Anda di halaman 1dari 4

Antara Budaya dan Buaya

Catatan Henri Nurcahyo

SUATU ketika, Prof. Kacung Marijan, saat menjadi Dirjen Kebudayaan berkata: “Tugas saya itu
menjaga agar huruf “d” tidak hilang dalam kebudayaan.”

Budaya tanpa huruf “d” akan menjadi Buaya. Dan kosa kata buaya seringkali dimaknai negatif.
Seperti Lelaki Buaya, Buaya Darat, air mata buaya, dan sebagainya. Lelaki Buaya adalah lelaki
yang suka main perempuan, atau disebut Hidung Belang. (Ini juga perlu ditelisik, mengapa
disebut hidung belang?) Makna yang sama juga untuk Buaya Darat. Sedangkan “air mata
buaya” adalah air mata palsu, sebagaimana buaya yang selalu meneteskan air mata padahal
tidak sedang menangis. Ini karena kondisi mata buaya sangat peka. Ketika buaya sedang
berada di darat maka secara otomatis matanya mengeluarkan air untuk membasahinya.

Pertanyaannya, kalau kosa kata “buaya” bermakna negatif, lantas mengapadalam tradisi
masyarakat Betawi justru menggunakan Roti Buaya? Banyak orang yang tidak memahaminya
lantas meniru begitu saja. Misalnya dalam sebuah acara Ruwatan Desa ternyata ada juga roti
buaya di antara jenis penganan lainnya. Padahal ini bukan di Betawi, melainka di suatu desa di
lereng Gunung Penanggungan, Mojokerto, Jawa Timur.

Mengutip laman Ditjenbud tentang Warisan Budaya Takbenda (WBTB) disebutkan bahwa Roti
Buaya adalah makanan khas masyarakat Betawi yang disajikan pada acara-acara khusus salah
satunya adalah upacara pernikahan. Biasanya roti yang memiliki panjang sekitar 50 sentimeter
ini dibawa oleh pengantin laki-laki pada acara serah-serahan. Selain roti buaya, mempelai
pengantin laki-laki juga memberikan uang mahar, perhiasan, kain, baju kebaya, selop, alat
kecantikan, serta beberapa peralatan rumah tangga. Dari sejumlah barang yang bisa diserahkan
tersebut, roti buaya menempati posisi terpenting. Bahkan, bisa dibilang hukumnya wajib.
Keutamaan roti buaya dalam acara seserahan adalah pada sifat buaya itu sendiri yang dalam
kepercayaan masyarakat Betawi bahwa buaya dianggap sebagai perlambang kesetiaan
pasangan yang menikah untuk mengarungi bahtera rumah tangga hingga akhir hayat.1

Benarkah buaya adalah perlambang kesetiaan? Dalam sebuah penelitian yang dilansir dari
Livescience.com, penelitian selama 10 tahun yang dilakukan oleh Savannah River Ecology
1
https://warisanbudaya.kemdikbud.go.id/?newdetail&detailTetap=126, diakses tanggal 18 Desember 2023
Laboratory, membuktikan bahwa 70 persen buaya selalu memilih pasangan yang sama setiap
kali musim kawin tiba. Sementara mereka punya banyak kesempatan untuk memilih pasangan
baru. “Kita terkejut menemukan pasangan yang sama di antara buaya yang kawin pada tahun
1997 dan masih tetap berpasangan sampai tahun 2005,” ujar Stacey Lance, peneliti sekaligus
pemimpin riset tersebut. Bahkan, apabila si betina terlebih dahulu mati, maka buaya jantan
tidak akan kawin lagi atau mencari pasangan lain.

Sebetulnya bukan hanya buaya. Beberapa hewan lain yang dikenal kesetiaannya misalnya
angsa, yang hanya akan mencari pasangan baru jika pasangannya mati atau tidak bisa
bereproduksi. Hewan cantik ini sering lebih setia hanya pada satu pasangan dibandingkan
manusia. Karena itu seringkali angsa dijadikan sebagai salah satu lambang cinta dan kasih
sayang.

Hewan yang lainnya adalah merpati, yang hanya mencari pasangan sekali seumur hidup
mereka. Ingat ungkapan “merpati tak pernah ingkar janji?” Berang-berang juga termasuk
hewan yang setia dan menyayangi pasangannya. Setelah melahirkan anak-anaknya, pasangan
berang-berang akan merawat anak mereka dan tinggal bersama dalam sarang mereka. Juga
kupu-kupu yang ternyata memiliki kesetiaan tersendiri. Kebanyakan spesies kupu-kupu hanya
akan kawin dan bertelur sekali seumur hidup mereka. Hal ini disebabkan umur mereka yang
singkat. Meskipun begitu terdapat beberapa spesies kupu-kupu yang berumur panjang. Mereka
akan kawin dan bertelur lebih dari sekali dalam setahun. Kupu-kupu betina mempunyai
perilaku menolak setiap jantan yang mendekat, kecuali hanya pada pasangannya.

