Anda di halaman 1dari 14

Burung Jalak Lawu dan Implikasinya Sebagai Hewan Endemik

Di Kabupaten Magetan Jawa Timur

Geovani Taqiuddin Jamil/17105020038

Abstrak

Penelitian ini di latarbelakangi oleh cerita cerita yang berkembang di masyarakat


tentang seekor burung yang di sakralkan oleh masyarakat. Bukan hanya oleh masyarakat,
namun pendaki gunung Lawu juga banyak yang memberikan pengakuan. Muncul nya
cerita cerita tersebut berdampak baik pada hubungan ekologis antara manusia dengan
alam agar sama sama bisa menjaga.
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan teori Mircea Eliade yang berbicara
mengenai sakral dan profan. Eliade menjelaskan bahwa dalam interaksi sosial
masyarakat, terdapat sesuatu yang di anggap suci, sakral, bahkan mempunyai daya magis
tertentu sehingga sesutu tersebut dapat mengubah stigmatisasi seseorang menjadi di luar
dari biasa nya.
Penelitian ini bertujuan untuk mebantu menjawab pertanyaan pertanyaan yang muncul
di masyarakat terkhusus tentang darimana asal muasal cerita tersebut berasal. Serta
bagaimana sebenarnya tingkah laku burung endemik ini sehingga ia mampu di juluki
sebagai penunjuk jalan bagi para pendaki yang tersesat, juga sekaligus petaka bagi
pendaki yang bertindak kurang sopan ketika mendaki gunung Lawu.

A. Pendahuluan
Manusia adalah makhluk komunal yang tidak bisa di lepaskan dari manusia lain. Hal
tersebut di buktikan ketika manusia di lahirkan, maka membutuhkan bantuan dokter atau
bidan untuk membantu nya keluar dari rahim. Setelah lahir, manusia yang masih bayi itu
di kenalkan dengan suasana baru, tempat dimana orang tua nya bertempat tinggal.
Semakin besar, perlahan ia di kenalkan dengan kedua orang tua nya. setelah mengenal
kedua orang tua, ia akan mengenal lingkungan baru di sekitar tempat dimana ia tinggal,
begitu seterus nya hingga pada akhir nya, ia di antarkan oleh orang lain ke tempat di
mana ia harus di kuburkan. Hal tersebut membuktikan bahwa bagaimanapun keadaan
nya, manusia tidak bisa di lepaskan dari bantuan orang lain termasuk interaksi dengan
orang lain.
Buah dari interaksi tersebut adalah di terima nya informasi informasi yang banyak
ragam nya baik tingkah laku, cara berfikir, memaknai hidup dan lain-lain. Dengan
beraktifitas manusia mampu membangun peradaban maupun menyaring peradaban yang
masuk melalui berbagai bidang baik budaya, sosial, ekonomi, politik, dan agama, yang
selalu berkembang dari waktu ke waktu. Perubahan ke arah yang lebih baik dalam
kehidupan sangat di butuhkan setiap bangsa untuk dapat menciptakan bangsa besar yang
1
maju dan beradab. kemajuan peradaban itu lahir dari hal hal kecil, missal bagaimana
seorang manusia melihat dunia, bagaimana manusia melihat orang di sekitar, bagaimana
manusia memahami satu permasalahan, dan bagaimana semua tersebut terserap untuk
kemudian di tuangkan dalam ide ide.
Seiring perkembangan zaman, kebutuhan manusia semakin banyak dan beraneka
ragam. Kebutuhan untuk menyalurkan hobi nya juga termaasuk dalam pengaruh
perkembangan zaman. Namun sayang nya, hobi tersebut tidak di iringi dengan rasa
empati kepada alam, sehingga mengakibatkan ekosistem yang ada di alam menjadi
semakin rusak dan tak terkendali. Maka dari itu, salah satu hal yang dapat di lakukan
untuk generasi muda adalah memberikan pemahaman bahwa alam beserta penghuni nya
adalah sama sama mahkluk ciptaan Tuhan yang harus sama sama bersinergi untuk
menjaga nya. para nenek moyang merawat alam agar kelak anak cucu nya dapat
merasakan indah nya keanekaragaman hayati yang sudah Tuhan berikan.
Salah satu dari bagian ekosistem yang ada di alam tesebut, termasuk di dalam nya ada
burung. Burung merupakan hewan vertebrata yang memiliki bulu, berkembang biak
dengan cara bertelur dan berperan sebagai polinator, pemakan hama dan penyangga
ekosistem.2 Selain itu, burung juga ikut serta menambah ke-eksotis an alam dengan
kicauan nya. dengan ada nya burung di alam bebas, maka rantai makanan berjalan sesuai
semesti nya, ada juga simbiosis mutualisme yang ada pada burung jalak dan kerbau.
Burung jalak memakan kutu yang ada pada badan kerbau, sehingga kerbau di untungkan
karena terhindar dari gatal. Sedangkan burung jalak mendapatkan makanan berupa kutu

