Anda di halaman 1dari 29

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Penyakit infeksi merupakan salah satu masalah kesehatan global baik di negara maju dan terlebih di negara berkembang. Di Indonesia penyakit infeksi merupakan salah satu masalah penting yang menjadi perhatian dalam upaya peningkatan kesehatan, dari data statistik menunjukkan bahwa penyakit infeksi merupakan penyebab kematian kedua di negara berkembang termasuk Indonesia setelah penyakit jantung (Ridwan, 2012). Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) merupakan salah satu penyebab kematian tersering pada anak di negara berkembang. ISPA adalah infeksi saluran pernapasan yang dapat berlangsung sampai 14 hari, di mana secara klinis suatu tanda dan gejala akut akibat infeksi terjadi di setiap bagian saluran pernapasan atau struktur yang berhubungan dengan saluran pernapasan dan berlangsung tidak lebih dari 14 hari (Depkes RI, 2002). Di Indonesia, ISPA merupakan salah satu penyebab utama kunjungan pasien ke sarana kesehatan, yaitu 40-60% dari seluruh kunjungan ke puskesmas dan 15-30% dari seluruh kunjungan rawat jalan dan rawat inap RS. Jumlah episode ISPA di Indonesia diperkirakan 3-6 kali per tahun, tetapi berbeda antar daerah (Wantania, Roni dan Audrey, 2008). Mengingat tingginya kasus ISPA pada anak-anak di Indonesia, maka pada tugas pengenalan profesi blok respirasi ini penulis merasa perlu untuk membahas mengenai Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) pada anak di Lingkungan Tempat Tinggal. Tugas pengenalan profesi ini mengharuskan mahasiswa untuk turun langsung ke lapangan dan berinteraksi dengan masyarakat sehingga akan menambah pengalaman mahasiswa dalam observasi lapangan. 1.2 Rumusan Masalah Berikut adalah rumusan masalah dalam tugas pengenalan profesi kali ini: 1. Apa saja faktor risiko dari ISPA pada pasien? 2. Bagaimana manifestasi klinis yang terdapat pada pasien? 3. Bagaimana pencegakkan diagnosis pada pasien? 4. Bagaimana penatalaksanaan yang sudah dilakukan pada pasein? 5. Bagaimana pencegahan yang dilakukan agar penyakit tidak berulang pada pasien? 6. Adakah pemeriksaan penunjang yang sudah dilakukan? 1

1.3 Tujuan 1.3.1 Tujuan Umum Mahasiswa mampu: 1. Mengetahui infeksi saluran pernapasan akut yang paling sering terjadi pada anak-anak. 2. Memenuhi kewajiban tugas pengenalan profesi demi mencapai kelulusan blok XI. 1.3.2 Tujuan Khusus Mahasiswa mampu: 1. Menjelaskan menjelaskan faktor risiko ISPA pada pasien. 2. Menjelaskan manifestasi klinis yang terdapat pada pasien serta perjalanan penyakitnya. 3. Menjelaskan cara penegakkan diagnosis pada pasien. 4. Menjelaskan penatalaksanaan yang sudah dilakukan pada pasien. 5. Menjelaskan pencegahan yang dapat dilakukan agar penyakit tidak berulang pada
pasien.

6. Menjelaskan ada atau tidak pemeriksaan penunjang yang sudah dilakukan. 1.4 Manfaat Berikut ini adalah manfaat dari tugas pengenalan profesi kali ini: 1. Menambah ilmu tentang embriologi, anatomi, fisiologi dan mekanisme pertahanan sistem respirasi. 2. Menambah ilmu tentang definisi, klasifikasi, epidemiologi, etiologi faktor risiko, manifestasi klinis, cara penularan dan pencegahan ISPA. 3. Menambah pengalaman dalam observasi lapangan terhadap pasien ISPA anak secara langsung.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA


2.1 Embriologi dan Perkembangan Sistem Respirasi Menurut Jeremy, dkk (2008), asal embriologis paru adalah endoderm primitif usus depan (foregut), yang akhirnya membentuk epitel dan kelenjar-kelenjar laring, trakea dan paru, serta mesoderm splanknik yang membentuk kartilago, otot polos, parenkim paru dan jaringan ikat. Seperti umumnya banyak organ glandular, paru berkembang melalui morfogenesis percabangan, dengan pertunasan dan percabangan endoderm/epitel ke dalam mesoderm. Proses tersebut memerlukan pemberian sinyal resiprokal di antara epitel dan mesoderm, dengan mesoderm terutama berperan untuk pemrograman perkembangan epitel yang berdekatan menjadi struktur-struktur yang relevan. Banyak molekul yang memberi sinyal penting untuk orkestrasi morfogenesis percabangan selama perkembangan paru, termasuk faktor-faktor pertumbuhan seperti faktor pertumbuhan fibroblas (fibroblast growth factor; FGF), faktor pertumbuhan epidermal (epidermal growth factor, EGF) dan faktor pertumbuhan yang berasal dari trombosit ( platelet-derived growth factor, PDGF); faktor pertumbuhan endotelial vaskuler (vascular endothelial growth factor, VEGF) penting untuk perkembangan pembuluh darah paru. Perkembangan sistem respirasi biasanya dibagi menjadi lima tahap atau periode, yaitu periode embrionik, pseudoglandular, kanalikular, sakular dan alveolar.

Gambar 1. Embriologis Paru

2.1.1

Periode Embrionik Cabang trakeobronkial berasal dari saluran laringotrakeal, di bawah kantong faringeal IV pada ujung (ekor) kaudal faring primordial. Saluran laringotrakeal mulai tampak sesaat sebelum minggu keempat perkembangan, setelah jantung mulai berdenyut. Pada akhir minggu ke-4, ujungnya bercabang dua menjadi dua tunas bronkial, progenitor-progenitor dua bronkus utama dan cabang bronkial (Jeremy dkk, 2008).

Gambar 2. Tunas Bronkial

2.1.2

Periode Pseudoglandular (minggu ke 5 17) Menurut Jeremy, dkk (2008), saat ini tunas bronkial telah berkembang menjadi celah primordial dan bronkus primer sedikit lebih besar, yang akhirnya dibagi oleh morfogenesis percabangan menjadi lima bronkus sekunder (tiga kanan, dua kiri). Pada minggu ketujuh, bagian tersebut mulai bercabang secara progresis menjadi 10 (kanan) atau delapan sampai Sembilan (kiri) bronkus segmental (tersier), masing-masing akhirnya membentuk segmen bronkopulmonal. Pada minggu ke-17, sebagian besar struktur utama paru telah terbentuk dan dilapisi oleh sel-sel epitel kulumnar. Terdapat pembuluh darah konduktan, tetapi permukaan pertukaran gas masih belum berkembang sehingga janin yang dilahirkan selama periode ini tidak dapat hidup.

