CJ, Halonen M, Morgan WJ. Asthma and wheezing in
the first six year of life. The Group Health Medical Associates. N Engl J Med 1995;332(3):133-8.
70
3.2 Patogenesis dan patofisiologi asma anak
Bambang Supriyatno, Bob Wahyudin
71
Ekspresi molekul ADAM 33 ditemukan pada sel otot polos saluran respiratori (airway
smooth muscle, ASM), miofibroblas, dan fibroblas, tetapi tidak ditemukan pada sel epitel, sel T,
atau leukosit. Ekspresi selektif ini memperkuat dugaan bahwa gangguan aktivitas pada ADAM
33 merupakan dasar abnormalitas fungsi ASM dan fibroblas, yang menyebabkan hiperreaktivitas
dan remodeling saluran respiratoria. Meskipun fungsi sebenarnya dari ADAM 33 ini belum
sepenuhnya diketahui, berdasarkan struktur domainnya yang mempunyai sifat adhesi dan
protease, ada kemungkinan molekul ini berperan pada proliferasi dan migrasi, serta
menyebabkan fibroblas dan ASM berperan sebagai suatu unit kontraktil tunggal.
Gambar 3.2.1 Percabangan dan morfogenesis bronkus yang melibatkan EGF, TGF-B dan epitel bronkus.
Sumber: Holgate ST, Delers-Golden M, Panettieri RA, Henderson WR. Roles of cysteinil leukotrienes in airway inflammation, smooth
muscle function and remodeling. J Allergy Clin Invest 2003;111:522.
72
ini mengakibatkan aktivasi fibroblas dan miofibroblas di bawah lapisan epitel. Aktivasi tersebut
diatur oleh faktor-faktor pertumbuhan yang dilepas oleh epitel (tahap propagasi).
Gambar 3.2.2 Komunikasi sel-ke-sel dalam EMTU, model paralel untuk patogenesis asma.
Sumber: Holgate ST, Davies DE, Wicks James, Powell RM, Puddicombe SM. Airway Remodeling in Asthma: New Insights. J Alllergy
Clin Invest 2003;111:215-24.
Pada tahap amplifikasi, aktivasi miofibroblas akan melepaskan growth factor (GF) yang
menyebabkan proliferasi miofibroblas dan ASM serta deposisi ECM dengan hasil akhir terjadinya
AR. Aktivasi miofibroblas juga menyebabkan pelepasan sitokin dan kemokin yang menyebabkan
inflamasi saluran respiratori. Pada setiap tahap inisiasi, propagasi, dan amplifikasi dalam EMTU,
terjadi juga proses inflamasi yang diatur oleh limfosit Th2. Sitokin yang dihasilkan (terutama IL-
4 dan IL-13) akan berinteraksi dengan EMTU dan memperberat proses remodeling. Secara
keseluruhan, EMTU yang teraktivasi dan interaksinya dengan sitokin Th2 akan menyebabkan
inflamasi dan AR yang prosesnya berlangsung paralel (lihat Gambar 3.2.3).
73
Gambar 3.2.3 Aktivasi EMTU menyebabkan inflamasi saluran respiratorik dan airway remodeling yang
berlangsung paralel.
Sumber: Proc Am Thorac Soc 2004;1:93−8.
Atopi HRB
Asma pada
waktu kecil
Gambar 3.2.4 Diagram ven hubungan antara atopi, HBR dan asma
Sumber : Warner JO. Astma-bsic mechanisms. Dalam: Naspitz CK, Szefler SJ, Tinkelman DG, Warner JO. Pediatric Asthma An
International Perspective. United Kingdom, Martin Dunitz, 2001.
Limfosit subtipe CD4+ telah dikenal profilnya dalam produksi sitokin. Sedikitnya ada dua
jenis T-helper (Th). Meskipun kedua jenis limfosit T mensekresi IL-3 dan granulocyte-
macrophage colony-stimulating factor (GM-CSF), Th1 terutama memproduksi IL-2, IF- , dan
TNF- , sedangkan Th2 terutama memproduksi sitokin yang terlibat dalam asma, yaitu IL-4, IL-
5, IL-9, IL-13, dan IL-16. Sitokin proinflamasi yang dihasilkan oleh Th2 menyebabkan
terjadinya hiperreaktivitas, inflamasi, dan obstruksi bronkus.
74
Langkah pertama terbentuknya respons imun adalah aktivasi limfosit T oleh antigen
yang dipresentasikan oleh sel-sel aksesori, yaitu suatu proses yang melibatkan molekul major
histocompatibility complex atau MHC (MHC kelas II pada sel T CD4+ dan MHC kelas I pada sel T
CD8+). Sel dendritik merupakan antigen presenting cells (APC) utama pada saluran respiratori.
Sel dendritik terbentuk dari prekursornya di dalam sumsum tulang, lalu membentuk jaringan
yang luas dan sel-selnya saling berhubungan di dalam epitel saluran respiratori. Kemudian, sel-
sel tersebut bermigrasi menuju kumpulan sel-sel limfoid di bawah pengaruh GM-CSF, yaitu
sitokin yang terbentuk oleh aktivasi sel epitel, fibroblas, sel T, makrofag, dan sel mast. Setelah
antigen ditangkap, sel dendritik pindah menuju daerah yang banyak mengandung limfosit. Di
tempat ini, dengan pengaruh sitokin-sitokin lainnya, sel dendritik menjadi matang sebagai APC
yang efektif. Sel dendritik juga mendorong polarisasi sel T naive-Th0 menuju Th2 yang
mengkoordinasi sekresi sitokin-sitokin yang termasuk dalam klaster kromosom 5q31-33 (IL-4
genecluster). Patogenesis asma ini dapat dilihat pada Gambar 3.2.5.
Ditemukannya eosinofil dan limfosit yang teraktivasi pada biopsi bronkus pasien asma atopi
dan wheezing non-atopi mengindikasikan bahwa interaksi sel limfosit T-eosinofil sangat penting.
Hipotesis ini lebih jauh lagi diperkuat dengan ditemukannya sel yang mengekspresikan IL-5 pada
biopsi bronkus pasien asma atopi. Interleukin-5 merupakan sitokin yang penting dalam regulasi
eosinofil. Jumlahnya pada mukosa saluran respiratori pasien asma berhubungan dengan aktivasi
sel limfosit T dan eosinofil. Interleukin-5 menginduksi diferensiasi akhir dalam proses
pematangan eosinofil. Selain diatur oleh IL-5, pembentukan sel eosinofil di sumsum tulang juga
diatur oleh GM-CSF.
Eosinofil memiliki granul intraselular yang merupakan sumber protein proinflamasi
seperti major basic protein (MBP), eosinophil derived neurotoxin, peroksidase, dan protein
kationik. Kerusakan epitel saluran respiratori secara langsung, hiperresponsifitas bronkus, serta
degranulasi basofil dan sel mast dapat disebabkan oleh MBP.
75
3.2.3 Inflamasi akut dan kronis
Proses inflamasi pada asma akan menyebabkan reaksi inflamasi akut dan kronis. Pajanan
alergen inhalasi pada pasien yang alergi dapat menimbulkan respons alergi fase cepat, dan
pada beberapa kasus, dapat diikuti dengan respons fase lambat.
76
Gambar 3.2.6 Dua tipe sel Th2
Sumber: Liu Y. Jun. Thymic stromal lympophoietin and OX40 ligand pathway in the initiation of dendritic cell-mediated allergic
inflammation. J Allergy Clin Immunol. 2007;120:238-44.
Th2 dikenal sebagai sel CD4+ yang memproduksi IL-4,IL-5,IL-13 dan IL-10. TH1 adalah
sel CD4+ yang menghasilkan IFN-γ dan IL-2. TNF-α banyak ditemukan pada saluran napas
penderita asma dan genotip yang berhubungan dengan peningkatan jumlah TNF-α dikatakan
meningkatkan resiko menderita asma. Dengan kata lain TNF-α memiliki peran yang penting
dalam perkembangan asma dan inflamasi alergi. Dalam rangka untuk meningkatkan jumlah Th2
dan TNF-α, CD4+ yang diaktivasi oleh TSLP dapat menurunkan produksi IL-10 dan IFN-γ, 2
sitokin yang yang menurunkan regulas Th2 inflamasi. Walaupun IL-10 diklasifikasikan sebagai
sitokin dari Th2, namun ditemukan dalam jumlah sedikit pada bilas bronkoalveolar (BAL) pasien
atopi bila dibandingkan dengan orang normal.
Th2 inflamasi merupakan jenis yang terlibat pada penyakit alergi seperti dermatitis atopi
dan asma sementara Th2 regulatori terlibat pada proses yang lain seperti pada infeksi cacing
yang dapat menginduksi produksi IL-10 sehingga menurunkan insiden atopi.
Berdasarkan studi yang dilakukan dikatakan bahwa hanya TSLP yang dapat menginduksi
sel dendritik melalui OX40L dan ekspresi dari OX40L penting dalam pembentukan Th2 inflamasi.
Dengan menghambat OX40L dengan menggunakan antibodi penetral dapat menghambat
pembentukan TNF-α dan meningkatkan produksi IL-10. Demikian pula sebaliknya, pemberian
OX40L rekombinan akan meningkatkan produksi TNF-α dan menurunkan IL-10. Kemampuan
induksi OX40L akan hilang bila terdapat IL-12 yang merupakan sitokin dari Th1. Kemampuan
OX40L dalam menginduksi pembentukan Th2 tidak bergantung pada IL-4, walapun mereka
bekerja secara sinergi. Dengan demikian sel dendritik yang diaktivasi oleh TSLP akan
memproduksi sel Th2 bila keadaan lingkungan mikro memungkinkan serta tanpa adanya sitokin
dari Th1. Hal inilah yang menunjang teori Hygiene hypothesis, yaitu infeksi mikroba dapat
merangsang diferensiasi sel T kearah Th1 dan menekan produksi Th2.
Ekspresi TSLP akan meningkat pada saluran respiratori pasien asma sesuai dengan
derajat beratnya asma. Diduga TSLP berperan dalam aktivasi sel dendritik dan sel Mast dalam
menginisiasi respon imun yang diturunkan atau alamiah kemudian dilanjutkan dengan aktivasi
pada sel dendritik untuk memulai reson imun didapat atau adaptif (gambar 3.2.7).
77
Gambar 3.2.7 Patofisiologi TSLP dalam inflamasi alergi
Sumber: Liu Y. Jun. Thymic stromal lympophoietin and OX40 ligand pathway in the initiation of dendritic cell-mediated allergic
inflammation. J Allergy Clin Immunol. 2007; 120:238-44.
78
Selama ini, asma diyakini merupakan obstruksi saluran respiratori yang bersifat reversibel. Pada
sebagian besar pasien, pemberian terapi inhalasi kortikosteroid dapat menyebabkan
reversibilitas menyeluruh pada pengukuran dengan spirometri. Namun, beberapa pasien asma
dapat mengalami obstruksi saluran respiratori residual, meskipun pasien tidak menunjukkan
gejala klinis. Hal ini mencerminkan adanya remodeling saluran respiratori.
Remodeling juga merupakan hal penting pada patogenesis hiperreaktivitas saluran
respiratori yang non-spesifik, terutama pada pasien yang sembuh dalam waktu lama (lebih dari
1 sampai 2 tahun) atau yang tidak sembuh sempurna setelah terapi inhalasi kortikosteroid.
Inflamasi dan remodeling pada asma dapat dilihat pada Gambar 3.2.8.
79
Ireversibilitas dan penurunan fungsi paru tersebut diduga disebabkan perubahan
struktural saluran respiratori akibat remodeling. Chetta dkk menemukan bahwa AR sangat
erat kaitannya dengan derajat beratnya asma dan penurunan FEV1.
Secara skematik, konsekuensi klinik airway remodeling dapat dilihat pada Gambar 3.2.9.
Peningkatan massa Peningkatan Sel inflamasi yang Pelepasan faktor Elastolisis
otot polos kelenjar mukus menetap pertumbuhan
fibrogenik
Spasme bronkus
yang makin berat Proses Inflamasi
tetap berjalan Penurunan
selama eksaserbasi
elastisitas dinding
saluran respiratori
Sekresi mukus penting Deposisi kolagen
selama eksaserbasi pada RBM dan ECM
Daftar pustaka
1. Beckett PA, Howarth PH. Pharmacotherapy and airway remodeling in asthma?. Thorax 2003;58:163–
74.
2. Bousquet J, Jeffery PK, Busse WW, Johnson M, Vognola AM. Asthma from bronchoconstriction to
airways inflammation and remodeling. Am J Respir Crit Care Med 2000;161:1720–45.
3. Chetta A, Foresi A, Del Donno M, Bertorelli G, Pesci A, Olivieri D. Airway remodeling is a distinctive
feature of asthma and is related to severity of disease. Chest 1997;111:852–7.
4. Davies DE, Wicks J, Powell RM, Puddicombe SM, Holgate ST. Airway remodeling in asthma: new
insights. J Allergy Clin Immunol 2002;111:215–25.
5. Elias JA, Zhu Z, Chupp G, Homer RJ. Airway remodeling in asthma. J Clin Invest 1999;104:1001–6.
6. Holgate ST, Delers-Golden M, Panettieri RA, Henderson WR. Roles of cysteinil leukotriens in airway
inflammation, smooth muscle function and remodeling. J Alllergy Clin Invest 2003;111:S18–36.
7. Holgate ST, Davies DE, Puddicombe S, Richter A, Lackie P, Jordan L, dkk. Mechanism of airway
epithelial damage: interactions in the pathogenesis of asthma. Eur Respir J 2003;22:S24–9.
8. Holgate ST, Davies DE, Murphy G, Powell RM, Holloway JM. Adam 33: just another asthma gene or
breakthrough in understanding the origins of bronchial hyperresponsiveness?. Thorax 2003;58:466–
9.
9. Holgate ST, Lackie P, Wilson S, Roche W, Davies D. Bronchial ephitelium as a key regulator of airway
allergen sensitization and remodeling in asthma. Am J Respir Crit Care Med 2000;162:S113–7.
10. Holgate ST, Holloway J, Wilson S, Bucchieri F, Puddicombe S, Davies DE. Epithelial-mesenchymal
communication in the pathogenesis of chronic asthma. Proc Am Thorac Soc 2004;1:93–8.
80
11. James A. Airway remodeling in asthma. Curr Opin Pulm med 2004;11:1–6.
12. Jeffery PK. Remodeling and inflammation of bronchi in asthma and chronic obstructive pulmonary
disease. Proc Am Thorac Soc 2004;1:176–83.
13. Lange P, Parner J, Vestbo J, Schnohr P, Jensen G. A 15-years follow-up study of ventilatory function
in adults with asthma. N Engl J Med 1998;339:1194–200.
14. Lieberman P. Airway remodeling in asthma, do histological changes and functional changes
correlate?. Medical Crossfire 2002;4:35–47.
15. Malerba G, Pignatt PF. A review of asthma genetics: gene expression studies and recent candidates. J
Appl Genet 2005;46:93–104.
16. Vignola AM, Kips J, Bousquet J. Tissue remodeling as a feature of persistent asthma. J Allergy Clin
Immunol 2000;105:1041–53
17. Liu Y. Jun. Thymic stromal lympophoietin and OX40 ligand pathway in the initiation of dendritic cell-
mediated allergic inflammation. J Allergy Clin Immunol. 2007;120:238-44.
81
3.3 Patofisiologi asma
Makmuri MS
82
3.3.2 Hiperreaktivitas saluran respiratori
Asma hampir selalu berhubungan dengan mudahnya saluran napas mengalami penyempitan
dan atau renspons yang berlebihan terhadap provokasi stimulus. Adanya penyempitan saluran
napas yang berlebihan, secara klinis merupakan patofiologi yang paling diterima sampai saat
ini. Mekanisme yang bertanggung jawab terhadap reaktivitas yang berlebihan ini sampai saat ini
tidak diketahui, namun dapat berhubungan dengan perubahan otot polos saluran napas yang
terjadi sekunder serta berpengaruh terhadap kontraktilitas ataupun fenotipnya. Sebagai
tambahan, inflamasi pada dinding saluran napas, khususnya pada regio peribronkial, cenderung
memperparah penyempitan saluran napas yang terjadi akibat kontraksi otot polos tersebut
(gambar 3.3.1).
Hiperreaktivitas saluran napas paling sering ditatalaksana secara klinis dengan obat-
obatan aerosol stimulant, seperti histamin atau metakolin, dengan dosis yang ditingkatkan
secara progresif, sampai pada pemeriksaan ditemukan perubahan fungsi paru. Hasil akhir atau
endpoint yang paling sering digunakan adalah penurunan dari FEV1 dan hiperreaktivitas saluran
napas dapat dilihat dari jumlah konsentrasi obat yang dapat memprovokasi sehingga
menyebabkan penurunan sebanyak 20% (PC20 atau PD20, gambar 3.3.2). Saluran respiratori
dikatakan hiperreaktif atau hiperresponsif jika pada pemberian histamin atau metakolin dengan
konsentrasi kurang dari 8 g% didapatkan penurunan FEV1 20%, yang merupakan kharateristik
asma, dan juga dapat dijumpai pada penyakit yang lainnya seperti COPD, fibrosis kistik dan
rhinitis alergi. Pada asma terdapat korelasi antara nilai PD20 ataupun PC20 terhadap keparahan
penyakit. Stimulus yang lain seperti olahraga, udara dingin, ataupun adenosine, tidak memiliki
pengaruh langsung terhadap otot polos saluran napas (tidak seperti histamine dan metakolin).
83
Stimulus tersebut akan merangsang sel Mast, ujung serabut saraf dan sel lain yang terdapat di
saluran napas untuk mengeluarkan mediatornya.
Gambar 3.3.2 Gambaran hubungan antara dosis konstrikstor agonis dan penurunan indek diameter
saluran napas pada orang normal dan pasien asma
Sumber: GINA 2004
84
3.3.4 Hipersekresi mukus
Produksi mukus yang berlebihan merupakan gejala utama pada penyakit bronkitis kronis,
namun gejala tersebut juga merupakan salah satu kharateristik pasien asma yang tidak pernah
memiliki riwayat merokok ataupun bekerja pada lingkungan yang berdebu. Survei
membuktikan, sebanyak 30% pasien asma kesehariannya memproduksi sputum dan 70%
sisanya hanya memproduksi pada saat serangan asma timbul. Sering kali pasien asma
didiagnosis dengan bronkitis akut rekuren. Hiperplasia kelenjar submukosa dan sel goblet sering
kali ditemukan pada saluran napas pasien asma dan penampakan remodeling saluran napas
merupakan kharateristik asma kronis. Obstruksi yang luas akibat penumpukan mukus saluran
napas hampir selalu ditemukan pada asma yang fatal dan menjadi penyebab obstruksi saluran
napas yang persisten pada serangan asma berat yang tidak mengalami perbaikan dengan
pemberian bronkodilator.
Sekresi mukus pada saluran napas pasien asma tidak hanya berupa peningkatan volume
saja tetapi juga perbedaan pada viskoelastisitas. Perbedaan kualitas dan kuantitas dapat timbul
baik akibat infiltrasi sel inflamasi maupun terjadi perubahan patologis sel sekretori, pembuluh
darah epitel saluran napas dan lapisan submukosa. Penebalan dan perlengketan dari sekret
tidak hanya sekedar penambahan produksi musin saja tetapi juga terdapatnya penumpukan sel
epitel, pengendapan albumin yang berasal dari mikrovaskularisasi bronkial, eosinofil, dan DNA
yang berasal dari sel inflamasi yang mengalami lisis.
Hipersekresi mukus pada pasien asma merefleksikan dua mekanisme patofisiologi yaitu
mekanisme yang bertanggung jawab terhadap sekresi sel yang mengalami metaplasia dan
hiperplasia dan mekanisme patofisiologi yang bertanggung jawab hingga terjadi sekresi sel
granulasi. Mediator penting yang dikeluarkan oleh sel Goblet, yang mengalami metaplasia dan
hiperplasia, merupakan bagian dari rantai inflamasi. Degranulasi sel Goblet yang dicetuskan
oleh stimulus lingkungan (seperti asap rokok, sulfur dioksida, klorin dan ammonia), diperkirakan
terjadi karena adanya penglepasan neuropeptidase lokal atau aktivasi jalur refleks kolinergik.
Kemungkinan besar, yang lebih penting adalah degranulasi yang diprovokasi oleh mediator
inflamasi, dengan aktivitas perangsang sekret, seperti neutrofil elastase, kimase sel Mast,
leukotrien, histamin, produk neutrofil non-protease. Tidak ditemukannya elastase neutrofil pada
sputum pasien yang dikeluarkan pada fase eksaserbasi akut, mencetuskan bahwa hal tersebut
merupakan perangsang sekret yang penting pada serangan asma berat.
85
3.3.6 Eksaserbasi
Gejala yang memburuk merupakan kharateristik utama dari asma. Terdapat banyak faktor yang
dapat mencetuskan sehingga terjadi eksaserbasi, termasuk stimulus yang hanya menyebabkan
bronkokontriksi (seperti udara dingin, kabut, olahraga) dan stimulus yang menyebabkan
inflamasi saluran napas (seperti pemaparan terhadap alergen, pencetus okupasi, ozon atau
virus saluran napas). Olahraga dan hiperventilasi pernapasan, dengan keadaan udara dingin
dan kering, menyebabkan bronkokontriksi dan pelepasan sel lokal dan mediator inflamasi
(seperti histamin atau leukotrien sistenil) yang dapat menstimulasi kontraksi otot polos.
Stimulus yang hanya menyebabkan bronkokontriksi tidak akan memperburuk respons bronkial
yang diakibatkan oleh stimulus yang lain, sehingga hanya bersifat sementara saja.
Eksaserbasi asma dapat timbul selama beberapa hari. Sebagian besar berhubungan
dengan infeksi saluran napas, yang paling sering adalah common cold akibat Rhonivirus.
Rhinovirus dapat menginduksi respons inflamasi intrapulmoner. Pada pasien asma, inflamasi
terjadi dengan derajat obstruksi yang bervariasi serta dapat memperberat hiperreaktivitas
brokial. Respons inflamasi ini melibatkan aktivasi dan masuknya eosinofil dan atau neutrofil,
yang dimediasi oleh penglepasan sitokin atau kemokin sel T ataupun sel epitel bronkial.
Paparan alergen juga dapat mencetuskan eksaserbasi pada pasien asma. Pasien dengan
asma onset lambat menunjukkan respons berupa flare up dari eosinofil akibat inflamasi yang
terjadi, yang kemudian diikuti oleh hiperreaktivitas saluran napas. Pengulangan paparan
alergen pada tingkat sub-bronkokontriksi dapat juga mencetuskan respons yang sama. Paparan
sub-bronkokontriksi sesungguhnya dapat menginduksi inflamasi saluran napas yang menetap
dan berperan pada proses remodeling seperti penumpukan kolagen pada lapisan subepitel
retikular.
Pada pasien asma okupasional, abnormalitas persisten terjadi setelah pemaparan
terhadap pencetus yang berada di tempat kerja. Setelah beberapa bulan pasca pemaparan,
hiperreaktivitas saluran napas dan beberapa aspek dari inflamasi saluran napas (eosinofil dan
makrofag permukaan) masih dapat dijumpai, sementara penampakan klinis yang lain, termasuk
penumpukan kolagen subepitel, terjadi sebaliknya. Penemuan tersebut menggambarkan bahwa
terdapat hubungan yang kompleks pada patofisiologi yang berperan pada proses eksaserbasi
dan asma persisten. Proses ini, lebih jauh lagi, dapat diperberat lagi dengan adanya interaksi
antara berbagai pencetus yang berbeda, sebagai contohnya, interaksi antara pencetus
okupasional dengan polutan udara. Obat Nonsteroid anti-inflammatory (NSAID) dapat
menghambat siklooksigenase-1, sehingga dapat mengatasi serangan asma pada 10% pasien.
Serangan asma ini dapat berbahaya. Pada survei yang dilakukan secara retrospektif pada
pasien asma dewasa yang mendapatkan tatalaksana dengan menggunakan ventilasi mekanik
untuk serangan asma berat yang fatal, 24% dari mereka memiliki riwayat intoleransi dengan
aspirin.
86
saluran napas dengan parenkim paru sangat penting artinya pada asma nokturnal, yang
kemudian diperkuat oleh penelitian terakhir yang menunjukkan adanya gangguan tersebut pada
pasien asma saat tidur dengan posisi supine dibandingkan saat bangun.
Daftar pustaka
1. Lenfant C, Khaltaev N. Global initiative for asthma. NHLBI/WHO Workshop Report; 2002.
2. Kay AB. Asthma and inflammation. J Allergy Clin Immunol 1991; 87:893-910.
3. Vignola AM, Chanez P, Campbell AM, Souques F, Lebel B, Enander I, et al. Airway inflammation in
mild intermittent and in persistent asthma. Am J respir Crit Care Med 1998; 157:403-9.
4. Bousquet J, Jeffery PK, Busse WW, Johnson M, Vignola AM. Asthma. From bronchoconstriction to
airway remodeling. Am J respir Crit Care Med 2000; 161:1720-45.
5. Kay AB. Asthma and inflammation. J Allergy Clin Immunol 1991; 87:893-910.
6. Holgate ST, Davies DE, Lackie PM, Wilson SJ, Puddicombe SM, Lordan JL. Epithelial-mesenchymal
interactions in the pathogenesis of asthma. J Allergy Clin Immunol 2000; 105:193-204.
7. Global Initiative for Asthma. Global Strategy for Asthma Management and Prevention. National
Institute of Health. http://www.ginasthma.com/Guidelineitem.asp?l1=2&l2=1&intId=87. 2004.
87
3.4 Diagnosis asma pada anak
Heda Melinda D Nataprawira
Pendahuluan
Asma dapat berkembang dalam beberapa bulan pertama kehidupan, tetapi pada bayi, seringkali
asma sulit didiagnosis sehingga diagnosis pasti baru dapat dibuat saat anak mencapai usia yang
lebih tua. Perjalanan penyakit asma dapat menunjukkan berbagai macam manifestasi klinis
yang tidak spesifik dan heterogen, baik di antara beberapa individu maupun pada individu yang
sama. Berarti, terdapat berbagai fenotip seperti asma (asthma-like phenotypes) pada berbagai
usia yang mungkin dapat menerangkan perubahan klinis khas asma selama usia anak. Karena
keadaan tersebut, seringkali terjadi underdiagnosis atau bahkan overdiagnosis dengan
konsekuensi terjadinya undertreatment atau overtreatment dalam penatalaksanaan.
Kesulitan menegakkan diagnosis asma adalah sebagai berikut: walaupun terdapat
riwayat dan gambaran klinis yang konsisten dan mengarah pada asma, gambaran klinis yang
serupa juga dapat ditemukan pada penyakit lain. Selain itu, belum ada pemeriksaan penunjang
yang spesifik untuk asma. Oleh sebab itu, sebelum menegakkan diagnosis pasti asma, penyakit
lain harus disingkirkan terlebih dahulu. Pada anamnesis, harus dipastikan apakah batuk ataukah
mengi yang merupakan gejala utama yang dikeluhkan pasien. Sebab, asma adalah penyakit
yang terutama ditandai oleh mengi, sedangkan sinusitis (yang merupakan salah satu diagnosis
banding asma) terutama ditandai oleh batuk.
Hasil penelitian kohort oleh Tucson Children Respiratory‘s Study (TCRS) menunjukkan
bahwa dari kebanyakan anak yang mengalami mengi pada 1 tahun pertama kehidupan, hanya
13,7% yang berkembang menjadi mengi persisten. Sekitar 34,8% anak hanya mengalami
mengi sementara yang menghilang saat anak berusia 6 tahun. Oleh karena itu, dapat
disimpulkan bahwa anak dengan mengi belum tentu asma dan asma belum tentu disertai
mengi.
Masalah lain dalam diagnosis asma anak adalah penegakkan diagnosis asma pada bayi
dan anak kecil serta penegakkan diagnosis jika gejala yang ditemukan hanya berupa batuk
tanpa disertai mengi. Dengan demikian, para dokter harus memahami gejala asma anak untuk
dapat menegakkan diagnosis dengan tepat serta harus hati-hati mendiagnosis asma pada bayi
dan anak kecil sehingga tidak terjadi underdiagnosis atau overdiagnosis. Selain itu, dokter juga
harus dapat mengidentifikasi anak yang berisiko mengalami penyakit asma berat sehingga
dapat melakukan penatalaksanaan yang tepat untuk menurunkan morbiditas dan mortalitas.
88
berbagai stimuli, dengan manifestasi berupa penyempitan saluran napas yang luas, yang
kemudian berubah derajatnya, baik secara spontan maupun dengan pengobatan. Dengan
definisi ini, konsep pengobatan lebih ditujukan untuk mengatasi bronkospasme yang terjadi.11
Pada tahun 1970-an, pertama kali dipertimbangkan suatu konsep untuk mencegah
bronkospasme dan progresivitas penyakit. Otopsi pada individu yang meninggal akibat asma
akut memperlihatkan adanya inflamasi bronkus, edema, kerusakan epitel jaringan, dan
penumpukan mukus. Pada tahun 1975, WHO mengeluarkan suatu definisi asma, yaitu keadaan
kronik yang ditandai oleh bronkospasme rekuren akibat penyempitan lumen saluran napas
sebagai respons terhadap suatu stimuli yang tidak menyebabkan penyempitan serupa pada
kebanyakan orang.
Pada tahun 1990-an, pemeriksaan bahan dari bronkoskopi dan biopsi endobronkial
pasien yang didiagnosis asma menunjukkan adanya lesi inflamasi saluran napas yang berat,
dengan infiltrat selular, edema dinding submukosa, dan fibrosis. Bahkan, kerusakan epitel dapat
ditemukan pada asma ringan atau pada pasien yang baru didiagnosis asma. Dengan penemuan
ini, asma didefinisikan sebagai penyakit inflamasi kronik yang ditandai oleh obstruksi saluran
napas yang reversibel dan hiperresponsivitas saluran napas. Berdasarkan penemuan ini, konsep
pengobatan asma didasarkan pada penggunaan obat antiinflamasi, sesuai dengan definisinya.
Global Initiative for Asthma (GINA), suatu program yang dihasilkan pada tahun 1993
atas kerjasama antara National Heart, Lung, and Blood Institute (NHLBI) dan WHO,
mengeluarkan definisi asma yang menggambarkan konsep inflamasi sebagai dasar mekanisme
terjadinya asma. Definisi tersebut kemudian direvisi beberapa kali dan revisi terakhir pada
tahun 2006 mendefinisikan asma sebagai gangguan inflamasi kronik saluran napas yang disertai
oleh peranan berbagai sel, khususnya sel mast, eosinofil, dan limfosit T. Pada orang yang
rentan, inflamasi ini menyebabkan episode mengi berulang, sesak napas, rasa dada tertekan,
dan batuk, khususnya malam atau dini hari. Gejala ini biasanya berhubungan dengan
penyempitan jalan napas yang luas, tapi bervariasi, yang sebagian bersifat reversibel, baik
secara spontan maupun dengan pengobatan. Inflamasi ini juga berhubungan dengan
hiperreaktivitas jalan napas terhadap berbagai stimuli. Definisi terakhir ini sangat lengkap, tetapi
penerapan secara klinis sulit dilakukan dan tidak praktis, terutama untuk bayi dan anak. Adanya
inflamasi kronik dapat ditemukan pada penyakit paru lain dan juga dapat menyebabkan gejala
gangguan napas berulang.
Untuk mengatasi kesulitan ini, para pakar asma dari negara maju membuat sebuah
definisi operasional pada Konsensus Internasional III Penanggulangan Asma Anak Maret 1995
yang dipublikasikan pada tahun 1998. Pada konsensus internasional ini, para perumus tetap
menggunakan definisi lama (1992) untuk asma bayi yaitu: mengi berulang dan/atau batuk
persisten, yang asma merupakan penyebab paling mungkin, sedangkan penyebab lain yang
lebih jarang telah disingkirkan. Dengan meningkatnya usia anak, terutama di atas 6 tahun,
gejala klinis asma biasanya lebih jelas dan definisi NHLBI dapat digunakan. Selain definisi NHLBI
(GINA) dan konsensus internasional, banyak negara yang mempunyai konsensus nasional di
negara masing-masing, seperti Australia, Indonesia, Thailand, dan lain-lain.
Konsensus nasional di Indonesia juga menggunakan definisi praktis ini dalam definisi
operasionalnya, tetapi dengan tambahan kriteria yang lebih terarah. Konsensus ini dikenal
sebagai Konsensus Nasional Asma Anak (KNAA) yang disusun oleh Unit Kerja Koordinasi (UKK)
Respirologi IDAI pada bulan Desember 1994 di Jakarta dan ditetapkan dalam Kongres Ilmu
Kesehatan Anak (KONIKA) X di Bukittinggi pada bulan Juni 1996. Sehubungan dengan
perkembangan yang ada, rumusan KNAA tersebut telah beberapa kali ditinjau ulang dan
mengalami revisi. Pada pertemuan UKK Respirologi Anak III di Solo pada bulan Agustus 2001,
ditetapkan definisi asma yang kemudian disempurnakan pada Pedoman Nasional Asma Anak
89
(PNAA) 2004. Menurut definisi tersebut, asma adalah mengi berulang dan/atau batuk
persisten dengan kharakteristik sebagai berikut: timbul secara episodik, cenderung
pada malam/dini hari (nokturnal), musiman, setelah aktivitas fisik, serta terdapat
riwayat asma atau atopi lain pada pasien dan/atau keluarganya.
Walaupun setiap ahli (epidemiologist, clinician, immunologist, physiologist, patologist)
akan melihat definisi ini dari kacamata yang berbeda, definisi operasional akan sangat
bermanfaat bagi praktisi kesehatan di lapangan untuk menentukan prognosis dan meramalkan
respons anak terhadap pengobatan yang diberikan. Untuk membuat definisi operasional,
terdapat 3 hal yang perlu diperhatikan dan dipahami, yaitu sebagai berikut:
1) apa yang dimaksud dengan mengi?
2) apa yang dimaksud batuk berlebihan?
3) secara praktis, bagaimana cara menyingkirkan penyakit lain yang juga mempunyai
gejala batuk dan/mengi yang terjadi sekali-kali (rekuren)?
90
3. Persisten sedang
Gejala terjadi setiap hari
Serangan dapat mengganggu aktivitas dan tidur
Gejala nokturnal >1 kali dalam seminggu
Menggunakan agonis- 2 kerja pendek setiap hari
FEV1 60–80% predicted atau PEF 60–80% nilai terbaik individu
Variabilitas PEF atau FEV1 >30%
4. Persisten berat
Gejala terjadi setiap hari
Serangan sering terjadi
Gejala asma nokturnal sering terjadi
FEV-1 < 60% predicted atau PEF < 60% nilai terbaik individu
Variabilitas PEF atau FEV1 > 30%
Pembagian lain derajat penyakit asma dibuat oleh Phelan dkk. (dikutip dari Konsensus
Pediatri Internasional III tahun 1998). Klasifikasi ini membagi derajat asma menjadi 3 (tiga),
yaitu sebagai berikut:
1. Asma episodik jarang
Merupakan 75% populasi asma pada anak. Ditandai oleh adanya episode <1x tiap 4—6
minggu, mengi setelah aktivitas berat, tidak terdapat gejala di antara episode serangan, dan
fungsi paru normal di antara serangan. Terapi profilaksis tidak dibutuhkan pada kelompok
ini.
2. Asma episodik sering
Merupakan 20% populasi asma. Ditandai oleh frekuensi serangan yang lebih sering dan
timbulnya mengi pada aktivitas sedang, tetapi dapat dicegah dengan pemberian agonis- 2.
Gejala terjadi kurang dari 1x/minggu dan fungsi paru di antara serangan normal atau hampir
normal. Terapi profilaksis biasanya dibutuhkan.
3. Asma persisten
Terjadi pada sekitar 5% anak asma. Ditandai oleh seringnya episode akut, mengi pada
aktivitas ringan, dan di antara interval gejala dibutuhkan agonis- 2 lebih dari 3 kali/minggu
karena anak terbangun di malam hari atau dada terasa berat di pagi hari. Terapi profilaksis
sangat dibutuhkan.
Pedoman Nasional Asma Anak Indonesia membagi asma menjadi 3 derajat penyakit.
(Tabel 3.4.1)
91
Tabel 3.4.1 Pembagian derajat penyakit asma pada anak menurut PNAA 2004.
Parameter klinis, Asma episodik Asma episodik Asma persisten
kebutuhan obat, jarang sering (Asma berat)
dan faal paru (Asma ringan) (Asma sedang)
1. Frekuensi serangan < 1 x / bulan > 1 x / bulan Sering
3. Di antara serangan Tanpa gejala Sering ada gejala Gejala siang dan
malam
4. Tidur dan aktivitas Tidak terganggu Sering terganggu Sangat terganggu
7. Uji faal paru (di luar PEF/FEV1 > 80% PEF/FEV1 60 - 80% PEF/FEV1 < 60%
serangan)* Variabilitas 20-30%
8. Variabilitas faal paru Variabilitas > Variabilitas > 30% Variabilitas > 50%
(bila ada 15%
serangan)*
* Jika fasilitas tersedia
Jika terdapat keraguan antara derajat penyakit yang satu dengan yang lain maka tatalaksana
diberikan sesuai dengan derajat yang lebih berat.
Setelah menetapkan apakah seorang anak benar-benar mengalami mengi atau batuk
yang hebat, langkah berikutnya adalah mengidentifikasi pola dan derajat gejala. Pola gejala
92
harus dibedakan apakah gejala tersebut timbul pada saat infeksi virus atau timbul tersendiri di
antara batuk pilek biasa. Apabila mengi dan batuk hebat tersebut terjadi tidak bersamaan
dengan infeksi virus, selanjutnya harus ditentukan frekuensi dan pencetus gejala. Pencetus
yang spesifik dapat berupa aktivitas, emosi (misalnya menangis atau tertawa), debu, pajanan
terhadap bulu binatang, perubahan suhu lingkungan atau cuaca, aerosol/aroma yang tajam,
asap rokok atau asap dari perapian. Derajat berat ringannya gejala harus ditentukan untuk
mengarahkan pengobatan yang akan diberikan.
Dalam GINA 2006 dinyatakan bahwa anak merupakan kelompok yang sulit untuk
didiagnosis. Hal ini disebabkan karena mengi episodik dan batuk merupakan gejala yang sering
ditemukan pada penyakit anak terutama pada usia <3 tahun. Semakin muda usia anak,
semakin banyak diagnosis banding penyakit untuk menjelaskan mengi berulang/rekuren.
Diagnosis banding untuk bayi adalah fibrosis kistik, aspirasi susu rekuren, sindrom diskinesia
silia primer, defisiensi imun primer, kelainan jantung kongenital, malformasi kongenital yang
menyebabkan penyempitan aliran udara intratoraks, dan aspirasi benda asing. Apabila awitan
timbul pada masa neonatus, disertai gagal tumbuh, muntah, dan ditemukan tanda kelainan
kardiopulmonal, maka diperlukan pemeriksaan lanjutan, seperti uji keringat (sweat test) untuk
menyingkirkan fibrosis kistik, pemeriksaan fungsi imun, pemeriksaan untuk menilai adanya
refluks, serta foto toraks.
Pada anak dengan gejala batuk rekuren dan mengi, ada beberapa hal yang harus
ditanyakan untuk memperkirakan diagnosis banding, yaitu:
Apakah anak/orangtua benar–benar dapat menjelaskan apa yang disebut dengan
mengi?
Apakah terdapat gejala saluran napas atas: mendengkur, rinitis, sinusitis?
Apakah gejala timbul sejak hari pertama kehidupan?
Apakah awitan gejala sangat tiba-tiba/mendadak?
Apakah terdapat batuk berdahak yang kronik atau disertai produksi sputum?
Apakah mengi memburuk atau anak menjadi iritabel setelah makan dan bertambah
buruk jika berbaring, muntah, atau tersedak?
Apakah terdapat gejala atau gambaran klinis kelainan imunodefisiensi sistemik?
Apakah gejala berlangsung kontinu dan tidak berkurang/membaik?
Meskipun tidak semua mengi adalah asma, tetapi asma merupakan salah satu penyebab mengi.
Maka, mungkin lebih tepat jika dikatakan bahwa semua mengi adalah asma sampai dibuktikan
bukan asma.
Pemeriksaan fisis
Pada pemeriksaan fisis, umumnya tidak ditemukan kelainan saat pasien tidak mengalami
serangan. Pada sebagian kecil pasien yang derajat asmanya lebih berat, dapat dijumpai mengi
di luar serangan.
Dengan adanya kesulitan ini, diagnosis asma pada bayi dan anak kecil (di bawah usia 5
tahun) hanya merupakan diagnosis klinis (penilaian hanya berdasarkan gejala dan
pemeriksaan fisis dan respons terhadap pengobatan). Sebab, pada kelompok usia ini, tes fungsi
paru atau pemeriksaan untuk mengetahui adanya hiperresponsivitas saluran napas tidak
mungkin dilakukan dalam praktek sehari-hari. Tidak jarang, asma pada anak didiagnosis
sebagai bentuk varian bronkitis sehingga mendapatkan pengobatan yang tidak tepat dan tidak
efektif, yaitu berupa pemberian antibiotika dan obat batuk.
Berdasarkan berbagai hal tersebut di atas, bayi dan anak di bawah 5 tahun dengan
batuk rekuren dan/atau mengi dikelompokkan menjadi 3 kategori, yaitu:
93
1. normal
2. salah satu varian spektrum asma
3. penyakit atau keadaan serius yang membutuhkan diagnosis dan terapi yang spesifik.
Pada PNAA 2004, dinyatakan bahwa mengi berulang dan/atau batuk kronik berulang
merupakan titik awal menuju diagnosis. Kemungkinan asma perlu dipikirkan pada anak yang
hanya menunjukkan batuk sebagai satu-satunya gejala dan pada pemeriksaan fisis tidak
ditemukan mengi, sesak, dan lain-lain. Pada anak yang tampak sehat dengan batuk malam hari
yang rekuren, asma harus dipertimbangkan sebagai probable diagnosis. Beberapa anak
menunjukkan gejala setelah berolahraga. Dengan demikian, jika terdapat keraguan dalam
mendiagnosis asma ringan pada seorang anak, dapat dilakukan tes dengan berolahraga (berlari
cepat selama 6 menit).
94
Tabel 3.4.2 Penilaian derajat serangan asma
Parameter klinis,
fungsi paru, Ringan Sedang Berat
Laboratorium
Ancaman
Tanpa ancaman henti
henti napas napas
95
3.4.4 Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan fungsi paru
Ada banyak cara yang dapat digunakan untuk mengukur fungsi paru, tetapi tidak banyak yang
dapat dilakukan dengan mudah. Pemeriksaan fungsi paru mulai dari pengukuran sederhana,
yaitu peak expiratory flow rate (PEFR) atau arus puncak ekspirasi (APE), pulse oxymetry,
spirometri, sampai pengukuran yang kompleks yaitu muscle strength testing, volume paru
absolut, serta kapasitas difusi. Pemeriksaan fungsi paru yang obyektif dan lengkap dapat
bermanfaat dalam evaluasi diagnostik anak dengan batuk, mengi rekuren, aktivitas terbatas,
dan keadaan lain yang berkaitan dengan sistem respiratorik. Pemeriksaan fungsi paru ini
terutama bermanfaat apabila ada manifestasi gejala asma yang tidak khas. Kebanyakan uji
fungsi paru mengevaluasi satu atau lebih aspek fungsi paru, yaitu: 1) volume paru, 2) fungsi
jalan napas, 3) pertukaran gas. Pengukuran volume paru bermanfaat pada penyakit paru
restriktif seperti kelemahan otot napas, deformitas dinding dada, atau penyakit interstitial paru,
serta pada beberapa anak dengan kelainan obstruktif jalan napas.
Walaupun pemeriksaan analisis gas darah merupakan baku emas untuk menilai
parameter pertukaran gas, pulse oximetry masih merupakan pemeriksaan yang berguna dan
efisien.
Pada uji fungsi jalan napas, hal yang paling penting adalah melakukan manuver
ekspirasi paksa secara maksimal. Hal ini terutama berguna pada penyakit dengan obstruksi
jalan napas, misalnya asma dan fibrosis kistik. Pengukuran dengan manuver ini yang dapat
dilakukan pada anak di atas 6 tahun adalah forced expiratory volume in 1 second (FEV1) dan
vital capacity (VC) dengan alat spirometer serta pengukuran peak expiratory flow (PEF) atau
arus puncak ekspirasi (APE) dengan peak-flow meter. Pengukuran variabilitas dan reversibilitas
fungsi paru dalam 24 jam sangat penting untuk mendiagnosis asma, menilai derajat berat
penyakit asma dan menjadi acuan dalam strategi pedoman pengelolaan asma.
Pengukuran PEF pada asma tidak selalu berkorelasi dengan pengukuran fungsi paru
lainnya. Dengan alasan ini, pengukuran PEF harus dibandingkan dengan nilai terbaik anak
sendiri. Untuk menilai derajat asma dan respons terapi, PEF harus diukur secara serial dalam 24
jam. Bahkan jika perlu, diukur selama beberapa minggu, karena derajat asma tidak ditentukan
oleh nilai baseline melainkan oleh variabilitas, terutama dalam 24 jam. Variabilitas harian adalah
perbedaan nilai (peningkatan/penurunan) PEF dalam 1 hari. Metode yang dianggap merupakan
cara mengukur nilai diurnal PEF terbaik adalah pengukuran selama paling sedikit 1 minggu dan
hasilnya dinyatakan sebagai persen nilai terbaik dari selisih nilai PEF pagi hari terendah dengan
nilai PEF malam hari tertinggi.
Pengukuran PEF yang dilakukan secara tidak teratur, misalnya hanya 2—3 kali dalam
seminggu atau secara intermiten, tidak dapat menentukan perburukan fungsi paru lebih awal,
tetapi cara ini masih dapat memberikan informasi mengenai variabilitasnya. Untuk hal ini, PEF
lebih baik diukur pada pagi dan malam hari pada hari yang sama dan harus dilakukan secara
konsisten sebelum atau setelah pemberian bronkodilator. Jika didapatkan variabilitas PEF
diurnal 20% (petanda adanya perburukan asma), diagnosis asma perlu dipertimbangkan. Hal
lain yang harus diingat adalah bahwa pada asma intermiten atau asma berat (severe intractable
disease), variabilitas PEF tidak selalu ditemukan.
Pemeriksaan peak flow meter merupakan hal yang penting dan perlu diupayakan.
Meskipun pemeriksaan ini digunakan sebagai salah satu parameter untuk menentukan derajat
penyakit asma, namun masih sedikit dokter yang menggunakannya, misalnya dokter anak di
Thailand hanya 23% yang melakukannya. Di negara berkembang penggunaan peak flow meter
dan spirometri jarang digunakan dalam pengelolaan asma sehingga sebagian besar diagnosis
96
asma hanya didasarkan pada riwayat penyakit dan pemeriksaan fisis, terutama pada asma
dalam serangan.
Jika pemeriksaan fungsi paru tidak tersedia, lembar catatan harian dapat digunakan
sebagai alternatif karena metode ini mempunyai korelasi yang baik dengan fungsi paru. Lembar
catatan harian dapat digunakan dengan atau tanpa pemeriksaan PEF (Godfrey).
Pada pemeriksaan spirometri, adanya perbaikan FEV1 sebanyak minimal 12% setelah
pemberian bronkodilator inhalasi dengan/tanpa glukokortikoid mendukung diagnosis asma.
Pada Pedoman Nasional Asma Anak (PNAA) 2004, untuk mendukung diagnosis asma
anak dipakai batasan sebagai berikut:
1. variabilitas PEF atau FEV1 > 15%,
2. kenaikan PEF atau FEV1 > 15% setelah pemberian inhalasi bronkodilator,
3. penurunan PEF atau FEV1 > 20% setelah provokasi bronkus.
Penilaian variabilitas sebaiknya dilakukan dengan mengukur selama > 2 minggu.
Uji kulit maupun pemeriksaan kadar IgE total mempunyai nilai negatif palsu yang tinggi,
tetapi jika positif, hasilnya bermakna. Penelitian TCRS menunjukkan bahwa nilai IgE total yang
tinggi pada usia <1 tahun (tetapi tidak pada saat lahir) merupakan faktor yang dapat
97
memprediksi tingginya IgE pada usia 6 tahun dan 11 tahun dan berhubungan dengan mengi
berkepanjangan, sebaliknya anak dengan mengi pada tahun pertama kehidupan tetapi memiliki
IgE normal, akan sembuh dari gejala mengi. Pengukuran IgE total lebih bermanfaat untuk
penelitian daripada untuk penerapan individual, sedangkan tes alergi yang spesifik mungkin
lebih bermanfaat bagi penerapan individual.
98
3.4.6 Alur diagnosis
Batuk dan/mengi
Riwayat penyakit
Pemeriksaan fisik
Uji tuberkulin
berhasil
Jika gejala dan tanda klinis jelas serta respons terhadap pemberian obat asma baik,
pemeriksaan lebih lanjut tidak perlu dilakukan. Jika respons terhadap obat asma tidak baik,
sebelum mengganti obat dengan yang lebih poten, harus dinilai lebih dulu apakah dosis sudah
99
adekuat, cara dan waktu pemberian sudah benar, serta ketaatan pasien baik. Bila semua aspek
tersebut sudah dilakukan dengan baik dan benar, diagnosis bukan asma perlu dipikirkan.
Berdasarkan alur di atas, diagnosis akhir pada setiap anak dengan gejala batuk dan/atau
mengi dapat berupa sebagai berikut:
1. asma,
2. asma dengan penyakit lain,
3. bukan asma
Di Indonesia, tuberkulosis (TB) masih merupakan penyakit yang banyak dijumpai dan
salah satu gejalanya adalah batuk kronik berulang. Oleh karena itu, uji tuberkulin perlu
dilakukan baik pada kelompok yang patut diduga asma maupun yang bukan. Dengan cara itu,
penyakit TB yang mungkin terdapat bersamaan dengan asma dapat didiagnosis dan diterapi.
Jika pasien memerlukan steroid untuk pengobatan asma, TB pasien tidak akan mengalami
perburukan karena telah dilindungi dengan obat.
Daftar pustaka
1. Global Initiative for Asthma. Global Strategy for Asthma Management and Prevention. National
Institute of Health. www.ginasthma.com/download.asp?intId=214. 2006
2. Samet JM, Wiesch DG, Ahmed IH. Pediatric asthma: epidemiology and natural history. Dalam:
Naspitz CK, Szefler SJ, Tinkelman, DG, Warner JO, penyunting. Textbook of pediatric asthma. An
international perspective. London: Martin Dunitz Ltd; 2001. h.35-66.
3. Martinez FD. Meeting needs of infants and young children with asthma: New developments in
nebulized corticosteroid therapy. J of Allergy and Clin Immunol 1999;104:1-7.
http://home.mdconsult.com/das/article/body/4/jorg
4. Taussig LM, Wright AL, Holberg CJ, Halonen M, Morgan WJ, Martinez FD. Tucson Children‘s
Respiratory Study: 1980 to present. J Allergy Clin Immunol 2003;111(4):661-75.
5. Martinez FD, Wright AL, Taussig LM, Holberg CJ, Halonen M, Morgan WJ. Asthma and wheezing in
the first six year of life. The Group Health Medical Associates. N Engl J Med 1995;332(3):133-8.
6. Strunk RC. Defining asthma in the preschool-aged child. Pediatrics 2002;109(2):1-9.
7. Bush A. Chronic cough and/or wheezing in infants and children less than 5 years old: diagnostic
approaches. Dalam: Naspitz CK, Szefler SJ, Tinkelman, DG, Warner JO, penyunting. Textbook of
pediatric asthma. An international perspective. London: Martin Dunitz Ltd; 2001. h. 99-120.
8. Warner JO, Gotz M, Landau L. Management of asthma: a consensus statement. Arch Dis Child
1989;64:1065-79.
9. Warner JO, Naspitz CK. Third International Pediatric Consensus Statement on the Management of
Childhood Asthma. Pediatr Pulmonol 1998;25:1-17.
10. International Paediatric Asthma Consensus Group Asthma: A follow-up statement. Arch Dis Child
1992;67:240-8.
11. American Thoracic Society. Definitions and classifications of chronic bronchitis, asthma, and
pulmonary emphysema. Am Rev Respir Dis 1962;85:762-8.
12. Global Initiative for Asthma. Global Strategy for Asthma Management and Prevention. NHLBI/WHO
Workshop Report. Bethesda: National Institute of Health publication No. 02-3659; 1995. h. 1-48.
13. National Asthma Education and Prevention Program. Expert Panel Report 2. Clinical Practice
Guidelines for the Diagnosis and Management of Asthma. Rockville: US Department of Health and
Human Services, Public Health Service, National Institute of Health; National Heart, Lung, and Blood
Institute; NIH publ. No. 97-4051, 1997. http://www.nhlbi.nih.gov.
14. Konsensus Nasional Asma Anak. Unit Koordinasi Kerja Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak
Indonesia, 2001.
100
15. Vicyanond P, Weinberg AG, Sole D. Childhood asthma in developing countries. Dalam: Naspitz CK,
Szefler SJ, Tinkelman, DG, Warner JO, penyunting. Textbook of pediatric asthma. An international
perspective. London: Martin Dunitz Ltd; 2001:377-90.
16. Elphick, HE, Sherlock P, Foxall G, Simpson EJ, Shiell NA, Primhak, RA, et al. Survey of respiratory
sounds in infants. Arch Dis Child 20002;84:35-9.
17. Cochran D. Diagnosing and treating chesty infants. BMJ 1998;316:1546-7.Castro-Rodriguez JA,
Holberg CJ, Wright AL, Martinez FD. A clinical index to define risk of asthma in young children with
recurrent wheezing. Am J Respir Crit Care Med 2000;162:1403-6.
18. Voter KZ dan McBride JT. Diagnostic test of lung function. Pediatric in Review. 1996;17(2):53-63.
101
3.5 Serangan asma akut
Bambang Supriyanto, Makmuri MS
102
Selain itu, dapat terjadi pula asidosis metabolik akibat hipoksia jaringan dan produksi laktat oleh
otot napas.
Hipoksia dan asidosis dapat menyebabkan vasokonstriksi pulmonal, tetapi komplikasi
korpulmonal jarang terjadi. Hipoksia dan vasokonstriksi dapat merusak sel alveolus sehingga
produksi surfaktan berkurang atau tidak ada sama sekali dan berakibat meningkatkan risiko
terjadinya atelektasis. Gambar 3.5.1 menjelaskan tentang patofisiologi serangan asma.
Pencetus
103
yang ada. Derajat serangan harus dianggap lebih berat jika pasien memberi respons yang
kurang baik setelah terapi awal, atau serangan memburuk dengan cepat, atau pasien berisiko
tinggi.
104
Serangan asma ringan
Jika dengan sekali nebulisasi pasien menunjukkan respons yang baik (complete response),
berarti derajat serangannya ringan. Pasien diobservasi selama 1-2 jam, jika respons tersebut
bertahan, pasien dapat dipulangkan. Pasien dibekali obat -agonis (hirupan atau oral) yang
diberikan tiap 4-6 jam. Jika pencetus serangannya adalah infeksi virus, dapat ditambahkan
steroid oral jangka pendek (3-5 hari). Pasien kemudian dianjurkan kontrol ke klinik rawat jalan
dalam waktu 24-48 jam untuk re-evaluasi tatalaksana. Selain itu, jika sebelum serangan pasien
sudah mendapat obat pengendali, obat tersebut diteruskan hingga re-evaluasi dilakukan di
klinik rawat jalan. Namun, jika setelah observasi 2 jam gejala timbul kembali, pasien
diperlakukan sebagai serangan asma sedang.
105
Nebulisasi 2-agonis + antikolinergik dengan oksigen dilanjutkan tiap 1-2 jam; jika dengan
4-6 kali pemberian mulai terjadi perbaikan klinis, jarak pemberian dapat diperlebar menjadi
tiap 4-6 jam.
Aminofilin diberikan secara intravena dengan ketentuan sebagai berikut.
- Jika pasien belum mendapat aminofilin sebelumnya, diberikan aminofilin dosis
awal (inisial) sebesar 6-8 mg/kgBB dilarutkan dalam dekstrosa atau garam fisiologis
sebanyak 20 ml, diberikan dalam 20-30 menit.
- Jika pasien telah mendapat aminofilin sebelumnya (kurang dari 4 jam), dosis yang
diberikan adalah setengah dosis inisial.
- Sebaiknya kadar aminofilin dalam darah diukur dan dipertahankan sebesar 10-20
µg/ml;
- Empat jam kemudian diberikan aminofilin dosis rumatan sebesar 0,5-1
mg/kgBB/jam.
Jika telah terjadi perbaikan klinis, nebulisasi diteruskan setiap 6 jam, sampai dengan 24
jam. Steroid dan aminofilin diganti dengan pemberian per oral.
Jika dalam 24 jam pasien tetap stabil, pasien dapat dipulangkan dengan dibekali obat -
agonis (hirupan atau oral) yang diberikan tiap 4-6 jam selama 24-48 jam. Selain itu, steroid
oral dilanjutkan hingga pasien kontrol ke klinik rawat jalan dalam 24-48 jam untuk re-
evaluasi tatalaksana.
106
3.5.6 Terapi medikamentosa
3.5.6.1 Bronkodilator
Beta Adrenergik Kerja Pendek (Short Acting)
Beta adrenergik agonis merupakan terapi fundamental dan obat pilihan pada serangan asma.
Stimulasi terhadap reseptor–reseptor beta adrenergik menyebabkan perubahan ATP menjadi
cyclic-AMP sehingga timbul relaksasi otot polos jalan napas yang menyebabkan terjadinya
bronkodilatasi. Efek lain juga dapat terjadi, seperti peningkatan klirens mukosilier, penurunan
permeabilitas vaskular, dan berkurangnya pelepasan mediator dari sel mast. Reseptor ß1
terutama terdapat di jantung sedangkan reseptor ß2 berada di epitel jalan napas, otot
pernapasan, alveolus, sel-sel inflamasi, jantung, pembuluh darah, otot lurik, serta hepar dan
pankreas. Golongan obat ini terdiri dari epinefrin/adrenalin dan b2 agonis selektif.
Epinefrin/Adrenalin
Contoh obat yang merupakan beta adrenergik kerja pendek adalah epinefrin/adrenalin.
Pada umumnya, epinefrin tidak direkomendasikan lagi untuk mengobati serangan asma,
kecuali jika tidak ada obat ß2-agonis selektif. Epinefrin terutama diberikan jika ada reaksi
anafilaksis atau angioedema. Obat ini dapat diberikan secara subkutan atau inhalasi
aerosol. Pemberian subkutan adalah sebagai berikut: larutan epinefrin 1:1000 (1 mg/ml),
dengan dosis 0,01 ml/kgBB (maksimum 0,3 ml), dapat diberikan sebanyak 3 kali, dengan
selang waktu 20 menit. Mula kerja adrenalin subkutan adalah 5–15 menit, efek puncaknya
30–120 menit, durasi efeknya 2–3 jam. Inhalasi racemic ephineprine 2,25% aerosol dapat
diberikan dengan nebuliser.
Epinefrin akan menimbulkan stimulasi pada reseptor ß1, ß2, dan , sehingga akan
menimbulkan efek samping berupa sakit kepala, gelisah, palpitasi, takiaritmia, tremor, dan
hipertensi. Pemberian epinefrine aerosol kurang menguntungkan karena durasi efek
bronkodilatasinya hanya 1–1,5 jam dan menimbulkan efek samping, terutama pada jantung
dan CNS.
ß2-agonis Selektif
Obat yang sering dipakai adalah salbutamol, terbutalin, dan fenoterol. Dosis salbutamol
oral adalah 0,1–0,15 mg/kgBB/kali, diberikan setiap 6 jam; dosis terbutalin oral 0,05–0,1
mg/kgBB/kali, diberikan setiap 6 jam; fenoterol 0,1 mg/kgBB/kali, setiap 6 jam. Pemberian
secara oral akan menimbulkan efek bronkodilatasi setelah 30 menit, efek puncak dicapai
dalam 2–4 jam, dan lama kerjanya sampai 5 jam. Pemberian secara inhalasi (dengan
inhaler/nebuliser) memiliki mula (onset) kerja yang lebih cepat (1 menit), efek puncak
dicapai dalam 10 menit, dan lama kerjanya 4–6 jam. Pemberian subkutan tidak memberi
efek bronkodilatasi yang lebih baik daripada nebulisasi, sehingga cara ini tidak dianjurkan
jika ada alat nebulisasi. Dosis salbutamol subkutan adalah 10–20 mcg/kgBB/kali sedangkan
dosis terbutalin subkutan adalah 5–10 mcg/kg/kali.
Pemberian secara noninvasif (inhalasi) lebih disukai daripada pemberian
subkutan/intravena karena dapat mengurangi rasa nyeri dan kegelisahan pasien. Untuk
serangan ringan, dapat diberikan metered dose inhaler (MDI) 2–4 semprotan (puff) tiap 3–
4 jam, serangan sedang diberikan 6–10 semprotan tiap 1–2 jam, sedangkan serangan
berat memerlukan 10 semprotan. Pemberian dengan MDI lebih dari 6 semprotan harus
dengan pengawasan dokter atau di rumah sakit. Pemberian MDI dengan spacer dan
masker pada pasien asma akut (tetapi pada kasus yang tidak mengancam jiwa), dengan
dosis 3–4 semprotan, ternyata mempunyai efek bronkodilatasi yang sama dengan
nebuliser. Salbutamol dapat diberikan melalui nebuliser dengan dosis 0,1–0,15 mg/kgBB
107
(dosis maksimum 5 mg/kali), dengan interval 20 menit, atau nebulisasi secara kontinu
dengan dosis 0,3–0,5 mg/kg BB/jam (dosis maksimum 15 mg/jam). Pasien yang tidak
responsif dengan pemberian 2 kali inhalasi (MDI dan spacer) atau nebuliser dikategorikan
sebagai ―non-responder‖ dan pada inhalasi ke-3, dapat ditambahkan ipratropium bromida.
Nebulisasi terbutalin dapat diberikan dengan dosis 2,5 mg atau 1 respules/nebulisasi.
Berdasarkan teori, pemberian obat beta-agonis secara intravena berguna pada serangan
asma berat karena pada keadaan ini, obat beta-agonis inhalasi sulit mencapai jalan napas
di bagian distal obstruksi. Namun, pada beberapa penelitian, tidak terdapat perbedaan
signifikan antara efek bronkodilator intravena dan inhalasi. Pada pemberian intravena, efek
samping takikardi lebih sering terjadi. Pemberian ß2-agonis IV dapat dipertimbangkan jika
pasien tidak berespons dengan pemberian nebulisasi ß2-agonis, kortikosteroid IV, dan
teofilin ipratropium bromida. Salbutamol IV dapat diberikan dengan dosis mulai dari 0,2
mcg/kgBB/menit dan dinaikkan 0,1 mcg/kg setiap 15 menit dengan dosis maksimal 4
mcg/kgBB/menit. Terbutalin IV dapat diberikan dengan dosis 10 mcg/kgBB melalui infus
selama 10 menit, dilanjutkan dengan 0,1–4 µg/kgBB/jam dengan infus kontinu.
Efek samping ß2-agonis antara lain adalah tremor otot skeletal, sakit kepala, agitasi,
palpitasi, dan takikardi. Selain itu, dapat terjadi ketidakseimbangan ventilasi dan perfusi
akibat adanya peningkatan perfusi (sirkulasi) ke paru yang ventilasinya kurang (under-
ventilated). Hal ini akan menimbulkan hipoksemia dan dapat terjadi hipokalemia. Oleh
karena itu, sebaiknya dilakukan pemantauan kadar kalium darah dan pemeriksaan
elektrokardiografi.
Efek samping obat ini adalah mual, muntah, dan sakit kepala. Pada konsentrasi obat
yang lebih tinggi dapat timbul kejang, takikardia, dan aritmia. Secara teori, selain sebagai
bronkodilator, keunggulan teofilin pada serangan asma adalah dapat merangsang pusat
respiratorikk dan meningkatkan kontraktilitas otot–otot respiratorik.
108
3.5.6.2 Antikolinergik
Ipratropium bromida
Pemberian kombinasi nebulisasi ß2-agonis dan antikolinergik (ipratropium bromida)
menghasilkan efek bronkodilatasi yang lebih baik daripada jika masing–masing obat diberikan
secara sendiri-sendiri. Kombinasi ini sebaiknya diberikan jika 1 kali nebulisasi ß2-agonis
tidak/kurang memberikan respons. Sebaiknya pemberian kombinasi ini dilakukan lebih dulu
sebelum pemberian methyl xanthine. Dosis yang dianjurkan adalah 0,1 ml/kgBB, nebulisasi
setiap 4 jam. Dapat juga diberikan dalam larutan 0,025% dengan dosis sebagai berikut: untuk
usia >6 tahun 8–20 tetes; usia <6 tahun 4–10 tetes. Efek sampingnya adalah kekeringan
(minimal) atau rasa tidak enak di mulut (dosis oral 0,6-8 mg/kg pada orang dewasa); secara
umum, tidak efek samping yang berarti.
3.5.6.3 Kortikosteroid
Pemberian kortikosteroid sistemik mempercepat perbaikan serangan asma dan pemberiannya
merupakan bagian tatalaksana serangan asma, kecuali pada serangan ringan. Kortikosteroid
sistemik terutama diberikan pada keadaan sebagai berikut:
- terapi inisial inhalasi ß2-agonis kerja cepat gagal mencapai perbaikan yang cukup lama;
- serangan asma tetap terjadi meskipun pasien telah mengunakan kortikosteroid hirupan
sebagai controller
- serangan ringan yang mempunyai riwayat serangan berat sebelumnya
109
Magnesium sulfat
Pemberian magnesium sulfat dianjurkan sebagai terapi sistemik pada serangan asma berat.
Pemberian obat ini dapat dipertimbangkan pada anak dengan serangan asma berat yang
dirawat di ICU, terutama yang tidak/kurang berespons terhadap pemberian kortikosteroid
sistemik dan nebulisasi berulang dengan ß2-agonis dan aminofilin.
Beberapa teori menerangkan bahwa efek bronkodilator obat ini terjadi melalui perannya
di dalam regulasi kompleks adenyl cyclase pada reseptor ß2, yaitu suatu kofaktor enzim yang
mengatur keluar masuknya Na dan K melalui membran sel. Obat ini juga bekerja sebagai
penghambat kanal kalsium (calcium channel blocker), memiliki efek sedatif, mengurangi
pelepasan asetilkolin pada ujung-ujung saraf, dan menstabilkan sel mast.
Dosis magnesium sulfat adalah 25–50 mg/kg BB IV, diberikan selama 1 jam. Kadar
magnesium serum sebaiknya di periksa setiap 6 jam, infus magnesium harus dititrasi untuk
menjaga agar kadar di dalam darah tetap sebesar 3,5–4,5 meq/dl. Efek samping obat ini adalah
kelemahan otot, penurunan refleks tendon dalam (deep tendon reflex), hipotensi, takikardia,
mual, muntah, flushing kulit, dan disritmia jantung. Suatu penelitian pendahuluan melaporkan
bahwa nebulisasi kombinasi salbutamol dan magnesium sulfat isotonik menunjukkan hasil yang
lebih baik daripada kombinasi salbutamol dan salin normal. Namun, penggunaan magnesium
sulfat isotonik secara rutin belum direkomendasikan sampai ada penelitian lebih lanjut.
Pada penelitian multisenter, pemberian magnesium sulfat 50 mg/kgBB (inisial) dalam 20
menit dilanjutkan dengan 30 mg/kgBB/jam mempunyai efektifitas yang sama dengan
pemberian -agonis. Pemberian MgSO4 ini dapat meningkatkan FEV1 dan mengurangi angka
perawatan di rumah sakit.
Mukolitik
Pemberian mukolitik pada serangan asma ringan dan sedang dapat dilakukan, tetapi harus hati-
hati pada anak dengan refleks batuk yang tidak optimal. Mukolitik inhalasi tidak mempunyai
efek yang signifikan, tetapi harus berhati-hati pada serangan asma berat. Inhalasi obat
mukolitik tidak menunjukkan kegunaan dalam menangani serangan asma, pada serangan asma
berat bahkan bisa memperberat batuk dan menghambat aliran napas.
Antibiotik
Pemberian antibiotik pada asma tidak dianjurkan karena sebagian besar pencetusnya bukan
infeksi bakteri. Pada keadaan tertentu, antibiotika dapat diberikan, yaitu pada infeksi
respiratorik yang dicurigai disebabkan oleh bakteri, seperti adanya tanda-tanda pneumonia,
sputum yang purulen, serta jika diduga ada sinusitis yang menyertai asma.
Obat Sedasi
Pemberian obat sedasi pada serangan asma sangat tidak dianjurkan karena dapat
menekan/mendepresi pernapasan.
Antihistamin
Antihistamin jangan diberikan pada serangan asma karena tidak mempunyai efek yang
menguntungkan, bahkan dapat memperburuk keadaan karena dapat memperkental sputum.
110
3.5.7 Terapi suportif
3.5.7.1. Oksigen
Oksigen diberikan pada serangan sedang dan berat. Pada bayi atau anak kecil, saturasi oksigen
sebaiknya diukur dengan pulse oxymetry (nilai normalnya > 95%). Meskipun pasien sudah
mendapat oksigen beraliran tinggi, jika saturasi oksigen kurang dari 90% dan kondisi pasien
memburuk, sebaiknya dilakukan pemeriksaan analisa gas darah. Saturasi oksigen sebaiknya
dipertahankan sebesar sekitar 95% (pada bayi dan anak kecil). Hal ini dapat dicapai dengan
pemberian oksigen memakai kanula hidung, masker, atau kadang–kadang head box (terutama
pada bayi). Pada nebulisasi ß2-agonis, oksigen sebaiknya diberikan untuk mengatasi efek
samping hipoksia.
111
Klinik/Unit Gawat Darurat
Tatalaksana awal
nebulisasi -agonis 1-2x, selang 20 menit
nebulisasi kedua + antikolinergik
jika serangan sedang/berat, nebulisasi langsung dengan B2agonis+antikolinergik
112
Daftar pustaka
1. Lenfant C, Khaltaev N. Global Initiative for Asthma. NHLBI/WHO Workshop Report 1995.
2. Michael Sly. Asthma. Dalam: Behrman RE, Kliegman RM, Arvin AM, penyunting. Nelson
Textbook of Pediatric. Edisi ke-15. Philadelphia: WB Saunders; 1996. h. 628-40.
3. UKK Respirologi PP IDAI. Pedoman Nasional Penanganan Asma pada Anak. Indonesian Pediatric
Respiratory Meeting I:Focus on asthma, Jakarta, 2003.
4. Georgopoulos D, Burchardi H. Ventilatory strategies in adult patient with status
asthmaticus. Eur Respir Mon 1998;8:45-83.
5. Warner JO, Naspitz CK. Third International Pediatric Consensus Statement on the
Management of Childhood Asthma. Ped Pulmonol 1998;25:1-17.
6. Schuh S, Johnson DW, Callahan S, CannyG, Levison H. Efficacy of frequent nebulized
ipratropium bromide added to frequent high-dose albuterol therapy in severe
childhood asthma. J Pediatr 1995;126:639-45.
7. Rodrigo S, Rodrigo C. Inhaled flunisolide for acute severe asthma. Am J Respir Crit Care Med
1998;157:698-703.
8. McLean RM. Magnesium and its therapeutic uses: A review. Am J Med 1994;96:63-76.
9. Gibbs MA, Camargo CA, Rowe BH, Silverman RA. State of the Art: Therapeutic controversies in
severe acute asthma. Acad Emerg Med 2000;7:800-15.
10. Cartier A. Anti Allergic Drugs. In: O‘Byme PM, Thomson NC, penyunting. Manual of Asthma
Management. Edisi ke-2. London: Saunders; 2001. h .197-201.
11. Larsen Gary L, Colasurdo G.N. Assessment and treatment of acute asthma in children and
aldolecens. Dalam: Naspitz CK, Szefler SJ, Tinkelman DG, Warner JO. Text Book of Pediatric
Asthma. In international perspective. Edisi ke-1. United Kingdom: Martin Dunitz; 2001. h. 189–
209.
12. Global Initiative for Asthma. Global Strategy for Asthma Management and Prevention. National
Institute of Health. National Heart, Lung, and Blood Institute; NIH publ. No. 02-3659, 2002. h.
133-42
13. Jenne JW, Tashkin DP. Beta Adrenergic Agonists. Dalam: Weiss EB, Stein M. Bronchial Asthma,
Mechanism and Therapeutics. Edisi ke-3. Boston: Little Brown and Comp.; 1993. h. 700–48.
14. Fitzgerald M. Acute Asthma Clinical Review. BMJ 2001;323:841–845.
15. Bierman CV, Pearlman DS. Asthma. Dalam: Chernick V, Kendig EL, penyunting. Kendig‘s
Disorders of The Respiratory Tract in Childrent. Edisi ke-5. Philadelphia: WB Saunders Comp.;
1990. h. 557–601.
16. South African Chilhood Asthma Working Group. Management of Acute Asthmatic Attack in
Children. Diunduh dari: http//zingssolutions.com/ALLSA/Acute.htm
17. UKK Respirologi, PP IDAI : Pedoman Nasional Asma Anak, Tatalaksana serangan asma, Bali
2002, h.1–9.
18. Shannt F. Drug Dosis Intensive Care Unit Royal Childrens Hospital Parkvile. Australia: Victoria;
2001. h. 30-52.
19. Briening EP. Management of The Pediatric Patient in Status Asthmaticus Critical Care Nurse,
Februari 1998, 18,1 pp 1 – 8.
20. Pediatrics Guidline: Treatment of Acute Asthma in Children. Revision 2000, pp 1 – 5. Diunduh
dari: http://www.U manitoba.ca/colleges/cps/Guidelines and Statement/913 html.
21. Schuch Suzanne : Evidence Based Mangement of Severe Asthma on the Emergency Department.
Diunduh dari: http://www.pemdata base.org./files/2EB Mgt severe asthma dec 2002.doc.
22. Behrman R.E., Kliegman RM, Jenson HB. Asthma. Dalam: Nelson Text book of Pediatrics. Edisi
ke-16. Philadelphia: WB Saunders Comp.;2000. h. 664–680.
23. Global Initiative for Asthma. Global Strategy for Asthma Management and Prevention. National
Institute of Health. Diunduh dari: www.ginasthma.com/download.asp?intId=214. 2006
113
3.6 Tatalaksana jangka panjang asma pada anak
Noenoeng Rahajoe
114
juga tidak selalu tersedia dan mahal harganya. Bila obat hirupan tidak ada/tidak dapat
digunakan, -agonis diberikan per oral.
Penggunaan teofilin sebagai bronkodilator semakin kurang perannya dalam tatalaksana
asma karena batas keamanannya sempit. Namun, mengingat tidak selalu tersedianya obat -
agonis oral di Indonesia, teofilin dapat digunakan dengan memperhatikan kemungkinan
timbulnya efek samping. Selain itu, penggunaan -agonis oral tunggal dengan dosis besar
sering menimbulkan efek samping palpitasi dan hal ini dapat dikurangi dengan menurunkan
dosis serta mengkombinasikan obat tersebut dengan teofilin.
Pada klasifikasi asma menurut Konsensus Internasional III maupun Pedoman Nasional
Asma Anak, pemberian anti-inflamasi sebagai obat pengendali untuk asma ringan tidak
dianjurkan. Jadi secara tegas, PNAA tidak menganjurkan pemberian obat pengendali pada asma
episodik jarang. Hal ini sesuai dengan GINA yang menyatakan bahwa obat pengendali belum
diperlukan pada asma intermiten dan baru diperlukan pada asma persisten ringan (derajat 2
dari 4). Obat pengendali yang diberikan adalah anti-inflamasi, yaitu steroid hirupan dosis
rendah atau kromoglikat hirupan. Pada alur tatalaksana jangka panjang (Gambar 3.6.1), terlihat
bahwa jika tatalaksana asma episodik jarang sudah adekuat, tetapi responsnya tetap tidak baik
dalam 4-6 minggu, tatalaksananya berpindah ke asma episodik sering.
115
Obat pereda: -agonis atau teofilin
Asma episodik jarang (hirupan atau oral) bila perlu
Konig menemukan bukti bahwa dengan mengikuti panduan tatalaksana yang lazim,
yaitu hanya memberikan bronkodilator tanpa anti-inflamasi pada asma ringan/episodik jarang,
ternyata dalam jangka panjang (+8 tahun), pada kelompok tersebut paling sedikit ditemukan
pasien yang mengalami perbaikan derajat asma. Di lain pihak, asma sedang yang mendapat
kromoglikat dan asma berat yang mendapat steroid hirupan, menunjukkan perbaikan derajat
asma yang lebih besar. Perbaikan yang dimaksud adalah menurunnya derajat asma, misalnya
dari berat ke sedang atau ringan, bahkan sampai asimtomatik.
116
digunakan adalah kromoglikat. Hasil penelitian terakhir Tasche dkk menunjukkan bahwa
pemberian kromolin (kromoglikat dan nedokromil) kurang bermanfaat pada tatalaksana asma
jangka panjang. Dengan dasar tersebut, PNAA revisi terakhir (Gambar 3.6.1) tidak
mencantumkan kromolin sebagai terapi lini pertama, melainkan kortikosteroid dosis rendah.
Obat steroid hirupan yang sering digunakan pada anak adalah budesonid, sehingga
digunakan sebagai standar. Dosis rendah steroid hirupan adalah 100-200 g/hari budesonid
(50-100 g/hari flutikason) untuk anak berusia kurang dari 12 tahun, dan 200-400 g/hari
budesonid (100-200 g/hari flutikason) untuk anak berusia di atas 12 tahun. Pada penggunaan
beklometason atau budesonid dengan dosis 100-200 g/hari atau setara dengan flutikason 50-
100 g, belum pernah dilaporkan adanya efek samping jangka panjang. Jika setelah
pengobatan selama 8-12 minggu dengan steroid dosis rendah tidak timbul respons (masih
terdapat gejala asma atau gangguan tidur atau aktivitas sehari-hari), pengobatan dilanjutkan
dengan tahap kedua , yaitu menaikkan dosis steroid hirupan sampai dengan 400 g/hari yang
termasuk dalam tatalaksana asma persisten.
117
Tabel 3.6.1 Perkiraan Perbandingan Dosis Harian untuk Kortikosteroid Inhalasi
Obat Dosis rendah Dosis sedang Dosis tinggi
Anak Anak Anak Anak Anak Anak Anak Anak Anak
berusia berusia berusia berusia berusia berusia berusia berusia berusia
0-4 5-11 >12 0-4 5-11 >12 0-4 5-11 >12
tahun tahun tahun tahun tahun tahun tahun tahun tahun
dan dan dan
dewasa dewasa dewasa
Beklometason - 80-160 80-240 - >160- >240- - >320 >480
HPA mcg mcg 320 480 mcg mcg
40-80 mcg mcg
mcg/hirup
Flutikason 176 88-176 88-264 >176- >176- >264- >352 >352 440
HFA/MDI: 44, mcg mcg mcg 352 352 440 mcg mcg mcg
110 atau 220 mcg mcg mcg
mcg
DPI: 50, 100 - 100- 100- - 200- >300- - 400 500
atau 250 200 300 400 500 mcg mcg
mcg/inhalasi mcg mcg mcg mcg
118
Keterangan: (-) tidak tersedia cukup data
Sumber: Expert Panel Report 3 (EPR-3): Guidelines for the Diagnosis and Management of Asthma–Summary Report 2007. J Allergy
Clin Immunol 2007; 120(5):S94-134.
Jika tatalaksana suatu derajat penyakit asma sudah adekuat, tetapi responsnya tetap
tidak baik dalam 8-12 minggu, derajat tatalaksananya berpindah ke yang lebih berat (step up).
Sebaliknya, jika asma terkendali dalam 8-12 minggu, derajatnya beralih ke yang lebih ringan
(step down). Jika memungkinkan, steroid hirupan dihentikan penggunaannya.
Sebelum melakukan step-up, harus dilakukan evaluasi terhadap pelaksanaan
penghindaran pencetus, penggunaan obat, serta faktor komorbid yang mempersulit
pengendalian asma seperti rinitis dan sinusitis. Telah dibuktikan bahwa penatalaksanaan rinitis
dan sinusitis secara optimal dapat memperbaiki asma yang terjadi bersamaan.
Asma persisten
Bergantung pada kasusnya, steroid hirupan dapat diberikan mulai dari dosis tinggi lalu
diturunkan sampai dosis rendah selama gejala masih terkendali, atau sebaliknya, mulai dari
dosis rendah sampai dosis tinggi hingga gejala dapat dikendalikan. Pada keadaan tertentu,
khususnya pada anak dengan penyakit berat, dianjurkan untuk menggunakan dosis tinggi
dahulu, disertai steroid oral jangka pendek (3-5 hari). Selanjutnya, dosis steroid hirupan
diturunkan sampai dosis terkecil yang masih optimal.
Dosis steroid hirupan yang masih dianggap aman adalah setara budesonid 400 g/hari.
Di atas dosis tersebut dilaporkan timbul pengaruh sistemik minimal, sedangkan dengan dosis
800 g/hari, agaknya mulai timbul pengaruh terhadap poros hipotalamus-hipofisis-adrenal
(HPA) sehingga dapat berdampak terhadap pertumbuhan. Efek samping steroid hirupan dapat
dikurangi dengan penggunaan alat pemberi jarak berupa perenggang (spacer) yang akan
mengurangi deposisi obat di daerah orofaringeal sehingga mengurangi absorbsi sistemik dan
meningkatkan deposisi obat di paru. Selain itu, pasien dianjurkan berkumur setelah menghirup
obat dan air kumurannya dibuang.
Jika setelah pemberian steroid hirupan dosis rendah tidak timbul respons yang baik,
diperlukan terapi alternatif lain, yaitu meningkatkan steroid menjadi dosis medium atau tetap
memberikan steroid dosis rendah ditambah LABA (long acting 2-agonist), atau theophylline
slow release (TSR), atau anti-leukotriene reseptor (ALTR). Dosis medium steroid hirupan adalah
setara dengan 200-400 g/hari budesonid (100-200 g/hari flutikason) untuk anak berusia
kurang dari 12 tahun, dan 400-600 g/hari budesonid (200-300 g/hari flutikason) untuk anak
berusia di atas 12 tahun.
Apabila dengan pengobatan lini kedua selama 8-12 minggu tetap terdapat gejala asma,
dapat diberikan alternatif lini ketiga, yaitu meningkatkan dosis steroid sampai dengan dosis
tinggi, atau tetap memberikan dosis medium ditambah LABA, atau TSR, atau ALTR. (Evidence
A) Dosis tinggi steroid hirupan adalah setara dengan >400 g/hari budesonid (>200 g/hari
flutikason) untuk anak berusia kurang dari 12 tahun, dan >600 g/hari budesonid (>300
g/hari flutikason) untuk anak berusia di atas 12 tahun.
Penambahan LABA pada steroid hirupan telah banyak dibuktikan keberhasilannya, yaitu
dapat memperbaiki FEV1, mengurangi gejala asma, dan memperbaiki kualitas hidup. Jika dosis
steroid hirupan sudah mencapai >800 g/hari, tetapi tetap tidak timbul respons yang baik, baru
digunakan steroid oral (sistemik). Jadi, penggunaan kortikosteroid oral sebagai pengendali
adalah jalan terakhir setelah penggunaan kortikosteroid hirupan atau alternatif lain telah
dijalankan . Langkah ini diambil hanya bila bahaya yang dapat timbul akibat asma lebih besar
daripada bahaya efek samping obat. Dosis awal steroid oral adalah 1-2 mg/kgBB/hari. Dosis
kemudian diturunkan sampai dosis terkecil yang diberikan selang sehari pada pagi hari.
119
Penggunaan steroid sistemik harus dilakukan dengan hati-hati karena dapat timbul efek
samping yang cukup berat.
Pada pemberian antileukotrien (zafirlukas), pernah dilaporkan adanya peningkatan
enzim hati. Oleh karena itu, kelainan hati merupakan kontraindikasi. Saat ini, belum terdapat
rekomendasi mengenai pemantauan uji fungsi hati pada pemberian antileukotrien.
Penggunaan antihistamin generasi baru yang bersifat non-sedatif (misalnya ketotifen
dan setirizin) dapat dipertimbangkan pada anak dengan asma tipe rinitis, hanya untuk
menanggulangi rinitisnya. Pada saat ini, penggunaan ketotifen sebagai obat pengendali pada
asma anak tidak lagi digunakan karena tidak mempunyai manfaat yang berarti.
Jika dengan pemberian steroid hirupan dicapai fungsi paru yang optimal atau perbaikan
klinis yang mantap selama 8-12 minggu, dosis steroid dapat dikurangi bertahap sehingga
dicapai dosis terkecil yang masih bisa mengendalikan asmanya. Sementara itu, penggunaan -
agonis sebagai obat pereda tetap diteruskan.
Glukokortikoid
Glukosteroid merupakan antiinflamasi yang paling banyak dipakai dan paling kuat. Obat ini
dapat mencegah penebalan lamina retikularis, mencegah terjadinya neoangiogenesis, dan
mencegah atau mengurangi terjadinya down regulation receptor β2-agonist. Dosis yang dapat
digunakan adalah sampai 400 g/hari (dosis rendah yang aman).
120
Preparat ini tidak ada di Indonesia. Penggunaan pada anak kecil memerlukan nebulizer.
Kemampuan obat ini untuk mengatasi inflamasi dan mencegah airway remodeling lebih rendah
daripada steroid hirupan dosis rendah. Namun, memang diakui bahwa obat ini hampir tidak
mempunyai efek samping. Pemberian obat ini dapat dipertimbangkan pada anak yang tidak
mempunyai indeks indikator untuk menjadi asma persisten.
121
meningkatkan dosis steroid hirupan 2 kali. Dengan adanya preparat kombinasi dalam satu
paket ini, penggunaan obat menjadi lebih mudah dan ketaatan pemakaian obat meningkat.
Harganya cukup memadai dan penggunaan preparat tersebut juga sudah dimasukkan ke
dalam konsensus GINA, Australia, Inggris, Amerika Serikat.
Penggunaan LABA dan steroid hirupan mempunyai kelebihan karena efeknya saling
melengkapi. Perlu diingat bahwa pemberian budesonid hirupan 400 g atau yang setara
masih merupakan dosis rendah untuk pemberian jangka panjang (pengobatan pencegahan
yang aman). UKK Respirologi IDAI JAYA sudah melakukan koordinasi dengan UKK
Endokrinologi IDAI JAYA dan hal tersebut telah disetujui.
122
Jika pengobatan di atas tidak berhasil, dosis steroid hirupan dinaikkan menjadi 800 g.
Jika dosis steroid hirupan 800 g atau lebih baru dapat mengendalikan asma, berarti reseptor
glukosteroid sudah kurang sensitif atau bahkan sudah resisten. Pada keadaan ini, harus
dilakukan hal berikut:
1. pemantauan efek samping;
2. evaluasi terhadap optimalisasi pengendalian lingkungan dan pencarian faktor-faktor
yang memperberat asma, misalnya rinitis, sinusitis, atau GER;
3. pemberian diet tinggi kalsium dan vitamin D;
4. evaluasi terhadap ketaatan pemberian obat dan cara pemberian obat.
Ada literatur yang menyebutkan bahwa steroid hirupan dosis tinggi yang diberikan
dengan beberapa dosis terbagi lebih baik efeknya daripada diberikan dalam dosis tinggi tunggal
(dosis terbagi lebih baik daripada dosis tunggal). Namun, pemberian dosis secara terbagi dapat
mengurangi ketaatan penggunaan obat dan pemberian dosis pada sore atau malam hari dapat
lebih menekan aksis hipotalamus-hipofisis.
Jika pengobatan steroid hirupan dosis tinggi tetap tidak dapat mengendalikan gejala
asma, tidak ada jalan lain selain menambahkan steroid oral. Dengan pemberian steroid oral,
efek samping sistemik lebih mudah terjadi. Karena itu, jika asma telah terkendali, steroid oral
harus dikurangi perlahan-lahan sampai dosis terkecil dan setelah dosis terkecil dicapai, obat
diberikan selang sehari pada waktu pagi hari.
Persoalan lain yang belum pernah dibicarakan adalah mengenai asma pada anak <5
tahun. Pemberian steroid hirupan mempertimbangkan hal-hal berikut ini.
1. Diketahui bahwa sebagian besar asma pada anak sudah muncul sebelum usia 5 tahun.
2. Pemberian steroid hirupan yang lebih dini dapat mencegah terjadinya airway remodeling
dan inflamasi menahun yang berkelanjutan dengan lebih baik.
3. Perbandingan antara manfaat dan risiko obat yang akan diberikan harus
dipertimbangkan kembali.
Pada serangan asma, steroid oral berupa prednison atau prednisolon 1-2 mg/Kg BB/hari
sering diberikan dalam 1 atau 2 dosis. Ternyata menurut literatur, steroid masih aman diberikan
sampai 11 kali episode dalam 1 tahun, walaupun anak sedang dalam pemberian steroid hirupan
untuk pencegahan (penanggulangan asma jangka panjang). Metabolisme tulang (Osteocalsine)
normal, mineral tulang normal, fungsi adrenal terganggu selama 1—5 hari tetapi akan kembali
normal setelah 30 hari.
123
Tabel 3.6.2 Jenis alat inhalasi sesuai dengan usia
Usia Alat inhalasi
<5 tahun Nebuliser
MDI (metered dose inhaler) dengan alat perenggang (spacer)
Aerochamber, Babyhaler
5-8 tahun Nebuliser
MDI dengan spacer
DPI (dry powder inhaler): Diskhaler, Turbuhaler
>8 tahun Nebuliser
MDI (metered dose inhaler) dengan spacer
DPI
MDI tanpa spacer
Sumber: Barry PW, Fouroux B, Pederson S, O‘Callaghan C. Nebulizers in childhood. Eur Respir Rev 2000;10:527−35.
Pemakaian alat perenggang (spacer) mengurangi deposisi obat dalam mulut (orofaring)
sehingga mengurangi jumlah obat yang akan tertelan dan akibatnya, mengurangi efek sistemik.
Sebaliknya, deposisi dalam paru menjadi lebih banyak sehingga didapatkan efek terapetik yang
baik. (Evidence B) Obat hirupan dalam bentuk bubuk kering (dry powder inhaler, DPI) seperti
Spinhaler, Diskhaler, Rotahaler, Turbuhaler, Easyhaler, dan Twisthaler, memerlukan inspirasi
yang kuat. Umumnya, bentuk ini dianjurkan untuk anak usia sekolah.
Sebagian alat bantu, misalnya spacer (Volumatic, Nebuhaler, Aerochamber, Babyhaler,
Autohaler), dapat dimodifikasi menggunakan gelas atau botol minuman bekas, atau
menggunakan botol dengan dot yang telah dipotong untuk anak kecil dan bayi. (Evidence D)
Cara menggunakan alat inhalasi dan spacer secara rinci dapat dilihat pada Bab Terapi Inhalasi.
124
antara pajanan alergen dengan sensitisasi. Pajanan yang tinggi berhubungan dengan
meningkatnya gejala asma pada anak.
Setiap keluarga yang mempunyai anak asma harus melakukan pengendalian lingkungan,
antara lain sebagai berikut: menghindarkan anak dari asap rokok; tidak memelihara binatang
berbulu seperti kucing, anjing, dan burung; memperbaiki ventilasi ruangan; mengurangi
kelembaban kamar untuk anak yang sensitif terhadap debu rumah dan tungau.
Pembersih udara (air cleaner) dengan sistem HEPA dapat digunakan sebagai tambahan.
Penghindaran lingkungan semakin menjadi lebih penting setelah Holgate mengemukakan
bahwa epitel dan jaringan mesenkimal merupakan pangkal persoalan timbulnya asma, yaitu
terjadinya inflamasi kronik dan airway remodeling.
Perlu ditekankan bahwa anak asma sering menderita rinitis alergika dan/atau sinusitis
yang membuat asmanya sukar dikendalikan. Deteksi dan diagnosis kedua kelainan tersebut,
diikuti dengan terapi yang adekuat, akan memperbaiki gejala asmanya.
Daftar pustaka
1. Lenfant C, Khaltaev N. Global Initiative for Asthma. NHLBI/WHO Workshop Report 2002.
2. UKK Respirologi PP IDAI. Pedoman Nasional Penanganan Asma pada Anak. Indonesian Pediatric
Respiratory Meeting I:Focus on asthma, Jakarta, 2003.
3. Warner JO, Naspitz CK, Cropp GJA. Third International Pediatric Consensus Statement on the
Management of Childhood Asthma. Pediatr Pulmonol 1998; 25:1-17.
4. Konig P. Evidence for benefits of early intervention with non-steroidal drugs in asthma. Pediatr
Pulmonol 1997;15:34-9.
5. van der Molen T, Kerstjens HAM. Starting inhaled corticosteroids in asthma: when, how high, and
how long. Eur Respir J 2000;15:3-4.
6. Tasche MJA, Uijen JHJM, Bernsen RMD, de Jongste JC, van der Wouden JC. Inhaled disodium
cromoglucate (DSCG) as maintenance therapy in children with asthma: a systematic review.
Thorax 2000; 55:913-20.
7. Rubilar L, Castro-Rudriguez JA, Girardi G. Randomized trial of salbutamol via metered-dose
inhaler with spacer versus nebulizer for acute wheezing in children less than 2 years of age.
Pediatr Pulmonol 2000; 29:264-9.
8. Barry PW, Fouroux B, Pederson S, O‘Callaghan C. Nebulizers in childhood. Eur Respir Rev 2000;
10: 527-35.
9. Leff JA, Busse WW, Pearlman D, et al. Montelukast, a leukotriene-receptor antagonist, for the
treatment of mild asthma and exercise induced bronchoconstriction. N Eng J Med 1998; 339:147-
52
10. Pauwels . RA, Lofdahl CG, Postma DS, et al. Effect of inhaled formoterol and budesonide on
exacerbations of asthma. N Engl J Med 1997; 337:1405-11.
11. Tal A, Simon G, Vermeulen JH, Petru V, Cobos N, Everald ML, et al. Budesonide/formoterol in a
single inhaler versus inhaled corticosteroids alone in the treatment of asthma. Pediatr Pulmonol
2002; 34:342-50
12. Palmqvist M, Arvidson P, Beckman O, Peterson S, Lotvall J. Onset of bronhodilation of
budesonide/formoterol vs. salmeterol/fluticasone in single inhalers. Pulmonary Pharmacol Ther
2001; 14:29-34.
13. Gershman NH, Wong HH, Liu JT, Fahy JV. Low- ang haigh-dose fluticasone propionate in asthma:
effects during and after treatment. Eur Respir J 2000; 15:11-6.
14. Loftus BG, Price JF. Long-term placebo-controlled trial of ketotifen in the management of
preschool children with asthma. J Allergy Clin Immunol 1987; 79:350-5
15. Becher AB. Is primary prevention of asthma possible?. Pediatr Pulmonol 2000; 30:63-72.
16. Martinez FD. Links between pediatric and adult asthma. J Allergy Clin Immunol 2001; 107:S449-
55.
125
17. Taussig LM, Wright AL, Holberg CJ, Halonen M, Morgan WJ, Martinez FD. Tucson Children‘s
Respiratory Study: 1980 to present. J Allergy Clin Immunol 2003;111:661-75.
18. Wahn U. What drives the allergic march ? Allergy 2000; 55:591-599
19. Agertoft L, Pederson S. Effects of long term treatment with an inhaled corticosteroid on growth
and pulmonary function in asthmatic children. Respir Med 1994; 88:373-381
20. Haatela T, Jarvinen M, Kava T, Kiviranta K, Koskinen S. Effect of reducing or discontinuing
budenosinde in patients with mild asthma. N Engl J Med 1994; 331:700-705.
21. Sekerel BE, Tuncer A, Saraclar Y, Adalioglu G. Inhaled budesonide reduces lung hyperinflation in
children with asthma. Acta Paediatr 1997; 86:932-936
22. Corsico A, Pellegrino R, Zoia MC, Barbano L, Brusasco V, Cerveri I. Effects of inhaled steroids on
methacholine-induced bronchoconstriction and gas trapping in mild asthma. Eur J Respir 2000;
15:687-692
23. Hoshino M, Nakamura Y, Sim JJ, et al. Inhaled corticosteroid reduced lamina reticularis of the
basement membrane by modulation on insulin-like growth factor (IGF)-I expression in bronchial
asthma. Clin Exp Allergy 1998; 28:568-577.
24. Hoshino M, Takahashi M, Takai Y, Sim J, Aoike N. Inhaled corticosteroids decrease vascularity of
the bronchial mucosa in patients with asthma. Clin Exp Allergy 2001; 31:722-730.
25. Expert Panel Report 3 (EPR-3): Guidelines for the Diagnosis and Management of Asthma–
Summary Report 2007. J Allergy Clin Immunol 2007; 120(5):S94-134
126
3.7 Asma dengan masalah khusus
Adi Utomo Suardi, Sri Sudarwati
3.7.1.1 Epidemiologi
Prevalens EIA mencapai 90% pada anak asma, dan sekitar 40% pada anak dengan rinitis
alergika. Sedangkan prevalens pada atlet dan populasi umum sekitar 6−13% dengan rata-rata
10%. Exercise-induced asthma banyak dijumpai pada atlet, terutama yang melakukan aktivitas
olahraga di lingkungan udara dingin.
Exercise-induced asthma banyak dijumpai pada atlet, terutama yang melakukan
aktivitas olahraga di lingkungan dengan udara dingin. Hasil penelitian Thole dkk. terhadap 114
pelari di Los Angeles menunjukkan bahwa prevalens EIA sebanyak 14%, dan semua pelari
tersebut tidak menggunakan obat-obatan asma. Penelitian di Norwegia mendapatkan bahwa
prevalens EIA sebesar 10% pada atlet dan 6,9% pada populasi umum. Penelitian Wilber dkk. di
Amerika Serikat (AS) menunjukkan bahwa prevalens EIA pada atlet olimpiade musim dingin
sebesar 23%, paling banyak pada pemain ski. Helenius dkk. meneliti 42 perenang, 26 di
antaranya tidak melakukan kegiatan renang dalam waktu 3 bulan, ternyata kejadian EIA
berkurang bahkan menghilang. Prevalens EIA mungkin dipengaruhi pula oleh derajat beratnya
penyakit asma; EIA lebih banyak ditemukan pada penyandang asma derajat sedang dan asma
derajat berat. Selain itu, faktor etnis juga mempengaruhi prevalens EIA, anak Asia lebih besar
kemungkinannya mengalami EIA daripada anak kulit putih, yaitu 3,6 kali (Kukafka dkk.).
127
Diperkirakan 9% anak dengan EIA tidak mempunyai riwayat asma maupun alergi.
Meskipun demikian, 50% anak asma yang tidak memiliki riwayat EIA menunjukkan respons
positif terhadap uji latihan fisik.
3.7.1.2 Diagnosis
Diagnosis EIA dimulai dari anamnesis untuk mengidentifikasi anak dengan asma persisten,
termasuk riwayat pemakaian short acting -agonist (SABA) inhalasi serta respons klinisnya,
riwayat pemeriksaan uji fungsi paru pada anak usia di atas 5 tahun, kemampuan melakukan
aktivitas fisik yang terbatas, timbulnya gejala setelah melakukan aktivitas fisik, serta faktor
pencetus dan faktor yang memperberat gejala seperti udara dingin, dan jenis olahraga yang
dilakukan. Godfrey dkk. mencoba menyusun daftar jenis olahraga atau latihan fisik yang
diperkirakan dapat menimbulkan EIA, mulai dari yang tersering hingga yang jarang, yaitu lari
maraton, treadmill, sepeda ergometer, renang, atau jalan santai. Masing-masing jenis latihan
tersebut akan menimbulkan derajat penyempitan saluran respiratorik yang bervariasi. Gejala
EIA meliputi napas pendek, batuk, wheezing, rasa dada tertekan, dan sesak napas. Exercise-
induced asthma sering tidak dikenali oleh pasien maupun orangtuanya, serta tidak terdiagnosis
oleh dokter, sehingga tidak mendapat pengobatan yang sesuai. Dari 50 anak dengan keluhan
sakit dada, ternyata 12% di antaranya mengalami gejala EIA. Tabel 12 menunjukkan beberapa
temuan subyektif dan obyektif EIA.
Obyektif
1. Penurunan FEV1 10−15%
2. Proteksi terhadap penurunan FEV1 sebesar 15%
3. Respons positif terhadap pemberian bronkodilator
Dalam mendiagnosis EIA diperlukan suatu kuesioner untuk menuntun diagnosis kita, meskipun
kuesioner tersebut bukanlah metode diagnosis yang tepat. Kuesioner tersebut berkorelasi
dengan hasil pemeriksaan yang positif EIA pada pasien yang melakukan aktivitas fisik berupa
lari bebas selama 6 menit. Dengan demikian, lari bebas ini dapat digunakan sebagai uji tapis
EIA. Pemeriksaan spirometri setelah melakukan aktivitas fisik pada kondisi lingkungan tertentu
merupakan metode yang cukup optimal dalam mendiagnosis EIA. Meskipun dapat didiagnosis
secara klinis, konfirmasi pemeriksaan uji fungsi paru berupa derasnya arus puncak ekspirasi
(PEFR) maupun FEV1 pada EIA merupakan metode yang paling baik. Penurunan sebesar 15%
pada hasil kedua pemeriksaan tersebut setelah melakukan aktivitas fisik atau hiperventilasi
merupakan indikator yang cukup baik. Pasien dengan uji fungsi paru yang normal pada saat
istirahat dapat mengalami bronkokonstriksi hebat setelah melakukan suatu aktivitas fisik. Lima
puluh persen pasien asma yang sedang dalam terapi steroid inhalasi masih mungkin mengalami
EIA. Beratnya bronkospasme yang timbul berhubungan dengan tingkat ventilasi, kehilangan
cairan, dan kehilangan panas pada bronkus.
128
3.7.1.3 Patofisiologi
Patofisiologi EIA hingga saat ini masih terus diteliti. Penyebab yang pasti masih kontroversial.
Terdapat dua hipotesis, yaitu hipotesis termal (peran saluran respiratorik pada pertukaran
panas) dan hipotesis osmotik (kehilangan volume sel akibat penguapan air dari mukosa saluran
respiratorik). Pada hipotesis termal, mukosa saluran respiratorik menyalurkan panas dan energi
ke dalam saluran respiratorik maupun lapisan di bawah mukosa. Pada keadaan saluran
respiratorik yang dingin setelah aktifitas fisik, akan terjadi mekanisme pemanasan secara cepat,
dan mengakibatkan kongesti dan peningkatan permeabilitas vaskular, serta edema yang
akhirnya menimbulkan penyempitan bronkus. Pada hipotesis osmotik, penguapan air dari
mukosa saluran respiratorik akan menyebabkan timbulnya keadaan hiperosmolar, sehingga air
akan bergerak dari sel-sel di sekitarnya dan volume sel tersebut akan berkurang. Keringnya
mukosa saluran respiratorik dan keadaan hiperosmolaritas tersebut akan menyebabkan
degranulasi sel mast, selanjutnya terjadi pelepasan mediator-mediator inflamasi, antara lain
leukotrien, yang kemudian menimbulkan bronkokonstriksi.
Mediator-mediator lain yang ikut berperan pada EIA antara lain adalah prostaglandin,
konsentrasi adenosin plasma, dan nitric oxide (NO). Peningkatan permeabilitas vaskular pada
pasien asma dengan EIA mempunyai korelasi positif dengan kadar NO sputum, dan hal ini
berhubungan dengan beratnya EIA yang terjadi. Kadar NO akan lebih tinggi pada pasien asma
dengan EIA dibandingkan dengan yang tanpa EIA. Terdapat juga korelasi bermakna antara
kadar NO dan penurunan maksimal nilai FEV1 pada pasien EIA. Tingginya kadar NO ini
menyebabkan terjadinya bronkokonstriksi yang berkepanjangan.
Pasien asma dengan EIA juga menunjukkan jumlah eosinofil yang lebih tinggi daripada
kontrol, menggambarkan bahwa inflamasi saluran respiratorik berperan pada timbulnya dan
derajat beratnya EIA. Peningkatan eosinofil sputum hanya ditemukan pada anak dengan EIA
dibandingkan dengan kontrol.
Leukotrien juga meningkat pada beberapa anak dengan EIA. Keterlibatan leukotrien
pada EIA dapat dijelaskan melalui masuknya eosinofil. Pada anak dengan rinitis, kadar
leukotrien pada aspirat hidung setelah kontak dengan udara dingin dan kering meningkat
hingga empat kali kadar normal.
3.7.1.4 Terapi
3.7.1.4.1 Farmakologi
Hampir semua anak dengan EIA adalah asma persisten dengan aktivitas fisik sebagai pencetus
utama EIAnya. Penatalaksanaan asma persisten dengan obat pengendali kortikosteroid inhalasi
sangat membantu penyembuhan EIA. Akan dibahas beberapa obat yang berperan pada EIA.
1. Short-acting -agonist (SABA)
Pemakaian SABA sesaat sebelum aktivitas fisik merupakan cara klasik dalam mengatasi
EIA. Pengobatan ini bermanfaat pada anak dengan EIA yang tidak menderita asma
persisten. Akan tetapi, pemakaian salbutamol yang terus-menerus dalam waktu 1
minggu akan menyebabkan toleransi, sehingga terjadi penurunan efek proteksi obat
tersebut terhadap EIA.
2. Long-acting -agonist (LABA)
Formoterol memiliki efek proteksi pada atlet dengan EIA; penurunan FEV1 pada
pemakaian obat ini lebih kecil daripada kontrolnya. Salmeterol menunjukkan efek
proteksi selama 12 jam pada EIA, sementara salbutamol hanya 6 jam. Pemberian
salmeterol dosis tunggal dapat memberikan proteksi pada EIA dan juga efek terapinya
129
menetap sampai 12 minggu. Salmeterol dianjurkan pemberiannya bersama dengan
steroid inhalasi pada asma persisten.
3. Kortikosteroid inhalasi
Kortikosteroid inhalasi merupakan terapi utama asma persisten dan juga efektif pada
EIA. Penurunan nilai FEV1 setelah aktifitas fisik pada anak yang mendapat obat ini
ternyata lebih kecil dibandingkan dengan yang tidak. Kortikosteroid yang digunakan
adalah budesonid 100 atau 200 g per inhalasi pagi dan malam, atau flutikason
propionat 50 atau 100 g per inhalasi pagi dan malam. Pemberian obat ini dianjurkan
dalam jangka lama yaitu 4−24 minggu.
4. Leukotrien antagonis
Zafirlukast 20 mg dapat memberikan efek proteksi terhadap EIA 2−8 jam setelah
aktifitas fisik. Montelukast 5 mg memberikan efek proteksi, penurunan nilai FEV1 setelah
latihan fisik lebih kecil pada anak yang mendapat montelukast daripada kontrolnya. Baik
zafirlukast maupun montelukast, keduanya memberikan efek proteksi sebesar 42%.
3.7.1.4.2 Non-farmakologi
Diet rendah garam berefek positif dalam mencegah terjadinya EIA. Natrium dan klorida
menyebabkan perburukan gejala EIA pada pasien setelah mengkonsumsi garam dalam kadar
tinggi.
Untuk mencegah terjadinya EIA sebaiknya melakukan pemanasan sebelum berolahraga dan
diakhiri dengan pendinginan.
3.7.2.1 Penilaian
Untuk melakukan penilaian pada pasien asma dengan serangan malam hari sangatlah mudah.
Namun yang harus diingat bahwa penyakit lain juga dapat menyerupai asma. Pada
kenyataannya fungsi jantung akan mengalami penurunan pada malam hari sehingga pasien
yang telah memiliki kondisi lemah jantung terkompensasi, gejala gagal jantung dapat timbul
sesuai dengan irama nokturnal dan penurunan fungsi jantung tersebut akan menyebabkan
timbulnya gejala wheezing yang sering disalahartikan dengan serangan asma pada malam hari.
Secara objektif, pemeriksaan uji fungsi paru penting dalam melihat keparahan dari asma
nokturnal. Peak Flow Meter merupakan pemeriksaan yang murah dan dapat memberikan
gambaran buat pasien dan dokter mengenai perubahan fungsi paru pada malam hari sehingga
130
pasien lebih waspada terhadap kemungkinan serangan pada malam hari. Studi yang dilakukan
oleh Turner dan Warnick mengatakan proporsi pasien dengan serangan asma malam hari
memiliki derajat serangan berat kurang dari 50% sedangkan sebagian besar memiliki derajat
serangan ringan sampai sedang. Banyak pasien yang menjadi terbiasa dengan keadaan
penyempitan saluran respiratori tersebut sehingga tidak berpengaruh terhadap kehidupan
mereka sehari-hari. Banyak pasien asma yang tidak memiliki persepsi mengenai derajat
penyempitan saluran respiratori secara obyektif, sehingga diperlukan pengukuran dengan Peak
Flow Meter.
Pada sebagian kecil pasien asma, spirometri harian, respons terhadap bronkokondilator
inhalasi dan uji provokasi bronkus dapat memberikan hasil normal sehingga dapat membuat
keraguan dalam mendiagnosis asma. Pada kasus ini, penggunaan Peak Flow Meter di rumah
dapat menunjukkan adanya perubahan pada malam hari. Jika diperlukan informasi lebih lanjut
maka uji provokasi bronkus dengan menggunakan zat metakolin dapat dilakukan pada pukul
04.00 pagi.
Sangatlah penting bagi klinisi untuk mengevaluasi status asma seorang pasien pada
siang dan malam hari. Dengan melakukan penilaian terhadap pengukuran Peak Flow Meter
harian (pagi dan sore hari), klinisi dapat mengerti keadaan asma seorang pasien secara
menyeluruh dan kemudian dapat dijadikan panduan pengobatan. Potensi terjadinya
kegawatdaruratan dapat diketahui lebih dini sehingga dapat mengurangi kemungkinan perlunya
perawatan di rumah sakit.
3.7.2.2 Penatalaksanaan
Tujuan penatalaksanaan asma nokturnal adalah mempertahan fungsi paru mendekati normal
dan memperbaiki kualitas tidur. Kualitas tidur yang buruk dapat mempengaruhi fungsi harian
dan menimbulkan masalah sosial dan mental. Untuk dapat melakukan penatalaksanaan asma
nokturnal, sebaiknya dimengerti konsep multifaktorial dari terjadinya asma nokturnal. Pada
gambar dapat dilihat faktor-faktor yang dapat berinteraksi sehingga menimbulkan terjadinya
asma nokturnal (gambar 3.7.1). Pada malam hari terjadi penurunan kadar kortisol, adrenalin
dan temperatur tubuh serta peningkatan tonus vagal yang terjadi secara normal sesuai dengan
irama sirkadian tubuh. Peningkatan inflamasi yang diakibatkan oleh penurunan kortisol dan
adrenalin tersebut menyebabkan terjadinya serangan asma pada malam hari.
131
Variasi
sirkadian
Kortisol Epinefrin
SaO2
Reaktivitas
bronkial Sinus apnu
saluran
respiratori-atas
Asma Nokturnal
Gambar 3.7.1 Faktor-faktor yang berinteraksi hingga timbulnya perburukan gejala asma pada malam
hari.
Sumber: Martin R. Specific Problems: Nocturnal Asthma. Dalam: O‘Byrne PM, Thomson NC, penyunting. Management of asthma,
London, WB Saunders, 2001.
Faktor reversibilitas
Faktor ekstrinsik harus dipertimbangkan pada setiap pasien meskipun faktor-faktor tersebut
sulit untuk diketahui. Walaupun seorang pasien tidak menunjukkan gejala pada siang hari,
namun agen-agen pencetus (faktor ekstrinsik) yang terdapat di lingkungannya, baik di
lingkungan kerja ataupun rumah (seperti bulu binatang, debu kayu) juga dapat menyebabkan
timbulnya gejala atau efek lambat dan asma nokturnal.
Asma merupakan penyakit yang melibatkan rongga toraks dalam dan di luar saluran
napas, serta penyakit sinusitis timbul pada sekitar 40-60% pasien asma. Sekresi cairan sinus
yang teraspirasi dapat memperburuk penyakit asma. Pada pasien dengan keadaan tersebut,
mengobati sinusitis dengan irigasi menggunakan larutan salin, dekongestan oral, dan steroid
nasal dapat memperbaiki asma nokturnal. Steroid oral dan antibiotik selama 3-4 minggu dapat
diberikan pada kasus sinusitis yang berat. Tindakan bedah sangat jarang diperlukan pada
pasien sinusitis dengan asma.
Refluks Gastroesofageal saja tidak terbukti sebagai salah satu etiologi terjadinya asma
nokturnal. Namun, aspirasi dari bahan refluks dapat berperan dalam menimbulkan asma
nokturnal. Keluhan adanya rasa pahit atau asam pada lidah dapat menjadi gejala refluks yang
terjadi pada saat tidur. Pada keadaan ini maka dapat dicoba penggunaan batang kayu atau
batu bata berukuran 4 inci yang diletakkan di bawah kepala (tidur menggunakan bantal
dikatakan tidak membantu). Pemberian obat yang dapat mempercepat pengosongan isi
lambung (metoklorpropamid) dapat membantu. Tindakan bedah jarang sekali digunakan, tetapi
132
dapat menjadi terapi pilihan apabila aspirasi memang terbukti terjadi pada pasien dan tindakan
konservatif tidak memberikan perbaikan.
Pasien asma yang mengalami hipersomnolen, mendengkur dengan keras, irritabel,
gelisah dalam tidur, hipertensi, eritrositosis ataupun ada gejala dan tanda lain dari sleep apnea,
sebaiknya dilakukan pemeriksaan untuk melihat adanya kemungkinan tersebut. Baik pasien
anak ataupun dewasa dengan asma yang berhubungan dengan sleep apnea, dapat mengalami
perburukan gejala asma nokturnal. Yang menarik adalah, dengan mengobati sleep apnea, akan
timbul perbaikan pada gejala asma nokturnal maupun asma yang terjadi pada siang hari.
Banyak macam terapi yang dapat digunakan untuk mengatasi sleep apnea, namun CPAP nasal
merupakan metode yang paling berhasil.
B2 -Adrenergik agonis
Salmeterol, suatu B2 Agonis kerja panjang, dapat digunakan untuk mengatasi asma nokturnal.
Salmeterol dapat mengurangi gejala asma melalui kerjanya yang dapat merelaksasi otot polos
dan efek anti inflamasi yang masih diperdebatkan sampai sekarang. Butchers dkk melakukan
penelitian pada penderita asma dan menemukan bahwa Salmeterol dapat menurunkan
pengeluaran mediator inflamasi seperti histamin, Leukotrien C4 dan D4 dari jaringan paru
manusia secara in vitro.
Dosis 50 µg Salmeterol dapat memperbaiki kualitas tidur serta dosis 50-100 µg secara
inhalasi 2 kali sehari akan memperbaiki arus puncak pagi hari bila dibandingkan dengan
placebo. Penelitian lain mengatakan bahwa salmeterol lebih superior dibandingkan teofilin dan
placebo dalam mempertahankan nilai PEF pada pagi hari dan mencegah gangguan fungsi paru
pada malam hari. Dosis Salmeterol yang lebih tinggi dapat merangsang kerja sistem saraf
pusat. Studi lain mengatakan bahwa pada pasien asma nokturnal dengan gejala yang lebih
parah, terdapat perbaikan nilai fungsi paru pada waktu tidur dan bangun namun masih terdapat
penurunan fungsi paru pada malam hari.
Teofilin
Zwillich dkk menunjukkan adanya keunggulan penggunaan teofilin lepas berkala (12 jam)
dalam mengobati pasien asma dengan serangan nokturnal ringan sampai sedang bila
dibandingkan dengan B2 Agonis inhalasi kerja pendek. Tidak hanya perbaikan dalam FEV1 pada
waktu pagi, tetapi juga didapati lebih sedikit desaturasi oksigen pada malam hari. Tidak
ditemukannya perubahan kualitas tidur antara dua obat tersebut.
Pada pasien asma nokturnal, kronoterapi dapat dilakukan untuk mendapatkan
konsentrasi serum teofilin malam hari yang lebih tinggi, saat penyakit memburuk, dan
konsentrasi serum teofilin yang lebih rendah pada siang hari, yaitu saat lebih jarang terjadi
bronkokontriksi. Membandingkan antara 2 preparat teofilin dengan farmakokinetik yang
berbeda, Martin dkk menunjukkan bahwa konsentrasi serum teofilin yang tinggi (+15 µg/ml)
antara pukul 03.00-05.00 pagi menyebabkan perbaikan fungsi paru yang nyata pada malam
hari bila dibandingkan dengan konsentrasi rendah (+11,5 µg/ml). Pada siang harinya, obat
dengan konsentrasi serum teofilin yang tinggi pada malam hari (dosis tunggal harian pada
pukul 19.00), akan mengalami penurunan yang progresif dengan konsentrasi terendah 8 µg/ml
sebelum dosis berikutnya diberikan. Ini merupakan alasan yang kuat untuk memberikan
konsentrasi obat yang lebih tinggi pada malam hari. Banyak studi yang dilakukan terhadap
teofilin dengan metode kronoterapi memberikan hasil serupa.
Hasil penelitian lain menyatakan bahwa teofilin memiliki efek sebagai antiinflamasi.
Peningkatan inflamasi pada malam hari dan perbaikan asma nokturnal oleh teofilin dapat
diterangkan dengan penurunan kadar Leukotrien B4 dan granulositosit di paru-paru.
133
Kostikosteroid
Contoh yang lain dalam metode kronoterapi adalah dalam penggunaan kortikosteroid oral. Jika
pasien asma membutuhkan steroid, maka sebaiknya diusahakan dengan cara inhalasi. Meskipun
dinyatakan bahwa kortikosteroid inhalasi hanya memberikan perbaikan pada 50% pasien.
Terdapat banyak pasien asma nokturnal yang bergantung pada kortikosteroid oral.
Peningkatkan dosis kortikosteroid pada pagi hari hanya akan mengakibatkan bertambahnya
komplikasi steroid, tanpa memberikan perbaikan asma nokturnal.
Beam dkk menyatakan bahwa waktu pemberian kortikosteroid yang tepat berperan
pada pencegahan masuknya sel-sel inflamasi ke paru sesuai irama sirkadian. Hasil penelitian
tersebut menekankan terdapatnya hubungan antara dosis dan waktu pemberian prednison
terhadap penurunan perburukan fungsi paru pada malam hari dan penurunan inflamasi saluran
napas. Pada pemberian pukul 15.00 dikatakan akan terjadi perbaikan FEV1 sepanjang malam
(kontrol placebo, -28% + 7%; steroid, -10% + 4%). Pemberian prednison pada pukul 15.00
juga menyebabkan penurunan semua jenis sel berdasarkan hasil pemeriksaan sitologi bilas
bronkoaveolar yang dilakukan pada pukul 04.00. Waktu pemberian pukul 08.00 ataupun 20.00
tidak akan memberikan perbaikan pada hasil spirometri yang dilakukan sepanjang malam atau
penurunan dari sel-sel pada pemeriksaan bilas bronkoalveolar. Martin dkk juga menyatakan
terdapat peningkatan leukosit total, neutrofil, eosinofil dan limfosit pada bilas bronkoalveolar
yang dilakukan pada pukul 04.00 dibandingkan dengan pukul 16.00. Observasi tersebut
meyakinkan adanya kolaborasi mekanisme selular dalam menimbulkan inflamasi malam hari,
yang sensitive terhadap pemberian kortikosteroid, tetapi tidak hanya dosis yang berperan tetapi
juga waktu pemberian obat.
Penggunaan steroid inhalasi dapat dipertimbangkan pada pasien asma nokturnal, tetapi
berbagai penelitian memberikan hasil yang beranekaragam. Horn dkk mengatakan, berdasarkan
studi yang dilakukan pada 14 pasien asma nokturnal dengan penurunan arus puncak pada pagi
hari, hanya 8 pasien yang membaik dengan Beklometason inhalasi (selain Salbutamol inhalasi).
Dosis Beklometasone yang diberikan lebih tinggi dari dosis biasa yaitu 400 µg empat kali sehari.
Walaupun ke-6 pasien lainnya mengalami perbaikan fungsi paru pada siang hari, tetapi tidak
ditemukan perbaikan fungsi paru pada malam hari. Pertanyaan yang kemudian timbul adalah
kapankah waktu yang tepat dalam memberikan steroid inhalasi yang dapat memperbaiki asma
nokturnal.
Pincus dkk menyatakan secara jelas bahwa pemberian steroid inhalasi pada pukul 15.00
dengan dosis yang sama dengan dosis total harian (empat kali sehari) memberikan hasil akhir
yang sama. Walaupun pemberian dosis total harian steroid inhalasi pada pukul 08.00 dapat
memberikan perbaikan, namun hasil akhirnya tidak sebaik bila dibandingkan dengan pemberian
dosis terbagi empat kali sehari. Pemberian dosis total harian pada pukul 17.30 memberikan
hasil yang lebih baik daripada pemberian pukul 08.00 pagi, namun hasil akhirnya tidak lebih
baik dibandingkan dengan pemberian total dosis pada pukul 15.00 ataupun dosis terbagi
(empat kali per harinya). Sehingga dapat disimpulkan bahwa waktu pemberian steroid inhalasi
memegang peran penting.
Antikolinergik
Peningkatan tonus vagal pada malam hari terjadi pada setiap orang. Morrison dkk menunjukkan
bahwa pemberian atropin dapat menimbulkan bronkodilatasi pada pukul 04.00 dibandingkan
dengan pukul 16.00. Dibutuhkan dosis malam hari yang lebih tinggi daripada dosis siang hari
untuk memperpanjang waktu efektif kerja obat, namun hal tersebut dapat meningkatkan
timbulnya efek samping. Apabila pasien terbangun pada malam hari, inhalasi atropin ataupun
ipratropium bromida dapat memberikan manfaat.
134
Modifikasi Leukotrien
Obat ini memerlukan evaluasi lebih lanjut yang berhubungan dengan dosis dan waktu
pemberian serta kemampuannya mempengaruhi respons inflamasi pada malam hari. Walaupun
demikian, pada pasien yang gagal dengan semua pengobatan yang telah disebutkan di atas,
obat ini dapat diberikan. Efektivitas obat pada setiap pasien dapat dipantau dengan
pemeriksaan obyektif seperti PFR dan perbaikan gejala yang terjadi.
Daftar pustaka
1. Anderson SD, Mellis CM. Clinical presentation and on going clinical and physiologic assessment of
asthma in children. Dalam: Taussig LM, Landau LI, penyunting. Pediatric respiratory medicine. St
Louis: Mosby Inc.; 1999. h. 938–57.
2. Baki A, Orhan F. The effect of loratadine in exercise-induced asthma. Arch Dis Child 2002;86:38–9.
3. Cabral AL, Conceicao GM, Martins MA. Exercise-induced bronchospasm in children. Am J of Resp and
Crit Med 1999;159:1819–23.
4. Gruber W, Eber E, Malle-Scheid D, Pfleger A. Laser acupuncture in children and adolescents with
exercise-induced asthma. Thorax 2002;57:222–5.
5. Leff JA, Busse WW, Pearlman D, Bronsky EA. Montelukast, A Leukotrien-receptor antagonist, for the
treatment of mild-asthma and exercise-induced bronchoconstriction. The New England J of Med
1998;339(3):147–52.
6. Milgrom H, Taussig LM. Keeping children with exercise-induced asthma active. Pediatrics
1999;104(3):1–5.
7. Sheth KK. Activity-induced asthma. The Pediatric Clinics of North America 2003;50:697–716.
8. Martin R. Specific Problems: Nocturnal Asthma. Dalam: O‘Byrne PM, Thomson NC, penyunting.
Management of asthma. London: WB Saunders; 2001. h. 487-93.
9. Wiegand L, Mende CN, Zaidel G, Zwillich CW, Petrocella VJ, Yancey SW, dkk. Salmeterol vs
Theophylline: Sleep and Efficacy Outcomes in Patients With Nocturnal Asthma. Chest 1999;115:1525-
1532
135
3.8 Pencegahan asma
Oma Rosmayudi, Bambang Supriyatno
Prevalens asma pada anak semakin meningkat dari waktu ke waktu, baik di negara maju
maupun di negara berkembang. Peningkatan ini diduga karena perubahan pola hidup, diet yang
tidak sesuai, dan faktor lingkungan seperti polutan, baik indoor maupun outdoor pollutants.
Faktor risiko asma telah banyak diketahui, sehingga berbagai upaya telah dilakukan untuk
mengurangi prevalens asma. Upaya diagnosis dan tatalaksana asma semakin berkembang
seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan, tetapi prevalens asma tetap tinggi. Pencegahan
pada asma terbagi menjadi tiga kelompok, yaitu pencegahan primer, sekunder, dan tersier.
Pencegahan primer bertujuan untuk mencegah terjadinya sensitisasi pada bayi yang
belum tersensisitisasi. Pencegahan primer ini dapat dilakukan prenatal atau pascanatal.
Pencegahan sekunder bertujuan untuk mencegah terjadinya inflamasi/asma pada bayi/anak
yang sudah tersensitisasi. Pencegahan tersier bertujuan mencegah terjadinya serangan akut
atau eksaserbasi pada bayi/anak asma. Pada bab ini lebih ditekankan pada pencegahan primer.
Telah dikemukakan di atas bahwa menghindari faktor risiko merupakan salah satu
langkah tatalaksana asma, baik pencegahan primer, sekunder, maupun tersier. Di bawah ini
akan dijelaskan mengenai ketiga pencegahan tersebut, dengan penekanan pada pencegahan
primer.
136
Pada masa pascanatal, bayi dihindari dari pemberian air susu ibu (ASI) yang
mengandung makanan yang dapat menyebabkan alergi. Pemberian ASI saja yang lama (>4
bulan) dapat mengurangi risiko asma di kemudian hari. Peat dkk. meneliti pemberian ASI, yaitu
selama kurang dari 3 bulan dan lebih dari 3 bulan, dan mendapatkan bahwa pemberian ASI >3
bulan merupakan faktor protektif terhadap terjadinya asma. Mihrshashi, pada childhood asthma
prevention study (CAPS), meneliti bahwa bayi yang dihindari dari paparan terhadap tungau
debu rumah dan diberikan diet omega-3 selama 18 bulan dapat menurunkan prevalens asma.
Selain hal tersebut, yang saat ini masih kontroversial adalah apakah pemberian antibiotik pada
awal kehidupan, tinggal di daerah pertanian, tingginya kadar endoktoksin pada tungau debu
rumah, paparan terhadap binatang peliharaan, serta pemberian sayur merupakan proteksi atau
justru faktor risiko.
Sherman melaporkan bahwa pemberian antibiotik pada awal kehidupan dapat
meningkatkan kejadian asma. Hal ini dibantah oleh Coledon dkk., yang mendapatkan data
bahwa pemberian antibiotik pada awal kehidupan tidak mempengaruhi prevalens asma. Pada
anak yang tinggal di daerah pertanian yang banyak kerbaunya ternyata mempunyai kejadian
asma yang lebih rendah daripada anak yang tidak tinggal di daerah pertanian. Tingginya kadar
endotoksin (toksin dari kuman gram negatif) justru bersifat dualisme. Pada awal kehidupan,
tingginya kadar endotoksin pada tungau debu rumah akan menurunkan kejadian asma,
sedangkan pada anak yang lebih besar, paparan tersebut justru meningkatkan prevalens asma.
Sayangnya, batas usianya tidak dijelaskan secara tegas.
Mengenai hewan piaraan seperti anjing dan kucing, hal ini masih diperdebatkan. Ada
yang menganggap bahwa bila bayi terpapar dengan hewan peliharaan (khususnya anjing dan
kucing), justru akan menurunkan prevalens asma, tetapi hal ini masih memerlukan penelitian
lebih lanjut.
Pemberian probiotik untuk menurunkan kejadian asma saat ini banyak dibicarakan.
Diperkirakan caranya adalah melalui supresi Th2 yang berperan terhadap inflamasi dan produksi
imunoglobulin A (IgA). Faktor yang meningkatkan prevalens asma yang sudah disepakati
adalah infeksi respiratory sincytial virus (RSV). Ada dua kemungkinan mekanisme terjadinya
peningkatan tersebut. Mekanisme pertama, mungkin saja pada anak tersebut, yang telah
mempunyai riwayat atopi, melakukan reaksi yang berlebihan terhadap infeksi RSV, sehingga
kerusakan pada saluran respiratorik menjadi lebih hebat dan berdampak di kemudian hari.
Mekanisme kedua, infeksi RSV akan mengakibatkan kerusakan hebat pada saluran respiratorik,
sehingga kerusakan tersebut berdampak di kemudian hari.
Selain pemberian probiotik pada bayi, yang telah banyak dilakukan adalah pemberian
susu hipoalergenik (susu dengan protein hidrolisat). Von Berg dkk. meneliti dengan cara
prospektif, acak, dan buta ganda, membandingkan antara pemberian susu protein hidrolisat
dan susu formula (susu sapi). Hasil yang diperoleh adalah penggunaan susu hidrolisat dapat
menurunkan prevalens manifestasi alergi (OR: 0,51; CI 95%: 0,28−0,92), menurunkan insidens
dermatitis atopik (OR: 0,42; CI 95%: 0,22−0,79). Meskipun demikian, hal ini masih
memerlukan penelitian yang lebih lanjut.
137
asma sebanyak 50% bila anak tersebut hanya alergi terhadap debu rumah dan serbuk sari.
Hanya saja, obat ini secara keseluruhan tetap tidak dapat menurunkan kejadian asma.
Selain pemberian obat-obatan tersebut, faktor risiko lain seperti alergen harus dihindari
juga. Penghindaran pada pencegahan sekunder juga sama seperti pada pencegahan primer,
sebab tanpa penghindaran terhadap alergen maka pencegahan sekunder menjadi tidak
bermakna. Akan tetapi, pencegahan sekunder ini masih memerlukan penelitian yang lebih
lanjut. Penggunaan ICS jangka panjang masih kontroversial.
Daftar pustaka
1. Global Initiative for Asthma. NHLBI/WHO Workshop Report (Revised). 2002.
2. Peat JK, Li J. Reversing the trend: reducing the prevalence of asthma. J Allergy Clin Immunol
1999;103:1–10.
3. UKK Pulmonologi PP IDAI. Pedoman Nasional Asma Anak. 2002.
4. Platts-Mills TAE, Sporik RB, Chapman MD, Heymann FW. The role of domestic allergens. Dalam:
Chadwick D, Cardew G, penyunting. The rising trends in asthma. Chichester: Wiley and Son; 1997. h.
190–207.
5. Lemanse RF. Issues in understanding pediatric asthma: epidemiology and genetics. J Allergy Clin
Immunol 2002;109:S521–4.
6. Moller C, Dreborg S, Ferdousi HA, dkk. Pollen immunotherapy reduces the development of asthma in
children with seasonal rhinoconjunctivitis (the PAT-study). J Allergy Clin Immunol 2002;109:251–6.
7. Celedon JC, Litonjua AA, Ryan L, Weiss ST, Gold DR. Lack of association between antibiotic use in
the first year of life and asthma, allergic rhinitis, or eczema at age 5 years. Am J Respir Crit Care
Med 2002;166:72–5.
8. Leynaret B, Neukirch C, Jarvis D, dkk. Does living on a farm during childhood protect against asthma,
allergic rhinitis, and atopy in adulthood?. Am J Respir Crit Care Med 2001;164:1829–34.
9. Mihrshasi S, Peat JK, Marks GB, dkk. Eighteen-month outcome of house dust mite avoidance and
dietary fattyacid modification in the childhood asthma prevention study (CAPS). J Allergy Clin
Immunol 2003;111:162–8.
10. Mutius EV, Martinez FD, Fritzsch C, Nicolai T, Roell G, Thiemann HH. Prevalence of asthma and atopy
in two areas of west and east Germany. Am J Respir Crit Care Med 1994;149:358–64.
11. Ellwood P, Asher MI, Bjorksten B, dkk. Diet and asthma, allergic rhinconjunctivitis and atopic eczema
symptom prevalence: an ecological analysis of the international study of asthma and allergies in
childhood (ISAAC) data. Eur Respir J 2001;17:436–43.
138
12. Remes ST, Castro-Rodriguez JA, Holberg JC, dkk. Dog exposure in infancy decreases the subsequent
risk of frequent wheeze but not of atopy. J Allergy Clin Immunol 2001;108:509–15.
13. Martinez FD, Stern DA, Wright AL, Taussig LM, Halonen M. Differential immune responses to acute
lower respiratory illness in early life and subsequent development of persistent wheezing and
asthma. J Allergy Clin Immunol 1998;102:915–20.
14. Sherman J. Can we prevent asthma?. J Pediatr Obstetr Gynaecol 2002;28:13–8.
15. Ernst P, Cormier Y. Relative scarcity of asthma and atopy among rural adolescents raised on a farm.
Am J Respir Crit Care Med 2000;161:1563–6.
16. Liu AH. Endotoxin exposure in allergy and asthma: reconciling a paradox. J Allergy Clin Immunol
2002;109:379–92.
17. Litonjua AA, Milton DK, Celedon JC, dkk. A longitudinal analysis of wheezing in young children: the
independent effects of early life exposure to house dust endotoxin, allergens, and pets. J Allergy Clin
Immunol 2002;110:736–42.
18. Von Berg A, KoletzkoS, Grubl A, dkk. The effect of hydrolyzed cow‘s milk formula for allergy
prevention in the first year of life: the German infant nutritional intervention study, a randomized
double-blind trial. J Allergy Clin Immunol 2003;111:533–40.
19. Dreborg S. Dietary prevention of allergy, atopy, and allergic diseases. J Allergy Clin Immunol
2003;111:467–70.
20. ETAC Study Group, Wahn U. Allergic factors associated with the development of asthma and the
influence of cetirizine in a double-blind, randomized, placebo-controlled trial: first results of ETAC.
Pediatr Allergy Immunol 1998;9:116–24.
21. Mutius EV. Presentation of new GINA guidelines for pediatrics. Clin Exp Allergy 2000;30:S6–10.
22. Hide DW, matthews S, Matthews L, dkk. Effects of allergen avoidance in infancy on allergic
manifestation at age two years. J Allergy Clin Immunol 1994;93:842–6.
23. Carter MC, Perzanowski MS, Raymond A, Platts-Mills TAE. Home intervention in the treatment of
asthma among inner-city children. J Allergy Clin Immunol 2001;108:732–7.
24. Shapiro GG, Stout JW. Childhood asthma in the United States: urban issues. Pediatr Pulmonol
2002;33:47–55.
25. Pfleger A, Eber E, Weinhandl E, Zach MS. Effect of nedocromil and salbutamol on airway reactivity in
children with asthma. Eur Respir J 2002;20:624–9.
139
4
Tuberkulosis
4.1 Epidemiologi
Cissy B Kartasasmita, Darfioes Basir
Sejak akhir tahun 1990-an, dilakukan deteksi terhadap beberapa penyakit yang kembali muncul
dan menjadi masalah (re-emerging disease), terutama di negara maju. Salah satu di antaranya
adalah TB. World health organization memperkirakan bahwa sepertiga penduduk dunia (2 miliar
orang) telah terinfeksi oleh M. tuberculosis, dengan angka tertinggi di Afrika, Asia, dan Amerika
Latin.
Tuberkulosis, terutama TB paru, merupakan masalah yang timbul tidak hanya di negara
berkembang, tetapi juga di negara maju. Tuberkulosis tetap merupakan salah satu penyebab
tingginya angka morbiditas dan mortalitas, baik di negara berkembang maupun di negara maju.
Ada tiga hal yang mempengaruhi epidemiologi TB setelah tahun 1990, yaitu perubahan strategi
pengendalian, infeksi HIV, dan pertumbuhan populasi yang cepat.
4.1.1 Prevalens
Morbiditas dan mortalitas
Laporan mengenai TB anak jarang didapatkan. Diperkirakan jumlah kasus TB anak per tahun
adalah 5−6% dari total kasus TB. Berdasarkan laporan tahun 1985, dari 1261 kasus TB anak
berusia <15 tahun, 63% di antaranya berusia <5 tahun. Pada survei nasional di Inggris dan
Wales yang berlangsung selama setahun pada tahun 1983, didapatkan bahwa 452 anak berusia
<15 tahun menderita TB (MRCT-CDU, 1988). Dari Alabama, Amerika, dilaporkan bahwa selama
11 (tahun 1983−1993) didapatkan 171 kasus TB anak usia <15 tahun. Di negara berkembang,
TB pada anak berusia <15 tahun adalah 15% dari seluruh kasus TB, sedangkan di negara
maju, angkanya lebih rendah, yaitu 5−7%.
Pada tahun 1989, WHO memperkirakan bahwa setiap tahun terdapat 1,3 juta kasus
baru TB anak, dan 450.000 anak usia <15 tahun meninggal dunia karena TB. Kasus baru
diperkirakan akan meningkat setiap tahun, dari 7,5 juta kasus (143 kasus per 100.000
penduduk) pada tahun 1990, menjadi 8,8 juta kasus (152 kasus per 100.000 penduduk) pada
tahun 1995, menjadi 10,2 juta kasus (163 kasus per 100.000 penduduk) pada tahun 2000, dan
akan mencapai 11,9 juta kasus pada tahun 2005.