1
Munir Abdul Bashor, “Kosmologi Persaudaraan Setia Hati Terate”, Skripsi Yogyakarta, UIN Sunan Kalijaga, 2016
2
Jurati, Filza Yulina Ade, Dahlia, “Jenis Jenis Burung (Aves) yang ada di Pesawahan Desa Pasir Baru Kabupaten
Rokan Hulu Riau
yang di perolehnya dari tubuh kerbau. Selain itu masih banyak simbiosis mutualisme
yang tidak dapat di jangkau oleh penglihatan manusia.
Namun demikian, di balik badan nya yang mungil, warna nya yang indah, serta
kicauan nya yang merdu, ada sebagian daerah di Indonesia yang menganggap burung
bukan hanya sekedar burung dan hewan biasa, namun justru di anggap sebagai hewan
yang sakral, sehingga keberadaan nya di jadikan sebuah pertanda, sebuah momok yang
menakutkan dan ada juga yang menganggap bahwa keberadaan burung itu justru
membawa kabar buruk.. tentu hal tersebut mendapat banyak respon dari masyarakat.
Banyak nya respon dari masyarakat tersebut kareana mereka melihat suatu fenomena
yang berbeda. Bagaimana bisa seekor burung dapat di artikan macam macam hanya
karena mungkin mempunyai cirri khas tertentu atau karena keberadaan nya selalu di
tandai dan di kaitkan dengan sesuatu yang di luar nalar manusia.
Dalam hal ini, ada beberapa contoh burung yang kemudian di jadikan hewan yang
sakral sehingga mampu memberi rasa yang berbeda pada manusia. Macam tersebut
antara lain adalah kedatangan burung gagak sebagai pertanda kematian. Mitos kematian
ini di hubungkan dengan kemampuan burung gagak dalam mengenali aroma calon
bangkai. Burung gagak mempunyai indera penciuman yang sangat baik, ia di sebut
mampu mencium aroma calon bangkai meski berjarak ratusan kilometer. Hal ini yang di
hubungkan dengan aroma manusia yang akan meninggal. Selain itu, ada juga mitos
mengenai burung perkutut. Burung perkutut adalah masih satu family dengan colimbidae
yaitu gen yang memiliki dua spesies merpati besar dari selandia baru. Menurut orang
jawa, burung ini mempunyai mitos dapat memberikan manfaat juga dapat memberikan
musibah. 3
Berbagai macam mitos tersebut di atas adalah sebagian saja dari mitos mitos mengenai
burung yang ada di Indonesia. Namun, di jawa timur, letak nya di gunung lawu yang di
apit oleh 3 kabupaten yaitu kabupaten Magetan, kabupaten Karanganyar, dan kabupaten
Ngawi terdapat satu mitos tentang keberadaan burung endemic gunung lawu yang kini
tercatat pada hewan endemic yang di miliki oleh kabupaten itu di yakini mempunyai
kesakralan. Burung tersebut bernama burung jalak gading atau orang sekitar Magetan
menyebut nya dengan burung jalak Lawu. Burung yang mempunyai nama latin Turdus
3
Abda lucky sanjaya, Agus Purwantoro, Novita Wahyuningsih, 2017, jurnal ekspresi seni, “Katurangganing
Kutut” , vol 19, No 02.
Poliocephalus ini hidup hanya di gunung lawu dan di nobatkan sebagai ikon pariwisata
oleh pemerintah kabupaten Magetan. 4
Burung jalak lawu ini di sebut sebagai sahabat setia para pendaki yang akan mendaki
ke puncak lawu. Burung ini biasanya menjadi teman perjalanan para pendaki di Gunung
Lawu, karena perilakunya yang ramah dan jinak. Jalak Lawu akan mengikuti dan
menunjukkan jalan ke arah puncak gunung kepada para pendaki atau peziarah. Burung
Jalak Lawu ini dianggap keramat, bahkan ada kepercayaan bahwa para pendaki yang
diikuti dan ditunjukkan jalan menuju Hargo Dumilah(puncak Gunung Lawu) oleh burung
ini adalah para pendaki yang mendapat berkah dari Sunan Lawu 5. Selain itu, mitos yang
berkembang di masyarakat adalah bahwa burung jalak lawu ini dulu nya adalah salah
satu pengikut dari Prabu Brawijaya ke V yang melakukan moksa di gunung lawu. Namun
sebelum moksa, Prabu Brawijaya memberikan wasiat kepada salah satu pengikut nya ini
untuk menjaga gunung lawu dari segi apapun. Bersamaan dengan moksa nya prabu
Brawijaya V, salah satu pengikut nya ini kemudian menjelma menjadi burung yang
sekarang di sakral kan tersebut.
Pendaki yang akan mendaki gunung lawu, sebagian besar pasti sudah pernah
mendengar mitos mitos yang terdapat di gunung Lawu termasuk mengenai burung jalak
lawu. Mitos ini berkembang sangat luas sehingga bukan hanya pendaki saja yang
mengetahui nya, namun juga beberapa orang awam yang mendengar nya dari mulut ke
mulut. Mitos tersebut kemudian juga menjadi rambu rambu bagi para pendaki untuk
selalu menjaga tata karma selama perjalanan menuju puncak. Hal tersebut di karenakan,
sudah tertanam ada nya mitos bahwa gunung lawu adalah gunung yang di anggap angker
termasuk juga dengan mitos ada nya jalak lawu sebagai jelmaan dari pengikut prabu
Brawijaya ke V. Dalam mitos burung jalak lawu ini lah yang kemudian penulis merasa
tertarik karena terdapat mitos yang berdampak positif bagi ekosistem alam dan
keanekaragaman hayati yang ada di tempat tersebut.
Berbagai macam mitos tersebut di atas adalah sebagian saja dari mitos mitos mengenai
burung yang ada di Indonesia. Namun, di jawa timur, letak nya di gunung lawu yang di
apit oleh 3 kabupaten yaitu kabupaten Magetan, kabupaten Karanganyar, dan kabupaten