Gambar 3. Morfogenesis Percabangan

2.1.3

Periode Kanalikular (minggu ke 16 25) Kartilago bronkial, otot polos, kapiler paru dan jaringan ikat berkembang dari mesoderm. Terjadi diferensiasi progresif dan penipisan sel-sel epitel. Bronkus akan mengalami subdivisi sampai 17 kali setelah 24 minggu, yang akhirnya membentuk bronkiolus respiratorius yang membagi dengan sendirinya menjadi tiga sampai enam duktus alveolares dan beberapa sakus terminalis berdinding tipis. Semuanya dilapisi oleh pneumosit alveolar tipe I yang sangat tipis (sel skuamosa), yang bersama-sama dengan sel endotelial dari kapiler membentuk membran alveolakapiler (permukaan pertukaran gas). Terdapat beberapa pneumosit tipe II, yaitu sel-sel epitel sekretori yang menghasilkan surfaktan. Surfaktan tersebut mengurangi tegangan permukaan dan memungkinkan ekspansi sakus terminalis/alveolus, tetapi meskipun ada dalam jumlah kecil dari minggu ke-20, tetap saja tidak cukup menunjang pernapasan yang tidak dibantu sampai setelah 26 minggu. Beberapa pertukaran gas dapat terjadi pada akhir periode ini, karena terdapat sakus terminalis berdinding tipis maupun vaskularisasi yang baik, tetapi tingkat umum imaturitas mempunyai arti bahwa janin yang lahir akhir minggu ke-24 secara normal akan meninggal meskipun mendapatkan perawatan intensif (Jeremy dkk, 2008).

2.1.4

Periode Sakular (minggu ke 24 sampai partus) Menurut Jeremy, dkk (2008), Pada periode ini terjadi perkembangan cepat jumlah sakus terminanlis dan jalinan kapiler pulmonal dan kapiler limfatik. Surfaktan dan vaskularisasi yang cukup terbentuk dalam keadaan normal antara minggu ke-24 sampai minggu ke-26 sehingga memungkinkan beberapa janin prematur tetap hidup, meskipun sangat bervariasi. Surfaktan betambah secara signifikan dalam dua minggu sebelum lahir.

2.1.5

Periode Alveolar (akhir masa janin sampai masa kanak-kanak) Kelompok alveolus imatur terbentuk selama bagian awal periode ini, alveolus tipe matur dalam septum-septum interalveolar dan permukaan pertukaran gas tidak tampak sampai setelah lahir. Gerakan pernapasan janin ada sebelum lahir, dengan aspirasi cairan amniotik dan hal tersebut merangsang pertumbuhan paru dan pengkondisian otot respirasi. Perkembangan paru terganggu jika pernapasan janin tidak ada, cairan amniotik tidak adekuat (oligohidramnion), atau ruang untuk pertumbuhan paru tidak ada. Penambahan ukuran paru pada lebih 5

dari 3 tahun pertama terutama disebabkan oleh penambahan jumlah alveolus dan bronkus respiratorius. Setelah itu, baik jumlah maupun ukuran alveolus bertambah. Lebih dari 90 % alveolus terbentuk setelah lahir, yang mencapai maksimum setelah 7-8 tahun. Pada akhir perkembangan paru, terdapat sekitar 23 generasi jalan napas, dengan sekitar 17 juta cabang (Jeremy dkk, 2008). 2.2 Anatomi dan Fisiologi Sistem Respirasi 2.2.1 Anatomi Sistem Respirasi

Gambar 4. Anatomi Sistem Respirasi

A. Hidung Menurut Snell (2006), hidung terdiri atas nasus externus (hidung luar) dan cavum nasi. Nasus externus mempunyai ujung yang bebas, yang dilekatkan ke dahi melalui radix nasi atau jembatan hidung. Lubang luar hidung adalah kedua nares atau lubang hidung. Setiap naris dibatasi di lateral oleh ala nasi dan di medial oleh septum nasi. Rangka nasus externus dibentuk di atas oleh os. nasale, processus frontalis ossis maxillaries dan pars nasalis ossis frontalis. Di bawah rangka ini dibentuk oleh lempeng-lempeng tulang rawan, yaitu kartilago nasi superior dan inferior serta kartilago septi nasi (Snell, 2006). Cavum nasi merupakan rongga yang dipisahkan oleh septum. Lubang depan disebut sebagai nares anterior dan lubang belakang merupakan koana yang memisahkan antara cavum nasi dengan nasofaring. Septum dilapisi oleh perikondrium pada bagian tulang rawan dan periosteum pada bagian tulang 6

sedangkan bagian luar dilapisi oleh mukosa hidung. Bagian dari cavum nasi yang tepat berada di belakang nares anterior disebut vestibulum, yang mempunyai banyak kelenjar sebasea dan rambut-rambut panjang. Dasar rongga hidung melekat dengan palatum durum dan sebagian besar dari atap hidung dibentuk oleh epitel olfaktorius dan lamina kribiformis os ethmoidalis, yang memisahkannya dengan rongga tengkorak (Boediman dan Muljono, 2008). Cavum nasi memiliki 4 dinding dan pada dinding lateralnya terdapat 3 buah konka, yaitu konka superior, konka media dan konka inferior. Rongga yang terletak di antara konka disebut sebagai meatus. Bergantung pada letaknya, meatus dibagi menjadi 3, yaitu meatus inferior, medius dan superior. Meatus inferior terletak di antara konka inferior dan dasar hidung dengan dinding lateral rongga hidung. Pada meatus inferior terdapat muara duktus nasolakrimalis. Meatus medius terletak di bawah konka medius dan merupakan saluran yang penting karena hampir seluruh sinus bermuara di saluran ini, yang kemudian membentuk osteo-meatal kompleks. Adanya kelainan pada daerah ini dapat mengganggu ventilasi dan bersihan mukosiliar sehingga mempermudah terjadinya rinosinusitis. Meatus superior merupakan muara dari sinus spenoidalis (Boediman dan Muljono, 2008). Cavum nasi merupakan saluran respiratori primer pada saat bernapas. Saat bernapas dengan menggunakan pernapasan hidung, terdapat tahanan sebesar lebih dari 50 %, dari seluruh tahanan pada saluran respiratori. Tahanan tersebut dua kali lipat lebih banyak bila dibandingkan dengan pernapasan mulut (Boediman dan Muljono, 2008). B. Faring Menurut Boediman dan Muljono (2008), faring memiliki 3 bagian yang terdiri dari nasofaring yaitu bagian yang langsung berhubungan dengan cavum nasi, kemudian dilanjutkan dengan orofaring dan terakhir adalah laringofaring. Nasofaring merupakan suatu rongga dengan dinding kaku di atas, belakang dan lateral, yang secara anatomi termasuk bagian faring. Orofaring yang merupakan bagian kedua faring, setelah nasofaring, dipisahkan oleh otot membranosa dari palatum lunak. Yang termasuk bagian orofaring adalah dasar lidah (1/3 posterior lidah), valekula, palatum, ovula, dinding lateral faring termasuk tonsila palatine serta dinding posterior faring. Laringofaring merupakan bagian faring yang dimulai dari lipatan faringoepiglotika ke arah 7