Total insidens TB selama 10 tahun, dari tahun 1990−1999, diperkirakan sebanyak 88,2
juta penyandang TB, 8 juta di antaranya berhubungan dengan infeksi HIV. Pada tahun 2000
terdapat 1,8 juta kematian akibat TB, 226.000 di antaranya berhubungan dengan HIV.
Selama tahun 1985−1992, peningkatan TB paling banyak terjadi pada usia 25−44 tahun
(54,5%), diikuti oleh usia 0−4 tahun (36,1%), dan 5−12 tahun (38,1%). Pada tahun 2005,
140
diperkirakan kasus TB naik 58% dari tahun 1990, 90% di antaranya terjadi di negara
berkembang.
Di Amerika Serikat dan Kanada, peningkatan TB pada anak berusia 0−4 tahun adalah
19%, sedangkan pada usia 5−15 tahun adalah 40%. Di Asia Tenggara, selama 10 tahun,
diperkirakan bahwa jumlah kasus baru adalah 35,1 juta, 8% di antaranya (2,8 juta) disertai
infeksi HIV. Menurut WHO (1994), Indonesia menduduki peringkat ketiga dalam jumlah kasus
baru TB (0,4 juta kasus baru), setelah India (2,1 juta kasus) dan Cina (1,1 juta kasus).
Sebanyak 10% dari seluruh kasus terjadi pada anak berusia <15 tahun.
Peningkatan jumlah kasus TB di berbagai tempat pada saat ini, diduga disebabkan oleh
berbagai hal, yaitu: (1) diagnosis tidak tepat, (2) pengobatan tidak adekuat, (3) program
penanggulangan tidak dilaksanakan dengan tepat, (4) infeksi endemik HIV, (5) migrasi
penduduk, (6) mengobati sendiri (self treatment), (7) meningkatnya kemiskinan, dan (8)
pelayanan kesehatan yang kurang memadai.
Tuberkulosis anak merupakan faktor penting di negara-negara berkembang karena
jumlah anak berusia <15 tahun adalah 40−50% dari jumlah seluruh populasi (Gambar 4.1.1).
Pada tahun 1990, jumlah kematian karena TB di dunia diperkirakan hampir sebesar 3
juta dan hampir 90% kematian tersebut terjadi di negara berkembang. Pada tahun 2000,
jumlah kematian diperkirakan sebesar 3,5 juta.
Menurut perkiraan WHO pada tahun 1999, jumlah kasus TB baru di Indonesia adalah
583.000 orang per tahun dan menyebabkan kematian sekitar 140.000 orang per tahun. World
Health Organization memperkirakan bahwa TB merupakan penyakit infeksi yang paling banyak
menyebabkan kematian pada anak dan orang dewasa. Kematian akibat TB lebih banyak
daripada kematian akibat malaria dan AIDS. Pada wanita, kematian akibat TB lebih banyak dari
pada kematian karena kehamilan, persalinan, dan nifas.
Jumlah seluruh kasus TB anak dari tujuh Rumah Sakit (RS) Pusat Pendidikan di
Indonesia selama 5 tahun (1998−2002) adalah 1086 penyandang TB dengan angka kematian
yang bervariasi dari 0%−14,1%. Kelompok usia terbanyak adalah 12−60 bulan (42,9%),
sedangkan untuk bayi <12 bulan didapatkan 16,5%.
Karena sulitnya menegakkan diagnosis TB pada anak, data TB anak sangat terbatas,
termasuk di Indonesia. Untuk mengatasi kesulitan tersebut, WHO sedang melakukan upaya
dengan cara membuat konsensus diagnosis di berbagai negara. Dengan adanya konsensus ini,
141
diharapkan diagnosis TB anak dapat ditegakkan, sehingga kemungkinan ―overdiagnosis‖ atau
―underdiagnosis‖ dapat diperkecil dan angka prevalens pastinya dapat diketahui.
142
positif memiliki risiko tinggi terinfeksi TB. Semakin erat bayi tersebut dengan ibunya, semakin
besar pula kemungkinan bayi tersebut terpajan percik renik (droplet nuclei) yang infeksius.
Risiko timbulnya transmisi kuman dari orang dewasa ke anak akan lebih tinggi jika
pasien dewasa tersebut mempunyai BTA sputum positif, infiltrat luas atau kavitas pada lobus
atas, produksi sputum banyak dan encer, batuk produktif dan kuat, serta terdapat faktor
lingkungan yang kurang sehat terutama sirkulasi udara yang tidak baik.
Pasien TB anak jarang menularkan kuman pada anak lain atau orang dewasa di
sekitarnya. Hal ini dikarenakan kuman TB sangat jarang ditemukan di dalam sekret
endobronkial pasien anak. Ada beberapa hal yang dapat menjelaskan hal tersebut. Pertama,
jumlah kuman pada TB anak biasanya sedikit (paucibacillary), tetapi karena imunitas anak
masih lemah, jumlah yang sedikit tersebut sudah mampu menyebabkan sakit. Kedua, lokasi
infeksi primer yang kemudian berkembang menjadi sakit TB primer biasanya terjadi di daerah
parenkim yang jauh dari bronkus, sehingga tidak terjadi produksi sputum. Ketiga, tidak
ada/sedikitnya produksi sputum dan tidak terdapatnya reseptor batuk di daerah parenkim
menyebabkan jarangnya terdapat gejala batuk pada TB anak.
143
meningkatnya epidemi HIV dan resistensi multiobat (multidrug resistance), bahkan sekarang
sudah terjadi resistensi obat yang ekstrim (extreme drug resistance).
Secara ringkas risiko sakit TB pada anak yang terinfeksi TB dapat dilihat pada Tabel
4.1.1.
Tabel 4.1.1 Risiko Sakit Tuberkulosis pada Anak yang Terinfeksi Tuberkulosis
Risiko sakit
Umur saat
TB Diseminata
infeksi
Tidak Sakit TB Paru (milier,
Primer (tahun)
meningitis)
<1 50% 30−40% 10−20%
1−2 75−80% 10−20% 2−5%
2−5 95% 5% 0.5%
5−10 98% 2% <0.5%
>10 80−90% 10−20% <0.5%
Sumber: Marais dkk. Int J Tuberc Lung Dis 2004;8:392 dan Marais dkk. Am J Respir Crit Care Med 2006; 173: 1078−90.)
Daftar pustaka
1. Committee on infectious diseases: screening for tuberculosis in infant and children. Pediatrics
1999;93:131–4.
2. Depkes RI. Pedoman nasional penanggulangan tuberkulosis. Cetakan ke-8. Jakarta: Departemen
Kesehatan Republik Indonesia; 2002.
3. Depkes RI. Rencana strategi nasional penanggulangan tuberkulosis tahun 2002-2006. Jakarta:
Departemen Kesehatan RI; 2001.
4. Donald PR. Childhood tuberculosis: the hidden epidemic. Int J Tuberc Lung Dis 2004;8:627–9.
5. Dye C, Scheele S, Dolin P, dkk. Global burden of tuberculosis: estimated incidence, prevalence, and
mortality by country. JAMA 1999;282:677–86.
6. Enarson DA, Rovillon A. Childhood tuberculosis: the epidemiological basis of tuberculosis control.
Dalam: Davies PDO, penyunting. Clinical tuberculosis. London: Chadran & Hall Medical; 1994. h. 19–
32.
7. Inselman LS, Kendig EL. Tuberculosis. Dalam: Kendig‘s disorders of the respiratory tract in children.
Edisi ke-6. Philadelphia: Saunders; 1998. h. 883–920.
8. Inselman LS. Tuberculosis in children: an update. Pediatr Pulmonol 1996;21:101–20.
9. Kartasasmita CB, Said M, Supriyatno B, dkk. Penapisan dan pengobatan tuberkulosis pada anak
sekolah dasar di Majalaya, Kabupaten Bandung. MKB 2001;3:105–12.
10. Kartasasmita CB. Childhood tuberculosis in the community. Disampaikan pada International Paediatric
Respiratory and Allergy Congress; 2001; Prague, Czech Republic.
11. Kimerling ME, Vaughn ES, Dunlap NE. Childhood tuberculosis in Alabama: epidemiology of disease
and indicators of program effectiveness, 1983 to 1993. Paed Infect Dis 1995;14:678–84.
12. Kochi A. The global tuberculosis situation and the new control strategy of the world health
organization. Tubercle 1991;72:1–6.
13. Espinal MA, Raviglione. Global Epidemiology of Tuberculosis. Dalam: Madkour MM, penyunting.
Tuberculosis. Berlin: Springer; 2004. h. 33-43
14. Medical Research Council Tuberculosis and Chest Disease Unit (MRCT-CDU). Tuberculosis in children:
a national survey of notifications in England and Wales in 1983. Arch Dis of Child 1988;63:266–76.
15. Medical Section of the American Lung Association. Control of tuberculosis in the United State. ATS
1992;1623–33.
16. Munoz FM, Starke JR. Tuberculosis (Mycobacterium tuberculosis). Dalam: Berhrman RE, Kliegman
RM, Jenson HB, penyunting. Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke-17. Philadelphia: Saunders; 2004.
h. 958–72.
144
17. Nelson LJ, Wells CD. Global epidemiology of childhood tuberculosis. Int J Tuberc Lung Dis
2004;8(5):636–47.
18. Raviglione MC, Snider DE, Kochi A. Global epidemiology of tuberculosis: morbidity and mortality of a
worldwide epidemic. JAMA 1995;273:220–6.
19. Salazar GE, Schmitz TL, Cama R. Pulmonary tuberculosis in children in a developing country.
Pediatrics 2001;108:488–553.
20. Schluger NW. Epidemiology and molecular mechanisms of drug-resistant tuberculosis, UpToDate,
2003. Diunduh dari: http://store.utdol.com/app/index.asp.
21. Schutze GE, Jacobs RF. Tuberculosis in children: where we stand today. J Respir Dis
1993;14(12):1326–41.
22. Sudre P, Ten Dam G, Kochi A. Tuberculosis: a global overview of the situation today. Bull World
Health Organ 1992;70:149–59.
23. WHO. A coordinated strategy towards a new tuberculosis vaccine. Disampaikan pada rapat WHO;
1995; Madrid. Geneva, Switzerland: World Health Organization; 1998.
24. WHO. TB/HIV a clinical manual. Edisi ke-2. Geneva: World Health Organization; 2004.
25. WHO—SEARO. Tuberculosis control in the South-East Asia Region. New Delhi, India: WHO Regional
Office for South-East Asia; 2003.
26. Wong GWK, Oddennheimer SJ. Childhood tuberculosis. Dalam: Davies PDO, penyunting. Clinical
tuberculosis. London: Chadran & Hall Medical; 1994. h. 211–23.
27. Marais dkk. Int J Tuberc Lung Dis 2004;8:392 dan Marais dkk. Am J Respir Crit Care Med 2006; 173:
1078−90.
145
4.2 Patogenesis dan perjalanan alamiah
Nastiti N Rahajoe, Darmawan Budi Setyanto
Paru merupakan port d‘entree lebih dari 98% kasus infeksi TB. Karena ukurannya yang sangat
kecil (<5 m), kuman TB dalam percik renik (droplet nuclei) yang terhirup dapat mencapai
alveolus. Pada sebagian kasus, kuman TB dapat dihancurkan seluruhnya oleh mekanisme
imunologis nonspesifik, sehingga tidak terjadi respons imunologis spesifik. Akan tetapi, pada
sebagian kasus lainnya, tidak seluruhnya dapat dihancurkan. Pada individu yang tidak dapat
menghancurkan seluruh kuman, makrofag alveolus akan memfagosit kuman TB yang sebagian
besar dihancurkan. Akan tetapi, sebagian kecil kuman TB yang tidak dapat dihancurkan akan
terus berkembang biak di dalam makrofag, dan akhirnya menyebabkan lisis makrofag.
Selanjutnya, kuman TB membentuk lesi di tempat tersebut, yang dinamakan fokus primer
Ghon.
Dari fokus primer Ghon, kuman TB menyebar melalui saluran limfe menuju kelenjar
limfe regional, yaitu kelenjar limfe yang mempunyai saluran limfe ke lokasi fokus primer.
Penyebaran ini menyebabkan terjadinya inflamasi di saluran limfe (limfangitis) dan di kelenjar
limfe (limfadenitis) yang terkena. Jika fokus primer terletak di lobus bawah atau tengah,
kelenjar limfe yang akan terlibat adalah kelenjar limfe parahilus (perihiler), sedangkan jika fokus
primer terletak di apeks paru, yang akan terlibat adalah kelenjar paratrakeal. Gabungan antara
fokus primer, limfangitis, dan limfadenitis dinamakan kompleks primer (primary complex).
Waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman TB hingga terbentuknya kompleks
primer secara lengkap disebut sebagai masa inkubasi. Hal ini berbeda dengan pengertian
masa inkubasi pada proses infeksi lain, yaitu waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman
hingga timbulnya gejala penyakit. Masa inkubasi TB bervariasi selama 2−12 minggu, biasanya
berlangsung selama 4−8 minggu. Selama masa inkubasi tersebut, kuman berkembang biak
hingga mencapai jumlah 103–104, yaitu jumlah yang cukup untuk merangsang respons imunitas
selular (lihat gambar 4.2.1).
146
Gambar 4.2.1 Fenomena Fall and Rise
Sumber: Epinal M. What is the ‗fall and rise‘ phenomenon and the ‗sequential regimen‘ mechanism?. Dalam: Toman K, penyunting.
Toman‘s Tuberculosis Case detection, treatment and monitoring. Geneva, WHO, 2004.
Pada saat terbentuknya kompleks primer, infeksi TB primer dinyatakan telah terjadi.
Setelah terjadi kompleks primer, imunitas selular tubuh terhadap TB terbentuk, yang dapat
diketahui dengan adanya hipersensitivitas terhadap tuberkuloprotein, yaitu uji tuberkulin positif.
Selama masa inkubasi, uji tuberkulin masih negatif. Pada sebagian besar individu dengan
sistem imun yang berfungsi baik, pada saat sistem imun selular berkembang, proliferasi kuman
TB terhenti. Akan tetapi, sejumlah kecil kuman TB dapat tetap hidup dalam granuloma. Bila
imunitas selular telah terbentuk, kuman TB baru yang masuk ke dalam alveoli akan segera
dimusnahkan oleh imunitas selular spesifik (cellular mediated immunity, CMI).
Setelah imunitas selular terbentuk, fokus primer di jaringan paru biasanya akan
mengalami resolusi secara sempurna membentuk fibrosis atau kalsifikasi setelah terjadi nekrosis
perkijuan dan enkapsulasi. Kelenjar limfe regional juga akan mengalami fibrosis dan
enkapsulasi, tetapi penyembuhannya biasanya tidak sesempurna fokus primer di jaringan paru.
Kuman TB dapat tetap hidup dan menetap selama bertahun-tahun dalam kelenjar ini, tetapi
tidak menimbulkan gejala sakit TB.
Kompleks primer dapat juga mengalami komplikasi. Komplikasi yang terjadi dapat
disebabkan oleh fokus di paru atau di kelenjar limfe regional (dapat dilihat pada Gambar 4.2.2).
Fokus primer di paru dapat membesar dan menyebabkan pneumonitis atau pleuritis fokal. Jika
terjadi nekrosis perkijuan yang berat, bagian tengah lesi akan mencair dan keluar melalui
bronkus sehingga meninggalkan rongga di jaringan paru (kavitas).
Kelenjar limfe hilus atau paratrakeal yang mulanya berukuran normal pada awal infeksi,
akan membesar karena reaksi inflamasi yang berlanjut, sehingga bronkus dapat terganggu.
Obstruksi parsial pada bronkus akibat tekanan eksternal menimbulkan hiperinflasi di segmen
147
distal paru melalui mekanisme ventil (ball-valve mechanism). Obstruksi total dapat
menyebabkan atelektasis. Kelenjar yang mengalami inflamasi dan nekrosis perkijuan dapat
merusak dan menimbulkan erosi dinding bronkus, sehingga menyebabkan TB endobronkial atau
membentuk fistula. Massa kiju dapat menimbulkan obstruksi komplit pada bronkus sehingga
menyebabkan gabungan pneumonitis dan atelektasis, yang sering disebut sebagai lesi
segmental kolaps-konsolidasi.
Kompleks primer: Fokus pecah; kuman dan Fokus pecah; kuman Fokus membesar;
fokus dan kelenjar massa radang masuk ke dan massa radang terkadang dilapisi
limfe regional dalam rongga pleura; masuk ke bronkus, bayangan bundar
timbul efusi serosa atau membentuk kavitas atau berbentuk koin
purulen
Efusi perikardial
Obstruksi bronkus Kolaps lobus bawah Kolaps akibat Erosi dinding
akibat pecahnya
inkomplit (ball-valve), kanan akibat konsolidasi bronkus, inhalasi,
kelenjar limfe
hiperinflasi lobus obstruksi bronkus parsial lesi dan daereah
melalui
medius dan bawah tanpa konsolidasi segmental bronkopneumonia
perikardium
TB
Selama masa inkubasi, sebelum terbentuknya imunitas selular, dapat terjadi penyebaran
limfogen dan hematogen. Pada penyebaran limfogen, kuman menyebar ke kelenjar limfe
regional membentuk kompleks primer, atau berlanjut menyebar secara limfohematogen. Dapat
148
juga terjadi penyebaran hematogen langsung, yaitu kuman masuk ke dalam sirkulasi darah dan
menyebar ke seluruh tubuh. Adanya penyebaran hematogen inilah yang menyebabkan TB
disebut sebagai penyakit sistemik.
Penyebaran hematogen yang paling sering terjadi adalah dalam bentuk penyebaran
hematogenik tersamar (occult hematogenic spread). Melalui cara ini, kuman TB menyebar
secara sporadik dan sedikit demi sedikit sehingga tidak menimbulkan gejala klinis. Kuman TB
kemudian akan mencapai berbagai organ di seluruh tubuh, bersarang di organ yang
mempunyai vaskularisasi baik, paling sering di apeks paru, limpa, dan kelenjar limfe
superfisialis. Selain itu, dapat juga bersarang di organ lain seperti otak, hati, tulang, ginjal, dan
lain-lain. Pada umumnya, kuman di sarang tersebut tetap hidup, tetapi tidak aktif (tenang),
demikian pula dengan proses patologiknya. Sarang di apeks paru disebut dengan fokus Simon,
yang di kemudian hari dapat mengalami reaktivasi dan terjadi TB apeks paru saat dewasa.
Bentuk penyebaran hematogen yang lain adalah penyebaran hematogenik generalisata
akut (acute generalized hematogenic spread). Pada bentuk ini, sejumlah besar kuman TB
masuk dan beredar di dalam darah menuju ke seluruh tubuh. Hal ini dapat menyebabkan
timbulnya manifestasi klinis penyakit TB secara akut, yang disebut TB diseminata. Tuberkulosis
diseminata ini timbul dalam waktu 2−6 bulan setelah terjadi infeksi. Timbulnya penyakit
bergantung pada jumlah dan virulensi kuman TB yang beredar serta frekuensi berulangnya
penyebaran. Tuberkulosis diseminata terjadi karena tidak adekuatnya sistem imun pejamu
(host) dalam mengatasi infeksi TB, misalnya pada anak bawah lima tahun (balita) terutama di
bawah dua tahun.
Tuberkulosis milier merupakan hasil dari acute generalized hematogenic spread dengan
jumlah kuman yang besar. Kuman ini akan menyebar ke seluruh tubuh, dalam perjalanannya di
dalam pembuluh darah akan tersangkut di ujung kapiler, dan membentuk tuberkel di tempat
tersebut. Semua tuberkel yang dihasilkan melalui cara ini akan mempunyai ukuran yang lebih
kurang sama. Istilah milier berasal dari gambaran lesi diseminata yang menyerupai butir padi-
padian/jewawut (millet seed). Secara patologi anatomik, lesi ini berupa nodul kuning berukuran
1–3 mm, sedangkan secara histologik merupakan granuloma.
Bentuk penyebaran hematogen yang jarang terjadi adalah protracted hematogenic
spread. Bentuk penyebaran ini terjadi bila suatu fokus perkijuan di dinding vaskular pecah dan
menyebar ke seluruh tubuh, sehingga sejumlah besar kuman TB akan masuk dan beredar di
dalam darah. Secara klinis, sakit TB akibat penyebaran tipe ini tidak dapat dibedakan dengan
acute generalized hematogenic spread.
Pada anak, 5 tahun pertama setelah infeksi (terutama 1 tahun pertama), biasanya
sering terjadi komplikasi TB. Menurut Wallgren, ada tiga bentuk dasar TB paru pada anak, yaitu
penyebaran limfohematogen, TB endobronkial, dan TB paru kronik. Sebanyak 0,5–3%
penyebaran limfohematogen akan menjadi TB milier atau meningitis TB, hal ini biasanya terjadi
3–6 bulan setelah infeksi primer. Tuberkulosis endobronkial (lesi segmental yang timbul akibat
pembesaran kelenjar regional) dapat terjadi dalam waktu yang lebih lama (3–9 bulan).
Terjadinya TB paru kronik sangat bervariasi, bergantung pada usia terjadinya infeksi primer.
Tuberkulosis paru kronik biasanya terjadi akibat reaktivasi kuman di dalam lesi yang tidak
mengalami resolusi sempurna. Reaktivasi ini jarang terjadi pada anak tetapi sering pada remaja
dan dewasa muda.
Tuberkulosis ekstrapulmonal dapat terjadi pada 25–30% anak yang terinfeksi TB.
Tuberkulosis tulang dan sendi terjadi pada 5–10% anak yang terinfeksi, dan paling banyak
terjadi dalam 1 tahun, tetapi dapat juga 2–3 tahun kemudian. Tuberkulosis ginjal biasanya
terjadi 5–25 tahun setelah infeksi primer. Secara singkat, patogenesis tuberkulosis dapat dilihat
pada Gambar 4.2.3.
149
Inhalasi Mycobacterium tuberculosis
Kuman hidup
berkembang biak Masa inkubasi
(2-12 minggu) T
Pembentukan fokus primer
Penyebaran limfogen
B
Penyebaran hematogen *1)
p
Uji tuberkulin (+) Kompleks primer *2)
terbentuk imunitas selular spesifik
r
i
m
Sakit TB Infeksi TB e
Komplikasi kompleks primer
Komplikasi penyebaran hematogen Imunitas optimal r
*3)
Komplikasi penyebaran limfogen
Meninggal
Imunitas turun,
reaktivasi/reinfeksi
*Catatan:
1. Penyebaran hematogen umumnya terjadi secara sporadik ( occult hematogenic spread). Kuman
TB kemudian membuat fokus koloni di berbagai organ dengan vaskularisasi yang baik. Fokus ini
berpotensi mengalami reaktivasi di kemudian hari.
2. Kompleks primer terdiri dari fokus primer (1), limfangitis (2), dan limfadenitis regional (3).
3. TB primer adalah proses masuknya kuman TB, terjadinya penyebaran hematogen, terbentuknya
kompleks primer dan imunitas selular spesifik, hingga pasien mengalami infeksi TB dan dapat
menjadi sakit TB primer.
4. Sakit TB pada keadaan ini disebut TB pascaprimer karena mekanismenya bisa melalui proses
reaktivasi fokus lama TB (endogen) atau reinfeksi (infeksi sekunder dan seterusnya) oleh kuman
TB dari luar (eksogen).
150
Perjalanan alamiah
Manifestasi klinis TB di berbagai organ muncul dengan pola yang konstan, sehingga dari studi
Wallgren dan peneliti lain dapat disusun suatu kalender terjadinya TB di berbagai organ
(Gambar 4.2.4).
Kompleks Primer
Sebagian besar
sembuh sendiri TB Tulang
Erosi Bronkus
(3-24 bulan) (dalam 3 tahun)
(3-9 bulan)
Pleural effusion Meningitis TB Ginjal
(3-6 bulan) TB Milier (setelah 5 tahun)
(dalam 12 bulan)
INFEKSI
1 tahun
2 -12 Minggu
(6-8 minggu)
Risiko tertinggi untuk
Proses infeksi TB tidak langsung memberikan gejala. Uji tuberkulin biasanya positif
dalam 4−8 minggu setelah kontak awal dengan kuman TB. Pada awal terjadinya infeksi TB,
dapat dijumpai demam yang tidak tinggi dan eritema nodosum, tetapi kelainan kulit ini
berlangsung singkat sehingga jarang terdeteksi. Sakit TB primer dapat terjadi kapan saja pada
tahap ini.
Tuberkulosis milier dapat terjadi setiap saat, tetapi biasanya berlangsung dalam 3−6
bulan pertama setelah infeksi TB, begitu juga dengan meningitis TB. Tuberkulosis pleura terjadi
dalam 3−6 bulan pertama setelah infeksi TB. Tuberkulosis sistem skeletal terjadi pada tahun
pertama, walaupun dapat terjadi pada tahun kedua dan ketiga. Tuberkulosis ginjal biasanya
terjadi lebih lama, yaitu 5−25 tahun setelah infeksi primer. Sebagian besar manifestasi klinis
sakit TB terjadi pada 5 tahun pertama, terutama pada 1 tahun pertama, dan 90% kematian
karena TB terjadi pada tahun pertama setelah diagnosis TB.
Secara ringkas risiko sakit TB pada anak yang terinfeksi TB dapat dilihat pada Tabel
4.2.2.
151
Tabel 4.2.1 Risiko sakit tuberkulosis pada anak yang terinfeksi Tuberkulosis
Risiko sakit
Umur saat infeksi TB Diseminata
Primer (tahun) Tidak Sakit TB Paru (milier,
meningitis)
<1 50% 30−40% 10−20%
1−2 75−80% 10−20% 2−5%
2−5 95% 5% 0.5%
5−10 98% 2% <0.5%
>10 80−90% 10−20% <0.5%
Sumber: Marais dkk. Int J Tuberc Lung Dis 2004;8:392 dan Marais dkk. Am J Respir Crit Care Med 2006;173:1078−90.
Daftar pustaka
1. Chaulit P, Ait Khaled N, Anane T, Baghriche M, Boulahbal F, Cermay J, dkk. Childhood tuberculosis,
still with us. Dalam: children in the tropics. Paris: Internatonal Children's Centre; 1992.
2. Toman K. What is the ―fall and rise‖ phenomenon?. Dalam Toman K, penyunting. Tuberculosis Case-
Finding and Chemotherapy. Geneva: WHO; 1979. h.91-96.
3. Dannenberg AM Jr. Pathogenesis and immunology: basic aspects. Dalam: Schlossberg D, penyunting.
Tuberculosis. Edisi ke-3. New York: Springer-Verlag; 1994. h. 17–39.
4. Dannenberg AM Jr. Pathogenesis of pulmonary tuberculosis. Am Rev Respir Dis 1982;125:25–9.
5. Inselman LS. Tuberculosis in children: an update. Pediatr Pulmonol 1996;21:101–20.
6. Inselman LS, Kendig EL Jr. Tuberculosis. Dalam: Chermick C, penyunting. Kendig's disorders of the
respiratory tract in children. Edisi ke-5. Philadelphia: WB Saunders; 1990. h. 730–69.
7. Jacobs RF, Levy J, Wilson CB, Smith AL. Tuberculosis. Dalam: Nussbaum R, Gallat SP, penyunting.
Pediatric respiratory disorders: clinical approaches. Orlando: Grune & Stratton; 1984. h. 157–71.
8. McDonough KA, Kress Y, Bloom BR. Pathogenesis of tuberculosis: interaction of Mycobacterium
tuberculosis with macrophages. Infection and Immunity 1993;61:2763–73.
9. Miller FJW. Tuberculosis in children, evolution, epidemiology, treatment, prevention. New York:
Churchill Livingstone; 1982.
152
10. Moulding T. Pathophysiology and immunology: clinical aspects. Dalam: Schlossberg D, penyunting.
Tuberculosis. Edisi ke-3. New York: Springer-Verlag; 1994. h. 41–50.
11. Munoz FM, Starke JR. Tuberculosis (Mycobacterium tuberculosis). Dalam: Berhrman RE, Kliegman
RM, Jenson HB, penyunting. Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke-17. Philadelphia: Saunders; 2004.
h. 958–72.
12. Umetsu DT. Imunodeficiency and lung disease. Dalam: Hilman BC, penyunting. Pediatric respiratory
disease: diagnosis and treatment. Philadelphia: WB Saunders; 1993. h. 703–7.
13. Unit Kerja Koordinasi Pulmonologi Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia. Tuberkulosis anak.
Dipresentasikan pada Konsensus Nasional Tuberkulosis Anak; 13 Desember 1998; Bandung.
14. WHO. WHO tuberculosis program: framework for effective tuberculosis control. Geneva: World Health
Organization; 1994. h. 179.
153
4.3. Imunologi infeksi Mycobacterium tuberculosis
HMS Chandra Kusuma, Landia Setiawati
Penyakit TB dapat terjadi di bagian tubuh manapun, tetapi pada umumnya terjadi di paru,
mulai infiltrasi yang paling ringan hingga bentuk kronik, kavitas, dan kerusakan paru yang
berat. Manifestasi klinis yang berbeda-beda ini merupakan refleksi keseimbangan antara kuman
dan pejamu. Kualitas mekanisme pertahanan tubuh yang ada sangat menentukan hasil
keseimbangan tersebut.
Penelitian imunologis TB terutama difokuskan pada imunitas selular (cell mediated
immunity) karena respons sistem imun ini menimbulkan kekebalan didapat, sedangkan respons
imun humoral bersifat nonprotektif tetapi dapat berperan dalam penegakan diagnosis.Pada bab
ini akan dibahas mengenai imunitas humoral dan imunitas selular yang terbentuk pada infeksi
TB.
154
5. Pengobatan tuberkulostatika.
Beberapa penelitian membuktikan bahwa terjadi perubahan afiditas dan afinitas antibodi
selama pengobatan. Perubahan tersebut dapat digunakan untuk memprediksi keberhasilan
pengobatan.
Hanya sekitar seperempat dari ratusan protein yang ada pada filtrat kultur dapat
bereaksi kuat dengan antibodi serum pasien TB. Hal ini menunjukkan bahwa sangat banyak
protein yang diekspresikan selama proses pertumbuhan kuman dalam media kultur yang tidak
terekspresikan dengan baik selama proses infeksi aktif (in vivo), atau protein-protein tersebut
memang tidak imunogenik. Terbukti pula bahwa profil antigen yang dikenal oleh antibodi
sangat dipengaruhi oleh progresivitas penyakit.
Ditemukannya antibodi, terutama pada kasus TB dengan kavitas, menunjukkan bahwa
ekspresi antigen terutama terjadi pada saat proses replikasi kuman ekstraselular di dalam
materi perkijuan yang mengalami perlunakan (liquefaction). Dengan kata lain, antigen-antigen
tersebut baru menimbulkan respons imun pada stadium perlunakan.
Tuberkulosis paru pada satu saat dapat menimbulkan lesi dengan stadium yang
berbeda-beda, seperti terbentuknya kavitas, terjadinya perlunakan, fibrosis, bahkan kalsifikasi.
Jumlah kuman dan bahan metabolit yang dihasilkan kuman dapat berbeda pada setiap kavitas
yang terbentuk.
Antibodi sebagai hasil respons imun humoral yang sering digunakan pada serodiagnostik
TB adalah IgM, IgA, dan IgG. Imunoglobulin G merupakan antibodi yang paling sering
digunakan untuk menentukan adanya TB aktif karena IgG mempunyai sensitivitas terbaik di
antara imunoglobin lainnya. Imunoglobulin A merupakan antibodi humoral yang mempunyai
spesifisitas paling kuat untuk menegakkan diagnosis secara serologik. Imunoglobulin M memiliki
spesifisitas dan sensitivitas yang paling lemah, tetapi dapat mendeteksi adanya proses
reaktivasi penyakit TB (TB pasca-primer). Kombinasi titer antibodi IgA dan IgG dapat
meningkatkan sensitivitas dan spesifisitas terhadap adanya infeksi TB aktif hingga 90%.
155
Meskipun molekul oksidatif dan molekul nitrostatif dapat menekan pertumbuhan kuman,
namun molekul tersebut tidak mampu mengeliminasi kuman dari dalam sel. Kuman TB mampu
bertahan terhadap mekanisme efektor pejamu karena peranan peroksidase dan fosfonitrit
reduktase yang dihasilkan pada metabolisme kuman TB.
Interferon- dan iNOS sangat diperlukan untuk menunjang keseimbangan antara
persistensi kuman dengan pertahanan imun. Pemberian inhibitor iNOS seperti aminogramidin
menimbulkan reaktivasi penyakit TB dan kematian pada tikus percobaan.
Tumor necrosis factor– mempunyai peran yang sinergis dengan IFN- dalam proses
aktivasi makrofag. Tumor necrosis factor– berperan penting dalam menjaga persistensi kuman
namun mencegah penyebarannya ke bagian lain paru atau ke organ lain. Tumor necrosis
factor- berperan dalam pembentukan dinding fibrinosa dan enkapsulasi granuloma bersama-
sama dengan TGF-β. Selain itu, TNF- mampu mencegah penyebaran endogen kuman melalui
modulasi kadar sitokin yang akan membatasi proses histopatologis. Limfotoksin- 3 (salah satu
famili TNF), bersama-sama dengan TNF- , membantu pembentukan granuloma dan
mempertahankannya.
Penurunan kadar TNF- akan merusak keseimbangan antara kuman TB dan pejamu.
TNF- mengatur ekspresi reseptor kemokin dan sekresi kemokin seperti MIP-1 dan MIP-1β
(macrophage inflammatory protein 1), MCP-1 (monocyte chemoattractan protein 1), serta
RANTES (regulated on activation, normal T cell expressed and secreted). Tumor necrosis factor-
berperan pada imunitas infeksi TB melalui rekrutmen sel-sel imun seperti monosit, limfosit,
dan neutrofil. Reseptor kemokin CCR 5 (chemokine cell receptor 5) merupakan reseptor MIP-
1 , MIP-1β, dan RANTES, yang regulasinya meningkat pada makrofag alveolus pasien TB.
Reseptor CCR 2 adalah reseptor MCP-1, MCP-3, dan MCP-5, yang berperan dalam proteksi dan
pembentukan granuloma seperti reseptor CXCR 3 yang merupakan reseptor bagi MIG
(monokine induced by interferongamma), IP-10 (interferon induced protein), dan I-TAC
(interferon inducible T-cell alfa chemokine).
Secara keseluruhan, kita mengenal kelompok sitokin yang produksinya distimulasi oleh
kuman TB, yaitu:
1. sitokin proinflamasi, terdiri dari TNF- , IL-1β, IL-6, IL-12, IL-8, IL-15, dan IFN-γ,
2. sitokin antiinflamasi, terdiri dari IL-4, IL-10, dan TGF-β.
156
Pengaruh buruk IL-4 terhadap infeksi oleh kuman TB adalah dalam kemampuannya
menekan produksi IFN-γ dan menekan aktivasi makrofag. Dibuktikan pada binatang percobaan
bahwa ekspresi berlebihan dari IL-4 dapat menimbulkan atau berhubungan dengan reaktivasi
fase laten, progresifitas penyakit, kerusakan jaringan, dan pembentukan kavitas. Paradoksnya,
bila berada bersama TGF-β, sel-sel T akan bergerak ke arah profil TH1 yang mempunyai efek
protektif.
Respons inflamasi oleh sel fagosit terhadap aktivasi yang ditimbulkan oleh kuman TB
dapat dilihat pada Gambar 4.3.1.
M.Tuberculosis
IFNγ
Respons fase akut
Makrofag/ sel
Makrofag/sel
IL-6 ... dendritik
dendritik Inisiasi imunitas yang didapat
MHC, CD3, CD80, IL-12, IL-18, TNF , IL-1β...
Kemotaktis
IL-8, MCP-1, MIP-1a, RANTES..
Pembentukan Respons sel T Ag-spesifik
granuloma IFNγ, TNF , Granulysin .. ..
Membatasi atau
Membunuh
M.Tuberculosis
Gambar 4.3.1 Respons inflamasi oleh sel fagosit terhadap aktivasi yang ditimbulkan oleh kuman TB.
Sumber: Clin. Microbial 2002; Rev. 15(2):294-309.
157
menurunkan kadar IL-2 dan IL-15 yang menyebabkan turunnya fungsi sitotoksik sel TCD8+ di
paru.
Absennya sel TCD4+ pada TB akut atau TB kronis dapat menimbulkan kematian
walaupun sel CD8+ masih mampu memproduksi IFN-γ cukup tinggi. Beberapa penelitian
membuktikan bahwa sel TCD4+ membantu perkembangan populasi sel TCD8+ sitotoksik dimana
sitotoksisitas dari sel ini merupakan komponen penting dari imunitas antimikobakterial.
Dibuktikan pula bahwa sel TCD4+ terutama meningkat jumlahnya pada infeksi fase akut sedang
sel TCD8+ tidak terlibat dalam fase akut, tapi lebih berperan aktif dan memproduksi IFN-γ
selama fase laten.
158
3. Aktifitas mikrobisidal langsung.
Ditemukan granul baru yang langsung membunuh kuman intraselular, yaitu granulisin.
Granulisin akan berinteraksi dengan membran lipid kuman dan mengaktifasi enzim pemecah
lipid. Bila ada perforin, maka granulisin mampu secara dramatis menurunkan jumlah kuman
hidup intraselular. Kematian kuman dapat langsung terjadi oleh karena granulisin mampu
memecah permukaan sel kuman, meningkatkan permeabilitas membran kuman, dan
memicu akumulasi cairan di periplasma kuman TB.
Gambar 4.3.2 Sel T CD8+ terlibat dalam mengatasi infeksi kuman TB melalui mekanisme pelepasan
sitokin, sitotoksisitas melalui jalur granule-dependent exocytosis, sitotoksisitas melalui interaksi Fas-Fas
ligand, dan aktivitas mikrobisidal langsung.
Sumber: Am J Respir Crit Care Med 2002;166: 1116-21.
2. Sel TCD1
Grup 1 molekul CD1 (CD1a,b,c) terdapat di sel APC dan mempresentasikan antigen lipid dan
glikolopid kuman TB kepada sel T spesifik, yaitu sel TCD1. Grup 2 molekul CD1 (CD1d)
diekspresikan oleh bermacam-macam sel dan berinteraksi dengan natural killer T cells (NKT
cells). Sel NKTCD1d pada tikus menjadi aktif setelah direspons oleh keberadaan komponen
dinding sel kuman TB dan terlibat dalam formasi dini granuloma. Dibuktikan pula bahwa sel
NKTCD1d ini mampu membuat IFN-γ segera setelah terjadi infeksi dengan cepat.
159
Sel TCD1 mampu membentuk mekanisme efektor melalui sekresi IFN-γ dan aktifitas
sitotoksik seperti granulisin, sehingga ikut terlibat di dalam respons imun selular pada
infeksi TB baik di fase dini maupun di fase selanjutnya.
Sel Fagosit
Makrofag alveolus merupakan sel primer yang terlibat di dalam fagositosis kuman TB. Setelah
peristiwa pertama ini, sel dendritik dan sel monosit turut ambil bagian dalam proses fagositosis
selanjutnya. Kuman TB masuk ke dalam sel fagosit mononuklear melalui proses endositosis
yang melibatkan beberapa reseptor sel utama, yaitu reseptor komplemen (CRs), reseptor
mannosa (MRs), dan reseptor scavenger tipe A. Ekspresi reseptor-reseptor komplemen
(terutama CR4 dan MR) meningkat selama diferensiasi monosit menjadi makrofag. Receptor CR4
dan receptor MR diekspresikan sangat banyak di makrofag alveoli.
Proses endositosis dapat melalui opsonisasi maupun tanpa opsonisasi permukaan
kuman. Opsonisasi kuman TB dapat melalui faktor komplemen C3 yang diikat dan ditangkap
oleh CR1, CR3, dan CR4. Pada fagositosis yang tidak melalui opsonisasi, kuman TB dapat secara
langsung berikatan dengan CR3 dan CR4. Contoh paling baik fagositosis kuman TB melalui
reseptor non opsonisasi adalah reseptor mannosa makrofag. Apabila uptake oleh CRs dan MRs
dihambat, maka makrofag akan memfagosit kuman TB melalui reseptor scavenger. Reseptor Fc
yang memfasilitasi fagositosis vertikal yang diliputi antibodi dari IgG tampaknya kurang memiliki
peran yang penting.
Meningkatnya jumlah kuman yang terikat pada sel epitel atau makrofag alveoli
meningkatkan risiko munculnya penyakit TB secara klinis. Kolektin, sekelompok protein yang
terdiri dari protein surfaktan, mannose binding lictin (MBL), dan C1q penting sebagai protein
yang mampu meningkatkan daya ikat kuman ke sel. Protein surfaktan A (Sp-A) memfasilitasi
penangkapan kuman TB melalui ikatan dengan makrofag, pneumosit tipe II atau neutrofil. Pada
pasien HIV, kadar Sp-A di paru dan jumlah kuman TB yang melekat pada sel makrofag alveoli
sangat meningkat. Sebaliknya, protein surfaktan Sp-D justru memblokir penangkapan kuman
TB oleh makrofag.
Selain fagositosis, pengenalan terhadap kuman TB dan produknya merupakan tahap
penting dalam proses respons imun yang efektif oleh pejamu. Toll-like receptors (TLRs) secara
filogenetik dianggap sebagai mediator dari innate immunity yang esensial dalam pengenalan
jasad renik terhadap sel makrofag dan sel dendritik. TLRs juga terlibat dalam pengenalan
kuman TB oleh sel pejamu. Dikenal beberapa macam TLRs yang masing-masing terlibat dalam
respons imun yang berbeda terhadap kuman TB. Melalui aktifasi TLRs, maka respons imun
pejamu mampu menginduksi produksi IL12 (sitokin antiinflamasi yang kuat), menginduksi
aktivasi makrofag, meningkatkan pengenalan antigen dan sinyal transduksi, serta mampu
membunuh kuman TB yang ada di dalam sel makrofag secara langsung. Fagositosis dan
pengenalan kuman TB dapat dilihat pada Gambar 4.3.3.
Makrofag dan sel dendritik merupakan sel utama yang memberi respons imun awal
(innate immunity) terhadap kuman TB sekaligus mempunyai peran utama dalam memicu
imunitas adaptif (adaptive immunity). Secara prinsip, proses yang terlibat di dalam terjadinya
imunitas adaptif adalah presentasi antigen serta kostimulasi dan produksi sitokin.
Presentasi antigen kuman TB oleh sel-sel makrofag dan dendritik melalui beberapa
mekanisme, yaitu:
1. Molekul MHC klas II mempresentasikan antigen/protein kuman TB ke sel T CD4+ yang
spesifik. Protein/antigen ini diproses di dalam kompertemen fagolisosom.
160
2. Molekul MHC klas I yang diekspresikan di seluruh sel yang berinti mempresentasikan
antigen/protein kuman TB ke sel T CD8+ yang spesifik. Mekanismenya melalui antigen
sitolitik yang lolos dari fagosom.
3. Molekul MHC klas I non polimorfik (molekul CD1 Tipe 1) yang dipresentasikan oleh sel
makrofag dan sel dendritik kepada sel TCD1 yang terjadinya pada fase yang lebih dini
sebelum spesifikasi antigen dibentuk.
4. Molekul MHC klas Ib non polimorfik.
Ekspresi oleh MHC klas I dan klas II menentukan kemampuan setiap individu dalam
merespons kuman TB melalui antigen kuman TB dan epitopnya. Misalnya, HLA tertentu lebih
peka terhadap infeksi TB. Ekspresi molekul MHC merupakan proses yang dinamis dan
pengaturannya dilakukan oleh sitokin. Sitokin proinflamasi seperti IFN-γ menstimulasi ekspresi,
tetapi sitokin antiinflamasi menghambat ekspresinya. Pada percobaan invitro kuman TB mampu
memodulasi fungsi presentasi antigen tetapi memberikan hasil yang berbeda, yaitu: terhadap
makrofag, kuman TB menekan ekspresi molekul MHC melalui sitokin anti inflamasi, tetapi pada
sel dendritik justru merangsang ekspresi molekul MHC tersebut. Ilustrasi proses presentasi
antigen (virus/kuman) dapat dilihat pada Gambar 4.3.4.
161
Gambar 4.3.4 Ilustrasi proses presentasi antigen (virus/kuman). A: Proses presentasi antigen melalui
molekul HLA (MHC) Klas I. B: Proses presentasi antigen melalui molekul HLA (MHC) Klas II.
Presentasi antigen oleh sel-sel makrofag dan sel dendritik kepada sel T memerlukan
sinyal kostimulasi melalui CD80 (B-7.1) dan CD86 (B-7.2). Molekul-molekul ini diekspresikan di
permukaan sel makrofag dan dendritik dan berikatan dengan CD28 dan CTL A-4 yang ada di
permukaan sel T. Sel makrofag dan sel dendritik juga memproduksi beberapa macam sitokin
yang juga esensial dalam menstimulasi sel T. Sitokin yang diproduksi adalah tipe 1, yaitu IL-12,
IL-18, dan IL-23, IL-1 dan TNF-α (Gambar 4.3.5).
162
Gambar 4.3.5 Sitokin dan reseptor sitokin yang terlibat di dalam imunitas tipe I terhadap infeksi kuman
TB.
Sumber: Am J Respir Crit Care Med 2002;166:1116-21.
4.3.3 Imunopatogenesis TB
Inhalasi M. tuberculosis
163
Hasil akhir infeksi kuman TB sangat bergantung pada keseimbangan antara: Pertumbuhan dan
kematian kuman TB serta luasnya nekrosis jaringan, fibrosis, dan regenerasi yang terjadi.
Gambar 4.3.7 Mekanisme aktivasi sel limfosit T, destruksi makofag setelah terjadi stimulasi oleh antigen
kuman TB.
Respon imun yang terjadi pada infeksi TB terdiri dari respon imun alamiah (Innate
immunity) dan respon imun adaptif (adaptive immunity) yang bekerja secara sinergis dan saling
melengkapi. Kekebalan tubuh alamiah melibatkan fagositosis, pengenalan imun, produksi
sitokin, serta mekanisme efektor. Interaksi makrofag-mikobakteria terjadi melalui beberapa
tahap (tabel 4.3.1). Makrofag mampu menghambat pertumbuhan kuman TB melalui proses
fagositosis sedangkan imunitas seluler melalui proses presentasi antigen dan peran limfosit T.
Walaupun proses ini juga melibatkan sel dendritik, namun perannya belum jelas.
164
Tabel 4.3.1 Interaksi Makrofag-kuman TB pada Tuberkulosis
Penempelan permukaan M. tuberculosis pada
I.
makrofag
Reseptor komplemen CR1, CR3, CR4
Reseptor Mannose
Reseptor protein permukaan
CD14
Reseptor Scavanger
II. Fusi fagosom-lisosom
III. Inhibisi dan/ atau pemusnahan Mikobakteria
Produksi spesies nitrogen reaktif
Produksi spesies oksigen reaktif
Apoptosis
Rekrutmen sel imun pembantu dan respons inflamasi
IV.
lokal
Elaborasi sitokin, seperti TNF-α
Elaborasi kemokin, seperti IL-8
Presentasi antigen
Sumber: Schluger NW, Rom WN. The Host Immune Response to Tuberculosis. Am J Respir Crit Care Med 1998;157:679-91.
Proses fagositosis terdiri dari penempelan kuman TB pada sel pejamu, internalisasi, dan
penghambatan pertumbuhan atau pemusnahan kuman. Pada awal proses fagositosis,
pseudopodia mengelilingi kuman TB sehingga terbentuk membrane-bound tight vacuole.
Pembentukan vakuola atau fagosom ini disertai dengan penempelan kuman TB pada fagosit,
melalui reseptor komplemen (CR1, CR3, CR4), reseptor mannose (MR) serta molekul reseptor
permukaan sel lainnya. Mycobacterium tuberculosis yang telah mengalami opsonisasi dengan
komplemen C3, akan menempel pada reseptor CR1, CR3, CR4.
Pentingnya peran berbagai reseptor komplemen ini telah dibuktikan secara in vitro:
apabila tidak didapatkan CR3, fagositosis kuman oleh makrofag dan monosit manusia menurun
sekitar 70-80%. Namun demikian, kuman TB yang tidak mengalami opsonisasi dapat langsung
terikat pada CR3 dan CR4. Reseptor terbaik untuk kuman TB yang tidak mengalami opsonisasi
adalah MR, yang akan mengenali residu mannose terminal pada kuman TB. Tampaknya
fagositosis kuman TB strain virulen terjadi melalui MR. Fagositosis melalui MR ini tidak
menyebabkan terbentuknya oksigen reaktif, dan kuman TB mengeluarkan sinyal anti-inflamasi
melalui MR. Jika terjadi bloking antibodi monoklonal pada CR dan MR, maka reseptor scavenger
tipe A akan berperan.
Di dalam fagosom, pemusnahan kuman TB terjadi melalui fusi fagosom-lisosom, reactive
oxygen intermediates (ROI) dan reactive nitrogen intermediates (RNI), khususnya nitric oxyde.
Terdapat hipotesis bahwa kuman TB dapat menghambat fusi fagosom-lisosom dengan
menghasilkan sulfatida, sehingga mampu bertahan di dalam makrofag. Apoptosis makrofag
juga berperan dalam menurunkan viabilitas kuman TB.
Di samping fagositosis, pengenalan kuman TB atau produknya merupakan langkah
penting agar terjadi respons pejamu yang efektif. Pengenalan imun dari komponen dinding sel
kuman TB yang utama yaitu lipoarabinomannan (LAM) yang tampak mirip seperti liposakarida
(LPS) dari bakteri gram negatif. Toll-like receptors (TLRs) berperan penting dalam pengenalan
imun oleh makrofag dan sel dendritik. Di dalam sitoplasma, TLRs mengenali protein dari sistem
kekebalan alamiah, dan memberi sinyal ke IL-1R associated kinase (IRAK), suatu kinase serin
165
yang mengaktifkan faktor transkripsi seperti nuclear factor-ĸB (NF-ĸB) untuk memproduksi
sitokin. Myeloid differentiation protein 88 (MyD88) berperan penting dalam aktifasi makrofag
dengan menghubungkan TLRs dan IRAK. Melalui TLRs ini, produk M.tb akan merangsang
terbentuknya IL-12.
Sitokin berperan penting dalam respons inflamasi infeksi kuman TB baik sitokin
proinflamasi dan antiinflamasi. Selain itu terdapat pula sitokin kemotaksis atau kemokin yang
berperan dalam rekrutmen sel-sel inflamasi menuju tempat infeksi. Respons imun pada TB
dilaporkan terjadi secara tidak konsisten karena dapat terjadi peningkatan respon imun Th1,
atau Th2, atau keduanya, penurunan respon imun Th1 tetapi tidak disertai peningkatan Th2.
Selain itu, respons imun pada darah perifer dan lokasi terjadinya penyakit, serta tingkat
keparahan penyakit juga berbeda.
Zang (1994) mendapatkan keadaan peningkatan kadar IL-12 pada cairan pleura yang
telah dirangsang dengan kuman TB. IL-12 ini berperan dalam menginduksi respons Th1 pada
lokasi penyakit. Menurut Lin (1996), pada limfosit di kelenjar limfe penderita TB didapatkan
kadar IFN-γ yang tinggi, tetapi tidak didapatkan sekresi IL-4. Peningkatan respon imun Th2
tidak didapatkan pada lokasi penyakit.
Menurut Sodhi (1997), kekuatan respons imun Th1 berhubungan dengan manifestasi
klinis. Pada tuberkulosis yang parah didapatkan kadar IFN-γ yang rendah (secara radiologis:
far-advanced disease), sedangkan pada TB yang ringan (BTA negatif, tidak didapatkan kavitas
pada foto dada), IFN-γ didapatkan dalam kadar tinggi.
Sel Limfosit T gamma/ delta (Tγ/δ), adalah sel limfosit granular besar dengan morfologi
dendritik pada jaringan limfoid, dan diduga sebagian sel Tγ/δ merupakan sel CD8. Tγ/δ
berperan dalam respons imun awal terhadap kuman TB sebagai imunitas protektif. Barnes
(1992) dan Sanchez (1994) mendapatkan sel Tγ/δ pada darah tepi orang sehat dengan uji
tuberkulin positif dan penderita TB sejumlah dalam proporsi yang sama. Tetapi pada penderita
TB dengan imunitas yang tidak efektif (advance pulmonary TB, TB milier) didapatkan proporsi
sel Tγ/δ yang lebih kecil. Ueta (1994) mendapatkan persentasi sel Tγ/δ yang lebih besar pada
orang sehat dengan kontak TB dibanding tanpa kontak TB, dan persentasinya tidak meningkat
pada penderita TB.29 Sel Tγ/δ befungsi sebagai sel T sitotoksik terhadap monosit yang
terinfeksi M.tb, saat sebelum terbentuknya sel CD4 dan CD8, dan tidak memerlukan presentasi
antigen. Sel Tγ/δ juga menghasilkan sitokin, yaitu IFN-γ, IL-2, IL-4, IL-5, dan IL-10.
166
Simpulan
Interplay antara kuman TB dan pejamu akan menentukan hasil yang akan diperoleh setelah
infeksi kuman terjadi. Mekanisme pertahanan innate dan adaptive host akan menentukan
skenario yang akan dilalui kuman setelah difagositosis sel makrofag alveoli, yaitu apakah
dibunuh atau dihancurkan secara langsung, sehingga respons imun adaptif oleh sel T tidak
terjadi ataukah respons imun lokal yang tidak spesifik yang terjadi. Respons tersebut diregulasi
oleh jaringan kerja sitokin inflamasi dan antiinflamasi serta kemokin. Mediator-mediator
tersebut berasal dari sel makrofag dan sel dendritik, kecuali IFN-γ yang berasal dari bermacam
sel seperti sel NK, sel T γ δ, dan sel TCD1. Respons awal yang terjadi dapat menentukan apakah
kuman akan bersifat lokal, mengalamai diseminasi, atau menahan proses infeksi. Sel-sel fagosit
berperan utama di dalam presentasi antigen dan memicu aktivitas sel T.
Perbedaan antara individu dalam menyikapi infeksi kuman TB sangat ditentukan oleh
bermacam-macam mekanisme pertahanan tubuh awal yang dimiliki (innate host defense
mechanisms). Fagositosis, pengenalan antigen, produksi sitokin dan mekanisme efektor sangat
ditentukan oleh innate immunity. Dalam hal ini, perbedaan dalam polimorfisme genetik
menentukan seseorang lebih suseptibel atau lebih berat penyakit yang dideritanya daripada
orang lain. Beberapa dari polimorfisme ini menunjukkan perubahan fungsional, tetapi banyak
pula yang menunjukkan perubahan imunologik, sehingga perlu penelitian dan konfirmasi lebih
lanjut.
Di masa mendatang perlu dilakukan peningkatan dalam fasilitas pengobatan, kualitas
diagnostik dan obat-obatan, perhatian dan penelitian terhadap meningkatnya jumlah MDR dan
HIV, baik melalui pembuatan vaksin yang lebih efektif maupun strategi pengobatan baru seperti
pemberian terapi imun.
Daftar pustaka
1. Arias-Bouda LMP, Kuijper S, Vd Werf A, dkk. Changes in avidity and level of immunoglobulin G
antibodies to Mycobacterium tuberculosis in sera of patients undergoing treatment for pulmonary
tuberculosis. Clin Diagn Lab Immunol 2003;10(4):702–9.
2. Bhatta Charyya S, Singla R, Dey AB, Prasad HK. Dichotomy of citokine profiles in patients and high-
risk healthy subjects exposed to tuberculosis. Infect Immunol 1999;67(11):5597–603.
3. Cho S, Mehra V, Uszyuski ST, dkk. Antimicrobial activity of MHC class I-restricted CD8+ T cells in
human tuberculosis. PNAS 2000;97(22):12210–5.
4. Condos R, Rum WN, Liu YM, Schluger NW. Local immune responses correlate with presentation and
outcome in tuberculosis. Am J Respir Crit Care Med 2000;157(3):729–35.
5. Condos R, Rum WN. Cytokine response in tuberculosis. Dalam: Rom W, Garay SM, penyunting.
Tuberculosis. Edisi ke-2. USA: Lippincott Williams & Wilkins; 2004. h. 285–99.
6. Ellner JJ. Review: the immune response in human tuberculosis–implication for tuberculosis control. J
Infect Dis 2004;176:1351–9.
7. Ernst JD. Minireview: macrophage receptors for Mycobacterium tuberculosis. Infect Immunol
1998;66(4):1277–81.
8. Fine PEM. Variation in protection by BCG: implication of and for heterologous immunity. Lancet
1995;346:1339.
9. Goldfeld AE, Delgado JC, Thim S, dkk. Association of an HLA-DQ allele with clinical tuberculosis. JAMA
1998;279(3):226–8.
10. Gu S, Chen J, Dobos KM, dkk. Comprehensive proteomic profiling of the membrane constituents of a
Mycobacterium tuberculosis strain. Molec Cells Proteom 2003;2(12):1284–96.
167
11. Gupta S, Kumari S, Banwalikar JN, Gupta SK. Diagnostic utility of the estimation of mycobacterial
antigen spesific immunoglobulins IgM, IgA and IgG in the sera of cases of adult human tuberculosis.
Tuberc Lung Dis 1995;76(5):418–24.
12. Julian E, Matas L, Perez A, dkk. Serodiagnosis of tuberculosis: comparison of immunoglobulin A (IgA)
response to sulfolipid I with IgG and IgM responses to 2,3–diacyltrehalose, 2, 3, 6–triacyl trehalose
and cord factor antigen. J Clin Microbiol 2002;40(10):3782–8.
13. Lazarevic V, Flynn JA. CD8+ T cells in tuberculosis. Am J Respir Crit Care Med 2002;166:1116–21.
14. Lewinsohn DM, Alderson MR, Briden AL, dkk. Characterization of human CD 8+ T cells reactive with
Mycobacterium tuberculosis infected antigen-presenting cells. J Exp Med 1998;187(10):1633–40.
15. Lewinsohn DM, Zhu L, Madison VJ, dkk. Classically restricted human CD8+ T lymphocytes derived
from Micobacterium tuberculosis. Dalam: infected cells: definition of antigenic specificity. J Immunol
2001;166(1):439–46.
16. Lyashchenko K, Colangeli R, Houde M, dkk. Heterogenous antibody responses in tuberculosis. Infect
Immunol 1998;66(8):3936–40.
17. McMurray DN. 2003. Mycobacteria and Nocardia. Medmicro Chapter 33. Ilgsbs.
Mtmb.Edu/microbook/ch 033.htm.
18. Mogues T, Good Rich ME, Ryan L, dkk. Original article: the relative importance of T cell subsets in
immunity and immunopathology of airborne Mycobacterium tuberculosis infection in mice. JEM
2001;193(3):271–80.
19. Pottumarthy S, Wells VC, Morris AJ. A comparison of seven tests for serological diagnosis of
tuberculosis. J Clin Microbiol 2000;38(6):2227–31.
20. Raviglione MC, Snider DE, Kochi A. Global epidemiology of tubercolosis: morbidity and mortality of a
world wide epidemic. JAMA 1995;273:220–6.
21. Samanich K, Belisle JT, Laa LS. Homogeneity of antibody responses in tuberculosis patients. Infect
Immun 2001;69(7):4600–9.
22. Schlesinger LS. Phagocytosis and toll-like receptors in tuberculosis. Dalam: Rom W, Garay SM,
penyunting. Tuberculosis. Edisi ke-2. USA: Lippincott Williams & Wilkins; 2004. h. 203–14.
23. Serbina NV, Flynn JL. CD8+ T cells participate in the memory immune response to Mycobacterium
tuberculosis. Infect Immun 2002;G9(7):4320–8.
24. Serbina NV, Lazarevic V, Flynn JAL. CD4+ T cells are required for the development of cytotoxic CD 8+ T
cells during Mycobacterium tuberculosis infection. J Immunol 2001;167(12):6991–7000.
25. Torres M, Herrea T, Villareal H, Rich EA, Sada E. Cytokine profiles for peripheral blood lymphocytes
from patients with active pulmonary tuberculosis and healthy household contacts in response to the
30 kilodalton antigen of Mycobacterium tuberculosis. Infect Immun 1998;66(1):176–80.
26. Turneer M, Van Nerom E, Nyabenda J, dkk. Determination of humoral immunoglobulin M and G
directed against mycobacterial antigen 60 failed to diagnose primary tuberculosis and mycobacterial
adenitis in children. Am J respir Crit Care Med 1994;150(06):1508–12.
27. Turneer M, Van Vooren JP, De Bruyn J, dkk. Humoral immune response in human tuberculosis:
immunoglobulins G, A, and M directed against the purified protein antigen of Mycobacterium bovis
bacillus Calmette–Guerin. J Clin Microbial 1988;26(9):1714–9.
28. Ulrichs T, Kaufmann SHE. Cell-mediated immune response. Dalam: Rom W, Garay SM, penyunting.
Tuberculosis. Edisi ke-2. USA: Lippincott Williams & Wilkins; 2004. h. 251–62.
29. Crevel RV, Ottenhoff THM, Meer JWM. Innate immunity to Mycobacterium tuberculosis. Clin Microbiol
Rev 2002;15(2):294–309.
30. Wang J, Wakeham J, Harkness R, Xing 2. Macrophages are a significant source of type-1 cytokines
during mycobacterial infection. J Clin Invest 1999;103(7):1023 –9.
168
4.4 Diagnosis Tuberkulosis pada anak
Nastiti N Rahajoe, Darmawan Budi Setyanto
169
Tabel 4.4.2 Bentuk klinis Tuberkulosis pada anak
Infeksi TB
Uji tuberkulin positif tanpa kelainan klinis, radiologis, dan laboratorium.
Penyakit TB
Paru : TB paru primer (pembesaran kelenjar hilus dengan atau tanpa kelainan parenkim)
TB paru progresif (pneumonia, TB endobronkial)
TB paru kronik (kavitas, fibrosis, tuberkuloma)
TB milier
Efusi pleura TB
170
grafik tumbuh), dan malaise (letih, lesu, lemah, lelah). Keluhan ini sulit diukur dan mungkin
terkait dengan penyakit penyerta.
Pada sebagian besar kasus TB paru pada anak, tidak ada manifestasi respiratorik yang
menonjol. Batuk kronik merupakan gejala tersering pada TB paru dewasa, tetapi pada anak
bukan merupakan gejala utama. Pada anak, gejala batuk berulang lebih sering disebabkan oleh
asma, sehingga jika menghadapi anak dengan batuk kronik berulang, telusuri dahulu
kemungkinan asma. Fokus primer TB paru pada anak umumnya terdapat di daerah parenkim
yang tidak mempunyai reseptor batuk. Akan tetapi, gejala batuk kronik pada TB anak dapat
timbul bila limfadenitis regional menekan bronkus sehingga merangsang reseptor batuk secara
kronik. Selain itu, batuk berulang dapat timbul karena anak dengan TB mengalami penurunan
imunitas tubuh, sehingga mudah mengalami infeksi respiratorik akut (IRA) berulang. Gejala
batuk kronik berulang dapat disebabkan oleh berbagai penyakit lain, misalnya sinusitis, refluks
gastroesofageal, pertusis, rinitis kronik, dan lain-lain (Tabel 4.4.3). Gejala sesak jarang
dijumpai, kecuali pada keadaan sakit berat yang berlangsung akut, misalnya pada TB milier,
efusi pleura, dan pneumonia TB.
171
Tabel 4.4.4 Frekuensi gejala dan tanda TB Paru sesuai kelompok umur
Tanda
―Rales‖ Sering Jarang Sangat jarang
Mengi Sering Jarang Jarang
fremitus Sangat jarang Sangat jarang Jarang
Perkusi pekak Sangat jarang Sangat jarang Jarang
Suara napas Sering Sangat jarang jarang
berkurang
Sumber: Berdasarkan Marais JB, Gie RP, Simon H, Beyers Nulda, R. Donald Peter, dan Starke JR. Childhood Pulmonary Tuberculosis
Old Wisdom and New Challenges, Am J Respir Crit Care Med 2006;173.1078–1090. Marais JB, Gie RP, Simon H, Beyers Nulda, R.
Donald Peter, dan Starke R. The Natural History of Childhood Intra-thoracis Tuberculosis: a Critical Review of Literature from the
Pre-Chemotherapy Area. Int J Tuberc Lung Dis 2004;8:392-402. Crus AT, Stark JR. Clinical Manifestations of Tuberculosis in
Children. Pediatric Respiratory Review 2007;8:107-117.
Kelenjar limfe
Pembesaran kelenjar limfe superfisialis sebagai manifestasi TB sering dijumpai. Kelenjar yang
sering terkena adalah kelenjar limfe kolli anterior atau posterior, tetapi juga dapat terjadi di
aksila, inguinal, submandibula, dan supraklavikula. Secara klinis, karakteristik kelenjar yang
dijumpai biasanya multipel, unilateral, tidak nyeri tekan, tidak hangat pada perabaan, mudah
digerakkan, dan dapat saling melekat (confluence) satu sama lain. Perlekatan ini terjadi akibat
adanya inflamasi pada kapsul kelenjar limfe (perifocal inflammation). Pembesaran kelenjar
superfisialis ini dapat disebabkan oleh penyakit lain, seperti dapat dilihat pada Tabel 4.4.5.
172
Tabel 4.4.5 Diagnosis banding pembesaran Kelenjar Limfe Superfisialis
Infeksi Keganasan
Infeksi respiratorik berulang Primer
Demam tifoid Penyakit Hodgkin
Tuberkulosis Limfoma non-Hodgkin
AIDS Kelainan histiositik
Mononukleosis
CMV Penyakit autoimun
Rubella Reumatoid artritis
Varisela Lupus eritematosus
Rubeola Dermatomiositis
Histoplasmosis
Toksoplasmosis Reaksi Obat
dan lain-lain.
Lain-lain
Gangguan penyimpanan lemak Sarkoidosis
Penyakit Gaucher Serum sickness
Penyakit Niemann-Pick
Sumber: Strauss RG. Blood and blood component transfusions. Dalam: Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB, penyunting. Nelson
textbook of pediatrics. Philadelphia, WB Saunders, 2000.
Sistem skeletal
Gejala yang umum ditemukan pada TB sistem skeletal adalah nyeri, bengkak pada sendi yang
terkena, dan gangguan atau keterbatasan gerak. Gejala infeksi sistemik biasanya tidak nyata.
Pada bayi dan anak yang sedang dalam masa pertumbuhan, epifisis tulang merupakan daerah
dengan vaskularisasi tinggi yang disukai oleh kuman TB. Oleh karena itu, TB sistem skeletal
lebih sering terjadi pada anak daripada orang dewasa. Tuberkulosis sistem skeletal yang sering
terjadi adalah spondilitis TB, koksitis TB, dan gonitis TB. Manifestasi klinis TB sistem skeletal
biasanya muncul secara perlahan dan samar sehingga sering lambat terdiagnosis. Manifestasi
klinis dapat muncul pascatrauma, yang berperan sebagai pencetus. Tidak jarang pasien datang
pada tahap lanjut dengan kelainan tulang yang sudah lanjut dan ireversibel. Gejalanya dapat
berupa pembengkakan sendi, gibbus, pincang, lumpuh, dan sulit membungkuk.
Kulit
Mekanisme terjadinya manifestasi TB pada kulit dapat melalui dua cara, yaitu inokulasi
langsung (infeksi primer) seperti tuberculous chancre, dan akibat limfadenitis TB yang pecah
menjadi skrofuloderma (TB pascaprimer). Manifestasi TB pada kulit yang paling sering dijumpai
adalah bentuk kedua, yaitu dalam bentuk skrofuloderma. Skrofuloderma sering ditemukan di
leher dan wajah, di tempat yang mempunyai kelenjar getah bening (KGB), misalnya daerah
173
parotis, submandibula, supraklavikula, dan lateral leher. Pembahasan lebih jauh mengenai TB
kulit akan diuraikan di bab selanjutnya.
Rangkuman dari gejala spesifik sesuai organ yang terkena adalah sebagai berikut:
1. Tuberkulosis kelenjar (terbanyak di regio kolli, multipel, tidak nyeri, dan saling melekat).
2. Tuberkulosis otak dan saraf
meningitis TB
tuberkuloma otak
3. Tuberkulosis sistem skeletal
tulang punggung (spondilitis): gibbus
tulang panggul (koksitis): pincang
tulang lutut (gonitis): pincang dan/atau bengkak
tulang kaki dan tangan
spina ventosa (daktilitis)
4. Tuberkulosis kulit: skrofuloderma.
5. Tuberkulosis mata
konjungtivitis fliktenularis (conjunctivitis phlyctenularis)
tuberkel koroid (hanya terlihat dengan funduskopi).
6. Tuberkulosis organ-organ lainnya, misalnya peritonitis TB, TB ginjal, dll.
174
sensitivitas dan spesifisitas lebih dari 90%. Tuberkulin yang tersedia di Indonesia saat ini adalah
PPD RT-23 2TU (tuberculin unit) buatan Statens Serum Institute Denmark, dan PPD (purified
protein derivative) dari Biofarma.
Uji tuberkulin cara Mantoux dilakukan dengan menyuntikkan 0,1 ml PPD RT-23 2TU atau
PPD S 5TU, secara intrakutan di bagian volar lengan bawah. Pembacaan dilakukan 48−72 jam
setelah penyuntikan. Pengukuran dilakukan terhadap indurasi yang timbul, bukan
hiperemi/eritemanya. Indurasi diperiksa dengan cara palpasi untuk menentukan tepi indurasi,
ditandai dengan pulpen, kemudian diameter transversal indurasi diukur dengan alat pengukur
transparan, dan hasilnya dinyatakan dalam milimeter. Jika tidak timbul indurasi sama sekali,
hasilnya dilaporkan sebagai 0 mm, jangan hanya dilaporkan sebagai negatif (lihat lampiran
gambar). Selain ukuran indurasi, perlu dinilai tebal tipisnya indurasi dan perlu dicatat jika
ditemukan vesikel hingga bula.
Secara umum, hasil uji tuberkulin dengan diameter indurasi ≥10 mm dinyatakan positif
tanpa menghiraukan penyebabnya. Hasil positif ini sebagian besar disebabkan oleh infeksi TB
alamiah, tetapi masih mungkin disebabkan oleh imunisasi Bacille Calmette-Guerin (BCG) atau
infeksi M. atipik. Bacille Calmette-Guerin merupakan infeksi TB buatan dengan kuman M. bovis
yang dilemahkan, sehingga kemampuannya dalam menyebabkan reaksi tuberkulin menjadi
positif, tidak sekuat infeksi alamiah. Pengaruh BCG terhadap reaksi positif tuberkulin secara
bertahap akan semakin berkurang dengan berjalannya waktu, dan paling lama berlangsung
hingga 5 tahun setelah penyuntikan.
Pada anak balita yang telah mendapat BCG, diameter indurasi 10−15 mm dinyatakan uji
tuberkulin positif, kemungkinan besar karena infeksi TB alamiah, tetapi masih mungkin
disebabkan oleh BCGnya. Akan tetapi, bila ukuran indurasi ≥15 mm, hasil positif ini sangat
mungkin karena infeksi TB alamiah. Jika membaca hasil tuberkulin pada anak berusia lebih dari
5 tahun, faktor BCG dapat diabaikan.
Apabila diameter indurasi 0−4 mm, dinyatakan uji tuberkulin negatif. Diameter 5−9 mm
dinyatakan positif meragukan. Hal ini dapat disebabkan oleh kesalahan teknis (trauma dan lain-
lain), keadaan anergi, atau reaksi silang dengan M. atipik. Bila mendapatkan hasil yang
meragukan, uji tuberkulin dapat diulang. Untuk menghindari efek booster tuberkulin, ulangan
dilakukan 2 minggu kemudian dan penyuntikan dilakukan di lokasi yang lain, minimal berjarak 2
cm.
Pada keadaan tertentu, yaitu tertekannya sistem imun (imunokompromais), maka cut
off-point hasil positif yang digunakan adalah ≥5 mm. Keadaan imunokompromais ini dapat
dijumpai pada pasien dengan gizi buruk, infeksi HIV, keganasan, morbili, pertusis, varisela, atau
pasien-pasien yang mendapat imunosupresan jangka panjang (≥2 minggu). Pada anak yang
mengalami kontak erat dengan pasien TB dewasa aktif disertai BTA positif, juga digunakan
batas ≥5 mm. Uji tuberkulin sebaiknya tidak dilakukan dalam kurun waktu 6 minggu setelah
imunisasi morbili; measles, mumps, rubella (MMR); dan varisela, karena dapat terjadi anergi
(negatif palsu karena terganggunya reaksi tuberkulin).
Pada reaksi uji tuberkulin dapat terjadi reaksi lokal yang cukup kuat bagi individu
tertentu dengan derajat sensitivitas yang tinggi, berupa vesikel, bula, hingga ulkus di tempat
suntikan. Juga pernah dilaporkan terjadinya limfangitis, limfadenopati regional, konjungtivitis
fliktenularis, bahkan efusi pleura, yang dapat disertai demam, walaupun jarang terjadi.
Tuberkulosis pada anak tidak selalu bermanifestasi klinis secara jelas, sehingga perlu
dilakukan deteksi dini yaitu dengan uji tuberkulin. Pada anak yang tinggal di daerah endemis
TB, uji tuberkulin perlu dilakukan secara rutin, bila hasilnya negatif dapat diulang setiap tahun.
175
Uji tuberkulin positif dapat dijumpai pada tiga keadaan sebagai berikut:
1. Infeksi TB alamiah
a. infeksi TB tanpa sakit TB (infeksi TB laten)
b. infeksi TB dan sakit TB
c. TB yang telah sembuh.
2. Imunisasi BCG (infeksi TB buatan).
3. Infeksi mikobakterium atipik.
Tabel 4.4.6 Sebab-sebab hasil positif palsu dan negatif palsu uji Tuberkulin Mantoux
Positif palsu
Penyuntikan salah
Interpretasi tidak betul
Reaksi silang dengan Mycobacterium atipik
Negatif palsu
Masa inkubasi
Penyimpanan tidak baik dan penyuntikan salah
Interpretasi tidak betul
Menderita tuberkulosis luas atau berat
Disertai infeksi virus (campak, rubela, cacar air, influenza, HIV)
Imunoinkompetensi selular, termasuk pemakaian kortikosteroid
Kekurangan komplemen
Demam
Leukositosis
Malnutrisi
Sarkoidosis
Psoriasis
Jejunoileal by pass
Terkena sinar ultraviolet (matahari, solaria)
Defisiensi zinc
Anemia pernisiosa
Uremia
176
Berdasarkan penelitian di RSCM-Jakarta, dari 49 pasien TB dengan biakan positif yang
berstatus gizi buruk, hanya 24 pasien yang menunjukkan hasil uji tuberkulin negatif palsu
(anergi). Hal ini menunjukkan bahwa anergi tidak selalu terjadi pada keadaan yang berpotensi
menyebabkan imunokompromais. Pada uji tuberkulin ulangan yang dilakukan 2 bulan setelah
terapi dan pasien mengalami perbaikan klinis, 10 di antara 24 pasien anergi tersebut
menunjukkan hasil positif. Keadaan ini menunjukkan bahwa anergi tidak menetap.
Untuk mempermudah pemahaman mengenai konsep infeksi TB dan sakit TB, klasifikasi
TB yang dibuat oleh American Thoracic Society (ATS) dan Centers for Disease Control and
Prevention (CDC) Amerika agaknya dapat membantu (Tabel 4.4.7).
177
Gambar 4.4.1 Dasar biologis uji tuberkulin dan pemeriksaan interferon gamma.
Sumber: Andersen P, Munk ME, Pollock JM, Doherty TM. Specific Immun-based Diagnosis of Tuberculosis. Lancet 2000;356:1099-
1104.
178
Gambar 4.4.2 Teknologi pemeriksaan Interferon Gamma.
Sumber: Pai M, Riley LW, Colford Jr JM. Interferon-γ Assay in The immunodiagnosis of Tuberculosis: a systematic Review. Lancet
Infect Dis 2004;4:761-76.
4.4.2.3 Radiologis
Gambaran foto toraks pada TB tidak khas; kelainan-kelainan radiologis pada TB dapat juga
dijumpai pada penyakit lain. Sebaliknya, foto toraks yang normal (tidak terdeteksi secara
radiologis) tidak dapat menyingkirkan diagnosis TB jika klinis dan pemeriksaan penunjang lain
mendukung. Dengan demikian, pemeriksaan foto toraks saja tidak dapat digunakan untuk
mendiagnosis TB, kecuali gambaran milier.
Foto toraks tidak cukup hanya dibuat secara antero-posterior (AP), tetapi harus disertai
dengan foto lateral, mengingat bahwa pembesaran KGB di daerah hilus biasanya lebih jelas
179
pada foto lateral. Sebagai pegangan umum, jika dijumpai ketidaksesuaian (diskongruensi)
antara gambaran radiologis yang berat dan gambaran klinis ringan, maka harus dicurigai TB.
Pada keadaan foto toraks tidak jelas, bila perlu dilakukan pemeriksaan pencitraan lain seperti
computed tomography scan (CT-scan) toraks.
4.4.2.4 Serologis
Pada awalnya, pemeriksaan serologis diharapkan dapat membedakan antara infeksi TB dan
sakit TB. Berbagai penelitian dan pengembangan pemeriksaan imunologik antigen-antibodi
spesifik untuk M. tuberculosis ELISA dengan menggunakan PPD, A60, 38kDa, lipoarabinomanan
(LAM) dengan bahan pemeriksaan dari darah, sputum, cairan bronkus (bronkus dan
bronchoalveolar lavage; BAL), cairan pleura, dan CSS terus dilakukan. Beberapa pemeriksaan
serologis yang ada : PAP TB, Mycodot, immunochromatographic test (ICT), dan lain-lain, hingga
saat ini belum ada satu pun pemeriksaan tersebut yang dapat memenuhi harapan itu. Semua
pemeriksaan tersebut umumnya masih dalam taraf penelitian untuk pemakaian klinis praktis.
4.4.2.5 Mikrobiologis
Diagnosis kerja TB biasanya dibuat berdasarkan gambaran klinis, uji tuberkulin, dan gambaran
radiologis paru. Diagnosis pasti ditegakkan bila ditemukan kuman TB pada pemeriksaan
mikrobiologis. Pemeriksaan mikrobiologis yang dilakukan terdiri dari dua macam, yaitu
pemeriksaan mikroskopis apusan langsung untuk menemukan BTA dan pemeriksaan biakan
kuman M. tuberculosis.
Pemeriksaan di atas sulit dilakukan pada anak karena sulitnya mendapatkan spesimen
berupa sputum. Sebagai gantinya, dilakukan pemeriksaan bilas lambung (gastric lavage) 3 hari
berturut-turut, minimal 2 hari. Hasil pemeriksaan mikroskopik langsung pada anak sebagian
besar negatif, sedangkan hasil biakan M. tuberculosis memerlukan waktu yang lama yaitu
sekitar 6−8 minggu. Saat ini ada pemeriksaan biakan yang hasilnya diperoleh lebih cepat (1−3
minggu), yaitu pemeriksaan Bactec, tetapi biayanya mahal dan secara teknologi lebih rumit.
Perkembangan lain di bidang mikrobiologi adalah pemeriksaan PCR. Pemeriksaan PCR
merupakan teknik amplifikasi urutan deoxyribonucleotic acid (DNA) yang spesifik. Secara teori,
dengan metode ini, kuman yang berasal dari spesimen bilas lambung akan dapat dideteksi
meskipun hanya ada satu kuman M. tuberculosis pada bahan pemeriksaan, sehingga
diharapkan sensitivitasnya cukup tinggi.
Akan tetapi, terdapat beberapa kelemahan untuk menerapkan pemeriksaan PCR sebagai
pemeriksaan klinis rutin, yaitu tingginya variasi tingkat sensitivitas pada pemeriksaan PCR di
berbagai laboratorium, dan mudahnya terjadi kontaminasi kuman/bagian dari kuman yang
berasal dari pemeriksaan sebelumnya, sehingga dapat menyebabkan positif palsu. Hasil positif
pun tidak selalu menunjukkan kuman yang aktif, karena kuman dorman atau persister dapat
terdeteksi dengan pemeriksaan ini. Selain itu, teknologi yang digunakan masih tergolong rumit,
sehingga menyebabkan tingginya biaya PCR. Oleh karena itu, hingga saat ini pemeriksaan PCR
masih digunakan untuk keperluan penelitian dan belum digunakan untuk pemeriksaan klinis
rutin. Penelitian lebih lanjut untuk melihat sensitivitas dan spesifisitasnya pada anak masih
diperlukan.
Akan tetapi, adanya positif palsu ini menyebabkan masih diperlukannya suatu sistem
kontrol standar mutu yang lebih baik, sehingga belum digunakan sebagai pemeriksaan klinis
rutin. Pada pasien TB dewasa, metode ini telah terbukti sensitivitas dan spesifisitasnya yang
cukup tinggi, akan tetapi peranannya dalam diagnosis TB anak masih kontroversial dan
memerlukan penelitian lebih lanjut.
180
Dalam pemeriksaan PCR ini, perlu diperhatikan aspek pemilihan spesimen. Seperti kita
ketahui, kuman TB ada di dalam darah hanya dalam waktu singkat selama masa inkubasi,
sehingga pemeriksaan PCR dengan spesimen darah tidak bermanfaat. Spesimen yang dapat
digunakan adalah sputum, bilas lambung, cairan pleura, atau CSS.
181
Tabel 4.4.8 Petunjuk WHO untuk diagnosis TB anak
a. Dicurigai tuberkulosis
1. Anak sakit dengan riwayat kontak pasien tubekulosis dengan diagnosis pasti
2. Anak dengan :
Keadaan klinis tidak membaik setelah menderita campak atau batuk rejan
Berat badan menurun, batuk dan mengi yang tidak membaik dengan pengobatan antibiotika
untuk penyakit pernapasan
Pembesaran kelenjar superfisialis yang tidak sakit
b. Mungkin tuberkulosis
Anak yang dicurigai tuberkulosis ditambah :
Uji tuberkulin positif (10 mm atau lebih)
Foto rontgen paru sugestif tuberkulosis
Pemeriksaan histologis biopsi sugestif tuberkulosis
Respons yang baik pada pengobatan dengan OAT
Kriteria WHO ini telah dievaluasi secara prospektif oleh Houwart dkk, dengan hasil baik.
Penilaian pada 258 anak dengan "mungkin tuberkulosis" sesuai kriteria WHO maka setelah
diikuti lebih lanjut 109 (42%) menjadi "pasti tuberkulosis" dengan biakan positif, 86 (33%)
diagnosisnya tetap "mungkin tuberkulosis", sedangkan 63 (24%) bukan tuberkulosis. Diantara
109 anak dengan biakan positif, 11 anak foto rontgen parunya normal.
Unit Kerja Koordinasi Respirologi PP IDAI sudah pernah membuat alur diagnosis TB anak
yang dimuat dalam buku Pedoman Nasional Penanggulangan TB yang diterbitkan oleh
Departemen Kesehatan RI (Depkes RI). Dalam alur diagnosis tersebut, terdapat 10 butir kriteria
diagnosis TB anak (Gambar 4.4.1). Bila terpenuhi tiga atau lebih, anak sudah dapat didiagnosis
TB. Setelah dievaluasi pelaksanaannya di lapangan, alur diagnosis tersebut sangat berpotensi
menyebabkan terjadinya overdiagnosis TB pada anak.
182
Hal-hal yang mencurigakan TB :
1. Mempunyai sejarah kontak erat dengan pasien TB dengan BTA (+)
2. Uji tuberkulin yang positif (>10 mm)
3. Gambaran foto Rö sugestif TB
4. Terdapat reaksi kemerahan yang cepat (dalam 3-7 hari) setelah imunisasi dengan BCG
5. Batuk-batuk lebih dari 3 minggu
6. Sakit dan demam lama atau berulang, tanpa sebab yang jelas
7. Berat badan turun tanpa sebab yang jelas atau berat badan kurang baik yang tidak naik dalam 1 bulan
meskipun sudah dengan penanganan gizi (failure to thrive)
8. Gejala-gejala klinis spesifik (pada kelenjar limfe, otak, tulang dll)
9. Yyy ?
10. Zzz ?
Dianggap TB
Beri OAT
Observasi 2 bulan
Membaik Memburuk/tetap
Teruskan Rujuk ke RS
183
Untuk mengatasi hal tersebut, IDAI bekerjasama dengan Depkes RI dan didukung WHO,
membentuk kelompok kerja TB anak (Pokja TB Anak). Salah satu tugas Pokja ini adalah
mengembangkan sistem skoring yang baru untuk meningkatkan sensitivitas dan spesifisitas
diagnosis TB pada anak. Sistem skoring yang telah disusun tersebut diuji coba melalui tiga
tahapan penelitian. Penelitian pertama berupa penerapan sistem skoring terhadap sekitar 200
pasien TB anak dengan biakan positif (confirmed TB). Penelitian kedua adalah penerapan
sistem skoring terhadap pasien TB anak di RS yang menjalani prosedur diagnostik lengkap
termasuk pemeriksaan mikrobiologik. Dari kedua tahapan penelitian tersebut didapatkan sistem
skoring dengan cut off-point seperti yang dimuat di dalam buku ini. Penelitian tahap ketiga
adalah penerapan sistem skoring di puskesmas untuk melihat kelayakan dan
kemampulaksanaan petugas kesehatan di lapangan. Revisi sistem skoring diagnosis TB anak
dapat dilihat pada Tabel 4.4.9.
Pembengkakan − ada − −
tulang / sendi pembengkakan
panggul, lutut, falang
Catatan :
Diagnosis dengan sistem skoring ditegakkan oleh dokter.
Bila dijumpai gambaran milier atau skrofuloderma, langsung didiagnosis TB.
Berat badan dinilai saat pasien datang (moment opname).
Demam dan batuk tidak memiliki respons terhadap terapi baku.
Foto toraks bukan merupakan alat diagnostik utama pada TB Anak.
*Gambaran sugestif TB, berupa: pembesaran kelenjar hilus atau paratrakeal dengan/tanpa
infiltrat; konsolidasi segmental/lobar; kalsifikasi dengan infiltrat; atelektasis;
tuberkuloma. Gambaran milier tidak dihitung dalam skor karena diperlakukan secara khusus.
184
Mengingat pentingnya peran uji tuberkulin dalam mendiagnosis TB anak, maka sebaiknya disediakan
tuberkulin di tempat pelayanan kesehatan.
Pada anak yang diberi imunisasi BCG, bila terjadi reaksi cepat BCG (<7 hari) harus dievaluasi dengan
sistem skoring TB Anak, BCG bukan merupakan alat diagnostik.
Diagnosis kerja TB anak ditegakkan bila jumlah skor >6 (skor maksimal 13).
Jika ditemukan gambaran milier, kavitas, atau efusi pleura pada foto toraks, dan/atau
terdapat tanda-tanda bahaya, seperti kejang, kaku kuduk, dan penurunan kesadaran, serta
tanda kegawatan lain seperti sesak napas, pasien harus dirawat inap di RS. Bila dijumpai gibbus
dan koksitis, pasien harus dikonsultasikan ke bedah ortopedi dan neurologi anak. Tatalaksana
yang lebih lengkap pada keadaan-keadaan khusus di atas, dapat dilihat pada Bab Tuberkulosis
dengan Keadaan Khusus.
Sistem skoring dikembangkan terutama untuk penegakan diagnosis TB anak pada
sarana kesehatan dengan fasilitas yang terbatas. Untuk mendiagnosis TB di sarana yang
memadai, sistem skoring hanya digunakan sebagai uji tapis. Setelah itu dilengkapi dengan
pemeriksaan penunjang lainnya, seperti bilas lambung (BTA dan kultur M. tuberculosis),
patologi anatomik, pungsi pleura, pungsi lumbal, CT-scan, funduskopi, serta pemeriksaan
radiologis untuk tulang dan sendi.
Kesimpulan
Tuberkulosis anak merupakan masalah yang tidak dapat diabaikan. Tanpa tatalaksana yang
baik maka angka kematian akan tinggi atau kalau si anak menjadi dewasa, dapat menjadi
sumber penularan di kemudian hari.
Diagnosis tuberkulosis anak tidak selalu mudah. Hal ini karena gambaran klinis dan radiologis
tidak selalu spesifik sedangkan pemeriksaan mikrobiologis tidak selalu dapat diharapkan.
Diharapkan pengembangan dan penelitian pemeriksaan serologis dapat menambah kriteria
diagnostik di kemudian hari.
Daftar pustaka
1. Affronti LF, Fife EH, Grow L. Serodiagnosis test for tuberculosis. Am Rev Respir Dis 1975;107:822–5.
2. Bassey EOE, Catty D, Kumararatne DS, Raykundalia C. Candidate antigens for improved
serodiagnosis of tuberculosis. Tuberc and Lung Dis 1996;77:136–45.
3. Casal M, Gutierrez J, Vaquero M. Comparative evaluation of the mycobacterium growth indicator
tube with the BACTEC 460 TB system and Lowenstein-Jensen medium for isolation of mycobacteria
from clinical specimens. Int J Tuberc Lung Dis 1997;1:81–4.
4. Charpin D, Herbault M, Gevaudan J, Saadjian M, De Mico P, Arnaud A, dkk. Value of ELISA using A60
antigens in the diagnosis of active pulmonary tuberculosis. Am Rev Respir Dis 1990;142:380 –4.
5. Chaulit P, Ait Khaled N, Anane T, Baghriche M, Boulahbal F, Cermay J, dkk. Childhood tuberculosis,
still with us. Dalam: children in the tropics. Paris: Internatonal Children's Centre; 1992.
6. Chiang I, Suo J, Bai KJ, Lin TP, Luh KT, Yu CJ, dkk. Serodiagnosis of tuberculosis: a study comparing
three specific mycobacterial antigens. Am J Respir Crit Care Med 1997;156:906 –11.
7. Cohen RA, Muzaffar S, Schwartz D, Bashir S, Luke S, McGartland LP, dkk. Diagnosis of pulmonary
tuberculosis using PCR assays on sputum collected within 24 hours of hospital admission. Am J
Respir Crit Care Med 1998;157:156–61.
8. Dannenberg AM Jr. Pathogenesis of pulmonary tuberculosis. Am Rev Respir Dis 1982;125:25–9.
9. Dannenberg AM Jr. Pathogenesis and immunology: basic aspects. Dalam: Schlossberg D,
penyunting. Tuberculosis. Edisi ke-3. New York: Springer-Verlag; 1994. h. 17–39.
185
10. Gamboa F, Manterola JM, Lonca J, Vinado M, Matas L, Gimenez M, dkk. Rapid detection of
Mycobaterium tuberculosis in respiratory specimens, blood, and other non-respiratory specimens by
amplification of rRNA. Int J Tuberc Lung Dis 1996;1:542–55.
11. Houwert KAF, Borggreven PA, Schaaf HS, Nel E, Donald PR, Stolk J. Prospective evaluation of World
Health Organization criteria to assist diagnosis of tuberculosis in children. Eur Respir J
1998;11:1116–20.
12. Imaz MS, Comini MA, Zerbini E, Sequeira MD, Spoletti MJ, Etchart AA, dkk. Evaluation of the
diagnostic value of measuring IgG, IgM, and IgA antibodies to the recombinant 16 kilodalton antigen
of Mycobacterium tuberculosis in childhood tuberculosis. Int J Tuberc Lung Dis 2002;5(11):1036–43.
13. Inselman LS. Tuberculosis in children: an update. Pediatr Pulmonol 1996;21:101–20.
14. Inselman LS, Kendig EL. Tuberculosis. Dalam: Kendig‘s disorders of the respiratory tract in children.
Edisi ke-6. Philadelphia: Saunders; 1998. h. 883–920.
15. Jacobs RF, Levy J, Wilson CB, Smith AL. Tuberculosis. Dalam: Nussbaum R, Gallat SP, penyunting.
Pediatric respiratory disorders: clinical approaches. Orlando: Grune & Stratton; 1984. h. 157 –71.
16. Jaworska HG, Zwolska Z, Droszcz P, Rybus L, Dabrowski A, Droszcz W. Serum and bronchoalveolar
IgG against A60 and 38 KDa antigens in the diagnosis of tuberculosis. Int J Tuberc Lung Dis
1997;1:556–62.
17. Kalish SB, Radin RC, Levitz D, Zeiss CR, Phair JP. The enzyme-linked immnusorbent assay method
for IgA antibody to purified protein derivate in cerebrospinal fluid of patients with tuberculosis
meningitis. Annals of Internal Medicine 1983;99:630–3.
18. Madkour MM. Tuberculosis. Berlin: Springer; 2004.
19. Mandariaga L, Amurrio C, Martin G, Cebrian FG, Bicandi J, Lardelli P, dkk. Detection of anti-
interferon-gamma autoantibodies in subjects infected by Mycobacterium tuberculosis. Int J Tuberc
Lung Dis 1998;2:62–8.
20. Marshall BG, Shaw RJ. Diagnostic techniques: old and new. Dalam: Wilson R, penyunting.
Tuberculosis: European respiratory monograph. Sheffield, UK: European Respiratory Society; 1997.
h. 30–50.
21. McDonough KA, Kress Y, Bloom BR. Pathogenesis of tuberculosis: interaction of Mycobacterium
tuberculosis with macrophages. Infection and Immunity 1993;61:2763–73.
22. Moss RB. Pulmonary defenses. Dalam: Hilman BC, penyunting. Pediatric respiratory disease:
diagnosis and treatment. Philadelphia: WB Saunders; 1993. h. 12–36.
23. Moulding T. Pathophysiology and immunology: clinical aspects. Dalam: Schlossberg D, penyunting.
Tuberculosis. Edisi ke-3. New York: Springer-Verlag; 1994. h. 41–50.
24. Munoz FM, Starke JR. Tuberculosis (Mycobacterium tuberculosis). Dalam: Berhrman RE, Kliegman
RM, Jenson HB, penyunting. Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke-17. Philadelphia: Saunders; 2004.
h. 958–72.
25. Nakamura RM, Velmonte MA, Kawajeri K, Ang CF, Frias RA, Mendoza MT, dkk. MPB-64 mycobacterial
antigen: a new skin-test reagent through patch method for rapid diagnosis of active tuberculosis. Int
J Tuberc Lung Dis 1998;2:541–6.
26. Park SC, Lee BI, Chow SN, Kim WJ, Lee BC, Kim SM, dkk. Diagnosis of tuberculosis meningitis by
detection of immunoglobulin G antibodies to purified protein derivate and lipoarabinomanna antigen
in cerebrospinal fluid. Tuberc Lung Dis 1993;74:317–22.
27. Prasetyo RV. Tinjauan kepustakaan: peran polymerase chain reaction (PCR) sebagai alat diagnostik
pada TB anak. Surabaya: Lab/SMF Ilmu Kesehatan Anak FK Universitas Airlangga—RS Dr. Soetomo;
2004. h. 2–3.
28. Rahajoe NN, Rahajoe N, Boediman I. Primary tuberculosis in children (review of 115
bacteriologically-proven cases). Pediatrica Indonesiana 1977 Sep-Oct;17:289–98.
29. Ranatasuwan W, Kreiss JK, Nolan CM, Schaeffler BA, Suwanagool S, Tunsupasawasdikul S, dkk.
Evaluation of the mycodot test for the diagnosis of tuberculosis in HIV seropositive and
seronegative patients. Int J Tuberc Lung Dis 1997;1:259–64.
186
30. Schaaf HS, Beyers N, Gie RP, Nel ED, Smuts NA, Scott FE, dkk. Respiratory tuberculosis in childhood:
the diagnostic value of clinical features and special investigations. Pediatr Infect Dis J 1995;14:189 –
94.
31. Smith KC, Starke JR, Eisenach K, Ong LT, Denby M. Detection of Mycobacterium tuberculosis in
clinical specimens from children using a polymerase chain reaction. Pediatrics 1996;97:155 –60.
32. Streeton JA, Desem M, Jones SL. Sensitivity and specificity of gamma interferon blood test for
tuberculosis infection. Int J Tuberc Lung Dis 1998;2:443–50.
33. Umetsu DT. Immunodeficiency and lung disease. Dalam: Hilman BC, penyunting. Pediatric
respiratory disease: diagnosis and treatment. Philadelphia: WB Saunders; 1993. h. 703 –7.
34. Unit Kerja Koordinasi Respirologi Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia. Konsensus Nasional
Tuberkulosis Anak; 13 Desember 1998; Bandung.
35. Wilcke JTR, Nybojensen B, Raun P, Anderson AB, Haslou K. Clinical evaluation of MPT-64 and MPT-
59, two proteins secreted from Mycobacterium tuberculosis for skin test reagents. Tuberc Lung Dis
1996;77:250–6.
36. WHO. WHO tuberculosis program framework for effective tuberculosis control. Geneva: World Health
Organization; 1994. h. 179.
37. Zheng YJ, Wang RH, Lin YZ, Daniel TM. Clinical evaluation of the diagnostic value of measuring IgG
antibody to 3 mycobacterial antigen preparations in the capillary blood of children with tuberculosis
and control subjects. Tuberc Lung Dis 1994;75:366–70.
38. Marais JB, Gie RP, Simon H, Beyers Nulda, R. Donald Peter, dan Starke R. Childhood Pulmonary
Tuberculosis Old Wisdom and New Challenges. Am J Respir Crit Care Med 2006;173.1078–1090.
39. Crus AT, Stark JR. Clinical Manifestations of Tuberculosis in Children. Pediatric Respiratory Review
2007;8:107-117.
40. Marais JB, Gie RP, Simon H, Beyers Nulda, R. Donald Peter, dan Starke R. The Natural History of
Childhood Intra-thoracis Tuberculosis: a Critical Review of Literature from the Pre-Chemotherapy
Area. Int J Tuberc Lung Dis 2004;8:392-402
187
4.5 Tatalaksana TB
Tatalaksana TB pada anak merupakan suatu kesatuan yang tidak terpisahkan antara pemberian
medikamentosa, penanganan gizi, dan pengobatan penyakit penyerta. Selain itu, penting untuk
dilakukan pelacakan sumber infeksi, dan bila ditemukan sumber infeksi juga harus
mendapatkan pengobatan. Upaya perbaikan kesehatan lingkungan juga diperlukan untuk
menunjang keberhasilan pengobatan. Pemberian medikamentosa tidak terlepas dari
penyuluhan kesehatan kepada masyarakat atau kepada orang tua pasien mengenai pentingnya
menelan obat secara teratur dalam jangka waktu yang cukup lama, pengawasan terhadap
jadwal pemberian obat, keyakinan bahwa obat diminum, dan sebagainya.
4.5.1 Medikamentosa
4.5.1.1 Obat TB yang digunakan
Obat TB utama (first line) saat ini adalah rifampisin (R), isoniazid (H), pirazinamid (Z),
etambutol (E), dan streptomisin (S). Rifampisin dan isoniazid merupakan obat pilihan utama
dan ditambah dengan pirazinamid, etambutol, dan streptomisin. Obat TB lain (second line)
adalah para-aminosalicylic acid (PAS), cycloserin terizidone, ethionamide, prothionamide,
ofloxacin, levofloxacin, moxiflokxacin, gatifloxacin, ciprofloxacin, kanamycin, amikacin, dan
capreomycin, yang digunakan jika terjadi MDR.
Isoniazid
Isoniazid diberikan secara oral. Dosis harian yang biasa diberikan adalah 5−15 mg/kgBB/hari,
maksimal 300 mg/hari, dan diberikan dalam satu kali pemberian. Isoniazid yang tersedia
umumnya dalam bentuk tablet 100 mg dan 300 mg, dan dalam bentuk sirup 100 mg/5 ml.
Sediaan dalam bentuk sirup biasanya tidak stabil, sehingga tidak dianjurkan penggunaannya.
Konsentrasi puncak di dalam darah, sputum, dan CSS dapat dicapai dalam 1−2 jam, dan
menetap selama paling sedikit 6−8 jam. Isoniazid dimetabolisme melalui asetilasi di hati.
Terdapat dua kelompok pasien berdasarkan kemampuannya melakukan asetilasi, yaitu
asetilator cepat dan asetilator lambat. Asetilasi cepat lebih sering terjadi pada orang Afrika-
Amerika dan Asia daripada orang kulit putih. Anak-anak mengeliminasi isoniazid lebih cepat
daripada orang dewasa, sehingga memerlukan dosis mg/kgBB yang lebih tinggi daripada
dewasa. Isoniazid terdapat pada air susu ibu (ASI) yang mendapat isoniazid dan dapat
menembus sawar darah plasenta, tetapi kadar obat yang mencapai janin/bayi tidak
membahayakan.
Isoniazid mempunyai dua efek toksik utama, yaitu hepatotoksik dan neuritis perifer.
Keduanya jarang terjadi pada anak, biasanya terjadi pada pasien dewasa dengan frekuensi
yang meningkat dengan bertambahnya usia. Sebagian besar pasien anak yang menggunakan
isoniazid mengalami peningkatan kadar transaminase darah yang tidak terlalu tinggi dalam 2
bulan pertama, tetapi akan menurun sendiri tanpa penghentian obat. Tiga hingga sepuluh
persen pasien akan mengalami peningkatan kadar transaminase darah yang cukup tinggi, tetapi
hepatotoksisitas yang bermakna secara klinis sangat jarang terjadi. Hal tersebut lebih mungkin
188
terjadi pada remaja atau anak dengan TB yang berat. Idealnya, perlu pemantauan kadar
transaminase pada 2 bulan pertama, tetapi karena jarang menimbulkan hepatotoksisitas maka
pemantauan laboratorium tidak rutin dilakukan, kecuali bila ada gejala dan tanda klinis.
Hepatotoksisitas akan meningkat apabila isoniazid diberikan bersama dengan rifampisin dan
pirazinamid. Penggunaan isoniazid bersama dengan fenobarbital atau fenitoin juga dapat
meningkatkan risiko terjadinya hepatotoksik. Pemberian isoniazid tidak dilanjutkan bila kadar
transaminase serum naik lebih dari lima kali harga normal, atau tiga kali disertai ikterik
dan/atau manifestasi klinis hepatitis berupa mual, muntah, dan nyeri perut.
Neuritis perifer timbul akibat inhibisi kompetitif karena metabolisme piridoksin.
Manifestasi klinis neuritis perifer yang paling sering adalah mati rasa atau kesemutan pada
tangan dan kaki. Kadar piridoksin berkurang pada anak yang menggunakan isoniazid, tetapi
manifestasi klinisnya jarang sehingga tidak diperlukan pemberian piridoksin tambahan. Akan
tetapi, remaja dengan diet yang tidak adekuat, anak-anak dengan asupan susu dan daging
yang kurang, malnutrisi, serta bayi yang hanya minum ASI, memerlukan piridoksin tambahan.
Piridoksin diberikan 25−50 mg satu kali sehari, atau 10 mg piridoksin setiap 100 mg isoniazid.
Manifestasi alergik atau reaksi hipersensitivitas yang disebabkan oleh isoniazid sangat
jarang terjadi. Kadang-kadang, isoniazid berinteraksi dengan teofilin, sehingga diperlukan
penyesuaian dosis. Efek samping yang jarang terjadi antara lain adalah pellagra, anemia
hemolitik pada pasien dengan defisiensi enzim glucose-6-phosphate dehydrogenase (G-6-PD),
dan reaksi mirip-lupus yang disertai dengan ruam dan artritis.
Rifampisin
Rifampisin bersifat bakterisid pada intrasel dan ekstrasel, dapat memasuki semua jaringan, dan
dapat membunuh kuman semidorman yang tidak dapat dibunuh oleh isoniazid. Rifampisin
diabsorpsi dengan baik melalui sistem gastrointestinal pada saat perut kosong (1 jam sebelum
makan), dan kadar serum puncak tercapai dalam 2 jam. Saat ini, rifampisin diberikan dalam
bentuk oral dengan dosis 10−20 mg/kgBB/hari, dosis maksimal 600 mg/hari, dengan dosis satu
kali pemberian per hari. Jika diberikan bersamaan dengan isoniazid, dosis rifampisin tidak
melebihi 15 mg/kgBB/hari dan dosis isoniazid 10 mg/kgBB/hari. Seperti halnya isoniazid,
rifampisin didistribusikan secara luas ke jaringan dan cairan tubuh, termasuk CSS. Distribusi
rifampisin ke dalam CSS lebih baik pada keadaan selaput otak yang sedang mengalami
peradangan daripada keadaan normal. Ekskresi rifampisin terutama terjadi melalui traktus bilier.
Kadar yang efektif juga dapat ditemukan di ginjal dan urin.
Efek samping rifampisin lebih sering terjadi daripada isoniazid. Efek yang kurang
menyenangkan bagi pasien adalah perubahan warna urin, ludah, keringat, sputum, dan air
mata, menjadi warna oranye kemerahan. Selain itu, efek samping rifampisin adalah gangguan
gastrointestinal (muntah dan mual), dan hepatotoksisitas (ikterus/hepatitis) yang biasanya
ditandai dengan peningkatan kadar transaminase serum yang asimtomatik. Jika rifampisin
diberikan bersama isoniazid, terjadi peningkatan risiko hepatotoksisitas, yang dapat diperkecil
dengan cara menurunkan dosis harian isoniazid menjadi maksimal 10 mg/kgBB/hari. Rifampisin
juga dapat menyebabkan trombositopenia, dan dapat menyebabkan kontrasepsi oral menjadi
tidak efektif dan dapat berinteraksi dengan beberapa obat, termasuk kuinidin, siklosporin,
digoksin, teofilin, kloramfenikol, kortikosteroid, dan sodium warfarin. Rifampisin umumnya
tersedia dalam sediaan kapsul 150 mg, 300 mg, dan 450 mg, sehingga kurang sesuai untuk
digunakan pada anak-anak dengan berbagai kisaran BB. Suspensi dapat dibuat dengan
menggunakan berbagai jenis zat pembawa, tetapi sebaiknya tidak diminum bersamaan dengan
pemberian makanan karena dapat timbul malabsorpsi.
189
Pirazinamid
Pirazinamid adalah derivat dari nikotinamid, berpenetrasi baik pada jaringan dan cairan tubuh
termasuk CSS, bakterisid hanya pada intrasel pada suasana asam, dan diresorbsi baik pada
saluran cerna. Pemberian pirazinamid secara oral sesuai dosis 15−30 mg/kgBB/hari dengan
dosis maksimal 2 gram/hari. Kadar serum puncak 45 μg/ml dalam waktu 2 jam. Pirazinamid
diberikan pada fase intensif karena pirazinamid sangat baik diberikan pada saat suasana asam,
yang timbul akibat jumlah kuman masih sangat banyak. Penggunaan pirazinamid aman pada
anak. Kira-kira 10% orang dewasa yang diberikan pirazinamid mengalami efek samping berupa
artralgia, artritis, atau gout akibat hiperurisemia, tetapi pada anak manifestasi klinis
hiperurisemia sangat jarang terjadi. Efek samping lainnya adalah hepatotoksisitas, anoreksia,
dan iritasi saluran cerna. Reaksi hipersensitivitas jarang timbul pada anak. Pirazinamid tersedia
dalam bentuk tablet 500 mg, tetapi seperti isoniazid, dapat digerus dan diberikan bersama
dengan makanan.
Etambutol
Etambutol jarang diberikan pada anak karena potensi toksisitasnya pada mata. Obat ini
memiliki aktivitas bakteriostatik, tetapi dapat bersifat bakterisid, jika diberikan dengan dosis
tinggi dengan terapi intermiten. Selain itu, berdasarkan pengalaman, obat ini dapat mencegah
timbulnya resistensi terhadap obat-obat lain. Dosis etambutol adalah 15−20 mg/kgBB/hari,
maksimal 1,25 gram/hari, dengan dosis tunggal. Kadar serum puncak 5 μg dalam waktu 24
jam. Etambutol tersedia dalam bentuk tablet 250 mg dan 500 mg. Etambutol ditoleransi dengan
baik oleh dewasa dan anak-anak pada pemberian oral dengan dosis satu atau dua kali sehari,
tetapi tidak berpenetrasi baik pada SSP, demikian juga pada keadaan meningitis.
Eksresi terutama melalui ginjal dan saluran cerna. Interaksi obat dengan etambutol tidak
dikenal. Kemungkinan toksisitas utama adalah neuritis optik dan buta warna merah-hijau,
sehingga seringkali penggunaannya dihindari pada anak yang belum dapat diperiksa tajam
penglihatannya. Penelitian di FKUI menunjukkan bahwa pemberian etambutol dengan dosis
15−25 mg/kgBB/hari tidak ditemukan kejadian neuritis optika pada pasien yang dipantau
hingga 10 tahun pascapengobatan. Rekomendasi WHO yang terakhir mengenai pelaksanaan TB
anak, etambutol dianjurkan penggunaannya pada anak dengan dosis 15−25 mg/kgBB/hari.
Etambutol dapat diberikan pada anak dengan TB berat dan kecurigaan TB resisten-obat jika
obat-obat lainnya tidak tersedia atau tidak dapat digunakan.
Streptomisin
Streptomisin bersifat bakterisid dan bakteriostatik terhadap kuman ekstraselular pada keadaan
basal atau netral, sehingga tidak efektif untuk membunuh kuman intraselular. Saat ini,
streptomisin jarang digunakan dalam pengobatan TB, tetapi penggunaannya penting pada
pengobatan fase intensif meningitis TB dan MDR-TB. Streptomisin diberikan secara
intramuskular dengan dosis 15−40 mg/kgBB/hari, maksimal 1 gram/hari, dan kadar puncak
40−50 μg/ml dalam waktu 1−2 jam.
Streptomisin sangat baik melewati selaput otak yang meradang, tetapi tidak dapat
melewati selaput otak yang tidak meradang. Streptomisin berdifusi dengan baik pada jaringan
dan cairan pleura, dan dieksresi melalui ginjal. Penggunaan utamanya saat ini adalah jika
terdapat kecurigaan resistensi awal terhadap isoniazid atau jika anak menderita TB berat.
Toksisitas utama streptomisin terjadi pada nervus kranial VIII yang mengganggu keseimbangan
dan pendengaran, dengan gejala berupa telinga berdengung (tinismus) dan pusing. Toksisitas
ginjal sangat jarang terjadi. Streptomisin dapat menembus plasenta, sehingga perlu berhati-hati
190
dalam menentukan dosis pada wanita hamil karena dapat merusak saraf pendengaran janin,
yaitu 30% bayi akan menderita tuli berat.
Prinsip dasar OAT adalah harus dapat menembus berbagai jaringan termasuk selaput
otak. Farmakokinetik OAT pada anak berbeda dengan orang dewasa. Toleransi anak terhadap
dosis obat per kgBB lebih tinggi. Saat ini terdapat beberapa perbedaan dosis OAT di dalam
kepustakaan. Oleh karena itu, UKK respirologi PP IDAI telah menyepakati pedoman dosis OAT
dengan mempertimbangkan toleransi anak terhadap dosis, dan tidak hanya sekedar
ekstrapolasi dosis untuk pasien dewasa. Secara ringkas, dosis dan efek samping OAT dapat
dilihat pada Tabel 4.5.1.
* Bila isoniazid dikombinasikan dengan rifampisin, dosisnya tidak boleh melebihi 10 mg/kgBB/hari.
** Rifampisin tidak boleh diracik dalam satu puyer dengan OAT lain karena dapat menganggu
bioavailabilitas rifampisin.
Rifampisin diabsorpsi dengan baik melalui sistem gastrointestinal pada saat perut kosong (satu jam
sebelum makan).
Sumber: modifikasi dari Munoz FM, Starke JR. Tuberculosis (Mycobacterium tuberculosis). Dalam: Behrman RE, Kliegman RM,
Jenson HB, penyunting. Nelson textbook of pediatrics. Philadelphia, Saunders, 2004. Scheinmann P, Refabert L, Delacourt C, Le
Bourgeois M, Paupe J, de Blic J. Paediatric tuberculosis. Dalam: R Wilson, penyunting. European Respiratory Monograph:
tuberculosis. Sheffield, European Respiratory Society Journals Ltd, 1997.
191
Pada keadaan TB berat, baik pulmonal maupun ekstrapulmonal seperti TB milier,
meningitis TB, TB sistem skeletal, dan lain-lain, pada fase intensif diberikan minimal empat
macam obat (rifampisin, isoniazid, pirazinamid, dan etambutol atau streptomisin). Pada fase
lanjutan diberikan rifampisin dan isoniazid selama 10 bulan. Untuk kasus TB tertentu yaitu
meningitis TB, TB milier, efusi pleura TB, perikarditis TB, TB endobronkial, dan peritonitis TB,
diberikan kortikosteroid (prednison) dengan dosis 1−2 mg/kgBB/hari, dibagi dalam 3 dosis,
maksimal 60 mg dalam 1 hari. Lama pemberian kortikosteroid adalah 2−4 minggu dengan
dosis penuh, dilanjutkan tappering off selama 1−2 minggu. Paduan OAT ini dapat dilihat pada
Gambar 4.5.1
2 bl 6 bl 9 bl 12 bl
INH
RIFAMPISIN
PIRAZINAMID
ETAMBUTOL
STREPTOMISIN
PREDNISON
192
Tabel 4.5.2 Dosis Kombinasi pada Tuberkulosis Anak
2 bulan 4 bulan
Berat badan (kg)
RHZ (75/50/150 mg) (RH (75/50 mg)
5−9 1 tablet 1 tablet
10−14 2 tablet 2 tablet
15−19 3 tablet 3 tablet
20−32 4 tablet 4 tablet
Catatan
Bila BB >33 kg, dosis disesuaikan dengan Tabel 4.5.1 (perhatikan dosis maksimal!).
Bila BB <5 kg, sebaiknya dirujuk ke RS.
Obat tidak boleh diberikan setengah dosis tablet.
Perhitungan pemberian tablet di atas sudah memperhatikan kesesuaian dosis per kgBB.
193
gastrointestinal, hepatotoksisitas, ruam dan gatal, serta demam. Salah satu efek samping yang
perlu diperhatikan adalah hepatotoksisitas.
Hepatotoksisitas jarang terjadi pada pemberian dosis isoniazid yang tidak melebihi 10
mg/kgBB/hari dan dosis rifampisin yang tidak melebihi 15 mg/kgBB/hari dalam kombinasi.
Hepatotoksisitas ditandai oleh peningkatan serum glutamic-oxaloacetic transaminase (SGOT)
dan serum glutamic-piruvat transaminase (SGPT) hingga >5 kali tanpa gejala, atau >3 kali
batas atas normal (40 U/l) disertai dengan gejala, peningkatan bilirubin total lebih dari 1,5
mg/dl, serta peningkatan SGOT/SGPT dengan nilai berapa pun yang disertai dengan ikterus,
anoreksia, nausea, dan muntah.
Masih banyak perbedaan pendapat di antara para ahli mengenai pemantauan dan
penatalaksanaan hepatotoksisitas pada anak. Beberapa pendapat menyebutkan bahwa
pemantauan melalui pemeriksaan laboratorium diperlukan pada anak dengan penyakit yang
berat, seperti TB milier, meningitis TB, keadaan gizi buruk, serta pasien yang memerlukan dosis
isoniazid dan rifampisin lebih besar daripada dosis yang dianjurkan. Pada keadaan ini,
hepatotoksisitas biasanya terjadi pada 2 bulan pertama pengobatan. Oleh karena itu, diperlukan
pemantauan yang cukup sering (misalnya setiap 2 minggu) selama 2 bulan pertama, dan
selanjutnya dapat lebih jarang.
Pada anak dengan penyakit yang tidak berat dan dosis obat yang diberikan tidak
melebihi anjuran, pemeriksaan laboratorium tidak perlu dilakukan secara rutin. Pada keadaan
ini, hanya diperlukan penapisan (screening) fungsi hati sebelum pemberian terapi serta
pemantauan terhadap gejala klinis hepatotoksisitas.
Tatalaksana hepatotoksisitas bergantung pada beratnya kerusakan hati yang terjadi.
Anak dengan gangguan fungsi hati ringan mungkin tidak membutuhkan perubahan terapi.
Beberapa ahli berpendapat bahwa peningkatan enzim transaminase yang tidak terlalu tinggi
(moderate) dapat mengalami resolusi spontan tanpa penyesuaian terapi, sedangkan
peningkatan lebih dari >5 kali tanpa gejala, atau >3 kali batas atas normal disertai dengan
gejala memerlukan penghentian rifampisin sementara atau penurunan dosis rifampisin. Akan
tetapi, mengingat pentingnya rifampisin dalam paduan pengobatan yang efektif, perlunya
penghentian obat ini cukup menimbulkan keraguan. Akhirnya, disimpulkan bahwa paduan
pengobatan dengan isoniazid dan rifampisin cukup aman digunakan jika diberikan dengan dosis
yang dianjurkan dan dilakukan pemantauan hepatotoksisitas dengan tepat.
Apabila peningkatan enzim transaminase >5 kali tanpa gejala, atau >3 kali batas atas
normal disertai dengan gejala, maka semua OAT dihentikan, kemudian kadar enzim
transaminase diperiksa kembali setelah 1 minggu penghentian. Obat antituberkulosis diberikan
kembali apabila nilai laboratorium telah normal. Terapi berikutnya dilakukan dengan cara
memberikan isoniazid dan rifampisin dengan dosis yang dinaikkan secara bertahap, dan harus
dilakukan pemantauan klinis dan laboratorium dengan cermat. Hepatoksisitas dapat timbul
kembali pada pemberian terapi berikutnya jika dosis diberikan langsung secara penuh (full-
dose) dan pirazinamid digunakan dalam paduan pengobatan.
194
4.5.1.7 Multi-drug Resistance (MDR)
Kejadian MDR-TB sulit ditentukan karena kultur sputum dan uji kepekaan obat tidak rutin
dilaksanakan di tempat-tempat dengan prevalens TB tinggi. Akan tetapi diakui bahwa MDR-TB
merupakan masalah besar yang terus meningkat. Diperkirakan MDR-TB akan tetap menjadi
masalah di banyak wilayah di dunia. Data mengenai MDR-TB yang resmi di Indonesia belum
ada. Menurut WHO, bila pengendalian TB tidak benar, prevalens MDR-TB mencapai 5,5%,
sedangkan dengan pengendalian yang benar yaitu dengan menerapkan strategi directly
observed treatment shortcourse (DOTS), maka prevalens MDR-TB hanya 1,6% saja. Daftar OAT
lini kedua untuk MDR-TB dapat dilihat pada Tabel 4.5.3.
4.5.2 Nonmedikamentosa
4.5.2.1 Pendekatan DOTS
Hal yang paling penting pada tatalaksana TB adalah keteraturan menelan obat. Pasien TB
biasanya telah menunjukkan perbaikan beberapa minggu setelah pengobatan, sehingga merasa
telah sembuh dan tidak melanjutkan pengobatan. Nilai sosial dan budaya serta pengertian yang
kurang mengenai TB dari pasien serta keluarganya tidak menunjang keteraturan pasien untuk
menelan obat.
Keteraturan pasien dikatakan baik apabila pasien menelan obat sesuai dengan dosis
yang ditentukan dalam paduan pengobatan. Keteraturan menelan obat ini menjamin
keberhasilan pengobatan serta mencegah relaps dan terjadinya resistensi. Salah satu upaya
untuk meningkatkan keteraturan adalah dengan melakukan pengawasan langsung terhadap
pengobatan (directly observed treatment). Directly observed treatment shortcourse adalah
strategi yang telah direkomendasikan oleh WHO dalam pelaksanaan program penanggulangan
195
TB, dan telah dilaksanakan di Indonesia sejak tahun 1995. Penanggulangan TB dengan strategi
DOTS dapat memberikan angka kesembuhan yang tinggi.
Sesuai dengan rekomendasi WHO, strategi DOTS terdiri atas lima komponen, yaitu
sebagai berikut.
1. Komitmen politis dari para pengambil keputusan, termasuk dukungan dana.
2. Diagnosis TB dengan pemeriksaan sputum secara mikroskopis.
3. Pengobatan dengan paduan OAT jangka pendek dengan pengawasan langsung oleh
pengawas menelan obat (PMO).
4. Kesinambungan persediaan OAT jangka pendek dengan mutu terjamin.
5. Pencatatan dan pelaporan secara baku untuk memudahkan pemantauan dan evaluasi
program penanggulangan TB.
Kelima komponen DOTS di atas terutama untuk pasien TB dewasa, khususnya pada
butir dua dan lima. Butir dua menyatakan diagnosis TB dengan pemeriksaan sputum secara
mikroskopis, yang pada anak sulit dilaksanakan. Sebagai gantinya, untuk diagnosis TB anak
digunakan uji tuberkulin. Butir lima pun sesuai dengan butir dua, sehingga format pencatatan
dan pelaporan dibuat untuk kelompok usia 15 tahun ke atas, sedangkan format untuk kelompok
usia 15 tahun ke bawah belum ada. Oleh sebab itu, diperlukan format khusus untuk kelompok
usia 15 tahun ke bawah yang saat ini sedang dalam proses penyusunan.
Salah satu komponen DOTS adalah pengobatan paduan OAT jangka pendek dengan
pengawasan langsung, yaitu mengharuskan adanya seseorang yang bertanggung jawab
mengawasi pasien menelan obat, disebut sebagai PMO. Setiap pasien baru yang ditemukan
harus selalu didampingi seorang PMO. Syarat untuk menjadi PMO adalah sebagai berikut:
dikenal, dipercaya, dan disetujui, baik oleh petugas kesehatan maupun pasien, serta harus
disegani dan dihormati oleh pasien; tempat tinggalnya dekat dengan pasien; bersedia
membantu pasien dengan sukarela; bersedia dilatih atau mendapatkan penyuluhan.
Orang yang dapat menjadi PMO adalah petugas kesehatan, keluarga pasien, kader,
pasien yang sudah sembuh, tokoh masyarakat, serta guru sekolah atau petugas unit kesehatan
sekolah yang sudah dilatih strategi DOTS. Tugas PMO adalah mengawasi pasien agar menelan
obat secara teratur sampai selesai pengobatan, memberi dorongan kepada pasien agar mau
berobat teratur, mengingatkan pasien untuk periksa sputum ulang (pasien dewasa), serta
memberikan penyuluhan kepada anggota keluarga pasien TB yang mempunyai gejala-gejala
tersangka TB untuk segera memeriksakan diri ke unit pelayanan kesehatan.
Sayangnya, ternyata hasil dari strategi DOTS masih kurang dari yang diharapkan. Tahun
1995−1998, cakupan pasien TB dengan strategi DOTS baru mencapai sekitar 10%. Oeh karena
itu, untuk lebih meningkatkan keteraturan menelan obat, OAT dibuat dalam bentuk kombipak
(kombinasi OAT dalam satu paket) dan FDC (kombinasi OAT dalam satu tablet). Pada anak,
kuman M. tuberculosis sulit ditemukan, baik pada biakan apalagi pada pemeriksaan mikroskopis
langsung. Oleh karena itu, diagnosis pada anak tidak dapat dibuat berdasarkan pemeriksaan
mikroskopis yang dianjurkan dalam strategi DOTS. Maka, diperlukan strategi diagnostik lain,
yaitu dengan menggunakan sistem skoring yang telah dijelaskan di atas (DOTS-modifikasi).
Saat ini pemerintah telah menyediakan paket OAT (kombipak) untuk anak, yang dapat
diperoleh secara gratis. Obat antituberkulosis dalam bentuk KDT (FDC) untuk anak sedang
dalam tahap persiapan pengadaan.
196
menderita TB aktif dan kontak erat dengan anak tersebut. Pelacakan sumber infeksi dilakukan
dengan cara pemeriksaan radiologis dan BTA sputum (pelacakan sentripetal). Bila telah
ditemukan sumbernya, perlu pula dilakukan pelacakan sentrifugal, yaitu mencari anak lain di
sekitarnya yang mungkin juga tertular, dengan cara uji tuberkulin.
Sebaliknya, jika ditemukan pasien TB dewasa aktif, maka anak di sekitarnya atau yang
kontak erat harus ditelusuri ada atau tidaknya infeksi TB (pelacakan sentrifugal). Pelacakan
tersebut dilakukan dengan cara anamnesis, pemeriksaan fisis, dan pemeriksaan penunjang
yaitu uji tuberkulin.
4.5.2.4 Pencegahan
Imunisasi BCG
Imunisasi BCG diberikan pada usia sebelum 2 bulan. Dosis untuk bayi sebesar 0,05 ml dan
untuk anak 0,10 ml, diberikan secara intrakutan di daerah insersi otot deltoid kanan
(penyuntikan lebih mudah dan lemak subkutis lebih tebal, ulkus tidak menganggu struktur otot
dan sebagai tanda baku). Bila BCG diberikan pada usia >3 bulan, sebaiknya dilakukan uji
tuberkulin terlebih dahulu. Insidens TB anak yang mendapat BCG berhubungan dengan kualitas
vaksin yang digunakan, pemberian vaksin, jarak pemberian vaksin, dan intensitas pemaparan
infeksi.
Manfaat BCG telah dilaporkan oleh beberapa peneliti, yaitu antara 0−80%. Imunisasi
BCG efektif terutama untuk mencegah TB milier, meningitis TB, dan spondilitis TB pada anak.
Imunisasi ini memberikan perlindungan terhadap terjadinya TB milier, meningitis TB, TB sistem
skeletal, dan kavitas. Fakta di klinik, sekitar 70% TB berat dengan biakan positif telah
mempunyai parut BCG. Imunisasi BCG ulangan dianjurkan di beberapa negara, tetapi umumnya
tidak dianjurkan di banyak negara lain termasuk Indonesia. Imunisasi BCG relatif aman, jarang
timbul efek samping yang serius. Efek samping yang sering ditemukan adalah ulserasi lokal dan
limfadenitis (adenitis supuratif) dengan insidens 0,1−1%. Kontraindikasi imunisasi BCG adalah
kondisi imunokompromais, misalnya defisiensi imun, infeksi berat, gizi buruk, dan gagal
tumbuh. Pada bayi prematur, BCG ditunda hingga bayi mencapai BB optimal.
Kemoprofilaksis
Terdapat dua macam kemoprofilaksis, yaitu kemoprofilaksis primer dan kemoprofilaksis
sekunder. Kemoprofilaksis primer bertujuan untuk mencegah terjadinya infeksi TB, sedangkan
kemoprofilaksis sekunder mencegah berkembangnya infeksi menjadi sakit TB. Pada
kemoprofilaksis primer diberikan isoniazid dengan dosis 5−10 mg/kgBB/hari dengan dosis
tunggal. Kemoprofilaksis ini diberikan pada anak yang kontak dengan TB menular, terutama
dengan BTA sputum positif, tetapi belum terinfeksi (uji tuberkulin negatif). Obat diberikan
selama 6 bulan. Pada akhir bulan ketiga pemberian profilaksis dilakukan uji tuberkulin ulang.
197
Jika tetap negatif, profilaksis dilanjutkan hingga 6 bulan. Jika terjadi konversi tuberkulin
menjadi positif, evaluasi status TB pasien. Pada akhir bulan keenam pemberian profilaksis,
dilakukan lagi uji tuberkulin, jika tetap negatif profilaksis dihentikan, jika terjadi konversi
tuberkulin menjadi positif, evaluasi status TB pasien.
Kemoprofilaksis sekunder diberikan pada anak yang telah terinfeksi, tetapi belum sakit,
ditandai dengan uji tuberkulin positif, sedangkan klinis dan radiologis normal. Tidak semua anak
diberi kemoprofilaksis sekunder, tetapi hanya anak yang termasuk dalam kelompok risiko tinggi
untuk berkembang menjadi sakit TB, yaitu anak-anak pada keadaan imunokompromais. Contoh
anak-anak dengan imunokompromais adalah usia balita, menderita morbili, varisela, atau
pertusis, mendapat obat imunosupresif yang lama (sitostatik dan kortikosteroid), usia remaja,
dan infeksi TB baru (konversi uji tuberkulin dalam waktu kurang dari 12 bulan). Lama
pemberian untuk kemoprofilaksis sekunder adalah 6−12 bulan.
Daftar pustaka
1. Christy C, Pulcino RL, Lanpheas BP, Miokard, Connochie KM. Screening for tuberculosis infection in
urban children. Arc Pediatr Adolescen Med 1996;150:722–6.
2. Corrigan D, Paton J. Hepatic enzyme abnormalities in children on triple therapy for tuberculosis.
Pediatr Pulmonol 1999;27:37–42.
3. Depkes RI. Pedoman nasional penanggulangan tuberkulosis. Cetakan ke-8. Jakarta: Depkes RI; 2002.
4. Hadinegoro, SR. Jadwal vaksinasi rekomendasi IDAI. Dipresentasikan pada Simposium Penyakit
Infeksi dan Imunisasi; Sabtu 2 April 2005; Padang.
5. Inselman LS, Kendig EL. Tuberculosis. Dalam: Kendig‘s disorders of the respiratory tract in children.
Edisi ke-6. Philadelphia: Saunders; 1998. h. 883–920.
6. Klein M, Iseman RD. Mycobacterial infections. Dalam: Taussig LM, Landau LI, penyunting. Pediatrics
respiratory medicine. St Louis: Mosby; 1998. h. 702–42.
7. Mohle-Boetam JC, Mess Miller, Halpern R, dkk. School based screening for tuberculosis infection.
JAMA 1995;274:613–9.
8. Munoz FM, Starke JR. Tuberculosis (Mycobacterium tuberculosis). Dalam: Behrman RE, Kliegman RM,
Jenson HB, penyunting. Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke-17. Philadelphia: Saunders; 2004. h.
958–72.
9. O‘Brien RJ, Long MW, Cross FS, Lyle MA, Snider DE. Hepatotoxicity from isoniazid and rifampicin
among children treated for tuberculosis. Pediatrics 1983 Oct;72(4):491 –9.
10. Scientific Committees of the IULTD. Tuberculosis in children, guidelines for diagnosis, prevention, and
treatment. Bull Int Union Tuberc Lung Dis 1991;66:61 –7.
11. Tahaoglu K, Atac G, Sevim T, Torun T, Yazicioglu O, Horzum I, dkk. The management of anti-
tuberculosis drug-induced hepatotoxicity. Int J Tuberc Lung Dis 2001;5(1):65–9.
12. Wong GWK, Oddenheimer SJ. Childhood tuberculosis. Dalam: Davies PDO, penyunting. Clinical
tuberculosis. London: Chadran&Hall Medical; 1994. h. 211 –23.
13. WHO. TB/HIV a clinical manual. Edisi ke-2. Geneva: World Health Organization; 2004.
14. Schaaf HS, Parkin DP, Seifart HI, Werely CJ, Hesseling PB, van Helden PD, Maritz JS, Donald PR.
Isoniazid pharmacokinetics in children treated for respiratory tuberculosis. Arch Dis Child
2005;90:614-8.
15. Donald PR, Maher D, Maritz JS, Qazi S. Ethambutol dosage for the treatment of children: literature
review and recommendations. Int J Tuberc Lung Dis 2006;10:1318-30.
198
4.6 Tuberculosis dengan keadaan khusus
Darfioes Basir, Finny Fitry Yani
Pada bab ini akan dibahas beberapa keadaan khusus pada TB anak seperti TB ekstrapulmonal,
TB pada perinatal, dan TB dengan HIV. TB ekstrapulmonal yang banyak ditemukan adalah TB
kelenjar, skrofuloderma, TB pleura, meningitis TB, TB tulang, dan TB abdomen, sedangkan
yang jarang ditemukan adalah TB mata, kulit, jantung, hati, limpa, dan ginjal. Insidens TB
ekstrapulmonal meningkat pada anak berusia di bawah 4 tahun, terutama meningitis dan TB
kelenjar. TB ekstrapulmonal biasanya sekunder terhadap penyakit TB paru, akibat penyebaran
limfo-hematogen, tapi juga bisa penyebaran lesi primer.
Manifestasi klinis
Manifestasi klinis TB milier dapat bermacam-macam, bergantung pada banyaknya kuman dan
jenis organ yang terkena. Gejala yang sering dijumpai adalah keluhan kronik yang tidak khas,
seperti anoreksia dan berat badan turun atau gagal tumbuh (dengan demam ringan atau tanpa
demam), demam lama dengan penyebab yang tidak jelas, serta batuk dan sesak napas. Di
Bagian Ilmu Kesehatan Anak RS Dr. Soetomo Surabaya, mulai dari tahun 1999 sampai dengan
tahun 2003, didapatkan 43 pasien TB milier, 56% dibawa ke RS dengan keluhan utama batuk
dan sesak napas, 19% kejang, dan 16% menderita demam berkepanjangan tanpa penyebab
yang jelas.
Tuberkulosis milier juga dapat diawali dengan serangan akut berupa demam tinggi yang
sering hilang timbul (remittent), pasien tampak sakit berat dalam beberapa hari, tetapi tanda
dan gejala penyakit saluran napas belum ada. Pada lebih kurang 50% pasien, limfadenopati
superfisial dan hepatomegali akan terjadi dalam beberapa minggu. Demam kemudian
199
bertambah tinggi suhunya dan berlangsung terus-menerus/kontinu. Deman tersebut terjadi
tanpa disertai gejala saluran napas atau disertai gejala minimal, dan rontgen paru biasanya
masih tampak normal. Beberapa minggu kemudian, pada hampir di semua organ, terbentuk
tuberkel difus yang multipel, terutama di paru, limpa, hati, dan sumsum tulang. Gejala klinis
biasanya timbul akibat gangguan pada paru, yaitu gejala respiratorik seperti batuk dan sesak
napas disertai ronki atau mengi. Pada kelainan paru yang telah lanjut, timbul sindrom sumbatan
alveolar, sehingga dapat dijumpai gejala distres pernapasan, hipoksia, pneumotoraks dan
pneumomediastinum. Dapat juga terjadi gangguan fungsi organ, kegagalan multiorgan, serta
syok.
Gejala lain yang dapat ditemukan adalah kelainan kulit berupa tuberkuloid, papula
nekrotik, nodul, atau purpura. Tuberkel koroid ditemukan pada 13-87% pasien, dan jika
ditemukan dini dapat merupakan tanda yang sangat spesifik dan sangat membantu diagnosis
TB milier.
Meningitis TB dan peritonitis TB dapat ditemukan pada 20-40% pasien yang penyakitnya
sudah berat. Sakit kepala kronik atau berulang biasanya merupakan gejala telah terjadinya
meningitis dan merupakan indikasi untuk melakukan pungsi lumbal. Peritonitis TB ditandai oleh
keluhan nyeri atau pembengkakan abdomen.
Lesi milier dapat terlihat pada rontgen paru dalam waktu 2-3 minggu setelah
penyebaran kuman secara hematogen. Gambarannya sangat khas, berupa tuberkel halus (millet
seed) yang tersebar merata di seluruh lapangan paru, dengan bentuk yang khas dan ukuran
yang hampir seragam (1-3 mm). Lesi kecil dapat bergabung membentuk lesi yang lebih besar,
kadang-kadang membentuk infiltrat yang luas. Sekitar 1-2 minggu setelah timbulnya penyakit,
lesi yang tidak teratur seperti kepingan salju dapat dilihat pada rontgen paru.
Diagnosis
Diagnosis TB milier pada anak dibuat berdasarkan adanya riwayat kontak dengan pasien TB
dewasa yang infeksius (BTA positif), gambaran radiologis yang khas, gambaran klinis, serta uji
tuberkulin yang positif. Uji tuberkulin tetap merupakan alat bantu diagnosis TB yang penting
pada anak. Uji tuberkulin yang negatif belum tentu menunjukkan tidak ada infeksi atau
penyakit TB atau sebaliknya. Uji tuberkulin negatif pada lebih dari 40% TB diseminata.
Pemeriksaan sputum atau bilasan lambung dan kultur M. tuberculosis tetap penting dilakukan.
Pemeriksaan BTA akan menunjukkan hasil positif pada 30-50% pasien. Namun, untuk diagnosis
dini, pemeriksaan sputum atau bilasan lambung kurang sensitif dibandingkan dengan
pemeriksaan bakteriologik dan histologik dari biopsi hepar atau sumsum tulang. Untuk
menentukan diagnosis meningitis TB, pungsi lumbal sebaiknya dilakukan pada setiap pasien TB
milier walaupun belum timbul kejang atau penurunan kesadaran.
Penatalaksanaan
Penatalaksanaan medikamentosa TB milier adalah pemberian 4-5 macam OAT kombinasi
isoniazid, rifampisin, pirazinamid, dan streptomisin atau etambutol selama 2 bulan pertama,
dilanjutkan dengan isoniazid dan rifampisin sampai 9 – 12 bulan sesuai dengan perkembangan
klinis. Dosis OAT dapat dilihat di Tabel 4.5.1. Kortikosteroid (prednison) diberikan pada TB
milier, meningitis TB, perikarditis TB, efusi pleura, dan peritonitis TB. Prednison biasanya
diberikan dengan dosis 1-2 mg/kgBB/hari selama 2-4 minggu selanjutnya diturunkan perlahan-
lahan hingga 2-6 minggu.
Pengobatan yang tepat, akan memberikan perbaikan radiologis TB milier dalam waktu 4
minggu. Respons keberhasilan terapi antara lain adalah hilangnya demam setelah 2-3 minggu
200
pengobatan, peningkatan nafsu makan, perbaikan kualitas hidup sehari-hari, dan peningkatan
berat badan. Gambaran milier pada foto toraks berangsur-angsur menghilang dalam 5-10
minggu, tetapi mungkin juga belum ada perbaikan sampai beberapa bulan.