4
Astirin, Sugiarto, Nugraha, “Studi Identifikasi Keanekaragaman Hayati Pada Habitat Jalak Lawu, wilayah lereng
gunung lawu Kabupaten Magetan”, Jurnal lingkungan, Surakarta 2019.
5
Ibid ..
Ngawi terdapat satu mitos tentang keberadaan burung endemic gunung lawu yang kini
tercatat pada hewan endemic yang di miliki oleh kabupaten itu di yakini mempunyai
kesakralan. Burung tersebut bernama burung jalak gading atau orang sekitar Magetan
menyebut nya dengan burung jalak Lawu. Burung yang mempunyai nama latin Turdus
Poliocephalus ini hidup hanya di gunung lawu dan di nobatkan sebagai ikon pariwisata
oleh pemerintah kabupaten Magetan. 6
Penulis secara pribadi menganggap fenomena tersebut menarik untuk di kaji secara
kajian simbol simbol karena fenomena tersebut cukup berpengaruh di tengah masyarakat.
Selain itu, jalak lawu dari dulu hingga sekarang masih menjadi misteri, mengapa burung
tersebut selalu menjadi penyelamat bagi para pendaki. Apabila di anggap hal itu
kebetulan, hampir setiap orang yang pernah mendaki, bersaksi dengan kesaksian yang
sama.
B. Metode Penelitian
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan pendekatan kualitatif. Istilah penelitian
kualitatif menurut Bogdan dan Taylor yang dikutip oleh Lexy J. Moleong, dalam
bukunya yang berjudul “Metode Penelitian Kualitatif” menyebutkan bahwa metode
penelitian kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa
kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. 7Penelitian
ini akan menggunakan bentuk penelitian lapangan (field research) dan didukung dengan
beberapa jenis data yang akan penulis gunakan
Dalam mini riset ini, penulis menggunakan teknik pengumpulan data yang sesuai
dengan keadaan di lapangan. Menurut jenis penelitian, kajian ini termasuk penelitian
lapangan, yakni suatu penelitian yang bertujuan melakukan studi mengenai suatu unit
sosial sedemikian rupa sehingga menghasilkan gambaran yang terorganisir dengan baik
dan lengkap unit sosial tersebut. Adapun pengumpulan data tersebut yakni:
 Observasi Observasi adalah pengamatan langsung dan pencatatan secara
sistematis tentang fenomena-fenomena yang diteliti yaitu peneliti tidak ikut
ambil bagian dalam kancah kehidupan yang diteliti. Akan tetapi, peneliti datang