posterior, inferior terhadap esofagus segmen atas (Boediman dan Muljono, 2008). C. Laring Menurut Snell (2006), laring adalah organ khusus yang mempunyai sphincter pelindung pada pintu masuk jalan napas dan berfungsi dalam pembentukan suara (fonasi). Di atas laring terbuka ke dalam laringofaring dan di bawah laring berlanjut sebagai trakea. Kerangka laring dibentuk oleh beberapa kartilago yang dihubungkan oleh membrana dan ligamentum dan digerakan oleh otot. Laring dilapisi oleh membrana mukosa (Snell, 2006). Epiglotis merupakan kartilago yang berbentuk seperti lembaran, yang melekat pada dasar lidah dan kartilago tiroid. Kartilago tiroid merupakan struktur kartilago yang terbesar pada laring, yang membentuk jakun (Adams Apple). Kartilago tiroid terdiri atas 2 sayap atau alae yang bergabung pada garis tengah anterior dan meluas ke arah belakang. Pada bagian depan terdapat tonjolan yang disebut thyroid notch. Pada bagian belakang terdapat 2 prosesus, yaitu prosesus superior dan inferior. Kartilago krikoid melekat pada daerah posterior inferior. Pada bagian depan, kartilago krikoid disatukan oleh membrane krikotiroid. Kartilago krikoid merupakan tulang rawan yang berbentuk cincin penuh. Kartilago aritenoid merupakan bagian dari laring yang berperan pada pergerakan pita suara. Kartilago ini terletak di belakang kartilago tiroid dan merupakan kartilago paling bawah dari laring. Di setiap sisi kartilago krikoid, terdapat ligamentum krikoaritenoid, otot krikoartitenoid lateral dan otot krikoaritenoid posterior (Boediman dan Muljono, 2008). Pada bagian dalam laring terdapat 2 lipatan yang menyatu pada bagian depan serta memiliki mukosa yang berwarna merah. Lipatan ini disebut sebagai pita suara palsu. Pada bagian bawah lipatan terdapat ruang yang disebut sebagai ventrikel. Bibir bawah ventrikel dibentuk oleh otot yang disebut sebagai pita suara asli. Bagian anterior pita suara asli melekat pada garis tengah sampai permukaan posterior kartilago tiroid dan bagian posterior pita suara melekat pada kartilago aritenoid. Pada bagian bawah pita suata terdapat bagian tersempit dari laring yaitu celah subglotis yang membentang pada membran krikotiroid (Boediman dan Muljono, 2008).

D. Trakea, Brokus dan Bronkiolus Menurut Boediman dan Muljono (2008), trakea merupakan bagian dari saluran respiratori yang bentuknya menyerupai pipa serta memanjang mulai dari bagian inferior laring, yaitu setinggi servikal 6 sampai daerah percabangannya (bifurcatio) yaitu antara torakal 5-7. Panjangnya sekitar 9-15 cm. Trakea terdiri dari 15-20 kartilago hyaline yang berbentuk huruf C dengan bagian posterior yang tertutup oleh otot. Bentuk tersebut dapat mencegah trakea untuk kolaps. Adanya serat elastin longitudinal pada trakea, menyebabkan trakea dapat melebar dan menyempit seusai dengan irama pernapasan. Trakea mengandung banyak reseptor yang sensitive terhadap stimulus mekanik dan kimia. Otot trakea yang terletak pada bagian posterior mengandung reseptor yang berperan pada regulasi kecepatan dan dalamnya pernapasan. Trakea terbagi menjadi 2 bronkus utama, yaitu bronkus utama kanan dan kiri. Bronkus utama kanan memiliki rongga yang lebih sempit dan lebih horizontal bila dibandingkan dengan bronkus utama kiri. Hal tersebut menyebabkan benda asing lebih mudah masuk ke paru kanan daripada kiri. Trakea dan bronkus terdiri dari kartilago dan dilapisi oleh epiter bersilia yang mengandung mukus dan kelenjar serosa. Bronkus kemudian akan bercabang menjadi bagian yang lebih kecil dan halus yaitu bronkiolus. Bronkiolus dilapisi oleh epitel bersilia namun tidak mengandung kelenjar serta dindingnya tidak mengandung jaringan kartilago (Boediman dan Muljono, 2008). E. Alveolus Menurut Boediman dan Muljono (2008), bronkiolus berakhir pada suatu struktur yang menyerupai kantung, yang dikenal dengan nama alveolus. Alveolus terdiri dari lapisan epitel dan matriks ekstraseluler yang dikelilingi oleh pembuluh darah kapiler. Alveolus mengandung 2 tipe sel utama, yaitu sel tipe 1 yang membentuk struktur dinding alveolus dan sel tipe 2 yang menghasilkan surfaktan. Alveolus memiliki kecenderungan untuk kolaps karena ukurannya yang kecil, bentuknya yang sferikal dan adanya tegangan permukaan. Namun hal tersebut dapat dicegah dengan adanya fosfolipid, yang dikenal dengan nama surfaktan dan pori-pori pada dindingnya. Alveolus berdiameter 0,1 mm dengan ketebalan dinding hanya 0,1 m. Pertukaran gas terjadi secara difusi pasif dengan bergantung pada gradien konsentrasi. Setiap paru mengandung lebih dari 300 juta alveolus. Setiap 9

alveolus dikelilingi oleh sebuah pembuluh darah (Boediman dan Muljono, 2008). 2.2.2 Fisiologi Sistem Respirasi Menurut Djojodibroto (2009), respirasi adalah suatu proses pertukaran gas antara organisme dengan lingkungan, yaitu pengambilan oksigen dan eliminasi karbondioksida. Respirasi eksternal adalah proses pertukaran gas (O 2 dan CO2) antara alveoli dengan kapiler pulmonal sedangkan respirasi internal adalah proses pertukaran gas (O2 dan CO2) antara kapiler sistemik dengan jaringan. Situasi faal paru seseorang dikatakan normal jika hasil kerja proses ventilasi, distribusi, perfusi, difusi, serta hubungan antara ventilasi dengan perfusi pada orang tersebut dalam keadaan santai menghasilkan tekanan parsial gas darah arteri (PaO2 dan PaCO2) yang normal. Yang dimaksud dengan santai adalah keadaan ketika jantung dan paru tanpa beban kerja berat (Djojodibroto, 2009). Ventilasi meliputi volume udara yang bergerak masuk dan keluar dari hidung atau mulut pada proses bernapas. Setelah proses ventilasi, udara yang telah memasuki saluran napas didistribusikan ke seluruh paru, kemudian masuk ke dalam alveoli. Perfusi paru adalah sirkulasi darah di dalam pembuluh darah kapiler paru. Difusi yang terjadi di dalam paru adalah perpindahan molekul oksigen dari rongga alveoli melintasi membrana kapiler alveolar, kemudian melintasi plasma darah, selanjutnya menembus sel darah merah dan akhirnya masuk ke interior sel darah merah hingga berikatan dengan hemoglobin (Djojodibroto, 2009).

10

2.3 Mekanisme Pertahanan Sistem Respirasi

Gambar 5. Mekanisme Pertahanan Paru

Menurut Jeremy, dkk (2008), inhalasi udara juga memungkinkan masuknya debu, partikel iritan dan patogen. Area permukaan paru yang sangat luas menyebabkan banyak kemungkinan mengalami kerusakan akibat benda asing tersebut. Lingkungan lembab dan hangat merupakan kondisi ideal untuk perkembangan bakteri dan lain-lain. Namun, saluran napas memiliki suatu kisaran mekanisme pertahanan yang kuat. Disfungsi mekanisme tersebut mendasari timbulnya penyakit respirasi. 2.3.1 Pertahanan Fisik dan Fisiologis Cavum nasi dan nasofaring berperan sebagai sawar fisik terhadap partikelpartikel dengan ukuran > 10 m, dalam bentuk rambut dan mukus yang menjadi tempat perlekatan partikel-partikel. Transpor mukosilier pada akhirnya memindahkan partikel-partikell tersebut ke faring, kemudian ditelan. Hanya partikel yang < 5 m biasanya kemudian masuk melewati trakea. Nasofaring juga memiliki fungsi sebagai penghangat dan pelembab penting bagi udara inhalasi, sehingga mencegah kekeringan epitel. Partikel iritan dalam hidung dan trakea yang diinhalasi atau dibawa dari regio distal melalui transpor mukosilier merangsang reseptor iritan, yang mencetuskan bersin dan batuk untuk mengeluarkan benda asing (Jeremy dkk, 2008).