2. Tuberkulosis pleura
Pleuritis dengan efusi biasanya merupakan komplikasi dini TB primer, dan merupakan salah
satu komplikasi yang sering terjadi pada anak-anak. Efusi pleura biasanya terjadi dalam 6 bulan
201
pertama setelah TB primer. Efusi pleura adalah penumpukan abnormal cairan di dalam rongga
pleura. Salah satu etiologi yang perlu dipikirkan bila menjumpai kasus efusi pleura di Indonesia
adalah TB. Efusi pleura TB dapat ditemukan dalam dua bentuk. Bentuk pertama adalah cairan
serosa; bentuk ini paling banyak dijumpai. Bentuk kedua, yang jauh lebih jarang, adalah
empiema TB, yang merupakan efusi pleura TB primer yang gagal mengalami resolusi dan
berlanjut ke proses supuratif kronik.
Efusi pleura terbentuk sebagai reaksi hipersensitivitas tipe lambat antigen kuman TB di
dalam rongga pleura. Antigen ini masuk ke dalam rongga pleura akibat pecahnya fokus
subpleura. Rangsangan pembentukan cairan oleh pleura yang terkait dengan infeksi kuman TB
dapat terjadi akibat kedua hal tersebut di atas. Pleuritis TB biasanya bermanifestasi sebagai
penyakit demam akut yang disertai batuk nonproduktif (94%) dan nyeri dada (78%) tanpa
peningkatan leukosit darah tepi. Penurunan BB dan malaise dapat dijumpai, demikian juga
dengan menggigil. Sebagian besar efusi pleura TB bersifat unilateral (95%), agak lebih sering di
sisi kanan. Jumlah cairan efusi bervariasi dari sedikit hingga banyak dan meliputi setengah dari
hemitoraks. Jumlah maupun lokasi terjadinya efusi tidak mempengaruhi prognosis. Cairan efusi
pleura dapat berupa massa kiju.
Dari foto toraks dapat dijumpai kelainan parenkim paru. Bila kelainan paru terjadi di
lobus bawah, maka efusi pleura terkait dengan proses infeksi TB primer. Bila kelainan paru
terjadi di lobus atas, maka kemungkinan besar merupakan TB pascaprimer dengan reaktivasi
fokus lama. Efusi pleura hampir selalu terjadi di sisi yang sama dengan kelainan parenkim
parunya.
Spesimen diagnostik utama efusi pleura TB adalah cairan pleura dan jaringan pleura
yang didapat dari pungsi pleura. Cairan pleura pada pleuritis TB biasanya berwarna kuning,
dengan protein yang tinggi dan cepat membeku. Kadang-kadang cairan keruh, bergantung
pada isi selnya. Pada fase akut, sel umumnya polimorfonuklear (PMN), tetapi pada sebagian
kasus selnya adalah limfosit.
Terapi pleuritis TB sama dengan terapi TB paru. Bila respons terhadap terapi baik, maka
suhu akan turun dalam 2 minggu terapi, dan cairan pleura akan diserap dalam 6 minggu. Akan
tetapi, pada beberapa pasien demam dapat berlangsung hingga 2 bulan dan penyerapan cairan
memerlukan waktu hingga 4 bulan. Steroid dapat memperpendek fase demam dan
mempercepat penyerapan cairan serta mencegah perlekatan, walaupun rasio manfaat dan
risiko penggunaannya belum diketahui pasti. Lama pemberian kortikosteroid adalah 2−6
minggu dengan dosis penuh, dilanjutkan tappering off selama 2−6 minggu sesuai dengan
lamanya pemberian dosis penuh. Drainase cairan pleura secara rutin tidak perlu dilakukan.
Penebalan pleura sebagai sisa penyakit dapat terjadi pada 50% kasus.
3. Tuberkulosis tulang/sendi
Tuberkulosis tulang atau sendi merupakan suatu bentuk infeksi tuberkulosis ekstrapulmonal
yang mengenai tulang atau sendi. Insidens tuberkulosis sendi berkisar 1-7% dari seluruh TB.
TB tulang belakang merupakan kejadian tertinggi diikuti sendi panggul dan sendi lutut pada TB
tulang atau sendi. Umumnya TB tulang atau sendi mengenai satu tulang atau sendi. TB pada
tulang belakang dikenal sebagai spondilitis tuberkulosis, TB pada panggul disebut koksitis
tuberkulosis, sedangkan pada sendi lutut disebut gonitis tuberkulosis.
Manifestasi klinis yang ditimbulkan bersifat lambat dan tidak khas sehingga umumnya
didiagnosis sudah dalam keadaan lanjut. Selain dijumpai gejala umum TB pada anak, dapat
dijumpai gejala spesifik berupa bengkak, kaku, kemerahan, dan nyeri pada pergerakan. Tidak
jarang hanya gejala pembengkakan sendi saja yang dikeluhkan.
202
Gejala atau tanda pada TB tulang atau sendi bergantung pada lokasi kelainan. Kelainan
pada tulang belakang disebut gibbus menampakkan gejala benjolan pada tulang belakang yang
umumnya seperti abses tetapi tidak menunjukkan tanda-tanda peradangan. Warna benjolan
sama dengan sekitarnya, tidak nyeri tekan, dan menimbulkan abses dingin. Apabila dijumpai
kelainan pada sendi panggul biasanya pasien berjalan pincang dan kesulitan berdiri. Kelainan
pada sendi lutut dapat berupa pembengkakan di daerah lutut, anak sulit berdiri dan berjalan,
dan kadang-kadang ditemukan atrofi otot paha dan betis.
Pemeriksaan penunjang yang diperlukan adalah pemeriksaan penunjang untuk TB pada
anak secara umum dan pemeriksaan foto pada lokasi yang dicurigai seperti tulang belakang,
sendi panggul dan sendi lutut. Pada tahap awal biasanya menunjukkan gambaran osteoporosis
regional periartikuler dan pembengkakan jaringan lunak sekitar sendi. Sedangkan pada tahap
lanjut, terdapat penyempitan celah sendi, destruksi tulang rawan sendi, dan lesi osteolitik pada
daerah epifisis. Untuk infeksi TB sendi gambaran yang khas adalah osteoporosis periartikuler,
destruksi tulang rawan sekitar sendi, dan penyempitan celah. Pada kelainan TB tulang belakang
destruksi tulang terjadi pada daerah korpus, serta penyempitan diskus intervertebralis.
Pemeriksaan lain yang dianjurkan adalah aspirasi cairan sendi dengan bantuan ultrasonografi.
Gambaran yang terlihat berupa peningkatan sel, penurunan glukosa, dan peningkatan protein,
atau bahkan dapat ditemukan BTA positif (sekitar 15-20% kasus). Pemeriksaan kultur
M.tuberculosis dapat dilakukan, sedangkan pada pemeriksaan histopatologis dapat dijumpai
gambaran perkijuan (granuloma tuberkulosis).
Tatalaksana TB tulang dan sendi adalah obat antituberkulosis rifampisin, INH, PZA, dan
etambutol. Rifampisin dan INH diberikan selama 12 bulan, sedangkan PZA dan etambutol
selama 2 bulan pertama. Selain medikamentosa pemberian terapi suportif juga diperlukan.Pada
TB tulang belakang harus diperhatikan adanya kelainan neurologis atau tidak. Apabila
ditemukan kelainan neurologis misalnya berupa kelumpuhan, neuritis perifer, maka tindakan
bedah segera dilakukan sedangkan apabila tidak dijumpai kelainan neurologis maka tindakan
bedah dilakukan secara elektif. Indikasi tindakan bedah umumnya adalah adanya kelainan
neurologis, instabilitas spinal, dan tidak respons terhadap OAT.
Prognosis TB tulang atau sendi sangat bergantung pada derajat kerusakan sendi atau
tulangnya. Pada kelainan yang minimal umumnya dapat kembali normal, tetapi pada kelainan
yang sudah lanjut dapat menimbulkan sekuele (cacat) sehingga mengganggu mobilitas pasien.
203
trombosis dan infark pembuluh darah yang melintasi membrana basalis atau berada dalam
parenkim otak. Kelainan inilah yang sering meninggalkan sekuele neurologis bila pasien
selamat. Kelainan ketiga adalah hidrosefalus komunikans akibat perluasan inflamasi ke sisterna
basalis yang akan mengganggu sirkulasi dan resorpsi likuor serebrospinal.
Gejala dan tanda meningitis TB dapat dibagi menjadi 3 fase. Fase prodormal
berlangsung 2-3 minggu, ditandai dengan malaise, sefalgia, demam tidak tinggi, dan dapat
dijumpai perubahan kepribadian. Fase meningitik sebagai fase berikutnya dengan tanda
neurologis yang lebih nyata seperti meningismus, sefalgia hebat, muntah, kebingungan, dan
kelainan saraf kranialis dalam berbagai derajat. Fase paralitik merupakan fase percepatan
penyakit, gejala kebingungan berlanjut ke stupor dan koma, kejang, dan hemiparesis.
Untuk keperluan terapi dan penentuan prognosis, perjalanan penyakit pasien dibagi
dalam 3 tahapan klinis berdasarkan temuan klinis dan radiologis. Pada tahap 1 pasien relatif
tenang, tidak ada tanda kelainan neurologik fokal dan tidak ada bukti hidrosefalus. Tahap 2,
pasien kebingungan, tampak kelainan fokal seperti kelumpuhan saraf kranialis atau
hemiparesis. Tahap 3, penyakit dalam tahap lanjut pasien delirium, stupor, koma, atau
hemiplegia.
Diagnosis TB SSP tidak mudah. Perlu kewaspadaan tinggi ke arah kemungkinan
meningitis TB bila didapatkan tanda-tanda kelainan neurologis dan TB milier. Maka, bila
didapatkan tanda-tanda SSP berupa rangsang meningeal, dan bila ditemukan TB milier, harus
dilakukan pungsi lumbal untuk deteksi dini TB.
Cairan serebrospinal memberi gambaran khas berupa peningkatan kadar protein dan
penurunan kadar glukosa, serta pleositosis mononuklear dengan hitung sel antara 100 – 500
sel/uL. Pemeriksaan apusan langsung untuk menemukan BTA dan biakan dari cairan serebro
spinal sangat penting. Untuk mendapatkan hasil positif dianjurkan melakukan pungsi lumbal 3
hari berturut. Terapi dapat langsung diberikan tanpa menunggu hasil pemeriksaan pungsi
lumbal ke 2 dan ke 3.
Pemeriksaan CT-scan dengan kontras dapat menentukan adanya dan luasnya kelainan
di daerah basal, serta adanya dan luasnya hidrosefalus. Pada pasien dengan gambaran klinis
sesuai TB, dengan hasil CT-scan berupa kelainan daerah basal dan hidrosefalus, apapun
derajatnya sangat menunjang diagnosis meningitis TB. Gambaran dari pemeriksaan CT-scan
dan magnetic resonance imaging (MRI) kepala pada pasien meningitis TB adalah normal pada
awal penyakit. Seiring berkembangnya penyakit, gambaran yang sering ditemukan adalah
penyangatan (enhancement) di daerah basal, tampak hidrosefalus komunikans yang disertai
dengan tanda-tanda edema otak atau iskemia fokal yang masih dini. Selain itu, dapat juga
ditemukan tuberkuloma yang silent, biasanya di daerah korteks serebri atau talamus.
Terapi segera diberikan tanpa ditunda bila ada kecurigaan klinis ke arah meningitis TB.
Terapi TB sesuai dengan konsep baku, yaitu 2 bulan fase intensif dengan 4−5 OAT (isoniazid,
rifampisin, pirazinamid, streptomisin, dan etambutol), dilanjutkan dengan 2 OAT (isoniazid dan
rifampisin) hingga 12 bulan. Bukti klinis mendukung penggunaan steroid pada meningitis TB
sebagai terapi ajuvan. Steroid yang dipakai adalah prednison dengan dosis 1−2 mg/kgBB/hari,
selama 4−6 minggu, setelah itu dilakukan penurunan dosis secara bertahap (tappering off)
selama 4−6 minggu sesuai dengan lamanya pemberian regimen. Pada bulan pertama pasien
harus tirah baring total.
Prognosis pasien berbanding lurus dengan tahapan klinis saat pasien didiagnosis dan
diterapi. Semakin lanjut tahap klinisnya, semakin buruk prognosisnya. Adanya hidrosefalus
disertai penyangatan (enhancement) daerah basal pada pemeriksaan CT-scan menunjukkan
tahap lanjut penyakit dengan prognosis yang buruk.
204
5. Tuberkulosis kulit
Tuberkulosis kulit dapat terjadi setiap saat pada perjalanan alamiah TB.
Klasifikasi TB kulit adalah:
1. Yang berkaitan dengan kompleks primer.
Kompleks primer (tuberculous chancre)
Sekedar akibat limfadenitis di bawahnya (skrofuloderma).
2. Lesi akibat penyebaran hematogen misalnya fokus primer di kulit.
Lesi yang terjadi pada fase penyebaran hematogen
Lesi yang terjadi lambat, misalnya lupus vulgaris
3. Reinfeksi eksogenus (infeksi TB pada luka di kulit)
4. Abses
205
6. Tuberkulosis abdomen
Tuberkulosis rongga mulut hingga faring sangat jarang terjadi. Yang sering terjadi adalah ulkus
yang tidak nyeri di mukosa mulut, palatum, atau tonsil dengan pembesaran kelenjar regional.
Tuberkulosis esofagus sangat jarang terjadi pada anak dan biasanya berhubungan dengan
fistula trakeoesofagus pada bayi. Bentuk TB ini biasanya berhubungan dengan TB paru yang
luas dan sekret saluran pernapasan yang tertelan, tetapi dapat juga terjadi akibat penyebaran
dari kelenjar mediastinum dan peritoneal.
Peritonitis TB biasanya terjadi pada dewasa muda, jarang pada anak dan remaja.
Peritonitis yang luas dapat terjadi akibat penyebaran hematogen, sedangkan peritonitis lokal
biasanya terjadi karena perluasan dari kelenjar limfe abdominal, fokus di usus, dan TB
urogenital. Pada awalnya, biasanya rasa sakit dan nyeri tekan tidak menonjol. Kelenjar limfe,
omentum, dan peritoneum dapat melengket satu sama lain dan membentuk massa yang tidak
sakit dan tidak teratur pada perabaan, yang disebut dengan fenomena papan catur.
Selanjutnya, kelenjar limfe, omentum, dan peritoneum yang saling melekat tersebut dapat
melekat pada organ-organ abdomen sehingga terjadi obstruksi usus. Selain itu dapat juga
terjadi penekanan pada vena porta, sehingga menyebabkan pelebaran dinding abdomen dan
asites.
Peritonitis TB merupakan bentuk TB anak yang jarang dijumpai, yaitu sekitar 1−5% dari
kasus TB anak. Penyakit ini umumnya terjadi pada dewasa, dengan perbandingan perempuan
lebih sering daripada laki-laki (2:1).
Patogenesis peritonitis TB didahului dengan infeksi M. tuberculosis yang menyebar
secara hematogen ke organ-organ di luar paru termasuk di peritonium. Seiring dengan
perjalanan waktu dan menurunnya daya tahan tubuh, dapat terjadi peritonitis TB. Cara lain
adalah melalui penjalaran langsung dari kelenjar mesenterika atau dari TB usus. Pada
peritonium terbentuk tuberkel dengan massa perkijuan yang dapat membentuk satu kesatuan
(konfluen). Pada perkembangan selanjutnya, omentum dapat menggumpal di daerah
epigastrium dan melekat pada organ-organ abdomen, sehingga pada akhirnya dapat
menyebabkan obstruksi usus. Di lain pihak, kelenjar limfe yang terinfeksi dapat membesar,
menyebabkan penekanan pada vena porta dengan akibat pelebaran vena dinding abdomen dan
asites.
Umumnya, selain gejala khusus peritonitis TB, dapat timbul gejala klinis umum TB pada
anak. Pemeriksaan penunjang yang dianjurkan sama dengan pemeriksaan TB secara umum.
Untuk mengetahui adanya peritonitis TB, dapat dilakukan pemeriksaan foto polos abdomen,
yaitu dijumpai gambaran peritonitis, massa omentum, dan asites. Apabila dijumpai asites maka
diperlukan pemeriksaan analisis cairan asites, yang umumnya didapatkan peningkatan jumlah
sel dengan monosit dominan, protein, dan penurunan glukosa. Biopsi peritonium dapat
dilakukan untuk mencari gambaran patologis. Kultur M. tuberculosis dapat dilakukan dengan
bahan cairan asites ataupun biopsi peritonium.
Tatalaksana medikamentosa peritonitis TB berupa 4−5 macam OAT. Selama 2 bulan
pertama diberikan 4−5 macam OAT, kemudian rifampisin dan isoniazid dilanjutkan hingga 12
bulan. Kortikosteroid diberikan 1−2 mg/kgBB selama 1−2 minggu pertama. Pada keadaan
obstruksi usus karena perlengketan perlu dilakukan tindakan operasi.
7. Tuberkulosis mata
Tuberkulosis mata jarang terjadi pada anak. Tuberkulosis mata pada anak paling sering terjadi
pada konjungtiva, kornea, dan koroid. Tuberkulosis mata dapat merupakan TB primer, tetapi
sebagian besar merupakan akibat dari penyebaran hematogen. Dampak TB pada mata dapat
206
merupakan akibat langsung dari kuman TB atau merupakan reaksi hipersensitivitas terhadap
tuberkuloprotein.
Tuberkulosis primer mata dapat terjadi karena infeksi langsung, misalnya sumber infeksi
batuk atau bersin di depan anak, atau anak menggosok-gosok matanya dengan tangan yang
terkontaminasi kuman TB. Pada TB konjungtiva biasanya terdapat tanda kemerahan dan
pengeluaran air mata yang banyak, kemudian dapat terjadi nodul dan ulkus.
Konjungtivitis fliktenularis (KF) merupakan fenomena hipersensitivitas terhadap
tuberkuloprotein pada TB anak dan remaja. Gejala utama adalah nyeri dan rasa mengganjal
pada mata yang sering berulang. Flikten akan berulang selama TB masih aktif. Flikten dapat
juga terjadi akibat infeksi lain, misalnya Streptococcus β hemolyticus, Staphylococcus sp,
bahkan dapat juga akibat investasi parasit (kecacingan). Kadang-kadang flikten dapat muncul
akibat penyuntikan tuberkulin dan/atau BCG.
Manifestasi klinis KF dapat berupa iritasi, nyeri, lakrimasi, fotofobia, dan pengeluaran
sekret mata. Gambaran khas KF adalah berupa nodul kecil berwarna putih/merah muda pada
konjungtiva yang disertai hiperemis di sekitarnya. Nodul tersebut dapat timbul berulang dan
dapat menimbulkan sikatriks yang mengakibatkan kebutaan. Apabila KF disebabkan oleh TB,
maka gambaran TB anak secara umum dapat terlihat, seperti demam lama, BB tidak naik, dan
sebagainya.
Pemeriksaan penunjang yang diperlukan adalah untuk mencari penyebabnya, yaitu uji
tuberkulin, pemeriksaan radiologis, dan pemeriksaan feses. Yang perlu diperhatikan adalah, bila
memungkinkan, pada pemeriksaan uji tuberkulin digunakan tuberkulin dengan kekuatan ringan
(first strength). Alasannya karena diduga merupakan reaksi hipersensitivitas, sehingga apabila
digunakan kekuatan sedang (second strength), dapat menimbulkan flare up pada konjungtiva
maupun reaksi berlebihan pada lokasi penyuntikan tuberkulin. Untuk menyingkirkan penyebab
stafilokokus, perlu dilakukan usap konjungtiva. Konjungtivitis fliktenularis dapat meluas menjadi
keratitis (keratokonjungtivitis fliktenularis).
Tatalaksana KF tidak lepas dari tatalaksana TB pada anak secara keseluruhan, yaitu
pemberian OAT seperti rifampisin, isoniazid, dan pirazinamid, dengan dosis dan lama pemberian
OAT sama seperti pengobatan TB paru. Selain itu, pemberian kortikosteroid topikal mempunyai
efek yang baik. Konjungtivitis fliktenularis dapat disertai dengan infeksi sekunder, sehingga
perlu juga diberikan antibiotik topikal. Tindakan keratoplasti dilakukan apabila telah terjadi
komplikasi parut kornea.
Komplikasi yang mungkin timbul adalah ulkus fasikuler, parut kornea, dan perforasi
kornea. Meskipun jarang, penggunaan kortikosteroid topikal dapat menyebabkan glaukoma
dan katarak.
Tuberkulosis koroid dapat ditemukan pada TB diseminata (TB milier, meningitis TB),
sehingga pada TB diseminata harus dilakukan pemeriksaan funduskopi. Pada funduskopi
biasanya ditemukan lebih dari satu tuberkel, kadang-kadang sangat banyak.
8. Tuberkulosis hati
Tuberkulosis hati merupakan salah satu TB ekstrapulmonal yang jarang ditemukan.
Tuberkulosis hati terjadi melalui proses penyebaran hematogen dari infeksi primer di paru,
kemudian mencapai sistem hepatobilier melalui vena porta. Selain itu, tuberkel di hati dapat
terbentuk melalui jalur limfatik, yaitu rupturnya kelenjar limfe porta hepatik yang membawa M.
tuberculosis ke hati. Pada TB perinatal, penularan TB ke hati dapat terjadi intrauterin melalui
plasenta.
Lesi TB di hati dapat berupa gambaran milier (tuberkel-tuberkel yang kecil). Granuloma
dimulai dengan proliferasi fokal sel Kupffer yang membentuk nodul kecil sebagai reaksi
207
terhadap adanya M. tuberculosis dalam sinusoid hati. Makrofag dan kuman membentuk
tuberkel yang mengandung sel-sel epiteloid, sel datia Langhans (makrofag yang bersatu), dan
limfosit T. Peningkatan aktifitas limfosit T ini terjadi akibat timbulnya hipersensitivitas tipe
lambat yang memusnahkan makrofag setempat dan jaringan sekitarnya, yang akhirnya
membentuk perkijuan. Kejadian tersebut akan merusak jaringan sehingga terjadi fibrosis.
Manifestasi klinis TB hati tidak terlepas dari gejala klinis umum TB anak seperti demam,
BB yang tidak naik, dan anoreksia. Gejala tambahan adalah hepatomegali, splenomegali, nyeri
perut, dan ikterus.
Pemeriksaan penunjang TB anak secara umum tetap dikerjakan di samping pemeriksaan
tambahan untuk menentukan diagnosis TB hati. Pemeriksaan tambahan untuk membantu
diagnosis TB hati adalah uji fungsi hati, USG hati, dan biopsi hati. Pada pemeriksaan uji fungsi
hati terdapat peningkatan enzim transaminase (SGOT; SGPT; gamma gucuronyl transferase, γ-
GT). Pemeriksaan USG hati dapat memperlihatkan gambaran nodul multipel dan kalsifikasi.
Gambaran histopatologis hati pada TB hati menunjukkan gambaran granuloma dengan
perkijuan dan sel datia Langhans.
Tatalaksana TB hati adalah pemberian empat macam OAT, yaitu rifampisin, isoniazid,
pirazinamid, dan etambutol. Dosis OAT sama seperti TB lainnya. Rifampisin dan isoniazid
diberikan selama 12 bulan, sedangkan pirazinamid dan etambutol diberikan selama 2 bulan
pertama pengobatan. Mengingat bahwa OAT yang diberikan bersifat hepatotoksik, sedangkan
fungsi hatinya menurun, maka pemantauan terhadap uji fungsi hati sangat diperlukan.
Pemantauan ketat sebaiknya dilakukan selama 2 bulan pertama dengan perhatian khusus pada
2 minggu pertama pengobatan.
9. Tuberkulosis ginjal
Tuberkulosis ginjal pada anak jarang terjadi karena manifestasi klinis TB ginjal terjadi 5 tahun
atau lebih setelah infeksi primer. Kuman TB mencapai ginjal selama fase penyebaran
hematogen. Mikroorganisme dapat ditemukan di dalam urin pada kasus TB milier dan pada
beberapa kasus TB paru, meskipun tanpa penyakit parenkim ginjal. Pada TB ginjal sejati, fokus
perkijuan kecil berkembang di parenkim ginjal dan melepaskan kuman TB ke dalam tubulus.
Massa yang besar akan terbentuk dekat dengan korteks ginjal, yang mengeluarkan kuman
melalui fistula ke dalam pelvis ginjal. Infeksi kemudian menyebar secara lokal ke ureter,
prostat, atau epididimis.
Tuberkulosis ginjal seringkali secara klinis tenang pada fase awal, hanya ditandai
dengan piuria yang steril dan hematuria mikroskopis. Disuria, nyeri pinggang atau nyeri
abdomen, dan hematuria makroskopis dapat terjadi sesuai dengan perkembangan penyakit.
Superinfeksi dengan kuman lain, yang sering kali menyebabkan gejala yang lebih akut, dapat
menyamarkan diagnosis TB sebagai penyakit dasarnya. Oleh karena itu, mungkin diperlukan
pemeriksaan lanjutan seperti kultur urin, USG, dan lain-lain.
Pengobatan TB ginjal bersifat holistik, yaitu selain pemberian OAT juga dilakukan
penanganan terhadap kelainan ginjal yang terjadi. Sebagaimana terapi TB ekstrapulmonal lain,
maka pemberian OAT terdiri dari sedikitnya empat macam obat pada 2 bulan pertama, dan
dilanjutkan dengan dua macam obat sampai 12 bulan. Apabila diperlukan tindakan bedah,
dapat dilakukan setelah pemberian OAT selama 4−6 minggu.
208
demam subfebris, lesu, dan penurunan BB. Nyeri dada jarang timbul pada anak. Dapat
ditemukan friction rub dan suara jantung melemah dengan pulsus paradoksus. Terdapat cairan
perikardium yang khas, yaitu serofibrinosa atau hemoragik. Basil tahan asam jarang ditemukan
pada cairan perikardium, tetapi kultur dapat positif pada 30−70% kasus. Hasil kultur positif dari
biopsi perikardium dan adanya granuloma sering menyokong diagnosis.
Pada pengobatan perikarditis TB, selain OAT diberikan juga kortikosteroid. Pada 2 bulan
pertama diberikan empat macam atau lebih OAT, dan dilanjutkan dengan dua macam OAT
hingga 12 bulan. Kortikosteroid diberikan 1−2 mg/kgBB selama 1−2 minggu pertama.
Perikardiotomi parsial atau komplit dapat diperlukan jika terjadi penyempitan perikardium.
209
bulan. Air susu ibu tetap diberikan, dan tidak perlu cemas akan kelebihan dosis OAT karena
kandungan OAT dalam ASI sangat kecil.
Apabila bayi tidak terkena TB kongenital ataupun TB perinatal tetapi ibu menderita TB
dengan BTA positif, maka bayi memerlukan perlakuan khusus, yaitu pemberian OAT profilaksis
isoniazid 5−10 mg/kgBB/hari, dan bayi tetap diberikan ASI. Alur penanganan bayi dari ibu
dengan TB aktif dapat dilihat pada Gambar 4.6.1.
Partus2)
Neonatus
Evaluasi klinis3)
DOSIS
Pemeriksaan Penunjang4)
Profilaksis TB
isoniazid: 5−10 mg/kg/hr
Terapi TB
isoniazid: 5−10 mg/Kg/hr Pemeriksaan klinis dan pemeriksaan Klinis TB (+)
rifampisin: 10−15 mg/kg/hr penunjang normal
pirazinamid: 15−30 DK/ TB Perinatal
mg/kg/hr DK/ Kontak TB (+)
etambutol:15−20 mg/kg/hr Terapi TB
Profilaksis primer (Bila ada pemeriksaan penunjang >1 (+),
langsung terapi TB 9 bulan)
210
Keterangan
1. Diagnosis TB pada ibu dibuktikan secara klinis, radiologis, dan mikrobiologis. Bila ibu telah
didiagnosis TB aktif maka diobati dengan OAT. Apabila memungkinkan, bayi tetap disusui
langsung, tetapi ibu harus memakai masker untuk mencegah penularan TB pada bayinya.
Pada ibu yang sangat infeksius (BTA positif), bayi dipisahkan sampai terjadi konversi BTA
sputum atau ibu tidak infeksius lagi, tetapi tetap diberikan ASI yang dipompa. Pemeriksaan
ulangan BTA pada ibu yang memberi ASI dilakukan 2 minggu setelah pengobatan. Dosis
obat TB yang ditelan ibu mencapai ASI dalam jumlah maksimal 25% dosis terapetik bayi.
2. Dilakukan pemeriksaan plasenta (PA, makroskopis dan mikroskopis), dan darah v.
umbilikalis (mikrobiologis–BTA dan biakan TB).
3. Klinis:
Prematuritas, berat lahir rendah, distres pernapasan, hepatosplenomegali, demam,
letargi, toleransi minum buruk, gagal tumbuh, dan distensi abdomen
Bila klinis sesuai sepsis bakterialis dapat diberikan terapi kombinasi.
4. Pemeriksaan penunjang:
Foto toraks dan bilas lambung
Bila pada evaluasi klinis terdapat limfadenopati, lesi kulit atau ear discharge, lakukan
pemeriksaan mikrobiologis dan/atau PA
Bila selama perjalanan klinis terdapat hepatomegali, lakukan pemeriksaan USG
abdomen, jika ditemukan lesi di hati, lanjutkan dengan biopsi hati.
5. Imunisasi BCG sebaiknya tidak diberikan dahulu. Setelah ibu dinyatakan tidak infeksius lagi,
maka dilakukan uji tuberkulin. Jika hasilnya negatif, isoniazid dihentikan dan diberikan BCG
pada bayi.
Tanda atau gejala TB pada anak dengan HIV menjadi kurang spesifik sehingga tidak
dapat dijadikan pedoman untuk mendiagnosis TB. Manifestasi klinis yang kurang spesifik
tersebut antara lain adalah status gizi yang kurang/buruk, gejala infeksi kronik (demam, diare,
malaise), uji tuberkulin, gambaran radiologis, respons terhadap OAT. Penyakit oportunis pada
211
HIV juga dapat menyerang paru sehingga menyerupai TB, misalnya pneumonia, lymphocytic
interstitial pneumonitis (LIP), bronkiektasis, sarkoma Kaposi pulmonal, Pneumocystis jiroveci,
ataupun pneumonia karena jamur Candida.
Pendekatan diagnosis TB pada anak dengan HIV pada prinsipnya sama dengan pasien
anak tanpa HIV, misalnya:
gejala kronik sugestif TB
hasil pemeriksaan fisis yang sangat menunjang TB
hasil uji tuberkulin ≥5 mm
foto rontgen toraks sugestif TB.
212
Reaksi simpang (adverse reaction) yang ditimbulkan oleh OAT hampir serupa dengan
yang ditimbulkan oleh obat antiretroviral, sehingga dokter sulit membedakan ketika akan
menghentikan obat yang menimbulkan reaksi. Isoniazid dapat menyebabkan neuropati perifer,
begitu juga dengan NRTI (didanosine, zalcitabine, dan stavudine). Reaksi paradoks juga dapat
terjadi jika pengobatan terhadap TB dan HIV mulai diberikan pada waktu bersamaan.
Keadaan klinis dan imunologis anak dengan HIV harus diperhatikan untuk menentukan
hal-hal berikut:
apakah pemberian OAT akan dimulai bersamaan dengan obat antiretroviral,
apakah pemberian antiretroviral harus menunggu 2 bulan setelah pemberian OAT dimulai,
atau
apakah pengobatan TB harus diselesaikan dahulu sebelum pemberian antiretroviral dimulai.
Pada anak yang akan diberikan pengobatan TB ketika sedang mendapatkan pengobatan
antiretroviral, harus dilakukan evaluasi kembali terhadap antiretroviral yang digunakan serta
lamanya pengobatan TB dengan paduan OAT tanpa rifampisin.
Daftar pustaka
1. Abernathy R. Tuberculosis: an update. Pediatrics in Review 1997;18:50–8.
2. Ahmad FB. Tuberculosis enteritis. BMJ 1996;313:215–7.
3. American Thoracic Society. Treatment of tuberculosis infection in adults and children. Am J Respir
Crit Care Med 1994;149:1349–74.
4. Basir D, Desdamona E. Karakteristik dan gambaran klinis tuberkulosis yang dirawat di bagian Ilmu
Kesehatan Anak RS Dr M Djamil, Padang. Kumpulan abstrak PITIKA II Batam 12 –15 Juli 2004.
5. Bhalla A, Mahaptra, Singh R, D‘cous S. Acute lung injury in miliary tuberculous. Ind J Tub
2002;49:25.
6. Fernandes SRC, Homa MCO, Igarashi A, dkk. Miliary tuberculosis with positive acid-fast bacilli in a
pediatric patient. Sao Paulo Med J 2003;121:1–7.
7. Gurhan F, Ozates, Bosnak R, dkk. Tuberculous peritonitis in 11 children, clinical feature and
diagnostic approach. Pediatr Int 1994;41:510–3.
8. Hoskyns W. Paediatric tuberculosis. Postgrad Med J 2003;79:272–8.
9. Humphries MJ, Lump WK, Teoel. Non respiratory tuberculosis. Dalam: Davies PDO, penyunting.
Clinical tuberculosis. Edisi ke-1. London: 1994. h. 93–125.
10. Nataprawira HMD, Grahani R. The increasing trend of pulmonary miliary tuberculousin infant from
year 2000–2004. Dalam: abstract book, Konika XIII, Bandung 4–7 Juli 2005. h. 190.
11. Inselman LS, Kendig EL. Tuberculosis. Dalam: Kendig‘s disorders of the respiratory tract in children.
Edisi ke-6. Philadelphia: Saunders; 1998. h. 883–920.
12. Khan EA, Starke JR. Diagnosis of tuberculsis in children: increased need for better methods. JAMA
1994;271:665–71.
13. Kumar R, Singh S, Kohli N. A diagnostic rule for tuberculous meningitis. Arch Dis Child 1999;81:221 –
4.
14. Lucas SB, Peacock CS, Hounnou A, Brattegaard K, Koffi K, Honde M, dkk. Disease in children infected
with HIV in Abidjan, cote d‘Ivoire. BMJ 1996;312:335–8.
15. Madkour MM. Tuberculosis. Berlin: Springer; 2004.
16. Maltezou HC, Syridis P, Kafezis DA. Extra-pulmonary tuberculosis in children. Arch Dis Child
2000;83:342–6.
17. Merino JM, Carpintero I, Alvarez T, dkk. Tuberculous pleural effusion in children. Chest 1999;115:26 –
30.
18. Miliary tuberculosis. Diunduh dari: http/wwwemedicinecom/ped/ topic2003htm. Diakses pada: 30
Oktober 2005.
213
19. Montgomery M. Air and liquid in the pleural space. Dalam: Kendig‘s disorder of the respiratory tract
in children. Edisi ke-6. Philadelphia: Saunders; 1998. h. 389–411.
20. Munoz FM, Starke JR. Tuberculosis (Mycobacterium tuberculosis). Dalam: Behrman RE, Kliegman RM,
Jenson HB, penyunting. Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke-17. Philadelphia: Saunders; 2004. h.
958–72.
21. Rigaud M, Borkowsky W. Tuberculosis in children. Dalam: Rom WN, Garay SM, Bloom BR,
penyunting. Tuberculosis. Edisi ke-2. Philadelphia: Lippincott Williams and Wilkins; 2004. h. 609–24.
22. Rodgers GL. Tuberculosis. Dalam: Bell LM, penyunting. Panitch HB: Pediatric pulmonology. Edisi ke-1.
Philadelphia: Elsevier Mosby; 2005. h. 172–80.
23. Sheller JR, desPrez RM. CNS tuberculosis. Neurol Clin 1986;4:143–58.
24. Small PM, Fujiwara PI. Management of tuberculosis in United States. N Engl J Med 2001;345:189 –99.
25. Setiawati L, Makmuri MS, Santosa G. Naskah lengkap simposium nasional TB update III, 22 –23 Mei
2004. Surabaya: Bagian Ilmu Kesehatan Anak RS Dr.Soetomo/FK Universitas Airlangga; 2004: 81–92.
26. Villalbi JR, Galdos-Tanguis H, Cayla JA, Ferrer A, Nebot. M. tuberculosis infection and disease among
school children: the influence of the HIV epidemic and of other factors. J Epidemiol Community.
27. WHO. Guidelines for the management of tuberculosis in children by national TB programmes (in low
resource settings). Geneva: World Health Organization; 2004.
28. WHO. TB/HIV a clinical manual. Edisi ke-2. Geneva: World Health Organization; 2004. h. 61 –71.
29. Wong GWK, Oddenheimer SJ. Childhood tuberculosis. Dalam: Davies PDO, penyunting. Clinical
tuberculosis. London: Chadran&Hall Medical; 1994. h. 211 –23.
214
4.7 Tatalaksana Tuberkulosis pada sarana terbatas
Nastiti N Rahajoe, Makmuri MS
215
Tabel 4.7.1 Sistem penilaian (Scoring System) gejala dan pemeriksaan penunjang Tuberkulosis di
sarana kesehatan terbatas
Parameter 0 1 2 3 Skor
Kontak TB tidak jelas − laporan BTA (+)
keluarga,
BTA (-)/tidak
tahu/BTA
tidak jelas
Pembengkakan − ada − −
tulang/sendi pembengkakan
panggul,
lutut, falang
SKOR TOTAL
216
Catatan :
Diagnosis dengan sistem skoring ditegakkan oleh dokter.
Jika dijumpai skrofuloderma (lihat Bab Tuberkulosis Kulit), pasien dapat langsung didiagnosisTB.
Berat badan dinilai saat pasien datang (moment opname).
Demam dan batuk tidak respons terhadap terapi sesuai baku puskesmas.
Foto toraks bukan merupakan alat diagnostik utama pada TB anak.
Semua anak dengan reaksi cepat BCG harus dievaluasi dengan sistem skorng TB anak.
Anak didiagnosis TB jika jumlah skor >6, (skor maksimal 13).
Pasien usia balita yang mendapat skor 5, dirujuk ke RS untuk evaluasi lebih lanjut.
*Gambaran sugestif TB berupa: pembesaran kelenjar hilus atau paratrakeal dengan/tanpa infiltrat;
konsolidasi segmental/lobar; milier; kalsifikasi dengan infiltrat; atelektasis; tuberkuloma.
Pada sistem skoring yang baru, pembobotan tertinggi terletak pada uji tuberkulin dan
adanya kontak TB dengan BTA positif. Uji tuberkulin mempunyai sensitivitas dan spesifisitas
yang tinggi sehingga dapat digunakan sebagai uji tapis dan menunjang diagnosis. Demikian
pula dengan adanya kontak dengan pasien TB dewasa dengan BTA positif. Pasien TB dewasa
dengan BTA positif dapat menjadi sumber penularan yang utama karena berdasarkan penelitian
akan menularkan sekitar 65% orang di sekitarnya.
Penurunan BB merupakan gejala umum yang sering dijumpai pada TB anak. Umumnya,
pasien TB anak mempunyai status gizi kurang atau bahkan gizi buruk. Dengan alasan tersebut,
kriteria penurunan BB menjadi penting. Yang dimaksud dengan penurunan BB dalam hal ini
adalah apabila terjadi penurunan selama 2 bulan berturut-turut.
Demam merupakan suatu tanda umum yang menunjukkan adanya infeksi. Demam yang
menyokong diagnosis TB adalah demam lama (>2 minggu) yang tidak diketahui penyebabnya,
atau bukan suatu demam akibat penyakit tifus, infeksi saluran kemih (ISK), maupun malaria.
Batuk yang berlangsung lebih dari 3 minggu (batuk kronik) merupakan salah satu gejala
umum TB anak. Hal yang perlu diperhatikan adalah batuk kronik juga merupakan gejala utama
asma yang biasanya bersifat berulang selain adanya kronisitas.
Pembesaran kelenjar limfe di daerah leher, aksila, atau inguinal dapat menjadi tanda
adanya TB anak. Umumnya pembesaran kelenjar bersifat multipel (lebih dari satu), tidak nyeri,
tidak panas, perabaan kenyal, pada awalnya warna sama dengan sekitarnya tetapi lama
kelamaan berubah menjadi livide (merah kebiruan). Pembesaran kelenjar ini harus dibedakan
dengan pembesaran kelenjar akibat infeksi banal (bakteri) yang umumnya bersifat soliter, nyeri,
dan warna yang lebih merah dari sekitarnya. Yang perlu diperhatikan adalah jika pembesaran
kelenjar tersebut sudah berubah menjadi skrofuloderma, keadaan ini merupakan tanda yang
spesifik untuk TB sehingga pasien harus dirujuk ke sarana yang lebih tinggi atau langsung
mendapat pengobatan TB.
Pembengkakan tulang atau sendi merupakan tanda TB anak yang harus dibedakan
dengan pembengkakan sendi akibat penyebab lain. Demikian pula apabila terdapat keluhan
pincang, harus dibedakan dengan penyebab lain. Pada TB sistem skeletal, selain dijumpai gejala
umum TB pada anak, dapat dijumpai gejala spesifik berupa bengkak, kaku, nyeri pada
pergerakan, dan kemerahan. Gejala atau tanda TB sistem skeletal bergantung pada lokasi
kelainan. Tuberkulosis tulang belakang ditandai oleh gibbus berupa benjolan di tulang belakang
yang umumnya seperti abses, tetapi tidak terdapat tanda radang. Warna benjolan sama dengan
sekitarnya, tidak nyeri tekan, dan menimbulkan abses dingin. Tuberkulosis sendi panggul
biasanya menimbulkan gejala berupa pincang saat berjalan dan pasien sulit berdiri. Kelainan
pada sendi lutut dapat berupa bengkak di daerah lutut, anak sulit berdiri dan berjalan, dan
kadang-kadang ditemukan atrofi otot paha dan betis.
217
Foto toraks adalah pemeriksaan penunjang yang paling sering dilakukan untuk
mendiagnosis TB anak. Berbeda dengan TB dewasa, pemeriksaan radiologis kurang banyak
bermanfaat untuk mendiagnosis TB anak, kecuali pada keadaan tertentu, misalnya pada
gambaran milier. Gambaran infiltrat atau pembesaran KGB hilus yang selama ini banyak
digunakan sebagai dasar diagnosis TB, bukanlah suatu gambaran khas TB karena hal tersebut
masih dapat disebabkan oleh penyakit lain, seperti pneumonia atau IRA lain. Selain itu juga
terdapat perbedaan persepsi dalam pembacaan foto toraks.
Setelah dokter melakukan anamnesis, pemeriksaan fisis, dan pemeriksaan penunjang,
maka dilakukan pembobotan dengan sistem skoring. Pasien dengan jumlah skor yang lebih atau
sama dengan 6 (>6) harus ditatalaksana sebagai pasien TB dan mendapat OAT. Alur
tatalaksana pasien TB anak di puskesmas dapat dilihat pada Gambar 5.7.1.
Skor >6
Beri OAT
2 bulan terapi, dievaluasi
Paduan pengobatan
Pengobatan TB dibagi menjadi dua fase, yaitu fase intensif (2 bulan pertama) dan sisanya
sebagai fase lanjutan. Prinsip dasar pengobatan TB adalah minimal tiga macam obat pada fase
intensif (dua bulan pertama) dan dilanjutkan dengan dua macam obat pada fase lanjutan
(empat bulan atau lebih). Pemberian paduan obat ini bertujuan untuk mencegah terjadinya
resistensi obat dan untuk membunuh kuman intraselular dan ekstraselular. Sedangkan
pemberian obat jangka panjang, selain untuk membunuh kuman juga untuk mengurangi
kemungkinan terjadinya relaps.
Obat antituberkulosis pada anak diberikan setiap hari, bukan tiga kali dalam seminggu.
Hal ini dapat mengurangi ketidakteraturan minum obat karena berbagai hal yang lebih sering
terjadi jika obat tidak diminum setiap hari, misalnya lupa.
Susunan paduan OAT pada anak adalah 2RHZ/4RH, yaitu fase intensif terdiri dari
rifampisin, isoniazid, dan pirazinamid yang diberikan setiap hari selama 2 bulan (2RHZ), dan
fase lanjutan terdiri dari rifampisin dan isoniazid yang diberikan setiap hari selama 4 bulan.
Untuk mempermudah pemberian OAT sehingga meningkatkan keteraturan minum obat,
paduan OAT disediakan dalam bentuk paket kombipak. Satu paket kombipak dibuat untuk satu
pasien untuk satu masa pengobatan. Kombipak untuk anak berisi obat fase intensif, yaitu
218
rifampisin 75 mg, isoniazid 50 mg, dan pirazinamid 150 mg, serta obat fase lanjutan, yaitu
rifampisin 75 mg dan isoniazid 50 mg dalam satu paket.
Di tempat dengan sarana kesehatan yang lebih memadai, untuk meningkatkan
keteraturan pasien dalam menjalani pengobatan yang relatif lama dengan jumlah obat yang
banyak, telah dibuat suatu FDC, yaitu kombinasi beberapa OAT di dalam satu tablet. Fixed dose
combination ini dibuat dengan komposisi rifampisin, isoniazid, dan pirazinamid, masing-masing
75 mg, 50 mg, dan 150 mg untuk 2 bulan pertama, sedangkan untuk fase 4 bulan berikutnya
terdiri dari rifampisin dan isoniazid masing-masing 75 mg dan 50 mg. Dosis yang dianjurkan
dapat dilihat pada Tabel 4.3.
Setelah diberi OAT selama 2 bulan, respons pengobatan pasien harus dievaluasi.
Respons pengobatan dikatakan baik apabila gejala klinis berkurang, nafsu makan meningkat,
BB meningkat, demam menghilang, dan batuk berkurang. Apabila respons pengobatan baik
maka pemberian OAT dilanjutkan sampai 6 bulan, sedangkan apabila respons pengobatan
kurang atau tidak baik maka pengobatan TB tetap dilanjutkan tetapi pasien harus dirujuk ke
sarana yang lebih lengkap. Sistem skoring hanya digunakan untuk diagnosis, bukan untuk
menilai hasil pengobatan.
Setelah pemberian obat selama 6 bulan, OAT dapat dihentikan dengan melakukan
evaluasi baik klinis maupun pemeriksaan penunjang lain seperti foto toraks. Meskipun
gambaran radiologis tidak menunjukkan perubahan yang berarti, tetapi apabila dijumpai
perbaikan klinis yang nyata, maka pengobatan dapat dihentikan.
Kemoprofilaksis
Sekitar 50−60% anak balita, yang tinggal dengan pasien TB paru dewasa dengan BTA sputum
positif, akan terinfeksi TB juga. Kira-kira 10% dari jumlah tersebut akan mengalami sakit TB.
Infeksi TB pada anak balita berisiko tinggi menjadi TB diseminata yang berat (misalnya TB
meningitis atau TB milier), sehingga diperlukan pemberian kemoprofilaksis untuk mencegah
sakit TB. Pembahasan mengenai kemoprofilaksis sudah dibahas pada Bab Tatalaksana.
Profilaksis primer diberikan pada anak balita sehat, yang memiliki kontak dengan pasien TB
dewasa dengan BTA sputum positif (+), tetapi pada evaluasi dengan sistem skoring, didapatkan
skor <5. Anak balita dengan skor 5, sebaiknya dirujuk ke fasilitas kesehatan yang lebih
memadai untuk penegakan diagnosis. Apabila skor ≥6, maka harus diobati sesuai dengan
paduan pengobatan. Obat yang diberikan untuk profilaksis adalah isoniazid dengan dosis
5−10 mg/kgBB/hari selama 6 bulan. Bila anak tersebut belum pernah mendapat imunisasi
BCG, perlu diberikan BCG setelah pengobatan profilaksis dengan isoniazid selesai.
Daftar pustaka
1. Depkes RI. Pedoman nasional penanggulangan tuberkulosis. Cetakan ke-8. Jakarta: Depkes RI; 2002.
2. Donald PR. Childhood tuberculosis. Dalam: Madkour MM, penyunting. Tuberculosis. Berlin: Springer;
2004. h. 243–64.
3. Donald PR. Childhood tuberculosis: the hidden epidemic. Int J Tuberc Lung Dis 2004;8:627–9.
4. Inselman LS, Kendig EL. Tuberculosis. Dalam: Kendig‘s disorders of the respiratory tract in children.
Edisi ke-6. Philadelphia: Saunders; 1998. h. 883–920.
5. Munoz FM, Starke JR. Tuberculosis (Mycobacterium tuberculosis). Dalam: Behrman RE, Kliegman RM,
Jenson HB, penyunting. Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke-17. Philadelphia: Saunders; 2004. h.
958-72.
219
4.8 Imunisasi BCG pada anak
Mardjanis Said, I Boediman
4.8.1.1. Riwayat
Vaksin BCG awalnya berasal dari bakteri Mycobacterium bovis hidup yang dilemahkan, yang
diisolasi dari sapi yang terkena TB, oleh Calmette dan Guerin yang bekerja pada Institusi
Pasteur di Perancis. Strain ini disubkulturisasi secara hati-hati setiap 3 minggu selama bertahun-
tahun. Setelah lebih kurang 1-3 tahun, strain ini menjadi kurang virulen karena terjadi
perubahan genetik dari strain M. bovis yang original. Organisme inilah yang disebut dengan
Bacille Calmette Guerin (BCG). Selain perubahan genetik, terjadi juga perubahan bentuk koloni.
Koloni M. bovis terlihat granular kasar, sedangkan koloni BCG lembut dan halus.
Vaksin BCG pertama kali diberikan kepada manusia pada tahun 1921. Pada masa-masa
awal, kultur BCG tetap dilakukan di Perancis. Akan tetapi, akhirnya vaksin ini disubkulturisasi
dan didistribusikan ke berbagai laboratorium di seluruh dunia. Setelah bertahun-tahun, ternyata
berbagai strain yang dikembangbiakkan di laboratorium yang satu berbeda dengan yang lain,
karena ternyata strain-strain ini terus mengalami perubahan genetik yang belum dimengerti.
Bahkan strain original dari BCG yang dipertahankan di Perancis terus mengalami perubahan.
Oleh karena itu, prosedur untuk mempertahankan strain original ini dimodifikasi. Kini,
organisme ini dipertahankan di berbagai laboratorium dengan menggunakan teknik produksi
―seed lot‖, agar variasi genetik dapat dicegah dengan teknik sel kering-beku (―freeze dried‖),
sehingga setiap batch berawal dari sel-sel yang sama.
Saat ini, vaksin BCG diproduksi oleh lebih dari 40 produsen di seluruh dunia. Produsen
terbesar di dunia adalah Pasteur-Merieux-Connaught, Evans-Medeva, dan laboratorium BCG
Jepang.
220
meninggalkan sekolah, dan tepat sebelum mereka masuk ke periode ketika insidens penyakit
meningkat, yaitu saat dewasa muda. Studi telah membuktikan tingkat proteksi BCG bervariasi
antara 0 - 80%, BCG dapat mencegah komplikasi TB primer sebesar 50 – 80 % , tetapi tidak
dapat mencegah TB pasca primer. Saat ini telah dikembangkan vaksin TB yang baru dan telah
mencapai fase 3 (percobaan pada manusia). Beberapa vaksin yang dikembangkan ialah vaksin
subunit, perbaikan vaksin BCG yang ada, vaksin rekombinan.
Tidak semua negara merekomendasikan pemberian BCG secara rutin. Negara-negara
ini hanya mengizinkan pemberian BCG secara selektif kepada mereka yang dianggap berisiko
tinggi.
Menurut The International Union Against Tuberculosis and Lung Disease (IUATLD),
sebuah negara boleh mengubah peraturan dari vaksinasi BCG rutin menjadi vaksinasi selektif
untuk kelompok risiko tinggi bila telah dapat memenuhi beberapa kriteria. Kriteria-kriteria
tersebut adalah bila telah tersedia sebuah sistem pelaporan yang efisien yang disertai salah
satu dari syarat-syarat berikut, yaitu: 1) kasus TB paru positif per tahunnya rata-rata kurang
dari 5 per 100.000, 2) rata-rata kasus meningitis TB pada anak balita per tahun kurang dari 1
per 10 juta populasi selama 5 tahun terakhir, atau 3) rata-rata risiko tahunan dari infeksi TB
kurang dari 0,1%.
Pemberian BCG ulangan atau booster, meskipun banyak dilakukan di negara-negara
seperti Swiss, Portugal, dan banyak negara Eropa Timur, tidak dianjurkan oleh WHO. Hal ini
dikarenakan lama imunitas, tingkat efektivitas, dan keamanannya belum diketahui dengan
pasti. Berbagai studi belum dapat menemukan peningkatan proteksi booster terhadap
pencegahan TB paru, meskipun telah ada tiga studi besar yang berhasil menemukan kegunaan
booster BCG dalam mengatasi lepra.
221
4.8.1.4. Efektivitas
Efektivitas suatu vaksin diukur dalam lingkup persentase reduksi penyakit di antara individu-
individu yang telah divaksinasi yang berhubungan dengan vaksinasi. Vaksin BCG secara umum
diberikan untuk melindungi individu dari TB.
Banyak penelitian yang telah menunjukkan hasil yang konsisten akan peranan BCG
dalam proteksi terhadap meningitis TB dan TB milier. Proteksi BCG ditemukan bervariasi antara
0%- 80%. Sebuah meta-analisis juga menunjukkan proteksi yang sama untuk vaksinasi saat
bayi. Bukti-bukti untuk kemampuan proteksi BCG terhadap penyakit TB paru anak tidak terlalu
konsisten, tetapi ditemukan hasil yang cukup baik, yaitu berkisar 60−80%, baik di negara
berkembang maupun maju, baik untuk TB paru maupun TB ekstrapulmoner; meskipun
ditemukan tingkat proteksi yang lebih rendah pada daerah tropis.
Suatu meta-analisis lain terhadap lima studi prospektif dan 11 studi kasus kontrol
mendapatkan bahwa vaksinasi BCG pada bayi dapat menurunkan risiko TB paru, meningitis TB,
TB milier, dan kematian akibat TB. Di antara studi kasus kontrol, proteksi terbesar BCG adalah
terhadap kultur atau histologi (83%) dan kasus-kasus berat seperti TB diseminata (78%),
meningitis TB (64%), dan kematian akibat TB (65%) dibandingkan proteksi terhadap kasus TB
secara keseluruhan (52%). Estimasi efek proteksi BCG terhadap TB dapat dilihat pada Tabel
4.8.1.
Tabel 4.8.1 Estimasi efek proteksi Bacille Calmette-Guerin terhadap Tuberkulosis
Proteksi terhadap Efek proteksi 95% CI efek proteksi
Kasus TB (studi prospektif) 0.742 (0.616, 0.826)
Kasus TB (kasus kontrol) 0.524 (0.379, 0.635)
Kematian karena TB 0.648 (0.118, 0.860)
Konfirmasi laboratorium 0.826 (0.582, 0.928)
Meningitis TB 0.644 (0.300, 0.820)
Tuberkulosis diseminata 0.780 (0.581, 0.883)
Peranan BCG dalam proteksi terhadap TB paru dewasa masih kontroversial, padahal
bentuk penyakit ini merupakan beban kesehatan masyarakat terbesar dari TB. Efikasi vaksin
BCG ditemukan berkisar mulai dari 0 hingga 80%. Bervariasinya efikasi ini awalnya dianggap
karena bervariasinya strain vaksin yang tersedia, karena telah terjadinya perubahan genetik.
Akan tetapi, ditemukan bahwa vaksin dari produsen yang sama memberikan daya proteksi yang
baik di suatu daerah, tetapi tidak di daerah lain. Evaluasi terakhir menunjukkan bahwa
perbedaan strain vaksin bukanlah suatu faktor signifikan dalam menentukan efikasi vaksin.
Berbagai hipotesis lain yang diajukan, misalnya pajanan terhadap Mycobacteria lain di
lingkungan, perbedaan genetik manusia, dan perbedaan Mycobacterium tuberculosis yang
terdapat di tiap daerah belum dapat membuahkan suatu kesepakatan.
Efek proteksi BCG timbul 8−12 minggu setelah vaksinasi. Lamanya proteksi BCG juga
belum dapat diketahui dengan pasti. Suatu studi oleh Sterne dkk. menemukan bahwa
efektivitas BCG menurun seiring berjalannya waktu sejak vaksinasi. Selain itu juga tidak
ditemukan bahwa BCG dapat memberikan perlindungan setelah lebih dari 10 tahun sejak
vaksinasi. Akan tetapi, studi terakhir di Amerika berhasil menemukan bahwa efektivitas dosis
tunggal BCG dapat bertahan hingga 50−60 tahun.
222
manfaat, prosedur, serta kemungkinan efek samping pascavaksinasi. Vaksinasi BCG sering
menyebabkan efek samping lokal. Penyuntikan yang benar akan menyebabkan pembentukan
bisul kecil dalam 2−6 minggu, yang akan membesar dan dapat terjadi ulkus yang akan tertutup
krusta selama 2−4 bulan, kemudian menyembuh tanpa harus diobati dan menimbulkan
jaringan parut berdiameter 4−8 mm. Orangtua dianjurkan untuk mengompres ulkus dengan
cairan antiseptik bila ulkus mengeluarkan cairan. Orangtua juga diminta membawa anak ke
dokter bila cairan bertambah banyak, koreng membesar, atau terjadi pembesaran kelenjar limfe
regional (aksila). Apabila pada lesi terjadi infeksi sekunder, dapat diberikan eritromisin.
Limfadenitis supuratif di aksila atau leher dapat terjadi, tetapi biasanya sembuh sendiri
sehingga tidak perlu diobati. Bila timbul fistula harus dilakukan drainase serta diberikan OAT
langsung ke lesi. BCG juga mungkin menyebabkan abses lokal akibat kesalahan teknik
penyuntikan.
Efek samping sistemik seperti BCG-itis diseminasi, osteomielitis, dan eritema multiformis
merupakan efek samping yang parah, tetapi sangat jarang terjadi dan biasanya berhubungan
dengan imunodefisiensi berat. Komplikasi ini harus diobati dengan kombinasi OAT.
4.8.1.6. Kontraindikasi
Di Indonesia, vaksinasi BCG tidak boleh diberikan pada mereka yang pernah menderita TB, uji
tuberkulin >5 mm; sedang hamil; dalam keadaan imunokompromais (atau kemungkinan
imunokompromais) seperti pada pasien HIV atau berisiko tinggi infeksi HIV, dalam pengobatan
imunosupresan, kortikosteroid, radiasi, pasien penyakit keganasan yang mengenai sumsum
tulang atau sistem limfe; gizi buruk; sedang demam tinggi, atau infeksi kulit yang luas. Perlu
diketahui bahwa WHO hanya menyebutkan infeksi HIV simtomatik sebagai kontraindikasi BCG.
Pada anak-anak dengan infeksi HIV asimtomatik, pemberian BCG bergantung pada risiko TB di
lingkungannya, yaitu BCG diberikan segera setelah lahir bila anak tinggal di daerah dengan
insidens TB tinggi. Efikasi BCG pada individu dengan HIV positif lebih rendah dibandingkan
dengan individu dengan HIV negatif.
BCG boleh diberikan pada bayi-bayi prematur, karena didapatkan efikasi yang baik pada
bayi-bayi prematur dan divaksinasi pada umur gestasi 34−35 minggu (umur rata-rata
pemulangan bayi prematur), serta tidak didapatkannya perbedaan bermakna tingkat reaksi BCG
antara bayi-bayi dengan berbagai tingkat umur gestasi.
Simpulan
Sampai saat ini, vaksinasi BCG masih merupakan cara utama dalam pencegahan TB, terutama
terbukti mempunyai proteksi efektif pada bentuk berat seperti TB milier dan meningitis TB. Di
Indonesia BCG direkomendasikan untuk diberikan segera sesudah lahir. Setiap orangtua berhak
mendapatkan penjelasan mengenai manfaat, prosedur serta kemungkinan efek samping setelah
vaksinasi. Pemberian dengan mengikuti prosedur yang tepat serta mengetahui kontraindikasi,
dapat menurunkan kejadian ikutan pasca imunisasi.
223
4.8.2 Limfadenitis Bacille Calmette-Guerin (BCG)
Bacille Calmette-Guerin (BCG) sebagai vaksinasi telah digunakan di dunia sejak tahun 1921.
Limfadenitis BCG (dahulu disebut BCG-itis) merupakan efek samping yang sering dijumpai pada
vaksinasi BCG meskipun jarang menimbulkan masalah yang serius. Kejadiannya berkisar 1−2
per 1000 vaksinasi. Penanganan limfadenitis BCG masih diperdebatkan. Di lapangan tidak
jarang kelainan ini diberi OAT (isoniazid, INH) meskipun hasilnya tidak memuaskan.
4.8.2.1. Definisi
Pada saat penyuntikan BCG akan terlihat pembengkakan di sekitar suntikan yang bertahan 6-8
jam. Setelah itu akan menghilang sehingga tampak seperti normal. Dalam waktu 6-8 minggu
setelah suntikan pembengkakan terlihat kembali gambaran yang pada awalnya dapat
menyerupai gigitan serangga akan membesar sehingga dapat berisi cairan bahkan ulkus. Pada
akhirnya pembengkakan itu berubah menjadi skar. Proses tersebut berlangsung sekitar 2-5
minggu. Pada keadaan tersebut tidak terjadi rekasi pada kelenjar getah bening regional
(aksila). Apabila terjadi keterlibatan kelenjar getah bening regional disebut sebagai limfadenitis
BCG.
Limfadenitis BCG adalah pembesaran kelenjar limfe regional setelah vaksinasi BCG.
Pembesaran kelenjar tersebut dapat hilang secara spontan atau tetap membesar, bahkan dapat
timbul pus (supuratif). Setelah dilakukan penyuntikan BCG, terjadi multiplikasi secara cepat,
dan melalui sistem limfatik akan menuju ke kelenjar limfe regional. Reaksi pada sisi yang sama
dengan vaksinasi dan kelenjar, bersama-sama membentuk kompleks primer yang prosesnya
sama dengan kompleks primer akibat infeksi TB secara alamiah. Kemudian akan diikuti reaksi
patologis pada tempat suntikan, dan pembesaran pada kelenjar limfe regional yang tidak terlalu
besar dan tidak menimbulkan penyakit (TB). Tidak ada patokan baku untuk menentukan
pembesaran kelenjar itu ‖normal‖ atau ‖abnormal‖. Beberapa ahli sepakat mengatakan
‖abnormal‖ apabila ukurannya besar, dalam arti mudah untuk diraba dan orang tua mengeluh
karena pembesaran tersebut. Kelenjar limfe regional yang terlibat sebagian besar adalah
kelenjar aksila ipsilateral (95%), diikuti oleh kelenjar supraklavikular dan servikal. Limfadenitis
BCG terjadi setelah 2 minggu atau 2 bulan, tetapi tidak lebih dari 12 bulan. Umumnya kelenjar
yang membesar adalah soliter meskipun ada yang multipel.
224
bulan kemudian. Pada limfadenitis BCG tipe supuratif, pembesaran kelenjar dapat bersifat
progresif, terdapat fluktuasi, kemerahan, edema, bahkan dapat terbentuk sinus pada tempat
penyuntikan. Kadang-kadang diperlukan perawatan intensif terhadap luka yang timbul, dan
perlu beberapa bulan untuk dapat hilang secara spontan. Jenis supuratif ini terjadi pada
30−80% kasus limfadenitis BCG.
4.8.2.4. Diagnosis
Diagnosis limfadenitis BCG adalah secara klinis. Pada pemeriksaan fisis terdapat suatu
pembesaran kelenjar aksila (kadang-kadang supraklavikular dan servikal) ipsilateral tanpa
disertai tanda-tanda adenitis. Biasanya tidak disertai demam, dan rasa sakit pada tempat
edema, serta tanda-tanda yang mendukung ke arah tuberkulosis. Pada keadaan ini gejala atau
tanda penyakit tuberkulosis tidak dijumpai seperti penurunan berat badan, demam lama, dan
nafsu makan yang kurang. Pemeriksaan laboratorium, uji tuberkulin, dan foto thorax kurang
membantu. Uji tuberkulin biasanya akan menunjukkan hasil yang positif. Pemeriksaan PA dari
biopsi kelenjar kadang-kadang justru membingungkan karena gambaran patologisnya sama
dengan TB.
4.8.2.5. Pengobatan
Pengobatan limfadenitis BCG masih kontroversi. Pada limfadenitis tipe non-supuratif biasanya
tidak menjadi masalah karena dengan penjelasan yang baik orang tua akan dapat menerima.
Namun pada limfadenitis tipe supuratif terdapat beberapa perbedaan dalam menanganinya.
Ada yang berpendapat bahwa tindakan bedah merupakan pilihan utama dan sebagian lagi tidak
perlu pemberian obat-obat dan tindakan bedah melainkan hanya pemantauan saja. Sebagian
besar ahli berpendapat bahwa pemberian INH tidak mempunyai peran dalam tatalaksana
limfadenitis BCG.
1. Tatalaksana medik
Pemberian antibiotik eritromisin dan obat antituberkulosis (isoniasid dan rifampisin) pernah
dilaporkan penggunaanya, tetapi hasilnya tidak memuaskan. Beberapa ahli menyatakan bahwa
pengobatan obat antituberkulosis tidak diperlukan karena tidak efektif. Ada beberapa ahli yang
menggunakan karakteristik kelenjar sebagai dasar pengobatan. Apabila kelenjar berukuran 10-
15mm, keras, tidak nyeri, nonmatted, maka tidak memerlukan terapi dan hanya observasi saja,
sedangkan apabila ukuran >15mm, lunak, berfluktuasi, dengan tanda-tanda inflamasi maka ada
yang menganjurkan pemberian INH dan rifampisin selama 3-6 bulan atau pengangkatan
kelenjar. Penggunaan obat-obat lain biasanya berhubungan dengan komplikasi yang timbul
seperti perawatan luka atau adanya infeksi sekunder.
Goraya dkk, tidak merekomendasikan penggunaan obat antituberkulosis pada
penanganan limfadenitis BCG karena secara metaanalisis penggunaan obat antibiotik ataupun
obat antituberkulosis tidak ada perbedaan yang bermakana. Peneliti lain mendapatkan 60,97-
85% sampel dengan limfadenitis BCG sembuh secara spontan dalam 6 bulan dan sebagian
besar menghilang dalam waktu 3−9 bulan. (Hamedi dan Makwana) Unit Kerja Koordinasi
Respirologi PP IDAI merekomendasikan untuk tidak memberikan OAT pada limfadenitis BCG,
melainkan hanya melakukan pemantauan.
2. Aspirasi jarum
Komplikasi limfadenitis yang tersering adalah penyembuhan luka yang kurang baik (kurang
estetis), sehingga yang terpenting adalah pencegahan terhadap pecahnya limfadenitis supuratif.
Salah satu yang dianjurkan adalah dengan melakukan aspirasi pus, yang biasanya dilakukan
225
sekali saja. Dengan aspirasi pus, lamanya penyembuhan dapat dipersingkat. Goraya
melaporkan bahwa dengan aspirasi jarum sekali penyembuhan dapat dipersingkat menjadi 3
bulan, namun sampel yang digunakan sedikit.
3. Eksisi
Tindakan eksisi dilakukan apabila dengan aspirasi tidak menunjukkan hasil yang baik, sudah
terbentuk sinus, atau kelenjarnya multipel. Selain itu, tindakan eksisi lebih diindikasikan pada
kosmetik, yaitu mencegah pecahnya kelenjar dengan luka dan parut yang tidak beraturan.
Pemberian obat antituberkulosis setelah eksisi tidak memberikan hasil yang lebih baik. Tindakan
insisi pada limfadenitis BCG tidak dianjurkan.
Simpulan
Limfadenitis BCG dibagi menjadi 2 tipe yaitu limfadenitis BCG non-supuratif, dan supuratif.
Limfadenitis BCG non-supuratif bersifat jinak, tidak memerlukan pengobatan khusus, tidak perlu
obat antituberkulosis, dapat sembuh spontan dalam beberapa minggu atau bulan. Pada
limfadenitis BCG supuratif, diperlukan tindakan aspirasi pus untuk mencegah terjadinya luka
yang tidak diharapkan (pecah dengan bentuk tidak beraturan). Tindakan eksisi jarang dilakukan
kecuali apabila aspirasi pus gagal dan kelenjar getah bening yang membesar bersifat multipel.
Tindakan insisi tidak dianjurkan.
Daftar pustaka
1. Rahajoe NN. Tuberkulosis. Dalam: Ranuh IGN, Soeyitno H, Hadinegoro SRS, Kartasasmita C,
penyunting. Buku imunisasi di Indonesia. Edisi ke-1. Jakarta: PP IDAI; 2001. h. 79–82.
2. Fine PEM, Carneiro IAM, Milstien JB, Clements CJ. Issues relating to the use of BCG in immunization
programmes. Geneva: World Health Organization; 1999.
3. World Health Organization. BCG: the current vaccine for tuberculosis. Diunduh dari:
URL:http://www.who.int/vaccine_research/diseases/tb/vaccine_development/bcg/en/. Diakses pada
10 Nopember 2004.
4. World Health Organization. BCG vaccine. Diunduh dari:
URL:http://www.who.int/vaccines/en/tuberculosis2.shtml. Diakses pada 8 Nopember 2004.
5. Joint Tuberculosis Committee of the British Thoracic Society. Control and prevention of tuberculosis in
the United Kingdom: code of practice 2000. Thorax 2000;55:887–901.
6. Young DB, Stewart GR. Tuberculosis vaccines. BMB 2002;62:73–86.
7. Centers for Disease Control and Prevention. The role of BCG vaccine in the prevention and control of
tuberculosis in the United States: a joint statement by the advisory council for the elimination of
tuberculosis and the advisory committee on immunization practices. 24 April 1996. Diunduh dari:
URL:http://www.phppo.cdc.gov/cdcrecommends/. Diakses pada 8 Nopember 2004.
8. Bertolli J, Pangi C, Frerichs R, Halloran ME. A case-control study of the effectiveness of BCG vaccine
for preventing leprosy in Yangon, Myanmar. Int J Epidemiol 1997;26:888–96.
9. Soeyitno H. Tata cara pemberian imunisasi. Dalam: Ranuh IGN, Soeyitno H, Hadinegoro SRS,
Kartasasmita C, penyunting. Buku imunisasi di Indonesia. Edisi ke-1. Jakarta: PP IDAI; 2001. h. 19–
27.
10. Hadinegoro SRS. Jadwal imunisasi rekomendasi IDAI. Dalam: Ranuh IGN, Soeyitno H, Hadinegoro
SRS, Kartasasmita C, penyunting. Buku imunisasi di Indonesia. Edisi ke-1. Jakarta: PP IDAI; 2001. h.
63–9.
11. Department of Health United Kingdom. Important information for medical and healthcare
professionals about new BCG vaccine Statens Serum Institut. 20 Nov 2002. Diunduh dari: URL:
http://www.dh.gov.uk/. Diakses pada 9 Nopember 2004.
226
12. Colditz GA, Berkey CS, Mosteller F, Brewer TF, Wilson TF, Burdick E, dkk. The efficacy of Bacillus
Calmette-Guerin vaccination of newborns and infants in the prevention of tuberculosis: meta-analysis
of the published literature. Pediatrics 1995;96:29–35.
13. Lanckriet C, Levy-Bruhl D, Bingono E, Siopathis RM, Guerin N. Efficacy of BCG vaccination of the
newborn: evaluation by a follow-up study of contacts in Bangui. Int J Epidemiol 1995;24:1042–9.
14. Zodpey SP, Shrikhande SN, Maldhure BR, Vasudeo ND, Kulkarni SW. Effectiveness of Bacillus
Calmette-Guerin (BCG) vaccination in the prevention of childhood pulmonary tuberculosis: a case
control study in Nagpur, India. Southeast Asian J Trop Med Public Health 1998;29:285–8.
15. Zodpey SP, Maldhure BR, Dehankar AG, Shrikhande SN. Effectiveness of Bacillus Calmette-Guerin
(BCG) vaccination against extra-pulmonary tuberculosis: a case control study. J Commun Dis
1996;28:77–84.
16. Batieha A, Abo-Khadhra K, Rawashdah M, Jaddou H, Sheyyab M, Abo-Romman K, dkk. The
effectiveness of BCG vaccination: the Jordanian experience. J Trop Pediatr 1998;288 –90.
17. Kelly P, McKeown D, Clancy L. Neonatal BCG vaccination in Ireland: evidence of its efficacy in the
prevention of childhood tuberculosis. Eur Respir J 1997;10:619–23.
18. Behr MA. Correlation between BCG genomics and protective efficacy. Scand J Infect Dis
2001;33:249–52.
19. Black GF, Weir RE, Floyd S, Bliss L, Warndorff DK, Crampin AC, dkk. BCG-induced increase in
interferon-gamma response to mycobacterial antigens and efficacy of BCG vacinnation in Malawi and
the UK: two randomised controlled studies. Lancet 2002;359:1393–401.
20. Fine PEM, Vynnycky E. The effect of heterologous immunity upon the apparent efficacy of (e.g.BCG)
vaccines. Vaccine 1998;16:1923–8.
21. Brewer TF, Colditz GA. Relationship between Bacille Calmette-Guerin (BCG) strains and the efficacy of
BCG vaccine in the prevention of tuberculosis. Clin Infect Dis 1995;20:126 –35.
22. Sterne JA, Rodrigues LC, Guedes IN. Does the efficacy of BCG decline with time since vaccination?.
Int J Tuberc Lung Dis 1998;2:200–7.
23. Aronson NE, Santosham M, Comstock GW, Howard RS, Moulton LH, Rhoades ER, dkk. Long-term
efficacy of BCG vaccine in American Indian and Alaska natives: a 60-year follow up study. JAMA
2004;291:2127–8.
24. Soedjatmiko, Rahajoe N. Penjelasan kepada orangtua mengenai imunisasi. Dalam: Ranuh IGN,
Soeyitno H, Hadinegoro SRS, Kartasasmita C, penyunting. Buku imunisasi di Indonesia. Edisi ke-1.
Jakarta: PP IDAI; 2001. h. 31.
25. Arbelaez MP, Nelson KE, Munoz A. BCG vaccine effectiveness in preventing tuberculosis and its
interaction with human immunodeficiency virus infection. Int J Epidemiol 2000;29:1085 –91.
26. Thayyil-Sudhan S, Kumar A, Singh M, Paul VK, Deorari AK. Safety and effectiveness of BCG
vaccination in preterm babies. Arch Dis Child Fetal Neonatal Ed 1999;81:F64 –6.
27. Kaur S, Faridi MMA, Agarwal KN. BCG vaccination reaction in low birth weight infants. Indian J Med
Res 2002;116:64–9.
28. Gorya JS, Virdi VS. Bacille Calmette-Guerin lymphadenitis. Postgrad Med J 2002;78:327–9.
29. Darms-tadt GL. Cutaneous bacterial infections. Dalam: Behrman RE, Kliegman RM, Arvin AM,
penyunting. Nelson textbook of pediatric. Edisi ke-16. Philadelphia: Saunders; 2000. h. 2034–5.
30. Goraya JS, Virdi VS. Treatment of Calmette-Guerin bacillus adenitis: a meta-analysis. Pediatr Infect
Dis J 2001;20:632–3.
227
4.9 Kekeliruan (Pitfalls) pada TB anak
Darmawan Budi Setyanto, Moeljono S Trastotenojo
Masalah utama TB pada anak adalah masalah diagnosis karena prosedur diagnostik yang
menjadi baku emas sulit dilaksanakan, sehingga diagnosis pasti sulit ditegakkan. Prosedur
untuk mendapatkan spesimen pemeriksaan mikrobiologis seperti sputum atau bilas lambung
tidak mudah. Kalaupun berhasil didapatkan spesimen, hasil pemeriksaan mikroskopis dan
biakan sering kali negatif karena sifat TB pada anak adalah pausibasiler, yaitu jumlah kuman
biasanya hanya sedikit. Oleh karena itu, diagnosis TB pada anak biasanya dilakukan
berdasarkan adanya tanda dan gejala klinis, riwayat kontak dengan pasien TB dewasa, uji
tuberkulin, dan gambaran radiologis. Akan tetapi, gejala klinis pada anak tidak spesifik, uji
tuberkulin dan gambaran radiologis tidak selalu mudah untuk diinterpretasi, serta pemeriksaan
laboratorium rutin tidak banyak berguna dalam mendiagnosis TB pada anak.
Masalah lain adalah pada terapi, yaitu saat menghentikan pengobatan OAT. Pada pasien
TB dengan BTA positif, pasien dinyatakan sembuh bila setelah waktu tertentu pengobatan,
terjadi konversi BTA sputum menjadi negatif. Pada TB anak umumnya, kriteria ini sulit
diterapkan, sehingga kriteria penghentian pengobatan TB pada anak didasarkan utamanya pada
perbaikan keadaan klinis pasien. Pemeriksaan penunjang lain seperti radiologis dan
laboratorium tidak selalu membantu, bahkan tidak jarang menimbulkan kerancuan dan
kebingungan.
Berdasarkan dua masalah tersebut yaitu masalah diagnosis dan terapi, maka dalam
menangani TB pada anak selama praktek sehari-hari kita sering mengalami kesulitan dan
keraguan dalam masalah diagnosis, terapi dan penghentiannya. Sebagai akibatnya, sering
terjadi pitfall dalam proses panjang diagnosis dan terapi pada TB anak. Kata pitfall kalau kita
lihat dalam kamus artinya lubang perangkap. Secara sederhana, kata pitfall dalam kaitan
pengelolaan TB anak dapat diartikan sebagai kekeliruan, kesalahan yang lazim terjadi dalam
proses diagnosis dan terapi pada TB anak.
Sebagai salah satu ilustrasi dapat dicontohkan sebagai berikut. Seorang anak
perempuan S, usia 6 tahun, BB 31 kg (BB acuan sekitar 20 kg), dengan keluhan batuk kronik
berulang (BKB). Nafsu makan pasien baik dan tidak ada riwayat demam berulang. Ibu pasien
sewaktu kecilnya mengalami asma. Pada pemeriksaan fisis pasien ditemukan adanya mengi. Uji
tuberkulin cara Mantoux tidak timbul indurasi, yang berarti hasilnya negatif. Pasien tersebut
didiagnosis TB dan mendapat OAT yang ternyata hanya didasarkan pada hasil ekspertise foto
toraks yang menyatakan positif TB.
Kekeliruan mendiagnosis TB pada anak dapat terjadi antara lain karena dokter
menganggap gejala klinis pasien TB anak sama dengan pasien TB dewasa. Padahal anak bukan
orang dewasa dalam ukuran kecil. Selain aspek tumbuh kembang sebagai tonggak pembeda
anak dengan dewasa, aspek penyakit pun berbeda antara anak dengan dewasa. Penyebab
kekeliruan lain adalah dokter menyederhanakan atau menggampangkan penafsiran masalah
dan gejala. Suatu gejala klinis langsung dihubungkan dengan TB tanpa atau kurang memikirkan
kemungkinan diagnosis banding.
Pemeriksaan penunjang juga sering menjadi sumber kekeliruan. Penggunaan yang
kurang tepat atau berlebihan terhadap pemeriksaan penunjang sering terjadi. Seperti ilustrasi
kasus di atas, diagnosis TB semata-mata berdasarkan ekspertise radiologis, walaupun data lain
sangat tidak menunjang ke arah TB. Akibat dari hal-hal di atas, maka sangat mungkin terjadi
228
overdiagnosis yang selanjutnya akan mengarah ke overtreatment.
Gejala Klinis
Batuk
Batuk merupakan gejala utama TB pada orang dewasa, tetapi bukan gejala utama TB anak.
Tuberkulosis paru pada anak biasanya berlokasi di pare nkim paru sebagai kelanjutan dari
proses TB primer. Seperti kita ketahui, tidak ada reseptor batuk di parenkim, sehingga penyakit
TB pada anak biasanya tidak menyebabkan batuk secara langsung. Batuk kronik berulang
adalah batuk yang berlangsung selama 2 minggu atau lebih dan atau berulang tiga episode
atau lebih dalam 3 bulan berturut-turut. Diagnosis banding pertama BKB pada anak adalah
asma, sehingga bila menjumpai anak dengan keluhan BKB seharusnya kita pikirkan penyakit
asma terlebih dahulu. Dalam buku Pedoman Nasional Asma Anak (PNAA) IDAI, disebutkan bila
ditemukan anak dengan keluhan BKB, harus digali dahulu berbagai kemungkinan penyebab
BKBnya. Bila tidak sesuai dengan diagnosis banding lain, baru dipikirkan kemungkinan TB.
Keringat Malam
Keringat malam mungkin merupakan gejala klinis TB penting pada dewasa, tetapi bukan gejala
utama pada anak. Pada orang dewasa yang sehat, pada malam hari saat istirahat atau tidur,
metabolisme basalnya (basal metabolic rate) menurun. Sedangkan pada keadaan sakit TB,
metabolisme tubuh pasien dewasa akan meningkat sehingga akan berkeringat pada malam
hari. Pada anak, yang masih dalam fase tumbuh, growth hormon disekresi dan bekerja pada
malam hari, sehingga metabolisme tubuh anak juga akan meningkat pada malam hari, dan
dapat berkeringat pada malam hari. Sering dilaporkan oleh orang tua, badan anaknya basah
oleh keringat saat tidur di ruang ber-AC, padahal pada saat yang sama orang tuanya
kedinginan dan berselimut tebal.
Pemeriksaan penunjang
Foto Toraks
Kekeliruan yang paling sering terjadi dari aspek pemeriksaan penunjang adalah foto toraks.
Dalam pandangan orang tua pasien/awam, foto toraks diharapkan dapat menjawab semua
masalah diagnosis penyakit. Bila ada kecurigaan klinis ke arah TB, baik atas permintaan dokter
atau orang tua pasien, maka dilakukan foto toraks sebagai penentu utama diagnosis TB.
Walaupun foto toraks berperan dalam diagnosis TB, tetapi tidak ada gambaran radiologis yang
khas untuk TB, kecuali gambaran milier.
229
Interpretasi atau ekspertise foto toraks yang sering kita dapatkan adalah
―bronkopneumonia, dengan kemungkinan KP (Koch Pulmonale) belum dapat disingkirkan; atau
proses spesifik masih mungkin‖. Jika hanya berdasarkan ekspertise radiologis saja maka akan
banyak sekali pasien yang didiagnosis bronkopneumonia atau TB meskipun secara klinis dan
pemeriksaan penunjang lainnya tidak sesuai.
Interpretasi hasil pemeriksaan radiologi relatif kurang obyektif dan tidak spesifik. Tidak
jarang pembacaan foto toraks yang sama oleh ahli radiologi yang berbeda menunjukkan hasil
yang berbeda. Bahkan ada publikasi yang menyebutkan bahwa foto toraks yang sama, ketika
dibaca oleh ahli yang sama pada waktu yang berbeda ternyata dapat memberikan hasil yang
berbeda. Dengan demikian, penggunaan hasil pembacaan foto toraks sebagai dasar utama
diagnosis TB anak sangat tidak dianjurkan. Gambaran foto toraks juga tidak spesifik, banyak
penyakit lain memberikan gambaran serupa dengan gambaran TB paru.
Berdasarkan aspek TB, dalam gambaran foto toraks ada dua kemungkinan, yaitu
‗sugestif TB‘ dan ‗nonsugestif TB‘. Gambaran sugestif TB di antaranya berupa pembesaran
kelenjar limfe hilus/paratrakea dengan/tanpa infiltrat, atelektasis lobus medius, konsolidasi
lobar/segmental, gambaran milier, efusi pleura, kavitas, kalsifikasi (proses lama), dan destroyed
lung. Gambaran nonsugestif TB adalah infiltrat minimal, dan ini yang paling sering kita temui
dalam foto toraks. Adanya infiltrat pada paru oleh sebab apapun akan memberikan gambaran
bercak-bercak putih, yang dalam bahasa Belanda disebut dengan vlek. Karena TB masih
dianggap stigma, maka untuk menghindari penyebutan sakit TB, seringkali digunakan istilah
vlek paru yang sebenarnya istilah yang salah karena tidak ada rujukan medisnya. Kekeliruan
yang sering terjadi adalah foto toraks dengan gambaran infiltrat minimal yang nonsugestif ini
tetap dipakai sebagai dasar utama diagnosis TB.
Dalam penilaian kritis foto toraks, ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan
sebelum melakukan interpretasi atau menerima hasil interpretasi radiolog. Yang pertama adalah
penilaian kondisi foto, yaitu meliputi kekuatan sinar (terlalu kuat/lemah) dan inspirasi yang
cukup atau kurang. Posisi pembuatan foto apakah sudah memenuhi kriteria simetris dan
sentrasi pada dada. Adanya lordosis atau rotasi menunjukkan bahwa foto yang diambil
asimetris. Hal lain yang perlu diketahui adalah keadaan klinis pasien pada saat difoto. Bila
saat itu pasien sedang mengalami IRA, atau batuk pilek karena alergi, hasil fotonya dapat
memberikan gambaran infiltrat yang dapat disalahtafsirkan sebagai infiltrat TB. Rumus umum
sederhana dalam menilai kemungkinan ke arah TB yang dapat kita gunakan adalah adanya
diskonkruensi (ketidaksesuaian) antara klinis dan gambaran radiologis. Misalnya secara klinis
tidak ada sesak napas, tetapi kelainan foto toraks sangat nyata, maka sangat layak untuk
memikirkan kemungkinan ke arah TB.
230
tanpa indurasi maka dinyatakan negatif. Pengukuran baku indurasi adalah dari diameter
transversalnya. Hasilnya dilaporkan dalam satu angka dengan satuan mm, misalnya 12 mm
(saja), bukan 11 mm x 12 mm. Bila tidak ada indurasi dilaporkan sebagai 0 mm, bukan hanya
dinyatakan positif atau negatif. Secara umum uji tuberkulin dinyatakan positif bila ukuran
indurasinya >10 mm.
Kekeliruan lain terkait uji tuberkulin adalah anggapan bahwa semua pasien dengan uji
tuberkulin positif berarti sakit TB, padahal uji tuberkulin hanya menunjukkan adanya infeksi TB
dan tidak dapat menentukan sakit atau tidaknya seorang pasien. Kembali ke contoh ilustrasi
kasus di awal bab ini, bila hasil uji tuberkulinnya positif maka pasien tersebut kemungkinan
besar hanya terinfeksi TB tanpa sakit TB, mengingat BBnya yang justru berlebih. Adapun
keluhan BKBnya kemungkinan besar karena asmanya.
Dalam penegakan diagnosis TB, bila hasil uji tuberkulinnya negatif, sering kali dianggap
karena anergi. Hasil uji tuberkulin yang negatif dapat dijumpai pada tiga keadaan besar, di luar
masalah kesalahan teknik penyuntikan atau pembacaan. Kemungkinan pertama, dan ini yang
terbanyak, adalah memang tidak ada infeksi TB. Kemungkinan kedua adalah karena masih
dalam masa inkubasi. Kemungkinan ketiga adalah karena anergi. Keadaan anergi ini hanya
dijumpai pada pasien yang imunokompromais seperti gizi buruk, pemakaian steroid jangka
panjang, pascamorbili, HIV, dan lain-lain. Seringkali terjadi kekeliruan yaitu pasien dengan gizi
kurang atau pasien dengan pemakaian steroid jangka pendek sudah dianggap mengalami
anergi. Pada berbagai keadaan yang berpotensi menyebabkan anergi masih mungkin uji
tuberkulinnya positif. Dengan demikian, uji tuberkulin tetap perlu dilakukan pada keadaan yang
berpotensi anergi dan jangan serta merta menduga anergi bila uji tuberkulinnya negatif.
Pemeriksaan darah
Laju endap darah (LED) dan limfositosis
Dasar pemikiran penggunaan LED dalam diagnosis TB adalah karena TB merupakan infeksi
kronis yang dapat menyebabkan peningkatan nilai LED. Akan tetapi perlu dingat bahwa nilai
LED dapat meningkat pada berbagai keadaan infeksi atau inflamasi kronis, sehingga LED sama
sekali tidak khas untuk TB. Pada proses TB diseminata, misalnya TB milier, sering kali nilai
LEDnya malah normal. Jadi, nilai LED yang tinggi tidak mempunyai nilai diagnostik untuk TB.
Laju endap darah masih ada manfaatnya untuk pemantauan keberhasilan terapi bila sebelum
terapi nilainya tinggi. Peningkatan nilai hitung jenis limfosit juga sering dipakai sebagai
penunjang diagnosis sakit TB, padahal pada keadaan infeksi TB tanpa sakit, atau infeksi
lainnya seperti infeksi virus, juga dapat ditemukan nilai limfosit yang tinggi. Dengan demikian
nilai hitung jenis limfosit juga tidak mempunyai nilai diagnostik.
231
Pemeriksaan ini juga mempunyai kendala yang sama dengan pemeriksaan biakan, yaitu
kesulitan mendapatkan spesimen yang respresentatif (sputum atau bilasan lambung).
Pemeriksaan PCR ini tidak dapat menggunakan darah sebagai spesimen. Di samping itu, karena
merupakan pemeriksaan yang canggih maka biayanya cukup mahal. Oleh karena itu, hasil
pemeriksaan PCR yang positif tidak dapat dijadikan satu-satunya dasar penegakan diagnosis
sakit TB.
Serologi
Sistem imun yang berperan penting dalam imunologi TB adalah imunitas selular. Oleh karena
itu, uji tuberkulin merupakan pemeriksaan yang dapat diandalkan. Sayangnya, uji tuberkulin
tidak dapat membedakan infeksi TB dengan sakit TB. Akan lebih mudah bila pemeriksaan
diagnosis TB cukup dengan sampel darah. Oleh karena itu para ahli mencoba melakukan
pemeriksaan serologis yang dasarnya adalah imunitas humoral, yaitu mendeteksi kadar antibodi
terhadap kuman TB dalam darah.
Pemeriksaan serologis yang banyak ditawarkan seperti PAP TB, ICT, Mycodot, dan lain-
lain hanya dapat mengetahui adanya infeksi TB, dan tidak dapat menentukan sakit TB. Dengan
demikian, berbagai pemeriksaan serologis yang ada saat ini, tidak lebih unggul daripada uji
tuberkulin, bahkan sensitivitasnya di bawah uji tuberkulin.
Evaluasi terapi
Uji tuberkulin tidak dapat digunakan sebagai alat pemantau atau evaluasi terapi, karena pada
pasien TB dengan uji tuberkulin positif akan tetap positif walaupun sudah sembuh. Laju endap
darah dapat digunakan jika pada awal terapi hasilnya tinggi. Pemeriksaan PCR dan serologis
tidak dapat digunakan untuk evaluasi terapi.
Pemeriksaan radiologis dapat digunakan untuk evaluasi terapi terutama pada TB milier
dan efusi pleura. Untuk TB yang lain hanya sebagai data tambahan, bukan penentu utama,
karena perbaikan secara radiologis umumnya tidak nyata. Bila tidak hati-hati menggunakan
232
hasil foto toraks maka dapat terjadi kekeliruan. Beberapa hasil ekspertise yang ditemui misalnya
‗dibanding foto lama tampak perburukan; belum ada kemajuan terapi; terapi belum berhasil‘.
Oleh karena itu diperlukan evaluasi kritis terhadap hasil radiologis. Bila tidak kritis, dapat terjadi
terapi TB yang terus diperpanjang karena hanya berdasarkan hasil radiologis.
Lalu bagaimana kita mengevaluasi keberhasilan terapi? Dasar utama evaluasi terapi
adalah keadaan klinis pasien. Terapi TB yang berhasil berdampak nyata pada berbagai
keadaan klinis. Pasien akan meningkat nafsu makannya, berat badan naik secara bermakna,
dan pasien menjadi lebih jarang sakit. Keluhan klinis lain seperti demam, batuk, dan lain-lain
juga akan menghilang.
Pada kelenjar limfe yang meradang dapat terjadi proses fibrosis, sehingga walaupun
sudah sembuh kelenjar limfenya tetap teraba. Bila perbaikan klinis ini nyata, meskipun kelenjar
limfe tetap teraba, pengobatan dapat dihentikan. Perbaikan klinis yang paling nyata biasanya
terlihat dalam fase intensif yaitu 2 bulan awal terapi.
Kesimpulan
Masalah utama (TB) pada anak adalah masalah diagnosis karena belum adanya prosedur
diagnostik yang menjadi true gold standard. Hal ini juga akan berdampak juga dalam terapi,
yaitu dalam menentukan kriteria sembuh atau penghentian terapi. Kekeliruan, kesalahan,
ketidaktepatan yang lazim terjadi (pitfall) pada TB anak, dapat ditemukan dalam diagnosis dan
terapi. Pada diagnosis yaitu terhadap gejala klinis dan pemeriksaan penunjang, sedangkan pada
terapi yaitu regimen dan evaluasi terapi. Selayaknya kita harus menelaah secara kritis terhadap
hal-hal tersebut, sehingga pitfall pada TB anak dapat kita hilangkan atau paling tidak dapat
diminimalkan.
Daftar pustaka
1. American Thoracic Society, Centers for Disease Control and Prevention. Diagnostic standards and
classification of tuberculosis in adults and children. AM J Respir Crit Care Med 2000;161:1376–95.
2. Cruz R, Fletcher E, Jones A, Prakash N. History of tuberculosis. Diunduh dari:
http://www.arches.uga.edu/~efletch/history.htm. Diakses pada 07 Agustus 2006.
3. Depkes RI. Pedoman nasional penanggulangan tuberkulosis. Cetakan ke-8. Jakarta: Departemen
Kesehatan Republik Indonesia; 2002.
4. Kabra SK, Lodha R, Seth V. Some current concepts on childhood tuberculosis. Indian J Med Res
2004;120:387–97.
5. Malin, AS, McAdam KPWJ. Escalating threat from tuberculosis: the third epidemic. Thorax
1995;50(suppl 1): S 37.
6. Murray JF. Mycobacterium tuberculosis and the cause of consumption: from discovery to the fact. AM
J Respir Crit Care Med 2004;169:1086–8.
7. Rahajoe NN, Basir D, MS Makmuri, Kartasasmita CB. Pedoman nasional tuberkulosis anak. Edisi ke-1.
Jakarta: UKK Pulmonologi; 2005. h. 82–3.
8. Shah A, Agarwal AK. Diagnostic problems in childhood tuberculosis. Indian J Tub 1997;44:47–9.
9. Smith KC, Starke JR, Eisenach K, Ong LT, Denby M. Detection of Mycobacterium tuberculosis in
clinical specimen from children using a PCR. Pediatrics 1996;97:155–60.
10. Starke JR. Diagnosis of tuberkulosis in children. Pediatr Infect Dis J 2000 Nov;19:1095–6.
11. Zink A, Haas CJ, Szeimes U. Molecullar analysis of skeletal tuberculosis in ancient Egyptian
population. J Med Microbiol 2001;50:355–66.
233
5
Infeksi respiratori akut
5.1 Epidemiologi
Jan M Wantania, Roni Naning, Audri Wahani
Pendahuluan
Infeksi respiratori akut (IRA) merupakan penyebab terpenting morbiditas dan mortalitas pada
anak. Yang dimaksud infeksi respiratori adalah mulai dari infeksi respiratori atas dan
adneksanya hingga parenkim paru. Pengertian akut adalah infeksi yang berlangsung hingga 14
hari. Infeksi respiratori atas adalah infeksi primer respiratori di atas laring, sedangkan infeksi
laring ke bawah disebut infeksi respiratori bawah.
Infeksi respiratori atas terdiri dari rinitis, faringitis, tonsilitis, sinusitis, dan otitis media.
Sedangkan infeksi respiratori bawah terdiri atas epiglotitis, croup (laringotrakeobronkitis),
bronkitis, bronkiolitis, dan pneumonia. Sebagian besar IRA biasanya terbatas pada IRA atas
saja, tapi sekitar 5%-nya melibatkan laring dan respiratori bawah berikutnya, sehingga
berpotensi menjadi serius.
Sejak tahun 1984, WHO telah menerapkan program pemberantasan IRA/ISPA, khususnya
pneumonia. Pada tahun 1990, Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Anak di New York telah
membuat kesepakatan untuk menurunkan kematian akibat IRA sebesar 30% pada tahun 2000.
Implementasi strategi pemberantasan IRA telah dilakukan oleh banyak negara termasuk
Indonesia, tetapi hasil yang dicapai bervariasi.
Departemen Kesehatan (Depkes) RI telah meningkatkan kualitas tatalaksana pasien
pneumonia dan bekerja sama dengan UNICEF dan WHO dalam menerapkan pendekatan
manajemen terpadu balita sakit (MTBS). Tujuannya adalah agar dapat cepat menyaring
penyakit yang memerlukan perawatan segera, sehingga dapat mengurangi angka kematian,
dan dapat menapis keadaan yang hanya memerlukan perawatan di rumah.
Di Indonesia, kasus IRA menempati urutan pertama dalam jumlah pasien rawat jalan
terbanyak. Hal ini menunjukkan angka kesakitan akibat IRA masih tinggi. Angka kematian balita
akibat pneumonia juga masih tinggi, yaitu lebih kurang 5 per 1000 balita. Pemerintah telah
merencanakan untuk menurunkannya hingga 3 per 1000 balita pada tahun 2010. Akan tetapi,
keberhasilannya bergantung pada banyaknya faktor risiko, terutama yang berhubungan dengan
strategi baku penatalaksanaan kasus, imunisasi, dan modifikasi faktor risiko.
234
mengalami episode IRA sebanyak 7–9 kali per tahun, tetapi biasanya ringan. Puncak insidens
biasanya terjadi pada usia 2–3 tahun.
Insidens IRA/pneumonia di negara berkembang adalah 2–10 kali lebih banyak daripada
negara maju. Perbedaan tersebut berhubungan dengan etiologi dan faktor risiko. Di negara
maju, IRA didominasi oleh virus, sedangkan di negara berkembang oleh bakteri, seperti S.
pneumoniae dan H. influenzae. Di negara berkembang, IRA dapat menyebabkan 10–25%
kematian, dan bertanggung jawab terhadap 1/3–1/2 kematian pada balita. Pada bayi, angka
kematiannya dapat mencapai 45 per 1000 kelahiran hidup.
Variasi insidens IRA yang dilaporkan dari berbagai penelitian terjadi akibat adanya
perbedaan dalam definisi dan identifikasi tipe penyakit, serta karena perbedaan lokasi
penelitian. Jumlah episode IRA pada balita di daerah perkotaan berbeda dengan di pedesaan.
Di daerah perkotaan, jumlah episode IRA umumnya lebih tinggi, yaitu 6–8 kali per tahun,
sedangkan di pedesaan hanya 3–5 kali per tahun.
Penelitian oleh The Board on Science and Technology for International Development
(BOSTID) menunjukkan bahwa insidens IRA pada anak berusia di bawah 5 tahun mencapai
12,7–16,8 episode per 100 anak per minggu (child-weeks). Deb SK mendapatkan insidens
bulanan IRA di daerah perkotaan sebesar 20% dan di daerah pedesaan 17,6%. Hasil dari 17
penelitian mengenai IRA pada anak berusia 0−5 tahun pada masyarakat di negara
berpendapatan rendah dapat dilihat pada Tabel 5.1.1.
Tabel 5.1.1 Infeksi respiratori akut pada anak usia 0−5 tahun, hasil dari 17 penelitian pada masyarakat
di negara berpendapatan rendah
Pneumonia IRA
Episode/ Episode Mortalitas/ % dari
Perkotaan/ anak/ /anak/ 1000/tahun semua
Wilayah Negara
Pedesaan Tahun tahun kematian
anak
<5 tahun
Asia Pakistan K - 7** - -
D - 5 14 35
Bangladesh D - - 18 30
India D 0,13 7 18 43
Nepal D 1,0** 5** 20 31
D - - 18 18
Thailand K - 11 - -
Philippines K 0,5 6 6 62
D - - 7 40
Indonesia D - - 7 25
PNG D 1,0 - 13 36
Amerika Guatemala K 0,2 7 - -
Afrika Burkina Faso D - 13 - -
Gambia D 0,17 - - -
D - - 14 21
Kenya D 0,2 4 - -
Tanzania D - - 14 36
K: perkotaan, D: pedesaan, **: usia 0–2 tahun
Selain berbeda antara negara maju dan negara berkembang, jenis penyakit terutama
infeksi respiratori-bawah memegang peranan penting pada insidens dan prevalens, karena
berhubungan dengan etiologi, usia, musim, dan faktor-faktor lainnya.
235
Jumlah total episode infeksi respiratori-bawah per 100 anak per tahun dikaitkan dengan
usia dan jumlah episode laringotrakeobronkitis akut, bronkitis, bronkiolitis akut dan pneumonia,
dapat dilihat pada Gambar 5.1.1.
Gambar 5.1.1 Infeksi respiratori bawah. Jumlah total episode infeksi respiratori-bawah per 100 anak per
tahun dikaitkan dengan usia dan jumlah episode laringotrakeobronkitis akut, bronkitis, bronkiolitis akut,
dan pneumonia.
Sumber: Phelan PD, Olinsky A, Robertson C. The Epidemology of Acute Respiratory Infections. Dalam: Phelan PD, Olinsky A,
Robertson C. Respiratory illness in children. Edisi ke-4. Melbourne, Blackwell Sci Publ, 1994.
Di Indonesia, IRA merupakan salah satu penyebab utama kunjungan pasien ke sarana
kesehatan, yaitu 40–60% dari seluruh kunjungan ke puskesmas dan 15–30% dari seluruh
kunjungan rawat jalan dan rawat inap RS. Jumlah episode IRA di Indonesia diperkirakan 3–6
kali per tahun, tetapi berbeda antar daerah.
Tabel 5.1.2 Angka kematian IRA/pneumonia pada bayi dan balita di Indonesia yang dicatat pada SKRT
1992
Pulau Bayi (%) Balita (%)
Sumatera 26,3 23,5
Jawa – Bali 26,3 11,8
Nusa Tenggara 15,8 17,6
Kalimantan 8,8 5,9
Sulawesi 10,6 6,9
Maluku – Irian (+Timtim) 12,3 35,3
Pada tahun 2002, IRA menempati peringkat pertama dari 10 penyakit terbanyak di rumah sakit
umum (RSU) di Indonesia, dengan angka kejadian pneumonia diperkirakan 10–20% per tahun,
dan terdapat kecenderungan bergesernya prevalens tertinggi ke kelompok usia yang lebih
muda. Berdasarkan SDKI, pada tahun 1991—1997 terdapat kecenderungan bergesernya
prevalens tertinggi ke kelompok umur yang lebih muda (Tabel 5.1.3).
236
Tabel 5.1.3 Prevalens, insidens, dan kelompok usia yang mempunyai prevalens tertinggi berdasarkan
SDKI.
Karakteristik SDKI
1991 1994 1997
Prevalens 9,8% 10% 9%
Insidens - 9% 8%
Kelompok umur dengan prevalens tinggi 12—23 tahun 6—35 tahun 6—11 tahun
Angka kejadian infeksi respiratori bawah pada tahun pertama kehidupan adalah sekitar 25 per
100 anak/tahun. Jumlah tersebut menurun secara progresif selama masa anak menjadi 12 per
100 anak/tahun pada anak usia 5 tahun dan 5 per 100 anak/tahun pada remaja.
Tabel 5.1.4 Insidens IRA/pneumonia pada anak di bawah 5 tahun di beberapa negara
Tempat Insidens
Negara maju
USA 3.6
Seattle 3.0
Negara berkembang
Bangkok,Thailand 7,0
India 19,3
Pakistan 24
Kenya 18,0
Gambia 7,7
Brazil 23,7
Paraguay 17,3
Bangladesh 18,3
Indonesia 9,0
Philipina 16,2
Vietnam 9,3
Angka kematian karena IRA juga berbeda di beberapa negara karena perbedaan angka
kematian bayi (AKB) di negara-negara tersebut. World Health Organization memperkirakan
bahwa insidens pneumonia pada balita di negara dengan AKB di atas 40 per 1000 kelahiran
hidup adalah 15–20% per tahun. Angka kematian bayi di Indonesia pada tahun 2002–2003
adalah 35 per 1000 kelahiran hidup atau urutan ke-4 tertinggi di antara negara-negara
Association of South East Asia Nations (ASEAN). Angka kematian akibat pneumonia nasional
adalah 5 per 1000 balita per tahun (SKRT 2001). Menurut survei kesehatan nasional (SKN)
2001, 27,6% kematian bayi dan 22,8% kematian balita di Indonesia disebabkan oleh penyakit
sistem respiratori, terutama pneumonia.
237
5.1.2.1 Usia
Seperti telah dikemukakan sebelumnya, IRA dapat ditemukan pada 50% anak berusia di bawah
5 tahun dan 30% anak berusia 5–12 tahun. Rahman dkk. mendapatkan 23% kasus IRA berat
dari seluruh kasus IRA pada anak berusia di atas 6 bulan. World Health Organization
melaporkan bahwa di negara berkembang, IRA—termasuk infeksi respiratori-bawah
(pneumonia, bronkiolitis, dan lain-lain)—adalah penyebab utama dari empat penyebab
terbanyak kematian anak, dengan kasus terbanyak terjadi pada anak berusia di bawah 1 tahun.
5.1.2.6 Imunisasi
Campak, pertusis, dan beberapa penyakit lain dapat meningkatkan risiko terkena IRA dan
memperberat IRA itu sendiri, tetapi sebetulnya hal ini dapat dicegah. Di India, anak yang baru
sembuh dari campak, selama 6 bulan berikutnya dapat mengalami IRA enam kali lebih sering
daripada anak yang tidak terkena campak. Campak, pertusis, dan difteri bersama-sama dapat
menyebabkan 15–25% dari seluruh kematian yang berkaitan dengan IRA. Deb SK mendapatkan
238
RR sebesar 2,7 pada kelompok anak yang tidak mendapatkan imunisasi. Vaksin campak cukup
efektif dan dapat mencegah kematian hingga 25%. Usaha global dalam meningkatkan cakupan
imunisasi campak dan pertusis telah mengurangi angka kematian IRA akibat kedua penyakit ini.
Vaksin Pneumokokus dan H. influenzae tipe B saat ini sudah diberikan pada anak-anak
dengan efektivitas yang cukup baik.
5.1.2.10 Lingkungan
Polusi udara
Studi epidemiologi di negara berkembang menunjukkan bahwa polusi udara, baik dari dalam
maupun dari luar rumah, berhubungan dengan beberapa penyakit termasuk IRA. Hal ini
berkaitan dengan konsentrasi polutan lingkungan yang dapat mengiritasi mukosa saluran
respiratori. Anak yang tinggal di dalam rumah berventilasi baik memiliki angka insidens IRA
yang lebih rendah daripada anak yang berada di dalam rumah berventilasi buruk.
Orang tua yang merokok menyebabkan anaknya rentan terhadap pneumonia. Risiko
(odd ratio, OR) mengalami IRA-bawah pada anak dengan durasi pemberian ASI yang singkat
oleh ibu perokok dibandingkan dengan anak dengan durasi pemberian ASI yang lama oleh ibu
nonperokok adalah lebih kurang 2,2.
Pajanan terhadap suhu dingin juga merupakan salah satu faktor risiko pneumonia.
Selain itu, musim juga dapat mempengaruhi IRA, misalnya pada bronkiolitis, karena pada
musim dingin terlalu banyak orang berada di dalam suatu ruangan (overcrowded) .
Penyakit lain
Human immunodeficiency virus/AIDS serta penyakit-penyakit lain merupakan faktor risiko IRA.
Ada juga yang menggolongkan HIV/AIDS ke dalam faktor lingkungan. Penyakit ini merupakan
penyakit baru (new emerging disease) yang beberapa tahun terakhir menunjukkan peningkatan
yang mengkhawatirkan. Di beberapa negara, HIV mulai menjadi masalah karena pneumonia
239
terjadi lebih sering dan lebih berat pada pasien HIV. Penelitian menunjukkan bahwa 25% dari
kematian HIV disebabkan oleh IRA-bawah.
Bencana alam
Bencana alam seperti tsunami (yang melanda Aceh/Sumatera Utara dan beberapa negara lain
di dunia) dapat menyebabkan peningkatan kasus dan kematian akibat IRA, khususnya
pneumonia. Pneumonia yang ditimbulkan adalah pneumonia aspirasi akibat masuknya cairan
dan benda-benda asing lain ke dalam paru. Beratnya pneumonia bergantung pada banyaknya
campuran bahan yang masuk ke dalam paru dan pertolongan yang diberikan. Keadaan ini mirip
dengan hampir tenggelam (near drowning), yang juga merupakan salah satu faktor risiko
timbulnya pneumonia aspirasi. Selain menyebabkan pneumonia tidak lama setelah bencana,
tsunami juga dapat menyebabkan IRA pada anak-anak selama berada di tempat pengungsian.
Hal ini dikarenakan kepadatan tempat tinggal dan keadaan lingkungan yang kurang baik. Selain
itu, bencana alam ini juga dapat menimbulkan penyakit lain.
Daftar pustaka
1. Anderson DC, Stichm FR. Immunization. JAMA South East Asia 1992;9:20–4.
240
2. Phelan PD, Olinsky A, Robertson C. The Epidemology of Acute Respiratory Infections. Dalam: Phelan
PD, Olinsky A, Robertson C. Respiratory illness in children. Edisi ke-4. Melbourne:Blackwell Sci
Publ;1994.h27-51.
3. Smith DS. Rhinitis. dalam: Schidlow DV, Smith DS, eds. Hanley & Belfus, Philadelphia 1994; 11-14.
4. Smith DS. Pharyngitis. dalam: Schidlow DV, Smith DS, eds. Hanley & Belfus, Philadelphia 1994;23-
26.
5. Smith DS. Sinusitis. dalam: Schidlow DV, Smith DS, eds. Hanley & Belfus, Philadelphia 1994; 15-16.
6. Cesar JA, Victora G, Barros FC, dkk. Impact of breast-feeding on admission for pneumonia during
postneonatal period in Brazil: nested case-control study. BMJ 1999;318:1316–20.
7. Davidson M, Parkinson AJ, Bulkan, dkk. The epidemiology of invasive pneumonoccal disease in Alaska
1986–1990. Ethnic differences and opportunities for prevention. J Infect Dis 1994;170:368–76.
8. Deb SK. Acute respiratory disease survey in Tripura in case of children below five years of age. J
Indian Med Assoc 1998;96(4):111–6.
9. Departemen Kesehatan RI. Pedoman pemberantasan penyakit infeksi saluran pernapasan akut untuk
penanggulangan pneumonia pada balita. Jakarta: 2002.
10. Depkes, Dirjen P2M, PLP. Pedoman program pemberantasan penyakit infeksi saluran pernapasan
akut untuk penanggulangan pneumonia pada balita dalam pelita VI. 1996.
11. Dudley L, Hussey G, Huskissen J, Kessaw G, dkk. Vitamin A status, other risk factors and ARI
morbidity in children. S Afr med J 1997;87(1):2623–9.
12. Edward AM, Warren DK, Fraser VJ. Ventilator-associated pneumonia in pneumonia pediatric intensive
care unit patients: risk factors and outcomes. Pediatrics 2002;109:758–64.
13. Enarson P, Enarson DA. Management of child with cough or difficult breathing. International Union
Against Tuberculosis and Lung Disease. France: 1997.
14. Goh DYT, Shek LPC, Wah LB. Acute respiratory tract infections in children: outpatient management.
Bull National University Hospital; 1999. h. 1–9.
15. Grant JP. Acute respiratory infections: key challenge of the 1990‘s. Dalam: international consultation
on the control of acute respiratory infections. Washington: 1991.
16. Hofhuis W, de Jongste JC, Merkus PJFM. Adverse health effects of prenatal and postnatal tobacco
smoke exposure on children. Arch Dis Child 2003;88:1086–90.
17. Kirkwood BR, Gove S, Rogers S, dkk. Potential interventions for the prevention of childhood
pneumonia in developing countries: a systematic review. Bull World Health Org 1995;73:793–8.
18. Lopez-Alarcon M, Villalpando S, Fajardo A. Breast-feeding lowers the frequency and duration of acute
respiratory infection and diarrhea in infants under six months of age. J Nutr 1997;127:436–43.
19. Makela H. Vaccines against pneumonia. Helena Makela reviews progress in developing vaccines to
protect against pneumonia. ARI News 1992;24:7.
20. Mbari-Ngacha. Pneumonia in HIV-positive children. ARI News 1993;26:6–7.
21. Rasmussen Z, Pio A, Enarson P. Case management of childhood pneumonia in developing countries:
recent relevant research and current initiatives. Int J Tuberc Lung Dis 2000;807–22.
22. McIntosh K. Community-aquired pneumonia in children: current concept. N Engl J Med
2002;346(6):429–36.
23. Nafstad P, Jaokala JJ, Hagen JA, Botten G, Kangrad J. Breast-feeding, maternal smoking, and lower
respiratory infection. Eur Resp J 1999;9(12):2623–9.
24. Phelan PD, Landau LI, Olinsky A. Epidemiology of acute respiratory infections. Dalam: Phelan PD,
Landau LI, Olinsky A, penyunting. Respiratory illness in children. Edisi ke-3. London: Blackwell
Scientific Publications; 1990. h. 24–46.
25. Rahman MM, Shahidullah M. Risk factors for acute respiratory infections among the slum infants of
Dhaka City. Bangladesh Med Res Counc Bull 2001;27:55–62.
26. Ray CG, Holberg CJ, Minnich LL, dkk. Acute lower respiratory illness during the first 3 years of life:
potential roles for various etiologic agents. Pediatr Infect Dis J 1993;12:10.
27. Roger S. Pneumonia is a killer disease. ARI News 1991;21:22.
28. Selwyn BJ. The epidemiology of acute respiratory tract infection in young children: comparison of
findings from several developing countries. Rev Infect Dis 1990;12(8):S870–88.
241
29. Simth KR, Corvalan CF, Kjellstrom T. How much global ill health is attributable to environmental
factors?. Epidemiology 1997;10:574–84.
30. Weber MW, Dackour R, Usen, dkk. The clinical spectrum of respiratory syncytial virus disease in
Gambia. Pediatr Infect Dis J 1998;17:224–30.
31. World Health Organization. Program for the control of acute respiratory infections: acute respiratory
infections in children: case management in small hospital in developing countries, a manual for
doctors and others senior health workers. 1992.
32. World Health Organization. World health report 1999: making a difference. Geneva: WHO; 1999.
33. Yoon PW, Black RE, Moulton LH, dkk. Effect of not breast-feeding on the risk of diarrheal and
respiratory mortality in children under 2 years of age in Metro Cebu, Philippines. Am J Epidemiol
1996;143:1142–8.
242
5.2 Rinitis
Roni Naning, Rina Triasih, Amalia Setyati
Rinitis atau dikenal juga sebagai Common cold, Coryza, Cold atau selesma adalah salah satu
dari penyakit IRA-atas tersering pada anak. Anak-anak lebih sering mengalami rinitis daripada
dewasa. Rata-rata mereka mengalami 6–8 kali rinitis per tahun, sedangkan orang dewasa 2–4
kali per tahun. Selama tahun pertama kehidupan, anak laki-laki lebih sering mengalami rinitis
daripada anak perempuan. Penyakit ini juga merupakan penyebab terbanyak yang
menyebabkan anak tidak dapat pergi ke sekolah. Diperlukan pemahaman yang lebih baik akan
epidemiologi dan patofisiologi penyakit tersebut sehingga dapat mengurangi kunjungan ke
dokter dan tatalaksana yang tidak perlu. Selain itu, diperlukan juga rasionalisasi penggunaan
antibiotik dalam tatalaksana rinitis untuk mengatasi keadaan tersebut.
Rinitis dapat terjadi sepanjang tahun, tetapi insidensnya bergantung pada musim. Di
belahan bumi utara, insidens rinitis meningkat. Rinitis tetap tinggi selama musim dingin, dan
menurun pada musim semi, sedangkan di daerah tropis, rinitis terutama terjadi pada musim
hujan.
Rinitis adalah infeksi virus akut yang sangat menular. Rinitis ditandai dengan pilek,
bersin, hidung tersumbat, dan iritasi tenggorokan, serta dapat disertai dengan atau tanpa
demam. Hampir semua rinitis disebabkan oleh virus. Virus penyebab tersering adalah
Rhinovirus, sedangkan virus lain adalah virus parainfluenza, Respiratory syncytial virus (RSV),
dan Coronavirus. Dengan demikian antibiotik tidak diperlukan dalam tatalaksana rinitis. Hanya
dalam keadaan tertentu saja bakteri berperan dalam rinitis, yaitu jika merupakan bagian dari
faringitis seperti pada rinofaringitis (nasofaringitis).
5.2.1 Definisi
Rinitis merupakan istilah konvensional untuk infeksi saluran pernapasan-atas ringan dengan
gejala utama hidung buntu, adanya sekret hidung, bersin, nyeri tenggorok, dan batuk. Infeksi
ini terjadi secara akut, dapat sembuh spontan, dan merupakan penyakit yang paling sering
diderita manusia. Di Amerika Serikat, lebih kurang 25 juta pasien per tahun datang ke dokter
karena infeksi saluran pernapasan atas tanpa komplikasi.
Rinitis merupakan penyakit akut yang sangat infeksius, dan biasanya disebabkan oleh
virus. Salah satu virus penyebab rinitis adalah virus Influenza, sehingga terdapat salah
pengertian penyebutan rinitis dengan flu, yang merupakan nama lain dari influenza. Pada
kenyataannya, ada banyak jumlah virus yang dapat menyebabkan rinitis, misalnya Rhinovirus,
Adenovirus, virus Parainfluenza, Respiratory syncytial virus (RSV), dan lain-lain.
Kumpulan gejala yang terdapat pada penyakit ini adalah hidung tersumbat, bersin,
coryza (inflamasi mukosa hidung dan pengeluaran sekret), iritasi faring, serta dapat pula
dijumpai demam yang tidak terlalu tinggi. Melihat kumpulan gejala tersebut, maka terminologi
selesma lebih sesuai daripada rinitis, coryza, atau nasofaringitis (terminologi yang biasa dipakai
di literatur). Terminologi rinitis terlalu berfokus pada kelainan di hidung; terminologi
nasofaringitis seakan-akan lebih mengarah pada gejala di hidung dan infeksi pada faring,
walaupun pada keadaan sebenarnya bukan hanya itu yang terjadi. Akan tetapi, beberapa
literatur masih menggunakan nasofaringitis untuk membicarakan rinitis.
243
5.2.2 Etiologi
Beberapa virus telah teridentifikasi sebagai penyebab rinitis. Rhinovirus, RSV, virus Influenza,
virus Parainfluenza, dan Adenovirus merupakan penyebab rinitis tersering pada anak usia
prasekolah. Persentase virus-virus ini sebagai penyebab rinitis bervariasi antara penelitian yang
satu dengan yang lainnya. Hal ini mungkin dikarenakan perbedaan waktu dilakukannya
penelitian, metode pengambilan sampel dan pemeriksaan, serta usia subyek penelitian.
Meskipun demikian, Rhinovirus merupakan penyebab rinitis tersering pada semua usia, apapun
metode pemeriksaannya. Rhinovirus yang mempunyai lebih dari 100 serotipe merupakan
penyebab 30–50% rinitis per tahun, dan dapat mencapai 80% selama musim semi.
Meskipun jarang, rinitis dapat juga disebabkan oleh Enterovirus (Echovirus dan
Coxsackievirus) dan Coronavirus. Coronavirus ditemukan pada 7–18% orang dewasa dengan
infeksi saluran pernapasan-atas. Human metapneumovirus, virus yang relatif baru ditemukan,
selain diketahui menyebabkan pneumonia dan bronkiolitis, dapat juga menyebabkan infeksi
saluran pernapasan-atas ringan. Pada sekitar 5% pasien dengan rinitis, ditemukan dua atau
lebih virus pada saat yang bersamaan; sedangkan 20–30% rinitis tidak diketahui penyebabnya.
Etiologi rinitis berdasarkan kekerapannya dapat dilihat pada Tabel 5.2.1.
Kategori Mikroorganisme
Penyebab rinitis Rhinovirus
terbanyak Virus Parainfluenza
RSV
Coronavirus
Dapat menyebabkan Adenovirus
rinitis Enterovirus
Virus Influenza
Virus Parainfluenza
Reovirus
Mycoplasma pneumoniae
Jarang menyebabkan Coccidioides immitis
rinitis Histoplasma capsulatum
Bordatella pertussis
Chlamydia psitacci
Coxiella Burnetti
5.2.3 Patofisiologi
Penularan rinitis dapat terjadi melalui inhalasi aerosol yang mengandung partikel kecil, deposisi
droplet pada mukosa hidung atau konjungtiva, atau melalui kontak tangan dengan sekret yang
mengandung virus yang berasal dari penyandang atau dari lingkungan. Cara penularan antara
virus yang satu berbeda dengan yang lainnya. Virus Influenza terutama ditularkan melalui
inhalasi aerosol partikel kecil, sedangkan Rhinovirus ditularkan melalui kontak tangan dengan
sekret, yang diikuti dengan kontak tangan ke mukosa hidung atau konjungtiva.
Patogenesis rinitis sama dengan patogenesis infeksi virus pada umumnya, yaitu
melibatkan interaksi antara replikasi virus dan respon inflamasi pejamu. Meskipun demikian,
patogenesis virus-virus saluran respiratori dapat sangat berbeda antara satu dengan yang
244
lainnya karena perbedaan lokasi primer tempat replikasi virus. Replikasi virus Influenza terjadi
di epitel trakeobronkial, sedangkan Rhinovirus terutama di epitel nasofaring.
Pemahaman patogenesis rinitis terutama didapat dari penelitian pada sukarelawan yang
diinfeksi dengan Rhinovirus. Infeksi dimulai dengan deposit virus di mukosa hidung-anterior
atau di mata. Dari mata, virus menuju hidung melalui duktus lakrimalis, lalu berpindah ke
nasofaring posterior akibat gerakan mukosilier. Di daerah adenoid, virus memasuki sel epitel
dengan cara berikatan dengan reseptor spesifik di epitel. Sekitar 90% virus Rhinovirus
menggunakan intercellular adhesion molecule-1 (ICAM-1) sebagai reseptornya.
Setelah berada di dalam sel epitel, virus bereplikasi dengan cepat. Hasil replikasi virus
tersebut dapat dideteksi 8–10 jam setelah inokulasi virus intranasal. Dosis yang dibutuhkan
untuk terjadinya infeksi Rhinovirus adalah kecil, dan lebih dari 95% sukarelawan tanpa antibodi
spesifik terhadap serotipe virus akan terinfeksi setelah inokulasi intranasal. Meskipun demikian,
tidak semua infeksi menyebabkan timbulnya gejala klinis. Gejala rinitis hanya terjadi pada 75%
orang yang terinfeksi.
Infeksi virus pada mukosa hidung menyebabkan vasodilatasi dan peningkatan
permeabilitas kapiler, sehingga timbul gejala klinis hidung tersumbat dan sekret hidung yang
merupakan gejala utama rinitis. Stimulasi kolinergik menyebabkan peningkatan sekresi kelenjar
mukosa dan bersin. Mekanisme pasti tentang bagaimana virus menyebabkan perubahan di
mukosa hidung belum diketahui dengan pasti. Dilaporkan bahwa gejala timbul bersamaan
dengan influks sel-sel polimorfonuklear (PMN) ke dalam mukosa dan sel epitel hidung.
Derajat keparahan kerusakan mukosa hidung berbeda antar virus. Virus Influenza dan
Adenovirus menyebabkan kerusakan yang luas, sedangkan infeksi Rhinovirus tidak
menyebabkan perubahan histopatologik pada mukosa hidung. Tidak adanya kerusakan mukosa
pada infeksi Rhinovirus menimbulkan dugaan bahwa gejala klinis pada infeksi Rhinovirus
mungkin bukan disebabkan oleh efek sitopatik virus, melainkan karena respons inflamasi
pejamu. Beberapa mediator inflamasi yang berperan pada rinitis adalah kinin, leukotrien,
histamin, interleukin (IL) 1, 6, dan 8, tumor necrosis factor (TNF), dan regulated by activaton
normal T cell expressed and secreted (RANTES). Kadar IL-6 dan IL-8 menentukan derajat
keparahan rinitis.
245
perjalanan penyakit pada orang dewasa dengan rinitis tanpa komplikasi, menunjukkan adanya
kelainan bermakna pada sinus yang sembuh spontan tanpa pemberian antibiotik. Hal ini
menunjukkan bahwa kelainan sinus selama rinitis tidak selalu terjadi akibat infeksi sekunder
oleh bakteri, tetapi dapat merupakan bagian dari perjalanan penyakit yang normal.
Penelitian lain pada 65 anak menunjukkan bahwa 47% anak dengan rinitis mempunyai
kelainan sinus pada pemeriksaan CT-scan atau MRI kepala, yang secara bermakna
berhubungan dengan gejala rinitis yang terjadi dua minggu sebelumnya. Tidak diketahui
dengan jelas apakah kelainan ini disebabkan oleh kegagalan sistem drainase sinus, atau karena
infeksi virus ke mukosa sinus. Kelainan pada telinga tengah juga sering terjadi pada perjalanan
penyakit rinitis tanpa komplikasi. Dua pertiga anak berusia 2–12 tahun mempunyai tekanan
telinga tengah yang abnormal selama dua minggu sejak onset terjadinya rinitis. Tekanan yang
abnormal ini hanya terjadi sementara selama terjadinya rinitis. Penyebabnya masih belum jelas,
tetapi diperkirakan bahwa virus di nasofaring menyebabkan disfungsi tuba eustachius, dan
tekanan telinga tengah menjadi abnormal. Dugaan lain adalah virus juga menginfeksi mukosa
telinga tengah atau mukosa tuba eustachius.
Meskipun rinitis merupakan penyakit yang dapat sembuh spontan dengan durasi yang
pendek, komplikasi karena infeksi bakteri dapat juga dijumpai.
Otitis Media
Merupakan komplikasi yang sering dijumpai pada anak. Penyakit ini terjadi pada sekitar
20% anak dengan infeksi saluran pernapasan-atas karena virus. Komplikasi ini paling sering
terdiagnosis pada hari ke-3 atau ke-4 setelah onset gejala infeksi saluran pernapasan-atas.
Infeksi virus pada saluran pernapasan-atas sering menyebabkan disfungsi tuba eustachius,
yang dianggap sebagai faktor yang penting pada patogenesis otitis media.
Sinusitis
Infeksi sekunder bakteri pada sinus paranasalis perlu dipertimbangkan bila dijumpai gejala
nasal yang menetap selama lebih dari 10–14 hari. Sinusitis bakterial diperkirakan terjadi
pada 6–13% anak dengan infeksi saluran pernapasan-atas karena virus.
Infeksi saluran pernapasan-bawah
Komplikasi lain yang sering didapatkan adalah pneumonia, yang dapat terjadi akibat infeksi
sekunder oleh bakteri, tetapi dapat juga karena penyebaran virus ke jaringan paru.
Penelitian mengenai penyebab pneumonia pada anak menunjukkan bahwa campuran
bakteri-virus merupakan penyebab tersering.
Pneumonia karena infeksi bakteri biasanya ditandai dengan onset baru demam yang
timbul beberapa hari setelah timbulnya gejala rinitis. Batuk yang menetap tanpa disertai
onset baru demam mungkin menunjukkan adanya infeksi saluran pernapasan-bawah karena
virus.
Eksaserbasi asma
Penelitian menunjukkan bahwa infeksi Rhinovirus berperan pada terjadinya kurang lebih
50% eksaserbasi asma pada anak.
Lain-lain
Komplikasi lain dapat berupa epistaksis, konjungtivitis, dan faringitis.
5.2.5 Diagnosis
Penegakan diagnosis rinitis sebetulnya relatif mudah, tetapi perlu diwaspadai beberapa
diagnosis banding yang mempunyai gejala menyerupai rinitis untuk menghindari terjadinya
undertreatment. Satu hal lagi yang perlu diingat adalah menentukan apakah rinitis tersebut
memiliki komplikasi atau tidak.
246
Diagnosis rinitis ditegakkan berdasarkan gejala klinis dan perjalanan penyakit yang
diperoleh dari anamnesis lengkap. Perlu ditanyakan mengenai karakteristik rinorea, unilateral
atau bilateral, dan apakah pasien memiliki riwayat alergi. Kebiasaan merokok pada orang tua
juga penting ditanyakan, karena asap rokok yang terhirup dapat memperberat gejala rinitis.
Selain itu, perjalanan penyakit juga perlu ditanyakan untuk melihat apakah telah terjadi
komplikasi pada pasien. Nyeri tenggorok kadang-kadang sulit dibedakan dengan gejala pada
faringitis karena Streptokokus. Akan tetapi, hidung buntu dan nasal discharge yang merupakan
gejala utama rinitis tidak dijumpai pada faringitis karena Streptokokus.
Pemeriksaan fisis tidak menunjukkan gambaran yang khas. Penegakan diagnosis rinitis
lebih mudah dilakukan pada orang dewasa, sedangkan pada anak hal ini kadang-kadang
menjadi sulit karena anak tidak dapat menyampaikan keluhannya, apalagi pada bayi dimana
demam biasanya merupakan gejala pertama yang timbul pada awal infeksi. Sulit bagi klinisi
untuk menentukan apakah demam ini merupakan bagian dari infeksi virus yang ringan atau
infeksi bakteri yang berat. Pada pemeriksaan fisis, warna sekret hidung tidak dapat
membedakan penyebab dari penyakit, misalnya saja mukosa hidung pasien dengan rinitis alergi
biasanya edema, tetapi tidak selalu berwarna pucat. Beberapa gambaran klinis yang perlu dicari
adalah keterlibatan otitis media, nyeri pada wajah atau sinus, pembesaran kelenjar servikal,
tanda-tanda gangguan pernapasan (sesak, takipnea, wheezing, ronki, retraksi), juga tanda
atopik. Pada setiap anak dengan batuk-pilek selalu harus ditentukan apakah ada peningkatan
laju pernapasan dan tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam. Kedua tanda ini penting
untuk deteksi dini pneumonia.
Ditemukannya virus penyebab rinitis merupakan baku emas penegakan diagnosis, tetapi
hal ini tidak direkomendasikan pada tatalaksana pasien sehari-hari. Metode identifikasi virus
yang dapat dilakukan meliputi kultur virus, deteksi antigen, dan polymerase chain reaction
(PCR). Meskipun sensitivitas dan spesifisitas masih diragukan, saat ini telah tersedia berbagai
uji deteksi antigen untuk mendeteksi virus Influenza, virus Parainfluenza, RSV, dan Adenovirus,
tetapi tidak dapat digunakan untuk mendeteksi Rhinovirus karena jumlah serotipenya yang
sangat banyak.
5.2.6 Tatalaksana
Hingga saat ini terapi rinitis yang efektif belum ditemukan karena bervariasinya tipe virus
penyebab dan mekanisme patogenesis yang mendasarinya.
5.2.6.1 Nonmedikamentosa
Apabila gejala klinis pada anak tidak terlalu berat, dianjurkan untuk tidak menggunakan
medikamentosa/obat-obatan. Terdapat beberapa usaha untuk mengatasi hidung tersumbat,
misalnya pada anak yang lebih besar dianjurkan untuk melakukan elevasi kepala saat tidur.
Pada bayi dan anak direkomendasikan untuk memberikan terapi suportif cairan yang adekuat,
karena pemberian minum dapat mengurangi gejala nyeri atau gatal pada tenggorokan.
5.2.6.2 Medikamentosa
Apabila gejala yang ditimbulkan terlalu mengganggu, maka dianjurkan untuk memberikan obat
untuk mengurangi gejala. Gejala yang membuat anak tidak nyaman biasanya adalah demam,
malaise, rinorea, hidung tersumbat, dan batuk persisten.
Obat-obat simtomatis merupakan obat yang paling sering diberikan, terutama ditujukan
untuk menghilangkan gejala yang paling mengganggu. Pada bayi dan anak, terapi simtomatis
247
yang direkomendasikan adalah asetaminofen (atau ibuprofen untuk anak berusia lebih dari
enam bulan) untuk menghilangkan demam yang mungkin terjadi pada hari-hari pertama.
Pemberian tetes hidung salin yang diikuti dengan hisap lendir dapat mengurangi sekret
hidung pada bayi. Pada anak yang lebih besar dapat diberikan semprot hidung salin.
Dekongestan topikal tidak dianjurkan untuk diberikan pada anak yang lebih kecil, karena
penggunaan berlebihan dapat menyebabkan rebound phenomenon dan memperlama gejala
yang dirasakan. Penggunaan pada anak yang lebih besar dianjurkan satu kali sehari saat malam
sebelum tidur, maksimal selama tiga hari. Tetes hidung salin dapat digunakan; selain dapat
mengatasi sumbatan hidung, pada bayi dan anak dapat bermanfaat untuk mengencerkan
sekret di hidung dan menginduksi bersin.
Antihistamin, dekongestan, antitusif, dan ekspektoran, baik sebagai obat tunggal
maupun kombinasi, saat ini banyak dipasarkan untuk terapi simtomatis pada anak. Meskipun
demikian, beberapa uji klinis pada bayi dan anak menunjukkan bahwa obat-obat tersebut tidak
bermanfaat. Anak-anak dengan penyakit saluran respiratori reaktif atau asma harus diberikan
obat -agonis untuk menghilangkan gejala yang berhubungan dengan bronkospasme.
Antihistamin
Penggunaan antihistamin pada rinitis tidak mengubah perjalanan penyakit. Efek sampingnya
bahkan dapat memperparah penyakit, yaitu mulut terasa kering, hidung tersumbat, dan
kemungkinan dapat terjadi agitasi. Telah dilakukan penelitian randomized controlled trial (RCT)
yang membandingkan antara kelompok anak yang diberi kombinasi antihistamin-dekongestan
dan kelompok plasebo. Kedua kelompok tersebut menunjukkan perbaikan penyakit dan tidak
ada perbedaan antar keduanya. Kombinasi obat ini juga tidak menunjukkan efek proteksi
terhadap komplikasi otitis media.
Selain sedasi, efek samping antihistamin yang lain adalah paradoxic excitability, depresi
respirasi, dan halusinasi. Karena berpotensi toksik dan tidak terbukti bermanfaat, antihistamin
hanya boleh diberikan pada anak berusia di atas 12 bulan, dan dengan pengertian bahwa satu-
satunya efek yang diharapkan adalah efek sedasi.
Antitusif
Seperti halnya antihistamin, pemberian antitusif pada anak dengan rinitis terbukti tidak
bermanfaat. Bahkan pada anak dengan penyakit reaktif saluran respiratori yang dipicu oleh
infeksi saluran respiratori karena virus, antitusif dapat menyebabkan terjadinya mucus plugging
dan memperburuk gejala. Baik kodein maupun dekstrometorfan memiliki potensi toksisitas
termasuk distres respirasi. Karena memiliki efek toksik dan tidak terbukti bermanfaat,
penggunaan antitusif tidak direkomendasikan pada anak.
Dekongestan
Dekongestan merupakan obat dengan efek simpatomimetik yang menyebabkan vasokonstriksi
mukosa hidung. Dekongestan yang sering digunakan adalah pseudoephedrine hydrochloride,
phenylephrine hydrochloride, dan phenylpropanolamine hydrochloride. Pada orang dewasa,
obat-obat tersebut terbukti efektif menghilangkan kongesti nasal dan meningkatkan patensi,
tetapi tidak terbukti efektivitasnya pada anak. Efek samping dekongestan meliputi takikardi,
peningkatan tekanan darah diastolik, dan palpitasi.
Zinc
Efektivitas zinc untuk pengobatan rinitis masih belum jelas. Uji klinik acak buta ganda pada 249
anak sekolah dasar (SD) menunjukkan bahwa pemberian zinc tidak bermanfaat pada anak
248
dengan rinitis. Bahkan efek samping seperti nausea, iritasi tenggorok, dan diare lebih banyak
dialami anak-anak pada kelompok perlakuan.
Echinacea
Uji klinik acak buta ganda pada anak berusia 2–11 tahun menunjukkan tidak adanya perbedaan
dalam lamanya atau beratnya gejala rinitis antara kelompok yang mendapatkan echinacea
dibandingkan dengan kelompok plasebo.
Vitamin C
Penelitian-penelitian terdahulu menunjukkan bahwa pemberian vitamin C dosis tinggi dapat
mengurangi lamanya gejala rinitis. Akan tetapi, penelitian-penelitian tersebut mempunyai
masalah dalam hal metodologinya. Review sistematik baru-baru ini menunjukkan bahwa
suplementasi vitamin C tidak bermanfaat untuk pencegahan maupun pengobatan rinitis baik
pada populasi normal.
Antibiotik
Antibiotik, meskipun diketahui tidak efektif untuk infeksi virus, pada kenyataannya banyak
diberikan untuk pengobatan IRA-atas karena virus tanpa komplikasi. Penelitian meta-analisis
menunjukkan bahwa pemberian antibiotik pada rinitis tidak bermanfaat. Antibiotik tidak dapat
mencegah terjadinya infeksi bakteri sekunder pada rinitis, bahkan meningkatkan terjadinya efek
samping dan kejadian resistensi. Pemberian antibiotik hanya direkomendasikan pada kondisi
yang jelas berhubungan dengan infeksi sekunder bakteri, seperti otitis media, sinusitis, dan
pneumonia.