6
Astirin, Sugiarto, Nugraha, “Studi Identifikasi Keanekaragaman Hayati Pada Habitat Jalak Lawu, wilayah lereng
gunung lawu Kabupaten Magetan”, Jurnal lingkungan, Surakarta 2019.
7
Lexy Moeleong, Metedologi PenelitianKualitatif, ( Bandung: Remaja Rosda Karya, 2005), hlm. 4.
langsung pada lokasi penelitian. Dalam hal ini, penulis langsung mengunjungi
jalur pendakian Cemoro Sewu untuk melihat secara langsung bentuk dari
 Interview atau Wawancara merupakan salah satu teknik pokok dalam penelitian
kualitatif. Wawancara dalam penelitian kualitatif adalah percakapan, seni
bertanya dan mendengarkan kegiatan yang dilakukan peneliti secara langsung.
Bertatap muka dengan subjek penelitian atau seseorang yang memiliki info
yang diteliti. Interview merupakan metode pengumpulan data secara sepihak
yang di lakukan penulis dengan salah satu orang yang di jadikan responden
dalam bidang tersebut. Dalam hal ini penulis langsung bertemu dengan penjaga
tiket pendakian via Cemoro sewu guna menanyakan secara langsung mengenai
fenomena tersebut. Selain itu, pada lain hari penulis bertemu langsung dengan
salah satu teman yang kebetulan rumah nya berdekatan dengan gunung serta
pendakian gunung Lawu. Bersamaan dengan itu, penulis juga bertemu dengan
kedua orang tua nya kemudian menanyakan perihal asal muasal cerita tersebut
berkembang.
C. Kerangka Teori
Untuk memahami kajian ilmiah ini, penulis menggunakan kajian sosiologis sebagai
ilmu yang ber focus kepada masyarakat, apa saja fenomena yang ada di masyarakat, dan
apa saja yang masyarakat sakralkan dalam kehidupan nya. penulis menggunakan teori
social yang terkhusus pada kesakralan masyarakat, karena penulis menganggap bahwa
apa yang menjadi permasalahan pada mini riset yang penulis pilih erat kaitanya dengan
apa yang di sakralkan oleh masyarakat setempat.
Maka dari itu, penulis menggunakan teori dari Mircea Eliade tentang Kesakralan
masyarakat. Dalam teori tersebut di jelaskan bahwa dalam masyarakat ada hal hal yang di
jadikan penghormatan/sesuatu yang di anggap sakral dan memiliki kekuatan lebih. Hal
tersebut tertuang dalam bukunya yang secara khusus menjelaskan tentang “yang sakral
dan yang profan” disana Eliade banyak membicarakan tentang betapa manusia hidup di
penuhi dengan simbol simbol.
Dalam buku nya yang berjudul The Sacred and the Profane, Eliade menggunakan
contoh dari berbagai kebudayaan untuk menunjukkan bagaimana seriusnya masyarakat
tradisional dalam menunjukkan model model ilahiah. Otoritas yang sakral mengatur
semua kehidupan misalnya dalam membangun perkempungan baru masyarakat Arkhais
tidak sembarang memilih tempat. Satu perkampungan haruslah di dirikan dengan tempat
yang memiliki hierophany dan rencana itu hanya bisa terwujud apabila sudah di kunjungi
dengan yang sakral. Bis berbentuk dewa atau arwah nenek moyang. Kemudian tempat
tersebut menjadi titik dunia atau titik kosmos. Berdasarkan titik pusat inilah, suatu
masyarakat baru di bentuk dengan struktur struktur ilahiah yang dfinitif. 8
Setelah memaparkan karakter karakter simbol dan mitos mitos, Eliade juga
mengetengahkan masalah perbandingan antara simbol dan mitos mitos tersebut. Apakah
satu simbol lebih baik dari yang lain? Bisakah di buat peringkat tentang nilai di antara
mitos mitos yang ada? Walau tidak secara langsung Eliade menjawab pertanyaan
tersebut, dia merasa bahwa sebagian simbol atau mitos mitos lebih superrior ketimbang
yang lain. 9

D. Hasil Penelitian
Penelitian ini di lakukan dengan wawancara dan observasi langsung dengan yang di
anggap bersangkutan dengan gunung lawu maupun historis historis nya. Penulis
mengajukan pertanyaan sesuai dengan isu yang berkembang di dunia pendakian maupun
di masyarakat sekitar. Namun demikian, ada beberapa pertanyaan yang secara spontan
terlontar tanpa persiapan terlebih dahulu. Pertanyaan pertanyaan tersebut bersumber dari
hasil obrolan penulis dengan pendaki, penjaga tiket, maupun teman dari penulis sendiri.
Pertanyan tersebut masih ada sangkut pautnya dengan seputar fenomena tersebut, hanya
saja penulis merangkum pertanyaan yang tidak terencana tersebut.
Seperti yang di sebutkan di atas, penelitian ini menjelaskan tentang berbagai macam
kabar yang berkembang di tengah masyarakat Magetan terutama juga bagi pendaki yang
pernah secara langsung bertemu dengan burung jalak lawu itu sendiri. Menurut
pemaparan dari teman penulis yang bernama Andik, cerita tentang burung jalak lawu itu
sudah ada sejak ia kecil. Semenjak duduk di bangku sekolah dasar, ia mengaku seringkali
mendengar cerita itu dari orang tua, teman sebaya, maupun tetangga sekitar tentang
adanya seekor burung yang menjadi endemik gunung Lawu. Cerita tersebut berbeda versi