11

2.3.2

Sekresi Jalan Napas dan Mukus Menurut Jeremy, dkk (2008), epitel respiratori dilapisi oleh 5-10 m lapisan mukus gelatinosa (fase gel) yang mengambang pada suatu lapisan cair yang sedikit lebih tipis (fase sol). Silia pada sel-sel epitel berdenyut secara sinkron, sehingga ujungnya dijumpai fase gel dan menyebabkannya bergerak ke arah mulut, membawa partikel dan debris seluler bersamanya (transpor mukosilier). Waktu yang diperlukan mukus dari bronkus besar untuk mencapai faring adalah sekitar 40 menit dan dari bronkiolus respiratorius perlu beberapa hari (Jeremy dkk, 2008). Mukus dihasilkan oleh sel-sel goblet pada epitel dan kelenjar submukosa. Unsur utamanya adalah glikoprotein kaya karbohidrat yang disebut dengan musin yang memberikan sifat seperti gel pada mukus (Jeremy dkk, 2008). Menurut Jeremy, dkk (2008), lisozim disekresi dalam jumlah besar pada jalan napas dan memiliki sifat anti-jamur dan bakterisidal; enzim tersebut memberikan imunitas non-spesifik pada saluran napas. Imunoglobulin A sekretori (IgA) adalah immunoglobulin utama dalam sekresi jalan napas serta dengan IgM dan IgG mengaglutinasi dan mengopsonisasi partikel antigenik; IgA juga menahan perlekatan mikroba ke mukosa (Jeremy dkk, 2008).

2.3.3

Makrofag Paru Menurut Jeremy, dkk (2008), makrofag adalah fagosit mononuklear yang ditemukan di sepanjang saluran napas. Makrofag bekerja sebagai sentinel dalam jalan napas, yang memberikan proteksi halus melawan mikroorganisme yang diinhalasi serta partikel lain dengan fagositosis dan produksi agen-agen antimikroba poten yang meliputi spesies oksigen reaktif. Epitel alveolar tidak memiliki silia, sehingga makrofag alveolar merupakan kunci untuk membuang materi dan merupakan sel utama yang ada dalam alveoli. Makrofag alveolar ini juga dapat bekerja sama dengan sel-sel dan zat-zat lain yang memberikan respon imun (Jeremy dkk, 2008).

12

2.4 Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) pada Anak 2.4.1 Definisi
ISPA adalah penyakit yang menyerang salah satu bagian dan atau lebih dari saluran pernafasan mulai dari hidung hingga alveoli termasuk jaringan adneksanya seperti sinus, rongga telinga tengah dan pleura (Nelson, 2003).

Menurut Depkes RI (2004), Infeksi Saluran Pernapasan Akut sering disingkat dengan ISPA, istilah ini diadaptasi dari istilah dalam bahasa Inggris Acute Respiratory Infections (ARI). Istilah ISPA meliputi tiga unsur yakni infeksi, saluran pernafasan dan akut, dengan pengertian sebagai berikut: 1. Infeksi adalah masuknya kuman atau mikroorganisme ke dalam tubuh manusia dan berkembang biak sehingga menimbulkan gejala penyakit. 2. Saluran pernapasan adalah organ mulai dari hidung hingga alveoli beserta organ adneksanya seperti sinus-sinus, rongga telinga tengah dan pleura. ISPA secara anatomis mencakup saluran pernapasan bagian atas, saluran pernapasan bagian bawah (termasuk jaringan paru-paru) dan organ adneksa saluran pernapasan. Dengan batasan ini, jaringan paru termasuk dalam saluran pernapasan (respiratory tract). 3. Infeksi akut adalah infeksi yang berlangsung sampai dengan 14 hari. Dengan demikian ISPA adalah infeksi saluran pernapasan yang dapat berlangsung sampai 14 hari, di mana secara klinis suatu tanda dan gejala akut akibat infeksi terjadi di setiap bagian saluran pernapasan atau struktur yang berhubungan dengan saluran pernapasan dan berlangsung tidak lebih dari 14 hari. 2.4.2 Klasifikasi Infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) dapat diklasifikasikan sebagai berikut: 1. Klasifikasi ISPA Berdasarkan Lokasi Anatomi Menurut Wantania, Roni dan Audrey (2008), berdasarkan lokasi anatomisnya ISPA digolongkan menjadi infeksi saluran pernapasan atas akut dan infeksi saluran pernapasan bawah akut. a. Infeksi Saluran Pernapasan atas Akut Infeksi saluran pernapasan atas akut adalah infeksi primer respiratori di atas laring. Infeksi saluran pernapasan atas akut terdiri dari rhinitis, faringitis, tonsillitis, rhinosinusitis dan otitis media (Wantania, Roni dan Audrey, 2008). 13

1) Rhinitis (common cold) Rhinitis atau dikenal juga sebagai common cold, coryza, cold atau selesma adalah salah saru dari penyakit infeksi saluran pernapasan atas akut tersering pada anak. Rhinitis ditandai dengan pilek, bersin, hidung tersumbat, iritasi tenggorokan dan dapat disertai dengan atau tanpa demam. Gejala lain meliputi nyeri tenggorokan, batuk, rewel, gangguan tidur dan penurunan nafsu makan. Pada pemeriksaan fisik tidak menunjukkan tanda yang khas, tetapi dapat dijumpai edema dan eritema mukosa hidung serta limfadenopati servikal anterior (Naning, Rina dan Amalia, 2008). Hampir semua rhinitis disebabkan oleh virus. Virus penyebab tersering adalah Rhinovirus, sedangkan virus lain adalah virus parainfluenza, Respiratory Syncytil Virus (RSV) dan Coronavirus. Dengan demikian, antibiotik tidak diperlukan dalam tatalaksana rhinitis. Hanya dalam keadaan tertentu saja bakteri berperan dalam rhinitis yaitu jika merupakan bagian dari faringitis seperti pada rhinofaringitis atau nasofaringitis (Naning, Rina dan Amalia, 2008). 2) Faringitis dan Tonsilitis Faringitis dan tonsilitis akut sebagian besar disebabkan oleh virus, yaitu adenovirus, rhinovirus, coronavirus, dan influenza. Penyebab infeksi bakteri adalah Streptococci B, Streptococcus pneumoniae, dan Haemophilus influenza (Chapman dkk, 2005). Manifestasi klinis adalah nyeri tenggorokan, yang biasanya bersifat self-limiting. Gejala klinis yang lain muncul adalah demam, malaise, lymphadenopathy, conjunctivitis, sakit kepala, mual, dan muntah. Penatalaksanaan biasanya bersifat supportif, tetapi penggunaan antibiotik bisa mengurangi komplikasi yang terjadi misalnya sinusitis dan demam rematik. Penatalaksanaan awal adalah penicilin atau makrolida (Chapman, 2005). 3) Sinusitis