Hingga saat ini terdapat pemberian antibiotik pada anak dengan rinitis dengan berbagai
alasan, di antaranya adalah sekret hidung mukopurulen (kental dan tidak jernih atau berwarna)
dan lama sakit yang telah melebihi satu minggu. Kedua hal tersebut bukan alasan yang tepat
dalam pemberian antibiotik. Pengentalan sekret hidung terjadi secara normal pada lebih kurang
hari ke-3 setelah awitan akibat deskuamasi sel epitel, peningkatan sel PMN, dan jumlah bakteri
yang merupakan koloni normal.
Faktor yang dipertimbangkan untuk pemberian antibiotik pada rinitis adalah apabila
penyakit berlangsung selama lebih dari 10–14 hari tanpa ada perbaikan, karena pada rinitis,
gejala tertentu seperti sekret hidung masih dapat berlangsung hingga 14 hari. Pemberian
antibiotik tidak mempersingkat durasi sakit dan tidak mencegah timbulnya komplikasi.
Antivirus
Antivirus dikatakan efektif untuk influenza, tetapi tidak efektif untuk mengatasi IRA-atas lainnya
seperti rinitis. Akan tetapi, sulit untuk membedakan antara rinitis dengan flu akibat virus
Influenza. Hingga saat ini, prediktor yang digunakan adalah adanya demam tinggi dengan
awitan mendadak, batuk, serta gejala-gejala rinitis lainnya.
Antivirus yang digunakan berupa amantadin, oseltamivir, dan zanamivir. Penggunaan
rimantadin dianjurkan untuk dihentikan karena risiko resistensi. Penggunaan antivirus l di
Indonesia masih tidak umum, kemungkinan karena biayanya yang relatif tidak murah bila
dibandingkan dengan efek yang ditimbulkan, yaitu hanya mengurangi durasi penyakit selama
lebih kurang 24 jam. Selain itu, juga karena pertimbangan bahwa antivirus hanya efektif bila
digunakan selama 36 jam pertama flu.
249
5.2.7 Pencegahan
Cara terbaik untuk mencegah terjadinya penularan adalah dengan mencuci tangan, khususnya
setelah kontak dengan sekret penderita baik secara langusng maupun tidak langsung.
Pemberian imunisasi Influenza setahun sekali dapat mencegah infeksi Influenza dan
komplikasinya.
Daftar pustaka
1. Heikkinen TAJ. The common cold. Lancet 2003;361:51-9.
2. Gonzales R, Malone DC, Maselli JH, Sande MA. Excessive antibiotic use for acute respiratory
infection in the United State. Clin Infect Dis 2001;33:757-62.
3. Vesa S, Kleemola M, Blomqvist S, Takala A, Kilpi T, Hovi T. Epidemology of documented viral
respiratory infections and acute otitis media in cohort of children followed from two to twenty-
four months of age. Pediartr Infect Dis J 2001;20:574-81.
4. Monto AS, Sullivan KM. Acute respiratory illness in the community: frequency of illness and the
agents involved. Epidemiol infect 1993;110:145-60.
5. Makela MJ, Puhakka T, Ruuskanen O, Leinonen M, Saikku P, Kimpimaki M, dkk. Viruses and
bacteria in the etiology of the common cold. J Clin Microbiol 1998;36:539-42.
6. Arruda E, Pitkaranta A, Witek TJ Jr, Doyle CA, Hayden FG. Frequency and natural history of
rhinovirus infection in adults during autumn. J Clin Microbiol 1997;35:2864-8.
7. Nicholson KH, Kent J, Hammersley V, Canco E. Acute viral infections of upper respiratory tract in
elderly people living in the community: comparative, prospective, population based study of
disease burden. BMJ 1997;315:1060-4.
8. Boivin G, Abed Y, Pelletier G, Ruel L, Moisan D, Co‘te S, dkk. Virological features and clinical
manifestations associated with human metapneumovirus: a new paramyxovirus responsible for
acute respiratory-tract infections in all age groups. J Infect Dis 2002;186:1330-4.
9. Esper F, Boucher D, Weibel C, Martinello RA, Kahn JS. Human metapneumovirus infection in the
United States: clinical manifestions associated with a newly emerging respiratory infection in
children. Pediatrics 2003;111:1407-10.
10. Drews AL, Atmar RL, Glezen WP, Baxter BD, Pedra PA, Greenberg SB. Dual respiratory virus
infections. Clin Infect Dis 1997;25:1421-9.
11. Winther B, Arruda E, Witek TJ, Marlin SD, Tsianco MM, DJ I, dkk. Expression of ICAM-1 in nasal
epithelium and levels of soluble ICAM-1 in nasal lavage fluid during human experimental
rhinovirus infection. Arch Otolaryngol Head Neck Surg 2002;128:131-6.
12. Noah TI, Henderson FW, Wiortman IA, dkk. Nasal cytokine production in viral acute upper
respiratory infection of childhood. J Infect Dis 1995;171:548-92.
13. Saito T, Deskin RW, Casola A, dkk. Respiratory syncytial virus induces selective production of the
chemokine RANTES by upper airway epithelial cells. J Infect Dis 1997;175:497-504.
14. Turner RB, Weingand KW, Yeh CH, Leedy DW. Association between interleukin-8 concentration in
nasal secretions and severity of symptoms of experimental rhinovirus colds. Clin Infect Dis
1998;26:840-6.
15. Igarashi Y, Skoner DP, Doyle W, dkk. Analysis of nasal secretions during experimental rhinovirus
upper respiratory infections. J Allergy Clin Immunol 1993;92:722-31.
16. Puhakka T, Makela MJ, Alanen A, dkk. Sinusitis in the common cold. J Allergy Clin Immunol
1998;102:403-8.
17. Manning SC, Biavati MJ, Phillips DL. Correlation of clinical sinusitis signs and symptoms to
imaging findings in pediatric patients. Int J Pediatr Otorhinolaryngol 1996;37:65-74.
18. Winther B, Hayden FG, Arruda E, Dutkowski R, Ward P, Hendley JO. Viral respiratory infection in
school children: effects on middle ear pressure. Pediatrics 2002;109:862-32.
250
19. Johnston SL, Pattemore PK, Sanderson G, Smith S, Lampe F, Josephs L, dkk. Community study of
role of viral infections in exacerbations of asthma in 9-11 year old children. BMJ 1995;310:1225-
9.
20. Papsin B, McTavish A. Saline nasal irrigation: its role as an adjuct treatment. Can Fam Physician
2003;49:168-73.
21. Paul IM, Yoder KE, Crowell KR, Shaffer ML, McMillan HS, Carlson LC, dkk. Effect of
Dextromethorphan, Diphenhydramine, and placebo on nocturnal cough and sleep quality for
coughing children and their parents. Pediatrics 2004;114:85-90.
22. Hutton N, Wilson MH, Mellits ED, dkk. Effectiveness of an antihistamine-decongestant
combination for young children with the common cold: a randomnized, controlled clinical trial. J
Pediatr 1991;118:125.
23. Clemens CJ, Taylor JA, Almquist JR, Quinn HC, Mehta A, Naylor GS. Is an antihistamine-
decongestant combination effective in temporarily relieving symptoms of the common cold in
preschool children? J Pediatric 1997;130:463-6.
24. Taylor JA, Novack AH, Almquist JR, Rogers JE, Efficacy of cough suppressants in children. J
Pediatr 1993;122:788.
25. Keman WN, Viscoli CM, Brass LM, Broderick JP, Brott T, Feldmann E, dkk. Phenylpropanolamine
and the risk of hemorrhagic stroke. N Engl J Med 2000;343;1826-32.
26. Macknin ML, Piedmonte M, Calendine CBS, Janosky J, Wald E, Zinc gluconate lozenges for
treating the common cold in children. JAMA 1998;279:1962-7.
27. Taylor JA, Weber W, Standish L, Quinn H, Goesling J, McGann M, dkk. Efficacy and safety of
echinacea in treating upper respiratory track infections in children. JAMA 2003;290:2824-30.
28. Douglas RM, Hemilia H, Chalker E, D‘Souza RRD, Treacy B. Vitamin C for preventing and treating
the common cold. Cochrane Database of systemic Reviews 2004, Issue 4. Art. No.:CD000980.
DOI:10.1002/14651858.CD000980.pub2.
29. Arrol B, Kenealy T. Antibiotic for the common cold and acute purulent rhinitis. Cochrane Database
of Systemic Reviews 2005, Issue 3. Art. No.:CD000247.DOI:10.1002/14651858.CD000247.pub2.
30. Herendeen EN, Szilagy GP. Infection of the upper respiratory tract. Dalam: Kliegman MR,
Behrman ER, Jenson HB, Stanton BF. Nelson Textbook of pediatrics. Edisi ke-18. Philadelphia:
WB elsevier; 2007.
31. Asher IM. Infection of the upper respiratory track. Dalam: Taussig ML, Lndau LI, penyunting.
Pediatric respiratory medicine. Missoury: Mosby; 1999. h. 530-1
32. Nyquist C, Gonzales R, Steiner J, Sande AM. Antibiotic prescribing for children with cold, upper
respiratory tract infections, and bronchitis. JAMA 1998;279:875-7.
33. Rosenstein N, dkk. The common cold-principles of judicious use of antimicrobial agents.
Pediatrics 1998;101:181-4.
34. Eccles R. Understanding the symptoms of the common cold and influenza. Lancet Infect Dis
2005;5:718-25.
35. Tyrell DA, Cohen S, Schlarb JE. Sign and symptoms in common cold. Epidemiol infect
1993;111:143-56.
36. Hutton N, Wilson MH, Mellits ED, dkk. Effectiveness of an antihistamine-decongestant
combination for young children with common cold: a randomized, controlled clinical trial J
Pediatric 1991;181:125-30.
37. Cheery JD. The common cold. Dalam: Feigin RD, Chery JD, penyunting. Textbook of pediatric
infectious disease. Philadelphia: WB Sounders; 1998. h. 176-9.
251
5.3 Faringitis, Tonsilitis, Tonsilofaringitis akut
Roni Naning, Rina Triasih, Amalia Setyati
Selain rinitis, faringitis juga merupakan salah satu IRA-atas yang banyak terjadi pada anak.
Keterlibatan tonsil pada faringitis tidak menyebabkan perubahan pada durasi atau derajat
beratnya penyakit. Faringitis biasa terjadi pada anak, meskipun jarang pada anak berusia di
bawah 1 tahun. Insidens meningkat sesuai dengan bertambahnya umur, mencapai puncaknya
pada usia 4−7 tahun, dan berlanjut hingga dewasa. Insidens faringitis Streptokokus tertinggi
pada usia 5−18 tahun, jarang pada usia di bawah 3 tahun, dan sebanding antara laki-laki dan
perempuan.
Faringitis dapat disebabkan oleh bakteri atau virus. Oleh karena itu, diperlukan strategi
untuk melakukan diagnosis dan memberikan tatalaksana, agar dapat membedakan pasien-
pasien yang membutuhkan terapi antibiotik, dan mencegah serta meminimalisasikan
penggunaan medikamentosa yang tidak perlu.
Diperkirakan sebanyak 30 juta kasus tonsilofaringitis didiagnosis setiap tahunnya di
Amerika Serikat. Sebelas persen anak usia sekolah berobat ke dokter setiap tahun dengan
diagnosis faringitis.
5.3.1 Definisi
Istilah faringitis akut digunakan untuk menunjukkan semua infeksi akut pada faring, termasuk
tonsilitis (tonsilofaringitis) yang berlangsung hingga 14 hari. Faringitis merupakan peradangan
akut membran mukosa faring dan struktur lain di sekitarnya. Karena letaknya yang sangat
dekat dengan hidung dan tonsil, jarang terjadi hanya infeksi lokal faring atau tonsil. Oleh
karena itu, pengertian faringitis secara luas mencakup tonsilitis, nasofaringitis, dan
tonsilofaringitis. Infeksi pada daerah faring dan sekitarnya ditandai dengan keluhan nyeri
tenggorok. Faringitis Streptokokus beta hemolitikus grup A (SBHGA) adalah infeksi akut
orofaring dan/atau nasofaring oleh SBHGA.
5.3.2 Etiologi
Berbagai bakteri dan virus dapat menjadi etiologi faringitis, baik faringitis sebagai manifestasi
tunggal maupun sebagai bagian dari penyakit lain. Virus merupakan etiologi terbanyak faringitis
akut, terutama pada anak berusia ≤3 tahun (prasekolah). Virus penyebab penyakit respiratori
seperti Adenovirus, Rhinovirus, dan virus Parainfluenza dapat menjadi penyebab faringitis. Virus
Epstein Barr (Epstein Barr virus, EBV) dapat menyebabkan faringitis, tetapi disertai dengan
gejala infeksi mononukleosis seperti splenomegali dan limfadenopati generalisata. Infeksi
sistemik seperti infeksi virus campak, Cytomegalovirus (CMV), virus Rubella, dan berbagai virus
lainnya juga dapat menunjukkan gejala faringitis akut.
Streptokokus beta hemolitikus grup A adalah bakteri penyebab terbanyak
faringitis/tonsilofaringitis akut. Bakteri tersebut mencakup 15−30% (di luar kejadian epidemik)
dari penyebab faringitis akut pada anak, sedangkan pada dewasa hanya sekitar 5−10% kasus.
Streptokokus Grup A biasanya bukan merupakan penyebab yang umum pada anak usia
prasekolah, tetapi pernah dilaporkan terjadi outbreak di tempat penitipan anak (day care).
252
Mikroorganisme seperti Klamidia dan Mikoplasma dilaporkan dapat menyebabkan
infeksi, tetapi sangat jarang terjadi. Di negara Inggris dan Skandinavia pernah dilaporkan
infeksi Arcobacterium haemolyticum. Beberapa bakteri dapat melakukan proliferasi ketika
sedang terjadi infeksi virus (copathogen bacterial) dan dapat ditemukan pada kultur, tetapi
biasanya bukan merupakan penyebab dari faringitis/tonsilofaringitis akut. Beberapa bakteri
tersebut adalah Staphylococcus aureus, Haemophilus influenzae, Moraxella catarrhalis,
Bacteroides fragilis, Bacteroides oralis, Bacteroides melaninogenicus, spesies Fusobacterium,
dan spesies Peptostreptococcus. Mikroorganisme yang dapat menyebabkan faringitis dapat
dilihat pada Tabel 5.3.1.
Virus
Virus Rhino Common cold/rinitis
Virus Corona Common cold
Virus Adeno Pharyngoconjunctival fever, IRA
Virus Herpes simplex 1 dan 2 Faringitis, gingivostomatitis
Virus Parainfluenza Cold, croup
Virus Coxsackie A Herpangina, hand-foot-and-mouth
disease
Virus Epstein-Barr Infeksi mononukleosis
Virus Sitomegalo Mononucleosis Virus Sitomegalo
Human immunodeficiency Infeksi HIV primer
virus
VIrus Influenza A and B Influenza
Mikoplasma
Mycoplasma pneumoniae Pneumonia, bronkitis, faringitis(?)
Klamidia
Chlamydia psittaci IRA, pneumonia
C. pneumoniae Pneumonia, faringitis (?)
253
5.3.3 Patogenesis
Nasofaring dan orofaring adalah tempat untuk organisme ini, kontak langsung dengan mukosa
nasofaring atau orofaring yang terinfeksi atau dengan benda yang terkontaminasi seperti sikat
gigi merupakan cara penularan yang kurang berperan, demikian juga penularan melalui
makanan.
Penyebaran SBHGA memerlukan pejamu yang rentan dan difasilitasi dengan kontak
yang erat. Infeksi jarang terjadi pada anak berusia di bawah 2 tahun, mungkin karena kurang
kuatnya SBHGA melekat pada sel-sel epitel. Infeksi pada toddlers paling sering melibatkan
nasofaring atau kulit (impetigo). Remaja biasanya telah mengalami kontak dengan organisme
beberapa kali sehingga terbentuk kekebalan, oleh karena itu infeksi SBHGA lebih jarang pada
kelompok ini.
Kontak erat dengan sekumpulan besar anak, misalnya pada kelompok anak sekolah,
akan mempertinggi penyebaran penyakit. Rata-rata anak prasekolah mengalami 4−8 episode
infeksi saluran respiratori atas setiap tahunnya, sedangkan anak usia sekolah mengalami 2−6
episode setiap tahunnya.
Faringitis akut jarang disebabkan oleh bakteri, di antara penyebab bakteri tersebut,
SBHGA merupakan penyebab terbanyak. Streptokokus grup C dan D telah terbukti dapat
menyebabkan epidemi faringitis akut, sering berkaitan dengan makanan (foodborne) dan air
(waterborne) yang terkontaminasi. Pada beberapa kasus dapat menyebabkan glomerulonefritis
akut (GNA). Organisme ini mungkin juga dapat menyebabkan kasus-kasus faringitis sporadik
yang menyerupai faringitis SBHGA, tetapi kurang berat. Streptokokus grup C dan D lebih sering
terjadi pada dewasa.
Arcanobacterium hemolyticum relatif jarang menyebabkan faringitis dan tonsilitis akut,
tetapi sering menyerupai faringitis Streptokokus. Penyakit ini cenderung terjadi pada remaja
dan dewasa muda.
Saat ini faringitis difteri jarang ditemukan di negara maju. Penyakit ini terutama terjadi
pada anak yang tidak diimunisasi dan yang berasal dari kelompok sosial ekonomi rendah.
Infeksi mononukleosis disebabkan oleh EBV, anggota dari famili Herpesviridae, dan sebagian
besar terjadi pada anak berusia 15−24 tahun. Frekuensi kejadian faringitis Mycoplasma
pneumoniae masih belum jelas. Chlamydia pneumoniae menyebabkan faringitis baik sebagai
suatu sindrom tersendiri, bersamaan dengan pneumonia, atau mendahului pneumonia. Apabila
tidak terdapat penyakit saluran respiratori-bawah, biasanya tidak teridentifikasi.
Bakteri maupun virus dapat secara langsung menginvasi mukosa faring yang kemudian
menyebabkan respon peradangan lokal. Rhinovirus menyebabkan iritasi mukosa faring
sekunder akibat sekresi nasal. Sebagian besar peradangan melibatkan nasofaring, uvula, dan
palatum mole. Perjalanan penyakitnya ialah terjadi inokulasi dari agen infeksius di faring yang
menyebabkan peradangan lokal, sehingga menyebabkan eritema faring, tonsil, atau keduanya.
Infeksi Streptokokus ditandai dengan invasi lokal serta penglepasan toksin ekstraselular dan
protease. Transmisi dari virus yang khusus dan SBHGA terutama terjadi akibat kontak tangan
dengan sekret hidung dibandingkan dengan kontak oral. Gejala akan tampak setelah masa
inkubasi yang pendek, yaitu 24−72 jam.
254
Gejala seperti rinorea, suara serak, batuk, konjungtivitis, dan diare biasanya disebabkan oleh
virus. Kontak dengan penderita rinitis juga dapat ditemukan pada anamnesis.
Pada pemeriksaan fisis, tidak semua pasien tonsilofaringitis akut Streptokokus
menunjukkan tanda infeksi Streptokokus, yaitu eritema pada tonsil dan faring yang disertai
dengan pembesaran tonsil.
Faringitis streptokokus sangat mungkin jika dijumpai gejala dan tanda berikut:
- awitan akut, disertai mual dan muntah
- faring hiperemis
- demam
- nyeri tenggorokan
- tonsil bengkak dengan eksudasi
- kelenjar getah bening leher anterior bengkak dan nyeri
- uvula bengkak dan merah
- ekskoriasi hidung disertai lesi impetigo sekunder
- ruam skarlatina
- petekie palatum mole.
Akan tetapi, penemuan tersebut bukan merupakan tanda pasti faringitis Streptokokus,
karena dapat juga ditemukan pada penyebab tonsilofaringitis yang lain.
Sedangkan bila dijumpai gejala dan tanda berikut ini, maka kemungkinan besar bukan
faringitis streptokokus:
- usia di bawah 3 tahun
- awitan bertahap
- kelainan melibatkan beberapa mukosa
- konjuntivitis, diare, batuk, pilek, suara serak
- mengi, ronki di paru
- eksantem ulseratif.
Tanda khas faringitis difteri adalah membran asimetris, mudah berdarah, dan berwarna
kelabu pada faring. Membran tersebut dapat meluas dari batas anterior tonsil hingga ke
palatum mole dan/atau ke uvula.
Pada faringitis akibat virus, dapat juga ditemukan ulkus di palatum mole dan dinding
faring serta eksudat di palatum dan tonsil, tetapi sulit dibedakan dengan eksudat pada faringitis
Streptokokus. Gejala yang timbul dapat menghilang dalam 24 jam, berlangsung 4-10 hari (self
limiting disease), jarang menimbulkan komplikasi, dan memiliki prognosis yang baik.
5.3.5 Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan fisis, dan pemeriksaan
laboratorium.
Sulit untuk membedakan antara faringitis Streptokokus dan faringitis virus hanya
berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisis. Baku emas penegakan diagnosis faringitis
bakteri atau virus adalah melalui pemeriksaan kultur dari apusan tenggorok. Apusan tenggorok
yang adekuat pada area tonsil diperlukan untuk menegakkan adanya S. pyogenes. Untuk
memaksimalisasikan akurasi, maka diambil apusan dari dinding faring posterior dan regio tonsil,
lalu diinokulasikan pada media agar darah domba 5% dan piringan basitrasin diaplikasikan,
kemudian ditunggu selama 24 jam.
255
Pada saat ini terdapat metode yang cepat untuk mendeteksi antigen Streptokokus grup
A (rapid antigen detection test). Metode uji cepat ini mempunyai sensitivitas dan spesifisitas
yang cukup tinggi (sekitar 90% dan 95%) dan hasilnya dapat diketahui dalam 10 menit,
sehingga metode ini setidaknya dapat digunakan sebagai pengganti pemeriksaan kultur. Secara
umum, bila uji tersebut negatif, maka apusan tenggorok seharusnya dikultur pada dua cawan
agar darah untuk mendapatkan hasil yang terbaik untuk S. pyogenes. Pemeriksaan kultur dapat
membantu mengurangi pemberian antibiotik yang tidak perlu pada pasien faringitis.
5.3.6 Tatalaksana
Usaha untuk membedakan faringitis bakteri dan virus bertujuan agar pemberian antibiotik
sesuai indikasi. Faringitis Streptokokus grup A merupakan satu-satunya faringitis yang memiliki
indikasi kuat dan aturan khusus dalam penggunaan antibiotik (selain difteri yang disebabkan
oleh Corynebacterium diphteriae).
Pemberian antibiotik tidak diperlukan pada faringitis virus, karena tidak akan
mempercepat waktu penyembuhan atau mengurangi derajat keparahan. Istirahat cukup dan
pemberian cairan yang sesuai merupakan terapi suportif yang dapat diberikan. Selain itu,
pemberian gargles (obat kumur) dan lozenges (obat hisap), pada anak yang cukup besar dapat
meringankan keluhan nyeri tenggorok. Apabila terdapat nyeri yang berlebih atau demam, dapat
diberikan parasetamol atau ibuprofen. Pemberian aspirin tidak dianjurkan, terutama pada
infeksi Influenza, karena insidens sindrom Reye kerap terjadi.
256
40 mg/kgBB/hari terbagi menjadi 3 dosis selama 10 hari; atau injeksi Benzathine penicillin G
intramuskular, dosis tunggal 600.000 IU (BB <30kg) atau 1.200.000 IU (BB >30 kg). Akan
tetapi, bila setelah terapi kedua kultur tetap positif, kemungkinan pasien merupakan pasien
karier, yang memiliki risiko ringan terkena demam reumatik. Golongan tersebut tidak
memerlukan terapi tambahan.
5.3.6.2 Tonsilektomi
Pembedahan elektif adenoid dan tonsil telah digunakan secara luas untuk mengurangi frekuensi
tonsilitis rekuren. Dasar ilmiah tindakan ini masih belum jelas. Pengobatan dengan
adenoidektomi dan tonsilektomi telah menurun dalam 2 dekade terakhir. Ukuran tonsil dan
adenoid bukanlah indikator yang tepat. Tonsilektomi biasanya dilakukan pada tonsilofaringitis
berulang atau kronis.
Terdapat beberapa indikator klinis yang digunakan, salah satunya adalah kriteria yang
digunakan Children‘s Hospital of Pittsburgh Study, yaitu: tujuh atau lebih episode infeksi
tenggorokan yang diterapi dengan antibiotik pada tahun sebelumnya, lima atau lebih episode
infeksi tenggorokan yang diterapi dengan antibiotik setiap tahun selama 2 tahun sebelumnya,
dan tiga atau lebih episode infeksi tenggorokan yang diterapi dengan antibiotik setiap tahun
selama 3 tahun sebelumnya. American Academy Otolaryngology and Head and Neck Surgery
menetapkan terdapatnya tiga atau lebih episode infeksi tenggorokan yang diterapi dalam
setahun sebagai bukti yang cukup untuk melakukan tindakan pembedahan. Indikator klinis di
atas tidak dapat diterapkan di Indonesia dan memerlukan pemikiran lebih lanjut. Keputusan
untuk tonsilektomi harus didasarkan pada gejala dan tanda yang terkait secara langsung
terhadap hipertrofi, obstruksi, dan infeksi kronis pada tonsil dan struktur terkait. Ukuran tonsil
anak relatif lebih besar daripada dewasa. Infeksi tidak selalu menyebabkan hipertrofi tonsil, dan
tonsil yang terinfeksi kronis mungkin ukurannya tidak membesar. Tonsilektomi sedapat
mungkin dihindari pada anak berusia di bawah 3 tahun. Bila ada infeksi aktif, tonsilektomi harus
ditunda hingga 2−3 minggu.
Adenoidektomi sering direkomendasikan sebagai terapi tambahan pada otitis media
kronis dan rekuren. Sebuah RCT menunjukkan bahwa adenoidektomi dan miringotomi bilateral
(tanpa timpanoplasti) memberikan keuntungan pada anak berusia 4−8 tahun yang menderita
otitis media kronis berat dengan efusi.
Indikasi tonsiloadenoidektomi yang lain adalah bila terjadi obstructive sleep apnea
akibat pembesaran adenotonsil.
5.3.7 Komplikasi
Kejadian komplikasi pada faringitis akut virus sangat jarang. Beberapa kasus dapat berlanjut
menjadi otitis media purulen bakteri. Pada faringitis bakteri dan virus dapat ditemukan
komplikasi ulkus kronik yang cukup luas.
Komplikasi faringitis bakteri terjadi akibat perluasan langsung atau secara hematogen.
Akibat perluasan langsung, faringitis dapat berlanjut menjadi sinusitis, otitis media, mastoiditis,
adenitis servikal, abses retrofaringeal atau parafaringeal, atau pneumonia. Penyebaran
hematogen Streptokokus hemolitikus grup A dapat mengakibatkan meningitis, osteomielitis,
atau artritis septik, sedangkan komplikasi nonsupuratif berupa demam reumatik dan
glomerulonefritis.
257
Daftar Pustaka
1. Herendeen EN, Szilagy GP. Infection of the upper respiratory tract. Dalam: Behrman ER, Kliegman
MR, Jenson HB, penyunting. Edisi ke-16. Nelson textbook of pediatrics. Philadelphia: WB Saunders;
2000. h. 1264−5.
2. Morozumi M, Nakayama E, Iwata S. Acute pharyngitis. NEJM 2001;344:205−11.
3. Scwartz B, Marcy M, Phillips WR, dkk. Pharyngitis−principal of judicious use of antimicrobial agents.
Pediatrics 1998;101:S171−4.
4. Phelan PD, Olinsky A, Robertson CF. Clinical patterns of acute respiratory infections. Dalam: Phelan
PD, Olinsky A, Robertson CF. Respiratory Illness in Children. Edisi ke-4. Melbourne:Blackwell scientific
publications;1994. h. 52-93.
5. Arnold JE. Infections of the upper respiratory tract. Dalam: Behrman RE, Kliegman RM, Arvin AM,
penyunting. Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke-15. Philadelphia:WB Saunders co;1996. h. 1187-
1190.
6. Smith DS. Pharyngitis. Dalam: Schidlow DV, Smith DS, penyunting. Philadelphia:Hanley &
Belfus;1994. h. 23-26.
7. Asher MI. Infection of the upper respiratory tract. Dalam: Taussig LM, Landau LI. Eds. Pediatric
respiratory medicine. Mosby. St Louis 1997; 530-547.
8. Pechere JC. Acute bacterial pharyngitis. Cambridge Med Publ. West Sussex 1994.
9. Falck G, Kjellander J. Outbreak of group-A streptococcal infection in a day-care center. Pediatr Infect
Dis J 1992;11:914−9.
10. Dowell SF, Marcy M, Phillips WR, Gerber MA, Schwartz B. Principles of judicious use of antimicrobial
agents for pediatric upper respiratory tract infections. Pediatrics 1998;101:163−5.
11. Vincent TM, Celestin N, Hussain NA. Pharyngitis. American Family Physician. 2004;69(6). Diunduh
dari: http://www.aafp.org/afp/20040315/1465.html. Diakses pada: 8 Juni 2006.
12. Dale JC, Vetter EA, Contezac JM, Iverson LK, Wollan PC, Cockerill FR 3d. Evaluation of two rapid
antigen assays, BioStar Strep A OIA and Pacific Biotech CARDS O.S., and culture for detection of
group A streptococci in throat swabs. J Clin Microbiol 1994;32:2698−701.
13. Rimoin WA, Hamza SH, Vince A, dkk. Evaluation of the WHO clinical decision rule for streptococcal
pharyngitis. Archives of Disease in Childhood 2005;90:1066−70.
14. Alan L, Bisno LA, Chairman, Gerber AM, Gwaltney MJ, dkk. Diagnosis and management of group-A
streptococcal pharyngitis: a practice guideline. Clin Infect Dis 1997;25:574–83.
15. Herendeen EN, Szilagy GP. Infection of the upper respiratory tract. Dalam: Behrman ER, Kliegman
MR, Jenson HB, penyunting. Edisi ke-16. Nelson textbook of pediatrics. Philadelphia: WB Saunders;
2000. h. 1264−5.
258
5.4 Otitis media
Dwi Wastoro Dadiyanto
5.4.1 Definisi
Infeksi saluran telinga meliputi, infeksi saluran telinga luar (otitis eksterna), saluran telinga
tengah (otitis media), mastoid (mastoiditis) dan telinga bagian dalam (labyrinthitis). Otitis
media, suatu inflamasi telinga tengah berhubungan dengan efusi telinga tengah, yang
merupakan penumpukan cairan ditelinga tengah. Otorrhea merupakan discharge telinga yang
dapat berasal dari membran timpani. Otitis media diklasifikasikan berdasarkan gejala klinis,
otoskopi, lama sakit dan komplikasi. Otitis media terjadi karena aerasi telinga tengah yang
terganggu, biasanya disebabkan karena fungsi tuba eustakius yang terganggu. Diagnosis dan
tatalaksana yang benar sangatlah penting, karena otitis media merupakan penyakit yang sering
ditemukan dan dapat menyebabkan komplikasi penyebaran infeksi sampai ke intrakranial.
5.4.2 Epidemiologi
Hampir 85% anak memiliki episode otitis media akut paling sedikit satu kali dalam 3 tahun
pertama kehidupan dan 50% anak mengalami 2 episode atau lebih. Anak yang menderita otitis
media pada tahun pertama, mempunyai kenaikan risiko otitis media kronis ataupun otitis media
berulang. Insiden penyakit akan cenderung menurun setelah usia 6 tahun. Di Amerika Serikat,
hampir semua anak pada usia 2 tahun akan mengalami otitis media, dan kira-kira 17 persen
anak usia 6 bulan telah mengalami 3 episode atau lebih. Episode yang sering berulang
mengakibatkan peningkatan kekhawatiran dan kecemasan orang tua, disamping juga biaya
kesehatan yang harus ditanggung. Pada negara berkembang komplikasi yang sering ditemukan
adalah gangguan pendengaran, untuk itu pemberian vaksinasi pneumokokus penting untuk
mencegah otitis media dan komplikasinya.
5.4.3 Patogenesis
Ada beberapa faktor yang menyebabkan otitis lebih sering terjadi pada anak dibandingkan
dewasa. Tuba eustakius anak berbeda dibandingkan dengan orang dewasa yakni tuba eustakius
anak lebih horizontal dan lubang pembukaan tonus tubarius dikelilingi oleh folikel limfoid yang
banyak jumlahnya. Adenoid pada anak dapat mengisi nasofaring, sehingga secara mekanik
dapat menyumbat lubang hidung dan tuba eustakius serta dapat berperan sebagai fokus infeksi
pada tuba.
Tuba eustakius secara normal tertutup pada saat menelan. Tuba eustakius melindungi
telinga tengah dari sekresi nasofaring, drainase sekresi telinga tengah, dan memungkinkan
keseimbangan tekanan udara dengan tekanan atmosfer dalam telinga tengah. Obstruksi
mekanik ataupun fungsional tuba eustakius dapat mengakibatkan efusi telinga tengah.
Obstruksi mekanik intrinsik dapat terjadi akibat dari infeksi atau alergi dan obstruksi ekstrinsik
akibat adenoid atau tumor nasofaring. Obstruksi fungsional dapat terjadi karena jumlah dan
kekakuan dari kartilago penyokong tuba. Obstruksi fungsional ini lazim terjadi pada anak-anak.
Obstruksi tuba eustakius mengakibatkan tekanan telinga tengah menjadi negatif dan jika
menetap mengakibatkan efusi transudat telinga tengah. Bila tuba eustakius mengalami
259
obstruksi tidak total, secara mekanik, kontaminasi sekret nasofaring dari telinga dapat terjadi
karena refluks (terutama bila membran timpani mengalami perforasi), karena aspirasi, atau
karena peniupan selama menangis atau bersin. Perubahan tekanan atau barotrauma yang
cepat juga dapat menyebabkan efusi telinga tengah yang bersifat hemoragik. Bayi dan anak
kecil memiliki tuba yang lebih pendek dibandingkan dewasa, yang mengakibatkannya lebih
rentan terhadap refluks sekresi nasofaring. Faktor lain yaitu respon imun bayi yang belum
sempurna. Infeksi saluran nafas yang berulang juga sering mengakibatkan otitis media melalui
inflamasi dan edema mukosa dan penyumbatan lumen tuba eustakius. Kuman yang sering
menyebabkan otitis media diantaranya Streptococcus pneumonia, Haemophilus influenzae, dan
Moraxella catarrhalis.
Otitis media akut merupakan inflamasi telinga tengah dengan onset gejala dan tanda
klinis yang cepat, seperti nyeri, demam, anoreksia, iritabel, atau juga muntah. otitis media yang
disertai efusi ditandai dengan ditemukannya efusi telinga tengah yang asimtomatik. Dari
pemeriksaan otoskopi didapatkan gerakan membran timpani yang menurun, dengan bentuk
menjadi cembung, kemerahan dan keruh.
260
Gambar 5.4.3 Otitis media efusi
Sumber Siegel RM and Bien JP. Acute Otitis Media in Children: A Continuing Story. Pediatrics. 2004. 25:187-193
Manifestasi klinis
Gejala dapat diawali dengan infeksi saluran nafas yang kemudian disertai keluhan nyeri telinga,
demam, dan gangguan pendengaran. Pada bayi gejala ini dapat tidak khas, sehingga gejala
yang timbul seperti iritabel, diare, muntah, malas minum dan sering menangis. Pada anak yang
lebih besar keluhan biasanya rasa nyeri dan tidak nyaman pada telinga.
Diagnosis
Diagnosis otitis media akut dibuat berdasarkan pada pemeriksaan membran timpani. Tetapi
pada anak pemeriksaan ini mungkin sulit dilakukan karena saluran telinga yang kecil, adanya
serumen dan juga keadaan anak yang tidak kooperatif. Dari pemeriksaan otoskopi didapatkan
gerakan membran timpani yang berkurang, cembung, kemerahan dan keruh, dapat juga
261
dijumpai sekret purulen. Adanya penurunan gerak dari membran timpani merupakan dasar
kecurigaan pada otitis media akut. Bila diagnosis masih meragukan, perlu dilakukan tindakan
aspirasi dari telinga tengah. Para dokter, khususnya dokter anak, seringkali misdiagnosis
terhadap otitis media, dan untuk menghindarinya perlu dilakukan pemeriksaan otoskopi.
Pemeriksaan otoskopi dapat mengurangi lebih dari 30% dari kesalahan yang terjadi. Hal ini
dapat dijelaskan karena sebagai klinisi, dokter mendiagnosa berdasarkan gejala klinis dan
warna dari membran timpani, sedangkan ahli THT lebih memperhatikan gerak dan posisi
membran timpani.
Pengobatan
Terapi tergantung dari kuman dan hasil uji sensitivitas. Organisme penyebab yang paling sering
adalah Streptococcus pneumonia, Haemophilus influenza. Pada neonatus berusia kurang dari 2
minggu, bakteri gram negatif, Staphylococcus aureus, Streptococcus grup B lebih sering
ditemukan.
Sebelum didapatkannya hasil uji sensitivitas, amoksisilin oral merupakan antibiotik
pilihan awal. Amoksisilin diberi dengan dosis 40 mg/kgbb/24 jam, 3 kali sehari selama 10 hari.
Pemberian obat tersebut selama 5 hari dapat memperkecil resiko timbulnya efek samping
terapi. Akan tetapi telah banyak kuman yang resisten terhadap amoksisilin, khususnya
penghasil B-Laktamase, dalam kasus ini perlu kiranya memberikan antibiotika dari kelas yang
berbeda. Pilihan obat lainnya adalah Eritromisin (50 mg/kgbb/24 jam) bersama dengan
sulfonamid (100mg/kgbb/24 jam trisulfa atau 150 mg mg/kgbb/24 jam sulfisoksazol) empat kali
sehari, trimetroprim-sulfametoksasol (8 dan 40 mg/kgbb/24 jam) diberi 2 kali sehari, sefaklor
(40 mg/kgbb/24 jam, 3 kali sehari, amoksisilin-klavulanat 40 mg/kgbb/24 jam 3 kali sehari, atau
sefiksim 8 mg/kgbb/24 jam sekali atau 2 kali sehari. Jika penderita sensitif terhadap antibiotik
golongan penisilin, maka dapat diberikan kombinasi dari eritromisin dan sulfonamid atau
sulfisoksazol. Pada Otitis Media tanpa komplikasi, pemberian antibiotika cukup selama 5 hari.
Apabila dalam perjalanannya terdapat perburukan gejala klinis atau ditemukannya kuman yang
telah resisten, maka timpanosentesis perlu dilakukan untuk mengidentifikasi kuman penyebab.
Terapi suportif lain dapat diberikan, antara lain analgetik, antipiretik, dekongestan. Pada
penderita dengan nyeri telinga berat, miringotomi dapat dilakukan untuk memberi kelegaan.
Kadang insisi yang besar perlu dilakukan ketika miringotomi agar memungkinkan drainase
telinga tengah yang cukup. Jika dalam 24 jam terdapat penambahan gejala dan tanda
sedangkan pasien masih dalam pemberian antibiotik, maka kita harus mencurigai adanya infeksi
bersama seperti meningitis dan komplikasi otitis media supuratif. Anak harus dilakukan
pemeriksaan ulang dan timpanosentesis serta miringotomi harus segera dilakukan. Setelah 2
minggu, penderita perlu dievaluasi, khususnya penyembuhan otoskopik.
262
Otitis media akut berulang
Anak yang mengalami infeksi saluran nafas, dapat mengakibatkan anak mengalami episode
otitis media akut yang berulang. Gejalanya biasanya tidak berat, memiliki respons yang baik
dengan terapi, dan episode serangan akan menurun sesuai pertambahan umur. Anak dengan
otitis media akut berulang, dimana episode sebelumnya mengalami kesembuhan, dapat diterapi
sama dengan terapi yang diberikan sebelumnya. Tetapi jika terdapat intensitas serangan
berulang yang sering dengan jangka waktu antar serangan yang dekat, harus dilakukan
evaluasi ulang. Pada anak seperti ini penyebab yang mendasari kurang jelas, tetapi antibiotik
profilaksis dapat diberi selama beberapa bulan misalnya musim dingin. Pilihan terapinya adalah
amoksisilin 20 mg/kgbb/24 jam atau sulfonamid 50 mg/24 jam. Miringotomi dan pipa ventilasi
dapat juga efektif dan dipertimbangkan pada anak yang mendapat terapi profilaksis tetapi gagal
mencegah otitis media akut berulang, ataupun pada anak dengan alergi terhadap penisilin atau
sulfonamid. Adenoidektomi tidak efektif mencegah otitis media akut berulang.
Manifestasi klinis
Pada otitis media dengan efusi, seringkali ditemukan membran timpani yang retraksi. Membran
timpani biasanya keruh, mobilitasnya juga terganggu. Kadang-kadang, walaupun hanya ada
sedikit efusi, dapat juga ditemukan adanya retraksi membran timpani dan berkurang mobilitas
yang biasanya terjadi karena tekanan udara telinga tengah negatif. Keadaan tersebut bila
ditemukan dalam keadaan ekstrem disebut ―atelektesis membran timpani. Pendengaran
biasanya terganggu, rasa penuh dalam telinga, tinitis dan bahkan vertigo dapat terjadi.
Pengobatan
Oleh karena sekuel atau komplikasi yang terjadi jarang dan sedikit, maka otitis media dengan
efusi tidak perlu diterapi. Disamping itu otitis media efusi ini seringkali sembuh dengan
sendirinya. Tetapi pada keadaan tertentu dapat diberi terapi, misalnya efusi kronis yang
bilateral dan gangguan pendengaran yang mencolok. Keadaan tersebut dapat diberikan terapi
dengan kombinasi pemberian dekongestan dan antihistamin. Pada efusi akut dan sub akut
dapat diberikan antibiotik amoksisilin maupun amoksisilin-klavulanat selama 10-30 hari. Pada
efusi kronis atau terjadi episode akut berulang disamping pemberian antibiotik, pilihan
miringotomi dengan memasukkan pipa timpanostomi harus dipertimbangkan. Hal ini bertujuan
untuk memperbaiki ventilasi telinga tengah. Adenoidektomi dapat juga dipertimbangkan tetapi
efektivitasnya masih kurang.
Daftar pustaka
1. Siegel RM and Bien JP. Acute Otitis Media in Children: A Continuing Story. Pediatrics. 2004;25:187-
193.
2. Auinger PA, Lanphear, BP, Kalkwarf HJ and Mansour ME. Trends in Otitis Media Among Children in
the United States. Pediatrics. 2003;112:514-520.
263
3. Berman S. Otitis Media in Developing Countries. Pediatrics. 1995;96:126-131.
4. Blomgren K and Pitkaranta A. Is it Possible to diagnose acute otitis media accuretely in primary
health care?. Fam practice. 2003;20:524-527.
5. Kozyrskyj AL, Hildes E, Longstaffe SE, Wincott JL, Sitar DS. Treatment of acute Otitis media with a
Shortened course of antibiotics. JAMA. 1998;279:1736-1742.
6. Pichichero ME. Diagnostic Accuracy, Tympanocentesis Training Performance, and Antibiotic Selection
by Pediatric residents in Manegement of Otitis media. Pediatrics. 2002;110:1064-1070.
7. Kenna M. The ear. Dalam: Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB. Nelson Textbook of Pediatrics.
Edisi ke-16. Pennsylvania:WB Saunders co;2000.h1938-63
8. Phelan PD, Olinsky A, Robertson CF. Clinical patterns of acute respiratory infections. Dalam: Phelan
PD, Olinsky A, Robertson CF. Respiratory Illness in Children. Edisi ke-4. Melbourne:Blackwell
scientific publications;1994.h52-93.
264
5.5 Sinusitis
Ridwan M Daulay, Wisman Dalimunthe
Ada delapan (empat pasang) sinus paranasal pada manusia, terletak pada masing-masing sisi
hidung, yang terdiri dari sinus frontal kanan dan kiri, sinus etmoid kanan dan kiri (anterior dan
posterior), sinus maksila kanan dan kiri (antrum Highmore), dan sinus sfenoid kanan dan kiri.
Seluruh rongga sinus dilapisi mukosa yang merupakan lanjutan dari mukosa hidung, berisi
udara, dan bermuara ke rongga hidung melalui ostium masing-masing. Pada masa anak dan
remaja, lapisan mukosa ini sering mengalami infeksi dan inflamasi, sehingga meningkatkan
angka kesakitan, tetapi jarang menimbulkan komplikasi yang memerlukan pengobatan seumur
hidup. Secara klinis, sinus paranasal dibagi menjadi dua kelompok, yaitu anterior dan posterior.
Kelompok anterior terdiri dari sinus frontal, sinus maksila, dan sel-sel anterior sinus etmoid,
yang semuanya bermuara di bawah konka media pada atau dekat infundibulum. Kelompok
posterior terdiri dari sel-sel posterior sinus etmoid dan sinus sfenoid, bermuara di berbagai
tempat di atas konka media. Garis perlekatan konka media dengan dinding lateral hidung
merupakan batas antara kedua kelompok.
Sinus paranasal berfungsi untuk resonansi suara, humidifikasi udara, dan meringankan
kepala. Menurut Proctor, fungsi sinus paranasal yang terpenting adalah sebagai sumber lendir
yang ―segar‖ tanpa terkontaminasi, yang mengalir ke mukosa hidung.
Tatalaksana sinusitis paranasal anak selalu menjadi permasalahan bagi dokter dan ahli
penyakit telinga hidung tenggorokan (THT) di sarana pelayanan kesehatan terdepan. Sejak
beberapa abad lalu, permasalahan sinusitis paranasal selalu terfokus pada patofisiologi,
diagnosis, tatalaksana, dan komplikasi, tetapi realisasinya hingga saat ini masih sangat sedikit,
sehingga dibutuhkan penuntun klinis praktis untuk diagnosis, evaluasi, dan tatalaksananya.
5.5.1 Epidemiologi
Sinus etmoid dan sinus maksila telah terbentuk sempurna sejak lahir. Sinus sfenoid mengalami
pneumatisasi pada usia 5 tahun, sedangkan sinus frontal terbentuk pada usia 7 tahun, tetapi
belum berkembang sempurna hingga masa remaja. Sejak awal kehidupan, anak sudah
merupakan faktor predisposisi sinusitis paranasal. Pada anak yang lebih muda, sinus etmoid
dan sinus maksila sering terlibat, selain itu kejadian sinusitis akut sedikit lebih banyak daripada
IRA-atas atau adenoiditis. Pada anak yang lebih tua, sinus sfenoid dan frontal lebih sering
terlibat dan rinitis alergik lebih sering terjadi. Kejadian sinusitis, berturut-turut pada bayi, anak
usia 5–9 tahun, dan remaja, masing-masing adalah 1%, 5%, dan 15%. Rinitis alergik
merupakan faktor predisposisi pertama terjadinya sinusitis paranasal, sedangkan IRA-atas
lainnya merupakan faktor predisposisi kedua.
Tidak ada perbedaan pada suku bangsa dan jenis kelamin sebagai faktor predileksi
terjadinya sinusitis paranasal pada anak.
Di poliklinik respirologi anak RS Cipto Mangunkusumo Jakarta, dari 823 anak dengan
batuk kronis berulang, 321 di antaranya berusia di atas 5 tahun, dan 73 menderita sinusitis.
Insidens sinusitis paranasal di dunia dan di Amerika Serikat belum diketahui dengan pasti.
Dampak negatif serangan sinusitis akut pada anak dapat berupa gangguan emosi,
gangguan tidur, dan gangguan aktivitas, sedangkan sinusitis kronis berupa gangguan kualitas
hidup, pemakaian antibiotik kronis, ketidakhadiran di sekolah, perubahan pola tidur, gangguan
265
penampilan di sekolah, dan mudah tersinggung. Komplikasi serius seperti selulitis orbita dan
komplikasi intrakranial sangat mungkin terjadi. Dengan pengawasan yang ketat, konsultasi
keluarga dan pengobatan medis yang tepat, maka angka kesakitan dapat diturunkan.
5.5.2 Definisi
Berdasarkan gejala klinis respiratori dan lamanya gejala, sinusitis bakteri dibedakan sebagai
berikut.
1. Sinusitis akut: gejala klinis kembali normal kurang dari 30 hari.
2. Sinusitis akut berulang: setiap serangan kurang dari 30 hari, dan di antara dua serangan
yang berturutan, paling sedikit bebas gejala selama 10 hari.
3. Sinusitis subakut: gejala klinis antara 30–90 hari.
4. Sinusitis kronis: gejala klinis ringan dan menetap (residu), lebih dari 90 hari, dan tidak
pernah kembali normal seperti semula.
5. Eksaserbasi akut pada sinusitis kronis: gejala klinis menetap dan berkembang menjadi tanda
dan gejala klinis baru. Bila diobati dengan antimikroba, tanda dan gejala klinis yang baru
akan menghilang, tanda dan gejala yang menetap tetap ada.
5.5.4 Etiologi
Pada sinusitis, perbedaan etiologi mikroba patogen akan mempengaruhi awitan penyakit.
Berdasarkan etiologi mikroba patogen dan awitan penyakit, sinusitis dibedakan menjadi
patogen akut, subakut, dan kronis.
266
1. Patogen akut dan subakut
Streptococcus pneumoniae, 20–30%
Hemophilus influenzae, 15–20%
Moraxella catharallis, 15–20%, tidak sesering yang dijumpai pada dewasa
Streptococcus pyogenes (beta-hemolitik), 5%.
2. Patogen kronis
Populasi bakteri patogen pada sinusitis tidak diketahui dengan pasti. Sinusitis kronis
umumnya disebabkan oleh infeksi berbagai mikroba. Hasil kultur bakteri yang paling sering
dijumpai adalah Streptococcus -haemolyticus, Staphylococcus aureus, Staphylococcus
koagulase-negatif, Haemophilus influenzae nontipe (lebih sering daripada sinusitis akut),
Moraxella catharallis, bakteri anaerob (Peptostreptococcus prevotella, Bakteroides, dan
spesies Fusobakterium), dan Pseudomonas (paling sering ditemukan pada kelompok pasien
yang memakai bermacam-macam antibiotik dan kelompok dengan imunodefisiensi).
Rinitis alergik
Penyakit ini merupakan faktor predisposisi kedua sinusitis. Eosinofilia menyebabkan
peningkatan major basic protein, sangat toksik terhadap mukosa, dan menganggu klirens
mukosiliar. Menurut penelitian Shapiro dkk. (1961), peningkatan imunoglobulin E (IgE) total
atau reaktivitas kulit dijumpai pada 60% penyandang sinusitis menetap. Hanya saja, uji IgE
tidak dapat dipercaya pada anak berusia di bawah 4 tahun. Klinikus harus memberi pengobatan
untuk mengurangi edema mukosa akibat alergi pada sinusitis berulang.
Uji alergi direkomendasikan untuk semua kasus tanpa perbaikan gejala, terutama pada
anak dengan riwayat alergi keluarga dan memiliki gejala atopi pada kulit.
Kelainan anatomi
Kelainan anatomi pada dinding lateral nasal merupakan faktor predisposisi sinusitis. Konka
bulosa dan pembesaran konka medius dapat menyebabkan penutupan KOM. Sel Haller dan sel
infraorbital dapat menyebabkan penyempitan ostium sinus maksila dan merupakan predisposisi
sinusitis maksila. Deviasi septum pada daerah konka media menyebabkan lateralisasi turbin
medius dan penutupan KOM. Variasi kelainan anatomi yang lainnya adalah agger nasi,
hipoplasia sinus maksila, dan bula etmoid yang sangat besar.
Defisiensi imun
Defisiensi imun dijumpai pada 0,5% populasi anak. Maturitas respons imun humoral mendekati
dewasa sejak anak berusia 7 tahun, dan prevalens sinusitis kronis akan berkurang sejak usia
ini. Sepertiga dari pasien rinosinusitis yang menetap mungkin menderita defisiensi imun,
terutama jika terdapat riwayat sering mengalami infeksi bakterial berulang bila antibiotik
dihentikan. Defisiensi imun umumnya lebih sering terjadi daripada fibrosis kistik atau kerusakan
silia. Yang tersering ditemukan adalah penurunan jumlah subklas IgG dan antibodi selektif.
Manifestasi kelainan imun yang paling sering dijumpai adalah IRA-atas berulang.
267
Anak dengan defisiensi imun biasanya memiliki gejala sinusitis yang lebih berat. Apabila
tidak terdapat perbaikan setelah ditatalaksana medis secara agresif, anak harus
dipertimbangkan memiliki defisiensi imun.
Evaluasi dini kadar Ig total dan subklas IgG dilakukan ketika timbul respons terhadap
pemberian vaksin Pneumokokus, tetanus toksoid, dan difteri.
Asma
Apabila fungsi nasal terganggu, postnasal drip akan meningkat. Rinosinusitis kronis dijumpai
pada 80% penyandang asma. Infeksi respiratori akut-atas virus merupakan faktor pencetus
serangan asma.
Pengobatan sinusitis kronis akan menormalkan uji fungsi paru, sehingga mengurangi
penggunaan bronkodilator jangka panjang pada penyandang asma.
Penyakit GER
Refluks gastroesofagus menyebabkan iritasi mukosa, sehingga terjadi inflamasi pada orifisium
tuba Eustachius atau ostium sinus.
Alergi fungus
Masa polipoid akibat perubahan mukosa sinus akibat alergi fungus biasanya unilateral. Sekret
nasal dan sinus akibat alergi fungus berupa mukus seperti selai kacang. Pemeriksaan histologis
pada sekret sinus ditemukan kelompok eosinofil dan kristal Charcot-Leyden. Fungus yang sering
menyebabkan alergi berasal dari genus Aspergillus.
5.5.6 Diagnosis
Diagnosis sinusitis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisis, laboratorium, dan
radiologis.
5.5.6.1 Anamnesis
Sinusitis akut, sesuai dengan definisi sinusitis, tanda dan gejala respiratori kembali normal
kurang dari 30 hari. Gejala IRA-atas menetap selama lebih dari 7−10 hari. Batuk pada siang
hari dan rinorea merupakan dua gejala klinis yang paling sering dijumpai. Tanda dan gejala lain
yang sering dijumpai adalah kongesti nasal. Demam jarang dijumpai, bila ada pun tidak terlalu
tinggi. Keluhan lain adalah otitis media (50−60%), iritabel, dan nyeri kepala. Pada infeksi berat,
tanda dan gejala klinis berupa rinorea purulen, demam tinggi (>39oC), dan edema periorbital.
Sinusitis tanpa komplikasi biasanya sembuh spontan pada 40% kasus.
Sinusitis akut berulang adalah setiap serangan berlangsung selama kurang dari 30 hari,
di antara dua serangan berturutan paling sedikit selama 10 hari bebas gejala. Sinusitis subakut,
tanda dan gejala klinis berlangsung selama 30−90 hari. Sinusitis kronis, tanda dan gejala klinis
ringan dan menetap selama lebih dari 90 hari dan tidak kembali normal seperti semula, atau
terdapat serangan berulang sebanyak 6 kali dalam satu tahun, dapat mengalami serangan
akut tanpa penyembuhan sempurna di antara dua serangan berturutan, dan lebih sering
terdapat batuk pada malam hari.
268
5.5.6.2 Pemeriksaan fisis
Pada pemeriksaan fisis dilakukan pemeriksaan otoskopi, rinoskopi anterior, dan endoskopi nasal
untuk mengetahui keadaan liang telinga, meatus medius, nasofaring, dan adenoid. Pemeriksaan
transiluminasi sinus umumnya tidak membantu.
1. Rinoskopi anterior
Pemeriksaan ini sulit dilakukan pada anak kecil, bertujuan untuk melihat pus dan sekresi
sinus dari konka media dan meatus medius. Untuk memudahkan pemeriksaan, dapat
diberikan gabungan oksimetazolin dan lidokain dengan semprotan nasal.
2. Endoskopi nasal
Pemeriksaan ini sangat baik dan akurat untuk mengevaluasi meatus medius, dan dapat
dilakukan di luar kamar operasi. Akan tetapi, pemeriksaan ini sulit untuk dilakukan pada
anak kecil dan anak yang tidak kooperatif.
269
Pemeriksaan CT-scan dilakukan sebelum tindakan bedah sinus dengan endoskopi dan
sangat bermakna untuk mengevaluasi terlibat/tidaknya periorbital atau intrakranial. Dengan
thin-cut axial dan coronal images, evaluasi sinus paranasal mencapai hasil optimal, tetapi
coronal images hanya digunakan untuk uji tapis. CT-scan dengan kontras jarang digunakan
pada evaluasi sinus rutin, kecuali bila terdapat kemungkinan abses orbital dan intrakranial. Pada
sinusitis alergi fungus, terlihat penipisan tulang di sekitar sinus dan dijumpai daerah yang lebih
padat (calcium density).
Pemeriksaan CT –scan dapat mengetahui adanya perbaikan pada pasien sinusitis kronis
yang telah mendapatkan pengobatan selama 4 minggu.
Ultrasonografi (USG)
Secara umum USG dikatakan bukan sebagai alat yang dapat mendiagnosis sinusitis. Namun
beberapa penulis (Vento, 1999; Hilbert 2001) mengatakan bahwa USG lebih akurat bila
dibandingkan dengan MRI dan foto polos dalam mendiagnosis sinusitis maksila. Bila
dikombinasikan dengan foto polos, USG dapat mendeteksi adanya infeksi sebesar 86%.
Ultrasonografi dapat digunakan untuk mengevaluasi sinus maksila, namun hasilnya
masih dalam perdebatan apakah USG dapat melihat adanya retensi cairan atau penebalan
mukosa.
Prosedur pemeriksaan
1. Endoskopi nasal kaku atau fleksibel.
Endoskopi nasal sangat baik untuk mengevaluasi KOM dan sangat membantu untuk
mengevaluasi adenoid. Akan tetapi, prosedur ini dapat dilakukan bila anak kooperatif.
2. Pungsi sinus maksila.
Cara ini merupakan kriteria baku untuk mengambil sediaan kultur dari sinus maksila. Kultur
aerob dan anaerob, uji sensitivitas, serta pewarnaan Gram dilakukan untuk menentukan
penyesuaian antibiotik.
Indikasi pungsi sinus maksila adalah pasien sangat toksik, penyakit akut tidak
menunjukkan perbaikan setelah 72 jam pemberian antibiotik, imunokompromais, komplikasi
supuratif, dan demam tanpa diketahui penyebabnya.
3. Usap (swab) meatus medius.
Hasil sediaan kultur dari meatus medius atau konka medius anterior korelasinya sangat baik
(>80%) dengan hasil sediaan kultur dari sinus maksila dan etmoid ipsilateral. Dengan
menggunakan endoskopi secara hati-hati, dapat diambil sampel cairan purulen dari meatus
medius. Usap nasal korelasinya kecil terhadap sediaan kultur sinus maksila.
270
5.5.7 Tatalaksana
5.5.7.1 Medikamentosa
Tatalaksana medis yang maksimal meliputi ketepatan pemberian antibiotik, irigasi nasal dengan
salin, steroid topikal, dan dekongestan.
271
sefdinir, dan sefuroksim. Anak dengan gejala klinis muntah diberi seftriakson (50 mg/kgBB/hari
dosis tunggal) secara intravena atau intramuskular. Setelah 24 jam menunjukkan perbaikan
klinis, antibiotik oral diberikan sebagai substitusi untuk melengkapi pengobatan. Trimetoprim-
sulfametoksazol dan eritromisin-sulfisoksazol dulu digunakan sebagai pengobatan lini pertama
dan kedua untuk sinusitis akut bakterial. Hanya saja, belakangan ini banyak penelitian
membuktikan bahwa telah terjadi resistensi S. pneumoniae terhadap kedua macam kombinasi
ini. Bila pasien gagal diobati dengan amoksisilin, maka trimetoprim-sulfametoksazol dan
eritromisin-sulfisoksazol tetap digunakan sebagai pilihan lain. Anak yang tidak menunjukkan
perbaikan klinis dengan antibiotik lini kedua dan terlihat sangat sakit memiliki dua alternatif
tatalaksana. Alternatif pertama, pasien dikonsultasikan ke spesialis THT, segera dilakukan
pungsi sinus maksilaris, kultur, dan uji sensitivitas untuk penentuan antibiotik. Alternatif kedua
adalah diberikan sefotaksim atau seftriakson secara intravena di rumah atau di rumah sakit
(RS), lalu dikirim ke spesialis THT bila pasien tidak menunjukkan perbaikan setelah pemberian
antibiotik intravena. Skema pemilihan antibiotik dapat dilihat pada Gambar 5.6.1.
272
1
2
1
Anamnesis,
pemeriksaan
fisis oleh dokter
3 4 5
Apakah ditemukan Anak berada 1 Ya Menuju 1
gejala ringan sampai di TPA kotak no.15
sedang?
Tidak
Tidak
14 6 7
Sudah mendapatkan Menuju 1
Gejala berat Ya
pengobatan antibiotik kotak 15
sebelumnya
15 9
Pemilihan Tidak 1
8 Pilihan antibiotik:
obat: Cefuroksim
Amox/klav Apakah terdapat alergi 1 Ya
Cefpodoksim
(dosis tinggi) terhadap penicilin
Cefdinir
Cefuroksim Azitromisin
Cefpodoksim Klaritromisin
Tidak
Cefdinir 10
273
Terapi tambahan pada sinusitis akut
Efikasi irigasi sinus dengan salin pada pengobatan sinusitis akut dan kronis telah dapat
dibuktikan. Tujuan pengobatan sinusitis adalah untuk meningkatkan pergerakan mukosiliar dan
vasokonstriksi. Mekanisme ini akan membuang sekret, mengurangi jumlah bakteri, dan
membebaskan alergen di sekitar lingkungan hidung.
Steroid nasal sangat berguna untuk anak dengan rinitis alergik. Dilaporkan bahwa 90%
penyandang akan menunjukkan perbaikan gejala termasuk kongesti nasal. Absorpsi melalui
mukosa nasal ke aliran darah sistemik sangat minimal. Supresi aksis hipofisis dan glukoma
dilaporkan hanya terjadi pada dewasa. Beberapa steroid nasal sedang diteliti keamanannya
pada anak usia muda. Pemilihan obat harus dilakukan dengan sangat hati-hati.
Efektivitas dekongestan nasal bervariasi. Dekongestan topikal dapat memperbaiki
keadaan dan memberikan rasa nyaman. Vasodilatasi rebound dapat dicegah dengan
memberikan dekongestan nasal selama 4−5 hari pertama pengobatan medis.
Efektivitas mukolitik sangat bervariasi. Hingga saat ini belum ada studi kontrol yang
dilakukan untuk mengetahui efektivitasnya.
Antihistamin kebanyakan digunakan pada anak dengan atopi. Pemberian imunoterapi
akan efektif bila alergen spesifiknya diketahui.
274
Prosedur kedua adalah pembersihan rongga dan pengangkatan debris 2−3 minggu
setelah tindakan bedah. Tindakan ini tidak rutin dilakukan dan tidak ada data yang menyokong
keharusan prosedur ini dilakukan.
Pencucian sinus maksilaris dan pemberian antibiotik intravena tidak dilakukan secara
universal. Penderita membutuhkan nasal toilet pascaoperasi dan pengobatan kondisi medis
yang terkait. Khusus untuk penderita fibrosis kistik dibutuhkan tindakan bedah sinus untuk
meningkatkan efektivitas irigasi.
Aktivitas
Menurut Tylor, aktivitas boleh dilakukan sesuai dengan keadaan pasien. Pengurangan aktivitas
bergantung pada usia dan berat penyakit. Pasien dengan lingkungan alergi harus melakukan
restriksi untuk menghindari alergen lingkungan. Semua penyandang sinusitis kronik harus
mengurangi pajanan lingkungan seperti asap rokok.
Rawat inap
Umumnya penyandang sinusitis ditangani sebagai pasien rawat jalan. Pasien dengan
mikroorganisme resisten dan komplikasi orbital atau intrakranial harus dirawat inap untuk
diberikan antibiotik intravena.
Rawat jalan
Peran serta keluarga dalam penanganan sinusitis sangat penting. Obat diberikan sesuai
ketentuan, sehingga anak memperoleh dosis antibiotik yang tepat. Pengobatan sinusitis kronis
atau kondisi yang terkait membutuhkan penanganan yang lebih intensif. Anak dengan gejala
IRA-atas yang berkunjung ke sarana kesehatan segera dipulangkan ke rumah. Hilangnya hari
kerja justru akan menambah stres keluarga. Umumnya penyandang sinusitis diobati sebagai
pasien rawat jalan.
Edukasi pasien
Edukasi untuk pasien dan keluarga sangat penting. Dengan meningkatnya bakteri patogen yang
resisten, edukasi untuk masyarakat mengenai penggunaan antibiotik perlu diberikan.
Kebebasan dalam menginstruksikan pemberian antibiotik melalui telepon dan penggunaan
antibiotik sebagai profilaksis harus segera dihindari. Pemberian antibiotik jangka panjang harus
berdasarkan hasil kultur.
Rujukan
Pasien segera dirujuk ke fasilitas kesehatan terdekat yang lebih memadai bila keterampilan
tenaga kesehatan di unit gawat darurat (UGD) anak tidak dapat menangani penderita sinusitis
akut berat atau sinusitis dengan komplikasi.
275
5.5.8 Pencegahan
Nasal toilet yang dilakukan sebaik mungkin dengan menggunakan irigasi salin, mungkin
merupakan suatu cara untuk mencegah eksaserbasi sinusitis akut dan kronis. Pengendalian
maksimal kondisi terkait dan pasien dianjurkan untuk menghindari pajanan iritan dari
lingkungan seperti asap rokok.
5.5.9 Komplikasi
5.5.9.1 Keterlibatan Orbital
Keterlibatan orbital biasanya merupakan akibat penyebaran langsung dari sinus. Pemeriksaan
CT-scan dengan kontras dapat membantu menentukan keterlibatan orbital, yaitu untuk
menentukan sejauh mana orbital terlibat dan mengidentifikasi adanya pengumpulan cairan
berupa gambaran cincin yang khas (typical ring-enhancing fluid), tanda adanya abses
subperiosteal.
Trombosis sinus kavernosus ditandai dengan demam tinggi dan gejala bilateral. Sinusitis
dengan keterlibatan orbital berpotensi mendapat pengobatan seumur hidup dan sangat berisiko
mendapat pengobatan tidak teratur. Sinusitis dengan keterlibatan orbital memerlukan antibiotik
intravena, dan bila mungkin dilakukan pemeriksaan endoskopi atau tindakan operasi. Konsultasi
dini dengan spesialis mata sangat dianjurkan untuk memantau penglihatan.
5.5.10 Prognosis
Prognosis rinosinusitis akut umumnya baik. Penanganan sinusitis kronis sangat sulit, tetapi
dengan tatalaksana optimal kondisi terkait dan tatalaksana medis secara menyeluruh, maka
prognosis menjadi baik. Tindakan operasi sangat jarang dibutuhkan.
276
Daftar pustaka
1. American Acedemy of Pediatrics, Sub Comittee on Management of Sinusitus and Comitte on Quality
Improvement. Clinical practice guideline: management of sinusitis. Pediatrics 2001;108(3):798–808.
2. Arruda LK, Mimica IM, Sole D, dkk. Abnormal maxillary sinus radiographs in children: do they
represent infection?. Pediatrics 1990;85:553–8.
3. Ballenger JJ. Staf Ahli Bagian THT RSCM-FKUI INDONESIA, alih bahasa. Penyakit telinga, hidung,
tenggorok, kepala, dan leher, Jilid 1. Edisi ke-13. Jakarta: Binarupa Aksara; 1994. h. 4.
4. Doern GV, Pfaller MA, Kugler K, Freeman J, Jones RN. Prevalence of antimicrobial resistance among
respiratory tract isolates of Streptococcus pneumoniae in North American: 1997 results from the
SENTRY antimicrobial surveillance program. Clin Infect Dis 1998;27:764–70.
5. Evans FO, Sydnor JB, Moore WE, dkk. Sinusitis of the maxillary antrum. N Engl J Med 1975;293:735–
9.
6. Gwaltney JM, Jr. Acute community-acqiured sinusitis. Clin Infect Dis 1996;23:1209–23.
7. International Rhinosinusitus Advisory Broad. Infectious rhinosinusitis in adults: classification, etiology,
and management. Ear Nose Throat J 1997;76(suppl):1-22.
8. Jacobs MR, Bajaksouzian S, Zilles A, Lin G, Pankuch GA, Appelbaum PC. Susceptibilities of
Streptococcus pneumoniae and Haemophilus influenzae to 10 oral antimicrobial agents based on
pharmacodynamic parameters: 1997 US Surveillance study. Antimicrob Agents Chemother
1999;43:1901–8.
9. Ramadan HH. Pediatrics sinusitis medical treatment medicine. 2005 Jan:1–25.
10. Rahajoe N, Supriyatno B, Chatab F. Batuk kronik dan atau berulang pada anak: tinjauan pengaruh
sinusitis. Dalam: Rahajoe N, Rahajoe NN, Boediman I, Said M, Wirjodiarjo M, Supriyatno B,
penyunting. PKB Ilmu Kesehatan Anak FKUI XXXIII: perkembangan dan masalah pulmonologi anak
saat ini. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 1994. h. 129–41.
11. Wald ER. Microbiology of acute and chronic sinusitis in children. J Allergy Clin Immunol 1992;90:452–
6.
12. Wald ER. Sinusitis. Pediatr Ann 1998;27:811–8.
13. Wald ER, Chiponis D, Ledesna-Medina J. Comparative effectiveness of amoxicillin and amoxicillin-
clavulanate potassium in acute paranasal sinus infections in children: a double-blind, placebo-
controlled trial. Pediatrics 1986;77:795–800.
277
5.6 Epiglotitis
Kiagus Yangtjik, Fatimah Arifin
Epiglotitis merupakan infeksi yang sangat serius dari epiglotis dan struktur supraglotis, yang
berakibat obstruksi jalan napas akut dan menyebabkan kematian jika tidak diobati. Walaupun
jarang, penyakit ini harus dipikirkan pada anak yang sesak hebat disertai stridor dan
penampilan yang toksik. Epiglotitis hampir selalu disebabkan oleh Hemophilus influenza tipe b
(Hib).
Penyakit ini pertama kali dikenal pada tahun 1878. Nama lainnya adalah ‗‗angina
epiglotitidis anterior‖ (Mickel, 1878). Penyakit ini sudah sangat jarang ditemui setelah
penggunaan vaksin Hib (1988), yang menyebabkan terjadinya penurunan morbiditas secara
signifikan. Penurunan insidens epiglotitis pada anak yang mendapat vaksinasi Hib secara rutin
telah dilaporkan oleh Garpenholt dkk. Insidens epiglotitis menurun dari 20,9 pada tahun 1987
menjadi 0,9 pada tahun 1996.
5.6.1 Epidemiologi
Angka kejadian bervariasi menurut tempatnya. Insidens epiglotitis di Quebec (Kanada) adalah
enam kasus per 100.000 populasi; di Stockholm (Swedia) adalah 14 kasus per 100.000
populasi; di Geneva (Swiss) adalah 34 kasus per 100.000 populasi.
Low melaporkan bahwa dalam 10 tahun (1992–2001) hanya ditemukan dua kasus
epiglotitis pada anak di National University Hospital di Singapura. Mortalitas dan morbiditas
epiglotitis bergantung pada diagnosis dan penanganan di setiap sentra RS. Angka mortalitasnya
dapat 0% dan angka morbiditas kurang dari 4%. Keterlambatan diagnosis dapat menyebabkan
mortalitas hingga 9–18%. Sebuah penelitian multisenter mendapatkan bahwa epiglotitis lebih
dominan terjadi pada kulit hitam, kemungkinan karena status imun penduduk kulit hitam.
Penelitian lain menyatakan bahwa tidak ada perbedaan insidens berdasarkan warna kulit.
Sebagian besar penelitian menunjukkan bahwa laki-laki lebih banyak mengalami epiglotitis
daripada perempuan.
Epiglotitis terjadi pada anak berusia 2–7 tahun dengan puncak usia 3,5 tahun. Selama
13 tahun terakhir di Amerika Serikat (AS), rata-rata usia pasien epiglotitis adalah 35−80 bulan.
5.6.2 Etiologi
Epiglotitis hampir selalu disebabkan oleh Haemophilus influenzae tipe B. Penyebab lain adalah
S. aureus, S. pneumonia, C. albicans, virus, dan trauma. Trauma dapat terjadi akibat trauma
langsung atau panas (thermal injury). Shenao dkk. melaporkan dua kasus yang disebabkan oleh
thermal injury, kasus pertama disebabkan oleh asam asetat dan yang kedua oleh air panas.
278
Pada anak yang lebih besar, biasanya didahului dengan nyeri tenggorok dan disfagia, pasien
lebih menyukai posisi duduk, badan membungkuk ke depan dengan mulut terbuka dan leher
ekstensi (sniffing position).
Gejala prodromal pada anak besar berlangsung lebih lama daripada anak kecil. Pada
anak kecil, keadaan umum awalnya baik, kemudian anak terbangun di malam hari dengan
panas tinggi, afonia, lidah terjulur disertai gawat napas (respiratory distress) sedang hingga
berat, dan stridor inspirasi. Gawat napas dapat terjadi pada menit-menit atau jam-jam pertama
dimulainya penyakit.
Perbandingan gambaran klinis antara epiglotitis dan sindrom Croup dapat dilihat pada
Tabel 5.6.1.
Tabel 5.6.1 Perbandingan gambaran klinis epiglotitis dan Sindrom Croup
Karakteristik Epiglotitis Croup
Usia Semua usia 6 bulan-6 tahun
Awitan Mendadak Perlahan
Lokasi Supraglotis Subglotis
Suhu tubuh Demam tinggi Demam tidak terlalu tinggi
Disfagia Berat Ringan atau tidak ada
Dispnea Ada Ada
Drooling Ada Ada
Batuk Jarang Khas
Gambaran radiologis Positive thumb sign Positive steeple sign
5.6.4 Diagnosis
Diagnosis epiglotitis ditegakkan atas dasar ditemukannya epiglotis yang besar, bengkak, dan
berwarna merah ceri, dengan pemeriksaan langsung atau pun laringoskopi. Pada laringoskopi
terlihat radang epiglotis yang berat dan kadang-kadang disertai peradangan di daerah
sekelilingnya, termasuk aritenoid dan lipatan ariepiglotis, plika vokalis, dan daerah subglotis.
Pada pemeriksaan radiologis dapat terlihat gambaran thumb sign (Gambar 5.9.1).
Apabila anak diduga menderita epiglotitis, pemeriksaan menggunakan spatula lidah
harus dihindari karena akan menimbulkan refleks laringospasme dan obstruksi total akut,
aspirasi sekret, serta henti kardiorespirasi. Jika pemeriksaan dengan spatula lidah harus
dilakukan, sebelum pemeriksaan harus dilakukan persiapan intubasi dan trakeostomi.
Selain itu, anak yang diduga menderita epiglotitis tidak boleh ditempatkan dalam posisi
terlentang karena anak dapat semakin mengalami agitasi dan terjadi perubahan posisi epiglotis
akibat gravitasi. Hal tersebut akan menambah berat obstruksi jalan napas.
279
Thumb sign
5.6.5 Tatalaksana
5.6.5.1 Intubasi atau Trakeostomi
Tindakan intubasi nasotrakeal atau trakeostomi dapat dilakukan pada pasien epiglotitis tanpa
memandang derajat gawat napas yang terlihat. Data menunjukkan bahwa angka kematian
pada anak dengan epiglotitis yang tidak diberikan jalan napas buatan adalah 6%, sedangkan
jika dilakukan intubasi atau trakeostomi adalah kurang dari 1%. Lama intubasi adalah 2–3 hari,
yaitu hingga tampak perbaikan inflamasi.
5.6.5.2 Antibiotik
Selain tatalaksana kedaruratannya, antibiotik diberikan secara intravena berupa sefalosporin
generasi ketiga seperti sefotaksim atau seftriakson. Sefotaksim diberikan selama 7-10 hari dan
anak bebas demam 2 hari, sedangkan seftriakson dosis tunggal sehari dapat diberikan selama 5
hari.
5.6.6 Prognosis
Pasien yang meninggal sebagian besar disebabkan oleh obstruksi jalan napas dan komplikasi
trakeostomi.
Daftar pustaka
1. Roosevelt EG. Acute inflammatory upper airway obstruction. Dalam: Behrman RE, Kliegman RM,
Jenson HB, penyunting. Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke-17. Philadelphia: Saunders; 2004. h.
1405–8.
2. Tanner K, dkk. Haemophilus influenzae type B epiglotitis as cause of acute upper airways obstruction
in children. BMJ 2002 Nov;325(9).
3. Felter R. Pediatrics: epiglotitis. 2001. Diunduh dari: www.emedicine.com. Diakses pada 28 Juni 2003.
4. McEwan J, dkk. Paediatric acute epiglotitis: not a disappering entity. International Journal of Pediatric
Otorhinolaryngology 2003;67:317–21.
5. Garpenholt. Epiglotitis in Sweden before and after introduction of vaccination against Haemophilus
influenzae type B. Paediatr Infect Dis J 1999;18:490–3.
280
6. Low YM, Leong JL, Tan HKK. Paediatric acute epiglotitis re-visited case report. Singapore Med J
2003;44(10):539–41.
7. Shen-Hao. Noninfectious epiglotitis in children two cases report. International Journal of Pediatric
Otorhinolaryngology 2000;55:57–60.
8. DeSoto H. Epiglotitis and croup in airway obstruction in children. Anesthesiol Clin North Am
1998;16:853–68.
281
5.7 CROUP
(Laringotrakeobronkitis akut)
Kiagus Yangtjik, Dwi Wastoro Dadiyanto
Sindrom croup, adalah sindrom klinis yang ditandai dengan suara serak, batuk menggonggong,
stridor inspirasi, dengan atau tanpa adanya stres pernapasan. Penyakit ini sering terjadi pada
anak. ―Croup‖ berasal dari bahasa Anglo-Saxon yang berarti ―tangisan keras‖. Penyakit ini
pertama kali dikenal pada tahun 1928.
Istilah lain untuk croup ini adalah laringitis akut yang menunjukkan lokasi inflamasi,
yang jika meluas sampai trakea disebut laringotrakeitis, dan jika sampai ke bronkus digunakan
istilah laringotrakeobronkitis.
Sindrom croup atau laringotrakeobronkitis akut disebabkan oleh virus yang menyerang
saluran respiratori atas. Penyakit ini dapat menimbulkan obstruksi saluran respiratori. Obstruksi
yang terjadi dapat bersifat ringan hingga berat.
Sifat penyakit ini adalah self-limited, tetapi kadang-kadang cenderung menjadi berat
bahkan fatal. Sebelum kortikosteroid digunakan secara luas, 30% kasus croup harus dirawat di
RS dan 1,7% memerlukan intubasi endotrakea. Akan tetapi, setelah kortikosteroid telah
digunakan secara luas, kasus croup yang memerlukan perawatan di RS menurun drastis, dan
intubasi endotrakea jarang dilakukan.
Di Alberta, lebih dari 60% anak didiagnosis croup derajat ringan, 4% (satu dari 170
anak memerlukan perawatan di RS) dan 4% (satu dari 4.500 anak) harus diintubasi.
5.7.1 Definisi
Croup adalah terminologi umum yang mencakup suatu grup penyakit heterogen yang mengenai
laring, infra/subglotis, trakea dan bronkus. Karakteristik sindrom croup adalah batuk yang
menggonggong, suara serak, stridor inspirasi, dengan atau tanpa adanya obstruksi jalan napas.
282
3. Berat; ditandai dengan batuk menggonggong yang sering timbul, stridor inspirasi yang
terdengar jelas ketika pasien beristirahat, dan kadang-kadang disertai dengan stridor
ekspirasi, retraksi dinding dada, dan gawat napas.
4. Gagal napas mengancam; batuk kadang-kadang tidak jelas, terdengar stridor (kadang-
kadang sangat jelas ketika pasien beristirahat), gangguan kesadaran, dan letargi.
5.7.2 Epidemiologi
Sindrom croup biasanya terjadi pada anak berusia 6 bulan−6 tahun, dengan puncaknya pada
usia 1−2 tahun. Akan tetapi, croup dapat juga terjadi pada anak berusia 3 bulan dan di atas 15
tahun.
Penyakit ini lebih sering terjadi pada anak laki-laki daripada anak perempuan, dengan
rasio 3:2. Angka kejadiannya meningkat pada musim dingin dan musim gugur, tetapi penyakit
ini tetap dapat terjadi sepanjang tahun. Pasien croup merupakan 15% dari seluruh pasien
dengan infeksi respiratori yang berkunjung ke dokter.
Kekambuhan sering terjadi pada usia 3−6 tahun dan berkurang sejalan dengan
pematangan struktur anatomi saluran respiratori-atas. Hampir 15% pasien sindrom croup
mempunyai keluarga dengan riwayat penyakit yang sama.
5.7.3 Etiologi
Virus penyebab tersering sindrom croup (sekitar 60% kasus) adalah Human Parainfluenza virus
type 1 (HPIV-1), HPIV-2,3, dan 4, virus Influenza A dan B, Adenovirus, Respiratory Syncytial
virus (RSV), dan virus campak. Meskipun jarang, pernah juga ditemukan Mycoplasma
pneumonia.
5.7.4 Patogenesis
Seperti infeksi respiratori pada umumnya, infeksi virus pada laringotrakeitis,
laringotrakeobronkitis, dan laringotrakeobronkopneumonia dimulai dari nasofaring dan
menyebar ke epitelium trakea dan laring. Peradangan difus, eritema, dan edema yang terjadi
pada dinding trakea menyebabkan terganggunya mobilitas pita suara serta area subglotis
mengalami iritasi. Hal ini menyebabkan suara pasien menjadi serak (parau). Aliran udara yang
melewati saluran respiratori-atas mengalami turbulensi sehingga menimbulkan stridor, diikuti
dengan retraksi dinding dada (selama inspirasi). Pergerakan dinding dada dan abdomen yang
tidak teratur menyebabkan pasien kelelahan serta mengalami hipoksia dan hiperkapnea. Pada
keadaan ini dapat terjadi gagal napas atau bahkan henti napas.
283
Perbandingan antara viral croup (laryngotracheobronchitis) dan spasmodic croup
(spasmodic cough) dapat dilihat pada Tabel 5.7.1.
5.7.6 Diagnosis
Diagnosis klinis ditegakkan berdasarkan gejala klinis yang timbul. Pada pemeriksaan fisis
ditemukan suara serak, hidung berair, peradangan faring, dan frekuensi napas yang sedikit
meningkat. Kondisi pasien bervariasi sesuai dengan derajat stres pernapasan yang diderita.
Pemeriksaan langsung area laring pada pasien croup tidak terlalu diperlukan. Akan
tetapi, bila diduga terdapat epiglotitis (serangan akut, gawat napas/respiratory distress,
disfagia, drooling), maka pemeriksaan tersebut sangat diperlukan.
284
5.7.6.1 Diagnosis banding
Diagnosis banding dapat dilihat pada tabel 5.7.2:
Prodromal Coryza Biasanya Biasanya Biasanya coryza Biasanya coryza Coryza minimal Tidak ada Alergi kulit
(kadang faringitis hidung kadang-
–kadang) tersumbat kadang
atau coryza
Awitan Cepat: Lambat Bervariasi 12 Sedang, tetapi Biasanya Mendadak, Biasanya Cepat
4–12 jam selama 2–3 hingga 4 hari bervariasi 12–48 progresif 12 jam– selalu malam mendadak
hari jam 7 hari
Gejala dan Ya, Ya, biasanya Ya, 37,8– Ya, bervariasi 37,8– Ya, bervariasi Tidak ada Tidak ada, Tidak ada
demam biasanya 37,8–38,5°C 39,4°C pada 40,5°C 37,8°C–40,5°C kecuali
39,5°C Adenovirus infeksi
dan virus sekunder
Influenza,
biasanya
minimal pada
infeksi virus
lain
Serak dan batuk Tidak ada Ada Ada Ada Ada Ada Biasanya Tidak ada
menggonggong tidak ada
285
5.7.6.2 Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang seperti pemeriksaan laboratorium dan radiologis tidak perlu dilakukan
karena diagnosis biasanya dapat ditegakkan hanya dengan anamnesis, gejala klinis, dan
pemeriksaan fisis.
Bila ditemukan peningkatan leukosit >20.000/mm3 yang didominasi oleh PMN,
kemungkinan telah terjadi superinfeksi, misalnya epiglotitis.
Pemeriksaan CT-scan dapat lebih jelas menggambarkan penyebab obstruksi pada pasien
dengan keadaan klinis yang lebih berat, seperti adanya stridor sejak usia di bawah enam bulan
atau stridor pada saat aktivitas. Selain itu, pemeriksaan ini juga dilakukan bila pada gambaran
radiologis dicurigai adanya massa.
Gambar 5.7.1 Tampak gambaran udara yang menyempit pada subglotis (steeple sign).
Sumber: Knutson D, Aring A. Viral croup. American Family Physician. 2004;69(3). Diunduh dari:
http://www.aafp.org/afp/20040201/535.html. Diakses pada 19 Juni 2006.
5.7.7 Tatalaksana
Tatalaksana utama bagi pasien croup adalah mengatasi obstruksi jalan napas. Sebagian besar
pasien croup tidak perlu dirawat di RS, melainkan cukup dirawat di rumah. Pasien dirawat di RS
286
bila dijumpai salah satu dari gejala-gejala berikut: anak berusia di bawah 6 bulan, terdengar
stridor progresif, stridor terdengar ketika sedang beristirahat, terdapat gejala gawat napas,
hipoksemia, gelisah, sianosis, gangguan kesadaran, demam tinggi, anak tampak toksik, dan
tidak ada respons terhadap terapi. Algoritma penatalaksanaan sindrom Croup dapat dilihat pada
Gambar 5.7.2.
Epinefrin
Sindrom croup biasanya cukup diatasi dengan terapi uap saja, tetapi kadang-kadang
membutuhkan farmakoterapi. Nebulisasi epinefrin telah digunakan untuk mengatasi sindrom
croup selama hampir 30 tahun, dan pengobatan dengan epinefrin ini menyebabkan trakeostomi
hampir tidak diperlukan.
Nebulisasi epinefrin sebaiknya juga diberikan kepada anak dengan sindrom croup
sedang—berat yang disertai dengan stridor saat istirahat dan membutuhkan intubasi, serta
pada anak dengan retraksi dan stridor yang tidak mengalami perbaikan setelah diberikan terapi
uap dingin.
Nebulisasi epinefrin akan menurunkan permeabilitas vaskular epitel bronkus dan trakea,
memperbaiki edema mukosa laring, dan meningkatkan laju udara pernapasan. Pada penelitian
dengan metode double blind, efek terapi nebulisasi epinefrin ini timbul dalam waktu 30 menit
dan bertahan selama dua jam.
Racemic epinephrine merupakan pilihan utama, efek terapinya lebih besar, dan mempunyai
sedikit efek terhadap kardiovaskular seperti takikardi dan hipertensi.
287
Nebulisasi epinefrin masih dapat diberikan pada pasien dengan takikardi dan kelainan jantung
seperti tetralogi Fallot.
5.7.7.2 Kortikosteroid
Kortikosteroid mengurangi edema pada mukosa laring melalui mekanisme antiradang. Uji klinik
menunjukkan adanya perbaikan pada pasien laringotrakeitis ringan–sedang yang diobati
dengan steroid oral atau parenteral dibandingkan dengan plasebo.
Deksametason
Deksametason diberikan dengan dosis 0,6 mg/kgBB per oral/intramuskular sebanyak satu kali,
dan dapat diulang dalam 6−24 jam. Efek klinis akan tampak 2−3 jam setelah pengobatan.
Tidak ada penelitian yang menyokong keuntungan penambahan dosis.
Keuntungan pemakaian kortikosteroid adalah sebagai berikut:
mengurangi rata-rata tindakan intubasi
mengurangi rata-rata lama rawat inap
menurunkan hari perawatan dan derajat penyakit.
Selain deksametason, dapat juga diberikan prednison atau prednisolon dengan dosis
1−2 mg/kgBB (E4). Berdasarkan dua penelitian meta-analisis (24 RCT) tentang pemakaian
kortikosteroid sistemik, dengan pemberian kortikosteroid 6 dan 12 jam, tetapi tidak sampai 24
jam, disimpulkan bahwa tidak ada pengaruh dari kortikosteroid sistemik.
Budesonid
Nebulisasi budesonid dipakai sejak tahun 1990. Tingkat efektifitasnya adalah E2 bila
dibandingkan dengan plasebo. Larutan 2−4 mg budesonid (2 ml) diberikan melalui nebulizer
dan dapat diulang pada 12 dan 48 jam pertama. Efek terapi nebulisasi budesonid terjadi dalam
30 menit, sedangkan kortikosteroid sistemik terjadi dalam satu jam.
Pemberian terapi ini mungkin akan lebih bermanfaat pada pasien dengan gejala muntah
dan gawat napas (respiratory distress) yang hebat. Budesonid dan epinefrin dapat digunakan
secara bersamaan. Sebagian besar kasus pemakaian budesonid tidak lebih baik daripada
deksametason oral.
Kortikosteroid tidak diberikan pada anak dengan varisela dan TB (kecuali pada anak
yang sedang mendapat OAT). Pemakaian kortikosteroid dalam jangka waktu lama (1
mg/kgBB/hari selama delapan hari) dapat meningkatkan infeksi Candida albicans.
288
yang rendah. Hal ini sangat membantu mengurangi obstruksi jalan napas, yaitu dengan
meningkatkan aliran gas dan mengurangi kerja otot-otot respiratori. Bila helium dikombinasikan
dengan oksigen, maka oksigenasi darah akan meningkat.
Dengan terapi oksigen-helium ini, pasien sindrom croup berat akan merasa nyaman dan
kemungkinan besar tidak memerlukan tindakan intubasi. Efek klinis pemberian kombinasi
oksigen-helium hampir sama dengan pemberian nebulisasi epinefrin.
5.7.7.5 Antibiotik
Pemberian antibiotik tidak diperlukan pada pasien sindrom croup, kecuali pasien dengan
laringotrakeobronkitis atau laringotrakeopneumonitis yang disertai infeksi bakteri. Pasien
diberikan terapi empiris sambil menunggu hasil kultur. Terapi awal dapat menggunakan
sefalosporin generasi ke-2 atau ke-3.
Pemberian sedatif dan dekongestan oral tidak dianjurkan pada pasien sindrom croup.
5.7.8 Komplikasi
Pada 15% kasus dilaporkan terjadi komplikasi, misalnya otitis media, dehidrasi, dan pneumonia
(jarang terjadi). Sebagian kecil pasien memerlukan tindakan intubasi. Gagal jantung dan gagal
napas dapat terjadi pada pasien yang perawatan dan pengobatannya tidak adekuat.
5.7.9 Prognosis
Sindrom croup biasanya bersifat self-limited dengan prognosis yang baik.
289
CROUP
Diagnosis banding
Obstruksi jalan napas yg - aspirasi benda asing
mengancam nyawa - abnormalitas
- sianosis congenital
- penurunan kesadaran - epiglotitis
Ya
Croup derajat ringan Croup derajat sedang Croup derajat berat
- Batuk mengonggong - Stridor saat istirahat - Stridor menetap saat istirahat
- Tanpa retraksi dada Terdapat retraksi - Tracheal tug dan retraksi
- Tanpa sianosis dinding dada minimal dinding dada terlihat jelas
- Mampu berinteraksi - Apatis dan gelisah
- Pulsus paradoxus
Tidak membaik
- Evaluasi ulang
Membaik - Rawat
- Dipulangkan bila tidak ada - Hubungi konsulen
stridor saat istirahat Perbaikan
- Evaluasi diagnosis
- Edukasi orang tua pasien
Sebagian
- Nebulisasi adrenalin (dosis sama)
DAN kortikosteroid sistemik (dosis
sama)
- Rawat/observasi di IGD - Persiapkan pelayanan untuk
- Ulangi pemberian kortikosteroid tindakan darurat
oral/12 jam - Pertimbangkan intubasi
- Edukasi ortu pasien
- Sediakan penjelasan tertulis
untuk dokter umum yang akan
follow up
290
Daftar pustaka
1 Cherry JD. Croup (laryngitis, laryngotracheitis, spasmodic croup, laryngotracheobronchitis,
bacterial tracheitis, and laryngotracheobronchopneumonitis). Dalam: Feigin RD, dkk.,
penyunting. Textbook of pediatric infectious disease. Philadelphia: WB Saunder Co.; 2004. h.
252–65.
2 Roosevelt GE. Acute inflamatory upper airway obstruction. Dalam: Behrman RE, Kliegman RM,
Jenson HN, penyunting. Nelson textbook of pediatric. Edisi ke-17. Philadelphia: WB Saunder Co.;
2004. h. 1405–9.
3 Phelan PD, Olinsky A, Robertson CF. Clinical patterns of acute respiratory infections. Dalam:
Phelan PD, Olinsky A, Robertson CF. Respiratory Illness in Children. Edisi ke-4.
Melbourne:Blackwell scientific publications;1994. h.52-93
4 Levine SD, Springer MA. Croup and epiglotitis. Dalam: Hilman BC, penyunting. Pediatric
respiratory disease. Diagnosis and treatment. Philadelphia: WB Saunder Co.; 1993. h. 238–40.
5 Guideline for the diagnosis and management of croup. The Alberta Clinical Practice
Guideline Program. 2003 July;. Diunduh dari:
www.urgenciaspediatriacruces.org/pdf/art/Croup.pdf. Diakses pada 19 Juni 2006.
6 Knutson D, Aring A. Viral croup. American Family Physician. 2004;69(3). Diunduh dari:
http://www.aafp.org/afp/20040201/535.html. Diakses pada 19 Juni 2006.
7 Malhotra A, Leonard RK. Viral croup. Pediatrics in Review. 2001 Januari;22. Diunduh dari:
http://pedsinreview.aappublications.org/cgi/content/full/22/1/5. Diakses pada 22 Januari 2002.
8 Fitzgerald DA, Kilham HA. Croup: assessment and evidence-based management. MJA
2003;179:372–7.
9 Louis V, Allen AM. Oral dexamethasone for mild croup. N Engl J Med [serial online] 2004;35:26.
Diunduh dari: www.nejm.org. Diakses pada 23 Desember 2004.
10 Rizwan S, Michael F. Role of glucocorticoids in treating croup. Canadian Family Physician. 2001
Apr;47. Diunduh dari:
http://www.cfpc.ca/cfp/_cgi/index_pdf.asp?pdfname=/cfp/2001/Apr/_pdf/vol47-apr-critical-
1.pdf#. Diakses pada 23 Desember 2004.
11 Gina M, dkk. Clinical investigations: a randomized controlled trial of mist in the acute treatment of
moderate croup. Acad Emerg Med 2002 Sep;9(9). Diunduh dari: http://. Diakses pada
12 NSW Health Department. Acute management of infants and children with croup: clinical practice
guidelines. 2004 Dec 21. Diunduh dari: www.health.nsw.gov.au.
291
5.8 Bronkitis akut
Roni Naning, Hadianto Ismangoen, Amalia Setyati
Bronkitis akut adalah proses inflamasi selintas yang mengenai trakea, bronkus utama dan
menengah yang bermanifestasi sebagai batuk, serta biasanya akan membaik tanpa terapi
dalam 2 minggu. Walaupun diagnosis bronkitis akut seringkali dibuat, pada anak keadaan ini
agaknya bukan merupakan suatu penyakit tersendiri, tapi berhubungan dengan keadaan lain
seperti asma dan fibrosis kistik. Bronkitis akut umumnya disebabkan oleh virus. Bronkitis akut
karena bakteri biasanya dikaitkan dengan Mycoplasma pneumoniae, Bordetella pertussis, atau
Corynebacterium diphtheriae.
Bronkitis pada anak mungkin tidak dijumpai sebagai wujud klinis tersendiri dan
merupakan akibat dari beberapa keadaan pada saluran respiratori atas dan bawah yang lain.
Manifestasi klinis biasanya terjadi secara akut mengikuti suatu infeksi respiratori atas karena
virus, atau secara kronis mendasari penyakit asma, fibrosis kistik, aspirasi benda asing,
defisiensi imun, immotile cilia syndrome, serta penyakit lainnya.
Diagnosis bronkitis sering ditegakkan dalam praktek sehari-hari, sehingga seharusnya
bronkitis dapat dibedakan dan ditetapkan dengan mudah. Akan tetapi, manifestasi utama yang
paling menonjol pada penyakit ini adalah batuk, yang bukan merupakan gejala spesifik dan
dapat merupakan gejala/bagian dari berbagai penyakit respiratori ataupun nonrespiratori.
Hingga saat ini, uji diagnostik spesifik noninvasif untuk mendiagnosis penyakit ini pada anak
masih belum ada.
Pada orang dewasa, definisi bronkitis kronis adalah kondisi kronis atau berulang
(rekuren) dari batuk produktif yang terjadi selama tiga bulan dalam setahun dan berlangsung
selama dua tahun. Pengertian bronkitis kronis pada anak masih belum jelas. Selain itu,
pembagian bronkitis akut, kronis, rekuren, atau wheezy bronchitis pada anak belum disepakati
karena tampilan klinis yang seringkali serupa satu sama lain. Oleh karena itu, diagnosis
bronkitis haruslah dipertimbangkan secara matang karena dapat mempengaruhi pemeriksaan
dan tatalaksana selanjutnya.
292
kurangnya ketersediaan jaringan untuk pemeriksaan. Yang diketahui adalah adanya
peningkatan aktivitas kelenjar mukus dan terjadinya deskuamasi sel-sel epitel bersilia. Adanya
infiltrasi leukosit PMN ke dalam dinding serta lumen saluran respiratori menyebabkan sekresi
tampak purulen. Akan tetapi, karena migrasi leukosit ini merupakan reaksi nonspesifik terhadap
kerusakan jalan napas, maka sputum yang purulen tidak harus menunjukkan adanya
superinfeksi bakteri.
Pemeriksaan auskultasi dada biasanya tidak khas pada stadium awal. Seiring
perkembangan dan progresivitas batuk, dapat terdengar berbagai macam ronki, suara napas
yang berat dan kasar, wheezing, ataupun suatu kombinasi. Hasil pemeriksaan radiologis
biasanya normal atau didapatkan peningkatan corakan bronkial. Pada umumnya, gejala akan
menghilang dalam 10–14 hari. Bila tanda-tanda klinis menetap hingga 2–3 minggu, perlu
dicurigai adanya proses kronis. Selain itu, dapat juga terjadi infeksi bakteri sekunder.
Sebagian besar terapi bronkitis akut viral bersifat suportif. Pada kenyataannya,
kebanyakan rinitis dapat sembuh tanpa pengobatan sama sekali. Istirahat yang cukup,
kelembaban udara yang cukup, masukan cairan yang adekuat, serta pemberian asetaminofen
pada keadaan demam bila perlu, sudah mencukupi untuk beberapa kasus. Antibiotik sebaiknya
hanya digunakan bila dicurigai adanya infeksi bakteri atau telah dibuktikan dengan pemeriksaan
penunjang lainnya. Pemberian antibiotik berdasarkan terapi empiris biasanya disesuaikan
dengan usia, jenis organisme yang biasa menginfeksi, dan sensitivitas di komunitas tersebut.
Antibiotik juga telah dibuktikan tidak mencegah terjadinya infeksi bakteri sekunder, sehingga
tidak ada tempatnya diberikan pada bronkitis akut viral.
Obat-obat penekan batuk sebaiknya tidak diberikan, karena batuk diperlukan untuk
mengeluarkan sputum. Fisioterapi dada tidak perlu dilakukan pada anak sehat yang sedang
dalam fase bronkitis akut. Bila ditemukan wheezing pada pemeriksaan fisis, dapat diberikan
bronkodilator 2-agonis, tetapi diperlukan evaluasi yang seksama terhadap respons bronkus
untuk mencegah pemberian bronkodilator yang berlebihan.
293
whoop. Batuk ini biasanya menghasilkan mukus yang kental dan lengket. Muntah pascabatuk
(posttusive emesis) dapat juga terjadi pada stadium paroksismal.
Hasil pemeriksaan laboratorium patologi menunjukkan adanya infiltrasi mukosa oleh
limfosit dan leukosit PMN. Diagnosis dapat dipastikan dengan pemeriksaan kultur dari sekresi
mukus. Pengobatan pertusis sebagian besar bersifat suportif. Pemberian eritromisin dapat
mengusir kuman pertusis dari nasofaring dalam waktu 3–4 hari, sehingga mengurangi
penyebaran penyakit. Pemberian selama 14 hari setelah awitan penyakit selanjutnya dapat
menghentikan penyakit.
Daftar pustaka
1. Goodman DM. Bronchitis. Dalam: Kliegmen RM, Behrman RE, Jenson HB, Stanton BF. Nelson
textbook of pediatrics. Edisi ke-18. Pennsylvania: Saunders Elsevier; 2007. h. 1777-1778.
2. Loughlin GM. Bronchitis. Dalam: Chernick V, Boat TF, Wilmott RW, Bush A. Kendig‘s disorders of the
respiratory tract in children. Edisi ke-7. Philadelphia:WB Saunders Co.; 2006. h. 416-22.
3. Mutius EV, Morgan WJ. Acute, chronic, and wheezy bronchitis. Dalam: Taussig LM, Landau LI,
penyunting. Pediatric Respiratory Medicine. Missouri:Mosby;1999. h. 547-556.
294
5.9 Bronkiolitis
Magdalena Sidhartani Zain
5.9.1 Definisi
Bronkiolitis adalah penyakit IRA-bawah yang ditandai dengan adanya inflamasi pada bronkiolus.
Umumnya, infeksi tersebut disebabkan oleh virus. Secara klinis ditandai dengan episode
pertama wheezing pada bayi yang didahului dengan gejala IRA.
5.9.2 Etiologi
Sekitar 95% dari kasus-kasus tersebut secara serologis terbukti disebabkan oleh invasi RSV.
Orenstein menyebutkan pula beberapa penyebab lain seperti Adenovirus, virus Influenza, virus
Parainfluenza, Rhinovirus, dan mikoplasma, tetapi belum ada bukti kuat bahwa bronkiolitis
disebabkan oleh bakteri.
5.9.3 Epidemiologi
Bronkiolitis merupakan infeksi saluran respiratori tersering pada bayi. Paling sering terjadi pada
usia 2–24 bulan, puncaknya pada usia 2–8 bulan. Sembilan puluh lima persen kasus terjadi
pada anak berusia di bawah 2 tahun dan 75% di antaranya terjadi pada anak berusia di bawah
1 tahun. Orenstein menyatakan bahwa bronkiolitis paling sering terjadi pada bayi laki-laki
berusia 3–6 bulan yang tidak mendapatkan ASI, dan hidup di lingkungan padat penduduk.
Selain Orenstein, Louden menyatakan bahwa bronkiolitis terjadi 1,25 kali lebih banyak pada
anak laki-laki daripada anak perempuan. Dominasi pada anak laki-laki yang dirawat juga
disebutkan oleh Shay, yaitu 1,6 kali lebih banyak daripada anak perempuan; sedangkan Fjaerli
menyebutkan 63% kasus bronkiolitis adalah laki-laki.
Sebanyak 11,4% anak berusia dibawah 1 tahun dan 6% anak berusia 1–2 tahun di AS
pernah mengalami bronkiolitis. Penyakit ini menyebabkan 90.000 kasus perawatan di RS dan
menyebabkan 4500 kematian setiap tahunnya. Bronkiolitis merupakan 17% dari semua kasus
perawatan di RS pada bayi. Frekuensi bronkiolitis di negara-negara berkembang hampir sama
dengan di AS. Insidens terbanyak terjadi pada musim dingin atau pada musim hujan di negara-
negara tropis.
Shay dkk. meneliti data RS di AS selama 17 tahun yaitu tahun 1980–1996, dan
menemukan 1,65 juta perawatan karena bronkiolitis pada anak berusia di bawah 5 tahun, 57%
pada anak berusia di bawah 6 bulan, dan 81% pada bayi. Terjadi kenaikan angka perawatan di
RS pada anak berusia 1–4 tahun di AS, dari 1,3 per 1000 pada tahun 1980 menjadi 2,3 per
1000 pada tahun 1996. Pada periode yang sama terjadi peningkatan yang nyata perawatan di
RS pada bayi, yaitu 2,4 kali dari 12,9 per 1000 menjadi 31,2 per 1000, terutama pada usia di
bawah 6 bulan yaitu meningkat 239%. Selama tahun 1988–1990, bayi laki-laki yang dirawat
adalah 24.9 per 1000, lalu meningkat menjadi 38,4 per 1000 selama tahun 1994–1996,
sedangkan perempuan meningkat dari 15,1 per 1000 menjadi 24,4 per 1000 pada tahun yang
sama. Fjaerli dalam penelitian retrospektif selama tujuh tahun (tahun 1993–2000) di Norwegia
juga menemukan bahwa usia di bawah 6 bulan merupakan 45% dari seluruh perawatan
bronkiolitis.
295
Rerata insidens perawatan setahun pada anak berusia di bawah 1 tahun adalah 21,7 per
1000, dan semakin menurun seiring dengan pertambahan usia, yaitu 6,8 per 1000 pada usia 1–
2 tahun. Iwane yang meneliti secara prospektif di AS selama tahun 2000–2001 menemukan
bahwa pada anak dengan pemeriksaan virus positif, angka perawatan di RS adalah 3,5 per
1000 akibat RSV, 1,2 per 1000 akibat virus Parainfluenza, dan 0,6 per 1000 akibat virus
Influenza. Lima puluh persen dari jumlah perawatan tersebut adalah bayi berusia di bawah
enam bulan.
Median lama perawatan adalah 2–4 hari, kecuali pada bayi prematur dan kelainan
bawaan seperti penyakit jantung bawaan (PJB). Bradley menyebutkan bahwa penyakit akan
lebih berat pada bayi muda. Hal itu ditunjukkan dengan lebih rendahnya saturasi O2, juga pada
bayi yang terpapar asap rokok pascanatal. Beberapa prediktor lain untuk beratnya bronkiolitis
atau yang akan menimbulkan komplikasi yaitu bayi dengan masa gestasi <34 minggu, usia <3
bulan, sianosis, saturasi oksigen <90%, laju respiratori >70 x/menit, adanya ronki, dan riwayat
displasia bronkopulmoner (bronchopulmonary displasia, BPD).
Kenaikan jumlah perawatan karena bronkiolitis dipengaruhi oleh berbagai faktor, yaitu
perubahan kriteria perawatan anak dengan IRA, kebiasaan pengasuhan dengan lebih banyak
anak yang dititipkan di tempat penitipan anak (TPA), dan faktor virus sendiri yaitu perubahan
virulensi strain RSV. Selain itu, terdapat juga faktor perubahan kriteria diagnostik terutama
mikrobiologis dan panduan terapi, serta turunnya mortalitas bayi prematur dan bayi dengan
kelainan bawaan kompleks yang merupakan risiko tinggi perawatan karena RSV. Iwane yang
meneliti dua daerah urban di Amerika Serikat, yaitu Monroe County, New York dan Davidson
County, Tennessee, menemukan bahwa usia muda terutama di bawah 1 tahun, ras kulit hitam
dan Hispanik, laki-laki, dan adanya penyakit kronis yang mendasari berhubungan dengan
tingginya angka perawatan.
Angka morbiditas dan mortalitas lebih tinggi di negara-negara berkembang daripada di
negara-negara maju. Hal ini mungkin disebabkan oleh rendahnya status gizi dan ekonomi,
kurangnya tunjangan medis, serta kepadatan penduduk di negara berkembang. Angka
mortalitas di negara berkembang pada anak-anak yang dirawat adalah 1–3%.
5.9.4 Patofisiologi
Infeksi virus pada epitel bersilia bronkiolus menyebabkan respons inflamasi akut, ditandai
dengan obstruksi bronkiolus akibat edema, sekresi mukus, timbunan debris selular/sel-sel mati
yang terkelupas, kemudian diikuti dengan infiltrasi limfosit peribronkial dan edema submukosa.
Karena tahanan aliran udara berbanding terbalik dengan diameter penampang saluran
respiratori, maka sedikit saja penebalan mukosa akan memberikan hambatan aliran udara yang
besar, terutama pada bayi yang memiliki penampang saluran respiratori kecil. Resistensi pada
bronkiolus meningkat selama fase inspirasi dan ekspirasi, tetapi karena radius saluran
respiratori lebih kecil selama ekspirasi, maka akan menyebabkan air trapping dan hiperinflasi.
Atelektasis dapat terjadi pada saat terjadi obstruksi total dan udara yang terjebak diabsorbsi.
Proses patologis ini akan mengganggu pertukaran gas normal di paru. Penurunan kerja
ventilasi paru akan menyebabkan ketidakseimbangan ventilasi-perfusi (ventilation-perfusion
mismatching), yang berikutnya akan menyebabkan terjadinya hipoksemia dan kemudian terjadi
hipoksia jaringan. Retensi karbondioksia (hiperkapnea) tidak selalu terjadi, kecuali pada
beberapa penderita. Semakin tinggi laju respiratori, maka semakin rendah tekanan oksigen
arteri. Kerja pernapasan (work of breathing) akan meningkat selama end-expiratory lung
volume meningkat dan compliance paru menurun. Hiperkapnea biasanya baru terjadi bila
respirasi mencapai 60 x/menit.
296
Pemulihan sel epitel paru tampak setelah 3–4 hari, tetapi silia akan diganti setelah dua
minggu. Jaringan mati (debris) akan dibersihkan oleh makrofag.
5.9.5 Diagnosis
Diagnosis dapat ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisis, pemeriksaan laboratorium,
dan pemeriksaan penunjang lainnya.
5.9.5.1 Anamnesis
Gejala awal berupa gejala infeksi respiratori-atas akibat virus, seperti pilek ringan, batuk, dan
demam. Satu hingga dua hari kemudian timbul batuk yang disertai dengan sesak napas.
Selanjutnya dapat ditemukan wheezing, sianosis, merintih (grunting), napas berbunyi, muntah
setelah batuk, rewel, dan penurunan napsu makan.
297
3. Saturasi O2: diambil dari pulse oxymetry yang dibaca lima kali selama pengamatan 1
menit dan diambil rata-ratanya.
4. Respiratory clinical status yang dinilai menggunakan RDAI menurut Lowell dkk.
5. Status aktivitas bayi (empat tingkat: tidur, tenang, rewel, dan menangis ).
Sedangkan Shuh, yang diadaptasi oleh Dobson, menilai skor klinis sebagai berikut:
1. Keadaan umum: diberi skor 0 (tidur) hingga 4 (sangat rewel).
2. Penggunaan otot bantu napas: skor 0 (tidak ada retraksi) hingga 3 (retraksi berat).
3. Wheezing: skor 0 (tidak ada ) hingga 3 (wheezing hebat inspiratorik dan ekspiratorik).
5.9.6 Tatalaksana
Sebagian besar tatalaksana bronkiolitis pada bayi bersifat suportif, yaitu pemberian oksigen,
minimal handling pada bayi, cairan intravena dan kecukupan cairan, penyesuaian suhu
lingkungan agar konsumsi oksigen minimal, tunjangan respirasi bila perlu, dan nutrisi. Setelah
itu barulah digunakan bronkodilator, anti-inflamasi seperti kortikosteroid, antiviral seperti
ribavirin, dan pencegahan dengan vaksin RSV, RSV immunoglobuline (polyclonal), atau
humanized RSV monoclonal antibody (Palivizumab).
5.9.6.1 Bronkodilator
Peran bronkodilator masih kontroversial. Review Cochrane baru-baru ini yang dikutip oleh
Wainwright tentang penggunaan bronkodilator untuk bronkiolitis, menunjukkan perbaikan skor
klinis untuk jangka pendek, tetapi tidak terdapat perbaikan pada oksigenasi atau angka
perawatan di RS.
Bronkodilator digunakan secara luas untuk bayi-bayi dengan bronkiolitis, yaitu sekitar
68–96% bayi di pusat pelayanan pediatrik tersier di Kanada. Pada survei yang dilakukan pada
88 pusat pelayanan pediatrik di Eropa, 54 pusat pelayanan melaporkan penggunaan
bronkodilator pada semua pasien dengan bronkiolitis, dan 15 pusat pelayanan melaporkan
hanya menggunakan bronkodilator pada pasien risiko tinggi. Di Inggris dan Australia,
penggunaan bronkodilator lebih jarang.
Wohl dan Chernick menyatakan bahwa penyebab obstruksi saluran respiratori adalah
inflamasi dan penyempitan akibat edema mukosa dan sumbatan mukosa, serta kolapsnya
saluran respiratori kecil pada bayi dengan bronkiolitis, sehingga pendekatan logis terapi adalah
kombinasi -adrenergik dan agonis -adrenergik.
Kelebihan epinefrin dibandingkan dengan bronkodilator -adrenergik selektif adalah:
1. Kerja konstriktor -adrenergik yang merupakan dekongestan mukosa, membatasi
absorbsinya dan mengatur aliran darah pulmoner, dengan sedikit efek pada ventilation-
perfusion matching.
2. Relaksasi otot bronkus karena efek -adrenergik.
298
3. Kerja -adrenergik menekan pelepasan mediator kimiawi.
4. Efek fisiologik antihistamin yang melawan efek histamin seperti edema.
5. Mengurangi sekresi kataral.
299
adalah perubahan skor klinis, yang diukur dengan pulse oximetry dan lainnya diukur dengan uji
fungsi paru. Kebanyakan penelitian melaporkan perbaikan pada keluaran jangka pendek,
meskipun kondisi beberapa pasien memburuk yang diukur dengan skor klinis, uji fungsi paru,
atau oksimetri.
Sejak tahun 1993 telah dilakukan delapan penelitian acak terkontrol pada 660 anak
dengan bronkiolitis yang diberi epinefrin, baik dibandingkan dengan salin plasebo maupun
dengan nebulisasi 2 agonis seperti salbutamol dan albuterol. King dkk. melakukan meta-
analisis terhadap delapan penelitian tersebut. Keluaran yang dinilai adalah perubahan jangka
pendek pada skor klinis, status fisiologis (RR, HR, dan saturasi O2), pemeriksaan fisis (mengi,
retraksi), dan lama perawatan di RS.
Dua penelitian yang metodologinya dinilai sangat baik, dengan jumlah subyek 345,
membandingkan racemic epinefrin dengan albuterol dan dibandingkan dengan salin, atau
epinefrin dibandingkan dengan plasebo menunjukkan hasil tidak ada perbedaan bermakna pada
lama perawatan maupun saat siap dipulangkan pada kelompok yang diteliti.
Dari tiga penelitian yang secara metodologi dinilai baik, dua di antaranya
membandingkan antara epinefrin dan salbutamol, sedangkan satu penelitian lainnya
membandingkan antara racemic epinefrin dan salin plasebo, dan dilakukan pada 171 subyek.
Dua penelitian tidak menunjukkan perbedaan bermakna pada perubahan skor klinis dan lama
perawatan, tetapi satu penelitian menunjukkan lebih pendeknya lama perawatan pada
kelompok epinefrin.
Tiga penelitian dengan kategori metodologi sedang dengan jumlah subyek 144; satu
penelitian membandingkan antara racemic epinefrin dan plasebo, dengan hasil perbaikan skor
klinis tetapi peningkatan saturasi oksigen hanya pada awal pengamatan, yaitu setelah 15 dan
30 menit. Dua penelitian yang membandingkan antara epinefrin dan salbutamol, menunjukkan
adanya perbaikan klinis selain HR setelah 1 jam dan penurunan indikasi rawat pada kelompok
epinefrin, tetapi satu penelitian tidak menunjukkan peningkatan saturasi oksigen meskipun ada
penurunan RR pada kelompok epinefrin. Selain itu, ditemukan berbagai efek samping epinefrin
berupa peningkatan HR, pucat, tremor, dan hipertensi ringan.
Wohl dan Chernick berpendapat bahwa tidak ada pengobatan bronkiolitis yang
memperpendek lama perawatan, termasuk albuterol, kortikosteroid, maupun epinefrin. Akan
tetapi, dibandingkan dengan albuterol, epinefrin dapat mengurangi tahanan saluran respiratori
dan menghasilkan perbaikan klinis yang lebih baik.
300
albuterol 2,5 mg pada semua penderita atau 0,15 mg/kgBB, dan satu penelitian menggunakan
fenoterol 0,4 ml/kgBB yang diberikan dengan interval 30 menit−6 jam.
Dobson meneliti secara prospective, double-blind, placebo controlled, randomized
clinical trial pada 52 anak berusia di bawah 24 bulan dengan bronkiolitis sedang−berat yang
diberi albuterol nebulisasi 1,25 mg untuk anak dengan berat badan <10 kg atau 2,5 mg untuk
berat badan >10 kg dalam normal salin agar menjadi 3 ml dibandingkan dengan plasebo.
Semua memperoleh terapi suportif seperti oksien, cairan intravena, isap lendir, dan fisioterapi.
Keluaran yang dinilai berupa keluaran primer dan sekunder. Keluaran primer yaitu perbaikan
saturasi O2 dan waktu yang dibutuhkan hingga penderita memenuhi kriteria pulang (SaO2,
penggunaan otot bantu napas, dan mengi). Keluaran sekunder yaitu lama perawatan. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa nebulisasi albuterol tidak mempercepat penyembuhan atau
mengurangi beratnya penyakit.
King juga mengkaji 13 penelitian yang menilai berbagai macam bronkodilator, sebagian
dengan perlakuan ganda, dengan jumlah subyek seluruhnya 956. Sebelas penelitian
membandingkan salbutamol atau albuterol dengan salin plasebo, nebulisasi salin plasebo atau
plasebo yang tidak dijelaskan atau kontrol. Empat penelitian membandingkan dengan nebulisasi
ipratropium-bromida, 2 penelitian membandingkan dengan salbutamol atau albuterol oral. Satu
penelitian membandingkan salbutamol MDI (metered dose inhaler) dengan salbutamol oral.
Keluaran yang diteliti umumnya hal-hal pengganti (surrogate measures) misalnya perbaikan
skor klinis, dan berlangsung jangka pendek. Keragaman dan perbedaan obat, dosis, delivery
system, setting dan keluaran menyulitkan perbandingan atau penilaian umum. Tujuh penelitian
menilai hal-hal yang mempengaruhi lama perawatan, ternyata tidak ada perbedaan bermakna
pada berbagai kelompok. Dari 12 penelitian dengan pembanding salin plasebo, tiga di
antaranya menunjukkan perbaikan berbagai pengukuran klinis jangka pendek, yaitu 30–60
menit pascaperlakuan dengan nebulisasi bronkodilator, tetapi satu penelitian bahkan
memburuk. Enam penelitian tidak melaporkan efek samping, tujuh penelitian melaporkan
peningkatan HR dan penurunan sementara saturasi oksigen. Nebulisasi ipratropium-bromida
bersama salbutamol dibandingkan satu sama lain secara tunggal dan plasebo pada penelitian
dengan empat perlakuan. Penelitian lain membandingkan nebulisasi ipratropium-bromida
dengan nebulisasi salbutamol, dan yang lain membandingkan nebulisasi ipratropium-bromida
ditambah albuterol dengan albuterol ditambah saline plasebo. Pada pengamatan lama
perawatan dan perbaikan skor klinis pada penelitian dengan salbutamol semua tidak
menunjukkan perbedaan yang bermakna. Satu penelitian menunjukkan perbaikan saturasi
oksigen pada gabungan ipratropium-bromida dengan salbutamol yang dibandingkan dengan
hanya ipratropium-bromida atau salbutamol sendiri-sendiri, tetapi bila gabungan ini
dibandingkan dengan plasebo tidak menunjukkan perbedaan yang bermakna. Tidak ada
perbedaan bermakna antara RR pada albuterol ditambah saline plasebo, dan RR pada
ipratropium-bromid ditambah albuterol.
5.9.6.2 Kortikosteroid
Garrison dkk. melakukan meta-analisis steroid sistemik pada pengobatan bronkiolitis untuk
menjawab dua pertanyaan primer. Pertanyaan pertama, apakah pengobatan steroid sistemik
pada bayi yang dirawat dengan bronkiolitis berhubungan dengan penurunan lama rawat di
rumah sakit? Pertanyaan kedua, apakah pengobatan tersebut dapat mengurangi gejala?
Kortikosteroid yang digunakan adalah prednison, prednisolon, metilprednison,
hidrokortison, dan deksametason. Untuk penyamaan dilakukan konversi rata-rata dosis per hari
serta rata-rata total paparan obat tersebut dalam equivalen mg/kgBB prednison. Rata-rata dosis
per hari berkisar antara 0,6−6,3 mg/kgBB, dan rata-rata total paparan antara 3,0−18,9
301
mg/kgBB. Cara pemberian adalah secara oral, intramuskular, dan intravena. Tidak ada efek
merugikan yang dilaporkan.
Hasil meta-analisis menunjukkan bahwa penggunaan kortikosteroid pada bronkiolitis
lebih efektif daripada yang dilaporkan sebelumnya, yaitu kortikosteroid menyebabkan
penurunan skor gejala klinis dan lamanya perawatan di rumah sakit yang bermakna secara
statistik. Sangat mungkin keuntungan kortikosteroid bergantung pada beratnya penyakit saat
dimulainya pengobatan.
Penelitian tersebut juga menemukan bahwa penderita yang tidak menggunakan
ventilator, atau penderita yang mempunyai skor gejala lebih tinggi ketika masuk, lebih
responsif terhadap pengobatan. Ada dua implikasi penelitian, yaitu yang pertama; karena
hasilnya didapat pada kasus berat, maka tidak dapat digeneralisasikan pada semua penderita
rawat jalan, dan kedua; semakin berat penyakit maka semakin banyak keuntungan yang
diperoleh dengan pemberian steroid sistemik. Ini merupakan sasaran pemberian kortikosteroid
yang memerlukan penelitian lebih lanjut.
Keluaran yang diukur dari berbagai penelitian adalah perbaikan klinis baik diukur dengan
maupun tanpa skor klinis, lama penggunaan oksigen, dan lama perawatan. Karena lama
perawatan dapat bergantung pada faktor nonmedis, maka beberapa penelitian menggunakan
kriteria kesiapan pulang.
Penelitian multisenter randomised double blind placebo controlled dilakukan oleh Cade
dkk. di lima rumah sakit di West Yorkshire. Seratus enam puluh satu bayi yang dirawat selama
musim dingin tahun 1995–1996 dinebulisasi 1 mg budesonid atau plasebo, diberikan dua kali
sehari hingga 2 minggu setelah pulang, dan dilakukan pemantauan selama 12 minggu.
Keluaran yang dinilai adalah lama perawatan, waktu yang diperlukan hingga bebas gejala,
angka perawatan kembali, kunjungan ke dokter, dan penggunaan obat untuk mengatasi mengi.
Hasilnya menunjukkan tidak ada keuntungan klinis jangka pendek maupun jangka panjang
pada pemberian nebulisasi kortikosteroid pada bronkiolitis fase akut. Untuk memastikan bahwa
tidak ada yang terlewat dari efek sesaat kortikosteroid pada gejala, peneliti melakukan analisis
data 1 bulan setelah penderita pulang dan data keseluruhan setelah 12 minggu. Rata-rata hari
batuk dan/atau mengi selama 28 hari setelah pulang sama dengan selama 12 minggu yaitu 17
hari dibandingkan 17,1 hari. Kemungkinan tidak terlihatnya efek perbaikan oleh kortikosteroid
adalah karena deposisi di paru sedikit. Pada bayi dengan asma atau anak kecil dengan tidal
breathing yang normal, hanya kurang dari 20% dosis budesonid nebulisasi yang masuk ke
mulut. Peneliti memperkirakan deposisi di paru mungkin bahkan lebih sedikit lagi karena adanya
takipnea, air trapping, dan sekresi berlebihan akibat bronkiolitis.
King melakukan meta-analisis penelitian dengan kortikosteroid, dengan cara oral,
parenteral, maupun inhalasi. Pada lima penelitian kortikosteroid oral dibandingkan dengan
plasebo, empat penelitian meneliti angka dan lamanya perawatan dengan hasil: satu penelitian
dengan deksametason menunjukkan angka yang lebih rendah, tetapi penelitian dengan
dekametason lain tidak menunjukkan perbedaan bermakna; penelitian dengan prednisolon
menunjukkan lama perawatan lebih rendah pada bayi yang menggunakan ventilator; penelitian
oral prednison justru menunjukkan lebih tingginya angka perawatan. Penelitian dengan
prednisolon ditambah nebulisasi albuterol menunjukkan perbaikan skor klinis pada hari ke-2,
tetapi perbedaan ini tidak terlihat pada hari ke-3–6.
Kortikosteroid deksametason intramuskular maupun intravena, dibandingkan dengan
plasebo, tidak menunjukkan perbedaan pada lama perawatan maupun waktu yang dibutuhkan
untuk perbaikan gejala klinis. Pada enam penelitian kortikosteroid per inhalasi, lima nebulisasi
budesonid atau dengan metered dose inhaler (MDI) dan satu flutikason propionat MDI
diberikan selama 2 minggu–3 bulan, memiliki kualitas penelitian yang lebih rendah daripada
302
secara oral maupun parenteral. Hasilnya menunjukkan berkurangnya kebutuhan terapi inhalasi
2 tahun kemudian pada kelompok yang menggunakan budesonid selama 2 bulan dibandingkan
dengan selama 7 hari dan kelompok kontrol. Dua penelitian menunjukkan memburuknya gejala
klinis jangka lama seperti mengi, batuk 1 tahun kemudian, atau perawatan kembali di rumah
sakit 6 bulan kemudian. Penggunaan flutikason propionat selama 3 bulan dibandingkan dengan
plasebo menunjukkan berkurangnya episode batuk malam pada minggu ke-36 pascaterapi,
tetapi tidak ada perbedaan gejala batuk dan mengi pada minggu ke-3,6,12 dan 24.
Barben & Hammer merangkum terapi di bagian rawat jalan dan rawat inap. Di bagian
rawat jalan dilaporkan penggunaan 99% salbutamol, dan 30% ipratropium-bromida
dikombinasikan dengan salbutamol. Kortikosteroid digunakan 90%, dengan cara penggunaan
80% inhalasi, 41% sistemik. Kromoglikat digunakan 18%. Di bagian rawat inap penggunaannya
adalah 96% salbutamol, 55% ipratropium-bromida (sebagian besar dikombinasi dengan
salbutamol). Kortikosteroid pada 85% terutama inhalasi. Teofilin digunakan pada 17%, dan
ribavirin 8%.
European Society for Pediatrics Infection Disease (SPID) tahun 1995 meneliti 88 pusat
pelayanan di 19 negara. Dilaporkan penggunaan bronkodilator, yaitu; 61% secara rutin dan
34% pada bayi resiko tinggi. Steroid 11% digunakan secara regular dan 69% pada bayi resiko
tinggi.
Pediatric Investigators Collaborative Network on Infections, Kanada tahun 1996 meneliti
9 rumah sakit pelayanan tingkat 3 secara retrospektif. Dilaporkan penggunaan bronkodilator
85% dan steroid 28% secara regular.
Consensus of Australian Pediatric Respiratory Group 1993 melaporkan penggunaan
bronkodilator hanya 5% secara rutin; steroid hanya digunakan 1% secara rutin.
Perbedaan penggunaan bronkodilator maupun steroid ini mencerminkan kebiasaan tiap
negara yang disesuaikan dengan masing-masing Panduan Nasional maupun konsensus yang
berdasarkan bukti.
Dari pemikiran bahwa bronkiolitis terjadi pada anak dengan kecenderungan asma maka
kortikosteroid lebih efektif pada anak dengan predisposisi asma dari pada dengan anak yang
tidak. Karena faktor predisposisi tersebut tidak dapat diidentifikasi sebelumnya, maka
penggunaan kortikosteroid harus dipertimbangkan dengan bijaksana pada bayi yang dirawat
dengan bronkiolitis
5.9.6.3 Ribavirin
Ribavirin yaitu suatu purin nucleoside derivate guanosine sintetik bekerja mempengaruhi
pengeluaran mRNA virus yang mencegah sintesis protein. Sejak diizinkan penggunaannya pada
tahun 1985 oleh Food and Drug Administrasion (FDA), ribavirin telah digunakan secara luas di
Amerika Utara untuk bayi risiko tinggi bronkiolitis yang disebabkan oleh RSV. Karena beberapa
penelitian menunjukkan hasil yang bertentangan, maka American Academy of Pediatrics (AAP)
merevisi rekomendasinya tentang penggunaan ribavirin, dari "should be" menjadi "may be
considered".
Cochrane review menyimpulkan bahwa ribavirin tidak menunjukkan efek positif yang
menetap. Guerguerian meneliti efektifitas klinis ribavirin pada bayi yang sebelumnya sehat
kemudian menggunakan ventilator karena distress respirasi akibat bronkiolitis RSV. Digunakan
ribavirin aerosol 20mg/ml dibandingkan dengan plasebo yaitu NaCl 0,9% diberikan 18 jam per
hari selama maksimum 7 hari atau sampai ekstubasi. Hasilnya menunjukan aerosol ditoleransi
dengan baik dan tidak dilaporkan adanya kematian namun analisis keluaran menunjukkan tidak
ada perbedaan bermakna pada kedua kelompok perlakuan pada lamanya penggunaan
ventilator, terapi aerosol, lama perawatan di unit intensif, total terapi oksigen, dan lama
303
perawatan di rumah sakit. Penelitian ini menunjukan tidak efektifnya ribavirin aerosol untuk
mengurangi lamanya penggunaan ventilator dan perjalanan penyakit pada bayi yang menderita
bronkiolitis RSV. Dilaporkan adanya plugging karena sisa ribavirin di pipa endotrakeal dan
ventilation circuit. Meert tahun 1994 juga menyatakan bahwa ribavirin tidak mengurangi
lamanya ventilasi mekanik.
Sebaliknya, Edell yang meneliti secara prospektif pada bayi dengan bronkiolitis RSV
berat sebelum 5 hari dari gejala awal segera diberi ribavirin dosis tinggi jangka pendek:
60mg/ml selama 2 jam, diberikan 3 kali sampai total 6g/100ml tiap 24 jam selama 3 hari
dibandingkan dengan terapi konservatif. Pemberian terapi konservatif berupa O2 untuk
mempertahankan saturasi O2 transkutan > 92%, cairan intravena, nebulisasi 2,5 mg albuterol
tiap 3–4 jam, methylprednisolone 1 mg/kg berat badan/kali intravena tiap 12 jam selama 3 hari
dan ranitidin oral 3 mg/kg per kali tiap 12 jam. Pada pengamatan 1 tahun kemudian kelompok
ribavirin mempunyai lebih sedikit episode penyakit saluran respiratori reaktif (2,7±2,3 dibanding
6,2±4,2 episode per pasien/tahun), berat penyakit saluran respiratori reaktif berkurang (0,08
dibanding 1,09 penyakit sedang sampai berat per pasien/tahun ),dan perawatan oleh karena
penyakit saluran respiratori berkurang (25 hari perawatan dibanding 90/100 pasien/tahun).
Edell menyimpulkan pemberian ribavirin dini kurang dari 5 hari akan mengurangi insidens dan
beratnya penyakit saluran respiratori reaktif maupun perawatan di rumah sakit, sehingga akan
mengurangi biaya. Efek yang menguntungkan ini mungkin juga efek sinergistik pemberian
ribavirin sedini mungkin ditambah pengobatan lain yang berpotensi mengurangi reaktivitas
saluran respiratori. Beberapa penelitian yang melaporkan hasil positif dengan ribavirin adalah
Smith, yang menunjukkan berkurangnya waktu penggunaan ventilator; Garrison melaporkan
perbaikan fungsi paru yang dinyatakan dengan berkurangnya wheezing, penyakit saluran
respiratori reaktif dan pneumonia.
Data invitro menunjukkan pemberian 1 kali saja ribavirin sedini mungkin pada kultur sel trakea
yang diinfeksi RSV akan menurunkan konsentrasi kemokin dan menurunkan tingkat inflamasi.
Pemberian ribavirin dini dapat mengurangi resiko inflamasi karena virus yang mengakibatkan
jejas paru.
Hasil yang tidak konsisten antar berbagai penelitian ini dapat dijelaskan dengan
perbedaan banyaknya virus dan pelepasan kemokin dalam stadium penyakit yang berbeda,
waktu pemberian ribavirin, plasebo yang berbeda pada beberapa penelitian (NaCl 0,9%,atau
air), variabel perancu, dan sampel yang kecil menyebabkan kekuatan statistik rendah.
304
Recombinant Human Deoxyribonuclease 1 (rhDNase 1)
Patofisiologi bronkiolitis yaitu inflamasi, edema dan produksi mukus akan menyebabkan mucous
plug. Sebagian atau seluruh saluran respiratori dapat tersumbat, kemudian udara dapat
terperangkap, sehingga dapat terjadi hiperinflasi atau atelektasis. Oleh karena sel-sel inflamasi
mengalami lisis, maka terbentuk banyak DNA pada mucous plug. DNA akan menyebabkan
peningkatan viskositas dan meningkatkan daya lekat sekret. Oleh karena itu, rhDNase dapat
digunakan sebagai mukolitik yang efektif, dan hal ini sudah dibuktikan pada fibrosis kistik. Nasr
melakukan suatu randomized, double-blind, placebo controlled trial, yaitu nebulisasi rhDNase
solusion 1 mg/ml pada 2,5 ml pelarut (terdiri dari 150 mM NaCl, 1,5 mM CaCl dengan pH 6)
satu kali per hari selama 5 hari yang dibandingkan dengan plasebo. Kedua kelompok juga
mendapatkan nebulisasi albuterol. Keluaran yang dinilai adalah skor klinis dan skor radiologis
dada. Hasil penelitian menunjukkan bahwa skor klinis dan saturasi oksigen tidak berbeda
bermakna, sedangkan skor gambaran radiologis dada berbeda bermakna. Selain itu dilaporkan
juga bahwa lama perawatan menjadi lebih pendek. Tidak dilaporkan adanya efek samping.
Kriteria pulang pada bronkiolitis adalah bila tidak diperlukan pemberian oksigen selama
10 jam terakhir (ditandai dengan saturasi oksigen menetap di atas 93% atau stabil selama 4
jam), retraksi dada minimal, mampu makan/minum, dan perbaikan tanda klinis yang lain.
5.9.7 Pencegahan
5.9.7.1 Immunoglobulin
Pendekatan profilaksis pada populasi risiko tinggi adalah meningkatkan (augmentation) antibodi
yang menetralisisasi (neutralizing antibody) protein F dan G dengan cara pemberian dari luar
dan imunisasi ibu. Pada manusia, efek imunoglobulin yang mengandung RSV neutralizing
antibody titer tinggi atau antibodi monoklonal terhadap protein F akan mengurangi beratnya
penyakit. Bila pada bayi prematur atau bayi dengan penyakit paru kronis diberikan RSV
hyperimmune globulin atau antibodi monoklonal terhadap protein F yang disebut dengan
Palivizumab setiap bulan, diberikan secara intramuskuler tiap hari, lama perawatan RSV akan
berkurang secara bermakna. Akan tetapi, risiko efek samping kemungkinan meningkat pada
bayi dengan penyakit jantung sianotik. AAP merekomendasikan profilaksis pada musim RSV
boleh diberikan hanya pada bayi dengan risiko tinggi yang tidak menderita penyakit jantung
sianotik.
Sebaiknya profilaksis hanya diberikan pada bayi dengan penyakit paru kronis atau bayi
prematur yang mempunyai banyak faktor risiko untuk dirawat di rumah sakit. Rodriguez
meneliti pemberian RSVIG (RSV immunoglobulin) dengan dosis 1500 mg/kgBB, dibandingkan
dengan infus plasebo albumin. Hasilnya menunjukkan bahwa bayi dengan penyakit paru ringan
tidak memperoleh keuntungan dari RSVIG, tetapi bayi dengan penyakit lebih berat mempunyai
1,6 hari perawatan yang lebih singkat dan 2,7 hari perawatan di ICU yang lebih cepat.
Keputusan menggunakan palivizumab harus mempertimbangkan efektivitas, keamanan,
serta individu atau populasi risiko tinggi untuk menderita RSV berat.
5.9.7.2 Vaksinasi
Karena besarnya masalah kesehatan masyarakat yang ditimbulkan oleh RSV yang memerlukan
perawatan di rumah sakit, dan menghabiskan biaya perawatan yang cukup besar, maka
dilakukan penelitian terhadap vaksin RSV. Fisher menjelaskan karakteristik infeksi RSV pada
bayi dan anak yang tidak dirawat di rumah sakit, dan kelompok tersebut akan menjadi target
pencegahan karena sangat berisiko menderita penyakit RSV berat.
305
Sesudah penelitian dengan vaksin inaktif, dikembangkan vaksin live-attenuated. Vaksin
RSV pertama, yang terdiri dari cold-passaged mutan, efektif untuk orang dewasa, tetapi pada
anak terlalu virulen dan tidak stabil karena dapat berubah menjadi virus biasa kembali.
Kemudian, dari permukaan glikoprotein murni dikembangkan DNA dan peptik sintetik. Vaksin
live-attenuated mempunyai kelebihan, yaitu dapat diberikan intranasal dan menginduksi
imunitas mukosa dan sistemik.