8
Daniel L Pals, Dekonstruksi Kebenaran, Oxford University press: Yogyakarta 1996, hlm 265
9
Aning Ayu Kusumawati, Nyadran sebagai realitas yang sakral: perspektif Mircea Eliade, Jurnal Thaqafiyyat 2013,
vol.14,No.1.
namun pada intinya sama, bahwa burung itu mempunyai kelebihan dapat menunjukkan
jalan bagi pendaki yang tersesat di gunung lawu. 10
Tidak hanya itu, ia juga menceritakan bahwa ada salah satu temannya yang mengaku
pernah mendaki gunung Lawu dan sempat lama berpisah dengan rombongannya.
Menurut informan Andik, ia mendengar pengakuan tersebut sudah sejak duduk di bangku
SMA. Setelah lama berpisah dengan rombongan, kebetulan hari mulai gelap dan matahari
mulai terbenam. Tidak selang lama ia mendengar ada suara burung yang ia sendiri tak
pernah mengenal suara nya. burung tersebut kemudian bertengger pada pohon kecil di
depannya. Karena jauh sebelum mendaki, sudah pernah mendengar cerita bahwa ada
burung penunjuk jalan, maka informan teman andik tersebut memperhatikan burung
tersebut berjalan kemudian ia mengikuti di belakangnya yang tidak selang lama ia
bertemu kembali dengan rombongannya.
Bersamaan dengan itu, penulis sekaligus menanyakan tentang historis dari munculnya
cerita itu kepada bapak Suyadi yang tidak lain adalah ayah dari informan Andik. Menurut
pemaparan informan bapak Suyadi, cerita tersebut bermula dari Prabu brawijaya 5 yang
ber migrasi dari mojokerto menuju arah barat untuk menemukan tempat Moksa. Arah
barat ini adalah arah menuju gunung Lawu apabila di tempuh dari Mojokerto. Dalam
perjalanannya menuju ke arah barat itu, Prabu Brawijaya juga bersinggah untuk istirahat
di berbagai tempat, salah satu nya di Ngawi lebih tepatnya di alas Ketonggo.
Persinggahan Prabu Brawijaya ini kemudian juga menjadi tempat yang di sakralkan
karena terdapat sumber air yang meskipun musim kemarau tidak surut airnya. 11
Setelah melakukan perjalanan dari Ngawi ke Magetan, sampailah Prabu Brawijaya ke
tempat yang ia tuju, yaitu gunung Lawu. Pak Suyadi tidak mengetahui secara detail
periodik kejadian tersebut, ia hanya meneruskan cerita dari nenek moyang nya yang
kebetulan orang asli Magetan.
Menurut bapak Suyadi, prabu Brawijaya datang untuk moksa tidak sendiri, ia di
temani dua pengawal kerajaan. Sebelum Prabu Brawijaya Moksa, ia berpesan kepada dua
pengawalnya bahwa setelah ia hilang dan moksa, ia menitipkan gunung ini kepada dua
pengawal itu. sampai pada prabu Brawijaya Moksa kemudian kedua pengikutnya tersebut
berubah wujud menjadi burung Jalak dan kupu kupu. Karena jenis jalak yang satu ini
10
Wawancara dengan infoeman Andik
11
Wawancara dengan informan Suyadi
hanya terdapat di gunung lawu, maka jalak tersebut di kenal sampai sekarang menjadi
jalak lawu.
Informan Andik mengatakan bahwa burung jalak lawu bukan hanya bisa untuk
menunjukkan jalan, namun sebaliknya ia juga bisa mengaburkan pandangan bagi pendaki
yang kurang bisa menjaga sopan santun. Pendaki yang di kaburkan pandanganya tersebut
pada akhir nya akan tersesat bahkan bisa hilang. Berangkat dari cerita itu, apabila ada
kabar pendaki hilang di gunung lawu maka ia dan masyarakat sekitar langsung berasumsi
bahwa ia di kaburkan pandangan nya oleh si jalak lawu tersebut.
Pada kesempatan lain, penulis juga melakukan wawancara dengan penjaga tiket masuk
pendakian via Cemoro Sewu bernama mas Kayat. Berkenaan dengan fenomena tersebut,
informan Kayat mengakui bahwa fenomena tersebut memang benar adanya bahkan
sangat kental di lingkup pendaki terutama. Ia memberikan pengakuan bahwa sering
melihat burung tersebut beraktivitas di sekitar pos penjagaan tiket, dan juga tidak takut
orang tambahnya. 12
Informan kayat juga menceritakan pengalamannya ketika ia di tugaskan untuk meng
evakuasi pendaki yang di nyatakan hilang karena kebakaran pada tahun 2015. Informan
Kayat juga mengakui bahwa kebakaran tahun 2015 adalah kebakaran yang paling besar di
bandingkan kebakaran kebakaran yang ia tahu sebelumnya. Pada waktu itu di kabarkan
ada 7 pendaki yang hilang, dugaan kuat sementara pendaki tersebut ikut hangus terbakar
di pos 3 yang mana pos 3 adalah sumber api terbesar. Karena perintah yang di berikan
oleh atasan adalah sore hari, maka saat itu pula informan Kayat dan tim menuju dugaan
sementara pendaki tersebut berada. Setelah kurang lebih 7 jam pencarian di sekitar titik
kebakaran, informan Kayat dan tim belum juga menemukan tanda tanda keberadaan
pendaki tersebut. Namun secara tidak sengaja senter yang di gunakannya menyort pada
burung jalak lawu yang sedang berjalan di permukaan tanah yang bekas terbakar. Burung
jalak tersebut berada pada posisi sedikit lebih rendah dari titik kebakaran. Informan Kayat
kemudian mengajak satu temannya untuk secara diam diam mengikuti kemana burung
jalak tersebut berjalan. Benar saja keajaiban burung jalak kembali terjadi, jasat pendaki
tersebut di ketemukan di pos 3 sedikit rendah dari titik kebakaran.