14

Sinus paranasal umumnya steril, ia berhubungan dengan hidung, sehingga rentan untuk mengalami infeksi. Mukosiliar membersihkan drainase sinus, jika terjadi blokade dari drainase maka akan rentan mengalami infeksi bakteri. Awalnya sinusitis diawali dengan batuk pilek, atau infeksi gigi. Gejala klinis yang dialami pasien adalah demam dan nyeri sinus, yang diperburuk dengan posisi condong ke depan. Sinusitis akut adalah radang pada sinus paranasal yang terjadi kurang dari 3 bulan (Chapman, 2005). Secara epidemiologi, sinusitis akut muncul 1 dari 200 kasus infeksi saluran napas atas yang akut di dunia. Etiologi yang paling sering dialami adalah virus dan bakteri. Virus akan mengganggu barrier dari mukosa sehingga memproduksi eksudat dengan disertai infeksi bakterial sekunder. Etiologi dari bakteri yang tersering adalah S. Pneumoniae, H. Influenzae, S. aureus dan S. Pyogenes (Chapman, 2005). 4) Otitis Media Otitis media adalah suatu inflamasi telinga tengah berhubungan dengan efusi telinga tengah, yang merupakan penumpukan cairan di telinga tengah. Otitis media akut paling sering terjadi pada anak-anak dan termasuk diagnosis yang paling sering pada anak dengan gejala panas. Membran timpani yang cembung merupkan salah satu tanda kecurigaan terhadap otitis media (Dadiyanto, 2008). Gejala dapat diawali dengan infeksi saluran napas yang kemudian disertai keluhan nyeri telinga, demam dan gangguan pendengaran. Pada bayi gejala ini dapat tidak khas sehingga gejala yang timbul seperti iritabel, diare, muntah, malas minum dan sering menangis. Pada anak yang lebih besar keluhan biasanya rasa nyeri dan tidak nyaman pada telinga (Dadiyanto, 2008). b. Infeksi Saluran Pernapasan bawah Akut Infeksi saluran pernapasan bawah akut adalah infeksi dari laring ke bawah. Infeksi saluran pernapsan bawah akut terdiri dari epiglotitis, croup

15

(laringotrakeobronkitis), bronkitis, bronkiolitis dan pneumonia (Wantania, Roni dan Audrey, 2008). 1) Epiglotitis Epiglotitis merupakan infeksi yang sangat serius dari epiglotis dan struktur supraglotis, yang berakibat obstruksi jalan napas akut dan menyebabkan kematian jika tidak diobati. Epiglotitis hampir selalu disebabkan oleh Haemophilus influenza tipe B. Penyebab lain adalah Staphylococcus aureus, Streptococcus pneumoniae dan lain-lain (Yangtjik dan Fatimah, 2008). Gambaran klinis epiglotitis antara lain demam tinggi, tidak selalu batuk (batuk jarang), disfagia berat, dispnea, drooling dan gambaran radiologis Positive thumb sign (Yangtjik dan Fatimah, 2008). 2) Croup Syndrome (Laringotrakeobronkitis Akut) Croup adalah terminologi umum yang mencakup suatu grup penyakit heterogen yang mengenai laring, infra/subglotis, trakea dan bronkus. Karakteristik sindrom croup adalah batuk yang menggonggong, suara serak, stidor inspirasi dengan atau tanpa adanya obstruksi jalan napas. (Yangtjik dan Dwi, 2008). Virus penyebab tersering sindrom croup (sekitar 60% kasus) adalah Human Parainfluenza virus type 1 (HPIV-1), HPIV-2,3 dan 4, virus influenza A dan B, Adenovirus, Respiratory Syncytial Virus (RSV) dan virus campak. Meskipun jarang, pernah juga ditemukan Mycoplasma pneumonia (Yangtjik dan Dwi, 2008). Manifestasi klinis biasanya didahului dengan demam yang tidak begitu tinggi selama 12-72 hari, hidung berair, nyeri menelan dan batuk ringan. Kondisi ini akan berkembang menjadi batuk nyaring, suara menjadi parau dan kasar. Gejala sistemik yang berkembang seperti demam, malaise. Bila keadaan berat dapat terjadi sesak napas, stidor inspiratorik yang berat, retraksi, anak tampak gelisah, dan akan bertambah berat pada malam hari. Gejala puncak terjadi pada 24 jam pertama hingga 48 jam. Biasanya perbaikan akan tampak dalam waktu satu minggu. Anak akan sering menangis, rewel dan akan merasa 16

nyaman jika duduk di tempat tidur atau digendong (Yangtjik dan Dwi, 2008). 3) Bronkitis Bronkitis akut merupakan peradangan akut membrane mukosa bronkus disebabkan oleh infeksi mikroorganisme. Penyebab yang paling sering adalah virus influenza, parainfluenza, adenovirus serta rhinovirus. Bakteri yang sering menjadi penyebab adalah Mycoplasma pneumonia, tetapi biasanya bukan merupakan infeksi primer (Djojodibroto, 2009). Manifestasi klinis biasanya didahului oleh gejala infeksi saluran pernapasan bagian atas seperti hidung buntu (stuffy), pilek (runny nose) dan sakit tenggorokan. Batuk yang bervariasi dari ringan sampai berat, biasanya dimulai dengan batuk yang tidak produktif. Batuk ini sangat mengganggu di waktu malam. Udara dingin, banyak bicara, napas dalam serta tertawa akan merangsang terjadinya batuk. Pasien akan mengeluh ada nyeri retrosternal dan rasa gatal pada kulit. Setelah beberapa hari akan terdapat produksi sputum yang banyak; dapat bersifat mukus tetapi dapat juga mukopurulen. Peradangan bronkus biasanya menyebabkan hiperreaktivitas saluran pernapasan yang memudahkan terjadinya bronkospasme (Djojodibroto, 2009). 4) Bronkiolitis Bronkiolitis adalah penyakit infeksi saluran pernapasan bawah akut yang ditandai dengan adanya inflamasi pada bronkiolus. Umumnya, infeksi tersebut disebabkan oleh virus. Sekitar 95% dari kasus tersebut secara serologis terbukti disebabkan oleh invasi RSV. Secara klinis ditandai dengan periode pertama wheezing pada bayi yang didahului dengan gejala ISPA (Naning, Hadianto dan Amalia, 2008). Diagnosis dapat ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan penunjang lainnya. Berdasarkan anamnesis, gejala awal berupa gejala ISPA akibat virus, seperti pilek ringan, batuk dan demam. Satu hingga dua hari kemudian timbul batuk yang disertai dengan sesak napas. Selanjutnya dapat 17