Menurut Murphy, vaksin live-attenuated sangat menjanjikan berdasarkan virus yang
disebut dengan cpRSV yang dibuat dengan extensive passage pada temperatur subptimal.
cpRSV hanya bisa sedikit dilemahkan pada simpanse dan manusia dan mengandung 5 non-ts
amino acid substitusions pada tiga protein (N, F, dan L). Selanjutnya, ketiganya menjadi fenotip
yang dilemahkan. Tidak ada satu pun dari kandidat vaksin RSV yang didapat secara biologis
terbukti cukup lemah untuk digunakan sebagai vaksin untuk anak. Akan tetapi, dapat dianggap
sebagai suatu awal dari proses untuk selanjutnya dilemahkan dengan reverse genetics.
Antigenic chimeric virus memberikan cara cepat pengembangan kandidat vaksin baru namun
harus sangat dipertimbangkan penggunaannya. Epidemiologi RSV, PIV1, P1V2, dan PIV3
(Parainfluenza virus serotipe 1,2,3) menunjukkan bahwa akan lebih tepat memberikan vaksinasi
secara berkala dan dengan mempertimbangkan usia anak. Dianjurkan pemberian live-
attenuated RSV dan PIV3 sebagai vaksin kombinasi sebanyak dua atau tiga kali, dengan dosis
pertama sebelum atau pada usia 1 bulan, diikuti dengan vaksin bivalen PIV1 dan PIV2 pada
usia 4 dan 6 bulan. Fisher juga menganjurkan dua dosis untuk menstimulasi imunitas. Secara
umum, imunisasi merupakan masalah yang kompleks, karena imunisasi harus lengkap pada
bulan pertama kehidupan tetapi bayi muda masih sulit menstimulasi imunitas yang memadai.
Subcommittee on Diagnosis and Management of Bronchiolitis .American Academy of
Pediatrics 2006 memberikan panduan berdasar bukti yang telah disetujui oleh The American
Academy of Family Physicians, the American College of Chest Physicians dan The American
Thoracic Society sebagai berikut12:
1. Klinisi seharusnya mendiagnosis bronkiolitis dan menilai beratnya penyakit berdasarkan
riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik. Secara rutin tidak diperlukan pemeriksaan
radiologi dan laboratorium
2. Untuk membuat keputusan mengenai penatalaksanaan dan evaluasi bronkiolitis harus
dinilai faktor risiko beratnya penyakit seperti umur <12 minggu, riwayat prematuritas,
penyakit jantung paru yang mendasari, atau immunodefisiensi.
3. Bronkodilator seharusnya tidak rutin digunakan pada penatalaksanaan bronkiolitis
4. Dapat diberikan terapi α-adrenergik atau ß-adrenergik dengan pengawasan ketat.
Bronkodilator inhalasi sebaiknya dilanjutkan hanya jika terdapat respons klinis positif
nyata dengan menggunakan alat evaluasi yang objektif.
5. Terapi kortikosteroid seharusnya tidak rutin digunakan.
6. Ribavirin tidak rutin digunakan.
7. Terapi antibakteri seharusnya hanya digunakan khusus pada anak dengan bronkiolitis
bersamaan dengan infeksi sekunder.
8. Bila diberikan Palivizumab profilaksis harus diberikan setiap bulan sampai 5 kali dengan
dosis 15 mg/kg per kali secara intramuskuler mulai bulan November atau Desember.
9. Harus dinilai hidrasi dan kemampuan minum per oral.
10. Fisioterapi dada seharusnya tidak rutin digunakan.
11. Indikasi pemberian oksigen adalah jika SpO2 selalu dibawah 90% pada bayi yang
sebelumnya sehat. Jika SpO2 terus dibawah 90% harus diberikan oksigen untuk
mempertahankan Sp O2 diatas 90%. Oksigen dapat dihentikan jika SpO2 ≥90% dan
bayi dapat minum dengan baik dan distress respirasinya ringan.
306
12. Ketika terjadi perbaikan klinis anak, tidak rutin diperlukan penilaian SpO2 terus menerus.
13. Bayi prematur atau yang mempunyai riwayat penyakit jantung paru yang mengganggu
hemodinamik memerlukan monitoring ketat saat oksigen dihentikan.
14. Dianjurkan pemberian ASI pada bayi untuk mengurangi risiko terjadinya infeksi saluran
nafas bawah.
15. Bayi harus dihindarkan dari asap rokok.
16. Perlu dilakukan edukasi tentang kebersihan tangan dan cara desinfeksinya pada petugas
kesehatan dan keluarga penderita dengan alkohol atau sabun antiseptik.
5.9.8 Prognosis
Beberapa studi kohort menghubungkan infeksi bronkiolitis akut berat pada bayi akan
berkembang menjadi asma. Suatu studi kohort prospektif menemukan bahwa 23% bayi dengan
riwayat bronkiolitis berkembang menjadi asma pada usia 3 tahun, dibandingkan dengan 1%
pada kelompok kontrol (OR: 28; 95% Cl: 4−1235).
Penelitian di Norwegia menunjukkan bahwa bayi yang dirawat dengan bronkiolitis
mempunyai kecenderungan menderita asma dan penurunan fungsi paru pada usia 7 tahun
dibandingkan dengan kontrol. Hal ini menunjukkan adanya hiperreaktivitas bronkial yang
menetap selama beberapa tahun setelah menderita bronkiolitis pada bayi muda, baik pada RSV
positif maupun RSV negatif.
Sekitar 40–50% bayi yang dirawat dengan bronkiolitis karena RSV akan menderita
mengi di kemudian hari. Peran virus respiratori pada mengi dijelaskan dengan kesamaan
respons inflamasi yang ditunjukkan pada serangan asma dan infeksi virus. Infeksi RSV
dihubungkan dengan respons sel T, yang terutama ditandai dengan produksi sitokin oleh sel Th
tipe 2; hal yang juga terjadi pada asma. Keadaan ini ditandai dengan penggunaan sel T dan
eosinofil, serta pelepasan mediator yang larut (histamin, kinin, dan leukotrien lain). Pada anak
dengan bronkiolitis, mengi yang lebih sering dan berat berhubungan dengan peningkatan kadar
antibodi IgE terhadap RSV dan virus Parainfluenza, menunjukkan antibodi yang dirangsang
virus meningkatkan pelepasan mediator inflamasi. RSV juga dapat mempengaruhi mengi
dengan cara mengubah jalur saraf yang menyebabkan responsifnya saluran respiratori.
Jumlah eosinofil pada saat bronkiolitis lebih banyak pada bayi yang nantinya akan
menderita mengi pada usia 7 tahun, yaitu median 98 sel/mm3. Adanya eosinofilia meramalkan
bahwa mengi akan berlanjut pada masa anak-anak. Hal ini diterangkan dengan kelainan
imunologis yang mendahului bronkiolitis atau yang dipicu oleh bronkiolitis, dan bukan karena
kerusakan struktural jalan napas yang disebabkan bronkiolitis. Telah diteliti pengaruh riwayat
keluarga dengan asma, jenis kelamin, dan paparan pasif asap rokok, tetapi hanya eosinofilia
yang mempunyai hubungan bermakna.
Tidak dapat dibuktikan secara jelas bahwa bronkiolitis terjadi pada anak dengan
kecenderungan asma, tetapi bila bayi yang terkena bronkiolitis dihubungkan dengan asma,
keberhasilan pengobatan dengan kortikosteroid mungkin dapat mengurangi prevalens asma
pada anak dari kelompok pengobatan.
Daftar pustaka
1. Louden M. Pediatric bronchiolitis. 2001. Diunduh dari:
http://www.emedicine.com/EMERG/topic365.htm. Diakses pada 26 Juli 2005.
2. Orenstein DM. Bronchiolitis. Dalam: Nelsons textbook of pediatrics. Edisi ke-16. Philadelphia: WB
Saunders Co.; 2000. h. 1285–7.
307
3. Bordley WC, Viswanathan M, King VJ, Sutton SF, Jackman AM, Sterling L, dkk. Diagnosis and testing
in bronchiolitis. Arch Pediatr Adolesc Med 2004;158:119–26.
4. Phelan PD, Olinsky A, Robertson CF. The epidemiology of acute respiratory infection. Dalam:
Respiratory illness in children. Oxford: Blackwell Scientific Publications; 1990. h. 27–51.
5. Shay DK, Holman RC, Newman RD, Liu LL, Stout JW, Anderson LJ. Bronchiolitis-associated
hospitalizations among US children, 1980–1996. JAMA 1999;282:1440–6.
6. Fjaerli H, Farstad T, Bratlid D. Hospitalisations for respiratory syncytial virus bronchiolitis in
Akershus, Norway, 1993–2000: a population-based retrospective study. BMC Pediatrics 2004;4:25.
7. Iwane MK, Edwards KM, Szilagyi PG, Walker FJ, Griffin MR, Weinberg GA, dkk. Population-based
surveillance for hospitalizations associated with respiratory syncytial virus, Influenza virus, and
Parainfluenza viruses among young children. Pediatrics 2004;113:1758–64.
8. Bradley JP, Bacharier LB, Bonfiglio J, Schechtman KB, Strunk R, Storch G, dkk. Severity of
respiratory syncytial virus bronchiolitis is affected by cigarette smoke exposure and atopy. Pediatrics
[serial online]. 2005;115;e7–14. Diunduh dari: www.pediatrics.org. Diakses pada 18 Juni 2005.
9. Abul-Ainine A, Luyt D. Short term effects of adrenaline in bronchiolitis: a randomized controlled trial.
Arch Dis Child 2002;86:276–9.
10. Dobson JV, Stephens-Groff SM, McMahon SR, Stemmler MM, Brallier SL, Bay C. The use of albuterol
in hospitalized infants with bronchiolitis. Pediatrics 1998;101:361–8.
11. Wainwright C, Altamirano L, Cheney M, Cheney J, Barber S, Price D, dkk. A multicenter, randomized,
double-blind, controlled trial of nebulized epinephrine in infants with acute bronchiolitis. N Eng J
Med 2003;349:27–35.
12. Wohl ME, Chernick V. Treatment of acute bronchiolitis. N Engl J Med 2003;349:82–3.
13. King VJ, Viswanathan M, Bordley WC, Jackman AM, Sutton SF, Lohr KN, dkk. Pharmacologic
treatmant of bronchiolitis in infants and children. Arch Pediatr Adolesc Med 2004;158:127–37.
14. Perlstein PH, Kotagal UR, Bolling C, Steele R, Schoettker PJ, Atherton HD, dkk. Evaluation of an
evidence-based guideline for bronchiolitis. Pediatrics 1999;104:1334–41.
15. Flores G, Horwitz RI. Efficacy of 2-agonis In bronchiolitis: a reappraisal and meta-analysis.
Pediatrics 1999;100:233–9.
16. Garrison MM, Christakis DA, Harvey E, Cummings P, Davis RL. Systemic corticosteroids in infant
bronchiolitis: a meta-analysis. Pediatrics 1999;105–10.
17. Cade A, Brownlee KG, Conway SP, Haigh D, Short A, Brown J, dkk. Randomised placebo controlled
trial of nebulised corticosteroids in acute respiratory syncytial viral bronchiolitis. Arch Dis Child
2000;82:126–30.
18. Barben J, Hammer J. Current management of acute bronchiolitis in Switzerland. Swiss Med Wkly
2003;133:9–15.
19. Guerguerian A, Gauthier M, Lebel M, Farrell CA, Lacroix J. Ribavirin in ventilated respiratory syncytial
virus bronchiolitis. Am J Respir Crit Care Med 1999;160:829–34.
20. Edell D, Khoshoo V, Ross G, Salter K. Early ribavirin treatment of bronchiolitis. Chest 2002;122:935–
9.
21. Martinon-Torres F, Rodriguez-Nunez A, Martinon-Sanchez JM. Heliox therapy in infants with acute
bronchiolitis. Pediatrics. 2002;109:68–73.
22. Nasr SZ, Strouse PJ, Soskoine E, Maxvold NJ, Garver KA, Rubin BK, dll. Efficacy of recombinant
human deoxyribonuclease I in the hospital management of respiratory sincytial virus bronchiolitis.
The American College of Chest Physicians 2001;120:1–9.
23. Hall CB. Respiratory Syncytial Virus and Parainfluenza Virus. N Engl J Med 2001;25:1917–28.
24. Joffe S, Ray GT, Escobar GJ, Black SB, Lieu TA. Cost-effectiveness of Respiratory Syncytial Virus
prophylaxis among preterm infants. Pediatrics 1999;104:419–27.
25. Rodriguez WJ, Gruber WC, Groothuis JR, Simoes EAF, Rosas AJ, Lepow M, dkk. Respiratory
Syncytial Virus immune globulin treatment of RSV lower respiratory tract infection in previously
healthy children. Pediatrics 1997;100:937–42.
26. Fisher RG, Gruber WC, Edwards KM, Reed GW, Tollefson SJ, Thompson JM, dkk. Twenty years of
outpatient Respiratory Syncytial Virus infection : a framework for vaccine efficacy trials. Pediatrics
[serial online] 1997;99(2). Diunduh dari: www.pediatrics.org. Diakses pada 16 Maret 2005.
308
27. Murhpy BR, Collins PL. Live-attenuated virus vaccines for Respiratory Syncytial and Parainfluenza
Viruses: applications of reverse genetics. J Clin Invest 2002;110:21–7.
28. Fjærli H, Farstad T, Rod G, Ufert GK, Gulbrandsen P, Nakstad B. Acute bronchiolitis in infancy as risk
factor for wheezing and reduced pulmonary function by seven years in Akershus County, Norway.
BMC Pediatrics 2005;5:31.
29. Ehlenfield DR, Cameron K, Welliver RC. Eosinophilia at the time of Respiratory Syncytial Virus
bronchiolitis predicts chilhood reactive airway disease. Pediatrics 2000;105:79–83.
30. Clinical Practice Guideline. American Academy of Pediatrics 2006. Diunduh dari www.pediatrics.org.
309
5.10 Pneumonia
Mardjanis Said
Pneumonia hingga saat ini masih tercatat sebagai masalah kesehatan utama pada anak di
negara berkembang. Pneumonia merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas anak
berusia di bawah lima tahun (balita). Diperkirakan hampir seperlima kematian anak diseluruh
dunia, lebih kurang 2 juta anak balita, meninggal setiap tahun akibat pneumonia, sebagian
besar terjadi di Afrika dan Asia Tenggara. Menurut survei kesehatan nasional (SKN) 2001,
27,6% kematian bayi dan 22,8% kematian balita di Indonesia disebabkan oleh penyakit sistem
respiratori, terutama pneumonia.
Terdapat berbagai faktor risiko yang menyebabkan tingginya angka mortalitas
pneumonia pada anak balita di negara berkembang. Faktor risiko tersebut adalah: pneumonia
yang terjadi pada masa bayi, berat badan lahir rendah (BBLR), tidak mendapat imunisasi, tidak
mendapat ASI yang adekuat, malnutrisi, defisiensi vitamin A, tingginya prevalens kolonisasi
bakteri patogen di nasofaring, dan tingginya pajanan terhadap polusi udara (polusi industri atau
asap rokok).
Pneumonia adalah inflamasi yang mengenai parenkim paru. Sebagian besar disebabkan
oleh mikroorganisme (virus/bakteri) dan sebagian kecil disebabkan oleh hal lain (aspirasi,
radiasi dll). Pada pneumonia yang disebabkan oleh kuman, menjadi pertanyaan penting adalah
penyebab dari Pneumonia (virus atau bakteri). Pneumonia seringkali dipercaya diawali oleh
infeksi virus yang kemudian mengalami komplikasi infeksi bakteri. Secara klinis pada anak sulit
membedakan pneumonia bakterial dengan pneumonia viral. Demikian pula pemeriksaan
radiologis dan laboratorium tidak menunjukkan perbedaan nyata. Namun sebagai pedoman
dapat disebutkan bahwa pneumonia bakterial awitannya cepat, batuk produktif, pasien tampak
toksik, leukositosis, dan perubahan nyata pada pemeriksaan radiologis.
Pola bakteri penyebab pneumonia biasanya berubah sesuai dengan distribusi umur
pasien. Namun secara umum bakteri yang berperan penting dalam pneumonia adalah
Streptococcus pneumoniae, Hemophilus influenzae, Staphylococcus aureus, streptokokus grup
B, serta kuman atipik klamidia dan mikoplasma. Walaupun pneumonia viral dapat ditatalaksana
tanpa antibiotik, tapi umumnya sebagian besar pasien diberi antibiotik karena infeksi bakteri
sekunder tidak dapat disingkirkan.
Di negara berkembang, pneumonia pada anak terutama disebabkan oleh bakteri. Bakteri
yang sering menyebabkan pneumonia adalah Streptococcus pneumoniae, Haemophilus
influenzae, dan Staphylococcus aureus. Pneumonia yang disebabkan oleh bakteri-bakteri ini
umumnya responsif terhadap pengobatan dengan antibiotik beta-laktam. Di lain pihak, terdapat
pneumonia yang tidak responsif dengan antibiotik beta-laktam dan dikenal sebagai pneumonia
atipik. Pneumonia atipik terutama disebabkan oleh Mycoplasma pneumoniae dan Chlamydia
pneumoniae.
Berdasarkan tempat terjadinya infeksi, dikenal dua bentuk pneumonia, yaitu: 1)
pneumonia-masyarakat (community-acquired pneumonia), bila infeksinya terjadi di masyarakat,
dan 2) pneumonia-RS atau pneumonia nosokomial (hospital-acquired pneumonia), bila
infeksinya didapat di RS. Selain berbeda dalam lokasi tempat terjadinya infeksi, kedua bentuk
pneumonia ini juga berbeda dalam spektrum etiologi, gambaran klinis, penyakit dasar atau
penyakit penyerta, dan prognosisnya. Pneumonia yang didapat di RS sering merupakan infeksi
sekunder pada berbagai penyakit dasar yang sudah ada, sehingga spektrum etiologinya
310
berbeda dengan infeksi yang terjadi di masyarakat. Oleh karena itu, gejala klinis, derajat
beratnya penyakit, dan komplikasi yang timbul lebih kompleks. Pneumonia yang didapat di RS
memerlukan penanganan khusus sesuai dengan penyakit dasarnya.
Bab ini hanya akan membahas mengenai pneumonia-masyarakat.
5.10.1 Etiologi
Usia pasien merupakan faktor yang memegang peranan penting pada perbedaan dan kekhasan
pneumonia anak, terutama dalam spektrum etiologi, gambaran klinis, dan strategi pengobatan.
Spektrum mikroorganisme penyebab pada neonatus dan bayi kecil berbeda dengan anak yang
lebih besar. Etiologi pneumonia pada neonatus dan bayi kecil meliputi Streptococcus group B
dan bakteri Gram negatif seperti E. colli, Pseudomonas sp, atau Klebsiella sp. Pada bayi yang
lebih besar dan anak balita, pneumonia sering disebabkan oleh infeksi Streptococcus
pneumoniae, Haemophillus influenzae tipe B, dan Staphylococcus aureus, sedangkan pada anak
yang lebih besar dan remaja, selain bakteri tersebut, sering juga ditemukan infeksi Mycoplasma
pneumoniae.
Di negara maju, pneumonia pada anak terutama disebabkan oleh virus, di samping
bakteri, atau campuran bakteri dan virus. Virkki dkk. melakukan penelitian pada pneumonia
anak dan menemukan etiologi virus saja sebanyak 32%, campuran bakteri dan virus 30%, dan
bakteri saja 22%. Virus yang terbanyak ditemukan adalah Respiratory Syncytial Virus (RSV),
Rhinovirus, dan virus Parainfluenza. Bakteri yang terbanyak adalah Streptococcus pneumoniae,
Haemophillus influenzae tipe B, dan Mycoplasma pneumoniae. Kelompok anak berusia 2 tahun
ke atas mempunyai etiologi infeksi bakteri yang lebih banyak daripada anak berusia di bawah 2
tahun.
Daftar etiologi pneumonia pada anak sesuai dengan kelompok usia yang bersumber dari
data di negara maju dapat dilihat pada Tabel 5.11.1. Spektrum etiologi tersebut tentu saja tidak
dapat begitu saja diekstrapolasikan pada Indonesia atau negara berkembang lainnya, oleh
karena faktor risiko pneumonia yang tidak sama. Di negara maju, pelayanan kesehatan dan
akses ke pelayanan kesehatan sangat baik. Vaksinasi dengan vaksin konyugat Hib dan vaksin
konyugat Pneumokokus telah mempunyai cakupan yang luas. Selain menurunkan morbiditas
dan mortalitas, hal-hal tersebut juga mengubah spektrum etiologi pneumonia pada anak.
Secara klinis, umumnya pneumonia bakteri sulit dibedakan dengan pneumonia virus.
Demikian juga dengan pemeriksaan radiologis dan laboratorium, biasanya tidak dapat
menentukan etiologi.
311
Tabel 5.10.1 Etiologi Pneumonia pada anak sesuai dengan kelompok usia di negara maju
Usia Etiologi yang sering Etiologi yang jarang
Bakteri Bakteri
E. colli Bakteri anaerob
Streptococcus group B Streptococcus group D
Listeria monocytogenes Haemophillus influenzae
Lahir–20 hari Streptococcus pneumoniae
Ureaplasma urealyticum
Virus
Virus Sitomegalo
Virus Herpes simpleks
Bakteri Bakteri
Chlamydia trachomatis Bordetella pertussis
Streptococcus pneumoniae Haemophillus influenzae tipe B
Virus Moraxella catharalis
3 minggu–3 bulan Virus Adeno Staphylococcus aureus
Virus Influenza Ureaplasma urealyticum
Virus Parainfluenza 1,2,3 Virus
Respiratory Syncytial virus Virus Sitomegalo
Bakteri Bakteri
Chlamydia pneumoniae Haemophillus influenzae tipe B
Mycoplasma pneumoniae Moraxella catharalis
Streptococcus pneumoniae Neisseria meningitidis
Virus Staphylococcus aureus
4 bulan–5 tahun Virus Adeno Virus
Virus Influenza Virus Varisela-Zoster
Virus Parainfluenza
Virus Rino
Respiratory Syncytial virus
Bakteri Bakteri
Chlamydia pneumoniae Haemophillus influenzae
Mycoplasma pneumoniae Legionella sp
Streptococcus pneumoniae Staphylococcus aureus
Virus
Virus Adeno
5 tahun–remaja Virus Epstein-Barr
Virus Influenza
Virus Parainfluenza
Virus Rino
Respiratory Syncytial Virus
Virus Varisela-Zoster
Sumber: Opstapchuk M, Roberts DM, Haddy R. Community-acquired pneumonia in infants and children. Am Fam Physician
2004;70:899–908.
312
Antibiotik yang diberikan sedini mungkin dapat memotong perjalanan penyakit, sehingga
stadium khas yang telah diuraikan sebelumnya tidak terjadi. Beberapa bakteri tertentu sering
menimbulkan gambaran patologis tertentu bila dibandingkan dengan bakteri lain. Infeksi
Streptococcus pneumoniae biasanya bermanifestasi sebagai bercak-bercak konsolidasi merata
di seluruh lapangan paru (bronkopneumonia), dan pada anak besar atau remaja dapat berupa
konsolidasi pada satu lobus (pneumonia lobaris). Pneumotokel atau abses-abses kecil sering
disebabkan oleh Staphylococcus aureus pada neonatus atau bayi kecil, karena Staphylococcus
aureus menghasilkan berbagai toksin dan enzim seperti hemolisin, lekosidin, stafilokinase, dan
koagulase. Toksin dan enzim ini menyebabkan nekrosis, perdarahan, dan kavitasi. Koagulase
berinteraksi dengan faktor plasma dan menghasilkan bahan aktif yang mengkonversi fibrinogen
menjadi fibrin, sehingga terjadi eksudat fibrinopurulen. Terdapat korelasi antara produksi
koagulase dan virulensi kuman. Staphylococcus yang tidak menghasilkan koagulase jarang
menimbulkan penyakit yang serius. Pneumotokel dapat menetap hingga berbulan-bulan, tetapi
biasanya tidak memerlukan terapi lebih lanjut.
Pada pemeriksaan fisis dapat ditemukan tanda klinis seperti pekak perkusi, suara napas
melemah, dan ronki. Akan tetapi pada neonatus dan bayi kecil, gejala dan tanda pneumonia
lebih beragam dan tidak selalu jelas terlihat. Pada perkusi dan auskultasi paru umumnya tidak
ditemukan kelainan.
313
Spektrum etiologi pneumonia neonatus meliputi Streptococcus group B, Chlamydia
trachomatis, dan bakteri Gram negatif seperti bakteri E. colli, Pseudomonas, atau Klebsiela;
disamping bakteri utama penyebab pneumonia yaitu Streptococcus pneumoniae, Haemophillus
influenzae tipe B, dan Staphylloccus aureus. Oleh karena itu, pengobatannya meliputi antibiotik
yang sensitif terhadap semua kelompok bakteri tersebut, misalnya kombinasi antibiotik beta-
laktam dan amikasin, kecuali bila dicurigai adanya infeksi Chlamydia trachomatis yang tidak
responsif terhadap antibotik beta-laktam.
Penularan transplasenta juga terjadi dengan mikroorganisme Toksoplasma, Rubela,
virus Sitomegalo, dan virus Herpes simpleks (TORCH), Varisela-Zoster, dan Listeria
monocytogenes. Selain itu, RSV, virus Adeno, virus Parainfluenza, virus Rino, dan virus Entero
dapat juga menimbulkan pneumonia. Suatu penelitian melaporkan bahwa 25% infeksi virus
Adeno pada bayi terjadi bersamaan dengan infeksi RSV dan virus Parainfluenza, dan 67%
bersamaan dengan infeksi bakteri Haemophillus influenzae, Streptococcus pneumoniae, atau
Chlamydia trachomatis. Prognosis infeksi virus Adeno pada neonatus sangat buruk karena
sering terjadi sepsis.
Gambaran klinis pneumonia pada neonatus dan bayi kecil tidak khas, mencakup
serangan apnea, sianosis, merintih, napas cuping hidung, takipnea, letargi, muntah, tidak mau
minum, takikardi atau bradikardi, retraksi subkosta, dan demam. Pada bayi BBLR sering terjadi
hipotermi. Gambaran klinis tersebut sulit dibedakan dengan sepsis atau meningitis. Sepsis pada
pneumonia neonatus dan bayi kecil sering ditemukan sebelum 48 jam pertama. Angka
mortalitas sangat tinggi di negara maju, yaitu dilaporkan 20–50%. Angka kematian di Indonesia
dan di negara berkembang lainnya diduga lebih tinggi. Oleh karena itu, setiap kemungkinan
adanya pneumonia pada neonatus dan bayi kecil berusia di bawah 2 bulan harus segera dirawat
di RS.
Infeksi oleh Chlamydia trachomatis merupakan infeksi perinatal dan dapat
menyebabkan pneumonia pada bayi berusia dibawah 2 bulan. Umumnya bayi mendapat infeksi
dari ibu pada masa persalinan. Port d‘ entrée infeksi meliputi mata, nasofaring, saluran
respiratori, dan vagina. Gejala baru timbul pada usia 4–12 minggu, pada beberapa kasus
dilaporkan terjadi pada usia 2 minggu, tetapi jarang terjadi setelah usia 4 bulan. Awitan gejala
timbul perlahan-lahan, dan dapat berlangsung selama beberapa hari hingga berminggu-minggu.
Gejala umumnya berupa gejala infeksi respiratori ringan−sedang, ditandai dengan batuk
staccato (inspirasi diantara setiap satu kali batuk), kadang-kadang disertai muntah, umumnya
pasien tidak demam. Pada pasien seperti ini, panduan tatalaksana adalah berobat jalan dengan
terapi makrolid oral dan observasi yang ketat. Lebih kurang 30% dari infeksi Chlamydia
trachomatis berkembang menjadi pneumonia berat, dikenal juga sebagai sindrom pneumonitis,
dan memerlukan perawatan. Gejala klinis meliputi ronki atau mengi, takipnea, dan sianosis.
Gambaran foto rontgen toraks tidak khas, umumnya terlihat tanda-tanda hiperinflasi bilateral
dengan berbagai bentuk infiltrat difus, seperti infiltrat intersisial, retikulonoduler, atelektasis,
bronkopneumonia, dan gambaran milier. Antibiotik pilihan adalah makrolid intravena.
314
Penyakit ini sering ditemukan bersamaan dengan konjungtivitis, otitis media, faringitis, dan
laringitis. Anak besar dengan pneumonia lebih suka berbaring pada sisi yang sakit dengan lutut
tertekuk karena nyeri dada. Ronki hanya ditemukan bila ada infiltrat alveoler. Retraksi dan
takipnea merupakan tanda klinis pneumonia yang bermakna. Bila terjadi efusi pleura atau
empiema, gerakan ekskursi dada tertinggal di daerah efusi. Gerakan dada juga akan terganggu
bila terdapat nyeri dada akibat iritasi pleura. Bila efusi pleura bertambah, sesak napas akan
semakin bertambah, tetapi nyeri pleura semakin berkurang dan berubah menjadi nyeri tumpul.
Kadang-kadang timbul nyeri abdomen bila terdapat pneumonia lobus kanan bawah yang
menimbulkan iritasi diafragma. Nyeri abdomen dapat menyebar ke kuadran kanan bawah dan
menyerupai apendisitis. Abdomen mengalami distensi akibat dilatasi lambung yang disebabkan
oleh aerofagi atau ileus paralitik. Hati mungkin teraba karena tertekan oleh diafragma, atau
memang membesar karena terjadi gagal jantung kongestif sebagai komplikasi pneumonia.
315
radiologis dapat dikacaukan dengan asma. Sering terjadi underdiagnosis pada infeksi
Mycoplasma pneumoniae. Hal ini dikarenakan uji mikrobiologis tidak dapat dipakai sebagai alat
diagnostik, oleh karena itu tidak dikerjakan secara rutin. Kultur memerlukan waktu 2 minggu
dan uji serologis hanya bermanfaat bila telah terjadi pembentukan antibodi, yaitu ketika
penyakit telah sangat berkembang. Umumnya gejala klinis infeksi Mycoplasma pneumoniae
adalah ringan dan kadang-kadang dapat sembuh sendiri, tetapi kasus berat seperti severe
necrotizing pneumonitis dengan konsolidasi luas pada jaringan paru dan efusi pleura pernah
dilaporkan.
Gambaran foto rontgen toraks pneumonia mikoplasma bervariasi, meliputi gambaran
infiltrat intersisial, retikuler, retikulonoduler, bercak konsolidasi, pembesaran kelenjar hilus, dan
kadang-kadang disertai efusi pleura.
316
Keunggulan lain dari setiap makrolid-baru bervariasi, misalnya waktu paruh yang lebih
panjang, konsentrasi hambat minimum yang lebih rendah, adanya efek pascaantibiotik,
konsentrasi dalam serum tinggi, penetrasi ke dalam jaringan, sel dan sekret lebih tinggi,
metabolit merupakan zat aktif, dan adanya efek antiinflamasi. Di samping itu, makrolid-baru
mempunyai spektrum antibakteri yang lebih luas, yaitu mencakup bakteri atipik dan bakteri
tipik.
Dosis eritromisin untuk anak berkisar antara 30–50 mg/kgBB/hari, diberikan setiap 6
jam selama 10–14 hari. Klaritromisin dan roksitromisin diberikan dua kali sehari dengan dosis
15 mg/kgBB untuk klaritromisin dan 5–10 mg/kgBB untuk roksitromisin. Azitromisin dapat
diberikan sekali sehari dengan lama pemberian lebih pendek, yaitu selama 3–5 hari dengan
dosis 10 mg/kgBB pada hari pertama, dilanjutkan dengan dosis 5 mg/kgBB untuk hari
berikutnya.
317
5.10.4.3 Uji serologis
Uji serologik untuk mendeteksi antigen dan antibodi pada infeksi bakteri tipik mempunyai
sensitivitas dan spesifisitas yang rendah. Akan tetapi, diagnosis infeksi Streptokokus grup A
dapat dikonfirmasi dengan peningkatan titer antibodi seperti antistreptolisin O, streptozim, atau
antiDnase B. Peningkatan titer dapat juga berarti adanya infeksi terdahulu. Untuk konfirmasi
diperlukan serum fase akut dan serum fase konvalesen (paired sera).
Secara umum, uji serologis tidak terlalu bermanfaat dalam mendiagnosis infeksi bakteri
tipik. Akan tetapi, untuk deteksi infeksi bakteri atipik seperti Mikoplasma dan Klamidia, serta
beberapa virus seperti RSV, Sitomegalo, campak, Parainfluenza 1,2,3, Influenza A dan B, dan
Adeno, peningkatan antibodi IGM dan IgG dapat mengkonfirmasi diagnosis.
Foto rontgen toraks pada pneumonia ringan tidak rutin dilakukan, hanya direkomendasikan
pada pneumonia berat yang dirawat. Kelainan foto rontgen toraks pada pneumonia tidak selalu
berhubungan dengan gambaran klinis. Kadang-kadang bercak-bercak sudah ditemukan pada
gambaran radiologis sebelum timbul gejala klinis. Akan tetapi, resolusi infiltrat sering
memerlukan waktu yang lebih lama setelah gejala klinis menghilang. Pada pasien dengan
pneumonia tanpa komplikasi, ulangan foto rontgen toraks tidak diperlukan. Ulangan foto
rontgen toraks diperlukan bila gejala klinis menetap, penyakit memburuk, atau untuk tindak
lanjut.
Umumnya pemeriksaan yang diperlukan untuk menunjang diagnosis pneumonia di
Instalasi Gawat Darurat hanyalah pemeriksaan rontgen toraks posisi AP. Lynch dkk.
mendapatkan bahwa tambahan posisi lateral pada foto rontgen toraks tidak meningkatkan
sensitivitas dan spesifisitas penegakan diagnosis pneumonia pada anak. Foto rontgen toraks AP
dan lateral hanya dilakukan pada pasien dengan tanda dan gejala klinik distres pernapasan
seperti takipnea, batuk, dan ronki, dengan atau tanpa suara napas yang melemah.
Secara umum gambaran foto toraks terdiri dari:
Infiltrat interstisial, ditandai dengan peningkatan corakan bronkovaskular, peribronchial
cuffing, dan hiperaerasi.
318
Infiltrat alveolar, merupakan konsolidasi paru dengan air bronchogram. Konsolidasi dapat
mengenai satu lobus disebut dengan pneumonia lobaris, atau terlihat sebagai lesi tunggal
yang biasanya cukup besar, berbentuk sferis, berbatas yang tidak terlalu tegas, dan
menyerupai lesi tumor paru, dikenal sebagai round pneumonia.
Bronkopneumonia, ditandai dengan gambaran difus merata pada kedua paru, berupa
bercak-bercak infiltrat yang dapat meluas hingga daerah perifer paru, disertai dengan
peningkatan corakan peribronkial.
Gambaran foto rontgen toraks pneumonia pada anak meliputi infiltrat ringan pada satu
paru hingga konsolidasi luas pada kedua paru. Pada suatu penelitian ditemukan bahwa lesi
pneumonia pada anak terbanyak berada di paru kanan, terutama di lobus atas. Bila ditemukan
di paru kiri, dan terbanyak di lobus bawah, maka hal itu merupakan prediktor perjalanan
penyakit yang lebih berat dengan risiko terjadinya pleuritis lebih meningkat.
Beberapa faktor teknis radiologis dan faktor noninfeksi dapat menyebabkan gambaran
yang menyerupai pneumonia pada foto rontgen toraks.
Faktor noninfeksi:
bayangan timus
bayangan payudara
gambaran atelektasis.
Gambaran atelektasis sulit dibedakan dengan gambaran pneumonia pada foto rontgen
toraks. Atelektasis disebabkan oleh berbagai penyebab seperti kompresi ekstrinsik pada bronkus
(malformasi kongenital, limfadenopati, tumor, penyakit kardiovaskular, web, atau ring) dan
obstruksi bronkial intrinsik (benda asing, edema, inflamasi, bronkomalasia atau stenosis, tumor,
dan sumbatan mukus). Di samping itu, penyakit paru noninfeksi dapat juga menyebabkan
atelektasis, misalnya penyakit membran hialin atau edema paru.
Gambaran foto rontgen toraks dapat membantu mengarahkan kecenderungan etiologi
pneumonia. Penebalan peribronkial, infiltrat intersisial merata, dan hiperinflasi cenderung
terlihat pada pneumonia virus. Infiltrat alveolar berupa konsolidasi segmen atau lobar,
bronkopneumonia, dan air bronchogram sangat mungkin disebabkan oleh bakteri. Pada
pneumonia Stafilokokus sering ditemukan abses-abses kecil dan pneumatokel dengan berbagai
ukuran.
Gambaran foto rontgen toraks pada pneumonia Mikoplasma sangat bervariasi. Pada
beberapa kasus terlihat sangat mirip dengan gambaran foto rontgen toraks pneumonia virus.
Selain itu, dapat juga ditemukan gambaran bronkopneumonia terutama di lobus bawah, infiltrat
intersisial retikulonodular bilateral, dan yang jarang adalah konsolidasi segmen atau
subsegmen. Biasanya lesi foto rontgen toraks lebih berat daripada gambaran klinisnya.
Meskipun tidak terdapat gambaran foto rotgen toraks yang khas, tetapi bila terdapat gambaran
retikulonodular fokal pada satu lobus, hal ini cenderung disebabkan oleh infeksi Mikoplasma.
Demikian pula bila terlihat gambaran perkabutan atau ground-glass consolidation, serta
transient pseudoconsolidation karena infiltrat intersisial yang konfluens, patut dipertimbangkan
319
adanya infeksi Mikoplasma. Gambaran radiologis pneumonia Klamidia sulit dibedakan dengan
pneumonia Mikoplasma.
Meskipun terdapat beberapa pola yang memberikan kecenderungan, secara umum
gambaran foto rontgen toraks tidak dapat membedakan secara pasti anatar pneumonia virus,
bakteri, Mikoplasma, atau campuran mikroorganisme tersebut.
5.10.5 Diagnosis
Diagnosis etiologik berdasarkan pemeriksaan mikrobiologis dan/atau serologis merupakan dasar
terapi yang optimal. Akan tetapi, penemuan bakteri penyebab tidak selalu mudah karena
memerlukan laboratorium penunjang yang memadai. Oleh karena itu, pneumonia pada anak
umumnya didiagnosis berdasarkan gambaran klinis yang menunjukkan keterlibatan sistem
respiratori, serta gambaran radiologis. Prediktor paling kuat adanya pneumonia adalah demam,
sianosis, dan lebih dari satu gejala respiratori sebagai berikut: takipnea, batuk, napas cuping
hidung, retraksi, ronki, dan suara napas melemah.
Akibat tingginya angka morbiditas dan mortalitas pneumonia pada balita, maka dalam
upaya penanggulangannya, WHO mengembangkan pedoman diagnosis dan tatalaksana yang
sederhana. Pedoman ini terutama ditujukan untuk Pelayanan Kesehatan Primer, dan sebagai
pendidikan kesehatan untuk masyarakat di negara berkembang. Tujuannya ialah
menyederhanakan kriteria diagnosis berdasarkan gejala klinis yang dapat langsung dideteksi;
menetapkan klasifikasi penyakit, dan menentukan dasar pemakaian antibiotik. Gejala klinis
sederhana tersebut meliputi napas cepat, sesak napas, dan berbagai tanda bahaya agar anak
segera dirujuk ke pelayanan kesehatan. Napas cepat dinilai dengan menghitung frekuensi
napas selama satu menit penuh ketika bayi dalam keadaan tenang. Sesak napas dinilai dengan
melihat adanya tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam ketika menarik napas (retraksi
epigastrium). Tanda bahaya pada anak berusia 2 bulan–5 tahun adalah tidak dapat minum,
kejang, kesadaran menurun, stridor, dan gizi buruk; tanda bahaya untuk bayi berusia di bawah
2 bulan adalah malas minum, kejang, kesadaran menurun, stridor, mengi, dan demam/badan
terasa dingin.
Berikut ini adalah klasifikasi pneumonia berdasarkan pedoman tersebut.
320
Bayi berusia di bawah 2 bulan
Pada bayi berusia di bawah usia 2 bulan, perjalanan penyakitnya lebih bervariasi, mudah terjadi
komplikasi, dan sering menyebabkan kematian.
Klasifikasi pneumonia pada kelompok usia ini adalah sebagai berikut:
Pneumonia
- bila ada napas cepat (>60 x/menit) atau sesak napas
- harus dirawat dan diberikan antibiotik.
Bukan pneumonia
- tidak ada napas cepat atau sesak napas
- tidak perlu dirawat, cukup diberikan pengobatan simptomatis.
5.10.6 Tatalaksana
Sebagian besar pneumonia pada anak tidak perlu dirawat inap. Indikasi perawatan terutama
berdasarkan berat-ringannya penyakit, misalnya toksis, distres pernapasan, tidak mau
makan/minum, atau ada penyakit dasar yang lain, komplikasi, dan terutama
mempertimbangkan usia pasien. Neonatus dan bayi kecil dengan kemungkinan klinis
pneumonia harus dirawat inap.
Dasar tatalaksana pneumonia rawat inap adalah pengobatan kausal dengan antibiotik
yang sesuai, serta tindakan suportif. Pengobatan suportif meliputi pemberian cairan intravena,
terapi oksigen, koreksi terhadap gangguan keseimbangan asam-basa, elektrolit, dan gula darah.
Untuk nyeri dan demam dapat diberikan analgetik/antipiretik. Suplementasi vitamin A tidak
terbukti efektif. Penyakit penyerta harus ditanggulangi dengan adekuat, komplikasi yang
mungkin terjadi harus dipantau dan diatasi.
Penggunaan antibiotik yang tepat merupakan kunci utama keberhasilan pengobatan.
Terapi antibiotik harus segera diberikan pada anak dengan pneumonia yang diduga disebabkan
oleh bakteri.
Identifikasi dini mikroorganisme penyebab tidak dapat dilakukan karena tidak
tersedianya uji mikrobiologis cepat. Oleh karena itu, antibiotik dipilih berdasarkan pengalaman
empiris. Umumnya pemilihan antibiotik empiris didasarkan pada kemungkinan etiologi penyebab
dengan mempertimbangkan usia dan keadaan klinis pasien serta faktor epidemiologis.
321
dengan pneumonia tanpa komplikasi, meskipun tidak ada studi kontrol mengenai lama terapi
antibiotik yang optimal.
Pada neonatus dan bayi kecil, terapi awal antibiotik intravena harus dimulai sesegera
mungkin. Oleh karena pada neonatus dan bayi kecil sering terjadi sepsis dan meningitis,
antibiotik yang direkomendasikan adalah antibiotik spektrum luas seperti kombinasi beta-
laktam/klavulanat dengan aminoglikosid, atau sefalosporin generasi ketiga. Bila keadaan sudah
stabil, antibiotik dapat diganti dengan antibiotik oral selama 10 hari.
Pada balita dan anak yang lebih besar, antibiotik yang direkomendasikan adalah
antibiotik beta-laktam dengan/atau tanpa klavulanat; pada kasus yang lebih berat diberikan
beta-laktam/klavulanat dikombinasikan dengan makrolid baru intravena, atau sefalosporin
generasi ketiga. Bila pasien sudah tidak demam atau keadaan sudah stabil, antibiotik diganti
dengan antibiotik oral dan berobat jalan.
Pada pneumonia rawat inap, berbagai RS di Indonesia memberikan antibiotik beta-
laktam, ampisilin, atau amoksisilin, dikombinasikan dengan kloramfenikol. Feyzullah dkk.
melaporkan hasil perbandingan pemberian antibiotik pada anak dengan pneumonia berat
berusia 2–24 bulan. Antibiotik yang dibandingkan adalah gabungan penisilin G intravena
(25.000 U/kgBB setiap 4 jam) dan kloramfenikol (15 mg/kgBB setiap 6 jam), dan seftriakson
intravena (50 mg/kgBB setiap 12 jam). Keduanya diberikan selama 10 hari, dan ternyata
memiliki efektifitas yang sama.
Akan tetapi, banyak peneliti melaporkan resistensi Streptococcus pneumoniae dan
Haemophilus influenzae−mikroorganisme paling penting penyebab pneumonia pada
anak−terhadap kloramfenikol.
5.10.7 Komplikasi
Komplikasi pneumonia pada anak meliputi empiema torasis, perikarditis purulenta,
pneumotoraks, atau infeksi ekstrapulmoner seperti meningitis purulenta. Empiema torasis
merupakan komplikasi tersering yang terjadi pada pneumonia bakteri.
Ilten F dkk. melaporkan mengenai komplikasi miokarditis (tekanan sistolik ventrikel kanan
meningkat, kreatinin kinase meningkat, dan gagal jantung) yang cukup tinggi pada seri
pneumonia anak berusia 2–24 bulan. Oleh karena miokarditis merupakan keadaan yang fatal,
maka dianjurkan untuk melakukan deteksi dengan teknik noninvasif seperti EKG,
ekokardiografi, dan pemeriksaan enzim.
Daftar pustaka
1. Alberta Medical Assosiation. Guideline for the diagnosis and management of community acquired
pneumonia. Pediatric. 2001.
2. Bhandari N, Bahl R, Taneja S, Strand T, Molbak K, Ulvik RJ, dkk. Effect of routine zinc
supplementation on pneumonia in children aged 6 months to 3 years: randomised controlled trial in
an urban slum. BMJ 2002;324(7350):1358–60.
3. British Thoracic Society of Standards of Care Committee. BTS guidelines for the managing of
community acquired pneumonia in childhood. Thorax 2002;57:i1–24.
4. CATCHUP Study Group. Clinical efficacy of cotrimoxazole versus amoxicillin twice daily for treatment
of pneumonia: a randomized controlled clinical trial in Pakistan. Arch Dis Child 2002;86:113–8.
5. Cunningham AF, Johnston SL, Julious SA, Lampe FC, Ward ME. Chronic Chlamydia pneumoniae
infection and asthma exacerbations in children. Eur Respir J 1998;11:345–9.
6. Dilber E, Cakir M, Kalyoncu M, Okten A. C-reactive protein: a sensitive marker in the management of
treatment response in parapneumonic empyema of children. Turk J Pediatr 2003;45:311–4.
322
7. Grafakou O, Moustaki M, Tsolia M, Kavazarakis E, Mathioudakis J, Fretzayas A, dkk. Can chest X-ray
predict pneumonia severity?. Pediatr Pulmonol 2004;38:465–9.
8. Hsiao, G, Black-Payne C, Campbell D. Pediatric community-acquired pneumonia, pulmonary and
critical care update. American College of Chest Physicians [serial online] 2004. Diunduh dari:
http://www.chestnet.org/education/online/pccu/vol15/lessons11. Diakses pada
9. Ilten F, Senocak F, Zorlu P, Tezic T. Cardiovascular changes in children with pneumonia. Turk J
Pediatr 2003;45:306–10.
10. Lynch T, Gouin S, Larson C, Patenaude Y. Does the lateral radiograph help pediatric emergency
physicians diagnose pneumonia?: a randomized clinical trial. Acad Emerg Med 2004;11:625–9.
11. Ogle JW, Anderson MA. Infections: bacterial & spirochaetal. Dalam: May WW, dkk, penyunting. Edisi
ke-16. Current pediatrics diagnosis & treatment. NewYork: Lange Medical Books/McGraw-Hill; 2003.
h. 1151–64.
12. Oermann C, Sockrider MM, Langston C. Severe necrotizing pneumonitis in a child with Mycoplasma
pneumoniae infection. Pediatr Pulmonol 1997;24:61–5.
13. Opstapchuk M, Roberts DM, Haddy R. Community-acquired pneumonia in infants and children. Am
Fam Physician 2004;70:899–908.
14. Survei Kesehatan Nasional 2001. Laporan studi mortalitas 2001: pola penyakit penyebab kematian di
Indonesia. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan RI;
2002.
15. Swischuk LE. Respiratory system-postnatal pulmonary infections. Dalam: Imaging of the newborn
infant and young child. Baltimore: William and Wilkins; 1997. h. 108–25.
16. Virkki, R, Juven T, Rikalainen H, Svendstrom E, Mertsola J, Ruuskanen O. Differentiation of bacterial
and viral pneumonia in children. Thorax 2002;57:438–41.
17. WHO/UNICEF Joint Statement. Management of pneumonia in community settings. New York: The
United Nations Children‘s Fund/World Health Organization; 2004.
18. Prober CG. Pneumonia. Dalam: Behrman RE, Kliegman RM, Arvin AM, eds. Nelson textbook of
pediatrics 15th ed. Saunders, Philadelphia 1996; 716-721.
323
6
Terapi inhalasi pada penyakit
Respiratorik
Bambang Supriyatno, Nastiti Kaswandani
Terapi inhalasi adalah pemberian obat secara inhalasi (hirupan) ke dalam saluran respiratori.
Penggunaan terapi ini sangat luas di bidang respirologi atau respiratory medicine. Ada berbagai
macam alat terapi inhalasi yang ditujukan ke saluran respiratori-bawah, misalnya alat hirupan
dosis terukur (metered dose inhaler, MDI) dan alat hirupan bubuk kering (dry powder
inhaler, DPI). Alat terapi inhalasi lain yang banyak digunakan adalah nebulizer, yaitu suatu alat
yang dapat mengubah obat cair menjadi aerosol. Bergantung pada besarnya partikel yang
dihasilkan dan teknik penggunaannya, alat ini dapat digunakan untuk terapi inhalasi saluran
respiratori atas dan bawah.
Terapi inhalasi sebetulnya telah dikenal dan dilakukan oleh manusia sejak lama, tetapi
tidak diketahui tepatnya kapan. Sejak kira-kira 4000 tahun SM, masyarakat Mesir, India,
Yunani, dan Roma telah mengenalnya. Masyarakat awam di Indonesia sendiri telah lama
melakukan kebiasaan menghirup uap air panas bila mengalami selesma. Selain itu, telah
diketahui pula bahwa uap herbal tertentu dapat memberikan rasa nyaman dan lega di saluran
respiratori. Penggunaan aerosol sebagai terapi inhalasi diperkenalkan pertama kali oleh
Schneider dan Waltz pada tahun 1829.
Dengan berkembangnya ilmu dan teknologi, terapi inhalasi berkembang dengan pesat.
Pada awalnya, pengaruh bahan pendorong (propellant) yang digunakan terhadap lingkungan
tidak dipertimbangkan seperti chloro-fluoro-carbon (CFC), tetapi belakangan ini mulai
dikembangkan penggunaan propellant non CFC yang bersahabat dengan lingkungan, yaitu yang
tidak merusak lapisan ozon.
Pada awalnya, prinsip dasar terapi inhalasi adalah mengubah obat cair (likuid) menjadi
bentuk aerosol agar dapat langsung melalui sistem respiratori. Dengan berkembangnya ilmu
pengetahuan, terapi inhalasi tidak hanya dalam bentuk aerosol, tetapi dapat juga dalam bentuk
powder (bubuk) yang dihisap. Pada dewasa, penggunaan terapi inhalasi telah banyak
digunakan, sedangkan pada anak belum banyak digunakan karena berbagai kendala. Untuk
menunjang keberhasilan penggunaan pada anak diperlukan pengetahuan tentang perbedaan
fisiologi dan sistem koordinasi antara dewasa dan anak, serta tentang teknik inhalasi yang
optimal, sehingga penggunaan terapi inhalasi (bila perlu dengan spacer) dapat lebih dipahami.
324
konsentrasi obat di dalam darah sedikit atau rendah, mudah digunakan, dan efek terapeutik
segera tercapai yang ditunjukkan dengan adanya perbaikan klinis.
Sistem respiratori memiliki beberapa mekanisme pertahanan yang akan melindungi dari
masuk dan mengendapnya partikel obat. Mekanisme pertahanan tersebut antara lain refleks
batuk, bersin, serta klirens mukosilier. Dengan adanya mekanisme tersebut, harus dibuat suatu
metode agar partikel aerosol yang dihasilkan tidak tereliminasi, yaitu dengan memperhatikan
besar atau ukuran partikel. Ukuran partikel akan mempengaruhi sampai sejauh mana partikel
melakukan penetrasi ke dalam sistem respiratori. Partikel berukuran >15 µm akan tersaring
oleh filtrasi rambut hidung, sedangkan partikel berukuran >10 µm akan mengendap di hidung
dan nasofaring. Partikel yang besar ini akan mengendap karena benturan inersial, bila terdapat
aliran udara yang cepat disertai dengan perubahan arah atau arus turbulen. Partikel berukuran
0,5–5 µm akan mengendap secara sedimentasi akibat gaya gravitasi, sedangkan partikel
berukuran 0,1 µm akan mengendap akibat gerak Brown. Dengan demikian, untuk memperoleh
manfaat obat yang optimal, obat yang diberikan secara inhalasi harus dapat mencapai tempat
kerjanya di dalam sistem respiratori. Obat yang digunakan adalah bentuk aerosol, yaitu
suspensi partikel di dalam gas, dengan ukuran partikel berkisar 2–10 μm atau 1–7 μm.
325
reseptor ß2. Inhalasi ipratropium bromida mungkin efektif pada sebagian bayi dengan
wheezing.
5. Menangis
Anak yang menangis memiliki IFR yang tinggi dan akan terjadi pernapasan mulut, sehingga
seharusnya akan meningkatkan delivery obat ke paru. Akan tetapi, kenyataannya jumlah
obat yang diinhalasi ke dalam paru berkurang akibat kurang baiknya masker muka yang
menempel dan ketika menangis pernapasan menjadi pendek dan cepat.
Kemungkinan deposisi melalui cara sedimentasi atau difusi sebanding dengan lamanya
partikel berada di saluran respiratori, sedangkan kecepatan aliran udara berpengaruh langsung
terhadap impaksi (benturan) partikel pada dinding saluran respiratori. Semakin besar partikel
maka semakin dipengaruhi oleh gaya gravitasi. Partikel yang besar (>5 µm) berimpaksi di
daerah orofaring, saluran respiratori-atas, dan bifurkasio trakea. Partikel berukuran <5 µm akan
dideposit melalui sedimentasi dan difusi pada saluran respiratori yang lebih kecil yang aliran
udaranya juga lebih rendah. Deposisi ke dalam saluran respiratori yang lebih kecil dapat
ditingkatkan dengan cara menginhalasi aerosol dengan aliran udara yang rendah, dan juga
menahan napas lebih lama, untuk memberi kesempatan yang lebih besar terhadap terjadinya
sedimentasi dan difusi.
Faktor-faktor yang mempengaruhi deposisi aerosol pada paru dibagi menjadi tiga
kelompok utama seperti yang tercantum pada Tabel 6.1, yaitu:
1. Faktor fisik.
2. Faktor ventilasi.
3. Faktor anatomik.
Ukuran partikel, aliran udara paru, dan dimensi saluran respiratori merupakan faktor
yang paling mempengaruhi pola penyampaian obat inhalasi pada paru. Adanya pengecilan
kaliber saluran respiratori dan/atau aliran inspirasi yang tinggi, akan menghasilkan perubahan
326
distribusi deposisi melalui saluran respiratori yang lebih proksimal. Pola deposisi aerosol dalam
paru perlu diperhatikan pada terapi inhalasi terhadap anak. Perbedaan distribusi tersebut
dipengaruhi oleh dimensi saluran respiratori yang berubah sesuai dengan umur, jumlah saluran
respiratori kecil dan alveoli, serta pola pernapasan yang berbeda pada anak.
Hasil kalkulasi secara prediktif menunjukkan bahwa pada anak berusia <5 tahun, terjadi
peningkatan jumlah deposisi dibandingkan dengan dewasa pada semua ukuran partikel, dengan
deposisi yang lebih besar pada permukaan saluran respiratori daripada area paru. Perbedaan ini
disebabkan oleh frekuensi napas yang lebih besar serta jumlah alveoli yang sedikit pada anak.
Anak juga memiliki volume tidal yang kecil, sehingga pengiriman partikel lebih rendah.
Penelitian terhadap pengukuran deposisi paru secara in vivo menyatakan bahwa pada neonatus
yang telah diinhalasi dengan aerosol yang telah dilabel dengan radioisotop, ternyata <2% dosis
obat yang diberikan yang terdeposisi di paru.
1. Nebulizer
Alat nebulizer dapat mengubah obat berbentuk larutan menjadi aerosol secara terus-
menerus, dengan tenaga yang berasal dari udara yang dipadatkan atau gelombang
ultrasonik, sehingga pada prakteknya dikenal dua jenis alat nebulizer, yaitu ultrasonic
nebulizer dan jet nebulizer.
Hasil pengobatan dengan nebulizer lebih banyak bergantung pada jenis nebulizer yang
digunakan. Ada nebulizer yang dapat menghasilkan partikel aerosol terus-menerus, tetapi
ada juga yang dapat diatur sehingga aerosol hanya timbul ketika penderita melakukan
inhalasi, sehingga obat tidak banyak terbuang.
Kelebihan terapi inhalasi menggunakan nebulizer adalah tidak atau sedikit memerlukan
koordinasi penderita, hanya memerlukan pernapasan tidal, dan dapat berupa campuran
beberapa jenis obat (misalnya salbutamol dan ipratropium bromida). Kekurangannya adalah
alat ini cukup besar sehingga kurang praktis, memerlukan sumber tenaga listrik, dan relatif
mahal. Perbandingan antara ultrasonic nebulizer dan jet nebulizer dapat dilihat pada Tabel
6.2.
Ultrasonic nebulizer
Alat ini menghasilkan aerosol melalui osilasi frekuensi tinggi dari piezo-electric crystal yang
berada dekat larutan, sehingga cairan memecah menjadi aerosol. Kelebihan jenis nebulizer
ini adalah tidak menimbulkan suara bising dan dapat mengubah larutan menjadi aerosol
secara terus-menerus. Kekurangannya adalah mahal dan memerlukan biaya perawatan
yang lebih besar.
327
Jet nebulizer
Alat ini paling banyak digunakan di banyak negara karena relatif lebih murah daripada
ultrasonic nebulizer. Gas jet berkecepatan tinggi yang berasal dari udara yang dipadatkan
dalam silinder, ditiupkan melalui lubang kecil, dan akan menghasilkan tekanan negatif, yang
selanjutnya akan memecah larutan menjadi bentuk aerosol.
Aerosol yang terbentuk dihisap penderita melalui mouthpiece atau sungkup. Dengan
mengisi suatu tempat pada nebulizer sebanyak 4 cc, maka dihasilkan partikel aerosol
berukuran <5 μm. Sekitar 60–80% larutan nebulisasi akan terpakai dan lama nebulisasi
dapat dibatasi. Dengan cara yang optimal, maka hanya 12% larutan yang akan terdeposisi
di paru. Bronkodilator yang diberikan dengan nebulizer memberikan efek bronkodilatasi
yang bermakna tanpa menimbulkan efek samping.
Perawatan nebulizer
Nebulizer di klinik atau RS biasanya digunakan dengan frekuensi tinggi oleh banyak pasien.
Aerosol yang terkontaminasi dari nebulizer merupakan risiko terjadinya infeksi respiratorik.
Kontaminasi ini berhubungan dengan jarang dan kurang adekuatnya pembersihan nebulizer.
Aspek ini seringkali terabaikan dan tidak mendapat perhatian serius. Idealnya, satu alat
nebulizer hanya digunakan oleh satu pasien, namun hal ini tentunya akan memerlukan
biaya yang tinggi. Cara lain yang relatif murah adalah dengan menyediakan masker atau
mouthpiece untuk masing-masing pasien. Setelah pemakaian, segera didisinfeksi dengan
cairan antiseptik, dibilas, dan dikeringkan, untuk kemudian dapat digunakan lagi oleh pasien
lain. Begitu pula dengan labu, perlu didisinfeksi setiap selesai penggunaan.
328
penggunaan bahan non-CFC, yaitu hidrofluroalkana (HFA), yang tidak merusak lapisan
ozon. Propelan mempunyai tekanan uap tinggi, sehingga di dalam tabung (kanister) tetap
berbentuk cairan. Bila kanister ditekan, aerosol disemprotkan keluar dengan kecepatan
tinggi, yaitu 30 m/detik, dalam bentuk droplet dengan dosis tertentu melalui aktuator
(lubang). Pada ujung aktuator ukuran partikel berkisar 35 μm, pada jarak 10 cm dari
kanister besarnya menjadi 14 μm, dan setelah propelan mengalami evaporasi seluruhnya
ukuran partikel menjadi 2,8–4,3 μm. Dengan teknik inhalasi yang benar, maka 80% aerosol
akan mengendap di mulut dan orofaring karena kecepatan yang tinggi dan ukurannya
besar, 10% tetap berada di dalam aktuator, dan hanya sekitar 10% dari aerosol yang
disemprotkan akan sampai ke dalam paru.
Pada cara inhalasi ini diperlukan koordinasi antara penekanan kanister dan inspirasi
napas. Untuk mendapatkan hasil optimal, maka pemakaian inhaler ini hendaklah dikerjakan
sebagai berikut.
Terlebih dahulu kanister dikocok agar obat tetap homogen, lalu tutup kanister dibuka.
Inhaler dipegang tegak, kemudian penderita melakukan ekspirasi maksimal secara
perlahan.
Mulut kanister diletakkan diantara bibir, bibir dirapatkan, lalu dilakukan inspirasi
perlahan sampai maksimal.
Pada pertengahan inspirasi, kanister ditekan agar obat keluar.
Penderita menahan napas selama 10 detik atau dengan menghitung 10 hitungan pada
inspirasi maksimal.
Apabila diperlukan, setelah 30–60 detik prosedur yang sama diulang kembali.
Setelah proses selesai, jangan lupa berkumur untuk mencegah efek samping.
329
Dengan penggunaan spacer, deposisi obat pada paru akan meningkat 20%
dibandingkan dengan tanpa spacer. Penggunaan spacer sangat menguntungkan pada anak
karena koordinasinya belum baik. Dengan bantuan spacer, koordinasi yang diperlukan pada
saat menekan kanister dengan saat penghisapan dapat dikurangi atau bahkan tidak
memerlukan koordinasi. Apabila spacer tidak tersedia, maka sebagai penggantinya dapat
digunakan spacer sederhana yang murah dan mudah dibuat, yaitu dari cangkir kopi plastik
yang dilubangi dasarnya untuk tempat aerosol. Cara ini sudah terbukti bermanfaat untuk
bronkodilator, tetapi belum dibuktikan bermanfaat untuk natrium kromoglikat dan steroid.
Ada dua tipe spacer, yaitu extension devices dan holding chamber. Extension
devices dimaksudkan terutama untuk memanjangkan jarak tempuh aerosol sebelum dihirup
pasien. Dengan demikian, aerosol akan melambat dan propelannya menguap, serta partikel
besar terperangkap di dalamnya. Spacer jenis ini hanya mengatasi masalah kedua dari
kekurangan MDI. Alat ini tidak mempunyai katup searah dan tetap memerlukan koordinasi
dari pemakainya, sehingga tidak cocok untuk anak balita. Holding chamber spacer
mempunyai penampung obat dengan ukuran volume tertentu, dan mempunyai katup
searah. Obat dari MDI disemprotkan ke dalam spacer ini, kemudian pasien menghirup obat
dari spacer. Alat ini dapat mengatasi kedua kekurangan MDI yang disebutkan di atas,
sehingga dapat digunakan pada anak bahkan bayi sekalipun. Untuk penggunaan pada anak
besar, ujung spacer cukup dilengkapi dengan mouthpiece, sedangkan untuk bayi dan anak
kecil ditambahkan masker.
330
Inhaler jenis ini tidak mengandung propelan, sehingga mempunyai kelebihan
dibandingkan dengan MDI. Penggunaan obat serbuk kering pada DPI memerlukan inspirasi
yang cukup kuat. Pada anak kecil hal ini sulit dilakukan mengingat inspirasi kuat belum
dapat dilakukan, sehingga deposisi obat pada sistem respiratori berkurang. Pada anak yang
lebih besar, penggunaan obat serbuk ini dapat lebih mudah, karena kurang memerlukan
koordinasi dibandingkan dengan MDI. Dengan cara ini, deposisi obat di dalam paru lebih
besar dan lebih konstan dibandingkan dengan MDI tanpa spacer, sehingga dianjurkan untuk
diberikan pada anak berusia >5 tahun. Cara DPI ini tidak memerlukan spacer sebagai alat
bantu, sehingga lebih praktis untuk pasien (mudah dibawa dan dimasukkan ke dalam saku).
Inhaler jenis ini bersifat effort dependent karena sumber tenaga penggerak alat ini
sepenuhnya adalah upaya inspirasi maksimal dari pasien, sehingga disebut juga breath-
actuated inhaler. Pada anak kecil (balita) hal ini sulit dilakukan mengingat kemampuannya
melakukan inspirasi kuat belum optimal. Pada anak yang lebih besar (>5 tahun),
penggunaan alat ini relatif mudah karena tidak memerlukan manuver yang kompleks seperti
pada MDI.
Setelah mengkaji berbagai jenis alat inhalasi, terlihat bahwa masing-masing mempunyai
kelebihan dan kekurangan. Tabel 6.3 menggambarkan perbandingan kelebihan dan kekurangan
dari masing-masing alat terapi inhalasi.
331
Tabel 6.3 Kelebihan dan kekurangan alat terapi inhalasi
Alat Kelebihan Kekurangan
Jet nebulizer - koordinasi minimal - mahal
- dosis tinggi dapat diberikan - kemungkinan kontaminasi alat
- tidak ada pelepasan freon - risiko gangguan listrik dan
mekanik
- tidak semua obat bisa
dinebulisasi
- perlu kompresor, tidak praktis
dibawa
- perlu menyiapkan cairan obat
- perlu waktu lebih lama
Sumber: O‘Donohue WJ. Guidelines for the use of nebulizers in the home and at domiciliary sites: report of a consensus conference.
Chest 1996;109:814–20.
332
6.2 Aplikasi terapi inhalasi pada anak
6.2.1 Asma
Tatalaksana asma harus dibedakan menjadi dua, yaitu tatalaksana serangan dan tatalaksana
jangka panjang. Seorang anak yang telah didiagnosis asma harus ditentukan klasifikasinya.
Berdasarkan Pedoman Nasional Asma Anak (PNAA), klasifikasi asma yaitu asma episodik jarang,
episodik sering, dan asma persisten. Asma episodik jarang tidak memerlukan obat pengendali
(controller) untuk tatalaksana jangka panjang, sedangkan pada asma episodik sering dan asma
persisten harus diberikan obat pengendali. Obat pengendali dari golongan anti-inflamasi yang
sering digunakan adalah golongan kortikosteroid seperti budesonid, beklometason dipropionat,
dan flutikason. Bila terjadi serangan asma, maka digunakan obat pereda (reliever). Obat pereda
yang sering digunakan adalah golongan bronkodilator seperti metilsantin (teofilin), β2-agonis,
dan ipratropium bromida. Obat-obat ini dapat digunakan secara oral, parenteral, dan inhalasi,
tetapi untuk obat metilsantin lebih dipilih pemberian secara oral dan intravena daripada inhalasi,
karena obat ini menyebabkan iritasi saluran respiratori.
Telah diketahui secara luas bahwa obat anti-inflamasi yang sering digunakan adalah
golongan steroid. Sebagai dasar pada asma adalah terjadinya reaksi inflamasi sehingga
pengendalian dengan obat anti-inflamasi sangat dianjurkan pada asma episodik sering dan
asma persisten. Akan tetapi, harus disadari bahwa penggunaan kortikosteroid jangka panjang,
bila diberikan secara oral atau parenteral, dapat mengganggu tumbuh kembang anak secara
keseluruhan, selain efek samping lain yang mungkin timbul seperti hipertensi dan moon-face.
Oleh karena itu, pemberian kortikosteroid per inhalasi sangat dianjurkan. Jenis terapi inhalasi
yang diberikan dapat disesuaikan dengan usia pasien dan patokan ini tidak berlaku secara kaku.
Acuan untuk pemilihan terapi inhalasi dapat dilihat pada Tabel 6.4.
Sumber: Modifikasi dari Dolovich MB, Everard ML. Delivery of aerosols to children: devices and inhalation techniques. Dalam:
Naspitz C, Szefler SJ, Tinkelman D, Warner JO, penyunting. Textbook of pediatric asthma: an international perspective. London:
Martin Dunitz Ltd.; 2001. 327–46.
Peran terapi inhalasi pada asma anak dapat diterangkan sebagai berikut.
1. Saat serangan
Obat yang digunakan pada saat serangan adalah obat golongan bronkodilator, yang
tersering adalah β2-agonis yang dapat diberikan tersendiri atau bersama-sama dengan
ipratropium bromida. Pada serangan asma ringan, obat inhalasi yang diberikan hanya β2-
333
agonis, meskipun ada juga yang menambahkan ipratropium bromida. Schuch dkk. dalam
bvpenelitiannya menyatakan bahwa dengan menggunakan β2-agonis saja sudah dapat
meningkatkan force expiration volume 1 (FEV1) dan menghilangkan gejala serangannya,
sedangkan penambahan ipratropium bromida akan meningkatkan FEV1 yang lebih tinggi
lagi. PNAA menganjurkan pemberian β2-agonis saja pada serangan asma ringan, sedangkan
pada serangan asma berat diberikan bersama-sama dengan ipratropium bromida.
Pemberian nebulizer pada usia 18 bulan–4 tahun dianjurkan menggunakan mouthpiece
daripada masker muka untuk menghindari deposisi obat di muka dan mata. Apabila dengan
pemberian inhalasi obat tersebut serangan asma tidak teratasi/sedikit perbaikan, maka
dapat diberikan steroid sistemik. Pemberian steroid sistemik perlu diperhatikan pada anak
dengan serangan asma yang sering, karena anak ini berisiko mengalami efek samping
akibat pemberian steroid sistemik berulang kali, misalnya supresi adrenal, gangguan
pertumbuhan tulang, dan osteoporosis. Untuk mengurangi pemberian steroid oral yang
berkali-kali, maka untuk anak yang serangan asmanya tidak teratasi dengan inhalasi β2-
agonis di rumah dan belum/tidak memerlukan perawatan di rumah sakit, sebagai alternatif
dapat diberikan inhalasi budesonid dosis tinggi (1600 µg per hari). Akan tetapi, pemberian
steroid per inhalasi untuk mengatasi serangan asma masih kontroversial.
Penggunaan obat pereda per inhalasi pada serangan asma sangat bermanfaat dan justru
sangat dianjurkan daripada pemberian per oral maupun per injeksi. Hal ini sejalan dengan
prinsip terapi inhalasi, yaitu dengan dosis minimal dan onset kerja cepat dapat
menghilangkan atau mengurangi bronkokonstriksi. Meskipun demikian, penggunaannya
masih belum banyak, kemungkinan karena penggunaannya yang belum banyak diketahui,
harga obat masih mahal, dan persepsi yang salah dari sebagian dokter dan pasien. Hal ini
berlaku bukan hanya di Indonesia tetapi juga di negara maju. Penggunaannya pada dewasa
lebih banyak daripada anak.
Pada serangan asma, selain pemilihan jenis obat dan usia, harus pula diperhatikan jenis
alat inhalasi yang digunakan. Pada serangan asma ringan dan sedang, penggunaan MDI
dengan spacer, DPI, dan nebulizer sama baiknya, sedangkan pada serangan berat,
pemberian dengan nebulizer sangat dianjurkan karena lebih unggul. Hal ini dapat
dimengerti, karena pada saat serangan berat pasien sulit untuk inspirasi secara aktif yang
sangat dibutuhkan pada penggunaan MDI dan DPI, sedangkan dengan nebulizer pasien
cukup bersikap pasif.
2. Di luar serangan
Penggunaan obat inhalasi di luar serangan asma hanya diberikan bila memerlukan obat
pengendali, yaitu pada asma episodik sering dan asma persisten. Yang biasa digunakan
adalah natrium kromoglikat dan golongan steroid. Menurut PNAA, kromoglikat tidak
digunakan lagi karena berdasarkan penelitian efektifitasnya rendah, selain itu obat ini juga
sulit didapat.
Penggunaan steroid pada asma anak harus hati-hati dan memerlukan pengetahuan
secara benar mengingat efek samping yang mungkin timbul. Beberapa peneliti telah
membuktikan bahwa dengan penggunaan yang tepat dengan dosis, cara, dan jenis yang
sesuai, maka efek samping dapat dikurangi. Penggunaan obat inhalasi yang salah akan
meningkatkan efek samping seperti jamur/kandidiasis di daerah mulut, suara serak, dan
efek lainnya. Sebagian obat juga akan beredar ke seluruh tubuh melalui sistem
gastrointestinal, dan selanjutnya akan dieliminasi melalui hati, sehingga kadarnya berkurang
dalam peredaran sistemik. Obat yang baik adalah obat yang dapat dieliminasi tubuh
dengan baik, artinya kadar obat di dalam sirkulasi menjadi kecil.
334
Penggunaan steroid inhalasi pada asma episodik sering dan asma persisten memerlukan
waktu yang lama dan dosis yang mungkin bervariasi. Pada awal pengobatan diberikan
kortikosteroid dosis rendah (setara dengan 100 µg budesonid atau 50 µg flutikason).
Apabila dengan dosis ini selama 6–8 minggu asma masih belum stabil, maka dapat
diberikan beberapa alternatif, seperti meningkatkan steroid menjadi dosis medium (200–400
µg budesonid atau 100 µg flutikason), memberikan steroid dosis rendah ditambah long
acting beta agonist (LABA), menambahkan dengan theophylline slow release (TSR), atau
menambahkan dengan antileukotriene reseptor (ALTR). Apabila selama 6–8 minggu dengan
dosis ini pun masih belum stabil, maka dapat ditingkatkan menjadi steroid dosis tinggi
(≥400 µg budesonid atau >100 µg flutikason), atau dosis medium ditambahkan LABA, TSR,
atau ALTR. Apabila selama 6–8 minggu dengan cara ini pun belum berhasil, barulah
digunakan steroid oral sebagai alternatif terakhir penanganan jangka panjang asma pada
anak. Dalam menggunakan obat ini, harus dilakukan pemantauan gejala klinis dan bila
mungkin uji fungsi paru. Apabila terdapat perbaikan, dosis dapat diturunkan secara
bertahap dan perlahan-lahan menjadi dosis yang lebih kecil hingga menjadi dosis optimal,
dan pada akhirnya bila mungkin tidak menggunakan steroid sama sekali.
Penggunaan obat di atas dapat diberikan secara MDI dengan spacer atau dengan DPI.
Penggunaan dalam waktu lama (sekitar 2–3 tahun) dengan dosis 400 µg per hari tidak
mengganggu proses tumbuh kembang anak. Untuk bayi dan anak berusia dibawah 4 tahun
yang memerlukan steroid inhalasi, selain dengan MDI dan spacer, dapat diberikan secara
nebulisasi. Jadi, penggunaan steroid inhalasi dapat lebih aman apabila diketahui cara
penggunaannya.
Studi dengan kontrol terhadap budesonid tidak dapat membuktikan keuntungan pemberian
budesonid pada bronkiolitis akut maupun pencegahan mengi pasca bronkiolitis. Penelitian ini
mengevaluasi efek jangka pendek dan jangka panjang inhalasi suspensi budesonid
dibandingkan dengan plasebo, pada 201 bayi berusia 4–41 minggu. Bayi-bayi tersebut
dirandomisasi, satu kelompok diinhalasi plasebo tiap 12 jam selama 6 minggu, sedangkan
kelompok yang lain dengan inhalasi budesonid 1 mg tiap 12 jam selama 5 hari, dilanjutkan
dengan budesonid 0,5 mg tiap 12 jam hingga 6 minggu. Hasil yang didapatkan adalah tidak ada
perbedaan bermakna antara kelompok budesonid dengan kelompok plasebo dalam hal gejala
klinis setelah terapi inisial, maupun masa rawat di rumah sakit. Dalam pengamatan lanjutan
setelah 6 bulan dan 12 bulan, ternyata tidak ada perbedaan bermakna dalam prevalensi
wheezing, gejala klinis, ataupun penggunaan bronkodilator 2-agonis antara kelompok
budesonid dan kelompok plasebo.
Selain steroid inhaler, penggunaan bronkodilator juga menjadi perdebatan. Sebagian
berpendapat bahwa peran bronkodilator cukup bermanfaat, sedangkan sebagian lagi
berpendapat tidak. Alasan yang kurang mendukung pemberian bronkodilator adalah karena
pada usia bayi peran bronkodilator kurang jelas. Pada keadaan bronkiolitis, yang dominan
adalah inflamasinya, bukan bronkokonstriksinya, sehingga pemberian bronkodilator kurang
bermanfaat.
335
6.2.3 Croup
Nebulisasi steroid ternyata juga dapat mempercepat hilangnya gejala pada anak dengan croup
ringan–berat, dan mengurangi kemungkinan perawatan di rumah sakit. Suatu studi meta-
analisis mendapatkan hasil bahwa steroid inhalasi dapat mencegah perawatan pasien croup.
Dalam mengurangi gejala croup pada anak, inhalasi budesonid suspensi 2 mg atau 4 mg lebih
efektif daripada plasebo, sama efektifnya dengan nebulisasi epinefrin dan deksametason oral,
tetapi sedikit kurang efektif dibandingkan dengan deksametason intramuskular. Gejala croup
menghilang 2–3 jam setelah nebulisasi budesonid, hal ini merupakan implikasi penting dalam
mengurangi masa rawat di ruang gawat darurat.
Nebulisasi adrenalin (0,5 ml/kgBB cairan 1:1000) bermanfaat untuk mencegah intubasi,
menstabilkan pasien sebelum dialihkan ke pediatric intensive care unit (PICU), dan mengobati
stridor pascaintubasi. Efeknya hanya berlangsung sebentar (1–2 jam).
Peran inhalasi budesonid untuk terapi pada bayi prematur dengan risiko timbulnya
bronchopulmonary dysplasia (BPD) masih dalam penelitian. Studi terbaru menyatakan bahwa
nebulisasi budesonid merupakan alternatif yang efektif selain deksametason parenteral,
mengurangi lama penggunaan ventilasi mekanis, dan menurunkan kebutuhan kortikosteroid
sistemik.
336
Simpulan
Penggunaan terapi inhalasi merupakan pilihan tepat pada asma karena banyak manfaat yang
didapat, seperti onset kerjanya cepat, dosis obat kecil, efek samping minimal, dan langsung
mencapai target. Beberapa kendala dalam terapi inhalasi berupa teknik dan cara pemberian
yang kurang tepat, menyebabkan masih banyak orang yang tidak menggunakannya. Untuk
mengatasi masalah di atas, perlu diketahui indikasi, cara pemilihan obat, jenis, cara pemberian,
dan perlu berulang kali memantau apakah anak menggunakannya dengan tepat. Bahkan orang
tua dianjurkan mencoba alat inhalasi yang diberikan untuk anaknya. Dengan mengetahui hal
tersebut diharapkan pengobatan asma mencapai kemajuan yang cukup berarti.
Indikasi penggunaan terapi inhalasi pada asma anak adalah pada setiap pasien asma,
karena baik pada saat serangan maupun di luar serangan, pemberian inhalasi merupakan
pilihan utama. Pada terapi inhalasi harus diperhatikan jenis alat inhalasi; obat inhalasi baik
jenis, dosis, dan lamanya pemberian; serta efek samping yang mungkin timbul.
Daftar pustaka
1. Huchon G. Metered dose inhalers past and present: advantages and limitations. Eur Respir Rev
1997;7:26–8.
2. Matthys H. CFCs and their effect on the ozone layer: the Montreal protocol and consequences for
physicians. Eur Respir Rev 1997;7:29–31.
3. June D. Achieving the change: challenges and successes in the formulation of CFC-free MDIs. Eur
Respir Rev 1997;7:32–4.
4. Newman SP. New aerosol delivery system. Dalam: Barnes PJ, Grunstein MM, Leff AR, Woolcock AJ,
penyunting. Asthma. Volume ke-2. Philadelphia: Lippincott-Raven; 1997. h. 1805–15.
5. Reiser J, Warner JO. Inhalation treatment for asthma. Arch Dis Child 1986;61:88–94.
6. Barry PW, Fouroux B, Pederson S, O‘Callaghan C. Nebulizers in childhood. Eur Respir Rev
2000;10:527–35.
7. Dolovich MB, Everard ML. Delivery of aerosols to children: devices and inhalation techniques. Dalam:
Naspitz C, Szefler SJ, Tinkelman D, Warner JO, penyunting. Textbook of pediatric asthma: an
international perspective. London: Martin Dunitz Ltd.; 2001. h. 327–46.
8. Malmstrom K, Sorva R, Silvasti M. Application and efficacy of the multidose powder inhaler,
easyhaler, in children with asthma. Pediatr Allergy Immunol 1999;10:66–70.
9. Kanner RE, Kanter LJ, Dwork P. A comparison of drug delivery from a metered-dose inhaler plus an
inspiratory flow control device with a metered-dose inhaler plus a spacer device. J Allergy Clin
Immunol 1997;99:853–4.
10. Dolovich MB. Aerosols. Dalam: Barnes PJ, Grunstein MM, Left AR, Woolcock AJ, penyunting. Asthma.
Philadelphia: Lippincott-Raven; 1997. h. 1349–66.
11. Bertrand P, Aranibar H, Castro E, Sanchez I. Efficacy of nebulized epinephrine versus salbutamol in
hospitalized infants with bronchiolitis. Pediatr Pulmonol 2001;31:284–8.
12. Lannefors L, Heslop K, Teirlinck C. Nebulizer systems: contamination, microbial risk, cleaning and
effect on function. Eur Respir Rev 2000;10:76,571–5.
13. Freenhandler M, Asperen PPV. Nebuhaler versus nebulizer in children with acute asthma. BMJ
1984;288:1873–4.
14. Leach C. Safety assessment of the HFA propellant and the new inhaler. Eur Respir Rev 1997;7:35–6.
15. Bleecker E. Clinical reality: the safety and efficacy of the world‘s first CFC-free MDI. Eur Respir Rev
1997;7:37–9.
16. Kamps AWA, van Ewijk B, Roorda RJ, Brand PLP. Poor inhalation technique, even after inhalation
instructions, in children with asthma. Pediatr Pulmonol 2000;29:39–42.
337
17. Rubilar L, Castro-Rudriguez JA, Girardi G. Randomized trial of salbutamol via metered-dose inhaler
with spacer versus nebulizer for acute wheezing in children less than 2 years of age. Pediatr Pulmonol
2000;29:264–9.
18. Nikander K, Turpeinem M, Wolmer P. Evaluation of pulsed and breath-syncronized nebulization of
budesonide as a means of reducing nebulizer wastage of drug. Pediatr Pulmonol 2000;29:120–6.
19. Pederson S. Aerosol treatment of bronchoconstriction in children, with or without a tube spacer. N
Engl J Med 1983;308:1328–30.
20. O‘Donohue WJ. Guidelines for the use of nebulizers in the home and at domiciliary sites: report of a
consensus conference. Chest 1996;109:814–20.
21. Ahonen A, Leinonen M, Pesonen MR. Patient satisfaction with easyhaler compared with their
inhalation system in the treatment of asthma: a meta-analysis. Current Theraupetic Research
2000;61:61–73.
22. Lenfant C, Khaltaev N. Global initiative for asthma. NHLBI/WHO Workshop Report; 2002.
23. Warner JO, Naspitz CK. Third international pediatric consensus statement on the management of
childhood asthma. Pediatr Pulmonol 1998;25:1–17.
24. UKK Pulmonologi PP IDAI. Pedoman Nasional Asma Anak. Jakarta: 2004.
25. Schuch S, Johnson DW, Callahan S, Canny G, Levison H. Efficacy of frequent nebulized ipratropium
bromide added to frequent high-dose albuterol therapy in severe childhood asthma. J Pediatr
1995;126:639–45.
26. Nuhoglu Y, Bahceeiler, Barlan IB, Basaran MM. The effectiveness of high-dose inhaled budesonide
therapy in the treatment of acute asthma exacerbations in children. Annals of Allergy Asthma
Immunol 2001;86:318–22.
27. Rabe KF, Vermeire PA, Soriane JB, Maier WC. Clinical management of asthma in 1999: the asthma
insights and reality in Europe (AIRE) study. Eur Respir J 2000;16:802–7.
28. Condemi JJ, Chervinsky P, Goldstein MF, dkk. Fluticasone propionate powder administration through
diskhaler versus triamsolone acetonide aerosol administered through metered-dose inhaler in patients
with persistent asthma. J Allergy Clin Immunol 1997;100:468–74.
29. Allen HDW, Thong IG, Clifton-Bligh P, Holmes S, Nery L, Wilson KB. Effects of high-dose inhaled
corticosteroids on bone metabolism in prepubertal children with asthma. Pediatr Pulmonol
2000;29:188–93.
30. Kemp JP, Skoner DP, Szefler SJ, Walton-Bowen K, Rivera MC, Smith JA. Once-daily budesonide
inhalation suspension for the treatment of persistent asthma in infants and young children. Annals of
Allergy Asthma Immunol 1999;83:231–9.
31. Van Woensel JBM, van Aalderen WMC, Kimpen JLL. Viral lower respiratory tract infection in infants
and young children. BMJ 2003;327:36–40.
32. Szefler SJ. A review of budesonide inhalation suspension in the treatment of pediatric asthma.
Pharmacotherapy 2001;21(2):195–206.
338
7
Bunga rampai
7.1 Kelainan sistem respiratorik
akibat refluks gastroesofagus
Putu Suwendra, Putu Siadi Purniti, IB Subanada
Refluks gastroesofagus (gastroesophageal reflux) adalah suatu regurgitasi isi lambung yang
spontan ke dalam esofagus. Refluks ini secara klinis dibagi menjadi dua kelompok, yaitu refluks
fisiologis dan patologis. Refluks fisiologis dapat terjadi berulang-ulang sepanjang hidup,
terutama pada anak, tetapi umumnya tanpa mengakibatkan suatu kelainan yang berarti,
sedangkan refluks patologis dapat mengakibatkan berbagai kelainan respiratorik akibat aspirasi
asam lambung. Sebaliknya, kelainan respiratorik juga dapat memicu timbulnya refluks. Selain
itu, kedua kelainan ini dapat pula terjadi pada waktu yang bersamaan.
7.1.1 Prevalens
Refluks gastroesofagus dapat terjadi pada semua usia, dengan prevalens tertinggi pada bayi
kemudian menurun dan menghilang pada usia 12−15 bulan.
Refluks gastroesofagus fisiologis biasanya terjadi setelah makan (33% pada dua jam
pertama setelah makan), dan kadang-kadang terjadi ketika tidur. Refluks gastroesofagus yang
patologis jarang terjadi (0,3% dari seluruh refluks, umumnya terjadi dua jam setelah makan),
dan sebagian kecil terjadi ketika tidur.
7.1.2 Etiologi
Beberapa hal yang dapat menyebabkan terjadinya refluks, yaitu: penurunan kompetensi
sfingter esofagus bagian bawah, pengembalian bahan refluks dari esofagus yang tidak efisien,
dan gangguan fungsi tampung (reservoir) lambung. Berbagai kelainan yang dapat
menyebabkan timbulnya refluks akan bekerja melalui ketiga hal tersebut. (Tabel 7.1.1)
339
Tabel 7.1.1 Penyebab refluks pada bayi
Refluks fisiologis
tonus sfingter menurun
makan/minum berlebihan
batuk, dan lain-lain
Refluks patologis
esofagitis kronis
batuk kronis: asma, displasia bronkopulmoner, fibrosis kistik
pengaruh obat: aminofilin, β-blocker
kelainan anatomis saluran cerna: malrotasi, pankreas anular,
stenosis pilorus, fistula trakeoesofagus, akalasia, hernia
diafragmatika
infeksi: gastroenteritis akut, otitis media, infeksi saluran kemih
tekanan intrakranial meninggi
gangguan neurologis
miopati
penyakit ginjal kronis
gangguan metabolisme sejak lahir
toksin
alergi/intoleransi makanan: kedelai, susu sapi, dan lain-lain
340
7.1.2.2 Efisiensi pengembalian bahan refluks oleh esofagus
Dalam keadaan normal, 95% isi refluks dapat kembali ke lambung oleh gelombang peristaltik
primer atau sekunder. Refluks gastroesofagus pada esofagus berperan pada pengembalian
bahan refluks karena pengenceran oleh air ludah dan dorongan gelombang peristaltik.
Gangguan produksi air ludah (sysca sindrome) dan gangguan motilitas lambung dapat
mempengaruhi netralisasi asam lambung serta kemampuan esofagus mengembalikan bahan
refluks ke dalam lambung.
341
dalam esofagus tidak dapat dinetralisir. Gelombang peristaltik tersier ini berperan pula pada
terjadinya gejala nyeri ulu hati (heartburn) karena tekanan yang tinggi. Upaya terakhir untuk
mengurangi atau menghilangkan pengaruh asam lambung pada esofagus adalah melalui dilusi
oleh ludah yang tertelan tidak terjadi pada waktu tidur. Ludah sebenarnya tidak efektif dalam
menetralisasi asam lambung.
Secara skematis, berbagai komponen terpenting yang berperan pada timbulnya refluks
dapat dilihat pada Gambar 7.1.1.
342
7.1.4.1 Kelainan respiratorik yang dapat menimbulkan refluks
Kelainan-kelainan respiratorik yang dapat menimbulkan refluks:
1. Penyakit atau tindakan yang meningkatkan tekanan intra-abdomen.
Berbagai penyakit respiratorik yang menimbulkan batuk/wheezing dan ekspirasi memanjang
seperti pneumonia, displasia bronkopulmoner, asma, dan bronkiektasis, dapat menimbulkan
refluks karena meningkatkan tekanan intra-abdomen.
2. Penyakit yang menimbulkan overdistension toraks.
Penyakit yang menyebabkan terjadinya overdistension toraks dan mengakibatkan turunnya
diafragma, seperti asma, bronkiolitis, emfisema, dan lain-lain, akan menyebabkan
kompetensi sfingter esofagus bagian bawah berkurang, karena lebih banyak bagian sfingter
yang terdapat di dalam rongga dada memiliki tekanan yang negatif.
3. Penyakit yang meningkatkan tekanan negatif intratorakal.
Berbagai penyakit yang meningkatkan tekanan negatif intratorakal saat inspirasi, misalnya
fibrosis kistik atau penyakit paru kronis yang lain, dapat memudahkan terjadinya refluks,
karena mengurangi kompetensi bagian sfingter yang terletak intratorakal. Keadaan ini akan
semakin berat pada hernia diafragmatika karena sfingter terletak di dalam rongga dada.
Singultus, apnea obstruktif, dan stridor dapat menimbulkan tekanan negatif intratorakal,
sehingga memicu terjadinya refluks.
4. Medikamentosa penyakit respiratorik yang mengurangi kompetensi sfingter.
Teofilin dapat menurunkan tekanan sfingter esofagus bagian bawah. Pada dosis toksik
dapat mengakibatkan iritasi lambung dan muntah, yang sulit dibedakan dengan refluks.
Teofilin dan derivat xantin yang lain seperti kafein dapat meningkatkan sekresi asam
lambung, sehingga memperbesar bahaya yang ditimbulkan oleh bahan refluks. Obat beta-
adrenergik seperti isoproterenol, metaproterenol, dan albuterol juga dapat menurunkan
tekanan sfingter. Kortikosteroid oral (prednison) meningkatkan refluks gastroesofagus,
tetapi mekanismenya masih belum diketahui.
5. Pengaruh tembakau.
Merokok (termasuk perokok pasif) dapat mempermudah terjadinya refluks gastroesofagus,
karena nikotin dapat menurunkan tekanan sfingter melalui stimulasi adrenergik.
6. Tindakan pengobatan lain.
Drainase bronkial dan fisioterapi toraks dapat menyebabkan timbulnya refluks sebagai
akibat posisi berlawanan dengan posisi yang diperlukan untuk mencegah refluks, atau
akibat tekanan intra-abdomen yang meningkat karena batuk dan ekspirasi yang kuat, pada
saat fisioterapi toraks. Penggunaan selang nasogastrik, terutama jika berlangsung lama
dapat mempengaruhi sfingter esofagus, dapat menimbulkan esofagitis, bahkan dapat
menyebabkan striktur yang justru mempermudah terjadinya refluks.
Pemberian makanan melalui gastrostomi juga dapat memudahkan timbulnya refluks,
karena perubahan sudut masuk esofagus ke dalam lambung.
343
Pasien yang mengalami operasi koreksi atresia esofagus sering mengalami refluks
gastroesofagus dan kelainan di paru, yang disebabkan oleh gangguan motilitas bagian distal
esofagus.
Lokasi kelainan paru akibat refluks gastroesofagus pada anak yang sering berbaring,
ditemukan pada bagian lobus-kanan atas, sedangkan pada anak yang lebih besar karena lebih
banyak berdiri atau tegak, kelainannya ditemukan pada segmen apikal lobus-bawah.
Aspirasi bahan refluks dapat menyebabkan berbagai penyakit respiratorik (Tabel 7.1.2).
7.1.5 Diagnosis
Untuk menentukan suatu kelainan respiratorik yang disebabkan oleh refluks, tidak selalu mudah
dilakukan. Untuk menegakkan diagnosis, diperlukan anamnesis yang teliti, pemeriksaan fisis,
dan pemeriksaan penunjang.
Anamnesis
Untuk menentukan hubungan antara refluks dan kelainan pernapasan, tidak selalu mudah.
Anamnesis yang teliti, terutama tentang waktu terjadinya.
Gejala muntah tidak selalu ada, bahkan sering dianggap dianggap sebagai hal yang
biasa, sehingga tidak mendapat perhatian. Batuk dan tersedak dapat terjadi karena aspirasi isi
lambung akibat refluks.
Gejala lain yang mungkin terjadi adalah rewel, gejala esofagitis (striktur, perdarahan
saluran cerna, hematemesis, hematokezia, anemia, heartburn), gangguan pertumbuhan, dan
posisi tubuh yang abnormal/tortikolis (sindrom Sandifer). (Tabel 7.1.3)
Pada anak usia di atas 15 bulan, refluks sebaiknya selalu dianggap patologis, tetapi di
bawah usia 15 bulan pada umumnya fisiologis walaupun dapat juga patologis. Beberapa
kelainan seperti sindroma Down dan kelainan neurologis dapat memperbesar kemungkinan
terjadinya refluks patologis.
344
Tabel 7.1.3 Manifestasi klinis refluks gastroesofagus
Sering
Sering muntah
Kolik
Batuk malam hari
Wheezing
Pneumonia berulang
Otitis media berulang
Esofagitis
Jarang
Apnea
SIDS
Gagal tumbuh
Stridor
Kelainan posisi kepala, leher, dan toraks (sindrom Sandifer)
Sangat Jarang
Suara parau
Hemoptisis
Anemia
Fibrosis paru
Sumber: Modifikasi dari Platzker Arnold. Gastroesophageal reflux and Aspiration Syndromes. Dalam: Kendig Edwin L, penyunting.
Kendig‘s Disorders of the Respiratory Tract in Children. Edisi ke-6. Philadelphia, WB Saunders Co, 1998.
Uji diagnosis
Berbagai uji diagnosis dapat dilakukan untuk membedakan antara refluks fisiologis dan
patologis. Beberapa uji diagnosis dapat digunakan untuk menentukan penyebab dan akibat dari
refluks patologis. Indikasinya dapat dilihat pada Tabel 7.1.4.
Uji diagnosis dapat dibagi menjadi uji untuk : menentukan adanya refluks, mengetahui
penyebab refluks, menentukan adanya aspirasi, dan menentukan adanya kelainan akibat refluks
(Tabel 7.1.5).
345
Tabel 7.1.5 Kegunaan berbagai uji diagnostik
346
Aspirasi langsung
Apabila pada aspirasi langsung dari pipa endotrakea atau trakeostomi didapatkan susu, dapat
diperkirakan bahwa telah terjadi refluks dan aspirasi, asalkan dapat disingkirkan adanya
kemungkinan aspirasi dan disfagia pada saat menelan.
Fluoroskopi
Dengan bantuan kontras barium, dapat terlihat adanya aspirasi barium ke dalam trakea setelah
terjadi refluks.
Pemantauan pH esofagus
Salah satu pemeriksaan yang sering dipakai untuk memantau pH esofagus adalah uji Tuttle.
Pemeriksaan ini menggunakan suatu alat pengukur pH (pH probe), yang diletakkan kira-kira 3
cm di atas sfingter esofagus bagian bawah. Pasien diberikan 300 ml jus apel tanpa gula atau
larutan gula, atau larutan asam hidroklorida encer (pada orang dewasa HCl 0,1 N), melalui oral
atau dengan pipa nasogastrik. Makanan biasa tidak boleh diberikan sedikitnya satu jam selama
pemeriksaan ini dilakukan, karena dapat menjadi buffer bagi asam lambung.
Pada keadaan normal, pH esofagus adalah netral. Bila terjadi refluks, pH esofagus akan
menurun hingga dibawah 4. Refluks dianggap abnormal apabila selama pengamatan terjadi
refluks lebih dari 1 kali. Refluks dikatakan patologis apabila berlangsung lebih dari 4 menit.
Pada bayi normal berusia kurang dari 3 bulan, refluks dapat berlangsung hingga 11 menit.
Pemeriksaan ini mempunyai sensitivitas sekitar 90%, dan 25% menunjukkan hasil positif palsu.
347
Pengukuran tekanan sfingter esofagus
Tekanan sfingter esofagus dapat diukur dengan manometer. Bila ditemukan penurunan
tekanan, maka kemungkinan terdapat refluks pada anak.
Esofagoskopi
Esofagoskopi tidak dapat mendeteksi refleks patologis, kecuali bila telah terjadi kelainan seperti
esofagitis, striktur, dan kelainan anatomis yang lain. Pada bayi, usia di bawah 6 bulan,
esofagitis jarang terjadi karena produksi asam lambung masih sedikit dan terjadinya netralisasi
oleh susu yang diminum. Apabila tidak terdapat kelainan epitel esofagus pada esofagoskopi,
kemungkinan refluks belum dapat disingkirkan.
Biopsi esofagus
Apabila pengamatan dengan esofagoskopi meragukan, dapat dilakukan biopsi dengan bantuan
endoskopi fiberoptik. Sebagai petanda adanya refluks pada anak adalah ditemukannya sel
eosinofil di dalam mukosa esofagus. Selain itu dapat dijumpai: ulserasi akut, metaplasia sel
epitel menjadi sel silindris, (esofagus Barett). Apabila selain sel eosinofil ditemukan pula sel
polimorfonuklear, berarti telah terjadi esofagitis yang lebih berat. Perubahan epitel seperti
peningkatan proliferasi sel basal, papila bertambah panjang, yang dianggap bermakna pada
orang dewasa, jarang terjadi pada anak.
Ultrasonografi
Penggunaan uji ini masih belum banyak dilakukan pada anak.
348
7.1.6 Tatalaksana
Refluks dapat menimbulkan kelainan respiratorik dan intestinal, sehingga tatalaksana harus
memenuhi berbagai tujuan, yaitu mencegah terjadinya refluks, mengobati kelainan
gastrointestinal, dan mengobati kelainan respiratorik.
7.1.6.3 Medikamentosa
Refluks patologis umumnya memerlukan terapi tambahan seperti: obat prokinetik, dan obat
penetral asam lambung (seperti antasid atau H2-blocker).
Obat prokinetik
Diantara obat prokinetik yang banyak dipakai adalah betanikol, metoklopropamid, domperidon,
dan cisaprid.
349
1. Betanikol
Betanikol merupakan obat yang bersifat parasimpatomimetik, dan dapat diberikan pada bayi
dengan refluks. Betanikol bekerja pada sfingter esofagus bagian bawah dengan
meningkatkan tekanan sfingter pada saat istirahat.
2. Metoklopramid
Obat ini dapat meningkatkan tekanan sfingter esofagus-bawah dan mempercepat
pengosongan lambung dengan cara meningkatkan kontraksi antrum. Dosis yang dianjurkan
adalah 0,15 mg/kgBB/dosis yang diberikan setiap 6 jam. Dosis ini sebaiknya tidak
ditingkatkan pada bayi, bahkan sebaiknya dikurangi, terutama pada bayi prematur. Efek
samping yang sangat jarang terjadi adalah methemoglobinemia dan kelainan
ekstrapiramidal. Gejala tersebut dapat dicegah dengan penurunan dosis atau pemberian
antihistamin. Beberapa ahli tidak menganjurkan penggunaan obat ini pada bayi usia
dibawah 6 bulan karena dapat mempengaruhi susunan saraf pusat.
3. Domperidon
Domperidon dapat meningkatkan tonus sfingter esofagus-bawah dan motilitas antrum,
sehingga pengosongan lambung menjadi lebih cepat. Obat ini tidak melewati sawar darah-
otak, sehingga efek sampingnya lebih sedikit daripada metoklopramid.
4. Cisaprid
Cisaprid adalah obat yang memberikan manfaat lain yang menguntungkan, seperti
mengurangi batuk yang timbul pada malam hari akibat refluks. Cisaprid diberikan 3-4 kali
perhari dengan dosis 0,2 mg/kgbb/kali.
350
7.1.6.4 Penatalaksanaan operatif
Tindakan operasi dilakukan apabila dengan pengobatan medis yang intensif minimal selama 6
minggu, masih sering terjadi kekambuhan terjadi perburukan, dan refluks harus betul-betul
patologis, yang dapat dibuktikan dengan temuan yang obyektif. Hanya 24% kasus yang
memerlukan tindakan operasi berulang dengan tingkat kegagalan sekitar 10%.Tindakan operasi
dapat dilakukan dengan berbagai cara, bergantung pada macam kelainan yang dihadapi.
1. Gastrostomi
Gastrostomi merupakan tindakan operasi yang paling ringan. Cara yang banyak dianjurkan
adalah metode Stamm atau gastrostomi endoskopik perkutan. Cara ini memiliki risiko yang kecil
serta penyembuhan yang cepat. Bila dengan cara ini tidak berhasil, perlu dilakukan operasi
antirefluks yang lebih rumit.
2. Fundoplikasi
Empat cara operasi antirefluks yang banyak dilakukan adalah cara Belsey-Mark IV,
gastropeksi posterior menurut Hill, serta cara fundoplikasi Nissen dan Thal. Cara
Belsey-Mark dan cara Hill umumnya digunakan pada dewasa. Cara operasi yang banyak
dilakukan pada anak adalah operasi fundoplikasi Nissen atau Thal.
Daftar pustaka
1. Platzker Arnold. Gastroesophageal reflux and Aspiration Syndromes. Dalam: Kendig Edwin L,
penyunting. Kendig‘s Disorders of the Respiratory Tract in Children. Edisi ke-6. Philadelphia: WB
Saunders Co.; 1998. h. 584-600.
2. Division gastroenterology, hepatology, nutrition. Virginia commondwealth university.
Gastroesophageal reflux disease (GERD). Diunduh dari
http://www.gastro.vcu.edu/patients/education/digestivedisorders/gastroesophageal_reflux_disease.h
tml. Diakses pada: 13 Januari 2008.
3. Herbst JJ, Hilman BC. Gastroesophageal reflux and Respiratory Sequelae. Dalam: Hilman BC,
penyunting. Pediatric Respiratory Disease: Diagnosis and Treatment. Philadelphia: WB Saunders Co.;
1993. h. 521-32.
4. Sondheimer JM. Gastrointestinal Tract. Dalam: Hay WW, Hayward AR, Levin MJ, Sondheimer JM,
penyunting. Current Pediatric Diagnosis and Treatment. Current pediatric diagnosis and treatment. Edisi
ke-15. New York: Lange Medical Books; 2001. h. 561.
351
7.2 Laringotrakeomalasia
Noorleila Biran Affandi, Retno Widyaningsih
Stridor adalah bunyi inspirasi kasar dengan tinggi nada yang sedang, yang disebabkan oleh
obstruksi saluran respiratorik-atas yaitu pada laring atau trakea. Stridor yang menetap pada
hari-hari atau minggu pertama kehidupan umumnya merupakan anomali kongenital saluran
respiratori besar. Stridor yang semakin hebat pada posisi terlentang merupakan petunjuk
adanya laringomalasia atau trakeomalasia.
Laringomalasia adalah kelainan kongenital benigna, yang terjadi akibat kurang
berkembangnya kartilago yang menyokong struktur supraglotis. Kelainan ini sering
berhubungan dengan refluks gastroesofagus atau sindrom Down.
Pada trakeomalasia, anomali bisa terjadi pada trakea-distal, proksimal, atau seluruhnya.
Trakeomalasia primer atau kongenital terjadi karena tidak ada/berkurangnya kartilago,
sehingga dinding saluran respiratori menjadi kolaps atau lemah. Kelainan ini dapat
berhubungan dengan kelainan lain seperti fistula trakeoesofagus atau vascular ring.
Trakeomalasia sekunder atau didapat biasanya bersifat iatrogenik, misalnya pascatrakeostomi
atau akibat penekanan ekstrinsik oleh vascular ring atau tumor mediastinum.
7.2.1 Patofisiologi
Stridor akibat laringomalasia atau trakeomalasia disebabkan oleh meningkatnya kecepatan
turbulensi aliran udara akibat penyempitan/obstruksi laring yang sedang membuka pada regio
subglotis, serta getaran dari lipatan pita suara, atau akibat penyempitan pada trakea yang
terjadi karena tekanan dinamik selama inspirasi yang berasal dari tekanan negatif dalam trakea
di bagian distal obstruksi.
Bentuk normal laring, trakea, dan bronkus dipertahankan oleh cincin kartilago dan
elastisitas paru. Setiap faktor yang meningkatkan elastisitas laring, trakea, atau bronkus, atau
yang menurunkan elastisitas paru, akan menyebabkan penekanan atau obstruksi saluran
respiratori.
Pada laringotrakeomalasia, obstruksi terjadi saat inspirasi akibat tekanan selama
respirasi terhadap saluran respiratori intratorakal. Ketika melakukan inspirasi, terjadi
peningkatan tekanan dalam rongga mediastinum, sehingga laring atau trakea yang abnormal
tertekan dan menjadi kolaps. Bila lesi ekstratorakal, suara saluran respiratori yang kolaps akan
terdengar pada saat inspirasi, sedangkan bila lesi intratorakal, maka suara tersebut terdengar
pada saat ekspirasi. Karena hampir keseluruhan trakea terletak intratorakal, maka suara kolaps
dari trakea lebih sering terdengar pada saat ekspirasi. Kondisi ini sering disalahartikan sebagai
asma atau bronkiolitis.
352
Gejala klinis trakeomalasia bervariasi dari ringan hingga berat, bergantung pada lokasi,
panjang segmen saluran respiratori yang abnormal, dan beratnya kelainan. Secara umum
didapatkan stridor inspirasi, wheezing, batuk (kadang-kadang batuk yang menggonggong atau
disertai sesak napas), infeksi respiratori berulang, dan kesulitan pengeluaran lendir. Kadang-
kadang dapat disertai serangan refleks apnea, yaitu adanya episode henti napas, yang dapat
berlanjut menjadi henti jantung. Keadaan ini dialami oleh pasien dengan penekanan
trakeobronkial serta kelainan kardiovaskular bawaan.
Pada trakeomalasia primer, gejala biasanya muncul saat lahir atau pada minggu
pertama kehidupan. Gejala memburuk bila tidur terlentang atau saat mengalami infeksi
respiratorik dengan sekret yang banyak. Dapat pula disertai dengan suara serak atau afoni, dan
gangguan respiratorik yang cukup berat dengan retraksi suprasternal, sela iga, dan epigastrium.
Retraksi hebat akan mengakibatkan deformitas dada, sehingga bayi mengalami sesak berat dan
kesulitan makan. Selanjutnya didapatkan keadaan gizi kurang dan gangguan pertumbuhan.
7.2.4 Diagnosis
Diagnosis laringotrakeomalasia ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisis, dan
pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan bronkoskopi penting untuk menegakkan diagnosis
definitif.
7.2.5 Tatalaksana
Laringotrakeomalasia ringan biasanya sembuh sendiri tanpa tindakan spesifik, cukup dengan
tindakan suportif. Gejala akan berkurang secara bertahap hingga usia 2 tahun. Tindakan
suportif yang dapat dilakukan berupa:
Mencegah obstruksi dengan tidur miring─biasanya stridor akan berkurang─serta
membersihkan lendir dengan cara postural drainage, tapping, dan clapping.
353
Mencegah infeksi respiratori, dan bila terjadi infeksi harus diberikan antibiotik secara
adekuat dan tepat.
Mencegah aspirasi dengan pemberian makanan secara hati-hati, bila perlu dengan pipa
nasogastrik secara drip atau dot dengan lubang penetes yang kecil.
Edukasi orangtua mengenai adanya tanda-tanda bahaya, seperti sesak napas yang berat
dan sianosis, yang harus ditolong dokter.
Tindakan operasi merupakan alternatif pada laringotrakeomalasia berat yang tidak mengalami
perbaikan klinis, seperti pada pasien dengan kesulitan makan, gagal tumbuh, obstructive sleep
apnea, atau sesak berat. Tindakan berupa epiglotoplasti, trakeostomi, trakeopeksi, aortopeksi,
atau pemasangan stent. Operasi biasanya menunggu hingga anak berusia satu tahun.
Berdasarkan penelitian Greenholz, tindakan aortopeksi memberikan hasil yang lebih baik
daripada trakeostomi, ditinjau dari segi keberhasilan maupun efek sampingnya.
7.2.6 Prognosis
Secara umum prognosis kelainan ini baik, dengan angka kematian yang rendah. Sebagian anak
akan mengalami perbaikan spontan sebelum usia 1 tahun, tetapi beberapa kasus dapat terjadi
hingga usia 4 tahun.
Daftar pustaka
1. Bertrand P, Navarro H, Caussade S, dkk. Airway anomalies in children with Down Syndrome:
endoscopic findings. Pediatr Pulmonol 2003; 36(2):137–41.
2. Bye MR. Laryngomalacia. 2005. Diunduh dari: http://www.emedicine.com/PED/topic1280.htm.
Diakses pada 29 Januari 2006.
3. Bye MR. Tracheomalacia. 2005. Diunduh dari: http://www.emedicine.com/PED/topic2275.htm.
Diakses pada 29 Januari 2006.
4. Finder JD. Bronchomalacia and tracheomalacia. Dalam: Behrman RE, penyunting. Nelson textbook of
pediatrics. Edisi ke-17. Philadelphia: WB Saunders Co.; 2004. h. 1413.
5. Greenholz SK, Karrer FM, Lilly JR. Contemporary surgery of tracheomalacia. J Pediatr Surg 1986;
21:511–4.
6. Hay WW, Hayward AR, Levin MJ, Sondheimer JM. Congenital disorders of extrathoracic airway. Dalam: Hay
WW, penyunting. Current pediatric diagnosis and treatment. Edisi ke-16. New York: Lange Medical Books;
2003. h. 498–503.
7. Holinger LD. Congenital anomalies of the larynx. Dalam: Behrman RE, penyunting. Nelson textbook
of pediatrics. Edisi ke-17. Philadelphia: WB Saunders Co.; 2004. h. 1409.
8. Panitch HB. Noisy breathing in infants and children. Dalam: Bell LM, penyunting. Pediatric
pulmonology. Philadelphia: Mosby; 2005. h. 20–30.
9. Phelan PD, Onlinsky A, Robertson CF. Respiratory noises. Dalam: Phelan PD, penyunting. Respiratory
illness in children. Edisi ke-4. Oxford: Blackwell Scientific Publications; 1994. h. 101–4.
10. Taussig LM, Landau LI. Malformations of the larynx, trachea, and major bronchi. Dalam: Pediatric
respiratory medicine. St. Louis: Mosby; 1999. h. 1110–5.
354
7.2 Obstructive Sleep Apnea Syndrome (OSAS)
pada anak
Bambang Supriyatno
Tidur merupakan kebutuhan utama bagi anak, dan berfungsi sebagai restorasi dan homeostasis
seluruh sistem organ tubuh. Tidak jarang seseorang mengalami gangguan tidur mulai dari
ringan hingga berat, misalnya sulit tidur, mendengkur (snoring), hingga yang sangat kompleks
seperti sleep apnea syndrome.
Obstructive sleep apnea syndrome (OSAS) merupakan salah satu bagian dari OSA.
Sindrom ini pertama kali dilaporkan oleh Guillenimault dkk. pada tahun 1976, yaitu terjadi pada
delapan anak berusia 5−14 tahun, berdasarkan manifestasi klinis dan polisomnografi. Setelah
dilaporkan adanya OSAS pada anak, beberapa ahli mulai meneliti lebih jauh tentang OSAS pada
anak.
Kecurigaan adanya OSAS ditandai dengan ditemukannya gejala mendengkur (snoring)
pada anak. Prevalens mendengkur pada anak sekitar 3,2−12,1%, sedangkan prevalens OSAS
sekitar 0,7−10,3%. Adanya perbedaan yang cukup besar tersebut dikarenakan perbedaan
metode yang digunakan. Ada yang menggunakan polisomnografi (PSG) sebagai alat diagnosis
baku emas, ada yang tidak menggunakannya. Selain itu, terdapat perbedaan mengenai definisi
mendengkur.
Obstructive sleep apnea syndrome pada anak sangat berbeda dengan dewasa. Obesitas
merupakan faktor risiko utama terjadinya OSAS pada dewasa, sedangkan pada anak, walaupun
termasuk faktor risiko, obesitas bukanlah faktor risiko utama.
7.3.1 Definisi
Sleep apnea syndrome adalah suatu sindrom yang ditandai oleh adanya episode apnea atau
hipopnea saat tidur. Apnea dapat disebabkan oleh kelainan sentral, obstruktif, atau campuran.
Apnea obstruktif adalah berhentinya aliran udara melalui hidung dan mulut meskipun disertai
usaha bernapas, sedangkan apnea sentral adalah berhentinya pernapasan yang tidak disertai
dengan usaha bernapas akibat tidak adanya rangsang napas. Istilah hipoventilasi obstruktif
digunakan untuk menunjukkan adanya hipopnea, yang berarti terdapat pengurangan aliran
udara. Hipoventilasi obstruktif disebabkan oleh obstruksi parsial aliran udara yang
menyebabkan hipoventilasi dan hipoksia.
Obstructive sleep apnea syndrome adalah sindrom obstruksi komplit atau parsial jalan
napas yang menyebabkan gangguan fisiologis bermakna dengan dampak klinis yang bervariasi.
Istilah primary snoring (mendengkur primer) digunakan untuk menggambarkan anak dengan
kebiasaan mendengkur yang tidak berkaitan dengan apnea obstruktif, hipoksia, atau
hipoventilasi.
Guilleminault dkk. mendefinisikan sleep apnea sebagai berikut: adanya episode apnea
sebanyak 30 kali atau lebih dalam 8 jam, lamanya apnea minimal 10 detik, dan terjadi pada
fase tidur rapid eye movement (REM) maupun nonrapid eye movement (NREM). Istilah apnea
index (AI) dan hypopnea index (HI) menggambarkan frekuensi apnea atau hipopnea per jam.
Apnea index dan HI dapat digunakan sebagai indikator berat-ringannya OSAS.
355
7.3.2 Epidemiologi
Obstructive sleep apnea syndrome lebih sering terjadi pada dewasa daripada anak. Kebiasaan
mendengkur didapat pada masa anak-anak, dan terjadi pada 7−9% anak prasekolah dan anak
usia sekolah. Schechter dkk. mendapatkan bahwa prevalens mendengkur adalah 3,2−12,1%,
bergantung pada kriteria inklusi yang dipakai. Gangguan pernapasan selama tidur didapatkan
pada kira-kira 0,7−10,3% anak berusia 4−5 tahun. Obstructive sleep apnea syndrome terjadi
pada anak pada semua usia, termasuk neonatus.
Pada masa neonatus, insidens apnea sekitar 25% pada bayi dengan berat badan lahir
<2500 gram, dan 84% dengan berat badan lahir <1000 gram. Insidens tertinggi terjadi pada
usia 3−6 tahun, karena pada usia ini sering terjadi hipertrofi tonsil dan adenoid. Pada anak,
kejadian OSAS tidak berhubungan dengan jenis kelamin, sedangkan pada dewasa, laki-laki lebih
sering mengalami OSAS daripada perempuan, dengan perbandingan 8:1. Diketahui pula adanya
kecenderungan familial untuk terjadinya OSAS. Yoshizuwa dkk. di Jepang, menggambarkan
hubungan antara OSAS dan tipe HLA-A2 yang khas. Prevalens OSAS pada kelompok etnik yang
berbeda tidak diketahui.
7.3.3 Patogenesis
Patogenesis OSAS pada anak belum banyak diketahui. Obstructive sleep apnea syndrome
timbul jika terdapat gangguan pada faktor yang mempertahankan patensi saluran respiratori
dan komponen jalan napas-atas (misalnya ukuran anatomis) yang menyebabkan kolapsnya
jalan napas. Faktor-faktor yang memelihara patensi saluran respiratori adalah: a) respons pusat
ventilasi terhadap hipoksia, hiperkapnia, dan sumbatan jalan napas, b) efek pusat rangsang
dalam meningkatkan tonus neuromuskular jalan napas-atas, dan c) efek dari keadaan tidur dan
terbangun.
Terdapat dua teori patofisiologi obstruksi (kolaps) jalan napas, yaitu:
1. Teori balance of forces.
Ukuran lumen faring bergantung pada keseimbangan antara tekanan negatif intrafaring
yang timbul selama inspirasi dan aksi dilatasi otot-otot jalan napas atas. Tekanan
transmural pada saluran respiratori atas yang mengalami kolaps disebut closing pressure.
Dalam keadaan bangun, aktivasi otot jalan napas atas akan mempertahankan tekanan
transmural agar lebih besar dari closing pressure, sehingga jalan napas atas tetap paten.
Pada saat tidur, tonus neuromuskular berkurang dan mengakibatkan lumen faring mengecil,
sehingga aliran udara menjadi terbatas atau terjadi obstruksi.
2. Teori starling resistor.
Jalan napas atas berperan sebagai starling resistor, yaitu perubahan tekanan yang
memungkinkan farings mengalami kolaps, dan menentukan aliran udara yang melalui
saluran respiratori atas.
356
7.3.4 Faktor risiko
Faktor risiko terjadinya OSAS pada anak antara lain adalah hipertrofi adenoid dan tonsil,
disproporsi kraniofasial, obesitas, dan lain-lain. Hipertrofi adenoid dan tonsil merupakan
keadaan yang paling sering menyebabkan OSAS pada anak. Ukuran adenoid dan tonsil tidak
berbanding lurus dengan berat ringannya OSAS. Ada anak dengan hipertrofi adenoid yang
cukup besar, tetapi OSAS yang terjadi masih ringan, sebaliknya ada anak dengan hipertrofi
adenoid ringan yang menunjukkan gejala OSAS yang cukup berat. Hipertrofi adenoid dan tonsil
dapat juga menyebabkan penyulit pada anak dengan kelainan dasar tulang. Pada sebagian
besar anak, OSAS membaik setelah dilakukan adenotonsilektomi, sedangkan pada sebagian
kecil akan menetap setelah dioperasi. Pada suatu penelitian didapatkan bahwa sebagian kecil
anak dengan OSAS yang telah berhasil diatasi dengan adenotonsilektomi akan mengalami
rekurensi gejala pada masa remaja.
Anak dengan anomali kraniofasial yang mengalami penyempitan struktur saluran
respiratorik yang signifikan (mikrognasi dan hipoplasia midfasial) akan mengalami OSAS. Anak
dengan disproporsi kraniofasial dapat mengalami sumbatan saluran respiratori meskipun tidak
disertai hipertrofi adenoid.
Salah satu penyebab OSAS yang lain adalah obesitas. Pada dewasa, obesitas merupakan
penyebab utama OSAS, sedangkan pada anak, obesitas bukanlah penyebab utama. Penentuan
obesitas dapat dilakukan dengan menghitung indeks massa tubuh/IMT (body mass index, BMI)
dan mengukur lingkar leher. Untuk menentukan OSAS, penghitungan lingkar leher lebih
berperan daripada penghitungan IMT. Lingkar leher yang besar atau obesitas pada tubuh
bagian atas berhubungan dengan peningkatan penyakit kardiovaskular. Selain itu, diduga juga
berhubungan dengan gejala mendengkur dan OSAS.
Mekanisme terjadinya OSAS pada obesitas adalah terjadinya penyempitan saluran
respiratorik-atas akibat penumpukan jaringan lemak di dalam otot dan jaringan penunjang di
sekitar saluran respiratorik, serta kompresi eksternal leher dan rahang. Selain penumpukan
lemak di daerah leher yang diduga dapat membuat saluran respiratori atas menjadi lebih
sempit, kemungkinan lain adalah velofaring pada pasien obes dengan leher yang besar lebih
mudah mengalami kolaps, sehingga dapat mempermudah terjadinya sumbatan saluran
respiratori atas saat tidur.
7.3.5 Patofisiologi
Pasien dengan OSAS mampu mempertahankan patensi saluran respiratori atas selama
bangun/tidak tidur, karena pada saat itu terjadi peningkatan tonus otot saluran respiratori
akibat masukan dari pusat kortikal yang lebih tinggi. Selama tidur, jalan napas atas mengalami
kolaps pada saat inspirasi dan kadang-kadang menyebabkan peningkatan usaha bernapas.
Anak-anak lebih sering mengalami periode obstruksi parsial saluran respiratori yang
berkepanjangan dan hipoventilasi daripada orang dewasa.
Apnea lebih jarang terjadi pada anak dan umumnya durasinya lebih singkat daripada
orang dewasa. Hipoksia dan hiperkapnia terjadi akibat siklus obstruksi parsial atau komplit.
Apnea obstruktif menyebabkan peningkatan aktivitas otot-otot dilatator saluran respiratorik-atas
dan mengakibatkan berhentinya apnea. Pada anak dengan OSAS, arousal (terbangun) jauh
lebih jarang dan obstruksi parsial dapat berlangsung terus selama berjam-jam tanpa terputus.
357
7.3.6 Manifestasi klinis
Manifestasi klinis yang terbanyak adalah kesulitan bernapas pada saat tidur yang biasanya
timbul perlahan-lahan. Sebelum gejala kesulitan bernapas terjadi, gejala yang ditemukan
adalah mendengkur. Pada anak, dengkuran dapat terjadi terus-menerus (setiap tidur) atau
hanya pada posisi tertentu saja. Umumnya, setiap sedang tidur anak akan mendengkur keras
sehingga terdengar dari luar kamar, serta terdapat episode apnea yang mungkin diakhiri
dengan refluks gastroesofagus atau terbangun. Sebagian kecil anak tidak menunjukkan gejala
berupa dengkuran yang klasik, tetapi hanya berupa dengusan, hembusan napas, atau
pernapasan yang berbunyi/ribut (noisy breathing). Timbulnya usaha bernapas ditunjukkan
dengan adanya retraksi. Untuk mempertahankan patensi jalan napas, posisi saat tidur biasanya
tengkurap, setengah duduk, atau leher hiperekstensi.
Pada pemeriksaan fisis dapat ditemukan hal-hal sebagai berikut: anak bernapas melalui
mulut; dapat ditemukan fasies adenoid, hipoplasia midfasial, retro/mikrognasi, atau kelainan
kraniofasial lainnya; obesitas; gagal tumbuh; dan stigmata alergi, misalnya alergic shiners atau
lipatan horizontal hidung. Pada pemeriksaan patensi hidung, perlu diperhatikan adakah deviasi
septum atau polip hidung, ukuran lidah, integritas palatum, daerah orofaring, mukosa palatum
yang berlebih, ukuran tonsil, dan ukuran uvula. Pada pemeriksaan dada dapat ditemukan
pectus excavatum. Pada pemeriksaan auskultasi, paru biasanya normal. Pemeriksaan jantung
dapat memperlihatkan tanda hipertensi pulmoner, misalnya peningkatan komponen pulmonal
bunyi jantung II, atau pulsasi ventrikel kanan. Pemeriksaan neurologis harus dilakukan untuk
mengevaluasi tonus otot dan status perkembangan.
7.3.7 Diagnosis
7.3.7.1 Polisomnografi
Polisomnografi merupakan pemeriksaan baku emas untuk menegakkan diagnosis OSAS. Untuk
mendapatkan diagnosis definitif, pemeriksaan dilakukan ketika anak sedang tidur. Tanda dan
gejala obstructive sleep apnea pada anak lebih ringan daripada dewasa, sehingga diagnosisnya
lebih sulit dan harus dipertegas dengan polisomnografi. Polisomnografi juga akan
menyingkirkan penyebab gangguan respiratorik selama tidur yang lain. Pemeriksaan ini
merupakan pengukuran obyektif beratnya penyakit dan dapat digunakan sebagai data dasar
untuk mengevaluasi keadaan setelah operasi.
358
Dengan rumus di atas, kemungkinan OSAS ditentukan berdasarkan nilai sebagai berikut.
Skor <-1 : bukan OSAS.
Skor -1 sampai 3,5 : mungkin OSAS, mungkin bukan OSAS.
Skor >3,5 : sangat mungkin OSAS.
Kemungkinan adanya OSAS dapat diprediksi dengan menggunakan skor tersebut, tetapi
meskipun skor >3,5, penegakan diagnosis pasti tetap memerlukan pemeriksaan polisomnografi.
Beberapa peneliti dapat menerima penggunaan skor tersebut, tetapi banyak pula yang tidak
menyetujuinya. Skoring tersebut mempunyai nilai sensitivitas 73% dan spesifisitas 83% bila
dibandingkan dengan polisomnografi.
7.3.8 Tatalaksana
Tatalaksana OSAS pada anak dibagi menjadi dua kelompok besar, yaitu tindakan bedah dan
medis (nonbedah). Tindakan bedah yang dilakukan adalah tonsilektomi dan/atau
adenoidektomi, dan koreksi terhadap disproporsi kraniofasial, sedangkan terapi medis dapat
berupa diet pada anak dengan obesitas dan continuous positive airway pressure (CPAP).
359
7.3.8.1 Tindakan nonbedah
Continuous Positive Airway Pressure (CPAP)
Penggunaan CPAP nasal menunjukkan hasil yang baik pada anak, termasuk bayi, anak dengan
obesitas, sindrom Down, akondroplasia, ataupun kelainan kraniofasial. Pada anak, CPAP
terutama berguna untuk pasien obesitas dan pasien dengan OSAS yang menetap setelah
dilakukan tonsilektomi dan/atau adenoidektomi. Indikasi pemberian CPAP adalah 1) jika setelah
dilakukan tonsilektomi dan/atau adenoidektomi pasien masih mempunyai gejala OSAS; dan 2)
pada saat menunggu tindakan tonsilektomi dan/atau adenoidektomi. Kunci keberhasilan terapi
CPAP adalah kepatuhan berobat, yang memerlukan persiapan pasien yang baik, edukasi, dan
pemantauan intensif.
Penggunaan CPAP dengan peningkatan tekanan inspirasi secara bertahap atau dengan
tekanan ekspirasi yang lebih rendah dapat meningkatkan kenyamanan pasien. Efek samping
CPAP biasanya ringan dan berhubungan dengan kebocoran udara di sekitar selang masker.
Keadaan ini dapat menyebabkan mata kering, konjungtivitis, dan ruam (rash) pada kulit.
Dekongestan, tetes hidung NaCl fisologis, atau penggunaan sistem CPAP dengan menggunakan
humidifier dapat mengurangi efek samping.
Medikamentosa
Obstruksi hidung merupakan faktor yang biasanya dapat mempermudah terjadinya OSAS pada
anak, dan dapat diobati dengan dekongestan hidung atau inhalasi steroid. Progesteron
digunakan sebagai stimulan pernapasan pada anak dengan sindrom hipoventilasi obesitas
(obesity hypoventilation syndrome). Keberhasilan pemberian obat-obat tersebut kurang
bermakna sehingga kurang dianjurkan. Obat penenang dan obat yang mengandung alkohol
harus dihindari karena dapat memperberat OSAS.
360
obesitas dan disproporsi kraniofasial, OSAS akan tetap timbul pascaoperasi. Meskipun demikian,
karena OSAS terjadi akibat ukuran struktur komponen saluran napas atas relatif kecil
dibandingkan dengan ukuran absolut tonsil dan adenoid, ada yang berpendapat bahwa
tindakan tonsilektomi dan/atau adenoidektomi tetap diperlukan pada keadaan di atas.
Pasca tonsilektomi dan/atau adenoidektomi diperlukan pemantauan dengan
polisomnografi sebagai tindak lanjut. Kadang-kadang gejala masih ada selama beberapa
minggu, kemudian menghilang. Tatalaksana nonmedis lainnya, seperti penanganan obesitas,
tetap dilakukan meskipun telah dilakukan tonsilektomi dan/atau adenoidektomi.
Trakeostomi
Trakeostomi merupakan tindakan sementara untuk anak dengan OSAS berat yang mengancam
hidup dan untuk anak yang tinggal di daerah tanpa peralatan operasi yang memadai.
7.3.9 Komplikasi
Komplikasi OSAS terjadi akibat hipoksia kronik nokturnal, asidosis, dan sleep fragmentation.
7.3.9.4 Enuresis
Enuresis dapat disebabkan oleh adanya kelainan regulasi hormon yang mempengaruhi cairan
tubuh. Enuresis, khususnya yang sekunder, dapat membaik setelah obstruksi saluran
respiratorik-atas teratasi.
361
7.3.9.5 Penyakit respiratorik
Pasien OSAS cenderung mengalami aspirasi sekret dari saluran respiratori atas, sehingga dapat
mengakibatkan kelainan respiratorik bawah dan memungkinkan terjadinya infeksi respiratorik.
Keadaan ini dapat membaik setelah dilakukan tonsilektomi dan/atau adenoidektomi. Beberapa
anak dengan tonsil yang besar mengalami disfagia atau sering merasa tercekik, dan berisiko
mengalami aspirasi.
7.3.10 Simpulan
Tidur merupakan salah satu bagian terpenting dari siklus kehidupan seseorang. Gangguan pada
tidur dapat berupa gangguan ringan hingga berat. Obstructive sleep apnea syndrome
merupakan penyebab kesakitan yang cukup sering ditemukan pada anak. Manifestasi klinis
OSAS dapat berupa mendengkur dengan episode apnea, bernapas melalui mulut, dengan atau
tanpa hipertrofi tonsil dan adenoid, kelainan kraniofasial, infeksi respiratori berulang, gangguan
belajar dan tingkah laku, mengantuk pada siang hari, enuresis, hingga gagal tumbuh.
Penentuan diagnosis pasti OSAS adalah dengan pemeriksaan polisomnografi, yang merupakan
pemeriksaan baku emas untuk OSAS. Beberapa pemeriksaan lain, seperti skor OSAS, pulse
oxymetry, dan lain-lain dapat digunakan sebagai uji tapis. Tatalaksana OSAS pada anak dapat
dibagi menjadi tatalaksana medis dan bedah. Tatalaksana bedah yaitu tonsilektomi dan/atau
adenoidektomi, sedangkan tatalaksana medis yaitu pemberian CPAP, dan diet pada pasien
dengan obes.
Daftar pustaka
1. Marcus CL, Carroll JL. Obstructive sleep apnea syndrome. Dalam: Loughlin GM, Eiger H, penyunting.
Respiratory disease in children: diagnosis and management. Baltimore: William & Wilkins; 1994. h.
475–91.
2. Guilleminault C, Eldredge FL, Simmons B. Sleep apnea in eight children. Pediatrics 1976;58:23–31.
3. Schechter MS. Technical report: diagnosis and management of childhood obstructive sleep apnea
syndrome. Pediatrics 2002; 109:1–20.
4. Brouillette RT, Fernbach SK, Hunt CE. Obstructive sleep apnea in infants and children. J Pediatr 1982;
100:31–9.
5. Carroll JL, Loughlei GM. Diagnostic criteria for obstructive sleep apnea syndrome in children. Pediatr
Pulmonol 1992; 14:71–4.
6. Deegan MN. Clinical prediction rules in obstructive sleep apnea syndrome. Eur Respir J 1997;
10:1194–5.
7. Ali NJ, Pitson DJ, Stardling JR. The prevalence of snoring, sleep disturbance and sleep related
disoders and their relation of daytime sleepiness in 4–5 years old children. Am Rev Respir Dis 1991;
143:381A.
8. Ali NJ, Pitson DJ, Stardling JR. Snoring, sleep disturbance and behavior in 4–5 years old. Arch Dis
Child 1993; 68:360–6.
9. Miller MJ, Martin RJ. Apnea of prematurity. Dalam: Hunt CE, penyunting. Clinics in perinatology.
Philadelphia: WB Saunders; 1992. h. 789–804.
10. Yoshizawa T, Kurashina K, Sasaki I. Analysis of HLA antigens with obstructive sleep apnea syndrome.
Am Rev Respir Dis 1991; 143:381A.
362
11. Smith RS, Ronald J, Delaive K, Walld R, Manfreda J, Kryger MH. What are obstructive sleep apnea
patients being treated for prior to this diagnosis?. Chest 2002; 121:164–72.
12. Deegan PC, McNicholas WT. Pathophysiology of obstructive sleep apnoea. Dalam: McNicholas WT,
penyunting. Respiratory disorders during sleep. United Kingdom: ERS J Ltd.; 1998. h. 28–62.
13. Partinen M, McNicholas WT. Epidemiology, morbidity, and mortality of the seep apnoea syndrome.
Dalam: McNicholas WT, penyunting. Respiratory disorders during sleep. United Kingdom: ERS J Ltd.;
1998. h. 63–74.
14. Neil AM, Angus SM, Sajkov D. Effects of sleep posture on upper airway stability in patients with
obstructive sleep apnea. Am J Respir Crit Care Med 1997; 155:199–204.
15. McColley SA, Carroll JL, Curtis S. High prevalence of allergic sensitization in children with habitual
snoring and obstructive sleep apnea. Chest 1997; 111:170–3.
16. Laks L, Lehrhaft B, Grunstein RR. Pulmonary artery pressure response to hypoxia in sleep apnea. Am
J Respir Crit Care Med 1997; 155:193–8.
17. Brouillette R, Hanson D, David R. A diagnostic approach to suspected obstructive sleep apnea in
children. J Pediatr 1984; 105:10.
18. Moreilli A, Ladan S, Ducharme FM. Can sleep and wakefulness be distinguished in children by
cardiorespiratory and videotape recordings?. Chest 1996; 109:680–7.
19. Entzian P, Linnemann K, Schlaak M. Obtructive sleep apnea syndrome and circadian rhytms of
hormones and cytokines. Am J Respir Crit Care Med 1996;153:1080–6.
20. Ryan CF, Love LL. Mechanical properties of the velopharynx in obese patients with obstructive sleep
apnea. Am J Respir Crit Care Med 1996; 154:806–12.
21. Teschler H, Jones MB, Thomson AB, dkk. Automated continuous positive airway pressure titration for
obstructive sleep apnea syndrome. Am J Respir Crit Care Med 1996; 154:734–40.
22. Levy P, Bettega G, Pepin JL. Surgical management options for snoring and sleep apnoea. Dalam:
McNicholas WT, penyunting. Respiratory disorders during sleep. United Kingdom: ERS J Ltd.; 1998. h.
205–26.
23. Montserrat JM, Ballester E, Hernands L. Overview of management options for snoring and sleep
apnoea. Dalam: McNicholas WT, penyunting. Respiratory disorders during sleep. United Kingdom:
ERS J Ltd.; 1998. h. 144–78.
24. Demain JG, Goetz DW. Pediatric adenoidal hypertrophy and nasal airway obstructive with aqueous
nasal beclomethason. Pediatrics 1995; 95(3):355–64.
363
7.4 Hernia dan eventrasio diafragmatika
Helmi Lubis
7.4.1.1 Patogenesis
Diafragma yang berkembang antara minggu 8−10 kehidupan janin akan memisahkan rongga
selom menjadi bagian abdomen dan toraks.
Bagian-bagian diafragma adalah septum transversum yang membentuk tendinosa
diafragma, dua selaput pleuroperitoneal, komponen mesenterium dorsal esofagus, dan
komponen otot dinding tubuh.
Septum transversum berkembang di bawah jantung dan meluas dari sternum ke dorsal
mesenterium foregut, dan membentuk bagian sentral diafragma. Defek pada septum
transversum akan mengakibatkan terjadinya hernia Morgagni. Hernia Morgagni kebanyakan
terjadi pada sebelah kanan yang berisi sebagian hati, omentum, dan usus. Hal ini kemungkinan
karena defek sebelah kiri selalu tertutup oleh jantung dan perikardium.
Bagian lateral dan posterior (posterolateral) diafragma yang dibentuk oleh selaput
pleura dan peritoneum (lipatan pleuroperitoneal) merupakan bagian diafragma yang menutup
paling akhir, dan biasanya yang sebelah kiri akan menutup lebih lama daripada yang kanan.
Mesoderm dinding badan akan bersinggungan di antara pleura dan peritoneum, yang
selanjutnya akan menjadi otot diafragma.
Secara normal, diafragma bagian posterolateral menutup sebelum midgut berputar
kembali ke rongga abdomen. Bila midgut kembali ke rongga abdomen lebih dini, atau bila
perkembangan difragma terlambat, usus akan menonjol melalui sinus pleuroperitoneal ke dalam
dada, oleh karena itu diafragma tidak dapat menutup. Bila hal ini terjadi sebelum ada pleura
dengan peritoneum, akan terjadi hernia tanpa kantong. Jika selaput pleuraperitoneal terbentuk
tanpa disertai perkembangan otot, maka terjadilah hernia yang berkantong (kurang dari 10%
kasus).