12
Wawancara dengan informan Kayat
E. Burung Jalak Lawu sebagai simbol
Fenomena jalak lawu ini adalah salah satu fenomena simbol apabila di kaji dengan
teori Mircea eliade. Jalak lawu di posisikan sebagai profan karena ia adalah objek yang di
sakralkan. Kemudian historis historis tentang prabu brawijaya menjadi hierofani yang
menyelimuti jalak lawu tersebut yang kemudian di kenang menjadi simbol simbol yang
menggambarkan bahwa jalak lawu selalu di identikkan dengan gunung lawu lengkap
dengan segala fenomena nya tersebut.
Dalam pandangan Eliade, yang perlu di garis bawahi adalah bahwa fungsi sejati
sebuah simbol tetap tidak berubah: fungsi nya ialah mengubah suatu barang atau tindakan
menjadi sesuatu yang lain daripada yang kelihatan dari barang atau tindakan itu di mata
pengalaman profan. Peranan yang di mainkan paling penting oleh simbolisme dalam
pengalaman magis-religius bangsa manusia tidak di sebabkan oleh hal bahwa hierofani
dapat di ubah menjadi simbol. Tidak karena simbol mendukung hierofani atau mengambil
tempatnya maka kemudian simbol itu menjadi penting. Namun karena memang simbol
mampu meneruskan proses hierofanisasi khusus nya dan kadangkala menjadi hierofani
sendiri. Simbol menyatakan satu realitas suci atau kosmologis yang tidak dapat
dinyatakan oleh manifestasi lainnya. Perbedaan pokok yang di adakan oleh Eliade adalah
perbedaan antara yang profan dan yang suci. Mula mula manusia di benamkan dalam
dunia profan, tetapi simbolisme menciptakan solidaritas tetap antara manusia dan sang
kudus.
Eliade mengatakan bahwa, dasar kehidupan sosial dan budaya, cara manusia
mengungkapkan itu merupakan suatu kultur yang kopleks13. Hal tersebutlah yang menjadi
kajian kajian sosiologis yang berkaitan dengan simbol dan mitos mitos di kalangan umat
manusia. terlepas dari itu, manusia menjadikan sebuah simbol atau profan terkadang
melebihi apapun, bahkan nyawa sekalipun.
Pada dasarnya bahasa simbol memanglah sulit untuk di pisahkan dari kehidupan
manusia. karena khidupan beragama atau kepercayaan tertentu juga tidak bisa lepas dari
yang namanya hal hal magis, baik untuk dirinya sendiri maupun juga orang lain.