ditemukan wheezing, sianosis, merintih (grunting), napas berbunyi, muntah setelah batuk, rewel dan penurunan nafsu makan. Pemeriksaan fisik pada anak yang mengarah ke diagnosis bronkiolitis adalah adanya takipnea, takikardi dan peningkatan suhu di atas 38,5oC. Selain itu, dapat juga ditemukan konjungtivitis dan faringitis. Obstruksi saluran pernapasan bawah akibat respon inflamasi akut akan menimbulkan gejala ekspirasi memanjang hingga wheezing. Usaha-usaha pernapasan yang dilakukan anak untuk mengatasi obstruksi akan menimbulkan napas cuping hidung dan retraksi interkostal. Selain itu, dapat juga ditemukan ronki dari pemeriksaan auskultasi paru. Sianosis dapat terjadi dan bila gejala menghebat dapat terjadi apnea, terutama pada bayi berusia < 6 minggu. Untuk menemukan RSV dilakukan kultur virus, rapid antigen detection tests (direct immunofluoresence assay dan enzyme-linked immunosorbent assay, ELISA) atau polymerase chain reaction (PCR) dan pengukuran titer antibody pada fase akut dan konvalesens (Naning, Hadianto dan Amalia, 2008). 5) Pneumonia Pneumonia adalah inflamasi yang mengenai parenkim paru. Etiologi pneumonia pada neonates dan bayi kecil meliputi Streptococcus grup B dan bakteri Gram negatif seperti E. colli, Pseudomonas sp, atau Klesiella sp. Pada bayi yang lebih besar dan anak balita, pneumonia sering disebabkan oleh infeksi Streptococcus pneumoniae, Haemophilus influenza tipe B dan Staphylococcus aureus, sedangkan pada anak yang lebih besar dan remaja, selain bakteri tersebut, sering juga ditemukan Mycoplasma pneumoniae (Said, 2008). Menurut Said (2008), gambaran klinis pneumonia pada bayi dan anak bergantung pada berat-ringannya infeksi, tetapi secara umum adalah sebagai berikut: a. Gejala infeksi umum, yaitu demam, sakit kepala, gelisah, malaise, penurunan nafsu makan, keluhan gastrointestinal seperti mual, muntah atau diare; kadang-kadang ditemukan gejala infeksi ekstrapulmoner. 18

b. Gejala gangguan respiratori, yaitu batuk, sesak napas, retraksi dada, takipnea, napas cuping hidung, air hunger, merintih dan sianosis. 2. Klasifikasi ISPA Menurut Depkes RI Menurut Depkes RI (2002), klasifikasi ISPA dibagi berdasarkan tingkat berat ringannya. a. ISPA Ringan Seseorang dinyatakan menderita ISPA ringan apabila ditemukan gejala batuk pilek dan sesak. b. ISPA Sedang Seseorang dinyatakan menderita ISPA sedang apabila timbul gejala sesak napas, suhu tubuh lebih dari 39oC dan bila bernapas mengeluarkan suara seperti mengorok. c. ISPA Berat Seseorang dinyatakan menderita ISPA berat apabila kesadaran menurun, nadi cepat atau tidak teraba, nafsu makan menurun, bibir dan ujung nadi membiru (sianosis) dan gelisah.

3. Klasifikasi ISPA Menurut WHO Berikut ini adalah klasifikasi ISPA menurut WHO: a. Untuk kelompok umur kurang dari 2 bulan, terdiri dari: 1) Pneumonia berat, ditandai dengan adanya napas cepat yaitu frekuensi pernapasan sama atau lebih dari 60 kali per menit atau adanya tarikan yang kuat pada dinding dada bagian bawah. 2) Bukan pneumonia, ditandai dengan batuk dan pilek dengan atau tanpa dahak, lendir dan demam, tidak menunjukkan gejala peningkatan frekuensi napas dan tidak ada tarikan dinding dada. b. Untuk kelompok umur 2 bulan sampai 5 tahun, terdiri dari: 1) Pneumonia berat, yaitu berdasarkan pada adanya batuk atau kesukaran bernapas disertai napas sesak atau tarikan dinding dada bagian bawah. Dikenal pula diagnosis pneumonia sangat berat, yaitu batuk atau kesukaran bernapas yang disertai adanya gejala sianosis sentral dan anak tidak dapat minum. 19

2) Pneumonia, yaitu berdasarkan pada adanya batuk dan atau kesukaran bernapas disertai adanya napas cepat sesuai umur, tidak ada tarikan dinding dada bagian bawah. Batas napas cepat pada anak usia 2 bulan sampai kurang dari 1 tahun adalah 50 kali atau lebih permenit sedangkan untuk anak usia 1 tahun sampai kurang dari 5 tahun adalah 40 kali atau lebih per menit. 3) Bukan pneumonia, meliputi batuk dan pilek dengan atau tanpa dahak, lendir dan demam, tidak menunjukkan gejala peningkatan frekuensi napas dan tidak menunjukkan adanya tarikan dinding dada bagian bawah. Klasifikasi bukan pneumonia mencakup penyakit-penyakit ISPA lain di luar pneumonia seperti rhinitis (common cold), faringitis, tonsillitis, rhinosinusitis, otitis media, epiglotitis, croup syndrome (laringotrakeobronkitis), bronkitis dan bronkiolitis.

2.4.3

Epidemiologi Menurut Wantania, Roni dan Audrey (2008), infeksi saluran pernapasan akut paling sering terjadi pada anak. Kasus ISPA merupakan 50% dari seluruh penyakit pada anak berusia di bawah 5 tahun dan 30% pada anak berusia 5-12 tahun. Walaupun sebagian besar terbatas pada saluran pernapasan atas, tetapi sekitar 5% juga melibatkan saluran pernapasan bawah, terutama pneumonia. Anak berusia 1-6 tahun dapat mengalami episode ISPA sebanyak 7-9 kali per tahun, tetapi biasanya ringan. Puncak insidens biasanya terjadi pada usia 2-3 tahun. Insidens ISPA di negara berkembang adalah 2-10 kali lebih banyak daripada negara maju. Di Indonesia, ISPA merupakan salah satu penyebab utama kunjungan pasien ke sarana kesehatan, yaitu 40-60% dari seluruh kunjungan ke puskesmas dan 15-30% dari seluruh kunjungan rawat jalan dan rawat inap RS. Jumlah episode ISPA di Indonesia diperkirakan 3-6 kali per tahun, tetapi berbeda antar daerah (Wantania, Roni dan Audrey, 2008).

2.4.4

Etiologi Menurut Suhandayani (2007), etiologi ISPA terdiri dari 300 jenis bakteri, virus dan riketsia. Bakteri penyebab ISPA antara lain adalah genus Streptococcus, Staphylococcus, Pneumococcus, dan Corynebacterium. Virus penyebab ISPA antara lain adalah golongan Myxovirus (Orthamyxoviruses dan 20

Paramyxoviruses),

Adenovirus,

Coronavirus,

Picornavirus,

Micoplasma,

Herpesvirus dan lain-lain.

Gambar 6. Etiologi ISPA

2.4.5

Faktor Risiko Menurut Wantania, Roni dan Audrey (2008), terdapat banyak faktor yang mendasari perjalanan penyakit ISPA pada anak. Hal ini berhubungan dengan penjamu, agen penyakit dan lingkungan. 1. Usia Setelah telah dikemukakan sebelumnya, ISPA dapat ditemukan pada 50% anak berusia di bawah 5 tahun dan 30% anak usia 5-12 tahun. World Health Organization melaporkan bahwa di Negara berkembang, ISPA termasuk infeksi saluran pernapasan bawah (pneumonia, bronkiolitis dan lain-lain) adalah penyebab utama dari empat penyebab terbanyak kematian anak, dengan kasus terbanyak terjadi pada anak berusia di bawah 1 tahun. 2. Jenis Kelamin Pada umumnya, tidak ada perbedaan insidens ISPA akibat virus atau bakteri pada laki-laki dan perempuan. Akan tetapi, ada yang mengemukakan bahwa 21