364
Lubang pada bagian posterolateral diafragma dapat terjadi dalam berbagai ukuran dan
dapat terbentuk bilateral. Pada rongga dada kiri dapat dijumpai usus besar, usus halus,
lambung, dan limpa, sedangkan pada rongga dada kanan dapat dijumpai hati. Pada hernia
tanpa kantong, organ-organ hernia dapat mencapai apeks toraks.
7.4.1.2 Patofisiologi
Defek pada diafragma dapat berupa lubang kecil atau sebagai celah, atau dapat mengenai
seluruh hemidiafragma. Perubahan-perubahan atau kelainan patologik yang terjadi pada bayi-
bayi dengan HDK tidak hanya terbatas pada diafragma. Lubang yang terjadi dapat menekan
paru ipsilateral sebelum perkembangan lung buds (75−90 hari), dapat pula mengenai paru
kontralateral akibat pergeseran mediastinum. Sehingga terjadi hipoplasia paru bilateral, dengan
kelainan yang lebih nyata pada paru ipsilateral.
Hipoplasia paru ditandai dengan sangat berkurangnya jumlah alveoli dan cabang-cabang
bronkiolus. Ukuran kedua paru juga lebih kecil daripada paru pada bayi normal, dengan usia
dan berat badan yang sama.
Pembuluh darah pulmonal pada paru yang hipoplasia juga menunjukkan abnormalitas
berupa peningkatan massa otot medial arteriol dan menjadi lebih vasoreaktif. Paru yang
hipoplastik tidak dapat melakukan ventilasi dan oksigenasi secara adekuat, sehingga
mengakibatkan desaturasi oksigen darah arteri, asidosis (campuran respiratorik dan metabolik),
dan akhirnya terjadi hipertensi pulmoner. Hipoksia, hiperkarbia, dan asidosis menimbulkan
vasokonstriksi arteriol bed pulmonalis, meningkatkan tekanan arteri pulmonalis, dan
menimbulkan R to L shunt melalui foramen ovale atau duktus arteriosus. Setiap shunt (pirai)
akan meningkatkan campuran darah vena sebagai akibat dari masalah ventilasi-perfusi pada
paru hipoplastik yang kolaps. Oksigenasi dan ventilasi menjadi bertambah buruk dan siklus
akan berulang.
365
7.4.1.4 Diagnosis
Diagnosis prenatal dapat diketahui melalui USG. Hasil pemeriksaan yang mengarah ke diagnosis
hernia diafragmatika adalah terdapatnya lambung di dada kiri (hernia bagian kiri) dengan
mediastinum yang terdorong ke arah kontralateral. Defek di bagian kanan lebih sulit untuk
didiagnosis. Ditemukannya HDK pada usia kehamilan <18 minggu dihubungkan dengan
tingginya angka mortalitas.
Perlu dilakukan evaluasi terhadap kemungkinan adanya anomali lain dengan melakukan
ekokardiografi dan amniosentesis. Dengan rontgen toraks selalu dapat ditegakkan diagnosis
HDK. Gambaran usus yang berisi udara terlihat seperti cincin radiolusen di dalam rongga dada.
Paru ipsilateral menjadi tertekan. Mediastinum tergeser dari daerah hernia, dan paru
kontralateral mengalami atelektasis parsial. Bayangan garis diafragma sulit atau tidak dapat
dilihat pada sisi yang terlibat. Pada rontgen toraks lateral dapat dilihat bayangan usus yang
melalui bagian posterior diafragma. Pada malformasi adenomatoid kistik kongenital, diafragma
dan gambaran gas dalam abdomen tampak normal.
Apabila hernia terjadi di sebelah kanan, hati bisa memasuki rongga dada, sehingga
perlu dilakukan liver scan. Apabila dalam 24 jam pertama kehidupan terjadi kolaps respirasi
yang berat, suara napas menghilang, suara jantung berpindah, maka dipikirkan kemungkinan
adanya penyulit pneumotoraks pada HDK.
Kista paru kongenital dapat memberikan gambaran radiologis yang sama dengan HDK.
Oleh karena itu, perlu dilakukan USG pascanatal atau injeksi kontras ke dalam lambung atau
kateter arteri umbilikalis untuk mengidentifikasi usus di atas diafragma. Penggunaan bahan
kontras mungkin dapat membantu, tetapi harus waspada bahaya terjadinya aspirasi.
Pemeriksaan CT-scan mungkin diperlukan untuk menyingkirkan pneumotoraks atau efusi
dengan penyulit.
Keadaan lain yang menjadi diagnosis banding adalah emfisema lobaris, obstruksi
laringotrakeal, atelektasis, dekstrokardia, dan penyakit jantung bawaan.
7.4.1.5 Tatalaksana
Hernia diafragmatika dipertimbangkan sebagai suatu kedaruratan bedah, dan tindakan operasi
sangat penting untuk memperoleh hasil yang optimal.
Angka kematian untuk hernia Bochdalek besar yang tidak dikoreksi dengan tindakan
operasi mencapai 75−100 %. Pasien yang tidak mendapat intervensi operasi juga memiliki
angka kematian cukup tinggi (35−60%) akibat hipoplasia paru yang berat. Hingga saat ini,
terdapat beberapa perdebatan yang berhubungan dengan tindakan operasi hernia, yaitu
mengenai manajemen praoperasi yang ideal, waktu untuk pembedahan, juga keputusan akan
dilakukan operasi itu sendiri atau tidak. Yang perlu diperhatikan adalah kini terdapat
perkembangan baru terhadap tatalaksana HDK, yaitu perhatian khusus terhadap tatalaksana
kardiorespiratorik pada pasien HDK, dengan adanya modalitas baru seperti ECMO, surfaktan,
high frequency ventilation, inhaled nitric oxide, juga intervensi dalam kandungan.
366
Pada saat bayi lahir perlu dilakukan resusitasi pascanatal dan stabilisasi, dengan
beberapa prinsip penting, yaitu menghindari pemberian tekanan jalan napas yang tinggi,
dengan saturasi O2 diatas 85%. Penghisapan yang konstan melalui nasogastrik dapat
menghilangkan atau mencegah distensi organ abdomen di rongga dada. Resusitasi tekanan
positif harus dilakukan melalui pipa endotrakeal untuk menghindari kelebihan oksigen yang
turun melalui esofagus, yang selanjutnya akan menimbulkan distensi pada saluran
gastrointestinal. Usaha inflasi paru yang berlebihan dapat menimbulkan pneumotoraks
(unilateral atau bilateral). Secara objektif untuk pemberian ventilasi dengan tekanan positif
sebaiknya peak inspiratory pressure tidak melebihi 25 cmH20, dan untuk mengurangi konsumsi
oksigen maka pasien harus dijaga tetap hangat. Pneumotoraks kontralateral merupakan
komplikasi yang dapat terjadi akibat resusitasi yang berlebihan.
Pada masa praoperasi, pemeriksaan pH dan gas darah dilakukan serial dan pengobatan
terhadap asidosis harus segera dilakukan. Pemeriksaan tersebut dilanjutkan sepanjang operasi
dilakukan.
Hipertensi pulmonal, hipoplasia paru, dan efek tindakan operasi terhadap fungsi paru
mempengaruhi strategi operasi. Dalam strategi operasi, diperlukan perhatian terhadap masa
resusitasi praoperasi, stabilisasi, serta koreksi parameter ventilasi dan metabolik. Resusitasi
awal diikuti dengan usaha stabilisasi dengan preparat paralisis (pankuronium 100 mg/kgBB)
tetapi penggunaan secara rutin atau berkesinambungan tidak dianjurkan, hiperventilasi (pCO2
25−30 mmHg), dan sedasi narkotik (fentanil 2−4 mg/kgBB). Resusitasi cairan, pemberian
dopamin dan bikarbonat dapat membantu untuk mempertahankan pH >7,5. Tujuan dari
ventilasi ini adalah memberikan oksigenasi adekuat dengan tekanan serendah mungkin.
Jika keadaan bayi stabil (tahanan pembuluh darah paru stabil tanpa pemberian cairan
RL), maka perbaikan diafragma dapat dilakukan pada usia 12–24 jam. Jika tidak mungkin stabil
atau terdapat pirau yang persisten, maka diperlukan bantuan extracorporeal membrane
oxygenation (ECMO). Obat-obat vasoaktif (tolazolim, prostaglandin, dopamin) hanya
menyebabkan perbaikan sementara, tetapi tidak memberi hasil memuaskan sebagai terapi
hipertensi pulmonal akibat hernia diafragmatika. Penggunaan dopamin diperlukan untuk
mempertahankan tekanan sistemik. Pemberian surfaktan dapat memberikan perbaikan
oksigenasi sementara pada beberapa bayi HDK, terutama pada bayi dengan hipoksemia berat
dan nilai apgar rendah.
Proses bypass kardiorespiratorik parsial/ECMO bertujuan agar paru dapat beristirahat
sehingga mengurangi tahanan vaskular paru. Waktu untuk melakukan ECMO dan operasi
perbaikan diafragma masih kontroversial. Beberapa pusat kesehatan memilih operasi dilakukan
lebih dahulu dari ECMO. Tetapi di tempat lain ECMO dilakukan terlebih dahulu dengan menunda
operasi hingga bayi menunjukkan kemampuan toleransi terhadap penghentian ECMO. Bantuan
ECMO disarankan untuk bayi yang tidak dapat melakukan kompensasi dengan hipoksemia
preductal yang berat, dan pirau kanan kekiri akibat tekanan paru yang tinggi. ECMO tidak
dianjurkan pada pasien dengan hipoplasia paru berat, yang ditandai dengan hiperkarbia, dan
tidak tercapainya saturasi oksigen diatas 85% selama resusitasi.
Jika pasien tidak dapat dipisahkan dari ECMO, pilihan lain adalah pengobatan
eksperimen seperti tenaga listrik oksid atau transplantasi paru.
Tatalaksana operatif
Pandangan tentang pembedahan sebagai usaha pertama dalam tatalaksana HDK telah
digantikan dengan usaha mengoptimalkan status kardiorespiratorik terlebih dahulu.
Operasi dapat dilakukan melalui toraks (transtorakal) atau melalui abdomen
(transperitoneal). Metode transperitoneal lebih banyak digunakan untuk pasien neonatus,
367
sedangkan transpleural lebih banyak digunakan untuk bayi usia diatas 6 bulan. Operasi melalui
abdomen lebih disukai, karena malrotasi yang menyertai dapat pula dikoreksi.
Tindakan reduksi in utero terhadap organ hernia telah berhasil dilakukan pada manusia
di Fetal Treatment Center University of California, San Fransisco. Persyaratan untuk melakukan
reduksi in utero adalah bayi tidak boleh lebih dari satu, diagnosis ditegakkan sebelum
kehamilan 24 minggu, mempunyai kariotipe yang normal, dan hati masih berada di dalam
abdomen. Reduksi dilakukan pada usia kehamilan 24–28 minggu.
Pascaoperasi, pemeriksaan gas darah dan pH secara serial, demikian juga bantuan
ventilator dan saturasi O2 tetap dilanjutkan. Drainase dada (chest drainage) harus dilakukan
dengan tidak memberikan tekanan negatif yang berlebihan. Pada pasien yang berhasil hidup
atau selamat, paru akan berkembang dalam beberapa hari atau minggu. Pemasangan chest
tube pada sisi kontralateral tetap dilakukan sehubungan dengan angka kematian yang tinggi
pada pneumotoraks yang tidak diketahui.
7.4.1.6 Prognosis
Kejadian kematian spontan janin dengan diagnosis HDK adalah 7–10 % dan 40- 60% pasien
yang menggunakan ECMO dapat berhasil hidup. Faktor-faktor yang berhubungan dengan
prognosis yang buruk adalah anomali yang besar, gejala timbul kurang dari 24 jam, serta
distres yang cukup berat dari persalinan di pusat kesehatan yang kurang memadai.
Beberapa sekuele yang dapat timbul adalah kelainan pada paru, sistem saraf, dan
gangguan pertumbuhan. Kelainan neurologi yang terjadi adalah perkembangan yang terlambat,
kelainan pendengaran, penglihatan, dan kejang.
Masalah jangka panjang lainnya adalah adanya pektus ekskavatum, skoliosis, hipertensi
pulmonal yang menetap, dan hernia rekuren. Hernia rekuren biasanya terjadi pada bayi yang
baru lahir dengan defek besar yang memerlukan perbaikan dengan menggunakan synthetic
patch. Angka kejadian rekurensi yaitu 20–40%, dan terjadi selama tahun pertama.
368
Tindakan operasi berupa herniorafi (abdominal herniorraphy) lebih dianjurkan pada
hernia Morgagni, karena kemungkinan terjadinya inkarserasi dan strangulasi pada hernia ini
lebih besar. Tindakan ini umumnya memberikan hasil yang memuaskan.
Daftar pustaka
1. Al-Arfaj AA, Chirurgie AF, Khwaja MS, Mitra DK. Congenital diaphragmatic eventration associated with
massive hiatal hernia. Indian J Pediatr 2005; 72:181.
369
2. Bohn D. Congenital diaphragmatic hernia: a clinical commentary. Am J Respir Crit Care Med 2002;
166:911–5.
3. Boloker J, Bateman DA, Wung JT, Stolar CJ. Congenital diaphragmatic hernia in 120 infants treated
connectively with permissive hypercapnia/spontaneous respiration/elective repair. J Pediatr Surg
2002; 37:357–66.
4. Cunniff C, Jones KL, Jones MC. Pattern of malformation in children with congenital diaphragmatic
defects. J Pediatr 1990; 116:258–61.
5. Davis CF, Sabharwal AJ. Management of congenital diaphragmatic hernia. Arch Dis Child Fetal
Neonatal 1998; 79:F1–3.
6. Hartman GE. Diaphragmatic hernia. Dalam: Behrman RE, Kliegman RM, Arvin AM, penyunting. Nelson
textbook of pediatric. Edisi ke-15. Philadelphia: WB Saunders; 1996. h. 1161–4.
7. Lierl M. Congenital abnormalities. Dalam: Hilman BC, penyunting. Pediatric respiratory disease:
diagnosis and treatment. Philadelphia: WB Saunders; 1993. h. 489–92.
8. Salzberg AM, Krummel TM. Congenital malformation of the lower respiratory tract in children. Dalam:
Chernick V, Kendig EL, penyunting. Kendig‘s disorders of the respiratory track in children. Edisi ke-5.
Philadelphia: WB Saunders; 1990. h. 231–6.
9. Stollar C, Dillon P, Reyes C. Selective use of extracorporal membrane oxygenation in the
management of congenital diaphragmatic hernia. J Pediatr Surg 1988; 23:207–11.
10. Wung JP, Sahni R, Moftin SP, Lipsit H, Stolar CJ. Congenital diaphragmatic hernia survival treated
with very delayed surgery, spontaneous respiration, and no chest tube. J Paediatrc Surg 1995;
30:406–9.
370
7.5 Aspirasi benda asing ke dalam saluran
respiratorik
Putu Suwendra, Putu Siadi Purniti, IB Subanada
Aspirasi benda asing ke dalam saluran respiratorik merupakan kejadian yang cukup sering
terjadi pada anak. Kemungkinan yang dapat terjadi akibat aspirasi benda asing mulai dari
tanpa gejala sampai timbulnya keadaan darurat yang dapat mengancam jiwa.
Pada umumnya sebagian besar benda asing tersebut dapat dikeluarkan secara refleks
dengan batuk atau muntah, dan hanya sebagian kecil saja yang dapat masuk ke dalam saluran
respiratorik.
7.5.2 Etiologi
Benda asing yang dapat masuk ke dalam saluran respiratorik sangat beragam. Penggolongan
dapat dilakukan berdasarkan asal, jenis, dan sifatnya.
Asal
Menurut asalnya, benda asing terdiri dari benda asing eksogen, yaitu benda asing yang
berasal dari luar tubuh, dan benda asing endogen, yaitu benda asing yang berasal dari dalam
tubuh sendiri.
Jenis
Berdasarkan jenisnya, benda asing dapat dibagi menjadi benda asing organik dan benda asing
anorganik. Benda asing organik adalah benda asing yang berasal dari makhluk hidup,
tumbuhan ataupun hewan, seperti kacang-kacangan, biji-bijian, potongan wortel, apel,
kentang, jagung, tulang, daging, gulungan kapas, rumput, bahkan kadang-kadang makhluk
hidup seperti lintah, serangga, atau binatang kecil yang lain. Benda asing anorganik adalah
benda asing yang berasal dari benda mati, seperti plastik, manik-manik, batu, kancing, karet,
peniti, paku, anting, uang logam, dan lain-lain.
Sifat
Benda asing yang dapat masuk ke dalam saluran respiratorik, baik organik maupun anorganik,
kadang-kadang memiliki sifat khusus tertentu. Benda asing organik, terutama yang berasal dari
tumbuh-tumbuhan seperti kacang-kacangan dan biji-bijian, dapat mengembang dengan cepat
di dalam saluran respiratorik karena bersifat higroskopis. Beberapa jenis kacang mengandung
asam lemak yang dapat memicu timbulnya reaksi radang sehingga mudah terjadi edema. Oleh
karena itu dalam 6−12 jam benda-benda ini dapat menimbulkan sumbatan total. Benda asing
anorganik, lebih sering terjadi pada anak yang lebih besar dan orang dewasa, tidak bersifat
371
higroskopis dan tidak mengembang, sehingga aspirasi benda tersebut umumnya tidak
menimbulkan gejala atau hanya menimbulkan gejala yang ringan. Kadang-kadang benda-benda
logam dapat mempunyai sifat magnetik atau menimbulkan rasa metal yang khas.
Faktor usia
Anak-anak terutama usia 2−4 tahun, umumnya memiliki kegemaran memasukkan benda-benda
kecil yang ditemukannya, atau yang digunakannya saat bermain, ke dalam hidung, telinga, atau
mulut. Benda-benda ini sering secara tidak sengaja terhirup ke dalam saluran respiratorik ketika
sedang menangis, bermain, tertawa, berbicara, dan berteriak. Hal yang serupa dapat juga
terjadi pada makanan atau minuman yang terdapat di dalam mulut.
Faktor anatomis
Faktor anatomis yang memudahkan masuknya benda asing ke dalam saluran respiratorik
adalah sebagai berikut:
1. Gigi geraham yang belum terbentuk.
Keadaan tersebut menyebabkan makanan harus dipotong dengan gigi seri, sehingga
makanan tetap berukuran besar dan mudah tergelincir ke dalam saluran respiratorik.
2. Gusi dan penyangga gigi yang lemah.
Gusi bayi yang lunak banyak mengandung pembuluh darah serta masih rapuh dan licin,
sehingga menyebabkan makanan mudah tergelincir.
3. Faktor lain.
Masih banyak faktor anatomis lain yang juga berpengaruh terhadap frekuensi aspirasi
benda asing pada anak.
Beberapa faktor tersebut antara lain: Laring pada bayi terletak lebih ke depan dan lebih
ke atas dibandingkan orang dewasa, ukuran laring dan trakea bayi lebih kecil (5 mm)
dibandingkan orang dewasa (10 mm), epiglotis bayi lebih pendek dan berbentuk huruf
‗U‘, sedangkan pada orang dewasa datar, bentuk laring pada anak seperti corong,
sedangkan pada orang dewasa seperti silinder, dan adanya penyempitan trakea pada
bayi dan anak di daerah subglotis (cincin krikoid).
372
Faktor lain
Faktor lain yang dapat berpengaruh adalah jenis kelamin, pekerjaan orangtua, aktivitas anak,
postur tubuh, dan faktor psikis.
Peranan orangtua dan keluarga amat penting. Pengawasan yang kurang dapat
mengakibatkan anak terlambat dibawa ke dokter.
Laring
Benda asing yang sering tersangkut di dalam laring adalah benda tajam yang dapat
menusuk mukosa (misalnya duri ikan), benda yang berukuran besar, benda yang
mempunyai permukaan tidak rata, atau benda yang lembek. Benda yang lembek, misalnya
daging mudah terjepit dengan kuat di antara pita suara akibat refleks spasme laring.
Sumbatan yang terjadi biasanya bersifat total sehingga cenderung berat dan berbahaya.
Bila benda asing tidak dikeluarkan dalam 3−4 menit, dapat berakibat fatal. Sumbatan
parsial pun dapat mengganggu aliran udara pernapasan.
Trakea dan bronkus
Sumbatan di dalam trakea dan bronkus dapat menimbulkan berbagai bentuk gangguan
aliran udara, tergantung pada lokasi dan jenis sumbatan yang terjadi. Di dalam bronkus,
benda asing lebih banyak ditemukan di sebelah kanan daripada di sebelah kiri. Hal ini
disebabkan karena bronkus kiri lebih datar dan bronkus kanan lebih curam sehingga hampir
merupakan kelanjutan trakea. Oleh karena karina terletak lebih ke kiri, dan lumen bronkus
kanan lebih besar, maka volume udara yang melalui bronkus kanan pada saat inspirasi
menjadi lebih besar.
373
Pada bentuk ini udara pernapasan masih dapat keluar masuk pada saat inspirasi dan
ekspirasi meskipun tidak adekuat.
Inspiratory check valve obstruction atau obstruksi bentuk katup pengatur inspirasi.
Karena udara tidak dapat masuk pada saat inspirasi, tetapi dapat keluar pada saat ekspirasi,
maka udara di bagian distal sumbatan akan habis, sehingga paru akan kolaps atau
atelektasis.
Expiratory check valve obstruction atau obstruksi bentuk katup pengatur ekspirasi.
Kebalikan dari bentuk yang kedua, pada bentuk ini udara dapat masuk pada saat inspirasi,
tetapi tidak dapat keluar pada saat ekspirasi. Sehingga di bagian distal sumbatan akan
mengalami emfisema.
Stop valve obstruction atau obstruksi bentuk katup tertutup.
Pada obstruksi bentuk ini benda asing menutup seluruh lumen saluran respiratorik, baik
pada saat inspirasi maupun pada saat ekspirasi, sehingga seluruh udara paru di bagian
distal sumbatan akan mengalami absorpsi dan dalam waktu 24 jam akan mengalami kolaps
atau atelektasis.
Gejala awal
Gejala awal yang timbul dapat berupa tersedak, serangan batuk keras dan tiba-tiba, sesak
napas, rasa tidak enak di dada, mata berair, rasa perih di tenggorokan dan di kerongkongan.
Gejala awal seringkali ringan dan berlangsung singkat, sehingga gejala ini sering tidak
diperhatikan.
374
Periode laten atau tanpa gejala
Setelah gejala awal dilalui diikuti periode bebas gejala yang disebut masa laten. Masa laten ini
mulai beberapa jam sampai beberapa tahun. Pada periode ini dapat dijumpai gejala sakit
menelan karena terjadinya pembengkakan di daerah laring.
375
bulan atau tahun. Apabila benda asing tersebut berasal dari tumbuhan disebut sebagai
bronkitis arakiditis atau vegetalis, dengan gejala batuk, demam septik, dan sesak.
7.5.8 Tatalaksana
Manajemen pada fase akut biasanya timbul sebelum anak datang ke Rumah Sakit. Sebagian
besar anak akan batuk dengan hebat sebagai refleks untuk mengeluarkan benda asing
tersebut. Selama anak masih dapat batuk, berbicara dan menangis, tidak dibutuhkan tindakan
secepatnya. Tidak diperbolehkan melakukan tindakan memasukkan jari tangan ke daerah
orofaringeal pada anak kecuali benda asing yang masuk tersebut terlihat di daerah posterior
faring. Pada anak kurang dari 1 tahun, tindakan chest thrush dan back slap dengan posisi
tengkurap adalah tindakan yang dianjurkan untuk mengatasi benda asing tersebut. Untuk anak
lebih dari 1 tahun, abdominal thrush merupakan tindakan yang direkomendasikan. Tindakan ini
ditujukan untuk memberikan tekanan pada diafragma sehingga tekanan intratorakal meningkat
dan pada akhirnya terjadi peningkatan tekanan intratrakeal yang dapat mengeluarkan benda
asing tersebut.
Sebelum ditemukannya bronkoskopi pada awal 1900, kematian akibat aspirasi benda
asing dapat mencapai angka 50%. Saat ini, angka tersebut jauh menurun hingga kurang dari
1%. Perkembangan terhadap teknik operasi, instrumentasi dan anestesia modern,
menyebabkan bronkoskopi dapat bermanfaat pada lebih dari 95% pasien dengan komplikasi
kurang dari 1%. Bronkoskopi yang digunakan merupakan bronkoskopi tipe rigid yang dilakukan
di meja operasi dengan anak dibawah anastesi umum. Sebaiknya tidak menggunakan ventilasi
tekanan positif karena dapat memperdalam masuknya benda asing. Bronkoskopi yang lebih
fleksibel tidak memiliki peran dalam tatalaksana. Bronkoskopi tipe ini berguna untuk tujuan
diagnostik. Pengobatan konservatif seperti antibiotik dan bronkodilator dapat diberikan
menyertai tindakan diatas. Sebagian besar anak sudah diperbolehkan pulang dalam waktu 24
jam setelah tindakan. Beberapa benda asing yang masuk ke saluran napas tidak dapat
dikeluarkan dengan tindakan bronkoskopi. Untuk kasus tersebut diperlukan tindakan torakotomi
terbuka. Terapi inhalasi dan drainase postural tidak memiliki peran pada kelainan ini. Tindakan
tersebut dapat menimbulkan komplikasi lebih berat seperti obstruksi jalan napas dan gagal
jantung.
Daftar pustaka
1. Cotton Robin. Foreign Body Aspiration. Dalam: Kendig Edwin L, penyunting. Kendig‘s Disorders of
the Respiratory Tract in Children. Edisi ke-6. Philadelphia: WB Saunders Co.; 1998. h. 601-7.
2. Colombo JL. Pulmonnary Aspiration. Dalam: Hilman BC, Penyunting. Pediatric Respiratory
Disease. WB Saunders Co.; 1993. h. 429-36.
3. Rovin JD, Rodger BM. Pediatric foreign body aspiration. Pediatric in review 2000;21:86.
376
7.6 Hampir tenggelam
Iskandar Zulkarnaen
Tenggelam merupakan kasus gawat darurat dan memerlukan pertolongan cepat di tempat
kejadian, kemudian dilanjutkan dengan perawatan secara intensif. Pada awalnya, kasus
tenggelam (immersion) dan hampir tenggelam (near drowning) dianggap sama dengan
keadaan tenggelam (drowning). Saat ini, beberapa penulis menggunakan istilah yang berbeda-
beda, sebagian menggunakan istilah immersion, sebagian lagi menggunakan near drowning.
Akibat terpenting peristiwa tenggelam/hampir tenggelam ini adalah hipoksia, sehingga
oksigenasi, ventilasi, dan perfusi harus dipulihkan secepat mungkin. Hal ini memerlukan
tindakan resusitasi jantung paru dan layanan sistem kegawatdaruratan medis.
7.6.1 Definisi
Tenggelam (drowning) adalah kematian akibat asfiksia yang terjadi dalam 24 jam setelah
peristiwa tenggelam di air. Sedangkan hampir tenggelam (near drowning) adalah korban masih
dalam keadaan hidup lebih dari 24 jam setelah peristiwa tenggelam di air. Jadi, tenggelam
(drowning) merupakan suatu keadaan fatal, sedangkan hampir tenggelam (near drowning)
mungkin dapat berakibat fatal.
7.6.2 Klasifikasi
Manifestasi klinis pada pasien dibagi berdasarkan temperatur air tempat korban tenggelam dan
osmolaritas air.
Berdasarkan temperatur air, klasifikasi tenggelam dibagi menjadi tiga.
1. Tenggelam di air hangat (warm water drowning), bila temperatur air 200C atau lebih.
2. Tenggelam di air dingin (cold water drowning), bila temperatur air di bawah 200C.
3. Tenggelam di air sangat dingin (very cold water drowning), bila temperatur air di bawah
50C.
Kejadian tenggelam atau submersed accident dapat memberikan dua hasil; immersion
syndrome, yang merupakan kematian mendadak setelah kontak dengan air dingin; atau
submersed injury, yaitu dapat menyebabkan kematian 24 jam setelah kejadian tenggelam
(drowning), atau dapat hidup setelah kejadian (near drowning), atau keadaan aman (safe).
Hampir tenggelam dapat menyebabkan secondary drowning, yaitu kematian akibat komplikasi
24 jam setelah kejadian tenggelam, survival, atau pulihnya keadaan setelah kejadian
tenggelam. Alur keadaan setelah kejadian tenggelam dapat dilihat pada Gambar 7.6.1.
377
Kejadian tenggelam
Aspirasi Tanpa
aspirasi Aspirasi Tanpa aspirasi
378
Kasus hampir tenggelam di luar rumah lebih banyak terjadi pada laki-laki daripada
perempuan, yaitu 3:1. Model melaporkan bahwa kelompok usia terbesar yang mengalami
peristiwa tenggelam adalah usia 10−19 tahun, dan 85% di antaranya adalah laki-laki.
7.6.4 Patofisiologi
Keselamatan seseorang yang tenggelam dipengaruhi oleh banyak faktor, antara lain adalah
ketahanan fisik, kemampuan berenang, keberadaan bantuan alat pelampung, jarak untuk
mencapai tempat yang aman, suhu air, usia, dan lain-lain.
Pada korban tenggelam, awalnya akan terjadi gasping dan mungkin aspirasi, kemudian
diikuti dengan apnea dan laringospasme. Keadaan ini menyebabkan hipoksemia, yang
selanjutnya terjadi iskemia susunan saraf pusat dan henti jantung.
Pada seseorang yang tenggelam akan terjadi serangkaian proses sebagai berikut.
Pertama, terjadi suatu periode panik dan usaha/perjuangan yang hebat dengan berhenti
bernapas selama 1−2 menit. Pada periode selanjutnya terjadi refleks menelan sejumlah besar
air, yang lalu diikuti dengan relaksasi laring dan masuknya air ke dalam paru, dan berakhir
menjadi asfiksia dan kematian. Pada sebagian besar kasus, terjadi aspirasi air ke dalam paru,
tetapi pada lebih kurang 10% korban terjadi laringospasme, dan terjadi apa yang disebut
dengan dry drowning.
Secara teoritis, kasus tenggelam dibedakan menjadi tenggelam di air laut dan di air
tawar, yaitu berdasarkan tonisitas cairan yang masuk ke ruang alveolus. Selain itu, ada juga
pembagian kasus tenggelam berdasarkan temperatur airnya.
Luas permukaan tubuh anak lebih besar daripada orang dewasa, dan secara proposional
memiliki jumlah lemak subkutan yang lebih sedikit. Hal ini akan memudahkan timbulnya
hipotermia. Beberapa teori menyatakan bahwa pada hipotermia atau pada keadaan tenggelam
di air dingin akan terjadi refleks ―diving‖ pada anak. Refleks tersebut terdiri dari bradikardi,
penurunan atau penghentian laju pernapasan, dan perubahan dramatis pada sirkulasi, sehingga
terjadi redistribusi darah ke organ-organ seperti jantung, paru, dan otak.
Patofisiologi hampir tenggelam berhubungan erat dengan efek hipoksemia multiorgan.
379
Keluarnya cairan ke dalam alveolus akan mengurangi konsentrasi surfaktan.
Selanjutnya, akan terjadi kerusakan alveoli dan sistem kapiler, sehingga terjadi penurunan
kapasitas residu fungsional dan edema paru.
Bila korban mengalami aspirasi dapat terjadi acute respiratory distress syndrome
(ARDS). Saluran respiratorik yang tersumbat oleh debris di dalam air akan menyebabkan
peningkatan tahanan saluran respiratorik dan memicu pelepasan mediator-mediator inflamasi,
sehingga terjadi vasokonstriksi yang menyebabkan proses pertukaran gas menjadi terhambat.
7.6.5 Tatalaksana
Pada prinsipnya, talaksana kasus hampir tenggelam adalah mengatasi gangguan oksigenasi,
ventilasi, sirkulasi, keseimbangan asam-basa, dan mencegah kerusakan sistem saraf pusat yang
lanjut.
Segera setelah korban ditolong, lakukan resusitasi jantung paru. Jika nadi tidak teraba,
lakukan kompresi jantung hingga timbul denyut nadi. Jika kompresi jantung dilakukan
bersamaan dengan bantuan pernapasan mulut ke mulut, caranya adalah sebagai berikut:
Lakukan dua kali peniupan napas setiap 15 kali kompresi jantung
Oksigen harus diberikan secepatnya dan dilanjutkan selama perjalanan ke rumah sakit.
380
Semua korban hampir tenggelam harus dirawat di rumah sakit, bagaimanapun kondisi
pasien. Pasien yang tidak bergejala harus diobservasi, paling tidak selama 24 jam di rumah
sakit. Kematian yang lambat dapat terjadi akibat atelektasis yang luas, edema paru akut, dan
hipoksemia setelah pasien meninggalkan ruang gawat darurat.
Pada foto rontgen toraks biasanya didapatkan gambaran edema antar sel atau edema
alveolar. Sebagian besar menunjukkan adanya infiltrat nodular yang berkonfluensi pada 1/3
medial lapangan paru.
Bila pasien dapat bernapas spontan, berikan oksigen 100% yang dilembabkan, dengan
menggunakan masker. Jika korban tidak bernapas, ventilasi darurat segera dilakukan dengan
cara mulut ke mulut atau mulut ke hidung, setelah terlebih dahulu membebaskan jalan napas
dari benda asing, lidah, atau muntahan. Pemberian oksigen ini disesuaikan dengan hasil
pemeriksaan analisis gas darah arteri.
Menurut Model dan kawan-kawan, 70% kasus mengalami asidosis metabolik. Bila pasien
menunjukkan hipotensi atau tidak ada respons, dianjurkan pemberian natrium bikarbonat
dengan dosis 1 mEq/kgBB secara intravena. Jika pemeriksaan analisis gas darah dapat
dilakukan, natrium bikarbonat diberikan sesuai dengan rumus berikut:
Jalan napas harus dibersihkan dari kotoran dan dijamin tetap terbuka. Pada korban
hampir tenggelam yang banyak menelan air, risiko aspirasi muntahan sangat besar. Oleh
karena itu, lambung harus cepat dikosongkan dengan memasang pipa nasogastrik.
Pengobatan selanjutnya bergantung pada hasil evaluasi PaO2, PaCO2, dan pH darah.
PaCO2 lebih dari 60 mmHg merupakan indikasi untuk melakukan bantuan pernapasan. Bila
terjadi kegagalan oksigenasi meskipun telah diberikan oksigen, perlu dilakukan intubasi
endotrakeal.
Pengobatan lain yang perlu dipertimbangkan adalah pemberian bronkodilator dan
antibiotik. Jika pada pemeriksaan fisis didapatkan bronkospasme, pemberian bronkodilator
seperti aminofilin intravena atau nebulisasi albuterol akan memberikan hasil yang baik.
Pemberian antibiotik pada saat awal tidak dianjurkan, meskipun seringkali air yang diaspirasi
mengalami kontaminasi. Oleh karena itu, perlu pemeriksaan kultur darah, kultur sputum,
jumlah leukosit, dan analisis tanda vital. Pemilihan antibiotik dilakukan berdasarkan kultur darah
atau sputum. Penggunaan obat steroid tidak dianjurkan karena tidak ada bukti baik secara klinis
maupun eksperimental yang menunjukkan bahwa penggunaannya bermanfaat.
7.6.6 Prognosis
Penentuan prognosis yang terbaik pada korban hampir tenggelam adalah dengan melakukan
evaluasi awal status hemodinamiknya. Nilai pH kurang dari 7,1; Glasgow Coma Scale (GCS)
kurang dari 5; dan pupil yang terfiksasi dan berdilatasi saat masuk rumah sakit menandakan
prognosis buruk, tetapi bukan berarti indikasi kontra untuk melakukan resusitasi. Akan tetapi,
bila asidosis dan koma tetap berlangsung 4 jam setelah resusitasi, kemungkinan untuk
mempertahankan sistem neurologis seperti semula akan sulit. Angka kematian anak yang
memerlukan perhatian khusus di ICU adalah 30%, dan 10%-nya mengalami kerusakan otak
yang parah.
Sembilan puluh dua persen korban hampir tenggelam akan pulih seperti semula.
Penelitian yang meneliti 93 korban hampir tenggelam, dengan usia rata-rata 31 bulan,
381
menyatakan bahwa pasien yang tidak mengalami koma saat datang ke ICU, atau datang ke
IGD dengan nadi teraba dan tekanan darah terukur, tidak mengalami kerusakan neurologis
permanen. Akan tetapi, mereka yang datang dengan pemeriksaan awal nadi tidak teraba, atau
dalam keadaan koma, biasanya meninggal atau mengalami kerusakan otak yang parah.
Daftar pustaka
1. Awaludin M, Benyamin YT, Amrie Y. Tenggelam. Kumpulan makalah simposium dokter umum gawat
darurat paru. Disampaikan pada Kongres Nasional Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, Surakarta, 3
Juli, 1993.
2. Habib DM, Tecklenburg FW, Webb SA, dkk. Prediction of childhood drowning and near-drowning
morbidity and mortality. Pediatr Emerg Care 1996; 12(4):55–8.
3. Hilman BC. Pediatric respiratory disease: diagnosis and treatment. Philadelphia: WB Saunders; 1993.
h. 499–502.
4. Modell J. Drowning. Diunduh dari: http://www.ncbi.nlm.nih.gov. Diakses pada 2 Januari 2006.
5. Kallas HJ. Drowning and near-drowning. Dalam: Nelson WE, Behrman RE, Kliegman RM, dkk,
penyunting. Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke-15. Philadelphia: Saunders; 1996. h. 264–7.
6. Model JH. Drowning and near drowning. Dalam: Kendig‘s disorders of the respiratory tract in
children. Edisi ke-5. Philadelphia: WB Saunders; 1990. h. 456–65.
7. Fiore M. Near drowning. Diunduh dari: http://www.eMedicine.com/ped/topic2570.htm. Diakses pada
10 Mei 2006.
8. Sachdeva CR. Near drowning. Crit care clin 1999;15(2);281–97.
9. Sjattar MID, Seahaan MOS, Majid AS. Pengelolaan pasien tenggelam. Jakarta: Medika; 1980. h. 461–
7.
10. Shepherd S. Submersion injury. Diunduh dari: http://www.eMedicine.com/emerg/topic744.htm.
Diakses pada bulan Mei 2006.
382
7.7 Penyakit paru pada anak
dengan infeksi HIV
Putu Suwendra, Putu Siadi Purniti
Pendahuluan
HIV (Human Immunodeficiency Virus), tepatnya HIV-1, adalah suatu virus yang menyebabkan
suatu sindrom yang sangat fatal, yang disebut Acquired Immunodeficiency Syndrome atau
AIDS. Seperti diketahui, jumlah pasien AIDS sejak ditemukan pertama kali pada tahun 1979,
terus meningkat dan meluas ke berbagai negara.
Manifestasi infeksi HIV-1, termasuk juga infeksi pada anak, sebenarnya memiliki
rentangan yang sangat luas, mulai dari tanpa gejala (asimtomatik) sampai bentuk yang sangat
berat, yang dikenal dengan nama AIDS. Selain itu, pada anak, gambaran AIDS dapat sangat
beragam, yaitu dapat berupa gagal atau gangguan tumbuh kembang dengan dismorfisme
kraniofasial, berat badan lahir rendah, gangguan neurologis, limfadenopati, diare yang
persisten, infeksi yang sering berulang, infeksi oportunistik dan berbagai kelainan lain terutama
pada paru.
7.7.1 Epidemologi
Virus HIV-1 dapat ditemukan pada berbagai cairan tubuh seperti darah, sekret vagina, semen,
liquor, cairan pleura, ludah, air susu ibu, dan lain-lain. Oleh karena itu, penularannya pun dapat
terjadi melalui banyak cara, seperti kontak seksual, melalui jarum suntik, melalui transfusi darah
atau hasil olahannya, plasenta, dan lain-lain. Sekitar 81% infeksi pada anak terjadi pada usia di
bawah 5 tahun, sehingga mudah dipahami bahwa penularan pada anak yang terpenting (88%)
terjadi pada masa perinatal, dan hanya 8% melalui transfusi darah atau bahan olahannya.
Berhubungan dengan hal tersebut, hanya sepertiga bayi yang lahir dari ibu dengan infeksi HIV
yang menderita AIDS.
Joint United Nations Program on HIV/AIDS-World Health Organizations (UNAIDS-WHO)
tahun 2003 memperkirakan terdapat 36,2 juta orang yang hidup dengan HIV/AIDS (ODHA) di
seluruh dunia dengan sekitar 2,1 juta diantaranya diderita oleh anak yang berusia kurang dari
15 tahun dan dari jumlah tersebut terdapat 2,6 juta kematian yang dilaporkan akibat AIDS.
Angka tersebut terus meningkat hingga pada 2005 dilaporkan sebanyak 38,6 juta ODHA di
seluruh dunia dengan 2,3 juta diantaranya di derita oleh anak kurang dari 15 tahun dan
terdapat 2,8 juta kematian diakibatkannya.
Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan
Departemen Kesehatan Republik Indonesia (Ditjen PPM dan PL Depkes RI) melaporkan sampai
dengan 31 Maret 2007 terdapat 5640 kasus HIV, 8988 kasus AIDS dengan proporsi terbanyak
diderita oleh pasien usia produktif 20-29 tahun. Dengan daanya peningkatan tersebut maka
dapat diperkirakan tedapat preningkatan jumlah bayi yang lahir dengan ibu HIV positif. Jumlah
bayi dan anak yang terpapar HIV di De yang terpapar HIV di Departemen Ilmu Kesepartemen
Ilmu Kesehatan Anak Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo sejak tahun 1996 sampai dengan
pertengahan tahun 2007 dilaporkan mencapai 289 kasus.
383
Tabel 7.7.1: Klasifikasi dan gejala infeksi HIV pada anak menurut Centers for Disease Control.
Klasifikasi infeksi HIV berdasarkan gambaran klinis menurut CDC 1994
Katagori N: asimtomatik
Anak tanpa tanda dan gejala infeksi HIV atau hanya 1 gejala pada kategori A
384
- Histoplasmosis
- Sarkoma Kaposi
- Limfoma primer di otak
- Kompleks Mycobacterium avium
- Pneumonia Pneumocystis carinii
- Leukoensefalopati multifokal progresif
- Sindrom wasting/gagal tumbuh
Sumber: The working group on antiretroviral therapy and medical management of HIV-infected children. Guidelines for the use of
antiretroviral agents in pediatric HIV infection. 26 oktober 2006. Diunduh dari:
http://aidsinfo.nih.gov/contentfiles/pediatricGuidelines.pdf. Diakses pada: 31 Januari 2008.
7.7.2 Etiologi
Virus HIV-1, yang dahulu dikenal sebagai lymphadenopathy associated virus (LAV), human T-
cell lymphotropic virus type III (HTLV-III) atau AIDS-related virus (ARV), adalah suatu virus
yang termasuk kelompok Retrovirus dari keluarga Lentivirus, yang bersifat non-onkogenik,
limfotropik, dan sitopatik. Sebenarnya, di samping HIV-1, dikenal pula HIV-2, yang memiliki
patogenitas yang lebih rendah, hingga hanya menimbulkan gejala defisiensi imun yang lebih
ringan. Oleh karena itu, pada pembicaraan selanjutnya, yang dimaksud dengan HIV adalah
HIV-1.
Virus HIV, adalah suatu virus RNA yang berbentuk bulat dengan penampang sekitar 100
nm. Virus ini terdiri dari 2 bagian, yaitu bagian dalam yang padat, disebut core, dan bagian
luar yang disebut selubung atau envelope (Gambar 7.7.1).
Bagian dalam virus, atau bagian core, berbentuk silindris dan eksentrik, terdiri dari
protein penyangga atau protein struktural (p17, p24), benang RNA, dan beberapa jenis enzim
yang mempunyai peranan penting pada proses replikasi virus. Di antara enzim tersebut, yang
telah dikenali adalah enzim reverse transcriptase, integrase, protease, dan endonuklease.
Kedua benang RNA virus, merupakan untaian panjang yang terdiri dari lebih kurang 10 kilo-
385
pasang basa yang mengandung gen-gen yang berperan mengatur replikasi dan diferensiasi
virus. Di antara gen-gen tersebut terdapat gen yang mengatur pembuatan protein core yang
disebut gag (group associated), gen yang mengatur pembentukan enzim reverse transcriptase
yang disebut pol (polymerase), dan gen yang mengatur pembentukan glikoprotein dari
selubung yang disebut env (envelope). Di samping itu, HIV-1 masih memiliki enam gen lagi,
yang membedakan virus HIV-1 dengan virus defisiensi imun yang menyerang hewan non-
primata, yaitu tat (transactivation atau transcription), rev (regulator of expression of virion
protein), vif (virion infectivity factor), vpu (viral protein U), vpr (viral protein R), dan nef
(negative factor). Berbagai gen ini memiliki fungsi yang berkaitan dengan proses replikasi dan
infeksi virus. Kedua ujung benang RNA juga memiliki susunan khas yang disebut long terminal
repeat (LTR) sequences, yang bertanggung jawab terhadap transkripsi dan regulasi gen virus.
Bagian selubung atau envelope virus, terdiri dari dua lapis, yaitu bagian lipid dan
glikoprotein. Bagian glikoprotein (gp) selubung ini terdiri dari dua bagian: bagian luar, yang
berbentuk knop, disebut gp120 dan bagian dalam yang berbentuk tombak dan menembus
bagian lipid (transmembran), yang disebut gp41. Glikoprotein gp120, merupakan seutas
benang yang memiliki ujung yang disebut terminal N dan terminal C, serta suatu bagian yang
disebut variabel-3 (V3). Kedua glikoprotein ini, gp41 dan gp120, sebenarnya berasal dari suatu
protein induk yaitu gp160, yang kemudian mengalami glikosilasi dan pemisahan pada waktu
virus mengalami maturasi. Keduanya tetap memiliki hubungan yang erat dalam bentuk suatu
ikatan nonkovalen. Kedua glikoprotein selubung virus ini, terutama gp120, mempunyai peranan
penting dalam mekanisme perlekatan dan masuknya virus (infeksi) ke dalam sel sasaran.
7.7.3 Patogenesis
Mekanisme infeksi sel sasaran oleh HIV belum seluruhnya diketahui. Oleh karena itu, masih
banyak fenomena yang kadang-kadang saling bertentangan, yang belum dapat dijelaskan
dengan memuaskan. Hal yang akan dipaparkan adalah mekanisme umum yang telah diketahui
hingga kini.
Perubahan sitopatik yang ditimbulkan oleh HIV terjadi melalui serangkaian proses yang
terdiri dari proses perlekatan, internalisasi atau infeksi, perbanyakan atau replikasi, dan
penyebaran atau diseminasi.
386
Tabel 7.7.2: Sel yang rentan terhadap infeksi HIV.
Invitro
Sel limfosit T.CD4
Monosit/makrofag
Mikroglia
Sel bibit sumsum tulang yang memiliki CD34
Biakan sel monosit dan sel T
Biakan sel glioma dan neuroblastoma
Biakan sel tumor kolon dan hati
In vivo
Sel limfosit T.CD4
Monosit/makrofag
Sel epitel pulau Langerhans pankreas
Sel dendritik folikuler limpa
Sel endotel otak
Mikroglia, astroglia, oligodendroglia
Sel retina, serviks, dan kolon
3. Proses replikasi
Setelah infeksi, terjadi pelepasan selubung inti dan pembentukan seutas benang DNA dengan
bantuan enzim reverse transcriptase. Kemudian terbentuk seutas lagi hingga terjadilah dua utas
DNA. DNA yang terbentuk ini kemudian mengalami translokasi ke dalam inti sel sasaran dan
menyisip ke dalam kromosom sel sasaran dengan bantuan enzim integrase. Setelah integrasi
gen virus ke dalam inti sel sasaran, RNA virus dibentuk dan selanjutnya terjadi sintesis dan
pengolahan protein virus, termasuk bahan-bahan selubung virus. Proses pembentukan berbagai
bahan virus ini terjadi pada selaput inti sel sasaran. Berbagai bahan yang terbentuk kemudian
direkayasa menjadi bagian core (virus baru) di dalam sitoplasma sel sasaran, dan bagian
selubung di sebelah luar dinding sel sasaran (Gambar 7.7.2).
387
Gambar 7.7.2 Proses replikasi
Sumber: Chinen J, Shearer WT. Molecular virology and immunology of HIV infection. J Allergy Clin Immunol 2002; 110(2):189-198.
Proses rekayasa ini melibatkan berbagai proses yang kompleks, seperti proses
pemecahan, glikosilasi, miristilasi, dan fosforilasi. Virus yang baru terbentuk, kemudian keluar
dengan cara pertunasan atau budding dan memperoleh selubungnya pada saat melepaskan diri
dari sel sasaran.
Pada kenyataannya, banyak DNA virus yang terbentuk tetap di dalam sitoplasma sel
sasaran tanpa mengalami integrasi. Akumulasi DNA virus yang tidak mengalami integrasi ini
dapat menimbulkan keadaan yang disebut super infeksi dan kematian sel sasaran. Di
samping itu, perlu diketahui, dalam keadaan biasa, replikasi virus berjalan lambat, bahkan tidak
jarang tinggal laten. Replikasi yang cepat pada umumnya baru terjadi apabila sel sasaran dalam
keadaan aktif atau mengalami aktivasi, karena sel sasaran mengalami transformasi ataupun
perubahan bentuk, atau karena terangsang oleh berbagai faktor, seperti antigen eksogen,
388
mitogen, atau sitokin tertentu. Sel yang mengalami aktivasi juga lebih mudah mengalami
infeksi.
Sel sasaran yang mengalami infeksi HIV akan mengalami beragam perubahan sitopatik
sebelum mengalami kematian. Di antara perubahan sitopatik yang dapat terjadi adalah
pembentukan sel sinsitium, yaitu suatu sel raksasa dengan banyak inti yang berusia pendek,
sebagai akibat fusi beberapa sel. Usia sel sinsitium yang pendek disebabkan oleh terjadinya
gangguan aliran kation dan air di dalam sel hospes yang mengakibatkan pecahnya membran
sel. Pembentukan sinsitium ini dapat ditularkan kepada sel hospes yang sehat yang terletak di
dekatnya. Selain itu, dapat terjadi autofusi, yaitu fusi yang terjadi di antara bagian-bagian
membran plasma sehingga menimbulkan perubahan permeabilitias yang mengakibatkan
perubahan fungsi dan akhirnya kematian sel. Peristiwa ini disebut single cell killing. Replikasi
virus yang hebat juga mengakibatkan pengambilalihan proses sintesis sel sasaran yang normal,
dengan berbagai akibatnya.
389
oleh limfosit T.CD4. Karena IL-2 merupakan suatu faktor tumbuh yang mengatur
pertumbuhan atau proliferasi sel limfosit T helper (T.CD4) dan sel T supressor (T.CD8),
serta produksi interferon dan aktivasi sel T natural killer, maka infeksi HIV juga akan
mengakibatkan jumlah sel limfosit T.CD4 lebih menurun lagi, selain mengakibatkan
penurunan aktivitas sel natural killer. Semua hal ini akan mengakibatkan pasien infeksi HIV
mudah mengalami infeksi oportunistik oleh cytomegalovirus, mikobakteria, Pneumokistik
karinii, Kriptokokus neoformans dan Toksoplasma gondii. Pertahanan terhadap berbagai
infeksi ini memerlukan peran monosit yang baik. Selain itu, pelepasan sitokin dan limfokin
oleh sel-sel yang terinfeksi HIV ke dalam sirkulasi juga ikut berperan pada berbagai
kelainan yang timbul. Sebagai contoh, pembentukan TNF- dan IL-1 oleh makrofag yang
mengalami aktivasi, ternyata dapat menimbulkan efek sistemik seperti demam dan
kaheksia.
390
Tabel 7.7.3: Kelainan paru akibat infeksi HIV pada anak
Infeksi
Bakteri Kuman enterik Gram negatif
Hemophylus influenza B
Mycobacterium tuberculosis dan Mycobacterium intracelulare
dan lain-lain
Virus Citomegalovirus
Virus Epstein-Barr
Virus Herpes simpleks
Virus influenza
dan lain-lain
Jamur Aspergillus niger
Candida albicans
dan lain-lain
Protozoa Pneumocystis carinii
Toxoplasma gondii
Non Infeksi
Pneumotides Pneumonitis interstisial limfositik (LIP)
interstisial Pneumonitis interstisial deskuamatif
Pneumonitis interstisial kronik
Kerusakan
alveolar difus
Sarkoma
imunoblastik
Infeksi bakteri
1. Infeksi Mycobacteriae
Anak dengan infeksi HIV lebih mudah terserang infeksi Mycobacterium daripada anak
normal, baik oleh Mycobacterium tuberculosis maupun Mycobacterium non-tuberkulosis.
Selain lebih mudah timbul, infeksi Mycobacterium dapat tersebar lebih luas, tidak hanya di
dalam paru tetapi juga di luar paru.
391
positif. Tes dianggap positif apabila setelah 48—72 jam terjadi indurasi 5 mm atau lebih.
Apabila hasil tes meragukan atau negatif, maka diagnosis ditegakkan dengan pemeriksaan
adanya Mycobacterium dengan pewarnaan atau kultur. Pada pemeriksaan histologis dapat
ditemukan granuloma spesifik atau nonspesifik, yaitu tanpa sel raksasa Langhans, sel
epiteloid, atau nekrosis perkijuan. Juga tidak jarang, tidak ditemukan kuman tahan asam di
dalamnya. Tes lain yang dapat dilakukan adalah tes hibridasi DNA (hasilnya dapat diperoleh
dalam 3—4 jam), tes ELISA atau pemindaian (scanning) dengan pemberian label galium
radioaktif.
Diagnosis adanya infeksi HIV menjadi lebih sulit apabila terdapat reaksi tuberkulin
yang positif semu. Bila gambaran tuberkulosisnya tidak spesifik atau tidak biasa, sering
dikelirukan dengan infeksi Pnemokistik karinii. Dalam hal ini perlu diingat bahwa pada
infeksi Pnemokistik karinii atau infeksi HIV tidak terdapat adenopati hilus atau mediastinal
seperti pada tuberkulosis.
Tabel 7.7.4: Perbedaan gambaran radiologis tuberkulosis pada pasien non HIV dan pasien HIV.
Pasien
Parameter Pasien HIV
Non-HIV
Bentuk dan tempat Di apeks, dalam Di mediastinum dan hilus dalam bentuk
lesi bentuk kavitas adenopati
Di lobus tengah dan bawah dalam
bentuk lesi tuberkulosis
Di luar paru dalam bentuk lesi milier atau
tuberkulosis kelenjar
392
mengandung batang tahan asam, tanpa pembentukan sel epiteloid, sel raksasa, atau
nekrosis perkijuan.
Diagnosis yang pasti dapat ditegakkan dengan biakan sekresi pernapasan, sputum,
bilasan lambung, bilasan bronkoalveolar, cairan pleura, dan jaringan paru.
Infeksi virus
Infeksi Cytomegalovirus
Cytomegalovirus merupakan suatu virus DNA yang tergolong ke dalam keluarga Herpesviridae.
Infeksinya dapat menimbulkan sitomegali, yaitu sel yang terserang membesar, membulat, dan
menjadi refraktil, dengan inklusi intranuklear dan intrasitoplasma yang patognomonik. Sel paru
yang biasa terserang adalah sel makrofag alveolar, sel epitel alveolar yang mengalami
deskuamasi, sel endotel, dan sel interstisial. Inklusi intranuklear yang merupakan partikel virus,
terletak sentral dan dikelilingi oleh suatu daerah yang terang yang disebut halo. Inklusi
intrasitoplasma merupakan selubung virus, dan terdiri dari bahan mukopolisakarida dalam
bentuk granula yang kasar.
Infeksi cytomegalovirus dapat terjadi kongenital atau didapat (acquired). Oleh karena
itu, untuk lebih memastikan bahwa infeksi ini merupakan infeksi oportunistik yang terjadi pada
pasien infeksi HIV, gejala awalnya harus timbul setelah usia 1 bulan. Penularan infeksi
cytomegalovirus pada pasien AIDS terjadi melalui pemajanan atau kontak dengan cairan tubuh
(ludah, urin, air mata, tinja, air susu ibu, sekresi serviks, semen, dan lekosit) atau melalui organ
atau jaringan yang dicangkokkan, dan sangat jarang, melalui inhalasi. Ekskresi virus dapat
terjadi bertahun-tahun. Akibat infeksi oleh cytomegalovirus dapat bermacam-macam, dapat
tanpa gejala atau subklinis, atau dengan gejala klinis. Pada bentuk laten, selain tidak terdapat
gejala klinis, juga tidak terdapat kelainan histologis. Infeksi yang laten ini, dapat tetap tinggal
laten, atau menjadi aktif akibat berbagai hal seperti stres atau adanya defisiensi imun. Pada
bentuk yang aktif, infeksi cytomegalovirus dapat menimbulkan pneumonia interstisial yang difus
atau terbatas dengan konsolidasi intraalveolar yang minimal. Eksudasi alveolar yang terjadi,
terdiri dari protein dan perdarahan alveolar, dan jarang disertai oleh nekrosis. Gejala
pernapasan terjadi perlahan atau berangsur-angsur, dapat sampai 2 minggu, dan terdiri dari
demam, batuk nonproduktif, sesak, suara paru tambahan, dan hipoksemia. Pada pemeriksaan
radiologis dapat terlihat infiltrat interstisial yang difus atau konsolidasi lobar.
Untuk diagnosis pasti, dilakukan pewarnaan dan kultur sediaan yang berasal dari sekresi
pernapasan, cairan bilas bronkoalveolar, atau jaringan paru. Inklusi kasar di dalam sitoplasma
yang bersifat basofil, dapat terlihat dengan pewarnaan Gomori, hematoksilin dan eosin, serta
393
pewarnaan periodik asam Schiff, sedangkan inklusi di dalam inti yang dikelilingi halo dapat
ditunjukkan dengan pewarnaan hematoksilin dan eosin. Selain itu, diagnosis dapat dilakukan
dengan hibridasi DNA dan pemeriksaan antibodi monoklonal serum dengan fiksasi komplemen,
ELISA, fluorensensi tak langsung, imunofluoresensi antikomplemen, dan pemeriksaan
makroglobulin.
Infeksi jamur
Infeksi jamur pada paru yang umumnya terjadi pada infeksi HIV stadium lanjut, sangat jarang
dilaporkan terjadi pada anak.
1. Golongan Candida
Candida, yang sering menimbulkan infeksi di daerah orofaring, jarang invasif ke dalam paru.
Diagnosis pasti ditegakkan dengan biakan sputum atau jaringan biopsi.
2. Golongan Aspergillus
Aspergillus yang biasa ditemukan di dalam tanah, dapat menimbulkan infeksi paru yang invasif
serta obstruksi bronkus. Gejalanya timbul dan berjalan perlahan, terdiri dari demam dan batuk.
Pada pemeriksaan radiologis, dapat terlihat sebagai infiltrat yang difus atau kaverna. Diagnosis
pasti dapat ditegakkan dengan biakan sputum atau jaringan biopsi.
Infeksi protozoa
Infeksi Pneumocystis carinii
Pneumocystis carinii adalah protozoa (walaupun ada yang menganggapnya tergolong jamur)
oportunistik yang paling sering menyerang paru pasien AIDS, baik pada anak (55%), maupun
dewasa. Pada anak yang sehat, protozoa ini dapat hidup sebagai saprofit di dalam paru tanpa
menimbulkan gejala klinis (laten). Bila terjadi penurunan daya tahan tubuh, seperti pada AIDS,
timbullah infeksi dan gejala klinis. Selain itu, infeksinya juga dapat meluas hingga di luar paru.
Oleh karena itu, adanya infeksi oleh kuman ini digunakan sebagai salah satu petanda untuk
menegakkan diagnosis AIDS pada anak.
Pada awalnya, Pneumocystis carinii terdapat dalam bentuk kista yang di dalamnya
terkandung beberapa bentukan yang disebut sporozoit. Kista yang terdapat di dalam makrofag
(pneumosit tipe 1) septum alveolaris ini pada umumnya hanya menimbulkan perubahan
minimal, sehingga tidak menimbulkan gejala. Baru kemudian, setelah terjadi penurunan daya
tahan tubuh, kista pecah dan mengeluarkan sporozoitnya, yang selanjutnya berubah menjadi
trofozoit. Bentuk trofozoit ini sangat sederhana, hanya terdiri dari inti dan sitoplasma yang
disebut filopodia. Karena bentuknya yang sangat sederhana ini, makanannya diperoleh dari
pengubahan bahan-bahan dengan berat molekul rendah yang diperoleh dari sel hospes. Pada
perkembangan selanjutnya, trofozoit menimbulkan kerusakan pneumosit tipe 1, hipertrofi, dan
deskuamasi sel epitel tipe II alveoli, dan radang intraalveolar dalam bentuk alveolitis
deskuamatif yang difus dengan eksudasi eosinofilik yang patognomonik, yang banyak
mengandung kista, sporozoit, dan makrofag. Bentuk trofozoit melekat pada sel epitel alveoli,
menimbulkan penebalan dan perubahan permeabilitas dinding kapiler alveoli, inflamasi dan
fibrosis interstisial, pembentukan membran hialin dan perdarahan fokal alveoli, yang secara
klinis maupun radiologis tampak sebagai pneumonia.
Pneumonia yang disebabkan oleh Pneumokistik karinii pada anak dengan AIDS biasanya
timbul akut, berjalan progresif, dan berakhir dengan gagal napas. Hal ini biasanya terjadi pada
usia 4-8 bulan, dan kerapkali disertai oleh gagal tumbuh kembang dan ensefalopati. Pada
awalnya, gejalanya terdiri atas demam tinggi, batuk yang nonproduktif, takipnea, adanya ronki
394
basah yang kemudian disusul oleh hipoksemia, sianosis, retraksi, dan napas cuping hidung.
Pada pemeriksaan radiologis, terlihat infiltrat alveolar dan interstisial yang difus, tersebar mulai
dari daerah hilus atau basal dan meluas hingga ke perifer. Di samping itu, dapat terjadi
hiperekspansi paru, adanya bronkogram udara, konsolidasi lobar, adenopati hilus, gambaran
milier dan gambaran sarang tawon, pneumotoraks spontan, dan lesi endobronkial. Perlu
diketahui, gambaran paru yang normal dapat juga dijumpai walaupun terdapat gejala klinis
yang berat atau scan paru dengan galium yang positif. Pada pemeriksaan fungsi paru dapat
terlihat gambaran paru restriktif, penurunan kapasitas difusi, tidak seimbangnya ventilasi dan
perfusi, dan hipoksemia arterial pada waktu istirahat.
Diagnosis pasti dapat ditegakkan dengan menemukan Pneumokistik karinii pada
jaringan paru atau cairan bilas bronkoalveolar. Kuman dapat terlihat dalam bentuk kista dengan
dinding yang tebal, yang mengandung 1-8 sporozoit berbentuk oval, serta dalam bentuk
trofozoit dengan dinding yang tipis. Untuk menemukan sporozoit dan trofozoit, dilakukan
pewarnaan dengan cara Wright, Giemsa, dan pewarnaan polikrom metilen biru, sedangkan
untuk kista dilakukan pewarnaan toluidin O atau pewarnaan metenamin silver Gomori. Di
samping itu, diagnosis pasti dapat pula dilakukan dengan imunofluorosensi indirek dengan
menggunakan antibodi monoklonal dan hibridisasi DNA dari bahan sputum. Sebagai tambahan,
diagnosis dapat dilakukan dengan pemeriksaan antigen Pneumokistik karinii dengan aglutinasi
partikel lateks, pemeriksaan IgG dengan ELISA, dan pemeriksaan laktat dehidrogenase (LDH)
dari serum atau cairan bilas bronkoalveolar. LDH serum dapat meningkat hingga 600-920
unit/liter. Kadar LDH akan meningkat atau menurun sesuai dengan beratnya proses. Kadar LDH
yang tinggi dan persisten menunjukkan prognosis yang buruk.
Komplikasi non-infeksi
1. Pneumonitis Interstisial Limfositik (Lymphocytic Interstitial Pneumonitis, LIP)
LIP merupakan kelainan paru terbanyak yang dijumpai pada anak dengan AIDS, setelah
pneumonia Pneumokistik karinii, yaitu lebih dari 50%. Oleh karena itu, LIP juga digunakan
sebagai salah satu kriteria diagnosis AIDS pada anak. Etiologinya masih belum jelas. Secara
histologis, mikroorganisme penyebabnya belum pernah ditemukan walaupun terkadang
dijumpai adanya petanda virus Epstein-Barr dan RNA HIV-1. Terdapat dugaan bahwa LIP
merupakan respons paru terhadap berbagai kerusakan yang ditimbulkan oleh retrovirus atau
komponennya, oleh infeksi oportunistik, atau sebagai akibat kelainan imunologis yang lain,
seperti sindrom Sjorgen, anemia hemolitik autoimun, anemia pernisiosa, miastenia gravis,
hepatitis aktif kronik, dan sebagai akibat perubahan jumlah dan fungsi imunoglobulin humoral.
Pada LIP, terdapat septum alveolaris yang sangat menebal sebagai akibat infiltrasi sel
limfosit, histiosit, plasma sel, imunoblas, dan sel-sel raksasa. Infiltrasi limfosit terutama terdiri
dari sel T8, walaupun terdapat juga sel limfosit T lain dan sel limfosit B. Kelainan yang terjadi
dapat berat dan progresif hingga terjadi perubahan morfologis paru dengan fibrosis interstisial,
paru sarang tawon, dan gagal napas. Dibandingkan dengan pneumonia oleh Pneumokistik
karinii dan Cytomegalovirus, LIP berjalan lebih pelan dan lebih ringan. LIP juga terjadi pada
anak yang lebih besar, berbeda dengan infeksi Pneumokistik karinii.
Gejala awalnya terdiri dari batuk dan sesak. Dibandingkan dengan pneumonia
oportunistik yang lain, pada LIP, gejala limfadenopati, jari tabuh, pembesaran kelenjar parotis,
dan hipoksia ringan terjadi lebih sering, sedangkan gejala demam, takipnea, retraksi, dan suara
paru tambahan, lebih jarang. Pada pemeriksaan radiologis, terdapat infiltrat interstisial yang
bersifat retikulonodular dan bilateral, terutama di lobus bawah. Pada pemeriksaan fungsi paru,
terdapat gejala kelainan paru restriktif dengan kapasitas difusi yang menurun dan hipoksemia
arterial yang bertambah dengan aktivitas.
395
Pada LIP, dijumpai peningkatan Ig yang paling tingi. Hal ini, selain dapat digunakan
untuk diagnosis, juga dapat digunakan untuk membedakannya dengan infeksi oleh
Pneumokistik karinii. Selain LIP, sebenarnya pada anak dengan AIDS dapat terjadi kelainan
paru proliferatif limfositik yang lain seperti hiperplasia limfoid paru (PLH), hiperplasia jaringan
limfoid bronkial, dan kelainan limfoproliferatif sel B polimorfik poliklonal dengan ciri-ciri seperti
yang tercantum pada Tabel 7.7.5.
Pulmonary lymphoid hyperplasia Noduli yang terdiri dari sel limfosit dan sel
(PLH) plasma di sekitar bronkioli dan septum
alveolaris
Systemic polymorphic polyclonal B Noduli atau agregasi yang terdiri dari sel
cell lymphoproliferative disorder limfosit matur dan imatur serta sel plasma
(PBLD) di dalam paru dan organ lain, seperti hati,
limpa, dan kelenjar limfe.
396
Pada pemeriksaan radiologis, terdapat gambaran ground glass berbentuk segitiga yang
tersebar mulai dari daerah hilus ke lapangan paru bagian bawah, tetapi berkurang menjelang
angulus kostofrenikus. Pada 10% pasien DIP, tidak dijumpai adanya kelainan radiologis.
Pada pemeriksaan fungsi paru, terdapat gambaran kelainan paru restriktif dengan
kapasitas difusi yang menurun dan hipoksemia arterial yang memburuk pada aktivitas. Kelainan
fungsional ini dapat terjadi walaupun tidak dijumpai adanya gejala klinis atau kelainan fisik.
Diagnosis DIP dapat ditegakkan dengan pemeriksaan histologis jaringan paru. Adanya
makrofag dengan inklusi berbentuk bulat atau oval, yang mengandung besi yang terwarna biru-
abu-abu dengan pewarnaan hematoksilin-eosin, atau adanya reaksi positif pada pewarnaan
asam periodik Schiff, akan membantu diagnosis.
Sebenarnya, selain pada AIDS, DIP dapat dijumpai pada beberapa kelainan lain, seperti
pada granuloma eosinofilik paru, pneumokoniosis, rubela kongenital, setelah pneumonia virus,
dan pada kelainan sistem limforetikular, seperti leukemia limfatik akut dan penyakit
granulomatosa kronik. Pada DIP yang menyertai kelainan non-AIDS ini, kortikosteroid dapat
memberikan perbaikan klinis, radiologis, dan histologis yang lebih nyata.
397
6. Sarkoma imunoblastik dan Sarkoma kaposi
Sarkoma imunoblastik paru pernah dilaporkan hanya pada satu kasus, terdiri dari noduli tumor
yang multipel dengan penetrasi ke dalam dinding bronkial dan ke sekitar pleura. Selain paru,
tumor juga dijumpai di dalam hepar, lien, ginjal, dan kelenjar adrenal.
Sarkoma Kaposi sebenarnya adalah suatu sarkoma vaskular yang jarang terjadi pada
masa pra-AIDS. Ketika kejadian AIDS meningkat, sarkoma Kaposi lebih sering dijumpai.
Sarkoma Kaposi sebenarnya dapat dijumpai pada kulit, mukosa, kelenjar limfe, dan alat visera
seperti paru dan saluran cerna. Pada paru, sarkoma ini dapat menyerang parenkim paru,
saluran napas, pleura, dan kelenjar limfe mediastinal. Gejalanya tidak spesifik, dapat terdiri dari
batuk, sesak, mengi, stridor, nyeri pleura, hemoptisis, dan lain-lainnya. Demam, pembentukan
sputum, dan gejala paru tambahan, bila ada, tidak jarang disebabkan oleh adanya infeksi
oportunistik. Pada fase awal, karena adanya infiltrasi limfosit, sarkoma ini sangat sulit dikenali.
Mungkin karena hal inilah sarkoma Kaposi sangat jarang dijumpai pada anak. Diagnosisnya
umumnya memerlukan tindakan yang invasif, yaitu dengan biopsi paru terbuka.
7.7.5 Diagnosis
Diagnosis kelainan paru pada anak dengan infeksi HIV harus ditujukan untuk menentukan
bentuk dan sebab kelainan paru yang terdapat, di samping untuk menentukan ada tidaknya
serta beratnya infeksi HIV.
Kelainan paru
Untuk mendiagnosis kelainan paru pada pasien dengan infeksi HIV, perlu dilakukan upaya yang
sistematis atau runtun (Gambar 7.7.3). Apabila terdapat gejala klinik paru yang tidak biasa, hal
yang pertama kali perlu dilakukan adalah pemeriksaan radiologis. Apabila pada pemeriksaan
awal tidak terdapat kelainan radiologis, perlu diamati kelainan klinis atau gas darah. Bila tidak
terdapat kelainan klinis atau gas darah, hanya dilakukan pengamatan atau observasi yang
seksama. Jika ditemukan kelainan klinis atau gas darah, harus dilakukan bronkoskopi dan
umbah bronkoalveolar untuk memperoleh bahan untuk pemeriksaan biakan dan pewarnaan.
Bila hasilnya negatif, harus dilakukan pengamatan dan observasi lagi. Bila hasilnya positif,
dilakukan pengobatan sesuai dengan temuan.
Apabila pada pemeriksaan awal dijumpai adanya kelainan paru yang terbatas (fokal),
pada umumnya dapat diduga bahwa penyebabnya adalah infeksi bakteri atau virus. Dalam hal
ini, perlu dilakukan pemeriksaan kultur, pewarnaan, pemeriksaan antigen, dan pemeriksaan gas
darah. Kalau mungkin, diberikan pengobatan yang sesuai. Bila proses menjadi progresif, baik
secara klinis maupun radiologis, dilakukan bronkoskopi, kumbah bronkoalveolar, kultur, dan
pewarnaan. Bila hasilnya positif, dilakukan pengobatan yang sesuai. Apabila negatif, dilakukan
biopsi paru terbuka.
Apabila pada pemeriksaan awal dijumpai infiltrat interstisial yang difus, langsung
dilakukan bronkoskopi dan kumbah bronkoalveolar, kultur dan pewarnaan, terutama apabila
terdapat gejala klinis dan kelainan gas darah. Bila positif, diberikan pengobatan, sedangkan bila
negatif, dilakukan biopsi paru terbuka.
Dari biopsi paru terbuka, dilakukan pemeriksaan kultur dan pewarnaan untuk
membedakan apakan proses disebabkan oleh infeksi oportunistik atau kelainan non-infeksi
seperti LIP, DIP, dan lain-lain. Pada keduanya, diberikan pengobatan yang sesuai dan dilakukan
pengamatan atau observasi.
Untuk anak yang tidak menunjukkan gejala klinis, dilakukan analisa gas darah. Apabila
tidak menunjukkan kelainan, hanya dilakukan observasi, sedangkan jika menunjukkan kelainan
398
(hipoksemia), dilakukan bronkoskopi dan kumbah bronkoalveolar. Tindakan selanjutnya, sesuai
dengan hasil yang diperoleh.
Ro toraks
Infiltrat
Normal
Observasi
Ulang bronkoskopi bila timbul LIP, DIP Infeksi oportunistik gejala dan/atau
perubahan radiologis
Gambar 7.7.3 Bagan tata laksana kelainan paru pada anak tersangka terinfeksi HIV.
399
Tabel 7.7.6 Pemeriksaan HIV.
Jenis
Bahan pemeriksaan
Pemeriksaan
Adanya antibodi terhadap HIV dapat ditentukan dengan tes uji tapis awal seperti EIA
(enzyme immunoassay), baik dari dalam darah, bilasan bronkoalveolar, dan urin. Tes EIA dapat
memberikan hasil positif semu yang ditimbulkan oleh reaksi serologis nonspesifik, atau reaksi
negatif semu yang disebabkan karena pemeriksaan dilakukan sebelum antibodi mencapai
jumlah yang cukup. Bila dua tes EIA dari bahan yang sama memberikan hasil yang positif,
maka dilakukan tes yang lebih spesifik, yaitu tes Western blot. IgG terhadap antigen HIV yang
spesifik dapat pula ditentukan dengan isoelectric focusing and affinity immunoblotting, terutama
pada infeksi HIV kongenital.
Pemeriksaan polymerase chain reaction (PCR) dapat digunakan untuk menunjukkan
adanya DNA-HIV pada monosit atau limfosit darah perifer bila tes awal untuk menentukan
antigen atau antibodi terhadap HIV menunjukkan hasil yang negatif. Pada tes ini, dilakukan
hibridisasi untuk menunjukkan adanya DNA pada sel dalam jumlah yang kecil dalam waktu
yang relatif singkat, yaitu dalam 3—4 hari. Dengan pemeriksaan PCR yang memiliki spesifisitas
tinggi dan sensitivitas sedang, sekarang dapat ditentukan adanya infeksi HIV pada anak berusia
di bawah 15 bulan, yang dahulu tidak dapat ditentukan, karena adanya IgG antibodi yang
diperoleh dari ibu.
Kelainan imunologis lain yang dapat ditimbulkan oleh infeksi HIV pada anak adalah
berkurang atau hilangnya fungsi sel T in vitro dan berkurangnya respons limfoproliferatif sel T
terhadap mitogen atau antigen, adanya anergi pada tes kulit, hilangnya fungsi sel B in vitro,
peningkatan jumlah sel limfosit B, rendahnya jumlah thimulin dalam plasma, dan terdapatnya
kompleks imun di dalam sirkulasi. Juga tidak jarang didapatkan adanya antibodi terhadap virus
Epstein Barr, cytomegalovirus, virus hepatitis B, virus herpes simpleks, virus zoster, dan
toksoplasma.
Penurunan rasio T4/T8 tidak patognomonik karena dapat terjadi pada infeksi virus akut
yang lain, seperti CMV, virus EB, virus herpes-zoster, atau pneumonitis akibat hipersensitivitas.
Hanya saja, penurunan rasio T4/T8 di sini bukan disebabkan karena penurunan sel T4, tetapi
karena peningkatan sel T8. Pada tuberkulosis, juga dapat terjadi penurunan rasio T4/T8, tetapi
400
akan kembali normal setelah pemberian tuberkulostatika. Bila penurunan atau gangguan fungsi
sel T4 tetap persisten setelah diberikan pengobatan, berarti terdapat infeksi HIV.
Bila pada bayi baru lahir ditemukan antigen HIV, berarti terdapat infeksi aktif, karena
antigen HIV tidak dapat melewati plasenta. Adanya antibodi terhadap gp120 HIV dengan titer
yang tinggi pada ibu, tampaknya dapat melindungi bayi dari infeksi HIV.
7.7.7 Pengobatan
Pengobatan terhadap infeksi bakteri
1. Pengobatan Tuberkulosis
Tuberkulostatika yang diberikan sama dengan tuberkulostatika untuk tuberkulosis tanpa infeksi
HIV. Namun, harus diberikan paling sedikit hingga 6-9 bulan setelah konversi kultur. Bila tidak
menggunakan isoniazid atau rifampisin, misalnya karena terjadi toksisitas atau resistensi,
tuberkulostatika diberikan paling sedikit hingga 12-18 bulan setelah konversi kultur. Untuk
pasien HIV dengan konversi tes tuberkulin, walaupun tidak menderita tuberkulosis, harus
diberikan pengobatan profilaksis dengan isoniazid, minimal selama 1 tahun. Untuk anak dengan
infeksi HIV yang belum menunjukkan gejala klinis, atau risiko tertular tuberkulosisnya rendah,
vaksinasi tidak boleh diberikan karena kuman tuberkulosis pada vaksin dapat berkembang luas
dan menimbulkan sepsis.
Seperti Mycobacterium non-tuberkulosis yang lain, kecuali Mycobacterium kansasii,
Mycobacterium avium intracellulare sulit ditanggulangi dengan kemoterapi. Terapi yang dapat
diberikan adalah isoniazid dengan dosis 10-15 mg/kg/hari dengan dosis maksimum 300
mg/hari, per oral atau intramuskular sekali sehari; etambutol 15-25 mg/kg/hari dengan dosis
maksimum 1,5 gr/hari, per oral sekali sehari. Obat-obat ini umumnya diberikan selama 6-24
bulan. Obat lain yang sedang dicoba adalah klofasimin, 2-5mg/kg/hari dengan dosis maksimum
300 mg/hari, dibagi dalam 2-3 kali dosis sehari; ansamisin dengan dosis 5 mg/kg/hari dengan
dosis maksimum 300 mg/hari per oral dibagi dalam 1-2 kali dosis sehari.
401
selama 10-21 hari. Beberapa penulis menganjurkan dosis 10 mg/kg/hari, dibagi dalam 2 dosis,
dan diberikan secara intravena sebagai induksi serta diteruskan dengan dosis 5 mg/kg/hari,
sekali sehari secara intravena. Untuk memperoleh hasil yang lebih baik atau untuk
pencegahannya dapat dicoba imunoglobulin spesifik dengan dosis multipel. Akhir-akhir ini,
sedang diupayakan gansiklovir untuk pemakaian per oral dan beberapa obat lain seperti
foskarnet dan FIAC atau FIAU.
2. Golongan Aspergillus
Sebagai terapi dapat dicoba amfoterisin-B intravena atau itrakonazol, dengan waktu yang lebih
lama dari biasa.
402
inhalasi, 300 mg, sekali dalam sebulan. Pada orang dewasa, untuk pencegahan, TMP-SMX atau
pentamidin aerosol diberikan bila jumlah sel T4 <200/cu mm atau <20% jumlah limfosit total.
403
kenaikan berat badan, pengecilan organomegali, berkurangnya limfadenopati, dan peningkatan
sel T.CD4.
4. Pengobatan kombinasi
Pada pengamatan selanjutnya, ternyata ditemukan timbulnya resistensi HIV terhadap
zidovudin, kemudian terhadap didanosin. Untuk meningkatkan efektivitas antivirus, mengurangi
atau memperlambat timbulnya resistensi, dan mengurangi efek samping, maka dibuatlah
berbagai kombinasi, misalnya antara zidovudin dan didanosin, atau zidovudin dan zalsitabin.
Masing-masing obat diberikan bergantian. Pada kombinasi zidovudin dan didanosin, zidovudin
diberikan dengan dosis 60 mg/m2 tiap 6 jam per oral dan didanosin dengan dosis 90—180
mg/m2 tiap 12 jam per oral. Pada kombinasi zidovudin dan zalsitabin, dosis zidovudin yang
diberikan adalah 180 mg/m2 per dosis, secara oral tiap 6 jam, dan zalsitabin 0,02—0,04 mg/kg
per dosis, tiap 6 jam. Kedua kombinasi ini ternyata memberikan hasil yang lebih baik dan
memiliki toksisitas yang tidak lebih besar daripada pemberian sendiri-sendiri.
7.7.8 Prognosis
Prognosis infeksi HIV-1 umumnya masih buruk karena hampir selalu progresif dan berakhir
dengan kematian, yaitu rata-rata setelah 6 bulan pada bayi, dan rata-rata 20 tahun pada anak
yang lebih besar. Walaupun kematian terbanyak disebabkan oleh komplikasi pada paru, infeksi
oleh M. tuberculosis dan bakteri yang lain umumnya masih memberikan respons pada
pengobatan. Hal yang paling sulit ditanggulangi adalah infeksi oleh Mycobacterium avium
intracellulare dan Cytomegalovirus. Akibat LIP dalam jangka pendek mungkin lebih baik
daripada infeksi oleh Pneumocystis carinii yang seringkali berakhir dengan gagal napas.
Daftar pustaka
1. Andrews CA, Dullivan JL, Brettler DB, dkk. Isolation of human imunodeficiency virus from
hemophiliacs: correlation with clinical symptoms and immunologic abnormalities. J Pediatr
1987;111:672.
2. Global summary of the HIV/AIDS epidemic. Desember 2003. Diunduh dari
http://www.unaids.org/wad/2003/Epiupdate2003_en/Epi03_02_en.htm. Diakses pada: 5 Pebruari
2008.
3. UNAIDS-WHO. 2006 report on the global AIDS epidemic. Diunduh dari: http://unaids.org. Diakses
pada: 5 Pebruari 2008.
4. Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan Departemen
Kesehatan Republik Indonesia. Laporan triwulan pengidap infeksi HIV dan kasus AIDS sampai
dengan 30 September 2003.
5. Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan Departemen
Kesehatan Republik Indonesia. Laporan triwulan pengidap infeksi HIV dan kasus AIDS sampai
dengan 31 Maret 2007.
6. HIV structure and life cycle. Diunduh dari http://www.avert.org/photos.htm. Diakses pada: 5 Pebruari
2008.
7. Gullet K. HIV and it‘s treatment. Student BMJ. 1998 Nop. Diunduh dari:
http://student.bmj.com/back_issues/1198/data/1198ed1.htm. Diakses pada 5 Pebruari 2008.
8. Arpadi S, Caspe WB. Diagnosis and classification of HIV infection in children. Pediatric Annals
1990;19:409.
9. Blumberg R, Paradis T, Hartshorn KL, dkk. Antibody-dependent cell-mediated cytotoxicity against
cells infected with human immunodeficiency virus. J Infect Dis 1987;156:878.
404
10. Connor RI, Ho DD. Etiology of AIDS: biology of human retroviruses. Dalam: DeVita VT, Hellman S,
Rosenberg SA, dkk., penyunting. AIDS: etiology, diagnosis, treatment, and prevention. Philadelphia:
JB Lippincott Company; 1992. h. 13–38.
11. Collier AC, Coombs RW, Fischi MA, dkk. Combination therapy with zidovudine and didanosine
compared with zidovudine alone in HIV-1 infection. Ann Intern Med 1993; 119:786.
12. De Rossi A, Glacuinto C, Ometto L, dkk. Replication and tropism of human immunodeficiency virus
type 1 as predictors of disease outcome in infants with vertically acquired infection. J Pediatr 1993;
123:929.
13. Falloon J, Eddy J, Wiener L, Pizzo PA. Human immunodeficiency virus infection in children. J Pediatr
1989; 114:1.
14. Haseltine WA. The molecular biology of HIV-1. Dalam: DeVita VT, Hellman S, Rosenberg SA, dkk.,
penyunting. AIDS: etiology, diagnosis, treatment, and prevention. Philadelphia: JB Lippincot
Company; 1992. h. 39–59.
15. Ho DD, Pomerantz RJ, Kaplan JC. Pathogenesis of infection with human immunodeficiency virus. N
Engl J Med 1987; 317:278.
16. Huss RN, Comeau AM, Hoff R. Diagnosis of human immunodeficiency virus infection in infants and
children. Pediatrics 1990; 86:1.
17. Husson RN, Mueller BU, Farley M, dkk. Zidovudine and didanosine combination therapy in children
with human immunodeficiency virus infection. Pediatrics 1994; 93:316.
18. Inselman LS. Tuberculosis in children: update on diagnosis and therapy. J Respir Dis 1983; 4:11.
19. Inselman LS. Pulmonary disorders in pediatric acquired immunodeficiency syndrome. Dalam:
Chernick VC, Kendig EL, penyunting. Kendig‘s disorders of the respiratory tract in children. Edisi ke-5.
Philadelphia: WB Saunders Company; 1990. h. 991–1003.
20. Inselman LS. Pediatric human immunodeficiency virus infection. Dalam: Hilman BC, penyunting.
Pediatric respiratory disease: diagnosis and treatment. Philadelphia: WB Saunders Company; 1993. h.
187–204.
21. Levy JA. Human immunodeficiency viruses and the pathogenesis of AIDS. JAMA 1989; 261:2997.
22. Lundberg GD. Total lymphocyte count as a predictor of absolute CD4 count and CD4 persentage in
HIV-infected persons. JAMA 1993; 269:622.
23. Monroe JE, Andrews CA, Sullivan JL, Mulder C. Use of cytoplasmic dot-blot hybridization to detect
human immunodeficiency virus RNA sequences in peripheral blood cultures. J Infect Dis 1987;
155:320.
24. Rubinstein A, Morecki, Silverman B, dkk. Pulmonary disease in children with acquired immune
deficiency syndrome and AIDS-related complex. J Pediatr 1986; 108:498.
25. Shannon KM, Ammann AJ. Acquired immunodeficiency syndrome in childhood. J Pediatr 1985;
106:332.
26. The working group on antiretroviral therapy and medical management of HIV-infected children.
Guidelines for the use of antiretroviral agents in pediatric HIV infection. 26 oktober 2006. Diunduh
dari: http://aidsinfo.nih.gov/contentfiles/pediatricGuidelines.pdf. Diakses pada: 31 Januari 2007.
27. Chinen J, Shearer WT. Molecular virology and immunology of HIV infection. J Allergy Clin Immunol
2002; 110(2):189-198.
405
7.8 Pembahasan kelenjar Timus
Landia Setiawati
Kelenjar timus terletak di mediastinum anterior superior, namun kadang dapat menempati
seluruh mediastinum. Kelenjar timus adalah organ yang berlobus, antar lobus dipisahkan oleh
septum jaringan ikat. Timus umumnya terdiri dari 2 lobus yang asimetris meskipun kadang-
kadang dijumpai adanya lobus yang lain. Timus merupakan salah satu organ limfoid. Timus
terdiri dari korteks dan medula. Hiperplasia kelenjar timus merupakan kelainan yang paling
sering dijumpai di antara kelainan kelenjar timus lain pada anak, seperti neoplasma, timoma,
teratoma dan kista.
Ukuran dan berat kelenjar timus normal bervariasi menurut umur. Kelenjar timus sudah
terbentuk sempurna saat lahir dengan berat 10 gram. Berat ini akan terus meningkat sampai
umur 2 tahun kemudian perkembangannya menetap (plateau), hanya meningkat saat terjadi
lonjakan pertumbuhan yaitu usia 7-12 tahun. Berat kelenjar timus dewasa mencapai 25 gram
dan menempati area sekitar 25 cm3. Kelenjar timus berbentuk piramida pada usia muda dan
dengan bertambahnya umur akan berbentuk huruf H. Kelenjar timus berwarna merah muda
pada usia muda karena kaya akan pembuluh darah dan berubah merah muda kekuningan
dengan bertambahnya umur berkaitan dengan timbunan lemak.
Hiperplasia timus dapat disebabkan baik karena thymic medullary hyperplasia atau
follicular lymphoid hyperplasia. Penyebab hiperplasia timus belum diketahui dengan pasti,
dibedakan menjadi idiopatik atau sekunder. Hiperplasia timus idiopatik (true thymic hyperplasia)
merupakan kondisi yang jarang ditemukan, umumnya didapatkan pada usia muda dan tidak
selalu berkaitan dengan penyakit imun. Hiperplasia timus sekunder dilaporkan sebagai efek
rebound setelah terapi kanker, terapi steroid atau didapatkan pada fase pemulihan setelah
menderita luka bakar (thermal burns) dan beberapa kelainan endokrin (Grave‘s disease,
Beckwith Wiedeman Syndrome dsb).
Gambaran timus normal pada pemeriksaan radiologis sangat bervariasi dan harus
dibedakan variasi normal atau kelainan patologis. Pada foto roentgen dada kelenjar timus akan
tampak prominen pada bayi baru lahir dan tetap tampak sampai usia 2-3 tahun. Sekitar 2%
masih dapat terlihat sampai usia 4 tahun. Pembesaran kelenjar ke arah servikal sering
didapatkan. Gambaran radiologis hiperplasia timus akan lebih jelas melalui pemeriksaan CT
scan atau MRI.
406
Gambar 7.8.1 Gambaran normal timus pada foto roentgen dada, terlihat pelebaran mediastinum.
Secara keseluruhan memberi kesan gambaran sail sign.
Manifestasi klinis hiperplasia timus tergantung pada ukuran dan letak timus, bervariasi
dari asimptomatis sampai gejala akibat penekanan struktur di sekitarnya. Apabila ukuran timus
besar dan terletak pada daerah superior thoracic inlet, dapat menekan trakea sehingga
menyebabkan stidor. Umumnya dengan perubahan posisi yaitu posisi prone, suara stridor dapat
berkurang dan bahkan dapat menghilang.
Tatalaksana hiperplasia timus tergantung pada besarnya timus. Apabila pembesaran
kelenjar timus tidak menyebabkan gangguan obstruksi maka diobservasi saja karena akan
berkurang sesuai perkembangan umur. Namun bila menimbulkan gejala seperti stridor maka
dapat diberikan kortikosteroid selama 5-7 hari. Dengan pemberian kortikosteroid, kelenjar timus
akan mengecil. Namun setelah kortikosteroid dihentikan, kelenjar timus dapat membesar
kembali tetapi ukurannya lebih kecil. Tindakan eksisi timus dapat dilakukan bila sumbatan jalan
napas cukup mengganggu dan gagal dengan pemberian kortikosteroid.
Prognosis hiperplasia timus umumnya baik. Apabila tidak memberikan respons terhadap
pemberian kortikosteroid perlu dipikirkan kemungkinan neoplasma timus. Neoplasma kelenjar
timus yang paling sering dijumpai adalah timoma. Timoma adalah tumor berkapsul yang
berbeda dengan hiperplasia yang menyebabkan perubahan bentuk dari timus.
Daftar pustaka
1. Brooks JW, krummel TM. Tumors of the Chest. Dalam: Chernick V, Boat TF, Wilmott RW, Bush A,
penyunting. Kendig‘s Disorders of the Respiratory Tract in Children. Edisi ke-7. Philadelphia: WB
Saunders; 2006. h. 705-32
2. Polgreen L, Stemer M, Dietz CA, Manivel JC, Petryk A. Thymic hyperplasia in a child treated with
growth hormone. Growth Hormone & IGF Research 2007; 17:41-6
3. Anastasiadis K, Ratnatunga C. Anatomy. Dalam: Anastasiadis K, Ratnatunga C, penyunting. The
Thymus Gland. Diagnosis and Surgical Management. Berlin: Springer; 2007. h. 5-8
407
4. Anastasiadis K, Ratnatunga C. Thymic diseases. Dalam: Anastasiadis K, Ratnatunga C,
penyunting. The Thymus Gland. Diagnosis and Surgical Management. Berlin: Springer; 2007. h.
17-24
5. Gleeson F, Anderson K. Radiology. Dalam: Anastasiadis K, Ratnatunga C, penyunting. The
Thymus Gland. Diagnosis and Surgical Management. Berlin: Springer; 2007. h. 51-62
6. John DS, Swiscbuk LE. Stridor and upper airway obstruction in infants and children.
Radiographics 1992;12:625-43
408
7.9 Atresia koana
Eddy Widodo, Retno Widyaningsih
Atresia koana pertama kali dikemukakan oleh Roederer pada tahun 1775. Kelainan ini
merupakan suatu obstruksi menyeluruh atau sebagian koana posterior (nares interna), yang
menetap, dapat terjadi unilateral atau bilateral. Sebanyak 90% kelainan obstruksi ini terdiri dari
tulang, sedangkan 10% berupa selaput dengan ketebalan 1–10 mm, dan merupakan kelainan
bawaan atau didapat. Angka kejadian kelainan ini sekitar 1 di antara 7000–8000 kelahiran
hidup. Perbandingan perempuan dan laki-laki adalah 2:1, dan kelainan unilateral dan bilateral
adalah 2:1.
Atresia koana dapat merupakan kelainan tersendiri, tetapi sekitar 20–50% disertai
dengan kelainan lain. Ada beberapa kelainan yang dihubungkan dengan atresia koana, yaitu
koloboma retina, kelainan jantung, hipoplasia alat kelamin pada laki-laki, keterbelakangan
pertumbuhan atau mental termasuk sistem saraf pusat, dan kelainan telinga termasuk tuli, yang
kesemuanya disebut sebagai sindrom CHARGE.
7.9.1 Patofisiologi
Rongga hidung memanjang ke arah posterior selama perkembangan prosesus palatum.
Penebalan membran akan memisahkan rongga hidung dengan rongga mulut. Pada hari ke-38
perkembangan embrio, kedua membran yang terdiri dari epitel hidung dan mulut akan ruptur
dan berpisah membentuk koana (nares posterior). Kegagalan pemisahan ini mengakibatkan
atresia koana.
Beberapa teori menerangkan tentang embriogenesis abnormal terjadinya atresia koana,
diantaranya adalah:
- membran bukofaringeal yang persisten
- kegagalan pemisahan membran bukonasal
- medial outgrowth dari proses vertikal dan horizontal tulang palatinum
- abnormalitas penyatuan mesodermal yang membentuk area koana
Atresia koana bilateral sering ditemukan pada saat lahir karena menimbulkan gejala gawat
napas. Bayi baru lahir secara naluriah bernapas melalui hidung. Apabila ada obstruksi jalan
napas, refleks untuk bernapas melalui mulut baru timbul setelah usia beberapa minggu atau
beberapa bulan setelah lahir. Neonatus dengan atresia koana bilateral akan tampak sianosis
dalam keadaan tenang dan kembali normal bila menangis. Atresia unilateral dapat tidak
terdeteksi selama beberapa tahun, dan pasien dapat mengeluh rinorea atau sumbatan pada
salah satu lubang hidung.
Pada atresia koana perlu dicari kelainan lain yang berhubungan dengan sindrom
CHARGE, yang terdiri dari:
- Coloboma iris, koroid, dan/atau mikroftalmia (80%).
- Heart defect seperti ASD dan/atau lesi conotruncal (58%).
- Atresia of choanae (100%).
409
- Retarded growth and development (retardasi mental 94%, gangguan pertumbuhan
87%).
- Genitourinary abnormalities seperti kriptorkismus, mikrofalus, dan/tanpa
hidronefrosis (hipoplasia genital pada laki-laki 75%).
- Ear defect yang berhubungan dengan ketulian, dapat disertai defek telinga luar,
tengah, dan dalam (88%).
7.9.3 Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, manifestasi klinis, dan pemeriksaan penunjang.
Manifestasi klinis yang sering ditemukan adalah bayi tampak sianosis bila bibir terkatup, dan
kembali memerah bila menangis atau keadaan mulut terbuka. Pada uji pipa nasogastrik
terdapat tahanan pada lubang hidung. Cara lain adalah dengan memastikan udara yang
berhembus lewat lubang hidung.
Pada pemeriksaan radiografi di daerah hidung dengan menggunakan pipa nasogastrik
yang diisi zat kontras, akan terlihat zat kontras tertahan di daerah koana. Dengan CT-scan yang
dilakukan di daerah sinus dapat dideteksi kelainan obstruksi yang terdiri dari tulang atau
membran, atau dapat diketahui ketebalannya, dan dapat diketahui pula adanya kelainan di
daerah dasar tengkorak bagian anterior.
7.9.4 Tatalaksana
Pada atresia koana bilateral diperlukan tindakan darurat dengan melakukan perforasi koana
untuk mengatasi sumbatan jalan napas, eleh karena neonatus bernapas terutama melalui
hidung. Tindakan ini dinilai kontroversial karena pungsi transnasal secara buta dapat sering
menimbulkan komplikasi serius seperti kebocoran cairan serebrospinalis, trauma daerah otak
tengah, dan sindroma Gradenigo (acquired abduscen palsy yang disertai rasa sakit pada daerah
distribusi nervus trigeminus homolateral).
Tatalaksana definitif pada atresia koana bilateral sebaiknya dilakukan sesegera mungkin.
Tindakan trakeostomi jarang diperlukan apabila tidak ditemukan kelainan lain. Pada umumnya
sebelum dilakukan operasi cukup diberikan gudel untuk memudahkan pernapasan. Pada
prinsipnya ada empat pendekatan prosedur operasi, yaitu secara transnasal, transpalatal,
transseptal, dan transantral.
Transnasal dilakukan apabila atresia terdiri dari membran atau tulang yang tipis.
Prosedur yang sederhana adalah dengan melakukan perforasi didaerah atresia yang dilanjutkan
dengan dilatasi. Cara lain adalah dengan melakukan prosedur transnasal yaitu bedah mikro
dengan teknik endoskopi. Prosedur transpalatal dilakukan bila atresia tersebut mempunyai
dinding yang tebal.
7.9.5 Prognosis
Prognosis bergantung pada banyaknya kelainan yang terjadi. Deteksi dini pada periode
perinatal penting untuk menemukan kelainan ini lebih awal, karena atresia koana bilateral
masih merupakan penyebab kematian pada periode neonatus yang sering terjadi tetapi tidak
selalu diketahui.
410
Daftar pustaka
1. Ballenger JJ. Atresia of the posterior choana. Dalam: Ballenger JJ, penyunting. Disease of the nose,
throat, ear, head, and neck; edisi ke-14. Philadelphia: Lea & Febinger; 1991. h. 154-7
2. Bluestone CD. Choanal atresia. Dalam: Bluestone CD, Stoll SE, Scheetz MD, penyunting. Pediatric
otolaryngology; edisi ke-2. Philadelphia: WB Saunders Company;1990. h. 727-8.
3. Haddad J. Congenital disorders of the nose. Dalam: Behrman RE, penyunting. Nelson textbook of
pediatrics; edisi ke-17. Phi;adelphia: WB Saunders Company; 2004. h. 1386-7.
4. Tewfik TL. Choanal Atresia. Diunduh dari: http://www.emedicine.com/ent/TOPIC330.HTM . Diakses
pada: 6 Juni 2006.
411
7.10 Kista dan bleb paru
Landia Setiawati, Nurjannah, Gabriel Panggabean
Cooke dan Blade (1952) membagi penyakit kista paru kongenital menjadi tipe bronkogenik,
alveolar, dan kombinasi keduanya. Kista paru kongenital lebih sering ditemukan dibandingkan
kista paru didapat, sering berjumlah satu atau lebih, tetapi terbatas hanya pada satu lobus.
Tidak ada hubungan predileksi rasial, jenis kelamin, dan keturunan.
Kista paru mudah diketahui, tetapi diagnosis pasti sulit untuk ditegakkan. Seringkali
dijumpai gejala klinis dan foto rontgen toraks yang tidak khas.
7.10.1 Patofisiologi
Gangguan perkembangan sistem bronkopulmonal pada tingkat pembentukan bronkus terminal
atau alveolar dini menyebabkan terbentuknya kista. Pemeriksaan patologi anatomi biasanya
menunjukkan kista tunggal, multilokular, atau unilobar dengan suatu hubungan trakeobronkial.
Kadang-kadang dapat dijumpai kista bilateral atau segmental yang tidak mempunyai hubungan
dengan bronkus. Pada pemeriksaan mikroskop, tampak dinding kista yang tipis, yang terdiri
dari otot polos dan tulang rawan serta dibatasi oleh epitel kolumnar, kecuali apabila ada
pneumatocele oleh infeksi stafilokokus akut. Kebanyakan kista yang didapat mempunyai inner
lining dari epitel skuamosa dan dapat dibedakan secara histologis dengan kista kongenital. Akan
tetapi adanya kontaminasi dan inflamasi dapat mengaburkan kriteria tersebut.
412
stridor, hingga sindrom vena kava. Kista yang berlokasi dekat karina dapat menimbulkan
kompresi saluran respiratorik dan hiperinflasi paru, sehingga timbul gejala gawat napas yang
fatal pada neonatus.
7.10.3 Diagnosis
Pemeriksaan radiologis adalah pemeriksaan penunjang yang penting dalam menegakkan
diagnosis, diagnosis banding, serta evaluasi pengobatan. Pada kista paru alveolar kongenital
tampak bayangan radiolusen berbatas tegas yang memenuhi satu sisi rongga toraks. Pada foto
torak tampak gambaran rongga penuh udara yang berbentuk sirkular atau bulat telur,
berdinding tipis, dan mengandung sedikit gambaran jaringan paru. Paru normal yang berisi
udara ataupun atelektasis tampak pada daerah apeks atau basal paru, tetapi tidak pada daerah
hilus, sedangkan cairan dalam kista biasanya tidak ditemukan. Pendorongan mediastinum,
jantung, dan diafragma juga dapat terlihat, dan kadang-kadang terjadi herniasi paru
menyeberangi garis tengah.
Pemeriksaan ultrasonografi (USG) dapat mendeteksi kista paru kongenital pada
kehamilan 18–24 minggu. Pemeriksaan radiologi dengan kontras barium berguna pada kasus-
kasus dengan gambaran radiologis kista paru multipel yang menyerupai hernia diafragmatika,
yaitu gambaran lesi multikistik yang dapat menyerupai gas dan cairan usus yang berada di
dalam rongga toraks.
CT-scan memberikan gambaran morfologi, lokasi, dan isi kista yang lebih baik, berupa
gambaran massa berdensitas cairan atau jaringan lunak dengan dinding tipis yang licin
(menunjukkan kista yang unilokus/unilobular) atau berbenjol-benjol (menunjukkan kista yang
multilokus/multilobular). Infeksi akan meningkatkan densitas kista. Dengan pemberian kontras,
CT-scan dapat memperlihatkan hubungan kista dengan organ sekitar dan hubungan
vaskularisasinya, tetapi tidak dapat menentukan jenis cairan di dalam kista. Magnetic resonance
imaging (MRI) memberikan resolusi dan gambar potongan sagital yang lebih baik, tetapi tidak
memberikan nilai tambah. Pemberian kontras pada MRI dapat memperjelas gambaran dinding
kista, tetapi tetap tidak dapat memberi keterangan tambahan tentang cairan dalam kista.
Diagnosis pasti didapatkan dari gambaran patologi anatomi (PA). Pemeriksaan PA
biasanya menunjukkan suatu kista tunggal, multilokular, atau unilobular dengan suatu
hubungan trakeobronkial. Kadang-kadang dapat dijumpai kista bilateral atau segmental yang
tidak mempunyai hubungan dengan bronkus. Pus dapat dijumpai bila terjadi infeksi.
Pada pemeriksaan mikroskopis akan sulit dibedakan antara kista bronkogenik dan kista
alveolar. Gambaran histologis kista mengandung semua sel dan jaringan yang dapat ditemukan
pada trakea dan bronkus. Kista berdinding tipis, terdiri atas otot polos, tulang rawan, dan
jaringan fibrosis. Dinding kista dibatasi oleh sel epitel mukus bersilia yang bentuknya beragam,
mulai dari epitel silindris berlapis semu (menyerupai epitel trakea) hingga epitel kubus
(menyerupai epitel bronkiolus respiratorik).
Infeksi dapat merusak karakteristik histologis. Apabila terjadi pneumotokel oleh infeksi
Stafilokokus akut, maka kista tampak mempunyai inner lining yang terdiri dari epitel skuamosa
dan dapat dibedakan dengan kista kongenital. Akan tetapi adanya kontaminasi dan inflamasi
dapat mengaburkan kriteria tersebut. Oleh karena itu, secara klinis dan patologis sulit untuk
membedakan antara kista paru kongenital yang terinfeksi, kista yang didapat, dan abses paru.
7.10.4 Tatalaksana
Kista paru kongenital jarang mengalami regresi spontan dan dapat menimbulkan komplikasi
seperti ruptur pleura, pneumotoraks, infeksi dengan abses, bronkopneumonia, fistula
413
bronkopleural, perdarahan, dan sebagainya. Oleh karena itu, tindakan bedah merupakan pilihan
terapi terbaik.
Kista kecil yang memberikan gejala ringan pada anak besar dan dewasa dapat dengan
mudah dikoreksi oleh tindakan eksisi bedah pada segmen atau lobus yang terkena. Kista
multipel atau kista besar yang menekan lobus paru yang normal memerlukan tindakan reseksi
paru atau lobektomi segera. Lobektomi elektif adalah tindakan bedah yang sering dilakukan
dengan tetap mempertahankan semaksimal mungkin jaringan paru yang masih berfungsi. Pada
keadaan gawat darurat dapat dilakukan aspirasi jarum untuk dekompresi.
Kista paru yang terinfeksi perlu mendapat antibiotik sistemik sebelum operasi, dan
reseksi harus dilakukan tanpa drainase terlebih dahulu. Pada kista yang penuh cairan perlu
dilakukan aspirasi terlebih dahulu untuk membuka lapangan operasi dan mencegah timbulnya
bronchotracheal spillage. Pada kista yang terletak di lobus bawah, perlu dipikirkan adanya arteri
sistemik aberans.
Apabila diagnosis prenatal dapat ditegakkan, koreksi bedah dapat segera direncanakan
secara elektif setelah lahir sebelum timbul gawat napas atau terjadi komplikasi infeksi pada
paru.
7.10.5 Prognosis
Tanpa pembedahan, angka kematian kista kongenital paru simtomatik pada neonatus mencapai
100%, tetapi dengan tindakan pembedahan angka kematian dapat ditekan menjadi 0–14%.
Pembedahan kista paru pada anak yang lebih besar atau dewasa dengan cara eksisi parsial
memiliki rekurensi yang tinggi, sehingga dianjurkan untuk melakukan reseksi total.
Prognosis pascareseksi paru pada kebanyakan anak biasanya baik, dengan angka
kematian dalam 30 hari pasca-operasi sebesar 0,3%. Pengamatan jangka panjang terhadap
pasien yang menjalani reseksi paru memperlihatkan tidak adanya gangguan tumbuh kembang
dengan uji fungsi paru yang normal. Jaringan paru yang tersisa akan memperlihatkan
peningkatan volume dengan cara kompensasi penambahan massa dan berat paru, sebagai hasil
dari hipertrofi dan hiperplasia alveolar. Pasca-lobektomi dan kompresi jangka lama, paru yang
mengalami atelektasis biasanya mengembang dengan cepat dan kembali normal.
Daftar pustaka
1. Bhandari A. Congenital malformations of the lung and the airway. Dalam: Bell LM, penyunting.
Pediatric pulmonology. Philadelphia: Mosby; 2005. h. 46–8.
2. Green TP, Finder JD. Congenital disorders of the lungs. Dalam: Behrman RE, penyunting. Nelson
textbook of pediatrics. Edisi ke-17. Philadelphia: WB Saunders Company; 2004. h. 1425.
3. Kravitz RM. Congenital malformation of the lung. Ped Clin North Am 1994; 41:453–72.
4. Mankad PS, Elliot MJ. Congenital and acquired lung disorders. Dalam: Freeman NV, dkk, penyunting.
Surgery of the newborn. Edinburgh: Livingstone; 1994. h. 431–49.
5. McAdams HP, Kirejezk, Rosado-de-Christenson ML, Matsumoto S. Bronchogenic cyst: imaging
features with clinical and histopatologic correlation. Radiology 2000; 217:441–6.
6. Phelan PD, Olinsky A, Robertson CF. Congenital malformations of the bronchi, lungs, diaphragma and
rib cage. Dalam: Phelan PD, dkk, penyunting. Respiratory illness in children. Edisi ke-4. London:
Blackwell; 1994. h. 369–71.
7. Salzberg AM, Krummel TM. Congenital malformations of the lower respiratory tract. Dalam: Chernick
V, Kendig EL, penyunting. Kendig‘s disorders of the respiratory tract in children. Edisi ke-5.
Philadelphia: WB Saunders Company; 1990. h. 248–9.
414
7.11 Tumor Mediastinum pada anak
Gunadi Santosa, Landia Setiawati
Mediastinum merupakan lokasi yang tersering untuk timbulnya massa dalam rongga dada pada
anak. Mediastinum terletak pada bagian sentral dari dada, diantara dua rongga pleura,
diafragma dan pintu masuk toraks. Dada dibagi menjadi 3 kompartemen: anterior, media dan
posterior untuk membantu mengelompokkan tumor dan penyakitnya sesuai lokasi. Namun ada
pula yang membagi menjadi 4 kompartemen (superior, anterior, pertengahan dan posterior).
Didalam mediastinum terdapat banyak macam kelainan kongenital dan pembengkakan. Tumor
mediastinum sering kali tumbuh lambat, sehingga keluhan mekanis yang ditimbulkan umumnya
lambat muncul. Beberapa keluhan yang dapat timbul:
Batuk atau stridor karena tekanan pada trakea atau pada bronki utama
Gangguan menelan karena kompresi esofagus
Vena leher yang dilatasi pada sindroma vena cava superior
Suara serak karena tekanan pada nervus laryngeus inferior
Serangan batuk dan spasme bronkus karena tekanan pada nervus vagus
Pada diagnosis diferensial tumor mediastinum disamping tumor primer atau kista, juga
harus dipertimbangkan proses patologik sekunder. Dalam hal ini penting apakah penderita pada
umur anak atau orang dewasa. Persentase kelainan maligna pada anak lebih tinggi. Pada orang
dewasa tumor yang sering terdapat di mediastinum adalah tumor neurogen, kista ( bronkogen,
perikardial atau enterogen), thymoma dan limfoma. Dalam golongan umur ini harus
dikesampingkan kelainan-kelainan yang menyerupai tumor seperti struma, aneurisma, proses
inflamasi atau hernia.
Prevalensi tiap tipe tumor tergantung dari lokasi anatomi dan usia anak. Menurut Jose
Carlos dari 20 pasien yang diteliti didapat 14 (70%) pasien tumor mediastinum anterior, dengan
10 (71%) pasien non limfoma dan tumor mediastinum posterior, serta 6 (30%) pasien yang
semuanya neurogenik tumor.
Terdapat bermacam – macam tipe pembagian tumor mediastinum, namun pada tinjauan
kepustakaan ini akan lebih dibahas 6 jenis tumor yang terpenting pada anak yaitu :
1. Timoma
2. Hiperplasia timus
3. Neuroblastoma
4. Higroma kistik
5. Limfoma maligna
6. Teratoma
7.11.1 Anatomi
Mediastinum merupakan bagian dari tubuh manusia yang terletak diantara paru, dibagian
depan dibatasi oleh sternum (anterior jantung dan pembuluh darah brachiocephalik) dan
belakang oleh vertebra. Sebelah atas penggantung suprasternum atau rongga masuk dan
berakhir dibagian bawah adalah diafragma. Mediastinum dibatasi oleh kedua sisi pleura
parietalis dan berisi seluruh struktur rongga toraks kecuali paru.
Agar lebih mudah, mediastinum dibagi menjadi 4 kompartemen, yaitu.
415
1. Mediastinum superior: diatas garis hipotetikal dari perlekatan manubrium dan discus
intervertebralis antara vertebra torakal 4 dan 5.
2. Mediastinum anterior: dari anterior rongga dada hingga anterior trakea, berisi kelenjar
timus, lemak dan limfonodi.
3. Mediastinum media (tengah): didefinisikan sebagai bagian mediastinum yang berisi
jantung, perikardium, aorta asenden dan transversal, pembuluh darah brakiocefalika, vena
cava, arteri dan vena pulmonari utama, trakhea, bronki dan limfonodi.
4. Mediastinum posterior: terletak pada posterior sampai anterior trakea, berisi aorta
torakalis desenden, esofagus, vena azigos, ganglion dan syaraf otonomik, duktus
torasikus, limfonodi dan lemak.
416
Gambar 7.11.2 Tumor mediastinum sesuai lokasi.
Sumber: Staff of the Royal Children‘s hospital Melbourne. Thoracic tumours. Dalam: Jones PG, Campbell PE eds Tumours of infancy
and childhood. Blackwell Scientific Publications Melbourne, 1976.
Sekitar dua per tiga dari seluruh tumor mediastinum adalah jinak. Lebih dari 75 % pasien tumor
mediastinum yang asimtomatik memiliki lesi yang bersifat jinak, sementara dua per tiga dari
pasien yang simtomatik memiliki lesi bersifat ganas.
Gejala klinik
Umumnya tanpa gejala meskipun pada ± 1/3 orang dewasa dengan tumor mediastinum
mengalami nyeri dada, batuk, sesak dan atau gejala lain yang berhubungan dengan kompresi
atau invasi pada penekanan organ disekitarnya. Malignansi ditentukan oleh pertumbuhan
infiltratif di dalam organ-organ sekeliling dan bukan oleh gambaran histologisnya. Pada 50%
kasus terdapat keluhan lokal, juga dapat berkaitan dengan pure red cell aplasia dan hipogama
globulinemia. Tingkat keparahan dari gejala tergantung pada ukuran dan lokasi tumor,
kecepatannya tumbuh dan ada tidaknya invasi yang nyata terhadap organ sekitar.
417
a. Gejala respiratori
Merupakan gejala paling penting pada lesi mediastinum anak. Penekanan oleh timoma
terhadap traktus respiratorius menyebabkan penyempitan trakea atau bronkus atau
penekanan pada parenkim paru. Batuk kering, stridor atau wheezing bisa terjadi pada
waktu bersamaan. Adanya penekanan dapat menimbulkan atelektasis, pneumonitis,
maupun infeksi saluran nafas bawah yang bersifat kronis.
b. Gejala Gastrointestinal
Dapat disebabkan penekanan pada esofagus, regurgitasi makanan dan disfagi. Muntah
sering didapatkan pada tumor ganas dan jarang pada tumor jinak.
Histopatologi
Timoma merupakan tumor epitelial yang ditandai oleh campuran antara sel-sel epitelial dan
limfosit yang matur. Sebagian besar timoma diseliputi oleh kapsul namun 34% dapat
menginvasi dan masuk ke dalam pleura, jaringan lemak, perikardium, pembuluh darah, atrium
kanan dan atau paru.
Staging berdasarkan sistem Masaoka
Stage I : Makroskopis berkapsul, secara mikroskopis tidak tampak invasi ke kapsul
Stage II : Invasi secara makroskopis ke jaringan lemak sekitar pleura mediastinal atau
invasi ke kapsul secara mikroskopis
Stage III : Invasi secara makroskopis ke organ sekitarnya
Stage IV.A : Penyebaran ke pleura atau perikard
Stage IV.B : Metastasis limfogen atau hematogen
Radiologis
Timoma berbatas jelas, bulat, atau berupa massa mediastinal yang berlobus-lobus yang muncul
dari salah satu lobus timus dan tumbuh menuju salah satu sisinya. CT scan atau MRI atau
keduanya sangat membantu dalam menentukan lokasi timus serta menunjukkan hubungan
antara massa tumor dengan struktur vital lainnya.
Penatalaksanaan
Dilakukan terapi pembedahan jika tumor jinak kecuali pada tumor ganas yang telah infiltrasi.
Radioterapi post operasi dan kemoterapi pre operasi tampaknya menjanjikan namun hingga
saat ini belum didapatkan kata sepakat.
418
Gejala klinis
Sesuai dengan gejala yang didapatkan pada timoma
Radiologis
Kirklin, Hodgson dkk menemukan bahwa bayangan timus hampir selalu tampak pada bulan-
bulan pertama kehidupan dengan variasi ukuran dan bentuk. Bayangan mediastinum pada bayi
baru lahir tampak lebih besar atau lebih lebar daripada anak yang lebih tua dan usia dewasa.
Usia 1 – 12 bulan, gambaran timus masih tampak. Antara usia 1–3 tahun, gambaran timus
sangat kecil. 2% anak usia lebih 4 tahun didapatkan gambaran timus dari foto toraksnya,
namun tidak didapatkan kalsium dan tampak pulsasi pada fluroskopi.
Untuk mendapatkan hasil yang lebih baik, pemeriksaan foto dari lateral juga dilakukan
dengan inspirasi penuh. Untuk membedakan sesak karena obstruksi dan pembesaran kelenjar,
selain dengan kualitas film dan foto dada, juga dapat dengan hiperekstensi kepala. Pada pasien
dengan obstruksi keluhan akan hilang sementara pada hiperplasia Timus keluhan tetap
dirasakan.
Penatalaksanaan
Terdapat 3 langkah penatalaksanaan pembesaran timus:
1. Radiasi dengan dosis kecil (70–150 R).
2. Kortikosteroid dapat diberikan 5–7 hari untuk mengurangi ukuran timus.
3. Pembedahan dapat digunakan untuk terapi obstruksi saluran nafas dan untuk diagnosis.
Pembedahan dapat dilakukan jika timor jinak.
Namun seperti disebutkan diatas, karena neuroblastoma paling sering ditemukan, maka
pembahasan lebih dibatasi pada neuroblastoma saja.
Neuroblastoma adalah tumor ganas yang tumbuh dari medulla adrenalis dan kadang
dari ganglion sistem saraf simpatis. Sejumlah tumor muncul dari diafragma dan mungkin
mengadakan ekspansi kedalam jaringan retroperitoneal dalam abdomen serta mediastinum
posterior. Neuroblastoma muncul secara primer dalam mediastinum dan secara makroskopis
dikelompokkan menjadi 3 tipe:
1. Besar, halus, nekrotik, dan tumor tumbuh dengan cepat
2. Tumor tumbuh lebih lambat, kenyal, tersebar mengelilingi pembuluh darah besar, dan
3. Tumor tumbuh sangat lambat, dikelilingi tumor tak berkapsul yang berisi area
ganglioneuroma yang mengalami differensiasi.
Ukuran, sisi dan kecepatan tumbuh dari masing – masing tipe tersebut mempengaruhi tindakan
yang akan kita ambil.
Insidens neuroblastoma mencapai 10,5 per 1.000.000 anak berusia kurang 15 tahun,
dengan anak laki-laki lebih sering dari pada perempuan (rasio 1,2:1). Usia puncak dari insiden
tersebut 0–4 tahun dan usia rata-rata 23 bulan. Skrining neuroblastoma oleh peneliti Jepang
419
menunjukkan bahwa tumor yang tumbuh tanpa gejala pada bayi, dapat dideteksi dengan
mengukur kadar katekolamin dalam urin.
Gejala klinis
Pada saat penegakan diagnosis umumnya sudah ada metastasis dari neuroblastoma. Dengan
demikian manifestasi klinis neuroblastoma sangat bervariasi tergantung pada sisi tumor
primernya serta metastasisnya. Gangguan nafas, nyeri dada dan panas merupakan gejala
paling sering. Dapat pula ditemui anak tampak pucat, ekimosis periorbita, penurunan berat
badan, nafsu makan dan anergi merupakan sindroma yang sering disebut sebagai ′malignant
malaise‘. Hal ini dapat digambarkan:
1. Penekanan mediastinum, memberikan gambaran tumor besar, cepat tumbuh,
mengalami nekrosis, semifluid, dapat mengekstensi kedalam rongga pleura dengan
gejala dispneu, takipneu, batuk kasar, disfagia, dan pelebaran muka serta leher (tipe 1).
2. Nyeri punggung dan atau bengkak di punggung, menekan spinal cord sehingga
paraplegi maupun metastasis jauh ke organ lain misalnya pada mata, tulang maupun
limfonodi perifer (tipe 2).
3. Penemuan dari foto dada (tipe 3) tumor tumbuh lambat, berkapsul, dan non infiltratif.
4. Gejala yang jarang misalnya diare bisa didapatkan pada neuroblastoma abdominal.
Histopatologi
Sebagai tumor ganas dari ganglion sistem saraf simpatis, Neuroblastoma memberikan
gambaran sel berlapis-lapis yang seragam, dengan atau tanpa gambaran pseudorosette. Sel-sel
420
tersebut memiliki inti gelap dan sitoplasma yang sedikit, keduanya dipisahkan oleh stroma
fibriler dan eosinofilik (Gambar 7.11.3).
Radiologis
Pada pemeriksaan foto toraks, tampak gambaran tumor berbentuk bulat, oval, atau spindel
dengan ciri khas berlokasi di posterior. Pada saluran paravertebral tampak pula gambaran
kalsifikasi di dalam tumor. Pemeriksaan dengan CT scan ataupun MRI dapat lebih memperjelas
adanya proses metastasis dalam hal ini keterlibatan getah bening dan batas dari tumor juga
lebih jelas.
421
Penatalaksanaan
Pada tumor stadium 1 dan 2, sesuai konsensus dapat dilakukan reseksi. Jika masih didapatkan
penyakit atau tumor yang tersisa pasca reseksi, tetapi tanpa kemoterapi atau terapi radiasi,
dapat dimasukkan pada tumor stadium 3. Saat ini direkomendasikan bahwa setelah
pembedahan perlu dilakukan observasi teliti dengan mengukur konsentrasi katekolamin dalam
urin dan gambaran radiologis. Apabila terdapat sisa tumor maka didapatkan peningkatan kadar
katekolamin dalam urin. Untuk anak usia lebih 1 tahun dengan stadium 3, neuroblastoma dapat
dilakukan bedah atau reseksi, kemoterapi, operasi ‘second look‗ kemudian dilanjutkan dengan
radioterapi dan atau kemoterapi. Sedangkan pada tumor stadium 4 dengan usia lebih dari 1
tahun dapat diberikan inisial kemoterapi yang dilanjutkan dengan reseksi tumor primer dan
pemberian MAT (Myeloablative Therapy) dengan hemopoetik stem sel. Regimen kemoterapi
yang cukup baik digunakan adalah VECI (Vinkristin 1,5 mg/m2 pada hari I; carboplatin 400
mg/m2 hari 3, teniposide 150 mg/m2 hari ke 4, serta iphosphamid 3000 mg/m2 pada hari 1 dan
2).
Gejala klinis
Tumor–tumor Hodgkin dan sel retikulum biasanya ditemukan primer pada anak usia 3 tahun
dengan puncak insidens usia 8-14 tahun. Lebih dari 95 % anak dengan limfoma maligna
menunjukkan adanya pembesaran limfonodi, hipertropi tonsil, adenoid hiperplasia, pembesaran
hilus pulmonari, splenomogali, nyeri tulang, panas yang tak diketahui sebabnya, lesi kulit,
kadang bisa muncul gangguan system saraf pusat dan dapat pula ditemukan batuk dan/atau
sesak.
Diagnosis
Diagnosis umumnya dibuat melalui pemeriksaan hapusan darah, biopsi limfonodi skalenus dan
pemeriksaan sumsum tulang, serta adanya gejala – gejala seperti diatas.
Radiologis
Didapatkan gambaran pembesaran hilus bilateral, pembesaran mediastinum, bilateral serta
pembesaran limfonodi yang terlokalisir dan jarang unilateral.
Penatalaksanaan
Pada pasien ini seringkali didapatkan adenopati mediastinal yang masif sehingga
penatalaksanaan menggunakan kombinasi radioterapi dan kemoterapi.
422
7.11.2.5 Higroma kistik (Mediastinal Limfangioma)
Umumnya lebih sering pada mediastinum superior dan dapat berkembang menuju leher sebagai
massa yang teraba pada persimpangan (percabangan) servikal posterior bagian dalam.
Kepustakaan lain menyebutkan, higroma kistik sebagai tumor yang muncul dalam sakus
limfonodi embrionik, dan sebagai tumor jinak tersering kedua pada anak. Tumor tersebut
meskipun dilaporkan jarang terjadi namun masih sering didapatkan pada anak daripada
dewasa. Lebih kurang 50% muncul saat lahir dan 90% ditemukan pada usia 2 tahun. Tidak ada
perbedaan gender. Dilaporkan dapat mengalami regresi spontan meskipun tidak spesifik.
Etiologi hingga saat ini masih kontroversial, mungkin dari lesi yang berkembang terus.
Gejala klinis
Dari pemeriksaan superfisial tampak massa halus, tidak nyeri dan transiluminated. Dapat
muncul sebagai gejala yang berhubungan dengan massa mediastinum, perikardial maupun
efusi pleura. Pembesaran yang cepat dapat terjadi pada infeksi maupun perdarahan. 95% kista
ini melibatkan leher dan aksila, 10% meluas kedalam sisi superior dari mediastinum anterior,
bisa pula ke kompartemen mediastinum yang lain namun lebih jarang.
Pada pemeriksaan fisik diagnostik terhadap pembengkakan leher, teraba massa dengan
ukuran berfluktuasi, dan dapat bertambah besar selama pergerakan inspirasi serta unilateral.
Higroma kistik sangat mudah terinfeksi, timbul perdarahan spontan serta kista pasca
traumatis dapat menimbulkan kompresi terhadap trakea secara mendadak, sehingga
kemoterapi insisi dan drainase dapat dilakukan.
Chylotoraks juga dapat terjadi bila higroma servikal melibatkan duktus torasikus.
Histopatologi
Higroma kistik berisi massa dengan dibatasi saluran limfe yang jernih, bersifat cair, dilapisi
endotelium dan umumnya multilokuler. Jaringan dapat diambil dari mediastinum maupun leher.
Didapatkan pula gambaran proliferasi dari percabangan pembuluh limfatik dan sakus yang
infiltratif. Tidak pernah dilaporkan higroma kistik yang berubah menjadi ganas.
Radiologis
Dari foto toraks dan pemeriksaan fluroskopi menunjukkan massa yang turun pada saat inspirasi
dan menetap pada saat expirasi.
Dari rontgen toraks juga didapatkan massa yang lobulated, melingkar, tumor multikistik,
dapat mencapai ukuran yang besar dan dapat menginfiltrasi jaringan diseberangnya.
Pada pemeriksaan CT scan, ‗kista‘ dapat bervariasi pada diameter 1-2 mm hingga
beberapa cm, ketebalan yang berbeda-beda serta gambaran enhance minimal setelah kontras
dimasukkan.
423
Gambar 7.11.5 CT scan limfangioma: batas jelas,tampak cairan mengisi antara vena cava superior dan
aorta
Penatalaksanaan
Pada lesi yang terlokalisir dapat dilakukan tindakan bedah reseksi, namun rekurensi sering
terjadi pada reseksi lesi inkomplit. Aspirasi kadang dapat mengurangi kegawatan yang terjadi
misalnya pada sesak karena efusi pleura dan perdarahan, namun akumulasi cairan dapat terjadi
lagi. Injeksi sklerotik agen dan terapi laser juga dapat diberikan, sedangkan terapi sistemik
dengan interferon juga telah dilaporkan namun belum ada konsensus mengenai hal ini. Terapi
pembedahan juga dapat mengalami kesulitan karena sisi-sisi jaringan yang mengelilingi kista
tersebut berkembang dengan baik dan mampu mendesak struktur mediastinum itu sendiri.
7.11.2.6 Teratoma
Merupakan salah satu tumor yang berasal dari sel benih. Teratoid tumor mediastinum
diklasifikasikan sebagai:
1. Teratoma kistik jinak
2. Teratoma jinak (solid)
3. Teratoid (karsinoid)
Gejala klinis
Keluhan dan gejala umumnya didapatkan karena adanya penekanan atau gangguan pada
sistem respiratorik karena tumor. Gejala tersebut berupa batuk, sesak, sianosis, nyeri dada dan
mungkin pneumonitis karena ada ekspektorasi dari rambut menuju paru.
424
Histopatologi
Teratoma jinak umumnya berdiferensiasi dengan baik. Stroma jaringan konektif teratoma ganas
umumnya lebih tak beraturan sedangkan pada teratoma jinak tampak lebih padat. Pada tipe
jinak dapat ditemukan jaringan saraf, kulit dan gigi, dan kelenjar keringat.
Diagnosis
Penegakan diagnosis meliputi CT scan, rontgen, MRI, pengukuran kadar α feto protein dan β-
human chorionic gonadotropin (β HCG). Tumor marker diukur saat diagnosis selama terapi,
bulanan/tahun dengan interval lebih panjang setelahnya.
Radiologis
Didapatkan bayangan homogen dengan batas jelas pada foto dada, kadang dapat terlihat
endapan kalsium dan gigi-gigi dalam tumor.
Penatalaksanaan
Pada teratoma jinak eksisi diperlukan untuk menegakkan diagnosis, sedikit mengurangi gejala
dan memperbaiki potensiasi untuk berubah ke arah maligna. Untuk teratoma jinak banyak yang
tidak menganjurkan dilakukannya kemoterapi maupun radioterapi. Pada teratoma ganas,
penatalaksanaan meliputi reseksi tumor secara total dengan pemberian kemoterapi cisplatin.
Berikut adalah tabel dosis standar kemoterapi pada anak.
Obat Dosis
Etoposide (E) 100 mg/m2/hari selama 1 jam untuk 3 hari
Cisplatin (P) 20 mg/m2/hari selama 1 jam untuk 5 jam
(+ mannitol untuk merangsang diuresis)
Ifosfamide (I) 1,500 mg/m2/hari selama 22 jam untuk 5 hari
(+mesna uroprotektif)
Vinblastin (V) 3 mg/m2/hari selama 1 jam untuk 2 hari
Bleomycin (B) 15 mg/m2/hari selama 24 jam untuk 3 hari
Simpulan
Tumor mediastinum pada anak meskipun jarang didapatkan namun memberikan dampak
mortalitas dan morbiditas yang cukup bermakna. Manifestasi klinis tergantung pada jenis tumor
dan sejauh mana tumor tersebut menyebabkan kompresi pada organ sekitar sehingga timbul
keluhan dan gejala seperti batuk, sesak, sianosis bahkan nyeri dada.
425
Penatalaksanaan tumor mediastinum tergantung pada tipe tumor dan staging saat
diagnosis ditegakkan.
Daftar pustaka
1. Schneider DT, Calaminus G, dkk.Primary Mediastinal Germ Cell tumors in children and
adolescents : results of the German cooperatif protocols MAKE I 83 / 86, 89 and 96. J Cln
Oncol 2000; 18:832-839. www.jco.org.
2. Strollo DC, Christenson LCMLR, Jett JR. Primary mediastinal tumor. Diunduh dari:
http://www.chestjournal.org.1997. Diakses pada: 8 Desember 2007.
3. Ablin DS, Azouz EM Jain KA, Large IntraThoracic tumors in children : imaging findings. Am J
Roentgenol 1995; 165:925–934.
4. Herzog CE. Gonadal and germ cell neoplasm. Dalam: Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB,
penyunting. Penyunting. Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke-17. Philadelphia: WB Saunders
Co ;2004. h. 1723-1724
5. Caron H, Pearson A, Neuroblastoma. Dalam: Voute PA, Kalifa C, Barrett A, penyunting. Cancer
in children: clinical management. USA:Oxford University Press;1998. h. 275 – 291.
6. Hazinski TA. Tolls for diagnosis and management of respiratory disorders. Dalam: Rudolph CD,
Rudolph AM, penyunting. Mc.Graw – Hill Medical publishing Division; 2002. h. 1914
7. Staff of the Royal Children‘s hospital Melbourne. Thoracic tumours. Dalam: Jones PG, Campbell
PE, penyunting. Tumours of infancy and childhood. Melbourne:Blackwell Scientific
Publications;1976. h. 441 – 467.
8. Bosch JMMVD, Vanderschueren RGJRA, Thunnissen FBJM, Wagenaar SJSC. Tumor paru, pleura
dan mediastinum. Dalam: Velde CJHVD, Bosman FT, Wagener DJTH. Onkologi.
Yogyakarta:Arjono Gadjah Mada University Press;1999. h. 332 – 361.
9. Brooks JW. Tumor of the chest. Dalam: Chernick V, Kendig EL. Kendi‘s Disorders of the
respiratory track in children. Edisi ke-5. Philadelphia:WB Saunders Company;1990. h. 614–641.
10. Jose CF, Komlos M, Takamatu E. Mediastinal tumors in children. J pneumologia
2003;29(5):235-7.
11. Bradley SP. Mediastinal mass. Dalam: Bordow RA, Ries AL, Morris TA eds. Manual of dinical
problems in pulmonary medicine. Philadelphia: Lippincott Williams Wilkin; 2001. h. 421 – 423.
12. Park DR, Vallieres E. Dalam: Mason RJ,Murray JF, Broaddus VC, Nadel JA eds. Murray and
Nadel‘s Textbook of Respiratory Medicine. Edisi ke-4. Philadelphia: Elsevier Saunders; 2005. h.
2021–2031.
13. Portlock CS. Hodgkin‘s disease. Dalam: Greene HL, Johnson WP, Lemcke D eds. Decision
making in medicine an algorithmic approach. Edisi ke-2. Baltimore: Mosby; 1998. h. 232–233.
14. Musani AI, Sterman DH. Tumors of the mediastinum, pleura, Chest wall and diaphragm.
Dalam: Crapo J0, Glassroth J, Karlinsky JB, King TE eds. Baum‘s textbook of pulmonary
diseases. Edisi ke-7. Philadelphia:Lippincott Williams and Wilkins; 2004. h. 883 - 889
426
7.12 Displasia bronkopulmoner
Landia Setiawati, Retno Asih Setyoningrum
7.12.1 Definisi
Displasia bronkopulmoner (bronchopulmonary dysplasia, BPD) merupakan diagnosis klinis yang
ditentukan berdasarkan ketergantungan oksigen dalam periode waktu tertentu setelah lahir,
dan disertai gambaran radiologis tertentu yang sesuai dengan kelainan anatomi. Sejauh ini
belum ditemukan definisi fisiologis yang tepat. Dengan berkembangnya gejala klinis BPD selama
30 tahun terakhir, maka berkembang pula definisi BPD. Displasia bronkopulmoner pertama kali
dilaporkan oleh Northway dkk. pada tahun 1967 berdasarkan perubahan radiologis pada bayi
prematur yang menderita sindrom distres pernapasan setelah lahir, mendapatkan terapi
ventilator dan ketergantungan oksigen. Meskipun penyakit respiratorik akut membaik, tetapi
kebutuhan oksigen meningkat setelah 7−10 hari, bahkan menetap hingga 28 hari setelah lahir.
Definisi menurut Northway telah dimodifikasi. Bancalari menyatakan bayi prematur
dengan sindrom distres pernapasan yang tidak berat yang membutuhkan ventilator jangka
pendek, tetapi gejala respiratorik menetap dan membutuhkan oksigen minimal selama 28 hari
setelah lahir, serta disertai kelainan radiologi. Gambaran BPD terus berkembang sesuai dengan
semakin banyaknya pemberian steroid antenatal dan surfaktan pascanatal. Tatalaksana
tersebut dapat menurunkan insidens dan derajat sindrom distres pernapasan, serta
meningkatkan angka keberhasilan bayi hidup yang sangat kecil dan imatur (usia gestasi <30
minggu atau berat badan lahir <1.250 g). Bayi-bayi tersebut mempunyai penyakit paru kronis
yang lebih ringan. Shennan mengatakan morbiditas paru yang didapatkan mudah diptrediksi
dengan melihat kebutuhan oksigen minimal pada usia 36 minggu pasca konsepsi
(postconseptual age, PCA). Shennan merekomendasikan bahwa ketergantungan oksigen selama
36 minggu PCA, termasuk 28 minggu setelah lahir, digunakan sebagai definisi BPD karena lebih
relevan secara klinis.
Beberapa bayi dengan berat badan lahir sangat rendah (BBLSR), bayi prematur yang
lahir antara 23−28 minggu gestasi dan berat badan lahir <1.250 g, membutuhkan oksigen lebih
tinggi selama 1−2 minggu setelah lahir, meskipun sebelumnya tidak terdapat penyakit paru dan
juga tidak menggunakan ventilator atau terapi oksigen. Tipe BPD tersebut dikenal sebagai tipe
BPD atipikal. Hingga saat ini definisi BPD hanya berdasarkan kebutuhan oksigen dalam waktu
tertentu, tanpa memperhatikan terapi adjuvan seperti pemberian diuretik, restriksi cairan,
bronkodilator, atau steroid yang mempengaruhi kebutuhan oksigen. Masalah yang ditimbulkan
adalah kesulitan penentuan insidens dan prevalens yang akurat dari BPD, dan kesulitan
membandingkan terapi atau keluaran di antara pusat rumah sakit yang berbeda.