Yang menarik, salah satu hewan yang juga tergolong setia adalah serigala! Padahal dalam kosa
kata sehari-hari sebutan serigala cenderung negatif. Apalagi ada ungkapan “serigala berbulu
domba.” Serigala memang termasuk hewan yang buas dan mengerikan. Namun siapa sangka,
kesetiaan hewan mamalia ini bahkan sanggup mengalahkan manusia. Serigala tidak akan
mencari pasangan lain selama hidup mereka, kecuali jika pasangannya telah mati.

Kembali ke soal buaya, seorang da’i terkenal bernama Ustadz Abdul Somad (UAS) pernah
berkata: “Buaya itu adalah hewan yang paling setia. Dengan catatan, selama masih berada di
dalam air. Tapi kalau sudah naik ke darat…… bahaya.”

Begitulah, jadi buaya yang berkonotasi negatif manakala berada di darat. Dia akan memangsa
hewan lain atau bahkan manusia. Buaya di darat akan mengeluarkanair mata seolah-olah
menangis dan minta dikasihani. Air mata palsu.
Jadi, mengapa harus menjaga huruf “d” dari Budaya agar tidak menjadi Buaya? Kamus Besar
Bahasa Indonesia (KBBI) menyebutkan, makna kata budaya memiliki arti akal budi. Budaya
dapat diartikan sebagai suatu cara hidup yang terdapat pada sekelompok manusia, yang telah
berkembang dan diturunkan dari generasi ke generasi selanjutnya. Esensi kata budaya merujuk
pada sesuatu yang pasti positif. Karena itu tindakan yang kasar, kejam, tidak
berperikemanusiaan, dinamakan “tidak berbudaya.” Bung Hatta pernah menyebut “korupsi
sudah membudaya” itu lebih bermakna bahwa korupsi itu bukan budaya melainkan Residu
Budaya.

Karena itu, Dirjen Kebudayaan Kemdikbud Prof Dr Kacung Marijan MA (2009 – 2014)
menegaskan bahwa kebudayaan penting untuk pembangunan, karena budaya-lah yang
menjaga Indonesia dari "buaya" atau sikap tidak berperikemanusiaan. Tugas kebudayaan
adalah menjaga hilangnya huruf “d” dalam kata budaya agar tidak menjadi buaya. Menurut
Guru Besar Ilmu Politik Unair itu, bila kebudayaan menjadi "arus utama" dalam pembangunan,
maka pembangunan akan semakin memiliki makna, karena kebudayaan itu memiliki tiga
dimensi. "Tiga dimensi penting dalam kebudayaan adalah sistem nilai, ekspresi, dan materiil.
Sistem nilai itu berkaitan dengan ketuhanan dan etika, sedangkan ekspresi itu berkaitan dengan
bentuk seperti lukisan, tari, dan sebagainya. Untuk materiil adalah bentuk fisik seperti candi
dan bangunan bersejarah," ujarnya.2

Pertanyaannya, mengapa Kacung Marijan memaknai kata buaya sebagai sikap tidak
berperikemanusiaan? Sedemikian jahatkah binatang bernama buaya sehingga mendapat label
seperti itu? Dalam prakteknya, memang seringkali terjadi ada buaya memangsa manusia.
Jangan coba-coba berenang di sungai muara karena biasanya menjadi sarang buaya.
Permusuhan antara buaya dan manusia memang sudah menjadi biasa. Buaya sudah kadung
dianggap musuh manusia. Bukan hanya manusia, hewan apapun yang berani-berani
mendekati sungai akan menjadi santapan buaya.

Hanya kancil yang tidak takut buaya. Ketika dia hendak diterkam buaya, kancil malah
menantang, “dikira aku takut. Jangankan kamu sendiri, semua teman-temanku kamu kerahkan
aku akan hadapi seorang diri.”

Buaya menjadi panas mendengar sesumbar kancil. Lantas segera dipanggillah semua teman-
temannya muncul ke permukaan.

2
https://www.antaranews.com/berita/470298/kacung-marijan-budaya-jaga-indonesia-dari-buaya, diakses tanggal 18 Desember 2023
“Okay, silakan berbaris yang rapi. Aku akan menghitung jumlah kalian,” kata kancil.

Para buayapun menurut. Mereka mengambang berjajar dari satu tepi sungai hingga ke tepian
sungai seberangnya. Maka kancil melompat dan mendarat di punggung seekor buaya,
berpindah ke punggung buaya lainnya sambil menghitung: satu, dua, tiga, empat…….. hingga
akhirnya kancil sampai ke seberang sungai.

“Baiklah, aku sudah tahu jumlah kalian. Terima kasih sudah membantuku menyeberang yaa….
Dadaaah….” (*)

( Ilustrasi foto kreasi AI )

Anda mungkin juga menyukai