13
PS Hary Susanto, Mitos Menurut Pemikiran Eliade , (Yogyakarta, Kanisius, 1987)
Ketergantungan individu terhadap sesuatu yang ghoib tersebut tidak baru baru saja,
namun sudah sejak zaman purbakala dimana orang belum mengenal aksara. 14
Burung jalak lawu dalam masyarakat sekitar gunung lawu sudah di anggap sebagai
sesuatu yang mempunyai daya magis tersendiri. Karena itu merupakan sebuah simbolik
bahwa ada sisi historis yang menyelimutinya. Simbol simbol sakral kemudian
menghubungkan sebuah ontologi dan sebuah kosmologi dengan sebuah estetika dan
sebuah moralitas. Kekuatan khas simbol simbol itu berasal dari kemampuan mereka yang
dikira ada untuk mengidentifikasi fakta dengan nilai pada taraf yang paling fundamental
untuk memberikan sesuatu yang bagaimana pun juga bersifat faktual murni, suatu muatan
normatif yang komerhensif. 15
Eliade mengatakan bahwa Pada waktu yang sama sebuah simbol tidak pernah asal
menunjuk sesuatu yang tidak ada kaitannya dengan manusia. sebuah simbol selalu tertuju kepada
realitas atau situasi yang melibatkan manusia. gunung lawu dan jalak lawu adalah satu kesatuan
yang tidak bisa di lepaskan dengan aktivitas manusia. aktivitas tersebut bisa berbentuk pendakian,
pembuatan jalan baru untuk pendaki, bahkan aktivitas jual beli sehari hari di atas gunung. Tentu
manusia manusia yang melakukan aktivitas tersebut sudah terlebih dahulu mengetahui tentag
fenomena burung jalak lawu, dari situ ia kemudian bisa memposisikan diri agar menjaga
kelakuan dan berusaha untuk tidak melanggar apa yang sudah menjadi norma norma setempat.
Simbol tidak datang dengan sendirinya, menurut eliade, ia mempunyai historis yang
sangat erat kaitannya dengan pengalaman manusia. kebanyakan simbol tercipta karena manusia
mengalami pengalaman religiusitas, kemudian pengalaman itu di manifestasikan kedalam sebuah
media apa saja, yang pada akhir nya nanti simbollah yang bekerja untuk mengumpulkan manusia
lain yang mungkin satu frekuensi dengan hal tersebut, atau hanya sekedar ingin menjadi
pengikutnya. Dalam konteks ini, seekor burung jalak lawu dan prabu brawijaya dengan
historisitas nyalah yang di maksud Eliade. Sebab dengan itu manusia manusia memandang
burung bukan hanya burung, ia memandang burung sebagai hewan yang mempunyai kekuatan
supranatural yang mampu merubah kehidupannya ketika orang tersebut ber interaksi dengan
hewan tersebut.
Simbol mempunyai fungsi yang cukup penting jika melihat dari pemaparan di atas. Hal
tersebut karena simbol dapat megubah presepsi manusia yang awal nya tidak mempunyai kesan
apa apa terhadap sesuat, kini menjadi menjaga sesuatu itu dengan baik. Fenomena burung jalak
14
Bustanuddin Agus, Agama Dalam Kehidupan Manusia: Pengantar Antropologi Agama, (Jakarta, PT Grafindo
Persada, 2006) hlm 2.
15
Cliford Geertz, Kebudayaan dan agama, terj, Fransisco Budi Hardiman (Yogyakarta, Kanisius, 1992) hlm 50.
lawu ini juga dapat di katakan sebagai hubungan ekologis, karena dengan burung jalak lawu ini
tetap hidup, ia turut menjaga alam dengan kerja kerja simbolnya serta manusia tidak sembarangan
untuk mengambil burung itu dan merusak alam karena ada yang di anggap sakral dan bahkan bisa
mengancam nyawa nya.
Penggunaan simbol sangat jelas dalam tradisi dan adat istiadat orang Jawa. Bahkan untuk
sebagian intelektual pun mengatakan demikian. Penggunaan simbol merupakan salah satu ciri
yang menonjol dalam kebudayaan jawa. Itu lah yang menyebabkan daya daya magis semakin
16
subur terutama di pulau Jawa. kekuatan simbol mampu menggiring siapapun untuk menggiring
siapapun untuk mempercayai, mengakui melestarikan atau mengubah prespektif hingga tingkah
laku orang dalam bersentuhan dengan realitas. Daya magis simbol tidak hanya terletak pada
kemampuannya merepresentasikan kenyataan tetapi realitas di representasikan lewat penggunaan
logika simbol 17
Bagi para pendaki gunung lawu dari luar daerah yang sudah mengetahui mitos ini, menurut
anggapan psikologis mereka yang tengah mencari keselamatan (pendakian) pasti akan terfokus
pada apa yang menjadi perilaku mereka sekarang. Kondisi kemuliaan yang bersandar pada
perasaan “pembuktian terhadap suatu hal” 18. Berkembang nya isu bahwa ada seekor burung yang
mampu menyelamatkan sekaligus menjerumuskan tentu membuat sebagian orang bertanya tanya.
Bagaimana mungkin sesuatu itu terjadi hanya pada seekor burung yang besarannya pun tak lebih
dari tangan manusia.