terdapat sedikit perbedaan, yaitu insidens lebih tinggi pada anak laki-laki berusia 6 tahun. 3. Status Gizi Status gizi anak merupakan faktor risiko penting timbulnya pneumonia. Gizi buruk merupakan faktor predisposisi terjadinya ISPA pada anak. Hal ini dikarenakan adanya gangguan respon imun. Vitamin A sangat berhubungan dengan beratnya infeksi. Anak dengan defisiensi vitamin A yang ringan mengalami ISPA dua kali lebih banyak daripada anak yang tidak mengalami defisiensi vitamin A. Oleh karena itu, selain perbaikan gizi dan pemberian ASI, harus dilakukan pula perbaikan terhadap defisiensi vitamin A untuk mencegah ISPA. 4. Pemberian Air Susu Ibu (ASI) Terdapat banyak penelitian yang menunjukkan hubungan antara pemberian ASI dengan terjadinya ISPA. Air susu ibu mempunyai nilai proteksi terhadap pneumonia, terutama selama 1 bulan pertama. Bayi yang tidak pernah diberi ASI lebih rentan mengalami ISPA dibandingkan dengan bayi yang diberi ASI paling sedikit selama 1 bulan. Bayi yang tidak diberi ASI akan 17 kali lebih rentan mengalami perawatan di RS akibat pneumonia dibandingkan dengan bayi yang mendapat ASI. Pemberian ASI dengan durasi yang lama mempunyai pengaruh proteksi terhadap infeksi saluran pernapasan bawah akut selama tahun pertama. 5. Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) Berat badan lahir memiliki peran penting terhadap kematian akibat ISPA. Di Negara berkembang, kematian akibat pneumonia diperkirakan terjadi pada BBLR. Meta-analisis menunjukkan bahwa BBLR mempunyai RR kematian 6,4 pada bayi berusia di bawah 6 bulan dan 2,9 pada bayi berusia 6-11 bulan. 6. Imunisasi Campak, pertusis dan beberapa penyakit lain dapat meningkatkan risiko terkena ISPA dan memperberat ISPA itu sendiri, tetapi sebetulnya hal ini dapat dicegah. Di India, anak yang baru sembuh dari campak, selama 6 bulan berikutnya dapat mengalami ISPA enam kali lebih sering daripada anak yang tidak terkena campak. Campak, pertusis dan difteri bersama-sama dapat menyebabkan 15-25% dari seluruh kematian yang berkaitan dengan ISPA. Vaksin campak cukup efektif dan dapat mencegah kematian hingga 25%. Usaha global dalam meningkatkan cakupan imunisasi campak dan pertusis 22

telah mengurangi angka kematian ISPA akibat kedua penyakit ini. Vaksin pneumokokus dan H. influenza tipe B saat ini sudah diberikan pada anak-anak dengan efektivitas yang cukup baik. 7. Pendidikan Orang Tua Tingkat pendidikan orang tua menunjukkan adanya hubungan terbalik antara angka kejadian dengan kematian ISPA. Tingkat pendidikan ini berhubungan erat dengan keadaan sosial ekonomi dan juga berkaitan dengan pengetahuan orang tua. Kurangnnya pengetahuan menyebabkan sebagian kasus ISPA tidak diketahui oleh orang tua dan tidak diobati. 8. Status Sosial Ekonomi Status sosial ekonomi berpengaruh terhadap pendidikan dan faktor-faktor lain seperti nutrisi, lingkungan dan penerimaan layanan kesehatan. Anak yang berasal dari keluarga dengan status soal ekonomi rendah mempunyai risiko lebih besar mengalami episode ISPA. Risiko mengalami ISPA adalah 3,3 kali lebih tinggi pada anak dengan status sosial ekonomi rendah. 9. Penggunaan Fasilitas Kesehatan Di sebagian negara berkembang, pemanfaatan fasilitas kesehatan masih rendah. Hal ini dapat berdampak pada tingkat keparahan ISPA. 10. Penyakit Lain Human immunodeficiency virus / AIDS serta penyakit-penyakit lain merupakan faktor risiko ISPA. Di beberapa Negara, HIV mulai menjadi masalah karena pneumonia terjadi lebih sering dan lebih berat pada pasien HIV. Penelitian menunjukkan bahwa 25% dari kematian HIV disebabkan oleh infeksi saluran pernapasan bawah akut. 11. Lingkungan a. Polusi Udara Studi epidemiologi di negara berkembang menunjukkan bahwa polusi udara, baik dari dalam maupun dari luar rumah, berhubungan dengan beberapa penyakit termasuk ISPA. Hal ini berkaitan dengan konsentrasi polutan lingkungan yang dapat mengiritasi mukosa saluran respiratori. Anak yang tinggal di dalam rumah berventilasi baik memiliki angka insidens ISPA yang lebih rendah daripada anak yang berada di dalam rumah berventilasi buruk.

23

Orang tua yang merokok menyebabkan anaknya rentan terhadap pneumonia. Pajanan terhadap suhu dingin juga merupakan salah satu faktor risiko pneumnonia. b. Bencana Alam Bencana alam seperti tsunami (yang melanda Aceh dan beberapa negara lain di dunia) dapat menyebabkan peningkatan kasus dan kematian akibat ISPA, khususnya pneumonia. Pneumonia yang ditimbulkan adalah pneumonia aspirasi akibat masuknya cairan dan benda-benda asing lain ke dalam paru, misalnya pada keadaan hampir tenggelam. Selain itu, di tempat pengungsian insidens ISPA juga meningkat dikarenakan kepadatan tempat tinggal dan keadaan lingkungan yang kurang baik. 2.4.6 Manifestasi Klinis ISPA merupakan proses inflamasi yang terjadi pada setiap bagian saluran pernapasan atas maupun bawah, yang meliputi infiltrat peradangan dan edema mukosa, kongestif vaskuler, bertambahnya sekresi mukus serta perubahan struktur fungsi siliare (Muttaqin, 2008). Tanda dan gejala ISPA banyak bervariasi antara lain demam, pusing, malaise (lemas), anoreksia (tidak nafsu makan), vomitus (muntah), photophobia (takut cahaya), gelisah, batuk, keluar sekret, stridor (suara nafas), dispnea (kesakitan bernafas), retraksi suprasternal (adanya tarikan dada), hipoksia (kurang oksigen) dan dapat berlanjut pada gagal nafas apabila tidak mendapat pertolongan dan mengakibatkan kematian (Nelson, 2003). 2.4.7 Cara Penularan Pada umumnya ISPA termasuk kedalam penyakit menular yang ditularkan melalui udara. Sumber penularan adalah penderita ISPA yang menyebarkan kuman ke udara pada saat batuk atau bersin dalam bentuk droplet. Inhalasi merupakan cara terpenting masuknya kuman penyebab ISPA kedalam saluran pernapasan yaitu bersama udara yang dihirup, disamping itu terdapat juga cara penularan langsung yaitu melalui percikan droplet yang dikeluarkan oleh penderita saat batuk, bersin dan berbicara kepada orang di sekitar penderita, transmisi langsung dapat juga melalui ciuman, memegang/menggunakan benda yang telah terkena sekresi saluran pernapasan penderita (Depkes RI, 2002). 2.4.8 Pencegahan 24