427
Tabel 7.12.1 Definisi displasia bronkopulmoner: kriteria diagnostik (Jobe, 2001)
Waktu penentuan 36 minggu pascakonsepsi Usia >28 hari tetapi <56 hari,
diagnostik atau saat diizinkan atau saat diizinkan pulang
pulang, bergantung pada
yang mana yang lebih
dulu
Terapi oksigen >21%
untuk minimal 28 hari
BPD ringan Bernapas dengan udara Bernapas dengan udara
ruangan pada usia 36 ruangan pada usia 56 hari atau
minggu pascakonsepsi saat diizinkan pulang
atau saat diizinkan pulang
7.12.2 Epidemiologi
Faktor risiko terjadinya BPD adalah multifaktorial. Hal ini berhubungan langsung dengan derajat
penyakit paru yang mendasarinya (sebagian besar sindrom distres pernapasan), lama
pemakaian ventilator, dan lama pemberian oksigen. Diplasia bronkopulmoner terjadi pada 27%
bayi hampir aterm yang menderita penyakit paru yang berat (misalnya sindrom distres
pernapasan, aspirasi mekonium, pneumonia, sepsis) dan 50% pada bayi yang menderita
hipoplasia pulmoner.
Insidens BPD bergantung pada definisi yang digunakan. Terdapat kurang dari 50% bayi
prematur yang membutuhkan suplementasi oksigen pada 28 hari setelah lahir yang tetap
bergantung pada oksigen pada 36 minggu PCA, dan lebih sedikit lagi yang masih bergantung
pada oksigen setelah 42 minggu PCA. Pada populasi neonatus dengan BBLSR (<1500g),
insidens ketergantungan oksigen pada 28 hari setelah lahir adalah sekitar 30% hingga 50%,
pada 36 minggu PCA insidens ketergantungan oksigen pada bayi yang sama menurun menjadi
4−30%. Sekitar 60% bayi dengan BBLSR membutuhkan ventilator dan surfaktan, dan
bergantung pada oksigen hingga 28 hari, dan 30% dari bayi dengan BBLSR tetap bergantung
pada oksigen pada 36 minggu PCA. Di Amerika Serikat, insidens BPD bervariasi antara
17−57%.
428
Beberapa studi menunjukkan bahwa sepertiga bayi dengan BBLSR mengalami bentuk
ringan dari BPD atipikal. Insidens BPD berbanding terbalik dengan usia saat bayi dilahirkan dan
berat badan lahir (lihat Gambar 7.12.1). Oleh karena itu, insidens BPD lebih tinggi pada bayi-
bayi prematur dan berat badan lahir rendah (BBLR). Semakin banyak bayi prematur yang
bertahan hidup, maka jumlah total anak-anak yang menderita BPD juga meningkat, meskipun
secara klinis derajatnya lebih ringan.
Gambar 7.12.1 Insidens BPD pada bayi dengan berat badan lahir <1.500 g di University of
Miami/Jackson Memorial Medical Center tahun 1996−1998).
Sumber: Bancalari E, Epidemiology and risk factors for the ―new‖ bronchopulmonary dysplasia. NeoReviews. 2000.1:e1-e5
7.12.3 Patogenesis
Pada awalnya, BPD dipercaya sebagai akibat trauma langsung dari respirator, dan toksisitas
oksigen. Akan tetapi dalam perkembangannya, dengan adanya perubahan gejala klinis dan
adanya ketergantungan oksigen pada bayi tanpa sindrom distres pernapasan, atau pada bayi
yang awalnya tidak diberi oksigen, akhirnya diketahui bahwa inflamasi merupakan penyebab
utama BPD. Bukti bahwa respons inflamasi menyertai sindrom distres pernapasan adalah
ditemukannya sel-sel inflamasi yang teraktifasi, mediator inflamasi, dan sitokin-sitokin pada bayi
yang menderita BPD. Faktor-faktor seperti macrophage inflammatory protein-1 dan interleukin-
8 (IL-8) yang ditemukan di saluran respiratorik, dan penurunan sitokin counter regulatory
seperti IL-10 menyebabkan inflamasi persisten. Sel-sel inflamasi banyak ditemukan di ruang
antar sel maupun rongga udara, selain itu sel epitel paru juga mensintesis mediator-mediator
inflamasi. Produksi radikal bebas oleh karena besi bebas pada rongga udara menyebabkan
terbentuknya TGF-β dan fibrosis.
Barotrauma dan volutrauma akibat respirator dapat merusak jalan napas dan parenkim
paru secara langsung ataupun tidak langsung. Intubasi menyebabkan kerusakan permukaan
saluran respiratorik lokal, mengganggu aktivitas silier, dan sebagai jalan masuk langsung
bakteri patogen dan gas eksogen pada saluran respiratorik. Kebocoran udara, misalnya pada
emfisema intersisial paru, semakin merusak jaringan paru. Paparan oksigen menyebabkan
timbulnya radikal bebas toksik yang dapat menyebabkan kerusakan akut pada jaringan,
peradangan, dan menghambat perbaikan dan perkembangan paru.
429
Bayi dengan paru yang masih imatur dapat mudah mengalami kerusakan dan lebih sulit
mengalami perbaikan. Dari hasil autopsi ditemukan abnormalitas perkembangan dan morfologi
paru pada bayi yang menderita BPD, dengan penurunan pembentukan alveoli dan septum.
Diketahui juga bahwa alveoli terus berkembang hingga usia 5 tahun, sehingga sebagian besar
bayi dengan BPD membaik secara klinis meskipun kelainan patologis dan radiologis biasanya
menetap hingga dewasa.
Stadium tersebut sesuai dengan progresivitas patologi, dari sindrom distres pernapasan
akut hingga edema paru, inflamasi, metaplasia sel skuamosa, dan akhirnya emfisema, fibrosis,
atelektasis, dan penebalan otot polos peribronkial dan perivaskular. Akan tetapi, lesi pada
penderita BPD tergambarkan lebih baik pada CT-scan daripada rontgen. Pada CT-scan dapat
ditemukan area hiperaerasi multifokal, beberapa opasitas linier subpleura, dan menyingkirkan
bronkiektasis jika didapatkan gambaran sekuele dari BPD.
Displasia bronkopulmoner sering disertai dengan bronkospasme, episode sianosis, dan
hipoksemia kronis. Abnormalitas fungsi paru pada bayi BPD meliputi penurunan komplians paru,
ketidakseimbangan ventilasi-perfusi, serta peningkatan volume paru, tahanan saluran
respiratorik, dan air trapping. Perbaikan klinis BPD dinyatakan dengan perkembangan somatik
yang membaik.
Abnormalitas uji fungsi paru menetap pada anak usia sekolah dengan riwayat BPD.
Abnormalitas tersebut mencakup penurunan kapasitas vital paru, volume ekspirasi paksa
(forced expiratory volume, FEV), aliran ekspirasi paksa, dan peningkatan volume residu. Uji
fungsi paru biasanya membaik pada usia 7-11 tahun. Sekitar 50% anak-anak dengan riwayat
BPD mempunyai hiperreaktifitas bronkus meskipun tidak terdapat riwayat mengi. Suatu studi
kohort menyatakan bahwa bayi BBLSR yang menderita BPD memiliki kelemahan motorik dan
berisiko lebih tinggi terhadap retardasi mental.
7.12.5 Tatalaksana
Tujuan tatalaksana BPD adalah mengurangi keluhan respiratorik, memperbaiki fungsi paru,
meminimalkan jejas paru dan inflamasi, memberikan oksigenasi adekuat, dan memfasilitasi
perkembangan paru. Meskipun pemberian diuretik dapat mengurangi edema paru dan
kebutuhan oksigen, tetapi dapat juga menurunkan elektrolit, memicu bone loss, dan
nefrokalsinosis. Kortikosteroid sistemik dosis tinggi memfasilitasi ekstubasi dan menurunkan
bantuan pernapasan dan paparan oksigen. Akan tetapi, keuntungan jangka pendek tersebut
menyebabkan komplikasi yang serius seperti hiperglikemi, hipertensi, perforasi usus halus,
infeksi, menghambat pertumbuhan otak dan somatik, serta menghambat perkembangan
neuromotor (cerebral palsy, CP). Kortikosteroid pascanatal tidak menunjukkan keuntungan
430
jangka panjang. Hingga saat ini belum diketahui hubungan antara efek steroid sistemik tersebut
dan jenis steroid, dosis yang digunakan, atau durasi pengobatan. Penggunaan steroid aerosol
menunjukkan komplikasi yang lebih sedikit, tetapi efek terapinya kurang efektif. Karena efek
samping jangka pendek maupun jangka panjang steroid itulah maka direkomendasikan bahwa
penggunaan steroid pascanatal hanya pada keadaan klinis khusus seperti gagal napas berat
dengan oksigen maksimal. Kemungkinan pengobatan yang digunakan untuk menurunkan
ketergantungan oksigen lebih merusak daripada oksigen itu sendiri.
Banyak bayi prematur terpapar dengan peningkatan konsentrasi oksigen, sedangkan
enzim antioksidan endogen relatif kurang saat lahir. Pemberian recombinant human superoxide
dismutase (rhSOD) dapat mengurangi jejas paru baik pada kultur sel maupun pada binatang
percobaan. Pada suatu studi, rhSOD diinstilasikan pada trakea setelah pemberian dosis awal
surfaktan eksogen, dan dilanjutkan hingga 28 hari atau selama penggunaan ventilator. Dari
studi tersebut didapatkan hubungan antara pemakaian rhSOD, penurunan derajat perdarahan
intraventrikular, dan leukomalasia periventrikular. Akan tetapi, pemberian antioksidan untuk
pencegahan dan terapi masih perlu dievaluasi lebih lanjut.
Perkembangan paru terjadi akibat keseimbangan antara pengaruh stimulan dan
inhibitor, yaitu glukokortikoid dan TGF-β. Glukokortikoid mendorong pematangan struktur
parenkim, meningkatkan produksi surfaktan dan komplians paru, meningkatkan klirens air pada
paru, dan menurunkan permeabilitas vaskular. Hasil akhirnya adalah perbaikan fungsi paru,
respons yang lebih baik terhadap surfaktan, dan peningkatan harapan hidup. Sebaliknya, TGF-β
menghambat perkembangan paru.
431
Tabel 7.12.2 Tujuan terapi dan efek samping yang ditimbulkan
Studi yang dilakukan oleh Cole pada tahun 1999 menyatakan bahwa pemberian inhalasi
beklometason tidak mencegah terjadinya BPD, tetapi berhubungan dengan penurunan
penggunaan glukokortikoid sistemik dan ventilator. Deksametason diberikan dengan dosis awal
0,2−0,5 mg/kgBB po/iv dan dilanjutkan dengan dosis rumatan 0,1 mg/kgBB po/iv selama 6−8
jam. Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk menentukan dosis dan cara pemberian
glukokortikoid pada penderita BPD.
Nitric oxide (NO) merupakan regulator penting pada tonus vaskular paru, dan NO
sintase dapat ditemukan pada endotel vaskular dan epitel bronkus. Inhalasi NO dapat
meningkatkan aliran darah paru, menurunkan tahanan vaskular paru, dan memperbaiki
oksigenasi.
432
Nutrisi
Nutrisi yang optimal, termasuk energi yang cukup dan vitamin, sangat penting untuk
perkembangan dan perbaikan paru. Malnutrisi dapat menurunkan fungsi maupun ukuran paru.
Anak yang menderita BPD biasanya mengalami gangguan pertumbuhan karena kebutuhan
nutrisi dan kalori meningkat sementara asupan nutrisi kurang optimal. Intoleransi makanan,
refluks gastroesofagus, kesulitan makan (oral aversion), restriksi cairan, hipoksemia, dan infeksi
berulang menyulitkan pemenuhan kebutuhan nutrisi dan berperan pada gagal tumbuh. Terapi
difokuskan pada pembatasan katabolisme, peningkatan status anabolik, serta pemberian kalori
dan nutrisi tambahan untuk memperbaiki jaringan dan pertumbuhan. Setelah pulang, anak
yang menderita BPD tetap membutuhkan kalori dan nutrisi tambahan. Pemenuhan nutrisi
tambahan dibutuhkan anak minimal selama satu tahun PSA.
Nutrisi yang penting untuk mencegah atau mengobati BPD adalah inositol, asam lemak,
karnitin, sistein, serta vitamin A, C, dan E. Hingga saat ini hanya vitamin A parenteral yang
diberikan setelah lahir yang menunjukkan manfaat spesifik dalam menurunkan risiko BPD.
Memberikan energi dan nutrisi yang cukup secepat mungkin sangat penting. Mengawali nutrisi
parenteral dengan protein, lemak, karbohidrat, vitamin, dan mineral dalam 24−48 jam setelah
lahir dapat mencegah kehilangan protein, meminimalkan katabolisme, mencegah defisiensi
asam lemak esensial, dan menyediakan vitamin dan mineral.
Air susu ibu (ASI) membantu memberikan keuntungan imunologis spesifik pada bayi
yang menderita BPD. Selain itu, ASI juga dibutuhkan untuk memperoleh protein yang adekuat,
kalori, dan mineral pada semua bayi dengan berat lahir <1.500 g. Susu formula dapat
digunakan sebagai alternatif jika ASI tidak tersedia. Baik ASI maupun susu formula dapat
menjaga keseimbangan nutrisi, dimana kalori dapat ditingkatkan hingga 30 kkal/onz jika
dibutuhkan restriksi cairan untuk menurunkan edema paru. Pengukuran parameter
pertumbuhan seperti berat badan, lingkar lengan, dan lingkar kepala dilakukan sesering
mungkin untuk menentukan kebutuhan nurtrisi.
7.12.6 Prognosis
Sebagian bayi dengan BPD dapat bertahan hidup, tetapi terdapat peningkatan risiko infeksi,
hiperreaktifitas saluran respiratorik, disfungsi jantung, dan kelainan neurologis. Dua puluh
empat persen dari bayi dengan BPD klasik akan mempunyai keluhan respiratorik hingga
dewasa. Meskipun BPD ringan berhubungan dengan hasil yang lebih baik, tetapi anak yang
menderita BPD mempunyai risiko dua kali lebih besar untuk menderita mengi, asma, atau
infeksi saluran respiratorik-bawah, dibandingkan dengan anak-anak tanpa BPD. Pada beberapa
laporan, 50% dari seluruh bayi BBLSR dengan riwayat BPD kembali masuk rumah sakit pada
12−24 bulan pertama setelah lahir, dan 50% mempunyai riwayat mengi atau asma pada masa
anak-anak. Risiko kejadian akut yang mengancam jiwa (20%) atau kematian mendadak (3%)
lebih tinggi pada bayi BBLSR dengan BPD.
433
Tabel 7.12.3 Masalah-Masalah kesehatan BPD setelah keluar Rumah Sakit
Respirasi Gastrointestinal
Pneumonia bakteri dan virus Refluks gastroesofagus
Bronkitis Kesulitan makan (oral aversion)
Aspirasi Intoleransi makanan
Penyakit reaktivitas jalan napas, mengi Slow weight gain
Intoleransi latihan Failure to thrive
Otitis media
Kejadian akut yang mengancam nyawa
Sindrom kematian mendadak
Trakeomalasia
Stenosis subglotis
Kematian
Kardiovaskular Lain-lain
Hipertensi sistemik Osteopeni, riketsia, patah tulang
Hipertensi pulmonal Batu ginjal, batu empedu
Korpulmonal Nefrokalsinosis
Gagal jantung kongestif
Sumber: Voucher YE. Bronchopulmonary displasia: an enduring challenge. Pediatrics in review. 2002
Daftar pustaka
1. Bancalari E. Epidemiology and risk factors for the ―new‖ bronchopulmonary dysplasia. NeoReviews
2000; 1:e1–5.
2. Bourbon J, dkk. Control mechanism of lung alveolar development and their disorders in
bronchopulmonary dysplasia. Pediatric research 2005; 57:38–46.
3. Chang L, dkk. A catalytic antioxidant attenuates alveolar structural remodeling in bronchopulmonary
dysplasia. Am J Respir Crit Care Med 2003; 167:57–64.
4. Cole CH, dkk. Early inhaled glucocorticoid therapy to prevent bronchopulmonary dysplasia. NEJM
1999; 340:1005–10.
5. Driscoll W. Bronchopulmonary dysplasia. Feb 7, 2003. Diunduh dari: http://www.emedicine.com.
Diakses pada 4 april 2006.
6. Jobe AH, Bancalari E. Broncopulmonary dysplasia. Am J Respir Crit Care Med 2001; 163:1723–9.
7. Meurs K, dkk. Inhaled nitric oxide for premature infants with severe respiratory failure. N Engl J Med
2005; 353:13–22.
8. Oppenheim C, dkk. Bronchopulmonary dysplasia: value of CT in identifying pulmonary sequelae. AJR
1994; 163:169–72.
9. Shenai J, dkk. Vitamin A status and postnatal dexamethasone treatment in bronchopulmonary
dysplasia. Pediatrics 2000; 106:547–53.
10. Singer L, dkk. A longitudinal study of developmental outcome of infants with bronchopulmonary
dysplasia and very low birth weight. Pediatrics 1997; 100:987–93.
11. Stark AR. Risks and benefits of postnatal corticosteroids. NeoReviews 2005; 6:99–103.
12. Voucher YE. Bronchopulmonary displasia: an enduring challenge. Pediatrics in review 2002; 23:349–
58.
434
7.13 Hipertensi pulmoner
I Boediman, Putu Siadi Purniti
7.13.2 Epidemiologi
Insidens HP primer adalah 1-2 kasus dari 1 juta populasi. Penyakit ini dapat terjadi pada segala
usia, meskipun pada pasien anak sebagian besar terjadi pada usia remaja. Pada pasien yang
lebih tua, perbandingan laki-laki dan perempuan adalah 1,7:1, sedangkan pada pasien yang
lebih muda terdapat kemungkinan yang sama antara laki-laki dan perempuan. HP primer lebih
sering terjadi pada usia 20-40 tahun. Tidak ada predileksi ras, namun terdapat faktor genetik.
HP sekunder cukup sering terjadi tetapi tidak terdiagnosis. Prevalensi penyakit ini sulit
ditentukan karena bervariasinya penyebab yang teridentifikasi. Pada usia >50 tahun,
korpulmonale yang dapat terjadi akibat HP yang tidak diobati, merupakan gangguan jantung
tersering ke-3 (setelah penyakit jantung koroner dan penyakit jantung hipertensi).
7.13.3 Patofisiologi
Tekanan sistolik arteri pulmonal normal saat istirahat adalah 18-25 mmHg, dengan tekanan
pulmonal rata-rata yang bervariasi antara 12-16 mmHg. Tekanan yang rendah ini diakibatkan
oleh luasnya daerah persilangan dari sirkulasi pulmonal, sehingga resistensi menjadi rendah.
Meningkatnya resistensi pembuluh darah pulmonal atau aliran darah pulmonal menyebabkan
HP.
Idiopatik HP, yang dahulu dikenal sebagai HP primer yang tidak diketahui etiologinya,
merupakan penyakit obstruksi pembuluh darah pulmonal yang disebabkan oleh proliferasi sel
endotel kapiler yang patologik. Faktor genetik dapat berperan, dan pada beberapa kasus
menunjukkan adanya gangguan imunologi. HP berhubungan dengan obstruksi prekapiler dari
pembuluh darah pulmonal akibat hiperplasia otot arteri kecil dan arteriol pulmonal. Keadaan ini
435
ditemukan pada neonatal HP, mountain sickness yang kronis. Pada anak, dilaporkan adanya
beberapa kasus HP yang disertai penyakit oklusi vena.
Secara patologik, HP terkharateristik dengan proliferasi sel endotel kapiler, ekspansi otot
polos vaskular dan sel adventisial arteri pulmonalis (Gambar 7.13.1).
436
30-40% pasien dengan idiopatik HP ditemukan positif pada pemeriksaan Anti Nuklear Antibodi
(ANA) dan 10-15% lainnya dapat mengekspresikan antibodi anti fosfolipid. Hipotesis yng timbul
dengan mempertimbangkan semua temuan yang telah dibicarakan sebelumnya adalah pada
keadaan imunodefisiensi relative atau absolute, terjadi kelainan regulasi imunitas yang
menimbulkan autoreaktivasi dari sel B dan sel T yang patologis.
Beberapa pertanyaan yang masih timbul adalah rendahnya prevalensi HP pada pasien
dengan SLE serta defek vaskularisasi pulmonal yang terjadi tidak secara universal. Diperlukan
lebih dari satu faktor yang dapat menyebabkan berkembangnya kelainan. Faktor lingkungan,
seperti intake dan infeksi virus, merupakan fakor yang sangat berperan dalam hal ini (gambar
7.13.2). Faktor lainnya yang juga dipertimbangkan adalah genotip pasien dan kerusakan
vaskular akibat infeksi sebelumnya ataupun stressor lain.
Gambar 7.13.2 Gambaran keterlibatan sistem imun terhadap proses Hipertensi Pulmonal
Sumber: Nicolls MR, Taraseviciene-Stewart L, Rai PR, Badesch DB, Voelkel NF. Autoimmunity and pulmonary hypertension:a
perspective. Eur Respir J 2005; 26:1110–1118.
Hipertensi pulmonal seringkali tidak menunjukkan gejala yang spesifik. Gejala-gejala tersebut
biasanya sulit dibedakan dengan gejala-gejala pada penyakit paru atau jantung yang lain.
Gejala utama adalah intoleransi latihan fisik dan kelelahan, yang menunjukkan adanya
ketidakmampuan untuk meningkatkan curah jantung selama aktivitas. kadang-kadang terdapat
nyeri dada prekordial, pusing, pingsan, atau nyeri kepala. Hemoptisis akibat pecahnya
pembuluh darah pulmonal jarang terjadi. Fenomena Raynaud terjadi pada 2% pasien dengan
HP primer, namun lebih sering pada pasien dengan HP yang berkaitan dengan penyakit
jaringan penunjang. Makin banyak gejala spesifik yang ada, makin menunjukkan penyebab dari
HP.
437
Tabel 7.13.1 Klasifikasi fungsional HP menurut WHO
Kelas I Pasien dengan HAP tanpa aktivitas fisik yang terbatas. Aktivitas fisik biasa
tidak menimbulkan sesak napas atau lelah, nyeri dada, atau nyaris pingsan
yang tidak semestinya terjadi.
Kelas II Pasien dengan HAP dengan aktivitas fisik sedikit terbatas. Saat istirahat
tidak ada keluhan, namun aktivitas fisik biasa menyebabkan sesak napas
atau lelah, nyeri dada, atau nyaris pingsan yang tidak semestinya.
Kelas III Pasien dengan HAP dengan aktivitas fisik yang jelas terbatas. Saat istirahat
tidak ada keluhan, namun aktivitas fisik yang lebih ringan dari biasa
menyebabkan sesak napas atau lelah, nyeri dada, atau nyaris pingsan yang
tidak semestinya.
Kelas IV Pasien dengan HAP yang tidak mampu melakukan aktivitas fisik apapun
tanpa menunjukkan gejala. Pasien ini memperlihatkan tanda-tanda gagal
jantung kanan. Sesak napas dan/atau lelah dapat timbul saat istirahat.
Ketidaknyamanan meningkat dengan melakukan aktivitas fisik apapun.
Sumber: Widlitz A, Barst RJ. Pulmonary arterial hypertension in children. Eur Respir J 2003; 21:155–176
Sianosis perifer dapat terlihat, terutama bila foramen ovale menetap sehingga darah
dapat pindah dari kanan ke kiri; pada tahap lanjut, ekstremitas menjadi dingin, dan pasien
tampak keabu-abuan karena curah jantung yang rendah. Saturasi oksigen arteri biasanya
normal.
Bila terjadi gagal jantung kanan, tekanan vena jugularis meningkat dan timbul
hepatomegali dan edema. Jantung akan membesar. Bunyi jantung I biasanya diikuti dengan
bunyi ejection click yang keluar dari arteri pulmonal yang melebar. Bunyi jantung II akan split,
keras, kadang-kadang nyaring; kadang-kadang dapat dipalpasi di batas sternum kiri-atas. Bunyi
gallop presistolik dapat terdengar di batas sternum kiri-bawah. Murmur sistolik terdengar halus
dan pendek, dan kadang-kadang diikuti dengan murmur diastolik yang makin lama makin
pelan terdengar, sehubungan dengan insufisiensi pulmonal. Pada tahap lanjut, murmur
holosistolik dari insufisiensi trikuspid terdengar di batas sternum kiri-bawah.
Temuan dari pemeriksaan paru tidak spesifik, namun dapat menunjukkan penyebab dari
HP. Misalnya saja, mengi dapat mengarah ke diagnosis Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK),
dan ronkhi basilar dapat menunjukkan adanya penyakit paru interstisial.
7.13.5 Diagnosis
438
yang menonjol (P2), bunyi jantung III di kanan (S3), murmur insufisiensi trikuspid,
hepatomegali, dan edema perifer.
Pada pemeriksaan fisis, terdapat perbedaan antara HP dengan dan tanpa pirau
intrakardia atau ekstrakardia. Pada pasien yang telah dioperasi untuk memperbaiki kelainan
jantung kongenitalnya, hasil pemeriksaan fisik dapat sama dengn pasien IPAH atau tipe lain
dari HAP. Perlu perhatian khusus dalam pemeriksaan jantung dan tanda-tanda lain dari kongesti
vena sistemik yang berhubungan dengan kegagalan ―pompa‖ kanan. Tanda-tanda kardiak dari
tekanan sistolik ventrikel kanan yang meningkat adalah: P2 tunggal yang keras, murmur atau
insufisiensi katup trikuspid, dan/atau murmur dari insufisiensi pulmonal. Murmur pansistolik dari
regurgitasi trikuspid sering dijumpai. Dapat pula terdengar murmur diastolik bernada tinggi dari
insufisiensi pulmonal, dan biasanya berhubungan dengan tekanan arteri pulmonal yang tinggi
dan pelebaran arteri pulmonal utama. Di samping itu dapat pula terdengar gallop ventrikel
kanan S3 atau S4. Pada awalnya dapat ditemukan peningkatan komponen pulmonal dari bunyi
jantung II, dan bunyi jantung IV sisi kanan. Apabila terdengar bunyi jantung III ventrikel
kanan, biasanya menunjukkan penyakit sudah lanjut. Meskipun jarang, pada anak dapat terlihat
pelebaran vena jugularis. Dapat pula ditemukan hepatomegali. Karena simpai hati pada anak
lebih mudah melebar, maka ukuran hati merupakan tanda yang baik untuk melihat derajat
gagal jantung kanan, dan respons terhadap terapi. Pada kasus yang berat, dapat dijumpai
asites dan edema perifer.
Pemeriksaan rontgen toraks tidak sebaik pemeriksaan elektrokardioram (EKG), namun
dapat menunjukkan adanya penyakit paru. Hasil rontgen dada menunjukkan arteri pulmonal
dan ventrikel kanan yang mencolok. Vaskularisasi pulmonal di daerah hilus juga tampak jelas,
kontras dengan lapangan paru perifer yang bersih. Hasil EKG menunjukkan hipertrofi ventrikel
kanan, dengan gelombang P runcing. gelombang R prekordial kanan yang tinggi, deviasi aksis
kanan, dan strain ventrikel kanan. Tidak jarang, ditemukannya HP berawal dari ditemukannya
hipertrofi ventrikel kanan dari EKG, atau arteri pulmonal yang menonjol dari foto rontgen
toraks.
Pasien dengan gejala dan tanda, atau temuan EKG dan rontgen toraks yang mengarah
ke diagnosis HP, harus menjalani pemeriksaan ekokardiografi dua dimensi dengan Doppler.
Ekokardiografi merupakan pemeriksaan yang paling berguna untuk mendeteksi HP dan
menyingkirkan adanya penyakit jantung. Konfirmasi HP berdasarkan ditemukannya regurgitasi
katup trikuspid.
Semua pasien yang telah didiagnosis HP perlu menjalani pemeriksaan laboratorium
lengkap untuk menentukan etiologi. Tujuannya adalah untuk mengidentifikasi atau
menyingkirkan penyebab yang bisa ditangani. Pemeriksaan awal meliputi pemeriksaan darah
lengkap, waktu protrombin, waktu tromboplastin parsial, profil hati, dan autoimmune panel
(jika panel ini dicurigai berdasarkan anamnesis atau pemeriksaan fisis). Pemeriksaan HIV perlu
dipikirkan untuk semua pasien, terutama yang memiliki riwayat maupun faktor risiko yang
sesuai.
Analisis gas darah arteri perlu dilakukan untuk menyingkirkan hipoksia dan asidosis
sebagai penyerta HP. Penting untuk diingat bahwa oksigenisasi saat istirahat yang normal tidak
dapat menyingkirkan desaturasi oksigen saat latihan dan di malam hari. Dua puluh persen
pasien dengan PPOK dan tekanan oksigen arteri normal, mengalami desaturasi oksigen non-
apneu nokturnal. Peningkatan tekanan arteri pulmonal selama desaturasi oksigen berkaitan
dengan peningkatan tahanan vaskular pulmonal dan curah jantung. Kejadian ini diperbaiki
dengan suplemen oksigen. Sehingga, oksimetri saat olahraga dan di malam hari perlu dilakukan
pada semua pasien dengan HP.
439
Pemeriksaan fungsi paru penting untuk mengetahui adanya obstruksi saluran napas
atau kelainan restriksi paru. Computed tomographic scanning (CT-scan) dada dengan resolusi
tinggi, berguna untuk menyingkirkan penyakit paru interstisial yang tak terlihat, dan fibrosis
mediastinum, ketika pemeriksaan fungsi paru dan radiografi toraks tidak dapat mendiagnosis.
Pada kateterisasi jantung, penyakit ini harus dapat dibedakan dengan sindrom
Eisenmenger, dimana terdapat hubungan antara jantung-kiri dan kanan, dan juga dari lesi
obstruksi di sisi kiri, yang menyebabkan hipertensi vena pulmonal.
440
Anamnesis, pemeriksaan fisis, EKG, rontgen toraks
Suspek HP
Kerusakan
Ventilation-perfusion lung segmental
scanning kurang dari
satu
Satu atau lebih
kerusakan segmental
Angiografi Embolus
CT toraks dengan resolusi tinggi
pulmonal proksimal
(-)
441
7.13.6 Penatalaksanaan dan prognosis
HP primer bersifat progresif dan seringkali tidak membutuhkan penatalaksanaan khusus. Telah
dilaporkan beberapa keberhasilan dalam penggunaan agen penghambat kanal kalsium seperti
nifedipin pada anak, yang menunjukkan vasoreaktivitas pulmonal ketika obat ini diberikan
selama kateterisasi. Prostasiklin (prostaglandin I2) yang diberikan secara berkelanjutan, baik IV
maupun nebulisasi, dapat meredakan penyakit untuk sementara. Saat ini sedang diteliti tentang
pemberian nitrat oksida secara berkelanjutan melalui kanul nasal. Antikoagulasi mungkin dapat
bermanfaat, terutama pada pasien yang sebelumnya telah memiliki tromboemboli pulmonal.
Pada kasus-kasus tertentu pemberian sildenafil memberikan hasil yang baik. Terapi definitif
adalah transplantasi jantung-paru atau paru.
Pada pasien dengan HAP yang berat dan curah jantung yang rendah, dapat terjadi
kematian mendadak dan berhubungan dengan aritmia letal. HAP pada neonatus biasanya
sangat progresif dan memiliki mortalitas tinggi.
Daftar pustaka
1. Widlitz A, Barst RJ. Pulmonary arterial hypertension in children. Eur Respir J 2003; 21:155–176.
2. Noonan Jacqueline A. Cor Pulmonale. Dalam: Chernick dan Boat. Kendig‘s Disorder of the Respiratory
Tract in Children. Edisi ke-6. Philadelphia: WB Saunders Co; 1998. h. 826-37.
3. Herbst JJ. Pulmonary hypertension. Dalam: Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB, penyunting.
Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke-16. Philadelphia: WB Saunders Co.; 2000. h. 1408–9.
4. Nicolls MR, Taraseviciene-Stewart L, Rai PR, Badesch DB, Voelkel NF. Autoimmunity and pulmonary
hypertension:a perspective. Eur Respir J 2005;26:1110–1118.
5. Nauser TD, Stities SW. Diagnosis and Treatment of Pulmonary Hypertension. American Family
Physician. Vol 9. Diunduh dari: http://www.aafp.org/afp/20010501/1789.html. Diakses pada: 3
Januari 2007.
6. Benisty JI. Pulmonary Hypertension. Circulation 2002; 106:e192-194.
442
7.14 Edema paru
Darfioes Basier, Muhammad Sidqi Anwar, Finny Fitry Yani
Edema paru dapat didefinisikan secara luas sebagai akumulasi cairan yang berlebihan di dalam
sel, ruang antar sel, dan rongga alveoli pada paru. Penyebabnya beragam, tetapi memiliki hasil
akhir yang sama, yaitu jumlah air yang berlebihan di dalam paru.
Edema paru secara klasik dikategorikan berdasarkan patofisiologinya, yaitu edema paru
hidrostatik dan edema paru permeabilitas. Edema paru hidrostatik (tekanan tinggi, transudatif,
atau kardiogenik) ditandai dengan peningkatan tekanan mikrovaskular paru yang menyebabkan
transudasi cairan melalui endotel ke ruang antar sel paru dan kemudian ke ruang alveolar. Pada
edema paru permeabilitas (tekanan-rendah, eksudatif, atau nonkardiogenik), trauma pada
endotel mikrovaskular memungkinkan cairan kaya protein memasuki ruang ekstravaskular.
Pada keadaan normal, cairan pada kapiler paru berada dalam keadaan seimbang
dengan cairan yang berada di ruang interstisial. Sejumlah kecil plasma kapiler (air dan sedikit
zat terlarut) terus-menerus memasuki ruang interstisial, yang kemudian dialirkan melalui
saluran limfe menuju sirkulasi vena sistemik.
Faktor yang menentukan keseimbangan cairan di kapiler dan ruang interstisial adalah
tekanan hidrostatik dan tekanan onkotik. Tekanan hidrostatik adalah tekanan intravaskular yang
mendorong cairan keluar dari kapiler paru. Tekanan onkotik dihasilkan oleh adanya molekul
yang mempunyai berat molekul besar, terutama protein. Tekanan onkotik cenderung untuk
mempertahankan cairan agar tetap berada di intravaskular, jadi berlawanan dengan tekanan
hidrostatik. Meskipun tekanan onkotik dapat diukur dengan sebuah onkometer (normal 20−25
mmHg), nilainya berkorelasi dengan kadar protein serum total dan konsentrasi albumin.
443
7.14.2 Patogenesis
Edema paru terjadi bila volume plasma berlebihan memasuki ruang interstisial dan alveoli.
Edema paru merupakan suatu keadaan klinis akut yang ditandai dengan gejala distres
pernapasan dan takipnea yang sebanding dengan penurunan PaO2 dan P(A-a)O2. Gangguan
fisiologis yang menyebabkan terjadinya hipoksemia adalah adanya ketidakseimbangan ventilasi-
perfusi (ventilation-perfusion missmatch).
444
interstisial dengan berbagai cara, memperluas gradien tekanan melalui membran vaskular dan
mendorong pembentukan cairan interstisial.
7.14.3 Patofisiologi
Edema paru akan mempengaruhi kemampuan mekanik dan pertukaran gas di paru dengan
berbagai mekanisme. Produksi lapisan surfaktan terganggu karena alveoli terendam cairan,
serta adanya protein dan sel debris. Keadaan ini akan menyebabkan peningkatan tegangan
permukaan pada alveoli, sehingga memudahkan terjadi kolaps (atelektasis). Adanya
penumpukan cairan berlebihan di ruang intestisial juga mengurangi kelenturan paru dan
mempermudah kolaps alveoli dan saluran respiratorik kecil. Resistensi jalan napas juga
meningkat akibat kompresi saluran respiratorik kecil oleh cairan dan penumpukan cairan di
interstisial peribronkial. Efek ini bersama-sama akan mengurangi komplians paru dan
meningkatkan resistensi jalan napas yang secara langsung meningkatkan kerja pernapasan,
akhirnya terjadi kelelahan otot respiratorik, dan terjadi gagal napas.
Pada edema paru, terjadi gangguan pertukaran gas. Pada edema interstisial, pertukaran
gas hanya sedikit terganggu karena membran kapiler mencegah penumpukan cairan, tetapi
pada edema alveoli pertukaran gas sangat terganggu secara bermakna. Terjadi
ketidakseimbangan ventilasi-perfusi (V/Q) karena terdapat unit paru yang tidak mengembang
akibat terendam cairan, atau karena obstruksi saluran respiratorik, sehingga aliran darah ke
unit paru yang tidak mengembang akan berkurang karena vasokonstriksi akibat hipoksia.
Hiperventilasi dengan hipokapnia merupakan keadaan yang biasa ditemukan pada awal
edema paru. Hiperventilasi terjadi akibat beberapa keadaan, diantaranys yaitu kompensasi
adanya hipoksemia arteri, ansietas, serta stimulasi reseptor J oleh edema saluran respiratorik.
Hipertensi arteri pulmonal merupakan keadaan yang sering ditemukan pada edema
paru. Pada edema paru yang berat, hipertensi arteri pulmonal dapat menyebabkan gagal
445
jantung kanan. Hipertensi arteri pulmonal merupakan akibat dari vasokonstriksi hipoksia pada
unit paru yang mempunyai ventilasi buruk, juga kompresi vaskular langsung oleh edema
peribronkial.
446
Tabel 7.14.1 Etiologi edema paru
Insufisiensi limfatik
kongenital dan didapat
447
Hipertensi sistemik akibat retensi cairan pada gagal ginjal akut akan menyebabkan
peningkatan volume cairan intravaskular. Peningkatan aliran darah dan tekanan vaskular
pulmonal dapat juga terjadi pada kelainan jantung bawaan seperti VSD atau PDA.
Penambahan cairan yang berlebihan juga menyebabkan peningkatan tekanan hidrostatik
dan dilusi protein plasma, seperti pemberian cairan pada diare dan Dengue shock syndrome
(DSS). Selain itu, keadaan ini diduga dapat juga disebabkan oleh sekresi hormon ADH yang
berlebihan yang ditemukan pada pneumonia berat dan asma (syndrome inappropriate
antidiuretic hormone, SIADH).
Permeabilitas kapiler
Trauma difus pada unit-unit alveolokapiler akan meningkatkan permeabilitas endotel kapiler dan
epitel alveolar terhadap molekul-molekul besar seperti protein. Keadaan ini menyertai kondisi-
kondisi berbagai penyakit seperti sepsis dan aspirasi cairan lambung.
Pada keadaan trauma paru, paru memberikan respons dengan cara yang tidak spesifik,
tetapi dapat diperkirakan tanpa memperhatikan faktor pemberat. Secara klinis, trauma paru
akut bermanifestasi sebagai rangkaian gejala dan tanda yang seringkali disebut sebagai acute
respiratory distress syndrome (ARDS). Secara histologik, kerusakan tampaknya berubah seiring
waktu, dan dapat dibagi menjadi tiga fase yang saling berhubungan dan tumpang tindih
dengan perjalanan klinis penyakit. Onset (tahap I atau fase oksidatif) ditandai dengan
ekstravasasi cairan kaya protein ke dalam ruang-ruang antar sel dan alveolar. Pada tahap II
atau fase proliferatif terdapat respons selular yang intensif yang berhubungan dengan
perdarahan, nekrosis selular, deposisi fibrin, dan oklusi vaskular trombotik. Pasien-pasien yang
sembuh dari serangan akut, proses perbaikannya ditandai dengan fibrosis dan penebalan
septum-septum alveolar yang mengakibatkan pembesaran yang tidak beraturan dari rongga-
rongga udara dan obliterasi vaskular (tahap III atau fase fibrotik).
Mekanisme trauma paru pada sebagian besar edema paru permeabilitas tidak diketahui.
Sebuah kaskade kompleks dari mediator-mediator inflamasi yang dipicu oleh serangan akut
menyebabkan aktivasi dan penggunaan makrofag, neutrofil, dan limfosit. Mediator-mediator
sitotoksik, radikal-radikal oksigen bebas, protease, dan metabolit-metabolit asam arakidonat
dilepaskan, menyebabkan kerusakan sel-sel endotel dan epitel. Hasilnya adalah peningkatan
konduktansi barier alveolokapiler terhadap cairan dan protein.
Re-ekspansi paru
Keadaan ini dapat terjadi pada pasien yang mengalami pengembangan paru yang cepat setelah
pemasangan water sealed drainage (WSD) pada pneumotoraks atau efusi pleura. Sindrom ini
dihubungkan dengan penurunan tekanan interstisial yang mendadak. Mekanisme yang
mendasarinya belum jelas. Ketidakseimbangan daya Starling karena pembentukan tekanan
negatif intratoraks yang tinggi selama penyedotan eksternal diduga yang menyebabkan
terjadinya edema paru. Penelitian pada binatang percobaan menunjukkan bahwa edema paru
448
re-ekspansi adalah akibat dari kerusakan alveolar oleh sel-sel inflamasi yang teraktivasi. Aktivasi
sel tersebut dipicu oleh reperfusi paru yang sebelumnya kolaps dan iskemik.
Uremia
Uremia dapat menyebabkan edema paru akibat overhidrasi, bertambahnya volume darah,
peningkatan tekanan mikrovaskular paru disertai dengan anemia dan penurunan tekanan koloid
osmotik. Permeabilitas kapiler paru juga dapat berubah akibat meningkatnya produk metabolik
uremia.
Neurogenik
Dapat terjadi setelah trauma kepala, perdarahan sub arakhnoid, tumor otak, dan meningitis.
Mekanisme kejadiaannya dimulai dengan adanya peningkatan tekanan intrakranial akan
menyebabkan aktifnya saraf simpatik, yang mengakibatkan peningkatan volume afterload
ventrikel kiri jantung. Selanjutnya, akibat peningkatan volume afterload, tekanan pengisian
akan meningkat, dan akhirnya terjadi peningkatan tekanan hidrostatik kapiler paru. Edema paru
pada keadaan ini dapat terjadi secara akut ataupun kronik. Terapi biasanya hanya berupa
pemberian oksigen.
Dataran tinggi
Patogenesis edema paru akibat berada di dataran tinggi masih belum jelas, diduga akibat
hipoksia lama yang menyebabkan hipertensi pulmonal. Beberapa penelitian menunjukkan
bahwa predisposisi konstitusional dari beberapa individu terhadap hipertensi paru dengan
hipoksia, kenaikan yang tidak sama dalam resistensi prekapiler bertanggung jawab terhadap
tekanan yang sangat tinggi dan terlihat pada paling tidak beberapa kapiler paru. Meskipun
demikian, beberapa penelitian mengenai bronkoalveolar lavage (BAL) dan cairan edema paru
menunjukkan kandungan protein yang tinggi. Peningkatan persentase makrofag alveolar
menunjukkan bahwa peningkatan permeabilitas juga memegang peranan pada patogenesis.
Obat-obatan
Ditemukan bahwa setelah penyuntikan paraldehid atau heroin (narkotik), terjadi edema paru
secara klinis dan radiologis. Hal ini diduga terjadi akibat efek toksik terhadap vaskular paru.
Edema paru dapat terjadi sebagai komplikasi lambat dari keracunan salisilat yang berat.
Mekanismenya diduga akibat peningkatan permeabilitas vaskular karena perubahan fungsi
platelet dan inhibisi sintesis prostaglandin. Pemakaian zat intravena juga berisiko terhadap
terjadinya mikroemboli di pembuluh darah paru yang mengakibatkan peningkatan permeabilitas
kapiler paru.
449
Neonatal Respiratory Distress Syndrome (NRDS)
Edema paru pada bayi prematur terjadi akibat kelebihan cairan paru janin pada saat lahir.
Sebagai contoh, tekanan dan aliran darah yang tinggi pada arteri pulmonal (terutama pada
PDA), tekanan ruang interstisial yang rendah, konsentrasi protein plasma yang rendah,
peningkatan permeabilitas kapiler, kerusakan endotel paru akibat inflamasi, tekanan jalan napas
yang tinggi, dan konsentrasi oksigen yang tinggi.
7.14.5 Diagnosis
Gejala klinis yang terjadi bergantung pada mekanisme timbulnya edema paru. Secara umum,
edema interstisial dan alveoli menghambat pengembangan alveoli, serta menyebabkan
atelektasis dan penurunan produksi surfaktan. Akibatnya, komplians paru dan volume tidal
berkurang. Sebagai usaha agar ventilasi semenit tetap adekuat, pasien harus meningkatkan
usaha pernapasan untuk mencukupkan volume tidal dan/atau meningkatkan frekuensi
pernapasan.
Secara klinis dapat timbul gejala sesak napas, retraksi interkostal pada saat inspirasi,
dan perubahan berat badan. Suara merintih dapat dijumpai, yang terjadi akibat usaha untuk
mencegah kolaps paru.
Temuan-temuan spesifik edema paru pada pemeriksaan fisis bervariasi menurut
beratnya distres pernapasan dan penyebab dasar dari edema. Secara umum, beberapa derajat
distres pernapasan bermanifestasi dalam bentuk peningkatan laju pernapasan, retraksi
interkostal, dan penggunaan otot-otot bantu pernapasan. Sianosis dapat terlihat, dan mungkin
terdengar hantaran pada auskultasi, khususnya pada lapangan paru yang terkena. Peningkatan
P2 atau bahkan S3 dan ―aliran‖ bising mungkin terdengar bersamaan dengan distensi vena
jugularis dan hepatomegali. Sputum yang sangat berbuih dan berwarna merah muda terlihat
hampir pada semua edema paru berat.
Krepitasi tidak selalu ditemukan, kecuali bila sudah terjadi perpindahan cairan dari
alveoli ke bronkiolus terminal. Bila penumpukan cairan sudah sampai ke saluran respiratorik
besar, maka ronki dan mengi dapat didengar. Apakah ronki dan mengi terjadi akibat edema
dinding bronkus dan spasme bronkus, belum dapat dibuktikan.
Gejala-gejala iskemia miokardial yang berhubungan dengan tanda-tanda kegagalan
ventrikel kiri mengarah kepada diagnosis edema paru hidrostatik, sedangkan riwayat aspirasi
cairan lambung dan respons kardiovaskular hiperdinamik mengarah kepada diagnosis edema
paru permeabilitas.
Radiografi
Gambaran radiografi pada edema paru tidak spesifik. Pada suatu penelitian ditemukan bahwa
gambaran radiologis edema paru baru dapat dilihat bila terjadi penumpukan cairan
ekstravaskular paru lebih dari 35%.
Bentuk-bentuk edema paru yang lebih berat seringkali menghasilkan kesuraman
perihiler, kemungkinan karena terdapat kumpulan cairan yang banyak di perivaskular dan
peribronkial di daerah ini. Penebalan septum (edema septum-septum interlobular) terlihat
sebagai garis tipis, lurus, sepanjang 2−6 cm. Pada daerah perihiler disebut sebagai garis Kerley
―A‖. Garis-garis yang mirip, tidak lebih dari 2 cm, ditemukan pada lapangan paru perifer tegak
lurus terhadap garis pleura, disebut sebagai garis Kerley ―B‖. Garis-garis Kerley ―C‖ lebih pendek
dan membentuk pola retikuler di bagian basiler sentral paru dan biasanya paling baik terlihat
pada foto lateral.
450
Gambaran lain yang bisa terlihat adalah penebalan perivaskular dan peribronkial,
gambaran pembuluh darah yang lebih menonjol, serta gambaran diafragma yang terlihat
rendah. Jika jantung sudah terlibat, maka dapat terlihat kardiomegali dan peningkatan corakan
pembuluh darah paru. Pada edema paru yang cukup berat, yang menyebabkan penutupan
saluran respiratorik persisten atau terendamnya alveoli, maka sangat sulit membedakan antara
edema, atelektasis, dan inflamasi pada foto rontgen toraks. Pemeriksan CT-scan tidak lebih
membantu dibandingkan dengan foto rontgen toraks, tetapi dapat membantu untuk edema
paru dengan kasus penyulit.
7.14.6 Tatalaksana
Terapi awal yang paling penting adalah pemberian oksigen, jika perlu dengan ventilasi mekanik.
Pemberian ventilasi mekanik bertujuan tidak hanya untuk mengurangi kerja pernapasan saja,
tetapi juga meningkatkan oksigenasi dengan mencegah kolaps alveoli memakai positive end-
expiratory pressure (PEEP). Peningkatan oksigenasi menyebabkan cairan keluar ke intersitisial
sehingga tidak mengganggu pertukaran gas.
Pada dasarnya, tata laksana edema paru perlu dibedakan sesuai dengan etiologinya,
yaitu kardiogenik atau nonkardiogenik, karena mekanisme yang mendasari pembentukannya
berbeda. Pada edema paru kardiogenik, mekanisme utama akumulasi air ekstravaskular adalah
kenaikan tekanan hidrostatik kapiler paru, sekunder dari kegagalan ventrikel kiri. Oleh karena
itu terapi harus diarahkan terutama untuk memperbaiki fungsi ventrikel kiri. Fungsi jantung
dapat diperbaiki dengan menurunkan preload dan afterload, juga dengan stimulasi langsung
kontraktilitas miokard.
Jika edema paru disebabkan oleh gagal jantung dengan peningkatan tekanan
mikrovaskular pulmonal, maka dapat dilakukan terapi untuk perbaikan fungsi jantung.
Perbaikan fungsi jantung dapat dicapai dengan berbagai cara, oksigen dan digitalis diberikan
untuk meningkatkan volume semenit, pemberian morfin dapat membantu mengurangi preload
dan afterload karena mengurangi ansietas. Penurunan afterload ventrikel kiri akan
memungkinkan peningkatan fraksi ejeksi tanpa meningkatkan kerja miokardial. Aminofilin dapat
diberikan, karena selain mengurangi afterload, efek lainnya dapat memperbaiki kontraktilitas
dan menyebabkan bronkodilatasi. Perbaikan kontraktilitas miokardium dapat melalui stimulasi
adrenergik dengan obat-obat inotropik seperti dopamin, dobutamin, atau isoproterenol dengan
meningkatkan curah jantung dan menurunkan tekanan pengisian ventrikel. Preload juga dapat
dikurangi dengan posisi duduk, juga dengan pemberian ventilasi tekanan positif. Sebagai
tambahan, perlu juga diberikan terapi suportif, seperti merencanakan pemberian cairan dengan
cermat, dengan memberikan sejumlah cairan pengganti dehidrasi, sambil melakukan koreksi
asam basa, dan kemudian memberikan cairan pemeliharaan.
Diuretik diberikan dengan tujuan mengurangi volume plasma dan pengisian atrium kiri,
juga untuk meningkatkan tekanan koloid osmotik. Mekanisme kerja diuretik dalam mengatasi
edema paru adalah dengan meningkatkan kapasitas vena, dan meningkatkan eksresi garam
dan air sehingga mengurangi pengeluaran cairan dari mikrovaskular paru.
Pada edema berat, furosemid dapat diberikan secara intravena dengan dosis 1−2
mg/kgBB. Dosis ini biasanya menghasilkan diuresis nyata yang menurunkan tekanan
mikrovaskular paru dan meningkatkan konsentrasi protein di dalam plasma. Dua perubahan ini
menghambat filtrasi cairan ke dalam paru dan mempercepat masuknya air ke dalam
mikrosirkulasi paru dari interstisial. Terapi berkelanjutan dengan furosemid, kadangkala disertai
dengan penggunaan diuretik lain seperti spironolakton dan tiazid, digunakan untuk membantu
mengendalikan edema paru. Pada terapi jangka panjang dengan diuretik sering terjadi
451
kehilangan sejumlah besar kalium klorida. Deplesi elektrolit ini biasanya dapat dicegah dengan
menggunakan suplementasi kalium klorida, 3−5 mEq/kgBB setiap hari.
Jika terdapat hipotensi, zat inotropik seperti dopamin dan dobutamin juga mempunyai
efek terhadap pembuluh darah paru. Jika terdapat resistensi vaskular yang tinggi, maka
dobutamin lebih efektif karena dapat meningkatkan volume jantung semenit tanpa
meningkatkan resistensi vaskular sistemik, bahkan menyebabkan vasodilatasi sistemik.
Pemberian albumin intravena bermanfaat jika edema paru disebabkan oleh penurunan
tekanan koloid osmotik. Untuk mencegah efek penumpukan cairan sementara akibat albumin,
maka pemberiannya harus lambat dan disertai diuretik. Pada bayi, serta anak-anak dengan
edema paru berat, infus albumin atau plasma biasanya tidak memberikan keuntungan.
Pemberian tersebut cenderung meningkatkan tekanan mikrovaskular paru, sebagai usaha
mengimbangi efek peningkatan tekanan osmotik protein intravaskular. Selanjutnya, protein
yang diberikan dapat bocor ke interstisial paru, sehingga menambah beratnya edema.
Pada edema paru yang disebabkan oleh perubahan permeabilitas kapiler, seperti ARDS,
maka dapat ditambahkan steroid dan nonsteroid antiinflammation drugs (NSAID) dosis tinggi.
Jika disebabkan sepsis dan disseminate intravascular coagulation (DIC), maka dapat diberikan
heparin dan dekstran. Pemberian antioksidan dapat dipertimbangkan pada beberapa kasus
ARDS atau NRDS.
Jika anemia dan edema paru berat terjadi bersama-sama, transfusi pengganti dengan
packed red cells (PRC) akan lebih aman dan memberikan keuntungan yang lebih besar.
Kondisi-kondisi yang merusak kerja miokardium (hipoglikemia, hipokalsemia, infeksi)
membutuhkan terapi spesifik, sementara faktor-faktor/keadaan yang meningkatkan aliran darah
paru (hipoksia, nyeri, dan demam) seharusnya dihindari atau diterapi secepatnya.
Jika tindakan-tindakan ini tidak berhasil mengurangi edema, perlu diberikan dukungan
ventilator dengan PEEP. Positive end-expiratory pressure tidak mengurangi kandungan air paru,
tetapi mendistribusi ulang cairan dalam rongga-rongga udara, dan memperbaiki pertukaran gas
respirasi.
Beberapa penelitian menemukan bahwa pemberian ventilasi mekanik dengan PEEP dan
continuous positive airway pressure (CPAP) cukup efektif. Positive end-expiratory pressure
dapat mengurangi penumpukan cairan di paru, sedangkan CPAP dapat mencegah terjadinya
kolaps unit alveoli dan membuka kembali unit alveoli yang sudah kolaps. Keadaan ini akan
meningkatkan kapasitas residu fungsional (functional residual capacity, FRC). Peningkatan FRC
akan memperbaiki komplians paru, meningkatkan produksi surfaktan, dan menurunkan
resistensi vaskular. Hasil akhirnya adalah penurunan kerja pernapasan, peningkatan oksigenasi,
dan penurunan afterload jantung.
7.14.7 Prognosis
Goldberger dkk., setelah memantau 94 pasien dengan edema paru hidrostatik, melaporkan
mortalitas di RS sebesar 17%, dan data selama satu tahun adalah 51,2%. Feddulo dkk. secara
retrospektif mengevaluasi hasil akhir dari pasien-pasien dengan edema paru kardiogenik yang
membutuhkan ventilator mekanik. Mereka melaporkan angka mortalitas sebesar 56% dan
menemukan bahwa derajat penurunan fungsi ventrikel kiri berhubungan dengan mortalitas.
Pasien-pasien dengan edema paru permeabilitas memiliki prognosis keseluruhan yang
buruk. Montgomery dkk. menganalisis penyebab-penyebab kematian pada 47 pasien dengan
ARDS. Keseluruhan mortalitas adalah 68%, dibandingkan dengan 34% pada kelompok kontrol,
sebanyak 160 pasien yang berisiko mengalami ARDS. Hanya 16% kematian yang disebabkan
452
oleh kegagalan respirasi yang irreversibel. Sebagian besar kematian tersebut terjadi pada tiga
hari pertama karena penyakit atau trauma yang mendasarinya.
Daftar pustaka
1. Dobyn LE, Carpenter CT, Ferguson AM, dkk. Pulmonary edema. Dalam: Shapiro AB, Kacmarek MR,
Cane DR, penyunting. Clinical application of respiratory care. Edisi ke-4. St. Louis: Mosby Year Book;
1991. h. 387–92.
2. Larsen LG, Accursa JF, Halbower CA, dkk. Pulmonary edema. Dalam: Hay WW, Hayward RA, Levin
JM, penyunting. Current pediatric diagnosis and treatment. Edisi ke-16. Boston: Mc Graw Hill; 2003.
h. 533.
3. Schidlow RD, Clayton GR. Drug induced pulmonary disease. Dalam: Taussig ML, Landau IL, Morgan
JW, penyunting. Pediatric respiratory medicine. Baltimore: Mosby Inc.; 1999. h. 495.
4. Kidess IA, Caffree RD. Pulmonary edema. Dalam: Ayrel MS, Halbrook RP, Shoemaker LW, dkk.,
penyunting. Textbook of pediatric critical care. Edisi ke-3. Philadelphia: WB Saunders; 1995. h. 790–
3.
5. Mazor R, Green PT. Pulmonary edema. Dalam: Behrman ER, Kliegman MR, Jenson BH, penyunting.
Nelson‘s textbook of pediatric. Edisi ke-17. Philadelphia: WB Saunders; 2004. h. 1426–7.
6. Fink BJ, Fahey P. Respiratory pathophysiology. Dalam: Fink BJ, Hunt EG, penyunting. Clinical practice
in respiratory care. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 1999. h. 126–34.
7. Brodovich OH, Mellins BR. Pulmonary edema. Dalam: Chernick V, Boat FT, penyunting. Kendig‘s
disorder of the respiratory tract in children. Edisi ke-6. Philadelphia: WB Saunders; 1998. h. 653–75.
8. Logan JJ, Tilden MS, Samuel J. Pulmonary edema. Dalam: Halbrook RP, penyunting. Textbook of
pediatric critical care. Philadelphia: WB Saunders; 1993. h. 526–9.
9. Wake LB, Matthay AM. Acute pulmonary edema. N Engl J Med 2006; 353:2788–92.
10. Gluecker T, Capsso P, Schnyder P. Clinical and radiologic features of pulmonary edema.
Radiographics 1999;19:1507–31.
11. Uejima T. Pediatric Emergencies: acute pulmonary edema. Anesthesiology Clinics of North America
2001.
12. Staton WG. Pulmonary edema: miscellaneous causes of pulmonary edema. Diunduh dari:
http://www.medscape.com/viewarticle/526168. Diakses pada tanggal 24 Maret 2006.
13. Demeter LS, Machado BJ, dkk. Baum‘s textbook of pulmonary disease. Edisi ke-7. Philadelphia:
Lippincott Williams & Willkins; 2004. h. 1257–8.
14. Cooper DA, White AD, Matray AR. Drug induced pulmonary disease. Dalam: Cherniack MR,
penyunting. Lung disease state of art. New York: American Lung Association; 1987. h. 143–77.
15. Hazinski AT. Pulmonary edema. Dalam: Rudolph MA, Huffman EJ, Rudolph OC, penyunting.
Rudolph‘s pediatrics. Connecticut: Prentice Hall International; 1996. h. 1613–4.
16. West JB. Respiratory Physiology. Edisi ke- 5. Baltimore: Williams & Willkins; 1995. h. 45.
453
7.15 Fibrosis kistik
Putu Suwendra, Putu Siadi Purniti
Fibrosis kistik adalah suatu kelainan metabolik yang kompleks, mengenai banyak sistem,
ditandai dengan kelainan kelenjar eksokrin seperti kelenjar keringat dan pankreas, serta
kelenjar yang memproduksi mukus seperti kelenjar yang terdapat pada saluran
respiratorik, saluran cerna, dan saluran reproduksi. Sebagai akibatnya, dapat terjadi obstruksi
dan infeksi respiratorik kronik, gangguan digestif, gangguan reproduksi, gangguan elektrolit,
dan lain-lain.
Pada awalnya, penyakit ini dikelompokkan ke dalam celiac syndrome karena memiliki
kemiripan klinis. Pada tahun 1943, penyakit ini dilaporkan sebagai suatu kesatuan klinis
tersendiri yang dinamakan fibrosis kistik pankreas. Semula, kelainan ini diduga disebabkan
oleh defisiensi vitamin A. Kemudian, karena terdapat sekresi mukus yang lebih kental, penyakit
ini juga disebut mucoviscidosis. Meskipun demikian, nama yang disepakati hingga kini adalah
fibrosis kistik.
7.15.2 Etiologi
Dengan perkembangan pengetahuan dan teknik biologi molekuler (pemotongan DNA dengan
bantuan enzim restriction endonuclease, teknik kloning, hibridasi, probing, teknik jumping and
walking kromosom), akhirnya diketahui bahwa penyebab fibrosis kistik adalah mutasi gen yang
disebut gen fibrosis kistik (cystic fibrosis, CF gen), yang terletak pada lengan panjang (q)
kromosom nomor 7 (7q31). Gen fibrosis kistik merupakan sebuah gen yang besar, terdiri dari
250.000 pasang basa, dan tersebar pada lebih kurang 24 ekson. Bentuk mutasi yang sering
dijumpai adalah hilangnya tiga pasang basa yang menyebabkan hilangnya asam amino
fenilalanin yang terletak pada posisi ΔF508 pada titik G551D, G542X, dan R553X.
Pada penelitian selanjutnya, dijumpai bahwa gen fibrosis kistik ternyata merupakan gen
yang mengatur pembentukan suatu protein yang disebut cystic fibrosis transmembrane
conductance regulator (CFTR), yang terdiri dari 1.480 asam amino dan berat 250kb. Protein ini
memiliki sifat yang sama dengan protein transpor dari kelompok glikoprotein-P.
Protein CFTR merupakan bagian integral dari sel mukosa, yaitu terikat pada membran
apikal sel. Protein ini terdiri dari dua bagian, masing-masing bagian terdiri dari dua gugus, yaitu
gugus yang terdiri dari enam unit bersifat hidrofobik dan merupakan bagian dari membran
apikal sel (membrane-spanning segments), dan gugus yang mengikat nukleotida yang disebut
nucleotide binding fold (NBF). Kedua bagian ini dihubungkan oleh suatu gugus yang
454
mengandung muatan yang besar, yang disebut gugus R atau R domain (Gambar 7.15.1). Pada
R domain, terjadi fosforilasi dengan bantuan enzim cAMP-dependent protein kinase dan protein
kinase C. Nucleotide binding fold dan R domain bersifat hidrofilik dan terletak di dalam
sitoplasma sel.
Protein CFTR dapat dijumpai di berbagai organ sasaran (target organ), misalnya ginjal
dan uterus, dalam jumlah yang cukup tinggi, dan ditemukan terbanyak di sel epitel respiratorik,
gastrointestinal, alat reproduksi, dan kelenjar keringat.
Gambar 7.15.1 Struktur dan posisi protein CFTR pada membran sel.
Sumber: Gibson RL, Burns JL, Ramsey BW. Pathophysiology and Management of Pulmonary Infections in Cystic Fibrosis. Am J
Respir Crit Care Med 2003;168.918–951.
Berdasarkan hipotesis, mutasi gen fibrosis kistik pada lokus ΔF508 menyebabkan proses
pembentukan protein CFTR tidak sempurna, tidak dapat menjadi matur, sehingga tidak terjadi
glikosilasi yang akhirnya mengakibatkan protein CFTR tidak dapat bergerak menuju membran
sel dan terperangkap di dalam retikulum endoplasma atau aparatus Golgi.
Penelitian pada fibrosis kistik berfokus pada prediksi hubungan antara faktor fenotip dan
genotip. Sebelumnya telah dikatakan bahwa kita dapat memperkirakan beratnya kelainan organ
yang terlibat dengan melihat keadaan genotip, terutama kelainan-kelainan yang mengenai
kelenjar keringat, pankreas dan sistem reproduksi. Namun hal tersebut tidak ditemukan pada
kelainan yang menyangkut organ paru. Adanya interaksi antara lingkungan dengan organ paru
itu sendiri dan latar belakang genetik dikatakan sebagai penyebabnya.
Kelainan genetik pada fibrosis kistik ini dapat menurun secara autosom sesuai dengan
hukum Mendel dan bersifat resesif. Oleh karena itu, hanya bentuk homozigot yang
455
menunjukkan gejala klinis, sedangkan bentuk heterozigot hanya sebagai karier atau pembawa
sifat yang tidak menunjukkan gejala klinis.
7.15.3 Patogenesis
Pasien Fibrosis kistik lahir tanpa adanya kelainan paru, kemudian dalam tahun pertama
kehidupan mengalami infeksi paru yang kemudian menjadi kronis. Secara ringkas, kelainan
paru pada pasien Fibrosis kistik pada dasarnya adalah kegagalan dari upaya mekanisme
pertahanan saluran napas terhadap bakteri patogen yang terinhalasi. Oleh sebab itu, penelitian
banyak berfokus pada pencarian jawaban terhadap mekanisme kegagalan sistem imun alamiah
saluran napas bila dikaitkan dengan hilangnya fungsi dari CFTR.
Terdapat suatu hipotesis mengenai hubungan antara transport ion pada epitel saluran
napas dengan mekanisme pertahanan saluran napas terhadap bakteri patogen (gambar
7.15.2). Proses pembersihan mukus secara mekanik merupakan mekanisme pertahanan
alamiah primer yang dapat menyingkirkan bakteri dari saluran pernapasan dalam waktu kurang
dari 6 jam pada keadaan normal. Dalam kurun waktu tersebut, terdapat antimikrobial seperti
laktoferin dan lisozim yang mencegah perkembangan bakteri. Transport mukus yang optimal
diperlukan koordinasi yang baik untuk menciptakan lapisan cairan perisilial (periciliary liquid
layer= PCL) dengan ketinggian dan viskositas yang efektif untuk pergerakan silia dan pelumas
sel permukaan (gambar 7.15.3). Kemampuan epitel untuk mempertahankann lapisan PCL
dengan tinggi yang + 7 µm, membutuhkan penambahan dari volume cairan permukaan saluran
napas (Airway Surface Liquid = ASL), suatu proses yang dimediasi oleh transpor volume
isotonik.
456
Gambar 7.15.2 Gambaran mekanisme pertanahan saluran napas alamiah
A) pada sisi kiri adalah hipotesis bersihan mekanis mukosiliar dengan epitel sebagai pengontrol volume
PCL yang merupakan elemen penting dalam efisiensi transpor mukus. Pada sisi kanan diperlihatkan
hipotesis mengenai epitel saluran napas mengabsorbsi garam dan bukan air dari ASL untuk membentuk
keadaan rendah garam pada ASL untuk merangsang aktivitas mikrobial dari defensin. B) gambaran
kompartemen cairan permukaan saluran napas.
Sumber: Boucher RC. New concepts of the pathogenesis of cystic fibrosis lung disease. Eur Respir J 2004;23:146-158.
Gambar 7.15.3 gambaran mikroskopik epitel saluran napas beserta PCL dan lapisan mukus diatasnya.
457
Sumber: Boucher RC. New concepts of the pathogenesis of cystic fibrosis lung disease. Eur Respir J 2004;23:146-158.
Pada awal tahun 1990an, terdapat hipotesis mengenai peran peptida antimikrobial pada ASL
yang membentuk lapisan kimia sebagai pertahanan saluran napas alamiah. Terdapat dua
proses yang diatur oleh epitel saluran napas agar mekanisme pertahanan tersebut dapat
efektif: pertama adalah jumlah antimikrobial, suatu peptida yang sensitif terhadap garam
(defensin), harus disekresikan dalam jumlah yang cukup; kedua adalah ASL dimodifikasi,
terciptanya suasana hipotonik (>50Mm NaCl), sehingga antimikrobial dapat teraktivasi. Untuk
mendukung hipotesis tersebut, beberapa pendekatan dilakukan yang antara lain mengukur
konsentrasi antimikroba dan sensitivitasnya terhadap garam serta yang lebih penting adalah
mengetahui komposisi dari ASL normal. Cole dkk mendapatkan bahwa antimikrobial utama
yang terdapat pada cairan permukaan saluran napas adalah lactoferin dan lysozim, pada
konsentrasi yang cukup sehingga membuat mereka relatif tidak sensitif terhadap garam.
Sebaliknya, sulit untuk mengukur keberadaan aktivitas defensin, molekul dengan berat jenis
rendah, pada musin saluran napas. ASL pada orang normal bersifat isotonus
458
Gambar 7.15.4 Regulasi volume lapisan PCL melaui mekanisme transport ion aktif.
a) Skema yang menggambarkan rute transpor Na +, Cl- dan H2O dan faktor-faktor yang
mempengaruhinya. Pada lumen epitel saluran napas terdapat kanal Na (ENaC) dan dua kanal Cl: Cystic
Fibrosis Transmembrane Regulator (CFTR) dan Ca2+-activated alternative Cl- channel (CaCC). Pada
permukaan basolateral terdapat pompa Na+/K+, kanal K+ dan loop diuretik yang sensitif terhadap
Na+K+2Cl- kotransporter.
b) Regulasi transpor ion untuk menjaga ketinggian PCL + 7 µm melalui kombinasi dari absorbsi Na+ dan
sekresi Cl-.
c) Pada saat volume ASL berlebih, Absorbsi Na + yang dimediasi oleh ENaC menjadi dominan. Pergerakan
absorbsi Cl terjadi secara pasif melalui jalur paraseluler yang dapat dilihat dari tidak ditemukannya
aktivitas elektrokimia (DFa Cl-). Sebaliknya, baik potensial negatif pada membran apikal (Va) dan aktivitas
intraselular Na+ yang rendah dapat merangsang Na+ masuk ke dalam sel. Pada saat volume ASL lebih
rendah (kanan) dibandingkan normal, ENaC akan diinhibisi sehingga membran apikal akan bersifat lebih
negatif dan secara umum akan menciptakan daya paksa untuk mensekresi Cl -.
Sumber: Boucher RC. New concepts of the pathogenesis of cystic fibrosis lung disease. Eur Respir J 2004;23:146-158.
459
Banyak penelitian yang mempelajari peran epitel transport ion aktif terhadap regulasi volume
ASL dan PCL. Epitel bersilia pada saluran napas mengandung kanal natrium (ENaC) dan pompa
Na/K-ATPase untuk mengatur absorbsi transelular Na+ (gambar 7.15.4). Silia tersebut juga
mempunyai peran, melalui kanal apikal Cl- dan kanal basolateral kotransporter Na+-K+-2Cl-,
untuk mensekresi Cl- ketika ENaC diblok. EnaC akan aktif pada saat volume ASL lebih besar dari
normal dan akan diinhibisi ketika volume ASL mencapai nilai normal. Ketika ENaC terinhibisi,
kondisi tersebut akan menginisiasi sekresi Cl- hingga. terciptanya keadaan stabil dari volume PCL
melalui keseimbangan absorbsi Na dan sekresi Cl- (gambar 7.15.4 c). Penelitian yang dilakukan
akhir-akhir ini mengatakan bahwa sekresi Cl- yang diinduksi oleh inhibisi ENaC dimediasi oleh
CFTR dan aktivitas dari CFTR diatur oleh signal yang berasal dari lumenal bath yang merupakan
hasil interaksi antara adenosin dengan reseptornya A2b, protein G, Adenilat siklase dan siklik
adenosin monofosfat (cAMP)-dependent protein kinase. Selain itu juga diperkirakan bahwa jalur
signal tranduksi dan efektor yang mengontrol volume ASL, berlokasi di bagian apikal dari sel.
460
Gambar 7.15.5 Hubungan antara transport ion yang abnormal pada epitel dan stasis mukus saluran
napas pasien Fibrosis kistik.
a)gambaran peningkatan absorbsi Na+, Cl- dan H2O dan mekanisme seluler dari tanspor Na. Hilangnya
CFTR dari membran apikal menyebabkan terbatasnya kemampuan untuk mensekresi Cl - dan
menghilangkan inhibisi terhadap ENaC.
b) Gambaran keadaan epitel saluran napas dengan gangguan pada lapisan PCL dan terbentuknya plak
mukus pada pasien Fibrosis kistik.
Sumber: Boucher RC. New concepts of the pathogenesis of cystic fibrosis lung disease. Eur Respir J 2004;23:146-158.
Banyak studi yang mempelajari hubungan antara CFTR dan ENaC. Salah satu fungsi dari
CFTR adalah sebagai regulator dari ENac. Namun interaksi molekul yang terjadi masih
dipertanyakan. Teori yang ada, berkisar antara pengaruh CFTR terhadap konsentrasi ion Cl-
pada membran lokal yang mengandung ENaC sampai pada interaksi protein-protein dan posisi
molekul regulator seperti Kinase, namun sampai ini hal tersebut masih dilakukan penelitian.
Yang menjadi jelas saat ini adalah pada fibrosis kistik tejadi baik akselerasi absorbsi Na dan
kegagalan menginisiasi sekresi Cl- sehingga terjadinya keabnormalan volume ASL (Gambar
7.15.5). Gangguan pada proses transport ion menyebabkan penurunan lapisan PCL dan
mengentalan mukus sehingga mukus tersebut akan melekat pada permukaan saluran napas.
Penelitian lainnya mengatakan bahwa dampak dari deplesi volume ASL menyebabkan timbulnya
inflamasi saluran napas yang terjadi secara spontan.
Stasis mukus
Volume PCL yang berkurang akan menyebabkan silia tidak dapat berdiri normal (Gambar
7.15.6) mengganggu proses bersihan mukosiliar, yang bergantung pada fungsi silia saluran
napas. Dengan terhambatnya bersihan mukosiliriar maka terjadi penebalan dan pengentalan
lapisan mukus yang tentunya makin menghambat proses bersihan mukosiliar. Yang menjadi
masalah berikutnya adalah stasis mukus yang terjadi menyebabkan mukus mengadakan kontak
dengan glikokaliks sel permukaan saluran napas. Kemungkinan besar interaksi adesif yang
terjadi antara mukus dan glikokaliks sel, dapat sebagai perekat antar keduanya. Proses
perlekatan yang terjadi didukung oleh kadar pH yang rendah yang merupakan kharateristik dari
ASL pada pasien Fibrosis kistik. Dengan demikian akibat dari adanya interaksi perlekatan ini
dapat diprediksi, yaitu berupa berkurangnya efektivitas batuk serta tidak berfungsinya bersihan
mukosiliar sebagai mekanisme pertahanan yang penting pada saluran napas.
461
Lapisan
mucus
PCL
QO2=NL
Gambar 7.15.6 gambaran hipotesis patogenesis infeksi Pseudomonas aeruginosa saluran napas Fibrosis
kistik.
a) Epitel normal: lapisan mukus yang tipis diatas PCL. Lapisan PCL memfasilitasi efisiensi bersihan
mukosiliar.
b) Lapisan PCL mengalami deplesi (gambar anak panah vertikal), mukus mengendap pada permukaan
epitel, transpor mukus melambat/berhenti. Terjadi peningkatan konsumsi O 2 yang berhubungan dengan
peningkatan transpor ion.
c) Hipersekresi mukus oleh sel goblet dan kelenjar terjadi secara persisten, menyebabkan terbentuknya
plak mukus.
d) Penetrasi P. aeruginosa pada lapisan mukus dan dengan aktivitas flagel yang dimilikinya, bakteri
tersebut bergerak ke zona hipoksia.
e) P aeruginosa beradaptasi dengan lingkungan hipoksia dengan membentuk alginat dan menciptakan
makrokoloni
f) Makrokoloni melawan pertahanan sekunder saluran napas, termasuk neutrofil sehingga terjadilah
infeksi kronis.
Sumber: Boucher RC. New concepts of the pathogenesis of cystic fibrosis lung disease. Eur Respir J 2004;23:146-158.
Mengesampingkan adanya kegagalan transport mukus keluar saluran napas, sekresi mukus oleh
sel goblet dan kelenjar terus berlangsung (gambar 7.15.6 c). Akibatnya, terbentuk plak mukus
yang tebal dan mengendap pada saluran napas. Pada saat plak mencapai ketinggian > 100 µm,
daerah sekitar mukus tersebut akan mengalami penurunan O2.
462
Infeksi plak mukus
Pada keadaan normal, seperti yang telah disebutkan sebelumnya, lapisan mukus menciptakan
arus turbulen dalam proses bersihan mukosiliar. Arus turbulen ini tidak akan terjadi ketika
proses mukosilier terhambat. Namun, berdasarkan penelitian sebelumnya dikatakan bahwa
bakteri seperti Pseudomonas dapat berpenetrasi ke dalam lapisan mukus yang mengental dan
bermigrasi menuju ke lapisan mukosa dibawahnya yang mengalami hipoksia. Lebih jauh lagi,
studi ini juga menjelaskan bahwa Pseudomonas, pada keadaan hipoksia, akan tumbuh pada
keadaan nitrate dependent dengan kecepatan tumbuh yan lebih rendah daripada normal.
Namun demikian, keadaan ini merangsang Pseudomas membentuk Alginat dan membuat koloni
dalam bentuk biofilm sebagai respon terhadap stressor lingkungan tersebut. Hipoksia mukus
yang terjadi, menseleksi organisme yang dapat beradaptasi dengan lingkungan tersebut.
463
dan gangguan fungsi tuba Eustachius. Gangguan pendengaran, termasuk yang disebabkan oleh
obat ototoksik yang sering digunakan pada penanggulangan infeksi paru, jarang terjadi.
464
Pada gagal jantung akan terlihat gejala sianosis, napas pendek, hepar yang membesar dan
nyeri tekan, edema dan distensi vena jugularis, kenaikan berat badan yang tidak wajar, dan
pembesaran jantung yang dapat terlihat pada pemeriksaan radiologi atau elektrokardiografi.
Refluks gastroesofagus
Refluks gastroesofagus dapat terjadi karena peningkatan tekanan intraabdomen akibat batuk
atau distensi toraks yang berlebihan. Refluks sendiri dapat memperberat penyakit paru akibat
aspirasi yang berulang dan refleks spasme saluran respiratorik.
465
Prolaps rektum
Prolaps rektum dapat terjadi pada 20% pasien fibrosis kistik. Usia yang paling sering terkena
adalah 6 bulan−2 tahun. Penyebabnya diduga adalah menurunnya tonus otot akibat malnutrisi,
gangguan motilitas usus, tinja yang jumlahnya banyak akibat steatorea, dan tekanan
intraabdomen yang sering meningkat akibat batuk.
Infeksi paru
Infeksi paru, terutama yang kronik, dapat menimbulkan anoreksia dan selanjutnya
menyebabkan berkurangnya asupan makanan. Hipoksia dan peningkatan usaha napas akan
meningkatkan kebutuhan nutrisi. Asupan yang kurang dan kebutuhan yang meningkat akan
memudahkan terjadinya malnutrisi. Malnutrisi sendiri akan menyebabkan gangguan imunitas
sistemik, terutama imunitas selular, sehingga meningkatkan kerentanan terhadap infeksi paru.
Gangguan mineral
Hilangnya elektrolit yang berlebihan melalui kelenjar keringat menyebabkan terjadinya
hiponatremia, hipokalemia, hipokloremia, dan alkalosis metabolik, terutama pada musim panas.
Pada sebagian besar pasien, bahan lain seperti trace element tidak terganggu. Defisiensi besi
dengan kadar feritin yang menurun agak sering terjadi (30%), tetapi sebabnya belum jelas.
Sistem hepatobilier
Kelainan hepatobilier dapat terjadi pada 2−5% kasus, dengan angka kejadian dan tampilan
yang berbeda. Kelainan hepatobilier jarang menunjukkan gejala klinis. Kadang-kadang terlihat
466
ikterus pada bayi. Gejala sirosis bilier dan hipertensi portal yang jelas hanya dijumpai pada 2%
kasus, dan pada anak yang lebih besar. Di samping itu, dapat dijumpai gejala kolesistitis dan
kolelitiasis dengan gejala serangan nyeri abdomen dan/atau gangguan hati yang progresif.
Kelainan hati
Pada bayi dapat terjadi obstruksi saluran empedu oleh empedu yang kental, sehingga
menimbulkan ikterus obstruktif, yang umumnya dapat membaik setelah 2−6 bulan. Pada
30−60% anak yang lebih besar dapat terjadi infiltrasi lemak (steatosis), tetapi biasanya tanpa
gejala klinis. Steatosis diduga disebabkan oleh gangguan nutrisi, meskipun dapat terjadi pada
pasien tanpa gangguan nutrisi. Pada 10% anak yang lebih besar dapat terjadi sirosis bilier fokal
yang patognomonik untuk pasien fibrosis kistik. Dua persen di antaranya dapat berjalan
progresif menjadi sirosis multilobar, dengan gejala hipertensi portal yang progresif. Jarang
sekali dapat terjadi gagal hati yang progresif.
Kelainan lain
Kelenjar yang bukan kelenjar mukus, seperti kelenjar keringat dan kelenjar parotis, secara
histologik tampak normal, tetapi sekresinya secara kimiawi tidak normal. Gejala lain yang dapat
dijumpai berupa serangan nyeri sendi, DM, dan gejala kehilangan elektrolit seperti kram dan
rasa lemas pada suhu yang panas.
Serangan nyeri sendi dapat berlangsung 1−10 hari dan berulang dalam beberapa
minggu hingga beberapa bulan.
7.15.5 Diagnosis
Kemungkinan diagnosis fibrosis kistik perlu dipertimbangkan jika terdapat satu atau lebih hal
berikut:
467
penyakit paru supuratif kronik
malabsorpsi akibat gangguan sekresi pankreas, yang bersifat parsial ataupun total
kehilangan elektrolit yang berlebihan melalui keringat
anamnesis keluarga yang positif
hasil yang positif pada uji tapis fibrosis kistik pada bayi baru lahir.
Pada anak laki-laki dengan gejala klinis yang khas tetapi nilai uji keringat menunjukkan
hasil yang meragukan (borderline), dapat dilakukan analisis semen setelah pubertas.
468
dapat dilakukan pengamatan adanya lemak pada tinja yang ditampung selama tiga hari
berturut-turut, atau pemeriksaan aktivitas tripsin dan kemotripsin secara kuantitatif pada tinja
segar. Bila terdapat banyak lemak dan aktivitas tripsin dalam tinja negatif, berarti terdapat
akilia pankreas total ataupun parsial. Pada anak yang normal, lemak yang dikeluarkan melalui
tinja tidak lebih dari 7%, dan pada bayi yang memperoleh ASI tidak lebih dari 1,5 gram.
Apabila perlu, dapat dilakukan pemeriksaan bikarbonat dan enzim secara langsung
dengan intubasi duodenum setelah dilakukan stimulasi dengan pankreosimin-sekretin. Masih
ada beberapa cara pemeriksaan sekresi enzim pankreas yang lain meskipun secara tidak
langsung, seperti pemeriksaan tripsinogen yang imunoreaktif dalam serum (untuk anak berusia
di atas 7 tahun) dan pemeriksaan glikosilasi hemoglobin setiap tahun (untuk anak berusia di
atas 10 tahun).
Pada pankreatitis dapat dijumpai peningkatan lipase dan amilase serum dalam jangka
waktu yang lama.
Uji keringat
Uji keringat (sweat test) dilakukan dengan memasukkan pilokarpin ke dalam kulit di daerah
lengan atas dengan bantuan arus listrik sebesar 3 mA (iontoporosis). Pada bayi, hal ini dapat
dilakukan di daerah punggung bagian atas. Setelah kulit dibersihkan dengan air suling, keringat
ditampung dengan kertas saring, kapas, atau tabung kapiler, kemudian ditutup untuk
mencegah penguapan. Setelah 30-60 menit, penampung diangkat, ditimbang, dan dibasuh
dengan air saring. Jumlah klorida ditentukan dengan kloridameter. Jumlah keringat yang
diperiksa paling sedikit adalah 50 mg, paling baik 100 mg. Jumlah yang diagnostik adalah 60
mEq/l atau lebih. Jumlah 40−60 mEq/l bersifat sugestif, harus diperkuat oleh suatu kelainan
organ yang khas. Pada uji ini dapat terjadi hasil negatif palsu, yaitu pada edema akibat
hipoproteinemia. Sebaliknya, peningkatan dapat terjadi pada orang dewasa normal (tidak lebih
dari 60 mEq/l), insufisiensi adrenal yang tidak mendapat pengobatan, displasia ektodermal,
diabetes insipidus nefrogenik herediter, defisiensi glukosa-6-fosfatase, hipotiroidisme,
hipoparatiroidisme, kolestasis familial, pankreatitis, mukopolisakaridosis, fukosidosis, dan
malnutrisi. Pada umumnya, berbagai kelainan ini mudah dibedakan secara klinis.
Pada pasien yang dicurigai, tetapi menunjukkan hasil uji keringat yang meragukan atau
normal, dapat dilakukan pengukuran beda potensial mukosa hidung. Pada fibrosis kistik
terdapat beda potensial yang meningkat, yang dapat dihilangkan dengan pemberian amilorida
topikal. Untuk menentukan varian fibrosis kistik, dapat dilakukan penyuntikan kombinasi
isoproterenol dan atropin ke dalam kulit, yang akan menghilangkan kemampuan berkeringat.
469
Upaya diagnosis prenatal dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu sebelum konsepsi dan
setelah konsepsi. Pasangan dengan risiko, sebelum konsepsi dapat diperiksa melalui
pemeriksaan gen dengan cara probing. Hasilnya dapat memberikan informasi penuh, informasi
sebagian, atau tidak memberikan informasi. Bila dapat diperoleh informasi penuh (kedua
orangtua memiliki kromosom yang mengandung gen fibrosis kistik), maka dapat dilakukan
pemeriksaan analisis DNA dengan Restriction Fragment Length Polymorphism dari vili korion
pada trimester pertama (minggu ke 8−10), sehingga dapat diputuskan apakah kehamilan perlu
dihentikan atau tidak. Bila uji hanya memberikan informasi sebagian, analisis serupa hanya
dapat menyingkirkan 50% kasus. Oleh karena itu, dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan
tambahan, yaitu pemeriksaan enzim yang dihasilkan oleh mikrovili yang terdapat di dalam
cairan amnion, seperti alkali fosfatase intestinal, gamma glutamil transpeptidase, dan amino
peptidase M, pada usia kehamilan 18 minggu. Dengan cara ini, dapat terjadi hasil uji positif
palsu pada 2−8% kasus, dan hasil uji negatif palsu pada 5% kasus, dengan perkiraan uji
negatif yang amat tinggi, sedangkan perkiraan uji positif hanya 80%.
7.15.6 Tatalaksana
Karena penyakit fibrosis kistik bersifat progresif dan berlangsung sepanjang hidup pasien,
diperlukan penataan yang cermat, terencana, komprehensif, baik secara medis maupun
psikososial, dan secara agresif, dimulai sejak dini (sebelum terjadi kelainan paru yang luas dan
permanen), dengan melibatkan banyak disiplin seperti dokter, paramedis, psikoterapis,
fisioterapis, ahli diet, dan pekerja sosial, serta pasien dan keluarganya. Oleh karena itu, untuk
hasil yang optimal, penatalaksanaan pasien fibrosis kistik sebaiknya dilakukan di pusat
kesehatan yang khusus atau cukup besar.
Tujuan pengobatan fibrosis kistik yang utama adalah sedapat mungkin mengupayakan
agar pasien dapat hidup normal, tanpa terlalu membatasi aktivitasnya, sesuai dengan
kemampuan fisiknya. Tujuan yang lain adalah menghentikan atau mengurangi progresivitas
penyakitnya, mengupayakan pertumbuhan yang optimal, dan menekan dampak psikososial
hingga seminimal mungkin.
470
pengobatan paru dan nutrisi. Semua hal tersebut bertujuan mempertahankan keadaan yang
stabil untuk waktu yang panjang.
Terapi inhalasi
Sebelum dan sesudah dilakukannya drainase postural segmental, seringkali diberikan cairan dan
obat secara inhalasi (aerosol). Sebagai larutan dasar aerosol, dipakai larutan garam fisiologis.
Jika perlu, misalnya karena saluran respiratorik yang hiperreaktif, dapat ditambahkan albuterol
atau beta agonis yang lain dan/atau cromolyn sodium. Akan tetapi, obat beta agonis dapat
menurunkan PaO2 karena meningkatkan ketidaksesuaian (mismatch) ventilasi-perfusi, dan
menurunkan tonus dinding saluran respiratorik, sehingga pada saat ekspirasi dapat terjadi
kolaps pada saluran respiratorik. Untuk mengatasi infeksi, jika perlu, dapat diberikan antibiotik
(20−80 mg kolistimetat, gentamisin, atau tobramisin dalam 1−2 ml garam fisiologis) melalui
aerosol, 2−4 kali sehari. Beberapa penulis menggunakan aminoglikosida dengan dosis yang
lebih besar. Kabernisilin 1 g atau tikarsilin 0,5 g juga dapat dipakai. Untuk mengencerkan
sekresi, dapat diberikan mukolitik. Belakangan ini sedang dicoba pemberian rekombinan DNAse
sebagai mukolitik yang menjanjikan. Perlu diketahui, pemberian N-asetilsistein sebagai
mukolitik harus dilakukan dengan hati-hati dan dalam jangka waktu yang pendek (2−3 hari),
karena N-asetilsistein bersifat toksik bagi epitel bersilia.
Pemberian antibiotik
Pemberian antibiotik untuk melawan bakteri patogen yang terisolasi dari saluran napas pasien
Fibrosis kistik merupakan langkah yang penting. Pada dasarnya terdapat 2 prinsip dalam
memberikan antibiotik yaitu antibiotik diberikan sesuai dengan isolasi kultur yang dilakukan
secara periodik dan juga dengan mempertimbangan aspek rasionalisasi, tujuan akhir
pengobatan serta durasinya.
Cara pemberian antibiotik sangat beragam, dapat diberikan secara tunggal atau
multipel, berselang atau kontinyu, per oral atau parenteral. Namun, sebagian besar klinisi
membaginya menjadi 3 tahap yaitu saat tahap awal dari kelainan paru yang terjadi, pasien
menerima antibiotik untuk menunda proses kolonisasi bakteri Pseudomonas aeruginosa pada
saluran napasnya; yang kedua, saat telah terjadi kolonisasi bakteri, antibiotik diberikan untuk
menunda penurunan fungsi paru serta menurunkan frekuensi morbiditas akibat eksaserbasi dari
kelainan paru tersebut; yang terakhir adalah pada saat telah terjadi eksaserbasi, antibiotik
secara intensif diberikan selama rawat inap untuk menghilangkan gejala dan mengembalikan
471
fungsi paru ke nilai normal. Dosis yang diberikan umumnya 2−3 kali dosis untuk infeksi ringan,
karena pada pasien fibrosis kistik terdapat lean body mass relatif yang lebih besar, klirens yang
lebih cepat, serta konsentrasi yang efektif dalam sekret saluran respiratorik yang sulit dicapai.
Antibiotik per oral biasanya diberikan bila terdapat gejala infeksi respiratorik yang
ringan, atau bila hanya ditemukan kuman patogen pada pemeriksaan sekret saluran
respiratorik. Pemberian antibiotik hendaknya berdasarkan uji sensitivitas invitro, dengan dosis
maksimal selama 2 minggu atau lebih. Bila penyebabnya Stafilokokus (tersering), dapat dicoba
pemberian sefaleksin atau kotrimoksazol.
Antibiotik parenteral diberikan bila terdapat gejala infeksi paru yang progresif atau tidak
berkurang dengan berbagai upaya intensif. Pengobatan sebaiknya diteruskan hingga 2 minggu,
dimulai di rumah sakit, dan bila memungkinkan, dapat diteruskan di rumah (rawat jalan).
Perubahan antibiotik yang diberikan hendaknya didasarkan pada hasil kultur atau kemajuan
hasil pengobatan. Jika penyebabnya Pseudomonas aeruginosa, pengobatan biasanya terdiri dari
obat-obat betalaktam dan aminoglikosida. Untuk berobat jalan, dapat dicoba golongan kuinolon
seperti siprofloksasin dan ofloksasin. Untuk pengobatan jangka panjang juga telah dicoba
pemberian aminoglikosida aerosol. Apabila tidak terjadi perbaikan, hendaknya dipikirkan
kemungkinan terjadinya gagal jantung, saluran respiratorik yang hiperreaktif, infeksi jamur,
Mikobakterium, atau kuman yang tidak lazim.
472
Tabel 7.15.1 Daftar antibiotik yang dapat diberikan pada pasien Fibrosis kistik rawat jalan.
Bakteri patogen Antibiotik Dosis anak Dosis dewasa
Staphylococcus Pilihan antibiotik:
aureus Dikloksasilin 6.25–12.5 mg/kg 4x/hari 250–500 mg 4x/hari
Cephaleksin 12.5–25 mg/kg 4x/hari 500 mg 4x/hari
Amoksisilin/ 12.5–22.5 mg/kg dari 400–875 mg dari amoksisilin
klavulanat amoksisilin
Eritromisin 15 mg/kg 3x/hari 500 mg 2x/hari
klaritromisin 7.5 mg/kg 2x/hari 500 mg 2x/hari
Azitromisin 10 mg/kg dosis inisial diikuti 500 mg dosis inisial diikuti
dengan 5 mg/kg setiap harinya dengan 250 mg setiap harinya
klindamisin‡ 3.5–7 mg/kg 3x/hari 150–450 mg 3-4x/hari
Catatan:
Semua antibiotic oral dalam perhitungan dosis mg/kgBB
† Dosis klavulanat yang berlebihan berhubungan dengan diare
‡ Klindamisin dapat digunakan untuk community-acquired MRSA (methicillin-resistant S. aureus), namun
tetap bergantung pada hasil kultur resistensi.
§ Tetrasiklin tidak direkomendasikan untuk diberikan pada anak < 8 tahun
Sumber: Gibson RL, Burns JL, Ramsey BW. Pathophysiology and Management of Pulmonary Infections in Cystic Fibrosis. Am J
Respir Crit Care Med 2003;168.918–951.
473
Pemberian bronkodilator
Keadaan hiperreaktif saluran respiratorik ditemukan pada 15% kasus, merupakan akibat asma
atau infeksi jamur. Sebagai bronkodilator dapat dipakai beta-adrenergik agonis per inhalasi dan
obat simpatomimetik per oral termasuk teofilin yang lepas berkala (sustain-released). Karena
teofilin per oral pada pasien fibrosis kistik sering menimbulkan gejala gastrointestinal, dapat
dicoba cromolyn sodium atau ipratropium hidroklorida.
Obat anti-inflamasi
Sebagai obat antiinflamasi dapat dipergunakan kortikosteroid, terutama untuk mengurangi
reaksi inflamasi pada infeksi endobronkial atau mengurangi sekresi mukus. Selain itu, juga
dikatakan bahwa kortikosteroid dapat memperlambat progresi kelainan paru yang ringan dan
sedang. Karena efek samping seperti hiperglikemia dapat terjadi, dianjurkan penggunaan dosis
rendah, yaitu 2 mg/kgBB, atau dengan dosis lebih besar, tetapi dengan pemberian berselang-
seling. Pada hiperreaktivitas bronkus, kortikosteroid dapat diberikan per inhalasi.
Ekspektoran
Obat sistemik seperti iodida dan guafenesin tidak dapat membantu pengeluaran sekret secara
efektif dari saluran respiratorik.
Hemoptisis
Hemoptisis umumnya disebabkan oleh erosi dinding saluran respiratorik akibat infeksi. Oleh
karena itu, jika terjadi hemoptisis yang ringan (<20 ml), dapat diberikan antibiotik serta
fisioterapi yang intensif. Bila hemoptisis menjadi persisten atau semakin berat, anak sebaiknya
dirawat, fisioterapi dihentikan sementara, sebelum dimulai lagi secara perlahan-lahan 12−24
jam setelah perdarahan terakhir. Kemudian, bila hemoptisis menjadi masif (perdarahan 250 ml
atau lebih dalam waktu 24 jam), perlu dilakukan pengamatan yang ketat, kultur ulang dari
sputum yang baru, dan pengambilan sampel darah untuk uji silang. Jika perlu, dapat juga
dilakukan bronkoskopi untuk mengetahui asal perdarahan, walaupun umumnya sulit ditentukan.
Selanjutnya, dapat diberikan antibiotik (hati-hati, tikarsilin dapat mengganggu fungsi trombosit
dan memperberat perdarahan) dan transfusi (biasanya hanya dilakukan bila terjadi hipotensi
atau hematokrit sangat menurun). Bila terdapat waktu protrombin yang abnormal, perlu
diberikan vitamin K. Kadang-kadang, pada perdarahan yang masif dan persisten, dapat dicoba
474
embolisasi arteri bronkialis. Lobektomi sebaiknya tidak dikerjakan karena lokasi perdarahan sulit
ditentukan dan paru yang masih berfungsi sebaiknya dipertahankan.
Pneumotoraks
Meskipun gejalanya ringan, pada pneumotoraks harus dilakukan foto toraks. Meskipun
pneumotoraks hanya terjadi pada <5−10% kasus, perawatan tetap diperlukan untuk
pengawasan. Bila pneumotoraks >10%, atau tekanannya tinggi, perlu dilakukan tindakan yang
cepat dan jelas, yang terdiri dari pemberian antibiotik parenteral, penutupan kebocoran dengan
torakotomi terbuka melalui sayatan kecil, dan kemudian dilakukan plikasi dari bleb, striping
pleura di daerah apeks, dan abrasi pleura di daerah basal, dalam 24 jam setelah diagnosis
ditegakkan. Selang torakotomi pada torakotomi terbuka dapat dilepas pada hari ke-2 hingga ke-
3 pascaoperasi, diteruskan dengan mobilisasi dan drainase postural yang penuh. Pada
torakotomi terbuka jarang terjadi kekambuhan, komplikasi operasi, atau kematian. Sebaliknya,
torakotomi tertutup dengan sklerosering, sering menghasilkan penutupan kebocoran yang
lambat dengan angka kekambuhan yang tinggi.
Aspergilosis alergika
Untuk pengobatan biasanya diberikan kortikosteroid yang bertujuan untuk mengatasi
peradangan. Keadaan ini umumnya bersifat self-limited dan berkurang setelah beberapa
minggu pengobatan. Pada kasus yang refrakter, diberikan amfoterisin B per inhalasi atau 5-
fluorositosin secara sistemik.
Osteoartropati hipertrofik
Gejala osteoartropati hipertrofik dapat ditanggulangi dengan asetaminofen atau ibuprofen.
Dengan penanggulangan infeksi paru, gejala osteoartropati hipertrofik ini dapat dikurangi.
Artropati yang tidak berkaitan dengan reumatologi dan yang tidak jelas patogenesisnya,
kadang-kadang dapat diatasi dengan obat antiradang nonsteroid.
475
Gagal jantung kanan
Selain pengobatan paru yang intensif, diuretik perlu diberikan untuk meningkatkan diuresis dan
memastikan adanya retensi cairan. Di samping itu, diberikan diet rendah garam dan
pembatasan pemberian cairan yang berlebihan. Sebagai terapi awal, dapat dipakai furosemid
dengan dosis 1 mg/kgBB, yang dapat diulang setiap 1−2 hari. Untuk jangka panjang, furosemid
dapat diberikan bersama spironolakton untuk memperbaiki diuresis dan mencegah hilangnya
kalium. Tekanan oksigen arterial harus dipertahankan di atas 50 mmHg. Karena pemberian
oksigen pada tahap awal dapat mengakibatkan hilangnya dorongan napas (respiratory drive),
pemantauan gas darah perlu dilakukan secara berkala. Digitalis biasanya tidak bermanfaat
untuk mengatasi gagal jantung kanan yang murni. Vasodilator pun, dalam jangka panjang,
tidak menunjukkan manfaat yang nyata. Pada beberapa pasien, transplantasi jantung-paru
dapat memberikan hasil.
Diet
Bayi dengan fibrosis kistik dapat tumbuh dengan baik bila diberikan susu yang mengandung
trigliserida rantai sedang dan protein yang telah mengalami digesti terlebih dahulu. Pada anak
yang lebih besar, dapat diberikan diet rendah lemak, tinggi protein, dan tinggi kalori. Kalori
yang diperlukan umumnya lebih tinggi daripada biasa. Pada penyakit yang berat, jika perlu,
tambahan makanan diberikan pada malam hari melalui selang nasogastrik, enterostomi per
kutan, atau hiperalimentasi parenteral. Penanggulangan infeksi paru sangat membantu
keberhasilan terapi nutrisi.
476
(gastrografin). Dengan cara ini, kadang-kadang sumbatan mekonium dapat dikeluarkan. Bila
gagal, baru dipertimbangkan tindakan operasi. Setiap pasien ileus mekonium harus
diperlakukan sebagai pasien fibrosis kistik, hingga dapat dipastikan dengan uji keringat, yaitu
pada usia 1−2 minggu.
Sindrom obstruksi usus bagian distal (ileus mekonium ekuivalen) dan nyeri perut
oleh sebab lain
Pada sindrom obstruksi yang tidak menetap, diberikan enzim pankreas (bila perlu dosis
ditingkatkan), cairan dengan jumlah yang lebih banyak, dan pelunak tinja seperti susu
magnesium, kolase, dan minyak mineral. Bila gagal, perlu dilakukan pembilasan usus dengan
larutan garam yang mengandung polietilen glikol melalui selang nasogastrik.
Pada obstruksi yang lengkap dilakukan enema gastrografin. Sebagai diagnosis banding,
perlu dipikirkan volvulus dan invaginasi, yang juga dapat diperbaiki dengan enema gastrografin.
Bila gagal, dilakukan laparotomi.
Refluks gastroesofagus
Pada pasien dengan refluks gastroesofagus, antagonis kolinergik tidak boleh diberikan karena
dapat meningkatkan sekresi mukus dan kesulitan bernapas yang progresif. Pada kasus tertentu,
fungsi paru dapat diperbaiki dengan fundoplikasi Nissen.
Prolaps rektum
Prolaps rektum biasanya dapat diperbaiki secara manual dengan memberikan tekanan yang
hati-hati dan terus menerus, dengan posisi lutut-dada, kemudian pinggul diplester dengan
ketat. Apabila perlu, dapat diberikan sedatif. Untuk mengurangi mengejan, lemak dan makanan
yang kasar dikurangi, serta diberikan pankreatin dan dilakukan penanggulangan infeksi paru.
Untuk prolaps yang menetap, koreksi perlu dilakukan melalui operasi dengan menempatkan
suatu ganjal (sling) Silastic di sekeliling rektum.
477
terdapat insufisiensi kelenjar eksokrin pankreas dan malabsorpsi. Meskipun jarang terjadi
ketoasidosis, hiperglikemi yang berat akan memperburuk prognosis.
Kekurangan garam
Jika perlu, misalnya pada cuaca panas, dapat dilakukan pemberian garam serta penghindaran
pemakaian baju berlebihan yang dapat meningkatkan produksi keringat.
Tindakan operasi
Langkah yang perlu dilakukan sebelum operasi bergantung pada fungsi paru. Pada anak
dengan fungsi paru yang baik, dapat dilakukan anestesi umum tanpa persiapan istimewa. Pada
kelainan paru yang sedang atau berat, operasi sebaiknya didahului dengan pemberian antibiotik
per oral selama 1−2 minggu, atau intravena sebelum operasi besar dilakukan. Sebelum induksi
dilakukan, perlu dilakukan suction trakea. Anestesi diupayakan sesingkat mungkin. Selain itu,
perlu dilakukan analisis gas darah. Jika perlu, bantuan pernapasan harus secepatnya diberikan
segera setelah operasi. Pasien harus didorong untuk batuk, banyak bergerak (mobilisasi)
secepatnya, dan menarik napas dalam. Apabila perlu, dapat diberikan analgetik. Drainase
postural harus secepatnya dimulai kembali (biasanya dalam 24 jam). Selang dada (untuk
drainase) perlu diangkat secepatnya. Bila perlu, terutama pada penyakit paru yang berat,
antibiotik intravena diteruskan 1−2 minggu pascaoperasi.
Selain berbagai upaya di atas, akhir-akhir ini banyak dikembangkan berbagai upaya
penatalaksanaan penyakit fibrosis kistik yang baru, yang memberi harapan hidup lebih besar
lagi. Cara-cara baru tersebut (sebagian telah disinggung) antara lain adalah pemberian
amiloride secara aerosol untuk memperbaiki hidrasi sekresi saluran respiratorik, pemberian
recombinant human DNAse (dornase alfa) untuk mengurangi viskositas sekresi saluran
respiratorik, pemberian antiprotease untuk mengurangi destruksi saluran respiratorik akibat
protease yang dihasilkan oleh sel radang, dan terapi gen dengan berbagai vektor seperti
adenovirus rekombinan, adeno-associated virus, lipofeksi, dan retrovirus, sehingga terbentuk
protein CFTR yang normal.
7.15.7 Prognosis
Penyakit fibrosis kistik hampir selalu berakhir dengan kematian, meskipun sejak 30−40 tahun
terakhir usia harapan hidupnya telah meningkat, terutama bila dapat ditegakkan diagnosis dini
dan dilakukan pengobatan dini, terutama terhadap infeksi parunya. Di Amerika, rata-rata pasien
dapat hidup hingga usia 30 tahun. Angka kehadiran di sekolah, dapat menyelesaikan sekolah,
dapat memperoleh pekerjaan, dan jumlah yang menikah semakin meningkat. Pertambahan usia
hidup akan menimbulkan berbagai masalah seperti kemampuan mandiri, hubungan dengan
keluarga, masalah seksualitas, sterilitas, pendidikan dan latihan, keuangan, masalah psikologis
478
dan psikososial, dan lain-lain. Meskipun demikian, upaya untuk membentuk individu yang
mandiri dan produktif harus tetap dilakukan.
Daftar pustaka
1. Allan Jl, Robbie M, Phelan PD, dkk. The incidence and presentation of cyctic fibrosis in Victoria 1955–
1978. Aust Paediatr J 1980; 16:270.
2. Gibson RL, Burns JL, Ramsey BW. Pathophysiology and Management of Pulmonary Infections in
Cystic Fibrosis. Am J Respir Crit Care Med 2003;168.918–951.
3. Armstrong JB, White JC. Liquefaction of viscous purulent exudates by deoxyribonuclease. Lancet
1950; 2:739.
4. Boucher RC. New concepts of the pathogenesis of cystic fibrosis lung disease. Eur Respir J 2004;
23:146-158
5. Berger M. Inflammation in the lung in cystic fibrosis: a vicious cycle that does more harm than good?.
Clin Rev Allergy 1991; 9:119.
6. Chernick WS, Barbero GJ. Composition of tracheobronchial secretions in cystic fibrosis of the
pancreas and bronchiectasis. Pediatrics 1959; 24:739.
7. Davis PB, di SantAgnese PA. Assisted ventilation for patients with cyctic fibrosis. JAMA 1978;
239:1851.
8. Geddes P. Progress in research on cystic fibrosis. Thorax 1984; 39:721.
9. Hubbard RC, McElvaney NG, Birrer P, dkk. A preliminary study of aeorosolized recombinant human
deoxyribonuclease I in the treatment of cystic fibrosis. N Engl J Med 1992;326:812.
10. Hilman BC, Lewiston NJ. Clinical manifestations of cystic fibrosis. Dalam: Hilman BC, penyunting.
Pediatric respiratory disease. Philadelphia: WB Saunders Company; 1993. h. 661–73.
11. Klinger KW. Genetic aspects of cyctic fibrosis. Dalam: Hilman BC, penyunting. Pediatric respiratory
disease. Philadelphia: WB Saunders Company; 1993. h. 661–73.
12. Landau LI, Phelan PD. The variable effect of bronchodilating agent on pulmonary function in cystic
fibrosis. J Pediatr 1973;82:863.
13. Maclusky I, Levinson H. Cystic fibrosis. Dalam: Chernick V, Kendig EL, penyunting. Kendig‘s disorders
of the respiratory tract in children. Edisi ke-5. Philadelphia: WB Saunders Company; 1990. h. 692–
730.
14. Moss RB. Immunopathogenesis of cystic fibrosis lung disease. Dalam: Hilman BC, penyunting.
Pediatric respiratory disease. Philadelphia: WB Saunders Company; 1993. h. 661–73.
479
7.16 Bronkiektasis
Heda Melinda D Nataprawira
Riwayat bronkiektasis pertama kali dikemukakan oleh Renē Thēophile Hyacinthe Laennec pada
tahun 1819 pada pasien dengan flegmon supuratif. Tahun 1922, Jean Athanase Sicard dapat
menjelaskan perubahan destruktif saluran respiratorik pada gambaran radiologis melalui
penemuannya, yaitu bronkografi dengan kontras. Dengan pemberian imunisasi terhadap
pertusis, campak, dan juga regimen pengobatan penyakit tuberkulosis (TB) yang lebih baik,
maka diduga prevalens penyakit ini semakin rendah. Hal ini dikarenakan penyakit TB dan
pertusis merupakan salah satu penyebab bronkiektasis.
Perkembangan terakhir diagnosis bronkiektasis menunjukkan bahwa pemeriksaan high
resolution computed tomography (HRCT) merupakan baku emas untuk diagnosis pasti,
menggantikan pemeriksaan bronkografi (level of evidence menurut kriteria Oxford adalah 1b).
Hal ini dikarenakan pemeriksaan HRCT menunjukkan sensitivitas dan spesifisitas yang lebih baik
dan bersifat kurang invasif daripada bronkografi. Dengan penggunaan HCRT dalam lebih dari
satu dekade terakhir, maka semakin banyak anak dengan bronkiektasis yang dapat didiagnosis.
5.16.1 Batasan
Bronkiektasis adalah penyakit kronis progesif yang ditandai dengan dilatasi bronkus dan
bronkiolus yang bersifat menetap serta penebalan dinding bronkus. Keadaan ini disebabkan
oleh infeksi virus atau bakteri yang kronis, dan inflamasi yang diikuti dengan pelepasan
mediator.
5.16.2 Epidemiologi
Meskipun prevalens bronkiektasis di dunia umumnya tidak diketahui, tetapi diduga prevalens
penyakit ini cukup tinggi di populasi terisolasi yang kurang mendapatkan pelayanan kesehatan,
dan dengan prevalens IRA (pneumonia) pada bayi dan anak yang tinggi. Kemungkinan terdapat
sejumlah besar pasien yang tidak menunjukkan gejala, atau hanya menunjukkan gejala ringan,
tetapi berisiko untuk menyandang bronkiektasis akibat mengalami pneumonia rekuren, pertusis,
campak, atau asma yang tidak terkontrol. Mereka akan luput dari penanganan bila tidak
menjalani pemeriksaan lanjutan.
Frekuensi penyakit ini dilaporkan lebih tinggi di negara berkembang yang banyak
melaporkan kejadian penyakit campak, TB, dan infeksi HIV. Di negara maju, kejadian penyakit
ini berkaitan dengan fibrosis kistik, cilliary dyskinesia, atau defisiensi imun. Meskipun di negara
maju insidensnya dilaporkan mengalami penurunan, tetapi akhir-akhir ini diperkirakan
meningkat sejalan dengan penggunaan metode pemeriksaan yang semakin sensitif. Hasil
penelitian di Australia menunjukkan bahwa angka kejadian bronkiektasis yang dikonfirmasi
dengan HRCT pada anak berusia di bawah 15 tahun adalah 147 per 10.000 anak suku Aborigin.
Suatu survei nasional yang dilakukan oleh dokter anak di New Zealand menyatakan bahwa
insidens bronkiektasis nonkistik fibrosis pada populasi ini adalah 3,7 per 100.000 dengan
prevalens 1 per 3000 orang. Data dari Inggris memperlihatkan prevalens 1 setiap 5.800 anak.
480
5.16.3 Patogenesis
Patogenesis untuk penyakit paru kronis ini belum dimengerti seluruhnya. Banyak faktor yang
berperan dalam patogenesisnya. Beberapa teori mekanik yang diajukan membaginya menjadi
empat kelompok.
1. The pressure of secretion theory.
Menurut teori ini, sekret yang kental mula-mula menyebabkan obstruksi, kemudian diikuti
dengan pelebaran saluran respiratorik.
2. Atelectasis theory.
Teori ini mengemukakan bahwa dilatasi bronkus terjadi akibat peningkatan tekanan negatif
intrapleural.
3. Traction theory.
Fibrosis dan jaringan parut penyakit parenkim menyebabkan traksi dinding bronkus.
4. Infection theory.
Infeksi dan respons inflamasinya merupakan penyebab utama dan yang menyebabkan
kerusakan struktur penunjang dinding bronkus.
Dari keempat teori tersebut, hanya infection theory yang didukung dengan penelitian
model hewan percobaan.
Secara umum, bronkiektasis merupakan kelainan yang bersifat permanen dan
ireversibel. Patofisiologinya diduga sebagai berikut.
1. Traksi dari saluran respiratorik yang kolaps, penonjolan saluran respiratorik akibat sekresi
sisa, perubahan dinding bronkial akibat infeksi atau inflamasi, atau kombinasi ketiga
mekanisme tersebut.
2. Infeksi akut atau berulang, obstruksi kronis akibat kelainan kongenital, tumor, fibrosis
kistik, asma kronis, atau imunodefisiensi merupakan faktor pendukung terjadinya
bronkiektasis.
3. Jejas berulang saluran respiratorik akibat aspirasi kronis, dengan atau tanpa GER sebagai
salah satu faktor penyebab.
Perubahan mikroskopis pada bronkiektasis pertama kali dilaporkan sekitar tahun 1940
hingga 1950-an. Secara mikroskopis terjadi perubahan yang berlangsung terus-menerus. Pada
bronkiektasis bentuk silindris, yang terjadi adalah destruksi fokal jaringan elastis, edema, dan
481
infiltrasi sel inflamasi di sekitar parenkim. Sejalan dengan proses tersebut, maka infiltrasi sel
inflamasi terus berlangsung, disertai kerusakan lapisan otot, dan akhirnya terjadi destruksi
kartilago di sekeliling saluran respiratorik.
Pelebaran bronkus dihubungkan dengan hilangnya silia, terjadinya metaplasia skuamosa
dan kuboid pada epitel kolumner di daerah yang terkena, hipertrofi kelenjar bronkial, dan
hiperplasia limfoid. Proses ini diikuti juga dengan adanya perubahan vaskular berupa pelebaran
arteri bronkial, serta anastomosis antara arteri bronkial dan arteri pulmoner yang terletak di
bronki subsegmental distal. Perubahan-perubahan ini dihubungkan dengan infeksi bakteri
kronis. Konsep vicious cycle yang dikemukakan oleh Peter Cole dan kawan-kawan telah
disepakati untuk diterima. Teori tersebut menyatakan bahwa infeksi bakteri endobronkial yang
kronis menyebabkan inflamasi dan kerusakan saluran respiratorik, sehingga bronkus melebar.
Pelebaran saluran respiratorik menyebabkan stasis mukosilier, yang nantinya akan mencetuskan
infeksi bakteri lebih lanjut lagi, lebih meningkatkan inflamasi saluran respiratorik, dan
selanjutnya lebih banyak lagi dilatasi bronkial yang terjadi.
Pada penderita bronkiektasis yang stabil, saluran respiratorik-bawah menunjukkan
kolonisasi oleh potential pathogenic microorganism (PPMs), yang pada penelitian pada orang
dewasa mikroorganismenya adalah Haemophilus influenzae (55%) dan spesies Pseudomonas
(26%). Bukti ilmiah menunjukkan bahwa kolonisasi saluran respiratorik-distal oleh PPMs sangat
membahayakan pasien bronkiektasis, karena mikroorganisme ini merupakan risiko untuk infeksi
paru, dan akan mengeluarkan mediator inflamasi yang mengakibatkan kerusakan jaringan paru
progresif dan obstruksi saluran respiratorik.
5.16.4 Etiologi
Penelitian terdahulu melaporkan bahwa 70% pasien bronkiektasis memiliki penyakit yang
mendasari/penyebab terjadinya bronkiektasis, sedangkan sisanya masih idiopatik. Dengan
meningkatnya teknik diagnostik, maka proporsi pasien yang idiopatik mengalami perubahan,
terutama dengan dikenalnya kelainan imunologis seperti defisiensi antibodi fungsional, dan
meningkatnya fasilitas untuk menilai adanya primary ciliary dyskinesia (PCD). Etiologi lainnya
adalah konsekuensi dari kerusakan akibat community acquired pneumonia (CAP). Telah
dilakukan kajian pada anak penduduk asli di Alaska yang lahir tahun 1970, dan didapatkan hasil
bahwa pneumonia rekuren merupakan penyakit utama yang menyebabkan kerusakan bronkus.
Akan tetapi saat ini, dengan pemberian imunisasi, kerusakan pascainfeksi sepertinya menjadi
berkurang. Penelitian mengenai adanya pengaruh penyakit pneumonia terhadap terjadinya
bronkiektasis merupakan hal yang rumit, karena pada kenyataannya seringkali terdapat
keterlambatan atau jeda waktu antara penyakit infeksi akut dengan saat diketahuinya penyakit
paru supuratif kronis.
Semua penyebab bronkiektasis mempunyai patofisiologi yang sama, yaitu adanya
inflamasi dan infeksi kronis atau rekuren yang menyebabkan kerusakan progresif kartilago,
sehingga terjadi pelebaran bronkus yang permanen. Selanjutnya, keadaan ini menyebabkan
drainase pulmonal menjadi tidak efektif. Adanya infeksi sekunder pada segmen bronkial yang
terkena memudahkan terjadinya overgrowth bakteri opurtunistik dan supurasi. Seluruh keadaan
ini bermanifestasi sebagai batuk produktif dengan sputum berwarna kehijauan.
Beberapa laporan kasus menjelaskan adanya bronkiektasis (konfirmasi dengan
gambaran patologis) dengan manifestasi batuk kronis, tetapi tidak disertai dengan produksi
sputum. Penyakit ini diidentifikasikan sebagai bronchiectasis sicca atau dry bronchiectasis. Pada
keadaan ini, hemoptisis merupakan manifestasi yang biasa ditemukan. Bronkiektasis akibat TB
biasanya tidak memproduksi banyak sputum bila lobus paru-atas yang terkena, karena drainase
482
sekret yang lebih baik, sehingga infeksi rekuren tidak terjadi. Mengacu pada hal ini, maka anak
dengan TB paru yang telah mendapat pengobatan adekuat dan tetap mengalami batuk kering
persisten, bronchiectasis sicca harus menjadi salah satu diagnosis bandingnya.
Secara umum, berikut ini adalah beberapa penyebab bronkiektasis:
Infeksi campak, TB, dan pertusis, terutama di negara yang sedang berkembang.
Strategi program imunisasi pada anak telah berhasil menurunkan insidens bronkiektasis
yang disebabkan oleh pertusis. Di sisi lain, ternyata infeksi saluran respiratorik lainnya yang
terjadi pada anak juga dapat menyebabkan kerusakan saluran respiratorik yang permanen.
Aspirasi benda asing.
Keberadaan benda asing yang lama di dalam jalan napas akan menyebabkan obstruksi
kronis dan inflamasi. Kedua hal tersebut adalah faktor terpenting pada proses terjadinya
bronkiektasis.
Kelainan kongenital.
- Fibrosis kistik (terutama di negara maju).
Adanya infiltrasi yang tampak di lobus paru-atas pada foto rontgen toraks, dan
ditemukannya pertumbuhan S. aureus atau P. aeruginosa pada kultur sputum,
merupakan tanda bahwa fibrosis kistik merupakan penyakit yang mendasarinya. Adanya
peningkatan konsentrasi natrium dan klorida pada sweat chloride test mendukung kistik
fibrosis.
- Primary cilliary dyskinesia (PCD).
Primary cilliary dyskinesia adalah keadaan kurang atau tidak berfungsinya silia, sehingga
sekret bertumpuk dan terjadi infeksi rekuren, yang selanjutnya menyebabkan
bronkiektasis. Kelainan ini bersifat diturunkan sebagai autosomal resesif. Lebih kurang
50% pasien dengan PCD menunjukkan sindrom Kartagener (bronkiektasis, sinusitis, dan
situs inversus).
- Marfan syndrome.
Wood dkk. (1984) menyatakan bahwa rentannya pasien sindrom Marfan terhadap
kejadian bronkiektasis adalah akibat kelemahan jaringan ikat.
- Bruton agammaglobulinemia.
- Mounier-Kuhn syndrome (congenital tracheobronchomegaly), yaitu kelainan jaringan
ikat.
- Williams-Campbell syndrome, yaitu tidak adanya otot dan kartilago bronkus.
- Sekuestrasi paru.
Defisiensi imun.
Individu yang menunjukkan sindrom defisiensi imun yang melibatkan defisiensi IgG, IgM,
dan IgA mempunyai risiko mendapatkan infeksi sinopulmoner supuratif berulang dan
bronkiektasis.
Kelainan jaringan ikat, meliputi rheumatoid arthritis (RA) dan systemic lupus erythematosus
(SLE).
Bronkiektasis berhubungan dengan RA dijelaskan sebagai berikut: bronkiektasis mendahului
terjadinya artritis atau terjadi selama perjalanan penyakit RA. Di klinik khusus RA, kejadian
bronkiektasis terjadi pada 1−3% pasien RA, tetapi dengan penggunaan HRCT, prevalensnya
meningkat hingga 30%.
Infeksi HIV.
Pasien pengidap HIV sering mengalami infeksi saluran respiratorik berulang dan
menunjukkan jumlah sel CD4 yang rendah.
Komplikasi allergic bronchopulmonary fungal diseases (misalnya allergic bronchopulmonary
aspergillosis/ABPA).
483
Allergic bronchopulmonary aspergillosis adalah suatu keadaan yang melibatkan pasien asma
dengan menyebabkan kerusakan saluran respiratorik akibat berbagai faktor. Bronkiektasis
pada pasien dengan ABPA disebabkan oleh reaksi imun terhadap aspergilus, mikotoksin,
elastase, IL-4, dan IL-5, yang pada tahap akhir akibat invasi langsung dari fungus ke
saluran respiratorik.
Defisiensi alpha 1-antitrypsin (alpha1-protease) inhibitor.
484
IgG, IgM, dan IgA serum.
IgG subklas.
Uji HIV.
Kultur sputum atau apus orofaring dalam, dilakukan pada anak yang masih kecil.
Antinuclear antibody dan rheumatoid factor.
Pemeriksaan bronkografi
Secara tradisional, pemeriksaan ini digunakan untuk menegakkan diagnosis, karena
pemeriksaan radiologis yaitu foto rontgen toraks relatif tidak sensitif.
Pemeriksaan radiologis
Foto rontgen toraks postero-anterior (PA) dan lateral tetap menjadi pemeriksaan tahap awal
yang penting, meskipun gambaran radiologis yang normal tidak dapat menyingkirkan adanya
kemungkinan bronkiektasis. Sembilan puluh persen pasien bronkiektasis menunjukkan kelainan
pada foto rontgen toraksnya. Meskipun foto rontgen toraks menunjukkan gambaran yang tidak
spesifik, tetapi dapat ditemukan beberapa gambaran seperti hilangnya bronchovascular
markings, rongga kistik dengan air-fluid levels atau honeycomb appearance, bayangan opak
yang menyebar, atelektasis linear, atau saluran respiratorik yang tampak melebar dan menebal
yang tampak sebagai ring-like shadows atau tram lines. Selain itu, dapat pula terlihat overinflasi
daerah paru yang tidak terkena.
High resolution CT
Saat ini diagnosis bronkiektasis ditegakkan dengan menggunakan HRCT (level of evidence 1b).
Pemeriksaan ini dapat mengklarifikasi foto rontgen toraks dan memetakan kelainan saluran
respiratorik yang tidak bias yang terlihat dengan foto rontgen toraks. Gambaran HRCT yang
dihasilkan dapat berupa:
silindrikal (tramlines), signet ring appearance
varikosa (varicose)
kistik
bentuk campuran.
5.16.8 Tatalaksana
Data penelitian uji klinis yang mengetengahkan penatalaksanaan bronkiektasis masih kurang
dan menyebabkan keterbatasan informasi mengenai petunjuk/guidelines mengenai
penatalaksanaannya. Akan tetapi, ada dua prinsip penatalaksanaan bronkiektasis yang dapat
digunakan, yaitu mengatasi obstruksi saluran respiratorik dan mengatasi infeksi.
1. Mengatasi obstruksi saluran respiratorik.
Chest physiotherapy
485
Peranan chest physiotherapy dalam pengelolaan bronkiektasis anak masih belum jelas.
Meskipun teknik fisioterapi telah terbukti bermanfaat dalam produksi sputum pada
penderita dewasa, tetapi hal ini tidak dapat diekstrapolasikan pada anak.
Postural drainage
2. Mengatasi infeksi.
Antibiotik diperlukan selama terjadi eksaserbasi akut. Jenis antibiotik bergantung pada
identifikasi dan sensitivitas organisme yang ditemukan pada pemeriksaan sputum (E3) atau
bronchoalveolar lavage.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa organisme yang paling sering diisolasi pada anak
adalah H. influenzae bentuk noncapsulated dan bentuk ini tidak dapat dicegah dengan
vaksinasi. Lama pemberian antibiotik parenteral adalah berkisar antara 2−6 minggu (E3).
Pemberian antiinflamasi
Pemberian kortikosteroid inhalasi juga dimungkinkan untuk mengatur respons dan mencegah
kerusakan akibat inflamasi paru. Kortikosteroid inhalasi yang dapat diberikan meliputi
flutikason, budesonid, atau beklometason. Meskipun demikian, belum ada bukti yang cukup
mendukung untuk merekomendasikan penggunaan kortikosteroid oral dan inhalasi tersebut.
Bronkodilator
Indikasi pemberian bronkodilator yaitu bila terdapat bukti adanya hiperreaktivitas bronkial,
karena obat ini membantu meningkatkan frekuensi gerakan silia dan klirens mukus. Akan tetapi,
beberapa pasien dapat memberikan respons paradoxic bronchoconstriction terhadap pemberian
ß2-agonis, karena itu perlu dilakukan penilaian respons terlebih dahulu sebelum memulai terapi
bronkodilator. Pemberian obat asma harus bersifat individual, selain itu belum ada cukup data
yang mendukung dan berbasis bukti ilmiah untuk merekomendasikan pemberian ß2-agonis,
mukolitik, maupun metilsantin. Hingga saat ini bukti yang ada hanya berdasarkan laporan
kasus.
Operasi
Reseksi segmental atau reseksi lobus paru dapat bermanfaat pada keadaan bronkiektasis berat
dan yang terlokalisir, atau yang tidak teratasi dengan pemberian antibiotik. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa antibiotik spektrum luas dapat memberikan perbaikan yang cukup
bermakna, sehingga tindakan bedah dapat ditunda. Algoritma evaluasi dan tatalaksana
bronkiektasis dapat dilihat pada gambar 5.12.1.
5.16.9 Prognosis
Meskipun penyebab bronkiektasis tidak dapat ditentukan pada lebih kurang 50% kasus, tetapi
bila identifikasi defisiensi imun humoral, infeksi mikobakteri atau Pseudomonas, serta fibrosis
kistik atau ABPA dapat ditentukan, maka hal ini dapat meramalkan prognosis dan
penatalaksanaannya.
Bila penyebab kerusakan diketahui dini dan diberikan tindakan secara dini pula, maka
prognosis bronkiektasis pada anak cukup baik. Pertumbuhan jaringan paru baru pada anak
terjadi secara cepat saat anak berusia di bawah 6 tahun dan mulai menurun sejak setelah masa
anak. Jejas yang terjadi pada usia muda mudah dikompensasi dengan pertumbuhan paru
normal yang sehat bila penyebab bronkiektasis tidak berkelanjutan. Bila anak memiliki masalah
yang menjadi predisposisi terjadinya bronkiektasis, tindakan yang dilakukan adalah
memperlambat progresivitas penyakit.
486
Diagnosis kemungkinan (presumptive diagnosis)
(berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisis, dan perubahan gambaran radiologis)
Penilaian umum
(optimalisasi status gizi/antibiotik/fisioterapi/bronkodilator)
Evaluasi etiologi
Tidak ada
Perbaikan/stabilisasi
perbaikan/deteriorisasi
/eksaserbasi berulang
487
Daftar pustaka
1. Barker AF. Bronchiectasis. N Engl J Med 2002; 346(18):1383–93.
2. Brown MA, Leman RJ. Bronchiectasis. Dalam: Chernick V, Boat T, penyunting. Kendig‘s disorders of
the respiratory tract in children. Edisi ke-6. Philadelphia: WB Saunders; 1998. h. 538–60.
3. Borrill Z, Houghton C, Sullivan PJ, Sestini P. Retrospective analysis of evidence base for test in
diagnosis and monitoring of disease in respiratory medicine. BMJ 2003; 327:1136–8.
4. Chang AB, Grimwood K, Mulholland EK, Torzillo PJ. Bronchiectasis in indigenous children in remote
Australian communities. MJA 2002; 177:200–4.
5. Spencer DA. From hemp seed and porcupine quill to HRCT: advances in the diagnosis and
epidemiology of bronchiectasis. Arch Dis Child 2005; 90:712–4.
6. Lakser O. Bronchiectasis. Dalam: Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB, penyunting. Textbook of
pediatrics. Edisi ke-17. Philadelphia: Saunders; 2004. h. 1436.
7. Singleton R, Morris A, Redding G. Bronchiectasis in Alaska native children: causes and clinical
courses. Pediatr Pulmonol 2000; 29:182–7.
8. Callahan C. Bronchiectasis. Diunduh dari: http://www.emedicine.com. Diakses pada 5 Nopember
2004.
9. Grenier P, Maurice F, Musset D. Bronchiectasis: assessment by thin section CT. Radiology
1986;161:95–9.
10. Twiss J, Metcalfe R, Byrness CA. New Zealand national incidence of bronchiectasis ―too high‖ for a
developed country. Arch Dis Child 2005; 90:736–40.
11. Reid LM. Reduction in bronchial subdivision in bronchiectasis. Thorax 1950; 5:233–47.
12. Angrill J, de Celis R, Rano A, Gonzales J, Sole T, Xaubet A, dkk. Bacterial colonization in patients with
bronchiectasis: microbiological pattern and risk factors. Thorax 2002; 57:15–9.
13. Nikolaizik WH, Warner JO. Etiology of suppurative lung disease. Arch Dis Child 1994;70:141–2.
14. Jan IA, Anwar M, Sallem N, Ali M, Hafiz M, Anjum. Bronchiectasis sicca: a case report. Pak J Med Sci
2003; 19(2):128–31.
15. Edwards E. Bronchiectasis–acute respiratory illness in children. Starship Children‘s Health Clinical
Guideline. Date issued: November 2004.
16. Wallis C, Prasad A. Who needs chest physiotherapy?: moving from anecdote to evidence. Arch Dis
Child 1999; 80:393–7.
17. Li AM, Sonnappa S, Lex C, Wong E, Zacharasiewicz A, Bush A, dkk. Non-CF bronchiectasis: does
knowing the etiology lead to changes in management?. Eur Respir J 2005; 26:8–14.
18. Kolbe J, Wells A, Ram FSF. Inhaled steroids for bronchiectasis (cochrane review). The Cochrane
Library 2002:2.
488
7.17 Empiema
Roni Naning, Amalia Setyati
7.17.1 Definisi
Empiema adalah akumulasi pus dalam rongga pleura. Pada anak, efusi parapneumonia
merupakan penyebab empiema yang terbanyak. Keadaan ini memerlukan penanganan yang
serius berkaitan dengan tingginya mortalitas dan lama rawat inap.
7.17.2 Epidemiologi
Insidensi empiema pada anak bervariasi antara 0,7 – 9%. Dua puluh tahun yang lalu empiema
sering terjadi pada anak umur kurang dari 2 tahun, tetapi sekarang dilaporkan umur median
adalah 7 tahun, dengan rasio yang sama antara laki-laki dan perempuan. Empiema lebih sering
terjadi pada musim dingin dan musim semi.
7.17.3 Etiologi
Lebih dari 50% penyebab empiema adalah efusi parapneumonia, 25% terjadi setelah operasi
paru, esofagus, atau mediastinum, 10% akibat trauma toraks, dan sisanya terjadi akibat sepsis,
tuberkulosis, enterokolitis nekrotikans, abses subdiafragmatika, atau pneumotoraks spontan.
Empiema dapat disebabkan oleh bakteri, fungi, atau amuba. Organisma tersebut dapat
mencapai rongga pleura melalui sirkulasi darah, jaringan paru, atau permukaan organ yang
menyebabkan luka dada, misalnya luka dada setelah tindakan pembedahan, ruptur esofagus,
dan lain-lain. Lima puluh persen empiema disebabkan oleh monomikrobial, dan 50% sisanya
adalah polimikrobial.
Menurut Hau T (2002), bakteri gram positif penyebab empiema yang terbanyak adalah
Staphylococcus aureus, Streptococcus pneumoniae dan Streptococcus pyogenes; sedangkan
bakteri gram negatif yang terbanyak adalah Haemophillus influenzae, Klebsiella pneumoniae
dan Pseudomonas aeruginosa.
Kira-kira 50% bakteri anaerob penyebab empiema adalah spesies Prevotella,
Bacteroides, Fusobacterium, Veillonella, Propionibacterium acnes, Porphyromonas dan
Clostridium perfringens.
Empiema dengan penyebab Mycobacterium tuberculosis merupakan komplikasi
tuberkulosis paru primer dan jarang terjadi pada anak serta biasanya ditemukan pada remaja
atau dewasa.
7.17.4 Patofisiologi
Proses perkembangan empiema yang merupakan proses yang progresif dapat dibagi menjadi 3
fase. Fase perkembangannya berawal dari fase eksudat kemudian diikuti fase fibropurulen dan
berakhir pada fase organizing, yang ditandai dengan pembentukan jaringan parut.
Fase 1 adalah fase akut atau fase eksudatif. Pada fase ini, cairan bergerak menuju
rongga pleura akibat peningkatan permeabilitas kapiler, disertai dengan produksi
489
proinflammatory cytokines. Hal tersebut dapat mengaktifkan sel mesotelial pleura sehingga
memudahkan masuknya cairan ke dalam rongga pleura.
Fase eksudatif ditandai dengan satu atau lebih karakteristik cairan pleura sebagai berikut:
pH > 7,25
Glukosa > 60 mg/dL
LDH < 500 IU/ dL
Protein > 2,5 g/ dL
AL > 500/ L
BJ > 1,018
Cairan serous atau keruh, steril.
Sedangkan menurut Maskell dkk (2003), cairan pleura pada fase ini ditandai dengan angka
leukosit yang rendah, kadar LDH (lactate dehydrogenase) cairan pleura kurang dari separuh
kadar LDH serum, kadar pH dan glukosa normal dan tidak mengandung organisme bakterial.
Fase 2, fase transisional atau fase fibropurulen, ditandai dengan adanya akumulasi
cairan dan invasi bakteri melewati endotelium yang telah rusak. Invasi bakteri dapat
mempercepat reaksi imun, meningkatkan migrasi neutrofil dan mengaktivasi kaskade koagulasi
yang kemudian menyebabkan peningkatan procoagulant dan menekan aktivitas fibrinolitik. Hal
tersebut mengakibatkan terjadinya deposisi fibrin dan lokulasi cairan. Fagositosis neutrofil dan
bakteri yang telah mati memicu proses inflamasi dengan melepaskan fragmen-fragmen dan
protease dinding sel bakteri. Keadaan ini menyebabkan produksi asam laktat meningkat,
menurunkan pH cairan pleura, disertai dengan peningkatan metabolisme glukosa dan
peningkatan LDH akibat leukosit yang telah mati. Gambaran laboratorium cairan pleura pada
fase fibropurulen adalah pH antara 7,00 – 7,29, glukosa antara 40 – 60 mg/dL, dan LDH
antara 500 - 1000 IU/dL.
Fase 3, fase kronis atau organizing, ditandai dengan proliferasi fibroblas. Membran
inelastic yang disebut pleural peel akan terbentuk. Membran tersebut berupa jaringan fibrous
yang keras pada membran pleura, menggantikan jaringan fibrin yang lunak, yang dapat
mengakibatkan terhambatnya proses pengembangan paru dan dapat mengganggu fungsi paru.
Gambaran laboratorium cairan pleura pada fase ini adalah pH < 7,00, glukosa < 40 mg/dL, dan
LDH > 1000 IU/dL.
7.17.6 Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis riwayat penyakit, pemeriksaan fisis, pemeriksaan
radiologis, dan pemeriksaan cairan pleura. Pemeriksaan radiologis meliputi foto dada antero-
posterior (gambar 7.17.1 A), lateral dekubitus (gambar 7.17.1 B), dan lateral (gambar 7.17.1
C).
490
Gambar 7.17.1 Empiema. A. Batas jantung kiri tak jelas, efusi pleura lebih dari 50% hemitoraks kiri. B.
efusi cairan tampak pada posisi lateral dekubitus. C. Foto lateral menunjukkan meniskus cairan dan
mengisi sulcus posteior.
Sumber: Michelson PH. Empyema. www.eMedicine.com. 2004
Pemeriksaan ultrasonografi dan CT scan dilakukan bila ada lokulasi atau menyerupai
abses (gambar 7.17.2).
Gambar 7.17.2 CT scan toraks menunjukkan lokulasi pada efusi pleura kiri, dengan kemungkinan
penyebabnya adalah empiema.
Sumber: Sharma S. Empyema, pleuropulmonary. www.eMedicine.com. 2004
Pemeriksaan cairan pleura dilakukan dengan terlebih dahulu melakukan aspirasi cairan
pleura. Sampel cairan pleura sebanyak 50 cc diambil dengan jarum 21 G dan syringe 50 ml.