F. Kesimpulan

16
Abdul Muiz, Makna Simbol Ritual Dalam Ritual Agung Sejarah Alam Ngaji Rasa di Komunitas Bumi Segandu
Dermayu, Skripsi, Yogyakarta, 2009.
17
Fauzi Fashri, Penyingkapan Kuasa Simbol, Apropriasi Reflektif Pemikiran Pierre Bourdieu
(Yogyakarta,Juxtapos,2007), hlm.1
18
Max Weber, Teori Dasar Analisis Kebudayaan, (Yogyakarta, IRCiSoD,2013) hlm 29
Burung Jalak lawu merupakan burung endemik yang mendiami gunung Lawu. burung tersebut
mempunyai ciri ciri fisik berwarna abu abu kecoklatan, berpostur besar dan mempunyai paruh
lancip layaknya burung jalak pada umumnya. Burung ini beraktivitas di sekitar gunung lawu dari
mulai puncak hargo dumilah sampai ke sekitaran jalan tembus Magetan-Karanganyar. Pemerintah
kabupaten Magetan menetapkan burung Jalak Lawu ini sebagai hewan endemik magetan dan
menjadikannya ikon pariwisata kabupaten Magetan.
Burung ini di juluki sebagai sahabat para pendaki, julukan tersebut muncul karena kesaksian
para pendaki yang pernah tersesat ketika mendaki, kemudian di hampiri oleh burung ini untuk
kemudian di carikan jalan menuju puncak. Fenomena ini di benarkan oleh beberapa teman dari
penulis yang pernah secara pribadi mengetahui dan mempunyai pengalaman pribadi dengan
burung ini. Selain itu juga di benarkan oleh mas Kayat seorang penjaga tiket masuk pendakian
via Cemoro Sewu. Ia juga menceritakan pengalamannya ketika evakuasi jenazah pendaki yang
menjadi korban kebakaran pada tahun 2015.
Selain oleh para pendaki gunung Lawu, burung Jalak Lawu juga di kenal oleh masyarakat
sekitar sebagai burung penunggu gunung Lawu yang juga menyimpan daya magis tersendiri.
Daya magis tersebut di yakini oleh masyarakat datang dari sisi historis. Prabu Brawijaya 5 pada
waktu itu melakukan Moksa di gunung lawu dengan membawa 2 pengawal dari kerajaan.
Pengawal tersebut setia menemani dari mulai mojokerto hingga sampai pada tujuannya yaitu
gunung lawu. sebelum Prabu Brawijaya Moksa, beliau berpesan pada kedua pegikutnya ini untuk
tetap menjaga gunung lawu dari segala tindak ke burukan yang di lakukan oleh manusia. setelah
beliau berpesan demikian, barulah beliau Moksa di Puncak Hargo Dumilah Gunung Lawu.
DFTAR PUSTAKA

Abda lucky sanjaya, Agus Purwantoro, Novita Wahyuningsih, (2017), jurnal ekspresi seni,
“Katurangganing Kutut” , vol 19, No 02.

Astirin, Sugiarto, Nugraha, (2019) “Studi Identifikasi Keanekaragaman Hayati Pada Habitat
Jalak Lawu, wilayah lereng gunung lawu Kabupaten Magetan”, Jurnal
lingkungan, Surakarta.
Lexy Moeleong, (2005), Metedologi PenelitianKualitatif, ( Bandung: Remaja Rosda Karya),
Bandung.

Jurati, Filza Yulina Ade, Dahlia, (2009), “Jenis Jenis Burung (Aves) yang ada di Pesawahan
Desa Pasir Baru Kabupaten Rokan Hulu Riau, Riau.

Daniel L Pals, (1996), Dekonstruksi Kebenaran: Kritik Tujuh Teori Agama, Oxford University
Press: Yogyakarta.

Aning Ayu Kusumawati, (2013), Nyadran sebagai realitas yang sakral: perspektif Mircea
Eliade, Jurnal Thaqafiyyat, vol.14,No.1.

Astirin, Sugiarto, (2019), Nugraha, “Studi Identifikasi Keanekaragaman Hayati Pada Habitat
Jalak Lawu, wilayah lereng gunung lawu Kabupaten Magetan”, Jurnal
lingkungan, Surakarta.
Abdul Muiz, (2009), Makna Simbol Ritual Dalam Ritual Agung Sejarah Alam Ngaji Rasa di
Komunitas Bumi Segandu Dermayu, Skripsi, Yogyakarta.

Fauzi Fashri, (2007) Penyingkapan Kuasa Simbol, Apropriasi Reflektif Pemikiran Pierre
Bourdieu (Yogyakarta,Juxtapos)

Cliford Geertz, (1992), Kebudayaan dan agama, terj, Fransisco Budi Hardiman, (Yogyakarta,
Kanisius)
Max Weber, (2013), Teori Dasar Analisis Kebudayaan, (Yogyakarta, IRCiSoD)

Bustanuddin Agus, (2006), Agama Dalam Kehidupan Manusia: Pengantar Antropologi Agama,
(Jakarta, PT Grafindo Persada)
PS Hary Susanto, (1987), Mitos Menurut Pemikiran Eliade , (Yogyakarta, Kanisius)

Anda mungkin juga menyukai