Menurut Depkes RI (2002), ISPA dapat dicegah dengan cara berikut ini: 1) Menjaga kesehatan gizi agar tetap baik Dengan menjaga kesehatan gizi yang baik maka itu akan mencegah kita atau terhindar dari penyakit yang terutama penyakit ISPA. Misalnya dengan mengkonsumsi makanan empat sehat lima sempurna, banyak minum air putih, olahraga dengan teratur, serta istirahat yang cukup, semuanya itu akan menjaga badan kita tetap sehat. Karena dengan tubuh yang sehat maka kekebalan tubuh kita akan semakin meningkat, sehingga dapat mencegah virus ataupun bakteri penyakit yang akan masuk ke tubuh kita. 2) Imunisasi Pemberian imunisasi sangat diperlukan baik pada anak-anak maupun orang dewasa. Imunisasi dilakukan untuk menjaga kekebalan tubuh kita supaya tidak mudah terserang berbagai macam penyakit yang disebabkan oleh virus/bakteri. 3) Menjaga kebersihan perorangan dan lingkungan Membuat ventilasi udara serta pencahayaan udara yang baik akan mengurangi polusi asap dapur/asap rokok yang ada di dalam rumah, sehingga dapat mencegah seseorang menghirup asap tersebut yang bisa menyebabkan terkena penyakit ISPA. Ventilasi yang baik dapat memelihara kondisi sirkulasi udara (atmosfer) agar tetap segar dan sehat bagi manusia. 4) Mencegah anak berhubungan dengan penderita ISPA Infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) ini disebabkan oleh virus/ bakteri yang ditularkan oleh seseorang yang telah terjangkit penyakit ini melalui udara yang tercemar dan masuk ke dalam tubuh orang lain. Bibit penyakit ini biasanya berupa virus / bakteri di udara yang umumnya berbentuk aerosol (suspensi yang melayang di udara). Adapun bentuk aerosol yakni droplet nuclei (sisa dari sekresi saluran pernafasan yang dikeluarkan dari tubuh secara droplet dan melayang di udara berisi bibit penyakit). Oleh karena itu, kontak langsung anak dengan penderita ISPA harus dihindari.

25

BAB III METODE PELAKSANAAN


3.1 Waktu dan Tempat Tugas pengenalan profesi (TPP) ini akan dilaksanakan pada: Hari, tanggal Pukul Tempat : : : Plaju.

3.2 Subjek dan Pengambilan Data Berikut ini adalah subjek dan metode pengambilan data tugas pengenalan profesi: Subjek : Anak-anak penderita ISPA di lingkungan tempat tinggal. 26

Metode pengambilan data : wawancara / kuisioner terbuka. 3.3 Instrumen Kegiatan Instrumen kegiatan merupakan peralatan untuk mendapatkan data sesuai dengan tujuan kegiatan. Dalam kegiatan ini peralatan yang digunakan untuk pengambilan data beserta pendukungnya adalah: 1. Kuisioner dan Alat Tulis Kuisioner digunakan sebagai panduan dalam wawancara untuk mendapatkan data mengenai ISPA dari pasien atau keluarga pasien. Adapun kuisioner tersebut dapat dilihat pada lampiran 1. 2. Kamera Kamera digunakan untuk dokumentasi, yakni sebagai bukti bahwa mahasiswa telah melaksanakan tugas pengenalan profesi. Bukti tersebut nantinya akan dilampirkan pada laporan akhir. 3. Komputer / Laptop Komputer / Laptop digunakan sebagai sarana pembuatan proposal dan laporan akhir kegiatan.

3.4 Tahapan Kegiatan Tahapan kegiatan meliputi tahap-tahap sebagai berikut: 1. Tahap persiapan a. Membuat proposal. b. Melakukan konsultasi kepada pembimbing tugas pengenalan profesi. c. Mendapatkan izin atau ACC dari pembimbing tugas pengenalan profesi. 2. Tahap pelaksanaan Mahasiswa: a. Melakukan wawancara dengan pasien atau keluarga pasien. b. Mengisi kuisioner yang digunakan sebagai panduan wawancara tersebut sesuai dengan jawaban dari pasien atau keluarga pasien. 3. Tahap Penyelesaian a. Mengumpulkan semua data, mengolah, menganalisa dan menyimpulkan. 27

b. Menyusun laporan hasil pengamatan dan pemeriksaan. c. Mendapatkan ACC laporan hasil pengamatan dan pemeriksaan dari pembimbing tugas pengenalan profesi. 3.5 Jadwal Kegiatan Pada tabel 1 dapat dilihat jadwal pelaksanaan tugas pengenalan profesi Blok XI (sistem respirasi). Tugas pengenalan profesi ini terbagi menjadi lima kegiatan yaitu penyusunan proposal pada minggu pertama dan kedua, wawancara terhadap pasien, pembahasan dan penyusunan laporan pada minggu ketiga serta pleno dilakukan pada minggu keempat. Tabel 1. Jadwal Pelaksanaan Kegiatan TPP No 1 2 3 4 5 Jenis Kegiatan Penyusunan proposal Wawancara Pembahasan Penyusunan Laporan Pleno Minggu I Maret 2013 Minggu Minggu II III Minggu IV

DAFTAR PUSTAKA
Boediman dan Muljono Wirjodiardjo. 2008. Anatomi Sistem Respiratori dalam Buku Ajar Respirologi Anak. Jakarta : Ikatan Dokter Anak Indonesia. Chapman S, dkk. 2005. Acute upper respiratory tract infections (URTIs) dalam Oxford Handbook of Respiratory Medicine 1st Edition. Oxford: Oxford University Press. Dadiyanto, Dwi Wastoro. 2008. Otitis Media dalam Buku Ajar Respirologi Anak. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia. Depkes RI. 2002. Pedoman Pemberantasan Penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Akut untuk Penanggulangan Pneumonia Balita. Jakarta : Depkes RI. Djojodibroto, Darmanto. 2009. Respirologi (Respiratory Medicine). Jakarta : EGC. Jeremy, dkk. 2008. At a Glance Sistem Respirasi Edisi Kedua. Jakarta : Erlangga. Muttaqin, Arif.2008. Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem Pernapasan. Jakarta: Salemba Medika. Naning, Roni, Hadianto Ismangoen dan Amalia Setyati. 2008. Bronkitis Akut dalam Buku Ajar Respirologi Anak. Jakarta : Ikatan Dokter Anak Indonesia. 28

___________, Rina Triasih dan Amaliah Setyati. 2008. Rinitis dalam Buku Ajar Respirologi Anak. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia. Nelson. 2003. Ilmu Kedokteran Anak. Jakarta: EGC. Ridwan, Hibsah, dkk. 2012. Modul Pembelajaran Blok VII Imunologi dan Infeksi . Palembang: Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Palembang. Said, Mardjanis. 2008. Pneumonia dalam Buku Ajar Respirologi Anak . Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia. Snell, Richard S. 2006. Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran. Jakarta : EGC. Suhandayani, I. 2007. Faktor faktor yang Berhubungan dengan Kejadian ISPA pada Balita di Puskesmas Pati I Kabupaten Pati Tahun 2006. Semarang: Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Negeri Semarang. Wantania, Jan M., Roni Naning, Audrey Wahani. 2008. Infeksi Respiratori Akut dalam Buku Ajar Respirologi Anak. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia. Yangtjik, Kiagus dan Fatimah Arifin. 2008. Epiglotitis dalam Buku Ajar Respirologi Anak. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia. ______________ dan Dwi Wastoro Dadiyanto. 2008. Croup (Laringotrakeobronkitis Akut) dalam Buku Ajar Respirologi Anak. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia.

LAMPIRAN

29

Anda mungkin juga menyukai