Sampel harus segera dimasukkan ke dalam tabung dan botol steril untuk pemeriksaan analisis
protein, LDH, pH, glukosa, pewarnaan Gram, sitologi dan kultur mikrobiologis.
Cairan pleura mempunyai kharakteristik tertentu, sehingga setelah pengambilan perlu
diperhatikan penampakan dan warnanya. Membedakan transudat dan eksudat secara tepat
adalah berdasarkan kadar protein, yaitu: transudat >30 g/l, sedangkan eksudat <30 g/l. Selain
itu ada cara yang lebih akurat untuk membedakan keduanya, yaitu dengan menggunakan
kriteria Light (tabel 7.17.1).
491
Tabel 7.17.1 Kriteria Light
Cairan pleura adalah eksudat bila memenuhi satu atau lebih kriteria sebagai berikut:
Protein cairan pleura dibagi protein serum > 0,5
LDH cairan pleura dibagi LDH serum > 0,6
LDH cairan pleura > 2/3 batas atas LDH serum normal
7.17.7 Penatalaksanaan
Tujuan penatalaksanaan empiema adalah mengembalikan paru ke fungsi normal, yang dapat
meliputi tiga hal, yaitu: pemberian antibiotik yang tepat, drainase cairan pleura dan
memperbaiki pengembangan paru. Empiema dapat diterapi dengan kombinasi obat-obatan dan
tindakan bedah.
Antibiotik harus diberikan pada empiema. Bila mungkin, pemilihan antibiotik berdasarkan
hasil kultur dan sensitivitas (tabel 7.17.2). Pada kasus dengan hasil kultur negatif, antibiotik
yang diberikan disesuaikan dengan pola kuman yang ada di masyarakat (community acquired
bacterial pathogen) dan kuman rumah sakit (hospital acquired bacterial pathogen). Antibiotik
yang disarankan untuk terapi awal empiema kultur negatif dapat dilihat pada tabel 7.17.3.
Belum ada penelitian tentang durasi pemberian antibiotik untuk empiema, tetapi terapi selama
3 minggu dianggap cukup memadai.
492
Tabel 7.17.2 Terapi antimikrobial empiema
Agen infeksi Obat dan dosis (per kgbb perhari) jalur dan durasi
A. Bakteri aerob
1. Staphylococci 1. Methicillin 200-400 mg dibagi 3-4 dosis iv, 3-4 minggu
Cloxacillin,100-200 mg dibagi 3-6 dosis iv, 3-4 minggu
2. Haemophilus 2. Ampisilin, 100-200 mg dibagi 2-4 dosis iv, 1-2 minggu
influenza Chloramphenicol, 50-100 mg dibagi 4 dosis iv, 1-2
minggu
Cefuroxime, 75-225 mg dibagi 3 dosis iv, 1-2 minggu
3. Pneumococcus dan 3. Penicillin G 50.000-300.000 unit dibagi 3-4 dosis iv atau
Streptococci im, 7-10 hari
4. E coli dan Klebsiella 4. Gentamisin, 5-7 mg dibagi 2-3 dosis iv,14 hari atau lebih
5. Pseudomonas 5. Carbenicillin, 100-600 mg dibagi 4 dosis iv, 10 hari atau
lebih
Ticarcillin 400 mg dibagi 4 dosis iv, 10 hari atau lebih
Tobramycin 5-7 mg dibagi 2 dosis
B. Bakteri anaerob
1. Bacteroides fragilis 1. Chloramphenicol, 50-100 mg dibagi 4 dosis iv, 1-2
minggu
2. Semua, kecuali B. 2. Penicillin G, 50.000-300.000 unit dibagi 3-4 dosis iv atau
fragilis im,7-10 hari
Ampisilin, 100-200 mg dibagi 2-4 dosis iv, 1-2 minggu
Tabel 7.17.3 Pilihan antibiotik untuk terapi awal empiema kultur negatif
Sumber infeksi Terapi antibiotik intravena Terapi antibiotik oral
Community acquired Cefuroksim 1,5 g dalam 3 dosis Amoksisilin 1 g dalam
culture negative + metronidazole 400 mg dalam 3 dosis + clavulanic
pleural infection 3 dosis oral atau 500 mg dalam acid 125 mg dalam 3
3 dosis iv dosis
Benzyl penicillin 1,2 g dalam 4 Amoksisilin 1 g dalam
dosis iv + ciprofloxacin 400 mg 3 dosis +
dalam 2 dosis iv metronidazole 400
Meropenem 1 gr dalam 3 dosis mg dalam 3 dosis
iv + metronidazole 400 mg Clindamycin 300 mg
dalam 3 dosis oral atau 500 mg dalam 4 dosis
dalam 3 dosis iv
Hospital acquired Piperacillin + tazobactam 4,5 g Tak tersedia
culture negative dalam 4 dosis iv
pleural infection Ceftazidime 2 g dalam 3 dosis iv
Meropenem 1 g dalam 3 dosis
iv metronidazole 400 mg
dalam 3 dosis oral atau 500 mg
dalam 3 dosis iv
Sumber: Davies CWH, Gleeson FV, Davies RJO. BTS guidelines for the management of pleural infection. Thorax 2003;58 (Suppl
II):ii18-28
493
Tindakan bedah mempunyai dua tujuan: drainase cairan yang terinfeksi dan
memperbaiki pengembangan paru. Jika infeksi masih pada fase dini, cairan dapat dikeluarkan
dengan torakosentesis. Pada fase 2, dokter bedah harus memasang selang melalui dinding
dada dengan mengiris tulang iga. Pada fase 3, harus dilakukan dekortikasi, yaitu menguliti
lapisan fibrous tebal yang menyelubungi paru, sehingga paru dapat mengembang dengan baik.
Teknik VATS (video-assisted thoracic surgery) sangat membantu sebagai petunjuk posisi selang
atau tindakan dekortikasi.
Chest tube drainage dapat dilakukan dengan 3 cara: 1) dipasang dengan bantuan
petunjuk pemeriksaan radiologis, 2) dipasang tanpa petunjuk radiologis, dan 3) dipasang pada
saat tindakan bedah. Belum ada penelitian tentang ukuran selang drainase yang optimal,
namun biasanya dipakai kateter dengan ukuran 10-14 Fr. Jika selang drainase tersumbat pus
sehingga alirannya tidak lancar, dianjurkan dibilas dengan 20-50 ml salin melalui three-way tap
setiap 6 jam, untuk menjaga selang tetap paten. Bila selang tetap tersumbat, sebaiknya dilepas
dan diganti dengan selang baru.
Beberapa penelitian uji acak terkendali melaporkan bahwa pemberian obat fibrinolitik
intrapleural terbukti dapat menunjukkan perbaikan radiologis, tetapi tidak menyebutkan
penurunan mortalitas maupun kebutuhan tindakan bedah. Dosis yang dianjurkan adalah
Streptokinase 250.000 IU dua kali sehari selama 3 hari, atau Urokinase 100.000 IU sekali sehari
selama 3 hari, di-klem selama 2-4 jam setiap kali.
Kegagalan chest tube drainage, antibiotik dan obat fibrinolitik, sebaiknya didiskusikan
dengan dokter spesialis bedah toraks. Tindakan bedah juga harus dipertimbangkan pada kasus
efusi pleura purulen dan atau lokulasi, serta sepsis yang gagal resolusi dalam 7 hari. Tindakan
bedah meliputi video assisted thoracoscopic surgery (VATS) (lihat gambar 7.17.3), open
thoracic drainage, atau torakotomi dan dekortikasi.
Pemberian nutrisi yang adekuat juga perlu diperhatikan pada penatalaksanaan
empiema, karena gizi buruk dapat memperlama penyembuhan.
Gambar 7.17.3 Menggambarkan perlunya akses interkostal untuk intervensi VATS pada efusi pleura
lokulasi
494
Baranwal dkk (2003) melakukan pengamatan selama 10 tahun terhadap kasus empiema
pada anak Asia selatan yang dirawat di rumah sakit, kemudian membuat protokol manajemen
empiema pada anak di negara berkembang, seperti terlihat pada gambar 7.17.4.
Ubah antibiotik
sesuai hasil kultur
Reposisi
- Perbaikan simptomatis selang drainase Cairan/pus drainase
- Pengembangan paru (+) atau ganti dengan yang baru menetap
- Drainase pus minimal (dengan petunjuk USG) (>20 cc/hari)
7.17.8 Prognosis
Prognosis tergantung beratnya penyakit pleura yang mendasari, umur, mulai terapi, dan adanya
komplikasi. Faktor risiko luaran buruk adalah terapi antibiotik tak adekuat, manajemen bedah
tak adekuat (bila indikasi), dan penyakit berat yang mendasari.
Apabila empiema diobati dengan antibiotik yang adekuat, akan terjadi resolusi tanpa
sekuele. Resolusi abnormalitas radiologis akan terjadi setelah 3-6 bulan pengobatan.
Sebaliknya, apabila tidak diobati dapat terbentuk jaringan parut, sehingga mengganggu
495
pengembangan paru, dan menyebabkan penyakit paru restriktif kronis. Komplikasi fistula
bronkopleural dan tension pneumatocele jarang, tetapi hal ini dapat memperlama
penyembuhan.
Empiema memerlukan lama rawat inap yang lama dan follow-up yang cukup panjang
setelah pulang ke rumah dibandingkan pasien efusi pleura non-empiemik.
Angka mortalitas sekitar 2-15%, terutama pada anak umur < 1 tahun, dengan faktor
risiko meliputi keterlambatan penanganan, durasi penyakit, beratnya infeksi, dan umur muda.
Pasien yang gagal dengan terapi konservatif memerlukan open drainage atau dekortikasi, yang
dapat menyebabkan morbiditas dan mortalitas meningkat. Dengan penanganan yang cepat dan
tepat pada fase akut, diharapkan pasien dapat sembuh dengan sempurna.
Daftar pustaka
1. Maskell NA, Butland RJA. BTS guidelines for the investigation of a unilateral pleural effusion in
adults. Thorax 2003;58 (Suppl II):ii8-17
2. Efrati O, Barak A. Pleural effusions in the pediatric population. Pediatrics in Review 2002;23:417-26.
3. Baranwal AK, Singh M, Marwaha RK, Kumar L. Empyema thoraxis: a 10-year comparative review of
hospitalised children from South Asia. Arch Dis Child 2003;88:1009-14.
4. Hau T. Empyema. Current Treatment Options in Infectious Diseases 2002;4:395-401.
5. The Executive Committee of the International Pediatric Endosurgery Group (IPEG). Guidelines for
surgical treatment of empyema and related pleural diseases. Diunduh dari: www.ipeg.org. 2002
6. Michelson PH. Empyema. Diunduh dari: www.eMedicine.com. 2004
7. Sharma S. Empyema, pleuropulmonary. Diunduh dari: www.eMedicine.com. 2004
8. Pagtakhan RD, Montgomery MD. Pleurisy and Empyema. Dalam: Chernick V, Kendig EL. Disorder of
the respiratory tract in children. Edisi ke-5. Philadelphia: WB Saunders;1990. h. 436-45.
9. Light RW. Pleural Effusion. N Engl J Med,2002;346:1971-6.
10. Davies CWH, Gleeson FV, Davies RJO. BTS guidelines for the management of pleural infection.
Thorax 2003;58 (Suppl II):ii18-28.
11. Landreneau RJ, Keenan RJ, Hazelrigg SR, et al. Thoracoccopy for empyema and hemothorax. Chest
1995;109:18-24.
12. LeMense GP, Strange C, Sahn SA. Empyema thoracis. Therapeutic management and outcome. Chest
1995;107:1532-37.
496
7.18 Avian influenza
Darmawan Budi Setyanto
7.18.1 Pengantar
Infeksi virus influenza manusia (human influenza) menyebabkan penyakit respiratori dengan
rentang kelainan klinis yang luas yang mempunyai dampak nyata dalam hal morbiditas dan
mortalitas pada anak. Influenza manusia adalah galur (strain) influenza yang sudah dikenal
biasa menginfeksi manusia. Highly pathogenic avian influenza (HPAI) yaitu virus influenza yang
bersifat patogen pada unggas, mewabah di peternakan-peternakan di sebagian Asia, Afrika,
dan Timur Tengah. Avian influenza menjadi masalah global kesehatan manusia sejak timbulnya
kasus kematian karena influenza A/H5N1 di Hong Kong pada tahun 1997, ketika terjadi 6
kematian dari 18 pasien yang terinfeksi oleh virus tersebut. Sejak saat itu kasus kematian
karena influenza A/H5N1 terjadi secara berturut di sejumlah negara utamanya di wilayah Asia.
Hingga bulan April 2008 di seluruh dunia telah berhasil dikonfirmasi sejumlah 382 kasus avian
influenza A/H5N1 dengan angka kematian mencapai 241 pasien (63%). Indonesia merupakan
negara dengan kasus terbanyak di dunia yaitu mencapai 133 pasien dengan kematian 108
pasien (81%).
Virus A/H5N1 yang menyerang manusia semuanya berasal dari unggas, dan
menunjukkan galur yang beredar lokal di antara unggas domestik dan unggas liar. Virus avian
influenza dapat beredar secara berkesinambungan di lingkungan pasar unggas hidup, bahkan
dapat menyebar dan berlipat-ganda. Unggas liar yang bermigrasi mungkin menyebarkan virus
tersebut satu daerah ke daerah geografik lain, namun peranannya sebagai induk semang
(reservoir) ekologik belum jelas. Peran utama dalam penyebaran agaknya karena faktor
pergerakan unggas dan produk unggas.
Sampai saat ini kasus baru A/H5N1 terus bermunculan, tapi penularan dari manusia ke
manusia hingga saat ini belum terbukti, atau minimal tidak berlangsung secara berkelanjutan
(non sustainable). Namun melihat kecenderungan yang ada, potensi terjadinya penularan
secara efisien dan berkesinambungan cukup besar. Bila hal ini terjadi maka kemungkinan
terjadinya pandemi merupakan ancaman serius untuk umat manusia. Untuk dapat memahami
penyakit avian influenza ini maka perlu diketahui juga virus influenza secara keseluruhan.
7.18.2 Etiologi
Virus influenza termasuk dalam famili Orthomyxoviridae, merupakan virus ribo nucleic acid
(RNA) tunggal berbentuk besar dengan genom terbagi, dilapisi kapsul yang mengandung lipid.
Dua protein permukaan utama yang menembus kapsul dan menonjol seperti duri menentukan
serotipenya yaitu Hemaglutinin (H) dan Neuraminidase (N). Virus influenza berdasarkan protein
intinya dibagi menjadi tiga tipe yaitu A, B, dan C. Influenza tipe A dan B merupakan patogen
primer dan menyebabkan penyakit epidemik. Influenza tipe C merupakan penyebab penyakit
respiratori secara sporadik. Influenza A dan B selanjutnya dibagi menjadi galur (strain) dengan
serotipe berbeda yang beredar dalam populasi dengan pola tahunan. Pada influenza A terdapat
16 jenis protein hemaglutinin (H1-16) dan 9 protein neuraminidase (N1-9). Dengan demikian
ada banyak sekali kombinasi varian galur virus influenza A.
497
Gambar 7.18.1 Struktur virus H5N1
Sumber: Petrosino AL. Cytokine storm and the influenza pandemic. www.cytokinestrom.com
Unggas secara umum dan unggas air khususnya merupakan induk semang (reservoir) alami
bagi virus influenza A. Pada dasarnya semua virus influenza A dapat menginfeksi unggas
sehingga semua virus infuenza A dapat disebut sebagai avian influenza. Virus influenza A yang
sudah lazim menginfeksi manusia seperti H1N1, H2N2, dan H3N2 disebut sebagai virus
influenza manusia (human influenza). Pada unggas, replikasi virus utamanya berlangsung di
saluran gastro-intestinal, dan virus dapat ditularkan melalui feses unggas. Subtipe H5 dan H7
mempunyai kemampuan untuk bermutasi ke bentuk patogenitas tinggi dan menyebabkan
infeksi sistemik. Selama lebih dari 30 tahun terakhir wabah sporadik oleh virus highly
pathogenic avian influenza (HPAI) di antara ternak unggas telah terjadi di seluruh dunia
menyebabkan kerugian ekonomi besar di bidang pertanian.
7.18.3 Epidemiologi
Dari ketiga tipe influenza, tipe A yang paling mungkin menimbulkan masalah kesehatan pada
manusia dalam skala besar. Influenza A mempunyai pola epidemiologi yang kompleks meliputi
banyak pejamu dari binatang yang berperan sebagai induk semang bagi berbagai galur virus
dan berpotensi menulari manusia. Virus influenza A selain menginfeksi manusia juga dapat
menginfeksi mamalia dan unggas, sedangkan influenza tipe B dan C merupakan patogen
spesifik pada manusia. Influenza A menyebabkan epidemik tahunan dan pandemik dalam
beberapa belas atau puluh tahun. Influenza B menyebabkan epidemik tiap 2-5 tahun, namun
tidak menyebabkan pandemik. Influenza C belum sepenuhnya diketahui dan berkaitan dengan
infeksi sporadik.
Influenza A mudah sekali mengalami mutasi, itu sebabnya vaksin influenza harus dibuat
setiap tahun sesuai dengan pola galur virus yang beredar, dan daya proteksinya hanya
berlangsung selama satu tahun. Genom virus yang secara alamiah tersegmentasi memudahkan
terjadinya mutasi. Pembacaan materi genetik oleh virus RNA sering tidak akurat sehingga sering
terjadi kesalahan transkripsi yang berakibat perubahan minor dalam materi genetik virus
disebut sebagai antigenic drift yang terjadi dalam pola tahunan. Perubahan mayor dalam materi
genetik disebut antigenic shift. Perubahan mayor ini dapat terjadi bila terjadi ko-infeksi oleh dua
galur virus yang berbeda pada satu induk semang (manusia atau hewan) pada saat yang sama.
Mekanismenya melalui pertukaran materi genetik di antara dua galur tersebut yang disebut
sebagai reassortment. Ringkasan gambaran epidemi dan pandemi influenza dapat dilihat pada
tabel 7.18.1 berikut ini.
498
Tabel 7.18.1 Ringkasan gambaran epidemi dan pandemi influenza
Tipe Virus Imunitas populasi Akibat
Epidemi Antigenic drift: Imunitas minimal Wabah tahunan atau
evolusi dari galur pada bayi. epidemi dengan
influenza (A/B) yang morbiditas dan
sudah ada. mortalitas yang
bervariasi biasanya
anak kecil atau usia
lanjut dengan infeksi
H3N2 yang
menimbulkan gejala
berat.
Walaupun banyak sekali varian virus influenza A berdasarkan protein H dan A, namun
biasanya hanya beberapa hemaglutinin (H1,H2, dan H3) dan neuraminidase (N1 dan N2) yang
menyebabkan penyakit respiratori pada manusia dengan penyebaran yang luas. Walau
demikian dengan perkembangan avian influenza A/H5N1 akhir-akhir ini, agaknya galur dengan
hemaglutinin dan neuramindase lain juga berpotensi menyebabkan pandemi. Galur lain yang
telah dijumpai pada manusia adalah H7N3 dan H7N7 yang bermanifestasi sebagai
konjungtivitis, serta H9N2 dengan gejala respiratori.
Epidemiologi dunia virus influenza menunjukkan pola sebar tahunan antara belahan
bumi utara dengan selatan, sering ditemukan galur virus baru yang berasal dari Asia. Bila suatu
virus dikenali secara serologi merupakan galur baru menginfeksi manusia, maka pandemi virus
influenza dapat terjadi dengan potensi morbiditas dan mortalitas dalam skala yang sangat besar
pada populasi manusia yang belum mempunyai imunitas. Pandemi influenza paling dramatis
dalam sejarah manusia terjadi pada tahun 1918 oleh virus influenza A galur H1N1 yang
diperkirakan menyebabkan kematian lebih daripada 20 juta jiwa bahkan ada yang
memperkirakan korban mencapai 50 juta jiwa.
Dalam skala negara atau dunia, satu atau dua galur virus menyebar secara dominan
menyebabkan epidemi tahunan. Galur virus influenza diidentifikasi berdasarkan asalnya yaitu
sesuai wilayah geografi ditemukannya, nomor isolat laboratorium dan tahun ditemukannya.
Untuk influenza A ditambah dengan properti serologi protein H dan N. Sebagai contoh virus
dengan kode B/Hong Kong/672/01 artinya virus Influenza B yang ditemukan di HongKong
dengan nomor isolat laboratorium 672 ditemukan pada tahun 2001. Sedangkan virus dengan
499
kode A/Moscow/10/99 (H3N2) berarti merupakan virus influenza tipe A diisolasi di Moskow
dengan nomor isolat laboratorium 10 ditemukan pada tahun 1999 dan mempunyai galur H3N2.
Walaupun di kalangan unggas ternak terjadi penyebaran avian influenza A/H5N1 yang
sangat luas, namun penyakit oleh virus tersebut di kalangan manusia tetap sangat jarang. Pada
wabah A/H5N1 di Hong Kong tahun 1997, dari 18 pasien yang terkena, 11 di antaranya
berumur <14 tahun. Rentang umur pasien mulai dari umur 1 hingga 60 tahun, dengan rerata
umur 17,2 tahun. Pada wabah A/H5N1 dengan 10 pasien yang terjadi di Vietnam tahun 2004,
kelompok umur yang paling banyak terkena adalah anak, yaitu 7 dari 10 pasien berumur <18
tahun. Kasus A/H5N1 dari Thailand yang terjadi pada tahun 2004 berjumlah 12 kasus
terkonfirmasi, dengan rerata umur 12 tahun dan rentang usia 2 hingga 58 tahun.
Dari keseluruhan pasien infeksi A/H5N1, hingga akhir 2007 umur median sekitar 18
tahun, dengan 90% di antaranya berumur <40 tahun, dengan mortalitas terbesar pada
kelompok umur 10-19 tahun, dan paling rendah pada kelompok umur >50 tahun. Sebagian
besar pasien sebelumnya merupakan orang dalam keadaan sehat. Surveilans kasus A/H5N1
terfokus pada pasien dengan gejala klinis berat, tapi pada beberapa anak ditemukan pasien
dengan gejala klinis yang ringan tanpa pneumonia.
7.18.5 Penularan
Influenza manusia secara umum ditularkan melalui percik renik (droplet nuclei) sekresi
respiratori yang disebarkan oleh pasien, utamanya pada saat batuk atau bersin. Penularan
dalam masyarakat berlangsung cepat, insidens tertinggi tercapai dalam 2-3 minggu awal
timbulnya penyakit. Virus influenza manusia kemudian akan berikatan dengan reseptor virus
yang berada di sepanjang saluran respiratori.
Penularan virus A/H5N1 pada manusia umumnya terjadi secara langsung dari unggas ke
manusia, walaupun mekanisme dan lokasi masuknya kuman ke sistem respiratori manusia
belum diketahui secara pasti. Dari laporan kasus terkonfirmasi adanya kontak dengan unggas
dalam 2 minggu sebelumnya dijumpai pada 76-100% kasus. Virus avian influenza tidak dapat
bereplikasi secara efisien pada manusia, sehingga walaupun ada indikasi penularan dari
manusia ke manusia, namun sejauh ini penularan antar manusia ini tidak berlanjut. Pada saat
terjadinya wabah di Vietnam, tidak ada satupun petugas rumah sakit di Hanoi yang menangani
kasus H5N1 yang tertular.
500
Dalam beberapa laporan kasus yang terjadi secara klaster umumnya terjadi pada 2 hingga 3
orang, dengan klaster terbesar sebanyak 8 orang. Sebagian besar pasien dalam suatu klaster
mempunyai hubungan darah sehingga diduga adanya faktor kerentanan genetik. Namun suatu
kajian dengan model statistik dari data kasus yang ada menunjukkan bahwa terjadinya klaster
tersebut masih mungkin karena faktor kesempatan saja. Pasien-pasien dalam suatu klaster
mungkin mendapatkan infeksi dari sumber yang sama, jadi yang berperan faktor kesamaan
sumber bukan karena faktor genetik. Sekresi respiratori dan semua cairan tubuh termasuk feses
harus dianggap infeksius.
Setelah terpajan dengan unggas yang terinfeksi, masa inkubasi avian influenza
umumnya sekitar 7 hari atau kurang, dan pada beberapa kasus hanya dalam 2-5 hari. Pada
klaster dengan terjadinya penularan manusia ke manusia, masa inkubasi sekitar 3-5 hari,
walaupun pada suatu klaster diperkirakan masa inkubasi berlangsung hingga 8-9 hari.
7.18.6 Patogenesis
Virus influenza melekat ke reseptor asam sialat pada permukaan sel pejamu melalui
hemaglutinin dan secara endositosis masuk ke dalam vakuol sel. Di dalam vakuol terjadi
asidifikasi progresif kemudian terjadi fusi ke dalam membran endosom dan pelepasan RNA virus
ke dalam sitoplasma sel pejamu. Di dalam sitoplasma, RNA ditransport ke nukleus dan
ditranskripsi. RNA baru yang terbentuk kemudian dikembalikan ke sitoplasma dan
diterjemahkan ke dalam bentuk protein yang kemudian dibawa ke membran sel, yang
kemudian diikuti dengan penonjolan virus menembus membran sel pejamu. Neuraminidase
meningkatkan replikasi virus dari sel yang terinfeksi, mencegah agregasi virus, dan membantu
gerakan virus di sepanjang saluran respiratori.
Reseptor asam sialat mempunyai karakteristik khusus sesuai dengan ciri lokus
genetiknya (linkage). Hemaglutinin influenza manusia berikatan dengan reseptor asam sialat
yang mengandung linkage galaktosa α-2,6, sedangkan influenza burung berikatan dengan
reseptor α-2,3. Hal ini terkait dengan melekatnya influenza manusia pada epitel respiratori yang
mengandung reseptor α-2,6, sementara influenza avian melekat pada epitel intestinal unggas
yang mengandung reseptor α-2,3. Hemaglutinin dari influenza burung harus mengembangkan
kemampuan untuk berikatan dengan reseptor manusia agar dapat menular dari manusia ke
manusia.
501
Gambar 7.18.2 Skema patogenesis
Pada manusia, lingkaran replikasi ini terbatas pada sel epitel respiratori. Pada infeksi primer,
replikasi virus berlangsung 10-14 hari. Infeksi influenza meyebabkan lisis epitel respiratori dan
hilangnya fungsi silia, turunnya produksi mukus, dan deskuamasi lapisan epitel. Hal ini
mempermudah terjadinya infeksi bakteri sekunder. Mekanisme imunologis dalam mengakhiri
infeksi primer belum diketahui dengan pasti namun agaknya berhubungan dengan induksi
sitokin yang menghambat replikasi virus seperti interferon dan tumor necrosis factor-α. Masa
inkubasi influenza hanya 48-72 jam, sehingga menjadi masalah karena terlalu pendek
dibandingkan waktu yang diperlukan untuk membangkitan respons imun protektif.
Imunitas humoral utama ditujukan kepada hemaglutinin. Kadar antibodi serum tinggi
yang dibangkitkan oleh vaksin mempunyai daya protektif. Imunoglobulin A yang dihasilkan oleh
mukosa diduga ditujukan ke lokasi antigen yang sama dan merupakan respons imun segera
yang paling efektif. Sayangnya antibodi IgA terhadap influenza hanya bertahan dalam waktu
yang relatif pendek, dan reinfeksi influenza simtomatik dapat terjadi dalam selang 3-4 tahun.
Avian influenza berdasarkan kemampuannya menyebabkan penyakit, dibagi menjadi dua
kelompok besar, Low pathogenic avian influenza (LPAI) dan High pathogenic avian influenza
(HPAI). Influenza A dengan hemaglutinin H5 dan H7 bersifat HPAI. Hemaglutinin dari LPAI
dalam proses replikasinya dibantu oleh protease yang spesifik dari saluran intestinal unggas
sehingga hanya menyebabkan kerusakan terbatas. Di lain pihak, adanya asam amino dasar
multipel pada titik pembelahan hemaglutinin pada HPAI, menungkinkan terjadinya pembelahan
virus dengan dibantu oleh protease dari berbagai jaringan organ, sehingga berakibat terjadinya
penyebaran sistemik termasuk ke organ respiratori dan susunan saraf pusat.
502
Pada manusia, infeksi H5N1 menyebabkan terjadinya penyakit yang berat dan progresif dengan
kejadian komplikasi dan mortalitas tinggi dibandingkan dengan epidemik karena influenza
manusia. Infeksi makrofag manusia dengan virus H5N1 in vitro, menginduksi pelepasan sitokin
dengan kadar tinggi dibandingkan infeksi dengan galur influenza manusia. Virus H5N1 juga
relatif lebih resisten terhadap sitokin antiviral yang dihasilkan oleh pejamunya seperti interferon.
Dengan demikian beratnya infeksi H5N1 pada manusia agaknya berkaitan dengan induksi
berlebihan terhadap respons proinflamasi yang menyertai infeksi primer dan viremia.
Mekanisme yang menyebabkan perjalanan penyakit yang berat dan angka kematian
yang tinggi pada avian influenza A/H5N1 belum diketahui dengan jelas. Adanya virus dengan
subtipe baru yang belum dikenali oleh sistem imun manusia tidak dapat sepenuhnya
menjelaskan fenomena ini. Kemampuan virus untuk menyebar secara diseminata – termasuk
viremia dan ensefalitis – mungkin berperan penting. Aktivasi kaskade sitokin proinflamasi yang
berlebihan melipatgandakan respons inflamasi dan menyumbang terjadinya kerusakan jaringan
lebih lanjut.
Proses patologik primer yang menyebabkan kematian pada avian influenza adalah
pneumonia viral fulminan. Sel yang menjadi sasaran replikasi avian influenza termasuk di
antaranya pneumatosit alveolar tipe 2 dan makrofag. Sel-sel bronkus dan alveolus
menunjukkan adanya reseptor asam sialat α-2,3, tetapi epitel saluran respiratori atas dan
trakea tidak mengandung reseptor tersebut. Namun virus ini ternyata dapat bereplikasi dalam
biakan dengan jaringan hidup dari saluran respiratori atas. Pada pemeriksaan postmortem juga
ditemukan adanya virus di epitel trakea. Hal ini menunjukkan bahwa infeksi dapat berawal dari
saluran respiratori atas maupun bawah. Kadar virus di faring lebih tinggi dan kadar di plasma
juga tinggi pada pasien yang meninggal dibanding yang selamat, menunjukkan bahwa tingkat
replikasi virus mempengaruhi derajat penyakitnya.
503
Tabel 7.18.2 Frekuensi gejala dan tanda klasik influenza pada anak dan remaja
Variabel Kejadian
Gejala
Rasa kedinginan ++++
Batuk +++
Nyeri kepala +++
Nyeri tenggorokan +++
Hidung tersumbat ++
Diare ++
Pusing +
Mata perih dan nyeri +
Muntah +
Mialgia +
Tanda
Demam ++++
Faringitis +++
Konjungtivitis ringan ++
Rinitis ++
Limfadenopati kolli +
Ronki basah, wheezing +
++++: 76-100%; +++: 51-75%; ++: 26-50%; +: 1-25%
Sumber: Wright P. Influenza viruses. Dalam: Kliegman RM, Jenson HB, Behrman RE, Stanton BF, penyunting. Nelson textbook of
pediatrics. Edisi ke-18. Philadelphia: Sounders Elsevier; 2007.
Anggota keluarga atau yang kontak erat seringkali mengalami penyakit serupa. Pada
anak dan bayi gejala dan tanda infeksi influenza tidak sejelas orang dewasa. Anak mungkin
mengalami demam tinggi dan tampak toksik, dan memerlukan pemeriksaan diagnostik segera.
Walaupun mempunyai manifestasi yang cukup khas, namun seringkali sulit dibedakan dengan
penyakit yang disebabkan oleh virus respiratori lain seperti respiratory syncytial virus,
parainfluenza, dan adenovirus.
Gejala klinis avian influenza tergantung pada subtipenya. Avian influenza A/H7N7 gejala
utamanya konjungtivitis dan/atau penyakit serupa influenza/PSI (Influenza like illness). Dalam
suatu wabah di Belanda, 82 dari 89 kasus bermanifestasi sebagai konjungtivitis dan sisanya
sebagai PSI. Seorang dokter hewan mengalami PSI dua hari setelah mengunjungi pertanian,
yang berlanjut menjadi pneumonia seminggu kemudian. Pneumonia terus berlanjut walau telah
diterapi, dan pasien meninggal karena Acute respiratory distress syndrome 15 hari setelah
pajanan.
Pada tahun 1997, Hong Kong mengalami wabah A/H5N1 dengan 18 pasien yang
terkonfirmasi. Gejala awal yang muncul adalah PSI, dan konjungtivitis terjadi pada sebagian
pasien. Beberapa pasien menunjukkan gejala gastro-intestinal yang menonjol dengan nyeri
abdomen, diare, dan muntah. Tujuh dari 18 pasien membaik setelah mengalami PSI. Sebelas
dari 18 pasien berlanjut menjadi pneumonia, dan 6 di antaranya meninggal karena Acute
respiratory distress syndrome (ARDS) atau gagal organ majemuk.
Hingga saat ini penyakit karena A/H5N1 umumnya bermanifestasi sebagai pneumonia
berat yang seringkali mengalami perburukan progresif menjadi Acute respiratory distress
syndrome (ARDS). Waktu dari awitan gejala hingga mencari pertolongan medis reratanya 4
504
hari, sedangkan hingga meninggal antara 9-10 hari. Keadaan ini belum berubah dari tahun
2003 hingga 2006. Dua negara yang paling banyak dijumpai kasus avian influenza A/H5N1
adalah Indonesia (133 dari 382 kasus dunia) dan Vietnam (106 kasus dari 382 kasus dunia).
Manifestasi klinis dan pemeriksaan laboratorium pada pasien avian influenza yang
terkonfirmasi dari berbagai negara dapat dilihat pada tabel 7.18.3. Gejala yang hampir selalu
dijumpai adalah demam (89-100%), batuk (71-90%), sesak (44-94%). Diagnosis pneumonia
pada saat masuk dijumpai pada semua kasus dari Indonesia, Vietnam, dan Cina. Gejala PSI
tanpa berkembang menjadi pneumonia lebih sering dilaporkan sejak tahun 2005. Lebih dininya
pasien dibawa ke fasilitas kesehatan dan penggunaan terapi antivirus agaknya berperan dalam
perubahan perjalanan klinis. Manifestasi klinis avian ifluenza yang tidak spesifik sering
menyebabkan kekeliruan diagnosis awal yaitu pneumonia (non avian), demam dengue, demam
tifoid, atau infeksi respiratori akut.
Tabel 7.18.3. Manifestasi klinis dan hasil pemeriksaan laboratorium pasien avian influenza pada saat
masuk rumah sakit.
505
Sumber: World Health Organization. Cumulative number of confirmed human cases of avian influenza A/H5N1 reported to WHO. 30
April 2008.
Serologis
Pemeriksaan uji diagnostik cepat komersial yang beredar saat ini sensitivitas klinisnya rendah
untuk mendeteksi virus A/H5N1, dan tidak dapat membedakan influenza manusia dengan avian.
Deteksi antibodi anti-H5 sangat penting untuk investigasi epidemiologik, dan serokonversi
biasanya terjadi 2-3 minggu setelah infeksi. Pemeriksaan mikronetralisasi merupakan teknik
yangpaling dapat dipercaya untuk mendeteksi antibodi terhadap virus avian, namun
memerlukan fasilitas laboratorium dengan bosafety level 3 (BL3).
Mikrobiologi
Pemeriksaan identifikasi untuk mengetahui penyebab pada infeksi virus influenza berupa
deteksi RNA virus dengan cara konvensional atau dengan cara real-time reverse-transcriptase
polymerase chain reaction (RT-PCR) masih merupakan cara terbaik untuk diagnosis influenza
A/H5N1. Pemeriksaan ini dapat memberikan hasil dalam 4-6 jam dan dapat dilakukan di
laboratorium dengan baku biosafety level 2 (BL2). Spesimen usap tenggorok lebih baik daripada
usap hidung karena virus avian influenza lebih banyak bereplikasi di tenggorok. Namun usap
hidung berguna untuk mendeteksi influenza manusia, sehingga pengambilan kedua spesimen
tersebut dianjurkan. Bila memungkinkan, aspirat trakea juga diambil karena viral load yang
lebih tinggi daripada spesimen saluran respiratorik atas. Biakan virus memerlukan waktu 2-10
hari untuk menunjukkan hasil. Dua cara biakan dengan shell-vial maupun standard cell-culture
dapat digunakan untuk mendeteksi virus yang secara klinis penting.
Pencitraan
Pada influenza manusia biasanya tidak ditemukan kelainan yang nyata, dan foto toraks bukan
merupakan pemeriksaan rutin. Foto toraks dengan gambaran atelektasis atau infiltrat dijumpai
pada 10% kasus anak. Berbeda dengan influenza manusia, avian influenza A/H5N1 hampir
506
selalu menunjukkan kelainan pada foto toraks. Gambarannya bisa sangat bervariasi seperti
infiltrat interstisial, infiltrat lobaris, kolaps-konsolidasi, dan air bronchogram. Perburukan
gambaran radiologis dapat berlangsung sangat cepat, seperti perjalanan klinisnya.
Pneumotoraks terjadi pada pasien yang menggunakan ventilasi mekanik.
Patologi
Pemeriksaan otopsi pada 2 pasien yang meninggal karena A/H5N1 di Hong Kong menunjukkan
kerusakan organ majemuk, disseminated intra-vascular coagulation, nekrosis dan atrofi jaringan
limfoid, serta kerusakan alveolar difus dengan pembentukan membran hialin, bercak infiltrat
limfoplasmasitik intersisial, bronkiolitis dengan metaplasia skuamosa, dan kongesti paru disertai
perdarahan yang bervariasi. Sindrom hemofagositosis, apoptosis sel alveolar infiltrasi leukosit
merupakan temuan yang nyata.
Pemeriksaan dengan Polymerase chain reaction, menemukan adanya RNA virus di
jaringan paru, usus, dan limpa; tetapi replikasi aktif hanya ditemukan di paru dan usus.
Keterlibatan usus oleh A/H5N1 menjelaskan adanya gejala diare pada sebagian pasien avian
influenza. Deplesi limfosit di limpa, kelenjar getah bening dan tonsil. Hiperplasia histiosit dan
hemofagositosis reaktif diduga merupakan hasil respons sitokin pejamu dan infeksi virusnya
sendiri. Edema dan degenerasi miosit jantung, dan nekrosis tubular akut yang luas juga terjadi
di ginjal. Sebagai kesimpulan agaknya avian influenza dapat menyebabkan kerusakan di hampir
semua sistem organ.
7.18.9 Diagnosis
Diagnosis influenza tergantung pada pertimbangan epidemiologik dan klinis. Dalam keadaan
epidemik, diagnosis influenza dapat ditegakkan pada anak kecil dengan gejala demam, malaise,
dan gejala respiratori. Konfimasi laboratorium dapat dibuat dengan tiga cara. Pada fase awal,
virus dapat diisolasi dari nasofaring dengan inokulasi spesimen ke dalam media dengan embrio
telur. Tumbuhnya virus pada biakan memastikan diagnosis. Uji diagnostik cepat untuk influenza
menggunakan penandaan antigen virus seperti dengan cara ELISA. Diagnosis juga dapat
dipastikan secara serologi dengan membandingkan kadar serum fase konvalesens dengan fase
akut dengan uji inhibisi hemaglutinasi.
Tidak ada gejala dan tanda infeksi avian influenza A/H5N1 yang patognomonik.
Manifestasi klinis, laboratorium, dan temuan radiologis tidak ada yang khas yang dapat
membedakan dengan penyebab lain dari PSI, atau pneumonia didapat (community acquired
pneumonia) yang berat, atau ARDS. Kecurigaan timbul bila di daerah tersebut memang
diketahui merupakan wilayah endemis A/H5N1 pada unggas dan adanya riwayat kontak.
Tenaga medis di lini terdepan harus selalu menggali kemungkinan adanya kontak dengan
unggas bila menjumpai pasien dengan gejala PSI. Pasien dengan PSI yang mempunyai riwayat
kontak dengan unggas atau melakukan perjalanan ke daerah endemis A/H5N1 harus diperiksa
secara radiologik dan mikrobiologik yang memadai.
Di negara yang diketahui adanya infeksi A/H5N1 pada unggas, maka dugaan
kemungkinan influenza A/H5N1 seharusnya dimasukkan dalam daftar diagnosis banding pada
semua pasien dengan PSI yang disertai demam. Avian influenza juga harus dipikirkan pada
pasien dengan PSI yang mempunyai kemungkinan pajanan dengan pasien A/H5N1 atau dengan
sampel yang diduga mengandung virus tersebut. Karena gejala dan tanda avian influenza tidak
spesifik, maka penggalian riwayat pajanan harus dilakukan dengan cermat. Termasuk dalam hal
ini adalah adanya kontak dekat/langsung dengan unggas ternak yang sakit atau mati, unggas
507
liar, pasien sakit berat, riwayat perjalanan ke daerah endemis A/H5N1, atau bekerja di
laboratorium yang menangani sampel yang kemungkinan mengandung virus tersebut.
Penggunaan uji cepat influenza yang dijual secara komersial tidak dianjurkan karena
sensitivitasnya rendah. Hasil positif tidak dapat membedakan dengan influenza A lain,
sementara hasil negatif tidak menyingkirkan kemungkinan infeksi oleh A/H5N1. Pengambilan
spesimen dari pasien suspek seharusnya dilakukan sebelum pemberian obat antivirus, namun
jangan sampai pemberian obat terlambat karena menunggu pengambilan spesimen yang tidak
segera dilakukan.
Mengingat potensi pandemik avian influenza A/H5N1 maka dalam penentuan diagnosis
diperlukan pembakuan definisi kasus untuk berbagai keperluan; diagnosis dan tatalaksana
medis, maupun penanganan epidemiologik baik lokal, nasional maupun internasional. Sampai
fase 3 kewaspadaan pandemik, WHO membuat kriteria definisi kasus yang akan terkait dengan
manajemennya.
Kasus Suspek:
Seseorang dengan gejala penyakit saluran respiratori bawah yang tidak dapat dijelaskan
penyebabnya disertai demam >38oC dengan gejala batuk dan sesak napas, DAN adanya
>1 pajanan berikut dalam 7 hari sebelum timbulnya gejala:
o Kontak (merawat, berbicara dengan, atau meraba) dekat (dalam jarak 1 m)
dengan seseorang yang dicurigai menderita avian influenza dengan status
probabel atau terkonfirmasi
o Pajanan (memegang, menyembelih, membului, memotong, menyiapkan untuk
konsumsi) dengan unggas ternak atau unggas liar atau bangkai unggas atau
lingkungan yang tercemar oleh unggas dalam wilayah yang dicurigai atau
diketahui telah terjadi infeksi pada hewan atau manusia dalam sebulan terakhir.
o Memakan produk ternak unggas yang tidak dimasak dengan sempurna dalam
wilayah yang dicurigai atau diketahui telah terjadi infeksi pada hewan atau
manusia dalam sebulan terakhir.
o Kontak dekat dengan hewan (selain unggas) yang telah dikonfirmasi terinfeksi
oleh A/H5N1.
o Memegang/menangani sampel (hewan/manusia) yang dicurigai mengandung
virus A/H5N1.
Kasus Probabel
Definisi1:
Seseorang yang memenuhi kriteria kasus Suspek DAN satu kriteria tambahan:
o Bukti pneumonia pada gambaran foto toraks dan bukti gagal napas (takipnea,
hipoksemia)
o Konfirmasi laboratorium positif untuk influenza A tetapi belum cukup bukti untuk
infeksi H5N1
Definisi 2:
Seseorang yang meninggal karena suatu infeksi respiratori akut yang tidak dapat
dijelaskan penyebabnya, yang secara epidemiologik (waktu, tempat, pajanan) berkaitan
dengan kasus A/H5N1 dengan status Probabel atau Terkonfirmasi.
Kasus Terkonfirmasi
Seseorang yang memenuhi kriteria Suspek atau Probabel DAN >1 pemeriksaan
laboratorium berikut ini positif:
508
o Isolasi virus A/H5N1
o Hasil laboratorium positif untuk H5 melalui pemeriksaan PCR dengan
menggunakan 2 sasaran yang berbeda misalnya menggunakan primers khusus
untuk influenza A dan H5 HA.
o Peningkatan >4 kali antibodi netralisasi dibandingkan antara fase akut (dalam 7
hari awal gejala) dengan fase konvalesen DAN titer fase konvalesen minimal
1:80.
o Titer antibodi mikronetralisasi A/H5N1 1:80 atau lebih dalam satu spesimen
serum yang diambil pada hari >14 awitan gejala DAN satu hasil positif
menggunakan pemeriksaan serologik berbeda, ATAU hasil positif H5
menggunakan specific Western blot.
7.18.10 Tatalaksana
Berkat adanya sistem imunitas yang sudah dibentuk untuk influenza manusia, maka penyakit ini
umumnya akan membaik dengan sendirinya (self limiting disease). Asupan cairan yang
memadai dan istirahat merupakan unsur penting dalam tatalaksana influenza. Parasetamol dan
ibuprofen dapat diberikan sebagai antipiretik. Penggunaan asetosal tidak dianjurkan pada anak
karena risiko terjadinya sindrom Reye.
Mekanisme pasti penularan avian influenza belum diketahui. Oleh karena itu perlu
pembakuan tatalaksana mulai dari definisi kasus, perawatan klinis, dan juga pemberian
antiviral. Hal ini penting dalam rangka meningkatkan pemahaman tentang perjalanan penyakit
dan untuk menentukan terapi yang tepat. Di samping itu dalam penanganan pasien yang
dicurigai terinfeksi A/H5N1 harus dilaksanakan dengan kendali infeksi yang ketat.
Pengendalian infeksi untuk infeksi A/H5N1 diterapkan ketat seperti pada infeksi Severe
acute respiratory syndrome (SARS). Dua prinsip utama dalam pengendalian infeksi ketat adalah
penerapan standard precaution (universal precaution) dan transmission based precaution.
Transmission based precaution ini terdiri dari droplet, contact, dan airborne precaution.
Pembahasan tentang hal ini memerlukan ulasan yang mendalam tersendiri sehingga tidak
dibahas di sini.
Terapi antiviral
Aktivitas sialidase neuraminidase sama pada subtipe yang berbeda, sehingga merupakan salah
satu target utama dalam terapi antiviral. Protein membran virus lain yaitu M2 ion channel yang
berperan penting dalam replikasi virus merupakan target lain terapi antiviral. Dua kelas antivirus
efektif untuk terapi influenza yaitu penghambat neuraminidase dan penghambat protein M2
yang disebut kelas adamantan. Obat inhibitor neuraminidase adalah oseltamivir dan zanamivir,
sedangan penghambat protein M2 adalah amantadin dan rimantadin.
Neuraminidase merupakan sasaran yang menarik untuk pengembangan antiviral karena
merupakan bagian esensial dalam replikasi virus dan berlaku silang pada berbagai subtipe virus
termasuk influenza B dan semua galur influenza manusia maupun avian influenza.
Kelas pertama efektif untuk mengobati influenza A dan B, sedangkan kelas kedua dapat
digunakan pada saat wabah influenza A namun tidak efektif untuk influenza B dan penggunaan
untuk bayi belum disetujui. Antivirus influenza harus diberikan dalam 48 jam pertama setelah
timbul gejala, untuk mengurangi durasi dan beratnya penyakit. Dosis antivirus influenza untuk
terapi maupun profilaksis dapat dilihat pada tabel 7.18.4.
Oseltamivir yang hanya tersedia dalam bentuk oral, sampai saat ini masih merupakan
obat antiviral primer pilihan untuk terapi A/H5N1. Observasi terbatas menunjukkan bahwa
509
pemberian oseltamivir dini berhubungan dengan penurunan mortalitas. Oleh karena itu
dianjurkan untuk memberikan oseltamivir secepatnya pada pasien yang dicurigai terinfeksi
A/H5N1 atas dasar klinis sebelum konfirmasi etiologi diperoleh. Baku terapi adalah pemberian
selama 5 hari, mengacu pada kasus influenza manusia. Dosis baku adalah 75mg dua kali
perhari untuk pasien dewasa. Dosis untuk anak adalah 2mg/kgBB/kali diberikan dua kali
perhari.
Untuk avian infuenza dosis dan lamanya pemberian yang optimal belum diketahui pasti.
Bila tidak ada perbaikan klinis setelah terapi baku, oseltamivir dapat diperpanjang hingga 5 hari
lagi. Pada kasus infeksi manusia oleh H5N1 efikasi oseltamivir suboptimal agaknya karena
kelambatan pemberian atau karena pasien dalam keadaan sangat berat. Hal ini menimbulkan
pemikiran untuk meningkatkan dosis maupun lamanya pemberian oseltamivir. Dosis yang lebih
tinggi dan pemberian yang lebih lama (dua kali lipat) cukup rasional mengingat replikasi
A/H5N1 yang tinggi, atau bila dilihat setelah pemberian dengan dosis baku dalam 3 hari awal
tidak menunjukkan perbaikan klinis.
Obat penghambat neuraminidase dapat memperpendek gejala klinis dan memperpendek
waktu untuk kembali ke aktivitas normal dan mengurangi kejadian pneumonia dan mengurangi
penggunaan antibiotik. Pada kasus avian influenza terkonfirmasi penggunaan oseltamivir
mengurangi risiko rawatan di RS, otitis media, bronkitis, dan pneumonia. Pengurangan
pneumonia hingga 32% sedangkan pengurangan risiko kematian hingga 91%.
Pemberian terapi amantadin secara dini pada pasien A/H5N1 di Hong Kong
menunjukkan perbaikan klinis. Namun pemberian obat tersebut secara monoterapi
menyebabkan resistensi obat berkembang dengan cepat. Dasar terjadinya resistensi pengganti
asam amino tunggal transmembran pada protein M2. Penggunaan amantadine yang luas turut
menyumbang terjadinya resistensi hingga 60% pada H3N2 dan 90% pada H5N1, dan pada
sebagian A/H1N1.
Antibiotik
Sebagian besar pasien yang dirawat karena A/H5N1 secara radiologis menunjukkan gambaran
pneumonia pada saat masuk. Seringkali etiologi pneumonia belum diketahui pada saat masuk,
sementara infeksi sekunder oleh bakteri sering terjadi, dan dalam keadaan demikian antibiotik
perlu diberikan. Infeksi bakteri dipikirkan bila demam menetap atau turun naik, atau terjadi
perburukan keadaan klinis lain. Influenza manusia tanpa komplikasi akan membaik dalam 48-72
jam.
Pemilihan jenis antibiotik disesuaikan dengan pedoman tatalaksana community acquired
peneumonia yang ada. Untuk pasien anak pilihan antibiotik didasarkan pada kelompok umur
yang biasanya mempunyai pola kuman yang berbeda. Pasien yang memerlukan perawatan
intensif di ICU biasanya memerlukan pemberian antibiotik kombinasi misalnya dari golongan β-
lactam dengan golongan makrolid. Sebelum pemberian antibiotik seharusnya diambil spesimen
respiratori dan darah untuk pemeriksaan pulasan langsung Gram maupun biakan. Pemberian
antibiotik profilaksis tidak dianjurkan karena tidak ada bukti manfaat sementara dapat
meingkatkan resistensi dan risiko efek samping.
Steroid
Steroid sistemik sering diberikan untuk terapi Acute lung injury (ALI) atau acute respiratory
distress syndrome (ARDS) pada pasien infeksi A/H5N1 dengan asumsi adanya efek antiinflamasi
dan antifibrosis. Namun dari beberapa pengamatan terakhir, disimpulkan bahwa tidak ada
510
manfaat yang nyata pemberian steroid dosis tinggi untuk virus associated pneumonia maupun
ARDS.
511
Etoposid dan imunoglobulin intravena
Seperti disebutkan di depan, beberapa temuan otopsi pada kasus A/H5N1 yang fatal
menunjukkan adanya hemofagositosis reaktif. Oleh karena itu dipikirkan kemungkinan
pemberian agen sitotoksik etoposid sebagai alternatif terapi untuk haemophagocytic lympho-
cytosis (HLH). Kriteria diagnosis untuk HLH antara lain demam, splenomegali, bisitopenia,
hipertrigliseridemia, hipofibrinogenemia, hemofagositosis di sumsum tulang, limpa atau kelenjar
limfe, turun/tidak adanya aktivitas sel NK, hiperferitinemia dan peningkatan kadar CD25 larut.
Kriteria ini harus dipenuhi sebelum memberikan terapi empirik. Untuk kasus A/H5N1 yang
disertai dengan hemofagositosis pemberian imunoglobulin intravena (bila tersedia) dapat
dipertimbangkan sebagai pilihan terapi.
7.18.11 Prognosis
Prognosis untuk penyembuhan sangat baik pada influenza manusia, walaupun pemulihan penuh
aktivitas dan menghilangnya batuk biasanya memerlukan waktu beberapa minggu. Untuk avian
influenza, utamanya A/H5N1 prognosisnya tidak baik. Banyak kasus yang berakhir dengan
kematian. Seperti dapat dilihat pada laporan kumulatif kasus A/H5N1 yang terdata di WHO, dari
total seluruh kasus di dunia, 241 dari 382 pasien meninggal.
7.18.12 Pencegahan
Vaksin influenza pada populasi yang sesuai merupakan cara pencegahan terbaik terhadap
terjadinya influenza berat. Penggunaan vaksin makin direkomendasikan karena manfaatnya
untuk kelompok ibu hamil dan anak kecil. Profilaksis dengan antivirus merupakan cara
pencegahan kedua.
Imunisasi
Mengingat serotip virus influenza yang beredar mempunyai pola tahunan, maka sepanjang
waktu dilakukan surveilans influenza untuk memperkirakan serotip yang akan timbul tahun
berikutnya. Vaksin influenza inaktif tersedia setiap musim panas dengan kandungan serotip
virus yang diantisipasi untuk musim dingin mendatang. Imunisasi influenza dianjurkan mulai
dari bayi >6 bulan hingga anak dan orang dewasa berisiko tinggi mengalami komplikasi.
Imunisasi direkomendasikan juga untuk orang yang berpotensi menulari pasien berisiko tinggi.
Vaksin diberikan secara intramuskular, untuk imunisasi primer pada anak <9 tahun vaksin
diberikan 2 kali dengan selang 1 bulan, setelah itu vaksin diberikan setahun sekali. Dosis
0,25mL diberikan pada bayi 6-36 bulan dan dosis 05mL untuk anak 3-8 tahun.
Vaksin influenza konvensional dengan 3 dosis antigen H5N3 tidak bersifat imunogenik
untuk dan agaknya menimbulkan proteksi terhadap infeksi H5N1. Vaksin yang diproduksi dari
galur A/Vietnam/1203/04 (H5N1) ditoleransi dengan baik tapi respons imun yang dibangkitkan
tidak memuaskan. Produksi vaksin yang aman dari galur virulen seperti H5 dan H7 memiliki
tingkat kesulitan yang leih tinggi. Persiapan vaksin memerlukan peningkatan pengamanan
produk biologik untuk melindungi para petugas laboratorium dan membatasi risiko terjadinya
pencemaran lingkungan, dan hal ini sulit dilakukan untuk produksi vaksin dalam skala besar.
Produksi vaksin konvensional tahunan mencapai 300 juta dosis yang mencukupi untuk 15%
populasi dunia. Dengan keterbatasan kemampuan produksi vaksin avian influenza akibat
risikonya yang tinggi, maka hanya kurang dari 2,5% populasi dunia yang bisa dilindungi.
512
Profilaksis
Amantadin, rimantadin, dan oseltamivir diberikan sebagai profilaksis untuk orang dengan atau
tanpa imunisasi influenza selama wabah influenza. Profilaksis terutama diberikan pada orang
yang mengalami kontak erat dengan pasien, petugas kesehatan selama masa wabah.
Tabel 7.18.4 Rekomendasi dosis harian obat antiviral influenza untuk pengobatan dan profilaksis
Obat Rute Pengobatan Profilaksis Kelompok usia
antiviral 1-6 tahun 7-9 tahun >10 tahun
Zanamivir* Inhalasi Ya Tidak Tidak 10 mg 2x/hari 10 mg
diindikasikan diindikasikan 2x/hari
Profilaksis diberikan untuk orang yang kontak dengan pasien A/H5N1 (suspek, probabel, atau
terkonfirmasi). Dosis sama dengan terapi, namun hanya diberikan satu kali sehari selama 10
hari.
Pengendalian pandemik
Dalam pengendalian pandemik, perlu dilakukan secara simultan pada dua kelompok pejamu
utama yaitu unggas dan manusia. Strategi pengendalian H5N1 pada unggas domestik telah
dilakukan di sejumlah area seperti HongKong, Thailand, Vietnam, dan beberapa negara yang
terkena avian influenza. Ini mencakup pemusnahan massal unggas selama wabah, penyingkiran
bebek dan angsa dari pasar unggas hidup serta perbaikan sanitasi ternyata tidak berdampak
nyata. Vaksinasi unggas dengan vaksin H5N1 telah dilakukan di beberapa negara, namun hal ini
harus dilakukan dengan hati-hati. Standarisasi vaksinasi di bidang pertanian tidak dilakukan
dengan ketat yang memungkinkan terjadinya penggunaan vaksin subpoten yang melindungi
terhadap kemungkinan terjadinya penyakit, namun tidak mengurangi penyebaran virus selama
proses infeksi. Unggas dari kelompok bebek mempunyai imunitas parsial sehingga mereka
sendiri tidak menjadi sakit namun menyebarkan virus serta kemungkinan terjadinya proses
evolusi virus.
Intervensi non-medis merupakan langkah pengendalian pertama dan utama. Ini mencakup
isolasi, lacak sumber, dan pembatasan perjalanan (domestik dan internasional), dan peliburan
tempat massal seperti sekolahan dan kantor. Bila suatu pandemik telah dinyatakan, perlu waktu
6-8 minggu untuk dapat memproduksi vaksin yang sesuai secara masssal. Selama waktu itu
peran obat antiviral menjadi penting sebagai respons alternatif. Walaupun oseltamivir efektif
513
bila diberikan sebagai profilaksis pada populasi yang terpajan, namun jumlah obat yang harus
disediakan sangat besar dan tidak mungkin dipenuhi.
Daftar Pustaka
1. Wright P. Influenza viruses. Dalam: Kliegman RM, Jenson HB, Behrman RE, Stanton BF. Nelson
textbook of pediatrics. Edisi ke-18. Philadelphia: Sounders Elsevier; 2007.h. 1384-87.
2. The Writing Committee of the World Health Organization (WHO) Consultation on Human Influenza
A/H5. Avian influenza A(H5N1 )infection in humans. N Engl J Med 2008; 358:261-73.
3. World Health Organization. Cumulative number of confirmed human cases of avian influenza A/H5N1
reported to WHO, 30 April 2008. Diunduh dari:
http://www.who.int/csr/disease/avian_influenza/country/cases_table_2008_04_30/en/index.html.
Diakses pada: 14 Mei 2008.
4. World Health Organization Geneva. Recommended laboratory tests to identify avian influenza A virus
in specimens from humans. 2005
5. World Health Organization. WHO case definition for human infections with influenza A(H5N1) virus .
29 August 2006
6. World Health Organization. Clinical management of human infection withavian influenza A (H5N1)
virus. 15 Aug 2007
7. World Health Organization. WHO interim infection control guidelines. 2006
8. Kandun IN, Wibisono H, Sedyaningsih ER, et al. Three Indonesian clustersof H5N1 virus infection in
2005. N Engl J Med 2006; 355:2186-94.
9. Oner AF, Bay A, Arslan S, et al. Avian influenza A (H5N1) infection in eastern Turkey in 2006. N Engl J
Med 2006; 355:2179-85.
10. Dinh PN, Long HT, Tien NTK, et al. Risk factors for human infection with avian influenza A H5N1,
Vietnam, 2004. Emerg Infect Dis 2006; 12::1841-7.
11. Areechokchai D, Jiraphongsa C, Laosiritaworn Y, et al. Investigation of avian influenza (H5N1)
outbreak in humans – Thailand, 2004. MMWR Morb Mortal Wkly Rep 2006; 55:Suppl 1:3-6.
12. Sedyangingsih ER, Isfandari S, Setiawaty V, et al. Epidemiology of cases of H5N1 virus infection in
Indonesia July 2005 – June 2006. J Infect Dis 2007; 196:522-7.
13. Pitzer VE, Olsen SJ, Bergstrom CT, et al. Little evidence for genetic susceptibility to influenza A
(H5N1) from family clustering data. Emerg Infect Dis 2007; 13:1074-6.
14. Stephenson I, Democratis J. Influenza: current threat from avian influenza. Br Med Bull 2006; 75 &
76: 63-80.
15. Wong SSY, Yuen KY. Avian influenza virus infections in humans . Chest 2006; 129: 156-68.
16. Ungchusak K, Auewarakul P, Dowell SF, et al. Probable person to person transmission of avian
influenza A (H5N1). N Engl J Med 2005; 352:333-40.
17. Liem NT, WHO Avian influenza investigation team, Lim W. Lack of H5N1 avian influenza transmission
to hospital employees, Hanoi, 2004. Emerg Infec Dis 2005; 11:210-5.
18. Koopmans M, Wilbrink B, Conyn M, et al. Transmission of H7N7 avian influenza A virus to human
beings during a large outbreak in commercial poultry farms in the Netherlands . Lancet 2004;
363:587-93.
19. Yuen KY, Chan PKS, Peiris M, et al. Clinical features and rapid viral diagnosisof human disease
associated with avian influenza A H5N1 virus. Lancet 1998; 351:467-71.
20. Chan PKS. Outbreak of avian inflenza A (H5N1) virus infection in Hong Kong in 1997 . Clin Infect Dis
2002; 34(suppl 2):S58-64.
21. Tran TH, Nguyen TL, Nguyen TD, et al. Avian influenza A (H5N1) in 10 patients in Vietnam. N Engl J
Med 2004; 350:1179-88.
22. Chotpitayasunondh T, Ungchusak K, Hanshaoworakul W, et al. Human disease from influenza A
(H5N1) in Thailand in 2004. Emerg Infec Dis 2005; 11:201-9.
23. To KF, Chan PKS, Chan KF, et al. Pathology of fatal human infection associated with avian influenza A
H5N1 virus. J Med Virol 2001; 63:242-6.
514
24. Cheung CY, Poon LLM, Lau AS, et al. Induction of proinflammatory cytokines in human macrophage
by influenza A (H5N1) viruses: a mechanism for the unusual severity of human disease? Lancet 2002;
360:1831-7.
25. Petrosino AL. Cytokine storm and the influenza pandemic. Diunduh dari: www.cytokinestrom.com.
515
7.19 Pneumotoraks
Mardjanis Said, Nastiti Kaswandani, Diah Sri Wulandari
Pneumotoraks adalah suatu keadaan dimana terdapat akumulasi udara ekstrapulmoner dalam
rongga pleura, antara plura visceral dan parietal, yang dapat menyebabkan timbulnya kolaps
paru. Normalnya tekanan pada rongga pleura lebih negatif daripada tekanan di paru, namun
pada pneumotoraks, tekanan menjadi lebih positif sehingga menyebabkan paru menjadi kolaps.
Udara dapat masuk ke dalam celah pleura melalui beberapa proses yaitu kerusakan pada
parenkim paru, masuk melalui saluran napas dengan keadaan dinding dada yang intak
(pneumotoraks tertutup) ataupun adanya kerusakan pada dinding dada (pneumotoraks
terbuka).
Pneumotoraks dapat diklasifikasikan menjadi spontan dan traumatik. Traumatik dapat
dibagi lagi menjadi iatrogenik dan non-iatrogenik (accidental). Pneumotoraks spontan dapat
dibagi menjadi primer (tanpa adanya penyakit yang mendasarinya) ataupun sekunder
(komplikasi dari penyakit paru akut atau kronik).
7.19.1 Etiologi
Timbulnya kejadian pneumotaraks berhubungan dengan banyak kasus, yang antara lain adanya
infeksi pada saluran napas, trauma dada, acute lung injury yang disebabkan oleh materi fisik
yang terinhalasi dan bahan kimia, penyakit inflamasi paru akut atau kronis, keganasan, dan
prosedur diagnostik dan terapetik medis yang melibatkan toraks dan organ abdomen.
Aspirasi jarum transtorakal ataupun prosedur biopsi dapat menimbulkan komplikasi
pneumotoraks iatrogenik. Penyebab lain yang umum terjadi adalah torakosintesis. Ventilasi
mekanik dan tindakan resusitasi dapat juga menyebabkan pneumotoraks. Pada bayi yang baru
lahir, penyakit seperti empisema interstitial, pneumomediastinum dapat menyebabkan
pneumotoraks.
Walaupun mekanisme terjebaknya udara masih belum sepenuhnya dimengerti pada
setiap etiologinya, namun hampir selalu berhubungan dengan defek pada lapisan pleura yang
kehilangan integritasnya. Bleb pada lapisan pleura, sering ditemukan pada pasien dengan
sindrom Marfan dan pneumotoraks spontan familial. Pada kondisi yang lain, bleb timbul akibat
adanya kerusakan pada parenkim paru atau gangguan pada fungsi katup, sekunder terhadap
obstruksi saluran napas. Bleb cukup sering ditemukan pada populasi normal, namun masih
belum jelas mengenai rangsangan timbulnya ruptur. Perubahan mendadak dari tekanan
atmosfer yang terjadi pada saat menyelam, melakukan penerbangan, atau perubahan
mendadak pada tekanan intratoraks seperti saat batuk hebat atau akibat serangan asma,
dipertimbangkan menjadi faktor predisposisi timbulnya pneumotoraks spontan. Tekanan positif
intrapleura yang timbul saat proses melahirkan, juga berhubungan dengan timbulnya
pneumotoraks spontan pada wanita sehat. Individu normal dapat juga mengalami kejadian
serupa pada saat istirahat atau aktivitas normal.
Pneumotoraks spontan primer lebih cenderung timbul pada anak laki-laki dengan
perawakan tinggi dan kurus. Kebiasaan merokok dapat meningkatkan risiko. Walaupun pada
pneumotoraks spontan primer tidak ditemukan adanya penyakit paru yang mendasarinya,
516
namun bula sub-pleural ditemukan pada 76-100% pasien yang dilakukan pemeriksaan video
assisted thoracoscopic surgery (VATS). Sebagian besar kasus timbul saat pasien sedang
istirahat.
Trauma langsung yang menembus dinding dada, termasuk pada prosedur diagnostik,
terapetik medis, dapat mengganggu keadaan hampa udara pada rongga pleura sehingga
menyebabkan masuknya udara ke rongga tersebut. Trauma tumpul toraks dapat menyebabkan
ruptur esophagus, saluran napas dan parenkim paru sehingga udara dapat masuk ke
mediastinum dan rongga pleura. Lesi metastasis dari suatu keganasan dan endometriosis dapat
mengganggu integritas dari permukaan pleura dan sel paru dibawahnya.
Anak dengan Asma dan Fibrosis Kistik, memiliki risiko yang besar mengalami
pneumotoraks. Kemungkinan menderita komplikasi meningkat dengan makin buruknya hasil
pemeriksaan paru. Infeksi paru seperti pneumonia akibat Pneumocystic Carinii yang
berhubungan dengan infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah kondisi umum
lainnya yang dapat menyebabkan pneumotoraks sekunder dengan tingkat mortalitas yang
tinggi. Pasien dengan penyakit jaringan penyambung seperti sindrom marfan, skleroderma,
Sindrom Ehlers-Danlos dan Ankilosis spondilitis lebih rentan untuk mengalami pneumotoraks.
Penyebab pneumotoraks pada anak dapat dikategorikan sebagai berikut
A. Pneumotoraks Spontan
1. Idiopatik primer
2. Bleb sekunder
a. Penyakit paru kongenital :
CCAM
Kista bronkogenik
Hipoplasia paru
b. Kondisi yang berhubungan dengan peningkatan tekanan intra torakal
Asma
Bronkiolitis
Sindrom blokade udara pada neonatus
Fibrosis kistik
Benda asing saluran napas
c. Infeksi
Pneumatokel
Abses paru
Fistula bronko-pleura
d. Penyakit paru difus
Histositosis sel Langerhans
Tuberosklerosis
Sindrom Marfan
Sindrom Ehlers-Danlos
e. Neoplasma metastatik (osteosarkoma)
B. Pneumotoraks Traumatik
1. Non Iatrogenik
a. Penetrasi trauma
b. Trauma tumpul
c. Tekanan udara tinggi
2. Iatrogenik
517
a. Torakotomi
b. Torakoskopi, torakosentesis
c. Trakeostomi
d. Pungsi
e. Ventilasi mekanis
Manifestasi klinis utama adalah nyeri dada yang timbul secara mendadak. Takipnu, dispnu,
takikardi, dan sianosis juga umum ditemukan. Intensitas gejala yang timbul bergantung pada
jumlah udara yang masuk ke dalam rongga pleura, ambang nyeri pasien, dan derajat toleransi
respiratori sebelum terjadinya kelainan. Gejala biasanya hilang dalam 24 jam, walaupun
pneumotoraks dibiarkan tanpa pengobatan dan tidak mengalami resolusi.
Beratnya nyeri dada dan kesulitan bernafas yang dialami oleh pasien, menyebabkan
timbulnya ansietas, yang makin memperparah gejala. Kharateristik nyeri yang timbul dapat
bervariasi, mulai dari nyeri dada retrosternal yang terlokalisasi sampai nyeri hebat pleuritis yang
tidak dapat dilokalisasikan sumbernya. Dapat juga ditemukan nyeri bahu ipsilateral. Pada
pemeriksaan dapat ditemukan suara napas yang berkurang, perkusi hiper-resonans pada
daerah yang terkena. Bila udara berada pada tekanan rendah (pneumotoraks tipe tension),
mediastinum dapat bergeser ke sisi kontralateral berikut trakea. Pada tekanan yang rendah,
udara akan bergerak mencari tempat dengan resistensi yang minimal sehingga kemudian udara
tersebut akan mengisi mediastinum dan jaringan subkutan. Empisema subkutan dapat timbul
secara luas hingga mencapai leher, dinding abdomen dan bahkan perineum, menyebabkan
deformitas pada daerah yang terkena. Pada beberapa kasus, pneumotoraks diketahui secara
tidak sengaja melalui pemeriksaan radiologis pada pasien yang asimptomatik.
Pasien dengan pneumotoraks minimal (<15% dari luas hemitoraks), pemeriksaan fisik
menunjukkan hasil yang normal dengan takikardi menjadi satu-satunya penemuan yang umum
ditemukan.
7.19.3 Diagnosis
Pemeriksaan penunjang yang penting untuk mengkonfirmasi adanya pneumotoraks adalah foto
rontgen toraks dengan arah sinar frontal dan lateral. Foto saat ekspirasi dan posisi lateral
dekubitus dapat mendeteksi adanya kelainan minimal. Udara akan naik ke bagian atas dari
rongga toraks pada sisi yang terkena, yang tergambarkan sebagai daerah yang hiperlusen serta
bersih dari marker paru. Pneumomediastinum, pneumoperikardium dan emfisema subkutis
dapat menyertai kelainan yang timbul, yang ditandai dengan adanya penumpukan udara
dengan ukuran yang beranekaragam, mengelilingi struktur mediastinum, jantung dan jaringan
subkutan. CT scan toraks sangat berguna dalam melihat adanya bula dan bleb pada pasien
yang menderita pneumotoraks berulang serta sebagai pemeriksaan tambahan untuk
mendeteksi adanya kumpulan udara ketika foto rontgen tidak dapat membacanya dengan jelas.
Peningkatan gradient oksigen arterial-alveolar dan desaturasi hemoglobin dapat
dideteksi dengan analisa gas darah dan pulse oksimeter. Pada kasus tension pneumotoraks
berat dengan pergeseran dan rotasi jantung dan mediastinal, Elektrokardiogram dapat
menunjukkan adanya pelebaran QRS kompleks dan aksis jantung.
Pada pasien yang tidak sadar, baik dengan menggunakan sedasi ataupun ventilasi
mekanik, menifestasi klinis pneumotoraks dapat berupa penurunan mendadak dari oksigenasi
arterial, retensi karbondioksida dan perubahan irama pernapasan dan mekanisme pernapasan.
518
Penumotoraks dapat dibingungkan dengan kista paru seperti empisema lobar congenital
atau malformasi kistik adenomatoid dan hernia diagfragmatika, pada masa neonatus. Pada
anak yang lebih besar, diagnosis differensial dari pneumotoraks termasuk pleuritis, asma, dan
nyeri jantung atau psikogenik.
7.19.4 Manajemen
Tatalaksana dari kelainan ini bergantung pada tipe, ukuran, manifestasi klinis, serta penyakit
yang menyertainya. Ukuran pneumotoraks ditentukan berdasarkan jarak antara apeks paru
dengan kubah ipsilateral rongga toraks, seperti yang terlihat pada rontgen toraks posisi tegak.
Dikatakan pneumotoraks minimal bila jaraknya adalah < 3 cm dan besar bila jaraknya > 3 cm.
Pada kelainan yang minimal biasanya tidak membutuhkan adanya intervensi dan pasien
cukup diobservasi kecuali menetapnya udara yang terkumpul. Tidak dibutuhkan adanya
tindakan yang lebih jauh lagi bila pada pemeriksaan foto rontgen menunjukkan hasil yang sama
dalam 24 jam. Pada pneumotoraks yang luas, dibutuhkan tatalaksana rawat inap.
Tatalaksana dari kelainan ini termasuk evakuasi udara dari rongga pleura dan menutup
kebocoran yang terjadi. Keadaan dengan kelainan minimal sampai sedang, pada anak yang
tampak normal akan beresolusi secara spontan dalam waktu kurang lebih 1 minggu.
Pada keadaan dimana udara yang terjebak memiliki volume yang cukup besar dan
pasien mengalami kesulitan bernapas, dibutuhkan penusukan selang torakostomi dan
pemberian tekanan negatif dengan menggunakan suction (-20 cmH20). Selang torakostomi
ditusukkan pada garis mid-aksila sela iga 4-5. Paru harus mengalami ekspansi secara lambat
karena ekspansi secara cepat akibat evakuasi udara yang terjebak, dapat menimbulkan
komplikasi baru yaitu udema paru. Pada keadaan pneumotoraks yang cukup luas, akan lebih
baik untuk tidak memberikan tekanan negatif secara terburu-buru namun sebaliknya
membiarkan udara yang terjebak untuk keluar secara perlahan-lahan dan kemudian membaik
secara spontan sebelum suction digunakan.
Suction dapat dipertahankan sampai tidak didapatkannya udara pada rongga toraks.
Suction kemudian dapat dilepaskan namun selang WSD dapat dipertahankan. Jika pada
pemantauan selama 24 jam tidak ditemukan adanya udara lagi, maka selang dapat dilepas. Bila
udara tetap ditemukan, maka hal tersebut merupakan tanda adanya kerusakan permukaan
lapisan pleura, perenkim paru atau fistula bronkopleura yang membutuhkan tindakan operasi.
Bula dan blep dapat dilihat dengan menggunakan torakoskopi. Torakoskopi juga dapat
berperan pada tindakan pleurodesis. Visualisasi secara langsung lebih dipilih pada penggunaan
agen sklerosing, via selang torakostomi, untuk lebih mengontrol luasnya proses pleurodesis.
Proses tersebut dilaporkan memberikan hasil yang baik walaupun pada anak masih terbatas
penggunaanya. Bahan kimia yang digunakan di pleurodesis antara lain larutan glukosa
hipertonik (30-50%), tetracyclin, quinakrin, bubuk talcum dan perak nitrat.
Pemberian oksigen tekanan tinggi dapat diberikan pada bayi untuk menurunkan jumlah
nitrogen di darah dan menciptakan perbedaan tekanan antara udara di rongga pleura dan
kapiler pleura untuk merangsang timbulnya resorbsi.
7.19.5 Prognosis
Pneumotoraks spontan primer memiliki angka rekurensi sebanyak 30%, yang paling banyak
timbul pada 6 bulan sampai 2 tahun setelah episode pertama. Adanya kelainan pulmonar
fibrosis yang ditemukan pada pemeriksaan radiologis, habitus astenikus, riwayat merokok dan
usia muda dilaporkan menjadi faktor risiko timbulnya kekambuhan pneumotoraks.
519
Daftar pustaka
1. Panitch HB, Papastamelos C, Schidlow DV. Abnormalities of the Pleural Space. Dalam: Taussig LM,
Landau LI, penyunting. Pediatric Respiratory Medicine. St Louis: Mosby; 1999. h. 1178-96.
2. Winnie GB. Pneumothorax. Dalam: Kliegman RM, Behrman RE, Jenson HB, Stanton BF. Nelson
textbook of pediatric. Edisi ke-18. Philadelphia: Saunders elsevier; 2007. h.1835-37.
3. Posner K, Needleman JP. Pneumothorax. Pediatric In Review 2008;29:69-70.
520
8
Prosedur tindakan pada penyakit
respiratori
Mardjanis Said, Ridwan Daulay,
Roni Naning, Dwi Wastoro D
8.1 Prosedur diagnostik
521
Parameter yang sering digunakan adalah volume (V), kapasitas (capacity, C), aliran
udara (flow, F), tahanan paru (resistance), dan komplians paru (compliance). Sebagian besar
parameter tersebut dapat diukur dengan spirometer, kecuali tahanan dan komplians paru.
Selain itu, dengan spirometer juga dapat dihitung berbagai indeks atau konstanta serta grafik
spirometri yang sangat berguna untuk mempertajam diagnosis kelainan pernapasan.
Pelaksanaan uji paru pada anak memang tidak mudah, hal ini dikarenakan:
1. Umumnya anak tidak kooperatif,
2. Alat uji fungsi yang umum dipakai sekarang memerlukan manuver yang cukup kompleks
dan tidak dapat dilakukan pada anak yang sakit berat.
3. Belum ada nilai baku nasional untuk uji fungsi paru anak.
Dalam melaksanakan uji fungsi paru diperlukan manuver baku yang sesuai dengan
tujuan pemeriksaan. Dalam melakukan manuver fungsi paru, keberhasilan sangat bergantung
pada kerjasama penderita. Untuk mendapatkan hasil pemeriksaan yang optimal, penderita
harus benar-benar mengerti dan dapat menjalankan instruksi yang diberikan oleh instruktor.
Apakah manuver dijalankan dengan baik atau tidak, dapat diketahui dengan mengamati
gerakan pasien dan kurva yang dihasilkannya. Melalui pendekatan yang baik, dilaporkan bahwa
75–82,6% pemeriksaan spirometri pada anak prasekolah dapat diterima dan reprodusibel
Untuk kebutuhan diagnosis klinis, ada tiga macam spirometri yang digunakan, yaitu:
1) Kapasitas Vital (KV)
2) Kapasitas Vital Paksa (KVP)
522
3) Maximal Voluntary Ventilation (MVV)
523
1. Manuver kapasitas vital (KV)
Manuver ini terutama bertujuan mengukur volume dan kapasitas paru, seperti volume tidal,
volume cadangan ekspirasi, volume cadangan inspirasi, dan kapasitas vital. Volume residual
merupakan satu-satunya volume yang tidak dapat diukur oleh spirometri. Manuver KV terdiri
dari beberapa manuver yang harus dilakukan sesuai urutan dan berkesinambungan, mulai dari
manuver volume tidal (Tidal Volume= TV), volume cadangan ekspirasi (expiratory reserve
volume = ERV), volume cadangan inspirasi (inspiratory reserve volume= IRV), dan kemudian
manuver kapasitas vital.
Manuver volume tidal harus dilakukan secara hati-hati mengingat manuver ini
merupakan inti dari pemeriksaan ini. Pergerakan dasar dimulai dari inspirasi dan ekspirasi
senatural mungkin dengan ritme yang teratur dan kedalaman napas yang sama. Setelah itu
baru dilanjutkan dengan manuver-manuver selanjutnya.
524
Volume Cadangan Ekspirasi (Expiratory Reserve Volume = ERV) adalah volume udara yang
dikeluarkan sejak posisi akhir ekspirasi pada TV hingga posisi akhir ekspirasi maksimal.
Volume Tidal (Tidal Volume = TV) adalah volume udara yang terhisap sejak posisi netral
(akhir ekspirasi) hingga posisi akhir inspirasi.
Ventilasi permenit (Minute Ventilation = MV) adalah jumlah udara yang dihisap dalam
tempo satu menit; merupakan hasil perkalian nilai TV dengan frekuensi napas dalam satu
menit.
0 1 2 3
Waktu (detik)
525
Laju (Liter/menit)
4.0
3.0
2.0
1.0 PFR
0 1 2 3 4
Gambar 8.1.4 Kurva flow-volume.
Sumber: Wirjodiardjo M, Boediman I. Uji fungsi paru. Dalam: Penanganan asma pada anak, Jakarta: FKUI-RSCM, 1994.
C. Aliran udara
Satuan: Liter/menit atau Liter/detik
PEF : peak expiratory flow; arus puncak ekspirasi atau PFR (peak flow rate);
rasio arus puncak.
V75 : deras arus ekspirasi pada volume paru 75% dari FVC
V50 : deras arus ekspirasi pada volume paru 50% dari FVC
V25 : deras arus ekspirasi pada volume paru 25% dari FVC
V10 : deras arus ekspirasi pada volume paru 10% dari FVC
526
MMEF 25-75%: maximum mid expiratory flow (rata-rata deras aliran udara ekspirasi)
pada volume paru antara 50% dan 75% terhadap FVC.
MMEF 50-75%: maximum mid expiratory flow (rata-rata deras aliran udara ekspirasi)
pada volume paru antara 50% dan 75% terhadap FVC.
AB AB
Curva Score (CS) = ----- x 100 Curva Score (CS) = ----- x 100
AC AC
Flow (L/min)
I
OF
VI =
PQ
A
B S
P Q
Gambar 8.1.5 Skor kurva; perhitungan derajat
kecekungan kurva.
D Sumber: Wirjodiardjo M, Boediman I. Uji fungsi paru.
Dalam: Penanganan asma pada anak, Jakarta: FKUI-RSCM,
C E 1994
O V. 75 V. 50 V.25 F
FVC
OI = ---------
AB
Nilai OI yang normal adalah antara 2 dan 3. Jika nilai OI lebih besar dari 3 berarti ada kelainan
obstruktif, sedangkan jika nilai OI lebih kecil dari 2 berarti ada kelainan restriktif (seperti terlihat
pada gambar 8.1.6).
527
100 100 100
Flow Flow Flow
A A B A B
50 B 50 50
C D C D
C D Volume
Volume Volume
528
Gambar 8.1.7 Diagram spirometri normal
Sumber: Barreiro TJ, Perillo I. An approach to interesting spirometry. Am Fam Physician 2004;69:1107−14.
529
Interpretasi hasil uji fungsi paru
Untuk menilai fungsi paru secara kuantitatif, parameter yang diukur dapat dianalisis
berdasarkan hal berikut:
1. Membandingkan hasil pengukuran terhadap suatu nilai baku.
2. Menentukan suatu indeks atau rasio dengan jalan membandingkan suatu parameter dengan
parameter lain dari orang yang sama.
Dari aspek mekanika pernapasan terdapat dua macam gangguan ventilasi, yaitu
gangguan yang bersifat obstruktif dan gangguan yang bersifat restriktif. Gangguan
obstruktif atau gangguan yang menyebabkan terhalangnya kelancaran arus udara (air flow)
yang masuk atau keluar paru, pada umumnya kelainan terletak pada saluran respiratorik.
Gangguan restriktif, yang menyebabkan berkurangnya volume paru (lung volume), kelainan
umumnya terletak di luar saluran respiratorik.
Beberapa penyakit dapat menimbulkan gangguan obstruktif dan restriktif secara
bersamaan. Selain itu, gangguan ventilasi dapat berupa gangguan terhadap upaya inspirasi,
upaya ekspirasi, atau keduanya.
Manifestasi klinis gangguan ventilasi beraneka ragam, tetapi yang sering ditemukan
antara lain yaitu perubahan (peningkatan atau penurunan) upaya pernapasan (respiratory
effort), dinamika pernapasan (bentuk dan gerak dinding dada/perut, retraksi, gerakan kontraksi
otot respiratorik), perubahan irama pernapasan (frekuensi napas, inspiratory time, expiratory
time), bunyi napas (wheezing, stridor, grunting) termasuk suara (tangis, bicara) yang tidak
wajar.
530
Hasil
Tidak
FEV1/FVC < 70% ? Pindah ke algoritme *
Ya
Ya
FEV1 > 80% standar ? Obstruksi borderline
Tidak
Ya Obstruksi sedang
FEV1 > 60% standar?
Tidak
Tidak
Obstruksi berat
Tidak
Ya
FVC > 50% standar ? restriksi sedang
Tidak
restriksi berat
Dengan mendapat data kelainan restriktif atau obstruktif, maka penyakit respiratorik
pada anak dapat ditentukan berdasarkan data-data klinis dan penunjang. Kelainan obstruktif
yang paling sering menimbulkan keluhan batuk kronik sehingga memerlukan pemeriksaan
spirometri adalah asma. Selain asma, terdapat berbagai penyakit yang menyebabkan kelainan
obstruktif di saluran respiratorik-atas maupun bawah. (Tabel 8.1.1 dan 8.1.2)
531
Tabel 8.1.1 Kelainan saluran respiratori-atas yang menyebabkan gangguan obstruktif
Pada bayi
1. Anomali : koana, epiglotis, laring, trakea, pita suara.
2. Aspirasi : mekonium.
Pada anak
1. Aspirasi : benda asing.
2. Infeksi : laringitis, epiglotitis, abses retrofaring.
3. Tumor : hemangioma, papiloma, hipertrofi tonsil, dan adenoid.
4. Alergi atau refleks : laringospasmus, tetani, iritasi.
Pada bayi
1. Anomali : stenosis, malasia, emfisema lobaris.
2. Aspirasi : fistula trakeoesofagus.
3. Infeksi : bronkiolitis, pertusis.
Pada anak
1. Aspirasi : benda asing, tenggelam.
2. Infeksi : pneumonia, tuberkulosis.
3. Tumor : kista bronkogenik, teratoma.
4. Alergi atau refleks : bronkospasme.
Kelainan parenkim paru yang dapat memberikan gambaran restriktif pada spirometri
adalah hipoplasia, kista, sekuestrasi paru, atelektasis, pneumonia, fibrosis kistik, efusi pleura,
pneumatosel, TB milier, pneumotoraks, atau penyakit paru lain seperti perdarahan, edema,
lobektomi, hemosiderosis, skleroderma, sarkoidosis, serta hepato-pulmonary syndrome. Bila
paru normal, maka kelainan pada dinding toraks yang menyebabkan gangguan pengembangan
volume paru secara optimal juga dapat menyebabkan gambaran restriktif, misalnya amiotonia,
polio, hernia diafragmatika, miastenia gravis, distrofi otot, malformasi tulang (kifoskoliosis,
hemivertebra, cacat iga), serta desakan dari rongga abdomen (distensi abdomen,
hepatosplenomegali, dan flail chest).
Bayi memiliki fungsi elastisitas dinding dada yang tinggi terhadap pengembangan parunya, bila
dibandingkan dengan paru dalam keadaan istirahat. Jika dibandingkan dengan orang dewasa,
yang memiliki FRC +50% dari TLC pada posisi berdiri dan + 30–40% pada posisi berbaring,
maka nilai FRC bayi pada posisi berbaring hanya sekitar 10% dari TLC.
Ada dua cara pendekatan dalam pengukuran FRC pada bayi, yaitu:
- Metode gas dilution
- Body plethysmography (Gambar 8.1.10).
532
Gambar 8.1.10 Plethysmography.
Tekanan di dalam mulut dianggap sama dengan tekanan di dalam paru.
Sumber: Jefferies A, Turley A. Ventilation and gas exchange. In: Jefferies A, Turley A. Mosby‘s crash course. Respiratory system.
London: Elsevier Science Limited, 2002;3:34.
533
8.1.2.2 Cara melakukan
Uji intradermal Mantoux
Uji tuberkulin cara Mantoux dilakukan dengan menyuntikkan 0,1 ml PPD RT-23 2TU atau PPD S
5TU, secara intrakutan di bagian volar lengan bawah. Pembacaan dilakukan 48−72 jam setelah
penyuntikan. Pengukuran dilakukan terhadap indurasi yang timbul, bukan hiperemi atau
eritemanya. Indurasi diperiksa dengan cara palpasi untuk menentukan tepi indurasi, ditandai
dengan alat tulis, kemudian diameter transversal indurasi diukur dengan alat pengukur
transparan, dan hasilnya dinyatakan dalam milimeter. Jika tidak timbul indurasi sama sekali,
hasilnya dilaporkan sebagai 0 mm, jangan hanya dilaporkan sebagai negatif (lihat lampiran
gambar). Selain ukuran indurasi, perlu dinilai tebal tipisnya indurasi dan perlu dicatat jika
ditemukan vesikel hingga bula.
534
Gambar 8.1.12 Uji tuberkulin cara Tine.
Cara scarification
Tuberkulin diteteskan sebanyak dua tetes pada kulit lengan bagian fleksor dengan jarak antar
keduanya sepanjang 5 cm. Dibuat 1 goresan di atasnya serta 1 goresan lagi untuk kontrol. Uji
dikatakan positif apabila goresan tuberkulin terjadi peradangan.
535
8.1.2.4 Interpretasi
Secara umum, hasil uji tuberkulin dengan diameter indurasi ≥10 mm dinyatakan positif tanpa
menghiraukan penyebabnya. Hasil positif ini sebagian besar disebabkan oleh infeksi TB alamiah,
tetapi masih mungkin disebabkan oleh imunisasi Bacille Calmette-Guerin (BCG) atau infeksi M.
atipik. Bacille Calmette-Guerin merupakan infeksi TB buatan dengan kuman M. bovis yang
dilemahkan, sehingga kemampuannya dalam menyebabkan reaksi tuberkulin menjadi positif
tidak sekuat infeksi alamiah. Pengaruh BCG terhadap reaksi positif tuberkulin secara bertahap
akan semakin berkurang dengan berjalannya waktu, dan paling lama berlangsung hingga 5
tahun setelah penyuntikan.
Pada anak balita yang telah mendapat BCG bila didapatkan hasil dengan diameter
indurasi 10−15 mm dinyatakan uji tuberkulin positif. Hal tersebut kemungkinan besar karena
infeksi TB alamiah, namun masih terdapat kemungkinan disebabkan oleh Imunisasi BCG. Akan
tetapi, bila ukuran indurasi ≥15 mm, hasil positif ini sangat mungkin karena infeksi TB alamiah.
Jika membaca hasil tuberkulin pada anak berusia lebih dari 5 tahun, faktor BCG dapat
diabaikan.
Apabila diameter indurasi 0−4 mm, dinyatakan uji tuberkulin negatif. Diameter 5−9 mm
dinyatakan positif meragukan. Hal ini dapat disebabkan oleh kesalahan teknis (trauma dan lain-
lain), keadaan anergi, atau reaksi silang dengan M. atipik. Bila mendapatkan hasil yang
meragukan, uji tuberkulin dapat diulang. Untuk menghindari efek booster tuberkulin, uji
tuberculin ulangan dilakukan 2 minggu kemudian dan penyuntikan dilakukan di lokasi yang lain
dengan minimal berjarak 2 cm.
Pada keadaan tertentu, yaitu tertekannya sistem imun (imunokompromais), maka cut
off-point hasil positif yang digunakan adalah ≥5 mm. Keadaan imunokompromais ini dapat
dijumpai pada pasien dengan gizi buruk, infeksi HIV, keganasan, morbili, pertusis, varisela, atau
pasien-pasien yang mendapat imunosupresan jangka panjang (≥2 minggu). Pada anak yang
mengalami kontak erat dengan pasien TB dewasa aktif disertai BTA positif, juga digunakan
batas ≥5 mm. Uji tuberkulin sebaiknya tidak dilakukan dalam kurun waktu 6 minggu setelah
imunisasi morbili; measles, mumps, rubella (MMR); dan varisela, karena dapat terjadi anergi
(negatif palsu karena terganggunya reaksi tuberkulin).
Pada reaksi uji tuberkulin dapat terjadi reaksi lokal yang cukup kuat bagi individu
tertentu dengan derajat sensitivitas yang tinggi, berupa vesikel, bula, hingga ulkus di tempat
suntikan. Juga pernah dilaporkan terjadinya limfangitis, limfadenopati regional, konjungtivitis
fliktenularis, bahkan efusi pleura, yang dapat disertai demam, walaupun jarang terjadi.
Uji tuberkulin positif dapat dijumpai pada tiga keadaan sebagai berikut:
1. Infeksi TB alamiah
a. infeksi TB tanpa sakit TB (infeksi TB laten)
b. infeksi TB dan sakit TB
c. TB yang telah sembuh.
2. Imunisasi BCG (infeksi TB buatan).
3. Infeksi mikobakterium atipik.
536
keadaan yang dapat menimbulkan anergi, misalnya gizi buruk, keganasan, penggunaan steroid
jangka panjang, sitostatika, penyakit morbili, pertusis, varisela, influenza, TB yang berat, serta
pemberian vaksinasi dengan vaksin virus hidup. Yang dimaksud dengan influenza adalah infeksi
oleh virus influenza, bukan batuk-pilek-panas biasa, yang umumnya disebabkan oleh rhinovirus
dan disebut sebagai selesma (common cold).
Meskipun demikian, pada keadaan-keadaan di atas, uji tuberkulin dapat positif, sehingga
pada pasien-pasien dengan dugaan anergi tetap dilakukan uji tuberkulin jika dicurigai TB. Uji
tuberkulin positif palsu juga dapat ditemukan pada keadaan penyuntikan dan interpretasi yang
salah, demikian juga dengan negatif palsu, di samping penyimpanan tuberkulin yang tidak baik
sehingga potensinya menurun.
8.1.3.1 Indikasi
A. Untuk diagnostik
Dengan dilakukannya pungsi pleura dapat dipastikan adanya cairan atau udara dalam rongga
pleura.
1. Cairan dalam rongga pleura, jenisnya adalah sebagai berikut.
a. Hidrotoraks
o transudat (serotoraks)
o kilus (kilotoraks)
o eksudat (empiema)
b. Hematotoraks: darah
Selanjutnya dari cairan itu dapat dilakukan pemeriksaan sitologis, mikrobiologis, dan
kimia.
2. Udara dalam rongga pleura (pneumotoraks)
B. Untuk terapi
Pungsi pleura dapat mengurangi gejala penekanan/kompresi pada paru, selain itu dapat juga
untuk memasukkan obat, misalnya antibiotik.
8.1.3.2 Kontraindikasi
Kontraindikasi mutlak tidak ada, tetapi terdapat beberapa kontraindikasi relatif untuk
dipertimbangkan, yaitu:
1. Keadaan umum yang tidak baik seperti syok.
2. Henti jantung, dehidrasi berat, koma, dan lain-lain.
3. Kelainan darah seperti hemofili, anemia berat, trombositopeni berat, kelainan
pembekuan darah, dan lain-lain.
537
8.1.3.3 Persiapan
a. Pasien
Sebelum memulai tindakan, seorang klinisi harus memberikan penjelasan kepada pasien
tentang apa yang akan dilakukan, tujuan tindakan, serta risiko yang mungkin terjadi.
Selanjutnya adalah menentukan lokasi pungsi dengan cara pemeriksaan fisis dan foto toraks.
Untuk membedakan antara efusi pleura dengan pneumotaraks diperlukan pemeriksaan
fisis yang cermat, karena jenis kelainan akan menentukan lokasi pungsi. Pada efusi pleura,
pungsi dilakukan di tempat yang perkusinya paling pekak (redup). Pada pneumotoraks, pungsi
dilakukan di tempat tertinggi, dan dapat dilakukan di garis aksilaris anterior ataupun posterior.
Setelah pemeriksaan fisis dilakukan foto toraks postero-anterior dengan posisi tegak dan
lateral dekubitus dengan sinar horizontal postero-anterior.
Pungsi bisa dilakukan di garis aksilaris anterior ataupun posterior. Tusukan di garis
aksilaris anterior harus dilakukan di atas tulang iga agar tidak mengenai pembuluh darah dan
saraf interkostal. Bila tusukan dilakukan di garis aksilaris posterior, maka pungsi dilakukan di
bawah tulang iga. Dalam memilih sisi untuk pungsi perlu dipertimbangkan bentuk rongga dada
pasien. Perlu berhati-hati agar jarum pungsi tidak mengenai pembuluh darah dan diafragma.
8.1.3.4 Pelaksanaan
1. Premedikasi pada pasien, terutama bayi dan anak kecil, dengan sedasi yang adekuat.
2. Pasien didudukkan atau dibaringkan dengan kedua lengan terangkat ke atas; pada bayi
dan anak kecil lebih disukai posisi berbaring. Pungsi dilakukan di garis midaksilaris sela
iga 5, 6, atau 7. Pada anak yang lebih besar dan kooperatif, posisi duduk lebih baik.
Pungsi lebih disukai di garis aksilaris posterior sela iga 6, 7, atau 8. Pungsi pada mid-
aksilaris dan posterior lebih disukai karena paling sedikit menimbulkan kerusakan.
3. Tindakan aseptik dan antiseptik daerah pungsi dan sekitarnya.
4. Kain duk steril berlubang diletakkan di atasnya.
5. Anestesi lokal secara infiltrasi
6. Semprit dengan jarum nomor 18−21 (sesuai kebutuhan) ditusukkan tegak lurus dinding
toraks, sehingga adanya tahanan tidak terasa lagi (lebih kurang 1−2 cm). Posisi semprit
dalam keadaan siap menghisap, sehingga bila jarum telah mencapai rongga pleura,
cairan/udara dalam rongga segera terhisap dengan sendirinya.
7. Apabila cairan yang keluar purulen, maka jarum dapat diganti dengan jarum yang lebih
besar agar cairan lebih mudah keluar. Kemudian dihubungkan dengan keran tiga arah
dan selang penghubungnya.
8. Bila tujuan pungsi semata-mata untuk diagnostik, maka semprit diganti, jarum tetap.
Cairan yang didapat kemudian diperiksa.
9. Bila tujuannya adalah untuk diagnostik dan terapetik, maka dipasang keran tiga arah
dan selang penghubungnya untuk dapat mengeluarkan cairan sebanyak-banyaknya.
10. Tampung cairan yang didapat secukupnya dalam botol steril, periksa di laboratorium.
538
11. Bekas tusukan dirawat dan ditutup dengan kasa steril.
8.1.3.6 Komplikasi
1. Pneumotoraks
2. Hematotoraks
3. Infeksi
8.1.4 Bronkoskopi
Bronkoskopi merupakan prosedur pemeriksaan paru dengan melihat langsung saluran
respiratorik melalui alat bronkoskop. Tujuannya adalah sebagai sarana diagnostik (melihat
bentuk-bentuk space occupying lessions (SOL) seperti tumor, benda asing, penyempitan, dan
lain-lain; sekaligus untuk melakukan biopsi jaringan) dan terapeutik (pengambilan benda asing).
8.1.4.1 Indikasi
Sebagai tindakan darurat mengaspirasi benda asing, terutama benda asing organik.
Sebagai sarana efektif untuk menilai keadaan saluran respiratorik atas dan bawah
8.1.4.2 Kontraindikasi
Kontraindikasi mutlak tidak ada, tetapi kontraindikasi relatif dapat dipertimbangkan pada
keadaan-keadaan di mana keadaan umum penderita buruk, gagal jantung, koma, serangan
asma, dan lain-lain. Sebagaimana tindakan invasif lainnya, komplikasi yang mungkin timbul dari
tindakan bronkoskopi adalah perdarahan, perforasi, refleks vagal, edema, dan peradangan.
Fleksibel/lentur
Dibuat dari bahan serat optik yang halus dan lentur, sehingga dapat melihat hingga ke
bronkiolus. Kekurangannya adalah diameternya kecil, sehingga membatasi ruang gerak
tindakan. Tindakan terpaksa dilakukan dengan cepat dan berulang-ulang.
539
8.1.4.4 Persiapan
Sebelum memulai tindakan, seorang klinisi harus memberikan penjelasan kepada pasien
tentang apa yang akan dilakukan, tujuan tindakan, serta risiko yang mungkin terjadi.
Diperlukan izin tertulis dari orang tua/wali.
Pemeriksaan penunjang yang diperlukan adalah pemeriksaan analisis gas darah
(AGD) dan kadar elektrolit. Pasien puasa minimal 6 jam sebelum dilakukan tindakan.
Medikamentosa yang diberikan adalah sedatif untuk menenangkan pasien, dan
atropin sulfat untuk menekan refleks vagal dan mengurangi sekresi. Penggunaan anastesi
lokal diperbolehkan untuk anak yang cukup besar, untuk anak yang lebih kecil diberikan
anastesi umum. Cara pemberian anastesi lokal adalah dengan inhalasi lidokain 4% hingga pita
suara terbuka.
Keuntungan penggunaan anestesi inhalasi lidokain adalah mempermudah dalam
melakukan tindakan, menilai gerakan bronkus dan saluran respiratorik, serta tidak memerlukan
tindakan khusus pascatindakan.
540
8.1.5.2 Prosedur
1. Berikan kepercayaan diri pada anak dengan menjelaskan padanya (dan pada keluarga)
tujuan pengumpulan sputum.
2. Instruksikan anak untuk mencuci mulut dengan air (berkumur) sebelum mengeluarkan
sputum. Hal ini akan membantu membersihkan mulut dari makanan dan bakteri
kontaminan.
3. Instruksikan anak untuk mengambil napas dalam sebanyak dua kali, dan tahan napas
beberapa detik setiap sesudah menarik napas dalam, setelah itu hembuskan napas
perlahan-lahan. Minta anak bernapas untuk ketiga kalinya, dan lalu hembuskan napas kuat-
kuat. Mintakan anak untuk bernapas lagi, dan lalu batuk. Tindakan ini dapat mengeluarkan
sputum yang berada jauh di dalam paru.
4. Mintakan anak untuk memegang pot sputum dekat dengan bibir dan meludahlah ke dalam
wadah (pot sputum yang bermulut lebar, berpenampang 6 cm atau lebih dengan tutup
berulir, tidak mudah pecah dan tidak bocor) setelah batuk produktif. Tutup pot dengan erat.
Petugas harus mencuci tangan dengan sabun dan air.
5. Jika jumlah sputum tidak mencukupi, semangati anak untuk batuk kembali sampai diperoleh
jumlah sputum yang mencukupi. Ingatlah bahwa banyak pasien tidak dapat mengeluarkan
sputum dari saluran respiratorik hanya dalam beberapa menit. Berikan waktu pada anak
untuk mengeluarkan sputum yang dirasanya cukup untuk mengeluarkan sputum dengan
batuk yang dalam.
6. Jika tidak ada ekspektorasi, pot sputum dianggap sudah terpakai dan harus dimusnahkan
untuk menghindari kemungkinan terjadinya kontaminasi kuman TB.
Bila seseorang sulit mengeluarkan sputum, dapat dilakukan hal-hal sebagai berikut:
Di rumah: malam hari sebelum tidur, minum satu gelas teh manis atau menelan tablet
gliseril guayakolat 200 mg.
Di tempat pelayanan kesehatan: melakukan olah raga ringan (lari-lari kecil) kemudian
menarik napas dalam, beberapa kali. Bila terasa akan batuk, napas ditahan selama
mungkin lalu disuruh batuk.
541
sehingga hasil hapusan dan kultur yang negatif tidak pernah menyingkirkan diagnosis TB pada
anak.
Bilasan lambung dikumpulkan dari anak kecil yang diduga mengalami TB pulmoner.
Selama tidur, sistem mukosilier paru mendorong mukus naik menuju kerongkongan. Mukus
ditelan dan bertahan di dalam lambung hingga lambung kosong. Oleh karena itu, spesimen
yang paling tinggi kemungkinan positifnya adalah yang diperoleh pertama kali di pagi hari.
Bilasan lambung di pagi hari selama 3 hari berturut-turut perlu dilakukan pada setiap
pasien. Dipilih tiga kali karena jumlah ini tampaknya dapat memaksimalkan diperolehnya hasil
hapusan positif. Sebagai catatan, hasil bilasan lambung yang pertama memiliki kemungkinan
positif paling tinggi.
Pemeriksaan ini biasanya memerlukan dua orang (satu orang melakukan pemeriksaan
dan satunya lagi sebagai asisten). Anak puasa setidaknya 4 jam (3 jam pada bayi), dan anak
dengan hitung trombosit yang rendah atau mudah berdarah tidak boleh mengikuti prosedur ini.
8.1.6.2 Prosedur
Prosedur dapat dilakukan pada pagi hari ketika anak bangun, di samping tempat tidur atau di
ruangan tindakan di bangsal (jika memungkinkan), atau sebagai pasien rawat jalan. Anak harus
puasa setidaknya selama 4 jam (3 jam pada bayi) sebelum melakukan prosedur.
1. Temukan seorang asisten untuk membantu.
2. Siapkan semua perlengkapan sebelum memulai prosedur.
3. Posisikan anak pada punggung atau sisi sampingnya. Asisten harus membantu
memegang anak.
4. Ukur jarak antara hidung dan lambung, untuk memperkirakan jarak yang diperlukan untuk
memasukkan selang ke dalam lambung.
5. Pasang spuit pada selang nasogastrik.
6. Dengan hati-hati masukkan selang nasogastrik ke dalam hidung dan diteruskan ke lambung.
7. Keluarkan (aspirasi) isi lambung (2–5 ml) dengan menggunakan spuit yang terpasang pada
selang nasogastrik.
8. Untuk memeriksa posisi selang apakah tepat atau tidak, tes isi lambung dengan kertas
lakmus: biru akan berubah menjadi merah (sebagai respons terhadap isi lambung yang
bersifat asam). Dapat pula diperiksa dengan cara mendorong udara (misalnya 3–5 ml) dari
dalam spuit ke dalam lambung dan dengarkan suaranya melalui stetoskop yang ditempelkan
di atas perut bagian lambung.
9. Jika tidak ada cairan yang teraspirasi, masukkan 5–10 ml air steril atau larutan fisiologis dan
coba untuk mengaspirasi kembali. Jika tetap tidak berhasil, coba lagi (meskipun selang
nasogastrik berada dalam posisi yang tidak tepat dan air atau normal saline masuk ke
542
dalam saluran respiratorik, risiko terjadinya efek samping tetap saja kecil). Jangan ulangi
prosedur lebih dari tiga kali.
10. Keluarkan isi lambung (idealnya minimal 5–10 ml).
11. Pindahkan cairan lambung dari spuit ke dalam wadah steril.
12. Tambahkan larutan natrium bikarbonat dengan jumlah yang sama ke dalam spesimen
(dengan tujuan menetralisasi keasaman isi lambung sehingga mencegah kerusakan tuberkel
basilus).
8.1.6.4 Keamanan
Bilasan lambung biasanya bukan merupakan prosedur yang menghasilkan aerosol. Sebagai
anak kecil yang risiko terkena penyakit menular rendah, bilasan lambung dapat dianggap
sebagai prosedur dengan risiko transmisi TB rendah dan dapat dilakukan dengan aman di
samping tempat tidur anak atau di ruangan tindakan.
543
8.1.7.2 Prosedur
1. Berikan bronkodilator (misalnya salbutamol) untuk menurunkan risiko wheezing.
2. Berikan nebulisasi larutan hipertonik (3% NaCl) selama 15 menit atau hingga 5 cm3 larutan
telah diberikan.
3. Berikan fisioterapi jika diperlukan; hal ini berguna untuk memobilisasikan sekret.
4. Untuk anak yang lebih besar yang sudah dapat mengeluarkan sputum, ikuti prosedur
seperti yang telah dijelaskan di atas untuk mengumpulkan sputum.
5. Untuk anak yang tidak dapat mengeluarkan sputum (misalnya anak kecil), dapat dilakukan:
(i) penghisapan saluran hidung untuk mengeluarkan sekret hidung, atau (ii) aspirasi
nasofaring untuk mengumpulkan spesimen yang diperlukan.
Setiap perlengkapan yang akan digunakan kembali, harus didisinfeksi dan disterilisasi sebelum
digunakan oleh pasien lain.
544
Idealnya, sampel dikirim ke bagian sitologi dan mikrobiologi untuk dilakukan
pemeriksaan sitologi dan PCR, tetapi bila tidak memungkinkan, lebih diprioritaskan pemeriksaan
sitologi.
Sediaan untuk PCR harus ditangani seperti pemeriksaan bakteriologik yang lain. Sediaan
harus disimpan di tempat steril dan dikirim ke laboratorium mikrobiologi dalam waktu 24 jam.
545
8.1.9.2 Prosedur
Mempersiapkan alat dan bahan: jarum steril (lancet), skin prick test kit (larutan alergen,
kontrol positif dan negatif), tissue, kapas, penggaris, pena, adrenalin, spuit injeksi 1 cc. Skin
Prick Test dilakukan pada bagian volar lengan bawah. Setelah didesinfeksi dengan alkohol pada
area volar, tandai area yang akan ditetesi ekstrak alergen dengan menggunakan jarum ukuran
26½ G, 27 G atau blood lancet. Sebagai kontrol positif digunakan histamin 1% dan sebagai
kontrol negatif, untuk menyingkirkan kemungkinan reaksi dermografisme akibat trauma jarum,
digunakan pelarut gliserin.
Prick test dilakukan dengan sudut kemiringan 450 menembus lapisan epidermis dengan
ujung jarum menghadap ke atas tanpa menimbulkan perdarahan. Tindakan ini mengakibatkan
sejumlah alergen memasuki kulit. Tes dibaca setelah 15-20 menit dengan menilai wheal yang
timbul.
B
A .
Pemeriksaan pada Skin Prick Test positif adalah didapatkan wheal yang gatal dikelilingi
dengan eritema di sekitarnya. Reaksi terhadap tes ini terlihat dalam 20 menit, maksimal 30
menit setelah dilakukan Prick Test. Tes dikatakan positif apabila menunjukkan gambaran wheal
sebesar 3 mm lebih besar dibanding dengan kontrol negatif
546
Cara menilai ukuran wheal sebagai berikut :
-0 : reaksi (-)
- 1+ : diameter wheal 1 mm > dari kontrol (-)
- 2+ : diameter wheal 1-3mm dari kontrol (-)
- 3+ : diameter wheal 3-5 mm > dari kontrol (-)
- 4+ : diameter wheal 5 mm > dari kontrol (-) disertai eritema
Hasil skin prick test ini dipengaruhi beberapa hal, antara lain obat-obatan, usia dan kelainan
bawaan lain pada kulit. Obat-obatan yang berpengaruh antara lain histamin, antidepresan
tetrasiklik, beberapa histamin (H2) blocker. Penggunaan antihistamin harus dihentikan minimal
3 hari sebelum tes dilakukan. Makin muda pasien makin rendah reaktivitas alergen tes,
walaupun pada usia yang sama dapat terjadi reaksi yang berbeda. Kelainan kulit yang
berpengaruh antara lain dermatografisme, kulit kering yang luas atau eksim.
Jika hasil tes negatif, namun anamnesis pasien masih dicurigai menderita alergi, maka
tes kulit intradermal dilakukan. Skin prick test mempunyai spesifitas lebih tinggi dibanding tes
intradermal, tetapi sensitivitasnya lebih rendah pada konsentrasi dan potensi yang lebih rendah.
8.1.10.2 Prosedur
Pasien disuruh menghadap sumber cahaya, kemudian disuruh membuka mulut tanpa lidah
menjulur, dan untuk pasien anak yang sudah mengerti disuruh berkata ―ahhh…..‖
Sambil pasien berkata tersebut, 2/3 lidah ditekan dengan alat penekan lidah (tongue
spatel), sehingga terlihat tonsil/faringnya.
Hapuskan atau usapkan lidi kapas steril pada daerah faring dan atau sekitar tonsil yang
terinfeksi tersebut. Lidi kapas jangan menyentuh lidah atau bukal.
Banyaknya yang diambil adalah 2-3 batang lidi kapas yang terisi penuh dengan secret
tenggorokan (pharyngeal swab).
Usapan tersebut dapat disimpan pada suhu kamar maksimum 2 jam, atau segera dikirim ke
laboratorium. Idealnya swab dimasukkan dalam botol media transport Carry & Blair atau
Stuart, dan ini dapat disimpan di lemari biasa, maksimum 3 hari atau dalam lemari es
maksimum 15 hari.
Daftar pustaka
1. Aurora P, Stocks J, Oliver C, Saunders C, Castle R, Chaziparasidis G, dkk. Quality control for
spirometry in preschool children with and without lung disease. Am J Respir Crit Care Med
2004;169:1152-9.
2. Barreiro TJ, Perillo I. An approach to interesting spirometry. Am Fam Physician 2004;69:1107-14.
3. Castile RG. Pulmonary function test in children. Dalam: Chernic V, Boat TF. penyunting. Kendig‘s
disorders of the respiratory tract in children. Edisi ke-7. Philadelphia: WB Saunders Company; 2006.
h. 168-85.
4. Eigen H, Bieler H, Grant D, Christoph K, Terril D, Heilman DK, dkk. Spirometric pulmonary function in
healthy preschool children. Am J Respir Crit Care Med 2001;163:619-23.
5. Gibson GJ. Pulmonary function tests. Dalam: Grassi C, Brambilla C, Costabel U, penyunting.
Pulmonary Diseases. London: McGraw-Hill; 200h. 51-6.
547
6. Hunt GE. Diagnostic procedures at the bedside. Dalam: Fink JB, Hunt GE, penyunting. Clinical
practice in respiratory care. Philadelphia: Lippincott William & Wilkins; 1999. h. 77-111.
7. Stocks J. Pulmonary function test in infant and preschool children. Dalam: Chernic V, Boat TF,
penyunting. Kendig‘s disorders of the respiratory tract in children. Edisi ke-7. Philadelphia: WB
Saunders Company; 2006. h. 129-67.
8. Wirjodiardjo M, Boediman I. Uji fungsi paru. Dalam: Penanganan asma pada anak. Jakarta: FKUI-
RSCM; 1994. h. 1-21.
9. Zanconato S, Meneghelli G, Braga R, Zacchello F, Baraldi E. Office spirometry in primary care
pediatrics: a pilot study. Pediatrics 2005;116:e792-e797.
10. Atkins D, Leung DY. Diagnostic of allergic disease. Dalam: Kliegman RM, Behrman RE, Jenson HB,
Stanton BF, penyunting. Newlson textbook of pediatrics. Edisi ke-18. Philadelphia: Saunders Elsevier;
2007. h. 938-49.
11. Kercsmar CM. Wheezing in older children: Asthma. Dalam: Chernick V, Boat TF, Wilmott RW, Bush A,
penyunting. Kendig‘s disorders of the respiratory tract in children. Edisi ke-7. Philadelphia: WB
Saunders Company; 2006. h. 810-38.
12. Mygind N. Essential allergy. Diagnosis of allergy and hyperreactivity. Oxford: Blackwell scientific;
1986. h. 91-133.
13. Demoli P, Piete V, Bousquet J. Vivomethode for study of alergy. Dalam: Adkinson NF, dkk,
penyunting. Middleton‘s allergy principle and Practice. Edisi ke-6. Mosby 2003.
14. Krouse JH, Marbry RL. Skin testing for Inhalant Allergy 2003 : current strategies. Otolaryngolo Head
and Neck Surgary 2003;129(4):34-9.
548
8.2 Prosedur terapeutik
8.2.1.1 Fisiologi
Perbedaan anatomi jalan napas pada bayi dan anak mempunyai konsekuensi klinik yang
penting. Jalan napas subglotis lebih sempit dan lebih tegang dengan tulang rawan yang kurang
berkembang dari pada orang dewasa. Oleh karena itu jalan napas mudah tersumbat oleh lendir,
darah, edema atau perbedaan tekanan yang timbul pada usaha pernapasan spontan bila
terdapat sumbatan jalan napas atas atau bawah. Penyempitan jalan napas sedikit saja akan
menyebabkan peningkatan tahanan udara dan usaha napas yang nyata. Demikian juga tulang-
tulang iga dan tulang rawan interkostal pada bayi sangat lentur sehingga kurang menyokong
paru. Akibatnya kapasitas fungsional residu sangat berkurang bila usaha napas menghilang
atau menurun. Selain itu, bila ada sumbatan jalan napas inspirasi aktif, akan menyebabkan
gerakan dada yang paradoksal dengan retraksi sternal dan interkostal serta bukan
pengembangan dada dan paru. Dukungan paru yang kurang menyebabkan tidal volume
terganggu sepenuhnya pada gerakan diafragma. Gerakan diafragma juga akan terganggu oleh
tekanan intra torakal yang tinggi (seperti hiperinflaksi paru pada asma) dan distensi perut
pernapasan sehingga otot-otot interkostal tidak dapat mengangkat dinding dada.
Pasien bayi dan anak mempunyai kebutuhan oksigen perkilogram berat badan yang
lebih besar karena tingginya metabolisme pada anak. Bayi membutuhkan Oksigen 6 – 8 ml/kg
per menit sementara pada orang dewasa 3 – 4 ml/kg per menit. Oleh karena itu apnu atau
ventilasi alveolar yang kurang hipoksemia, lebih cepat terjadi pada anak.
Penyakit yang dalam perkembangannya berlanjut ke distres pernapasan atau gagal
napas sehingga timbul keadaan hipoksemia dapat melalui dua mekanisme utama, yaitu:
hipoksemia arterial dan gangguan sistem transpor oksigen-hemoglobin.
Hipoksemia arterial
● tekanan parsial oksigen rendah (pada tempat yang tinggi)
● hipoventilasi alveoli (sleep apnoea, overdosis opiat)
● Ketidak sesuaian ventilasi dan perfusi (asma akut, atelektasis paru)
● pirau kanan ke kiri
549
8.2.1.2 Indikasi terapi oksigen
Rekomendasi pemberian terapi oksigen menurut American College of Chest Physicians and
National Heart Lung and Blood Institute:
● Cardiac - respiratory arrest
● Hipoksemia (PaO2 < 60 mmHg, SaO2 <90%)
● Hipotensi (tekanan darah sistolik <100 mmHg)
● Curah jantung rendah dan asidosis metabolik (bikarbonat <18 mmol/l)
● Distress respirasi
550
Sistem Reservoir
● Sungkup oksigen (simple oxygen mask)
● Sungkup dengan reservoir (partial-rebreathing mask)
● Non-rebreathing mask
551
Kanul oksigen
Kanul nasal sederhana dan nyaman untuk pemakaian jangka panjang. Dapat memberikan
oksigen konsentrasi yang rendah (24-40%), tergantung flow oksigen (1-6 L/menit). Aliran
oksigen lebih dari 4 L per menit akan menyebabkan ketidak nyamanan (iritasi dan dermatitis).
Kateter nasal
Ialah ujung tabung yang dimasukkan kedalam satu lubang hidung sampai ke daerah farings.
Alat ini tidak dianjurkan karena tidak lebih unggul dari kanul oksigen dan dapat menyebabkan
distensi lubang.
552
Tabel 8.2.1 Hubungan antara besar aliran udara (flow) dan konsentrasi O2 inspirasi (FiO2)
Teknik Flow (L/menit) FiO2 Keterangan Komplikasi
pemberian
Sistem low flow
Kanul oksigen 1–6 24 – 40% Memberikan ± FiO2 ↓ jika VE ↑,
4%/L, nyaman, butuh patensi nasal,
baik untuk % kering bila flow
rendah, murah, >4L/menit, mudah
pasien dapat lepas, iritasi
makan & bicara
Kateter nasal 1–6 24 – 45% Sama dengan kanul Sama dengan kanul
oksigen oksigen, ditambah
harus diganti tiap 8
jam, mudah
tersumbat, distensi
abdomen
Sungkup 5 – 10 35 – 50% Memberikan ± Butuh minimal 5
oksigen 4%/L, FiO2 L/menit untuk
bervariasi, menghilangkan CO2
panas/tidak dari masker, iritasi
nyaman, kulit >>, % kurang
mengganggu rendah untuk PPOM
makan/bicara
Partial- 6 – 10 40 – 70% Memberi % tinggi Flow harus cukup
rebreathing sama seperti supaya kantung
mask sungkup oksigen, reservoir > 1/3 – ½
FiO2 bervariasi penuh saat inspirasi
Non- ≥ 10 60 – 80% Sama dengan Sama dengan
rebreathing partial rebreathing partial rebreathing
mask mask mask
Sistem high flow
Sungkup Bervariasi 24 – 50% Konsentrasi O2 Port mudah
venturi tepat, dapat tersumbat
digunakan untuk
pemberian aerosol,
alat pilihan untuk
pasien yang perlu
O2
O2% Rasio O2% Rasio
Udara/O udara/O2
2
24% 25/l 50% 1,7/l
28% 10/1 60% 1/1
30% 8/1 70% 0,6/1
35% 5/1 80% 0,3/1
40% 3/1
Sumber: Oakes DF. Respiratory procedures. Dalam: Oakes Clinical Practitioner's guide to respiratory care.Edisi ke-6. Maine: Health
educator publications,inc;2004.p35-6
553
Gambar 8.2.1. Sungkup oksigen dengan katup venturi (high flow) dan sungkup oksigen biasa (low flow)
Gambar 8.2.2. Sungkup oksigen high flow dan macam-macam katup venturi. Flow oksigen yang
dibutuhkan untuk mendapatkan konsentrasi oksigen yang tetap tercantum pada tiap katup
554
Gambar 8.2.3 Sungkup oksigen
Gambar 8.2.4 Masker non-rebreathing
555
Gambar 8.2.7 Kotak oksigen (Oxygen Hood)
556
Pedoman klinik untuk memberikan terapi oksigen
Bila diputuskan untuk memberikan terapi oksigen, untuk menentukan sistem yang diperlukan,
dua pertanyaan harus diajukan. Pertama apakah cukup dengan sistem aliran rendah atau harus
menggunakan sistem aliran tinggi. Kedua apakah terapi oksigen yang akan diberikan
mengandung konsentrasi oksigen yang rendah atau tinggi. Konsentrasi oksigen rendah adalah
konsentrasi dibawah 35% sedang konsentrasi tinggi adalah konsentrasi lebih dari 50%.
Sungkup oksigen (simple oxygen masks) digunakan jika membutuhkan oksigen tingkat sedang
(0.35-0.50, tergantung ukuran dan minute ventilation) dan untuk jangka pendek (misalnya,
selama tindakan, untuk transpor, keadaan darurat).
Partial rebreathing masks digunakan untuk menghemat suplai oksigen jika konsentrasi tinggi
dibutuhkan (FIO2 >0.4, <0.6) misalnya, selama transpor.
Sungkup dengan sistem venturi memberikan aliran udara (flow) sesuai dengan konsentrasi
oksigen yang dibutuhkan dengan tepat (24% to 40%) yang melebihi flow inspirasi pasien.
557
Analisis gas darah merupakan instrumen penilai terapi oksigen yang paling tepat karena
dapat memberikan informasi yang akurat mengenai pH, PaO2 dan PaCO2. Namun, interprestasi
analisis gas darah harus dilakukan bersama dengan penilaian klinik.
Pulse oximeter merupakan alat nonivasif yang paling baik dalam memantau anak
dengan insufisiensi karena dapat menunjukkan saturasi oksigen secara berkesinambungan.
Pulse oximeter tidak menunjukkan status ventilasi akan tetapi mrnjadi indikator paling awal
gangguan respirasi dan cukup dapat dipercaya pada terapi oksigen.
Pasien:
penilaian klinis, tidak terbatas pada jantung, paru, neurologi dan usaha napas (work of
breathing).
penilaian variabel fisiologis : pengukuran tekanan atau saturasi oksigen secara noninvasif
atau invasif; untuk neonatus dalam 1 jam setelah terapi
Peralatan:
1. Semua sistem peralatan pemberian oksigen harus diperiksa paling tidak satu kali tiap hari
Pemeriksaan yang lebih sering diperlukan pada sistem yang:
a. Konsentrasi oksigen mudah berubah
b. Pasien dengan jalan napas buatan
c. Untuk kotak oksigen diperlukan analisis berkesinambungan
d. Oksigen harus diperiksa sedekat mungkin dengan wajah bayi
2. Semua sistem pemanas harus dimonitor temperaturnya terus-menerus
Potensi bahaya
1. Etiologi retinopathy of prematurity, terutama peran oksigen masih kontroversial. Hati –
hati penggunaan oksigen pada bayi prematur (umur kehamilan <37 minggu). Dianjurkan
pemberian oksigen tidak menyebabkan tekanan oksigen arterial (PaO2) >80 torr.
2. Pemberian oksigen untuk pasien penyakit jantung bawaan tertentu (misalnya,
hypoplastic left-heart, single ventricle) dapat menyebabkan peningkatan tekanan oksigen
alveoli dan mengganggu keseimbangan aliran darah pulmoner dan sistemik.
3. Pemberian oksigen pada pasien keracunan paraquat atau pasien yang mendapat obat
kemoterapi tertentu (misalnya, bleomycin) dapat menyebabkan komplikasi paru
(misalnya,toksisitas oksigen dan fibrosis paru).
4. Stimulasi nervus laringeus superior dapat menyebabkan perubahan pola napas jika aliran
udara dari sumber oksigen dingin dan mengarah pada wajah bayi.
5. Pemilihan functional concentration of delivered oxygen (FDO2) atau flow oksigen yang
tidak tepat dapat menyebabkan hipoksemia atau hiperoksemia.
6. Hiperoksia dapat menyebabkan penurunan aliran darah koroner, terutama pada daerah
558
iskemik pada penderita sindrom koroner akut.
7. Pada gagal jantung kongestif atau infark miokard, hiperoksia dapat menurunkan curah
jantung dan meningkatkan tekanan darah dan tahanan vaskuler sistemik. Perubahan
hemodinamik ini kemudian dapat mengganggu aliran darah dan delivery oksigen pada
jaringan.
8. Bahaya toksisitas pulmoner karena oksigen antara lain atelektasis paru dan proses pro-
inflamasi.
Kontraindikasi
Tidak terdapat kontraindikasi spesifik jika terdapat indikasi pemberian oksigen
Kanul oksigen dan kateter nasal tidak boleh diberikan pada pasien dengan obstruksi nasal
(misalnya, polip nasal, choanal atresia, dll).
Kateter nasal tidak boleh diberikan pada pasien dengan trauma maksilofasial, pasien dengan
atau dicurigai fraktur basis cranii, atau terdapat gangguan koagulasi
Menurut pendapat the Clinical Practice Guideline Steering Committee (2002) ,kateter nasal
tidak cocok bila digunakan pada neonatus
Walaupun masih banyak pendapat, bayi yang diintubasi untuk proteksi jalan napas sebaiknya
dipasang continuous positive airway pressure (CPAP) (misalnya, physiologic continuous
positive airway pressure) dibanding pemberian T-piece karena glottis yang terbuka dapat
menyebabkan hilangnya end-expiratory pressure fisiologis.
8.2.2.1 Indikasi
Beberapa indikasi dilakukannya tindakan pemasangan WSD antara lain:
- Pneumotoraks dan tension pneumothorax
- Hemotoraks
- Empiema
- Fistula bronkopleura
- Efusi pleura yang luas
559
8.2.2.2 Kontraindikasi
- Mutlak: umumnya tidak ada
- Relatif: keadaan umum yang buruk
8.2.2.3 Persiapan
Pasien
Memberi penjelasan pada pasien dan atau orangtuanya tentang prosedur tindakan yang
akan dilakukan, tujuan maupun komplikasi yang mungkin terjadi.
Menentukan lokasi yang akan diinsersi dengan pemeriksaan fisik dan dikonfirmasi
dengan foto toraks. Lokasi dipilih berdasarkan jenis zat yang dikeluarkan.
1. Bila di dalam rongga pleura terdapat udara (pneumotoraks), maka WSD dipasang
di dada bagian antero-superior. Pada anak laki-laki, WSD dipasang di interkostal 2
garis midklavikula. Pada anak perempuan, di interkostal 3 atau 4 garis aksila
anterior. Pada bayi, di interkostal 5 atau 6 garis midaksila.
2. Bila di dalam rongga pleura terdapat cairan, maka WSD dipasang di dada bagian
postero-inferior.
Alat dan bahan
Trokar
Pisau bisturi
Kateter
Botol penampung cairan/udara yang berisi air yang sudah ditambah antiseptik
Sarung tangan steril
Klem
Jarum dan benang untuk memfiksasi kateter di kulit
Lidokain untuk anestesi lokal
Larutan antiseptik (betadin)
8.2.2.6 Komplikasi
1. Perdarahan karena robeknya pembuluh darah.
2. Menembus jaringan paru.
3. Emfisema subkutis.
4. Paralisis diafragma akibat trauma pada nervus frenikus.
561
- prinsip gaya gravitasi, kateter yang dimasukkan jangan terlalu panjang. Kateter yang
terlalu panjang akan menghilangkan prinsip gravitasi, yaitu melingkar di dalam rongga
intrapleura sehingga cairan atau udara tidak akan keluar).
Indikasi
1. Bila WSD tidak berhasil, misalnya pada fistula bronkopleura, efusi pleura yang banyak atau
berulang.
2. Tension pneumothorax, untuk mempercepat pengembangan ulang paru dan
mengembalikan tekanan negatif intrapleura.
Kontraindikasi, persiapan, cara melakukan, pengawasan, dan komplikasinya sama dengan WSD.
Pada anak, fisioterapi dada dapat dilakukan setiap 8-12 jam, bergantung pada
kebutuhan anak. Waktu yang tepat untuk melakukan fisioterapi dada adalah saat pagi hari yaitu
sebelum atau 45 menit sesudah sarapan pagi dan pada malam hari menjelang tidur.
8.2.3.1 Indikasi
Secara umum fisioterapi dada diindikasikan pada semua penyakit yang mengakibatkan
timbulnya sekret yang berlebih sehingga timbul komplikasi akibat akumulasi sekret intrabronkial
dan materi yang teraspirasi. Fisioterapi dada juga dilakukan pada pasien yang mengalami
kegagalan fungsi mukosiliar saluran respiratori dan refleks batuk.
Fisioterapi dada hanya dapat berperan pada kelainan bronkial dan tidak memiliki peran
pada kelainan yang terjadi pada alveolus, interstitial, vaskular dan penyakit yang mengenai
pleura.
563
8.2.3.2 Kontraindikasi
Kelainan dinding dada: Fraktur iga, infeksi, neoplasma, Riketsia.
Tension Pneumothorax
Kelainan yang berhubungan dengan darah: kelainan pembekuan, haemoptisis,
perdarahan intabronkial yang masif)
Aritmia jantung
564
Gambar 8.2.16 Berbagai posisi tubuh untuk mengeluarkan sekret dari berbagai bagian paru.
A B
C D
565
E F
G H
Yang harus diperhatikan saat melakukan drainase postural adalah respon anak saat
tindakan dilakukan. Pada saat timbul tanda-tanda kesulitan bernapas misalnya batuk, sianosis
dan frekuensi napas meningkat, posisikan anak kekeadaan yang nyaman.
Drainase postural tidak dapat digunakan untuk orang yang tidak bisa melakukan posisi
yang diperlukan, sedang dalam pengobatan antikoagulan, muntah darah dalam beberapa hari
terakhir, pernah patah tulang iga atau tulang belakang, dan osteoporosis berat. Drainase
566
postural juga tidak dapat digunakan pada orang yang tidak dapat memproduksi sekret (karena
ketika hal ini terjadi, postural drainage dapat menurunkan kadar oksigen darah).
Perkusi dada
Perkusi dada dilakukan untuk membantu mobilisasi sekret. Perkusi dada merupakan perkusi
manual yang dilakukan dengan telapak tangan yang membentuk seperti ‗cup‘ (merapatkan ibu
jari dan keempat jari lainnnya) (gambar 8.2.8) kemudian secara cepat dilakukan gerakan fleksi
dan ekstensi sendi pergelangan tangan.
Vibrasi dada
Vibrasi dada juga bertujuan untuk memobilisasi sekret. Vibrasi dada dilakukan dengan
meletakkan tangan terapis pada dada pasien kemudian menciptakan getaran dengan
menggunakan tangan tersebut pada saat ekspirasi. Teknik ini dapat dikombinasikan dengan
teknik kompresi dada.
Kompresi dada
Dengan bantuan dari ekspirasi yang dilakukan oleh pasien, kompresi dada dilakukan dengan
tujuan untuk memobilisasi dan transport sekret. Pada orang dewasa, terapis menggunakan
tangannya yang diletakkan pada sternum ataupun tulang iga bagian bawah sebelah lateral.
Pada anak, terapis dapat menggunakan satu ataupun dua tangan pada saat fase ekspirasi.
567
terbuka. Seberapa dalam dan banyaknya sekret yang dapat keluar, bergantung pada volume
udara yang dikeluarkan. Metode ini dilakukan saat pasien berada dalam posisi duduk ataupun
terbalik sesuai gravitasi.
Teknik siklus pernapasan aktif dilakukan dengan urutan: kontrol pernapasan, olahraga
ekspansi toraks, kontrol pernapasan, olahraga ekspansi toraks, kontrol pernapasan, FET (satu
atau dua kali ‗huff‘) dan kontrol pernapasan. Siklus ini dapat dilakukan berulang kali sampai
semua sekret yang berlebih tersebut dapat dikeluarkan.
Teknik
Sungkup yang digunakan adalah sungkup yang sama dengan yang digunakan anestesiolog
yang dihubungkan dengan katup satu arah. Adaptor pipa endotrakeal untuk neonatus
dihubungkan ke katup bagian luar yan berfungsi sebagai resistor ekspirasi. Terdapat
bermacam-macam resistor yang tersedia, bergantung pada variasi individual serta perusahaan
yang membuatnya.
Pasien menjalani terapi dengan posisi duduk di atas kursi dengan siku yang
diistirahatkan pada lengan kursi dan sungkup dipasang sampai menutupi mulut dan hidung
dengan nyaman. Dengan menggunakan pernapasan diagfarma, pasien melakukan inspirasi
dengan volume yang lebih besar daripada volume tidal dan ekspirasi secara aktif. Resistor yang
digunakan, dipilih berdasarkan masing-masing individu untuk menciptakan tekanan PEP antara
10-20 cmH2O dan rasio inspirasi dibandingkan ekspirasi 1:3-1:4. Sebuah manometer
dihubungkan dengan katup bagian luar untuk memonitor tekanan ekspirasi yang dapat dilihat
langsung oleh pasien sebagai perbandingan. Sebanyak 10-20 siklus pernapasan yang harus
dilakukan oleh pasien kemudian sungkup dilepas dan sekret dilakukan dengan ‗huff‘. Idealnya,
PEP dan diikuti oleh ‗huff‘ dilakukan sampai saluran respiratori bersih dari sekret.
Teknik
Alat yang digunakan pada teknik ini sama dengan yang digunakan pada teknik sebelumnya,
hanya saja dilengkapi dengan manometer untuk memantau tekanan tinggi. Terapi ini juga
dilakukan dengan pasien duduk di kursi dan siku yang diletakkan pada lengan kursi dengan
bahu didekatkan dengan leher untuk memaparkan apeks paru. Pasien melakukan pernapasan
8-10 siklus kemudian kapasitas total udara pernapasan dikeluarkan dengan cara paksa untuk
melawan stenosis yang terjadi. Mobilisasi sekret terjadi melalui batuk yang timbul saat
rendahnya volume paru yang tersisa. Setelah sputum keluar, pasien mengulangi manuver
pernapasan sampai dirasa tidak ada sisa sputum. Harus diperhatikan bahwa ekspirasi secara
paksa tidak boleh dihentikan pada saat volume residu belum tercapai. Tekanan ekspirasi yang
tercapai biasanya berkisar antara 40-100 H2O.
568
8.2.4 Terapi Inhalasi
Lihat Bab Terapi Inhalasi
Daftar pustaka
1. Kliegman Robert M, Behrman Richard E, Jenson Hal B, Stanton Bonita F. Nelson Textbook of
Pediatrics. Edisi-18. Philadelphia: Saunders Company;2007.h….
2. Hilman Bettina C. Pediatric Respiratory Disease: Diagnosis and Treatment. Philadelphia: WB Saunders
Company;1993.
3. Bateman NT, Leach RM. ABC of oxygen: acute oxygen therapy.BMJ 1998;317;798-801
4. Komisi Resusitasi Pediatrik UKK PGD-IDAI. Terapi Oksigen. Dalam: Kumpulan materi pelatihan
resusitasi pediatrik tahap lanjut. Jakarta: UKK PGD IDAI; 2003.46-51
5. Myers TR. AARC Clinical Practice Guideline: selection of an oxygen delivery device for neonatal and
pediatric patients--2002 revision & update. Respir Care 2002;47(6):707-16
6. Oakes DF.Respiratory procedures. Dalam: Oakes Clinical Practitioner's guide to respiratory care. Edisi
ke-6. Maine:Health educator publications,inc; 2004:10. h35-6
7. Oxygen therapy in acute medical care the potential dangers of hyperoxia need to be recognised
(Editorials). BMJ 2002;321;1406-7
8. Pryor JA, Webber BA. Physiotherapy Techniques. Dalam: Pryor JA, Prasad SA, penyunting.
Physiotherapy for Respiratory and Cardiac Problem Adult and Paediatric. Edisi ke-3. UK: Churchill
Livingstone; 2002. h161-241
9. Chest Physiotherapy. Dalam: Taussig LM, penyunting. Pediatric Respiratory Medicine. St. Louis:
Mosby; 1999. h. 189-199
569